KERAGAMAN GENETIK GAHARU BUDIDAYA DAN ALAMI BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT
LASWI IRMAYANTI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
LASWI IRMAYANTI. Keragaman GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelit.Dibimbin goleh ISKANDAR Z. SIREGAR RINGKASAN Gaharu merupakan salahsatuHasilHutanBukanKayu (HHBK) yang memiliki kandungan damar wangidengan keharuman yang khas,sehinggabanyakdigunakan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetik, dupa, pengawet serta untuk keperluan ritual keagamaan. Eksploitasi gaharu yang berlebihanmengakibatkan kelangkaan dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Kelangkaan ini menyebabkan gaharu masuk kedalam daftar CITES Apendiks II, dengankonsekuensinyayaitupenjualan ekspor dan impor gaharu diaturolehkuota.Akan tetapi, kuotainitidak membedakan gaharu alami atau budidayasehingga masihmendorong terjadinyapraktek penebangan liar.Olehkarenaituperludilakukanupayapengendalian yang efektfterhadapasalusulkayugaharu.Akhir-akhirinipenggunaanpenanda DNA menjadipentinguntukmemverifikasiasal-usulkayudanbahantanamankarenasifatnya yang sulitdimanipulasisehinggaperludiujicobapadakayugaharu.Penelitianinibertujuanuntuk 1) melakukanamplifikasisilang primer mikrosatelitAquilariacrassnakejenisgaharulainnya, dan 2) mendugaasalusulkayugaharuyang diperdagangkan di pasaran.Bahanpenelitianyaitupopulasigaharudarihutanalamdantanamansertakayugaharu yang tidakdiketahuiasal-usulnya.Primer mikrosatelitA.crassna yang digunakandalamamplifikasi DNA gaharuadaempatmacam, yaitu 6pa18 (180-210 bp), 10pa17 (152-156 bp), 16pa17 (143-155 bp), dan 71pa17 (152-224 bp).Berdasarkanhasilpengamatandidapatkanbahwasemuajenissampelgaharubaikdarihutan alammaupunhutantanamandapatmengamplifikasisilangpadarentangukuranfragmen DNA yang diharapkan.Analisisgenetikmenunjukkannilaikeragamangenetik (He) dalampopulasigaharusebesar He=0.5443 (hutantanaman), dan He=0.4642 (hutanalam). Nilaikeragamangenetiktersebutdapatdigunakansebagaiinformasiilmiahuntukupayapengko nservasiangaharu.PadadendrogramNtsys (analisisklaster) terlihatadanyapengelompokangaharuasalhutantanamandanhutanalam, dimanasampelpotongan kayu gaharu dengan asal-usul tidak jelas mengelompokke gaharudari hutanalam. Hal inimengindikasikanbahwakayu gaharu yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam. Kata kunci :gaharu, amplifikasisilang, mikrosatelit, CITES, keragamangenetik.
iii
LASWI IRMAYANTI. Genetic Variation of Planted andNatural Agarwood Assessed by Microsatellite. Under direction of ISKANDAR Z. SIREGAR ABSTRACT Agarwood is one of the valuable Non Timber Forest Products (NTFPs) that contain resin with a specific fragrance, and is often used as raw materials of perfumes, pharmaceuticals, cosmetics, incense, preservatives as well as religious activities. Overexploitation of agarwoodhas resulted in scarcity of agarwood in the nature leading to the lossesof treesof superior genotypes. This scarcity has led agarwoodto be included into the CITES Appendix II list in which a quota system is imposed for trading activities. However, this quota still does not distinguish clearly between natural or cultivatedagarwood, opening opportunities for illegal trading practices. It is therefore necessary to provide an effective attemptsto control of the origin of. Nowdayas, the use of DNA markers gains significant importance in the forensic activities such as verification of the origin of timber and plant materials. This tool is difficult to be manipulated. Therefore, a study was carried with aims to 1) cross amplify Aquilariacrassna microsatellite primers into other agarwood species (transferability study), and 2) to infer the origin of agarwoodbeing traded in the market. Materials for research were populations of agarwood from natural and planted forests and agarwood pieces of unknown origin. A.crassna microsatellite primers were used, namely 6pa18 (180-210 bp), 10pa17 (152-156 bp), 16pa17 (143-155 bp), and 71pa17 (152-224 bp). Results showed thatagarwood samples from both natural forests and plantations could cross amplify with expected fragment size ranges.Resultshowedthatgenetic diversity (He) in the planted forest was 0.5443 a slighty higher than that of natural forest (He=0.4642). Information on the level of genetic diversities can be used as scientific basis for conservation program. Cluster analysis showed different groupings of agarwood originated from plantations and natural forests. Futher analysis showed that agarwoodtimbers with unclear origins clustered intoagarwoodgroupd from natural forests indicatingcommon existence of traded natural agarwood. Keywords: agarwood, cross amplification, microsatellite, CITES, genetic diversity.
iv
KERAGAMAN GENETIK GAHARU BUDIDAYA DAN ALAMI BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT
Oleh : LASWI IRMAYANTI E44070003
Skripsi Sebagaisalahsatusyaratuntukmemperoleh gelar Sarjana Kehutanan padaFakultasKehutanan InstitutPertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
LEMBAR PENGESAHAN
JudulSkrips : Keragaman i
GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosa telit
Nama
: LaswiIrmayanti
NIM
: E44070003
Menyetujui Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar ,M.For.Sc. NIP. 19660320 199002 1 001
Mengetahui, KetuaDepartemenSilvikultur Fakultas Kehutanan IPB
Prof. Dr. Ir.NurheniWijayanto, MS NIP. 19601024 1984031 009
v
TanggalLulus :
vi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Keragaman GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelit” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing yang belum pernah digunakan sebagai karya pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011
Laswi Irmayanti E44070003
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tuban, Jawa Timur pada tanggal 23 Agustus 1988, putri dari pasangan Jayus dan Rupi’in. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SDN Sumurcinde I.Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Soko. Padatahun 2007, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tuban, dimana pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Silvikultur dengan sistem Mayor-Minor. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yakni pada periode tahun 2007/2008 sebagai staf FORCES (Forum for Scientific Studies), aktif di Himpro TGC (Tree Grower Community) divisi Scientific Improvement
2008-2010, dan
HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam) periode 2009/2010 sebagai bendahara umum. Penulis pernah menjadi asisten program TPB IPB (Tingkat Persiapan Bersama) pada mata kuliah Fisikatahun 2009/2010, untuk program Sarjana pada mata kuliah: Silvikultur (2010), Genetika Hutan (2010-2011), dan Pemuliaan Pohon (2010). Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada bulanJuli 2011. Selama perkuliahan, penulis mengikuti
PPEH (Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan)yang dilaksanakan di Pangandaran–Gunung Sawal. PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi. PKP (Praktek Kerja Profesi) dilaksanakan di PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin, Kalimantan Selatan pada periode Februari – April 2011. Guna memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi
dengan
judul
Keragaman
Genetik
GaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelitdibawahbimbinganPro f.Dr. Ir Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc.
viii
KATA PENGANTAR
Pujisyukurpenulispanjatkanataskehadirat
Allah
SWT
yang
telahmemberikanrahmatdanhidayah-Nya, sehinggapenulisdapatmenyelesaikanpenulisan skripsiini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, suri tauladan yang telah memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia. Skripsiinimerupakansalahsatusyaratuntukmendapatkan
gelar
Sarjana
Kehutanan di Fakultas KehutananInstitutPertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Keragaman GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanMetodeMikrosatelit”. Penulisanskripsi
ini
diharapkandapatmembukawacanakeilmuandalambidangkehutananterutamamenge naikeragamangenetikgaharu,
baikgaharupadahutantanamanmaupunhutanalam,
sertadapatbergunabagisemuapihak yang berkepentingan. Penulismengucapkanterimakasihkepadasemuapihak yang membantudalam menyelesaikanskripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi masukan dan perbaikan untuk penelitian yang akan datang.
Bogor, November 2011
Penulis
ix
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Prof.Dr. Ir Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc. selakudosenpembimbingatas bimbingan dan ilmunya yang telah diberikan.
2.
RestiMeilaniS.Hut,
M.Si
selaku
dosen
pengujidanDr.ArumSekarWulandariselakuketuasidang 3.
Bapak tercinta Jayus dan Emak tercinta Rupi’indan Adik tersayang Taman Agung yang telah menyemangati dan mendoakan penulis.
4.
Tedi Yunanto, S.Hut. M.Si, Fifi Gus Dwiyanti, S.Hut dan Elviana, S.Hut yang telah membantu penulis selama penelitian
5.
Teman-teman di Laboratorium Genetik Silvikultur (Asep Mulyadiana, S.Hut, Azizah, Eka Perdanawati, Mira Novianti, Ridahati Rambey S.Hut, M.Si, Dr. Ir. Yulianti, MS, dan Dra. Dida Syamsuwida MSc)
6.
Sahabat-sahabat terbaik penulis di Silvikultur 44 (Hendra Prasetya, Lilik Sugirahayu,Nifa Hanifa, Nurunnajah, Anindita Kusumaningrum, Yuniar Safitri, danCyntia Yuni Ardanari), 45 dan 46 terimakasih atas do’a dan dukungannya, sertateman-teman yang tidakbisasayasebutkansatu per satu.
7.
Keluarga Besar HMI Komisariat Fakultas Kehutanan IPB (Alex Yungan, Wira Ari Ardana, DindaHidayanti, Sri Handayani, danNiaWidyastuti)
8.
Teman-temanwismaAr-Riyadh (Lili Suryani, Ririn Masrina, Sri Lestari, Yunita Fatmah Sujati, Gita, Nurzakiyah, Maya Wulan ArinidanFitriani Rahayu)terimakasihatasbantuandandukungannya
9.
Keluarga Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Ronggolawe Tuban (IPMRT)
10. Civitas akademik Fakultas Kehutanan atas kekeluargaannya 11. Seluruh civitas akademik Institut Pertanian Bogor Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Bogor, November 2011 Penulis
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix DAFTAR ISI ...................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv BAB I.PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................
2
1.3 Manfaat Penelitian .................................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................
3
2.1 DeskripsiSingkatGaharu..........................................................................
3
2.2 Cites .........................................................................................................
4
2.3 Deoksiribonukleat Acid (DNA) ...............................................................
5
2.4 KeragamanGenetik ..................................................................................
6
2.5 PCR (Polymerase Chain Reaction) .........................................................
8
2.6 Mikrosatelit .............................................................................................
9
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................. 11 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 11 3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 11 3.3 Prosedur Penelitian ................................................................................... 13 3.3.1 Pengambilan Sampel Daun ............................................................ 13 3.3.2 Ekstraksi DNA ............................................................................... 13 3.3.3 Elektroforesis ................................................................................. 14 3.3.4 PCR ................................................................................................ 14 3.3.5 Pembuatan Gel Poliakrilamid......................................................... 15 3.4 Analisis Data ........................................................................................... 17 BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 19 4.1 AmplifikasiSilangPenandaMikrosatelit .................................................. 19 4.2 KeragamanGenetikdalamPopulasiGaharu .............................................. 20
xi
4.3 Keragaman Genetik antarPopulasiJenisGaharu ...................................... 22 4.4 Pendugaan Kayu Gaharu dengan Asal-usul tidak Jelas .......................... 24 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 28 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 29 LAMPIRAN ....................................................................................................... 33
xii
DAFTAR TABEL
1 Alat dan bahan untuk teknik analisis genetik ..................................................... 11 2 Lokasi pengambilan dan jumlah sampel penelitian .......................................... 12 3 Primer mikrosatelit Eurlings et al. (2009).......................................................... 15 4 Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR .................................... 15 5Komposisi pembuatan gel Poliakrilamid ............................................................ 16 6Bahan pewarnaan DNA mikrosatelit .................................................................. 17 7HasilPendugaanpanjangfragmen DNA hasilamplifikasi..................................... 18 8Komposisi lokus polimorfik untuk masing-masing primer ................................ 19 9Panjang fragmen hasil amplifikasi silang tiap jenis gaharu ................................ 19 10Variasi genetik dalam populasi gaharu alam dan tanaman ............................... 20 11Keragamangenetik (He) beberapajenistanamankehutanan ................................ 21 12 Jarak genetik populasi gaharu .......................................................................... 23
xiii
DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi pohon gaharu .................................................................................... 3 2Prinsip kerja PCR ................................................................................................ 9 3 daun dan kayu gaharu ........................................................................................ 12 4 Baganalurpenelitian ........................................................................................... 13 5 Contoh perakitan kaca poliakrilamid ................................................................. 16 6 Cara skoring DNA mikrosatelit ......................................................................... 17 7 Grafik panjang fragmen hasil amplifikasi .......................................................... 18 8Hasil amplifikasi silang mikrosatelit................................................................... 19 9 Dendogram gaharu hutan alam dan tanaman ..................................................... 23 10Dendogram pendugaan asal-usul kayu gaharu.................................................. 25 11Dendogram hutanalamdantanamandengan primer 10pa17 ............................... 26
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1BeberapajenistumbuhanApendiks I, II, dan III CITES ....................................... 34 2 Instrumen/alat-alatpenelitian .............................................................................. 35 3SkoringgenotipeA.malaccensisHutan Tanaman .................................................. 35 4SkoringgenotipeA.microcarpaHutan Tanaman................................................... 36 5SkoringgenotipeA.crassnaHutan Tanaman ......................................................... 37 6SkoringgenotipeGirinopssp.Hutan Alam ............................................................ 37 7SkoringgenotipeA.malaccensisHutan Alam, NTB .............................................. 37 8SkoringgenotipeA.malaccensisHutan Alam, Riau .............................................. 38 9SkoringgenotipeA.microcarpaHutan Alam......................................................... 39 10SkoringgenotipepotongankayuGaharu .............................................................. 39 11TampilanhasilanalisisPopGene ......................................................................... 40 12Tampilanhasilanalisis data Ntsys ...................................................................... 44
xv
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaharu merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon gaharu.Adanya kandungan damar yang wangi dalam gaharu ini, gaharu sering digunakan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetik, dupa, pengawet, serta untuk keperluan kegiatan agama. Gaharu
dikenal
berasal
dari
marga
tumbuhan
Aquilaria
dan
Gyrinops.Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003) saat ini di Indonesia diketahui terdapat 6 jenis Aquilaria yang dapat menghasilkan gaharu, yaitu A.beccariana, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis,A.cumingiana, dan A. microcarpa. Perdagangan gaharu di Indonesia tercatat telah dimulai sejak abad ke5.Cina merupakan pembeli terbesar untuk produk-produk gaharu.Perdagangan gaharu berlanjut pada masa pemerintahan Belanda (dari abad ke-18 sampai permulaan abad ke-19) dan berlangsung hingga sekarang (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Eksploitasi gaharu yang disertai pembalakan hutan mengakibatkan kelangkaan pohon gaharu dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Akibat kelangkaan tersebut menurut Balitbanghut (2006) semua jenis Aquilaria, dan Gyrinops ditempatkan pada CITES Apendiks II (Lampiran I),konsekuensinya yaitupenjualan ekspor dan impor gaharu ditentukan kuota dan harus mendapat izin dari CITES. Akan tetapi, kuota ini tidak membedakan gaharu alam atau budidaya sehingga mendorong praktek penebangan liar.Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pengendalian asal-usul kayu gaharu agar tetap terjaga kelestariannya.Hal ini meningkatkanpengendalian perdagangan gaharu komersial di semua negara yang berpartisipasi. Pengendalian perdagangan internasionaldenganmetode deteksi tradisional seperti cahaya mikroskop, gagal untuk membedakan antara gaharu legal dan gaharu illegal yang diperjualbelikan (Barden et al. 2000).Untuk membedakan
2
gaharu dari hutan alam dan hutan tanaman serta kepentingan pengendalian perdagangan gaharu internasional diperlukan metode identifikasi alternatif yang dapat diandalkan dan sulit dimanipulasi, misalnya dengan marka DNA.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Melakukan amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari jenis Aquilaria crassna ke jenis gaharu lainnya 2. Menduga asal usul kayu gaharu yang saat ini diperdagangkan di pasaran.
1.3 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang kelayakan metode DNA untuk menduga asal-usul kayu dan jenis-jenis gaharu yang diperdagangkan sehingga dapat digunakan untuk pengendalian perdagangan gaharu.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Singkat Gaharu Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyatakan bahwa gaharu merupakan nama perdagangan untuk kayu yang berasal dari pohon margaAquilaria (sebagian besar berasal dari A.malaccensis). Pohon-pohon tersebut seringkali terkena infeksi oleh parasit yang berupa jamur dan mulai menghasilkan resin yang harum dan bewarna gelap di bagian kayu teras. Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama
gaharu. Di pasar internasional,
gaharu dikenal dengan
namaagarwood, aloeswood atau oudh. Aswoko (2009) menjelaskan bahwa gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon Aquilaria sp. (Thymelaeaceae). Kerajaan
: Plantae
Ordo
: Malvales
Famili
: Thymelaeaceae
Genus
: Aquilaria
Secara morfologi, tinggi pohon gaharu dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm. Kulit batang licin, berwarna putih atau keputihputihan, dan kadang beralur. Bentuk daunnya lonjong agak memanjang dengan ukuran 5 – 8 cm, lebar 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilap (Sumarna2002 dalam Aswin 2007).Adapun morfologi pohon gaharu disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Morfologi pohon gaharu (Adinugroho 2010)
Produksi gubal gaharu memerlukan pohon gaharu dan mikroba untuk menginduksi pembentukan senyawa gaharu. Gubal gaharu terbentuk sebagai
4
reaksi pertahanan pohon terhadap infeksi patogen melalui pelukaan pada batang, cabang, atau ranting atau pengaruh fisik lainnya. Infeksi patogen mengakibatkan keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu. Lama kelamaan jaringan kayu ini akan mengeras dan berubah warnanya menjadi coklat sampai kehitaman, bagian ini menjadi berat dan berbau wangi (Hou 1960 dalam Aswin 2007). Penyebaran gaharu dimulai dari Iran, India, Vietnam, Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Serawak dan Filipina. Di Indonesia daerah penyebaran gaharu antara lain terdapat di kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa. Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 – 2400 meter di atas permukaan laut. Gaharu yang berkualitas baik umumnya tumbuh pada daerah yang beriklim panas dengan suhu 28–34ºC, kelembaban 60 – 80%, dan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun (Sumarna 2002 dalam Aswin 2007). Meningkatnya perdagangan gaharu telah mengakibatkan populasi gaharu di Indonesia mendekati kepunahan. Hal tersebut memicu upaya melestarikan Aquilaria di alam, antara lain dengan memasukkan A.malaccensiske dalam Apendiks II CITES(CITES 1994 dalam Soehartono dan Maardiastuti 2003).James et al. (1994) menjelaskan penetapan tersebut disebabkan oleh populasi tanaman penghasil gaharu semakin menyusut di alam karena para pengusaha gaharu tidak dapat mengenali dengan tepat tanaman yang sudah mengandung gaharu dan siap dipanen. 2.2 CITES CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam merupakan perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. Konvensi ini bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan
internasional
spesimen
tumbuhan
dan
satwa
liar
yang
mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam(Anonim 2010a). Jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang berada dalam pengawasan CITES dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dinamakan Apendiks.Tiga apendiks dalam CITES yaitu (Alamendah 2010):Apendiks I; daftar seluruh spesies
5
tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Apendiks I sedikitnya berisi 800 spesies seperti macan tutul, gajah sumatera, harimau sumatera, dan semua spesies badak termasuk badak jawa dan badak sumatera,Apendiks II; daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Apendiks II berisi sekitar 32.500 spesies.Apendiks III; daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I. Dalam apendiks III berisi sekitar 300 spesies. CITES
merupakan
satu-satunya
perjanjian
global
dengan
fokus
perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela dan negara-negara yang terikat dengan konvensi disebut para pihak (parties). Walaupun CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES bukan pengganti hukum di masing-masing negara. Pada tahun 2002 hanya terdapat 50% para pihak yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang harus dipenuhi: (1) keberadaan otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan, (2) hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi CITES, (3) sanksi hukum bagi pelaku perdagangan, dan (4) hukum untuk penyitaan barang bukti (Anonim 2010a). Indonesia tergabung dalam CITES pada tanggal 28 Desember 1978 dan konvensi ini secara resmi mulai diberlakukan sejak tanggal 28 maret 1979 melalui Keputusan Presiden No. 43/1978 tanggal 15 Desember 1978. Indonesia merupakan Negara ke-48 yang tergabung dalam CITES. Selama menjadi anggota Konvensi, Indonesia secara aktif telah memberikan masukan terhadap perubahanperubahan peraturan di dalam Konvensi tersebut (Soehartono dan Mardiastuti 2003). 2.3 Deoksiribonukleat Acid (DNA) DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling penting pada makhluk hidup, yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk hidup dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semua makhluk hidup kecuali beberapa virus mempunyai DNA. Di dalam sel, bagian terbesar dari DNA terdapat dalam nukleus, terutama dalam kromosom. Molekul
6
DNA juga ditemukan di dalam mitokondria, plastid, dan sentriol. Menurut studi dari foto sinar-X oleh Rosalind Franklin dikemukakan bahwa molekul DNA mempunyai struktur seperti spiral. Berdasarkan foto yang diambil oleh Franklin tersebut, Watson dan Crick dalam bulan April 1953 mengambil kesimpulan bahwa (Suryo 2008) : a) Deretan polinukleotida DNA mempunyai bentuk sebagai spiral teratur b) Spiral itu mempunyai diameter kira-kira 20 Amstrong, dan lebar spiral tersebut tetap c) Mengingat bahwa molekul DNA sangat padat, maka spiral DNA terdiri dari dua buah spiral yang mengandung dua deretan polinukleotida Suryo (2008) menjelaskan baha dua buah pita polinukleotida yang berbentuk double helix dalam molekul DNAdihubungkan oleh atom H yang sangat lunak. Jika suatu larutan yang mengandung DNA dipanaskan atau dibubuhi alkali yang kuat, maka ikatanhydrogen itu menjadi lebih labil dan putus. Dua pita spiral dari molekul DNA akan membuka, proses ini dinamakan denaturasi DNA. Jika larutan tersebut kemudian didinginkan kembali atau dinetralisir secara perlahan-lahan, maka terbentuklah pasangan-pasangan basa itu kembali. Peristiwa ini dinamakan renaturasi. 2.4 Keragaman Genetik Finkeldey (2005)menyatakan bahwa keragaman genetik merupakan perbedaan gen yang terkandung dalam individu suatu populasi dan berhubungan dengan kemampuan beradaptasi suatu individu dalam mengalami perubahan selama proses perkembangan. Keragaman genetik dapat diwariskan kepada keturunannya dan terjadi karena adanya rekombinasi genetik sebagai akibat adanya persilangan-persilangan dan adanya mutasi. Jenis-jenis pohon memperlihatkan keragaman dalam sifat-sifatnya.Dalam suatu jenis pohon dapat dijumpai beberapa keragaman yaitu keragaman geografis (antar provenansi), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), keragaman antar pohon, dan keragaman dalam pohon.Ada dua sebab utama yang menimbulkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan dan perbedaan struktur genetik. Keragaman genetik dari suatu keturunan merupakan hasil dari perkembangbiakan secara seksual (Aritonanget al. 2007).
7
Penanda genetik merupakan alat yang sangat penting untuk mempelajari sistem genetika pohon hutan. Beberapa manfaat penting dari penanda genetik adalah sebagai alat pembantu dalam identifikasi klon, identifikasi hibrid, pengukuran variasi genetik di dalam dan antar populasi, penelitian sistem reproduksi yang mencakup sistem perkawinan dan aliran gen, pembuktian pengaruh seleksi dan identifikasi QTL (Quantitative Trait Loci). Terdapat banyak jenis penanda genetik yang telah diidentifikasi. Beberapa penanda genetik yang banyak digunakan dalam genetika hutan, yaitu polimorfisme morfologi, sifatsifatwarna, produksi metabolisme sekunder, isoenzim, dan penanda DNA (Finkeldey 2005). Penanda (marka) dapat digolongkan atas tiga, yaitu marka morfologis, marka sitologi, dan marka molekuler. Penanda morfologi adalah penanda yang berdasarkan bentukorgan-organ tanaman yang mudah diamati.Penanda morfologi digunakan dalamdeskripsi taksonomi karena lebih mudah, lebih cepat, sederhana, dan lebih murah.Akan tetapi, penanda ini dapat dimodifikasi oleh lingkungan sehingga dianggaptidak stabil (Wulandari 2008).Penanda ini mudah dilihat oleh mata dan telah banyak digunakan sejak awal genetika.Contohnya adalah warna, rambut daun, serta ukuran atau bentuk organ tertentu. Walaupun mudah dan masih dipakai (biasanya digunakan untuk mengontrol berhasilnya suatu persilangan), penanda morfologi dapat dimodifikasi oleh pengaruh lingkungan sehingga dianggap tidak stabil (Aritonang et al. 2007). Menurut Asiedu (1989) dalam Aritonanget al. (2007), penanda sitologi adalah penanda yang digunakan untuk membantu pemuliaan tanaman melalui ukuran kromosom, rasio tangan kromosom dan pola pita teknik-teknik pewarnaan kromosom.Penggunaan penanda sitologi khususnya pola pita kromosom dimungkinkan pada spesies-spesies tanaman yang mempunyai kromosom dengan ukuran yang lebihbesar, misalnya pada tanaman gandum. Aritonang et al. (2007) menjelaskan bahwa penanda molekuler adalah penanda yang dihasilkan dari DNA atau RNA jadi penanda biokimia, yang sebenarnya juga molekul, tidak termasuk didalamnya. Penanda molekuler bersifat stabil karena DNA bersifat kekal dan tidak terpengaruh lingkungan.
8
2 PCR (Poolymerase Chain 2.5 C Reactiion) Finkeeldey (2005)) menyatakaan bahwa PCR P (polym merase chain n reaction) m merupakan suatu metod de untuk m menggandakaan atau menngamplifikassikan DNA y yang diisolaasi pada sebu uah tabung reaksi r kecil dengan d melaalui replikassi berulang. T Titik awal dari d reaksi (p primer) adalaah oligonuklleotida, yaknni potongan kecil DNA y yang dihasillkan secara buatan b (biasanya terdiri antara 10-25 nukleotidaa) sekuensi d basa prrimer dapat dipilih secaara bebas. PCR dari P memunngkinkan peenggandaan p potongan peendek DNA A dari semuaa organismee. Dari satu tabung reak ksi tunggal d dapat dihasillkan jutaan tiruan t potonggan DNA iddentik. Reakssi polimeraase berantaii atau dikeenal sebagaai Polymeraase Chain R Reaction
(PCR) (
meerupakan
ssuatu
prosses
sintesiis
enzimattik
untuk
m mengamplif fikasi nukleootida secaraa in vitro. Metoda M PCR R dapat menningkatkan j jumlah urutaan DNA ribuuan bahkan jjutaan kali dari d jumlah ssemula, sekiitar 106-107 k kali. Setiap urutan basa nukleotida yang diam mplifikasi aakan menjaddi dua kali Pada setiapp n siklus P j jumlahnya. PCR akan diiperoleh 2n kali banyakknya DNA t target. Kuncci utama peengembangaan PCR adaalah menem mukan bagaiimana cara a amplifikasi hanya h pada urutan DNA A target dan meminimallkan amplifikkasi urutan n non-target (F Fatchiyah 20 006).
Gam mbar 2 Prinsipp kerja PCR (Anonim2010 ( 0b)
9
Surahman (2007) menjelaskan bahwa proses PCR pada prinsipnya melibatkan tiga langkah yang diulangi dalam beberapa siklus, yaitu : 1) Denaturasi termal dengan meningkatkan suhu pada tabung reaksi 2) Primer Anneling, yaitu tahap dimana primer akan berpasangan dengan sekuen DNA cetakan (template) yang sudah dalam bentuk ss-DNA pada suhu 35-60oC 3) Ekstensi Primer, pada tahap ini suhu ditingkatkan kembali sampai 75oC yang merupakan suhu optimum untuk kerja tag DNA polymerase yangakan memulai reaksi pada ujung 3’-hidroksil dari primer. Finkeldey (2005) menjelaskan bahwa sekuensi pendek berulang nonkodon asam amino yang biasanya terdiri atas 3 pasang dapat ditemukan pada DNA dari kebanyakan hewan dan tumbuhan. Sekuensi seperti itu biasanya memiliki polimorfisme yang tinggi, dalam arti bahwa banyak tipe berbeda dapat diamati dalam populasi. Polimorfisme seperti itu dapat dipelajari menggunakan metoda PCR bila dapat ditentukan secara khusus primer-primer yang cocok dengan daerah sasaran. 2.6 Mikrosatelit Boer (2007) menjelaskan DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampaienam pasang basa yang berulang secara berurutan. DNA mikrosatelit biasadigunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studifilogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif dan forensik.DNA
mikrosatelit
diamplifikasi
menggunakan
teknik
PCRdenganbeberapa pasang primer mikrosatelit. DNA produk PCRdideteksi menggunakanteknik elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan denganpewarnaan perak. Mikrosatelit juga dikenal dengan simple sequence repeats (SSRs) yaitu kelas terkecil dari sekuen berulang. Sekuen yang berulang sering sederhana, terdiri dari dua, tiga atau empat nukleotida (di-, tri-, dan tetranukleotida berulang). Salah satu contoh umum mikrosatelit adalah dinukleotida berulang (CA)n, dimana n menunjukkan jumlah total nukleotida berulang/repeats yang berada pada kisaran 10 dan 100(Nasoetion 2004). Finkeldey (2005) menjelaskan bahwa mikrosatelit telah diidentifikasi pada DNA plastid (DNAcp dan DNAmt) dan juga pada DNA inti. Mikrosatelit biasanya bersifat kodominan. Mikrosatelit sangat berguna untuk studi aliran gen
10
dan sistem perkawinan dari suatu jenis, karena mikrosatelit sering menunjukkan variasi yang luas. Identifikasi dan karakterisasi lokus gen mikrosatelit membutuhkan waktu yang sangat lama. Meskipun demikian, banyak penelitian yang menggunakan lokus mikrosatelit, misalnya Eucalyptus spp, Shorea spp, dan Dipterocarpus lainnya, dan juga pada Swietenia bumilis, serta Meliaceae jenis lainnya.
11
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitiandilaksanakan di Laboratoriumbagian Silvikultur, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian ini yaitu pada bulan Agustus 2010 – Agustus 2011. 3.2 Alat dan Bahan Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun dan potongan kecil kayu gaharu (Gambar 3). Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
peralatanuntukekstraksiatau
isolasi
DNA,
PCR,
elektroforesis,
mikrosetelit,pewarnaan gel dan pengolahan data.Primer yang digunakan untuk kegiatan teknik mikrosatelit pada penelitian ini terdiri atasempat primer spesifik untuk nuklear (Eurlings et al. 2009).Primer tersebut digunakan Eurlings untuk mengamplifikasi gaharu dari jenis A.crassna.Keempat primer tersebut adalah 6pa18, 10pa17,16pa17, dan 71pa17.Deskripsi alat dan bahan serta sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1 dan 2.Adapun gambar peralatan yang digunakan disajikan pada Lampiran 2. Tabel 1 Alat dan bahan untuk teknik analisis genetik No 1
Tahapan Kegiatan Ekstraksi dan Isolasi DNA
2
PCR
3
Elektroforesis
4
Mikrosatelit
5
Pewarnaan Gel
Alat penggaris, gunting, masker, sarung tangan karet, tube 1.5 ml, oven, spidol permanen, mortar, pestel,termos, sudip, mikropipet, tips, rak tube, vortex, mesin sentrifugasi, waterbath, freezer, desikator. tube 0,2 ml, spidol permanen, alat tulis, mikro pipet, tips, mesin sentrifugasi, mesin PCR PTC-100 masker, mikropipet, tips, mesin sentrifugasi, bak elektroforesis, cetakan agar, erlenmeyer, sarung tangan, UVtransilluminator, kamera sepasang kaca mikrosatelit, masker, sarung tangan karet, mikropipet, tissue, penjepit kaca, timbangan, poliakrilamid elektroforesis Bak pewarnaan,
Bahan daun dan kayu gaharu, nitrogen cair, bufferekstrak, PVP 2%, chloroform, fenol, isopropanol dingin, NaCl, etanol 95%, buffer TE, silica gel
DNA, aquabidest, sepasang primer mikrosatelit, green go taq,nukleas free water agarose, buffer TAE 1x, , blue juice 10x, DNA marker, EtBr,
Akrilamit, bisakrilamit, APS, bindsiland, sigmacote, etanol, DNA yang sudah diPCR, buffet TBE perak nitrat, NaOH, acetic acid,
12 No 6
Tahapan Kegiatan Analisis Data
Alat shaker,masker, sarung tangan, kamera Foto mikrosatelit, notebook, softwere POPGENE versi 1.31, NTSYS versi 2.0., dan Minitab versi 14
Bahan etanol 95%, aquades, formaldehyde
Tabel 2 Lokasi pengambilan dan jumlah sampel penelitian No
Lokasi
Keterangan
Jenis Gaharu A.malaccensis
A.microcarpa
A.crassna
1
Muara Fajar, Riau
20**
2
Kebun Raya Bogor
4**
3
Biotrop, Bogor
4**
4
Kebun Greg Hambali, Bogor
2**
2**
2**
5
Gunung Walat, Sukabumi
2**
5**
9**
6
Lombok, NTB
20*
7
Siak, Riau
20*
8
Kalimantan Selatan
9
Semplak, Bogor
Girinops sp.
10**
daun
1** 4**
20* 2? 74
Jumlah
A.filaria
7? 28
15
10
kayu
7
Keterangan: * = hutan alam; ** = Hutan tanaman; ? = dari hutan alam atau hutan tanaman
A.malaccensis
A.filaria
A.crasna
A.microcarpa
Gaharu yang diperoleh dari pedagang di Bogor Gambar 3 Daun dan potongan kecil kayu gaharu
13
3.3 Prosedur Penelitian Tahapan penelitian mengikuti alur seperti pada Gambar 4. Pemilihan Populasi Hutan Alam dan Tanaman Gaharu untuk Penelitian Pengambilan Sampel Amplifikasi Silang (Ekstraksi atau Isolasi DNA, Elektroforesis, PCR, Mikrosatelit dan Pewarnaan Gel)
Analisis Keragaman Genetik Gaharu Hutan Alam dan Tanaman Pendugaan Kayu Gaharu dengan Asal – usul tidak Jelas Gambar 4 BaganAlur Penelitian
3.3.1 Pengambilan Sampel Daun Sampel pada penelitian ini yaitu daun dan kayu dari pohon gaharu.Sampel daun gaharu diambil dari hutan alam dan hutan tanaman.Sampel dari hutan alam diambil dari Propinsi Riau, Kabupaten Lombok, dan Propinsi Kalimantan Selatan.Sedangkan sampel kayu diambil dari toko kayu gaharu Semplak, Bogor, Jawa Barat. 3.3.2 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dari daun dan kayugaharudilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide). Sampel daun 2 x 2 cm digerus dengan menggunakan nitrogen cair di dalam pestel yang bersih, sedangkan pada sampel kayu dibor untuk mendapatkan serbuk kayu. Hasil gerusan daun dan serbuk kayu selanjutnya dipindahkan ke dalam tube 1,5 ml, lalu ditambahkan 500µl larutan buffer ekstrak (Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB, aquades, dll) dan 100 µl PVP 1%. Fungsi buffer ekstrak dan PVP adalah mempercepat proses penghancuran. Tahapan selanjutnya dilakukan proses inkubasi di dalam waterbath selama 1 jam pada suhu 65oC-70oC. Selama inkubasi setiap 15 menit diangkat dan
14
dikocok. Jika proses inkubasi telah selesai maka tube diangkat dan didinginkan kurang lebih 15 menit. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µl, selanjutnya campuran tersebut dikocok agar menjadi homogen dan disentrifuse pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Proses sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan bahan-bahan kimia atau fase organik dari fase air berupa supernatan. Langkah selanjutnya yaitu fase air dipisahkan dari fase organik dengan menggunakan mikro pipet kemudian fase air dipindahkan ke dalam tube baru. Kegiatan selanjutnya adalah penambahan isopropanol dingin 500 µl dan NaCl 300 µl, lalu disimpan dalam freezer selama 45 menit sampai 1 jam. Hasil pengendapan disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan cairan dalam tube dibuang. Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA dengan menambahkan etanol 95% sebanyak 300 mikroliter, lalu disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan cairan dalam tube dibuang kembali dan dilakukan secara hati-hati. Proses tersebut dilakukan 2 kali. Pellet DNA yang ada di tube dikeringkan dengan cara disimpan di dalam desikator secara terbalik agar silicagel di dalam desikator dapat menyerap cairan yang ada dalam tube selama ± 15 menit. 3.3.3 Elektroforesis Selama proses pengeringan pellet DNA, disiapkan agarose 1% (0,33 gram agarose dalam 33 ml TAE). Untuk proses elektroforesis, ditambahkan TE 50 μl pada pellet DNA lalu sentrifugasi, diambil 3 μl DNA ditambahkan 2 μl BJ (Blue Juice) 10 X dan running/elektroforesis selama kurang lebih 30 menit. Hasil elektroforesis kemudian direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) 10 μl per 200 ml aquades selama 15 menit dan selanjutnya difoto pada UV transiluminator. 3.3.4 PCR (Polymerase Chain Reaction) Mikrosatelit Sebelum melakukan amplifikasi PCR, DNA hasil ekstraksi diencerkan dengan aquabidest. Perbandingan antara DNA dan aquabidest tergantung dari resolusi pita DNA genomik dari hasil ekstraksi, misalnya pengenceran 100x artinya 99 μl aquabides dan 1 μl DNA hasil ekstraksi. Primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat macam, seperti yang tertera pada tabel 3.
15 Tabel 3 Primer mikrosatelit Eurlings et al. (2009) Locus
Primer sequence (50–30)
Repeat
6pa18
F: TGAGGCGTGAGTGAGATATTGATT R: CCTTCCTCTCTTCTTACCTCACCA F: ACACACTGTTATGGTCTACAGCTT R: CGCCATCTCATAATATTCTAATGTA F: AGTGAACAACTTGACTAGGCTTG R: GCTGAACACAACAAGATATCACC F: AGCAAACAGTGGGATAAGGTC R: AGAAAGGAGGCGAAACGAAT
10pa17 16pa17 71pa17
(CA)8
Size range (bp) 180–210
Number of alleles 7
TA (OC) 50
(CA)12
152–156
3
50
(CA)19
143–155
6
59
(CA)15
152–224
15
54
Komposisi bahan untuk reaksi PCR mikrosatelit terdiri atas Nukleas free water, Green go taq, primer forward dan reverse, DNA isolasi. Reaksi PCR
mikrosatelit
tersebut
dilakukan
dengan
menggunakan
mesin
PTC-100
Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Komposisi bahan untuk reaksi PCR Mikrosatelit dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR. No. 1. 2. 3. 4.
Nama Bahan Nucleas free water Green Go Taq Primer Cetakan DNA
1 Sampel Reaksi
X Sampel Reaksi
2,5 μl 7,5 μl 1,5 μl 2 μl
X x 2,5 μl X x 7,5 μl X x 1,5 μl X x 2μl
3.3.5 Pembuatan Gel Poliakrilamid 3.3.5.1 Persiapan plate kaca pendek Langkah awal adalah membersihkanplate hingga bersih menggunakan tissue dan ethanol 95%, kemudian meneteskan 50 µl SigmaCote pada plate menggunakan pipet mikro. Untuk meratakan SigmaCote pada seluruh permukaan plate disapu menggunakan tissue, penyapuandilakukan secara merata untuk memastikan permukaan kaca telah terolesi SigmaCote. Kemudian bilas kelebihan SigmaCote dengan cara mencuci plate menggunakan ethanol 95% dan tissue.Karena sisa-sisa SigmaCotebisa menyebabkan penghambatan ketika pewarnaan 3.3.5.2 Persiapan plate kaca panjang Langkah awal adalah membersihkanplate hingga bersih menggunakan tissue dan ethanol 95%, kemudian meneteskan 50 µlBind menggunakan pipet mikro. Untuk meratakan Bind
Silanc Silanc
pada plate pada seluruh
16
permukaan plate digunakan tissue. Menyapu kaca secara merata untuk memastikan permukaan kaca telah terolesi Bind Silanc. 3.3.5.3 Perakitan lapisan plate kaca Plate kaca panjang dan pendek yang telah siap dirakit dengan bagian yang dilapisi oleh SigmaCote dan BindSiland diletakkan di dalam rakitan, seperti yang tertera pada gambar5.
Gambar5Contoh perakitan kaca poliakrilamid
3.3.5.4 Pembuatan larutan poliakrilamida Pembuatan satu kaca gel akrilamit diperlukan bahan sesuai yang tertera pada tabel 5. Tabel 5Komposisi pembuatan gel Poliakrilamid Bahan Akrilamid Bisakrilamid TBE (1x) TEMED APS Aquades
6% 5,7 gram 0,3 gram 10 ml 50 µl 500 µl 60 ml
8% 7,6 gram 0,4 gram 10 ml 50 µl 500 µl 60 ml
Akrilamid, bisakrilamid, TBE (1x), dan aquades dicampur dalam erlenmeyer dan distirrel selama 15 menit, kemudian pada menit ke-10 dimasukkan temed. Pada menit ke 14 dimasukkan APS, dan pada menit ke-15 memasukkan larutan ke dalam pasangan kaca yang sudah dipersiapkan, kemudian menunggu sampai larutan memadat. 3.3.6
Loading Sampel Kegiatan elektroforesis dilakukan pada 350 V, 40mA, 80 W selama 75
menit. Buffer untuk running (TBE 1x) mengandung 18mM Triz-HCl, 8.9 mM asam borat dan 2 mM Na2EDTA. 3.3.7
Metode Pewarnaan
17
Pewarnaan dilakukan setelah kegiatan elektroforesis selesai. Pewarnaan ini terdiri dari empat bak perendaman, secara berurutan bak satu sampai dengan empat tertera pada tabel 6. Tabel 6 Bahan pewarnaan DNA mikrosatelit Bak 1 2 3 4
Bahan larutan pewarna Aquades 450 ml Acetic acid (0,5%) 25 µl Etanol 50 ml Aquades 500 ml Aquades 500 ml Silbernitrat 0,5 gram Formaldehyde 0,6 ml Aquades 500 ml NaOH 7,5 gram Formaldehyde 1 ml
Lama perendaman 10-15 menit 5 menit 10-20 menit, setelah bak 3, bilas ke bak 2 selama 10 detik Sampai terlihat pita DNA
3.4 Analisis Data Hasil dari kegiatan analisis mikrosatelit pada daun dan kayu gaharu difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul (Gambar 6). Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE 32 versi 1.31 (Yeh, 1999) dan NTSys Ver 2.0 (Rohlf, 2008). Selain itu, digunakan juga Minitab versi 14 untuk memastikan besarnya panjang fragmen (bp) dari DNA hasil amplifikasi.
Gambar 6 Cara skoring DNA mikrosatelit
Hartati (2007) menjelaskan bahwa POPGEN versi 1.32 digunakan untuk menghitung distribusi keragaman genetik dan jarak genetik berdasarkan frekuensi asumsi Hardy-Weinberg (HW). Jarak genetik digunakan untuk analisis gerombol menggunakan metode UPGMA (unweighted pair group with arithmatic avarage) pada Ntsys yang menghasilkan dendogram hubungan kekerabatan. Hasil analisis dengan software Minitab versi 14 didapatkan persamaan hubungan antara panjang pita DNA hasil amplifikasi pada foto dengan panjang fragmen. Hasil perhitungan dengan persamaan dari Minitab versi 14 disajikan pada Tabel 7,sedangkan grafik hubungan antara panjang foto mikrosatelit dan panjang DNA tertera pada Gambar 7. Berdasarkan analisis tersebut dapat dilihat
18
bahwa rentang panjang DNA teramplifikasi pada bp yang hampir sama dengan bp penelitian Eurling et al. (2009). Penggunaan persamaan bp dimaksudkan untuk memastikan pita DNA mikrosatelit yang diskoring berada pada posisi yang benar. Tabel 7 Hasil pendugaan panjang DNA hasil amplifikasi Jenis Primer 6pa18 10pa17 16pa17 71pa17
Jarak pada foto [p (cm)] 3,5 4,2 3,1 3,4 2,7 3,4 3,8 4,2
bp (Eurlings et al. 2009) 180 210 152 156 143 155 152 224
bp (100,1-37,39p+15,88p2) 180 206 152 158 131 153 168 224
Keterangan : bp : panjang fragmen 600
Panjang fragmen (bp)
500 400
marker
300
bp mikrosatelit
200 100 0
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
jarak pada foto (cm)
Gambar 7 Grafik panjang fragmen hasil amplifikasi mikrosatelit
19
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Amplifikasi Silang Penanda Mikrosatelit Penggunaan
primer-primer
mikrosatelit
jenis
A.crassna
(6pa18,
10pa17,16pa17, dan 71pa17)dapat mengamplifikasi silang pada gaharu jenis lainnya (sampel penelitian :A.malaccensis, A.microcarpa, A.crassna, Gyrinops sp dan A.filaria). Hasil amplifikasi silang mikrosatelit disajikan pada Gambar 8.Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa hasil amplifikasi silang menunjukkan panjang fragmen yang berbeda-beda sesuai Eurlings et al. (2009).
Gambar 8 Hasil amplifikasi silang mikrosatelit
Amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari gaharu jenis A.crassna berhasil dilakukan dengan kisaran panjang fragmen (bp) yang diharapkan.Syarat utama terjadinya amplifikasi DNA dengan satu jenis primer adalah apabila primer tersebut mempunyai urutan basa nukleotida yang merupakan komplemen dari kedua untai cetak DNA pada posisi yang berlawanan (Hartati et al.2007).Adapun komposisi lokus polimorfik disajikan dalam Tabel 8 dan 9. Tabel 8 Komposisi lokus polimorfik untuk masing-masing primer Panjang fragmen (bp) A158, A164, A180, A186, A196 A152, A153, A154 A143, A145, A147 A158, A186, A206, A210, A216, A224
Primer 6pa18 10pa17 16pa17 71pa17
Size range (bp) 180–210 152–156 143–155 152–224
Keterangan Polimorfik Polimorfik Polimorfik Polimorfik
Tabel 9Panjang fragmen hasil amplifikasi silang tiap jenis gaharu Jenis A.malaccensis A.microcarpa A.crassna Gyrinops sp. A.filaria
Allele (bp) 143
145
147
151
152
153
154
158
164
180
186
194
196
206
210
216
224
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ -
-
√ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ -
Φ Φ
Φ Φ -
√ √ -
√ √ √ √
-
√ √ -
√ -
√ -
√ √
√ -
Keterangan : - = ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), tidak ada dalam penelitian Φ = tidak ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), ada dalam penelitian √ =ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009) dan penelitian allel 155-156, 168-178, dan 198-202 memiliki tanda: -
20
Tabel 8memperlihatkan bahwa hasil amplifikasi silang berada pada kisaran panjang fragmen (bp) yang diharapkan.Berdasarkan Tabel 8 tersebut penulisan alel didasarkan pada panjang panjang fragmen, misalnya untuk A. malacensis alelnya dapat ditulis A143, A145, A153, A164, dan A186, begitu juga dengan jenis yang lainnya. Pada Tabel 8 juga dapat dilihat adanya shared alelle, yaitu alel yang ditemukan pada beberapa jenis gaharu yang diteliti. Fragmen ini dapat ditemui pada base pair 143, 145, 153,158, 164, 180, 186, dan 216.Selanjutnya hasil scoring genotype dari populasi yang diteliti berdasarkan jenis secara lengkap disajikan pada Lampiran 3 sampai 10.
4.2 Keragaman Genetik dalam Populasi Gaharu Secara umum variasi genetik dapat diukur dengan dua parameter, yaitu dalam populasi dan antar populasi. Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik dalam populasi yaitu Presentase Lokus Polimorfik (PLP), dan ratarata jumlah alel per lokus (A/L), dan variasi genetik (He) (Finkeldey 2005). Hasil analisis mikrosatelit pada daun dan kayu gaharu disajikan pada Tabel 10.Adapun hasil analisis dari PopGene disajikan pada Lampiran 11. Tabel 10 Variasi genetik dalam populasi gaharu alam dan tanaman No
Populasi
1 A. malaccensis 2 A. microcarpa 3 A. crasna 4 Gyrinops sp. 5 A. malaccensis(Riau) 6 A. malaccensis(NTB) 7 A. microcarpa 8 Kayu A. malaccensis 9 Kayu A. filarial Rata-rata 15 100.00
N
PLP (%)
Na
32 100.00 2.7500 8 100.00 2.5000 15 100.00 2.7500 10 100.00 2.0000 20 100.00 2.2500 20 100.00 2.0000 20 100.00 2.0000 2 100.00 2.0000 7 100.00 2.0000 2,2500 2.0520 0.4988
Ne
He
2.1981 2.1138 2.3492 1.9950 2.2326 1.7762 1.8036 2.0000 2.0000
0.5424 0.5234 0.5672 0.4987 0.5397 0.3988 0.4197 0.5000 0.5000
Ratarata He HT 0.5443 HA 0.4642 kayu 0.5000
Keterangan : 1-4 hutan tanaman , 5-7 hutan alam, 8-9 kayu N = Jumlah total individu; PLP = Persentase Lokus Polimorfik; Na = Jumah alel yang diamati; Na = Jumah alel efektif (Kimura and Crow (1964); He = Diferensiasi genetik Nei (1973)/Heterozigositas harapan
Secara umum nilai keragaman genetik (He) gaharu alam dan tanaman tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 0.5443 (hutan tanaman) dan 0.4642 (hutan alam). Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian besar gaharu tanaman masih berasal dari
21
biji atau cabutan yang diambil dari alam.Akan tetapi, akhir-akhir ini beberapa gaharu hasil budidaya sudah dikembangkan dengan menggunakan teknik kultur jaringan sebagai akibat semakin langkanya gaharu di hutan alam.Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media kultur, sumber eksplan yang digunakan serta sub kultur dapat mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal pada tanaman hasil kultur jaringan (Azwin2007). Hal ini bisa menyebabkan keragaman genetik berubah pada suatu populasi,sehingga dapat memberikan peluang dalam membedakan struktur genetik gaharu hasil budidaya dengan hasil gaharu dari alam. Tabel 10menampilkankeragaman genetik (He) gaharu di dalam populasi berkisar antara 0,3988 - 0,5672 dan persentase lokus polimorfik yaitu sebesar 100%.Nilai He tersebut tergolong masih tinggi.Hal ini sesuai dengan penelitian Rambey (2011) yang menyatakan bahwa keragaman genetikmindi besar sebesar 0,439 dan mindi kecil sebesar 0,373 masih tergolong tinggi. Keragaman genetik beberapatanaman kehutanan disajikan dalam Tabel 11.Selain itu, Harada et al. (2003) menyatakan He sebesar 0.322 pada Avicennia marina (Forsk.) di Vietnam termasuk tinggi yang digunakan sebagai pusat keragaman genetik.Harada et al. (2006) juga menyatakan bahwa He sebesar 0.244 tergolong pada keragaman genetik yang rendah.Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata keragaman geneti tanaman kehutanan adalah sebesar 0.4123.Nilai tersebut jika dibandingkan dengan kergaman genetik gaharu (sampel penelitian) memiliki nilai yang lebih rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa keragaman genetik gaharu masih tergolong tinggi. Tabel 11 Keragaman genetik (He) beberapa jenis tanaman kehutanan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Melia azedarach Melia excelsa Avicennia marina Kandelia sp. Shorea leavis Shorea leprosula Shorea cursitii rata-rata Gaharu (sampel penelitian)
Sumber Rambey (2011) Rambey (2011) Harada et al. (2003) Harada et al. (2006) Yunanto (2010) Lee et al. (2004) Ujino et al. (1998)
He(*) 0.3730 0.4390 0.3220 0.3220 0.4443 0.6860 0.6220 0.4123 0.4988
*: nilai He dengan metode mikrosatelit
22
Populasi yang mempunyai keragaman terendah (Tabel 10) adalah A. malaccensis dari hutan alam, sedangkan yang mempunyai keragaman tertinggi adalah A.crassna dari hutan tanaman. Rendahnya keragaman genetik dari jenisA. malaccensisini mungkin disebabkan oleh kelangkaannya di alam (jarang ditemukan/kerapatan rendah) jika dibandingkan dengan jenis gaharu yang lainnya.Hal ini sesuai dengan Mahfudz (2010) yang menyatakan bahwa keragaman Mebau yang mengalami eksploitasi lebih awal memiliki keragaman genetik yang rendah.Finkeldey (2005) juga menyatakan bahwa jenis dalam populasi yang mempunyai kerapatan rendah mempunyai variasi genetik rata-rata yang lebih rendah bila dibandingkan dengan jenis dalam populasi dengan kerapatan tinggi.Salah satu hal yang menyebabkan kelangkaan ini misalnya pemanenan berlebihan, karena jenis A. malaccensis merupakan penghasil gaharu berkualitas terbaik dengan nilai jual yang tinggi (Sukandar 2009). Nilai variasi genetik gaharu dari hutan tanaman dan hutan alam dapat digunakan untuk kepentingan aktivitas pemuliaan pohon dan konservasi sumberdaya genetik serta penelusuran asal-usul tanaman.Hal ini disebabkan karena kemampuan suatu jenis pohon hutan untuk beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan sangat tergantung pada keragaman genetik dan multiplisitas individual pohon dalam populasi.
4.3 Keragaman Genetik antar Populasi semua Jenis Gaharu Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi menurut Finkeldey (2005) yaitu pembagian variasi genetik (Fst atau Gst), jarak genetik, dan analisis klaster/kelompok.Salah satu peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi adalah jarak genetik. Jarak genetik mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada suatu lokus gen tertentu. Perbedaan genetik dari dua atau lebih populasi pada umumnya dianalisis dengan sebuah matrik dimana elemen-elemennya berupa jarak genetik dan pasangan kombinasi dari masing-masing populasi (Finkeldey2005).Adapun jarak genetik antar populasi gaharu disajikan dalam Tabel 12.
23 Tabel 12 Jarak genetik populasi gaharu Pop 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 **** 0.0588 0.1663 0.1191 0.1624 0.1641 0.1457 0.1238 0.1238
2
3
4
**** 0.1051 0.1715 0.1375 0.1615 0.1498 0.1836 0.1836
**** 0.3383 0.2473 0.3613 0.3436 0.3459 0.3459
**** 0.0291 0.0712 0.0559 0.0012 0.0012
5
6
7
8
9
**** 0.1041 **** 0.0884 0.0012 **** 0.0299 0.0922 0.0745 **** 0.0299 0.0922 0.0745 0.0000 ****
Keterangan: 1). A. malaccensis (HT); 2). A. microcarpa (HT); 3). A. crassna (HT); 4). Gyrinops sp (HA); 5). A. malaccensis (HA “LOMBOK”); 6). A. malaccensis (HA “RIAU”); 7). A. microcarpa (HA “KALIMANTAN”); 8). Kayu A. malaccensis; 9). Kayu A. filaria
Hasil analisis jarak genetik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa populasi yang memiliki jarak genetik yang paling besar adalah populasi A. crassna (hutan tanaman) dengan A. malaccensis (hutan alam “Riau”) dengan nilai jarak genetik yaitu 0,3613. Jarak genetik yang besar ini mengindikasikan bahwa hubungan kekerabatan kedua populasi ini cukup jauh. Sedangkan populasi dengan jarak genetik terdekat adalah antara kayu A. malaccensis dengan kayu A. filaria yaitu 0,0000. Selain dari jarak genetik, peubah lain yang dapat digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi adalah analisis gerombol/kelompok atau dendogram jarak genetik antar populasi.Berdasarkan analisis nilai jarak genetik dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi yang digunakan untuk melihat kekerabatan antar populasi seperti terlihat pada Gambar9.Adapun tampilan hasil dendrogram Ntsys disajikan pada Lampiran 12.
hutan tanaman
hutan alam
Gambar 9 Dendogram pengelompokan gaharu hutan alam dan hutan tanaman (Nei’s 1972)
24
Gambar 9memperlihatkan bahwa populasi nuklear daun gaharu tanaman dengan gaharu alam berpisah membentuk dua klaster yang berbeda.Pengklasteran mengindikasikan bahwa dalam satu klaster memiliki struktur genetik yang hampir sama (penghomogenan), sehingga antara klaster yang satu dengan yang lainnya memiliki struktur genetik yang berbeda. Hal ini memberikan peluang untuk kegiatan diskriminasi kayu gaharu alam dengan kayu gaharu budidaya atau tanaman. Hartati et al. (2007) menyatakan bahwa proses evolusi dan adaptasi suatu populasi pada lingkungan spesifik yang merupakan habitatnya akan menyebabkan masing-masing populasi mengembangkan karakter dan ciri spesifik secara morfologis dan genetik yang berbeda dengan populasi lainnya.Berdasarkan hasil dendogram, secara garis besar pengelompokan tidak berhubungan dengan posisi geografisnya. Artinya pengelompokan tidak menunjukkan bahwa semakin dekat jarak geografisnya suatu populasi maka jarak genetik antar populasi tersebut semakin dekat, akan tetapi populasi-populasi yang berdekatan mempunyai kecenderungan untuk membentuk satu sub kelompok,
4.4 Pendugaan Kayu Gaharu dengan Asal-usul Tidak Jelas Secara biologis selain daun, benih dan kambium, kayu juga menyimpan materi genetik berupa DNA. Informasi genetik pada tanaman kehutanan tersebar pada tiga genom yaitu inti sel (nuklear), mitokondria dan kloroplas. DNA kloroplas telah digunakan untuk studi filogenetik pada beberapa tanaman, seperti pada Dipterocarpaceae (Kamiya et al. 2005), serta studi ekologi dan sejarah evolusi tanaman (Heuertz et al. 2004). Baru-baru ini DNA kloroplas juga telah digunakan sebagai alat identifikasi dan forensik kayu (asal daerah kayu) untuk mendukung kegiatan sertifikasi kayu (Deguilloux et al. 2004). Penanda mikrosatelit juga telah digunakan untuk lacak balak pada jenis kayu ramin (Smulders et al. 2008). Pendugaan asal – usul kayu gaharu yang tidak jelas dapat dilihat dari pengelompokan/klaster dendogram (Gambar 10).
25
kayu
Gambar 10 Dendogram pendugaan asal-usul kayu gaharu(Nei’s 1972)
Dendogram Gambar 10memperlihatkan bahwa potongan kayu gaharu mengelompok dengan gaharu yang berasal dari hutan alam, sehingga kayu gaharu dengan asal-usul tidak jelas tersebut memiliki struktur genetik yang sama dengan gaharu dari alam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara umum kayu gaharu yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam, walaupun semua jenis gaharu sudah termasuk kedalam daftar CITES Apendiks II. Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), para pengumpul gaharu kini cenderung mengabaikan pendekatan tradisional untuk mencari gaharu.Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Soehatono dan Mardiastuti, terungkap bahwa pada saat ini hanya 42% dari pengumpul gaharu yang masih menggunakan metode tradisional untuk mencari gaharu.Karena pendapatan dari gaharu menurun, para pengumpul gaharu cenderung untuk mencari gaharu sebesarbesarnya untuk menutupi kerugian.Oleh karena itu, tekanan terhadap populasi gaharu di alam terus berlangsung dan bahkan meningkat sepanjang waktu. Menanggapi tentang kelestarian perdagangan di masa depan, Soehartono dan Mardiastuti (2003) menjelaskan bahwa 56,6% pengumpul gaharu dari Kalimantan percaya bahwa aktivitas mereka dapat terus berlanjut dan mereka percaya bahwa pengawasan tradisional (adat) dalam mengumpulkan gaharu semestinya dilakukan. Untuk menjawab ide ini, WWF Kayan Mentarang (1994) dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003) memprakarsai pengaktifan kembali pengawasan adat di Kalimantan Timur, meski hasilnya kurang menjanjikan.
26
Berdasarkan hasil penelitian, DNA kayu gaharudapat diekstraksi dan diamplifikasi dengan penanda mikrosatelit. Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu sebelumnya sudah berhasil dilakukan (Deguilloux et al. 2002).Selain dari kayu, kegiatan esktraksi DNA pada kulit biji yang keras juga sudah berhasil dilakukan (Godoy and Jordano 2001).Jika DNA kayu berhasil diekstraksi, maka dengan metode PCR bagian-bagian tertentu DNA dapat selanjutnya diamplifikasi hingga cukup untuk keperluan analisis variasi genetik. Atas dasar hal tersebut banyak penelitian yang menggunakan DNA kayu untuk lacak balak kayu (Finkeldey et al. 2007; Lowe 2007). Penggunaan empat primer dalam penelitian ini mampu memperlihatkan pemisahan/klaster antara hutan alam dan tanaman. Dari keempat primer tersebut penggunaan satu primer yang mampu memperlihatkan pemisahan hutan alam dan tanaman dengan lebih tajam (Gst= 0,965)adalah primer 10pa17 (Gambar 11). Pada Gambar 11 dapat dilihat adanya klasterisasi populasi hutan alam dan tanaman. Namun hasil yang lebih baik akan didapatkan jika menggunakan primer lebih dari satu. Penggunaan satu primer ini bisa dimanfaatkan jika memerlukan waktu yang singkat untuk mengetahui keragaman genetik pada suatu populasi.
Gambar 11 Dendogram klaster/pemisahan hutan alam dan tanaman dengan primer 10pa17.
Siregar (2000) menyatakan bahwa keragaman genetik dibagi menjadi keragaman di dalam populasi dan antar populasi dan masing-masing mempunyai beberapa
ukuran.
Hasil-hasil
penelitian
terbaru
memperlihatkan
bahwa
penggunaan penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis yang berkerabat atau hibrid, dimana metode anatomi kayu sangat sulit untuk membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah diketahui, maka secara teoritis kayu juga dapat dibedakan asal-usulnya.
27
Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada kayu jati sebelumnya telah berhasil dilakukan untuk memverifikasi aliran kayu jati pada Perhutani (Siregar et al. 2008) dan aliran kayu meranti pada IUPHHK-HA di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Yunanto 2010).
28
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari jenis Aquilaria crassna ke jenis gaharu lainnya dapat dilakukan. Analisis genetikmenunjukkan
nilai
keragaman genetik (He) dalam populasi gaharu sebesar 0.5443 (hutan tanaman) dan 0.4642 (hutan alam). 2. Berdasarkan dendogram, pendugaan asal-usul kayu gaharu dapat dikatakan bahwa sampel potongan kayumengelompok dengan gaharu yang berasal dari hutan alam. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum kayu gaharu yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam, walaupun semua jenis gaharu sudah termasuk ke dalam daftar CITES Appendix II.
5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian marka DNA lanjutan tentang gaharu, misalnya dengan metode sequensing DNA.
29
DAFTAR PUSTAKA Adinugroho WC. 2010. Mengenal pohon gaharu.http://wahyukdephut.wordpress. com/2010/02/23/mengenal-pohon–gaharu-aquilaria-microcarpa/[19 November 2010] Alamendah. 2010. Konferensi CITES ke-15 (CoP15 Species) Qatar. http://alamen dah.wordpress.com/2010/03/12/konferensi-cites-ke-15-cop15-speciesqatar/[20November 2010] Anonim.2010a. Cites. November 2010]
http://id.wikipedia.org/wiki/CITES#Latarbelakang[20
. 2010b. Reaksi berantai polymerase.http://id.wikipedia.org/wiki/Reaksi berantai polymerase [19 November 2010] Aritonang KV, Siregar IZ, Yunanto T. 2007. Manual Analisis Genetik Tanaman Hutan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.Bogor : Fakultas Kehutanan IPB Aswin. 2007. Evaluasi stabilitas genetik tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) hasil kultur in vitro[Tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB Aswoko G. 2009. Wahana gaharu.http:// wahanagaharu.blokspot. com/2009/02/ spesifikasi-klasifikasi-gaharu.html [30 Januari 2011] [Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.2006. Budidaya Gaharu dan rekayasa produksinya [Leaflet]. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservassi Alam Barden A, NAwang AnakT, MullikenM, Song. 2000. Heart of the matter: Agarwood use andtrade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC report. Boer D. 2007.Keragaman dan struktur genetik populasi jati Sulawesi Tenggara berdasarkan marka Mikrosatelit [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Deguilloux MF, Pemonge MH, Petit RJ. 2004. DNA based control of Oak wood geographic origin in the context of cooperage industry. Ann. For. Sci. 61: 97-104 Eurlings MCM, Van Beek HH, Gravendeel B. 2009. Polymorphic microsatellites for forensic identification of agarwood (Aquilaria crassna). FSI-197 30:34 Fatchiyah. 2006. Polymerase Chain Reaction:Dasar Teknik Amplifikasi DNA dan Applikasinya. Malang: Universitas Brawijaya
30
Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar IZ, Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah.Gottingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding. Terjemahan dari : An Introduction to Tropical Forest Genetic Finkeldey R, Rachmayanti Y, Nuroniah H, Nguyen NP, Cao C, Gailing O. 2007. Identification of the timber origin of tropical species by molecular genetic markers – the case of dipterocarps. In: Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins”, October 8-9 2007, Germany Godoy JA, Jordano P. 2001. Seed dispersal by animals: exact identification of source trees with endocarp DNA microsatellites. Mol. Ecol. 10: 2275-2283 Harada K, Giang LH, Hong PN, Tuan MS. 2003. Genetic variation of Avicennia marina (Forsk) Vierh.(Avicenniaceae) in Vietnam revealed by microsatellite and AFLP markers.Genes Genet.Syst 78 : 399-407 Harada K, Giang LH, Geada GL, Hong PN, Tuan MS, Lien NTH, Ikeda S. 2006.Genetic variation of two mangrove species in Kandelia (Rhizophoraceae) in Vietnam and surrounding area revealed by microsatellite markers.Int. J. Plant Sci 167(2) : 291-298 Hartati D, Rimbawanto A, Taryono, Sulistyaningsih, Widyatmoko. 2007. Pendugaan keragaman genetic di dalam dan antar provenan Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2 : 89-98 Heuertz M, Fineschi S, Anzidei M, Pastorelli R, Salvini D, Paule L, Lacoste LN, Hardy OJ, Vekemans X, and Vendramin GG. 2004. Chloroplast DNA variation and postglacial recolonization of common ash (Fraxinus excelsior L.) in Europe. Molecular Eology 13: 3437-3452. James C, Akiko I. 1994. The Use and Trade of Agarwood in Japan: 1-21. Kamiya K, Harada K, Tachida H, Ashton PS. 2005. Phylogenetic of PgiC gen in Shorea and its closely related genera (Dipterocarpaceae) the dominant trees in Southeast Asian tropical rain forest. Am. J. Bot. 92 (5): 775-788 Lee SL, Tani N, Ng KKS, Tsumura Y. 2004.Isolation and characterization of microsatellite loci for an important tropical tree Shorea leprosula (Dipterocarpaceae) and their applicability to S.parvifolia. Molecular Ecology Notes 4: 222-225 Lowe A. 2007. Can we use DNA to identify the geographic origin of tropical timber?. In: Proceedings of the international workshop “Fingerprinting
31
methods for the identification of timber origins”, October 8-9 2007, Germany Mahfudz, Na’iem, Sumardi, EB Hardiyanto. 2011. Variasi genetik dalam dan antar populasi alam Merbau (Intsia bijuga O.Ktze) di Papua dan Maluku.Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan.Edisi Juli 2011, Vol.5 No.1 Mulyadiana A. 2010. Keragaman genetik Shorea leavis Ridl.Di Kalimantan berdasarkan penanda mikrosatelit [Skripsi].Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Nasoetion M. 2004. Marka molekuler. http://psb-psma.org/content/blog/2423marka-molekuler [11 Desember 2010] Rambey R. 2011. Pengetahuan Lokal Sistem Agroforestri Mindi (Melia azedarach L.) (Studi Kasus di Desa Selaawi, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Rohlf FJ. 1998. Numerical Taxonomy and Analysis System (NTSYSpc) Version 2.0. New York: Department of Ecology and Evolution Sate University of New York. Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta:Japan International Coorperation Agency (JICA) Siregar IZ. 2000. Genetic aspects of the reproductive system of Pinus merkusii Jungh.et de Vriese in Indonesia. [dissertation]. Göttingen. Faculty of Forest Sciences and Forest Ecology, Georg-August University of Göttingen.147 p. Siregar IZ, Siregar UJ, Karlinasari L. dan Yunanto T. 2008. Pengembangan Penanda Genetika Molekuler untuk Lacak Balak (Studi Kasus pada Jati). Laporan Akhir Hibah Bersaing. Bogor :LPPM Institut Pertanian Bogor Smulders MJM, Van ‘T Westende WPC, Diway B, Esselink GD, Van Der Meer PJ and Koopman WJM. 2008. Development of microsatellite markers in Gonystylus bancanus (Ramin) useful for tracing and tracking of wood of this protected species. Molecular Ecology Resources 8: 168 –171 Sukandar. 2009. Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccenis) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Workshoop HHBK. Dinas Kehutanan Propinsi Bangka Belitung Surahman M. 2007. Perakitan Varietas Semangka (Citrullus lanatus (Thunberg) Matsum & Nakal) Tanpa Biji Tahan Terhadap Penyakit Layu Fusarium dengan Pemanfaatan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) [LP]. Bogor : IPB
32
Suryo. 2008. Genetika. Yogyakarta : Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Ujino T, Kawahara T, Tsumura Y, Nagamitsu T, Yoshimaru H, Wickneswari R. 1998. Development and Polymorphisme of Simpel Sequence Repeat DNA Marker ForShorea curtisii and Other Dipterocarpaceae Species. Heredity 81 : 422-428 Wulandari Y. 2008. Analisis keragaman genetik kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.) berdasarkan penanda Random Amplified Polymorphik DNA (RAPD) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB Yeh FC, Yang R. 1999. POPGENE Version 1.31 : User Guide Centre for International Forestry Research: Universitas of Alberta Yunanto T. 2010. Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit.[Tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
33
LAMPIRAN
34
Lampiran 1. Beberapa jenis tumbuhan yang terdaftar pada Apendiks I, II dan III CITES 1a.Tumbuhan di Indonesia No 1 2 3 4 5 6
I Paphiopedium bullenianum (Reichb.f) Pfitz P.primulinum M.Wood & Tailor P.glaucophyllum J.J Smith P.tonsum (Reichb.f) Stein
Apendiks II Cycas papuana F.Muell Podocarpus neriifolius D.Don var.neriifolius Aqularia malaccensis Lamk. Magnolia candollei (Blume) Nepenthes alata Blanko Raufolfia serpentine Benth.ex Kurz
III Gonistilus bancanus (Miq.) Kurz
Sumber : Soehartono & Mardiastuti (2003)
1b.Tumbuhan di dunia No 1 2 3 4 5 6 7
I Araucaria araucana Cycas beddomei Euphorbia ambovombensis Euphorbia cylindrifolia Dalbergia nigra Nepenthes khasiana Podocarpus parlatorei
Apendiks II Aquilaria spp. Gonystylus spp. Gyrinops spp. Swietenia humilis Nepenthes spp. Pterocarpus santalinus
III Tetracentron sinense (Nepal) Magnolia liliifera var. obovata (Nepal) Dalbergia stevensonii(Guatemala)] Gnetum montanum (Nepal)
Sumber : http://www.cites.org/eng/app/appendices.shtml [12 Oktober 2011]
35
Lampiran 2 Instrumen/alat-alat penelitian
(a)
(b)
(c)
(e)
(f)
(g)
(i)
(d)
(h)
(k)
Gambar Foto alat-alat penelitian, a).Mesin sentrifugasi, b).Mesin PCR PTC-100 Programmable Thermal Cycler, c).Frezzer , d). Pipet mikro effendrof, e).Mesin water bath fisherbrand, f).Mesin elektroforesis Fisher scientific, g).Vortex, h).Timbangan analitik, i).Mesin pengaduk magnet, dan j).poliakrilamid elektroforesis (foto: Mulyadiana 2010).
Lampiran 3 Hasil skoring genotipe populasi Aquilaria malaccensispada Hutan Tanaman
M1 M2
6 Pa 18 (A158, A164, A196) A158 A164 A158 A164
10 Pa 17 (A152, A153, A154) A153 A154 A153 A154
16 Pa 17 (A143, A145, A147) A145 A147 A143, A145
71 Pa 17 (A164, A186) A186 A186 A164, A186
M3
A158 A164
A153 A154
A143, A145
A164, A186
Individu
36
Lampiran 3 (Lanjutan) Individu M4
6 Pa 18 (A158, A164, A196) A164 A196
10 Pa 17 (A152, A153, A154) A153 A154
16 Pa 17 (A143, A145, A147) A143, A145
71 Pa 17 (A164, A186) A164, A186
M5 M6 M7 M8
A164 A164 A158 A164 A158 A164 A158 A164
A153 A154 A153 A154 A153 A154 A153 A154
A145, A147 A143, A145 A143, A145 A143, A145
A164, A186 A164, A186 A164, A186 A164, A186
M9 M10 M11 M12 M13
A158 A164 A158 A164 A158 A164 A196 A196 A158 A164
A153 A154 A153 A154 A153 A154 A153 A154 A153 A154
A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145
A164, A186 A164 A164 A164, A186 A164, A186 A164, A186
M14 M15 M16 M17 M18
A158 A196 A158 A164 A158 A164 A158 A164 A158 A164
A153 A154 A152 A153 A153 A154 A153 A154 A153 A154
A143, A145 A145, A147 A143, A145 A145, A147 A145, A147
A164, A186 A164, A186 A164, A186 A164, A186 A164, A186
M19 M20 M21 M22 M23
A164 A164 A158 A164 A158 A164 A158 A164 A158 A164
A152 A153 A152 A153 A153 A154 A153 A154 A153 A154
A145, A147 A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A143
A164, A186 A164, A186 A164, A186 A186 A186 A186 A186
M24 M25 M26 M27 M28
A158 A164 A158 A164 A158 A164 A158 A164 A158 A164
A153 A154 A153 A154 A153 A154 A153 A154 A153 A154
A143, A143 A143, A143 A143, A145 A143, A145 A143, A145
A186 A186 A186 A186 A186 A186 A186 A186 A164, A186
M29 M30
A158 A164 A158 A158
A153 A154 A153 A154
A143, A143 A143, A145
A164, A186 A164, A186
Lampiran 4 Hasil skoring genotipe populasi A.microcarpa pada Hutan Tanaman Individu Mi31 Mi32 Mi33 MiC MiD MiE MiF MiG
6 Pa 18
10 Pa 17
16 Pa 17
71 Pa 17
(A158, A164) A158, A164 A158, A164 A158, A164
(A152, A153, A154) A152, A153 A153, A154 A153, A154
(A143, A145) A143, A145 A143, A145 A143, A145
(A158, A186, A210) A186, A210 A186, A210 A186, A210
A158, A158 A158, A164 A158, A164 A158, A158 A158, A164
A153, A154 A153, A154 A153, A154 A153, A154 A153, A154
A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145
A158, A186 A186, A210 A186, A186 A158, A186 A186, A210
37
Lampiran 5 Hasil skoring genotipe populasi A.crassna pada Hutan Tanaman Individu C34 C35 C36 C37 C38 C39 CH CI CJ CK CL CM CN CO CP
6 Pa 18
10 Pa 17
16 Pa 17
71 Pa 17
(A180, A196) A180, A196 A180, A196 A180, A196 A180, A196
(A152, A153, A154) A152, A153 A153, A154 A153, A154 A153, A154
(A143, A145, A147) A143, A145 A145, A147 A143 A143 A145, A147
(A186, A216, A224) A216, A224 A216, A224 A216, A224 A216, A224
A180, A196 A180, A196 A180, A196 A180, A196
A153, A154 A153, A154 A153, A154 A153, A154
A145, A147 A145, A147 A145, A147 A145, A147
A186 A224 A186 A224 A186 A224 A186 A224
A180, A196 A180, A196 A180, A196 A180, A196 A180, A196
A153, A154 A153, A154 A153, A154 A153, A154 A153, A154
A145, A147 A145, A147 A145, A147 A145, A147 A145, A147
A216, A224 A216, A224 A216, A224 A216, A224 A216, A224
A180, A196 A180, A196
A153, A154 A153, A154
A143 A143 A143, A147
A216, A224 A216, A224
Lampiran 6 Hasil skoring genotipe populasi Girinops sp.padaHutan
Alam
G1
6 Pa 18 (A180, A206) A180, A206
10 Pa 17 (A152, A153) A152, A153
16 Pa 17 (A143, A145) A143, A145
71 Pa 17 (A180, A206) A206, A206
G2 G3 G4 G5
A180, A206 A180, A206 A180, A206 A180, A206
A152, A153 A152, A153 A152, A153 A152, A153
A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145
A180, A206 A180, A206 A180, A206 A180, A206
G6 G7 G8 G9 G10
A180, A206 A180, A206 A180, A206 A180, A206 A180, A206
A152, A153 A152, A153 A152, A153 A152, A153 A152, A153
A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145
A180, A206 A180, A206 A180, A206 A180, A206 A180, A206
Individu
Lampiran 7 Hasil skoring genotipe populasi A.malaccensis pada Hutan Alam di Lombok (NTB) Individu
6 Pa 18 (A164, A186) L1 A164, A186 L2 A164, A186 Lampiran 7 (Lanjutan) L3 A164, A186 L4 A164, A186 L5 L6 L7
A164, A186 A164, A186 A164, A186
10 Pa 17 (A152, A153) A152, A153 A152, A153 A152, A153 A152, A153
16 Pa 17 (A143, A145) A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145
71 Pa 17 (A164, A186, A196) A164, A186 A164, A186 A164, A186 A196 A196
A152, A153 A152, A153 A152, A153
A143, A145 A143, A145 A143, A145
A164, A186 A164, A186 A196 A196
38 Individu L8
6 Pa 18 (A164, A186) A164, A186
10 Pa 17 (A152, A153) A152, A153
16 Pa 17 (A143, A145) A143, A145
71 Pa 17 (A164, A186, A196) A186, A196
L9 L10 L11 L12
A164, A186 A164, A186 A164, A186 A164, A186
A152, A153 A152, A153 A152, A153 A152, A153
A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145
A186, A196 A164, A186 A164, A186 A164, A186
L13 L14 L15 L16 L17
A164, A186 A164, A186 A164, A186 A164, A186 A164, A186
A152, A153 A152, A153 A152, A153 A152, A153 A152, A153
A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145 A143, A145
A164, A186 A164, A186 A164, A186 A164, A186 A164, A186
L18 L19 L20
A164, A186 A164, A186 A164, A186
A152, A153 A152, A153 A152, A153
A143, A145 A143, A145 A143, A145
A196 A196 A196 A196 A186, A196
Lampiran 8 Hasil skoring genotipe populasi A.malaccensis pada Hutan Alam di Riau R1
6 Pa 18 (A164, A186) A164, A186
10 Pa 17 (A152, A153) A152, A153
16 Pa 17 (A143, A145) A143, A145
71 Pa 17 (A164, A186) A186 A186
R2
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R3
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R4
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R5
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R6
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R7
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R8
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R9
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R10
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R11
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R12
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R13
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R14
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R15
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R16
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A164, A186
R17
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A164, A186
R18
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R19
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
R20
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A186 A186
Individu
Lampiran 9 Hasil skoring genotipe populasi A.microcarpa pada Hutan Alam di Kalimantan
39 Individu K1
6 Pa 18 (A158, A186) A158, A186
10 Pa 17 (A152, A153) A152, A153
16 Pa 17 (A143, A145) A143, A145
71 Pa 17 (A158, A186) A186, A186
K2
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K3
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K4
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K5
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K6
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A158, A186
K7
A158, A186
A153 A153
A143, A145
A186, A186
K8
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K9
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A158, A158
K10
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K11
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K12
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K13
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K14
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K15
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K16
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K17
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A158, A186
K18
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K19
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
K20
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A186
Lampiran 10 Hasil skoring genotipe potongan kayu Gaharu 9a. A. malaccensis
MK1
6 Pa 18 (A164, A186) A164, A186
10 Pa 17 (A152, A153) A152, A153
16 Pa 17 (A143, A145) A143, A145
71 Pa 17 (A169, A186) A169, A186
MK2
A164, A186
A152, A153
A143, A145
A169, A186
Individu
9b. A.filaria Individu
6 Pa 18
10 Pa 17
16 Pa 17
71 Pa 17
F1
(A158, A186) A158, A186
(A152, A153) A152, A153
(A143, A145) A143, A145
(A186, A216) A186, A216
F2
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A216
F3
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A216
F4
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A216
F5
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A216
F6
A158, A186
A152, A153
A143, A145
A186, A216
Lampiran 10 (Lanjutan)
40 Individu
6 Pa 18
10 Pa 17
16 Pa 17
71 Pa 17
F7
(A158, A186) A158, A186
(A152, A153) A152, A153
(A143, A145) A143, A145
(A186, A216) A186, A216
Lampiran 11 Hasil analisis PopGene Populasi 1 (A.malaccensis, Hutan Tanaman)
Populasi 2 (A.microcarpa, Hutan Tanaman)
Lampiran 11 (Lanjutan) Populasi3 (A.crassna, Hutan Tanaman)
41
Populasi4 (Girinops sp., Hutan Tanaman)
Lampiran 11 (Lanjutan) Populasi5 (A.malaccensis, Hutan Alam “Lombok”)
42
Populasi6 (A.malaccensis, Hutan Alam “Riau”)
Lampiran 11 (Lanjutan) Populasi7 (A.microcarpa, Hutan Alam)
43
Populasi8 (Potongan kayu gaharu dari jenis A.malaccensis)
Lampiran 11 (Lanjutan) Populasi9 (Potongan kayu gaharu dari jenis A.filaria)
44
Lampiran 12Tampilan hasil analisis data Ntsys