PENINGKATAN RESISTENSI UDANG WINDU Penaeus monodon TERHADAP PENYAKIT WHITE SPOT SYNDROME VIRUS MELALUI TRANSFER GEN Penaeus monodon ANTIVIRAL
ANDI PARENRENGI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Peningkatan Resistensi Udang Windu Penaeus monodon Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus Melalui Transfer Gen Penaeus monodon Antiviral” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2010
Andi Parenrengi NIM C161070061
ABSTRACT ANDI PARENRENGI. The Improvement of Tiger Shrimp Diseases Resistance against White Spot Syndrome Virus by Transfer of Penaeus monodon Antiviral Gene. Under direction of KOMAR SUMANTADINATA, ALIMUDDIN, and SUKENDA. Shrimp is one of the most important species in aquaculture. Tiger shrimp Penaeus monodon, an indigenous crustacean species in Indonesia, has been widely reared in brackish water pond. During the last decade, the worldwide shrimp culture was greatly puzzled by diseases caused by viruses and suffered significant economic losses. White spot syndrome virus (WSSV) is the most threatening infectious agent in shrimp aquaculture. Production of diseases-resistant shrimp by genetic manipulation is an alternative way to elucidate the problem. Therefore, the aim of this study was to improve the shrimp resistance to WSSV by introducing an antiviral gene isolated from tiger shrimp P. monodon. ProAV promoter and cDNA of PmAV antiviral gene were isolated from tiger shrimp using PCR and RT-PCR methods, respectively. The results showed the success in isolating the tiger shrimp ProAV promoter sequence of 368 bp in length. BLAST-N analysis showed that the promoter has high similarity (95-98%) compared with the other promoters presented in the GeneBank. The existence of the important transcription factors in promoter regulation such as TATA box, MRE, TCF-1, SP-1, GAL-4, and GATA-1 were identified in the promoter. The PmAV antiviral cDNA of 513 bp in length that consists of 170 amino acid residues has also been successfully isolated from tiger shrimp. BLAST-N analysis showed the high similarity (100%) compared with the other antiviral genes deposited at the GeneBank. Amino acid deduction analysis (BLAST-P) of PmAV cDNA revealed a C-type lectin-like domain (CTLD) that is similar with the C-type lectin gene isolated from several crustacean species. Furthermore, the isolated ProAV and PmAV sequences were ligated to pEGFP-N1 and pBluescript-SK, respectively to construct pProAV-EGFP and pProAV-PmAV expression vectors. Expression vectors were transferred into embryos by transfection method using JetPEI reagent. ProAV promoter activity was determined by analyzing EGFP gene expression as a reporter using RT-PCR method. The result showed that ProAV promoter was able to drive EGFP gene expression on embryo and larvae of tiger shrimp. Transient EGFP expression analysis showed a similar pattern with the PmAV gene expression, where they started to express at 12 hours after transfection (hat), the peak expression level at 24 hat, and then decreased slightly at 30 hat. Thus, pProAV-PmAV was then constructed, and F0 transgenic shrimp was produced to examine the PmAV activity against WSSV infection. Result of challenge test showed that PmAV gene expression in F0 transgenic PL-25 was upregulated during WSSV infection, and over-expression of PmAV cDNA increased the survival rate of 24.5% in transgenic shrimp (95.6% survived) compared to the control shrimp (71.1% survived) against WSSV. The body weight and length of 1.5 months transgenic shrimp did not show significantly difference with the non-transgenic shrimp. Therefore, the use of transgenic shrimp over-expressing PmAV cDNA may be helpful to recovery Indonesian shrimp aquaculture. Keywords: promoter, antiviral gene, gene transfer, gene expression, tiger shrimp
RINGKASAN ANDI PARENRENGI. Peningkatan Resistensi Udang Windu Penaeus monodon Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus Melalui Transfer Gen Penaeus monodon Antiviral. Dibimbing oleh KOMAR SUMANTADINATA, ALIMUDDIN, dan SUKENDA. Udang windu Penaeus monodon merupakan salah satu spesies krustase lokal yang dikembangkan sebagai komoditas utama budidaya tambak di Indonesia. Sejak tahun 1990-an, budidaya udang windu mengalami berbagai kendala, baik akibat lingkungan perairan yang kurang mendukung maupun adanya serangan penyakit bakteri dan virus. Virus bintik putih (white spot syndrome virus, WSSV) merupakan penyebab utama berbagai kasus kematian udang windu, yang hingga kini belum dapat diatasi secara tuntas. Kasus penyakit udang akibat serangan virus tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara lain seperti India, Korea, Cina, dan Amerika. Penanggulangan penyakit pada budidaya udang windu telah dilakukan termasuk penggunaan antibiotik, vaksin, immunostimulan, dan teknologi seleksi. Meskipun demikian, metode tersebut memiliki kelemahan, antara lain: dapat menyebabkan berkembangnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, residu antibiotik memberikan dampak negatif pada lingkungan akuatik, pemberian vaksin dan imunostimulan harus dilakukan setiap siklus produksi, serta teknologi seleksi membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang relatif banyak untuk memproduksi keturunan udang tahan penyakit. Sebuah metode baru yang dikenal dengan istilah transgenesis diharapkan dapat mengatasi kelemahan metode sebelumnya. Organisme transgenik yang tahan terhadap patogen dapat diproduksi dengan mengintroduksi gen yang berperan dalam sistem imun dan gen penyandi protein imunogenik dari patogen. Pada penelitian ini dilakukan introduksi gen penyandi protein antivirus udang windu (Penaeus monodon antiviral gene, PmAV) dengan tujuan untuk menghasilkan udang windu yang memiliki resistensi yang tinggi terhadap penyakit virus khususnya WSSV. Dalam rangkaian penelitian untuk memproduksi udang windu transgenik, sebagai tahap awal dilakukan isolasi, karakterisasi, dan kloning promoter antivirus ProAV dan cDNA gen antivirus PmAV dari udang windu sebagai penyusun konstruksi gen yang akan diintroduksi. Sekuen nukleotida promoter dan gen antivirus hasil isolasi dianalisis menggunakan program Genetyx Versi 7 untuk mendapatkan kemiripan (similaritas) sekuen, deduksi asam amino, dan keberadaan motif faktor transkripsi. Analisis kemiripan gen dilakukan melalui penyejajaran (alignment) sekuen pada Bank Gen menggunakan basic local alignment search tool (BLAST-N untuk sekuen nukleotida dan BLAST-P untuk sekuen deduksi asam amino). Sekuen promoter ProAV hasil isolasi selanjutnya diligasi dengan gen EGFP (enhanced green fluorescent protein) sebagai penanda untuk membuat konstruksi gen pProAV-EGFP yang digunakan dalam analisis aktivitas promoter ProAV. Konstruksi gen yang kedua, yaitu pProAVPmAV dibuat dengan menyambungkan promoter ProAV dan cDNA PmAV yang digunakan untuk memproduksi udang transgenik keturunan nol (F0) dan analisis ekspresi gen antivirus pada embrio dan larva. Konstruksi gen pProAV-EGFP ditransfer ke embrio udang windu menggunakan metode transfeksi dengan larutan jetPEI. Aktivitas promoter ProAV diketahui dengan mengamati ekspresi gen penanda EGFP pada embrio dan larva udang windu. Ekspresi gen EGFP dianalisis secara berkala, yakni 12, 18, 24, dan 30 jam setelah transfeksi (jst) menggunakan UV- transilluminator dan metode RT-PCR. Selanjutnya, konstruksi gen pProAV-PmAV ditransfer ke embrio udang windu menggunakan metode yang sama dengan pProAV-EGFP. Ekspresi gen PmAV juga dianalisis menggunakan metode RT-PCR pada rentang waktu sama dengan yang dilakukan pada gen EGFP. Pengamatan performa udang transgenik F0 dilakukan dengan cara uji tantang dengan virus WSSV untuk melihat kelangsungan hidup larva dan pola ekspresi transgen PmAV, serta bobot dan panjang tubuh udang. Data ekspresi gen EGFP dan PmAV dianalisis secara deskriptif. Data kelangsungan hidup udang windu dianalisis ragam (ANOVA) menggunakan program Statistix Versi 3.0 dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa promoter ProAV berhasil diisolasi dari udang windu dengan panjang sekuen 368 bp. Analisis BLAST-N memperlihatkan bahwa promoter ProAV memiliki kemiripan yang tinggi (95-98%) dengan sekuen promoter udang windu referensi pada Bank Gen. Keberadaan motif faktor transkripsi yang berperan penting dalam regulasi promoter, misalnya kotak TATA, MRE, TCF-1, SP-1, GAL-4, dan GATA-1 telah diidentifikasi pada sekuen
promoter tersebut. Keberadaan faktor transkripsi tersebut berimplikasi bahwa promoter tersebut memiliki potensi besar dalam mengatur gen target. Seperti halnya dengan promoter ProAV, cDNA gen antivirus PmAV juga berhasil diisolasi dari udang windu dengan panjang sekuen 513 bp yang mengkodekan 170 asam amino. Analisis BLAST-N menunjukkan bahwa cDNA hasil isolasi identik (100%) dengan gen antivirus dari udang windu yang ada di Bank Gen. Komposisi asam amino penyusun gen PmAV yang paling besar adalah serina (10,00%), sedangkan yang terkecil adalah asam amino prolina dan lisina masing-masing 1,76%. Analisis sekuen deduksi asam amino (BLAST-P) memperlihatkan adanya C-type lectin-like domain (CTLD) yang memiliki kemiripan dengan gen C-type lectin yang diisolasi dari beberapa spesies krustase. Dua konstruksi gen berhasil dibuat, yakni konstruksi gen pProAV-EGFP pada vektor pEGFP-N1, dan pProAV-PmAV pada vektor pBluescript-SK. Transfer gen EGFP dan antivirus PmAV ke embrio udang windu telah berhasil dilakukan dengan menggunakan metode transfeksi. Penggunaan larutan jetPEI dan DNA plasmid tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap derajat penetasan telur udang windu. Hasil tersebut berimplikasi bahwa penggunaan larutan jetPEI dan DNA plasmid dari konstruksi gen tidak berbahaya bagi kelangsungan hidup embrio udang windu. Uji aktivitas promoter menunjukkan bahwa promoter ProAV memperlihatkan aktivitas dalam mengatur gen EGFP pada embrio dan larva udang windu. Ekspresi gen EGFP pada embrio dan larva udang windu mulai terlihat 12 jam setelah transfeksi (jst), dan mencapai puncak ekspresi pada 24 jst, dan selanjutnya tingkat ekspresi gen menurun pada pengamatan 30 jst. Hasil tersebut menunjukkan bahwa promoter ProAV hasil isolasi adalah aktif dan dapat digunakan dalam upaya pengembangan udang windu transgenik dengan menggunakan gen target yang diinginkan. Ekspresi gen antivirus PmAV memperlihatkan pola yang serupa dengan ekspresi gen EGFP. Ekspresi gen antivirus PmAV mulai terlihat pada pengamatan 12 jst dan selanjutnya meningkat sampai mencapai puncak pada 24 jst dan kemudian terjadi penurunan tingkat ekspresi pada 30 jst. Persentase udang windu yang membawa transgen PmAV berkisar antara 37,5-75,0%. Ekspresi gen antivirus PmAV meningkat (up-regulated) ketika udang windu transgenik F0 ditantang dengan WSSV, dimana tingkat ekspresi gen antivirus meningkat sejak 6 jam sampai dengan hari ke-4, dan selanjutnya menurun pada hari ke-5 setelah uji tantang. Pada udang nontransgenik, ekspresi gen PmAV meningkat pada hari pertama, kemudian melemah sejak hari ke-2 setelah uji tantang sampai dengan akhir penelitian. Hasil uji tantang dengan virus WSSV menunjukkan bahwa udang windu transgenik F0 memperlihatkan resistensi (kelangsungan hidup 95,6%) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan udang kontrol non-transgenik (kelangsungan hidup 71,1%). Pengamatan berat dan panjang total tubuh udang windu transgenik umur 1,5 bulan tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) dengan udang windu non-transgenik (kontrol).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENINGKATAN RESISTENSI UDANG WINDU Penaeus monodon TERHADAP PENYAKIT WHITE SPOT SYNDROME VIRUS MELALUI TRANSFER GEN Penaeus monodon ANTIVIRAL
ANDI PARENRENGI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji pada Ujian Tertutup
: Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Ir. Endhay Kusnendar Kontara, M.S. Dr. Ir. Utut Widyastuti, M.Si.
Judul Disertasi
:
Peningkatan Resistensi Udang Windu Penaeus monodon Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus Melalui Transfer Gen Penaeus monodon Antiviral
Nama
:
Andi Parenrengi
NIM
:
C161070061
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc. Ketua
Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S.
Tanggal Ujian: 7 Juni 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah teknologi transgenesis pada udang, dengan judul Peningkatan Resistensi Udang Windu Penaeus monodon Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus Melalui Transfer Gen Penaeus monodon Antiviral. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2008 sampai dengan bulan Desember 2009 di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Maros, Sulawesi Selatan dan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), di Bogor. Dua Bab dari disertasi ini merupakan pengembangan dari naskah yang telah dipublikasikan di jurnal ilmiah terakreditasi A. Bab II telah diterbitkan di Indonesian Aquaculture Journal 4(1):1-7, tahun 2009 dengan judul Cloning Of ProAV Promoter Isolated From Tiger Prawn Penaeus monodon, sedangkan Bab III telah diterbitkan di Jurnal Riset Akuakultur 4(1):1-13, tahun 2009 dengan judul Karakteristik Sekuen cDNA Pengkode Gen Anti Virus dari Udang Windu, Penaeus monodon. Selain itu, sebagian hasil penelitian telah dipresentasikan pada Workshop Jaringan Perbenihan dan Pemuliaan Induk Ikan, pada tanggal 5-8 Agustus 2009 di Yogyakarta, dan Bab IV telah dipresentasikan pada Forum Inovasi Akuakultur Indonesia (FITA) pada tanggal 20-23 April 2010 di Bandar Lampung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing: Bapak Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc., Bapak Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc., dan Bapak Dr. Ir. Sukenda, M.Sc., atas segala bimbingan dalam penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, dan penulisan disertasi. Kepada Bapak Prof. Dr. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. dan Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc. sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Bapak Dr. Ir. Endhay Kusnendar Kontara, M.S. dan Dr. Ir. Utut Widyastuti, M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, kami ucapkan terima kasih atas saran/kritik terhadap pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Munti Yuhana, S.Pi., M.Si. dan Ibu Dr. Dinamella Wahyuningrum, M.Si. selaku penguji luar pada ujian prakualifikasi program Doktor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah menyediakan beasiswa untuk program doktor (S3) di IPB. Di samping itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rachman Syah, M.S., Kepala BRPBAP Maros beserta seluruh staf yang telah menyediakan dukungan dana, fasilitas, dan motivasi selama pelaksanaan penelitian ini dan khususnya kepada Ibu Andi Tenriulo, S.Si., Bapak Ir. Syarifuddin Tonnek, M.S., dan Ibu Dra. Emma Suryati, M.Si. Ucapan terima kasih pula diucapkan kepada Prof. Dr. Enang Harris, M.S., ketua Program Mayor Ilmu Akuakultur dan seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, khususnya staf Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik. Ungkapan terima kasih yang mendalam disampaikan kepada ayahanda: H. Andi Mangumpara; ibunda: Hj. Andi Mukmin; mertua: Ir. H. Andi Abdul Rasjid
Batu dan Hj. Andi Mariyati; kakak: Andi Marhana, S.Si, Andi Mar’afiah, SE, M.Si, Ir. Andi Panggeleng, M.Si; adik: Andi Palesangi, ST; istri: Andi Rasmawaty Rasjid, SKM, M.Kes.; dan anak-anak tercinta: Andi Dhiya Aqilah Parasetia, Andi Muh. Ataillah Asyraf, dan Andi Alifiah Aldilah Islamiah; serta seluruh keluarga atas segala bantuan dana, doa, dan kasih sayangnya. Terima kasih secara khusus disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pasacasarjana IPB khususnya Mayor Ilmu Akuakultur Angkatan 2007: Ir. Usman, M.Si.; Ir. O.D. Hasan Subhakti, M.S.; Ir. Ahmad Ghufron Mustofa, M.S.; Ir. Mulyana, M.S.; Raden Roro Puji Sinarni Dewi, S.Pi., M.S.; Ir. Ilmiah, M.S.; Yulintine, S.Pi., M.Sc.; dan Hesti Wahyuningsih, S.Si., M.S. atas kebersamaan dan persahabatan selama menempuh studi di IPB, serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu dalam tulisan ini.
Semoga disertasi ini bermanfaat untuk kepentingan penelitian dan kemajuan ilmu pengetahuan. Bogor, Juli 2010
Andi Parenrengi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cakkela pada tanggal 18 Agustus 1967 sebagai putra keempat dari lima bersaudara dari pasangan ayah Andi Mangumpara dan ibu Andi Mukmin. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perikanan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar, dan lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Perikanan (Fisheries and Wildlife), di Universiti Putra Malaysia (UPM) di Malaysia, dan berhasil lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor diperoleh pada tahun 2007 pada Mayor Ilmu Akuakultur, dengan beasiswa dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan, dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penulis mulai bekerja sebagai peneliti di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol-Bali sejak tahun 1992. Pada tahun 1993, penulis pindah tugas ke Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Maros dan sampai saat ini, penulis telah meraih jabatan fungsional Peneliti Madya dalam bidang penelitian perbenihan, genetika, dan bioteknologi perikanan budidaya air payau. Selain itu, penulis pernah dipercayakan memangku jabatan struktural Kepala Sub Seksi Program di BRPBAP dari tahun 2003-2007. Penulis telah mempublikasikan karya ilmiah pada beberapa jurnal nasional dan internasional, serta berpartisipasi aktif pada berbagai kegiatan seminar misalnya sebagai presenter pada World Aquaculture Society (WAS) di Denpasar pada tahun 2005, dan World Ocean Conference (WOC) di Manado pada tahun 2009. Sebagai peneliti, penulis selalu berusaha meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dengan cara mengikuti training yang terkait, baik di dalam maupun di luar negeri, misalnya: The Quantitative Genetics to Aquaculture di Filipina (1995), Quantitative Genetics and Selection Breeding di Indonesia (1996), The Coastal Aquaculture Technology di Korea Selatan (2004), dan Fisheries and Aquaculture Development di Spanyol (2006).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………...…
xv
DAFTAR GAMBAR ……………………..…………………...……
xvi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….
xviii
DAFTAR ISTILAH …………………………………………………
xx
I
II
III
IV
PENDAHULUAN UMUM ....................................................
1
Latar Belakang .......................................................................
1
Kerangka Pemikiran ...............................................................
5
Tujuan dan Kegunaan .............................................................
7
Kebaruan Penelitian ..............................................................
7
ISOLASI DAN KARAKTERISASI PROMOTER GEN ANTIVIRUS DARI UDANG WINDU Penaeus monodon ....
8
Abstrak ..................................................................................
8
Abstract ..................................................................................
9
Pendahuluan ..........................................................................
9
Bahan dan Metode .................................................................
11
Hasil dan Pembahasan ...........................................................
19
Kesimpulan ............................................................................
24
ANALISIS SEKUEN cDNA GEN ANTIVIRUS DARI UDANG WINDU Penaeus monodon ...................................
25
Abstrak ..................................................................................
25
Abstract ..................................................................................
26
Pendahuluan ..........................................................................
26
Bahan dan Metode .................................................................
29
Hasil dan Pembahasan ...........................................................
32
Kesimpulan ............................................................................
41
AKTIVITAS PROMOTER ANTIVIRUS PADA UDANG WINDU Penaeus monodon MENGGUNAKAN GEN EGFP (ENHANCED GREEN FLUORESCENT PROTEIN) SEBAGAI PENANDA ...........................................................
42
Abstrak ..................................................................................
42
Abstract ..................................................................................
43
Pendahuluan ..........................................................................
43
Bahan dan Metode .................................................................
48
Hasil dan Pembahasan ...........................................................
50
Kesimpulan ............................................................................
57
EKSPRESI GEN ANTIVIRUS PADA EMBRIO DAN LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon ......................
58
Abstrak ..................................................................................
58
Abstract ..................................................................................
59
Pendahuluan ..........................................................................
59
Bahan dan Metode .................................................................
61
Hasil dan Pembahasan ...........................................................
65
Kesimpulan ............................................................................
75
VI
PEMBAHASAN UMUM .....................................................
76
VII
KESIMPULAN UMUM DAN SARAN ...............................
87
Kesimpulan Umum ..............................................................
87
Saran ......................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA ............................................................
88
V
VIII
LAMPIRAN ......................................................................................
99
DAFTAR TABEL Halaman 1
2 3
4
5
Similaritas sekuen promoter ProAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon dengan sekuen total gen antivirus PmAV pada Bank Gen (kode aksesi DQ641258-1) …............……….....
22
Similaritas sekuen gen antivirus PmAV udang windu P. monodon dengan gen antivirus pada Bank Gen ............................
34
Daya tetas embrio, jumlah telur berpendar, deteksi DNA dan cDNA pada udang windu P. monodon hasil transfeksi konstruksi gen pProAV-EGFP ......................................................................
53
Daya tetas embrio, deteksi DNA dan cDNA pada embrio dan larva udang windu P. monodon hasil transfeksi konstruksi gen pProAV-PmAV ............................................................................
68
Kelangsungan hidup larva udang windu P. monodon pada perlakuan uji tantang dengan WSSV ............................................
71
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Hasil elektroforesis DNA genom dan fragmen tunggal promoter antivirus ProAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon ....
19
Seleksi koloni putih-biru, cracking, dan plating klon bakteri pembawa promoter antivirus ProAV .............................................
20
Alignment sekuen promoter ProAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon dengan sekuen promoter dari Bank Gen (kode aksesi DQ641258-1) .......................................................
21
Distribusi motif faktor transkripsi pada sekeun promoter antivirus ProAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon .....
23
Hasil elektroforesis fragmen DNA gen antivirus PmAV yang diisolasi dari cDNA hepatopankreas udang windu P. monodon ..
32
Seleksi koloni putih-biru, cracking, dan plating klon bakteri pembawa gen antivirus PmAV .....................................................
33
Sekuen nukleotida dan deduksi asam amino penyandi gen antivirus PmAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon ....
35
Alignment deduksi asam amino gen antivirus PmAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon dengan asam amino yang ada pada Bank Gen .............................................................
37
9
Hasil analisis cracking dan PCR konstruksi gen pProAV-EGFP..
51
10
Konstruksi gen pProAV-EGFP yang digunakan dalam uji aktivitas promoter pada udang windu P. monodon .....................
51
Analisis DNA genom dan ekspresi gen EGFP pada udang windu P. monodon ..................................................................................
58
12
Hasil analisis cracking dan PCR konstruksi gen pProAV-PmAV..
66
13
Konstruksi gen pProAV-PmAV yang digunakan dalam transfeksi gen antivirus PmAV ke embrio udang windu P. monodon ..........
67
Ekspresi gen antivirus PmAV pada embrio dan larva udang windu P. monodon ......................................................................
68
Kelangsungan hidup larva udang windu P. monodon yang ditantang dengan WSSV ...............................................................
70
Ekspresi gen antivirus PmAV pada hepatopankreas larva udang windu P. monodon yang ditantang dengan WSSV .......................
73
Penampilan secara morfologi udang windu P. monodon transgenik (A) dan non-trangenik (B) umur 47 hari ....................
78
2 3
4 5 6
7 8
11
14 15 16
20
DAFTAR LAMPIRAN
1
Skema ekstraksi DNA genom udang windu menggunakan metode fenol kloroform ………………………...……...............
2
Skema purifikasi fragmen DNA dari gel menggunakan kit GF-1 Gel DN Recovery (Vivantis) ...............…………………………..
3
Seleksi koloni putih-biru untuk identifikasi transforman pada kloning ge (A), dan tanda panah pada inzet (B) menunjukkan bakteri koloni biru da koloni putih .............................................
4
Skema pelaksanaan kloning promoter ProAV dan gen antivirus PmAV p vektor pGEM-T Easy .................................................
5
Skema isolasi DNA plasmid dengan menggunakan kit GF-1 Plasmid DN Extraction (Vivantis) .............................................
6
Skema ekstraksi RNA total dan sintesis cDNA menggunakan kit ReadyGo You-Prime First Strand Beads dengan teknik Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ...
7
Skema pembuatan konstruksi gen pProAV-EGFP pada ……………………………………………......................
8
Bak konikal pemijahan induk udang windu volume 300 L yang dilengka dengan lubang diameter 15 cm (tanda panah) pada kedua sisi yang berlawanan, dengan pencahayaan menggunakan lampu pijar 5 Watt …....................................................................
9
Skema prosedur transfeksi gen ke embrio udang windu menggunakan l jetPEI ………………….………...………
10
Wadah percobaan transfeksi gen EGFP dan PmAV di Instalasi Pembeni BRPBAP di Barru (A), dan uji tantang larva dengan WSSV di Laborato Patologi BRPBP di Maros (B) …...........
11
Skema pembuatan konstruksi gen pProAV-PmAV pada vektor pBluescri . ...........................................................................
12
Perkembangan embrio udang windu P. monodon .........................
13
Pelaksanaan kloning promoter ProAV dan gen antivirus PmAV di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, FPIK-IPB .....................................................................................
14
Pengambilan sampel embrio dan larva udang windu pada malam (A siang (B) hari untuk analisis DNA genom dan ekspresi gen EGFP dan P serta penghitungan daya tetas larva udang windu ......................................................................................
vektor pEGFP
DAFTAR ISTILAH AFP BLAST-N BLAST-P bp cDNA CMV CRD CTLD DEPC DNA dsRNA EDTA EGFP GH GST-PAP IHNV IPTG jst/hat LB MAS MCS mRNA ORF PAMP PCR PmAV ProAV ProPEN PRR RFP RNA RT-PCR SD SDS SDW SPF SPR TF TSV-CP UTR WSSV YFP
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
anti-freeze protein basic local alignment search tool-nucleotide basic local alignment search tool-protein base pair complementary DNA cytomegalovirus carbohydrate-recognition domain C-type lectin-like domain diethylpyrocarbonate deoxyribonucleic acid double-stranded RNA ethylenediaminetetraacetic acid enhanced green fluorescent protein growth hormone glutathione-S-transferase-phagocytosis activating p infectious hematopoetic necrosis virus isopropanoltio-β-D-galaktopiranosida jam setelah transfeksi/hour after transfection Luria Bertani marker assisted selection multiple cloning site messenger RNA open reading frame pathogen-associated molecular pattern polymerase chain reaction Penaeus monodon antiviral promoter antivirus promoter penaeidin pattern recognition receptor red fluorescent protein ribonucleic acid reverse transcription-polymerase chain reaction standar deviasi sodium dodecyl sulfate sterile distilled water specific pathogen free specific pathogen resistance transcription factor taura syndrome virus-coat protein untranslated region white spot syndrome virus yellow fluorescent protein
I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Udang windu Penaeus monodon merupakan salah satu spesies krustase lokal yang dibudidayakan di tambak-tambak air payau di Indonesia dan telah menghasilkan devisa negara yang cukup signifikan. Meskipun demikian, sejak tahun 1990-an, budidaya udang windu mengalami berbagai kasus kematian, baik akibat lingkungan perairan yang kurang mendukung maupun adanya serangan penyakit bakteri dan virus. Sedikitnya 20 jenis virus penyebab penyakit pada budidaya udang telah dilaporkan (Zhang et al. 2004). Virus bintik putih merupakan jenis virus penyebab utama berbagai kasus kematian udang windu, yang dikenal sebagai penyakit white spot syndrome virus (WSSV) yang hingga kini belum dapat diatasi secara tuntas. Kasus penyakit virus WSSV tidak hanya terjadi di Indonesia (Atmomarsono 2004), tetapi juga terjadi di negara lain seperti India (Sathish et al. 2004; Rout et al. 2005), Korea (Kim et al. 2004), Cina (Zhan et al. 2004), dan Amerika (Galavis-Silva et al. 2004; Guevara & Meyer 2005). Berbagai upaya penanggulangan penyakit pada budidaya udang windu telah dilakukan misalnya penggunaan antibiotik atau bahan kimia. Kedua metode tersebut dapat menyebabkan berkembangnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Tendencia & Pena 2001) dan memberikan dampak negatif pada lingkungan akuatik serta residunya dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya (Reed et al. 2004). Upaya penanggulangan lainnya adalah pendekatan peningkatan ketahanan tubuh melalui penggunaan imunostimulan dan vaksin yang diharapkan dapat merangsang peningkatan kekebalan non-spesifik pada udang windu. Strategi peningkatan ketahanan tubuh melalui pemberian vaksin dan imunostimulan memiliki kelemahan seperti aplikasi harus dilakukan setiap siklus produksi. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah pendekatan genetik melalui teknologi seleksi yang ditujukan untuk meningkatkan resistensi udang terhadap patogen penyebab penyakit (Cock et al. 2009). Akan tetapi, metode perbaikan genetik melalui seleksi membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang relatif banyak. Sebuah metode baru yang dikenal dengan istilah teknologi transgenesis diharapkan dapat mengatasi kelemahan atau memperbaiki metode
2
sebelumnya. Teknologi transgenesis adalah suatu teknologi rekayasa gen dengan mengintroduksikan satu atau lebih DNA asing ke hewan uji dengan tujuan untuk memanipulasi genotipenya ke arah yang lebih baik dan selanjutnya dapat ditransmisikan ke keturunannya (Beaumont & Hoare 2003). Aplikasi transgenesis diharapkan dapat memperbaiki karakter-karakter yang berguna bagi akuakultur seperti peningkatan laju pertumbuhan, perbaikan kualitas daging, peningkatan daya tahan ikan terhadap lingkungan yang ekstrim dan penyakit. Pada umumnya, tahap pertama dalam transgenesis adalah penyediaan konstruksi gen yang akan diintroduksi. Konstruksi gen minimal mengandung sebuah promoter, gen target, dan signal poliadenilasi. Pada awal perkembangan transgenesis pada ikan, konstruksi gen yang digunakan berasal dari hewan mamalia atau hewan tingkat rendah, yang umumnya memperlihatkan tingkat ekspresi gen sangat kecil. Untuk mengatasi masalah tersebut dan dengan pertimbangan aspek keamanan pangan (biosafety), akhir-akhir ini telah dikembangkan konstruksi gen dengan komponen penyusunnya berasal dari ikan (all-fish gene construct) (Alimuddin et al. 2003). Hal tersebut telah berhasil dilakukan pada ikan salmon transgenik menggunakan promoter methallothionein dan gen hormon pertumbuhan (growth hormone, GH) yang diisolasi dari ikan salmon, ikan nila transgenik menggunakan promoter β-aktin medaka dan gen GH dari ikan nila (Yoskowiak et al. 2006), serta ikan mud loach transgenik menggunakan promoter β-aktin dan GH dari ikan mud loach (Nam et al. 2001). Oleh karena itu, dalam rangkaian penelitian produksi udang windu transgenik, sebagai tahap pertama dilakukan kloning promoter gen antivirus ProAV yang diisolasi dari udang windu sebagai salah satu penyusun konstruksi gen yang akan diintroduksi. Selanjutnya, aktivitas promoter ProAV dianalisis dengan mengamati ekspresi gen penanda EGFP (enhanced green fluorescent protein) pada embrio dan larva udang windu. Gen GH merupakan salah satu gen target yang paling banyak digunakan dalam transgenik ikan. Transfer gen GH telah diaplikasikan pada ikan salmon sehingga dapat tumbuh lebih cepat dari ikan normal (Devlin et al. 2006), ikan mud loach dengan kecepatan tumbuh 32 kali lebih cepat (Nam et al. 2001), dan ikan nila dengan pertumbuhan 2-7 kali lebih cepat (Kobayashi et al. 2007). Introduksi
3
gen AFP (anti-freeze protein) pada ikan koki dapat meningkatkan toleransinya terhadap suhu dingin sampai dengan 0oC (Wang et al. 1995) dan injeksi gen AFP pada juvenil ikan nila dan bandeng dapat meningkatkan toleransinya terhadap suhu lingkungan yang rendah (13oC) (Wu et al. 1998). Transfer gen GFP (green fluorescent protein), YFP (yellow fluorescent protein), dan RFP (red fluorescent protein) dapat menghasilkan ikan zebra berwarna-warni yang dapat dilihat pada kondisi cahaya biasa (Gong et al. 2003a). Penerapan teknologi transgenesis dalam peningkatan resistensi ikan atau udang terhadap serangan penyakit atau patogen merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat memecahkan masalah penyakit pada akuakultur. Sebagai hewan dari kelompok krustase (invertebrata), udang windu diketahui tidak mempunyai sistem kekebalan adaptif (adaptive immunity) tetapi tergantung pada sistem
kekebalan
non-spesifik
atau
alami
(innate
immunity)
dalam
mempertahankan diri terhadap serangan patogen. Kekebalan alami yang dimiliki oleh krustase mampu mendeteksi pola molekuler yang merupakan ciri spesifik suatu patogen (Sritunyalucksana 2001), misalnya lipopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif, glikolipid dari mycobacteri, asam lipoteichoic dari bakteri gram positif, mannans dari khamir, ß-1,3-glukan dari jamur dan rantai ganda dari RNA virus. Krustase, termasuk udang windu mempunyai mekanisme respons imun yang diransang oleh reseptor yang mengenal molekul yang berassosiasi dengan patogen (pathogen-associated molecular pattern, PAMPs) melalui reseptor PRRs (pattern recognition receptors) (Arts et al. 2007). Pendeteksian substansi mikroba dari patogen oleh PRPs akan mengaktifkan beberapa molekul biologis yang bertanggung jawab dalam sistem kekebalan tubuh termasuk protein peptida antimikroba (antimicrobial peptides) (Sritunyalucksana 2001). Penemuan gen-gen pengontrol ketahanan tubuh pada krustase yang memiliki respons antimikroba, seperti: lizosim (Somboonwiwat et al. 2006; Burge et al. 2007; Wang et al. 2007), proPO (Sritunyalucksana et al. 1999; Wang et al. 2006, 2007; Jiravanichpaisal et al. 2007; Perdomo-Morales et al. 2007; Okumura 2007; Ai et al. 2008; Yeh et al. 2009), penaeidin (Destoumieux et al. 1997, 2000a, 2000b; Munoz et al. 2003; Jiravanichpaisal et al. 2007, Okumura 2007, Wang et al. 2007), hemosianin (Zhang et al. 2004), dan lektin (Denish et al. 2003; Luo et
4
al. 2006; Ma et al. 2007; Sun et al. 2007; Kong et al. 2008; Zhang et al. 2009; Zhao et al. 2009) memberikan harapan dalam strategi penanggulangan penyakit udang di masa depan. Demikian pula halnya dengan gen yang diisolasi dari bakteri atau virus seperti glikoprotein virus, dapat digunakan untuk keperluan peningkatan resistensi melalui teknologi rekombinan DNA. Injeksi gen pengkode glikoprotein IHNV (infectious hematopoetic necrosis virus) menggunakan promoter CMV (cytomegalovirus) pada ikan salmon, menunjukkan proteksi yang signifikan setelah 8 minggu, dan masih tetap resisten serta menunjukkan antibodi penetral virus sampai 12 minggu berikutnya (Traxler et al. 1999). Transfer gen cecropin juga dapat meningkatkan daya tahan ikan medaka terhadap Pseudomonas fluorescens dan Vibrio anguillarum (Sarmasik et al. 2002). Penerapan teknologi transgenesis pada udang belum banyak dilaporkan. Introduksi gen penyandi TSV-CP (taura syndrome virus-coat protein) telah dilakukan pada udang vaname Litopenaeus vannamei dengan menggunakan metode elektroporasi, mikroinjeksi dan transfeksi (Sun et al. 2005). Lu & Sun (2005) telah membuktikan bahwa aplikasi teknologi transgenesis dengan introduksi gen TSV-CP dapat meningkatkan resistensi udang vaname transgenik sampai dengan 39% kelangsungan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan udang normal (kontrol). Penelitian pada udang windu P. monodon masih terbatas pada isolasi dan identifikasi gen pengontrol antivirus oleh Luo et al. (2003) dan hemosianin oleh Zhang et al. (2004). Oleh karena itu, pengembangan transgenesis udang windu untuk meningkatkan resistensi terhadap penyakit khususnya penyakit WSSV perlu dilakukan dengan mengintroduksikan gen pengontrol antivirus dari udang windu. Penggunaan gen antivirus dari udang windu merupakan salah satu upaya pembuatan konstruski gen yang semuanya berasal dari udang (all-shrimp construct). Oleh karena itu, sebagai tahap selanjutnya dalam rangkaian penelitian ini dilakukan kloning gen antivirus (Penaeus monodon antiviral gene, PmAV) yang diisolasi dari udang windu khususnya pada udang yang hidup (survivor) setelah terserang penyakit WSSV dari tambak-tambak udang windu di Sulawesi Selatan. Selanjutnya gen antivirus PmAV disambungkan dengan promoter ProAV untuk membuat konstruksi gen pProAV-PmAV. Pada tahap akhir dilakukan transfer gen pProAV-PmAV pada embrio udang windu
5
melalui metode transfeksi dengan menggunakan larutan jetPEI, analisis ekspresi gen antivirus PmAV, dan uji tantang udang transgenik menggunakan virus WSSV.
Kerangka Pemikiran Kebutuhan protein hewani termasuk ikan hasil budidaya semakin bertambah dengan semakin meningkatkannya populasi penduduk. Di lain pihak, hasil tangkapan udang di alam cenderung menurun, produktivitas tambak rendah, kualitas air lingkungan menurun, dan kegagalan panen akibat serangan penyakit merupakan penyebab utama menurunnya produksi udang. Untuk menanggulangai masalah tersebut, diperlukan adanya upaya diversifikasi spesies budidaya, perbaikan sistem budidaya, pengelolaan sumberdaya alam yang lestari, dan pemeliharaan strain unggul. Pada kasus budidaya udang windu, teknologi penyediaan induk dan benih yang berkualitas tinggi dan tahan penyakit merupakan aspek yang harus segera dibenahi agar usaha budidaya dapat berjalan dengan baik. Serangkaian penelitian dapat dilakukan dalam rangka penyediaan induk dan benih berkualitas tinggi melalui teknik konvensional seperti perkawinan silang dan seleksi karakter tertentu, namun teknik tersebut memerlukan waktu yang relatif lama. Sementara itu, penerapan teknologi non-konvensional atau teknik modern melalui implantasi sel atau jaringan, dan transgenesis memerlukan waktu relatif lebih singkat. Teknologi transgenesis pada ikan memperlihatkan potensi yang besar dalam pengembangan hasil dan efesiensi produksi akuakultur, misalnya dalam meningkatkan fenotipe ikan seperti: laju pertumbuhan, efisiensi pakan, ketahanan pada lingkungan dan resistensi terhadap penyakit. Dari beberapa kemungkinan perbaikan kualitas induk dan benih udang windu melalui teknologi transgenesis, maka transfer gen antivirus merupakan hal yang prioritas dilakukan untuk meningkatkan ketahanan tubuhnya (resistensi) untuk melawan serangan penyakit. Patogen sangat mudah masuk atau menyerang udang yang memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Serangan penyakit virus khususnya WSSV merupakan penyebab utama kematian udang selama sepuluh tahun terakhir ini. Infeksi virus tersebut umumnya dapat menyebabkan kematian massal dalam waktu 3-6 hari, ataupun kalau masih ada yang tersisa hanya sekitar 5-10% (Suprapto & Murdjani 2004). Hal tersebut merupakan fenomena yang
6
sangat menarik untuk diketahui bagaimana udang windu bertahan hidup dari serangan WSSV. Udang windu yang bertahan hidup dari serangan penyakit virus diduga memiliki pertahanan tubuh yang kuat yang secara genetik disandikan oleh gen pengontrol antivirus PmAV (Luo et al. 2003) yang dikendalikan oleh promoter antivirus ProAV. Dalam teknologi transgenesis, penyediaan promoter dan gen target yang sesuai merupakan kunci utama keberhasilan produksi organisme transgenik. Oleh karena itu, promoter yang digunakan dalam penelitian ini adalah promoter antivirus ProAV yang diisolasi dari udang windu tanpa mengandung sekuen mikrosatelit. Modifikasi tersebut didasarkan laporan Luo et al. (2007) bahwa, promoter yang tidak mengandung mikrosatelit memperlihatkan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan promoter yang mengandung mikrosatelit. Dengan bioteknologi molekuler, promoter ProAV dan gen antivirus PmAV tersebut dapat diisolasi, dikloning, dan selanjutnya dibuat konstruksi gen yang nantinya dapat ditransfer ke embrio udang lainnya secara in vivo. Pemilihan metode transfer gen berperan penting dalam kesuksesan produksi udang windu transgenik. Dengan pertimbangan ukuran telur udang windu yang kecil dengan perkembangan embrio yang relatif cepat, metode transfer gen yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI. Metode transfeksi telah terbukti lebih efektif dibandingkan dengan metode mikroinjeksi dan elektroporasi pada udang vaname (Sun et al. 2005). Aktivitas promoter dapat diketahui dengan menggunakan gen berpendar EGFP sebagai gen pelapor atau penanda. Apabila promoter memperlihatkan aktivitas dalam mengendalikan gen EGFP, maka promoter tersebut dapat digunakan sebagai regulator gen target lainnya. Transfer gen antivirus PmAV dapat dilakukan pada embrio udang windu dengan metode yang sama seperti pada gen EGFP. Keberhasilan transfer gen antivirus dapat diketahui melalui analisis DNA genom dengan teknik PCR (polymerase chain reaction) semi-kuantitatif, dan ekspresi gen antivirus PmAV menggunakan teknik RT-PCR (reverse transcription-polymerase chain reaction) sehingga keterlibatan gen antivirus tersebut dalam respons imun udang windu dapat diketahui. Dengan teknologi transgenesis tersebut, sifat udang windu yang resisten terhadap penyakit virus
7
akan dimiliki udang transgenik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kelangsungan hidupnya sehingga produksi udang windu melalui budidaya tambak dapat ditingkatkan.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan udang windu P. monodon transgenik yang memiliki resistensi terhadap WSSV yang lebih tinggi dibandingkan dengan udang non-transgenik melalui over-ekspresi gen antivirus PmAV. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis karakteristik sekuen promoter gen antivirus ProAV yang diisolasi dari udang windu. 2. Menganalisis sekuen dan deduksi asam amino cDNA gen antivirus PmAV yang diisolasi dari udang windu. 3. Mendapatkan konstruksi gen antivirus “all-shrimp” dari udang windu. 4. Mengkaji aktivitas promoter ProAV pada embrio dan larva udang windu. 5. Mengkaji ekspresi gen antivirus PmAV pada embrio dan larva udang windu. 6. Mengkaji performa larva udang windu transgenik. Keberhasilan teknologi transgenesis pada udang windu diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah keterpurukan budidaya udang windu akibat serangan penyakit WSSV. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam upaya peningkatan produksi perikanan akuakultur Indonesia khususnya produksi udang windu di tambak.
Kebaruan Penelitian Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah meliputi: konstruksi gen antivirus “all-shrimp construct” dari udang windu, transfer gen antivirus pada udang windu menggunakan metode transfeksi dengan jetPEI, dan udang windu transgenik F0 hasil introduksi gen antivirus PmAV.
II. ISOLASI DAN KARAKTERISASI PROMOTER GEN ANTIVIRUS DARI UDANG WINDU Penaeus monodon*)
ABSTRAK Promoter adalah sekuen DNA spesifik yang berperan dalam mengendalikan transkripsi gen yang terletak di sebelah hulu dari bagian struktural suatu gen. Isolasi promoter sangat diperlukan dalam upaya analisis sekuen dan faktor transkripsi yang akan berperan sebagai regulator gen. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik promoter gen antivirus ProAV yang diisolasi dari udang windu Penaeus monodon. Isolasi promoter dilakukan dengan menggunakan teknik PCR dan karakterisasi sekuen dilakukan dengan program BLAST-N dan Genetyx Versi 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa promoter antivirus ProAV telah berhasil diisolasi dari udang windu dengan panjang fragmen 368 bp. Analisis BLAST-N memperlihatkan bahwa promoter tersebut memiliki similaritas yang tinggi (95-98%) dengan sekuen promoter pada Bank Gen. Keberadaan motif faktor transkripsi yang berperan penting dalam regulasi promoter, misalnya: kotak TATA, MRE, TCF-1, SP-1, GAL-4, dan GATA-1 telah diidentifikasi pada sekuen promoter tersebut, yang diduga memiliki peran penting dalam mengendalikan gen target. Keberadaan faktor transkripsi tersebut berimplikasi bahwa promoter tersebut berpotensi dalam mengatur gen antivirus. Kata kunci: isolasi, karakterisasi, promoter, faktor transkripsi, udang windu.
-------------------*) Bab ini telah dipublikasi dengan judul: Cloning of ProAV Promoter Isolated from Tiger Prawn Penaeus monodon, pada jurnal Indonesian Aquaculture Journal 2009; 4 (1): 1-7.
9
ISOLATION AND CHARACTERIZATION OF ANTIVIRAL GENE PROMOTER FROM TIGER SHRIMP Penaeus monodon
ABSTRACT Promoter is a specific DNA sequence involved in the transcription regulator of gene, where the promoter is usually located in the upstream of structural gene. Isolation of promoter is essentially needed in order to establish the sequence analysis and transcription factor that are functioned in the gene regulator. The research was conducted to analyze the characteristics of antiviral gene promoter isolated from tiger prawn Penaeus monodon. ProAV promoter was isolated by PCR method and its sequence was characterized by using the BLASTN and Genetyx Version 7. The results showed the success in isolating a promoter from tiger prawn at fragment position of 368 bp in length. BLAST-N showed that the promoter had high similarity (95-98%) compared with the other promoters in the GeneBank. The existence of the important transcription factors in promoter regulation, such as TATA box, MRE, TCF-1, SP-1, GAL-4, and GATA-1 were identified from the promoter sequence. The existence of the transcription factors implied that the promoter would be useful in the gene transcription regulator. Keywords: isolation, characterization, promoter, transcription factor, tiger shrimp.
PENDAHULUAN Promoter merupakan sekuen DNA spesifik yang berperan dalam pengendalian transkripsi gen yang terletak di daerah hulu struktural gen. Oleh karena itu, promoter berperan aktif dalam pengaturan tingkat ekspresi suatu gen target (Hoare & Beaumont 2003). Kesesuain promoter merupakan elemen paling penting dalam kesuksesan penerapan sistem transformasi gen, karena promoter mengatur kapan, dimana, dan kondisi apa, serta target gen yang diaktifkan. Promoter yang sesuai dengan kepentingan akuakultur dan dapat diterima oleh konsumen sebaiknya diisolasi dari sumber yang tidak berpotensi dalam resiko kesehatan.
10
Proses transkripsi suatu gen sangat dipengaruhi oleh karakteristik sekuen promoter yang mengaturnya. Proses transkripsi suatu gen umumnya diawali oleh penempelan faktor transkripsi (transcription factor, TF) dan kompleks enzim RNA polimerase yang berada pada daerah promoter. Oleh karena itu, promoter berperan penting dalam penerapan teknologi transgenesis, sehingga pemilihan promoter yang sesuai akan sangat menentukan tingkat ekspresi transgen dari karakter gen target yang diintroduksi . Pada awal perkembangan teknologi transgenesis pada ikan, konstruksi gen dengan komponen promoter dan gen target yang digunakan berasal dari hewan mamalia dan hewan tingkat rendah. Penggunaan konstruksi gen tersebut tidak memberikan pengaruh nyata pada pertumbuhan ikan, dimana
penggunaan
promoter yang bukan berasal dari ikan menghasilkan ekspresi transgen yang rendah atau bahkan tidak terekspresi. Alam et al. (1996), Hanley et al. (1998), dan Alimuddin et al. (2003) telah membuktikan bahwa promoter yang diisolasi dari ikan memiliki aktivitas yang lebih tinggi dalam pengaturan ekspresi transgen dibandingkan dengan promoter yang diisolasi dari mamalia atau virus. Peningkatan pertumbuhan yang signifikan diperoleh setelah promoter dan gen GH yang digunakan berasal dari ikan (all-fish gen construct), misalnya pada ikan salmon transgenik menggunakan promoter methallothionein dan gen GH dari ikan salmon (Yaskowiak et al. 2006) dan ikan transgenik mud loach menggunakan promoter β-aktin dan GH dari ikan mud loach (Nam et al. 2001). Ikan nila hitam transgenik yang menggunakan promoter β-aktin dari ikan medaka Jepang, Oryzias latipes dengan GH ikan nila hitam juga memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi yakni 7 kali lebih besar dibandingkan dengan ikan bukan transgenik pada umur 1 tahun (Kobayashi et al. 2007). Pada umumnya, promoter memiliki elemen penting misalnya kotak CCAAT yang berfungsi dalam peningkatan ekspresi dengan stimulasi tertentu, unit CC(A/T)6GG yang lebih dikenal dengan istilah motif CarG yang berperan dalam pengaturan ekspresi sementara, dan kotak TATA yang berperan dalam mengarahkan proses transkripsi berlangsung pada posisi yang benar (Takagi et al. 1994). Penerapan transgenenis pada krustase khususnya pada udang masih sangat sedikit, sehingga informasi penggunaan promoter juga sangat terbatas.
11
Transgenesis pada udang telah dilaporkan pada udang vaname L. vannamei dengan mengintroduksikan gen pengkode TSV-CP (taura syndrome virus-coat protein) dengan menggunakan promoter β-aktin udang (pβactP2) (Sun et al. 2005; Lu & Sun 2005), dan pada udang windu P. monodon dengan menggunakan promoter CMV (cytomegalovirus) (Arenal et al. 2008). Luo et al. (2007) telah mengisolasi tujuh promoter dari udang windu, tetapi hanya dua diantaranya memperlihatkan aktivitasnya secara in vitro menggunakan gen reporter GFP (green fluorescent protein). Selain itu, Ho & Song (2009) telah berhasil mengisolasi promoter gen antimikroba penaeidin dari udang windu dan secara in vitro dengan menggunakan gen berpendar Renilla luciferase, telah dilaporkan bahwa promoter tersebut memperlihatkan aktivitas yang tinggi pada embrio udang windu. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan isolasi dan karakterisasi promoter antivirus ProAV dari udang windu dalam rangka pembuatan konstruksi gen all shrimp yang akan digunakan dalam produksi udang windu tahan penyakit. Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui tingkat similaritas sekuen nukleotida promoter antivirus dengan promoter lainnya yang ada dalam Bank Gen sebagai uji konfirmasi kebenaran promoter yang telah diisolasi. Selain itu, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui keberadaan motif-motif faktor transkripsi dan sekuen spesifik promoter yang dilibatkan dalam mengatur gen target.
BAHAN DAN METODE Sampel Udang Windu Penaeus monodon Udang windu P. monodon berukuran 10,1-74,4 g dikoleksi dari beberapa tambak udang di Sulawesi Selatan, termasuk dari tambak yang telah terserang penyakit virus bintik putih (white spot syndrome virus, WSSV). Sampel udang dikoleksi secara hidup dan selanjutnya dibawa ke Laboratorium Bioteknologi, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros untuk pengambilan otot (daging) udang secara aseptik sebagai bahan untuk ekstraksi DNA genom.
12
Ekstraksi DNA Genom DNA genom udang windu diekstraksi dengan menggunakan metode fenolkloroform yang telah dikembangkan pada ikan kerapu (Parenrengi et al. 2000) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 20-25 mg daging udang diambil secara aseptik dan dimasukkan ke dalam tabung steril 1,5 mL. Sampel ditambahkan dengan 250 µL buffer lisis (0,5 M NaCl; 0,001 M EDTA; 1% SDS; 0,8% TritonX; dan 0,1 Tris-HCl pada pH 9,0) kemudian 40 µL 10% SDS dan 40 µL Proteinase K (larutan 20 mg/mL). Sampel diinkubasi pada suhu 55oC selama 1-3 jam sampai lisis sempurna. Kemudian sampel ditambahkan 25 µL RNase (larutan 20 mg/mL) dan dibiarkan pada suhu ruangan selama 15-30 menit. Sampel ditambahkan 500 µL fenol:kloroform:isoamil-alkohol (25:24:1) dan selanjutnya dihomogenkan dengan vorteks. Sampel dibiarkan pada suhu ruangan selama 10 menit sebelum disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 4 menit. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke tabung mikro baru, kemudian ditambahkan lagi 500 µL fenol:kloroform:isoamil-alkohol (25:24:1)
dan
disentrifugasi kembali pada kecepatan 13.000 rpm selama 4 menit. Supernatan ditambahkan dengan satu kali volume kloroform:isoamil-alkohol (24:1) dan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Supernatan dipresipitasi dengan etanol absolut dingin dengan membolak-balikkan tabung mikro kemudian disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm selama 30 menit. Pelet yang terbetuk dicuci dengan 1 mL etanol 70% dan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm selama 15 menit. Pelet DNA dikering-udarakan sekitar 20 menit, kemudian ditambahkan dengan 50 µL sterile distilled water (SDW) agar pelet DNA dapat larut sempurna dan selanjutnya disimpan dalam freezer (suhu 20oC) sampai digunakan untuk peroses selanjutnya. Kualitas dan kuantitas DNA genom hasil isolasi dapat diketahui melalui analisis
kemurnian
dan
kandungan
DNA
dengan
menggunakan
UV-
spektrofotometer. Kemurnian genom hasil ekstraksi selain dianalisis secara kualitatif dengan metode elektroforesis juga diukur secara kuantitatif melalui metode UV-spektrofotometer pada rasio absorpsi 260 nm dan 280 nm (OD260/OD280). Sedangkan konsentrasi genom DNA dihitung berdasarkan rumus Linacero et al. (1998). Kualitas DNA genom hasil ekstraksi dilihat melalui
13
analisis eletroforesis pada gel agarosa 0.7%. Skema ekstrkasi DNA genom udang windu menggunakan metode fenol-kloroform disajikan pada Lampiran 1. Isolasi Promoter Isolasi promoter antivirus ProAV dilakukan dengan menggunakan teknik PCR. DNA genom yang telah diisolasi dari udang windu digunakan sebagai cetakan DNA (templat) pada proses PCR. Metode isolasi promotor mengacu pada metode yang telah dikembangkan oleh Luo et al. (2007), dengan menggunakan primer forward ProAV-F: 5’- gtc gga tcc agt ccc aca ctc cat caa -3’ dan primer reverse ProAV-R: 5’- ctg gga tcc ctg aaa gga ata tta ata tct tg -3’. Kedua primer tersebut dilengkapi dengan situs restriksi BamHI (nukleotida yang digarisbawahi) untuk membantu proses kloning ke dalam vektor ekspresi. Amplifikasi fragmen promoter dilakukan pada mesin PCR GeneAmp PCR System 2700 (Applied Biosystem). Reaksi PCR yang digunakan adalah kit PureTaq Ready-To-Go PCR Beads (GE Healtcare) dan primer masing-masing 1 uL (50 ρmol/µL) serta SDW untuk mencapai volume akhir 25 µL. Kit tersebut mengandung 2,5 unit Taq Polimerase; 10 mM Tris-HCl pH 9; 50 mM KCl; 1,5 mM MgCl2; dan 200 μM setiap dNTP-mix. Proses PCR dijalankan pada suhu pre-denaturasi 94oC selama 3 menit; 35 siklus untuk (denaturasi 94oC selama 1 menit, annealing 56oC selama 45 detik, ekstensi 72oC selama 1 menit); dan final ekstensi 72oC selama 5 menit. Untuk mengetahui keberhasilan isolasi promoter, hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 1,0% untuk melihat pita tunggal yang terbentuk pada gel. Fragmen DNA pada gel agarosa didokumentasi dengan Gel Documentation System (Biometra). Untuk menentukan berat molekul fragmen DNA digunakan marker VC 100bp Plus DNA Ladder (Vivantis). Kloning Promoter Purifikasi Promoter. Purifikasi fragmen DNA promoter dilakukan dengan menggunakan kit GF-1 Gel DNA Recovery (Vivantis) sesuai dengan manual kit yang digunakan. Fragmen DNA yang telah dipotong dari gel dicampur
14
dengan buffer GB dengan rasio 1:1, kemudian diinkubasi pada suhu 50oC sampai gel larut sempurna. Larutan ditransfer ke kolom spin dalam tabung mikro, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Kolom selanjutnya dicuci dengan 750 µL wash buffer, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit atau sampai kering. Kolom dipindahkan ke tabung mikro baru, kemudian ditambahkan 30-50 µL elution buffer dan diinkubasi selama 2 menit di suhu ruang, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Skema purifikasi fragmen DNA dari gel agarosa menggunakan kit GF-1 Gel DNA Recovery dapat dilihat pada Lampiran 2. Ligasi Promoter ke Vektor pGEM-T Easy. Fragmen DNA hasil purifikasi dari promoter yang telah berhasil diisolasi, disisipkan ke dalam vektor kloning pGEM-T Easy (Promega) mengikuti prosedur manufaktur. Vektor pGEMT Easy dan control insert DNA disentrifugasi agar kandungannya terkumpul pada dasar tabung, selanjutnya reaksi ligasi dicampur pada tabung mikro dengan komposisi: 1,3 µL 2 x rapid ligase buffer; 0,5 µL vektor pGEM-T Easy (50 ng); 1 µL T4 DNA ligase (3 unit/µL); produk PCR sebanyak 5 µL; dan SDW 5,2 µL. Inkubasi dilakukan selama dua jam pada suhu ruang dan dilanjutkan dengan diinkubasi semalam di dalam refrigerator (suhu berkisar 4 oC). Pembuatan Bakteri Kompeten Escherichia coli DH5α. Sebuah koloni bakteri E.coli DH5α diambil dari biakan murni dan dikultur dalam 25 mL media cair Luria Bertani (LB) (1% tripton; 0,5% ekstrak khamir; dan 1% NaCl) dalam tabung 50 mL sebagai sub kultur dan selanjutnya diinkubasi pada inkubator bergoyang pada suhu 37oC selama 16-18 jam dengan kecepatan 250 rpm. Hasil sub kultur sebanyak 2,5 mL (1%) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 25 mL yang mengandung media cair LB dan selanjutnya diinkubasi pada inkubator bergoyang pada suhu 37oC selama 3 jam. Kultur bakteri langsung diletakkan di atas es selama 30 menit. Sebanyak 1,5 mL dimasukkan ke dalam tabung mikro 1,5 mL kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm selama 2 menit pada suhu 4oC. Setelah supernatan dibuang, pelet ditambahkan lagi 1,5 mL cairan kultur bakteri dan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm selama 2 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan buffer NaCl2 dingin. Larutan disentrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm selama 2 menit pada suhu 4oC.
15
Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 1 mL CaCL2 dingin, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruangan selama 20 menit. Larutan disentrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm selama 2 menit pada suhu 4oC dan supernatan yang terbentuk dibuang, dan pelet disuspensi dengan 200 µL CaCl2 dingin yang kemudian diinkubasi di es selama 20 menit sampai 1 jam. Bakteri yang tersuspensi siap untuk digunakan untuk transformasi. Transformasi. Transformasi vektor kloning ke bakteri dilakukan dengan menggunakan bakteri kompeten E. coli DH5α yang telah dibuat sebelumnya. Sebanyak 4-5 µL hasil reaksi ligasi dicampur ke dalam tabung mikro yang telah berisi 200 µL bakteri kompeten dan selanjutnya diinkubasi dalam es selama 20-30 menit. Campuran tersebut diberi kejutan panas pada suhu 42oC selama 45 detik, kemudian diletakkan dalam es selama 2 menit. Hasil kejutan panas ditambahkan 800 uL larutan SOC yang mengandung 970 µL buffer SOB (2 g tripton; 0,5 g ekstrak kamir; 1 mL NaCL 1 M; 0,25 mL KCl 1 M; dalam 97 mL SDW); 10 µL MgSO4.7H2O; 10 µL MgCl2.6H2O; dan 10 µL glukosa 1M, yang selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 200 rpm selama 1,5 jam. Sekitar 100-150 µL bakteri tersebut disebar pada media selektif 2xYT (1,6% tripton; 1% ekstrak khamir; 0,5% NaCl; dan 1,8% bakto agar dalam SDW) yang mengandung ampisilin 1 µL/1 mL agar (100 mg/mL); IPTG (isopropanoltio-β-D-galaktopiranosida) 0,1M (10 µL/cawan); dan 2% X-gal (50 µL/cawan). Biakan bakteri diinkubasi pada suhu 37oC selama sekitar 14 jam. Untuk menyeleksi adanya insersi gen dalam plasmid pada situs pengklonan (multiple cloning site, MCS), bakteri yang mengandung plasmid akan membentuk koloni berwarna putih, sedangkan bakteri yang mengandung plasmid tetapi di dalam MSC-nya tidak tersisipi fragmen DNA akan menghasilkan koloni warna biru (lihat Lampiran 3). Bakteri yang tidak mengandung plasmid akan mati (tidak membentuk koloni). Koloni bakteri warna putih yang tumbuh diperbanyak dalam medium LB yang mengandung antibiotik ampisilin (100 µg/mL) dan diinkubasikan pada suhu 37oC untuk dipersiapkan dalam perbanyakan plasmid.
16
Identifikasi Transforman Cracking Bakteri. Seleksi koloni bakteri yang membawa plasmid hasil ligasi dilakukan dengan metode cracking. Koloni bakteri warna putih diambil menggunakan tusuk gigi steril dan dioleskan ke dasar tabung mikro 1,5 mL dan dilanjutkan dengan menggoreskannya ke dalam master plate, yang merupakan sumber koloni bakteri untuk tahap penelitian berikutnya. Master plate berisi bakteri diinkubasi pada suhu 37oC selama 8 jam. Ke dalam tabung mikro yang berisi bakteri ditambahkan 10 μL buffer cracking (0,2 g sakarosa; 40 µL NaOH 5 M; 50 µL SDS 10%; dan sisanya SDW sehingga volume larutan menjadi 1 mL), 10 μL larutan EDTA 10 mM. Gabungan campuran larutan antara 2 µL 6 X buffer loading DNA dengan KCl 4 M dengan perbandingan volume 1:1 diletakkan di bagian dalam penutup tabung mikro. Setelah diinkubasi sekitar 5 menit, larutan di-spin down pada kecepatan 5.000 rpm selama 3 detik dan kemudian divorteks. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC. Sebanyak 10 µL supernatan yang terbentuk digunakan untuk elektroforesis menggunakan gel agaroasa 0,7%. Untuk mengetahui koloni bakteri yang membawa DNA dalam plasmid, bakteri biru digunakan sebagai kontrol. Ukuran DNA plasmid koloni bakteri yang membawa insersi akan lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Teknik PCR. Klon-klon bakteri yang memperlihatkan indikator positif pada uji cracking dilanjutkan dengan uji konfirmasi fragmen DNA yang terinsersi melalui teknik PCR, dengan menggunakan primer ProAV-F dan ProAV-R dimana templat DNA yang digunakan adalah larutan hasil cracking sebanyak 0,5 μL. Amplifikasi fragmen DNA target gen dilakukan seperti yang dijelaskan dalam isolasi promoter sebelumnya. Klon-klon bakteri rekombinan yang positif membawa promoter antivirus digoreskan ke dalam media agar yang mengandung ampisilin (100 µg/mL) untuk dikoleksi sebagai sumber plasmid untuk kegiatan selanjutnya. Skema pelaksanaan kloning promoter antivirus ProAV pada vektor pGEM-T Easy disajikan pada Lampiran 4.
17
Penderetan Nukleotida Promoter Isolasi Plasmid. Plasmid pGEM-T Easy yang mengandung promoter antivirus ProAV diisolasi dari bakteri E. coli dengan menggunakan kit GF-1 Plasmid DNA Extraction Kit (Vivantis) dengan prosedur yang sesuai dengan manual kit yang digunakan. Satu koloni bakteri yang mengandung plasmid rekombinan ditumbuhkan di dalam 10 mL media LB (10 g/L tripton, 5 g/L ekstrak khamir, 10 g/L NaCl, pH 7,5) yang mengandung ampisilin 100 mg/L pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 250 rpm pada suhu 37oC selama semalam (sekitar 16-18 jam). Bakteri diendapkan dalam tabung mikro secara bertahap dengan sentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4oC selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dilarutkan dengan 250 μL larutan S-1, kemudian divorteks pelan atau pipeting sampai pelet larut sempurna. Suspensi larutan ditambah dengan 250 μL larutan S-2 kemudian dicampur dengan pelan dengan cara tabung mikro dibolak-balik selama 4-6 kali dan diinkubasi di suhu ruangan tidak lebih dari 5 menit. Larutan dinetralkan dengan penambahan 250 μL buffer NB (neutralizing buffer) dan dicampur dengan pelan dengan cara tabung mikro dibolak-balik selama 6-10 kali kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindah ke kolom spin dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Kolom spin dicuci dengan 700 μL wash buffer kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Plasmid DNA diresuspensi dengan 100 μL SDW dan dibiarkan selama 1 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit untuk melarutkan DNA, dan selanjutnya disimpan dalam freezer -20oC untuk digunakan pada tahap selanjutnya. Kuantitas dan kualitas isolat plasmid diukur dengan menggunakan UV-VIS spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm seperti yang dijelaskan pada tahapan ekstraksi DNA genom sebelumnya. Skema isolasi DNA plasmid dengan menggunakan kit GF-1 Plasmid DNA Extraction disajikan pada Lampiran 5. Penderetan Sekuen Nukleotida. Hasil PCR promoter gen antivirus ProAV dari plasmid dipurifikasi dengan menggunakan kit Gel/PCR DNA Fragment Extraction (Geneaid). Secara singkat, potongan gel agarosa ditambah dengan 500 µL buffer DF kemudian divorteks, dan selanjutnya diinkubasi pada
18
suhu 55oC selama 10-16 menit sampai agarosa larut sempurna. Sebanyak 700 µL larutan sampel dipindahkan ke kolom DF, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 1 menit. Kolom DF ditambahkan dengan 600 µL wash buffer, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 1 menit. Setelah larutan dibuang, kolom DF ditempatkan ke dalam tabung mikro baru, dan disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 3 menit. DNA dilarutkan dengan menambahkan 50 µL SDW kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 3 menit. Amplifikasi PCR untuk sekuensing dilakukan dengan menggunakan campuran larutan (3 µL 5 X buffer sekuensing, 2 µL primer (1,6 ρmol/µL), 1 µL Big Dye, 4 µL templat DNA) dengan program PCR adalah suhu 96oC selama 2 menit, 96oC selama 10 menit, 55oC selama 5 menit, dan 60oC selama 4 menit. Hasil PCR dipurifikasi dengan menambahkan 10 µL air bebas DNA dan RNA, dan 5 µL EDTA 125 mM, 5 µL natrium asetat 3 M, 60 µL etanol absolut. Sampel diinversi sebanyak 4 kali dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 30 menit. Supernatan dibuang dan pelet ditambah dengan 70 µL etanol 70%, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 30 menit. Setelah supernatan dibuang, pelet dikering-anginkan dan kemudian dilarutkan dengan 10 µL air bebas DNA dan RNA. Sampel selanjutnya siap untuk disekuensing dengan menggunakan alat sekuenser automatis AB-3130 (Applied Biosystem). Hasil sekuensing dilihat secara manual dengan menggunakan program sequence navigator. Analisis Data Untuk mengetahui kemiripan (similaritas) promoter yang dihasilkan, sekuen promoter disejajarkan (alignment) dengan sekuen promoter yang telah ada di dalam Bank Gen dengan menggunakan program BLAST-N (basic local alignmen search tool-nucleotide). Sekuen promoter hasil penderetan dianalisis dengan menggunakan program Genetyx Versi 7 (Genetyx Coorporation) untuk mendapatkan similaritas sekuen, motif faktor transkripsi (regulator), dan keberadan sekuen spesifik promoter antivirus. Data hasil analisis disajikan secara deskriptif.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN DNA genom yang berasal dari beberapa sampel udang windu telah berhasil diisolasi yang ditandai dengan keberadaan pita tunggal pada gel eletroforesis (Gambar 1A). Dengan menggunakan DNA genom tersebut sebagai templat dan primer spesifik promoter gen antivirus ProAV, promoter udang windu telah berhasil diisolasi pada posisi fragmen sekitar 0,4 kb (368 bp) (Gambar 1B).
bp 1000 500 300
Gambar 1 Hasil elektroforesis DNA genom (A) dan fragmen tunggal promoter ProAV (B) yang diisolasi dari udang windu P. monodon. M=marker DNA, 1-5= sampel udang windu, dan tanda panah mengindikasikan fragmen DNA genom dan promoter ProAV.
Promoter antivirus ProAV yang berhasil diisolasi dari DNA genom udang windu, selanjutnya dikloning ke dalam vektor pGEM-T Easy. Keberhasilan dalam mengkloning gen dapat diketahui dengan cara mengidentifikasi masuknya gen atau DNA pada bakteri inang (transforman). Hasil seleksi koloni bakteri warna putih-biru menunjukkan adanya insersi gen yang diindikasikan dengan adanya koloni bakteri warna putih yang ditumbuhkan pada media agar dan adanya penambahan berat molekul plasmid DNA bakteri inang yang digunakan pada teknik cracking (Gambar 2). Proses masuknya vektor rekombinan pembawa gen ke dalam sel kompeten (bakteri) diketahui dengan mengamati ekspresi gen penanda yang dibawa oleh vektor tersebut. Kobolak & Muller (2003) memberikan gambaran penggunaan vektor pGEM-T Easy pada bakteri E. coli yang memiliki marker gen LacZ dan marker gen resisten ampisilin, dimana LacZ sebagai gen
20
pelapor (reporter gene). Selanjutnya Toha (2001) menyatakan bahwa apabila dalam media terdapat IPTG, gen LacZ yang mengkode enzim β-galaktosidase dapat diketahui karena mampu menguraikan 5-bromo-4-kloro-3-indolil-β-Dgalaktopiranosida (X-gal) menjadi galaktosa dan 5-bromo-4-kloroindigo, sehingga menghasilkan koloni bakteri berwarna biru. Oleh karena itu, apabila terjadi insersi gen atau fragmen DNA pada MCS, maka gen LacZ tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya sehingga tidak terjadi penguraian X-gal menjadi galaktosa yang menyebabkan koloni bakteri tetap berwarna putih.
Gambar 2 Seleksi koloni putih-biru, cracking, dan plating klon bakteri pembawa promoter antivirus ProAV. A=seleksi koloni klon bakteri yang ditumbuhkan pada media agar dimana tanda panah menunjukkan koloni putih dan biru, dan B=hasil cracking klon bakteri pembawa promoter pada gel agarosa dimana tanda panah menunjukkan indikator positif sebagai pembawa promoter dan negatif sebagai kontrol bakteri koloni biru, dan C=hasil plating klon bakteri pembawa promoter ProAV pada media agar. Untuk memastikan apakah fragmen DNA tersebut merupakan target promoter ProAV yang diinginkan, maka fragmen DNA dipurifikasi dari gel agarosa kemudian dilakukan pembacaan nukleotidanya atau dikenal dengan istilah sekuensing. Dari beberapa sampel yang berhasil diisolasi, dua di antaranya diambil secara acak untuk dilakukan analisis lebih lanjut melalui sekuensing nukleotida promoter.
Berdasarkan hasil pembacaan sekuen nukleotida yang
diperkirakan memiliki panjang fragmen DNA sekitar 0,4 kb (368 bp). Dari hasil pembacaan tersebut dilakukan penyejajaran (alignment) sekuen (Gambar 3) dengan referensi sekuen yang telah ada dalam Bank Gen, untuk memastikan kebenaran promoter yang telah diisolasi.
21
P. monodon sampel 1 P. monodon sampel 2 P. monodon (Q641258-1) P. monodon sampel 1 P. monodon sampel 2 P. monodon (Q641258-1) P. monodon sampel 1 P. monodon sampel 2 P. monodon (Q641258-1) P. monodon sampel 1 P. monodon sampel 2 P. monodon (Q641258-1) P. monodon sampel 1 P. monodon sampel 2 P. monodon (Q641258-1) P. monodon sampel 1 P. monodon sampel 2 P. monodon (Q641258-1) P. monodon sampel 1 P. monodon sampel 2 P. monodon (Q641258-1)
Gambar 3 Alignment sekuen promoter ProAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon dengan sekuen promoter PmAV referensi dari Bank Gen (kode aksesi DQ641258-1). Nomor pada awal dan akhir nukleotida menunjukkan urutan nukleotida, A=adenina, C=sitosina, G=guanina, dan T=timina. Hasil penyejajaran sekuen promoter yang telah diisolasi tersebut menunjukkan tingkat kemiripan yang tinggi dengan sekuen promoter yang telah ditemukan oleh Luo et al. (2007) pada udang windu di Cina. Dari dua sample sekuen promoter yang dianalisis, didapatkan tingkat similaritas 95-98% (Tabel 1). Tingginya tingkat similaritas tersebut memberikan keyakinan akan keberhasilan dalam mengisolasi promoter antivirus ProAV dari udang windu dari tambak Sulawesi Selatan, Indonesia. Hasil analisis BLAST-N terhadap nukleotida promoter ProAV udang windu menunjukkan adanya variasi nuklotida dengan sekuen gen promoter udang windu P. monodon referensi Bank Gen yang umumnya didapatkan pada bagian awal dan akhir sekuen nukleotida. Analisis faktor transkripsi menunjukkan keberadaan sekuen spesifik promoter, misalnya TATAAA atau dikenal sebagai kotak TATA (TATA-box) dan TGCACCC atau dikenal sebagai MRE, atau dikenal sebagai TFIID, serta sekuen [A/C]A[A/C]AG atau dikenal dengan TCF-1
22
yang merupakan motif utama yang umumnya didapatkan pada promoter. Selain sekuen CCCGCC yang dikenal sebagai SP-1, dan [TU]CC[TU]C yang dikenal sebagai faktor transkripsi GAL-4, juga didapatkan sekuen AGATAG yang lebih dikenal dengan motif transkripsi GATA-1, serta beberapa motif transkripsi lainnya. Distribusi lokasi beberapa motif faktor transkripsi promoter ProAV yang diisolasi dari DNA genom udang windu disajikan pada Gambar 4. Tabel 1 Similaritas sekuen promoter ProAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon dengan sekuen total gen antivirus PmAV pada Bank Gen (kode aksesi DQ641258-1). Deskripsi Promoter ProAV P. monodon (sampel-1) Promoter ProAV P. monodon (sampel-2 )
Pemenuhan query (%) 98
Similaritas (%) 95
97
98
TFIID merupakan faktor transkripsi pertama yang secara langsung berkaitan dengan kotak TATA, sehingga penempelan faktor transkripsi ini akan mengarahkan faktor transkripsi lainnya dan RNA polimerase untuk mengenali daerah promoter. Stansfield et al. (2006) menyebutkan bahwa TFIID memiliki fungsi serupa dengan faktor sigma pada bakteri, dimana setelah terikat dengan kotak TATA, TFIID membantu pengaturan TF-TF lain yang dibutuhkan untuk inisiasi sintesis RNA. Percobaan secara in vitro telah dibuktikan bahwa jika TFIID dihilangkan, maka tidak akan terbentuk kompleks pra-inisiasi, meskipun faktor transkripsi lain ditambahkan. Yuwono (2005) menyatakan bahwa faktor transkripsi TFIID sebenarnya merupakan kompleks protein yang terdiri atas beberapa macam yakni protein pengikat kotak TATA (TATA-box binding protein, TBP) dan 8-10 TAF (TBP-associated factor) atau faktor transkripsi yang terkait dengan TBF. Pada promoter eukariot yang tidak memiliki kotak TATA, TFIID berikatan dengan SP-1 yang umumnya melekat pada kotak GC.
Faktor
transkripsi SP-1 merupakan domain pengikat DNA yang mengandung zinc sehingga dikenal sebagai jari-jari zinc (zinc finger). Faktor transkripsi lain
23
misalnya yang ditemukan pada promoter ProAV ini adalah GAL-4 yang merupakan faktor transkripsi yang modulnya mengandung dua atom zinc dan enam asam amino sisteina, sehingga GAL-4 dikenal sebagai motif regulator yang berperan dalam regulasi gen GAL yang bertanggung jawab dalam metabolisme glukosa pada khamir Saccharomyces cereviae.
TATA BOX
Gambar 4 Distribusi motif faktor transkripsi pada sekuen promoter antivirus ProAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon. Garis vertikal menunjukkan posisi motif faktor transkripsi dalam sekuen.
24
Beberapa motif faktor transkripsi yang diidentifikasi dalam sekuen promoter antivirus ProAV memiliki kesamaan dengan faktor transkripsi yang didapatkan pada promoter penaeidin (ProPEN) yang diisolasi dari udang windu P. monodon. Ho & Song (2009) telah berhasil mengisolasi dan mengkarakterisasi dua tipe promoter ProPEN pada udang windu yakni tipe-536 dan tipe-411, dimana dari dua tipe tersebut didapatkan motif faktor transkripsi antara lain kotak TATA, GATA, dorsal, dan AP-1 yang diduga dilibatkan dalam pengaturan transkripsi gen resistensi pada krustase pada umumnya. Dua di antaranya (kotak TATA dan GATA) didapatkan juga pada promoter antivirus ProAV pada penelitian ini. Analisis kekerabatan antar promoter udang windu menunjukkan bahwa, kedua sampel promoter antivirus ProAV yang diisolasi dari udang windu asal Sulawesi Selatan, Indonesia ini memiliki kekerabatan yang relatif dekat dengan promoter ProAV yang diisolasi dari udang windu di Cina, dan relatif terpisah dengan promoter gen penaeidin ProPEN. Ho & Song (2009) melaporkan bahwa ada dua tipe promoter gen penaeidin yang diisolasi dari udang windu dan memiliki kemiripan dengan promoter gen penaedin yang diisolasi dari udang vaname. Hasil dari penelitian tahap pertama ini menunjukkan keberadaan faktor transkripsi utama dan beberapa elemen regulator penting, serta kemiripan sekuen dengan promoter yang ditemukan oleh Luo et al. (2007).
Hasil tersebut
menunjukkan bahwa promoter antivirus ProAV ini akan bermanfaat
dalam
teknologi transgenesis dalam pengaturan gen-gen eksogenous yang diintroduksi. Pada penelitian tahap selanjutnya akan difokuskan pada aktivitas promoter antivirus ProAV pada embrio dan larva udang windu dengan menggunakan gen berpendar sebagai gen pelapor.
KESIMPULAN Promoter antivirus ProAV telah berhasil diisolasi dari udang windu P. monodon. Promoter tersebut memiliki tingkat similaritas yang tinggi dengan promoter udang windu yang tersedia di Bank Gen.
III. ANALISIS SEKUEN cDNA GEN ANTIVIRUS DARI UDANG WINDU Penaeus monodon*) ABSTRAK Transgenesis pada ikan merupakan sebuah teknik modern yang berpotensi besar dalam menghasilkan organisme yang memiliki karakter lebih baik, misalnya peningkatan resistensi udang melalui transfer gen antivirus. Gen antivirus PmAV (Penaeus monodon antiviral gene) merupakan salah satu gen pengkode antivirus yang berasal dari spesies krustase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik gen antivirus yang diisolasi dari udang windu, Penaeus monodon. Gen antivirus diisolasi dengan menggunakan metode Reverse TranscriptionPolymerase Chain Reaction (RT-PCR) dan selanjutnya dikloning serta dipurifikasi untuk sekuensing. Data yang dihasilkan dianalisis dengan program Genetyx Versi 7 dan basic local alignment search tool (BLAST). Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen antivirus PmAV yang berhasil diisolasi dari cDNA udang windu memiliki panjang sekuen 513 bp yang mengkodekan 170 asam amino. BLAST-N menunjukkan tingkat similaritas yang identik (100%) dengan gen antivirus yang ada di Bank Gen. Komposisi asam amino penyusun gen antivirus yang paling besar adalah serina (10.00%), sedangkan yang terkecil adalah asam amino prolina dan lisina masing-masing 1.76%. Analisis sekuen deduksi asam amino (BLAST-P) dari gen PmAV memperlihatkan adanya C-type lectin-like domain (CTLD) yang memiliki kemiripan dengan gen C-type lectin yang diisolasi dari beberapa spesies krustase. Keberadaan CTLD memberikan indikator kuat bahwa gen antivirus PmAV dilibatkan dalam imunitas udang windu melawan virus. Kata kunci: isolasi, karakterisasi, gen antivirus, deduksi asam amino, udang windu.
-------------------*) Bab ini telah dipublikasi dengan judul: Karakteristik Sekuen cDNA Pengkode Gen Antivirus dari Udang Windu, Penaeus monodon, pada Jurnal Riset Akuakultur 2009: 4(1):1-13.
26
ANALYSIS OF cDNA SEQUENCE ON ANTIVIRAL GENE FROM TIGER SHRIMP Penaeus monodon
ABSTRACT Transgenic fish technology is a potential modern technique in producing the better character organism by DNA recombinant of target gene including antiviral gene for improvement of the shrimp immunity. PmAV (Penaeus monodon antiviral) gene is one of the antiviral genes isolated from crustacean species. The research was conducted to analyze the characteristics of antiviral gene isolated from tiger shrimp Penaeus monodon. Antiviral gene was isolated by Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) technique, then cloned, and purified for sequencing. Data obtained were analyzed by Genetyx Version 7 and basic local alignment search tool (BLAST) software. The results showed that the PmAV antiviral gene was successfully isolated from cDNA of tiger shrimp at the position of approximately 513 bp that consisted of 170 amino acid residues. BLAST-N on PmAV gene showed the identical sequence (100%) compared with the other antiviral genes deposited at the GeneBank. The highest percentage of amino acid encoding antiviral gene was serine (10.00%), while the lowest was proline and lysine (1.76%). Sequence analysis and amino acid deduction (BLAST-P) on PmAV gene revealed a C-type lectin-like domain (CTLD) that was similar with the C-type lectin gene isolated from several crustacean species. The existence of CTLD on this gene suggested that PmAV antiviral gene is involved in tiger shrimp immune defense to infectious virus. Keywords: isolation, characterization, antiviral gene, amino acid deduction, tiger shrimp
PENDAHULUAN Penggunaan teknik biologi molekuler untuk memproduksi strain udang yang memiliki ketahanan (resistensi) tinggi terhadap patogen melalui teknologi transformasi genetik merupakan peluang strategis dalam pengendalian penyakit pada udang (Bachere 2000). Pada dekade terakhir, resistensi organisme terhadap patogen telah dikembangkan pada beberapa spesies tanaman dan hewan termasuk ikan atau udang. Studi introduksi gen asing ke embrio udang telah menghasilkan data pendahuluan yang telah memperlihatkan ekspresi sementara (transient
27
expression) oleh gen reporter dengan regulator beberapa promoter (Sun et al. 2005; Yasawa et al. 2005). Kemajuan terbaru dalam teknologi transfer gen tersebut memiliki potensi sangat besar untuk pengembangan udang transgenik yang membawa gen peningkatan laju pertumbuhan dan resisten penyakit. Gen pengontrol hormon pertumbuhan (growth hormone, GH) merupakan gen target yang paling banyak digunakan dalam transgenik ikan. Introduksi gen GH pada ikan telah berhasil diaplikasikan dalam rangka peningkatan kecepatan pertumbuhan, misalnya pada ikan rainbow trout Oncorhynchus mykiss (Penman et al. 1991), ikan salmon Pasifik Oncorhynchus spp. (Devlin et al. 1995), ikan salmon arctic charr Salvelinus alpinus (Pitkanen et al. 1999), ikan mud loach Misgurnus mizalepis (Nam et al. 2001), ikan zebra Danio rerio (Morales et al. 2001), ikan silver sea bream Sparus sarba (Lu
et al. 2002), ikan nila
Oreochromis niloticus (Rahman et al. 2001; Kobayashi et al. 2007), ikan salmon coho O. kisutch (Devlin et al. 2004), dan ikan salmon Atlantik Salmo salar (Yaskowiak et al. 2006). Sementara itu, introduksi gen AFP (anti-freeze protein) pada ikan koki dapat meningkatkan toleransinya terhadap suhu dingin (Wang et al. 1995), sedangkan transfer gen GFP (green fluorescent protein), YFP (yellow fluorescent protein) dan RFP (red fluorescent protein) dapat menghasilkan ikan zebra yang berwarna-warni (Gong et al. 2003a). Penerapan teknologi transgenesis dalam peningkatan resistensi ikan dan udang terhadap serangan penyakit atau patogen merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah penyakit pada akuakultur. Injeksi gen pengkode glikoprotein IHNV (infectious hematopoetic necrosis virus) menggunakan promoter CMV (cytomegalovirus) pada salmon, menunjukkan proteksi yang signifikan sampai dengan 12 minggu (Traxler et al. 1999). Seperti halnya dengan gen glikoprotein IHNV, daya tahan ikan medaka terhadap Pseudomonas fluorescens dan Vibrio anguillarum dapat ditingkatkan melalui transfer gen cecropin (Sarmasik et al. 2002).
Upaya peningkatan resistensi udang windu terhadap penyakit telah
dilakukan melalui injeksi protein rekombinan GST-PAP (glutathione-Stransferase-Phagocytosis Activating Protein) (Chotigeat et al. 2007). Transgenesis pada udang yang berhasil dilaporkan adalah masih terbatas pada udang vaname L. vannamei dengan mengintroduksikan gen pengkode TSV-
28
CP dengan menggunakan promoter β-aktin udang (pβactP2) (Sun et al. 2005; Lu & Sun 2005). Gen pengkode antivirus pada udang windu P. monodon yang diberi nama PmAV telah diidentifikasi oleh Luo et al. (2003) dan gen hemosianin oleh Zhang et al. (2004). Isolasi dan karakterisasi DNA komplementer (cDNA) pengkode antivirus merupakan tahapan kedua pada proses transfer gen antivirus dalam upaya mendapatkan spesies udang yang memiliki resistensi yang tinggi. Penelitian isolasi dan karakterisasi gen antivirus dari udang windu ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat similaritas sekuen dengan gen antivirus yang ada dalam Bank Gen. Selain itu, analisis sekuen nukleotida dan deduksi asam aminonya dilakukan untuk mengkonfirmasi kebenaran gen antivirus yang telah diisolasi.
BAHAN DAN METODE Sampel Udang Windu Penaeus monodon Udang windu P. monodon berukuran 10,1-74,4 g dikoleksi dari beberapa tambak udang di Sulawesi Selatan, termasuk dari tambak yang telah terserang penyakit virus bintik putih (white spot syndrome virus, WSSV). Sampel udang dikoleksi secara hidup dan selanjutnya dibawa ke Laboratorium Bioteknologi, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros untuk pengambilan hepatopankreas udang secara aseptik sebagai bahan untuk ekstraksi RNA total.
Ekstraksi RNA RNA total diekstraksi dengan menggunakan kit isogen (Nippon Gen) dengan cara seperti yang dijelaskan oleh Alimuddin (2009). Sebanyak 10-25 mg sampel hepatopankreas udang windu dimasukkan ke dalam tabung mikro 1,5 mL, kemudian dilarutkan dalam 200 µL isogen dalam wadah yang berisi es. Sampel yang sudah digerus dengan grinder tabung mikro ditambahkan kembali isogen sampai mencapai 800 µL, kemudian diinkubasi dalam suhu ruang selama 5 menit agar sampel dapat terlisis sempurna. Sampel ditambahkan dengan 200 µL
29
kloroform kemudian divorteks dan dibiarkan kembali dalam suhu ruangan selama 2-3 menit. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit kemudian disimpan pada suhu ruangan selama 5 menit dan supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam tabung mikro baru yang telah berisi dengan 400 µL iso-propanol. Sampel dihomogenkan dengan membolak-balikkan tabung mikro secara perlahan kemudian disimpan dalam suhu ruangan selama 5-10 menit. Sampel disentrifugasi kembali pada kecepatan 12.000 rpm pada suhu 4oC selama 15 menit. Supernatan dibuang, sedangkan pelet dilarutkan dalam 1 mL etanol 70% dingin dan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm pada suhu 4oC selama 15 menit. Supernatan dibuang, dan selanjutnya pelet dalam tabung mikro dikering-udarakan. Pelet RNA dilarutkan dengan DEPC 0,1% sebanyak 50 µL dan dilanjutkan dengan sintesis cDNA. Skema ekstraksi RNA disajikan pada Lampiran 6. Kemurnian dan kandungan RNA total hasil isolasi diukur dengan menggunakan alat UV-VIS spektrofotometer. Kemurnian dihitung berdasarkan perbandingan nilai absorpsi 260 nm dengan 280 nm, sedangkan konsentrasi DNA dapat dihitung berdasarkan nilai absorpsi 260 nm berdasarkan rumus yang telah dikembangkan oleh Linacero et al. (1998).
Síntesis cDNA dengan RT-PCR Sistesis DNA komplementer (complementary DNA, cDNA) dilakukan dengan menggunakan kit Ready-To-Go You-Prime Fisrt Strand Beads (GE Healthcare) dengan teknik RT-PCR. Konsentrasi RNA 3 μg dalam 30 µL DEPC 0,1% dihomogenkan dengan vorteks dalam tabung mikro, kemudian diinkubasi pada suhu 65oC selama 10 menit. Selanjutnya tabung mikro dimasukkan ke dalam es selama 2 menit, kemudian RNA dimasukkan ke dalam tabung first strand reaction mix beads yang telah berisi 2 butir bola putih. Primer oligo (dT) 5’-gta ata cga ata act ata ggg cac gcg tgg tcg acg gcc cgg gct ggt ttt ttt ttt ttt ttt t-’3 dengan konsentrasi 1 µg/3µL ditambahkan sebanyak 3 µL ke dalam reaksi, kemudian dibiarkan selama 1 menit. Tabung mikro diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam, kemudian cDNA yang terbentuk ditambahkan SDW 50 µL. Skema sintesis cDNA menggunakan teknik RT-PCR disajikan pada Lampiran 6.
30
Isolasi Gen Antivirus Isolasi gen antivirus PmAV dilakukan dengan menggunakan cDNA sebagai templat DNA. Gen PmAV diisolasi dengan menggunakan spesifik primer yang dibuat berdasarkan sekuen yang diakses pada Bank Gen dengan nomor aksesi AY302750.1 (Luo et al. 2003). Primer yang digunakan adalah PmAV-F 5’tag tgc atg cat atg ggt cat aca atc cta-3’ dan PmAV-R 5’-ctg tct cga gct atg tgt cct gct ttc aca-3’, dengan target fragmen sepanjang 513 bp yang mencakup kodon awal dan kodon akhir. Primer tersebut telah dilengkapi dengan situs restriksi (nukleotida yang digarisbawahi) masing-masing adalah SphI dan XhoI untuk membantu dalam proses kloning. Satu milligram cDNA digunakan sebagai templat untuk PCR pada kit PureTaq Ready-To-Go PCR Beads (GE Healthcare), kemudian dicampur dengan masing-masing 1 µL (50 ρmol/μL) primer forward dan reverse kemudian ditambahkan SDW sampai mencapai 25 µL. Kit tersebut mengandung 2,5 unit Taq Polimerase; 10 mM Tris-HCl pH 9; 50 mM KCl; 1,5 mM MgCl2; dan 200 μM setiap dNTP-mix. Amplifikasi gen antivirus dilakukan pada mesin PCR GenAmp 7200 (Applied Biosystem). Proses PCR dijalankan pada suhu pre-denaturasi 94oC selama 2 menit; 35 siklus untuk (denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 60oC selama 30 detik, ekstensi 72oC selama 45 detik); dan final ekstensi 72oC selama 7 menit. Untuk melihat keberhasilan amplifikasi fragmen DNA target, hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 1,0% dan didokumentasi dengan Gel Documentation System (Biometra). Untuk menentukan berat molekul fragmen DNA digunakan marker VC 100bp Plus DNA Ladder (Vivantis).
Kloning Gen Antivirus Kloning gen antivirus PmAV dilakukan dengan mengacu prosedur kloning gen promoter ProAV seperti yang dijelaskan pada Bab II. Secara singkat, kloning gen antivirus PmAV dilakukan melalui tahapan: (1) purifikasi gen antivirus menggunakan kit GF-1 Gel DNA Recovery (Vivantis), (2) ligasi gen antivirus PmAV ke vektor pGEM-T Easy, (3) pembuatan bakteri kompeten E. coli DH5α, dan (4) transformasi gen antivirus PmAV ke bakteri kompeten (inang) untuk
31
perbanyakan plasmid (lihat Bab II). Skema pelaksanaan kloning gen antivirus PmAV pada vektor pGEM-T Easy disajikan pada Lampiran 4.
Identifikasi Transforman Identifikasi klon bakteri pembawa gen antivirus PmAV hasil transformasi dilakukan dalam dua pendekatan yakni metode cracking dan teknik PCR seperti yang dijelaskan pada Bab II. Khusus pada tahapan teknik PCR, primer yang digunakan adalah PmAV-F dan PmAV-R menggunakan larutan hasil cracking sebagai templat DNA. Prosedur PCR amplifikasi gen antivirus PmAV dilakukan dengan mengacu pada metode yang telah dijelaskan pada Sub Bab Isolasi Gen Antivirus pada Bab ini.
Penderetan Nukleotida Gen Antivirus Isolasi plasmid, purifikasi fragmen DNA, dan pembacaan sekuen dilakukan dengan menggunakan metode yang telah dijelaskan pada Sub Bab Penderetan Nukleotida Promoter (lihat Bab II).
Analisis Data Sekuen gen antivirus PmAV dianalisis dengan menggunakan program Genetyx Versi 7 (Genetyx Coorporation) untuk mendapatkan similaritas sekuen dan deduksi asam amino dan keberadaan parameter penanda signal antivirus. Untuk mengetahui kemiripan gen yang dihasilkan, sekuen nukleotida dan deduksi asam amino gen antivirus disejajarkan (alignment) dengan sekuen antivirus yang telah ada di dalam Bank Gen dengan menggunakan program basic local alignment search tool (BLAST-N untuk sekeuns nukleotida dan BALST-P untuk sekuen protein atau asam amino). Data hasil analisis disajikan secara deskriptif.
32
HASIL DAN PEMBAHASAN Gen antivirus PmAV telah berhasil diisolasi dari cDNA hepatopankreas udang windu P. monodon dengan teknik RT-PCR. Di antara 22 sampel udang windu dari beberapa lokasi budidaya tambak, 6 sampel (27,3%) memperlihatkan ekspresi gen antivirus. Udang yang mengekspresikan gen antivirus PmAV tersebut didapatkan dari sampel yang berasal dari udang windu yang lolos (survivor) dari serangan WSSV. Hal ini menguatkan dugaan bahwa udang windu yang bertahan hidup dari serangan penyakit virus memiliki pertahanan tubuh lebih kuat yang diindikasikan dengan besarnya ekspresi gen antivirus tersebut. Visualisasi fragment DNA dari gen antivirus PmAV pada gel elektroforesis memperlihatkan pita tunggal pada posisi sekitar 513 bp (Gambar 5). Gambar tersebut juga memperlihatkan bahwa dengan pemurnian atau purifikasi fragmen DNA menggunakan kit melalui ekstraksi langsung dari gel dapat menghilangkan latar belakang (smear) dan dimer primer pada bagian bawah gel agarosa. Pemurnian fragmen DNA sangat penting untuk menghindari adanya kontaminasi fragmen DNA yang dapat terinsersi pada saat kloning gen dan pada saat pembacaan nukleotida (sekuensing).
Gambar 5 Hasil elektroforesis fragmen DNA gen antivirus PmAV yang diisolasi dari cDNA hepatopankreas udang windu P. monodon. Tanda panah menunjukkan fragmen gen antivirus PmAV pada posisi sekitar 513 bp; M=marker VC 100bp Plus DNA Ladder, 1-3=fragmen DNA hasil purifikari dari gel; dan 4-6=fragmen DNA hasil PCR.
33
Identifikasi masuknya gen atau fragmen DNA pada bakteri inang dilakukan dalam dua pendekatan yakni cracking dan PCR. Seleksi koloni bakteri warna putih-biru menunjukkan indikator utama sebelum dilakukan kedua metode tersebut. Insersi gen diindikasikan dengan koloni bakteri warna putih dan adanya penambahan berat molekul plasmid DNA bakteri inang pada metode cracking (Gambar 6). Proses masuknya vektor rekombinan pembawa gen ke dalam sel kompeten (bakteri) diketahui dengan mengamati ekspresi gen yang dibawa oleh vektor tersebut misalnya menggunakan marker gen LacZ yang telah umum digunakan pada vektor kloning. Kobolak & Muller (2003) menyatakan bahwa penggunaan vektor pGEM-T Easy dalam bakteri E. coli memiliki marker gen LacZ sebagai gen pelapor (reporter gene) dan marker gen resisten ampisilin. Selanjutnya Toha (2001) menyatakan bahwa apabila dalam media terdapat IPTG, gen LacZ yang mengkode enzim β-galaktosidase dapat diketahui karena mampu menguraikan 5-bromo-4-kloro-3-indolil-β-D-galaktopiranosida (X-gal) menjadi galaktosa dan 5-bromo-4-kloroindigo, yang menyebabkan koloni bakteri akan berwarna biru. Sebaliknya, jika terjadi insersi gen atau fragmen DNA pada daerah MCS maka koloni bakteri akan berwarna putih karena terjadi gangguan fungsi gen LacZ.
Gambar 6 Seleksi koloni putih-biru, cracking, dan plating klon bakteri pembawa gen antivirus PmAV. A=seleksi koloni klon bakteri yang ditumbuhkan pada media agar dimana tanda panah menunjukkan koloni putih dan biru, dan B=hasil cracking klon bakteri pada gel agarosa dimana tanda panah menunjukkan indikator positif sebagai pembawa gen antivirus dan negatif sebagai kontrol bakteri koloni biru, dan C=hasil plating klon bakteri pembawa gen antivirus pada media agar.
34
Analisis BLAST-N terhadap gen antivirus yang didapatkan menunjukkan similaritas sekuen yang identik (100%) dengan gen antivirus, baik yang disolasi dari mRNA (kode aksesi AY302750.1) maupun yang berasal dari DNA genom (kode aksesi DQ641258.1) udang windu P. monodon. Query dari kedua gen tersebut adalah: 100% dapat dipenuhinya oleh gen yang diisolasi dari mRNA, sedangkan hanya 96% pada gen yang diisolasi dari genom DNA (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa sekuen gen antivirus PmAV yang diisolasi dari mRNA identik dengan sekuen dari gen yang diisolasi pada penelitian ini, tetapi hanya sebagian besar sekuen antivirus dari genom DNA yang dapat disejajarkan yang mungkin disebabkan oleh keberadaan sekuen UTR (untranslated region), intron, dan Poly-A. Hasil penyejajaran tersebut memberikan keyakinan bahwa gen antivirus yang telah berhasil diisolasi dari udang windu adalah gen antivirus PmAV. Tabel 2 Similaritas sekuen gen antivirus PmAV udang windu P. monodon dengan gen antivirus pada Bank Gen Deskripsi
Pemenuhan query (%)
Similaritas (%)
mRNA PmAV P. monodon (AY302750.1)
100
100
Gen antivirus P. monodon (DQ641258.1)
96
100
Tingginya similaritas sekuen nukleotida tersebut memberikan indikator dalam kemiripan deduksi asam amino yang diperoleh setelah translasi melalui program Genetyx. Translasi asam amino diawali dengan sekuen ATG atau dikenal dengan kodon awal yang disandikan oleh asam amino metionina (M). Sedangkan kodon akhir ditandai dengan sekuen TAA yang tidak ditranslasi ke dalam bentuk asam amino, tetapi merupakan sekuen signal berakhirnya aktivitas translasi. Sekuen dan deduksi asam amino dari gen antivirus PmAV yang diisolasi dari udang windu, secara lengkap disajikan pada Gambar 7.
35
10 20 30 40 50 60 atgcgtcatacaatcctagttttcctttccctcggtgttgttgggtcggctgtggcaaca M R H T I L V F L S L G V V G S A V A T 70 80 90 100 110 120 tcatacgagaaaagtgccaatgattccaaggctgtctgctatagcccctatactgccatt S Y E K S A N D S K A V C Y S P Y T A I 130 140 150 160 170 180 gcggatcgctgtttgtttgtcgatcaccagacagatggaagctggtatgacatgcgagag A D R C L F V D H Q T D G S W Y D M R E 190 200 210 220 230 240 tactgtaaccttataaatggagactttctcaagctggatgacgctaatctccttactgat Y C N L I N G D F L K L D D A N L L T D 250 260 270 280 290 300 atcgttgagtacattacttaccaagtgggtgtgaacagagactactggatcggggggagt I V E Y I T Y Q V G V N R D Y W I G G S 310 320 330 340 350 360 gacgagaaccacgagggtctttggctgtggacggacggaactctcatgcggacaggtgtt D E N H E G L W L W T D G T L M R T G V 370 380 390 400 410 420 cccttgtggtaccattgcacctccatctctcaacaaccagatggtggctcctcagagaac P L W Y H C T S I S Q Q P D G G S S E N 430 440 450 460 470 480 tgtgccgtcatgcgctgggactcattttaccatatccatgatgtgtcttgctacacttct C A V M R W D S F Y H I H D V S C Y T S 490 500 510 cggtctgtcatttgtgaaagcaggacacattaa R S V I C E S R T H *
Gambar 7 Sekuen nukleotida dan deduksi asam amino penyandi gen antivirus PmAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon. Prediksi signal CTLD diindikasikan dengan huruf tebal; huruf kecil simbol nukleotida a=adenina, c=sitosina, g=guanina, t=timina; dan deduksi asam amino (huruf kapital) A=alanina, R=arginina, N=asparagina, D=asam aspartat, C=sisteina, G=glisina, E=asam glutamat, Q=glutamina, H=histidina, I=isoleusina, L=leusina, K=lisina, M=metionina, F=fenilalanina, P=prolina, S=serina, T=treonina, W=triptofan, Y=tirosina, V=valina, *=kodon akhir).
Kodon (kode genetik) awal atau kodon inisiasi translasi merupakan kodon untuk asam amino metionina yang mengawali struktur suatu polipeptida (protein) sedangkan kodon akhir merupakan kodon terminasi translasi pada suatu gen yang umumnya dicirikan oleh urutan sekuen TAA, TAG, atau TGA (Yuwono 2005). Seperti halnya dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa gen
36
antivirus PmAV dalam bentuk kerangka baca terbuka (open reading frame, ORF) yang diawali dengan kodon awal ATG dan diakhiri dengan kodon akhir TAA. Analisis domain deduksi protein dari cDNA antivirus udang windu menunjukkan adanya situs yang memiliki kemiripan dengan C-type lectin-like domain (CTLD). Susunan CTLD tersebut diperkirakan berada dari urutan asam amino ke-33 sampai dengan ke-166. Hasil penyejajaran asam amino (Gambar 8) menunjukkan bahwa pada urutan ke-33 (sisteina) merupakan asam amino pertama yang sama pada gen kelompok C-type lectin pada spesies krustase. CTLD tersebut merupakan salah satu indikator utama dalam prediksi karakter gen fungsional antivirus. Lektin (lectin) adalah merupakan kelompok glikoprotein yang dapat berperan dalam penggumpalan darah (Yatim 2003), sehingga lektin dikenal juga sebagai salah satu kelompok gen clotting protein (Dong & Xiang, 2007). Keberadaan CTLD juga telah dilaporkan oleh Luo et al. (2003) pada gen antivirus yang diisolasi dari udang windu dan Kong et al. (2008) pada kepiting Portunus trituberculatus. Meskipun pada umumnya lektin memperlihatkan aktivitas pengikatan (bind) dalam mendeteksi struktur gula, fungsi mereka pada beberapa organisme yang berbeda adalah tidak sama. Zelenksky & Gready (2005) telah mereview dengan lengkap fungsi secara luas dari beberapa famili lektin khususnya C-type lectin-like domain. Lektin dikenal memiliki peran penting dalam sistem pertahanan non-spesifik pada invertebrata berdasarkan studi analisis biokimia dan molekuler pada beberapa spesies krustase. Kebanyakan lektin krustase termasuk spesies penaeid, memiliki spesifitas yang umum pada N-acetylated amino sugar khususnya asam sialat (sialic acid) (Marques & Barracco 2000). Analisis hambatan hemaglutinasi (hemagglutination inhibition, HAI) lektin kepiting air tawar, Paratelphusa jacquemontii menunjukkan aktivitas sebagai asam sialat spesifik yang memiliki affinitas tinggi pada 0-acetyl neuraminic acid (Denis et al. 2003).
37
P. monodon (sampel penelitian) PmAV P.monodon PtLP P. trituberculatus C-type lektin L. vannamei C-type lektin L. vannamei C-type lektin P. semisulcatus C-type lektin P. semisulcatus C-type lektin-5 F. chinensis C-type lektin-5 F. chinensis C-type lektin P. monodon C-type lektin P. monodon C-type lektin F. chinensis C-type lektin-4 F. chinensis C-type lektin-4 F. chinensis C-type lektin L. vannamei
1 MRHTILVFLSLGVVGSAVATSYEKSANDSKAVCYSPYTAIAD-RCLFVDHQTDGSWYDMR 1 ..........................................-................. 6 L...VGILAV..ATNI.P..TK---.H..F.E.SG-..VHI.VSKT.T.QN.. 190 ..ALAPFGP..VGGRVS.PVLFIE.GG-L..MFVTWAEET.E.A. 48 .PGG.SLVG.-K..LFVTFVAEPYGEA. 200 ..ALAPFGP..VS.RVT.PILFVEVGG-L.MMFVTWEEET.E.A. 55 A.PGG.SLVGA-K.PMFVTFIAQPYSEA. 178 AA..ALAPLGP..VGGRVE.LA.FVEVGG-L..LFVTWFEDT.ENAQ 36 .PGG..LVGT-K..MFEIFASETHEEAK 180 ..ALVPFGP..VGGRVT.PDLFVEVGG-L.MAFVTWAEVT.E.AG 36 .PGG..LVGT-K..MFEIFASETHEEA. 1 MK..APVILTTLISVA--A..SVRATE.P...EPLDET..I.L.AFVSYT.QETV 36 .PEG.SLVGS-Q..MFVTFALENHREAK 199 .PTF.VEVGG-L..MFVTWAVET.HEAQ 1 MK..APVILTALISVASVR.-..----.PY..EPLD.T.RI.L.AYVTYT.Q.TV
59 59 54 233 74 243 82 223 62 223 62 53 62 225 50
P. monodon (sampel penelitian) PmAV P.monodon PtLP P. trituberculatus C-type lektin L. vannamei C-type lektin L. vannamei C-type lektin P. semisulcatus C-type lektin P. semisulcatus C-type lektin-5 F. chinensis C-type lektin-5 F. chinensis C-type lektin P. monodon C-type lektin P. monodon C-type lektin F. chinensis C-type lektin-4 F. chinensis C-type lektin-4 F. chinensis C-type lektin L. vannamei
60 60 55 234 75 244 83 224 63 224 63 54 63 226 51
EYCNLINGDFLKLDDANLLTDIVE------YITYQ-VGVNRDYWIGGSDENHEGLWLWTD ........................------.....-........................ KF.QQLG..LVN.S.LQFYG..LL------..ESL-HLPHASF...AT..AT.DV.M... RA.AGASAEL.AIT.VEVFRALYL------..HQD-NLSSHAF.L..T.LAS..T.VY.T QF.HAAK.ELAAITT.ADFKNTID------..HAN-GLSGTSF.LD....AA..V.VTSS QA.AGASS.L.AIT.IEV.RAVYL------F.HAN-SLSGHTF.L....MAS..T.VY.T QF.HAAK.ELTAITT.TDFKNL.D------..NAN-DFTSG.F.LD.T..AT..V.VTSS QM.AGTSS.L.AIT.IEV.RTLYL------F.QAN-GLDGNTF.L....LAS..T.VY.T NF.HDAQ.ELASITT.TDFKNL.D------..HAN-DLFG.TF.VD.R..ET..V..TSS QV.AGLS..L.AIT.IEV.RALYL------F.QTN-GLSGNTF.L....QES..T.VY.T YF.HDAK.ELVAITT.TDFKNL.D------..HAN-GLFG.TF.VD.R..ET..V..TAS DL.KSHG.EI.TIE.CETFALVYD------..RS.D.TKGKH..L.AT..VE..T.KFVN QT.HSVS.EL.AITTPTQFVHV.N------H.HAY-GYTG.QF.LD...AEK..N.VTSS QT.G-DSS.L.AIT..EV.RAVYL------.LHQE-NIADHSF.L....S.-.RN.VF.T DP.KTHS.EI.MIE.CETFALVYD------..KSKD.TQGKHFRL.AT..VE..T.KFVN
112 112 107 286 127 296 135 276 115 276 115 107 115 276 104
P. monodon (sampel penelitian) PmAV P.monodon PtLP P. trituberculatus C-type lektin L. vannamei C-type lektin L. vannamei C-type lektin P. semisulcatus C-type lektin P. semisulcatus C-type lektin-5 F. chinensis C-type lektin-5 F. chinensis C-type lektin P. monodon C-type lektin P. monodon C-type lektin F. chinensis C-type lektin-4 F. chinensis C-type lektin-4 F. chinensis C-type lektin L. vannamei
113 113 108 287 128 297 136 277 116 277 116 108 116 277 105
GTLMRTGVPLW----YHCTSIS-QQPD-GG-SSEN----CAVMRWDSFYHIHDVSCY-TS ...........----.......-....-..-....----..................-.. ..PV.M.T.F.----ANYGDNNY.M.T-..-EKQ.----.VMLDVNFH.YFN.FT.SN.D .EPVPM.T.F.GL--.AGSASA-.E..-..-TNQ.----.LAITGEGYFNFR.Y..A-SK .EVVPL.T.F.----AAFPN-G-....--N-AH..EHYL.LSSS.--.LYMN.A.SS-AI .EPVPM.T.F.GL--NDMSAP.-.E.N-..-T...----.LAI--GI..NFR.Y..G-SR .EAVPL.T.F.-----AAFGL.-....YVN-GKKH----.LFLPPAW.FYMGNNP.S-AV .EPVPM.T.F.GL--ADMSAP.-.E.N-..-T...----.LAI--GN..NFR.Y..G-SK .EAVPL.T.F.AAFD..------....-NSLGN.H----.LSIPS.W.LYMN..P.S-NI .EPVPM.T.F.GL--TDMSAP.-.E.N-.E-T...----.LAI--GN..NFR.Y..G-SV .EVVPS.T.F.AAFE..------....-NALGN.H----.LSIPS.W.LYMN..V.S-NK NR.TPM.I.Y.---------GV-NE.N-N.-NTY.----..M.HASYNHYWY.AA.G-SK .QAVPR.T.F.----A-AFQDT-....-NAHGA.H----.LE.ESSE.FYLN.AV.E-DK .ESVPM.T.F.GL--.RGD.VM-.E.Q-..-TR..----.LMLHSGGSHYFR..T.S-MR NRAVPQ...F.---------GK-GE.N-S.-NTH.----..I.HASYNHYWY.IQ.E-NK
160 160 157 336 175 344 183 324 163 324 163 150 163 326 147
P. monodon (sampel penelitian) PmAV P.monodon PtLP P. trituberculatus C-type lektin L. vannamei C-type lektin L. vannamei C-type lektin P. semisulcatus C-type lektin P. semisulcatus C-type lektin-5 F. chinensis C-type lektin-5 F. chinensis C-type lektin P. monodon C-type lektin P. monodon C-type lektin F. chinensis C-type lektin-4 F. chinensis C-type lektin-4 F. chinensis C-type lektin L. vannamei
161 161 158 337 176 345 184 325 164 325 164 151 164 327 148
RSVICESRTH .......... V.P...K FNPL. INF...A FNPL. KNF...ATNQ FFPL.IY. KNF...ATVQ FYPL. KNF...ATVQ YNP.. SNF..Q LNP.. YNP..LKK
170 170 164 341 182 349 193 332 173 329 173 155 169 331 155
Gambar 8 Alignment deduksi asam amino gen antivirus PmAV yang diisolasi dari udang windu P. monodon dengan asam amino pada Bank Gen. Sampel penelitian (gen antivirus yang diisolasi dari P. monodon dalam penelitian ini); gen PmAV P. monodon (AAQ75589); C-type lectin-like domain-containing protein PtLP P. trituberculatus (ACC86854); C-type lectin L. vannamei (ABI97374); C-type lectin P. semisulcatus (ABI97372); C-type lectin 5 F. chinensis (ACJ06428); C-type lectin P. monodon (ABI97373); C-type lectin F. chinensis (ABA54612); C-type lectin 4 F. chinensis (ACJ06429); dan Ctype lectin L. vannamei (ABU62825); nomor di awal dan akhir asam amino menunjukkan urutan asam amino; singkatan asam amino A=alanina, R=arginina, N=asparagina, D=asam aspartat, C=sisteina, G=glisina, E=asam glutamat, Q=glutamina, H=histidina, I=isoleusina, L=leusina, K=lisina, M=metionina, F=fenilalanina, P=prolina, S=serina, T=treonina, W=triptofan, Y=tirosina, dan V=valina.
38
Studi yang dilakukan oleh Ma et al. (2007) memperlihatkan indikasi peran penting molekul lektin pada mekanisme pertahanan inang dekapoda dalam pembersihan infeksi patogen. Studi yang dilakukan oleh Sun et al. (2007) mengindikasikan bahwa lektin vaname L. vannamei memperlihatkan hambatan yang luas pada lipo-polisakarida bakteri gram negatif yang mengindikasikan peranan signifikan secara in vivo pada agglutinin humoral dalam respon inang melawan infeksi bakteri. Pada studi lainnya, kloning gen lektin pada level molekuler dan karakteriasi C-type lectin telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Pada udang windu P. monodon dikenal dengan antivirus lectin-like protein dengan carbohydrate-recognition domain (CRDs) (Luo et al. 2003) dan lektin yang memiliki kemampuan pengikatan lipo-polisakarida (Zhang et al. 2004). Selanjutnya Luo et al. (2006), melaporkan bahwa lektin dari cDNA udang P. monodon (PmLec) berperan dalam imunitas non-spesifik khususnya dalam fungsinya sebagai pengenal protein dan opsonin. Zhao et al. (2009) juga melaporkan bahwa L. vanname C-type lectin-1 (LvCTL1) diekspresikan sangat tinggi di hepatopankreas udang vaname, dimana rekombinan LvCTL1 telah dibuktikan dapat memproteksi udang dari infeksi WSSV yang ditandai dengan affinitas tinggi dan mampu melakukan interaksi beberapa protein WSSV. Gen antivirus yang ditemukan pada penelitian ini memiliki deduksi asam amino yang identik dengan gen antivirus PmAV dengan kode aksesi AAQ75589.1 pada Bank Gen. Keberadaan CTLD pada gen yang diisolasi juga didukung dengan kemiripan gen pengkode CTLD yang telah diisolasi dari kepiting, Portunus trituberculatus yang dikenal sebagai C-type lectin-like domain-containing protein PtLP dengan kode akses ACC86854.1. Selain itu, gen antivirus memiliki kekerabatan beberapa gen yang mengkodekan C-type lectin yang diisolasi dari beberapa spesies krustase misalnya dari L. vannamei (kode aksesi AB197374.1; ABU62825.1), P. semisulcatus (kode aksesi ABI97372.1), F. chinensis (kode aksesi ACJ06428.1; ABA54612.1; ACJ06429.1), P. monodon (kode aksesi ABI97373.1; AAZ29608.1). Gen antivirus PmAV yang diisolasi dari udang windu pada penelitian ini tersusun atas 170 asam amino yang dideduksi dari sekuen cDNA. Komposisi asam amino penyusun gen antivirus yang terbesar adalah serina (10,00%),
39
sedangkan yang terkecil adalah asam amino prolina dan lisina masing-masing 1,76%. Komposisi yang sama juga telah dilaporkan pada deduksi asam amino dari sekuen cDNA PmAV yang diisolasi dari udang windu (Luo et al, 2003). Berbeda halnya dengan gen antimikroba penaeidin dimana deduksi asam aminonya memperlihatkan persentase asam amino prolina sangat tinggi (22-29%) pada daerah hulu dan asam amino sisteina (19-23%) pada daerah hilir (Destoumieux et al. 1997; 2000). Deduksi asam amino yang didapatkan pada gen antivirus tersebut lebih besar dibandingkan dengan beberapa deduksi asam amino dari gen antimikroba yang ditemukan sebelumnya, misalnya gen PAP (phagocytosis activating protein) terdiri atas 546 bp yang mengkode 144 asam amino (Chotigeat et al. 2007), antimikroba peptida krustase (penaeidin, P3-a) tersusun atas 82 asam amino (Destoumieux et al. 1997). Isolasi dan identifikasi gen pengkode ketahanan penyakit merupakan langkah awal yang dilakukan dalam upaya peningkatan imunitas pada udang. Dong & Xiang (2007) telah menemukan sedikitnya 34 gen yang dilibatkan dalam fungsi pertahanan atau imunitas pada haemosit pustaka cDNA dari udang F. chinensis, dimana: 38% diantaranya teridentifikasi sebagai gen antimikroba peptida (penaeidin dan anti-lipopolisakarida), 32% adalah gen sistem prophenoloksidase (proPO dan serin proteinase), 15% gen clotting protein (lektin dan transglutaminase), 9% gen signal transduksi inter-selular (peroxinectin dan integrin), dan 6% gen shaperone protein (HSP70 dan thioredoxin peroxidase). Upaya peningkatan imunitas ikan atau udang merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam pengendalian penyakit. Pendekatan teknologi rekombinan khususnya vaksin DNA telah mulai diaplikasikan pada akuakultur. Penyuntikan salmon Atlantik dengan plasmid pengkode glikoprotein IHNV dengan menggunakan promotor pCMV menunjukkan proteksi yang signifikan dengan adanya pembentukan antibodi penetral virus setelah imunisasi dan titernya meningkat setelah uji tantang (Traxler et al. 1999). Salah satu mekanisme yang potensial dalam peningkatan resistensi penyakit adalah produksi hewan akuatik transgenik yang mengandung gen antimikroba peptida. Beberapa informasi telah tersedia luas terkait dengan antibakteri peptida (Bevins & Zasloff 1990; Lehrer et al. 1993; Boman 1996;
40
Hoffmann et al. 1996; Hancock 1997) dimana organisme yang mengandung gen pengkodenya memperlihatkan resistensi patogen yang lebih tinggi. Penemuan cecropin (cationic peptide) (Steiner et al. 1981) sebagai antibakteri merupakan awal dari penelitian antimikroba yang selanjutnya diidentifikasinya beberapa antimikroba lainnya. Struktur yang unik dari cecropin dapat menyebabkan penyatuan sampai membran seluler bakteri, jamur dan parasit sehingga membentuk pori pada membran yang menyebabkan kematian pada patogen (Bechinger 1997). Studi in vitro mengindikasikan bahwa teknologi transgenesis menggunakan konstruksi gen cecropin dapat meningkatkan resistensi organisme. Introduksi konstruksi antimikroba peptida cecropin-B meningkatkan resistensi terhadap bakteri sampai dengan empat kali lipat pada channel catfish (Dunham et al. 2002). Hal yang sama juga ditunjukkan pada ikan medaka transgenik yang memiliki resistensi lebih tinggi dibandikan dengan ikan non-transgenik terhadap bakteri Pseudomonas sp. dan Vibrio sp. (Sarmasik et al. 2002). Gen lisozim telah dilaporkan merupakan salah satu gen pengkode ketahanan penyakit khususnya antimikroba yang tidak spesifik (Austin & Allen-Austin 1985). Dengan menggunakan konstruksi promoter ocean pout AFP dan gen lisozim yang diintroduksi ke ikan salmon menunjukkan adanya kemampuan melawan berbagai jenis mikroba. Pada krustase khususnya pada udang, peningkatan resistensi melalui teknologi transgenesis masih terbatas. Chotigeat et al. (2007) juga telah berhasil mengidentifikasi gen PAP yang memiliki aktivitas dalam peningkatan fagositas hemosit pada udang windu sehingga dengan injeksi intra-muskular dapat meningkatkan resistensi udang windu terhadap WSSV dibandingkan dengan kontrol (tanpa injeksi gen PAP). Penemuan gen pengkode antimikroba penaeidin membuka peluang dalam peningkatan immunitas udang melawan serangan patogen. Aplikasi penaeidin telah memperlihatkan efek peningkatan resistensi pada udang L. vannamei (Destoumieux et al. 1997). Induksi imun pada udang melalui vaksinasi telah dilaporkan dengan penggunaan rekombinan protein WSSV pada udang P. chinensis (Kim et al. 2004), antivirus menggunakan untai ganda RNA (dsRNA) pada udang vaname L. vannamei (Robalino et al. 2004).
41
Keberhasilan isolasi dan karakterisasi serta kloning promoter ProAV (lihat Bab II) dan gen antivirus PmAV merupakan suatu acuan dalam pembuatan konstruksi gen khususnya konstruksi gen all-shrimp construct. Konstruksi gen tersebut dibuat untuk digunakan dalam pengujian secara in vivo pada embrio udang windu, baik pada uji aktivitas promoter ProAV maupun pada analisis ekspresi gen antivirus PmAV. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan selanjutnya yang harus dilakukan dalam tahapan produksi udang windu tahan penyakit.
KESIMPULAN Gen antivirus PmAV telah berhasil diisolasi dari cDNA hepatopankreas udang windu P. monodon dan memiliki sekuen yang identik dengan gen antivirus udang windu pada Bank Gen. Gen antivirus tersebut menyandikan 170 asam amino.
IV. AKTIVITAS PROMOTER ANTIVIRUS PADA UDANG WINDU Penaeus monodon MENGGUNAKAN GEN EGFP (ENHANCED GREEN FLUORESCENT PROTEIN) SEBAGAI PENANDA*)
ABSTRAK Untuk mengetahui aktivitas promoter, diperlukan adanya suatu gen penanda yang disambungkan dengan promoter dalam konstruksi gen. Promoter dikatakan aktif apabila gen penanda dapat terekspresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas promoter antivirus ProAV pada udang windu Penaeus monodon dengan menggunakan EGFP (enhanced green fluorescent protein) sebagai penanda. Promoter ProAV digabungkan dengan gen EGFP dalam vektor pEGFP-N1 sehingga terbentuk konstruksi gen pProAV-EGFP. Transfer konstruksi gen dilakukan dengan menggunakan metode transfeksi kepada telur udang windu yang telah terbuahi. Uji konfirmasi masuknya gen EGFP dan ekspresi sementarnya diamati pada embrio dan larva. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa derajat penetasan telur udang windu hasil transfeksi adalah 39,3% dan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan transfeksi tanpa konstruksi gen (43,1%) serta tanpa transfeksi (49,0%). Hal ini berindikasi bahwa larutan transfeksi jetPEI dan gen EGFP tidak memberikan efek yang membahayakan bagi embrio udang. Selain itu, promoter antivirus ProAV udang windu dapat aktif dan mampu mengendalikan ekspresi sementara gen EGFP pada embrio dan larva. Pola ekspresi sementara gen EGFP pada embrio dan larva udang windu mulai terlihat 12 jam setelah transfeksi (jst), dan mencapai puncak ekspresi pada 24 jst dan selanjutnya ekspresi menurun pada pengamatan 30 jst. Hasil penelitian tersebut berimplikasi bahwa promoter ProAV dapat dimanfaatkan dalam upaya pengembangan udang windu transgenik dengan menggunakan gen target yang diinginkan. Kata kunci: promotor, gen berpendar, konstruksi gen, transfeksi, ekspresi sementara, udang windu.
-----------------*) Bab ini telah dipresentasikan pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA) pada tanggal 20-23 April 2010, di Bandar Lampung.
43
ACTIVITY OF ANTIVIRAL PROMOTER ON TIGER SHRIMP Penaeus monodon USING EGFP (ENHANCED GREEN FLUORESCENT PROTEIN) GENE AS A MARKER
ABSTRACT To study the promoter activity, a reporter gene should be combined with the promoter on a gene construct. The active promoter is indicated by the transient expression of the reporter gene. The present study aimed to examine the activity of ProAV promoter on tiger prawn Penaeus monodon using EGFP (enhanced green fluorescent protein) as a reporter gene. Promoter ProAV and EGFP gene were cloned into pEGFP-N1 to obtain the gene construct of pProAV-EGFP. Transfection technique was used to transfer the construct gene plasmid to fertilized eggs of tiger prawn embryo. The insertion of EGFP gene and its transient expression were confirmed on the shrimp embryo and larvae. The results showed that the hatching rate of tiger shrimp with transfection was 39.3% and it was not significantly different (P>0.05) with the transfection without plasmid gene construct (43.1%) and without transfection (49.0%). It was indicated that the jetPEI reagent and EGFP gene did not show the toxicity to the shrimp embryo. The study revealed that the ProAV promoter showed the activity to regulate the transient expression of EGFP gene on embryo and larvae of tiger prawn. The expression of EGFP started to show at 12 hours after transfection (hat) and the peak expression at 24 hat. The expression showed the decrease at 30 hat. The result implied that the utilization of ProAV promoter would be useful on development of transgenic tiger shrimp using the appropriate target gene. Keywords: promoter, fluorescent gene, gene construct, transfection, transient expression, tiger shrimp.
PENDAHULUAN Teknologi transgenesis merupakan piranti yang sangat ampuh dalam menganalisis fungsi biologi molekuler dan dalam menghasilkan trait (karakter) penting yang komersil dalam akuakultur. Teknologi trangenesis adalah suatu proses mengintroduksikan DNA eksogenus atau DNA asing ke hewan uji dengan tujuan untuk memanipulasi struktur genetiknya (Glick & Pasternak 2003). Beberapa kajian ikan transgenik yang mengarah pada produksi secara komersial
44
dari trait-trait penting khususnya pada peningkatan pertumbuhan dan resistensi terhadap patogen penyebab penyakit telah dilakukan. Sebagai aplikasi teknologi transfer gen penyandi resistensi penyakit, dilakukan pengujian keaktifan promoter secara in vivo pada telur yang telah terbuahi. Uji in vivo terhadap transfer gen diharapkan dapat mendekati sistem ekspresi gen secara alami. Dua strategi pengamatan yang dapat dilakukan yakni (1) ekspresi sementara (transient expression) yang merujuk pada transkripsi gen asing pada ekstra kromosom secara temporal, dan (2) ekspresi tetap (stable expression) yang terjadi setelah gen eksogenus terintegrasi dengan DNA genom. Alimuddin et al. (2003) melaporkan bahwa aktivitas promoter dari konstruksi gen dari ikan (all-fish construct) lebih tinggi dalam pengaturan ekspresi transgennya dibandingkan dengan promoter yang diisolasi dari mamalia atau virus. Aplikasi konstruksi gen dari ikan telah berhasil digunakan pada ikan salmon (Yaskowiak et al. 2006); ikan mud loach (Nam et al. 2001, ikan nila hitam (Kobayashi et al. 2007). Pengujian
aktivitas
promoter
umumnya
dilakukan
dengan
cara
menginjeksi langsung konstruksi gen ke otot daging atau transfeksi ke sel kultur (Kato et al. 2007).
Meskipun demikian, pengamatan ekspresi gen setelah
diinjeksi relatif sulit dilakukan akibat terhalang oleh pigmen kulit. Metode yang paling umum dilakukan saat ini adalah introduksi konstruksi gen ke dalam embrio menggunakan gen reporter sebagai indikator pengamatan ekspresi sementaranya (Muller et al. 1993, 1997; Takagi et al. 1994; Hamada et al. 1998; Sheela et al. 1998; Maclean et al. 2002; Alimuddin 2003; Kobolak & Muller 2003; Her et al. 2004; Kato et al. 2007). Ekspresi gen dapat juga dianalisis dengan cara mengukur level messenger RNA (mRNA) dan protein. Messenger RNA dari gen asing dapat dideteksi dengan menggunakan probe dengan melabel fragmen DNA dengan radioaktif misalnya
35
P, dan protein dengan cara immunodeteksi dengan menggunakan
antibodi (Alimuddin et al. 2003). Akan tetapi kedua metode tersebut membutuhkan banyak waktu dan relatif lebih kompleks. Untuk mengembangkan promoter diperlukan suatu metode yang sederhana dan cepat untuk mendeteksi ekspresi gen yang dikendalikannya. Sebuah metode yang baru dikembangkan
45
adalah dengan menggunakan gen pengkode protein berpendar hijau (GFP, green fluorescent protein) dari ubur-ubur yang digunakan sebagai penanda atau gen pelapor (reporter gene). Gen GFP tersebut dapat dengan mudah dideteksi dengan menggunakan mikroskop berpendar (fluorescent microscope) atau melalui analisis ekspresi gen menggunakan teknik RT-PCR. Penggunaan gen GFP semakin pesat dengan semakin meningkatkan studi aktivitas promoter dalam teknologi transgenesis. Kelebihan dari gen berpendar ini adalah memiliki tingkat sitotoksisitas yang rendah, tidak memerlukan substrat tambahan dan kofaktor untuk berpendar, serta ekspresi transgen dapat terlihat pada sel dengan menggunakan sinar ultra violet (UV) (Felts et al. 2001; Gong et al. 2003b). Oleh karena itu, sebagai tahap ketiga studi transfeksi gen antivirus pada udang windu dalam penelitian ini, dilakukan uji aktivitas promoter gen antivirus ProAV secara in vivo dengan menggunakan gen enhanced green fluorescent protein (EGFP) sebagai gen penanda. Secara in vitro promoter antivirus ProAV ini telah dibuktikan keaktifannya dengan menggunakan gen GFP. Luo et al. (2007) melaporkan bahwa aktivitas promoter ProAV semakin meningkat jika sekuen mikrosatelitnya dihilangkan. Karena itu, penelitian ini sudah dirancang secara khusus untuk menggunakan promoter ProAV yang diisolasi dari udang windu tanpa sekuen mikrosatelit. Keberhasilan dalam menentukan aktif atau tidaknya promoter ProAV ini merupakan dasar untuk melanjutkan penelitian transfeksi gen antivirus udang windu PmAV dengan menggunakan promoter ProAV tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas promoter gen antivirus ProAV pada udang windu P. monodon dengan menggunakan gen berpendar EGFP sebagai gen penanda.
BAHAN DAN METODE Pembuatan Konstruksi Gen ProAV-EGFP Konstruksi promoter ProAV dengan gen EGFP dilakukan dengan memanfaatkan vektor pEGFP-N1 (Clontech) yang di dalamnya telah memiliki gen berpendar EGFP yang telah dikembangkan dari gen GFP. Pembuatan
46
konstruksi gen diawali dengan digesti promoter ProAV pada plasmid dari klon bakteri dalam vektor pGEM-T Easy dengan menggunakan enzim restriksi BamHI. Fragmen DNA promoter tersebut diisolasi dan dipurifikasi untuk selanjutnya diligasi ke vektor pEGFP-N1 dengan memanfaatkan situs restriksi BamHI. Proses kloning promoter ProAV pada vektor pEGFP-N1 dan transformasi ke bakteri inang dilakukan mengikuti prosedur standar kloning gen yang telah dijelaskan pada Bab II & III sebelumnya. Skema pembuatan konstruksi gen pProAV-EGFP disajikan pada Lampiran 7. Keberhasilan transfer promoter dalam vektor dapat diketahui dengan menggunakan teknik cracking seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Koloni bakteri warna putih diambil menggunakan tusuk gigi steril dan dioleskan ke dasar tabung mikro 1,5 mL dan dilanjutkan dengan menggoreskannya ke dalam master plate yang mengandung setiap koloni bakteri yang dianalisa dengan cracking, yang merupakan sumber koloni bakteri untuk setiap tahap penelitian berikutnya. Master plate bakteri diinkubasi pada suhu 37oC selama 8 jam. Ke dalam tabung mikro yang berisi bakteri ditambahkan 10 uL buffer cracking (0,2 g saccharosa; 40 µL NaOH 5M; 50 µL SDS 10%; dan sisanya SDW sehingga volume larutan menjadi 1 mL), 10 uL larutan EDTA 10 mM dan sekitar 2 µL 6 X buffer loading DNA berisi KCl 4M dengan perbandingan volume 1:1 yang diletakkan di bagian dalam penutup tabung mikro. Setelah diinkubasi sekitar 5 menit, larutan di-spin down pada kecepatan 5.000 rpm selama 3 detik dan kemudian divorteks keras. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC. Sebanyak 10 µL supernatan yang terbentuk digunakan untuk elektroforesis menggunakan gel agarosa 0,7%. Untuk mengetahui koloni bakteri yang membawa DNA insersi dalam plasmid digunakan bakteri biru sebagai kontrol. Ukuran DNA plasmid koloni bakteri yang membawa insersi akan lebih besar dari pada kontrol (tergantung ukuran fragmen DNA yang diligasi). Hasil cracking yang menunjukkan positif insersi gen digunakan sebagai templat PCR untuk uji selanjutnya. Untuk mengetahui keberhasilan arah penyambungan promoter dalam vektor pada setiap klon bakteri, dilakukan uji orientasi melalui teknik PCR dengan menggunakan primer promoter ProAV-F: 5’- gtc gga tcc agt ccc aca ctc cat caa -
47
3’ dan EGFP-R: 5’- acg aac tcc agc agg acc at -3’. Reaksi PCR yang digunakan adalah 0,05 µL Taq Polimerase; 1 µL 10 X buffer; 0,8 µL dNTP mix; 0,8 µL MgCl2; 10 pmol masing-masing primer; 1 µL templat DNA; dan 4,35 µL SDW. Program PCR yang digunakan adalah: suhu pre-denaturasi 94oC selama 3 menit, 35 siklus untuk (denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 58oC selama 30 detik dan ekstensi 72oC selama 45 detik), serta final ekstensi 72oC selama 3 menit. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1,0% untuk melihat fragmen DNA yang terbentuk. Klon yang memperlihatkan hasil amplifikasi PCR dengan fragmen sekitar 1,1 kb menunjukkan kesesuaian arah ligasi yang diinginkan.
Pematangan Induk Udang Windu Pembenihan udang windu dilakukan berdasarkan prosedur standar operasional perbenihan udang windu (Deptan 1987). Induk yang digunakan dikarantina di bak induk untuk dilakukan uji bebas virus khususnya WSSV dengan menggunakan kit WSSV (IQ-2000) sesuai dengan prosedur dalam manual kit. Hanya induk udang yang dinyatakan negatif atau SPF (specific pathogen free) digunakan untuk dilanjutkan pada proses pematangan. Induk udang windu dipelihara dalam bak beton ukuran 3 ton sistem air mengalir dengan kepadatan 10 ekor dengan rasio jantan:betina adalah 1:1. Pakan induk sebanyak 15% dari bobot tubuh berupa cumi-cumi dan cacing laut diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Sebelum pakan diberikan, dilakukan perendaman dalam larutan iodin 100 ppm selama 10 menit yang bertujuan untuk disinfeksi pakan. Untuk mempercepat pematangan gonad dilakukan ablasi mata, yaitu dengan memotong tangkai bola mata induk udang. Dalam waktu 3–4 hari setelah ablasi, induk udang menunjukkan kematangan gonad. Udang yang telah matang gonad (TKG IV) dipindahkan ke bak pemijahan yang berbentuk kerucut dengan volume 300 L. Untuk menghindari agar induk udang tidak stres dan memudahkan pemantauan waktu pemijahan telur, bak pemijahan dirancang khusus dengan membuat lubang berbentuk bundar (diameter 15 cm) pada kedua sisi yang berlawanan dan dilengkapi dengan lampu pijar 5 Watt (lihat Lampiran 8). Pemijahan pada umumnya terjadi pada malam hari. Sekitar 5 menit setelah pemijahan dilakukan koleksi telur untuk keperluan transfeksi.
48
Uji Aktivitas Promoter ProAV Persiapan transfeksi diawali dengan isolasi plasmid konstruksi gen ProAVEGFP dari bakteri. Isolasi plasmid menggunakan GF-1 Plamid DNA Extraction Kit (Vivantis) dengan prosedur yang sesuai dengan manual kit yang digunakan. Prosedur isolasi plasmid mengikuti kit tersebut dilakukan sesuai dengan metode yang telah dijelaskan pada Bab II & III khusunya Isolasi Plasmid pada Sub Bab Penderetan Nukleotida. Skema isolasi DNA plasmid menggunakan kit GF-1 Plamid DNA Extraction Kit disajikan pada Lampiran 5. Kuantitas dan kualitas isolat plasmid diukur dengan menggunakan UV-VIS spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Kuantitas (konsentrasi) plasmid dihitung dengan mengacu pada rumus yang talah dikembangkan oleh Linacero et al. (1998), sedangkan kualitas (kemurnian) plasmid dihitung dari rasio absorpsi 260 nm dan 280 nm (OD260/OD280). Telur
segera
dikoleksi
setelah
pemijahan
berlangsung
dengan
menggunakan saringan telur. Kotoran dihilangkan dan induk udang dipindahkan kembali ke bak pematangan induk. Telur dibuat konsentrat dalam 500 mL air laut yang telah disaring dengan membran filter untuk mendapatkan jumlah telur yang banyak dalam volume yang kecil. Sebanyak 2 mL telur konsentrat dipindahkan ke dalam cawan petri 35x10 mm untuk digunakan dalam proses transfeksi. Untuk mengetahui jumlah telur dalam konsentrat tersebut dilakukan penghitungan langsung telur dengan cara sampling sebanyak 2 mL sebanyak 3 kali. Metode transfeksi yang digunakan mengacu pada standar protokol yang diuraikan dalam manual larutan transfeksi jetPEI (Polyplus Transfection). Plasmid DNA sebanyak 6 µg dicampur dengan 100 μL NaCl 150 mM. Sementara itu, 8 μL larutan jetPEI dicampur dengan 100 μL NaCl 150 mM. Campuran jetPEI dan NaCl tersebut ditambahkan ke campuran plasmid dan NaCl tersebut, kemudian divorteks 15 detik dan diinkubasi selama 15-30 menit. Sebanyak 200 μL kompleks plasmid-jetPEI ditambahkan ke dalam konsentrat telur pada cawan petri memudian dihomogenkan dan diinkubasi selama 50 menit (lihat Lampiran 9). Telur yang sudah ditransfeksi selanjutnya dicuci dengan air laut dan kemudian dimasukkan ke dalam stoples yang berisi air laut 2 liter dan dilengkapi dengan aerasi untuk proses penetasan telur (lihat Lampiran 10). Untuk mengetahui
49
toksisitas larutan transfeksi terhadap embrio telur digunakan perlakuan kontrol untuk pengamatan daya tetas larva. Kontrol positif dilakukan sesuai prosedur transfeksi telur tanpa menggunakan plasmid DNA, sedangkan kontrol negatif dilakukan sesuai prosedur transfeksi tanpa menggunakan larutan transfeksi dan plasmid DNA. Masing-masing perlakuan dilakukan dalam 5 ulangan (2 ulangan untuk pengambilan sampel pengamatan keberhasilan transfer gen dan ekspresinya, dan 3 ulangan untuk penghitungan derajat penetasan telur). Uji konfirmasi masuknya gen EGFP dan aktivitas promoter ProAV dalam embrio dan larva dilakukan dengan mengisolasi DNA genom dan RNA (dilanjutkan dengan sintesis cDNA) dengan menggunakan 50 butir telur (pooled sample). Untuk mengetahui aktivitas promoter dilakukan pengamatan ekspresi transgen yang ditandai dengan keberadaan telur berpendar di bawah UV transilluminator dan dengan menggunakan teknik RT-PCR. Pengambilan sampel dilakukan 12 jam setelah transfeksi (jst), kemudian dengan selang waktu pengamatan 6 jam (18, 24, dan 30 jst). Penghitungan derajat penetasan larva dilakukan setelah telur diinkubasi selama 24 jam. Gen EGFP dan ekspresi sementaranya dideteksi dengan teknik PCR semi kuantitatif. DNA genom dari sampel telur tanpa transfeksi digunakan sebagai kontrol dalam penelitian ini. Primer yang digunakan adalah EGFP-F : 5’- ggt cga gct gga cgg cga cg -3’ dan EGFP-R : 5’- acg aac tcc agc agg acc at -3’, dengan menggunakan DNA genom dan cDNA sebagai templat PCR. Target DNA fragment gen EGFP adalah berada pada posisi 627 bp. Proses PCR dijalankan dengan program suhu pre-denaturasi 94oC selama 3 menit; 35 siklus untuk (denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 58oC selama 30 detik, dan ekstensi 72oC selama 45 detik); serta final ekstensi 72oC selama 3 menit. Untuk melihat keberadaan fragmen DNA target, hasil amplifikasi PCR dieletroforesis pada gel agarosa 1,0% pada tegangan 50 Volt selama 1-2 jam dan didokumentasi dengan menggunakan Gel Documentation System (Biometra). Untuk menentukan berat molekul fragmen DNA yang teramplifikasi digunakan marker VC 100bp Plus DNA Ladder (Vivantis). Untuk mendapatkan data yang lebih akurat, penelitian dilakukan dalam dua kali pengamatan pelaksanaan transfeksi gen ke embrio udang windu.
50
Analisis Data Derajat penetasan larva dihitung berdasarkan jumlah telur yang menetas menjadi naupli dibandingkan dengan jumlah telur yang diinkubasi. Untuk melihat pengaruh pemberian larutan transfeksi dan plasmid DNA terhadap derajat penetasan dilakukan analisis ragam dengan menggunakan program Statistix Versi 3.0 (NH Analytical Software) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5%. Uji konfirmasi masuknya gen EGFP dan pola ekspresi sementaranya disajikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan konstruksi gen pProAV-EGFP merupakan langkah yang harus dilakukan untuk mengetahui aktif tidaknya promoter antivirus ProAV pada udang windu dengan menggunakan gen berpendar EGFP sebagai penanda. Keberhasilan pembuatan konstruksi gen tersebut dapat diketahui setelah dilakukan uji konfirmasi masuknya fragmen DNA promoter yang diligasikankan ke vektor pEGFP-N1 sehingga ukuran plasmid bakteri inang menjadi bertambah besar. Pembuktian tersebut dilakukan dengan teknik cracking yang ditunjukkan pada Gambar 9A, dimana bakteri pembawa gen insersi memperlihatkan ukuran plasmid yang lebih besar dibandingkan dengan bakteri non-insersi (kontrol bakteri koloni biru). Walaupun masuknya gen telah terdeteksi, untuk mengetahui benar atau tidaknya arah ligasi dilakukan uji orientasi. Gambar 9B memperlihatkan perbedaan antara arah ligasi yang benar dan yang salah, dimana arah ligasi yang benar diindikasikan dengan adanya DNA fragmen yang teramplifikasi pada posisi sekitar 1,1 kb (ukuran yang sama bila promoter ProAV digabungkan dengan gen berpendar EGFP). Hasil pengujian tersebut menunjukkan arah ligasi yang benar relatif besar sekitar 86% (18 klon bakteri dari 21 klon bakteri yang dianalisis). Kedua metode verifikasi yang digunakan (cracking dan uji orientasi) menunjukkan bahwa konstruksi gen pProAV-EGFP berhasil dibuat dan bakteri pembawa plasmid konstruksi tersebut berhasil diidentifikasi. Klon-klon bakteri yang memiliki orientasi positif (orientasi yang benar) selanjutnya dipindahkan ke
51
media agar padat (Gambar 9C) untuk dijadikan stok materi biologis sebagai sumber plasmid konstruksi pProAV-EGFP untuk pengujian pada tahapan penelitian selanjutnya.
Gambar 9 Hasil analisis cracking dan PCR konstruksi gen pProAV-EGFP. A=hasil cracking klon bakteri pembawa promoter dan EGFP pada gel agarosa dimana tanda panah menunjukkan indikator positif sebagai pembawa gen dan negatif sebagai kontrol bakteri koloni biru, B=hasil uji orientasi ligasi promoter ProAV dalam vektor dimana tanda panah menunjukkan arah ligasi yang benar dan yang salah, dan C=hasil plating klon bakteri pembawa konstruksi gen pProAV-EFGP.
Hasil pengujian cracking dan uji orientasi ligasi antara promter ProAV dengan gen EGFP menunjukkan bahwa konstruksi gen pProAV-EGFP telah berhasil dibuat. Plasmid DNA yang terbentuk dari konstruksi pProAV-EGFP diperkirakan memiliki panjang 5,9 kb, dimana peta konstruksi gen tersebut disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Peta konstruksi gen pProAV-EGFP yang digunakan dalam uji aktivitas promoter pada udang windu P. monodon.
52
Sebelum dilakukan transfeksi, pengecekan ulang keberadaan promoter dan gen EGFP harus dilakukan pada plasmid yang diisolasi. Keberadaan fragmen promoter pada posisi 368 bp dan gen EGFP pada posisi 627 bp (Gambar tidak diperlihatkan) merupakan indikator yang dapat digunakan untuk verifikasi apakah plasmid tersebut dapat digunakan. Transfeksi konstruksi gen pProAV-EGFP dilakukan dalam dua kali pelaksanaan, dimana pada tahap pertama didapatkan kepadatan telur 370 butir/2 mL air laut, sedangkan pada tahap kedua adalah 235 butir/2 mL air laut dengan derajat penetasan rata-rata 39,3% pada telur yang ditransfeksi dan tidak berbeda dengan perlakuan transfeksi tanpa konstruksi gen (kontrol positif) 43,1% dan tanpa transfeksi yakni 49,0% (kontrol negatif). Daya tetas embrio, jumlah telur berpendar, deteksi DNA, dan cDNA pada udang windu setiap tahap transfeksi disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa keberadaan larutan jetPEI dan plasmid konsruksi gen pProAV-EGFP tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap derajat penetasan udang windu. Hal tersebut menunjukkan bahwa larutan jetPEI dan konstruksi gen yang digunakan tidak bersifat toksik terhadap embrio udang windu. Kajian mengenai toksisitas larutan jetPEI dan kemungkinan degradasinya telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Transfeksi menggunakan jetPEI telah dilaporkan memiliki toksisitas seluler yang rendah (Horbinski et al. 2001) dan dapat terdegredasi secara alami (Ahn et al. 2002). Beberapa studi menunjukkan bahwa plasmid konstruksi gen tidak memberikan pengaruh negatif pada kelangsungan hidup embrio setelah transfeksi. Introduksi konstruksi gen (promoter dan gen β-galaktosidase) melalui teknik elektroporasi kepada embrio ikan zebra tidak memberikan dampak negatif yang ditandai dengan daya tetas 72% dibandingkan dengan kontrol yakni 85% (Sheela et al. 1998). Dilain pihak, dengan jetPEI, vektor ekspresi pβactP2-TSV-CP dapat ditransfer ke embrio udang vaname dengan laju transfer yang tinggi, baik sebelum terbentuknya lapisan jeli pada bagian luar telur (72%), maupun setelah jeli terbentuk (50%) (Sun et al. 2005). Daya tetas yang relatif rendah (17,6%-20,1%) pada embrio udang windu dilaporkan oleh Yasawa et al. (2005) dengan menggunakan metode mikroinjeksi konstruksi gen pJEF-GFP.
53
Tabel 3 Daya tetas embrio, jumlah telur berpendar, deteksi DNA dan cDNA pada udang windu P. monodon hasil transfeksi konstruksi gen pProAV-EGFP. Tahap
Daya tetas (%) Transfeksi Kontrol EGFP positif
Kontrol negatif
Telur berpendar *) (embrio)
Deteksi*) DNA cDNA
1
44,7±13,0a
60,0±3,0a
66,8±12,1a
1-2
(+)
(+)
2
33,9±19,7a
26,2±6,9a
31,2±14,4a
1-3
(+)
(+)
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05), angka ditulis dalam rataan ± SD, *) = analisis dilakukan terhadap 50 embrio (pooled sample), (+) = gen EGFP positif terdeteksi pada genom DNA dan cDNA.
Daya tetas embrio udang windu yang didapatkan pada penelitian ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh pada udang vaname, L. vannamei dimana didapatkan daya tetas sebesar 50-60% dengan metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI (Sun et al. 2005). Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena penggunaan spesies udang yang berbeda dan kualitas induk dan telur yang dihasilkan serta metode pemijahan atau penetasan yang digunakan. Meskipun demikian, hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa penggunaan larutan jetPEI dan plasmid konstruksi gen tidak memberikan efek yang nyata dalam penetasan telur udang windu. Hal tersebut berimplikasi bahwa introduksi plasmid DNA ke telur yang telah terbuahi melalui teknik transfeksi menawarkan suatu alternatif transfer gen asing tanpa menyebabkan kerusakan fisik telur udang. Kesuksesan aplikasi teknik transfeksi tersebut telah dilaporkan pada sel mamalia dan vertebrata lainnya (Boussif et al. 1995; Abe et al. 1998; Remy et al. 1998; Carballada et al. 2000; Wall et al. 2002; Sun et al. 2005). Pengamatan gen berpendar pada embrio dilakukan dengan menggunakan UV-transilluminator (Biometra) pada panjang gelombang 365 nm, karena keterbatasan alat mikroskop berpendar (fluorescent microscope). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, panjang gelombang 365 nm dapat digunakan untuk eksitasi GFP, yang walaupun dinyatakan bahwa gen berpendar EGFP memperlihatkan emisi maksimum pada gelombang 507 nm (Sun et al. 2005). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa embrio yang berpendar adalah sedikitnya 1-3 embrio dari 50 telur yang diamati (Tabel 3). Karena keterbatasan alat yang
54
digunakan, pengamatan tersebut ditujukan tidak untuk melihat perpendaran embrio secara detail di beberapa bagian tubuh, tetapi hanya untuk melakukan verifikasi masuk atau tidaknya gen EGFP yang diintroduksi, sehingga pembuktian lebih lanjut melalui analisis DNA dan RNA (cDNA) tetap harus dilakukan, serta pengamatan ekspresi sementaranya pada embrio dan larva udang windu. Adanya fragmen EGFP pada posisi sekitar 627 bp baik melalui analisis DNA maupun cDNA merupakan indikator positif masuknya gen EGFP pada embrio dan larva udang windu (Tabel 3; Gambar 11). Uji konfirmasi keberadaan gen EGFP pada embrio
udang windu
dilakukan dengan menggunakan DNA genom sebagai cetakan PCR. Hasil analisis PCR menunjukkan bahwa embrio udang windu yang ditransfeksi telah membawa gen EGFP dalam tubuhnya dengan indikasi keberadaan fragmen DNA pada posisi sekitar 627 bp, yang tidak didapatkan pada embrio udang yang tidak ditransfeksi konstruksi gen pProAV-EGFP (Gambar 11A). Keberhasilan masuknya gen target ke embrio udang melalui metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI juga telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya. Meskipun demikian, beberapa larutan transfeksi dapat digunakan sebagai media introduksi vektor ekspresi ke dalam embrio udang, misalnya Effectene dan SuperFect dari Qiagen, serta Lipofectamine 2000 dari GibcoBRL. Sun et al. (2005) melaporkan bahwa metode transfeksi menggunakan jetPEI pada udang vaname menunjukkan laju efesiensi transfer gen mencapai 40-60%, sedangkan dengan metode mikroinjeksi dan elektroporasi masing-masing adalah 10-20% dan 10-15%. Metode RT-PCR semi-kuantitatif dilakukan untuk mengetahui tingkat ekspresi sementara (transient gene expression) gen EGFP dari beberapa waktu pengamatan setelah dilakukan transfeksi. Elektroforesis hasil analisis RT-PCR terhadap ekspresi sementara gen EGFP pada pengamatan 12, 18, 24, dan 30 jst disajikan pada Gambar 11B, dengan menggunakan kontrol internal dari ekspresi gen β-aktin udang windu (Gambar 11C).
55
627 bp
627 bp 400 bp
Gambar 11 Analisis DNA genom dan ekspresi gen EGFP pada udang windu P. monodon. A=DNA embrio udang windu pembawa gen EGFP (1-2), kontrol (3-4), dan marker VC 100bp Plus DNA Ladder (M); B=Ekspresi gen EGFP pada pengamatan 12, 18, 24, dan 30 jam setelah transfeksi, dan C=Kontrol internal β-aktin udang windu pada waktu pengamatan yang sama dengan gen EGFP. Ekspresi sementara gen EGFP pada embrio udang mulai terlihat pada pengamatan 12 jst
yang walaupun ekspresinya masih relatif kecil.
Ekpresi
sementara EGFP selanjutnya meningkat pada fase 18 dan 24 jst yang diperkirakan pada fase akhir dan fase baru menetas (naupli), kemudian sedikit melemah pada pengamatan 30 jst. Berdasarkan pengamatan tersebut, pola ekspresi sementara gen EGFP mencapai puncak sekitar 24 jam setelah transfeksi atau fase dimana telur sudah mulai menetas menjadi naupli. Sedangkan ekspresi gen β-aktin udang windu sebagai kontrol internal memperlihatkan kecenderungan ekspresi yang sama
atau
merata
sepanjang
waktu
pengamatan.
Beberapa
penelitian
menunjukkan pola ekspresi gen berpendar yang relatif sama. Hamada et al. (1998) melaporkan bahwa ekspresi gen GFP tipe liar (wild-type GFP, wtGFP) dengan menggunakan promotor β-aktin ikan medaka menunjukkan ekspresi sementara dimulai dari fase mid-blastula dan ekspresi terkuat terjadi pada fase gastrula akhir. Selanjutnya Ath-thar (2007) melaporkan bahwa ekspresi sementara gen hrGFP (humanized Renilla reniformis green flourescent protein) pada telur lele mulai kelihatan pada fase gastrula awal atau awal permulaan adanya epibodi. Lebih lanjut Purwanti (2007) melaporkan bahwa ekspresi sementara gen berpendar hrGFP pada embrio ikan mas Cyprinus carpio dengan menggunakan promoter βaktin ikan medaka Oryzias latipes mulai terlihat pada saat 12 jam setelah
56
mikroinjeksi (atau diperkirakan dalam fase blastula) dan ekspresi memuncak pada pengamatan 18 jam setelah mikroinjeksi atau pada fase gastrula akhir, dan selanjutnya ekspresi hrGFP menurun. Ekspresi sementara suatu gen merupakan salah satu bentuk replikasi secara ekstra kromosom DNA asing (extrachromosomal foreign DNA). Level ekspresi umumnya akan berkurang akibat adanya degradasi ekstra kromosom DNA, sehingga ekspresi gen asing yang terintegrasi ke dalam kromosom tidak sebesar dengan ekspresi sementaranya. Tingginya ekspresi sementara gen EGFP pada pengamatan 24 jst (larva sudah berada pada fase naupli) pada penelitian ini, diduga terjadi masih terekspresinya plasmid-plasmid DNA yang ditransfeksi, tetapi seiring dengan perkembangan embrio, plasmid-plasmid DNA mulai terdegradasi oleh enzim-enzim nuklease sehingga ekspresi semakin berkurang pada pengamatan 30 jst. Puncak ekspresi gen sementara yang sama (24 jam setelah microinjeksi) pada ikan lele Afrika Clarias gariepinus yang dikontrol oleh promoter CMV telah dilaporkan oleh Volckaert et al. (1994) dengan menggunakan gen luciferase dan lacZ sebagai gen reporter. Seperti halnya yang dilaporkan oleh Winkler et al. (1991), replikasi DNA asing umunya ditemukan hanya sampai fase gastrula, dimana setelah fase tersebut DNA asing yang bertahan hanya dalam jumlah yang terbatas akibat adanya degradasi oleh enzim restriksi nuklease yang menyebabkan ekspresi transgen melemah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi sementara gen asing pada ikan berawal dari fase embrio setelah mid-blastula dan kemudian level ekspresi meningkat selama fase embriogenesis dan selanjutnya menurun setelah penetasan (Yoshizaki 2001). Adanya ekspresi gen berpendar merupakan salah satu bukti akan aktifnya promoter yang digunakan, sehingga fungsi promoter sebagai regulator gen traget dapat terjadi. Pola ekspresi gen GFP selain dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop berpendar dan Real-Time PCR, juga dapat dideteksi dengan menggunakan teknik PCR semi-kuantitatif seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.
Iyengar et al. (1996) menyatakan bahwa tingginya ekspresi
sementara yang umumnya terjadi pada fase mid-blastula hingga fase gastrula kemungkinan merupakan hasil dari akumulasi DNA eksogenus yang berlanjut pada peningkatan replikasi selama fase pembelahan (cleavage) dan akumulasi dari
57
enzim RNA polimerase-II yang menyebabkan dimulainya transkripsi pada saat MBT (mid-blastula-transition). Perbedaaan pola ekspresi gen GFP telah diamati pada beberapa organ ikan zebra dengan menggunakan beberapa jenis promoter. Yasawa et al. (2005) telah melaporkan pengaruh empat jenis promoter yang disambungkan ke gen GFP. Promoter C3 (promoter dari Japanese flounder) memperlihatkan level aktivitas yang tinggi pada hati, gelatinase B pada sirip dan insang, keratin pada kulit dan hati, sedangkan promoter TNF (tumor necrosis factor) pada jaringan epitel. Adanya ekspresi gen sementara EGFP pada embrio dan larva udang windu menunjukkan aktifnya promoter gen antivirus ProAV. Hal ini menunjukkan bahwa promoter ProAV mampu mengontrol gen EGFP sebagai penanda aktifnya promoter. Aktifnya promoter ProAV diduga sangat erat kaitannya dengan keberadaan faktor-faktor transkripsi penting sebagai regulator gen target (lihat Bab II). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa promoter ProAV yang diisolasi dari udang windu memberikan peluang dalam pengembangan udang transgenik yang resisten terhadap patogen. Oleh karena itu, konstruksi gen antivirus PmAV dengan promoter ProAV tersebut sangat diperlukan untuk menganalisis kemampuan promoter tersebut dalam mengatur gen antivirus pada udang windu.
KESIMPULAN Promoter antivirus ProAV udang windu dapat aktif mengendalikan ekspresi transgen EGFP pada embrio dan larva udang windu. Promoter ProAV dapat dimanfaatkan sebagai regulator gen target yang diinginkan dalam upaya pengembangan teknologi transgenesis pada udang windu.
V. EKSPRESI GEN ANTIVIRUS PADA EMBRIO DAN LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon
ABSTRAK Peningkatan resistensi udang windu Penaeus monodon melalui transfer gen antivirus belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola ekspresi gen antivirus PmAV pada embrio dan larva, serta performa udang windu transgenik F0 setelah ditantang dengan virus WSSV. Transfer gen antivirus ke embrio udang dilakukan dengan metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI. Pengamatan ekspresi gen antivirus PmAV dilakukan pada 12, 18, 24, dan 30 jam setelah transfeksi (jst). Uji tantang dilakukan pada larva udang windu PL-25 metode perendaman dengan menggunakan isolat WSSV dari udang windu yang terinfeksi secara alami. Pengamatan kelangsungan hidup dan ekspresi gen antivirus PmAV dilakukan setelah uji tantang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan larutan transfeksi jetPEI dan gen antivirus PmAV tidak memberikan efek yang membahayakan bagi embrio udang. Ekspresi gen PmAV mulai terlihat pada pengamatan 12 jst dan selanjutnya meningkat sampai mencapai puncak pada 24 jst dan kemudian terjadi penurunan ekspresi pada 30 jst. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ekspresi gen PmAV meningkat (upregulated) akibat infeksi virus WSSV. Selain itu, udang windu transgenik F0 memperlihatkan resistensi (kelangsungan hidup 95,6%) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan udang windu kontrol non-transgenik (kelangsungan hidup 71,1%). Berat dan panjang total tubuh udang windu transgenik F0 umur 1,5 bulan tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) dengan udang windu non-transgenik (kontrol). Kata kunci: ekspresi gen, gen antivirus, transfeksi, uji tantang, WSSV, udang windu.
59
EXPRESSION OF ANTIVIRAL GENE ON EMBRYO AND LARVAE OF TIGER SHRIMP Penaeus monodon ABSTRACT No study on enhanced diseases resistance of tiger shrimp has been reported. The aim of this research was to determine the transient expression pattern of antiviral gene on embryo as well as larvae, and the performance of F0 transgenic larvae by challenged with WSSV. Transfer of antiviral gene into the embryo was done by transfection method using jetPEI reagent. Expression of PmAV gene was observed at 12, 18, 24, and 30 hours after transfection (hat). The challenged test to PL-25 larvae was conducted by water borne infection using the WSSV isolated from infected shrimp. Survival rate and PmAV antiviral gene were observed after challenge. The results indicated that the jetPEI reagent and antiviral PmAV gene did not show the toxicity to the shrimp larvae. The transient expression of PmAV gene was detected at 12 hat until reaching the peak within 24 hat, and then decreased slightly at 30 hat. The result also showed that PmAV expression was up-regulated during infection. When challenged with WSSV, the transgenic shrimp exhibited higher (P<0.05) resistance to the WSSV infection (95.6% survived) as compared to the control shrimp (71.1% survived). The body weight and length of 1.5 months transgenic shrimp did not show significantly difference (P>0.05) with the non-transgenic shrimp. Keywords: gene expression, antiviral gene, transfection, challenge test, WSSV, tiger shrimp.
PENDAHULUAN Teknologi transgenesis memberikan peluang besar dalam mengembangkan strain yang memiliki resistensi yang tinggi terhadap patogen penyebab penyakit. Salah satu upaya potensial yang dapat dilakukan dalam peningkatan resistensi penyakit adalah produksi hewan akuatik transgenik yang mengandung gen peptida antibakteri. Penemuan protein antibakteri cecropin pada insekta oleh Steiner et al. (1981)
merupakan
awal dari
penelitian
antimikroba,
yang
selanjutnya
diidentifikasinya beberapa antimikroba lainnya. Beberapa antimikroba telah diidentifikasi pada mamalia (Lehrer et al. 1993), ampibi (Bevins & Zasloff 1990), dan pada insekta (Hoffmann et al. 1996) dimana organisme yang mengandung
60
gen pengkode tersebut memperlihatkan resistensi yang lebih baik terhadap penyakit. Pada krustase, keberhasilan kloning dan karakterisasi gen pengkode antimikroba memberikan harapan dalam mempelajari lebih dalam mengenai peranan gen antimikroba pada udang. Aktivitas antimikroba yang berperan dalam imunitas non-spesifik pada krustase telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya, misalnya penaeidin (Wang et al. 2006; Jiravanichpaisal et al. 2007; Perdomo-Morales et al. 2007; Ho & Song 2009), proPO (prophenoloxidase) (Destoumieux et al. 1997; 2000a; 2000b; Sritunyalucksana et al. 1999; Wang et al. 2006; Jiravanichpaisal et al. 2007; Wang et al. 2007; Ai et al. 2008; Wang & Zhang 2008; Yeh et al. 2009); serine protease (Amparyup et al. 2007; Shi et al. 2009), lisozim (Vega et al. 2006; Burge et al. 2007), dan lektin (Denis et al. 2003; Ma et al. 2007; Sun et al. 2007; Zhang et al. 2009). Studi-studi in vitro tersebut mengindikasikan
bahwa
penggunaan
konstruksi
gen
antimikroba
dapat
meningkatkan resistensi terhadap patogen. Anderson et al. (1996) pertama kali membuktikan secara in vivo bahwa resistensi ikan rainbow trout Oncorhynchus mykiss dapat ditingkatkan melalui transfer gen coat protein virus. Introduksi konstruksi peptida cecropin-B meningkatkan resistensi terhadap bakteri sampai dengan empat kali lipat pada ikan channel catfish (Dunham et al. 2002). Hal yang sama juga ditunjukkan pada ikan medaka transgenik yang memiliki resistensi lebih tinggi dibandingkan dengan ikan non-transgenik terhadap bakteri Pseudomonas sp. dan Vibrio sp. (Sarmasik et al. 2002). Sementara itu, pendekatan rekombinan DNA khususnya vaksin DNA telah mulai diaplikasikan pada akuakultur. Penyuntikan salmon Atlantik dengan plasmid pengkode glikorotein IHNV dengan pengontrol promotor pCMV menunjukkan proteksi yang signifikan dengan adanya pembentukan antibodi penetral virus setelah imunisasi dan titernya meningkat setelah uji tantang (Traxler et al. 1999). Seperti halnya dengan antimikroba lainnya, gen lisozim telah dilaporkan merupakan salah satu gen pengkode ketahanan penyakit khususnya antimikroba yang tidak spesifik (Austin & Allen-Austin 1985). Dengan menggunakan konstruksi promoter AFP ocean pout dan gen lisozim yang
61
diintroduksi ke ikan salmon menunjukkan adanya kemampuan melawan berbagai jenis mikroba. Pada krustase khususnya udang, peningkatan resistensi pada level molekular masih terbatas. Penemuan gen pengkode antimikroba penaeidin membuka peluang dalam peningkatan immunitas udang melawan serangan patogen. Aplikasi penaeidin telah memperlihatkan efek peningkatan resistensi pada udang vaname Litopenaeus vannamei (Destoumieux et al. 1997). Induksi imun pada udang melalui vaksinasi telah dilaporkan dengan penggunaan rekombinan protein WSSV pada udang Penaeus chinensis (Kim et al. 2004), dan RNA untai ganda (double-stranded RNA, dsRNA) pada udang L. vannamei (Robalino et al. 2004). Transfer gen antivirus baru dimulai pada udang vaname L. vannamei melalui introduksi gen penyandi coat protein dari TSV (TSV-CP) (Sun et al. 2005). Lu & Sun (2005) melaporkan bahwa dengan introduksi gen TSV-CP, udang vaname transgenik memperlihatkan kelangsungan hidup yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan udang normal (non-transgenik). Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, maka upaya peningkatan resistensi udang windu memberikan harapan yang cerah untuk dapat dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konstruksi gen antivirus PmAV, mengetahui pola ekspresi gen antivirus pada embrio dan larva, serta performa larva udang windu transgenik melalui uji tantang dengan virus WSSV.
BAHAN DAN METODE Pembuatan Konstruksi Gen Antivirus PmAV Konstruksi gen antivirus pProAV-PmAV dibuat dengan menyambungkan atau meligasikan sekuen promoter ProAV (Parenrengi et al. 2009a) dan cDNA PmAV (Parenrengi et al. 2009b). Promoter ProAV diligasi pada situs BamHI, di bagian hulu atau upstream dari sekuen cDNA PmAV yang diligasi pada situs SalI dalam vektor pBlueskript-SK (Stratagen). Skema pembuatan konstruksi gen pProAV-PmAV disajikan pada Lampiran 11. Uji orientasi ligasi ProAV dan PmAV dilakukan menggunakan metode PCR dengan primer ProAV-F 5’- gtc gga tcc agt
62
ccc aca ctc cat caa -3’dan PmAVSalI-R 5’- ttg tcg act cct tta gaa tat tta ttc ttg-3’. Reaksi PCR yang digunakan adalah 0,05 µL Taq Polimerase; 1 µL 10 X buffer; 0,8 µL dNTP mix; 0,8 µL MgCl2; 10 ρmol masing-masing primer; 1 µL templat DNA; dan 4,35 µL SDW. Program PCR yang digunakan adalah: suhu predenaturasi 94oC selama 3 menit, 30 siklus untuk (denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 60oC selama 30 detik dan ekstensi 72oC selama 40 detik), serta final ekstensi 72oC selama 3 menit. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1,0% untuk melihat fragmen DNA yang terbentuk. Klon bakteri yang memperlihatkan hasil PCR dengan fragmen sekitar 1,2 kb menunjukkan arah ligasi yang sesuai.
Pematangan Induk Udang Windu Pembenihan udang windu dilakukan berdasarkan prosedur standar operasional perbenihan udang windu. Prosedur pematangan induk udang windu dilakukan melalui beberapa tahapan seperti yang telah dijelaskan pada Bab IV.
Transfeksi Gen Antivirus Bakteri yang mengandung plasmid pProAV-PmAV dikultur menggunakan media LB. Plasmid pProAV-PmAV diisolasi dari bakteri menggunakan GF-1 Plamid DNA Extraction Kit (Vivantis) dengan mengikuti prosedur manual kit. Kultur bakteri dan isolasi plasmid dilakukan seperti yang dijelaskan pada Bab IV. Kuantitas dan kualitas isolat plasmid diukur dengan menggunakan UV-VIS spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Kuantitas (konsentrasi) plasmid dihitung dengan mengacu pada rumus yang telah dikembangkan oleh Linacero et al. (1998), sedangkan kualitas (kemurnian) plasmid dihitung dari rasio absorpsi 260 nm dan 280 nm (OD260/OD280). Koleksi telur udang windu yang baru memijah dan prosedur transfeksi menggunakan plasmid pProAV-PmAV mengacu pada standar protokol transfeksi konstruksi pProAV-EGFP yang telah diuraikan pada Bab IV.
63
Uji Tantang Larva dengan WSSV Pengamatan performa udang windu hasil transfer gen antivirus PmAV dilakukan melalui uji tantang larva dengan WSSV, dimana larva non-transgenik digunakan sebagai pembanding atau kontrol. Larva udang windu transgenik dipelihara berdasarkan prosedur standar pemeliharaan larva sampai dengan mencapai stadia PL-25. Penyiapan virus WSSV berasal dari udang windu yang terinfeksi secara alamiah. Inokulasi virus tersebut diisolasi dengan cara cairan udang disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm selama 15 menit dan supernatan disaring dengan kertas filter 0,45 µm. Wadah percobaan disucihamakan dengan perendaman kaporit 30 ppm selama satu hari, kemudian dinetralkan dengan natrium thiosulfat 30 ppm. Wadah diisi dengan air laut yang telah difilter dengan membran filter sebanyak 2 liter per wadah. Larva udang windu PL-25 dimasukkan ke dalam wadah dengan kepadatan 15 ekor/wadah (lihat Lampiran 10). Inokulum WSSV diinfeksikan ke larva udang dengan konsentrasi 2 mL/liter mengacu pada nilai LC-50 yang telah dilakukan oleh Nurhidayah (2009). Perlakuan pada percobaan ini adalah uji tantang WSSV terhadap larva udang windu transgenik (A) dan non-transgenik (B), dan kontrol larva udang tanpa uji tantang (C) masing-masing 4 ulangan (1 ulangan untuk pengamatan ekspresi gen antivirus dan 3 ulangan untuk mengamatan kelangsungan hidup larva). Selama percobaan, udang uji diberi pakan larva berupa pelet secara ad libitum dengan pemberian 3 kali per hari (pagi, siang, dan sore) selama 5 hari pemeliharaan. Perkembangan laju infeksi diamati secara visual dengan memperhatikan perubahan penciri patofisiologisnya, serta pengamatan mortalitas dan pengambilan sampel hepatopankreas larva dilakukan pada 6 jam, 12 jam, 1 hari, 2 hari, 3 hari, 4 hari, dan 5 hari setelah uji tantang.
Analisis Ekspresi Gen PmAV Pengamatan ekspresi gen antivirus PmAV dilakukan dengan teknik PCR semi-kuantitatif. Pada pengamatan ekspresi sementara gen antivirus PmAV, RNA total (dilanjutkan dengan sintesis cDNA) diekstraksi dengan menggunakan 50 sampel (pooled sample) untuk analisis ekspresi PmAV pada embrio dan larva
64
udang windu. Analisis ekspresi gen antivirus PmAV dilakukan dengan menggunakan teknik RT-PCR. Pengambilan sampel dilakukan dalam beberapa tahap pengamatan, yakni: 12, 18, 24, dan 30 jam setelah transfeksi (jst) Penghitungan derajat penetasan larva dilakukan setelah telur diinkubasi selama 24 jam. Gen antivirus PmAV dan ekspresinya dideteksi dengan teknik PCR semikuantitatif, dimana sampel telur tanpa transfeksi digunakan sebagai kontrol dalam penelitian ini. Konfirmasi masuknya gen PmAV pada larva secara individu dilakukan dengan mengekstraksi DNA genom pada delapan ekor larva udang windu berukuran 0,15±0,05 g yang diambil secara acak untuk dua tahap pelaksanaan transfeksi. Primer yang digunakan adalah PmAV-F 5’-tag tgc atg cat atg ggt cat aca atc cta-3’ dan PmAV-R 5’-ctg tct cga gct atg tgt cct gct ttc aca-3’,dengan menggunakan DNA genom sebagai templat PCR. Target DNA fragmen gen antivirus PmAV adalah pada posisi sekitar 513 bp. Pada pengamatan ekspresi gen antivirus PmAV pada uji tantang dengan WSSV, RNA diekstraksi dari 10 mg hepatopankreas larva dengan menggunakan kit isogen seperti yang dijelaskan pada isolasi gen antivirus pada Bab III. Secara singkat, isolasi RNA dilanjutkan dengan sintesis cDNA menggunakan kit ReadyTo-Go You-Prime Fisrt Strand Beads (GE Healthcare). Hasil cDNA tersebut dijadikan templat DNA dalam proses amplifikasi PCR dengan menggunakan primer PmAV-F: 5’-tag tgc atg cat atg ggt cat aca atc cta-3’ dan PmAV-R: 5’-ctg tct cga gct atg tgt cct gct ttc aca-3’, dengan target fragmen sepanjang 513 bp. Ekspresi gen β-aktin udang windu digunakan sebagai kontrol ekspresi gen seperti yang telah dikembangkan oleh Sriphaijit & Senapin (2007). Hasil PCR dielektroforesis untuk mengetahui pola ekspresi gen PmAV berdasarkan ketebalan pita yang terbentuk pada gel agarosa. Proses amplifikasi fragmen gen antivirus PmAV dijalankan pada mesin PCR GenAmp AB-7200 (Applied Biosystem) dengan program suhu predenaturasi 94oC selama 3 menit; 35 siklus untuk (denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 58oC selama 30 detik, dan ekstensi 72oC selama 45 detik); serta final ekstensi 72oC selama 3 menit. Untuk melihat keberhasilan amplifikasi fragmen DNA target, hasil PCR dieletroforesis pada gel agarose 1,0% dan didokumentasi
65
dengan Gel Documentation System (Biometra). Untuk menentukan berat molekul fragmen DNA digunakan marker VC 100bp Plus DNA Ladder (Vivantis). Udang windu transgenik F0 yang dihasilkan dipelihara dalam bak terkontrol dengan kepadatan 150 ekor/ton. Pakan berupa pelet dengan dosis 30% dari berat badan diberikan pada pagi dan sore hari. Untuk mengetahui respons pertumbuhan udang windu transgenik, pengukuran panjang total dan berat tubuh dilakukan pada 10 ekor udang windu pada umur 47 hari. Udang windu nontransgenik dijadikan sebagai pembanding (kontrol).
Analisis Data Hasil cracking, uji orientasi konstruksi gen pProAV-PmAV, ekspresi gen antivirus pada embrio dan larva, dan keberadaan gen antivirus PmAV pada larva udang windu disajikan secara deskriptif. Kelangsungan hidup larva udang windu yang ditantang dengan WSSV dianalisis ragam (ANOVA), serta berat dan pajang total udang windu dianalisis dengan uji-t menggunakan program Statistix Versi 3.0 (NH Analytical Software) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5%. Ekspresi gen antivirus PmAV di hepatopankreas larva udang windu yang ditantang WSSV setiap pengamatan disajikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konstruksi gen pProAV-PmAV telah berhasil dibuat dengan ukuran total plasmid adalah sekitar 4,4 kb. Uji cracking memperlihatkan adanya insersi promoter ProAV dan gen antivirus PmAV dibandingkan dengan kontrol bakteri koloni biru (Gambar 12A), selanjutnya dengan konfirmasi uji orientasi juga menunjukkan keberhasilan penyisipan gen dengan arah yang benar (Gambar 12B). Arah ligasi yang benar pada konstruksi gen pProAV-PmAV ini didapatkan lebih rendah, yakni 8 klon dari 21 klon bakteri (38,1%) dibandingkan dengan arah ligasi yang benar pada kloning konstruksi gen pProAV-EGFP (86,0%). Rendahnya persentase arah ligasi yang benar dalam konstruksi ini kemungkinan disebabkan karena proses penyambungan (ligasi) gen dilakukan dalam dua tahap, yakni
66
pertama dengan promoter ProAV dengan menggunakan bantuan situs resriksi BamHI, kemudian diikuti dengan insersi gen antivirus PmAV dengan bantuan situs restriksi SalI. Pada pembuatan konstruksi ProAV-EGFP hanya dilakukan satu kali insersi promoter dengan bantuan situs restriksi BamHI (lihat Bab IV). Selain itu, kualitas sel kompeten bakteri yang digunakan mungkin berbeda dan mempengaruhi keberhasilan dalam memperoleh koloni bakteri dengan arah ligasi yang benar. Klon-klon yang positif membawa konstruksi ProAV-PmAV selanjutnya digoreskan pada media agar dalam cawan petri (Gambar 12C) sebagai bahan untuk digunakan pada kegiatan selanjutnya.
Gambar 12 Hasil analisis cracking dan PCR konstruksi gen pProAV-PmAV. A=hasil cracking klon bakteri pembawa promoter dan PmAV pada gel agarosa dimana tanda panah dengan indikator positif menunjukkan klon pembawa gen insersi sedangkan indikator negatif sebagai kontrol bakteri koloni biru, B=hasil uji orientasi ligasi promoter pProAV-PmAV dalam vektor dimana tanda panah menunjukkan perbedaan arah ligasi yang benar dan yang salah, dan C=hasil plating klon bakteri pembawa konstruksi gen pProAV-PmAV.
Dengan masuknya promoter ProAV dan gen antivirus PmAV ke dalam vektor pBlueskript-SK, maka didapatkan konstruksi gen dengan komponen secara berurutan adalah pProAV-PmAV. Peta konstruksi gen pProAV-PmAV disajikan pada Gambar 13.
67
Gambar 13 Peta konstruksi gen pProAV-PmAV yang digunakan dalam transfeksi gen antivirus PmAV ke embrio udang windu P. monodon Transfeksi konstruksi gen pProAV-PmAV dilakukan dalam dua tahap, dimana konsentrat telur yang digunakan adalah 370 butir/2 mL pada tahap pertama dan 235 butir/2 mL pada tahap kedua. Hasil pengamatan derajat penetasan telur udang windu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0,05) antara kontrol positif (transfeksi tanpa gen antivirus) dan kontrol negatif (tanpa transfeksi). Rata-rata daya tetas telur yang didapatkan adalah 38,1% pada perlakuan transfeksi gen antivirus, 43,1% pada kontrol positif, dan 49,0% pada kontrol negatif. Hasil tersebut berimplikasi bahwa penggunaan larutan jetPEI dan plasmid DNA dari konstruksi gen tidak memberikan efek yang berbahaya pada daya tetas embrio udang windu. Daya tetas embrio, deteksi DNA, dan cDNA pada udang windu setiap tahap transfeksi disajikan pada Tabel 4. Walaupun metode transfeksi pada udang vaname memperlihatkan metode yang lebih baik dibanding dengan mikroinjeksi dan elektroporasi dilihat dari daya tetas telur yang dihasilkan (Sun et al. 2005), tetapi metode mikroinjeksi pada ikan medaka Oryzias latifes memberikan daya tetas telur yang cukup tinggi yakni 70% dibandingkan dengan daya tetas 78% pada ikan kontrol (Winkler et al. 1991), pada ikan lele Clarias sp. mencapai 55,0-93,3% (Ath-Thar 2007), dan pada ikan sea bream Pagrus major sekitar 53-63% (Kato et al. 2007). Selain itu,
untuk mengetahui masuk atau tidaknya gen eksogenus
antivirus PmAV pada larva, dilakukan deteksi melalui ekstraksi DNA genom dan ekspresi gen antivirus PmAV diamati melalui ekstraksi RNA total yang dilanjutkan dengan sintesis cDNA. Secara umum, Tabel 4 memperlihatkan bahwa hasil deteksi DNA dan cDNA yang dilakukan memperlihatkan masuknya gen eksogenous gen antivirus ke dalam embrio atau larva udang windu (positif).
68
Tabel 4 Daya tetas embrio, deteksi DNA dan cDNA pada embrio dan larva udang windu P. monodon hasil transfeksi konstruksi gen ProAV-PmAV. Tahap
Daya tetas telur (%) Transfeksi Kontrol Kontrol positif negatif PmAV
Deteksi*) DNA cDNA
1
48,0±14,2a
60,0±3,0a
66,8±12,1a
(+)
(+)
2
28,1±6,4a
26,2±6,9a
31,2±14,4a
(+)
(+)
Keterangan: Angka pada baris yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05), angka ditulis dalam rataan ± SD, *) = analisis dilakukan terhadap 50 embrio (pooled sample), (+) = gen PmAV positif terdeteksi pada genom DNA dan cDNA.
Analisis ekspresi gen antivirus PmAV pada embrio dan larva udang windu (Gambar 14) memperlihatkan pola yang relatif sama degan pola ekspresi gen EGFP pada embrio dan larva udang windu (lihat Bab IV). Pada pengamatan 12 jst, ekspresi gen antivirus PmAV sudah mulai terlihat tetapi masih lemah sampai dengan 18 jst. Ekspresi gen tersebut memuncak pada jam ke-24 atau satu hari setelah transfeksi dan kembali menurun pada 30 jst. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi transgen mulai menurun setelah udang menetas menjadi naupli. Berdasarkan beberapa penelitian, ekspresi gen asing umumnya dimulai setelah fase mid-blastula dan levelnya meningkat selama embriogenesis, dan selanjutnya menurun setelah menetas (Alimuddin et al. 2003).
Gambar 14 Ekspresi gen antivirus PmAV pada embrio dan larva udang windu P. monodon. Pengamatan ekspresi gen antivirus PmAV pada 12, 18, 24, dan 30 jst; M= VC 100bp Plus DNA Ladder (Vivantis); tanda kepala panah menunjukkan posisi fragmen gen antivirus PmAV dan gen βaktin udang windusebagai kontrol internal.
69
Ekspresi transgen yang dianalisis pada penelitian ini bersifat sementara (transient expression). Ekspresi transgen meningkat diduga terjadi akibat adanya replikasi ekstra kromosomal DNA asing, dan selanjutnya level ekspresinya menurun yang diikuti dengan degradasi dari eksra kromosomal DNA asing. Ekspresi sementara gen hrGFP yang dikontrol oleh promoter β-aktin ikan medaka pada ikan lele Clarias sp. mulai terlihat pada 4 jam setelah mikroinjeksi tetapi masih sangat lemah. Ekspresi tersebut semakin meningkat pada jam ke-8 dan ke12 dan setelahnya (jam ke-16, 20, 24) menunjukkan tanda penurunan ekspresi dan akhirnya tidak terdeteksi (Ath-thar 2007). Dengan menggunakan promoter yang sama, ekspresi GFP pada ikan mas Cyprinus carpio memperlihatkan pola yang serupa dengan ikan lele, dimana didapatkan tingkat ekspresi tertinggi pada jam ke-12 sampai jam ke-18 setelah mikroinjeksi dan kemudian setelah menetas ekspresi mulai melemah sampai tidak kelihatan pada larva berumur 1 hari (Purwanti 2007). Masuknya gen antivirus PmAV ke dalam embrio atau larva udang windu merupakan indikator utama keberhasilan transfer gen. Hasil analisis DNA genom pada penelitian ini menunjukkan bahwa persentase udang windu F0 yang membawa gen eksogenus PmAV adalah 37,5-75,0%. Efisiensi transfer gen asing ke embrio dipengaruhi oleh metode transfer dan spesies yang digunakan. Beberapa peneliti telah melaporkan keberhasilannya dalam mengintroduksi gen asing ke embrio krustase. Laju introduksi gen pada udang kuruma Marsupenaeus japonicus relatif rendah yakni 1% untuk metode mikroinjeksi dan 0,42% untuk metode particle-bombardment. Keberhasilan transfer gen asing ke embrio udang putih L. schmitti sekitar 36% dengan metode elektroporasi (Arenal et al. 2008). Efesiensi introduksi gen TSV-CP yang relatif tinggi (72%) telah dilaporkan oleh Sun et al. (2005) pada udang L. vannamei dengan menggunakan metode transfeksi. Selanjutnya, dengan metode elektroporasi, Tseng et al. (2000) telah membuktikan bahwa transfer gen bacterial alkaline phosphatase (BAP) dapat terintegrasi dalam DNA genom udang windu, dimana laju integrasi gen tersebut dapat mencapai 31%. Integrasi gen yang diintroduksi ke ikan mas India Labeo rohita telah dilaporkan oleh Rajesh & Majumdar (2005) dengan menggunakan metode southern hybridization. Keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa
70
transfer gen asing ke embrio udang tidak lagi merupakan kendala utama dalam pengembangan produksi udang transgenik. Pada penelitian uji tantang larva udang dengan WSSV diperoleh hasil bahwa respons imunitas udang transgenik F0 lebih tinggi dibandingkan dengan larva udang non-transgenik. Penilaian respons imun udang didasarkan pada kelangsungan hidup larva. Kematian larva udang windu kontrol mulai terlihat pada 12 jam (hari-1) setelah uji tantang sampai dengan hari ke-3 dan setelah itu kematian udang tidak signifikan (Gambar 15).
Kelangsungan hidup (%)
11 0 ,0 10 0 ,0 9 0 ,0 8 0 ,0 7 0 ,0 6 0 ,0 5 0 ,0
0-jam
6-jam 12-jam 1-hari
2-hari
3-hari
4-hari
5-hari
W ak tu p e n g am atan Ko n tr o l ne g a tif
Ud an g tr a n s ge n ik
Ko n tr ol p o s itif
Gambar 15 Kelangsungan hidup larva udang windu P. monodon yang ditantang dengan WSSV Kematian udang ditandai dengan perubahan respons pakan yang menurun, aktivitas renang yang tidak stabil, selalu berada di dasar wadah dan munculnya warna tubuh yang kemerahan, serta gejala bintik putih pada karapaks. Gejala perubahan patologis yang serupa juga telah dilaporkan oleh Alifuddin et al. (2003) pada penelitian penularan WSSV pada larva udang windu P. monodon nontransgenik. Selanjutnya dikatakan bahwa karakteristik perubahan seluler akibat infeksi virus WSSV pada udang windu adalah terjadinya pembengkakan inti sel (hipertropi) akibat perkembangan dan penumpukan virion yang berkembang dalam inti sel sehingga bergerak ke pinggir, kemudian terjadi kariolisis yang pada akhirnya sel akan mengalami kerusakan (lisis). Kerusakan sel tersebut yang diduga memacu kematian udang windu.
71
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva udang windu yang ditransfeksi dengan gen antivirus lebih tinggi dibandingkan dengan larva udang normal (kontrol) ketika ditantang dengan WSSV (Tabel 5). Analisis ragam menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva transgenik PmAV (95,6%) berbeda nyata (P<0,05) dengan larva udang kontrol (71,1%), tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif (udang normal tanpa uji tantang). Alifuddin et al. (2003) melaporkan bahwa memaparan WSSV pada larva udang windu dapat menyebabkan kematian dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata berkisar 73,3-91,7% dibandingkan dengan larva pada kontrol negatif (100%), dimana semakin tinggi konsentrasi virus yang diberikan semakin rendah kelangsungan hidup larva yang dihasilkan. Tabel 5 Kelangsungan hidup larva udang windu P. monodon pada perlakuan uji tantang dengan WSSV Uraian
Uji tantang dengan WSSV
Tanpa uji tantang
Transgenik
Non-Transgenik
WSSV
Ulangan 1
100,0
73,3
100,0
Ulangan 2
86,7
73,3
93,3
Ulangan 3
100,0
66,7
100,0
Rata-rata*)
95,6a
71,1b
97.8a
7,7
3,8
3,9
SD
Keterangan: *)Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) dan SD=standar deviasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelangsungan hidup larva udang windu hasil transfeksi adalah 24,5% lebih tinggi dari kontrol udang normal yang ditantang dengan WSSV. Hal ini berimplikasi bahwa over-ekspresi gen antivirus PmAV dapat meningkatkan resistensi udang windu. Seperti halnya dengan udang windu, peningkatan resistensi udang vaname L. vannamei melalui transfer gen TSV-CP telah dilaporkan oleh Lu & San (2005). Penelitian yang dilakukan selama 4 hari tersebut mengungkapkan bahwa larva udang vaname transgenik memiliki resistensi yang lebih tinggi dengan kelangsungan hidup mencapai 83%
72
dibandingkan dengan kontrol udang normal hanya 44% ketika ditantang dengan virus TSV. Imunitas ikan yang dihasilkan dari teknologi transgenesis pengkode antimikroba memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan immunisasi konvensional. Ikan dapat diproteksi mulai dari awal perkembangan larva, jauh sebelum sistem imun mulai matang (matured immunity) dan immunitas yang diberikan pada transgenik dapat menghilangkan persiapan khusus untuk melawan setiap jenis patogen (Dunham 2009). Transfer gen pengkode peptida antimikroba seperti cecropin yang diatur oleh promoter CMV dapat meningkatkan resistensi terhadap penyakit bakteri pada ikan channel catfish Ictalurus punctatus sampai dengan 2-4 kali lipat (Dunham et al. 2002). Ikan catfish transgenik yang membawa konstruksi preprocecropin dapat memperlihatkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi (100%) ketika dipapar dengan bakteri Plavobacterium columnare dibandingkan dengan kontrol ikan yang hanya 27,3%. Sementara itu, ketika ditantang dengan bakteri Edwardsiella ictaluri, ikan catfish transgenik juga memperlihatkan kelangsungan hidup yang tinggi (40,7%) dibandingkan dengan kontrol ikan non trangenik (14,8%). Transfer gen cecropin ke ikan medaka juga telah memperlihatkan pengaruh peningkatan resistensi terhadap patogen. Sarmasik et al. (2002) melaporkan bahwa ikan transgenik medaka generasi F2 memperlihatkan resistensi yang tinggi terhadap bakteri Pseudomonas fluorescens dengan tingkat kematian 0-10% dibandingkan dengan kontrol 40%, dan ketika ditantang dengan Vibrio anguillarum, ikan medaka transgenik masih mampu bertahan dengan kelangsungan hidup 70-90% sedangkan kontrol medaka hanya berkisar 60%. Setelah ditantang dengan WSSV, udang windu transgenik memperlihatkan respons induksi yang meningkat (up-regulated) baik pada larva udang transgenik maupun larva non-transgenik (Gambar 16). Ekspresi gen antivirus PmAV mulai terinduksi sejak 6 jam setelah pemaparan dan selanjunya meningkat dengan tajam sampai dengan hari ke-4 dan sedikit menurun pada hari ke-5 setelah uji tantang. Seperti halnya dengan udang transgenik, udang kontrol non-transgenik juga memperlihatkan induksi yang meningkat dimana terjadi peningkatan sampai mencapai puncak pada hari ke-1 dan selanjutnya menurun pada hari ke-2 dan
73
seterusnya memperlihatkan ekspresi gen antivirus PmAV yang relatif lebih rendah. Luo et al. (2007) telah melaporkan ekspresi gen antivirus PmAV secara alami pada udang windu non-transgenik melalui uji tantang dengan WSSV. Ekspresi terbesar gen antivirus tersebut didapatkan pada hepatopankreas udang windu, 700 kali lebih tinggi dari ekspresi PmAV pada otot. Pola ekspresi PmAV yang didapatkan pada hepatopankreas relatif sama dengan hasil penelitian ini, dimana pada awal pemaparan pada hari ke-1 ekspresi menurun dan selanjutnya meningkat tajam sampai dengan hari ke-4, tetapi menurun kembali pada hari ke-5. Selanjutnya Luo et al. (2007) menyatakan bahwa pola ekspresi gen antivirus PmAV sangat relevan dengan muatan virus WSSV dalam tubuh udang windu. Peningkatan ekspresi gen PmAV yang tinggi pada hari ke-4 dari penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya pada gen C-type lectin dari udang vaname. Ma et al. (2007) melaporkan bahwa udang vaname yang ditantang dengan WSSV memperlihatkan ekspresi gen C-type lectin yang awalnya menurun pada hari ke-2 dan setelah itu meningkat tajam sampai dengan mencapai puncak pada hari ke-4.
513 bp
513 bp
400 bp
400 bp
Gambar 16 Ekspresi gen antivirus PmAV pada hepatopankreas larva udang windu P. monodon yang ditantang dengan WSSV. Tanda kepala panah atas dan tengah menunjukkan posisi fragmen DNA target gen PmAV dan β-aktin sebagai kontrol internal, M= VC 100bp Plus DNA Ladder (Vivantis), pengamatan ekspresi gen PmAV pada 0 jam (1) 6 jam (2), 12 jam (3), 24 jam (4), 2 hari (5), 3 hari (6), 4 hari (7), dan 5 hari (8) setelah uji tantang.
74
Hasil pengamatan pola ekspresi gen antivirus PmAV dalam penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ekspresi gen setelah ditantang dengan patogen mengindikasikan akan keterlibatan gen tersebut dalam proses perlawanan tubuhnya
atau
dikenal
sebagai
respons
resistensi
terhadap
patogen.
Somboonwiwat et al. (2006) telah melaporkan bahwa peningkatan level ekspresi gen dalam hemosit udang windu P. monodon yang telah dipapar dengan mikroba menunjukkan bahwa gen tersebut terlibat dalam respons mikroba misalnya glucosa transporter-1, interferon-related developmental regulator-1, lisozim, profilin, dan serpin-B3. Hal ini berarti bahwa gen-gen tersebut mengalami induksi meningkat (up-regulated gene). Beberapa gen pada krustase yang sudah diketahui mengalami induksi meningkat ketika dipapar dengan patogen. Gen antibakteria penaeidin memperlihatkan ekspresi yang kuat pada udang vaname L. vannamei (Destoumieux et al. 2000b) dan pada udang Fenneropenaues chinensis (Kang et al. 2007), ketika ditantang dengan patogen. Demikian pula ekspresi gen Rab GTPase pada udang P. japonicus terinduksi ketika udang ditantang dengan virus WSSV (Wu & Zhang 2007), dan gen lisozim pada udang vaname L. vannamei ketika diinjeksi dengan Vibrio campellii (Burge et al. 2007). Untuk mengetahui pengaruh introduksi gen antivirus PmAV dalam penampilan morfologi atau pertumbuhan, maka larva udang dipelihara dalam kondisi terkontrol. Pengamatan yang dilakukan pada saat larva berumur 47 hari menunjukkan bahwa larva udang transgenik tidak memiliki perbedaan penampilan secara morfologi (Gambar 17). Larva udang transgenik mencapai ukuran berat 0,21±0,12 g dengan panjang 3,3±0,51 cm, sedangkan larva udang kontrol memiliki berat 0,30±0,16 g dan panjang 3,5±0,63 cm. Berdasarkan uji-t yang dilakukan antara kedua kelompok udang tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (P>0,05) baik berat maupun panjang udang windu. Selanjutnya, berdasarkan pengamatan dalam jangka waktu panjang, udang transgenik terlihat relatif aktif, sehat dengan morfologi yang normal selama berlangsungnya pemeliharaan.
75
Gambar 17 Penampilan secara morfologi udang windu P. monodon transgenik (A) dan non-transgenik (B) pada umur 47 hari. Hal yang serupa dilaporkan oleh Lu & Sun (2005) pada udang vaname transgenik. Pengamatan yang dilakukan sampai dengan pemeliharaan 236 hari menunjukkan bahwa udang transgenik dan non-transgenik tidak memperlihatkan perbedaan penampilan secara morfologi. Berat rata-rata udang vaname transgenik pada umur tersebut
adalah 7,67 g,
tidak berbeda nyata secara statistik
dibandingkan dengan udang non-transgenik (kontrol) yakni 9,17 g. Selanjutnya Lu & Sun (2005) menyatakan bahwa penurunan pertambahan berat kemungkinan disebabkan oleh integrasi gen target yang diintroduksi pada daerah spesifik pada genom akan memberikan sedikit pengaruh ke pertumbuhan awal larva udang vaname. Penelitian ini berimplikasi bahwa analisis ekspresi gen antivirus PmAV pada embrio dan larva merupakan salah satu bukti keberhasilan transfer gen antivirus PmAV pada udang windu. Sementara itu, pengamatan kelangsungan hidup dan ekspresi gen antivirus pada udang windu ketika ditantang dengan WSSV memberikan gambaran umum mengenai keterlibatan gen antivirus PmAV dalam sistem imunitas udang windu sehingga respons gen antivirus tersebut dapat diketahui.
KESIMPULAN Konstruksi gen antivirus pProAV-PmAV telah berhasil dibuat. Ekspresi transgen antivirus PmAV mampu meningkatkan resistensi terhadap infeksi WSSV dan tidak mempengaruhi pertumbuhan udang windu.
VI. PEMBAHASAN UMUM Produksi udang windu tahan penyakit atau memiliki daya tahan tubuh yang kuat (resisten) terhadap patogen merupakan salah satu strategi yang perlu dilakukan dalam upaya mengendalian penyakit. Penerapan teknologi peningkatan imunitas melalui imunostimulan dan vaksin pada udang windu adalah merupakan alternatif yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah penyakit udang windu. Meskipun demikian, kelemahan metode tersebut terletak pada aplikasinya yang harus dilakukan dalam setiap siklus produksi dan sifat imunitas yang tinggi tersebut tidak dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Metode lain seperti pemijahan selektif (selective breeding) juga memberikan harapan dalam pemecahan masalah penyakit udang windu. Walaupun metode tersebut dapat dilakukan dari generasi ke generasi, tetapi memerlukan waktu yang relatif lama untuk menghasilkan generasi dengan perbaikan genetik (genetic gain) secara signifikan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa untuk menghasilkan perbaikan genetik yang signifikan melalui pemijahan selektif diperlukan waktu 7-8 generasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan suatu upaya pengendalian penyakit udang windu melalui peningkatan resistensi terhadap patogen melalui transfer gen antivirus PmAV pada embrio. Gen antivirus tersebut diharapkan dapat ditransmisikan ke generasi berikutnya sehingga pada generasi ke-3 dapat dihasilkan udang windu tahan penyakit dan stabil (stable line). Metode baru ini diharapkan dapat memperbaiki kelemahan metode sebelumnya. Meskipun aplikasi teknologi transgenesis pada akuakultur masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mikroba dan tanaman, teknologi ini diharapkan memberikan kontribusi dalam perkembangan bioteknologi akuakultur. Aplikasi teknologi transgenesis mulai diaplikasikan pada spesies akuakultur sejak tahun 1980an. Keberhasilan teknologi transfer gen pada ikan pertama kali dilaporkan di Cina pada tahun 1985 (Dunham 2004). Sejak itu, teknologi transfer gen mulai dikembangkan di beberapa negara dengan fokus penelitian pada transfer gen hormon pertumbuhan. Keuntungan dari teknologi transgenesis antara lain adalah gen yang telah diintroduksi dapat terintegrasi dengan genom resipien dan selanjutnya dapat diitransmisikan ke keturunannya (Khoo 2000).
77
Teknologi manipulasi gen (genetic engineering) telah dikembangkan sebagai pelengkap program perbenihan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari karakter yang diinginkan. Prosedur umum yang diajukan oleh Khoo (2000) dalam transgenesis adalah (a) melakukan identifikasi dan persiapan gen target, (b) menemukan kesesuaian metode transfer dan promoter, dan (c) melakukan deteksi dan pemantauan organisme transgenik untuk dipelihara dan digunakan dalam program perbenihan. Teknologi transfer gen diawali dengan isolasi gen target, yang dihubungkan dengan promoter (sekuen DNA regulator) kemudian dikloning dan diperbanyak dalam plasmid. Gen tersebut selanjutnya ditransfer ke organisme lain agar terintegrasi dalam genomnya melalui metode transfer gen yang sesuai. Organisme yang telah mengandung gen asing atau gen homolog yang dimasukkan secara buatan disebut sebagai ikan transgenik (Dunham 2004). Seperti yang dilaporkan oleh Volckaert et al. (1994) bahwa transfer DNA dari luar merupakan strategi yang baik dalam mempelajari regulasi dari ekspresi gen secara in vivo. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah isolasi, karakterisasi, dan kloning promoter ProAV dan gen antivirus PmAV dari udang windu. Pemilihan promoter yang berasal dari udang windu didasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya yang mengisyaratkan bahwa penggunaan promoter dari ikan akan lebih baik dibandingkan dengan promoter yang diisolasi dari hewan mamalia atau mikroorganisme (Alam et al. 1996; Hanley et al. 1998; Alimuddin et al. 2003). Penggunaan promoter dari udang masih sangat terbatas pada promoter β-aktin yang diisolasi dari udang vaname dan telah dilakukan uji aktivitasnya dengan menggunakan gen GFP dan gen TSV-CP pada embrio udang vaname (Sun et al. 2005; Lu & Sun 2005). Penggunaan promoter EF-1α dari udang Marsupenaeus japonicus (pJEF) yang digabungkan dengan gen GFP juga telah dilaporkan pada udang windu (Yasawa et al. 2005). Keberhasilan isolasi promoter ProAV dari udang windu memberikan harapan dalam menghasilkan konstruksi gen yang semuanya berasal dari udang (all-shrimp gene construct) dengan alasan seperti yang dijelaskan sebelumnya serta biosafety produk udang yang dihasilkan. Seperti halnya dengan promoter, gen antivirus PmAV juga telah berhasil diisolasi dari hepatopankreas udang windu. Penemuan tersebut memberikan keyakinan akan pembuatan konstruksi gen all-shrimp. Konstruksi gen yang dibuat dengan
78
menggabungkan promoter dan gen antivirus pada penelitian ini merupakan konstruksi gen all-shrimp pertama yang dilaporkan untuk digunakan dalam rangka produksi udang windu tahan penyakit. Keberhasilan produksi udang transgenik dipengaruhi oleh metode transfer gen yang dipilih. Metode transfer gen akan berpengaruh terhadap waktu dan biaya yang digunakan serta laju integrasi gen ke genom inang. Beberapa metode transfer gen yang dikembangkan pada mamalia telah diaplikasikan pada ikan. Metode yang umum digunakan untuk memproduksi ikan transgenik adalah mikroinjeksi. Meskipun demikian, elektroporasi, mediasi lewat sperma, gene-gun bombardment, dan transfeksi juga telah memperlihatkan efektivitasnya dalam transfer DNA ke genom ikan (Khoo 2000).
Metode mikroinjeksi telah terbukti efektif dalam
teknologi transgenesis pada ikan dengan mempertimbangkan ukuran telur yang relatif besar. Berbeda halnya dengan transgenesis pada krustase khususnya pada udang, beberapa peneliti telah mengkaji aplikasi beberapa metode transfer gen pada udang. Studi penggunaan tiga metode transfer gen yakni mikroinjeksi, elektroporasi, dan transfeksi gen pada udang vaname telah dilakukan oleh Sun et al. (2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode transfeksi menunjukkan metode yang paling sesuai pada udang vaname berdasarkan alasan ukuran telur yang relatif kecil, daya tetas yang tinggi, serta dapat diaplikasikan dalam jumlah yang banyak. Dengan metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI, daya tetas telur udang dapat mencapai 50-60%, jauh lebih besar dibandingkan dengan metode mikroinjeksi (3-5%) dan elektroporasi (25-35%). Demikian halnya dengan jumlah telur yang bisa diberi perlakuan adalah mencapai 50.000 telur untuk metode transfeksi, sedangkan metode elektroporasi hanya mencapai 15.000 telur dan mikroinjeksi 50 telur.
Berdasarkan pertimbangan
tersebut, metode transfer gen yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI. Dengan metode tersebut, jumlah telur yang dapat diaplikasikan relatif lebih besar, tergantung kemampuan dan keahlian dalam penyediaan telur dalam jumlah yang banyak tetapi dalam waktu yang singkat. Pada penelitian ini, telur udang windu dapat dipadatkan sampai dengan konsentrasi 370 embrio/2 mL air laut. Berdasarkan pengamatan perkembangan sel pada embrio udang windu, formasi terbentuknya dua sel mulai terlihat pada
79
pengamatan 60 menit setelah pemijahan, pada suhu 27-29oC. Perkembangan sel dari embrio udang windu disajikan pada Lampiran 12. Oleh karena itu, pelaksanaan transfeksi sebaiknya dilakukan sebelum terbentuknya dua sel atau sebelum 60 menit setelah pemijahan. Hal yang relatif sama disarankan juga pada udang vaname, dimana pembentukan dua sel pada embrio mulai terjadi 55 menit setelah pemijahan sehingga transfeksi gen sebaiknya dilakukan sebelum waktu tersebut atau lebih baik lagi jika dilakukan sebelum terbentuknya lapisan jeli pada permukaan telur vaname yang terjadi 13 menit setelah pemijahan (Sun et al. 2005). Meskipun demikian, Sun et al. (2005) menambahkan bahwa lapisan jeli pada permukaan telur udang vaname masih dapat ditembus oleh larutan transfeksi jetPEI, namun efisiensi masuknya gen relatif rendah dibandingkan dengan fase sebelum terbentuknya jeli. Arenal et al. (2008) telah berhasil mengatasi masalah terbentuknya lapisan jeli pada udang vaname dengan cara perendaman telur selama 5 menit pada larutan urea 3 g/L air laut sebelum dilakukan transfer gen. Meskipun belum diketahui dengan pasti apakah telur udang windu juga memiliki lapisan jeli seperti vaname, tetapi antisipasi tersebut dapat dilakukan dengan mempercepat pelaksanaan transfeksi atau menggunakan larutan urea seperti yang disarankan pada udang vaname. Selain metode transfeksi, particle gun bombardment juga berpotensi untuk digunakan dalam transfer gen pada udang, karena dapat dilakukan dalam jumlah telur yang banyak yakni 8.300-13.480 telur dibandingkan dengan mikroijeksi sekitar 204-580 telur, dengan daya tetas yang relatif tinggi (29,8-60,3%) dibandingkan dengan mikroinjeksi yang hanya 17,620,1% (Yazawa et al. 2005). Seperti halnya dengan metode transfer gen, pemilihan larutan transfeksi merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Larutan transfeksi yang dipilih sebaiknya tersedia luas secara komersil, mudah diaplikasikan, memiliki kemampuan delivery yang tinggi, dan tidak bersifat toksik terhadap embrio maupun terhadap pengguna. Dengan pertimbangan tersebut, larutan transfeksi jetPEI digunakan dalam penelitian ini. Larutan tersebut tersedia secara komersil dan telah digunakan secara luas. Penggunaan jetPEI telah dilaporkan oleh Sun et al. (2005) dengan laju efisiensi transfer gen yang tinggi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Toksisitas larutan tersebut juga dilaporkan sangat rendah (Horbinski
80
et al. 2001) dan mudah mengalami degredasi secara alami (Ahn et al. 2002). Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa larutan jetPEI tersebut tidak memperlihatkan toksisitas pada embrio baik pada uji aktivitas promoter maupun pada transfeksi gen antivirus. Pembuktian tersebut dilakukan dari hasil pengamatan daya tetas embrio udang windu pada perlakuan transfeksi dengan menggunakan kontrol positif (tanpa konstruksi gen) dan kontrol negatif (tanpa larutan tranfeksi dan konstruksi gen), dimana derajat penetaan embrio antara ketiga perlakuan tersebut tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0,05) (lihat Bab IV dan V). Hal ini menunjukkan bahwa dosis jetPEI dan DNA yang digunakan tidak mempengaruhi daya tetas embrio udang windu. Hasil tersebut memberikan peluang besar dalam pengembangan teknologi transgenesis pada udang
dengan
menggunakan
metode
larutan
transfeksi
karena
tidak
membahayakan embrio udang windu. Meskipun demikian penggunaan larutan transfeksi dan DNA konstruksi pada dosis yang lebih tinggi masih perlu dikaji untuk mengetahui ambang batas yang membahayakan pada embrio udang windu. Selain itu, penggunaan dosis lebih rendah juga perlu diteliti dengan pertimbangan efisiensi biaya. Tahap penelitian selanjutnya setelah pembuatan konstruksi gen adalah pengujian aktivitas promoter. Penemuan GFP atau gen berpendar lainnya merupakan awal berkembangnya pengujian transfer gen ke embrio khususnya pada analisis aktivitas sebuah promoter secara in vivo. Pengujian aktivitas promoter umumnya dilakukan dengan cara introduksi konstruksi gen promoter yang telah disambungkan dengan gen penanda misalnya GFP sehingga ekspresi sementaranya dapat diamati (Takagi et al. 1994, Muller et al. 1997, Hamada et al. 1998, Alimuddin 2003, Kobolak & Muller 2003, Maclean et al. 2002, Kato et al. 2007). Oleh karena itu, untuk mengetahui aktif atau tidaknya promoter antivirus yang telah diisolasi dari udang windu, uji aktivitas promoter pada embrio dan larva udang windu dilakukan dengan memanfaatkan gen berpendar EGFP sebagai gen penanda. Untuk tujuan tersebut, telah dibuat konstruksi gen promoter ProAV yang disambungkan dengan gen EGFP (pProAV-EGFP). Promoter ProAV dalam penelitian ini menunjukkan aktivitasnya dalam meregulasi ekspresi gen EGFP. Masuknya gen EGFP dalam embrio udang windu
81
merupakan suatu keberhasilan awal dalam rangka transfer gen target yang akan dilakukan pada tahap berikutnya. Kemampuan promoter mengatur ekspresi gen EGFP tidak terlepas dengan keberadaan beberapa elemen penting regulator atau dikenal dengan faktor transkripsi. Keberadaan faktor transkripsi seperti kotak TATA, MRE, TCF-1, SP-1, GAL-4, dan GATA-1 merupakan elemen penting yang berperan dalam keberhasilan promoter mengatur ekspresi gen target (lihat Bab II). Promoter umumnya memiliki elemen TF penting yang berfungsi dalam peningkatan ekspresi dengan stimulasi gen target, dan pengaturan ekspresi sementara, serta pengarahan proses transkripsi berlangsung pada posisi yang benar (Takagi et al. 1994). Analisis ekspresi gen EGFP pada embrio dan larva udang windu memberikan bukti utama aktifnya promoter antivirus ProAV. Selain alasan keberadaan beberapa TF, aktifnya promoter disebabkan karena promoter antivirus yang diintroduksikan merupakan promoter yang diisolasi dari udang windu. Selain TF, keberadan sekuen mikrosatelit dalam promoter akan berpengaruh pada aktivitas promoter. Walaupun mekanisme hambatan sekuen mikrosatelit terhadap aktivitas promoter tidak diketahui dengan pasti, uji aktivitas secara in vitro menunjukkan bahwa promoter yang mengandung sekuen mikrosatelit
memberikan
efek
negatif
dalam aktivitas
promoter
untuk
mengekspresikan gen target (Luo et al. 2007). Karena itu, promoter yang digunakan dalam penelitian ini adalah promoter antivirus yang tidak mengandung sekuen mikrosatelit dengan menggunakan primer forward yang didesain khusus setelah sekuen mikrosatelit. Di lain pihak, sekuen mikrosatelit dewasa ini sudah mulai digunakan sebagai DNA marker untuk mengidentifikasi udang tahan penyakit. Mukherjee & Mandal (2009) telah melaporkan bahwa marker DNA mikrosatelit dapat digunakan untuk membedakan udang windu yang resisten dengan yang tidak resisten. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa udang yang resisten tidak memiliki fragmen DNA mikrosatelit dengan panjang sekuen sekitar 71 bp, dan sebaliknya fragmen tersebut ada pada udang yang tidak resisten. Hal ini berimplikasi bahwa DNA marker tersebut dapat digunakan sebagai marker pembantu dalam seleksi (marker assisted selection, MAS) pada program pemuliaan udang windu dalam menghasilkan udang resisten penyakit. Walaupun
82
tidak diketahui dengan jelas penyebab kealfaan fragmen DNA tersebut pada udang resisten, DNA mikrosatelit diduga memiliki peran penting dalam gen udang resisten penyakit atau regulasi dari gen yang terkait dengan imunitas udang. Hasil uji aktivitas promotor pada penelitian ini merupakan acuan dalam melaksanakan tahapan penelitian selanjutnya yakni transfer gen antivirus PmAV pada embrio udang windu. Konstruksi gen dibuat dengan menggabungkan promoter dengan gen antivirus (pProAV-PmAV) untuk tujuan analisis ekspresi gen antivirus pada udang windu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi gen antivirus PmAV pada embrio dan larva udang windu memperlihatkan pola yang mirip dengan pola ekspresi gen EGFP. Hal ini disebabkan karena promoter yang digunakan sebagai pengendali ekspresi gen PmAV dan EGFP adalah sama. Tingkat ekspresi gen antivirus PmAV masih rendah sampai dengan 12 jst, mencapai level tertinggi pada jam ke-24 jst atau satu hari setelah transfeksi, dan menurun pada 30 jst. Pola ekspresi yang relatif sama didapakan pada beberapa spesies ikan yang berbeda (Hamada et al. 1998; Ath-thar 2007; Purwanti 2007). Sampai saat ini, analisis gen antivirus PmAV secara in vivo belum pernah dilaporkan. Keberhasilan transfer gen antivirus PmAV ke embrio udang windu pada penelitian ini merupakan yang pertama kali dilakukan. Penelitian sebelumnya masih terbatas pada kajian in vitro. Luo et al. (2003) pertama kali memperkenalkan gen antivirus PmAV yang dilibatkan dalam resistensi udang windu terhadap virus. Penelitian yang dilakukan tersebut memberikan gambaran kunci dalam mempelajari imunitas non-spesifik pada udang yang akan bermanfaat dalam pengendalian penyakit akibat serangan virus. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya aktivitas protein rekombinan PmAV dalam menghambat infeksi virus pada kultur sel ikan. Hasil analisis DNA genom pada penelitian ini menunjukkan bahwa persentase udang windu F0 yang membawa gen PmAV adalah 37,5-75,0%. Masuknya gen antivirus adalah merupakan indikator utama keberhasilan introduksi gen asing ke dalam embrio udang windu. Efisiensi transfer gen sangat tergantung dari metode transfer dan spesies yang digunakan. Laju transfer gen pada udang kuruma Marsupenaeus japonicus relatif rendah yakni 1% untuk metode
mikroinjeksi
dan
0,42%
untuk
metode
particle-bombardment.
83
Keberhasilan mengintroduksi gen asing ke embrio udang putih L. schmitti sekitar 36% dengan metode elektroporasi (Arenal et al. 2008). Efisiensi introduksi gen TSV-CP yang relatif tinggi (72%) telah dilaporkan oleh Sun et al. (2005) pada udang vaname L. vannamei dengan menggunakan metode transfeksi. Selanjutnya, dengan metode elekroporasi, Tseng et al. (2000) telah membuktikan bahwa transfer gen BAP (bacterial alkaline phosphatase) dapat terintegrasi dalam DNA genom udang windu, dimana laju integrasi gen tersebut dapat mencapai 31%. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian ini dan beberapa penelitian sebelumnya, transfer gen asing ke embrio udang tidak lagi merupakan kendala dalam pengembangan produksi udang transgenik di masa mendatang. Introduksi gen PmAV merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan resistensi udang windu dalam melawan patogen termasuk WSSV yang merupakan penyebab utama penyakit virus di Indonesia. Untuk mengetahui ketahanan udang windu transgenik F0, maka dilakukan uji tantang dengan WSSV dengan mengamati kelangsungan hidup dan analisis ekspresi gen antivirus PmAV. Resistensi yang tinggi pada udang windu transgenik telah dibuktikan pada penelitian ini. Ketika ditantang dengan WSSV, udang transgenik dapat bertahan hidup dari serangan virus tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan tersebut diduga akibat adanya suatu bentuk pertahanan imunitas udang windu yang disebabkan oleh penambahan imun antivirus melalui transfer gen antivirus PmAV. Pembuktian tersebut tidak hanya terbatas pada pengamatan kelangsungan hidup, tetapi juga analisis ekspresi gen antivirus pada udang windu transgenik (lihat Bab V). Peningkatan kelangsungan hidup udang transgenik dapat mencapai 24,5% dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan resistensi ikan atau udang yang telah diintroduksi gen pengkode ketahanan tubuh (imunitas) telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Anderson et al. (1996) telah melaporkan potensi peningkatan ketahanan penyakit virus pada ikan rainbow trout Onchorhynchus mykiss. Resistensi yang tinggi terhadap serangan bakteri pada ikan transgenik telah dilaporkan pada ikan channel catfish (Dunhan et al. 2002), ikan medaka (Sarmasik et al. 2002), dan ikan salmon (Austin & AllenAustin 1985; Traxler et al. 1999). Oleh karena itu, pencarian gen-gen pengkode antibakteri semakin intensif dilakukan (Steiner et al. 1981; Bevins & Zasloff
84
1990; Lehrer et al. 1993; Boman 1996; Hoffmann et al. 1996; Hancock 1997) sebagai bahan utama dalam pembuatan konstruksi gen untuk mendukung aplikasi teknologi transgenesis di masa mendatang. Pada udang, peningkatan resistensi melalui teknologi transgenesis masih terbatas. Keberhasilan dalam mengisolasi gen pengkode antimikroba penaeidin dari beberapa spesies krustase merupakan tahap awal dalam upaya peningkatan immunitas udang melawan serangan patogen penyebab infeksi penyakit. Destoumieux et al. (1997) melaporkan bahwa aplikasi penaeidin telah memperlihatkan efek peningkatan resistensi pada udang vaname. Selain itu, pendekatan lain dalam upaya peningkatan imunitas udang telah dilakukan melalui teknologi vaksinasi dan imunostimulasi baik menggunakan rekombinan DNA atau protein virus WSSV pada udang P. chinensis maupun menggunakan RNA untai ganda (dsRNA) pada udang vaname. Selanjutnya penelitian peningkatan ketahanan terhadap penyakit pada udang vaname telah dilakukan oleh Lu & Sun (2005) dengan mengintroduksi gen TSV-CP sehingga dapat meningkatkan resistensinya terhadap penyakit serangan virus TSV sampai dengan 39%. Hasil tersebut berimplikasi akan besarnya potensi pengembangan udang transgenik di masa mendatang, yang akan berguna dalam peningkatan kelangsungan hidup udang windu yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan produksi udang windu. Dunham (2009) menyatakan bahwa keuntungan teknologi transgenesis untuk memproduksi ikan resisten terhadap penyakit (innately diseases-resistant fish) adalah tidak diperlukan biaya dan tenaga yang lebih besar dalam menyediakan imunisasi spesifik untuk setiap patogen sehingga menawarkan potensi ekonomi pada industri akuakultur. Meskipun demikian, mekanisme molekular dari respons imun antivirus pada krustase belum banyak diketahui secara pasti dan menyeluruh (Liu et al. 2009), sehingga penelitian yang lebih mendalam masih perlu dilakukan agar pendekatan ini dapat digunakan dalam mengatasi masalah penyakit pada udang windu. Teknologi transgenesis memberikan peluang besar dalam mengembangkan strain yang memiliki resistensi yang tinggi terhadap patogen penyebab penyakit. Saat ini, perbaikan genetik induk udang pada akuakultur umumnya dilakukan melalui teknik pemijahan selektif secara tradisional seperti seleksi,
85
perkawinan silang, dan hibridisasi (Liu & Corder 2004). Penggunaan marker DNA dan manipulasi gen belum banyak dilakukan dalam industri akuakultur. Salah satu teknik yang memiliki potensi adalah penggunaan DNA marker sebagai alat bantu dalam program seleksi atau lebih dikenal dengan istilah MAS. Implikasi lain dari hasil penelitian ini adalah peluang penggunaan gen antivirus PmAV yang diekspresikan oleh udang tahan penyakit dijadikan sebagai MAS untuk kegiatan seleksi udang windu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa udang yang memiliki resistensi yang tinggi terhadap serangan penyakit virus (udang yang lolos dari serangan WSSV) memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gen antivirus PmAV lebih baik dibandingkan dengan udang windu lainnya. Keberadaan fragmen cDNA pada posisi sekitar 513 bp dapat dijadikan sebagai marker DNA udang resisten dalam program seleksi. Ekspresi gen tersebut sangat tinggi pada hepatopankreas sehingga deteksi gen antivirus PmAV sangat sulit dilakukan jika sampel udang dipertahankan untuk tetap hidup. Pengembangan metode ekstraksi RNA pada beberapa organ udang perlu dilakukan tanpa menyebabkan kematian udang, misalnya melalui otot atau jaringan lain. Luo et al. (2007) melaporkan bahwa ekspresi gen antivirus PmAV pada hepatopankreas 700 kali lebih tinggi dibandingkan di otot, tetapi gen tersebut juga dapat diekspresikan pada haemosit (2,8 kali), usus (7,4 kali), dan insang (12,9 kali). Oleh karena itu, ekstraksi RNA melalui jaringan otot memberikan harapan yang dapat dilakukan untuk menjadikan gen antivirus PmAV sebagai MAS pada program pemuliaan udang windu. Meskipun saat ini ikan dan udang transgenik belum dilaporkan sebagai spesies yang diproduksi secara komersil, kemanjuran dan potensi aplikasi yang besar
pada
teknologi
transfer
gen
telah
memperlihatkan
hasil
yang
menggembirakan (Maclean & Penman 1990; Khoo 2000). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa udang windu transgenik memiliki daya tahan yang tinggi terhadap infeksi virus WSSV dan memiliki pertumbuhan yang relatif sama dengan non-transgenik. Hal tersebut berimplikasi bahwa pemeliharaan udang windu transgenik diduga dapat membangkitkan kembali kejayaan budidaya udang windu Indonesia di masa datang. Namun demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai penelitian lebih lanjut diperlukan seperti produksi transgenik homosigot
86
dan uji daya tahan terhadap berbagai jenis virus. Untuk mencapai sasaran utama dalam produksi udang windu tahan penyakit, beberapa tahapan penelitian masih harus dilanjutkan. Identifikasi udang transgenik yang membawa gen antivirus PmAV perlu dilakukan pada gamet untuk meyakinkan akan terintegrasinya gen target yang dimasukkan ke generasi berikutnya. Produksi udang windu transgenik F1 dan generasi selanjutnya perlu dilakukan, termasuk produksi transgenik homosigot yang berguna dalam produksi masal udang transgenik. Selain itu, perlu dilakukan uji tantang udang transgenik dengan berbagai virus atau bakteri yang biasa menyerang udang windu, untuk mengatahui performa udang windu transgenik dalam melawan berbagai jenis patogen penyebab penyakit.
VII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Umum Resistensi udang windu P. monodon terhadap WSSV dapat ditingkatkan melalui over-ekspresi gen antivirus PmAV yang dikendalikan oleh promoter ProAV menggunakan metode transfeksi.
Saran Untuk mencapai sasaran utama dalam produksi udang windu tahan penyakit sampai dengan generasi yang stabil (stable line), beberapa tahapan kegiatan penelitian masih harus dilanjutkan antara lain adalah: 1. Generasi F0 (founder) disilangkan dengan udang windu non-transgenik untuk mendapatkan F1. 2. Analisis integrasi transgen antivirus PmAV pada genom udang windu. 3. Uji tantang F0 dengan berbagai jenis virus atau bakteri penyebab penyakit udang windu.
VIII. DAFTAR PUSTAKA Abe A, Miyanohara A, Friedmann T. 1998. Polybrene increases the efficiency of gene transfer by lipofection. Gene Therapy 5:708-711. Ahn CH, Chae SY, Bae YH. Kim SW. 2002. Biodegradable poly(ethylenimine) for plasmid DNA delivery [abstract]. J Contr Rel 80:273-282. Ai HS, Huang YC, Li SD, Weng SP, Yu XQ, He JG. 2008. Characterization of a prophenoloxidase from hemocytes of the shrimp Litopenaeus vannamei that is down-regulated by white spot syndrome virus. Fish Shellfish Immunol 25:2839. Alam MS, Lavender FL, Iyengar A, Rahman MA, Ayad HH, Lathe R, Morley SD, Maclean N. 1996. Comparison of the activity of carp and rat β-actin gene regulatory sequences in tilapian and rainbow trout embryos. Mol Rep Dev 45:117-122. Alifuddin M, Dana D, Eidman M, Malole MB, Pasaribu FH. 2003. Penyakit white spot pada udang windu (Penaeus monodon Fab): penularan melalui perendaman dengan virus white spot 20, 100, dan 200 µg/mL dengan waktu ekspos 120 menit. J Akua Indonesia 2:31-35. Alimuddin. 2003. Introduction and expression of foreign ∆6-desaturase-like gene in a teleostean fish [thesis]. Tokyo University of Fisheries, Japan. Alimuddin, Yoshizaki G, Carman O, Sumantadinata K. 2003. Aplikasi transfer gen dalam akuakultur. J Akua Indonesia 2(1):41-50. Alimuddin, Sumantadinata K, Arifin OZ. 2007. Teknologi transgenesis dalam peningkatan kecepatan tumbuh ikan nila merah (Oreochromis niloticus). Laporan Program Insentif Riset Terapan. Institut Pertanian Bogor, 65 hal. Amparyup P, Jitvaropas R, Pulsook N, Tassanakajon A. 2007. Molecular cloning, characterization and expression of a masquerade-like serine proteinase homologue from black tiger shrimp Penaeus monodon. Fish Shellfish Immunol 22:535-546. Anderson ED, Mourich DV, Fahrenkrug SC, LaPatra S, Shepherd J, Leong JA. 1996. Genetic immunization of rainbout trout (Oncorhynchus mykiss) against infectious hematopoietic necrosis virus [abstract]. Mol Mar Biol Biotechnol 5:114-122. Arenal A, Pimentel R, Pimentel E, Martin L, Santiesteban D, Franco R, Alestro P. 2008. Growth enhancement of shrimp (Litopenaeus schmitti) after transfer of tilapia growth hormone gene. Biotechnol Lett 30:845–851.
89
Arts JAJ, Cornelissen FHJ, Cijsouw T, Hermsen T, Savelkoul HFJ, Stet RJM. 2007. Molecular cloning and expression of a toll receptor in the giant tiger shrimp, Penaeus monodon. Fish Shellfish Immunol 23:504-513. Ath-Thar MHF. 2007. Efektivitas promoter β-actin ikan medaka Oryzias latipes dengan penanda gen hrGFP (humanized Renilla reniformis green fluorescent protein) pada ikan lele Clarias sp. Keturunan F0 [Skripsi]. Departemen Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Atmomarsono M. 2004. Pengelolaan kesehatan udang windu, Penaeus monodon di tambak. Akua Indonesiana 5:73-78. Austin B, Allen-Austin D. 1985. A review: bacterial pathogens of fish. J App Bacteriol 58:483-506. Bachere E. 2000. Introduction shrimp immunity and diseases control. Aquaculture 191:3-11. Beaumont AR, Hoare K. 2003. Biotechnology and genetics in fisheries and aquaculture. UK: Blackwell Science. Bechinger B. 1997. Structure and function of channel-forming peptides: magainins, cecropins, melittin and alamethicin. J Membran Biol 156:197-211. Bevins CL, Zasloff M. 1990. Peptides from frog skin. Annu Rev Biochem 59:395414. Boman HG. 1996. Peptide antibiotics: holy or heretic grails of innate immunity. Scan J Immunol 43:475-482. Boussif O, Lezoualc F, Zanto MA, Mergny MD, Scherman D, Demeneix B, Behr JP. 1995. A versatile vector for gene and oligonucleotide transfer into cells in culture and in vivo: Polyethylenimine. Proc Natl Acad Sci 92:7292-7301. Burge EJ, Madigan DJ, Burnett LE, Burnett KG. 2007. Lysozyme gene expression by hemocytes of Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei, after injection with Vibrio. Fish Shellfish Immunol 22:327-339. Carballada R, Degefa T, Esponda P. 2000. Transfection of mouse eggs and embryos using DNA combined to cationic liposomes [abstract]. Mol Rep Dev 56:360-365. Chotigeat W, Deachamag P, Phongdara A. 2007. Identification of a protein the phagocytosis activating protein (PAP) in immunized black tiger shrimp. Aquaculture 271:112-120.
90
Cock J, Gitterle T, Salazar M, Rye M. 2009. Breeding for diseases resistance of penaeid shrimps. Aquaculture 286:1-11. Denis M, Palatty PDM, Bai NR, Suriya SJ. 2003. Purification and characterization of a sialic acid specific lectin from the hemolymph of the freshwater crab Paratelphusa jacquemontii. Eu J Biochem 270:4348-4355. [Deptan] Departemen Pertanian. 1987. Petunjuk Teknis bagi Pengoperasian Unit Usaha Pembenihan (Hatchery) Udang Windu. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. Destoumieux D, Bulet P, Loew D, Dorsselaer AV, Rodriguez J, Bachere E. 1997. Penaeidins, a new family of antimicrobial peptide isolated from the shrimp Penaeus vannmaei (Decapoda). J Biol Chem 272(45):28398-28496. Destoumieux D, Monoz M, Bulet P, Bachere E. 2000a. Review: penaeidins, a family of antimicrobial peptides from penaeid shrimp (crustacea, decapoda). Cell Moll Life Sci 57:1260-1271. Destoumieux D, Munoz M, Cosseau C, Rodriguez, Bulet P, Comps M, Bachere E. 2000b. Penaeidins, antimicrobial peptide with chitin-binding activity, are produced and stored in shrimp granulocyte and released after microbial challenge. J Cell Sci 113:461-469. Devlin RH, Yesaki TY, Donaidson EM, Du SJ, Hew CL. 1995. Production of germline transgenic Pacific salmonids with dramatically increased growth performance. Can J Fish Aquat Sci 52:1376-1384. Devlin RH, Biagi CA, Yesaki TY. 2004. Growth, viability and genetic characteristics of GH transgenic coho salmon strains. Aquaculture 236:607632 Devlin RH, Sundstrom LF, Muir WM, 2006. Interface of biotechnology and ecology for environmental risk assessments of transgenic fish. Trend Biotechnol 24:89-97. Dong B, Xiang JH. 2007. Discovery of genes involved in defense/immunity functions in a haemocytes cDNA library from Fennaropenaeus chinensis by EST annotation. Aquaculture 272:208-215. Dunhan RA, Warr G, Nichols A, Duncan PL, Argue B, Middleton D, Liu Z. 2002. Enhanced bacterial diseases resistance of transgenic channel catfish, Ictalurus punctatus, possesing cecropin genes. Mar Biotechnol 4:338-344. Dunham RA. 2004. Aquaculture and fisheries biotechnology: genetic approach. Wallingford, Oxfordshire, UK: CABI Publishing.
91
Dunhan RA. 2009. Transgenic fish resistant to infectious diseases, their risk and prevention of escape into the environment and future candidate genes for diseases transgene manipulation. Comp Immunol Microbiol Infect Dis 32:139161. Felts K, Rogers B, Chen K, Ji H, Sorge J, Vaillancount P. 2001. Recombinant Renilla reniformis GFP display low toxicity. Stratagene 13:85-87. Galaviz-Silva L, Molina-Graza ZJ, Alcocor-Gonzalez JM, Rosales-Encinas JL, Ibarra-Gamez C. 2004. White spot syndrome virus variants detected in Mexico by a new multiplex PCR method. Aquaculture 242:53-68. Glick BR, Pasternak JJ. 2003. Molecular Biotechnology: Principle and Application of Recombinant DNA. Washington: ASM Press. Gong Z, Wan H, Ju B, He J, Wang X, Yan T. 2003a. Generation of living color trangenic zebrafish. In Shimizu N, Aoki T, Hirono I, Takashima F (editors) Step Toward a Green Future, pp:329-339. Gong Z, Wan H, Tay TL, Wang H, Chen M, Yan T. 2003b. Development of transgenic fish for ornamental and bioreactor by strong expression of fluorescent protein in the skeletal muscle. Biochem Biophysic Res Comm 308:58-63. Guevara LIP, Meyer ML. 2006. Detailed monitoring of white spot syndrome virus (WSSV) in shrimp commercial ponds in Sinaloa, Mexico by nested PCR. Aquaculture 251:33-45. Hamada K, Tamaki K, Sasado T, Watai Y, Kani S, Wakamatsu Y, Ozato K, Kinoshita M, Kohno R, Takagi S, Kimura M. 1998. Usefulness of the medaka β-actin promoter investigated using a mutant GFP reporter gene in trangenic medaka (Oryzias latipes). Mol Mar Biol Biotechnol 7:173-180. Hancock REW. 1997. Peptide antibotics. Lancet 349:418-422. Hanley S, Smith TJ, Muller F, Maclean N, Uzbekova S, Prunet P, Breton B. 1998. Isolation dan functional analysis of the histone H3 promoter from Atlantic salmon (Salmo salar L.). Mol Mar Biol Biotehnol 7:165-172. Her GM, Chiang CC, Wu JL. 2004. Zebrafish intestinal fatty acid binding protein (I-FABP) gene promoter drives gut-specific expression in stable trangenic fish. Genesis 38:26-31. Ho SH, Song YL. 2009. Cloning of penaeidin gene promoter in tiger shrimp (Penaeus monodon). Fish Shellfish Immunol 27:73-77. Hoffmann JA, Reichhart JM, Hetru C. 1996. Innate immunity in higher insects. Curr Opinion in Immmunol 8:8-13.
92
Horbinski C, Stachowiak MK, Higgins D, Finnegan SG. 2001. Polythyleneiminemediated transfection of cultured postmitotic neurons from rat sympathetic ganglia and adult human retina. BMC Neurosci 2:1471-2202. Iyengar A, Muller F, Maclean N. 1996. Regulation and expression of trangenic fish: a review. Transgen Res 5:147-166. Jiravanichpaisal P, Puanglarp N, Petkon S, Donnuea S, Soderhall I, Soderhall K. 2007. Expression of immune-related genes in larval stages of the giant shrimp, Penaeus monodon. Fish Shellfish Immunol 23:815-824. Kang CJ, Xue JF, Liu N, Xhao XF, Wang JX. 2007. Characterization and expression of a new subfamily member of penaeidin anti microbial peptides (penaeidin 5) from Fenneropenaeus chinensis [abstract]. Mol Immunol 44:1535-1543. Kato K, Takagi M, Tamaru Y, Akiyama SI, Konishi T, Murata O, Kumai H. 2007. Construction of an expression vector containing a β-actin promoter region for gene transfer by microinjection in red sea bream Pagrus major. Fish Sci 73:440-445. Kim DK, Jang IK, Seo HC, Shin SO, Yang SY, Kim JW. 2004. Shrimp protected from WSSV disease by treatment with egg yolk antibodies (IgY) against a truncated fusion protein derivated from WSSV. Aquaculture 237:21-30. Khoo, HW. 2000. Transgenesis and its applications in aquaculture. Asian Fish Sci 8:1-25. Kobayashi SI, Alimuddin, Morita T, Miwa M, Lu J, Endo M, Takeuchi T, Yoshizaki G. 2007. Transgenic Nile tilapia (Oreochromis niloticus) overexpressing growth hormone showed reduced ammonia excretion. Aquaculture 270:427-435. Kobolak J, Muller F. 2003. Reporter gene activities in fish embryos, In Fingerman M, Nagabhushanam, editors. Recent Advances in Marine Biotechnology, Molecular Genetics of Marine Organisms, Vol.10. Science Publishers USA, UK, pp: 303-326. Kong HJ, Park EM, Nam BH, Kim YO, Kim WJ, Park HJ, Lee CH, Lee SJ. 2008. A C-type lectin like-domain (CTDL)-containing protein (PtLP) from swimming crab Portunus triberculatus. Fish Shellfish Immunol 25:311-314. Lehrer RI, Lichtenstein AK, Ganz T. 1993. Defensins: antimicrobial and cytotoxic peptides of mammalian cells. Annu Rev Immunol 11:105-128. Linacero RJ, Rueda, Vazquez AM. 1998. Quantification of DNA. Pages 18-21 In Karp AP, Isaac G, Ingram DS, editors. Molecular Tools for Screening
93
Biodiversity: Plants and Animals. Chapman and Hall. London, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras. Liu ZJ, Cordes JF. 2004. Review: DNA marker technologies and their applications in aquaculture genetics. Aquaculture 238:1-37. Liu H, Soderhall K, Jiravanichpaisal P. 2009. Review antiviral immunity in crustaceans. Fish Shellfish Immunol 27:79-88. Lu JK, Fu BH, Wu JL, Chen TT. 2002. Production of trangenic silver sea bream (Sparus sarba) by different gene transfer methods. Mar Biotechnol 4:328-337. Lu Y, Sun PS. 2005. Viral resistant in shrimp that express an antisense Taura syndrome virus coat protein gene. Antivir Res 67:141-146. Luo T, Zhang X, Shao Z, Xu X. 2003. PmAV, a novel gene involved in virus resistance of shrimp Penaeus monodon. FEBS Lett 551:53-57. Luo T, Yang H, Li F, Zhang X, Xu X. 2006. Purification, characterization, and cDNA cloning of a novel lipopolysaccharide-binding lectin from the shrimp Penaeus monodon [abstract]. Dev Comp Immunol 30:607-617 Luo T., Fang L, Kaiyu L, Xu X. 2007. Genomic organization, promoter characterization, and expression profiles of an antiviral gene PmAV from the shrimp Penaeus monodon. Mol Immunol 44:1516-1523. Ma TH, Tiu SHK, He JG, Chan SM. 2007. Molecular cloning of a C-type lectin (LvLT) from the shrimp Litopenaeus vannamei; Early gene down-regulation after WSSV infection. Fish Shellfish Immunol 23:430-437. Maclean N, Rahman MA, Sohm F, Hwang G, Iyengar A, Ayad H, Smith A, Frahmand H. 2002. Transgenic tilapia and the tilapia genome. Gene 295:265277. Marques MRF, Barracco MA. 2000. Lectins, as non-self-recognition factors, in crustaceans. Aquaculture 191:23-44. Morales R, Herrera MT, Arenal A, Cruz A, Hernandez O, Pimentel R, Guillen I, Martinez R, Estrada MP. 2001. Tilapia chromosomal growth hormone gene expression accelerates growth in transgenic zebrafish (Danio rerio). J Biotechnol 4(2):52-58. Mukherjee K, Mandal N. 2009. A microsatellite DNA marker developed for identifying disease-resistant population of giant black tiger shrimp, Penaeus monodon. J World Aqua Soc 40:274-280.
94
Muller F, Lele Z, Varadi L, Menczel L, Orban L. 1993. Efficient transient expression system based on sequence pulse electroporation and in vivo luciferase assay of fertilized eggs. FEBS Lett 324:27-32. Muller F, Williams DW, Konolak J, Gauvry L, Goldspink G, Orban L, Maclean N. 1997. Activator effect of coinjected enhancers on the muscle-specific expression of promoter in zebrafish embryos. Mol Rep Dev 47:404-412. Munoz M, Vandenbulcke F, Gueguan Y, Bachere E. 2003. Expression of penaeidin antimicrobial peptides in early larval stages of the shrimp Penaeus vannamei [abstract]. Dev Comp Immunol 27:283-289. Nam YK, Noh JK, Cho YS, Cho HJ, Cho KN, Kim CG, Kim DS. 2001. Dramatically accelerated growth and extraordinary gigantism of transgenic mud louch Misgurnus mizolepis. Transgen Res 10:353-362. Nurhidayah. 2009. Toksisitas WSSV terhadap post-larva udang windu Penaeus monodon. Laporan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. Okumura T. 2007. Effect of lipopolysaccharide on gene expression of antimicrobial peptides (panaeidin and crustin), serine protease, and prophenoloxidase in haemocytes of the Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. Fish Shellfish Immunol 22:68-76. Parenrengi A, Shamsudin L, Ismail P, Amin NM. 2000. Preliminary study on DNA level marker of grouper at different buffer preservation and DNA extraction method. In Saad MS, Faridah QZ, Kadir MA., Khalid MZZ, Mohamad O, Saleh GB, Panandam JM (Editors). Genetic Manipulation: Challenges and Advantages. Proceeding of the 4th National Congress on Genetics, 26-28 Sept.2000, Genting Highlands, Malaysia, p.194-208. Parenrengi A, Alimuddin, Sukenda, Sumantadinata K, Yamin M, Tenriulo A. 2009a. Cloning of ProAV promoter isolated from tiger prawn Penaeus monodon. Indonesian Aqua J 4:1-7. Parenrengi A, Alimuddin, Sukenda, Sumantadinata K, Tenriulo A. 2009b. Karakteristik Sekuens cDNA Pengkode Gen Antivirus dari Udang Windu, Penaeus monodon. J Riset Akua 4:1-13. Penman DJ, Iyengar A, Beeching AJ, Rahman MA, Sulaiman Z, Maclean N. 1991. Patterns of transgens inheritance in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Mol Rep Dev 30:201-206. Perdomo-Morales R, Montero-Alejo V, Perera E, Pardo-Ruiz Z, Alonso-Jimenez E. 2007. Phenoloxidase activity in the hemolymph of the spiny lobster Panulirus argus. Fish Shellfish Immunol 23:1187-1195.
95
Pitkanen TI, Krasnov A, Teerijoki H, Molsa H. 1999. Transfer of growth hormone (GH) transgenes into Arctic charr (Salvenus alpinus L.): I. Growth response to various GH constructs. Gen Analysis: Biomol Engineer 15:91-98. Purwanti LI. 2007. Uji aktivitas promoter β-actin ikan medaka (Oryzias latipes) pada ikan mas (Cyprinus carpio) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rahman MA, Ronyai A, Engidaw BZ, Jauncey K, Hwang GL, Smith A, Roderick E, Penman D, Varadi L, Maclean N. 2001. Growth and nutritional trials on transgenic Nile tilapia containing an exogenous fish growth hormone gene. J Fish Biol 59:62-78. Rajesh R, Majumdar KC. 2005. Transgene integration – an analysis in autotrangenic Labeo rohita Hamilto (Pisces: Cyprinidae). Fish Physiol Biochem 31:281-287. Reed LA, Siewicki TC, Shah JC. 2004. Pharmacokinetics of oxytetracycline in the white shrimp, Litopenaeus setiferus. Aquaculture 232:11-28. Remy JS, Abdallah B, Zanta MA, Boussif O, Behr JP, Demeneix B. 1998. Gene transfer with lipospermines and polyethylenimines [abstract]. Adv Drug Del Rev 30:85-95. Robalino J, Browdy CL, Prior S, Metz A, Parnell P, Gross P, Warr G. 2004. Induction of antiviral immunity by double-stranded RNA in a marine invertebrata. J Virol 78:10442-10448. Rout N, Citarasu T, Ravindran R, Murugan V. 2005. Transcriptional and translation expression profile of a white spot syndrome viral (WSSV) gene in different organs of infected shrimp. Aquaculture 245:31-38. Sarmasik A, Warr G, Chen TT. 2002. Production of transgenic medaka with increased resistance to bacterial pathogen. Mar Biotechnol 4:310-322. Sathish S, Selvakkumar C, Hameed ASS, Narayanan RB. 2004. 18-kd protein as a marker to detect WSSV infection in shrimps. Aquaculture 238:39-50. Sheela SG, Chen JD, Mathavan S, Pandian TJ. 1998. Construction, electroporatic transfer and expression of ZpβypGH and ZpβrtGH in zebrafish. J Biosci 23:565-576. Shi XZ, Zhao XF, Wang JX. 2008. Molecular cloning and expression analysis of chymortrypsin-like serine protease from the Chinese shrimp, Fenneropenaeus chinensis. Fish Shellfish Immunol 25:589-597.
96
Somboonwiwat K, Supungul P, Rimphanitchayakit V, Aoki T, Hirono I, Tassanakajon A. 2006. Differentially expressed genes in hemocytes of Vibrio harveyi-challenged shrimp Penaeus monodon. J Biochem Mol Biol 39:26-36. Sriphaijit T, Senapin S. 2007. High expression of a novel leucine-rich repeat protein in hemocyte and lymphoid organ of the black tiger shrimp Penaeus monodon. Fish Shellfish Immunol 22:264-271. Sritunyalucksana K, Cerenius L, Soderhall K. 1999. Molecular cloning and characterization of prophenoloxidase in the black tiger shrimp, Penaeus monodon. Dev Comp Immunol 23:179-186. Sritunyalucksana K. 2001. Characterization of some immune genes in the black tiger shrimp, Penaeus monodon [dissertation]. Faculty of Science and Technology, ACTA Universitatis Upsaliensis. Stansfield WD, Colome JS, Cano RJ. 2006. Biologi Molekuler dan Sel. Fahmi V, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Molecular and Cell Biology. Steiner H, Hultmark D, Engstrom A, Bennich H, Boman HG. 1981. Sequence and specificity of two antibacterial proteins involved in insect immunity [abstract]. Nature 292:246-258. Sun PS, Venzon NC, Calderon FRO, Esaki DM. 2005. Evaluation of methods for DNA delivery into shrimp zygotes of Penaeus (Litopenaeus) vannamei. Aquaculture 243:19-26. Sun J, Wang L, Wang B, Guo Z, Liu M, Jiang K, Luo Z. 2007. Purification and characterization of a natural lectin from the serum of the shrimp Litopenaeus vannamei. Fish Shellfish Immunol 23:292-299. Suprapto H, Murdjani M. 2004. Studi pendahuluan resistensi udang windu Penaeus monodon terhadap white spot syndrome virus. Makalah disampaikan pada Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur, 27-29 Januari 2004, Hotel Patra Jasa, Semarang, 9 pp. Syaifudin M. 2006. Isolasi dan karakterisasi cDNA hormone pertumbuhan ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, 63 hal. Takagi S, Sasado G, Tamiya G, Ozato K, Wakamatsu Y, Takeshita A, Kimura M. 1994. An efficient expression vector for transgenic medaka construction. Mol Mar Biol Biotechnol 3:192-199. Tendencia EA, Pena LD. 2001. Antibiotic resistance of bacteria from shrimp ponds. Aquaculture 195:193-204.
97
Toha AHA. 2001. Deoxyribo Nucleac Acid: Keanekaragaman, Ekspresi, Rekayasa, dan Efek Pemanfaatannya. Bandung: ALFABETA. Traxler GS, Anderson E, LaPatra SE, Richard J, Shewmaker B, Kurath G. 1999. Naked DNA vaccination of Atlantic salmon Salmo salar against IHNV [abstract]. Dis Aquat Organ 38:183-190. Tseng FS, Tsai HJ, Liao IC, Song YL. 2000. Introducing foreign DNA into tiger shrimp (Penaeus monodon) by electroporation [abstract]. Theriogenology 54:1421-1432. Vega ER, Garcia-Galaz A, Diaz-Cinco ME, Sotelo-Mundo RR. 2006. White shrimp (Litopneaeus vannamei) recombinant lysozyme has antibacterial activity against gram negative bacteria: Vibrio alginolyticus, Vibrio parahemolyticus and Vibrio cholerae. Fish Shellfish Immunol 20:405-408. Volckaert FA, Hellemans BA, Galbusera P, Ollevier F. 1994. Replication, expression, and fate of foreign DNA during embryonic and larval development of the African catfish (Clarias gariepinus). Mol Mar Biol Biotechnol 3:57-69. Wall RJ. 2002. New gene transfer methods. Theriogenology 57:189-201. Wang R, Zhang P, Gong Z, Hew CL. 1995. Expression of the antifreeze protein gene in transgenic goldfish (Carassius auratus) and its implication in cold adaptation [abstract]. Mol Mar Biol Biotechnol 4:20-26. Wang YC, Chang PS, Chen HY. 2006. Tissue distribution of prophenoloxidase transcript in the Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei. Fish Shellfish Immunol 20:414-418. Wang YC, Chang PS, Chen HY. 2007. Tissue expression of nine genes important to immune defence of the Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei. Fish Shellfish Immunol 23:1161-1177. Wang W, Zhang X. 2008. Comparison of antiviral efficiency of immune responses in shrimp. Fish Shellfish Immunol 25:522-527. Winkler C, Vielkind JR, Schartl M. 1991. Transient expression of foreign DNA during embryonic and larval development of the medaka fish (Oryzias latipes). Mol Gen Genet 226:129-140. Wu SM, Hwang PP, Hew CL, Wu JL. 1998. Effect of antifreeze protein on cold tolerance in juvenile tilapia (Oreochromis mossambicus Peters) and milkfish (Chanos chanos Forsskal). Zoo Stud 37:39-44.
98
Wu W, Zhang X. 2007. Characterization of a rab GTPase up regulated in the shrimp Penaeus monodon by virus infection. Fish Shellfish Immunol 23:438445. Yasawa R, Watanabe K, Koyama T, Ruangapan L, Tassanakajon A, Hirono I, Aoki T. 2005. Development of gene transfer technology for black tiger shrimp, Penaeus monodon. J Exp Zoo 303:1104-1109. Yaskowiak ES, Shears MA, Agarwal-Mawal A, Fletcher GL. 2006. Characterization and multi-generational stability of the growth hormone transgene (EO-1α) responsible for enhanced growth rate in Atlantic salmon. Transgen Res 15:465-480. Yatim W. 2003. Kamus Biologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Yeh MS, Lai CY, Liu CH. Kuo CM, Cheng W. 2009. A second proPO present in white shrimp Litopenaeus vannamei and expression of the proPO during a Vibrio alginolyticus injection, molt stage, and oral sodium alginate ingestion. Fish Shellfish Immunol 26:49-55. Yoshizaki G. 2001. Gene transfer in salmonidae: applications to aquaculture. Suisanzoshoku 49:137-142. Yuwono T. 2005. Biologi molekular. Jakarta: Penerbit Erlangga. Zelensky AN, Gready JE. 2005. The C-type lectin-like domain superfamily. J FEBS 272:6179-6217. Zhan W, Wang X, Chen J, Xing J, Fukuda H. 2004. Elimination of shrimp endogenous alkaline phosphatase immunoassays for the detection of white spot syndrome virus (WSSV). Aquaculture 239:15-21. Zhang X, Huang C, Qin Q. 2004. Antiviral properties of haemocyanin isolated from shrimp Penaeus monodon. Antivir Res 61:93-99. Zhang Y, Qiu L, Song L, Zhang H, Zhao J, Wang L, Yu Y, Li C, Li F, Xing K, Huang B. 2009. Cloning and characterization of a novel C-type lectin gene from shrimp Litopenaeus vannamei. Fish Shellfish Immunol 26:183-192. Zhao ZY, Yin ZX, Xu XP, Weng SP, Rao XY, Dai ZX, Luo YW, Li Zs, Guan HJ, Li SD, Chan SM, Yu XQ, He JG. 2009. A novel C-type lectin from the shrimp Litopenaeus vannamei possesses anti-white spot syndrome virus activity [abstract]. J Virol 83:247-256.