975
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
RESPONS IMUN UDANG WINDU, Penaeus monodon YANG MEMBAWA MARKER DNA TAHAN PENYAKIT SETELAH DIPAPAR BAKTERI PATOGEN Vibrio harveyi Andi Tenriulo, Andi Parenrengi, dan Bunga Rante Tampangallo Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
Abstrak Perbaikan genetik udang windu melalui seleksi dapat dilakukan dengan fokus karakter ketahanan penyakit baik secara konvensional maupun dengan menggunakan bantuan marker DNA (MAS-marker assisted selection). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis marker DNA, total hemosit dan aktivitas phenoloksidase pada udang windu yang membawa marker mikrosatelit tahan penyakit setelah dipapar bakteri patogen V. harveyi. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, yang terdiri dari 2 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah penyuntikan bakteri V. harveyi (kepadatan 106 CFU/mL) sebanyak 0,1 mL/ekor pada segmen ke dua udang windu yang membawa marker tahan penyakit (A) dan udang windu kontrol (B). Isolasi genom DNA dilakukan dengan metode fenol kloroform dan deteksi marker DNA mikrosatelit dengan PCR. Pengambilan sampel hemolim dilakukan pada hari ke-1, -2, dan -6 setelah infeksi untuk dihitung total hemosit dan aktivitas phenoloksidasenya, sedang untuk analisis DNA diambil pada akhir penelitian. Total hemosit dan aktivitas phenoloksidase dianalisis menggunakan uji T dengan bantuan program SPSS versi 16. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon DNA pada udang marker DNA mikrosatelit tahan penyakit setelah ditantang dengan bakteri V. harveyi masih muncul setelah diamplifikasi. Total hemosit dan aktivitas phenoloksidase pada udang windu yang membawa marker DNA mikrosatelit tahan penyakit cenderung meningkat setelah dipapar bakteri patogen V. harveyi, dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-6 setelah infeksi. KATA KUNCI : udang windu, marker mikrosatelit tahan penyakit, Vibrio harveyi, total hemosit, aktivitas phenoloksidase
PENDAHULUAN Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu spesies udang lokal yang dibudidayakan di Indonesia. Budidaya udang windu ini telah berkembang di tambak-tambak air payau, namun sejak tahun 1990-an, budidaya udang windu mengalami berbagai kasus kematian, baik akibat lingkungan perairan yang kurang mendukung maupun adanya serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Kasus ini tidak hanya terjadi di Indonesia (Atmomarsono, 2004), tetapi juga terjadi di India (Sathish et al., 2004; Rout et al., 2005), Korea (Kim et al., 2004), China (Zhan et al., 2004), dan Amerika (Silva et al., 2004; Guevara & Meyer, 2005). Bakteri Vibrio harveyi merupakan salah satu spesies bakteri penyebab munculnya penyakit vibriosis yang sangat meresahkan pembudidaya udang karena dapat menyebabkan kematian cultivan. Infeksi V. harveyi pada larva udang windu di perbenihan dapat menyebabkan kematian larva hingga 100% dan di areal pertambakan dapat mematikan udang remaja sebelum masa pemeliharaan 80 hari (Moriarty, 1998) serta menjadi pemicu munculnya infeksi sekunder dari virus bintik putih (white spot syndrome virus-WSSV) (Gunarto & Mansyur, 2010; Rantetondok, 2011). Keberadaan bakteri ini ditandai dengan berpendarnya media pemeliharaan di malam hari. Bakteri Vibrio berpendar diketahui banyak menyerang hewan budidaya seperti udang (Baticados et al., 1990; Karunasagar et al., 1994; Moriarty, 1998; Zhang & Austin, 2000), beberapa spesies ikan dan kekerangan (Austin, 2006) bahkan juga karang (Ben-Haim et al., 2003). Berbagai upaya penanggulangan penyakit pada budidaya udang windu telah dilakukan dalam upaya peningkatan produksi udang windu. Pemberian immunostimulan seperti â-glukan, polisakarida, lipopolisakarida, vitamin C dan E serta vaksin, baik itu vaksin bakterin maupun vaksin rekombinan
Page 991 of 1000
Page 1 of 9
Respons imun udang windu yang membawa marker ..... (Andi Tenriulo)
976
hingga ke transfer gen antibakteri telah banyak dilakukan. Penemuan gen pengkode antimikroba penaidin membuka peluang dalam peningkatan immunitas udang vaname L. vannameii secara genetik melawan serangan patogen (Destoumieux, at al. 1999). Kim, at al. (2004) melaporkan bahwa induksi imun pada udang melalui vaksinasi dengan penggunaan rekombinan protein WSSV pada udang Penaeus chinensis, penggunaan vaksin RNA untai ganda (double-stranded RNA, dsRNA) pada udang L. vannamei (Robalino et al., 2004). Perakitan strain udang windu tahan penyakit telah dirintis dengan memanfaatkan teknologi transgenesis melalui transfer gen antivirus PmAV (Parenrengi, 2009). Udang windu transgenik yang dihasilkan memperlihatkan resistensi yang lebih tinggi (24,5%) terhadap virus bintik putih (WSSV) dibandingkan dengan udang windu normal. Respon imun pada udang windu trangenik juga memperlihatkan peningkatan setelah diuji tantang dengan bakteri berpendar Vibrio harveyi. Pengembangan teknik identifikasi udang windu tahan penyakit menggunakan marker mikrosatelit DNA sebagai MAS (marker assisted selection) telah dilaporkan oleh Mukherjee & Mandal (2009), yang menggunakan penanda mikrosatelit DNA sebagai penciri udang windu tahan penyakit dengan mengamati dua populasi udang windu yang tahan dan tidak tahan penyakit terhadap penyakit virus bintik putih (White Spot Syndrome Virus WSSV). Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan sidik jari DNA mikrosatelit yang sangat signifikan. In the disease-resistant population, we found only one microsatellite DNA band of 317 bp, whereas in disease susceptible population, we observed an additional unique microsatellitePada populasi tahan penyakit, hanya ditemukan satu pita DNA mikrosatelit 317 bp, sedangkan pada populasi tidak tahan penyakit, terdapat sebuah pita tambahan DNA band of 71 bp. pada 71 bp. In our study, because we have collected both populations from the same circumstances, so Pita pada 71 bp hanya ditemukan di populasi tidak tahan penyakit. Teknik identifikasi udang windu tahan penyakit menggunakan marker mikrosatelit DNA dengan mengacu pada Mukherjee & Mandal (2009), dan kajian penurunan marker tersebut pada udang windu ke generasi berikutnya telah dilaporkan oleh Tenriulo et al., (2011). Selain terhadap WSSV, marker mikrosatelit tahan penyakit ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai penciri ketahanan penyakit terhadap bakteri, mengingat bahwa udang windu mempunyai sistem imun yang non-spesifik (Braak, 2002). Berdasarkan hal tersebut, maka kajian respon imun udang windu yang membawa marker DNA mikrosatelit tahan penyakit yang ditantang dengan bakteri patogen V. harveyi perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi marker DNA mikrosatelit tahan penyakit, total hemosit, dan aktivitas phenoloksidase pada udang windu yang membawa marker mikrosatelit tahan penyakit setelah dipapar bakteri patogen V. harveyi. BAHAN DAN METODE Udang windu yang membawa marker mikrosatelit tahan penyakit dihasilkan dari induk yang telah diidentifikasi membawa marker tersebut, dan sebagai kontrol digunakan udang windu yang berasal dari induk yang tidak membawa marker. Hewan uji yang digunakan (berat berkisar 10-15 g) dipelihara dalam wadah akuarium volume 15 L, diisi dengan air laut salinitas 30 ppt sebanyak 10 L/ bak dan dilengkapi aerasi untuk mensuplai oksigen. Setiap wadah diisi sebanyak 1 ekor. Pakan komersil diberikan sebanyak 2 % dari bobot tubuh dan diberikan 2 kali sehari. Udang uji terlebih dahulu diadaptasikan dalam wadah akuarium selama 1 malam sebelum diinfeksi dengan V. harveyi. Uji Tantang dengan Bakteri V. harveyi Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 2 perlakuan dan 4 ulangan (1 ulangan digunakan untuk melihat sintasan). Perlakuan yang diujikan pada penelitian ini adalah: A : udang windu yang membawa marker tahan penyakit yang dipapar V. harveyi (106 CFU/mL) B : udang windu kontrol yang dipapar V. harveyi (106 CFU/mL) Isolat V. harveyi diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan, BPPBAP Maros yang telah diuji secara biokimia dan identifikasi molekuler berdasarkan sequensing 16S rRNA oleh Kadriah (2012). Infeksi dilakukan dengan cara menyuntikkan V. harveyi masing-masing sebanyak 0,1 mL/ekor. Konsentrasi bakteri yang disuntikkan adalah 106 CFU/mL, mengacu pada uji patogenisitas yang telah
Page 992 of 1000
Page 2 of 9
977
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
dilakukan oleh Kadriah (2012). Bakteri disuntikkan pada bagian abdominal (intra-muscular) segmen ke dua menggunakan jarum suntik volume 1 mL (26’’ gauge). Sebagai pembanding, disiapkan 1 wadah untuk kontrol negatif, yakni udang windu kontrol yang diinjek dengan larutan fisiologis steril. Hewan uji kemudian dipelihara dan diamati morfologi, munculnya bercak hitam pada karapak/ melanisasi hingga matinya hewan uji. Untuk pengamatan respon imun dilakukan pengambilan sampel hemolim pada hari ke-1, -2, dan -6 setelah infeksi. Pada akhir penelitian, dilakukan pengambilan sampel otot/daging untuk diekstraksi DNAnya. Ekstraksi Genom DNA Daging udang diambil sebanyak 25-50 mg/ekor, kemudian dipreservasi dengan 250 µL Buffer TNES-Urea dalam tabung eppendorf 1,5 mL (Asahida et al., 1996). Ekstraksi genom DNA dilakukan menggunakan metode Fenol-Klorofom yang telah dikembangkan pada ikan kerapu oleh Parenrengi et al. (2010). Analisis Marker DNA Mikrosatelit Tahan Penyakit Amplifikasi fragmen dari sekuen mikrosatelit dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan primer spesifik MsatPm-F (5’ GAT CAT CAT CAT CGG CTG TTT 3’) dan MsatPm-R (5’ TAA AAA TAC ACC GAT GAA AGG 3’) (Tenriulo et al., 2011). Reaksi PCR menggunakan RTG-PCR beads. Genom DNA sebagai templat sebanyak 1 ng dicampur dengan masing-masing 1,0 µM primer forward dan reverse, PCR dikondisikan dengan: Pre-denaturasi 94 oC selama 3 menit, diikuti 35 siklus (denaturasi 94 oC 30 detik, annealing 54oC 30 detik, ekstensi 72oC selama 1 menit), dan ekstensi akhir 72oC selama 3 menit. Hasil PCR selanjutnya dipisahkan dengan menggunakan teknik elektroforesis. Untuk melihat keberhasilan amplifikasi fragmen DNA target, 1 µl hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 3 % pada tegangan 50 Volt selama 2 jam dan didokumentasi dengan Gel Documentation System. Berat molekul fragmen DNA ditentukan dengan menggunakan penanda Low Range DNA Analisis mikrosatelit yang akan digunakan mengacu pada metode yang telah dikembangkan oleh Mukherjee & Mandal (2009). Untuk mengetahui udang windu yang resisten dilakukan analisis keberadaan fragmen pada posisi 317 bp saja, tetapi udang yang tidak resisten memiliki indikator keberadaan fragmen mikrosatelit baik pada posisi 317 bp maupun pada posisi 71 bp. Analisis Respon Imun Respon ketahanan udang windu diamati melalui pengamatan kelangsungan hidup, dan analisis gambaran darah melalui pengamatan respon imun, meliputi total sel hemosit dan aktivitas PO (prophenol-oxydase). Pengambilan sampel hemolim untuk analisis PO dan total sel hemosit dilakukan pada hari ke-1, -2, dan -6 hari setelah injeksi. Pengamatan total sel hemosit dilakukan dengan cara pengambilan hemolim sebanyak 0,1 mL dibagian pangkal kaki jalan ke-5 dengan menggunakan syringe volume 1 mL yang telah diberi antikoagulan (3,8% Na-sitrat) sebanyak 0,3 mL. Sampel selanjutnya dihomogenkan selama 5 menit, kemudian hemolim diteteskan ke haemositometer untuk penghitungan jumlah sel per mL di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x. Penentuan jumlah sel dilakukan dengan mengacu pada rumus yang telah dikembangkan oleh Blaxhall & Daishley (1973). Aktifitas phenoloksidase diukur menggunakan spektrofotometer, dengan melihat pembentukan dopachrome yang dihasilkan dari L-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA). Hemolim sebanyak 0,1 mL ditambahkan dengan antikoagulan 0,9 mL disentrifugasi dengan kecepatan 700 x g pada suhu 4 oC selama 20 menit. Cairan supernatan dibuang dan pelet ditambahkan dengan 1 mL cacodylate-citrate buffer (sodium cacodylate 0,01 M, sodium clorida 0,45 M, trisodium citrate 0,1 M, pH 7,0), kemudian disentrifugasi ulang pada kondisi yang sama. Pelet yang terbentuk ditambahkan 200 µL cacodylate buffer (sodium cacodylate 0,01 M, sodium chlorida 0,45 M, calcium chloride 0,01 M, magnesium chloride 0,26 M, pH 7,0). Larutan kemudian dibagi dua, yakni larutan pertama sebanyak 100 µL diinkubasi selama 10 menit pada suhu 25oC dengan 50 µL trypsin (1 mg mL-1) sebagai elicitor. LDOPA sebanyak 50 µL ditambahkan dan 5 menit kemudian ditambahkan lagi 800 µL cacodylate buffer. Larutan kedua sebanyak 100 µL suspensi sel ditambahkan 50 µL cacodylite buffer (untuk
Page 993 of 1000
Page 3 of 9
Respons imun udang windu yang membawa marker ..... (Andi Tenriulo)
978
menggantkan trypsin) dan 50 µL L-DOPA dan digunakan sebagai kontrol untuk background aktivitas phenol-oksidase pada semua kondisi uji. Analisis Data Hasil pengamatan marker DNA dianalisis secara deskriptif. Data hasil pengukuran respon imun dinyatakan dalam nilai rata-rata ± StDev. Total hemosit dan aktivitas phenoloksidase setelah uji tantang V. harveyi dilakukan melalui analisis uji T program SPSS 16. HASIL DAN BAHASAN Hasil analisis DNA mikrosatelit penanda udang windu tahan penyakit dari udang windu yang membawa marker tahan penyakit menunjukkan adanya pita tunggal pada posisi sekitar 338 bp, sedangkan pada udang kontrol memiliki dua pita yaitu pada posisi sekitar 338 bp dan 50 bp (Gambar 1). Sejalan dengan Mukherjee and Mandal (2009) yang telah mengamati dua populasi udang windu yang tahan dan tidak tahan terhadap penyakit WSSV melaporkan pada populasi tahan penyakit hanya ditemukan satu pita DNA mikrosatelit pada 317 bp, dan pada populasi tidak tahan penyakit terdapat sebuah tambahan DNA band of 71 bp. pada 71 bp. Walaupun ada perbedaan panjang basa yang kemungkinan disebabkan karena penggunaan primer yang berbeda, namun karena perbedaannya sedikit dan profil DNAnya sangat mirip maka diyakini bahwa gen tersebut merupakan penanda ketahanan penyakit pada udang windu. Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tenriulo et al., (2011), dilaporkan bahwa marker DNA mikrosatelit tahan penyakit pada udang yang hidup dan yang mati setelah dipapar dengan V.harveyi mempunyai similaritas 99% dengan sekuen DNA udang tahan penyakit yang terdapat di Bank Gen.
1
2
3
4
5
6
7
8
M 300 bp
50 bp
analisis DNA mikrosatelit penanda tahan penyakit pada udang windu
Gambar 1. Hasil analisis DNA mikrosatelit penanda tahan penyakit pada udang windu kontrol (1-4), dan yang tahan penyakit (5-8) setelah dipapar dengan bakteri V.harveyi, M (geneRuler Low Range DNA). Tanda panah menunjukkan posisi fragmen DNA target Keberadaan dua pita pada udang windu yang mati mengindikasikan bahwa udang tersebut tidak tahan terhadap penyakit. Tidak jelas mengapa alel 50 bp ada dalam populasi udang yang kontrol, namun alel 50 bp ini kemungkinan mempunyai peranan penting bagi perkembangan penyakit baik integrasi ataupun menyebabkan gangguan urutan dari gen (Dale & Schantz, 2002) Hasil penelitian awal (observasi) menunjukkan udang windu yang telah diinfeksi dengan bakteri V. harveyi memperlihatkan perubahan tingkah laku maupun morfologi. Perubahan ini berupa penurunan aktivitas, penurunan respon pakan, dan kemerahan pada ruas tubuh, udang berenang ke arah permukaan air atau mendekati aerasi, dan hepatopankreas memucat hingga munculnya bercak-bercak hitam. Setelah 24 jam respon udang mulai terlihat berbeda dimana udang yang membawa marker tahan penyakit terlihat mulai aktif berenang dan bercak yang hitam mulai menghilang, sedangkan bercak pada udang kontrol terlihat cenderung meluas (Gambar 2). Hasil ini sejalan dengan pengamatan
Page 994 of 1000
Page 4 of 9
979
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
visual terhadap udang tahan penyakit larva udang galah yang diinfeksi bakteri V. harveyi selama 48 jam (Evan, 2009), menunjukkan gejala stress seperti nafsu makan rendah terlihat dari kurang responsif terhadap artemia, berenang tanpa arah, hepatopankreas terlihat pucat dan hancur, serta sampai terjadi perubahan warna tubuh dari transparan menjadi putih pucat. Hal yang sama dilaporkan Nasi et al. (2011) bahwa udang yang terserang vibriosis menunjukkan gejala yang terlihat seperti punggung kehitam-hitaman, bercak merah pada pangkal sirip, sisik tegak, bergerak lamban, keseimbangan terganggu, dan nafsu makan berkurang. Tanda-tanda klinis dari penyakit vibriosis adalah udang menjadi lemah dalam pergerakannya, terjadi nekrosis, pertumbuhannya terhambat, larva udang mengalami keterlambatan dalam metamorfosis serta malformasi tubuhnya, pada keadaan gelap udang tampak seperti bercahaya (bioluminescence), usus udang kosong dan udang mengalami anoreksia (Karunasagar et al., 1994; Robertson et al., 1998).
A
B
Gambar 2. Udang uji yang mengalami nekrosis (panah) akibat infeksi bakteri pada udang tahan penyakit (A) dan kontrol (B) Total hemosit udang tahan penyakit setelah diinfeksi tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan dengan udang kontrol kecuali pada hari ke-6 setelah infeksi. Total hemosit yang didapatkan pada pengamatan hari ke-1, -2, dan -6 pada udang windu tahan penyakit adalah 1,18, 1,21 dan 1,94 (x 107 sel/mL) sedangkan pada kontrol adalah 0,185, 1,212, dan 0,586 (x 10 7 sel/mL). Pada udang tahan penyakit terlihat pola nilai total hemosit yang meningkat pada hari ke-2 sedangkan pada udang kontrol menurun hingga hari ke-6 (Gambar 3). Hasil ini sejalan dengan pola total hemosit pada udang transgenik setelah ditantang dengan bakteri V.harveyi yang menunjukkan adanya kecenderungan total sel hemosit udang windu berkurang setelah ditantang dengan bakteri patogen (Parenrengi et al., 2013), dimana total sel hemosit yang didapatkan pada pengamatan awal, hari ke-1, -3, dan -6
Total Hemosit (log sel/mL)
8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 Marker
3,000
Kontrol
2,000 1,000 0,000 Hari 1
Hari 2
Hari 6
Hari setelah infeksi
Gambar 3. Total hemosit udang windu yang dipapar dengan V. harveyi
Page 995 of 1000
Page 5 of 9
Respons imun udang windu yang membawa marker ..... (Andi Tenriulo)
980
pada udang windu normal adalah 0,37, 0,53, 1,13, 0,32 (x 10 7 sel/mL), sedangkan pada udang transgenik adalah 0,62, 0,27, 1,57 dan 1,20 (x 107 sel/mL). Kanagu et al. (2010) melaporkan pemberian Vitamin C, E dan â-1,3 glucan dapat meningkatkan total hemosit udang windu masing-masing menjadi 17x106, 15x106 dan 18x106 sel/mL Total hemosit ini cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Braak (2002) yaitu bahwa total hemosit udang windu (P. monodon) adalah 5,09±1,77x107 sel/mL. Kemampuan udang windu memperbanyak sel hemosit menunjukkan adanya kemampuan dari udang tersebut untuk melakukan perlawanan terhadap serangan bakteri patogen V. harveyi. Tampangallo et al. (2011) juga telah menjadikan total sel hemosit pada hemolim udang windu sebagai indikator respon imun setelah dipapar dengan bakteri V. harveyi, dimana total hemosit udang windu yang dipapar bakteri V. harveyi sebanyak 106, 104 dan 102 CFU/mL adalah masin-masing 2,0x107 sel/mL; 9,74 x106 sel/mL dan 7,23x106 sel/mL. Total hemosit dapat mempengaruhi kemampuan inang untuk bereaksi melawan bahan asing dan berbagai respon terhadap infeksi, sehingga total hemosit udang yang rendah sangat rentan terhadap patogen sebaliknya total haemosit yang meningkat dapat menambah status kesehatan organsime karena berpeluang terbentuknya sel-sel fagositik yang sangat berperan dalam mengendalikan serangan mikroorganisme (Johansson et al., 2002)
Aktivitas phenoloxydase (unit)
Aktivitas phenoloksidase (PO) pada udang tahan penyakit tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan dengan udang kontrol kecuali pada hari ke-6. Pada udang tahan penyakit, nilai aktivitas PO yang didapatkan pada pengamatan hari ke-1, -2, dan -6 adalah 0,071, 0,030, dan 0,040, sedangkan pada kontrol adalah 0,095, 0,036, dan 0,022. Aktivitas phenoloksidase pada udang tahan penyakit mengalami penurunan pada hari ke-2 , dan meningkat di hari ke-6, sedangkan kontrol mengalami penurunan hingga akhir pengamatan (Gambar 4). Karena sampel yang dianalisa dalam kegiatan ini sedikit, maka dilakukan resampling dengan metode bootstrap. Pola yang sama dilaporkan oleh Parenrengi et al. (2013) dimana aktivitas PO pada udang transgenik mengalami penurunan pada hari ke-3, kemudian meningkat dan berbeda nyata pada hari ke-6 dengan udang non-transgenik. 0,200 0,150 0,100
Marker Kontrol
0,050 0,000 Hari 1
Hari 2 Hari 6 Hari setelah infeksi
Gambar 4. Aktivitas phenoloxydase udang windu yang dipapar dengan V. harveyi Phenoloksidase merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh humoral krustase (Flegel & Sritunyalucksana, 2011). Menurut Braak (2002), kinerja sistem pertahanan tubuh terpusat pada sistem proPO. Enzim proPO dikonversi menjadi enzim fenoloksidase (PO) dengan bantuan enzim yang mengaktifkan profenoloksidase, prophenoloxidase activating enzyme (ppA). Enzim PO mengkatalisis oksidasi fenol menjadi kuinon, yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya melanisasi ditandai dengan pembentukan warna bercak gelap di bawah kulit. Enzim ini juga akan merangsang aktifnya reaksi biologis seperti fagositosis, enkapsulasi dan nodulasi (Rodriquez & Le Moullac, 2000; Sritunyalucksana & Söderhäll, 2000; Vargas-Albores & Yepiz-Plascencia, 2000 dalam Braak, 2002).
Page 996 of 1000
Page 6 of 9
981
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
KESIMPULAN Seleksi udang windu tahan penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan marker DNA mikrosatelit ketahanan penyakit sebagai MAS. Total hemosit dan aktivitas phenoloksidase pada udang windu yang membawa marker DNA mikrosatelit tahan penyakit cenderung meningkat setelah dipapar bakteri patogen V. harveyi, dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-6 setelah infeksi UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai oleh APBN dari DIPA Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, Tahun Anggaran 2013. Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh staf peneliti dan teknisi Laboratorium Bioteknologi dan Laboratorium Patologi BRPBAP Maros, yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR ACUAN Asahida, T., Kobayasshi, K. Saitoh. And I. Nakayama. 1996. Tissue preservation and total DNA extraction from fish sore at ambient temperature using buffer containing high concentration of urea. Fisheries Sciences, 62(5): 727-730. Atmomarsono M., 2004. Pengelolaan kesehatan udang windu, Penaeus monodon di tambak. Akuakultura Indonesiana 5(2):73-78. Austin, B. and XH Zhang. 2006. Vibrio harveyi : A Significant Pathogen of Marine Vertebrates and Invertebrates. Lett. Appl. Microbiol, 43:119–124. Baticados, M.C.L., Lavilla-Pitogo, C.R., Cruz-Lacierda, E.R., Pena, de la NA dan Sunaz. 1990. Studies on the Chemical Control of Luminous LD Bacteria Vibrio harveyi and V. Splendidus Isolated from Diseased Penaeus monodon Larvae and Rearing Water. Diseases of Aquatic Organism, 9: 133-139. Braak, K. Van den. 2002. Haemocytic Defence in Black Tiger Shrimp (Panaeus monodon). PhD thesis, Wageningen University – with ref. – with summary in Dutch. Nedherlands. 159 pages. Ben Haim, Y., Thompson, F.L., Thompson, C.C., Cnockaert, M.C., Hoste, B., Swings, J. dan Rosenberg, E. (2003). Vibrio coralliilyticus sp. nov., a Temperature-Dependent Pathogen of the Coral Pocillopora Damicornis. Int J Syst Evol Microbiol, 53: 309–315. Blaxhall, P.C., & Daysley, K.W. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. Journal of Fish Biology 5:577-581. Dale, J.W., and Schantz, M,V. 2002. From Genes to Genom. University of Surrey, UK. 360 p Destoumieux, D., Bulet, P., Strub, J.M., Dorsselaer, A. and Bachere, E. 1999. Recombinant Expression and Range of Activity of Penaeidins, Antimicrobial Peptides from Penaeid Shrimp. Eur. J. Biochemical. 266 : 335-346. Evan, Y. 2009. Uji ketahanan beberapa strain larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) terhadap bakteri Vibrio harveyi. Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Flegel, T.W. dan Sritunyalucksana, K. 2011. Shrimp Molecular Responses to Viral Pathogens. Journ. Marine Biotechnology. 13:587-607. Guevara LIP, Meyer ML. 2006. Detailed monitoring of white spot syndrome virus (WSSV) in shrimp commercial ponds in Sinaloa, Mexico by nested PCR. Aquaculture 251:33-45. Gunarto dan Mansyur, A. 2010. Penambahan Tepung Tapioka Pada Budidaya Udang Penaeid di Tambak. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Johansson, M.W., Keyser, P., Sritunyalucksana, K., & Soderhall, K. 2002. Crustacean haemosytes and haemotopoiensis. Aquaculture 191:45-92. Kadriah, I.A.K. 2012. Analisis Keragaman Morfologi, Fisiologi dan Genetik serta Uji patogenitas Isolatisolat Vibrio sp. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 127 hal. Kanagu, L., Senthilkumar, P., Stella, C. And Jaikumar, M. 2010. Effect of Vitamins C and E and â-1,3 Glucan as Immunomodulators in P. monodon Disease Management.
Page 997 of 1000
Page 7 of 9
Respons imun udang windu yang membawa marker ..... (Andi Tenriulo)
982
Karunasagar, I, R Pai, GR Malathi dan Karunasagar, I. 1994. Mass Mortality of Penaeus monodon Larvae Due to Antibiotic-Resistant Vibrio harveyi Infection. Aquaculture, 128: 203–209. Kim, D.K., Jang, I.K., Seo, H.C., Shin, S.O., Yang, S.Y. dan Kim, J.W. 2004. Shrimp Protected from WSSV Disease by Treatment with Egg Yolk Antibodies (IgY) Againt a Truncated fusion Protein Derivated from WSSV. Aquaculture, 237:21-30. Mukherjee K, Mandal N. 2009. A microsatellite DNA marker developed for identifying diseases-resistant population of giant black tiger shrimp, Penaeus monodon. J. World Aquaculture Society 40:274280. Moriarty, D.J.W. 1998. Control of Luminous Vibrio Species in Penaeid Aquaculture Ponds. Aquaculture, 168: 351-358. Nasi L,. Slamet Budi P. dan Sarjito. 2011. Kajian Bakteri Penyebab Vibriosis Pada Udang Secara Biomolekuler. Jurnal. Hal: 12-13. Yogyakarta Parenrengi, A., Alimuddin, Sukenda, Sumantadinata, K., Yamin, M., & Tenriulo, A. 2009. Cloning of ProAV Promoter Isolated From Tiger Prawn Penaeus monodon. Indonesian Aquaculture J. 4:1(1-13). Parenrengi, A.,Tenriulo, A., Tampangallo,B.R dan Lante, S. 2013. Immune response of Penaeus monodon Tiger Shrimp were exposed to the bacteria Vibrio harveyi. Laporan karya tulis ilmiah (KTI) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Paya Maros, 14 hal Parenrengi, A. 2010. Peningkatan Resistensi Udang Windu Penaeus monodon terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus Melalui Transfer Gen Penaeus monodon Antiviral. Desertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rantetondok, A., 2011. Penyakit dan Parasit Budidaya Ikan/Udang dan Pengendaliannya. Buku. Brilliant Internasional. Surabaya. 132 hal. Robalino, J., Browdy, C.L., Prior, S., Metz, A., Parnell, P., Gross, P., dan Warr, G. 2004. Induction of Antiviral Immunity by Doublestranded RNA in a Marine Invertebrata. Jour. of Virology. 78(19):10442 – 10448. Sathish S, Selvakkumar C, Hameed ASS, and Narayanan RB. 2004. 18-kd protein as a penanda to detect WSSV infection in shrimps. Aquaculture 238:39-50. Tampangallo, B.R. dan Susianingsih, E. 2011. Total Hemosit Udang Windu (P. monodon) yang Dipapar dengan Bakteri V. harveyi. Makalah disampaikan pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. DenpasarBali. Tenriulo, A., A. Parenrengi, Alimuddin. 2011. Pengembangan teknik identifikasi udang windu (Penaeus monodon) resisten penyakit menggunakan marker mikrosatelit DNA. Laporan karya tulis ilmiah (KTI) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 10 hal. Zhang, X.H. dan Austin, B. 2000. Pathogenicity of Vibrio harveyi to Salmonids. J. Fish Dis, 23: 93–102.
Page 998 of 1000
Page 8 of 9
983
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
DISKUSI
Nama Penanya: Joni Haryadi Pertanyaan: Sampel/udang di tempat yang tidak baik? Tanggapan: Kami uji di tempat yang baik, belum dilakukan di tempat yang lingkungannya tidak baik. Nama Penanya: Alimudin Pertanyaan: Respon terhadap haemocyte dan mekanisme marker terhadap daya tahan udang? Tanggapan: Total haemocyte dijadikan parameter karena haemocyte merupakan pengendali pusat dan pertahanan udang. Untuk membuktikan denan udang yang tidak membawa marker microsatellite. Nama Penanya: Melta Rini Fahmi Pertanyaan: Pembacaan microsatellite seperti membaca strand dna biasa. Tanggapan: Sekuen sudah dilakukan dan dikomparasi dengan bank gen dan simularitasnya mencapai 95%. Nama Penanya: Heni dari Charoen Pokphand Pertanyaan: Respon imun udang ada banyak cara pengujian, kenapa tidak dilakukan uji lain seperti SR? Yang dimaksud dengan udang tahan/tidak? Pada treatment ada kenaikan dibandingkan kontrol? Tidak dilakukan pada stage dimana rawan seragam bakteri? Tanggapan: Uji lain sudah dilakukan namun ditulis dalam makalah yang berbeda. Udang dapat mempertahankan dari serangan bakteri dimana sistem numoralnya bekerja dan mampu recovery sedangkan yang tidak berarti metabolismenya tidak bagus sehingga tidak tahan. Mencoba melihat di ukuran besar dengan metode injeksi langsung bukan perendaman seperti di stadia juvenil dan mendeteksi individu yang membawa marker.
Page 999 of 1000
Page 9 of 9