KARAKTERISASI PENANDA GENETIK mtDNA COI DAN DAERAH ITS rDNA KARANG Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) DALAM UPAYA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU
JUSAK WIRA HARDJA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, November 2009
Jusak Wira Hardja NIM C252070284
ABSTRACT JUSAK WIRA HARDJA. Characterization of mtDNA COI and rDNA ITS Region as the Genetic Markers of Coral Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) in Coral Reef Management Efforts in Pramuka Island, Seribu Islands. Under direction of ARIO DAMAR, PUTRI ZAMANI and DEDY DURYADI SOLIHIN. Condition of coral reefs in Seribu Islands have been degraded, particularly on islands adjacent to Jakarta (hard coral cover < 5%). The largest portion of coral reef damage due to human activity, including destructive and over fishing, corals and sand mining, water pollution, run-off, sedimentation and coastal development. In Indonesia, during the period 1999-2003 which corals live as coral trade is a kind of colored or have a large polyp that can be seen throughout the day, such as Euphyllia spp. and Goniopora spp. are included in Appendix II of CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).obtained from various regions in Indonesia. Ornamental coral export development in Indonesia in general tends to increase every year along with the increasing number of importing countries International trade of corals, reef fish, live coral reefs and other organisms are activities that contribute to the decline and degradation of coral reefs. Efforts to conserve and rehabilitation of coral reefs have been carried out, such as coral transplantation, but there are problems in systematic, taxonomy, and identification of coral species level, due to frequent changes and plasticity morphology. DNA Barcoding is one solution to overcome this problem. However the genetic markers based on Cytochrome c oxidase subunit 1 (COI) seemly cannot be applied to species level of coral, so that other genetic markers is required. In this study was used two genetic markers of mtDNA COI (mitochondrial DNA COI) and ITS rDNA (nuclear ribosomal intra transcribed spacer region) as a comparison. Coral samples were taken from the Seribu Islands waters at Pramuka Island and Panggang Island at different locations, then performed morphological identification, isolation of DNA, PCRbased DNA amplification, and sequence analysis genomic DNA using the Mega 4.0. program and using Porites spp. nucleotide sequence from GenBank as an outgroup. The research concluded that based on the genotypic characteristics suggested that the COI genes of corals were relatively can only be used at the level of genus or higher level. Whereas ITS rDNA genes were relatively can be used as genetic markers at the species level, but should be used the other gene markers as a control or comparison. By knowing the genotypic differences of coral species, is expected to be a reference in determining the donor that can be used in coral reef transplantation, especially in management coral reefs efforts in the waters of Pramuka and Panggang Islands, and as generally in the Seribu Islands waters. Furthermore, genetic markers as DNA Barcode has potentially to be used as one of identification tool in the regulation of corals trading, especially ornamental coral such as Goniopora spp. Key words: coral reef, coral, DNA barcoding, genetic marker, COI, ITS, Goniopora spp.
RINGKASAN JUSAK WIRA HARDJA. Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh ARIO DAMAR, NEVIATY PUTRI ZAMANI dan DEDY DURYADI SOLIHIN. Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu telah mengalami degradasi, terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta (tutupan karang keras < 5%). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang akibat ulah manusia, di antaranya penangkapan berlebih dan merusak, polusi air laut, sampah, penambangan karang dan pasir, sedimentasi serta pembangunan pesisir. Kepulauan Seribu masih memiliki sumber daya yang beragam berupa terumbu karang, ikan terumbu, invertebrata, mangrove, lamun, rumput laut, penyu, dan burung laut yang patut kita jaga kelestariannya (Estradivari et al. 2007). Kondisi ini yang membuat kawasan ini menjadi menarik untuk diamati dan sebagai lokasi penelitian terumbu karang. Di perairan Kepulauan Seribu ini banyak dilakukan kegiatan rehabilitasi terumbu karang, transplantasi karang, kebun karang dan juga budidaya karang hias, yaitu di antaranya adalah di sekitar Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang (Johan 2000; Aziz 2002; Respati 2005; Margono 2009; Nggajo 2009). Di Indonesia, selama periode 1999-2003 karang hidup yang diperdagangkan merupakan jenis karang yang berwarna atau memiliki polip berukuran besar yang dapat dilihat sepanjang hari, seperti Euphyllia spp. dan Goniopora spp. yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia. Perkembangan ekspor karang hias di Indonesia secara umum cenderung terus meningkat setiap tahunnya bersamaan dengan semakin banyaknya jumlah negara pengimpor. Sampai tahun 2003 jumlah negara pengimpor karang hias dari Indonesia sudah mencapai 45 negara (Kudus 2005). Transplantasi karang merupakan salah satu alternatif upaya untuk pemulihan terumbu karang melalui pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan. Beberapa negara telah mengembangkan lebih lanjut teknologi transplantasi karang dan marine culture (coral farming), yang tujuannya selain restorasi dan rehabilitasi juga budidaya untuk memenuhi kebutuhan pasar akan karang hias (Clark dan Edward 1999; Green dan Shirley 1999; Berzin et al. 2008). Yang harus diingat adalah minimalisasi kerusakan terhadap kawasan yang lebih baik yang menjadi donor transplantasi, dan memaksimalkan kemungkinan hidup transplan pada terumbu karang yang akan dipulihkan. Keanekaragaman genetik transplan hasil budidaya juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena adanya perubahan genotipik dapat mengakibatkan perbedaan ketahanan terhadap transplantasi. (Edwards dan Gomez 2007). Kerusakan atau perubahan genetik oleh hibridisasi populasi karang dan memburuknya keanekaragaman genetik komunitas karang dapat disebabkan oleh kegiatan rehabilitasi yang tidak tepat. Jika jumlah koloni donor sangat terbatas atau kurangnya keanekaragaman kelompok genetik (genetic pool), komunitas karang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan atau suatu penyakit. Biologi molekuler, yang saat ini sedang berkembang dapat dipertimbangkan untuk
diterapkan dalam memperkirakan besarnya keanekaragaman genetik dalam komunitas karang. Hasilnya dapat digunakan sebagai referensi untuk menghasilkan larva di laboratorium dan dalam melakukan transplantasi fragmen karang dari sumber asalnya. (Omori dan Fujiwara 2004). Penggunaan barkode DNA (DBC) sebagai alat untuk mengidentifikasi spesies dan menilai keanekaragaman hayati baru-baru ini menarik banyak perhatian. Barkode DNA adalah urutan basa-basa pendek yang mengkode gen Sitokrom Oksidase sub unit I (COI) (Herbert et al. 2003). Urutan basa ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies, karena setiap spesies memiliki urutan yang unik untuk gen COI tersebut. Aspek yang menarik dari sebuah metode barkode untuk mengidentifikasi spesies-spesies karang scleractinia adalah bahwa hal itu dapat dimanfaatkan pada setiap tahapan hidup (larva, juvenil atau dewasa) dan tidak dipengaruhi oleh plastisitas fenotipik tidak seperti metode identifikasi morfologi spesies yang konvensional. Walaupun masih belum jelas apakah standar sistem barkode DNA yang berdasarkan Sitokrom Oksidase subunit 1 (COI) tersebut cocok untuk mengidentifikasi semua spesies karang scleractinia tersebut (Shearer dan Coffroth 2006). Karena masih belum jelasnya apakah standar sistem penanda DNA, berdasarkan COI cocok untuk mengidentifikasi semua spesies karang scleractinia, maka dalam penelitian ini digunakan dua penanda genetik yaitu COI dan ITS (Intra Transcribed Spacer) sebagai pembanding dalam menyandi DNA karang Goniopora spp., yang juga sering dipakai sebagai penanda molekuler pada karang scleractinia. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menganalisa karakteristik morfologik dan genotipik keragaman jenis karang Goniopora spp. intra genus dan inter spesies pada habitat yang berbeda di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. 2)Mengetahui perbedaan karakteristik penanda genetik COI dan ITS yang dipergunakan untuk analisa genetik karang Goniopora spp. 3) Mengetahui perbedaan dan kesamaan karakteristik genetika karang Goniopora spp dengan pendekatan perbedaan susunan nukleotida dan jarak genetik masing-masing species karang Gonipora yang nantinya dapat dijadikan dasar dalam penentuan donor karang yang akan ditransplantasikan. Sedangkan manfaatnya adalah diharapkan analisa genetika molekuler ini akan memberikan informasi dasar tentang keragamanan genetik karang dan penanda genetik (genetik marker) karang yang dapat menunjang perencanaan pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi, pemanfaatan, perdagangan dan konservasi terumbu karang yang ada di Indonesia, khususnya di Kepulauan Seribu yaitu di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang .. Dalam penelitian ini digunakan dua penanda genetik, COI mtDNA dan daerah ITS rDNA sebagai pembanding. Sampel karang diambil dari perairan Kepulauan Seribu di P. Pramuka dan P. Panggang pada lokasi yang berbeda, kemudian dilakukan identifikasi morfologi, isolasi DNA, amplifikasi DNA berbasis PCR dan perunutan DNA, sedangkan analisis genom menggunakan program Mega 4.0. dengan menggunakan runutan nukleotida Porites spp. dari GenBank sebagai out-group. Berdasarkan hasil karakteristik morfologik dapat diketahui bahwa kelima spesimen karang tersebut adalah spesies yang berbeda, yaitu: G. norfolkensis, G. palmensis, G. stokesi, G. tenuidens dan G. columna. Berdasarkan hasil analisis karakteristik genotipik, pada gen COI mempunyai lebih sedikit perbedaan basa nukleotida daripada gen ITS, artinya gen COI pada karang
mempunyai lebih banyak nukleotida yang kekal (conserve) dibandingkan dengan gen ITS yang lebih variabel. Berdasarkan dendrogram kedua penanda genetik pada Porites spp. dapat dilihat bahwa penanda genetik COI belum dapat membedakan karakteristik genetik inter spesies karang Porites, sedangkan penanda genetik ITS dapat membedakan karakteristik genetik inter dan intra spesies pada karang Porites. Pada penelitian ini, COI mempunyai tingkat polimorfisme yang sangat rendah dan memiliki keterbatasan sebagai alat yang berguna untuk membedakan spesies karang Goniopora, tetapi dapat dipakai sebagai penyaring (scanner) yang digunakan untuk membedakan jenis karang pada tingkat genus ke atas, dan akan sangat informatif bila dikombinasikan dan dibandingkan dengan pendekatan. penanda genetik lainnya seperti daerah ITS ribosomal. Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan karakteristik genetik ini, akan sangat berguna dalam upaya pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang yang rusak, yaitu dalam hal pemilihan atau penempatan donor dalam kegiatan transplantasi. Jika terdapat variasi genetik yang sangat ekstrim, maka donor harus dipertimbangkan dengan seksama, karena berpotensi mempunyai efek yang negatif bagi ekosistem yang telah ada sebelumnya, yaitu dapat terjadi dominansi, agresivitas spesies karang tertentu, kompetisi intraspesifik, percepatan penyebaran penyakit pada karang, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, penanda genetik yang telah disepakati secara ilmiah dapat digunakan sebagai Barkode DNA (DBC). DBC dapat diaplikasikan dalam perdagangan karang hias untuk membedakan karang yang berasal dari penangkaran atau dari alam. DBC juga dapat dijadikan alat bukti jika terjadi perdagangan karang ilegal, dapat dipakai sebagai alat identifikasi spesies karang yang sulit untuk diamati secara morfologik dan spesies karang yang langka (endemik). Kesimpulan yang diperoleh bahwa: 1) Berdasarkan karakteristik morfologi yang dilakukan, dari lima koloni karang yang diambil di perairan Kepulauan Seribu ternyata kelima-nya berbeda spesies yaitu : G. stokesi, G. palmensis, G. columna, G. norfolkensis dan G. tenuidens. 2) Berdasarkan karakteristik genotipik diduga bahwa gen mtDNA COI pada karang relatif hanya dapat dipakai pada tingkatan genus atau tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan gen rDNA yaitu daerah ITS ribosomal relatif dapat dipakai sebagai marka genetik pada tingkatan spesies, tetapi harus digunakan marka gen lainnya sebagai kontrol atau pembanding, karena hasil dendrogramnya sangat beragam. 3) Dengan mengetahui perbedaan genotipik spesies karang, diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menentukan donor karang yang akan digunakan transplantasi karang yang mempunyai kedekatan secara genetik, khususnya dalam upaya rehabilitasi terumbu karang di perairan P. Pramuka dan P. Panggang, dan umumnya di perairan Kepulauan Seribu. 4) Lebih lanjut, marka atau penanda genetik yang digunakan dalam Barkode DNA memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat identifikasi dalam regulasi perdagangan karang, khususnya karang hias seperti Goniopora spp., juga dalam usaha pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi dan konservasi terumbu karang di Indonesia. Kata kunci : terumbu karang, karang, barkode DNA, penanda genetik, COI, ITS, Goniopora spp.
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
KARAKTERISASI PENANDA GENETIK mtDNA COI DAN DAERAH ITS rDNA KARANG Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) DALAM UPAYA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU
JUSAK WIRA HARDJA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Judul Tesis
: Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
Nama
: Jusak Wira Hardja
NIM
: C252070284
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Ketua
Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 20 November 2009
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih karunia dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian mengenai karakterisasi penanda genetik pada karang yang dilaksanakan pada Bulan Mei hingga Oktober 2009 dan menuangkannya sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada: Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si., Ibu Dr. Neviaty Putri Zamani, M.Sc.,dan Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Selaku Komisi Pembimbing yang telah memberi bimbingan berupa pendalaman materi dan praktek selama penelitian, serta atas perhatian, masukan, saran dan arahan dalam penulisan tesis ini. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi beserta staf pengajar dan staf sekretariat SPL atas bimbingan dan bantuan selama masa studi penulis di SPL-IPB, dan kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku Ketua Departemen MSP dan penanggung jawab Program SPL Sandwich ADB. Secara khusus ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mama terkasih, Ny. Liliana Tjandra Djaja, yang selalu berdoa dan memberikan nasihat serta dukungan demi kesuksesan penulis. Terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta, Ir. Tanti Rahayu dan kepada anakku tersayang Joanne Charmaine Tania Raharja atas segala pengorbanan, ketulusan kesabaran, kerelaan dan pengertiannya selama penulis menjalankan tugas belajar. Juga kepada kakak, Fellicia Riana Hardja dan suami, serta adik Samuel Satria Harja dan istri, yang memberikan perhatian dan dukungan terus menerus. Kepada rekan-rekan SPLSANDWICH yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih untuk kebersamaan dan kerjasama selama mengikuti masa studi baik di Bogor maupun di Xiamen-China serta terima kasih kepada teman-teman yang banyak membantu penulis selama penelitian di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB-LPPM IPB. Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu genetika karang, serta pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi terumbu karang di Indonesia.
Bogor, November 2009
Jusak Wira Hardja
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 26 Desember 1970 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan (Alm) Bapak Oyo Rahardjo dan Ibu Liliana Tjandra Djaya. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun 1994, Program Profesi Dokter Hewan ditempuh di tempat yang sama, lulus pada tahun 1996. Pada Tahun 2007 penulis mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Sandwich Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan, dengan IPB Bogor dan Xiamen University Republik Rakyat China, melalui program COREMAP II ADB. Penulis menikah dengan Ir. Priskila Margaretha Tanti Rahaju pada tanggal 21 Desember 2002 dan dikaruniai seorang putri bernama Joanne Charmaine Tania Raharja. Pada tahun 2003 penulis lulus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kota Batam dan sejak tahun 2004 mengabdi di Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kota Batam.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvii
1
PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 1.3 Kerangka Pemikiran..... .............................................................. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 1.5 Pendekatan Masalah ...................................................................
1 1 6 7 8 9
2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Terumbu Karang ......................................................................... 2.1.1 Anatomi karang.................................................................. 2.1.2 Biologi karang..................................................................... 2.1.3 Alga simbion-zooxanthellae................................................ 2.2 Klasifikasi Karang ...................................................................... 2.2.1 Karang pembentuk terumbu .............................................. 2.3 Genus Goniopora ....................................................................... 2.3.1 Klasifikasi .......................................................................... 2.3.2 Deskripsi............................................................................ 2.3.3 Daerah penyebaran dan habitat ......................................... 2.3.4 Biologi ............................................................................... 2.3.5 Ancaman ........................................................................... 2.3.6 Konservasi ......................................................................... 2.4 Daerah Penyebaran Karang......... ............................................... 2.4.1 Sebaran terumbu karang .................................................... 2.4.2 Sebaran dan faktor lingkungan.......................................... 2.5 Marka Genetik ............................................................................ 2.5.1 DNA mitokondria ............................................................. 2.5.2 Ribosomal Internal Tanscribed Spacer (ITS) ................... 2.6 DNA Barcoding (Barkode DNA) ............................................... 2.6.1 Kegunaan barkode DNA ................................................... 2.6.2 Resiko karena pewarisan mitokondria .............................. 2.6.3 Laju evolusi dalam COI ....................................................
11 11 11 12 14 16 16 19 19 20 21 21 21 22 22 23 24 25 26 27 29 30 31 31
3
BAHAN DAN METODE .................................................................... 3.1 Lokasi Penelitian dan Waktu ...................................................... 3.2 Tahapan Penelitian ..................................................................... 3.3 Alat dan Bahan Penelitian .......................................................... 3.4 Pelaksanaan Penelitian ...............................................................
33 33 34 35 36
xii
3.4.1 3.4.2 3.4.3 3.4.4
Pengambilan sampel.......................................................... Karakterisasi morfologi ..................................................... Isolasi, purifikasi dan elektroforesis DNA total ................ Amplikasi COI dan ITS dengan PCR dan elektroforesis Hasil PCR .......................................................................... 3.4.5 Perunutan fragmen COI dan ITS....................................... 3.3.6 Analisis data ......................................................................
4
5
6
36 37 37 40 41 41
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 4.1 Karakteristik Morfologi .............................................................. 4.2 Isolasi DNA Total ....................................................................... 4.3 Keragaman Genetik Karang Goniopora spp. Berdasarkan Gen Sitokrom Oksidasi Sub Unit I (COI) .......................................... 4.3.1 Amplifikasi gen sitokrom oksidasi sub unit 1 (COI) ........ 4.3.2 Perunutan gen COI parsial dan keragaman runutan nukleotida .......................................................................... 4.3.3 Jarak genetik Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group ........................................................................... 4.4 Keragaman Genetik Karang Goniopora spp. Berdasarkan Daerah Intra Transcribed Spacer (ITS) ..................................... 4.4.1 Amplifikasi gen daerah ITS .............................................. 4.4.2 Perunutan gen daerah ITS dan keragaman runutan nukleotida .......................................................................... 4.4.3 Jarak genetik Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group ........................................................................... 4.5 Analisis Karakteristik Penanda Genetik COI dan ITS ...............
42 42 43
PEMBAHASAN UMUM .................................................................... 5.1 Penanda Genetik untuk Identifikasi Karang dan Manfaatnya dalam Pengelolaan Terumbu Karang ......................................... 5.2 Peranan Barkode DNA bagi Pengelolaan, Pemanfaatan, Perdagangan dan Konservasi Terumbu Karang .........................
56
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 6.1 Simpulan ..................................................................................... 6.2 Saran ...........................................................................................
62 62 63
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
64
LAMPIRAN .........................................................................................
72
xiii
44 44 46 47 49 49 51 52 54
56 59
DAFTAR TABEL
1
Halaman Alat yang digunakan dalam penelitian ................................................. 35
2
Bahan yang digunakan dalam penelitian .............................................
36
3
Lokasi pengambilan sampel koloni karang Goniopora spp..................
42
4
Hasil pengamatan karakteristik morfologi karang Goniopora spp ......
43
5
Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI parsial pada Goniopora spp. hasil dari penelitian ini...........................
46
Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI parsial karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group
47
Matriks jarak genetik berdasarkan metoda pairwise distance gen COI parsial karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group
47
Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS pada Goniopora spp. hasil dari penelitian ini ...............................................
51
Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS karang Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group ..........
52
10 Matriks jarak genetik berdasarkan metoda pairwise distance gen ITS pada karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group ...
52
6 7 8 9
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir kerangka pemikiran karakterisasi penanda genetik mtDNA COI dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp (Cnidaria: Scleractinia) dalam upaya pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ....................................
10
2
Anatomi karang ....................................................................................
12
3
Kedudukan taksa karang dalam sistem filum Cnidaria........................
17
4
a) G. columna b) polip dan tentakel G. columna ................................
20
5
Peta gen molekul mtDNA Acropora nasuta ........................................
27
6
Diagram dari keluarga gen ribosomal DNA pada hewan ....................
28
7
Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di perairan P. Pramuka bagian utara dan P. Panggang bagian barat dan selatan. ......................
33
Diagram alur penelitian karakterisasi penanda genetik mtDNA CO I dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam upaya pengelolaan terumbu karang di peraian Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu .................................................................................
34
Ilustrasi karakteristik morfologik yang diamati pada karang Goniopora ............................................................................................
37
10 Hasil purifikasi DNA total pada: (a) G. stokesi, (b) G. palmensis, (c) G. columna, (d) G. norfolkensis, (e) G. tenuidens setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 30 menit ...............................................................................................
44
11 Skema letak penempelan primer GJWCOIF dan GJWCOIR untuk mengamplifikasi gen COI parsial pada karang Goniopora spp ...........
45
12 Hasil amplifikasi daerah COI dengan menggunakan pasangan primer GJWCOIF dan GJWCOIR setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit ...................
45
13 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah COI parsial pada kelima sampel karang Goniopora spp. ............................................................
48
14 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah COI parsial karang Goniopora spp. dengan Porites spp sebagai out-group .................................................
49
15 Skema letak penempelan primer ITSZF dan ITSZR untuk mengamplifikasi gen ITS ribosomal pada karang Goniopora spp ......
50
8
9
xv
16 Hasil amplifikasi daerah COI dengan menggunakan pasangan primer ITSZF dan ITSZR setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit .........................
50
17 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial pada kelima sampel karang Goniopora spp. ................................................
53
18 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial karang Goniopora spp. dengan Porites spp sebagai out-group .................................................
xvi
54
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2
3
4 5 6 7 8 9
Karakteristik morfologik sampel karang Goniopora spp. yang diidentifikasi ........................................................................................
73
Lokasi penempelan primer GJWCOIF dan GJWCOIR pada runutan basa nukleotida gen COI pada Porites porites (kode akses GenBank: NC_008166) .........................................................................................
79
Lokasi penempelan primer ITSZF dan ITSZR pada runutan basa nukleotida daerah gen ITS 18S rRNA, ITS1, 5.8S rRNA, ITS2, 28S rRNA, runutan parsial dan lengkap, Goniopora columna Isolate: KenGonc (kode akses GenBank: AB441414) .........................
80
Penjajaran berganda nukleotida (612 nt) pada gen sitokrom oksidase 1 parsial karang Goniopora spp. ............................................................
81
Penjajaran berganda nukleotida (719 nt) pada gen daerah ITS ribosomal karang Goniopora spp.........................................................
84
Penjajaran berganda nukleotida (599 nt) pada gen sitokrom oksidase 1 parsial karang Goniopora spp. dan Porites spp sebagai out-group ....
87
Penjajaran berganda nukleotida (644 nt) pada gen daerah ITS ribosomal karang Goniopora spp . dan Porites spp sebagai out-group
92
Persentase tutupan dan keanekaragaman substrat bentik di lokasi penelitian di Kepulauan Seribu ............................................................
96
Persentase tutupan genus karang keras di lokasi penelitian di Kepulauan Seribu .................................................................................
97
xvii
1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling
kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem terumbu karang secara ekologis mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi organisme pendukung yang ada di ekosistem tersebut. Ekosistem terumbu karang menjadi demikian penting karena ekosistem tersebut memiliki kenekaragaman yang tinggi sehingga dapat memberikan cadangan sumberdaya untuk beberapa dekade (Knowlton 2001). Terumbu karang juga merupakan ekosistem yang sangat berharga di bumi. Menurut perkiraan, terumbu karang menyediakan jasa lingkungan ekonomi dan jasa senilai sekitar $ 375 miliar pertahun bagi jutaan manusia sebagai pelindung pantai, daerah rekreasi dan pariwisata yang terkenal karena keindahan alamnya, dan sumber makanan, obat-obatan, sumber mata pencaharian serta pendapatan bagi manusia. (Constanza et al. 1997). Namun, terumbu karang sedang mengalami degradasi serius oleh aktivitas manusia, terutama eksploitasi berlebihan sumber daya alam, praktek penangkapan ikan yang merusak, pembangunan pesisir dan limpasan akibat penggunaan lahan yang tidak benar. Pada tahun 1998 World Resources Institute mengkaji dan menyimpulkan bahwa hampir 58% dari terumbu karang dunia beresiko dari dampak manusia, dan banyak yang telah mengalami degradasi dan sulit untuk dipulihkan (Bryant et al. 1998). Selain itu, kejadian pemutihan karang (coral bleaching) dan kematian karang telah terjadi di seluruh dunia, terkait dengan kenaikan suhu air laut yang abnormal yang dilaporkan pada tahun 1998. Pada beberapa terumbu karang di perairan Indo-Pasifik yang dangkal, tercatat 70 hingga 90% karang mati sebagai akibat peristiwa pemutihan terbesar yang pernah terjadi secara masal (HoeghGuldberg 1999). Karang keras (hard coral) adalah salah satu contoh peninggalan purba yang masih hidup sampai saat ini. Kumpulan koloni ini mampu membentuk ruang yang
2 kompleks serta menciptakan berbagai tipe hunian untuk ribuan jenis ikan dan biota lainnya. Meskipun hanya menempati area yang sangat kecil di lautan dan pesisir (< 1%), terumbu karang bisa disejajarkan dengan hutan hujan tropis yang ada di daratan karena keanekaragaman hayati dan kekompleksitasan ekosistem yang dimilikinya. Dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara terluas yang memiliki bentangan terumbu (1 8%), terkaya keanekaragaman hayati lautnya (karang keras 480 spesies, ikan 1 .650 spesies), serta penyumbang terbesar perikanan laut. Setidaknya 85% terumbu karang Indonesia dinyatakan memiliki ancaman kerusakan yang sangat tinggi terutama karena aktivitas manusia (antropogenik) dan faktor alam (Burke et al. 2002). Kepulauan Seribu berada di kawasan segitiga karang (coral triangle), kawasan dengan kekayaan terumbu karang tertinggi di dunia, termasuk di antaranya Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan Australia Utara, membuat daerah ini sangat kaya akan berbgai kehidupan laut. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri terumbu karang di kawasan ini mengalami berbagai ancaman setiap
harinya.
Kondisi
terumbu
karang
Kepulauan
Seribu
sangat
memprihatinkan, terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta (tutupan karang keras < 5%). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang akibat ulah manusia, di antaranya penangkapan berlebih dan merusak, polusi air laut, sampah, penambangan karang dan pasir, sedimentasi serta pembangunan pesisir. Meski kondisinya tidak sebaik tahun 1900-an, saat ini Kepulauan Seribu masih memiliki sumber daya yang beragam berupa terumbu karang, ikan terumbu, invertebrata, mangrove, lamun, rumput laut, penyu, dan burung laut yang patut kita jaga kelestariannya (Estradivari et al. 2007). Kondisi ini yang membuat kawasan ini menjadi menarik untuk diamati dan sebagai lokasi penelitian terumbu karang. Di perairan Kepulauan Seribu ini banyak dilakukan kegiatan rehabilitasi terumbu karang, transplantasi karang, kebun karang dan juga budidaya karang hias, yaitu di antaranya adalah di sekitar Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang (Johan 2000; Aziz 2002; Respati 2005; Margono 2009; Nggajo 2009) Karang hias asalah salah satu sumber daya hayati di terumbu karang di Indonesia yang sudah lama dimanfaatkan sebagai komoditi perdagangan baik untuk di pasar dalam negeri maupun untuk tujuan eskpor. Karang hias termasuk
3 satwa yang oleh CITES (Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam) digolongkan ke dalam Apendiks II, dimana dalam perdagangannya harus diawasi secara ketat untuk mencegah kemungkinan trejadinya eksploitasi yang berlebihan yang dapat mengakibatkan punahnya jenisjenis hewan tersebut (Kudus 2005). (CITES) memantau bahwa lebih dari 2000 spesies karang diperdagangkan di pasar dunia. Ada 70 negara pengimpor karang pada periode 1985 – 1997 yang mengimpor sebanyak 19 262 ton karang (atau 34 600 000 buah) dan ada 120 negara-negara pengekspor karang pada periode tersebut. Amerika Serikat mengimpor lebih dari 56% dari berat total karang yang diperdagangan secara global, dibandingkan dengan Uni Eropa yang hanya sebesar 15%. Sedangkan negara utama pengekspor karang sejak tahun 1980-an adalah Filipina, Indonesia, Taiwan, dan Cina. Secara regional, pada periode 1985 – 1997 ekspor dari kawasan Asia Tenggara menempati urutan yang lebih besar dibandingkan dari kawasan Pasifik dan dua kali lipat lebih tinggi dari Karibia dan Samudra Hindia. (Green dan Shirley 1999). Di
Indonesia,
selama
periode
1999-2003
karang
hidup
yang
diperdagangkan merupakan jenis karang yang berwarna atau memiliki polip berukuran besar yang dapat dilihat sepanjang hari, seperti Euphyllia spp. dan Goniopora spp. yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia, dengan pengiriman ekspor melalui bandara di Bali dan Jakarta. Perkembangan ekspor karang hias di Indonesia secara umum cenderung terus meningkat setiap tahunnya bersamaan dengan semakin banyaknya jumlah negara pengimpor. Sampai tahun 2003 jumlah negara pengimpor karang hias dari Indonesia sudah mencapai 45 negara. Ekspor karang hias Indonesia tersebar ke negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Asia, Afrika dan Selandia Baru, dimana Amerika Serikat merupakan negara yang terus mendominasi impor karang hias Indonesia sampai 60.91% atau 409 745 buah dari 672 711 buah total ekspor karang hias dari Indonesia pada tahun 2003 (Kudus 2005). Akibat perdagangan karang dan eksploitasi berlebih tersebut, komunitas terumbu karang di dunia telah mengalami penurunan yang sangat tajam, tetapi degradasi tebumbu karang telah meningkat dengan cepat dalam beberapa dekade terakhir (Mc Clanahan 2001). Krisis ini telah membuat perkembangan pendekatan
4 konservasi terumbu karang yang baru dan lebih efektif menjadi lebih diprioritaskan (Bellwood et al. 2004). Namun, kemampuan untuk menilai dan menanggapi perubahan dalam komunitas karang terumbu dibatasi oleh taksonomi atau penggolongan spesies dan sistematika spesies terumbu karang yang ada saat ini. Terumbu karang dalah komunitas laut yang paling beragam, dan banyak dari spesies yang ada tetap tidak dapat dijelaskan secara tepat. Bagi beberapa kelompok, seperti Porifera dan Scleractinia, pendekatan secara tradisional yang didasarkan pada morfologi saja telah terbukti tidak dapat diandalkan (Romano dan Palumbi 1996; Lazoski et al. 2001). Di samping itu, karang memiliki kemampuan plastisitas morfologik (fenotipik) yang tinggi, sehingga hal ini sering menyulitkan identifikasi (Veron 1995; Todd et al. 2008). Masalah identifikasi, sistematisasi dan taksonomi ini juga menunjukkan bias yang ekstrim dalam melakukan survei keanekaragaman hayati dan struktur komunitas, yang membantu pengelompokan dan tahapan-tahapan hidup suatu spesies yang relatif mudah untuk identifikasi di lapangan (Mikkelsen dan Cracraft 2001). Disamping itu, keanekaragaman hayati karang sebenarnya dapat diketahui dan dikenali bukan hanya sebatas dari ciri-ciri morfologik saja, tetapi dari karakteristik genotipik dan variasi genetik serta ekspresi genetik dari spesies bahkan infra spesies yang kadang-kadang tidak tercermin atau terlihat secara fenotipik (morfologik), sehingga sangat membantu dalam rencana pengelolaan terumbu karang (misalnya dalam melakukan transplantasi atau rehabilitasi karang yang sesuai dengan lokasi dan lingkungan yang spesifik). Menurut Hariot dan Fisk (1998), transplantasi karang adalah suatu metode penanaman dan penumbuhan suatu koloni karnag dengan fragmentasi dimana koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi karang merupakan salah satu alternatif upaya untuk pemulihan terumbu karang melalui pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau pembentukan terumbu karang secara alami. Beberapa negara telah mengembangkan lebih lanjut teknologi transplantasi karang, antara lain Amerika Serikat yang tujuannya selain untuk rehabilitasi, juga melakukan budidaya untuk memenuhi kebutuhan pasar akan karang hias (Clark
5 dan Edward 1999). Yang harus diingat adalah minimalisasi kerusakan terhadap kawasan yang lebih baik yang menjadi donor transplantasi, dan memaksimalkan kemungkinan hidup transplant pada terumbu karang yang akan dipulihkan. Keanekaragaman genetik transplan hasil budidaya juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Sumber bibit karang untuk transplantasi didapatkan dari karang yang masih hidup di terumbu, sehingga selalu ada efek samping yang timbul. Walaupun koloni utuh lebih tahan terhadap tekanan akibat transplantasi dibandingkan dengan fragmen, pada beberapa jenis yang sensitif, 50% koloni mati dalam dua tahun. Bahkan dalam satu jenis, perubahan genotipik dapat mengakibatkan perbedaan ketahanan terhadap transplantasi. (Edwards dan Gomez 2007). Berdasarkan penelitian transplantasi fragmen karang yang dilakukan oleh the Marine Park Center of Japan (1995) di Sekisei Lagoon dan Okinawa General Bureau
di
Naha
Harbor,
Jepang,
dari
beberapa
jenis
karang
yang
ditransplantasikan yaitu Acropora formosa, Acropora nobilis, Porites cylindrica, Pocillopora eydouxi, Montipora digitata, Gallaxea fascicularis, Seriatopora hystrix dan Melliopora sp, diperoleh data bahwa rata-rata tingkat kelangsungan hidup (survival rate) karang-karang tersebut setelah 4 tahun hanya sebesar 20%. Hal ini berarti setelah dilakukan transplantasi selama 4 tahun, tidak terjadi recovery pada terumbu karang tersebut (Omori dan Fujiwara 2004). Kerusakan atau perubahan genetik oleh hibridisasi populasi karang dan memburuknya keanekaragaman genetik komunitas karang dapat disebabkan oleh kegiatan rehabilitasi yang tidak tepat. Transplantasi karang tidak menimbulkan masalah jika lokasinya masih dalam jarak sebar pemijahan (spawning) alami. Tetapi pemindahan karang dalam jarak yang jauh dapat mengganggu karakteristik susunan genetik lokal. Jika jumlah koloni donor sangat terbatas atau kurangnya keanekaragaman kelompok genetik (genetic pool), komunitas karang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan atau suatu penyakit. Biologi molekuler, yang saat ini sedang berkembang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam memperkirakan besarnya keanekaragaman genetik dalam komunitas karang. Hasilnya dapat diugunakan sebagai referensi untuk menghasilkan larva di
6 laboratorium dan dalam melakukan transplantasi fragmen karang dari sumber asalnya. (Omori et al. 2004). DNA Barcoding (DBC) merupakan sebuah alternatif untuk metode taksonomi tradisional yang dapat menjadi alat yang berguna untuk melakukan monitoring (pengawasan) perdagangan karang hias, karena jenis karang pada tingkat spesies akan lebih mudah diidentifikasi dan ditandai dengan menggunakan DNA barkode (penanda DNA) yang lebih tepat dan lebih akurat dibandingkan dengan hanya menggunakan metode identifikasi morfologi secara konvensional. Selain itu DBC juga menjadi alat yang berguna bagi konservasi terumbu karang. Dalam upaya melakukan konservasi karang dan atau terumbu karang perlu diketahui karakteristik genetiknya, bukan hanya berdasarkan karakteristik morfologiknya saja. Penggunaan meluas barkode DNA sebagai alat untuk mengidentifikasi spesies dan menilai keanekaragaman hayati baru-baru ini menarik banyak perhatian. Barkode DNA adalah urutan basa-basa pendek yang mengkode gen Sitokrom Oksidase sub unit 1 (COI)
Urutan basa ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi spesies, karena setiap spesies memiliki urutan yang unik untuk gen COI tersebut. Aspek yang menarik dari sebuah metode barkode untuk mengidentifikasi spesies-spesies karang scleractinia adalah bahwa hal itu dapat dimanfaatkan pada setiap tahapan hidup (larva, juvenil atau dewasa) dan tidak dipengaruhi oleh plastisitas fenotipik tidak seperti metode morfologi identifikasi spesies. Walaupun masih belum jelas apakah standar sistem barkode DNA yang berdasarkan COI tersebut cocok untuk mengidentifikasi semua spesies karang scleractinia tersebut (Shearer dan Coffroth 2006).
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
yang mendasari penelitian ini yaitu : a.
Di Kepulauan Seribu sudah banyak dilakukan upaya transplantasi karang, tetapi belum dilakukan kajian dan evaluasi keberhasilan dan dampaknya terhadap beragam spesies karang yang ditransplantasikan dalam suatu komunitas yang sama, dalam jangka waktu yang lama, lebih dari lima tahun.
7 b.
Belum adanya penelitian-penelitian mengenai genotipik karang, khususnya untuk spesies karang keras (scelaractinia) yang digunakan sebagai donor dalam upaya transplantasi species karang di perairan Kepulauan Seribu.
c.
Belum adanya sistem yang praktis, cepat dan tepat guna yang mudah diterapkan dalam pengelolaan, pengawasan, dan pemanfaatan karang dan terumbu karang.
d.
Masih kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai penggunaan Barkode DNA (Penanda DNA) yang digunakan untuk mengidentifikasi spesies-spesies karang scleractinia.
e.
Belum adanya kajian terhadap karakteristik penanda genetik untuk spesies karang hias terutama Goniopora spp. yang banyak diperdagangkan, khususnya yang berasal dari wilayah perairan Kepulauan Seribu. Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut maka sangat diperlukan
penelitian mengenai “Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang”.
1.3.
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah bahwa sudah
banyak upaya transplantasi karang yang dilakukan di Kepulauan Seribu sebagai salah satu usaha pengelolaan terumbu karang, tetapi belum mempertimbangkan kajian secara genetik dan kedekatan jarak genetik inter spesies karang yang digunakan sebagai donor dalam transplantasi tersebut. Karang hias hidup yang banyak diperdagangkan saat ini adalah spesies yang berwarna-warni dan mempunyai polip yang besar, salah satu nya adalah Goniopora spp. yang termasuk dalam daftar appendix II CITES. Karang jenis Goniopora spp ini juga dapat dilakukan transplantasi untuk tujuan rehabilitasi dan sebagai komoditi perdagangan karang hias. Oleh karena itu spesies karang ini dapat digunakan sebagai model dalam kajian karakteristik genetika karang. Karena adanya kesulitan dalam identifikasi karang jika hanya berdasarkan morfologi secara konvensional dan bahkan untuk spesies yang telah cukup sering ditemukan, pedoman identifikasi lapangan sering kali tidak lengkap atau tidak
8 dapat diandalkan. Maka digunakan barkode DNA (Penyandi DNA) sebagai alternatif metode taksonomi yang dapat menjadi alat yang berguna dalam pengelolaan terumbu karang, konservasi dan penandaan karang terutama untuk karang yang banyak diperdagangkan. Karena masih belum jelasnya apakah standar sistem penanda DNA, berdasarkan Sitokrom Oksidase subunit 1 (COI) cocok untuk mengidentifikasi semua spesies karang scleractinia, maka dalam penelitian ini menggunakan dua penanda genetik yaitu COI dan ITS (Intra Transcribed Spacer) sebagai pembanding dalam menyandi DNA karang Goniopora spp., yang juga sering dipakai sebagai penanda molekuler pada karang scleractinia. Dengan mengetahui struktur genetika karang Goniopora, maka hasilnya dapat digunakan sebagai model bagi ketersediaan informasi dasar struktur genetik karang lainnya, sehingga akan sangat bermanfaat dalam mengoptimalkan pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi, serta konservasi terumbu karang. Informasi ini juga dapat dimanfaatkan sebagai ID (Identity Data) spesies sehingga dapat dibuat dalam bentuk informasi database spesies yang sangat bermanfaat untuk legalitas hukum suatu spesies karang dalam perdagangan karang di kemudian hari. 1.4.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Menganalisa karakteristik keragamanan penanda genetik dan keragaman jenis karang Goniopora spp. intra genus dan inter spesies pada habitat yang berbeda (di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang) secara morfologik dan genotipik.
2.
Mengetahui perbedaan penanda genetik COI dan ITS yang dipergunakan untuk analisa karakteristik penanda genetik karang Goniopora spp.
3.
Mengetahui perbedaan dan kesamaan karakteristik genetika karang Goniopora spp dengan pendekatan perbedaan susunan nukleotida dan jarak genetik masing-masing species karang Gonipora yang nantinya dapat dijadikan dasar dalam penentuan donor karang yang akan ditransplantasikan.
9 Sedangkan manfaatnya adalah diharapkan analisa genetika molekuler ini akan memberikan informasi dasar tentang keragamanan genetik karang dan penanda genetik (genetik marker) karang yang dapat menunjang perencanaan pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi, pemanfaatan, perdagangan dan konservasi terumbu karang yang ada di Indonesia, khususnya di Kepulauan Seribu yaitu di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang .
1.5.
Pendekatan Masalah Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik penanda genetika
karang Goniopora sp yang diambil pada dua lokasi yang berbeda di Perairan Kepulauan Seribu, yaitu di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan mengenai teknik penentuan karakteristik penanda genetika karang tropis dengan menggunakan dua penanda genetik yang berbeda, yaitu COI dan ITS yang pada akhirnya nanti luarannya dapat menghasilkan berbagai macam barkode DNA karang sebagai perangkat ilmiah dalam menentukan kebijakan pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi, pemanfaatan, perdagangan dan konservasi terumbu karang di Indonesia.
10 Terumbu Karang yang Rusak / Terdegradasi di Perairan Kepulauan Seribu Komunitas Karang Goniopora spp di P. Pramuka dan P. Panggang
Keragaman Species Inter Populasi
Keragaman Species Intra Populasi
Lokasi dan habitat yang Berbeda Fenotipik : Karakteristik Morfologik : Bentuk dan Ukuran
Genotipik : - Variasi Genetik : Intra Genus dan Inter Spesies
Analisis Karakteristik Karang Goniopora spp. Berdasarkan Kajian Morfologik dan Penanda Genetik COI dan ITS Menghasilkan berbagai macam Barkode DNA sesuai dengan fungsinya: Barkode Induk, Turunan F1, F2 dan lain-lain. Strategi Rehabilitasi Terumbu Karang dan Transplantasi Karang, sebagai Upaya Pengelolaan Terumbu Karang yang Berkelanjutan di Perairan P. Pramuka dan P. Panggang, Kepulauan Seribu Keterangan : Pada penelitian ini dibatasi hanya sampai pada analisa karakteristik penanda genetik COI dan ITS yang digunakan. Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran karakterisasi penanda genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam upaya pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Terumbu Karang
Anatomi Karang Komponen terpenting terumbu karang adalah karang keras. Karang merupakan hewan sederhana, berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus (Suharsono 1996). Daerah datar yang berada sekitar mulut disebut oral disc. Mulut karang dikelilingi oleh rangkaian tentakel-tentakel berkapsul yang dapat menyengat (nematokis) dan berfungsi sebagai penangkap makanan berupa plankton (Nybakken 1997). Mulut dan rongga perut dihubungkan oleh tenggorokan yang pendek. Rongga perut berisi semacam usus disebut filamen mesentari yang berfungsi sebagai alat pencernaan (Suharsono 1996). Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan berdiri tegak yang disebut septa, septa tersusun dari bahan organik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang. Dinding polip karang terdiri dari 3 lapisan, yaitu ektodermis, mesoglea dan endodermis. 1. Ektodermis: Jaringan terluar dimana banyak dijumpai sel glandula yang berisi mukus dan sel knidoblast yang berisi sel nematokis. Nematokis merupakan sel penyengat
yang
berfungsi
sebagai
alat
penangkap
makanan
dan
mempertahankan diri dari pemangsaan. 2. Mesoglea: Merupakan jaringan yang di bagian tengahnya berupa jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril sedangkan di lapisan luar terdapat sel semacam otot. 3. Endodermis: Lapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang (zooxanthellae). Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan silia dan flagella, yang berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel dan di dalam sel mesenteri. Karang mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi yang sederhana akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Selanjutnya gambaran mengenai anatomi karang dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut:
10
Gambar 2 Anatomi karang (Sumber: Veron 2000). Biologi Karang Karang tersusun dari bagian lunak dan bagian keras yang berbentuk kerangka kapur. Jaringan hidup binatang karang relatif sederhana dan menyerupai anemon. Tubuh seperti anemon itulah yang disebut sebagai polip dan umumnya berbentuk tabung silinder dengan ukuran diameter yang bervariasi dari satu mm hingga beberapa cm. Ada yang memanjang atau pipih sehingga membentuk kerangka yang menyatu. Mulut polip pada atas bagian silinder dikelilingi oleh banyak tentakel yang dapat dijulurkan keluar dan ditarik masuk. Secara internal struktur pencernaan terdiri dari mulut terus ke stomodeum atau faring yang pendek dan terhubung hingga ke rongga gastovascular. Rongga tersebut terbagi secara longitudinal oleh bagian-bagian yang radial yang disebut mesentri yang menyimpan gonad juga berperan penting pada proses pencernaan. Dalam proses pencernaan di mesentri sisa makanan
dikeluarkan melalui mulut yang juga
berfungsi sebagai anus (Veron 1986; Suharsono 1996). Bagian lunak dari karang merupakan jaringan polip terdiri dari ectodermis, mesoglea dan gastrodermis (endodermis). Ectodermis merupakan jaringan terluar dan dilengkapi dengan cilia, kantung lendir (mucus) dan sejumlah
11 nematokis. Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ectodermis dan gastrodermis, berbentuk seperti agar-agar (jelly). Gastrodermis adalah jaringan terdalam yang memuat sel-sel untuk pencernaan dan sebagian besar berisi zooxanthellae (Veron 1986; Suharsono 1996). Pada Gambar 2 menunjukan struktur kerangka keras dari individu polip yang berbentuk tabung yang berisi lempeng tegak yang menyebar dari tengah rongganya disebut koralit (corallite). Pada koralit terdapat dasar radial yang dipisahkan oleh dinding, pada bagian sebelah dalam yang disebut septa (septae) sedangkan pada bagian luarnya disebut kosta (costae). Pada septa terdapat bagian bergerigi yang menyerupai pilar pada pinggiran bagian dalam, beberapa bagian atau seluruh septanya disebut paliform lobe. Pada tengah koralit terdapat bagian bergerigi halus yang mengarah ke dalam mulut koralit disebut columella. Susunan lempengan horizontal yang menggabungkan satu koralit dengan koralit lainnya disebut coenosteum. Pada dinding koralit terdapat suatu lapisan tipis kerangka menyerupai lapisan kertas disebut epitheca (Veron 1986). Pola pertumbuhan karang batu mengukuti pola pertumbuhan spesifik dari spesiesnya, juga dipengaruhi oleh lokasi geografik dari koloni tersebut dan faktor lingkungan seperti keterbukaan terhadap cahaya, aksi gelombang dan temperatur serta kelimpahan dari koloni karang disekitarnya yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan koloni (Barnes dan Lough 1992, 1999). Karang menyediakan kebutuhan alga zooxanthellae dengan suatu perlindungan
lingkungan
dan
senyawa-senyawa
yang
diperlukan
untuk
fotosintesis.
Termasuk di dalamnya karbon dioksida yang dihasilkan dari
respirasi karang, dan materi anorganik seperti nitrat, fosfat sebagai hasil buangan metabolisme karang. Oksigen yang dihasilkan zooxanthellae dapat membantu karang memindahkan hasil buangan (metabolit). Zooxanthellae juga mensuplai karang dengan hasil organik fotosintesis. Senyawa-senyawa tersebut termasuk glukosa, gliserol dan asam amino yang digunakan oleh karang yang membangun bagian-bagian dalam sebuah proses yang menghasilkan protein, lemak dan karbohidrat, seperti proses sintesa pada kalsium karbonat (CaCO3). Mutualisme antara metabolisme Cnidaria dan fotosintesis alga adalah kunci utama
12 produktivitas biologi dan kapasitas sekresi kapur dari pembentukan terumbu karang (Barnes dan Lough 1999; Sumich 1992). Karang dapat berproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi secara aseksual dapat terjadi melalui fragmentasi, pelepasan polip dari kerangka dan produksi aseksual dari larvae. Reproduksi seperti ini dibatasi secara geografi oleh asal terumbu, bentuk koloni dan pertumbuhan. Pada reproduksi secara seksual selsel gamet akan melekat pada mesenteri-mesenteri biasanya terjadi setiap tahun, musiman, bulanan atau tidak tentu. Pada karang hermaprodit ataupun gonokoris, peristiwa spawning dapat terjadi melalui fertilisasi eksternal sedangkan brooding dapat berlangsung melalui fertilasi internal, keduanya akan menghasilkan planula bersifat teleplanic atau philopatric (Veron 1995). Umumnya ¾ dari semua karang hermatifik bersifat hermaprodit yang dapat
melepaskan
(spawner)
dan
mengerami
(brooder)
gamet-gamet.
Perkembangan gonad dan pelepasan gamet pada karang hermaprodit dapat terjadi secara simultan ataupun berurutan, sehingga membentuk variasi potensi fertilisasi. Spawning berhubungan dengan fekunditas yang tinggi, sedangkan pada brooding nilai fekunditasnya bisa lebih sedikit atau lebih besar dengan perkembangan larva yang lebih baik (Veron 1995). Planula yang telah dilepaskan akan berenang ke arah cahaya, kemudian berenang kembali ke arah dasar, jika kondisi menguntungkan mereka akan menempel dan membentuk suatu koloni baru. Koloni-koloni tersebut menjadi matang secara seksual pada ukuran minimum. Karang masif Favia doreyensis matang secara seksual pada saat koloni berumur 8 tahun dengan diameter 10 cm. Beberapa karang bercabang seperti jenis Acropora, Pocillipora, dan Stylophora, mencapai matang seksual pada umur lebih muda (Barnes dan Lough 1999). Pada tingkat spesies, mekanisme reproduksi karang bervariasi secara geografi, ekologi, demografi dan anatomi. Terdapat variasi antara spesies karang ahermatifik dan hermatifik, ukuran polip dan koloni. Variasi-variasi tersebut juga ditentukan oleh komposisi genetik dan sebaran spesies karang (Veron 1995). Alga simbion - zooxanthellae Zooxanthellae
merupakan
istilah
umum
yang
dipakai
untuk
menggambarkan alga simbiotik yang hidup bersimbiosis dengan hewan, termasuk
13 karang. Zooxanthellae termasuk dalam kelas Dinoflagellata dengan nama genus Symbiodinium, dan yang bersimbiosis dengan karang adalah Symbiodium midroadriaticum. Selain memiliki klorofil a dan c, zooxanthellae juga memiliki pigmen (diadinoxanthin dan piridin) yang berguna dalam fotosintesis. Mereka umumnya berwarna coklat atau merah kecoklatan sehingga umumnya karang terlihat berwarna coklat (Baker dan Rowan 1997; Rowan 1998 ) Selanjutnya Rowan (1998) menjelaskan bahwa zooxanthellae ditransfer ke dalam tubuh individu karang baru melalui proses reproduksi, baik reproduksi aseksual maupun seksual. Dalam reproduksi aseksual, zooxanthellae secara langsung ditransmisi dalam fragmen dasar koloni baru. Sedangkan melalui reproduksi secara seksual, zooxanthellae diperoleh secara langsung dari induk karang atau secara tidak langsung dari lingkungan. Pada saat reproduksi secara seksual, zooxanthellae langsung ditransfer ke dalam telur atau larva yang dikeluarkan. Zooxanthellae juga diperoleh secara tidak langsung dari lingkungan atau sisa dari organisme pemakan karang dan pemakan zooplankton yang didalamnya mengandung zooxanthellae. Hubungan simbiosis yang terjadi antara karang dengan zooxanthellae adalah simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan untuk keduanya. Zooxanthellae mendapatkan beberapa keuntungan dari hubungan ini, terutama tempat hidup yang cukup baik dan terlindung (jaringan karang). Selain itu mereka juga memperoleh suplai nutrien dasar yang keberadaannya berlanjut (PO4 dan NH3) serta produk metabolik lainnya (Urea dan Asam Amino) hasil ekskresi hewan karang. Polip karang juga mensuplai zooxanthellae dengan CO2 sebagai hasil dari produk respirasi, yang berguna bagi zooxanthellae dalam proses fotosintesis (Tomascik et al. 1997). Keuntungan dari hubungan ini bagi hewan karang adalah sejumlah gula dan oksigen sebagai hasil fotosintetis zooxanthellae yang dibutuhkan karang sebagai makanan dan respirasi (Byatt et al. 2001). Keuntungan paling penting dari simbiosis antara karang – zooxanthellae bagi karang adalah dalam proses kalsifikasi, sebagai proses perkembangan struktur kerangka karang (Pearse dan Muscatine 1971 dan Muscatine et al. 1977 dalam Tomascik et al. 1997).
14 Pada kondisi lingkungan yang tidak normal, zooxanthellae dapat mengalami ekspulsi (keluar dari jaringan karang) sebagai indikator stress pada karang. Penelitian mengenai hilangnya zooxanthellae dari jaringan polip karang telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti. Peristiwa pemutihan karang (bleaching) sebagai konsekuensi keluarnya zooxanthellae dari jaringan polip karang disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu, perubahan salinitas, limbah panas, masukan lumpur, polusi minyak (Brown dan Howard 1985), serta short-term sedimentasi (Philipp dan Fabricius 2003).
2.2.
Klasifikasi Karang Istilah “karang” merupakan nama popular untuk anggota filum Anthozoa
dan Hydrozoa. Secara umum karang dapat dibedakan menjadi dua taksa yaitu karang keras yang terdiri dari Scleractinia dan Madreporaria, karang lunak filum Anthozoa dan hidro-karang filum Hydrozoa. Kelas Scleractinia merupakan jenis karang hermitipik yang menyusun terumbu karang secara berkoloni. Kelas ini dicirikan dengan adanya kerangka keras dan simbiosis zooxantellae (Frank dan Mokady 2002). Ciri morfologi merupakan karakter yang sering digunakan sistematika karang. Pendekatan molekuler kini mulai banyak digunakan untuk mempelajari biodiversitas karang.
Menurut Veron (1995), evolusi karang tidak mengikuti
hukum klasik Darwin, melainkan mengikuti kaidah Retikulata. Menurut kaidah ini, garis evolusi spesies karang secara kontinu bergabung dengan melakukan hibridisasi/perkawinan dan berpisah karena terjadi isolasi atau genetic drift.
Karang Pembentuk Terumbu Karang Sebagian besar karang keras pembentuk terumbu merupakan anggota dari kelas Anthozoa dari Filum Cnidaria. Hanya dua famili yang berasal dari kelas lain yakni Milleporidae dan Stylasteridae dari kelas Hydrozoa. Kelas Anthozoa sendiri terdiri dari dua subkelas yakni Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang dibedakan dari morfologi dan fisiologi (Gambar 3). Fungsi pembentukan terumbu kebanyakan oleh karang pembentuk terumbu (atau karang hermatipik).
Karang-karang tersebut membentuk kerangka dari bahan kapur
15 padat atau aragonit. Kelompok karang hermatipik diwakili umumnya oleh ordo Scleractinia (subkelas Hexacorallia).
Dua spesies kelompok hermatipik yang
berasal dari ordo Octocorallia yakni Tubipora musica dan Heliopora coerulea, sedangkan dari kelas Hydrozoa yang masuk kelompok hermatipik yakni Millepora sp dan Stylaster roseus (Sorokin dan Yuri 1995).
Keterangan : (----) Taxa karang yang membangun terumbu
Gambar 3 Kedudukan taksa karang dalam sistem filum Cnidaria. Selanjutnya Schuhmacher dan Zibrowius (1985) menerangkan karang berdasarkan fungsi pembentukan terumbu (hermatipik dan ahermatipik) dan hubungannya dengan alga simbion maka dikelompokan kedalam 4 kelompok yakni : a. Hermatipik-simbion, kebanyakan karang Scleractinia pembentuk terumbu, Octocoral dan Hydrocoral. b. Hermatipik-asimbion, merupakan karang-karang yang pertumbuhannya lambat dan dapat membangun kerangka kapur masif tanpa mengandung zooxanthellae, sehingga mereka bisa hidup pada lingkungan yang gelap misalnya dalam gua, terowongan, daerah terdalam paparan kontinen. Beberapa
diantaranya
Scleractinia
tanpa
simbion
Dendrophyllia dan Hydrocoral yakni Stylaster rosacea.
seperti
Tubastrea,
16 c. Ahermatipik-simbion, Scleractinia yang termasuk dalam kelompok ini adalah kelompok Fungia kecil seperti Heteropsammmia dan Diaseris serta karang Leptoseris (famili Agaricidae) yang berpolip tunggal atau koloninya kecil sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok pembangun terumbu. Kelompok ini termasuk kebanyakan Octocoral – Alcyonaceae dan Gorgonacea yang mengandung algae simbion tetapi tidak menghasilkan kerangka kapur masif. d. Ahermatipik–asimbion, termasuk Scleractinia dari genus Dendrophyllia dan Tubastrea yang memiliki polip berukuran kecil kecil. Termasuk pula Hexacorallia dari ordo Antipatharia dan Corallimorpharia serta Octocoral yang asimbiotik. Komunitas karang Scleractinia yang hidup dan menempati terumbu karang di lautan pada berbagai kondisi lingkungan. Kondisi yang berbeda antar regional dan area terumbu menyebabkan tingkat keragaman karang juga bervariasi. Menurut Sorokin dan Yuri (1995), menjelaskan karang hermatipik modern sangat bervariasi dapat di kelompokan menjadi 3 kelompok yakni, sebagai berikut : a. Kelompok karang Oportunis (r-strategist) Karang ini memiliki ukuran koloni dari kecil hingga sedang, yang ditentukan oleh pertumbuhannya, kematangan seksual pada usia muda dan sebagaian besar energinya untuk pemeliharaan keturunannya. Kebanyakan dari karangkarang tersebut matang secara seksual setiap bulan, memiliki kecepatan tumbuh dan berumur pendek. Kelangsungan hidupnya ditingkatkan melalui pemijahan yang intensif sehingga meningkatkan kesempatan rekrutmen dalam kompetisi terhadap substrat dan dapat menggandakan secara vegetatif melalui kepingan percabangannya. Karang-karang oportunis ini dapat bertahan pada berbagai kondisi tekanan fisik seperti terpapar, salinitas yang rendah akibat pemanasan, polusi, pemananasan dan kekeruhan pada perairan yang dangkal. Beberapa diantaranya merupakan karang Indo-Pasifik seperti Stylopora pistillata, Psammocora contigua, Pocilopora damicornis, Seriotopora histrix dan beberapa spesies dari Montipora, Acropora dan Pavona.
17 b. Kelompok karang Konservatif (k-strategist) Sebagian besar energi dari karang ini digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhannya.
Koloni-koloni berumur tua dengan diameter 1 – 3 m.
Karang ini menggunakan sedikit energi untuk perambatan, menanggulangi ketersediaan susbtrat dengan membentuk koloni besar dan berumur panjang, dapat hidup puluhan hingga ratusan tahun.
Siklus pemijahannya secara
periodik setiap tahun seperti karang-karang masif Porites dan Montastrea. c. Kelompok karang Intermediate Umumnya merupakan karang peralihan antara dua tipe yang berlawanan tersebut diatas. Kelompok karang ini dapat hidup pada berbagai lingkungan dengan tipe substrat yang bervariasi. Karang-karang tersebut dengan sedikit spesialisasi dan polipnya aktif sepanjang hari.
Secara fenotif
mereka
termasuk labil, terbentuk pada lingkungan terumbu yang bervariasi dengan banyak adaptasi ecomorph.
Kebanyakan spesies itu merupakan genus
Acropora, umumnya kelompok Faviid, genus Hydronopora, Galaxea dan Goniopora.
Komunitas biotop ini terdapat
dalam terumbu yang kondisi
lingkungannya stabil dimana karang yang hidup secara khusus seperti kelompok Agaricid beberapa genus dari Turbinaria, Echinophyllia, Leptoseris dan Diaseris.
2.3
Genus Goniopora Goniopora juga dikenal sebagai flowerpot coral, daisy coral atau
sunflower coral. Klasifikasi Kingdom : Animalia Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Sub Kelas : Hexacorallia Ordo : Scleractinia Famili : Poritidae Genus : Goniopora (Blainville,1830)
18
a)
b)
Gambar 4 a) G. columna dan b) polip dan tentakel G. columna. (Sumber: Veron 2000).
Status : Termasuk dalam daftar lampiran II (Appendix II) CITES (CITES March, 2009). Deskripsi Penampilan karang yang cantik ini menutupi perilakunya yang agresif. Sejumlah individu polip karang membentuk koloni yang bergabung bersama pada pangkal kerangka kapurnya. Koloni ini dapat tumbuh berbentuk cabang (branches), kolom (column), koloni masif (massive) yang berbentuk kubah, atau koloni yang menjalar dekat substrat (encrusting) (Veron 2000). Koloni relatif besar dan tebal, dinding porus, septa dan kolumela bersatu membentuk struktur yang kompak. Koloni selalu mempunyai bentuk polip yang panjang dan warna yang berbeda-beda. Genus ini mempunyai sekitar 20 species yang tersebar di seluruh perairan Indonesia. (Soeharsono 1996). Koloni dapat tumbuh bermetermeter dan kadang-kadang melintasi seluruh bagian dasar terumbu yang tertutup karang secara eksklusif oleh satu spesies Goniopora bercabang. Salah satu spesies Goniopora, “daisy corals” yang dinamai demikian karena sangat besar, dengan polip yang seperti bunga, dapat tumbuh hingga meliputi areal seluas enam sampai sepuluh meter (Peach dan Hoegh-Guldberg 1999). Setiap polip memiliki 24 tentakel yang panjang dan berdaging yang biasanya menjulur sepanjang siang dan malam hari (meskipun ini polip-polip dapat dengan cepat ditarik kembali ketika disentuh bagian bawah kerangka masifnya) (Veron 1986, 2000). Setiap spesies
19 Goniopora berbeda dalam bentuk dan warna polip mereka, yang memungkinkan identifikasi dilakukan di bawah air (Veron 2000).
Daerah Penyebaran Terdapat di Samudra Hindia dan Pasifik; dari pantai Mozambik sampai ke Laut Merah, dan Australia Selatan sampai Australia Utara, Jepang Selatan dan Hawaii (Veron 2000).
Habitat Goniopora ditemukan terutama pada perairan keruh yang terlindung dari arus yang kuat (Veron 2000) Biologi Goniopora atau Flowerpot coral, meskipun mereka mempunyai nama yang indah, umumnya merupakan hewan yang agresif. Mereka dapat mengembangkan polip 'penyapu' yang panjang, seperti tentakel penyapu pada karang lainnya, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang parah pada karang lain dalam jangkauan mereka. Oleh karena itu, tidak lumrah ketika melihat spesies karang lain dapat tumbuh di dekat Goniopora, dan diyakini bahwa adaptasi ini menguntungkan Goniopora dalam persaingan yang ketat untuk mendapatkan ruang pada terumbu karang (Peach dan Hoegh-Guldberg 1999). Seperti karang hermatifik lainnya, polip Goniopora memiliki alga mikroskopis (zooxanthellae) yang hidup di dalam jaringan mereka. Melalui fotosintesis, simbiosis alga ini menghasilkan molekul yang kaya energi sehingga polip karang dapat menggunakannya sebagai nutrisi. Selain itu, polip-polip besar dapat menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton sebagai makanan, dan dengan demikian karang ini tidak bergantung pada cahaya matahari, yang diperlukan untuk fotosintesis seperti hal nya pada beberapa jenis karang lainnya (Veron 1986; Soeharsono 1996). Goniopora memiliki koloni jantan dan betina yang terpisah (tidak pada semua karang seperti itu) yang melepaskan sperma dan telur ke dalam air untuk fertilisasi eksternal. Telur yang telah dibuahi berkembang menjadi larva akan berenang bebas yang pada akhirnya akan menempel di substrat dan berkembang menjadi koloni baru (Veron 1986).
20 Ancaman Goniopora menghadapi banyak ancaman akibat dampak pada terumbu karang secara global. Diperkirakan bahwa 20 persen dari terumbu karang dunia telah secara efektif dihancurkan dan tidak menunjukkan prospek pemulihan langsung, dan 24 persen karang di dunia berada di bawah risiko kehancuran akibat tekanan manusia. Ancaman potensial selanjutnya adalah peningkatan kejadian coral bleaching, sebagai akibat dari perubahan iklim global (Douglas 2003). Lebih khusus lagi, Goniopora berpotensi terancam oleh perdagangan karang hidup. Goniopora adalah salah satu dari genus yang mendominasi perdagangan karang hidup untuk dipelihara dalam akuarium. Goniopora dan Euphyllia adalah jenis yang lebih banyak diperdagangkan dari genus lainnya, karena sebagian dari karang-karang tersebut biasanya tidak bertahan lebih dari setahun, maka harus diganti cukup sering. Sejumlah kecil flowerpot coral juga diperdagangkan sebagai ornamen ukiran, dan untuk keperluan biomedis, dan karena ada kesamaan dalam kerangka karang struktur tulang manusia, mereka dapat digunakan dalam transplantasi tulang (Green dan Shirley 1999).
Konservasi Goniopora tercantum pada Apendix II CITES, yang berarti bahwa perdagangan spesies ini harus diatur secara hati-hati. Indonesia dan Fiji memiliki kuota ekspor untuk Goniopora. Di Indonesia, karang ini adalah salah satu dari lima genus dengan kuota tertinggi (data per Maret 2900 kuota untuk penjualan Goniopora spp. di Indoneisa adalah sekitar 41 400 – 43 200 buah per tahun) (CITES March, 2009), walaupun tak ada alasan ilmiah untuk menduga mengapa karang ini dapat mencapai tingkat pengambilan atau pemanenan yang lebih tinggi dibandingkan dengan genus lainnya (Green dan Shirley 1999). Goniopora spp. merupakan bagian dari komunitas terumbu karang di banyak daerah perlindungan laut (MPA) sehingga perlu dilakukan upaya pengelolaan dan konservasi yang serius untuk mempertahankan keberadaannya (Wilkinson 1993).
2.4
Daerah Penyebaran Karang Sebagian besar spesies karang hidup di perairan oligotropik beriklim tropis.
Luasan terumbu karang tropis mencapai 600 000 km2, pada kedalaman antara
21 0 hingga 30 meter antara 35 °LU dan 32 °LS. Sebaran terumbu karang sangat dipengaruhi oleh lingkungan yaitu suhu, salinitas, tingkat sedimentasi, sementara faktor biogeorafis yang menggerakkannya dapat berhubungan dengan garis lintang yaitu suhu, cahaya dan arus atau dengan yang tidak berhubungan dengan garis lintang yaitu kualitas substrat, kualitas air, nutrient, ekologi dan batas penyebaran secara regional (Veron 1995; Suharsono 1996). Terumbu karang Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia dengan luas areal terumbu karang lebih dari 60 000 km2. Hasil pemantauan Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPO-LIPI) sampai dengan Desember 1999 hanya sekitar 6.69 % terumbu karang Indonesia yang berada dalam kondisi sangat baik, selebihnya 26.59 % berada dalam katagori baik, 37.58 % sedang dan 29.16 % buruk (Estradivari et al. 2007; PPO-LIPI. 2008).
Sebaran Terumbu Karang Sebaran karang secara vertikal dibatasi oleh kedalaman, dimana pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial
dengan
bertambahnya
kedalaman.
Faktor
utama
yang
mempengaruhi sebaran vertikal adalah intensitas cahaya, oksigen, suhu dan kecerahan air (Suharsono 1996). Sedangkan sebaran horizontal karang di dunia dibatasi oleh lintang, yakni antara 35 °LU– 2 °LS yang tersebar di laut dangkal di daerah tropis hingga subtropis (Suharsono 1996). Sebaran horizontal terumbu karang memiliki korelasi dengan temperatur Wells (1954) dalam Veron (1995) mencatat keberadaan genus karang di daerah Indo-Pasifik sebagai berikut : a.
Kebanyakan genus karang Indo-Pasifik tersebar dengan luas dan seragam, tetapi beberapa hanya ada dalam wilayah tertentu, dan genus yang lain tersebar luas tapi jarang ditemukan.
b.
Beberapa genus karang tersebar luas tetapi bukan pada habitat terumbu karang yang sebenarnya.
c.
Terdapat daerah-daerah Indo-Pasifik, dimana terbagi ke dalam komposisi genus karang tertentu.
22 d.
Terdapat hubungan yang jelas antara keanekaragaman kontur genus karang dan temperatur permukaan air.
e.
Keanekaragaman genus karang di luar dari daerah Indo-Pasifik diindikasikan rendah. Veron (1995) menjelaskan lebih jauh mengenai sebaran spesies karang
Indo-Pasifik dan membangun hipotesis, diantaranya adalah terdapat sentral keanekaragaman spesies di Indo-Pasifik yang telah dibatasi oleh oleh kondisi marginal di daerah terluarnya. Hipotesis lain dikemukakan Rosen (1984) dalam Veron (1995), bahwa batas utama dari sebaran karang adalah lintang dan sebagai kontrol utamanya adalah temperatur dan iklim; dan secara regional adalah bujur yang dipengaruhi oleh kejadian geotektonik. Selanjutnya Newell (1971) dalam Veron (1995) berpendapat bahwa karang memiliki penyebaran yang kosmopolitan di daerah Indo-Pasifik terutama ditandai adanya pembatasan secara fisiologi. Tiga daerah besar penyebaran terumbu karang di dunia yaitu Laut Karibia, Laut Hindia dan Indo-Pasifik (Veron 1995; Suharsono 1996). Menurut Tomascik (1997) mengemukakan bahwa di Asia Tenggara terdapat 30% dari seluruh terumbu karang di dunia, pada umumnya berbentuk terumbu karang tepi. Selanjutnya Burke et al. (2002) memperkirakan Indonesia memiliki luas terumbu karang kira-kira 51 000 km2 atau 51% dari luas terumbu karang yang ada di Asia Tenggara atau setara dengan 18% dari luas terumbu karang dunia. Sebaran karang di Indonesia lebih banyak terdapat di sekitar pulau Sulawesi, Laut Flores dan Banda. Sebaran karang di sepanjang pantai timur Sumatera dan Kalimantan Barat dan Selatan dibatasi adanya sedimentasi yang tinggi dibawa oleh aliran sungai. Demikian juga sebaran karang sepanjang pantai utara pulau Jawa dipengaruhi adanya sedimentasi yang tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa karang tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah Sulawesi pada umumnya dan Sulawesi Utara pada khususnya karena adanya arus lintas Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari lautan Pasifik (Suharsono 1996).
Sebaran dan Faktor Lingkungan Terumbu karang tersebar di laut dangkal baik daerah tropis maupun subtropis, yaitu antara 35 oLU dan 32 oLS mengelilingi bumi. Garis lintang
23 tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh. Dari berbagai belahan dunia, terdapat tiga daerah besar terumbu karang yaitu: laut Karibia, laut Hindia, dan Indo-pasifik. Di laut Karibia terumbu karang tumbuh di tenggara pantai Amerika sampai sebelah barat laut pantai Amerika Selatan. Di laut Hindia sebaran karang meliputi pantai timur Afrika, Laut Merah, teluk Aden, teluk Persia, teluk Oman. Sebaran karang di laut Pasifik meliputi laut Cina Selatan sampai pantai timur Australia, pantai Panama sampai pantai selatan teluk California (Suharsono 1996). Sebaran karang tidak hanya terdapat secara horisontal, tetapi juga secara vertikal. Pertumbuhan, penutupan, dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan ekosistem terumbu karang antara lain: suhu, salinitas, cahaya, sedimentasi, arus dan gelombang (Suharsono 1996).
2.5
Marka Genetik Karakter suatu organisme dapat diketahui dengan menggunakan berbagai
macam teknik diantaranya dengan menggunakan penanda atau marka. Secara umum ada tiga jenis marka yang biasa digunakan dalam bidang biologi yaitu marka morfologi, marka biokimia dan marka molekuler. Marka morfologi adalah penanda organisme yang diambil dari ciri-ciri fisik yang tampak dari suatu organisme termasuk turunan yang dihasilkan. Marka biokimia adalah penanda organisme yang berasal dari senyawa atau enzim yang umum terdapat dalam suatu lintasan biokimia dan ekspresi gen yang sangat dipengaruhi faktor lingkungan, sementara marka molekuler atau sering dikenal dengan sidik jari DNA (DNA Fingerprinting) merupakan penanda organisme yang mengacu pada polimorfisme fragmen pita DNA (Sunnuck 2000). Dengan berkembangnya teknologi biologi molekuler, marka molekuler kini lebih banyak dipilih dan digunakan sebagai penanda suatu organisme. Marka ini memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dapat diuji pada semua tingkat perkembangan organisme, jika berkaitan dengan masalah ketahanan terhadap hama penyakit, tidak tergantung
24 pada organisme pengganggu tersebut dan juga sekaligus dapat berfungsi menjadi alat seleksi (Sunnuck 2000). Analisis molekuler dengan menggunakan penanda moleuler dapat dilakukan dengan teknik non-PCR maupun berbasis PCR (Polymerase Chain Reaction). Beberapa jenis teknik analisa yang telah dikembangkan berdasarkan kedua teknologi diantaranya adalah RFLP (Restriction Fragmen Length Polymorphism), AFLP (Amplified Fragmen Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA), SSR (Simple Sequence Repeat) dan lain-lainnya (Sunnuck 2000). Beberapa yang telah dikembangkan untuk spesies karang adalah AFLP dan mikrosatelit untuk Montastrea annularis (Lopez et al.1999 ), RAPD untuk Plexaura flexuosa (Kim et al, 2004). DNA Mitokondria Materi genetik organisme atau yang dikenal dengan istilah DNA (Deoxyribose Nucleic Acid) terdapat pada inti dan organel sel mitokondria dan kloroplas. DNA mitokondria terdapat dalam jumlah lebih banyak daripada DNA inti, karena dalam setiap sel dapat dihasilkan ratusan hingga ribuan kopi sementara DNA inti hanya terdiri dari dua kopi setiap selnya (Melton 1999). Iguchi et al. (1999) menjelaskan bahwa DNA mitokondria memiliki beberapa kelebihan dibanding DNA inti sehingga banyak digunakan untuk menganalisa keragaman genetik dan dinamika populasi.
Beberapa kelebihan
tersebut diantaranya adalah pertama, ukurannya yang relatif kecil dan kompak (16 000-20 000 bp). Kedua, lebih sederhana dibandingkan DNA inti. Ketiga, berevolusi lebih cepat dibandingkan DNA inti yang bermanfaat untuk melihat hubungan kekerabatan dan perbedaan dalam dan antar populasi, Keempat, bagianbagian dari DNA mitokondria memiliki laju evolusi yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk studi sistematika dan penelusuran asal muasal. Kelima, pewarisannya bersifat uniparental dari tetua betina. Materi COI DNA mitokondria telah digunakan untuk mengidentifikasi filogenetik spesies Mostastraea annularis dan Acropora cervicornis (Medina et al. 1999; Vollmer dan Palumbi 2006). Genom mitokondria dari spesies Acropora nasuta berbentuk sirkuler tunggal utas ganda terdiri dari 18 338 bp yang tersusun oleh 13 gen penyandi protein (Gambar 5) : Sitokrom b (Cyt b); subunit I-III Sitokrom c oksidase (COI-
25 COIII), subunit 6 dan 8 komplek F0 ATP Synthase (ATPase 6 dan 8); subunit 1-6 dan 4L rantai NADH dehydrogenase (ND1-6 dan ND4L), 2 gen penyandi rRNA (s-rRNA dan l-rRNA) sebagaimana yang terdapat pda organisme Metazoa umumnya dan 2 gen penyandi tRNA (trnf-Met dan trnTrp) seperti yang terdapat pada karang Acropora lainnya dan anemone laut , Metridium senile. (Fukami et al. 2000; Van Oppen et al. 2002).
Gambar 5. Peta gen molekul mtDNA Acropora nasuta. Tanda bintang mewakili gen yang ditentukan untuk rangkaian penuh. Tanda panah menunjukkan arah transkripsi. (Fukami et al. 2000)
Ribosomal Internal Transcribed Spacer (ITS) Daerah Internal Transribed Spacer (ITS) nuklear RNA ribosomal (nRNA) unit transkripsi (rDNA) telah terbukti sesuai untuk menangani hubungan pada atau di bawah tingkat genus pada berbagai kelompok tanaman dan hewan (misalnya, Lee dan Taylor 1992; Vogler dan Dessale 1994 dalam Odorico dan Miller 1997) termasuk Cnidaria (Anthozoa) (Chen et al. 1996). Pada eukariota,
26 gen subunit kecil nuklear ribosomal (18S) dipisahkan dari gen 5.8S oleh internal spacer pertama (ITS-1), dan
internal transcribed spacer kedua (ITS-2)
memisahkan gen 5.8S dari gen subunit besar (28S) (Gambar 6). Gen ribosom dan
spacer-nya berevolusi pada
tingkat evolusi yang berbeda (Hillis dan
Dixon 1991), membuat keluarga gen ini sebagai kandidat yang sesuai untuk analisis filogenetik pada banyak tingkat sistematik. .
Gambar 6. Diagram dari keluarga gen ribosomal DNA pada hewan (dari Hillis & Dixon 1991). Kode daerah untuk 5,8S, 18S, dan sub-unit 28S rRNA ditunjukkan oleh batang; NTS = non-transcribed spacer, ETS = external transcribed spacer, ITS = daerah internal transcribed spacer. Baik gen 18S maupun gen 28S telah digunakan untuk tingkat sistematika yang lebih tinggi dari Cnidaria (Chen et al. 1995; Odorico dan Miller 1997). Daerah ITS memiliki tingkat evolusi yang lebih tinggi karena mereka memiliki lebih sedikit hambatan fungsional daripada gen ribosom, sehingga membuat mereka berguna untuk perbandingan taksonomi pada tingkat yang lebih rendah. Daerah ITS telah berhasil digunakan dalam sistematika Cnidaria (Beauchamp dan Powers 1996; Chen et al. 1996) dan karang pada khususnya (Odorico dan Miller 1997), serta taksa lain untuk mempelajari hubungan di tingkat populasi (Caporale et al. 1997) dan tingkat spesies (Fritz et al. 1994). Variabilitas perunutan
di daerah internal transcribed spacer (ITS)
ribosomal DNA (rDNA) pada karang telah dipelajari oleh beberapa peneliti. Panjang total fragmen rDNA yang teramplifikasi, mencakup 3 'end dari gen 18 SrDNA , ITS-1, gen 5.8 rRNA, ITS-2, dan 5’end dari gen 28S rRNAsangat bervariasi antara spesies karang yang berbeda. Takabayashi et al. (1998) melaporkan bahwa penerapan metode daerah internal transcribed spacer (ITS) ribosomal DNA (rDNA) untuk menganalisis variabilitas DNA populasi karang karena daerah ITS lebih bervariasi (variable) daripada kebanyakan nukleus
27 lainnya atau runutan (sekuen) DNA mitokondrial (White et al. 1990; O'Donnell 1992; Chen et al. 1996). Selain itu, runutan18S dan 28S rDNA yang mengapit kawasan ITS adalah sangat kekal (conserve) dan dapat digunakan untuk merancang primer yang spesifik untuk berbagai taksa. Oleh karena itu, analisis urutan variasi di daerah ITS secara luas digunakan dalam populasi dan kajian sistematis berbagai organisme yang berbeda, dan memiliki potensi untuk diterapkan dalam kajian serupa pada karang (Takabayashi et al. 1998). 2.6
DNA Barcoding (Barkode DNA) Metode identifikasi molekuler berbasis PCR sudah sering digunakan
dalam bidang yang berhubungan dengan taksonomi, makanan dan identifikasi forensik molekuler (Teletchea et al. 2008) untuk identifikasi eukariotik patogen dan vektor pembawa penyakit (Walton et al. 1999). Beberapa sistem universal untuk identifikasi berbasis molekuler telah digunakan pada taksa yang rendah (misalnya nematoda, Floyd et al. 2002) tetapi tidak berhasil diterapkan untuk cakupan yang lebih luas. Proyek Barcode of Life yang bertujuan untuk menciptakan sistem universal untuk inventarisasi spesies eukariotik berdasarkan pada pendekatan molekuler standar, dimulai pada tahun 2003 oleh para peneliti di University of Guelph di Ontario, Kanada dan dipromosikan pada tahun 2004 atas inisiatif internasional “Consortium for the Barcode of Life "(CBOL, http://www.barcoding.si.edu). Proyek DNA barcode tidak memiliki ambisi untuk membangun pohon kehidupan atau untuk melakukan penggolongan atau taksonomi molekuler melainkan untuk menghasilkan sebuah alat diagnostik sederhana didasarkan pada pengetahuan taksonomi yang kuat yang dikumpulkan dalam perpustakaan referensi DNA barcode (Schindel dan Miller 2005). DNA Barcode of Life Data System (BOLD, http://www.boldsystems.org) secara progresif telah dikembangkan sejak tahun 2004 dan secara resmi didirikan pada tahun 2007 (Ratnasingham dan Hebert 2007). Data ini memungkinkan sistem akuisisi, penyimpanan, analisis dan publikasi catatan barkode DNA. Proyek Barkode DNA ini awalnya dipahami sebagai sebuah sistem standar cepat dan akurat untuk mengidentifikasi spesies hewan. Dalam lingkup saat ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi hampir semua spesies eukariotik (Herbert et al. 2003). Barkode DNA itu sendiri terdiri dari 648 wilayah pasangan basa 58-
28 705 dari 5'-akhir gen sitokrom c oksidase 1 (COI) menggunakan genom mitokondria mencit sebagai referensi. Hal ini didasarkan pada dalil bahwa setiap spesies kemungkinan besar memiliki barkode DNA yang unik dan variasi genetik antar spesies melebihi variasi intra spesies (Herbert et al. 2003).
Kegunaan Barkode DNA Database taksa sebagai referensi publik akan sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi berbagai species apabila identifikasi taksonomi tersebut akurat. Dengan cara ini, Barkode DNA dapat sangat mendukung banyak domain ilmiah (misalnya ekologi, biomedis, epidemiologi, evolusi biologi, biogeografi dan konservasi biologi) dan dalam bio-industri. Efektivitas waktu dan biaya dari barkode DNA memungkinkan identifikasi spesies secara otomatis, yang sangat berguna dalam melakukan kegiatan sampling secara besar-besaran (misalnya sampling yang dilakukan tim Craig Venter's Global Ocean, Rusch et al. 2007 dalam dalam Frezal dan Lebois 2008). Dengan cara ini, barkode DNA juga dapat meningkatkan survei yang bertujuan untuk mengetahui, mendeteksi dan mengidentifikasi spesies pathogen yang belum diketahui dengan jelas, terutama dalam bidang medis, ekologis dan agronomi. Selain itu, juga sangat penting untuk dapat mengenali, mendeteksi dan melacak penyebaran organisme yang telah dipatenkan di bidang agro-bioteknologi, baik untuk memeriksa keaslian sumber organisme atau untuk menjamin hak atas kekayaan intelektual untuk sumberdaya hayati (Frezal dan Lebois 2008). DNA barkode ini juga mempunyai potensi untuk dapat digunakan dalam industri makanan, analisis diet, dan ilmu-ilmu forensik dalam mencegah perdagangan ilegal dan perburuan spesies langka (misalnya di bidang perikanan, kehutanan dan perdagangan daging hewan langka). Yang kedua, identifikasi berbasis molekuler yang diperlukan ketika tidak ada kejelasan yang berarti untuk mencocokkan spesimen dewasa dengan spesimen yang belum dewasa (misalnya, larva ikan, amfibi, dan jamur pada tahap seksual. Kasus ketiga adalah ketika sifatsifat morfologis tidak jelas untuk membedakan spesies, misalnya spesies ganggang merah (Saunders 2005), spesies jamur, dan spesimen nyamuk yang dikumpulkan di lapangan, terutama bila ukuran hewan menghalangi identifikasi
29 secara visual (misalnya hewan yang tersembunyi (cryptic animals)) atau jika spesies memiliki siklus hidup polimorfik dan atau menunjukkan plastisitas fenotipik (misalnya Lamilaria), (Lane et al. 2007).
Resiko karena Pewarisan Mitokondria Keragaman DNA mitokondria (mtDNA)
sangat terkait pada struktur
genetik dari induk (tetua) betina, karena pewarisannya secara maternal. Penggunaan lokus mitokondria dapat mengakibatkan perkiraan perbedaan (divergensi) sampel yang terlalu tinggi dan membuat kesimpulan tentang status spesies menjadi tidak jelas. Pewarisan mitokondria intra spesies juga dapat dibingungkan oleh adanya infeksi simbion. Pertama, seleksi tidak langsung pada DNA mitokondria timbul dari ketidakseimbangan hubungan dengan endosimbion, baik mikroorganisme yang menguntungkan, simbion parasit, atau simbion yang diwariskan secara maternal (Funk et al. 2000; Whitworth et al. 2007). Kedua, hibridisasi antar spesies dan infeksi endosimbion dapat memicu transfer gen mitokondria di luar kelompok individu evolusioner (Dasmahapatra dan Mallet, 2006). Terakhir, salah satu spesies hospes dapat membawa simbion-simbion yang berbeda menuju variasi intra specifik (inter populasi) dalam perunutan mtDNA (Frezal dan Lebois, 2008).
Laju Evolusi dalam COI Laju evolusi genom (mitokondria atau nukleus) tidak sama untuk semua spesies makhluk hidup. Terutama, moluska memiliki tingkat evolusi yang lebih tinggi daripada metazoa bilateral lainnya (Strugnell dan Lindgren, 2007). Sebaliknya, spons diploblast dan cnidaria memiliki tingkat evolusi 10-20 kali lebih lambat dibandingkan dengan kawan bilateral mereka, yang mengakibatkan kurangnya variasi runutan COI yang mencegah perbedaan di bawah tingkat famili (Erpenbeck et al. 2006). Laju evolusi bahkan dapat berbeda pada tingkat ordo. Dengan cara yang sama, tingkat variasi dalam runutan mitokondria dalam kerajaan (kingdom) tumbuhan bukan termasuk spesies yang diidentifikasi berdasarkan pada polimorfisme runutan COI (Kress et al. 2005).
30 Lebih umum, kurangnya kemampuan penyelesaian runutan COI dilaporkan untuk beberapa taksa telah menghantar CBOL untuk menghadapi transisi dari metode gen tunggal utama (yaitu BARCODE) ke sistem barcoding multiregion, bila dibenarkan (yaitu dalam kasus di mana COI bukan spesies spesifik, atau untuk taksa dengan laju evolusi mitokondria yang rendah) daerah referensi takson-spesifik (yaitu nuclear plus / atau gen-gen organela), atau disebut juga non-COI barcode (Bakker, Second International Conference Barcode of Life, TAIPEI, September 2007 dalam Frezal dan Lebois 2008).
3 BAHAN DAN METODE 3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu pada awal Bulan Mei
sampai dengan awal Bulan Oktober 2009. Sampel karang Goniopora spp. diambil di perairan P. Pramuka bagian utara, P. Panggang bagian barat dan selatan Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 7) yang termasuk dalam zona pemukiman, masing-masing pada tubir di kedalaman tiga sampai enam meter. Dasar Pemilihan lokasi ini adalah di sekitar perairan tersebut sudah banyak dilakukan kegiatan transplantasi karang dan juga ada perkebunan karang serta masih banyak dijumpai karang masif genus Goniopora (Lampiran 8 dan 9). Analisa karakteristik genetika karang dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB), LPPM, Institut Pertanian Bogor (IPB). Sedangkan sampel karang hidup dipelihara di Laboratorium Biologi Laut Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB.
Gambar 7 Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di perairan P. Pramuka bagian utara dan P. Panggang bagian barat dan selatan.
32 3.2
Tahapan Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan yaitu : (a) Pengambilan sampel, (b) karakterisasi morfologi, (c) isolasi, purifikasi dan elektroforesis DNA total, (d) amplifikasi COI dan ITS dengan PCR dan elektroforesis hasil PCR, (e) perunutan DNA, (f) analisis data. Secara ringkas alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
Pengambilan sampel karang Goniopora spp. pada kedalaman 3 - 6 meter di perairan P. Pramuka dan P. Panggang Karakterisasi morfologi Goniopora spp.
Isolasi, purifikasi dan elektroforesis DNA total
Amplifikasi gen COI dan ITS dengan teknik PCR dan elektroforesis hasil PCR
Perunutan DNA
Analisis Data: karakterisasi penanda genetik Goniopora spp.
Gambar 8 Diagram alur penelitian karakteristik penanda genetik mtDNA COI dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam upaya pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
33 3.3
Alat dan Bahan Penelitian
a. Alat Penelitian No Uraian A. Pengambilan Sampel 1. Pengambilan sampel karang untuk analisis morfologi dan DNA
2.
Penyimpanan sampel untuk analisis morfologi dan DNA
3.
Analisa morfologi
Alat Gunting yang tajam dan bersih, pahat, kantong plastik klip yang telah diberi yang telah diberi kode tahan air, kontainer, kotak styrofoam. Analisis morfologi Botol sampel berisi larutan air laut mengandung formalin 10%, akuades, etanol 70%. Analisis DNA Kontainer berisi air laut, Termos berisi N2 cair ( -20 oC ) atau botol sampel berisi larutan alkohol absolute : gliserol (4:1) Scalpel steril, penggaris, jangka sorong, kamera digital, kaca pembesar
B. Isolasi, Purifikasi dan Amplikasi DNA 1. Isolasi dan Purifikasi DNA Ependorf 1.5 ml, mortar, rak ependorf, sentrifuse, vortex, pipetor berbagai ukuran volume, tip pipet, waterbath, rak ependorf, spektrofotometer 2. Amplifikasi DNA Mesin Thermal Cycler, microtube 0.2 ml, rak ependorf, pipetor berbagai ukuran volume, tip pipet, sentrifuse. C. Elektroforesis dan Perunutan DNA 1. Elektroforesis Mesin elektroforesis horizontal, sisir dan cetakan agarosa, gelas ukur, timbangan analitis, hot plate, strirer, UV transluminator, pipetor, tip pipet 2. Perunutan DNA Kolom GFX, mesin perunutan DNA
b. Bahan Penelitian No 1.
Bahan Analisa morfologi
A. Isolasi dan Purifikasi DNA 1. Digestion Buffer
2. 3. 4. 5.
Fenol Kloroform : Isoamil alcohol (CIAA 24:1) Etanol absolute atau isopropanol Alkohol 70%
Uraian Bayclin (bahan pemutih), akuades etanol 70%
steril,
CTAB (hexadesiltrimetil ammonium bromida) 2%, NaCl 1.4 M, EDTA 20 mM, 100mM Tris-HCl pH 8,0, 2-mercaptoetanol 0,2%, proteinase K, RNAse A Disimpan pada suhu 4 oC dalam botol gelap Disimpan pada suhu kamar dalam botol gelap Disimpan pada -20 oC Disimpan pada -20 oC
34 6. TE buffer 7. Akuabides steril B. Amplifikasi DNA dengan PCR 1. PCR kit 2. Primer 3. ddH2O steril atau free nuclease water C. Pembuatan Gel Agarosa dan Buffer 1. 1x TAE bufer 2. Etidium bromide (EtBr) 3. Agarosa 4. Loading dye 5. DNA ladder 6. Akuades steril D. Perunutan DNA 1. Kit Purifikasi 2. Kit perunutan DNA
1 mM EDTA ph 8, 10 mM Tris HCl pH 8 Disimpan pada suhu ruang Disimpan pada -20 oC Disimpan pada -20 oC Disimpan pada suhu ruang
Tris base, asam asetat glasial, 0.5M EDTA pH 8 10 mg EtBr dilarutkan dalam volume 10 ml Disimpan pada suhu kamar Disimpan pada -20 oC Disimpan pada -20 oC Disimpan pada suhu ruang Disimpan pada -20 oC Disimpan pada -20 oC
3.4. Pelaksanaan Penelitian a) Pengambilan Sampel Spesimen Goniopora spp. dikumpulkan dari berbagai habitat di perairan P. Pramuka dan P. Panggang di daerah Kepulauan Seribu. Masing-masing pada kedalaman 3 - 6 meter. Dari setiap koloni diambil sampel berukuran ± 10 cm secara acak. Sampel yang akan digunakan untuk analisa morfologi disimpan dalam air laut mengandung formalin 4% yang kemudian dalam waktu 24 jam dibilas dengan akuades steril dan dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%. Sementara sampel yang akan digunakan untuk analisis DNA berupa karang hidup yang disimpan kontainer bertutup berisi air laut, dan untuk jaringan polip karang disimpan dalam kontainer berisi etanol absolute atau di dalam termos berisi Nitrogen cair.
b) Karakterisasi Morfologi Karakter morfologi yang akan diamati adalah jumlah tentakel pada setiap polip karang (24 buah) saat karang masih hidup, bentuk dan kerangka kapur, diameter
koralit (coralite) dan calyx (calice), bentuk koralit, paliform lobe,
columella dan dinding koralit, serta jumlah septa tiap koralit. Metode pengamatan yang dilakukan mengacu pada Klemm et al. (1995), Veron (2000) dan Kleemann (2002).
35
Gambar 9 Ilustrasi karakteristik morfologik yang diamati pada karang Goniopora. c)
Isolasi DNA Total, Purifikasi dan Elektroforesis DNA Total
Isolasi dan Purifikasi DNA Total Isolasi DNA Total dilakukan menggunakan modifikasi metode Duryadi (1993). Sampel polip karang segar dicacah dan dihaluskan dalam mortar sambil ditetesi larutan CTAB sebanyak 600 μl sedikit demi sedikit. Setelah itu dimasukkan ke dalam ependorf 1.5 ml, sambil dikocok sebentar. Kemudian dinkubasi selama 3 jam dengan suhu 65 ºC. Tambahkan proteinase-K sebanyak 2 μl, dan diinkubasi selama semalaman dengan suhu 55 ºC. ditambah larutan fenol sebanyak 400 μl dan dikocok manual selama 40 menit, disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 13 000 rpm, sedangkan supernatannya dipindahkan ke ependorf lain, lalu fenolnya dibuang. Kemudian ditambah larutan CIAA sebanyak 600 μl (minimum 500 μl), dikocok lagi secara manual selama 20 menit hingga berbusa dan terlihat bening, kemudian disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 13 000 rpm, supernatannya dipindahkan ke ependorf lain. Selanjutnya
36 ditambah etanol absolut sebanyak 1000 μl, dikocok lagi secara manual selama 10 menit. Kemuidan dimasukkan ke dalam freezer ± 15 menit, lalu disentrifugasi selama 2 menit dengan kecepatan 13 000 rpm. Etanolnya dibuang (usahakan agar endapan DNA yang terbentuk tidak terbuang), kemudian ditambahkan etanol 70% sebanyak 600 μl. Dikocok lagi secara manual hingga terbentuk endapan selama 5 menit, kemudian disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 13 000 rpm. Etanol tersebut dibuang sampai menyisakan endapannya saja, lalu dikeringudarakan dan divakum selama ± 10 menit. Kemudian dimasukkan TE+RNAase 50 μl dan diinkubasi ± 10 menit dengan suhu 37 ºC. Selanjutnya disentrifugasi selama beberapa detik dengan kecepatan 6 500 rpm, dan dimasukkan ke dalam freezer dengan suhu -20 ºC.
Elektroforesis Gel Gel
elektroforesis
merupakan
metode
analisis
kualitatif
untuk
memisahkan dan menganalisis DNA. Untuk membuat satu agar penuh, campurkan TBE 1 x sebanyak 50 l dicampur dengan 0.6 g bubuk agarosa (1.2% gel agarosa) dan dipanaskan hingga mendidih. Agarosa merupakan polisakarida yang berasal dari rumput laut dan akan membentuk gel padat jika diarutkan dengan pemanasan pada konsentrasi antara 0.5 dan 2% (w/v). Agarosa ini kemudian akan membentuk pori yang besarnya sesuai dengan konsentrasi agarosa. Molekul DNA yang lebih kecil akan bergerak lebih cepat di dalam gel agarosa sebaliknya molekul yang lebih besar akan bergerak lebih lambat. TBE digunakan karena larutan ini memungkinkan DNA bergerak dengan perlahan di dalam gel. Larutan ini akan mengoptimalisasi pH dan mengkonsentrasikan ion di dalam gel sekaligus merendam gel sehingga arus listrik dapat mengalir dalam gel. TBE mengandung Tris yang merupakan senyawa kimia yang membantu mempertahankan konsistensi pH dalam larutan. Selain itu juga mengandung asam borat yang berfungsi untuk menyediakan konsentrasi ion yang tepat untuk buffer dan EDTA yang berfungsi mengkelat kation divalen Magnesium (Saunders dan Parkes 1999). Kemudian larutan didinginkan lalu ditambah dengan 2.5 l EtBr (Ethidium bromide) merupakan pewarna yang digunakan untuk alat identifikasi dan mengukur semi-kualitatif fragmen DNA yang terseparasi dalam gel. EtBr
37 yang mengandung zat fluorosence akan terikat diantara dua untai ganda DNA sehingga pita DNA dalam gel agarosa akan berpendar jika diihat menggunakan UV transluminator (Saunders dan Parkes 1999). Larutan gel ini kemudian dituang kedalam cetakan gel yang telah diatur posisinya dalam keadaan sejajar (datar) dan telah dipasangi sisir. Cetakan harus benar-benar datar agar proses migrasi DNA dapat berjalan baik dan hasil migrasi tidak dipengaruhi oleh kemiringan gel akibat cetakan yang tidak datar. Gel kemudian didiamkan selama 30 menit hingga mengeras dan dimasukkan ke dalam bak gel lalu dituang dengan TBE buffer sampai gel terendam. TBE ini berfungsi sebagai konduktor listrik. Sampel DNA kemudian diambil 5 l dan dicampur dengan loading dye 0.5 l diatas plastik bersih sampai merata lalu dipipet kembali dan dimasukkan ke dalam sumuran (well). Loading dye berfungsi sebagai pemberat untuk meningkatkan densitas DNA sehingga DNA akan tenggelam dalam sumuran sehingga tidak melayang dalam larutan TBE. Selain itu, loading dye juga digunakan sebagai penanda visual untuk mengetahui seberapa jauh pergerakan DNA di dalam gel. Proses
migrasi
DNA
dengan
menggunakan
piranti
Submarine
Electrophoresis (Hoefer, USA) yang dihubungkan dengan elektroda pada voltase 85 V, 45 Amp selama 30 menit. Pada saat proses migrasi, akan terjadi aliran listrik. DNA yag bermuatan negatif akan bergerak menuju elektroda positif. Kecepatan pergerakan DNA dalam gel akan sangat bergantung pada ukuran dan bentuk DNA, konsentrasi gel dan voltase yang digunakan. Setelah proses migrasi DNA selesai, power supply dimatikan dan gel diambil kemudian diamati di bawah UV- transluminator lalu difoto.
d) Amplifikasi COI dan ITS dengan PCR dan Elektroforesis Hasil PCR Dalam penelitian ini, amplifikasi DNA dengan PCR menggunakan primer CO1 yang didisain menggunakan soft ware Primer 3 version 0.4.0 (http://frodo.wi.mit.edu/primer3/) berdasarkan modifikasi runutan gen COX1 Porites porites, (kode akses NC_008166) dan gen COX1 Goniopora sp. ZHF2009 isolate Wa3 cytochrome oxidase subunit 1 (COX1) (kode akses FJ423995) yang sudah di-alignment dengan program MEGA versi 4.0 (Tamura et al. 2007). Amplifikasi primer gen mitokondrial sitokrom c oksidase sub unit 1 (COI) adalah:
38 GJWCO1 F 5’-CTC GGC ACA GCC TTC AGT ATG TTA-3’ (24 bp) dan GJWCO1 R 5’-AAT ATA AAC TTC AGG ATG CCC AAA-3’ (24 bp) sedangkan primer gen daerah nuclear intra transcribed spacer ribosomal (ITS) adalah primer yang dikembangkan oleh Forsman et al. (2009) dengan atau tanpa modifikasi yaitu : ITSZF 5'-TAA AAG TCG TAA CAA GGT TTC CGT A-3' (25 bp), dan ITSZR 5'-CCT CCG CTT ATT GAT ATG CTT AAA T-3' (25 bp). Proses amplifikasi COI dan daerah ITS menggunakan mesin GeneAmpR PCR system 2004 (Perkin Elmer). Strategi dan komposisi larutan menggunakan modifikasi metode Duryadi (1993). Kondisi PCR yang digunakan untuk amplifikasi COI adalah : tahap predenaturasi pada suhu 94 ºC selama 5 menit, dilanjutkan dengan siklus utama yaitu tahap denaturasi pada suhu 94 ºC selama 45 detik, tahap penempelan (annealing) pada suhu 48 ºC selama 1 menit, tahap polimerasi (extension) pada suhu 72 ºC selama 1 menit, yang diulang sebanyak 35 siklus, dan diakhiri dengan tahap polimerasi (post extension) pada suhu 72 ºC selama 5 menit dan tahap perpanjangan (elongation) pada suhu 20 ºC. Sedangkan proses amplifikasi ITS adalah sama dengan amplifikasi COI hanya berbeda pada tahap penempelan (annealing) yaitu pada suhu 48 ºC selama 1 menit.
e) Perunutan Fragmen CO1 dan ITS Perunutan (sequencing) DNA hasil PCR dilakukan di PT. CHAROEN POKPHAN INDONESIA. Dengan menggunakan Mesin ABI Prism 3100-Avant Genetic Analyzer (Applied Biosystems, USA), yang menggunakan metode Dyedideoxy-terminator menggunakan BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit v.3.1 (Applied Biosystems, USA).
f)
Analisis Data Sisi homolog dari runutan basa nukleotida gen COI dan ITS kemudian
disejajarkan (multiple alignment) dan dibandingkan dengan runutan-runutan COI dan ITS dari GenBank kemudian dianalisis menggunakan program MEGA versi 4.0 (Tamura et al. 2007) dengan metode bootstrapped neighbor joining dengan 1000 kali pengulangan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Karakteristik Morfologi Pada penelitian ini digunakan lima sampel koloni karang yang diambil dari
tiga lokasi berbeda di sekitar perairan Kepulauan Seribu yaitu di P. Pramuka sebelah Utara, P. Panggang sebelah Barat, dan P. Panggang sebelah Selatan, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1 Lokasi pengambilan sampel koloni karang Goniopora spp. Kode Sampel
Lokasi
Zona dan Kedalaman
Koordinat Lintang
Bujur
PrXP
P. Pramuka Utara
Tubir 3m
S 05o 44' 19.5"
E 106o 36' 55.6"
PaBP
P. Panggang Barat
Tubir 3m
S 05o 44' 39.2"
E 106o 35' 09.8"
PaBC
P.Panggang Barat
Tubir 3m
S 05o 44' 39.2"
E 106o 35' 09.8"
PaBH
P. Panggang Barat
Tubir 3m
S 05o 44' 39.2"
E 106o 35' 09.8"
PaSH
P. Panggang Selatan
Tubir 3m
S 05o 49' 47"
E 106o 35' 20.3"
Ciri Sampel Koloni Karang Hidup Koloni berwarna putih kecoklatan, polip tidak sama panjang Koloni berwarna putih kecoklatan, polip panjang Koloni berwarna coklat tua, polip panjang Koloni berwarna hijau, polip sama panjang dan padat Koloni berwarna hijau, polip panjang
Warna koloni dan bentuk polip pada karang Goniopora tidak dapat dijadikan dasar dalam penentuan spesies Goniopora jika tanpa dilakukan pengamatan terhadap karakteristik morfologi kerangka kapurnya. Hasil pengamatan terhadap karakteristik morfologi kerangka kapur karang Goniopora setelah karang mati, dikeringkan dan diputihkan (bleaching) terdapat pada Tabel 2 dan Lampiran 1 adalah sebagai berikut :
40 Tabel 2 Hasil pengamatan karakteristik morfologi karang Goniopora spp. Kode Sampel
PrXP
PaBP
PaBC
PaBH
PaSH
Karakteristik Morfologik koloni masif, calice mempunyai columellae yang kecil, septa terbentuk seragam antara koralit, septa primer tidak dapat dibedakan, septa panjang, teratur, dalam dan curam, bentuk koralit seperti dikeruk, lobus paliform absen. Ratarata diameter koralit berukuran 4.19 mm. koloni berbentuk kolom yang pendek dan tebal, koralit seragam, dengan gambaran melingkar dengan diameter rata-rata berukuran 3.5 mm koloni masif dan setengah bola, calice memiliki dinding yang tinggi dan memiliki penampilan tidak teratur, dinding koralit tidak rata, columellae lebar dan tidak teratur. Rata-rata diameter koralit berukuran 3.42 mm koloni masif dan irregular, perkembangan septa seragam antara koralit, septa utama khas dan tidak membentuk delta. koralit melingkar dengan dinding tebal dan mempunyai 6 lobus paliform yang menonjol. Rata-rata diameter koralit berukuran 3.62 mm koloni berbentuk kolom pendek dengan collumella yang besar, koralit dekat bagian atas kolom mempunyai septa yang bagus dan tidak teratur dan columellae yang menyatu. Pada bagian sisi kolom mempunyai columellae yang kompak dan luas serta septa yang pendek. Rata-rata diameter koralit berukuran 3.51 mm
Spesies
G. norfolkensis
G. palmensis
G. stokesi
G. tenuidens
G. columna
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap bentuk koloni dan kerangka kapur, diameter koralit dan kaliks (calice), bentuk koralit, lobus paliform, columellae dan dinding koralit, serta jumlah septa tiap koralit, dapat diketahui bahwa kelima spesimen karang tersebut adalah spesies yang berbeda-beda, yaitu G. norfolkensis, G. palmensis, G. stokesi, G. tenuidens dan G. columna. 4.2
Isolasi DNA Total Dari kelima sampel karang Goniopora spp. yang masih hidup, diambil
jaringan polipnya untuk di lakukan isolasi DNA total. Untuk isolasi DNA dapat digunakan jaringan yang telah diawetkan menggunakan alkohol absolut, tetapi yang terbaik adalah dengan menggunakan jaringan yang masih segar atau yang sudah dibekukan pada suhu -20 ºC tanpa ditambahkan bahan pengawet lainnya. Hasil purifikasi DNA total setelah dimigrasikan pada gel agarose 1.2% dan dilihat dengan UV iluminator seperti yang terlihat pada Gambar 10. DNA total tersebut selanjutnya digunakan sebagai cetakan DNA (DNA template) untuk amplifikasi
41 gen COI dan daerah ITS ribosomal dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 10 Hasil purifikasi DNA total pada : (a) G. stokesi, (b) G. palmensis (c) G. columna, (d) G. norfolkensis (e) G.tenuidens setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 30 menit. 4.3
Keragaman Genetik Karang Goniopora spp Berdasarkan Gen Sitokrom Oksidase Sub Unit I (COI)
4.3.1
Amplifikasi Gen Sitokrome Oksidase I (COI) Amplifikasi gen COI pada masing-masing sampel karang Goniopora
dilakukan dengan menggunakan pasangan primer GJWCOIF dan GJWCOIR. Urutan dari primer forward GJWCOIF adalah: 5’-ctcggtacagccttcagtatgtta-3’ sedangkan primer reverse GJWCOIR adalah: 5’-aatataaacttcaggatgcccaaa-3’. Posisi penempelan primer yang mengamplifikasi fragmen gen COI parsial (652 bp) berdasarkan runutan gen COI utuh Porites porites sepanjang 2544 bp (kode akses GenBank NC_008166 (Forsman et al. 2009) yang digunakan sebagai pembanding. Produk PCR hasil amplifikasi pasangan primer GJWCOIF menempel pada posisi ke-94 sampai dengan 117 (13529 – 13552) sedangkan primer GJWCOIR menempel pada posisi ke-721 sampai dengan 744 (14156 – 14179) (Lampiran 2). Skema posisi penempelan primer GJWCOIF dan GJWCOIR disajikan pada Gambar 11.
42
COI GenBank = 2544 bp 93 bp
Teramplifikasi 652 bp
GJWCOIF
745 bp GJWCOIR
Hasil penjajaran berganda : 612 nt Gambar 11
Skema letak penempelan primer GJWCOIF dan GJWCOIR untuk mengamplifikasi gen COI parsial pada karang Goniopora spp.
Runutan DNA gen COI diperoleh dari hasil amplifikasi dengan primer GJWCOIF dan GJWCOIR, gen COI parsial teramplifikasi sepanjang 652 bp dan setelah dilakukan penjajaran berganda (multiple alignment) dengan kelima gen COI parsial Goniopora spp lainnya menjadi 612 nukleotida (Lampiran 3). Hasil amplifikasi gen COI tersebut terdapat pada Gambar 12 di bawah ini :
Keterangan:
M = Penanda (DNA Marker), 1= G. stokesi; 2 = G. palmensis; 3 = G.norfolkensis; 4 = G. columna; 5 = G. Tenuidens
Gambar 12 Hasil amplifikasi daerah COI dengan menggunakan pasangan primer GJWCOIF dan GJWCOIR setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit. 4.3.2 Perunutan Gen COI Parsial dan Keragaman Runutan Nukleotida Setelah dilakukan perunutan (sequencing) pada produk PCR dari arah primer forward dan primer reverse didapatkan hasil runutan (sequence) sepanjang
43 652 bp dan setelah dilakukan penjajaran berganda (multiple alignment) dengan kelima gen COI parsial Goniopora spp lainnya menjadi 612 nukleotida. Namun setelah disejajarkan dengan runutan gen COI spesies Goniopora isolat dari GenBank lainnya yaitu COI Goniopora sp. ZHF-2009 isolat Wa3 (COX1) (kode akses : FJ423995) dan isolat Porites lainnya (P. asteroides, P. compressa, P. duerdeni, dan P. cylindrical dengan kode akses berturut-turut : FJ423961, FJ423970, FJ423976 dan FJ423996; Forsman, 2009) sebagai out group menunjukkan situs yang beragam. Perbedaan susunan nukleotida yang terdapat pada kelima sampel karang Goniopora spp dapat dilihat pada Tabel 3 sedangkan antara Goniopora spp dengan out-group-nya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 3
Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI parsial pada Goniopora spp. hasil dari penelitian ini G. stokesi
G. palmensis
G. columna
G. norfolkensis
G. tenuidens
11 21 25 20
29 32 27
13 8
5
-
G. stokesi G. palmensis G. columna G. norfolkensis G. tenuidens
Tabel 3 menunjukkan perbedaan jumlah basa nukleotida di antara kelima spesies karang Goniopora, yaitu
berkisar antara 5 sampai dengan 32 basa
nukleotida (nt). Makin besar angkanya berarti semakin berbeda susunan nukleotida, sebaliknya, jika semakin kecil, berarti semakin mirip susunan nukleotidanya. Antara G tenuidens. dan G. norfolkensis hanya berbeda 5 nt (0.8%), sedangkan antara G. norfolkensis dan G. palmensis berbeda 32 nt (5.2%) dari 612 bp yang disejajarkan. Tabel 4 Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI parsial karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Goniopora stok esi Goniopora palmensis Goniopora columna Goniopora norfolk ensis Goniopora tenuidens Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3 P. astreoides isolate aBR6 P. compressa P. duerdeni isolate HM28 P. cylindrica isolate Wa4
1 11 19 23 18 21 40 39 39 38
2
3
27 30 25 28 47 46 46 45
13 8 11 30 29 29 28
4
5
6
7
8
9
10
5 4 21 20 20 19
3 22 21 21 20
19 18 18 17
3 3 2
2 1
1
-
44 Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada kelompok karang Goniopora spp mempunyai cukup banyak perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida-nya dengan kelompok karang Porites spp (15-46 nt). Sedangkan antara spesies dalam kelompok karang Goniopora terdapat perbedaan jumlah nukleotida sebanyak 3-30 nt. Tetapi antara spesies dalam kelompok karang Porites sangat sedikit perbedaan jumlah nukleotida-nya, yaitu dari 600 bp yang disejajarkan, hanya ada 1-3 nt (0.1 – 0.5%) saja yang berbeda. 4.3.3 Jarak Genetik Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai Out-group Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik antar spesies pada karang Goniopora spp dan antar genus lainnya, dalam hal ini adalah Porites spp. dengan menggunakan
gen CO1 yang terdapat dalam GenBank.
Melalui penggunaan analisis perhitungan pairwise distance dapat ditunjukkan pada Tabel 5 berikut ini : Tabel 5 Matriks jarak genetik berdasarkan metoda pairwise distance gen COI parsial pada karang Goniopora spp. dan Porites spp. sebagai out-group 1 Goniopora stokesi 2 Goniopora palmensis 3 Goniopora columna 4 Goniopora norfolkensis 5 Goniopora tenuidens 6 Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3 7 P. astreoides isolate aBR6 8 P. compressa 9 P. duerdeni isolate HM28 10 P. cylindrica isolate Wa4
1
2
3
4
5
0.019 0.033 0.039 0.031 0.036 0.068 0.067 0.067 0.065
0.046 0.051 0.043 0.048 0.080 0.079 0.079 0.077
0.022 0.014 0.019 0.051 0.050 0.050 0.048
0.009 0.007 0.036 0.034 0.034 0.033
0.005 0.038 0.036 0.036 0.034
6
7
8
9 10
0.033 0.031 0.005 0.031 0.005 0.003 0.029 0.003 0.002 0.002 -
Hasil perhitungan berdasarkan daerah COI parsial menunjukkan nilai jarak genetik berkisar antara 0.002 sampai dengan 0.080. Dari Tabel 5 ditunjukkan bahwa semakin dekat jarak genetik suatu spesies dengan spesies lainnya berarti semakin dekat kesamaan gen COI-nya. Sebagai contoh antara gen COI P. cylindrica isolat Wa4 mempunyai jarak genetik 0.002 (0.2%) terhadap P. duerdeni isolat HM28 dan sebaliknya, gen COI P. asteroides isolat aBR6 mempunyai jarak genetik 0.080 (8%) terhadap gen COI G. palmensis. Dendrogram inter spesies Goniopora spp. dapat dilihat pada Gambar 13 dan antara genus Goniopora dan Porites. dapat dilihat pada Gambar 14 .
45
Goniopora palmensis Goniopora stokesi Goniopora columna Goniopora tenuidens Goniopora norfolkensis
Gambar 13 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah COI parsial pada kelima sampel karang Goniopora spp. Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa pada kelompok karang Goniopora terjadi keragaman gen COI yang membentuk dua klaster utama, antara klaster G. stokesi dan G. palmensis, dengan klaster G. columna, G. tenuidens dan G. norfolkensis. Sedangkan dendrogram gen COI pada kelompok
karang
Goniopora spp dan Porites spp sebagai out-group-nya dapat dilihat pada Gambar 14 sebagai berikut: Goniopora palmensis Goniopora stokesi Goniopora columna Goniopora tenuidens Goniopora norfolkensis Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3 P. astreoides isolate aBR6 P. duerdeni isolate HM28 P. cylindrica isolate Wa4 P. compressa
Gambar 14 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah COI parsial karang Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group.
46 Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa klaster karang Goniopora spp berbeda dengan klaster Porites spp. Artinya bahwa ada perbedaan gen COI antara kedua klaster tersebut, dengan demikian gen COI dapat dipakai sebagai penanda genetik untuk membedakan kelompok antar genus. Meskipun demikian, pada klaster Porites spp terlihat bahwa tidak ada atau sedikit sekali perbedaan gen COI antar spesies Porites, sebagai penanda genetik, gen COI tidak mampu membedakan antara spesies P. asteroides (isolat aBR6), P. duerdeni (isolat HM28), P. compressa dan P. cylindrica (isolat Wa4) sehingga gen COI nampaknya belum dapat dipakai sebagai penanda genetik pada tingkat spesies.
4.4
Keragaman Genetik Karang Goniopora spp Berdasarkan Gen Daerah Intra Transcribed Spacer (ITS)
4.4.1 Amplifikasi Daerah ITS Amplifikasi daerah ITS parsial pada DNA karang Goniopora spp menggunakan primer ITSZF dan ITSZR berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Forsman et al. (2009). Posisi penempelan primer yang mengamplifikasi fragmen gen ITS parsial (706 bp) berdasarkan runutan daerah sub unit gen 18S rRNA runutan parsial, ITS 1, 5.8S rRNA, dan ITS 2, merupakan runutan lengkap, dan 28S rRNA runutan parsial berdasarkan runutan nukleotida Goniopora columna (isolat KENGonc dengan kode akses GenBank: AB441414) sepanjang 1020 bp yang digunakan sebagai pembanding. Produk PCR hasil amplifikasi pasangan primer ITSZF menempel pada posisi ke-106 sampai dengan 130 (yaitu di daerah 18S RNA) sedangkan primer ITSZR menempel pada posisi ke-787 sampai dengan 811 (daerah 28 S RNA) (Lampiran 3). Skema posisi penempelan primer ITSZF dan ITSZR disajikan pada Gambar 15.
47
Gambar 15
Skema letak penempelan primer ITSZF dan ITSZR untuk mengamplifikasi gen ITS ribosomal pada karang Goniopora spp.
Hasil amplifikasi daerah ITS ribosomal setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% dapat dilihat pada Gambar 16.
Keterangan:
M = Penanda (DNA Marker), 1= G. stokesi; 2 = G. palmensis; 3 = G.norfolkensis; 4 = G. columna; 5 = G. Tenuidens
Gambar 16 Hasil amplifikasi daerah ITS ribosomal dengan menggunakan pasangan primer ITSZF dan ITSZR setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit.
48 4.4.2 Perunutan Gen Daerah ITS dan Keragaman Runutan Nukleotida Runutan DNA gen
daerah ITS ribosomal dengan primer ITSZF dan
ITSZR diperoleh hasil amplifikasi sepanjang 706 bp,
dan setelah dilakukan
penjajaran berganda (multiple alignment) dengan kelima gen ITS parsial Goniopora spp lainnya menjadi 719 nukleotida. Perbedaan susunan nukleotida yang terdapat pada kelima sampel karang Goniopora spp dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6
Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS pada Goniopora spp. hasil dari penelitian ini G. norfolkensis
G. norfolkensis G. stokesi G. palmensis G. columna G. tenuidens
G. stokesi
G. palmensis
G. columna
G. tenuidens
158 178 151 160
81 35 84
88 129
87
-
Tabel 6 menunjukkan perbedaan jumlah basa nukleotida di antara kelima spesies karang Goniopora, yaitu G. stokesi berkisar antara 35 sampai dengan 178 basa nukleotida (nt). Makin besar angkanya berarti semakin berbeda susunan nukleotida, sebaliknya, jika semakin kecil, berarti semakin mirip susunan nukleotidanya. Antara G. columna dan G. stokesi berbeda 35 nt (4.8%), sedangkan antara G. palmensis dan G. norfolkensis berbeda 178 nt (24.7%) dari 719 bp yang disejajarkan. Hal menunjukkan adanya perbedaan jumlah dan susunan basa nukleotida yang cukup banyak pada gen ITS ribosomal inter spesies Goniopora. Runutan DNA gen
daerah ITS ribosomal Goniopora spp. setelah
disejajarkan dengan runutan gen ITS spesies Goniopora isolat dari GenBank yaitu Goniopora sp. ZHF-2009 isolat Wa3 (kode akses : FJ416593) dan isolat Porites lainnya (P. asteroides, P. compressa, P. duerdeni, dan P. cylindrical dengan kode akses berturut-turut : AY458035-AY458036, FJ426557, FJ416572 dan FJ416594; Forsman, 2009) sebagai out group menunjukkan situs yang beragam. Perbedaan susunan nukleotida yang terdapat pada kelima sampel karang Goniopora spp dan dengan out-group-nya dapat dilihat pada Tabel 7.
49 Tabel 7 Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS karang Goniopora spp dengan Porites spp. sebagai out-group 1 87 16 103 51 33 188 186 172 172 172
1 Goniopora stokesi 2 Goniopora palmensis 3 Goniopora columna 4 Goniopora norfolkensis 5 Goniopora tenuidens 6 Goniopora sp. ZHF-2009 isolate_Wa3 7 P. astreoides isolate aBR6-1 8 P. astreoides isolate aBR6-2 9 P. compressa 10 P. duerdeni isolate_HM28 11 P. cylindrica isolate Wa4
2
3
4
5
6
88 142 110 100 210 208 195 196 196
103 55 35 194 192 178 177 177
105 102 211 209 201 202 202
64 197 195 182 181 181
185 183 170 170 170
7
8
9
10
11
3 54 51 52
53 50 10 51 11 3
-
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa antara genus Goniopora dengan genus Porites mempunyai cukup banyak perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida, yaitu antara 170-211 nukleotida (nt) (26.3-32.7%). Sedangkan inter spesies dalam kelompok karang Goniopora spp. terdapat
perbedaan jumlah
nukleotida sebanyak 33-142 nt (5.1-22%), tetapi inter spesies dalam kelompok karang Porites spp. hanya berbeda sebanyak 3-52 (0.4 – 8%) saja. 4.4.3 Jarak Genetik Goniopora spp dengan Porites spp sebagai Out-group Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik antar spesies pada karang Goniopora spp. dan antar genus lainnya, dalam hal ini adalah Porites spp. dengan menggunakan
gen ITS yang terdapat dalam GenBank.
Melalui penggunaan analisis perhitungan pairwise distance dapat ditunjukkan dalam matriks pada Tabel 8 berikut ini : Tabel 8 Matriks jarak genetik berdasarkan metoda pairwise distance gen ITS pada karang Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group 1 Goniopora stokesi 2 Goniopora palmensis 3 Goniopora columna 4 Goniopora norfolkensis 5 Goniopora tenuidens 6 Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3 7 P. astreoides isolate_aBR6-1 8 P. astreoides isolate aBR6-2 9 P. compressa 10 P. duerdeni isolate HM28 11 P. cylindrica isolate Wa4
1 0.169 0.031 0.200 0.099 0.064 0.366 0.362 0.335 0.335 0.335
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0.171 0.276 0.214 0.195 0.409 0.405 0.379 0.381 0.381
0.200 0.107 0.068 0.377 0.374 0.346 0.344 0.344
0.204 0.198 0.411 0.407 0.391 0.393 0.393
0.125 0.383 0.379 0.354 0.352 0.352
0.360 0.356 0.331 0.331 0.331
0.006 0.105 0.099 0.101
0.103 0.097 0.099
0.019 0.021
0.006
-
50 Hasil perhitungan berdasarkan daerah ITS ribosomal parsial menunjukkan nilai jarak genetik berkisar antara 0.006 sampai dengan 0.411. Pada Tabel 8 ditunjukkan bahwa semakin dekat jarak genetik suatu spesies dengan spesies lainnya berarti semakin dekat kesamaan gen daerah ITS-nya. Sebagai contoh antara gen ITS P. cylindrica isolat Wa4 mempunyai jarak genetik 0.006 (0.6%) terhadap P. duerdeni isolat HM28 dan sebaliknya, sedangkan gen ITS P. asteroides isolat aBR6-1 mempunyai jarak genetik 0.411 (41.1%) terhadap gen ITS G. norfolkensis. Dendrogram gen ITS ribosomal inter spesies Goniopora spp. dapat dilihat pada Gambar 17 dan antara genus Goniopora dan Porites sebagai out-group dapat dilihat pada Gambar 18 . Goniopora stokesi Goniopora columna Goniopora palmensis Goniopora tenuidens Goniopora norfolkensis
Gambar 17 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial pada kelima sampel karang Goniopora spp. Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa dalam kelompok karang Goniopora terjadi perbedaan gen daerah ITS yang membentuk empat kelompok, antara kelompok G. stokesi dan G. columna, kelompok G. palmensis, kelompok G. tenuidens dan kelompok G. norfolkensis. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan genetik yang cukup jauh pada masing-masing spesies dalam kelompok (genus) Goniopora menggunakan gen penyandi daerah ITS ribosomal. Sedangkan dendrogram gen daerah ITS ribosomal pada kelompok karang Goniopora spp dan Porites spp sebagai out-group-nya dapat dilihat pada Gambar 18. Berdasarkan Gambar 18 terlihat bahwa kelompok karang Goniopora spp. berbeda dengan kelompok Porites spp. Artinya bahwa ada perbedaan gen daerah ITS ribosomal antara kedua kelompok tersebut, dengan demikian gen ITS tersebut dapat dipakai sebagai penanda genetik untuk membedakan kelompok antar genus.
51 Demikian halnya pada kelompok Porites spp juga terlihat bahwa ada perbedaan gen ITS antar spesies Porites, sebagai penanda genetik, gen ITS cukup mampu membedakan antara kelompok spesies P. asteroides (isolat aBR6-1 dan 2) dengan kelompok P. compressa,, sedangkan kelompok P. duerdeni (isolat HM28) dan P. cylindrica (isolat Wa4) juga mempunyai gen ITS yang berbeda dengan kelompok P. compressa, sehingga dengan demikian gen daerah ITS ini dapat dipakai sebagai penanda genetik pada tingkat spesies. Goniopora stokesi Goniopora columna Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3 Goniopora tenuidens Goniopora palmensis Goniopora norfolkensis P. astreoides isolate aBR6-1 P. astreoides isolate aBR6-2 P. compressa P. duerdeni isolate HM28 P. cylindrica isolate Wa4
Gambar 18 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial karang Goniopora spp. dengan Porites spp sebagai out-group. 4.5
Analisa Karakteristik Penanda Genetik COI dan ITS Berdasarkan hasil analisa karakteristik genotipik, ternyata pada gen COI
tampak lebih sedikit perbedaan basa nukleotida daripada gen ITS, artinya gen COI pada karang (Cnidaria: Scleractinia) mempunyai lebih banyak nukleotida yang kekal (conserve) dibandingkan dengan gen ITS yang lebih variabel. Berdasarkan perbandingan karakteristik morfologik dan hasil dendrogram penanda genetik COI dan ITS (Gambar 13, Gambar 17 dan Lampiran 1) karang Goniopora spp. pada penelitian ini dapat dilihat bahwa secara genotipik, penanda genetik ITS lebih mendekati kemiripan dengan fenotipik (morfologik) kelima species karang Goniopora spp. yang diidentifikasi. Demikian pula jika dibandingkan antara dendrogam penanda genetik COI dan ITS pada karang
52 Goniopora spp. dan Porites spp. sebagai out-group (Gambar 14 dan Gambar 17), ternyata penanda genetik ITS lebih tepat menggambarkan perbedaan kelompok kedua genus karang tersebut, yaitu terbentuknya dua klaster utama antara genus Goniopora dan genus Porites. Pada penelitian ini, berdasarkan dendrogram gen COI dan ITS pada Goniopora spp, jarak genetik antara COI dan ITS memang masih belum konsisten, sehingga masih belum dapat dipastikan penanda genetik mana yang lebih akurat untuk menjelaskan karakteristik genetik spesies karang Goniopora. Walaupun demikian, berdasarkan dendrogram pada Gambar 14 dan Gambar 17 dapat dilihat bahwa penanda genetik COI relatif belum dapat membedakan karakteristik genetik inter spesies karang Porites, sedangkan penanda genetik ITS relatif dapat membedakan karakteristik genetik inter dan intra spesies pada karang Porites. Sehingga penanda genetik ITS relatif lebih mampu menggambarkan perbedaan karakteristik genotipik pada karang (Cnidaria: scleractinia) dengan lebih tepat. Hal ini memang perlu dibuktikan lagi dengan menambah jumlah sampel karang Goniopora dari spesies yang sama (intra spesies), dengan lokasi yang berbeda-beda pada suatu daerah dalam radius yang dekat, untuk meyakinkan konsistensi karakteristik genotipik dari masing-masing penanda genetik yang digunakan, baik COI maupun ITS. Setelah itu dapat dibandingkan penanda genetik mana yang paling konsisten dan yang paling mirip mendekati karakter morfologi berdasarkan sistematika (taksonomi)
yang dijadikan acuan dalam
penentuan spesies karang Goniopora. Penanda genetik yang paling akurat ini yang nantinya dapat digunakan sebagai penanda genetik untuk membuat barkode DNA untuk spesies karang Goniopora. Prinsip ini kemudian dapat dijadikan acuan untuk membuat barkode DNA pada spesies-spesies karang keras (Scleractinia) lainnya, sebagai alat yang dapat membantu dalam identifikasi dan sistematisasi taksonomi karang, sekaligus sebagai alat yang dapat digunakan dalam melakukan pengelolaan terumbu karang, baik untuk pemanfaatan, perdagangan karang maupun konservasi dan rehabilitasi terumbu karang, khususnya bagi karang dan terumbu karang yang ada di Indonesia.
5 PEMBAHASAN UMUM Penanda Genetik untuk Identifikasi Karang dan Manfaatnya dalam Pengelolaan Terumbu Karang Menurut Veron (2000) dan Volmer dan Palumbi (2002), perangkat molekuler sangat jelas diperlukan untuk menggambarkan batasan spesies, dan untuk mengungkapkan pola evolusi dan keanekaragaman hayati-nya. Namun, penelitian molekuler telah menghadapi banyak tantangan teknis, dan memicu kontroversi tambahan tentang cakupan dan signifikansi evolusi hibridisasi antara spesies. van Oppen et al. (1999) dan Shearer et al. (2002) mennyatakan bahwa DNA mitokondria adalah salah satu penanda molekuler yang paling informatif dan banyak digunakan pada metazoa, namun genom mitokondria pada Anthozoa mengalami evolusi yang luar biasa lambat, dan hanya memberikan sedikit pemecahan filogenetik pada atau di bawah tingkat famili atau genus. Daerah ITS ribosomal nuklear (bagian dari cistron ribosomal yang terdiri dari dua internal transcribed spacer dan gen 5.8S yang berevolusi secara cepat) merupakan salah satu molekul yang paling banyak digunakan sebagai penanda untuk kajian genetika pada tingkat spesies tanaman (Kress et al. 2005), jamur (O’Donnell. 1997), dan karang (Medina et al. 1998; Takabayashi et al. 1998; Volmer dan Palumbi 2004). Meskipun daerah ITS digunakan secara luas, penanda multi-copy ini menimbulkan tantangan, terutama ketika varian yang berbeda ditemukan dalam satu genom. Salinan ITS yang sangat berbeda ditemukan secara eksklusif dalam organisme yang memiliki sejarah hibridisasi antara tetua yang berbeda, dan ribuan salinan dalam genom eukariotik tertentu dianggap homogen oleh proses rekombinan (evolusi bersamaan) dalam kelompok yang sering terjadi inbreeding. Vollmer & Palumbi (2004) mengingatkan bahwa sulit untuk membedakan antara introgressi (transfer informasi genetik dari satu spesies yang lain melalui hibridisasi) dan backcrossing berulang (hibrid dengan salah satu dari induk atau suatu organisme dengan karakteristik genetik yang sama dari salah satu induk) dari garis keturunan hibridisasi dan pemisahan yang tidak lengkap dari polimorfisme leluhur. Mereka beradu argumentasi dengan peneliti lainnya tentang
54 penggunaan daerah ITS pada karang yang didasarkan pada pengamatan pada genus Acropora, yang diketahui mempunyai banyak spesies yang berhibridisasi. Sebuah survei yang dilakukan secara luas terhadap variasi intra-genomik ITS pada karang menunjukkan bahwa masalah variasi adalah hal yang jarang terjadi, pengecualiannya hanya ditemukan pada genus Acropora dan bukan sebagai aturan umum untuk taksa karang lainnya (Flot dan Tillier 2006). Hal ini juga didukung oleh Forsman et al. 2009 pada penelitan mereka bahwa variasi intra-genomik ITS pada genus Porites relatif rendah, dan tanda filogenetiknya relatif cukup kuat terhadap gangguan penyelarasan yang ambigu, menurut mereka, keadaan ini dapat dikurangi dengan peningkatan jumlah sampling taksonomi. Forsman et al. (2009) melakukan pengujian evolusi nuklear pada daerah internal ribosomal spacer (ITS) dan mitokondria (COI, sebagai wilayah control sementara) pada karang Porites, salah satu genus yang paling menantang dan penting secara taksonomi dan
ekologis karena merupakan genus pembentuk
terumbu karang. Hasilnya, mereka menunjukkan bahwa integrasi analisis taksonomi dengan penanda molekuler mengungkapkan beberapa pola-pola tersembunyi dalam keanekaragaman jenis genus Porites. Kajian mereka menunjukkan bahwa kerangka karang secara evolusioner dapat mengalami plastisitas yang luar biasa, yang mungkin menjelaskan beberapa kesulitan taksonomi dan dapat mengaburkan pola-pola yang mendasari endemisitas dan keanekaragamannya. Seperti halnya pada penelitian ini, Sitokrom c oxidase subunit 1 (COI) mempunyai tingkat polimorfisme yang sangat rendah dan memiliki keterbatasan sebagai alat yang berguna untuk membedakan spesies karang Goniopora, namun, akan sangat informatif bila dikombinasikan dan dibandingkan dengan pendekatan. penanda genetik lainnya seperti daerah ITS ribosomal. Menurut Forsman (2009) Daerah ITS sangat informatif pada genus Porites dalam penelitian mereka, karena dapat membedakan divergensi pada tingkat spesies dan dapat menjadi alat yang berharga untuk menjelaskan pola evolusi dan keanekaragaman hayati pada karang. Karena ekosistem karang semakin terancam, ada kebutuhan untuk memahami ciri dan spesies karang dalam bentuk kelompok-kelompok interbreeding sebagai lawan unit .morfologi nominal. Pendekatan yang dilakukan
55 oleh Forsman et al. (2009) menunjukkan bahwa karakter morfologi yang diduga sebelumnya mampu melukiskan spesies yang diuji, harus diulang secara akurat untuk dapat memahami pola-pola evolusi, endemik, dan keanekaragaman hayati pada karang pembentuk terumbu. Definisi spesies hanya berdasarkan evolusi yang labil, polimorfik, atau sifat-sifat plastisitas fenotipik cenderung menyesatkan dan mengacaukan usaha-usaha untuk mengidentifikasi, memahami, dan melestarikan keanekaragaman hayati karang. Berdasarkan penelitian ini, walaupun masih belum dapat ditentukan secara tepat, penanda genetik mana yang paling akurat yang mampu menjelaskan karakteristik genotipik karang Goniopora spp. tetapi paling tidak dalam penerapan pengelolaan misalnya,untuk merehabilitasi terumbu karang yang rusak, maka pola dendrogram yang paling mendekati perbedaan dan persamaan fenotipiknya, dapat dijadikan acuan sementara, species mana saja yang mempunyai kemiripan secara genotipik yang dapat direkomendasikan jika akan melakukan suatu kegiatan transplantasi karang Goniopora. Sebagai contoh jika pada lokasi yang rusak dan perlu dilakukan rehabilitasi hanya ada spesies karang Goniopora stokesi, maka sebaiknya dilakukan transplantasi karang dari spesies yang sama, tetapi jika tidak ada spesies donor dari spesies yang sama, maka yang dianjurkan adalah melakukan transplantasi dari spesies G. columna, karena karang ini mempunyai kemiripan genotipik yang lebih dekat dengan karang G. stokesi, dan tidak dianjurkan untuk melakukan transplantasi dengan donor dari G. norfolkensis karena spesies ini mempunyai jarak genetik yang sangat jauh dari spesies G. stokesi, walaupun mungkin secara fenotipik dan secara taksonomis, spesiesspesies ini tidak menunjukkan perbedaan morfologik yang nyata dan masih dalam genus yang sama. Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan karakteristik genetik ini, akan berguna dalam upaya pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang yang rusak, yaitu dalam hal pemilihan atau penempatan donor dalam kegiatan transplantasi. Jika terdapat variasi genetik yang sangat ekstrim, maka donor harus dipertimbangkan dengan seksama, karena berpotensi mempunyai efek yang negatif bagi ekosistem yang telah ada sebelumnya, yaitu dapat terjadi dominansi,
56 agresivitas spesies karang tertentu, kompetisi intraspesifik, percepatan penyebaran penyakit pada karang, dan lain sebagainya.
Peranan Barkode DNA bagi Pengelolaan, Pemanfaatan, Perdagangan dan Konservasi Terumbu Karang Penggunaan Barkode DNA (DNA Barcoding / DBC) dengan penanda genetik COI bagi perdagangan dan konservasi hewan laut telah diterapkan pada beberapa spesies baru-baru ini, seperti pada perdagangan ikan hias (Steinke et al. 2009) dan konservasi beberapa spesies penyu (Vargas et al. 2009). Dengan tersedianya layanan barkode DNA yang mudah diakses dan komprehensif, maka masalah identifikasi ikan laut tropis yang biasanya sulit dilakukan dan membutuhkan para ahli taksonomi, menjadi lebih mudah dilakukan dan akan menguntungkan para pengumpul, grosir dan pengecer, serta lembaga yang melakukan kontrol pada peraturan perdagangan ikan hias (Steinke et al. 2009). Selain kegunaannya dalam taksonomi, metoda DBC diharapkan mampu memberikan manfaat dalam biologi konservasi, misalnya, saat melakukan survei keanekaragaman hayati. Bisa juga diterapkan ketika metode tradisional tidak efisien, seperti dalam identifikasi bentuk telur dan larva, dan dalam analisis isi perut atau ekskreta untuk menentukan jaring makanan (Stoeckle, 2003). Selain itu, juga mempunyai potensi digunakan dalam kasus forensik untuk mengidentifikasi sumber contoh jaringan yang diperoleh baik dari perdagangan ilegal atau penggunaan telur dan daging. Dengan demikian, metoda DBC dapat diterapkan pada daging dan telur penyu yang dimakan atau diperdagangkan sebagai sumber untuk mengindentifikasi spesies penyu tersebut. DBC dapat digunakan untuk melakukan survei dalam rangka konservasi penyu laut dan untuk memberikan sosialisasi (public awareness) baik bagi penduduk lokal dan konservasionis atas ancaman spesies pada tingkat lokal (Vargas et al. 2009). Namun hal tersebut masih belum dapat diterapkan dalam pengelolaan dan konservasi terumbu karang, karena belum adanya penanda genetik yang dapat diandalkan dan cocok untuk semua spesies karang. Niegel et al. (2007) menyatakan bahwa DBC dapat memecahkan beberapa masalah yang biasanya tidak dapat dipecahkan. Setidaknya, dapat membantu mengidentifikasi spesimen yang sulit untuk diidentifikasi dan sebagai manfaat
57 lainnya, dapat memfasilitasi penemuan spesies baru. Penggunaan dasar DBC ini harus memungkinkan untuk memasukkan lebih banyak spesies karang dalam survei keanekaragaman hayati dan mengurangi bias yang terjadi saat ini. DBC bisa menjadi alat yang penting dalam konservasi terumbu karang apabila tersedia database runutan COI yang sesuai. Selanjutnya Niegel et al. (2007) menambahkan, bagi beberapa kelompok taxa lainnya, runutan selain COI terbukti telah menjadi standar bagi penggunaan DBC. Runutan selain COI pasti sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik spesies Porifera, Anthozoa dan kelompok lainnya di mana runutan mitokondria pada kelompok ini berevolusi terlalu lambat untuk membedakan spesies. Namun, bahkan untuk kelompok di mana COI tidak dapat memberikan spesifikasi spesies, tetapi masih dapat berguna untuk menetapkan spesimen pada tingkat genus atau familia. Untuk beberapa tujuan, hal ini mungkin dapat memadai. Tetapi untuk tujuan yang memerlukan ketelitian yang lebih tinggi, identifikasi kasar COI bisa berfungsi sebagai titik awal (starting point) di luar runutan dari lokus tambahan, yang dapat digunakan untuk memberikan pemecahan masalah pada tingkat spesies. Penanda genetik yang telah disetujui secara ilmiah dapat digunakan sebagai Barkode DNA (DBC). DBC dapat diaplikasikan dalam perdagangan karang (hias), yaitu dapat meminimalisasikan kesalahan dalam penentuan kuota perdagangan spesies karang (hias) yang direkomendasikan oleh CITES pada tingkat lokal (regional), membantu dalam pengawasan (monitoring) perdagangan karang dan pencegahan perdagangan karang ilegal. Dalam usaha pembudidayaan karang untuk perdagangan dapat diketahui karang yang berasal dari penangkaran atau karang yang diambil dari alam (wild coral), karena dengan diberlakukannya DBC untuk semua indukan (parental) karang yang ditangkarkan, maka turunan berikutnya (F1/F2) juga dapat dikenali berdasarkan barkode DNA yang sesuai dengan induk nya. DBC juga dapat dijadikan alat bukti jika terjadi perdagangan karang ilegal, dapat dipakai sebagai alat identifikasi spesies karang yang sulit untuk diamati secara morfologik dan spesies karang yang langka (endemik), dan juga dapat dipakai dalam bidang konservasi karang untuk menentukan jenis karang mana yang tahan terhadap kenaikan temperatur air laut atau tahan terhadap tekanan lingkungan lainnya.
58 Van Oppen dan Gates (2006) menyatakan bahwa faktor penting bagi ketahanan (resilience) terumbu karang adalah konektivitas antara dan di dalam terumbu karang. Pertukaran larva menciptakan dan mempertahankan tingkat keragaman genetik yang tinggi, yang sangat penting dalam hal ketahanan terhadap gangguan. Migran dapat membawa alel baru yang akan terintegrasi ke dalam populasi melalui reproduksi, menciptakan kombinasi gen yang lebih tahan terhadap gangguan. Penyebaran selektif alel-alel yang menguntungkan pada lokus DNA yang terlibat dalam tanggapan fisiologis seperti resistensi pemutihan (bleaching) dan potensi lainnya segagai konsekuensi dari migrasi. Peran genetika dalam konservasi biologi, dan dalam ekologi secara umum, telah sangat meningkat selama dua dekade terakhir, dan data yang tersedia dalam bidang ini mulai berkembang, terutama untuk karang-karang pembentuk terumbu. Diharapkan bahwa genetika dan biologi molekular dapat dikombinasikan dengan data fisiologis dan ekologis, sehingga dapat memberikan perspektif multifaset ketahanan karang pembentuk terumbu. Dengan demikian, data ini merupakan komponen berharga dalam bidang konservasi terumbu-karang. Filogenetika, filogeografi populasi dan analisis genetika yang berguna sebagai indikator dari sejarah populasi di alam dan prognosis untuk masa depan. Lebih lanjut, karakterisasi tanggapan stres pada tingkat molekuler dapat menyebabkan pengembangan tes diagnostik untuk deteksi dini tanggapan stres pada karang dan cepat mengidentifikasi pemicu stress yang tepat dan bertanggung jawab atas degradasi ekosistem terumbu-terumbu karang tertentu.
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Berdasarkan karakteristik morfologi yang dilakukan, ternyata dapat disimpulkan bahwa lima koloni karang yang diambil dari perairan Kepulauan Seribu ternyata kelima-nya berbeda species yaitu : Goniopora stokesi,
Goniopora
palmensis,
Goniopora
columna,
Goniopora
norfolkensis dan Goniopora tenuidens. 2.
Berdasarkan penanda genetik COI dan ITS yang digunakan, terdapat perbedaan karakteristik genotipik, yaitu susunan dan jumlah nukleotida, jarak genetik serta phylogenik pada masing-masing spesies karang Goniopora spp.
3. Berdasarkan dendrogram hasil dari penelitian ini, penanda genetik ITS lebih mendekati kemiripan dengan fenotipik (morfologik) kelima species karang Goniopora spp. yang diidentifikasi. 4. Berdasarkan dendrogram hasil dari penelitian ini, penanda genetik ITS lebih tepat menggambarkan perbedaan kelompok kedua genus karang yang dibandingkan, yaitu terbentuknya dua klaster utama antara genus Goniopora dan genus Porites 5.
Berdasarkan hasil penelitian ini, gen mtDNA COI pada karang relatif hanya dapat dipakai pada tingkatan genus atau tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan gen rDNA yaitu daerah ITS ribosomal relatif dapat dipakai sebagai marka genetik pada tingkatan spesies, tetapi harus digunakan marka gen lainnya sebagai kontrol atau pembanding, karena hasil dendrogramnya sangat beragam.
6.
Marka atau penanda genetik yang digunakan dalam Barkode DNA memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat identifikasi dalam regulasi perdagangan karang, khususnya karang hias seperti Goniopora spp., juga dalam usaha pengelolaan dan konservasi terumbu karang.
60 Saran 1.
Saat hendak mengambil sampel sebaiknya sudah ditentukan jenis dan jumlah spesies target secara detail, serta perlunya pengambilan foto bawah air untuk masing-masing koloni agar dapat membantu identifikasi morfologik dengan lebih tepat.
2.
Perlu memperbanyak pengambilan sampel inter koloni (intra spesies, intra genus) di lokasi yang berbeda dalam satu wilayah dalam radius yang dekat untuk meyakinkan identifikasi secara morfologik dan genetik.
3.
Penelitian mengenai genetik karang merupakan suatu hal yang baru, sebagai tantangan bagi ilmu pengetahuan dan sangat bermanfaat dalam pengelolaan terumbu karang, sehingga perlu dilakukan kajian genetik jenis karang lainnya untuk mendapatkan data awal genetik karang yang selanjutnya dapat dibuat pemetaan filogeografik karang tropis di perairan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong J, Crawford J. 1998. Convention on international trade in endangered species of wild fauna and flora. In: Hatziolos ME, Hooten AJ, Fodor M. (eds) Coral reefs, challenges and opportunities for sustainable management. Proc. 5th Annual World Bank Conference on Environmentally and Socially Sustainable Development,The World Bank, Washington, D.C., pp. 65-67. Baker AC, Rowan R. 1997 Diversity of symbiotic dinoflagellates (zooxanthellae) in scleractinian corals of the Caribbean and Eastern Pacific. Proc 8th Int Coral Reef Symp 2: 1301–1306 Barnes D, Lough J. 1992. Systematic variations in the depth of skeleton occupied by coral tissue in massive colonies of Porites from the Great Barrier Reef. J. exp. mar. Biol. Ecol. 159: 113–128. Barnes DJ, Lough JM. 1999. Porites Growth Characteristics In A Changed Environment: Misima Island, Papua New Guinea. Coral Reef 18: 213 – 218. Beauchamp KA, Powers DA. 1996. Sequence variation of the first internal spacer (ITS-1) of ribosomal DNA in ahermatypic corals from California. Mol Mar Biol Biotechnol 5:357–362. Bellwood DR, Hughes TP, Folke C, Nyström M . 2004. Confronting the coral reef crisis. Nature 429:827–833 Brown BE, Howard LS. 1985. Assessing the effect of ‘stress’ on coral reefs. Adv. Mar. Biol. 22: 1-63. Bryant D, Burke L, McManus J, Spalding M. 1998. Reefs at Risk: A Map-Based Indicator of Threats to the World's Coral Reefs. Washington, D.C.: World Resources Institute. Burke L, Selig E, Splading M. 2002. Reef at Risks in Southeast Asia. World Resources Institute, Washington DC, USA.40 hlm Byatt A, Fothergill A , Holmes M. 2001. The Blue Planet: A Natural History of The Oceans. BBC Worldwide ltd, London. Caporale DA, Beal BF, Roxby R, Beneden RJ. 1997. Population structure of Mya arenaria along the New England coastline. Mol Mar Biol Biotechnol 6:33–39.
62 Chen CA, Odorico DM, ten Lohuis M, Veron JE, and Miller DJ. 1995. Systematic relationships within the Anthozoa (Cnidaria: Anthozoa) using the 5'-end of the 28S rDNA. Mol. Phylogenet. Evol. 4:175-183. Chen CA, Willis BL, Miller DJ. 1996. Systematic relationships between tropical corallimorpharians (Cnidaria: Anthozoa: Corallimorpharia): utility of the 5.8S and internal transcribed spacer (ITS) regions of the RNA transcription unit. Bull Mar Sci 59:196–208. [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora (CITES), dalam http://www.cites.org [26 September 2009]. Constanza R et al. 1998. Principles for Sustainable Governance of the Oceans. Science Vol 281: 198-199 Dasmahapatra KK, Mallet J. 2006. DNA barcodes: recent successes and future prospects. Heredity 97: 254–255. Douglas AE. 2003. Coral bleaching – how and why? Mar Poll Bull 46: 385-392. Duryadi D. 1993. Role possible du comportement dans l’evolution de Deux Souris Mus macedonicus et Mus spicilequs en Europe Centrale [thesis doctorat]. France: Montpellier II, Sciences et Technique du Languadoc. Erpenbeck D, Hooper JNA. Worheide G. 2006. CO1 phylogenies in diploblasts and the ‘Barcoding of Life’—are we sequencing a suboptimal partition? Mol Ecol Notes 6: 550–553. Estradivari, Syahrir, M, SusiloN, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu Karang Jakarta Laporan Pengamatan Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), Jakarta. 87 hlm Flot J, Tillier S. 2006. Molecular phylogeny and systematics of the scleractinian coral genus Pocillopora in Hawaii. Proc of 10th Int Coral Reef Symp:2429. Floyd R, Abebe E, Papert A, Blaxter M. 2002. Molecular barcodes for soil nematode identification. Mol Ecol 11: 839–850. Forsman ZH, Barshis DJ, Hunter CL, Toonen RJ. 2009. Shape-shifting corals: Molecular marker show morphology is evolutionary plastic in Porites. BMC Evol Biol 9: 1-9. Frank U, Mokady O. 2002. Coral Biodiversity and Evolution: recent molecular contribution. Can. J. Zool. 80:1723-1734.
63 Frezal L, Leblois R. 2008. Four years of DNA Barcoding: Current advances and prospects. Infect. Genet. 30. MEEGID-450: 1-0. Fritz GN, Conn J, Cockburn A, Seawright J. 1994. Sequence analysis of the ribosomal DNA internal transcribed spacer 2 from populations of Anopheles nuneztovari (Diptera: culicidae). Mol Biol Evol 11:406–416. Fukami H, Omori M, Hatta M. 2000. Phylogenetic Relationships in the Coral Family Acroporidae, Reassessed by Inference from Mitochondrial Genes. Biol Ssi 17: 689-696. Fukami H, Budd AF, Paulay G, Sole-Cava A, Chen CA, Iwao K, Knowlton N. 2004. Conventional taxonomy obscures deep divergence between Pacific and Atlantic corals. Nature 427:832-832. Funk DJ, Helbling L, Wernegreen JJ, Moran NA. 2000. Intraspecific phylogenetic congruence among multiple symbiont genomes. Proc R Soc B 267: 2517– 2521. Green EP, Hendry H. 1999. Is CITES an effective toll for monitoring trade in corals? Coral Reefs 18: 403-407. Green EP, Shirley F. 1999. The global trade in corals. World Conservation Press, Cambridge, UK. 70 hlm. Hebert PDN, Ratnasingham S, deWaard JR. 2003. Barcoding animal life: cytochrome c oxidase subunit 1 divergences among closely related species. Proc. R. Soc. Lond. B 270: 596–599. Hillis DM, Dixon MT. 1991. Ribosomal DNA: Molecular Evolution and Phylogenetic Inference. Quart Rev Bio 66:411-453 Hodgson G. 1999. A global assessment of human effects on coral reefs. MarPoll Bull 38: 345-355. Hoegh-Guldberg, O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world’s coral reefs. Mar Freshwater Res 50: 839–866. Iguchi K, Tanimura H, Nishida M. 1999. Genetic variation and geographic population structure of amphidromous Ayu Plecoglossus ativelis as examined by mitochondrial DNA sequencing. Fish Sci 65: 63-67 Kim E, Lasker HR, Cooforth A, imK K. 2004. Morphological and Genetic variation across reef habitats in broadcast-spawning octocoral. Hydrobiologia 530/531:423-432.
64 Kleemann, K. 2002. Tropical Marine Biology II Classification of Scleractinian (Stony Corals http://www.sbg.ac.at/ipk/avstudio/pierofun/coral/family. htm [20 Agustus 2009] Klemm EB, Reed SA, Pottenger FM, Porter C, Speitel TW. 1995 A Closer Look: Identifying Coral Species. HMSS The Living Ocean. Honolulu, University of Hawaii. hlm 179-83. Knowlton N. 2001. The future of coral reefs. Proc Natl Acad Sci: 5419– 5425. Kress WJ, Wurdack KJ, Zimmer EA, Weigt LA, Janzen DH. 2005. Use of DNA barcodes to identify flowering plants. Proc Natl Acad Sci USA. 102: 8369– 8374. Lane CE, Lindstrom SC, Saunders GW. 2007. A molecular assessment of northeast Pacific Alaria species (Laminariales, Phaeophyceae) with reference to the utility of DNA barcoding. Mol Phylogenet Evol 44: 634– 648. Lazoski C, Sole-Cava AM, Boury-Esnault N, Klautau M, Russo CAM. 2001. Cryptic speciation in a high gene show scenario in the oviparous marine sponge Chondrosia reniformis. Mar Biol 139:421–429. Lopez JV, Kersanach R, Rehner SA, Knowlton N. 1999. Molecular determination of species boundaries in corals: genetic analysis of the Montastraea annullaris complex using amplified fragment length polymorphisms and a microsatellite marker. Biol Bull 196: 80–93 McClanahan, Timothy R., 2001. The Near Future of Coral Reefs. Environmental Conservation vol 2. hlm 460-483. Medina M, Weil E, Szamnt AM. 1999. Examination of the Montastraea annularis species complexs (Cnidaria:Scleractinia) using ITS and COI Sequences. Mar. Biotech. 1: 89-97. Melton T. 1999. Learn about Mitocondrial DNA. LLC. Mytotyping Tech. Mikkelsen PM, Cracraft J. 2001. Marine biodiversity and the need for systematic inventories. Bull Mar Sci 69:525–534 Niegel J, Domingo A, Stake J. 2007. DNA barcoding as a tool for coral reef conservation. Springer-Verlag. Coral Reefs. DOI 10.1007/s00338-0070248-4: 13 hlm. Nybakken JW. 1997. Marine Biology: An Ecological Approach 4th ed. AddisonWesley Educational Publisher Inc. USA. 338-388, 395-403.
65 O'Donnell K, Cigelnik E. 1997. Two divergent intragenomic rDNA ITS-2 types within a monophyletic lineage of the fungus Fusarium are nonorthologous. Mol Phylogenet Evol 7:103-116 Odorico DM, Miller DJ .1997. Variation in the Ribosomal Internal Transcribed Spacers and 5.8S rDNA Among Five Species of Acropora (Cnidaria;Scleractinia): Patterns of Variation Consistent with Reticulate. Evol Mol Biol Evol 14:465-473 P20-LIPI. 2008. Kondisi Sebaran Terumbu Karang di Indonesia. LIPI. Jakarta. (www.coremap.or.id). Peach MB, Hoegh-Guldberg O. 1999. Sweeper polyps of the coral Goniopora tenuidens (Scleractinia: Poritidae). Invertebr Biol 118:1–7. Pearse VB, Muscatine L. 1971. Role of symbiotic algae (zooxanthelalae) in coral calcification. Biol Bull 141: 350-363. Philip E, Fabricius KE. 2003. Photophysiological Stress In Sclerectinian Corals In Response To Short Term Sedimentation. J Exp Mar Biol and Ecol 287: 57 – 78. Ratnasingham S, Hebert PDN. 2007. BOLD: The Barcode of Life Data System (www.barcodinglife.org). Mol Ecol Notes 7: 355–364. Romano SL, Palumbi SR. 1996. Evolution of scleractinian corals inferred from molecular systematics. Science 271:640–642 Rosen BR. 1984. Reef coral biogeography and climate through th late Cainozoic: just islands in the sun or a critical pattern of Islands in Brenchey P. (ed). Fossils and Climate, John Wiley and Sons: hlm 201-262 Rowan R. 1998. Diversity and ecology of zooxanthellae on coral reefs. J. Phycol. 34:407–417. Saunders GC, Parkes HC. 1999. Analytical Molecular Biology Quality and Validation. Laboratory of the Government Chemist, Teddington, UK. hlm 47-57. Saunders GW. 2005. Applying DNA barcoding to red macroalgae: a preliminary appraisal holds promise for future applications. Philos Tran R Soc Lond B 360: 1879–1888. Schindel DE, Miller SE. 2005. DNA barcoding a useful tool for taxonomists. Nature 435: 17–117. Schuhmacher H, Zibrowius H. 1985. What is Hermatipic? A redefinition of ecological group in corals and other organisms. Coral Reefs 4:1-9.
66 Shearer TL, van Oppen MJ, Romano SL, Worheide G. 2002. Slow mitochondrial DNA sequence evolution in the Anthozoa (Cnidaria). Mol Ecol 11:24752487. Shearer TL, Coffroth MA. 2006. Genetic identification of Caribbean scleractinian coral recruits at the Flower Garden Banks and the Florida Keys. Mar Ecol Prog Ser 306:133–142 Sorokin, Yuri I. 1995. Coral Reef Ecology. Ecological Studies; vol. 102. Springer Verlag. Berlin Heidelberg. New York. Steinke D, Zemlak TS, Hebert PDN. 2009. Barcoding Nemo: DNA-Based Identifications for the Ornamental Fish Trade. PLoS one 4: 1-5. Stoeckle M. 2003. Taxonomy, DNA, and the Bar Code of Life. Bioscience 53:796-797. Strugnell JM, Lindgren AR. 2007. A barcode of life database for the Cephalopoda? Considerations and concerns. Rev Fish Biol Fish 17: 337–344. Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. P3O- LIPI. Jakarta. hlm. 2-13. Sumich JL. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Fifth Edition. Wm.C.Brown Publisher. USA. Sunnuck P. 2000. 15:199-205
Efficient genetic markers for population biology.
Tree
Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Mol Biol Evol, 24:1596-1599. Takabayashi M, Carter DA, Loh WK, Hoegh-Guldberg O. 1998. A coral-specific primer for PCR amplification of the internal transcribed spacer region in ribosomal DNA. Mol Ecol 7:928-930 Teletchea F, Bernillon J, Duffraisse M, Laudet V, Hanni C. 2008. Molecular identification of vertebrate species by oligonucleotide microarray in food and forensic samples. J. Appl. Ecol. (doi:10.1111/j.1365-2664.2007. 01415.x). Todd PA. 2008. Morphological plasticity in scleractinian corals. Biol. Rev. 83:315–337. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A. Moosa. MK. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part II. Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore. hlm 643-781
67
van Oppen MJH, Willis BL, Miller DJ. 1999. Atypically low rate of cytochrome b evolution in the scleractinian coral genus Acropora. Proc Biol Sci, 266:179-183. van Oppen MJH, Catmull J, McDonald BJ, Hislop NR, Hagerman PJ, Miller. 2002. The mitochondrial genome of Acropora tenuis (Cnidaria; Scleractinia) contains a large group I intron and a candidate control region. J Mol Evol 55:1-13 van Oppen MJH, Gates RD. 2006. Conservation genetics and the resilience of reef-building corals. Mol Ecol 15: 3863–3883 Vargas SM, Araújo FCF, Santos FR. 2009. DNA barcoding of Brazilian sea turtles (Testudines). Genetics and Molecular Biology. Sociedade Brasileira de Genética, Brazil. hlm 1-4. Veron JEN. 1986. Coral of Australia and the Pacific. University of Hawaii Press. Honolulu. 644 hlm Veron JEN. 1995 Corals in Space and Time The Biogeography and Evolution of the Scleractinia. Australian Institute of Marine Science, Cape Ferguson, Townsville, Queensland, UNSW Press, hlm. 17, 26-31, 77-88. Veron, JEN. 2000. Corals of the World, vol. 3 (ed. M. Stafford-Smith). Townsville, Australia: Australian Institute of Marine Science, hlm. 348379, 399, 457-458. Vollmer S, Palumbi SR. 2004. Testing the utility of ITS sequences in coral. Mol Ecol 13: 2763-2772. Vollmer S, Palumbi SR. 2006. Restricted Gene Flow in the Carribean Staghorn Coral Acropora cervicornis: Implication for the recovery of endangered reefs. Journal of Heredity 98:40-50. Walton C, Sharpe RG, Pritchard SJ, Thelwell NJ. Butlin RK. 1999. Molecular identification of mosquito species. Biol J Linn Soc 68: 241–256. [WCMC] World Conservation Monitoring Centre. 1996. A guide to interpreting outputs from the WCMC CITES trade database version 3.1 September, World Conservation Monitoring Centre, Cambridge, UK. 25 hlm White TJ, Gruns TL, Taylor WJ .1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics. In PCR Protocols: A guide to methods and applications (ed. M. A. Innis, D. H. Gelfand, J. J. Sninsky, and T. J. White). San Diego: Academic Press
68 Whitworth, TL, Dawson RD, Magalon H, Baudry E. 2007. DNA barcoding cannot reliably identify species of the blowfly genus Protocalliphora (Diptera: Calliphoridae). Proc. R. Soc. Lond. B 274: 1731–1739. Wilkinson C. 1993. Coral reefs are facing widespread devastation: can we prevent this through sustainable management practices? Proceedings of the 7th International Coral Reef Symposium, Guam, 1992, Volume 1. hlm11-21.
70 Lampiran 1 Karakteristik morfologik sampel karang Goniopora spp. yang diidentifikasi Contoh Koloni karang hidup : Koloni karang saat polip terjulur menutupi bentuk lifeform karang. Polip panjang & berdaging
Koloni Goniopora columna
Koloni karang saat polip ditrarik kedalam (retracted) memperlihatkan bentuk lifeform karang sub masif
Polip Goniopora columna Oral disc yang besar dengan oral cone yang berwarna ungu kebiruan
Polip Goniopora columna
Polip karang yang panjang dan berdaging terjulur sepanjang hari Tentakel pada masingmasing polip berjumlah 24 buah
Morfometrik kerangka karang Goniopora
Koralit Goniopora palmensis
Lobus Paliform
Calice Septum (septa) Columella Dinding Koralit (Theca)
a) Kerangka kapur G. stokesi Koralite
3 mm
71 Lampiran 1 lanjutan
a) Kerangka kapur G. stokesi
3mm
b) Perbesaran koralit G. stokesi
c) Perbesaran kuat koralit G. stokesi
72
Lampiran 1 lanjutan
a) Kerangka kapur G. palmensis
3mm
b) Perbesaran Koralit G. palmensis c) Perbesaran kuat Koralit G. palmensis
73
Lampiran 1 lanjutan
a) Kerangka kapur G. columna
3mm
b) Perbesaran koralit G. columna
c) Perbesaran kuat koralit G. columna
74 Lampiran 1 lanjutan
a) Kerangka kapur G. norfolkensis 3mm
b) Perbesaran koralit G. norfolkensis
c) Perbesaran kuat koralit G. norfolkensis
75 Lampiran 1 lanjutan
a) Kerangka kapur G. tenuidens
3mm
b) Perbesaran koralit G. tenuidens
c) Perbesaran kuat koralit G. tenuidens
76 Lampiran 2 Lokasi penempelan Primer GJWCOIF dan GJWCOIR pada runutan basa nukleotida gen COI pada Porites porites (Kode akses GenBank NC_008166) Porites porites mitochondrion, NC_008166 ="cytochrome c oxidase subunit I" 13436..15978/gene="COX1" Primer GJWCOIF : 5’-CTCGGTACAGCCTTCAGTATGTTA-3’ Primer GJWCOIR : 3’-TTTGGGCATCCTGAAGTTTATATT-5’
13441 13501 13561 13621 13681 13741 13801 13861 13921 13981 14041 14101 14161 14221 14281 14341 14401 14461 14521 14581 14641 14701 14761 14821 14881 14941 15001 15061 15121 15181 15241 15301 15361 15421 15481 15541 15601 15661 15721 15781 15841 15901 15961
atgaa aagtttatat tttagtattt agagctctcg agcacacgct gaattggttg cattagtttt acaaggagcg tggcggggcg gggtgcaatg tagaatgccc gcccgtatta ctttgatccc gcatcctgaa aacttttgtt aattggtatt ttgaaaatag caaatgtttg ctagggtcaa gaggagtttt taatttcgca ttaccaaaaa gtgtagggga gctttttaaa gtttggggtt tttttgaaaa agcatagtgg gtcttaaaga ttaataaaaa ccataaatct gatgaaaagt aagctcggat gggatggatg actggaataa actcctatgc gttgtattag cattttcatt tgagtaggga ttaatgttta ttcccaagac ttgggctcta tatgtttgag ttagaatggg aaagagaatg
ttaattcgct gggattgggg gctccggggg tttattatga gttccattat tggctgttac ggtaccggat gtggatatgg aattttataa ttatttgtgt gcgggggcca gcaggggggg gtttatattt gctaaaaagc ttaggtttta taatattttt gccgacaaga tcagtgggaa agggtcctta agatttttat aaagttttat ggctcagctt gtcgaatgtc tttattggct ttgatttgtg gaagaagggt ttgatttgtt agataatttt ttttaagaaa aaatgaaaaa aagttccgac tggacacaag aagtgtttag tttgggcaat caaatagttc atgtgctctc aaataacggg taggtgtcaa ggtattctga ctatttcaat aagagcaatt ttcatgtttc aggtatag
gggcgttttc caggtatgct ctatgttagg tctttttttt atattggggc cccctgcttt gaacggttta ctatttttag caactatatt ggtcaatctt taaccatgct gagatccgat taatattacc aaatttttgg ttgtgtgggc gagctttgtc tttttatctt actaagaccc gagactgcat tgatgaatgg ggtgtcagag ctttattaca tcagaaaggt tttactttgg gggcaagttg gctcaaaaag ttggagcaac tatatttgag cattctttat ttttaaaacg gtggggggga agcatatttt ttggctggcc ggggtttgtt tttggatgtt tatgggagcc gtattgttat tttgactttt ttttgcagat aataggagtc tgttggttga tcctccttta
tactaaccat cggtacagcc agacgatcat ggttatgcca gcctgatatg aatattgtta tcctcctcta tctccactta taatatgagg gatcactgct tttaacggat tttatttcaa tggctttgga atacttaggt ccatcatatg ctgctatata ataaattaag tttttggtgg gcaggagatt ggtttgtgga gctttggtat taaaatgccg tttatcttat gtggctctca atggcggggg aagtcgtttt ttaaaggtgg agggaaatca gaactaagaa aaagaagagg tttctataat actgcagcaa actatctttg tttttattta gttttacatg gtttttgcta aatgagctct ttccctcaac tcttttgctg atttttttca actgatgagg gttcacacat
aaagacattg ttcagtatgt ctttataatg gtaatgatag gcttttccac ttaggttctg tctagcattc gctggggcgt gcccctgggc tttttattat agaaacttta catttgtttt atgatttctc atggtttatg tttacggttg ctggcaaaat gcggcaaaga atcttttttt tagacttaat aattgttggc aatgttttca atttgaaaat agataaaaag ggggggcttt tctttttatt gttttttgta attaagtggg gagggggttt aaaaatagct ttgagattaa ggtttcctta ctatgattat gaggaacttt cattgggtgg acacatatta tttttggtgg atggcaaggt attttttggg gttggaattt tatatattat gcgatgagag atgaggaatt
gtacgttata taataagatt taattgttac ggggatttgg ggcttaataa cttttgtcga aggcccattc cctcgatttt taacgttgaa tattgtcttt atactacttt ggttctttgg aaataatacc caatgctttc tttttagcca cttttgaaaa ttgggttttc ttctgagaaa aatcagtttt tggggtttta atctggcgta ggacatgtgg cctacactta cctgttgggt attaatttta atggcacaag gggtatcggt ttgattaggg tttttaaagt ggtacagtcc atatattagt tgctgtgcca aagattagac tttgactgga tgttgtggct gttttatttt ccatttttgg cttgtcgggc ggttagctct ttatgatatc ttggacttct accttttatt
Keterangan : primer GJWCOIF menempel pada posisi ke-94 sampai dengan 117 dari gen COI utuh (13529 – 13552) sedangkan primer GJWCOIR menempel pada posisi ke-721 sampai dengan 744 (14156–14179) gen COI utuh dari Porites porites (GenBank kode akses NC_008166)
77 Lampiran 3 Lokasi penempelan Primer ITSZF dan ITSZR pada runutan basa nukleotida daerah gen ITS 18S rRNA, ITS1, 5.8S rRNA, ITS2, 28S rRNA, runutan parsial dan lengkap, Goniopora columna isolat: KENGonc (Kode akses GenBank: AB441414)
1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961
actaccgatt cggcggatgc ggtttccgta tgggttttca gcgcgtgggc gaactgtaac ggatctcttg gcagaattca agcatgtctg aggtgtcacg gccgcacgcg agtgcgtagg agtttttgtt cgctgaattt acagcgagtg gtagttgcga gtcatagagg
gaatggttta cgggaagttg ggtgaacctg gtgtgaattg gtgtgcgacg gtttggactg gctcacgtat gtgaatcatt tctgagtgtc gagagtggaa ctattatttt ctaaaataca catgtttttg aagcatatta aagcgggaac gaagcacttt gtgacaaccc
gtgaggcctt gtcaaacttg cggaaggatc taaattcaat cacacgtccg aaagtgaata cgatgaagaa gaatctttga ggatatctta acaactcagg ttttaatagc aattcctccg aaacaaccta ataagcggag agctcaaatt ctaggcggat cgtctgtggc
ctgactggcg atcatttaga attaccgatc ttttaggggt cacgtcagcc cgaaaaaaaa cgcagccagc acgcaaatgg cgaagcgatc ccgtgtccct gagtgacctc tgctaccatg aatcttgacc gaaaagaaac tgaaatctcc cggtggtgcc acgaccggcc
ccgctactct ggaagtaaaa gaggcatcca cggcgagatg ccgccattgt gagagacaac tgcgataagt cgctcttggg gtgcatcgat cgaaaggagg tatgaaaaag atgtagaggt tcagatcagg taacaaggat gacgcttgcg taagttgctt gctcacgatg
ggcaacagag gtcgtaacaa aaacctgtca ccgttaaatg ttttgtcatc ttttgacggt agtgtgaatt ttctcccagg tgcggaattg cagctgcgga tcatgggttc tttgggtccc caaggctacc tccctcagta tcggcgactt ggaacagtac tgctttcgaa
KETERANGAN: Hasil Alignment G. columna dengan G.sp. ZHF-2009 18S rRNA = 1 - 158 ITS 1 = 159 – 344 5.8S rRNA = 345 – 513 ITS 2 = 514 - 752 28S rRNA = 753 – 1020 Forward primer (ITSZF) = 5’-taa aag tcg taa caa ggt ttc cgt a-3’ Reverse primer (ITSZR) = 5’-cct ccg ctt att gat atg ctt aaa t-3’ Product PCR = 706 bp
Keterangan : primer ITSZF menempel pada posisi ke-106 sampai dengan 130 (yaitu di daerah 18S RNA) sedangkan primer ITSZR menempel pada posisi ke-787 sampai dengan 811 (daerah 28 S RNA)
Lampiran 4 Penjajaran berganda nukleotida (612 nt) pada gen sitokrom oksidase sub unit 1 (COI) parsial karang Goniopora spp !Domain=Data property=Coding CodonStart=1; [ 111 111 [ 123 456 789 012 345 #Goniopora_stokesi ATA AGA TTA GAG CCC #Goniopora_palmensis ... ... ... ... .T. #Goniopora_columna ... ... ... ... .T. #Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... .T. #Goniopora_tenuidens ... ... ... ... .T.
111 678 TCG ... ... ... ...
122 901 GCT ........-
222 234 CCA .A. T.C T.C T.C
222 567 GGG ... ... ... ...
223 890 GAC AG. .CT .G. .G.
333 123 TAT ... ... ... ...
333 456 GTT ... .CC ... ...
333 789 AGG ... ... ... ...
444 012 AGA ... ... ... ...
444 345 CGA ... ... ... ...
444 678 TCA ... ... ... ...
455 901 TCT ... ... ... ...
555 234 TTA ... ... ... ...
555 567 TAA ... ... ... ...
556 890 TGT .A. ... ... ...
666 123 AAT ... ... ... ...
666 456 TGT ... C.. ... ...
666 ] 789 ] TAC ... ... ... ...
[ [ [ #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens
777 012 GGC ... ... ... ...
777 345 ACA ... ... ... ...
777 678 CGC ... ... ... ...
788 901 TTT ... ... ... ...
888 234 TAT ... ... ... ...
888 567 TAT ... ... ... ...
889 890 GAT ... ... ... ...
999 123 CTT ... ... ... ...
999 456 TTT ... ... ... ...
999 789 TTT ... ... ... ...
111 000 012 AGT ... ... G.. ...
111 000 345 TAT ... ... ... ...
111 000 678 GCC ... ... ... ...
111 011 901 AGT ... ... ... ...
111 111 234 GAT ... ... ... ...
111 111 567 GAT ... ... ... ...
111 112 890 AGG ... ... ... ...
111 222 123 GGG ... ... ... ...
111 222 456 ATT ... ... ... ...
111 222 789 TGG ... ... ... ...
111 333 012 AAA ... ... ... ...
111 333 345 TTG ... ... ... ...
111 ] 333 ] 678 ] GTT ... ... ... ...
[ [ [ #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens
111 344 901 GGT ... ... ... ...
111 444 234 TCC ... ... ... ...
111 444 567 ACT ... ... ... ...
111 445 890 ATA ... ... ... ...
111 555 123 TAT ... ... ... ...
111 555 456 TGG ... ... ... ...
111 555 789 GGC ... ... ... ...
111 666 012 CCC ... ... ... ...
111 666 345 TGA ... ... ... ...
111 666 678 ATT ... TA. TA. TA.
111 677 901 GCC ... .G. .G. .G.
111 777 234 TCA A.. .T.T.T-
111 777 567 TCC ... ... ... ...
111 778 890 CAC ... ... ... ...
111 888 123 GGC T.T ... ... ...
111 888 456 GGA ... .T. TT. TT.
111 888 789 TCA ... A.. AT. AT.
111 999 012 ACG ... ... ..A ..A
111 999 345 GGA ..C TT. TT. TT.
111 999 678 ATC ... G.T G.T G.T
122 900 901 CTG ... T.T T.T T.T
222 000 234 GGC ... ... ... ...
222 ] 000 ] 567 ] TGT ... ... ... ...
[ [ [ #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens
222 001 890 AGC ..A T.. T.. T..
222 111 123 CCA .T. ... ..C ...
222 111 456 CTG ... ... ... ...
222 111 789 CTT ... ... ... ...
222 222 012 TAA ... ... ... ...
222 222 345 TAT ... ... ... ...
222 222 678 TGT ... ... ... ...
222 233 901 TAT ... ... ... ...
222 333 234 TAG ... ... ... ...
222 333 567 GTT ... ... ... ...
222 334 890 CTG ... ... ... ...
222 444 123 CTT ... ... ... ...
222 444 456 TTG ... ... ... ...
222 444 789 TTG ... ... ... ...
222 555 012 AAC ... ... ... ...
222 555 345 AAG ... ... ... ...
222 555 678 GGG ... ... ... ...
222 566 901 CGG ... ... ... ...
222 666 234 GTA ... ... ... ...
222 666 567 CCG ... ... ... ...
222 667 890 GAT ... ... ... ...
222 777 123 GAA ... ... ... ...
222 ] 777 ] 456 ] CGG ... ... ... ...
78
Lampiran 4 lanjutan [ [ [ #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens
222 777 789 TTT ... ... ... ...
222 888 012 ATC ... ... ... ...
222 888 345 CTC ... ... ... ...
222 888 678 CTC ... ... ... ...
222 899 901 TGT ... ... ... ...
222 999 234 CTA ... ... ... ...
222 999 567 GCA ... ... ... ...
223 990 890 TTC ... ... ... ...
333 000 123 AGG ... ... ... ...
333 000 456 CCC ... ... ... ...
333 000 789 ATT ... ... ... ...
333 111 012 CTG ... ... ... ...
333 111 345 GCG ... ... ... ...
333 111 678 GGG ... ... ... ...
333 122 901 CGG ... ... ... ...
333 222 234 TGG ... ... ... ...
333 222 567 ATA ... ... ... ...
333 223 890 TGG ... ... ... ...
333 333 123 CTA ... ... ... ...
333 333 456 TTT ... ... ... ...
333 333 789 TTA ... ... ... ...
333 444 012 GTC ... ... ... ...
333 ] 444 ] 345 ] TCC ... ... ... ...
[ [ [ #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens
333 444 678 ACT ... ... ... ...
333 455 901 TAG ... ... ... ...
333 555 234 CTG ... ... ... ...
333 555 567 GGG ... ... ... ...
333 556 890 CGT ... ... ... ...
333 666 123 CCT ... ... ... ...
333 666 456 CGA ... ... .T. ...
333 666 789 TTT ... ... ... ...
333 777 012 TGG ... ... ... ...
333 777 345 GCG ... ... ... ...
333 777 678 CAA ... ... ... ...
333 788 901 TGA ... ... ... ...
333 888 234 ATT ... ... ... ...
333 888 567 TTA ... ... ... ...
333 889 890 TAA ... ... ... ...
333 999 123 CAA ... ... ... ...
333 999 456 CTA ... ... ... ...
333 999 789 TAT ... ... ... ...
444 000 012 TTA ... ... ... ...
444 000 345 ATA ... ... ... ...
444 000 678 TGC ... ... ... ...
444 011 901 G-G .-. .C. .-. .-.
444 ] 111 ] 234 ] GCT ... ... ... ...
[ [ [ #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens
444 111 567 -CC -.. A.. -.. A..
444 112 890 TGG ... ... ... ...
444 222 123 GAT ... ... ... ...
444 222 456 AAC ... ... ... ...
444 222 789 GTT ... ... ... ...
444 333 012 GAA ... ... ... ...
444 333 345 TAG ... ... ... ...
444 333 678 AAT ... ... ... ...
444 344 901 GCC ... ... ... ...
444 444 234 TTT ... ... ... ...
444 444 567 GTT ... ... A.. ...
444 445 890 -TG -.. G.. -.. -..
444 555 123 TGT ... ... ... ...
444 555 456 GGT ... ... ... ...
444 555 789 CTA ... ... ... ...
444 666 012 TCT ... ... ... ...
444 666 345 TGA ... ... ... ...
444 666 678 TTA ... ... ... ...
444 677 901 CTG ... ... ... ...
444 777 234 CTT ... ... ... ...
444 777 567 TTT ... ... ... ...
444 778 890 TAT ... ... ... ...
444 ] 888 ] 123 ] TAT ... ... ... ...
[ [ [ #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens
444 888 456 TAT ... ... ... ...
444 888 789 TGT ... ... ... ...
444 999 012 CTT ... ... ... ...
444 999 345 TGC ... ... ... ...
444 999 678 CCG ... ... ... ...
455 900 901 TA..C ......-
555 000 234 TTA ... ... ... ...
555 000 567 GCG ... ... ... ...
555 001 890 GGG ... ... ... ...
555 111 123 GCC ... ... .G. ...
555 111 456 ATA ... ... ... ...
555 111 789 A-C .T. .-. .-. .-.
555 222 012 CAT ... ... ... ...
555 222 345 GCT ... ... ... ...
555 222 678 TTT ... ... ... ...
555 233 901 AAC ... ... ... ...
555 333 234 -GG -.. C.. -.. C..
555 333 567 AC....G ....-
555 334 890 AGA ... ... ... ...
555 444 123 AAC ... ... ... ...
555 444 456 TTT ... ... ... ...
555 444 789 AAT ... ... ... ...
555 ] 555 ] 012 ] ACA ... ... ... ...
79
Lampiran 4 lanjutan [ [ #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens
555 555 345 ACT ... ... ... ...
555 555 678 TTC ... ... ... ...
555 566 901 TTT ... ... ... ...
555 666 234 GAC ... ... ... ...
555 666 567 CCC ... ... ... ...
555 667 890 GCA ... ... ... ...
555 777 123 GGG ... ... ... ...
555 777 456 GGG ... ... ... ...
555 777 789 GGA ... ... ... ...
555 888 012 GAT ... ... ... ...
555 888 345 CCG ... ... ... ...
555 888 678 ATT ... ... ... ...
555 899 901 TTA ... ... ... ...
555 999 234 TTT ... ... ... ...
555 999 567 CAA ... ... ... ...
556 990 890 CAT ... ... ... ...
666 000 123 TTG ... ... ... ...
666 000 456 TTT ... ... ... ...
666 000 789 TGG ... ... ... ...
666 ] 111 ] 012 ] TTC ... ... ... ...
80
Lampiran 5 Penjajaran berganda nukleotida (719 nt) pada gen daerah ITS ribosomal karang Goniopora spp !Domain=Data property=Coding CodonStart=1; [ 111 111 [ 123 456 789 012 345 #Goniopora_norfolkensis CCC CGG GGA AGG CTT #Goniopora_stokesi ... T.C ... -.. A.C #Goniopora_palmensis T.. T.C ... ... A.C #Goniopora_columna A.. A.. ... --. G.C #Goniopora_tenuidens ..T TC. ... G.. G..
111 678 TAT AT. AT. .T. GT.
122 901 TTC --A --A --. .G.
222 234 CGT .CG .CG ..G ..G
222 567 TTG A.A A.A A-GAA
223 890 GGG .AC .AC .AC ...
333 123 ATC GCA GCA GCA .C.
333 456 TTC .-. .-. .-. .A.
333 789 CAA ... .CG ... ...
444 012 AAC ... .C. .-. ...
444 345 CCA .TG ..G .TG .TG
444 678 CCC .-.-.-.--
455 901 CAA -.. -.. -.. -C.
555 234 AGG T.. ... T.. ...
555 567 GGT -.. T.. -.. ...
556 890 TTT ... ... ... ..C
666 123 CAG ... ... ... .C.
666 456 ?GG T.T T.A T.T G..
666 ] 789 ] G-A .-. .G. .-. .T.
[ [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
777 012 ATT ... ... ... .A.
777 345 GTT .-. .C. .-. T.C
777 678 AAA C.. C.G C.. C..
788 901 TTC ... ... ... ...
888 234 AA...G....A
888 567 -TT -.. -.. -.. T..
889 890 TTT ... ... ... ...
999 123 GGG A.. AC. A.. A..
999 456 GGT ... .T. ... ...
999 789 TGG C.. C.. C.. ...
111 000 012 GGG C.A C.A C.A ...
111 000 345 GGA .-. .C. .-. AA.
111 000 678 TTC .G. .G. .G. AC.
111 011 901 CCT .G. .GG .G. ..G
111 111 234 TTA --T .GT --T .-.
111 111 567 AAT ..A ..A ..A ..A
111 112 890 TGG ... ... ... ...
111 222 123 GGG --C A-T --C --.
111 222 456 GCG ... ... ... .G.
111 222 789 CGG T.. T.. T.. T..
111 333 012 GGG .C. .C. .C. ...
111 333 345 TTT .G. .G. .G. .G.
111 ] 333 ] 678 ] TGG GCT GCT GCT CCT
[ [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
111 344 901 CAA TGTGT TGT..
111 444 234 CCC A.G A.. A.G .G.
111 444 567 ACA CAC C.C CAC C.C
111 445 890 AGG GC. GC. GC. G..
111 555 123 GCC TTT TTG TTT TTT
111 555 456 GCA ... ... ... C..
111 555 789 AGT C.C.A C.C.-
111 666 012 TAA .C. .C. .C. .T.
111 666 345 ACC G-. GT. G-. C-.
111 666 678 CCC ... ... ... ...
111 677 901 GCC ... ... ... C..
111 777 234 ATT ... ... ... ...
111 777 567 GTG ..A A...T T.T
111 778 890 -TT G.. -.. -.. -..
111 888 123 TTT .G. .G. .G. .G.
111 888 456 TAC GT. GT. GT. .C.
111 888 789 TTC A.. A.. A.. A..
111 999 012 GAA A.. ... A.. A..
111 999 345 CCG .T. .T. .T. .T.
111 999 678 TTA .-.-.-.--
122 900 901 AAC ... ... ... ...
222 000 234 GTT ..C ..C ..C ...
222 ] 000 ] 567 ] TTG ... ... ... ...
[ [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
222 001 890 GCC A.T A.T A.T A.T
222 111 123 CGG ---------
222 111 456 AAA G.. G.. G.. G..
222 111 789 GGT A.. A.. A.. A.G
222 222 012 GAA ... ... ... .G.
222 222 345 TTA .-. .-. .-. .-.
222 222 678 GGC A.. A.. A.. A..
222 233 901 AAA ..T ..T ..T ..T
222 333 234 AAC ..A ..A ..A ..A
222 333 567 AGG GA. TA. GA. GA.
222 334 890 GGC A.A A.A A.A A.A
222 444 123 CAA ... ..G ... ...
222 444 456 CCT .T. .T. .T. .T.
222 444 789 TTT ..G .GG ..G ..G
222 555 012 GAC -.. ... -.. -..
222 555 345 GGT ... ... ... C.G
222 555 678 GGA ... ... ... ...
222 566 901 TTT .C. .C. .C. .C.
222 666 234 TCT CT. CT. CT. CT.
222 666 567 GGG ........-
222 667 890 CTC -CT -CT -CT -CT
222 777 123 CAC ... ... ... ...
222 ] 777 ] 456 ] CTT G.A G.A G.A G.A
81
Lampiran 5 lanjutan [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
222 777 789 TCG ... ... ... ...
222 888 012 ATG ... ... ... ...
222 888 345 AAG ... .G. ... ...
222 888 678 AAC ... ... ... ...
222 899 901 GCA ... ..? ... ...
222 999 234 GCC ... AT. ... A..
222 999 567 AGC -AG -AG -AG CAG
223 990 890 TTG C.. C.. C.. C..
333 000 123 CGA ... .C. ... ...
333 000 456 TAA ... ... ... ...
333 000 789 GTA ... ..T ... ...
333 111 012 TTG G.. ... G.. G..
333 111 345 TGA ... ... ... ...
333 111 678 AAT .T. .T. .T. .T.
333 122 901 GGC .-. .-. .-. .-.
333 222 234 AGA ... .A. ... ...
333 222 567 ATT ... ... ... ...
333 223 890 CAG ... ..C ... ...
333 333 123 TGA ... ... ... ...
333 333 456 ATC ... ... ... ...
333 333 789 ATT ... ... ... ...
333 444 012 GAA ... ... ... ...
333 ] 444 ] 345 ] TCT ... ... ... ...
[ [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
333 444 678 TGA .TG .TG .TG .TG
333 455 901 ACC .A. .G. .A. .A.
333 555 234 GCA ... ... ... ...
333 555 567 AAT ... ... ... ...
333 556 890 GGC ... .C. ... ...
333 666 123 GCT ... ... ... ...
333 666 456 CTA ..T ..T ..T ..T
333 666 789 GGG ... ... ... ...
333 777 012 TTT ..C G.C ..C ..C
333 777 345 CTC TC. .C. TC. TC.
333 777 678 CCA .AG .AG .AG .AG
333 788 901 GGA .A.A. .A.A-
333 888 234 GCA ... ... ... ...
333 888 567 TGT ... ... ... ...
333 889 890 CTG ... ... ... ...
333 999 123 TCT ... ... ... ...
333 999 456 GAG ... ..T ... ...
333 999 789 CGT T.. T.. T.. T..
444 000 012 CGG ... .A. ... ...
444 000 345 ATA ... ..? ... ...
444 000 678 TCA ..T ..T ..T ..T
444 011 901 CAC T.. A.. T.. T..
444 ] 111 ] 234 ] GAA ... ... ... ...
[ [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
444 111 567 GCG ... ... ... ...
444 112 890 ATC ... ... ... ...
444 222 123 GTG ... ... ... ...
444 222 456 CAT ... ... ... ...
444 222 789 CGA ... ... ... ...
444 333 012 GTG T.. T.. T.. T..
444 333 345 CG? ..G .CG ..G ..G
444 333 678 AAT ... ... ... C..
444 344 901 TGA ... CC. ... ...
444 444 234 AGG -.. -A. -.. -..
444 444 567 TGT ... ... ... ...
444 445 890 CCC .A. .A. .A. .A.
444 555 123 CGA -.G -AG -.G -.G
444 555 456 AAA TG. GG. TG. TG.
444 555 789 GTG ... ... ... ...
444 666 012 AAA ... ... ... ...
444 666 345 ACA ... C.. ... ...
444 666 678 ACT ... ... ... ...
444 677 901 CAG .G. .G. .G. .G.
444 777 234 G-C .G. C-. .-. .-.
444 777 567 CTT .G. .G. .G. .G.
444 778 890 GTC ... ... ... ...
444 ] 888 ] 123 ] CCC ..T ..T ..T ..T
[ [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
444 888 456 CCA .G. .?. .G. .G.
444 888 789 AAA ..G ... ..G ..G
444 999 012 GAG ... ... ... ...
444 999 345 GCA ... ... ... ...
444 999 678 AGC --G --. --A --G
455 900 901 TTG C.. C.. C.. C..
555 000 234 GAA CGG CGG CGG CGG
555 000 567 AAC .G. .G. .G. .G.
555 001 890 CCC .G. .G. ... .G.
555 111 123 GCA A.G A.T C.C A.G
555 111 456 CGC ... ... ... ...
555 111 789 CTT TA. TA. T.. TA.
555 222 012 TTT .A. .A. .A. .A.
555 222 345 ATG T.. T.. T.. T..
555 222 678 AAC G--------
555 233 901 CTT --. --. --. --.
555 333 234 TTA ... ... ... ...
555 333 567 AGC .-.-.-.--
555 334 890 AAG T.. ?.. ..A T..
555 444 123 CGA ... .A. ... ...
555 444 456 GG? .-T A-A .TG .-T
555 444 789 GAC ... ... ... ...
555 ] 555 ] 012 ] CCC ... .T. .T. .T.
82
Lampiran 5 lanjutan [ [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
555 555 345 TTT .A. .A. .A. .A.
555 555 678 TTA GA. GA. GA. GA.
555 566 901 AAA ... ... ... ...
555 666 234 ACC GTGTG GTGT-
555 666 567 GCT --C --. --C --C
555 667 890 TTG A.. C.. A.. A..
555 777 123 GGT ... ... ... ...
555 777 456 TCA ... ..C .TC ...
555 777 789 GGG --. ACA A-. --.
555 888 012 CCC TG. TG. GG. TG.
555 888 345 CAA GT. .T. GT. GT.
555 888 678 AGC G.. ..G G.. G..
555 899 901 TAA ... G.. ... ...
555 999 234 AAA ... ..T ... ..T
555 999 567 GGG T-A-A-A--
556 990 890 CAA AC. A.. ... ...
666 000 123 ATT .A. ... ... ...
666 000 456 GCC T.. C.. C.. C.T
666 000 789 CCC ... ... ... ...
666 111 012 CGG ... ... ... GT.
666 111 345 GGC --. --. --. --.
666 111 678 TAG C-A CTA .-A ..C
666 ] 122 ] 901 ] CCA ... ..T ... ...
[ [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
666 222 234 TGA ... ... ... ...
666 222 567 AGT ... .A. ... T..
666 223 890 TAA -.. -.. -.. -.G
666 333 123 AAG .GT ... ... .G.
666 333 456 GTT -.. -.. ... -..
666 333 789 CCG A.A ..A ..A ..A
666 444 012 GTC .GG .G. .GG .GG
666 444 345 CCC T.. ... ... T..
666 444 678 CCT .AG ... .AG .AG
666 455 901 TTT ... ... ... ...
666 555 234 TTG ..A ..T ..A ..A
666 555 567 TTT ..G ..? ... ...
666 556 890 --T TG. -G. -G. -G.
666 666 123 TTT ..G ... ... ..G
666 666 456 TTT ... ... ... ...
666 666 789 TAA .GT .GT .GT .GT
666 777 012 AAA ... ... ... ...
666 777 345 CAA A.. A.. A.. ...
666 777 678 CCC ..A ..A ..A ..A
666 788 901 AAT ....A ..A ..A
666 888 234 TTT -.. CC. ... ..C
666 888 567 TTT ........-
666 ] 889 ] 890 ] GGA -.. -.. -CC -..
[ [ [ #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_tenuidens
666 999 123 CCC ... A.. ..A ..T
666 999 456 CCC .-A T-T .-A .AT
666 999 789 AAA ... ... ... ..C
777 000 012 AAG .C. ..A .T. .GT
777 000 345 GGA ..C ... ... C..
777 000 678 GGA A.G A.G AAG .C.
777 011 901 T?C GA. GC. GT. A?.
777 111 234 CCC ... ... ... ...
777 111 567 CCT ?.. GG? ..C ?T.
77] 11] 89] AA G. G. T. G.
83
Lampiran 6 Penjajaran berganda nukleotida (599 nt) pada gen sitokrom oksidase sub unit 1 (COI) parsial karang Goniopora spp dan Porites spp sebagai out group !Domain=Data property=Coding CodonStart=1; [ [ 123 456 #P._astreoides_isolate_aBR6 ATA AGA #Goniopora_tenuidens ... ... #P._compressa ... ... #P._duerdeni_isolate_HM28 ... ... #P._cylindrica_isolate_Wa4 ... ... #Goniopora_norfolkensis ... ... #Goniopora_columna ... ... #Goniopora_palmensis ... ... #Goniopora_stokesi ... ... #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 ... ... [ [ [ #P._astreoides_isolate_aBR6 #Goniopora_tenuidens #P._compressa #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_columna #Goniopora_palmensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
7 2 C . . . . . . . . .
777 345 ACA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
789 TTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
777 678 CGC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 012 GAG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
788 901 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 345 CTC ... ... ... ... ... ... ... .C. ...
888 234 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 678 TCG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
888 567 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
122 902 GCC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
889 890 GAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 356 CGG ... ... ... ... ... ... A.. ... ...
999 123 CTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
2 7 G . . . . . . . . .
223 890 GGC ... ... ... ... ... .CT A.. .A. ...
333 123 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 456 GTT ... ... ... ... ... .CC ... ... ...
333 789 AGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 012 AGA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 345 CGA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 678 TCA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
455 901 TCT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 234 TTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 567 TAA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
556 890 TGT ... ... ... ... ... ... .A. ... ...
666 123 AAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
666 456 TGT ... ... ... ... ... C.. ... ... ...
666 789 TAC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
77] 01] AG G. .. .. .. G. G. G. G. G.
999 456 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
999 789 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 000 012 GGT A.. ... ... ... ... A.. A.. A.. A..
111 000 345 TAT ... ... C.. ... ... ... ... ... ...
111 000 678 GCC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 011 901 AGT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 111 234 GAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 111 567 GAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 112 890 AGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 222 123 GGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 222 456 ATT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 222 789 TGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 333 012 GAA A.. ... ... ... A.. A.. A.. A.. A..
111 333 345 TTG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 333 678 GTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
11] 34] 90] GG .. .A .. .. .. .. .. .. ..
84
Lampiran 6 lanjutan [ [ [ #P._astreoides_isolate_aBR6 #Goniopora_tenuidens #P._compressa #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_columna #Goniopora_palmensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
1 4 1 T . . . . . . . . .
111 444 234 TCC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
[ [ [ #P._astreoides_isolate_aBR6 #Goniopora_tenuidens #P._compressa #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_columna #Goniopora_palmensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
222 111 123 CCC ..A ... ... ... ... ..A .TA ..A ...
111 444 567 ATT .C. ... ... ... .C. .C. .C. .C. .C.
222 111 456 CTG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 445 890 ATA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 111 789 CTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 555 123 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 222 012 TAA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 555 456 TGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 222 346 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
22 22 78 GT .. .. .. .. .. .. .. .. ..
111 555 789 GGC ... ... ... ... ... ... ... ... ... 222 233 901 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 666 012 ACC C.. ... ... ... C.. C.. C.. C.. C.. 222 333 234 TAG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 666 345 TGA ... ... ... ... ... ... ... ... ... 222 333 567 GTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 666 678 TAT ... ... ... ... ... ... AT. AT. ... 222 334 890 CTG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 677 901 GGC ... ... ... ... ... ... .C. .C. ... 222 444 123 CTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 777 235 TTT ... ... ... ... ... ... AC. .C. ...
11 77 67 CC .. .. .. .. .. .. .. .. ..
222 444 456 TTG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 778 890 CAC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 444 789 TTG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 888 123 GGC ... ... ... ... ... ... T.T ... ...
222 555 012 AAC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 888 456 TTA ... ... ... ... ... G.. GG. GG. ...
222 555 345 AAG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 888 789 ATA ... ... ... ... ... .C. TC. TC. ...
222 555 678 GAG .G. .G. .G. .G. .G. .G. .G. .G. .G.
111 999 012 ACA ... ... ... ... ... ..G ..G ..G ...
22 66 01 GG .. .. .. .. .. .. .. .. ..
22 66 24 GA .. .. .. .. .. .. .. .. ..
111 999 345 TTA ... ... ... ... ... ... GGC GG. ...
111 999 678 GTT ... ... ... ... ... ... A.C A.C ...
122 900 901 TTT ... ... ... ... ... ... C.G C.G ...
222 000 234 GGC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 000 567 TGT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 ] 001 ] 890 ] TGC ... ... ... ... ... ... A.A A.. ...
222 666 567 CCG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 667 890 GAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 777 123 GAA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 777 456 CGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 777 789 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 ] 888 ] 012 ] ATC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
85
Lampiran 6 lanjutan [ [ [ #P._astreoides_isolate_aBR6 #Goniopora_tenuidens #P._compressa #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_columna #Goniopora_palmensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
222 888 345 CTC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
[ [ [ #P._astreoides_isolate_aBR6 #Goniopora_tenuidens #P._compressa #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_columna #Goniopora_palmensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
33 55 34 TG .. .. .. .. .. .. .. .. ..
222 888 678 CTC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 555 567 GGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 899 901 TAT .G. ... ... ... .G. .G. .G. .G. ...
333 556 890 TGT C.. ... ... ... C.. C.. C.. C.. C..
222 999 234 CTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 666 123 CCT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 999 567 GCA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 666 456 CGA ... ... ... ... .T. ... ... ... ...
23 90 90 TC .. .. .. .. .. .. .. .. ..
333 000 123 AGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 000 456 CCC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 000 789 ATT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 111 012 CTG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 111 345 GTG .C. ... ... ... .C. .C. .C. .C. .C.
333 111 678 GGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 122 901 CGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 222 234 TGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 222 567 ATA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 223 890 TGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 333 123 CTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 333 456 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 333 789 TTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 444 012 GTC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 666 789 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 777 012 TGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 777 345 GTG .C. ... ... ... .C. .C. .C. .C. .C.
333 777 678 CAA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 788 901 TGA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 888 234 ATT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 888 567 TTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 889 890 TAA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 999 123 CAA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 999 456 CTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 999 789 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 000 012 TTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 000 345 ATA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 000 678 TGA ..C ... ... ... ..C ..C ..C ..C ..C
44 01 91 GG .. .. .. .. .. .. .. .. ..
333 444 345 TCC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 111 234 GCC ..T ... ... ... ..T ..T ..T ..T ..T
333 444 678 ATT .C. ... ... ... .C. .C. .C. .C. .C.
44 11 67 CC .. .. .. .. .. .. .. .. ..
333 455 901 TAG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 112 890 TGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
3] 5] 2] C . . . . . . . . .
444 ] 222 ] 123 ] GCT .A. ... ... ... .A. .A. .A. .A. .A.
86
Lampiran 6 lanjutan [ [ [ #P._astreoides_isolate_aBR6 #Goniopora_tenuidens #P._compressa #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_columna #Goniopora_palmensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
444 222 456 AAC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
[ [ [ #P._astreoides_isolate_aBR6 #Goniopora_tenuidens #P._compressa #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_columna #Goniopora_palmensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
4 9 5 C . . . . . . . . .
444 222 789 GTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 999 678 CCG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 333 012 GAA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
455 900 902 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 333 345 TAG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
55 00 34 TA .. .. .. .. .. .. .. .. ..
555 000 567 GCG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 333 678 AAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 344 901 GCC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 001 890 GGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 444 234 CTT T.. ... ... ... T.. T.. T.. T.. T..
555 111 123 GCC ... ... ... ... .G. ... ... ... ...
444 444 567 ATT G.. ... ... ... ... G.. G.. G.. ...
555 111 456 ATA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
55 11 79 AC .. .. .. .. .. .. .. .. ..
44 45 90 TG .. .. .. .. .. .. .. .. ..
444 555 123 TGT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 222 012 CAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 555 456 GGT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 222 345 GCT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 555 789 CTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 222 678 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 666 012 TCT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 233 901 AAC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
55 33 34 GG .. .. .. .. .. .. .. .. ..
444 666 345 TGA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 666 678 TCA .T. ... ... ... .T. .T. .T. .T. .T.
555 333 568 ATA .C. .C. .C. .C. .C. .C. .C. .C. .C.
55 34 90 GA .. .. .. .. .. .. .. .. ..
444 677 901 CTG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 444 123 AAC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 777 234 CTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 444 456 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 777 567 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 444 789 AAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 778 891 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 555 012 ACT ..A ... ... ... ..A ..A ..A ..A ..A
44 88 23 AT .. .. .. .. .. .. .. .. ..
444 888 456 TAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 888 789 TGT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 999 012 CTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
44] 99] 34] TG .. .. .. .. .. .. .. .. ..
555 555 345 ACT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 555 678 TTC ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 566 901 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 666 234 GAT ..C ... ... ... ..C ..C ..C ..C ..C
555 ] 666 ] 567 ] CCT ..C ... ... ... ..C ..C ..C ..C ..C
87
Lampiran 6 lanjutan [ [ #P._astreoides_isolate_aBR6 #Goniopora_tenuidens #P._compressa #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_columna #Goniopora_palmensis #Goniopora_stokesi #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
555 667 890 GCA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 777 123 GGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 777 456 GGG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 777 789 GGA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 888 012 GAT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 888 345 CCG ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 888 678 ATT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 899 901 TTA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 999 234 TTT ... ... ... ... ... ... ... ... ...
555 999 567 CAA ... ... ... ... ... ... ... ... ...
55] 99] 89] CA .. .. .. .. .. .. .. .. ..
88
Lampiran 7
Penjajaran berganda nukleotida (644 nt) pada gen daerah ITS ribosomal parsial karang Goniopora spp dan Porites spp sebagai out group
!Domain=Data
property=Coding CodonStart=1; [ [ 23 456 #P._compressa AA AGA #P._astreoides_isolate_aBR6-1 G. TAG #P._astreoides_isolate_aBR6-2 G. TAG #P._duerdeni_isolate_HM28 G. .A. #P._cylindrica_isolate_Wa4 G. .A. #Goniopora_stokesi G. C.C #Goniopora_palmensis G. C.C #Goniopora_columna G. C.C #Goniopora_norfolkensis GG .TC #Goniopora_tenuidens GG .CC #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 G. T.C
789 ATC ... ... ... ... ... ... ... T.. TA. ...
11 02 CG TA TA .A .A .A .. .A .A .A .A
[ [ [ #P._compressa #P._astreoides_isolate_aBR6-1 #P._astreoides_isolate_aBR6-2 #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
111 000 012 GAT ... ... ... ... TGG TGG TGG CGG TGG TGG
111 000 345 AGG ... ... ... ... GC. GC. GC. G.. G.. G..
99 23 AA .. .. .. .. GC GG GC GG GG GC
999 456 ATG ... ... ... ... GC. ... GC. GG. GG. GC.
11 38 TA A. A. G. G. AG AG AG A. AG AG
122 956 AAT ..A ..A ... ... C.. C.G C.. C.G CGG C..
111 000 678 TTC ... ... ... ... .GT .GT .GT ..T .GT .GT
2 7 C . . . . G G G G G G
111 011 923 CCC ... ... ... ... GTG GTG GTG T.A .TA G.G
223 890 ATT ... ... ... ... GG. TG. GG. GG. G.. GG. 1 1 4 G . . . . A T A A A A
333 123 AAC ... ... ... ... TTT TTT TTT TTT TC. TTT
111 111 567 CCA ... ... ... ... .GC A.C .GC ..C .GC .GC
33 46 CG .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
111 112 891 GCC ... ... ... ... A.G C.G A.G A.A C.G A.A
344 801 GTG ... ... ... ... ... .G. ... .G. .GT ...
11 22 23 CG .. .. .. .. .. .. .. G. G. ..
4 2 A . . . . . . . . . .
444 345 ACT ..C ... ... ... .T. .T. .T. .T. .A. ...
44 68 GG .A .A .A .A .T .T .T .T TC .T
455 901 AAA ... ... C.. C.. C.. C.G C.. ... C.. C..
111 222 456 CCA ... ... ... ... TTT TTG TTT G.C TTT TGC
111 222 789 TTG ... ... ... ... GCA GCA GCA GCA CCA GCA
111 333 012 TGT ... ... ... ... C.. C.A C.. A.. C.. C..
5 4 C . . . . . . . . . .
111 333 378 TGA .T. .T. .T. ... CAG ..T CAG .AC .AC CAG
555 569 AAC ... ... ... ... ..T .GT ..T ..T ..T ..T
111 344 901 TAT ... ... ... ... CCC CCC CCC CCC CCC CCC
6 0 T . . . . . . . . . .
666 124 TTA ... ... ... ... ... ... ... ..G ... ...
111 444 234 CAC ... ... ... ... .G. .G. .G. .G. .C. .G.
66 56 GG .. .. .. .. .. C. .. .. .. ..
111 444 567 TTT ... ... ... ... CA. CA. CA. CA. CA. CA.
666 789 GGT ... ... ... ... ... .T. ... ... ... ...
111 445 890 GAA ... ... ... ... TGT T.T TGT TGT TTT TGT
1 5 3 T C . . . . . . . . .
777 012 CGG ... ... ... ... ... ... ... T.. T.. ...
777 345 CAC ... ... ... ... .GA .GA .GA GGG GGG .GA
778 670 AGG ... ... ... ... GAT GC. GAT G.T .AC GAT
8 1 C . . . . G . G . . G
888 234 GTG ... ... ... ... CC. CG. CC. CCT CC. CC.
111 555 456 TTA .A. .A. .A. ... ..G ..G ..G ..T ..G ..G
111 555 789 AGA ... ... ... ... T.T T.T T.T TT. TTC T.T
111 666 012 CTG ... ... ... ... .AT .AT .AT ..T .AT .AT
111 666 345 AGA ... ... ... ... CA. C.. CA. C.. CA. CA.
888 567 TGT ... ... ... ... .TA ... .TA .TA .AA .TA
111 667 671 ACT ..A ..A ... ... ... ... ... ..C ... ...
889 890 CGT ... T.. ... ... AA. AAA AA. AA. AA. AA.
9] 1] T . . . . G . G . G G
111 ] 777 ] 238 ] GTC ..G ..G ... ... ..A ..A ..A ..A ..A ..A
89
Lampiran 7 lanjutan [ [ [ #P._compressa #P._astreoides_isolate_aBR6-1 #P._astreoides_isolate_aBR6-2 #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
1 8 0 T . . . . C C C C C C
111 888 123 GCA .TG .TG ... ... .TC .TC .TC .TT .TT .TT
[ [ [ #P._compressa #P._astreoides_isolate_aBR6-1 #P._astreoides_isolate_aBR6-2 #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
222 666 567 TGA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
111 888 456 TTA .GC .GC ... .G. ..G ..G ..G ..G ..G ..G
222 667 890 AGA ... ... ... ... ... G.. ... ... ... ...
111 889 784 AAG G.. G.. ... ... .C. .C. .C. GC. .C. .C.
222 777 123 ACG ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
1 9 5 T . . . . A A A A A A
22 77 46 CG .. .. .. .. .. .A .. .. .A ..
111 999 678 ATG GCA GCA ... ... .A. .A. .A. .A. .A. .A.
222 778 780 CCG ... ... ... ... ... T.. ... ... ..A ...
122 900 901 AGA TT. TT. ... ... T.. T.. T.. GTG G.G T..
2 8 2 C . . . . . . . T . .
222 000 289 AGA .AG .AG ... ... .T. .T. .T. .T. .T. .T.
222 888 345 TGC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
2 1 0 A . . . . . . . G . .
222 888 678 GAT ... ... ... ... ... C.. ... ... ... ...
222 111 123 AGA .AG .AG ... ... GC. GC. GC. GC. GC. .T.
222 899 901 ATG ... ... ... ... .A. .A. .A. .A. .A. .A.
222 111 478 AAT .GA .GA ... ... ..A ..A ..A ..C ..A ..A
222 999 234 TAG ... ... ... ... ... .TT ... ..T ... ...
2 1 9 G A A . . . T . A . .
222 222 012 AGA .A. .A. ... ... ... ... ... G.G ... ...
222 999 567 TGT ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 222 345 GAC ... ... ... ... ... ... ... .C. ... ...
223 990 890 GAA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 222 678 AAC ... ... ... ... ... .G. ... ... ... ...
333 000 123 TTG ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ...
33 00 56 CA .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
22 33 01 TT .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
222 333 234 TTG ... ... ... ... ... GG. ... ... ... ...
333 000 789 GAA ... ... ... ... ... A.. ... ... ... ...
222 333 567 ACG ... ... ... ... ... ... ... ... ..C ...
333 111 012 TTC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 334 890 GTG ... ... ... ... ... ... ... ... .G. ...
333 111 345 AGT ... ... ... ... ... .C. ... ... ... ...
222 444 123 GAT ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 111 678 GAA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 444 456 CTC ... ... ... ... ... ... ... T.T ... ...
333 122 901 TCA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 444 789 TTG ... ... ... ... ... ... ... C.. ... ...
333 222 234 TTG ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 555 345 CTC ... ... ... ... ... ... ... TC. ... ...
333 222 567 AAT ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 555 678 ACG ... ... ... ... ... ... ... ..C ... ...
333 223 890 CTT ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
222 566 901 TAT ... ... ... ... ... ... ... .T. ... ...
333 333 123 TGA ... ... ... ... ... ... ... GA. ... ...
222 ] 666 ] 234 ] CGA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 333 456 ACG ... ... ... ... ... G.. ... C.. ... ...
3] 3] 7] C . . . . . . . . . .
90
Lampiran 7 lanjutan [ [ #P._compressa #P._astreoides_isolate_aBR6-1 #P._astreoides_isolate_aBR6-2 #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
33 33 89 AA .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
[ [ [ #P._compressa #P._astreoides_isolate_aBR6-1 #P._astreoides_isolate_aBR6-2 #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
4 1 4 G . . . . T T T . T T
333 444 012 ATG ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 111 567 TGC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 444 345 GCG ... ... ... ... ... C.. ... ... ... ...
44 12 80 GT .. .. .. .. .A CA .A .A .C .A
333 444 678 CTC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 222 123 ATT ... ... ... ... ... ..C ... ... ... ...
333 455 901 TTG ... ... ... ... ... ... ... .A. ... ...
444 222 457 GAG ... ... ... ... ... C.A ... ... ... ...
333 555 234 GGT ... ... ... ... ... ..G ... ... ... ...
44 22 89 GT .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
33 55 57 TC .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
444 333 012 GTC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
333 556 890 TCC ... ... ... ... ... C.. ... ... ... ...
444 333 346 ACG ... ... ... ... ... ..A ... C.. ... ...
333 666 123 CAG ... ... ... ... ... AG. ... ... ... ...
44 33 78 GC .. .. .. .. .T .G .T AA .T .A
333 666 456 GAG ... ... ... ... ... A.. ... ... ... ...
444 344 901 GTG ... ... ... ... .A. .A. .A. AA. .A. .A.
333 666 789 CAT ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 444 234 TTA ... ... ... ... .G. .G. .G. .G. .G. .G.
333 777 012 GTC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 444 567 GCA .AT .AT ... ... AA. AAC AA. AA. AA. TA.
333 777 345 TGT ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 455 823 AAG C.. C.. ... ... C.A C.A C.A C.A C.A C.A
333 777 678 CTG ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 556 453 CAA ATT ATT ... ... .TC .TC .TC .TC .TC .TC
44 66 45 AT .. .. .. .. GG GG GG .G GG GG
333 788 901 AGT ... ... ... ... ... .T. ... ..C ... ... 44 66 68 CC .. .. .. .. G. .. G. G. G. G.
333 888 234 GTC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 677 901 CGT ... ... ... ... ... ... ... .T. ... ...
333 888 567 GGA ... ... ... ... ... A.. ... ... ... ...
444 777 234 GTC ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
33 89 80 TT .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
444 777 567 CCT ... ... ... ... ... ... ... ..C ... ...
3 9 3 T . . . . . A . C . .
333 999 456 ATC ... ... ... ... .CG .CG .CG .CG .CG .CG
44 78 80 TA .. .. .. .. C. C. C. C. C. C.
333 999 789 GAA ... ... ... ... A.G A.G A.G A.G A.G A.G
444 888 123 AGG ... ... ... ... .A. .AA .A. .AA .A. .A.
444 000 012 CGC ... ... ... ... ..A ..A ..A ..A ..A ..A
444 888 456 ACA ... ... ... ... GAG GAG GAG GAG GAG GAG
444 000 345 ACT G.A G.A ... ... T.G T.G T.G T.G T.G T.G
444 888 789 GCA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
444 001 670 CGT T.. T.. ... ... T.. T.. T.. T.. T.. T..
444 999 012 GCA ... ... ... ... ..T C.T A.T AGC ..T ..T
44] 11] 23] GA .T .T .. .. .. .. .. .. .. ..
444 999 345 TTG ... ... ... ... GC. GC. GC. ... GC. GC.
44] 99] 67] GA .. .. .. .. .. .. .. .. .. .G
91
Lampiran 7 lanjutan [ [ [ #P._compressa #P._astreoides_isolate_aBR6-1 #P._astreoides_isolate_aBR6-2 #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
5 0 4 C . . . . . . . . . .
555 000 567 GCA ... ... ... ... ... ... C.C ... ... ...
555 001 890 TTC ... ... ... ... CG. C.. CC. CG. CG. CG.
555 111 123 TCT ... ... ... ... G.. G.. G.. CT. G.. G..
555 111 456 ATT ... ... ... ... ... ... T.. T.. ... ...
555 112 783 GAA ... ... ... ... ATG ATT ATT ATC ATT ATT
55 22 45 AC .. .. .. .. GT GT GT TT GT GT
555 222 678 TTG ... ... ... ... ..A ..A ..A ..A ..A ..A
666 111 678 AGC ... ... ... ... T.A T.A T.A T.A T.A T.A
6 2 1 T A A . . . . . . . .
666 222 567 GTG ... ... CA. CA. AA. AAA AA. AA. .A. .A.
666 223 890 ACA ... ... ... .G. TTT GTT GTT GTT GTT GTT
555 233 934 ATG ... ... ... ... .A. .A. .AA .A. .A. .G.
555 333 567 CGA ... ... ... ... ... .A. ... ... ... ...
555 344 824 AGC ... ... ... ... GA. .A. GA. GA. GA. GA.
55 44 56 TA .. .. .. .. CC .C .C CC .C .C
555 444 789 AAG ... ... ... ... T.T T.T T.T TTT T.T T.T
666 333 789 ATC T.. T.. ... ... TC. CC. CC. CC. TC. CC.
666 444 012 AAA ... ... ... ... C.G CCT C.G CCT C.G .GT
66] 44] 34] TC .. .. .. .. .T .T .T .T .T .T
555 555 012 ATA ..G ..G ... ... GA. GA. GA. T.. GA. GA.
555 555 345 ATA ... ... ... ... .A. .A. .A. .A. .A. .A.
555 555 678 TTT ... ... ... ... G.C G.G G.C ACC G.C AG.
555 566 934 TTC ... ... ... ... A.G ..G AGG G.G A.G C.G
555 666 567 GCT ..C ..C ..C ..C .G. .G. .T. .G. .G. .G.
555 667 890 CAA .C. .C. ... ... TC. TCC TC. TC. TC. TC.
555 777 123 ACA .A. .A. ... ... GTG ... GGG GGG GTG GTG
555 777 456 TGC .C. .C. ... ... C.T ... C.T CC. C.T C.T
5 7 9 T . . . . A A A A A A
555 888 012 AGC ..G ..G ... ... G.. ..G G.. ... G.. G..
555 888 345 AGA ..G ..G ... ... TA. GA. TA. TA. TA. TA.
556 ] 880 ] 691 ] ACT .A. .A. .A. .A. .TC .AC .AC .GC .AC .AC
Lampiran 7 lanjutan [ [ [ #P._compressa #P._astreoides_isolate_aBR6-1 #P._astreoides_isolate_aBR6-2 #P._duerdeni_isolate_HM28 #P._cylindrica_isolate_Wa4 #Goniopora_stokesi #Goniopora_palmensis #Goniopora_columna #Goniopora_norfolkensis #Goniopora_tenuidens #Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3
66 00 23 CC .. .. .. .. .. .. .. .. T. .T
666 111 013 AAC ... ... ... ... C.. CT. T.. T.. T.. T..
66 11 45 AA .. .. .. .. C. CT C. C. C. C.
6 2 4 A G G . . . . . . . .
666 333 123 ATA .A. .A. ... ... .C. CC. CC. CCG CC. CGG
66 33 46 AC .A .A .. .. GG G. GG G. GG GT
92
96 Lampiran 8
No
Persentase tutupan dan keanekaragaman substrat bentik di lokasi penelitian di Kepulauan Seribu (Sumber: Nggajo 2009)
Kategori
Timur Pramuka 1
Utara Pramuka Barat Panggang Selatan Panggang Utara Belanda Selatan Belanda Timur K. Angin Barat K. Bira 2 3 4 5 6 7 8
I KARANG KERAS Acropora 1 ACB-Acropora Branching 2 ACD-Acropora Digitate 4 ACS-Acropora Submassive 5 ACT-Acropora Tabulate Non-Acropora 6 CB-Coral Branching 7 CE-Coral Encrusting 8 CF-Coral Foliose 9 CM- Coral Massive 10 CMR-Coral Mushroom 11 CS-Coral Submassive 12 CML-Coral Millepora
18.13
23.84
27.29
54.35
39.41
21.08
28.90
45.18
0.28 0.00 0.00 1.97
1.26 0.00 1.43 3.95
3.67 0.37 0.00 2.92
4.35 0.00 0.00 0.00
17.01 0.00 0.45 0.59
0.49 0.00 0.21 2.08
7.34 0.03 0.00 0.10
10.09 0.00 0.00 0.00
1.12 3.98 2.86 4.97 1.03 1.92 0.00
1.76 2.35 0.95 9.01 0.03 2.85 0.25
0.52 0.75 0.07 10.04 0.22 8.70 0.00
0.93 0.93 29.50 17.79 0.22 0.62 0.00
1.39 2.92 4.65 1.94 8.13 2.33 0.00
0.17 10.07 3.75 1.35 1.42 1.53 0.00
3.55 2.16 10.96 1.10 2.46 1.20 0.00
1.07 12.63 11.27 6.04 0.59 3.34 0.15
II 1 2 3
KARANG MATI Karang mati ber-alga Karang mati lama Karang mati baru
16.35 15.60 0.00 0.75
24.17 9.01 13.91 1.26
25.11 22.94 1.87 0.30
19.74 17.35 1.33 1.06
16.11 14.10 1.88 0.14
42.19 33.85 8.30 0.03
23.92 17.71 6.05 0.17
35.68 26.39 8.67 0.62
III 1 2 3 4 5
ALGA Alga assemblage Coralline alga Halimeda Macroalga Turf alga
12.04 0.14 6.42 0.00 4.40 1.08
2.10 0.00 0.17 0.00 1.93 0.00
0.67 0.00 0.00 0.00 0.30 0.37
2.26 0.00 0.13 0.09 2.00 0.04
1.91 0.00 1.84 0.00 0.03 0.03
0.97 0.00 0.42 0.07 0.24 0.24
1.73 0.00 0.10 0.17 0.56 0.90
2.13 0.06 0.18 0.00 0.95 0.95
IV 1 2 3 4
FAUNA LAIN Others Karang lunak Sponge Zoanthids
3.19 0.61 0.52 1.97 0.09
1.51 1.37 0.03 0.11 0.00
12.22 1.35 10.72 0.15 0.00
1.06 0.35 0.71 0.00 0.00
0.31 0.31 0.00 0.00 0.00
0.73 0.73 0.00 0.00 0.00
1.16 0.47 0.70 0.00 0.00
3.17 1.30 0.00 1.86 0.00
V 1 3 4 4 5
ABIOTIK Batu Pasir Endapan lumpur Patahan karang Air
50.28 13.50 3.98 0.19 32.61 0.00
48.38 10.91 4.67 0.28 32.51 0.00
34.71 0.00 4.35 0.00 30.36 0.00
22.58 0.22 4.26 1.55 16.55 0.00
42.26 0.00 2.12 0.00 40.14 0.00
35.03 0.14 14.27 0.00 20.63 0.00
44.29 0.03 2.86 0.00 41.40 0.00
13.85 0.00 7.16 0.06 6.63 0.00
97 Lampiran 9 Persentase tutupan genus karang keras di lokasi penelitian di Kepulauan Seribu (Sumber: Nggajo 2009) Timur Pramuka 1 I KARANG KERAS Genera 1 Acropora 2 Astrangia 3 Astreopora 4 Coelosoris 5 Ctenactis 6 Cyphastrea 7 Diploria 8 Favia 9 Favites 10 Fungia 11 Galaxea 12 Goniastrea 13 Goniopora 14 Heliofungia 15 Herpolitha 16 Hydnophora 17 Leptoria 18 Lobophyllia 19 Millepora 20 Montastraea 21 Montipora 22 Mycedium 23 Pachyseris 24 Pavona 25 Pectinia 26 Platygyra 27 Plerogyra 28 Plesiastrea 29 Pocillopora 30 Podabacia 31 Porites 32 Scapophyllia 33 Seriatopora 34 Stylophora 35 Symphyllia 36 Trachyphylia 37 Turbinaria Indikator Keanekaragaman S (jumlah genus) H' (SW Index)
Utara Pramuka 2
Barat Panggang 3
Selatan Panggang 4
Utara Belanda 5
Selatan Belanda 6
Timur K. Angin 7
Barat K. Bira 8
18.13
23.84
27.29
54.35
39.41
21.08
28.90
45.18
2.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.00 0.33 0.61 0.23 0.05 0.33 1.12 0.00 0.80 0.00 2.11 0.00 0.00 0.09 1.83 0.00 4.08 0.00 0.28 0.00 0.05 0.00 0.05 0.00 3.28 0.00 0.42 0.00 0.19 0.00 0.00
6.63 0.00 0.25 0.70 0.00 0.48 0.03 1.12 0.25 0.03 0.03 0.42 1.01 0.00 0.00 1.12 0.00 0.00 0.25 0.00 3.25 0.00 0.00 0.70 0.00 0.03 0.03 0.00 0.34 0.00 6.35 0.00 0.11 0.50 0.03 0.20 0.00
6.97 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.00 0.22 0.00 0.30 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9.22 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.97 0.00 0.52 0.00 0.00 0.00 0.00
4.35 0.00 0.00 0.00 0.00 0.53 0.00 0.44 0.00 0.22 0.00 0.00 17.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.09 4.21 0.00 0.00 26.44 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.89 0.00 0.00 0.04 0.00
18.06 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.00 7.85 0.00 0.00 1.49 0.03 0.24 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.53 0.00 0.00 0.56 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 1.49 0.00 1.25 0.00 0.00 0.14 1.67
2.78 0.00 0.00 0.00 0.00 0.35 0.00 0.24 0.03 1.39 0.00 0.21 0.14 0.00 0.03 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 10.83 0.00 0.31 0.24 0.00 0.00 0.00 0.00 0.31 0.00 3.33 0.00 0.14 0.00 0.00 0.28 0.42
7.48 0.00 0.00 0.00 0.00 0.20 0.00 0.07 0.40 2.46 0.17 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.26 0.00 0.33 0.27 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 2.49 0.00 2.36 0.00 0.03 0.03 0.33
10.09 0.00 1.89 0.00 0.00 0.38 0.00 0.36 0.36 0.59 0.03 0.33 0.06 0.00 0.00 0.03 0.00 0.06 0.15 0.44 8.58 0.00 1.21 2.69 0.21 0.06 0.06 0.00 0.00 0.00 11.24 0.00 0.00 0.00 0.00 0.56 5.80
19 2.30
23 2.15
7 1.26
10 1.31
13 1.60
17 1.65
15 1.65
22 2.05