Hirarki dan Diferensiasi Genetik Tanaman Sagu di Indonesia Berdasarkan Penanda RAPD (Hierarchy and differentiation genetic of sago palm in Indonesia based on RAPD markers)
Barahima Abbas1, Muhammad Hasyim Bintoro2, Sudarsono2, Memen Surahman2 dan Hiroshi Ehara3 Key words : Sago palm, population, genetic hierarchy, genetic differentiation Kata kunci : tanaman sagu, populasi, hirarki genetik, diferensiasi genetik
Abstract The objective of research was to reveal genetic hierarchy and differentiation of sago palm based on RAPD molecular marker. The genetic hierarchy and differentiation of sago palm were revealed by using 10 RAPD primers which were amplified by using PCR tools. The results showed that 86 RAPD loci were identified on 100 individual sago palm samples. There were strong significant differences on genetic hierarchy of sago palm among individuals and among population, while in the level of island was only significantly different. Population of Pontianak and Selat Panjang were significantly different from the whole of population, except population of Bogor. The genetic differentiation showed samples of sago palm were differentiated in the level of individuals, populations, and islands. Base on the observation, each populations in each islands need to be considered as sources of germplasm of sago palm for collection program of sago palm germplasm.
Sari Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan hirarki dan diferensiasi 1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian dan Teknologi Universitas Negeri Papua (UNIPA), Mobile phone 085244696549; email:
[email protected] (korespondensi) 2) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) 3) Staf Pengajar Fakultas Bioresources Universitas Mie, Jepang
genetik tanaman sagu berdasarkan penanda molekuer RAPD. Keragaman genetik tanaman diungkapkan dengan menggunakan 10 jenis primer RAPD yang diamplifikasi dengan menggunakan mesin PCR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan sebanyak 86 lokus dari 10 primer RAPD yang digunakan pada 100 individu sampel tanaman sagu. Hirarki genetik tanaman sagu menunjukkan bahwa pada level antar individu dan populasi berbeda sangat nyata, sedang pada level pulau berbeda nyata. Diferensiasi genetik sampel tanaman sagu menunjukkan bahwa populasi tanaman sagu mengalami diferensiasi berdasarkan nilai probabilitas Fst dan exact test (chisquare). Populasi dari Pontianak berbeda nyata untuk semua populasi begitu pula populasi dari Selat Panjang berbeda nyata dengan semua populasi kecuali populasi dari Bogor. Hasil kalkulasi diferensiasi genetik menunjukkan bahwa sampel telah mengalami diferensiasi pada level individu, populasi. Berdasarkan observasi, tiap-tiap populasi sagu di tiaptiap pulau perlu dipertimbangkan sebagai sumber plasma nutfah untuk program kegiatan koleksi plasma nutfah sagu.
Pendahuluan Indonesia memiliki pertanaman sagu dan hutan sagu yang luas dan tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Areal sagu di Indonesia dapat dijumpai dari Sabang sampai Merauke dengan karakteristik yang beraneka ragam dan nama lokal
Hirarki dan Diferensiasi Genetik Tanaman Sagu di Indonesia Berdasarkan Penanda RAPD
1
yang bervariasi pula. Pertanaman sagu dan hutan sagu di dunia diperkirakan mencapai 2 juta hektar, 50% (1 juta hektar) berlokasi di Indonesia (Flach 1983). Kertopermono (1996) melaporkan bahwa luas areal sagu di Indonesia jauh lebih luas dibanding dengan yang dilaporkan Flach (1983) yaitu seluas 1.528.917 Ha dengan penyebaran: Irian Jaya 1.406.469 Ha, Maluku 41.949 Ha, Sulawesi 45.540 Ha, Kalimantan 2.795 Ha, Jawa Barat 292 Ha, dan Sumatera 31.872 Ha. Luas areal penyebaran sagu di Indonesia tidak menyebar rata begitu pula keragamannya. Flach (1983) memperkirakan keragaman sagu di Indonesia lebih tinggi dijumpai di propinsi Papua dibanding dengan pulaupulau lainnya di Indonesia. Kekayaan keragaman sagu yang dimiliki sekarang ini dari tahun ke tahun mengalami erosi plasma nutfah sejalan dengan tingkat konversi lahan atau hutan sagu menjadi lahan komoditas lain atau bagunan dan tingkat eksploitasi yang berlebihan (Tenda et al. 2006). Konservasi plasma nutfah dapat dilakukan dengan cara in situ dan ex situ. Konservasi secara ex situ memerlukan informasi genetik tanaman yang akan dikonservasi agar efisien dalam penggunaan ruang dan penanganannya. Informasi keragaman genetik dapat diungkapkan dengan berbagai macam teknik molekuler. Salah satu teknik molekuler yang dianggap sederhana, persiapannya relatif mudah, dan relatif murah yaitu penanda molekuler RAPD. Kelebihan penanda RAPD yaitu mudah diterapkan untuk pengujian keragaman (Ferdinandez et al. 2001, Powel et al. 1995, dan Colombo et al. 1998), tidak menggunakan radioaktif dan relatif murah dibanding dengan penanda molekuler lainnya (Powel et al. 1995). Kekurangan penanda RAPD yaitu amplifikasi fragmen yang dihasilkan tidak reprodusibel (Jones et al. 1998).
2
Zuriat, Vol. 20, No. 1, Januari-Juni 2009
Kekurangan yang terjadi dapat dieliminasi dengan hanya menskor fragmen major (Tessier et al. 1999 dan Powel et al. 1995) dan diulang minimal dua kali (Bronzini et al. 2002 dan Ehara et al. 2003). Penanda molekuler RAPD digunakan untuk berbagai tujuan yaitu studi keragaman genetik, hirarki genetik, diferensiasi genetik, kekerabatan genetik, dan struktur genetik (Sripaoraya et al. 2001, Geraci et al. 2001, Stallen et al. 2001, Hill dan Weir 2004, dan Shrestha et al. 2002). Dokumentasi keragaman genetik dengan menggunakan penanda RAPD telah dilakukan oleh Faccioli et al. (2000) pada tanaman Osteospermum sp, Lanteri et al. (2001) pada tanaman Cynara cardunculus L., dan Dwivedi et al. (2001) pada tanaman Arachis hypogaea L. Struktur genetik merupakan hal yang esensial dalam konservasi plasma nutfah, menentukan eksistensi dan mutasi atau differentsiasi yang terjadi pada struktur populasi. Shrestha et al. (2002) mengukur tingkat differensiasi populasi A. raddiana Savi. melalui perhitungan nilai struktur genetik, begitu pula Provan et al. (1998) menunjukkan proporsi diferensiasi populasi P. sylvestris L. dengan menghitung ragam hirarki genetik. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan tingkat polimorfisme penanda RAPD, hirarki dan diferensiasi genetik tanaman sagu di Indonesia.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Molekuler Biologi Tanaman (PMB) IPB, Bogor dan Laboratorium Crop Production and Ecology Fakultas Bioresources, Universitas Mie, Jepang. Total 100 sampel rumpun tanaman sagu yang digunakan pada penelitian ini dari enam pulau di Indonesia diseleksi
berdasarkan nama lokalnya (Tabel 1). Sampel daun dikoleksi dan diawetkan dengan menggunakan butiran silika gel yang disimpan dalam kantong plastik, mengikuti prosedur (Chase dan Hill 1991). Isolasi dan ekstraksi total DNA dari daun tanaman sagu kering dilakukan dengan mengikuti prosedur dari Qiagen DNA extraction kit (Qiagen 2003). Primer RAPD yang digunakan pada percobaan ini yaitu: 10 jenis (10-mer)
primer (Tabel 2). Kondisi PCR yang digunakan mengikuti metode yang digunakan oleh Ehara et al. (2003) dengan sedikit modifikasi yaitu: 0.12µM, 0.63 U Ampli Taq GoldTM, 10ng DNA genom dan fragmen amplifikasi dielektroforesis dengan menggunakan 1.7 % gel agaros dalam 1 x TBE buffer, difiksasi pada etidium Bromida, dan divisualisasi dan divisualisasi dengan meng-gunakan Densitograph, Bioinstrument ATTA.
Tabel 1. Lokasi tempat tanaman sagu dikoleksi, nama lokal dan nomor sampel individu yang digunakan. Pulau Papua
Populasi Jayapura
Serui
Manokwari Sorong
Nama lokal (nomor individu) Pulau Bharahabow (6), Bharahabow- Ambon 1(92), Bharawalisa (7), Bharawalisa-1 (97), Bharawalisa-2 (98), Folo (9), Folo-1 (87), Folo-2 Sulawesi (88), Hobolo (11), Osukhulu (24), Osukhulu-1 (93), Osukhulu-2 (94), Phane (27), Phane-1 (91), Phane-2 Kalimantan (95), Rondo (34), Rondo-1 (100), Ruruna (35), Ruruna-1 (89), Ruruna-2(90), Wani (46), Wani-1 (86), Yakhalobhe (49), Yebha (50), Yerirang (14), Yerirang-1(96), dan Yerirang-2(99) Aming (1), Aming-1 (75), Jawa Animpeun (3), Awa (5), Awa-1(76), Awa-2 (77), Huworu (12), Huworu1(81), Huworu-2 (82), Kurai (18), Kurai-1(84), Kurai-2 (85), Sunare (38), Sunare-1(79), Sunare-2 (80), Weun (47), Owawu mambai 25), Owawu ureifasei 26), Owawu-1 (73), Umar (43), Umar-1 (83), Umbeni (44), Woru (48), dan Woru-1(78) Antah (4), Anandong (2), MKW Sumatera (19), MKW-1 (20), MKW-D1(21), dan MKW-D2 (22) Bosairo (8), Bosairo-1 (69), Bosairo-2 (70), Igo (13), Kororo (17), Kororo-1 (74), Raimamare (28), Raimamare-1 (71), dan Raimamare-2 (72)
Populasi Ambon
Palopo
Pontianak
Bogor
Selat Panjang
Nama lokal Hihul (10) Tuni (41) Makanalu (45) Sulsel-P (36), Sulsel-R (37), Tawaro (39), dan Tawaroduri (40) Pontianak-1 (51), -2 (52), -3 (53), -4 (54), -5 (55), -6 (56), -7 (57), -8 (58), -9 (59), -10 (60), -11 (61), -12 (62), -13 (63), -14 (64), -15 (65), -16 66), -17 (67), dan –18 (68) Kirai-1 (15) dan Kirai-2 (16)
Molat (23), Riau-1 (29), Riau-2 (30), Riau-D1 (31), Riau-D2 (32), Rotan (33), dan Tuni-R (42)
Keanekaragaman Genetik Populasi Mucuna Berdasarkan Karakter Morfologi
3
Analisis Data. Hirarki genetik diestimasi dengan AMOVA dengan menggunakan Arlequin software 2.0 (Schneider et al. 2000). Uji AMOVA memungkinkan untuk mengestimasi komponen ragam sampel antar individu, antar populasi dan antar pulau. Nilai signifikan dihitung dari matriks dengan permutasi 10000 kali. AMOVA didasarkan pada jarak antar penanda RAPD yang dikalkulasi (sampel pada level individu, populasi, dan pulau) dari jumlah kuadrat perbedaan pengulangan (repeat differences) antar dua genotipe dengan rumus: dxy = ∑(axy -ayi)2, axy dan ayi adalah jumlah pengulangan untuk ith lokus dalam genotipe x dan y. Matrix dissimilarity dikalkulasi dengan menggunakan koefisien jarak dari Nei (1972). Diferensiasi genetik diestimasi dengan menggunakan Exact Test sampel pada level populasi dan pulau dengan menggunakan chi-squares (X2) sesuai dengan prosedur yang dikembangkan oleh (Raymond and Rousset 1995). Nilai exact test dikalkulasi dengan menggunakan software Tools for
Genetik Analysis (TFPGA 1.3, Miller 1997).
Hasil dan Pembahasan Jumlah fragmen pita DNA yang teramplifikasi dari 10 primer (10 mer) sebanyak 86 fragmen yang semuanya polimorfik (100%) dengan ukuran fragmen DNA antara 150 pasang basa (bp) dan 1800 bp (Tabel 2) dan jumlah genotipe masing-masing populasi antara 2 - 27 (Tabel 3). Polimorfisme pita RAPD dan jumlah genotipe yang dijumpai pada penelitian ini merupakan cerminan keragaman genetik tanaman sagu berdasarkan penanda RAPD. Sampel fragmen DNA yang teramplifikasi oleh mesin PCR yang divisualisasi pada gel agaros 1.7% disajikan pada Gambar 1. Hasil ini menyerupai keragaman tanaman sagu yang telah diungkapkan pada studi sebelumnya seperti yang diungkapkan oleh Ehara et al.(2003) dengan menggunakan penanda RAPD pada beberapa sampel individu tanaman sagu asal Indonesia dan Malaysia.
Tabel 2. Jenis dan tingkat polimorfisme primer RAPD yang digunakan No.
4
Primer
Lokus
Sekuen
Polimorfisme
Monomorfisme
01
P01
GCG GCT GGA G
10
0
02
P02
GTG ACG CCG C
8
0
03
P04
CGT CTG CCC G
7
0
04
P06
TTC CGC GGG C
6
0
05
P17
ATG ACG ACG G
12
0
06
OPG02
GGC ATC GAG G
9
0
07
OPA04
AAT CGG GCT G
6
0
08
OPAB04
GGC ACG CGT T
8
0
09
OPAA17
GAG CCC GAC T
10
0
10
OPAB18
CTG GCG TGT C
10
0
Zuriat, Vol. 20, No. 1, Januari-Juni 2009
Hirarki genetik diestimasi berdasarkan perhitungan AMOVA. Nilai perhitungan AMOVA menunjukkan bahwa 89.35% dari total ragam sampel disumbangkan oleh antar individu dengan nilai probabilitas (P) yang berbeda sangat nyata, 6.58% disumbangkan oleh sampel pada level pulau dengan nilai P yang berbeda nyata, dan ragam 8.4% disumbangkan oleh antar populasi dengan nilai P
berbeda sangat nyata (Tabel 4). Ragam dari sumber ragam yang diujikan bervariasi dari berbeda nyata sampai berbeda sangat nyata mengindikasikan bahwa populasi-populasi tanaman sagu yang diamati masing-masing menyumbangkan ragam yang nyata terhadap total ragam yang berarti terdapat pasangan populasi yang berbeda nyata.
Tabel 3. Jumlah lokus dan genotipe setiap populasi berdasarkan 10 primer RAPD Pulau Populasi
Jayapura
∑Sampel 01 02 03 04 05 Primer (Lokus/ 06 genotipe) 07 08 09 10 Total (Lokus/ genotipe)
27 10/19 8/19 7/15 6/9 12/24 8/20 6/15 7/12 10/21 10/17 84/27
Papua Serui Mkw 24 10/15 8/20 7/12 5/10 12/20 8/18 6/10 8/10 10/20 10/12 84/24
6 9/2 7/4 4/2 5/5 9/3 9/5 5/4 3/3 7/6 7/3 65/6
Sorong
Ambon Ambon
Sulawesi Palopo
Kalimantan Pontianak
9 10/7 7/8 7/6 6/6 8/8 8/7 5/7 4/4 9/7 6/4 70/9
3 2/1 6/3 4/3 3/3 7/3 6/3 4/2 5/3 5/2 8/3 50/3
4 8/3 6/4 2/1 4/2 5/2 6/3 4/2 4/3 8/3 3/2 50/4
18 10/10 8/14 6/9 6/10 11/12 8/13 6/6 8/14 9/17 10/12 82/18
Jawa Bogo r 2 7/2 6/2 2/2 2/2 4/1 7/2 4/1 3/2 5/2 4/2 44/2
Populasi dari Manokwari (MKW) dan Selat Panjang (SP) 10 12 14 17 18 21 22 25 M 24 27 28 29 30 36 37 39 49 50 51 52 53 54 55 56 M 57 58 59 60 61 62 63 64
Gambar 1. Contoh penampakan fragmen-fragmen RAPD yang diamplifikasi dengan menggunakan primer OPAA17. Marker (M) dan nomor sumur melambangkan nomor individu sample .
Keanekaragaman Genetik Populasi Mucuna Berdasarkan Karakter Morfologi
5
Sumatera SP 7 10/7 6/6 4/6 3/3 9/7 6/5 5/6 5/5 8/6 8/6 64/7
Tabel 4. Analisis molecular varian (AMOVA) berdasarkan 86 lokus RAPD. Sumber
d.b .
Jumlah
Komponen
Kuadrat
Ragam
Antar Pulau
5
147.14
Antar populasi
3
Antar individu
91
Total
99
1485.42
15.60
Antar populasi
8
217.16
1.29
Varian
% Ragam
Indeks
1.03
6.58
FCT= 0.07
0.044*
70.03
0.64
4.07
FSC = 0.04
0.008**
1268.26
13.94
FST = 0.11
0.000**
Fst= 0.09
0.000**
P
Fiksasi
dalam Pulau 89.35
8.49
Estimasi AMOVA dilakukan dengan permutasi 10000 kali. Derajat bebas (d.b), korelasi Indeks fiksasi antar pulau (FCT), Indeks fiksasi antar populasi dalam pulau (FSC), indeks fiksasi antar individu (FST ), indeks fiksasi antar populasi (Fst), berbeda nyata (*), dan berbeda sangat nyata (**).
Diferensiasi genetik pada level populasi berdasarkan uji Fst dan exact test disajikan pada Tabel 5 dan 6. Tingkat diferensiasi yang terdeteksi pada penelitian ini menyerupai diferensiasi genetik tanaman Cynara scolymus L. yang juga menggunakan penanda RAPD (Lanteri et al. 2001) begitupula pada tanaman M. sativa L. (Mengoni et al. 2000). Sampel populasi asal Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera tidak memiliki kesamaan dengan sampel asal Papua berdasarkan penanda RAPD
melalui perhitungan perbandingan populasi (population comparison) yang berarti sampel dari pulau Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera telah mengalami diferensiasi berdasarkan nilai Fst. Fenomena tersebut menyerupai dengan hasil yang diperoleh pada penelitian keragaman tanaman sagu yang menggunakan penanda cpDNA yaitu pada pulau-pulau tersebut ditemukan spesifik haplotipe sebagai sumber keragaman (Barahima et al. 2006).
Tabel 5. Matriks signifikan Fst P value pada level 0.05 dengan permutasi 10000 Pop 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 0 + + + + + +
2 0 + + + +
3 + + 0 + + +
4 + 0 + + +
5 0 + +
6 + + + + 0 + +
7 + + + + + + 0 + +
8 + + 0 -
9 + + + + + + + 0
Populasi (pop) dari Jayapura (1), Serui (2), Manokwari (3), Sorong (4), Ambon (5), Palopo (6), Pontianak (7), Bogor (8), dan Selat Panjang (9). Berbeda nyata (+), tidak berbeda nyata (-), dan diagonal (0)
6
Zuriat, Vol. 20, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengujian dengan Exact test (x2) juga membuktikan bahwa sampel pada level populasi dan pulau mengalami diferensiasi terlihat dari nilai chi-square yang tinggi antar populasi dan antar pulau. Metode pengujian statistik yang dilakukan disini dalam mengungkapkan diferensiasi yang terjadi pada level populasi dan pulau, juga telah
digunakan untuk mengungkapkan diferensiasi yang terjadi pada level populasi pada berbagai jenis tanaman seperti yang dilakukan oleh Jacquemyn et al. (2004) pada Primula elatior (L.) Oxlip., Mengoni et al. (2000) pada M. sativa L, dan Shrestha et al. (2002) pada Acacia radiana Savi
Tabel 6. Nilai exact test (diagonal atas) dan probabilitas (diagonal bawah) untuk pengukuran nilai diferensiasi sampel pada level populasi berdasarkan 86 lokus RAPD dan 100 individu sampel tanaman sagu Pop
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
*****
160.01
194.35
166.44
110.66
220.51
323.80
106.41
185.03
2
0.74
*****
142.88
120.92
101.20
175.84
266.04
80.24
155.26
3
0.12
0.95
*****
105.11
63.02
85.77
178.90
35.96
136.83
4
0.61
0.99
1.00
*****
54.50
108.03
206.90
66.38
161.08
5
0.99
1.00
1.00
1.00
*****
62.56
137.34
54.80
99.82
6
0.01
0.41
1.00
1.00
1.00
*****
176.67
51.23
149.26
7
0.00
0.00
0.34
0.04
0.98
0.39
*****
96.39
190.08
8
1.00
1.00
1.00
1.004
1.00
1.00
1.00
*****
93.47
9
0.24
0.82
0.98
0.71
1.00
0.89
0.16
1.00
*****
Populasi (Pop) dari Jayapura (1), Serui (2), Manokwari (3), Sorong (4), Ambon (5), Palopo (6), Pontianak (7), Bogor (8), dan Selat Panjang (9).
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) dijumpai 86 lokus dari 10 primer RAPD yang digunakan pada 100 individu sampel tanaman sagu dengan jumlah genotipe yang tinggi, (2) hirarki genetik menunjukkan bahwa keragaman pada level antar individu dan populasi berbeda sangat nyata dan keragaman pada level antar pulau hanya berbeda nyata, (3) diferensiasi genetik sampel tanaman sagu menunjukkan bahwa populasi tanaman sagu mengalami diferensiasi berdasarkan nilai probabilitas Fst dan exact test (chisquare). Populasi dari Pontianak berbeda nyata untuk semua populasi
begitu pula populasi dari Selat Panjang berbeda nyata untuk semua populasi kecuali populasi dari Bogor. Program kegiatan konservasi plasma nutfah sagu disarankan menggunakan sampel tanaman dari tiap-tiap populasi sagu yang berada di tiap-tiap pulau sebagai sumber plasma nutfah.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Association International Education Japan (AIEJ) atas dukungan financial yang diberikan sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Keanekaragaman Genetik Populasi Mucuna Berdasarkan Karakter Morfologi
7
Daftar Pustaka Barahima, H. Ehara , M.H. Bintoro , Sudarsono, M. Surahman. 2006. Haplotype diversity of sago palm in Papua based on chloroplast simple sequence repeats (cpSSR) DNA. Proceeding of the Eight International Sago Palm Symposium, Jayapura Indonesia. pp. 135 – 148 Bronzini VDC, Maury J, Gambotti C, Breton C, Berville A, and Giannettini J. 2002. Mitocondrial DNA Variation and RAPD mark oleasters, olive and olive from Western and Eastern Mediteranian. Theor appl Genet. 104:1209-1216. Chase M and Hill H. 1991. Silica gel: an ideal material for field preservation of leaf samples. Taxon 40:215-220. Colombo C, Second G, Valle TL, and Charrier A. 1998. Genetic diversity characterization of cassava cultivars (Manihot esculenta Cranz.) RAPD markers. Genet Mol. Biol. 21:69-84. Dwivedi SL, Gurtu S, Chandra S, Yuejin W, and Nigam SN. 2001. Assessment of genetic diversity among selected groundnut germplasm. I: RAPD analysis. Plant Breeding 120:345-349. Ehara H, Kosaka S, Shimura N, Matoyama D, Morita O, Naito H, Mizota C, Susanto S, Bintoro MH, and Yamamoto Y. 2003. Relationship between geographical distribution and genetic distance of sago palm in Malay Archipelago. Sago Palm 11:8-13. Faccioli P, Terzi V, Pecchioni N, Berio T, Giovannini A, and Allavena A. 2000. Genetic diversity in cultivated Oesteospermum as revealed by random amplified polymorphic DNA analysis. Plant Breeding 119:351-355. Ferdinandez YSN, Somers DJ, and Coulman BE. 2001. Estimating
8
Zuriat, Vol. 20, No. 1, Januari-Juni 2009
the genetic relationship of hybrid bromegrass to smooth bromegrass and medow bromegrass using RAPD markers. Plant Breeding 120:149-153. Flach M. 1983. The Sago Palm. Domestication, exploitation, and product. FAO Plant Production and Protection. Rome. 85p. Graci A, Divaret I, Raimondo FM, and Chevre AM. 2001. Genetic relationships between Sicilian wild population of Brassica analyses with RAPD markers. Plant Breeding 120:193-196. Hill WG and Weir BS. 2004. Moment estimation of population diversity and genetic distance data on recessive markers. Molecular Ecology 13:895-908. Jacquemyn H, Honnay O, Galbusera P, and Ruiz IR. 2004. Genetic structure of forest herb Primula elatior in a changing landscape. Molecular Ecology. 13:211-219. Jones CJ, Edwards KJ, Castiglione S, Winfield MO, Sala F, Weil VC, Vosman BL, Matthes M, Daly A, Brettschneider R, Bettini P, Buiatti M, Maestri E, Marmiroli N, Aert RL, Volckaert G, Rueda J, Vazquez A, and Karp A. 1998. Reproducibility testing of RAPDs by a network of European Laboratories. In Karp A et al (eds). Molecular Tools for Screening Biodiversity. Champman and Hall London, UK. pp176-179. Kertopermono AP. 1996. Inventory and evaluation of sago palm (Metroxylon Sp) distribution. Sixt International Sago Symposium. Pekan Baru 9 – 12 Desember 1996. 59-68. Lanteri S, Leo ID, Ledda L, Mameli MG, and Portis E. 2001. RAPD variation within and among
population of globe artichoke cultivar ‘Spinoso sardo’. Plant Breeding 120: 243-246. Mengoni A, Gori A, and Bazzcalupo M. 2000. Use of RAPD and micro satellite (SSR) variation to assess genetic relationships among populations of tetraploid alfalfa, Medicago sativa. Plant Breeding 119:311-317. Miller MP. 1997. Tools for population genetic analyses (TFPGA) version 1.3. Departement of Biological Sciences-Box 5640. Northern Arizona University. Nei M. 1972. Genetic distance between populations. American Naturalist 106(949):283-292). Powel W, Castillo CO, Chaluers KJ, Provan J, and Waugh R. 1995. Polymerase chain reaction basedassays for the characterization of plant genetic resources. Electrophoresis 16:1726-1730. Provan J, Soranzo N, Wilson NJ, McNicol JW, Forrest GI, Cottrell J, Powel W. 1998. Gene-pool variation in Caledonian and European Scots pine (Pinus sylvestris L.) revealed by chloroplast simple-sequence repeats. The Royal Society 265:1697-1705. Qiagen 2003. DNeasy plant mini and DNeasy plant maxi handbook for isolation of DNA from plant tissue. WWW.Qiagen.com . Raymond M and Rousset F. 1995. An exact test for population differentiation. Evolution 49:12801283.
Schneider S, Roessli D, and Excoffier L. 2000. Arlequin: A Software for population genetics data analysis. Ver 2.000. Genetics and Biometry Laboratory, Department of Anthropology, University of Geneva. Shrestha MK, Goldhirsh AG, and Ward D. 2002. Population genetic structure and the conservation of isolated population of Acacia raddiana in the Negev Desert. Biological Conservation 108:119127. Sripaoraya S, Blackhall NW, Marchant R, Power JB, Lowe KC, and Davey MR. 2001. Relationships in pineapple by random amplified polymorphic DNA (RAPD) analysis. Plant Breeding 120:265267. Stallen NV, Noten V, Neefs V, and Proft MD. 2001. The phylogenetic relationship between different Cichorium intybus cultivars and cultivar groups, as revealed by RAPD. Plant Breeding 120:425428. Tenda ET, Novarianto H, and Limbongan J. 2006. Biodiversity of sago palm in Indonesia and conservation strategy. Proceeding of the eight International sago palm symposium. Pp. 239. Tessier C, Davd J, Bourisquot JM, and Charrier A. 1999. Optimization of the choice of molecular markers for varietals identification in Vitis vinifera L. Theor Appl genet. 98:171-177.
Keanekaragaman Genetik Populasi Mucuna Berdasarkan Karakter Morfologi
9