KERAGAMAN DAN STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT
DIRVAMENA BOER
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2007 Dirvamena Boer NIM P03600009
ABSTRACT DIRVAMENA BOER. Diversity and Genetic Structure of Southeast Sulawesi Teak Populations Based on Microsatellite Markers. Supervisors: SUDARSONO, SATRIYAS ILYAS, ASEP SETIAWAN, and EDI GUHARDJA. The aim of this research was to study diversity and genetic population structure, dynamical aspect of gene flow through pollens and seeds dispersal and also mating system. This study was carried out at three locations of teak stand populations which indicated human disturbance level using ten markers microsatellite (AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS). A total of 46 alleles were detected, with six the highest number allele at AAG10 and AG16 loci. The mean value of polymorphic information content (PIC) of the 10 loci ranged from 0.442 to 0.580. Study of genetic similarity to compare between mature tree and seedling progeny showed the average genetic similarity was calculated based on Dice coefficient for total population of mature and juvenile tree were 51.91% and 54.55%, respectively. The mature tree of Dolok, Warangga and Sampolawa have 60%, 55%, and 73% genetic similarity, respectively. While seedling progeny of Dolok, Warangga, and Sampolawa have 56%, 61%, and 74% genetic similarity, respectively. Study of genetic structure showed the heterozigosity Ha and He were high (for Dolok population were 0.630 and 0.645, respectively). Genetic differentiation FST was 0.112 (11.2% of total genetic variation among population) and showed less deviation from Hardy-Weinberg expectation (Wright’s inbreeding coefficient FIS = 0.009). However, genetic differentiation using AMOVA showed 14% of total variation among population, the remaining 86% occurred within populations. Cluster analysis calculated by Nei’s Distance showed Dolok and Warangga population joint in the same cluster. Parentage analysis successfully detected candidate male parent as much as 30% for Sampolawa, 81% for Dolok, and 87% for Warangga progenies. Analysis parentage for juvenile tree in the field successfully detected 76% pairs of candidate male and female parents. The gene flow through pollen dispersal showed that pollens spread out to all directions by insect vector. Source of pollen for the teak pollination trees mainly came from the teak around the mother tree (30%). The distance average pollen source could pollinate 30.23-39.43 m and furthermost more than 80 m. Whereas, the genetic migration through seed dispersal showed that seedling from their expected parents occurred by the distance average of 34.27 m and the furthermost 68.73 m. The mating system parameters showed the singlelocus outcrossing rate (ts) varied among loci and populations, but multilocus outcrossing rates (tm) were equal to one for Sampolawa and Warangga populations and so it is with biparental inbreeding (tm-ts) was different from zero for Sampolawa and Warangga populations. Biparental inbreeding occured for Dolok population and parental inbreeding for Sampolawa population. Key words:
Tectona grandis, microsatellite, genetic diversity, genetic structure, gene flow, mating system
ABSTRAK DIRVAMENA BOER. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit. Komisi Pembimbing: SUDARSONO, SATRIYAS ILYAS, ASEP SETIAWAN, dan EDI GUHARDJA. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemiripan genetik individu di dalam populasi tanaman jati, keragaman dan struktur populasi genetik serta aspek dinamiknya akibatnya adanya perpindahan informasi genetik via serbuk sari dan migrasi biji, serta sistem perkawinan pada tanaman jati. Dalam penelitian ini diambil tiga lokasi populasi tegakan jati yang mempunyai level kerusakan akibat adanya aktifitas manusia kemudian dipelajari menggunakan 10 marka mikrosatelit (AG04, AG16, AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS) menghasilkan total 43 alel dengan rata-rata banyaknya alel per lokus 4.6 dengan kisaran alel mulai dari dua sampai tujuh alel. Tingkat polimorfisme tertinggi pada lokus AG16 sebesar 0.767, rata-rata untuk semua lokus adalah 0.522. Hasil studi kemiripan genetik terhadap tanaman dewasa dibandingkan dengan benih yang diunduh dari beberapa pohon menunjukkan rata-rata kemiripan genetika yang dihitung menggunakan koefisien Dice pada populasi total tanaman dewasa dan tanaman semai asal Sulawesi Tenggara mempunyai kemiripan genetik berturut turut 51.91% dan 54.55%. Untuk tanaman dewasa kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 60%, 55% dan 73%. Tanaman semai kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 56%, 61%, dan 74%. Analisis struktur genetik memperlihatkan bahwa nilai heterozigositas Ha dan He mempunyai nilai yang tinggi (tertinggi untuk Dolok adalah 0.630 dan 0.645) dengan nilai He selalu lebih besar daripada Ha. Nilai diferensiasi genetik FST adalah 0.112 atau 11.2% dari total keragaman genetik di antara populasi dan memperlihatkan sedikit penyimpangan dari keseimbangan Hardy-Weinberg harapan (Wright’s inbreeding coefficient FIS=0.009). Akan tetapi diferensiasi genetik yang dihitung dengan AMOVA memperlihatkan 14% terjadi keragaman di antara populasi dan sisanya sekitar 86% terjadi dalam populasi. Analisis cluster yang dihitung menggunakan jarak genetik Nei menunjukkan bahwa populasi Dolok dan Warangga berada pada satu cluster. Analisis tetua yang dilakukan pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara berhasil mendeteksi kandidat tetua sebagai sumber serbuk sari pada progeni sebanyak 30% untuk Sampolawa, 81% untuk Dolok dan 87% untuk Warangga. Analisis terhadap tanaman juvenile di lapang untuk mendeteksi pasangan tetua berhasil mendeteksi sebanyak 76%. Analisis lebih lanjut menunjukkan aliran informasi genetik via serbuk sari penyerbukannya terjadi dari segala arah dibantu oleh serangga. Penyerbukan yang terjadi terutama dari sumber serbuk sari dari tetangga terdekat (30%). Rata-rata sumber serbuk sari dapat menyerbuki 30.23-39.43 m dan terjauh lebih dari 80 m. Migrasi genetik melalui penyebaran benih diperkirakan dibantu oleh angin dan air dengan jarak migrasi dari pohon induk benih rata-rata 34.27 m dan terjauh dapat mencapai 68.73 m.
Analisis sistem perkawinan berupa parameter sistem perkawinan diduga di bawah model perkawinan percampuran menggunakan software MLTR menunjukkan derajat penyerbukan silang lokus tunggal (ts) bervariasi di antara lokus dan populasi, tapi derajat penyerbukan silang multilokus (tm) secara statistik sama dengan satu untuk populasi Sampolawa dan Warangga demikian pula dengan koefisien biparental inbreeding (tm-ts) sama dengan nol untuk populasi Sampolawa dan Warangga. Terjadi biparental inbreeding pada populasi Dolok dan parental inbreeding (f) pada Sampolawa. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun derajat penyerbukan silang besar namun pada lokasi Dolok dan Sampolawa terjadi proses silang dalam. Kata kunci:
Tectona grandis, mikrosatelit, kemiripan genetik, keragaman genetik, struktur genetik, aliran informasi genetik, sistem perkawinan
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KERAGAMAN DAN STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT
DIRVAMENA BOER
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Penguji pada Ujian Tertutup :
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr. 2. Dr. Ir. Sugiono Moeljopawiro, M.Sc.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi yang berjudul ”Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit” dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun berdasarkan empat topik penelitian yaitu: (1) Analisis kemiripan genetik (genetic similarity) tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, (2) Analisis struktur genetik (genetic structure) populasi jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, (3) Analisis aliran gen via serbuk sari (gene flow) dan biji (migration) pada tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, dan (4) Analisis sistem perkawinan (mating system) tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS., Dr. Ir. Asep Setiawan, MS. dan Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. yang masing-masing sebagai anggota komisi, atas semua arahan, bimbingan dan motivasi yang diberikan kepada penulis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai penyelesaian penulisan penelitian disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. (selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup), Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr., dan Dr. Ir. Sugiono Moeljopawiro, M.Sc. (selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka), atas masukan yang diberikan demi kesempurnaan disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan dan Rektor Universitas Haluoleo atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti pendidikan program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih yang sama ditujukan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan staf, Ketua Program Studi Agronomi dan staf atas segala motivasi dan pelayanan akademik hingga segala persyaratan program doktor di IPB dapat dipenuhi. Begitu juga ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Ketua Laboratorium Molekular Biologi Tanaman (PMB) IPB, ketua laboratorium PSPT-
IPB, ketua laboratorium BIORIN, PAU-IPB. atas kesempatan untuk melakukan kegiatan penelitian dan pemakaian peralatan laboratorium. Serta seluruh staf dan rekan-rekan teknisi atas segala kesempatan, bantuan dan pelayanan kepada penulis berupa bahan dan peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini. Terimakasih penulis sampaikan pula kepada Yth: Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. yang telah memimpin sidang dalam Ujian Terbuka dan Dr. Ir. Aris Munandar MS yang telah memimpin sidang Ujian Tertutup sehingga dapat berjalan lancar dan penuh hikmat. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan finansial yang diberikan berupa bantuan beasiswa pendidikan program doktor selama tiga tahun, juga kepada pemberi dana penelitian yaitu European Commission, Inco-Dev ICA4-CT-2001-10094 yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Terimakasih juga disampaikan kepada semua rekan-rekan mahasiswa seperjuangan di Laboratorium Molekular Biologi Tanaman (PMB) IPB atas kebersamaan dan kesempatan saling diskusi selama penelitian berlangsung. Juga kepada semua rekan-rekan sesama mahasiswa Pascarjana IPB. Tak lupa disampaikan ucapan terimakasih kepada ayahanda Drs. Boerhanudin Jacoub. Dt.T (alm) dan ibunda Bayana Biran tersayang atas segala ketulusan doa restu dan dorongan moril, juga kepada seluruh kakak dan adik atas semangat dan doanya. Kepada istri tercinta dan anak-anak tersayang, atas segala pendampingan, doa dan dorongan semangat untuk meraih sukses. Semoga Allah SWT menjadikan suatu keberkahan dan manfaat atas segala keberhasilan yang penulis capai saat ini. Bogor, Agustus 2007
Dirvamena Boer
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Desember 1962 sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari keluarga Boerhanuddin Jacoub dan Bayana Biran. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1989 dengan gelar Ir. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Goettingen dan menamatkannya pada tahun 1997 dengan gelar M.Sc.Agr. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Agronomi, pada perguruan tinggi IPB diperoleh pada tahun 2000. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo di Kendari sejak tahun.1990 sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xviii DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................xix GLOSARI
....................................................................................................xx
1.
PENDAHULUAN ............................................................................................1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3
2.
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................4 Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.)................................................... 4 Klasifikasi Jati .................................................................................. 4 Daerah Penyebaran Jati .................................................................... 4 Karakter Vegetatif, Generatif, dan Pembungaan Jati............................... 5 Karakter Vegetatif ............................................................................ 5 Karakter Generatif ............................................................................ 6 Karakter Biologi Pembungaan ......................................................... 6 Marka Genetik.......................................................................................... 7 DNA Mikrosatelit............................................................................. 8 Daerah DNA Mikrosatelit ................................................................ 8 Keungulan DNA Mikrosatelit .......................................................... 9 Sistem Reproduksi Seksual Tanaman .................................................... 10 Sistem Seksual................................................................................ 10 Sistem Aliran Informasi Genetik (Gene Flow) .............................. 11 Sistem Perkawinan (Mating System) .............................................. 11
3.
METODE UMUM PENELITIAN .................................................................14 Ruang Lingkup Penelitian...................................................................... 14 Tempat dan Waktu ................................................................................. 14 Bahan dan Metode Penelitian ................................................................ 14 Bahan Tanaman .............................................................................. 14 Prosedur Molekular dengan Marka Mikrosatelit............................ 16
4.
ANALISIS KEMIRIPAN DAN KERAGAMAN GENETIK TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Genetic similarity and diversity analysis of teak from originated Southeast Sulawesi by using microsatellite markers)...................20 Abstract .................................................................................................. 20 Abstrak ................................................................................................... 20 Pendahuluan ........................................................................................... 21
xii
Bahan dan Metode ................................................................................. 22 Material Tanaman........................................................................... 22 Isolasi serta Penentuan Kualitas dan Kuantitas DNA .................... 22 Amplifikasi PCR dan Gel Electroforesis........................................ 23 Analisis Data .................................................................................. 23 Hasil ....................................................................................................... 24 Profil Pita Mikrosatelit ................................................................... 24 Kemiripan Genetika di dalam Populasi.......................................... 27 Pembahasan............................................................................................ 32 Kesimpulan dan Saran............................................................................ 34 Daftar Pustaka ........................................................................................ 34 5.
ANALISIS STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI ASAL SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Genetic structure analysis of Southeast Sulawesi teak populations based on microsatellite markers)..............................................................................36 Abstract .................................................................................................. 36 Abstrak ................................................................................................... 36 Pendahuluan ........................................................................................... 37 Bahan dan Metode ................................................................................. 38 Tempat dan Waktu ......................................................................... 38 Bahan Tanaman .............................................................................. 38 Analisis Data .................................................................................. 38 Hasil ....................................................................................................... 45 Pembahasan............................................................................................ 50 Kesimpulan dan Saran............................................................................ 52 Daftar Pustaka ........................................................................................ 52
6.
ANALISIS ALIRAN INFORMASI GENETIK VIA SERBUK SARI DAN PENYEBARAN BENIH TANAMAN JATI ASAL SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Gene flow via pollen and seed dispersal analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) .....................................................54 Abstract .................................................................................................. 54 Abstrak ................................................................................................... 54 Pendahuluan ........................................................................................... 55 Bahan dan Metode ................................................................................. 56 Material Populasi dan Ekstrasi DNA ............................................. 56 Analisis Marka Mikrosatelit ........................................................... 57 Analisis Data .................................................................................. 57 Hasil ....................................................................................................... 58 Pembahasan............................................................................................ 63 Kesimpulan dan Saran............................................................................ 64 Daftar Pustaka ........................................................................................ 65
xiii
7.
ANALISIS SITEM PERKAWINAN TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Mating system analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) ....................................................................................................66 Abstract .................................................................................................. 66 Abstract .................................................................................................. 66 Pendahuluan ........................................................................................... 67 Bahan dan Metode ................................................................................. 68 Material Tanaman dan Isolasi DNA............................................... 68 Analisis Penanda Mikrosatelit........................................................ 68 Analisis Data .................................................................................. 69 Hasil ....................................................................................................... 70 Pembahasan............................................................................................ 73 Kesimpulan dan Saran............................................................................ 75 Daftar Pustaka ........................................................................................ 76
8.
PEMBAHASAN UMUM...............................................................................77
9.
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................81
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................83 LAMPIRAN
....................................................................................................87
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 3.1. Koordinat posisi geografis populasi jati dari Sulawesi Tenggara ..................15 3.2. Nama dan sekuen primer mikrosatelit berasal dari project jati TEAKDIV ICA4-2000-20053...........................................................................................19 4.1. Pohon induk dan tanaman semai jati yang dikoleksi dipilih secara acak pada tiga lokasi populasi jati asal Sulawesi Tenggara dianalisis menggunakan 10 lokus mikrosatelit ...............................................................22 4.2. Jumlah alel dan polymorphic information content (angka yang di dalam tanda kurung) berdasarkan 10 lokus mikrosatelit pada populasi tanaman jati asal Sulawesi Tenggara ............................................................................25 4.3. Matrik kemiripan genetik di antara 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Sampolawa ....................................................................................................28 4.4. Matrik kemiripan genetik 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Dolok........................29 4.5. Matrik kemiripan genetik 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Warangga .................30 5.1. Jumlah alel dan tingkat polimorfisme 10 lokus mikrosatelit pada tanaman jati asal Sulawesi Tenggara..............................................................46 5.2. Frekuensi alel 10 lokus mikrosatelit pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara ....................................................................................................47 5.3. Keragaman genetik jati berdasarkan nilai heterosigositas dan nilai FIS .........48 5.4. Nilai F-statistik populasi jati asal Sulawesi Tenggara....................................48 5.5. AMOVA populasi jati asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 lokus mikrosatelit ....................................................................................................49 6.1. Koleksi progeni famili half-sib jati dari 13-19 pohon induk benih serta semua tanaman jati yang diindentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit .............57 7.1. Progeni famili half-sib jati dari 13-19 pohon induk benih yang dikoleksi pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit ..........................................68
xv
7.2. Derajat penyerbukan silang berdasarkan lokus tunggal (ts) dan nilai frekuensi serbuk sari (pollen) dan ovule dari alel yang sering muncul untuk tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara, Pop = populasi; A = banyaknya alel; f = koefisien parental inbreeding; SE = Standart Error; S = Sampolawa; T = Dolok; W = Warangga..................................................72 7.3. Parameter sistem perkawinan dari tiga populasi jati Sulawesi Tenggara. Parameter yang diuji meliputi derajat outcrossing multilokus (tm), derajat outcrossing rata-rata lokus tunggal (ts), biparental inbreeding (tm-ts), koefisien parental inbreeding (f), korelasi t dugaan (rt), korelasi p dugaan (rp), kerapatan tanaman per hektar (Nr)..............................................73
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 3.1. Peta lokasi tempat pengambilan sampel populasi jati di Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan Kabupaten Buton (Sampolawa) .........................15 4.1. Dendrogram kemiripan genetika jati tanaman dewasa hasil analisis kluster dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi..........................................................................26 4.2. Dendrogram kemiripan genetika jati tanaman semai hasil analisis kluster dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi..........................................................................27 4.3. Analisis komponen utama dari data kemiripan jati tanaman dewasa asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi, yang dipetakan ke dalam bentuk tiga sumbu komponen utama yang pertama ....................................................................................................31 4.4. Analisis komponen utama dari data kemiripan jati tanaman semai asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi, yang dipetakan ke dalam bentuk tiga sumbu komponen utama yang pertama ....................................................................................................31 5.1. Contoh profil pola pita lokus AC01 pada tanaman jati...................................45 5.2. Dendrogram jarak genetik antar populasi jati berdasarkan jarak genetik Nei ....................................................................................................50 6.1. Contoh profil pola pita lokus AG16 pada tanaman jati ..................................59 6.2. Perpindahan informasi genetik (gene flow) via serbuk sari ...........................59 6.3. Jarak dan sumber serbuk sari untuk lokasi Sampolawa (atas), Dolok (tengah) dan Warangga (bawah).....................................................................60 6.4. Perpindahan informasi genetik melalui benih ................................................61 6.5. Analisis tetua (parentage analysis) via benih untuk populasi Dolok.............62 7.1. Contoh profil pola pita lokus AC28 pada tanaman jati ..................................71
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Peta posisi relatif tanaman jati di lokasi Dolok ..............................................88
2.
Peta posisi relatif tanaman jati di lokasi Warangga........................................89
3.
Peta posisi relatif tanaman jati di lokasi Wadila.............................................90
4.
Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Sampolawa................................................................91
5.
Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Dolok ........................................................................92
6.
Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Warangga ..................................................................94
7.
Analisis tetua jantan terhadap tanaman juvenil (J) dari lapang untuk tanaman jati asal populasi Dolok....................................................................97
8.
Prosedur isolasi DNA .....................................................................................98
9.
Prosedur elektroforesis polyacrylamide .......................................................108
10. Daftar bahan kimia yang dibutuhkan............................................................115 11. Persemaian benih jati....................................................................................116
xviii
DAFTAR SINGKATAN ADP AFLP AMOVA ATGC bp BT cm cpDNA cpSSR CTAB db dCTP dGTP DNA dNTP EDTA F HCl KCl LS LU m MgCl2 ml mM ng NH4 ns NTSYS o C OD P PCR pH Pmol PVPP R RAPD RFLP SAS SSR TBE Tm UPGMA µl
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
adenosine diphosphate Amplified Fragment Length Polymorphism analysis molecular of variance Adenine, Thymine, Guanine, dan Cytosine base pair Bujur Timur sentimeter chloroplast DNA chloroplast Simple Sequence Repeat hexadecyltrimethyl-ammonium bromide derajad bebas deoxy Cytidine Tri Phosphate deoxy Guanidine Tri Phosphate deoxyribonucleid acid deoxy Nucleotide Tri Phosphate Ethylene Diamine Tetracetic Acid Forward asam chloride kalium chloride Lintang Selatan Lintang Utara meter magnesium chloride mililiter milimolar nanogram methane non significant numerical taxonomy system derajat Celsius (centigrade) optic dissociation probability polymerase chain reaction derajat kemasaman piko mol polyvinylpolypyrrolidone. reverse Random Amplified Polymorphic DNA Restriction Fragment Length Polymorphism Statistical analysis system Simple sequence repeats Trizma Boric EDTA Temperature melting Unweighted Pair-Group Method Arithmetic Average mikro liter
xix
GLOSARI Alel: Variasi gen pada satu lokus Anelling: Temperatur untuk proses menempelnya primer pada utas cetakan Anemophily: Pergerakan gamet jantan (serbuk sari) dengan vektor berupa angin Apomiksis: Terjadinya biji tanpa penggabungan gamet jantan dan betina Autochonous: Suatu populasi yang belum dipindahkan oleh manusia dalam hal ini jika tumbuh di habitat alami atau aslinya Autogami: Tanaman menyerbuk sendiri Biparental inbreeding, (tm - ts): Inbreeding yang terjadi karena perkawinan kerabat dekat Bootstrapping: Merupakan cara non-parametrik untuk mendapatkan nilai standar errror atau ragam dengan cara membuat set data ulangan dengan teknik sampling dari set data original dengan teknik pemulihan. Cleistogami: Serbuk sari berasal dari bunga yang sama, fertilisasi terjadi saat bunga mekar Differensiasi genetik: Perbedaan genetik antar populasi Dioecy: Tanaman yang hanya memiliki bunga betina saja atau bunga jantan saja. Eksotik: Suatu populasi yang dipindahkan secara sengaja dan tumbuh di luar penyebaran alaminya Elektroforesis gel: Elektroforesis yang dikerjakan pada matriks gel sehingga molekul dengan muatan listrik yang sama dapat dipisahkan berdasarkan ukurannya. Elektroforesis: Pemisahan molekul berdasarkan muatan listriknya Etidium bromid: senyawa bersifat fluorescen yang dapat menyisip di antara pasangan basa dalam molekul DNA untai ganda, yang dipakai untuk deteksi DNA Frekuensi alel: Proporsi tipe alel dari suatu lokus di dalam suatu populasi Frekuensi genotipe: Proporsi tipe genotipe di dalam suatu populasi Galat lingkungan: Faktor kesalahan yang diperhitungkan akibat kemungkinan kesalahan waktu pemilihan tanaman, akibat dari faktor lingkungan yang dianggap tidak homogen. Geitonogami: Serbuk sari berasal dari bunga berbeda pada tanaman yang sama Gen: Suatu segmen DNA yang mengkode molekul RNA dan atau molekul polipeptida Gene flow, aliran gen: Proses transportasi informasi genetik melalui transportasi serbuk sari (penyebaran gamet jantan) dan transportasi melalui benih. Gene pool: All of the alleles present and carried by the population Genetika: Suatu cabang ilmu dalam biologi yang mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan gen. Genom: Seperangkat lengkap gen dalam suatu organisme Half-sib: Keturunan dari garis ibu Klon: Tanaman hasil perbanyakan secara vegetatif dimana tanaman tersebut merupakan duplikat yang susunan genetiknya sama. Kromosom: Struktur pembawa sifat keturunan dan berada dalam nukleus. Mating system, sistem perkawinan: Sistem perkawinan pada tanaman terdiri atas selfing, outcrossing, dan campuran
xx
Mikrosatelit, simple sequence repeats, SSR: Merupakan unit pengulangan 1-6 pasangan basa. Primer SSR dibentuk berdasarkan kepada conserved flanking region (daerah pengapit konservatif) lokus SSR, yang mana bisa dihasilkan amplifikasi PCR pada lokus SSR tersebut. Hasil produk PCR bisa dielektroforesis yang dapat dibedakan menurut jumlah unit pengulangan dalam alel-alel SSR yang muncul. Mixed mating model, model perkawinan campuran: Zigot yang terbentuk dapat berasal dari selfing atau outcrossing yang terjadi secara acak Multilocus outcrossing rates, derajat penyerbukan silang multilokus, tm: Derajat penyerbukan silang, yang dihitung berdasarkan pola variasi pada banyak lokus gen Outcrossing rate, derajat outcrossing, t: Proporsi relatif dari ovul yang dibuahi oleh serbuk sari asing Outcrossing, penyerbukan silang: Bila ovul dibuahi oleh serbuk sari dari tanaman lain Parentage analysis, analisis tetua: Analisis untuk mendapatkan pasangan tetua dari setiap individu keturunan berdasarkan data genetik mereka. Parental inbreeding, f: Inbreeding akibat dari selfing Pemuliaan Tanaman: Suatu metode secara sistematis merakit keragaman genetik menjadi bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Penguji (tester): Suatu tanaman atau barisan tanaman yang digunakan untuk mengevaluasi atau mengenal genotipe tanaman lain. Plasmanutfah: Koleksi tanaman/gen yang merupakan material (bahan) keturunan. Progeni: Keturunan Protandri: Bunga yang benang sarinya lebih dulu matang daripada putik, bilamana putiknya masak, maka benangsarinya telah layu dengan semua tepungsari telah mati sehingga hampir selalu bunga tersebut mengalami penyerbukan silang. Provenan: Merupakan contoh sejumlah pohon dari populasi yang telah beradaptasi secara evolusi di suatu habitat tertentu Seleksi: Usaha untuk mendapatkan tanaman yang mempunyai sifat genetik yang baik, yaitu dengan cara memilihnya di antara tanaman lain dengan mengenali ciri-cirinya. Selfing rate, derajat selfing, s: Proporsi relatif dari ovul yang dibuahi oleh serbuk sari sendiri atau kerabat dekat Selfing, penyerbukan sendiri: Bila ovul dibuahi oleh serbuk sari sendiri atau kerabat dekat Singlelocus outcrossing rate, derajat penyerbukan silang lokus tunggal, ts: Derajat penyerbukan silang, yang dihitung berdasarkan pola variasi pada satu lokus gen Tekanan lingkungan: Faktor pembatas dari lingkungan, yang mengakibatkan produksi tanaman menurun, misalnya pH, salinitas dan sebagainya. Xenogami: Pembuahan terjadi bila serbuk sari dari satu tanaman sampai ke kepala putik yang receptive (siap dibuahi) dari tanaman lain dari jenis yang sama. Zoophily: Pergerakan gamet jantan (serbuk sari) dengan vektor berupa hewan
xxi
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn.f) merupakan salah satu jenis tumbuhan tropis yang sangat penting dengan reputasi internasional untuk sifat-sifat teknis dan dekoratifnya. Sifat dekoratif kayu jati ditunjukkan oleh garis lingkar tumbuh yang unik dan bernilai artistik tinggi, sehingga disukai konsumen. Selain itu kayu jati termasuk kayu kelas awet I (mampu bertahan hingga 500 tahun) dan kelas kuat II (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1992), dan dari segi pengerjaannya, kayu jati mudah dikerjakan serta punya berat jenis 0.78 sehingga jati termasuk kelas kayu ringan dan terapung di atas air. Berdasarkan keunggulannya itu, kayu jati dikelompokkan ke dalam jenis kayu mewah (fancy wood). Oleh karenanya di pasaran kayu jati termasuk kayu yang mahal harganya. Kayu jati merupakan sumber penghasil devisa negara, sebagai gambaran pada tahun 1981 volume kayu sebesar 18.000 m3 mempunyai nilai eksport sebesar $ 10.943.000 dan pada tahun 1982 volume kayu sebesar 20.000 m3 mempunyai nilai eksport sebesar $ 12.449.000 (Anonim, 1983). Pada tahun 1998, harga kayu gelondongan di pasar luar negeri berkisar 9 sampai 15 juta rupiah per m3 (Sumarna, 2001). Kebutuhan dalam negeri terhadap kayu jati sampai saat ini masih belum terpenuhi. Dari kebutuhan sebesar 2.5 juta m3 per tahun, baru dapat dipenuhi oleh Perum Perhutani sebesar 0.75 juta m3 per tahun, sehingga masih ada kekurangan sekitar 1.75 juta m3. Walaupun permintaan dalam negeri masih belum terpenuhi semua, namun kayu jati Indonesia juga ikut mengisi pasar dunia.
Beberapa
negara yang mengimpor kayu dari Indonesia seperti Amerika, Taiwan, Hongkong, Korea, Uni Emirat Arab, dan Italia. Pemanfaatan sumberdaya jati alam terus semakin meningkat diikuti adanya usaha ekploitasi terhadap hutan jati. Apabila hal tersebut tidak diikuti oleh adanya upaya penanaman kembali dikhawatirkan akan mengancam punahnya keragaman genetik plasmanutfah tanaman jati yang semenjak diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1842 sampai saat ini belum tereksplorasi dengan baik.
2 Sementara penanaman jati memerlukan investasi yang tinggi serta membutuhkan waktu yang lama yaitu 60 tahun dan produksi optimumnya pada umur 80 tahun. Sejalan dengan alternatif pemecahan masalah mengenai informasi potensi keragaman genetik jati yang tersebar di seluruh kawasan Indonesia maka diperlukan penelitian yang nantinya dapat digunakan oleh para pemulia jati untuk meningkatkan potensi produksi jati sekaligus mengkonservasi hutan jati yang keberadaanya terancam punah. Untuk konservasi dan program pemuliaan jati diperlukan informasi keragaman genetik, struktur populasi genetik, serta aspek dinamik gene flow dan sistem perkawinannya. Sekarang ini terdapat beberapa metode molekular yaitu berdasarkan polimorfisme DNA dalam memperoleh informasi keragaman genetik, struktur populasi genetik serta aspek dinamik populasi genetik akibat adanya migrasi gen (gene flow) yang disebabkan oleh perpindahan serbuk sari dan biji serta model sistem perkawinan. Metode molekular tersebut dikenal sebagai penanda (atau marka) genetik pada tingkat DNA seperti RAPD, RFLP, AFLP dan mikrosatelit. Keuntungan marka DNA adalah kemampuannya dalam menyediakan penanda polimorfisme pola pita DNA dalam jumlah banyak, akurasi yang tinggi dan tidak dipengaruhi lingkungan. Marka mikrosatelit dibuat berdasarkan jumlah sekuen DNA sederhana yang berulang-ulang sehingga sering disebut juga dengan simple sequence repeat (SSR), merupakan salah satu penanda DNA yang menggunakan prinsip kerja reaksi polimerisasi berantai dengan menggunakan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction), yang dapat mengamplifikasi sekuen DNA tertentu secara in vitro. Sekarang ini mikrosatelit menjadi salah satu marka yang paling banyak digunakan secara luas untuk pemetaan genetik, analisis keragaman, dan studi evolusi (Temnykh et al., 2000). Penggunaan penanda mikrosatelit mempunyai beberapa keunggulan dibanding marka lainnya seperti (1) bersifat kodominan, (2) polimorfisme tinggi, (3) lokus tersebar merata dalam genom dan dalam jumlah sangat banyak, dan (4) dideteksi berbasis PCR sehingga diperlukan DNA dalam jumlah sedikit. Marka mikrosatelit telah digunakan untuk menganalisis keragaman genetik seperti yang telah dilaporkan oleh Qian et al., (2001) pada tanaman padi juga pada
3 apel dan pear (Yamamoto, 2001), mempelajari struktur populasi genetik pada kakao dan padi (Goran, 2000 dan Gao, 2002), serta untuk mempelajari sistem perkawinan (mating system) dan gene flow pada pohon tropika (Collevatti, 2001). Tujuan Penelitian Penelitian molekular genetik dengan menggunakan penanda mikrosatelit ini, bertujuan mempelajari (1) kemiripan genetik (genetic similarity) individu di dalam populasi tanaman jati, (2) keragaman dan struktur genetik (genetic structure) populasi jati dikaitkan dengan aspek dinamika dari sistem genetik, (3) sistem aliran informasi genetik (gene flow) melalui serbuk sari dan biji serta (4) sistem perkawinan (mating system) pada tanaman jati.
2. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.) Klasifikasi Jati Jati (Tectona grandis Linn. f.) adalah salah satu anggota famili Verbenaceae, Ordo Tubiflorae. Ada empat spesies yang tergolong dalam genus Tectona yaitu Tectona grandis Linn. f, Tectona hamiltoniana Wall, Tectona philippinensis Benth and Hook. f. dan Tectona abludens (Hedegart, 1976). Tectona grandis mempunyai beberapa nama seperti jati (Indonesia), teak (Inggris), lyiu (Burma), sagun (India), maisak (Thailand), teck (Perancis), teca (Brasilia), birma, sian atau java teak (Jerman) (Samingan, 1991). Daerah Penyebaran Jati Tanaman jati merupakan tanaman asli daerah-daerah Asia Selatan dan Tenggara, yang secara alami terdapat di India, Myanmar, Thailand dan bagian barat Laos meliputi kisaran 9o LU di India sampai 25o LU di Myanmar dan antara 73o sampai 104o BT (Kaosa-ard, 1986). Di Cina tanaman jati ditemukan di lembah sungai Jieyang bagian barat Yunnan dalam jumlah yang sedikit kisaran 26o LU dan 98o BT (Kaosa-ard, 1995). Pada abad 19 jati juga mulai ditanam di daerah tropis benua Amerika seperti Trinidad dan Nicaragua. Akhir-akhir ini jati juga ditanam di Nigeria dan beberapa negara Afrika tropik lainnya (Cordes, 1992). Di Indonesia jati ditemukan terutama di Jawa, Kangean, Bali dan Muna. Selain itu ditemukan pula di Buton, Maluku (Wetar), Sumbawa dan Lampung berada pada posisi 7° LS dan 106° sampai 123° BT (Sastrosumarto dan Suhaendi, 1985). Menurut Wepf (1954) jati di Indonesia tumbuh secara alami di Jawa dan Muna. Hutan jati di Jawa kebanyakan terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan terutama pada tanah kapur napal yang berasal dari zaman tersier di tanahtanah rendah 0 - 500 meter di atas permukaan laut. Persyaratan tumbuh lainnya untuk jati adalah membutuhkan iklim musim yang nyata, yaitu dengan musim kemarau yang periodik. Tanah yang beraerasi baik sangat dibutuhkan oleh jenis tanaman ini, sedangkan ketinggian tempat tumbuh pada umumnya di bawah 700 meter dari permukaan laut dengan curah hujan berkisar 1200 - 3700 mm per tahun
5 (Departement Kehutanan Republik Indonesia, 1992). Indonesia memiliki luas areal pertanaman jati yang relatif tinggi. Sampai tahun 1975, tercatat ada sekitar 774.000 hektar tanaman jati yang sebagian besar berada di Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB, Maluku, dan Lampung (Sumarna, 2001). Spesies jati di Indonesia diyakini merupakan introduksi dari India pada abad ke 14 (Kaosa-ard, 1986). Walaupun demikian jati yang ada di Jawa ternyata memiliki variasi genetik yang berbeda dengan jati di India yang dianggap sebagai pusat diversitas jati. Para ahli menyatakan bahwa spesies tersebut telah beradaptasi dengan kondisi edafis dan iklim setempat sehingga membentuk vegetasi yang berbeda. Karakter Vegetatif, Generatif, dan Pembungaan Jati Karakter Vegetatif Jati adalah salah satu jenis pohon berdaun lebar. Pada kondisi tempat tumbuh yang sesuai, tinggi total dapat mencapai 30 - 40 m pada umur masak tebang 70 - 80 tahun, sedangkan pada kondisi yang kurang baik pertumbuhannya agak terhambat. Di daerah subur dengan kondisi lingkungan yang mendukung, tinggi bebas cabang dapat mencapai 15 - 20 m atau lebih dan diameter dapat mencapai 150 cm atau lebih (Departemen Kegutanan Republik Indonesia, 1992; Keiding, 1985). Daun jati berukuran relatif besar, panjangnya berkisar antara 25 - 50 cm dan lebarnya 15 - 35 cm, berbentuk bulat telur dengan permukaan luar kasar. Warna daun hijau sampai hijau tua dan kedudukan pada satu tangkai saling bersilangan (Keiding, 1985). Bentuk tajuk tak beraturan, menyerupai kubah, agak lebar dan termasuk jenis menggugurkan daun (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1992). Batang umumnya bulat dan lurus, batang yang besar pada umumnya berbanir dan berlekuk-lekuk; warna kulit agak kelabu muda, agak tipis dan beralur memanjang agak dalam (Departemen Kehutanan Repubublik Indonesia, 1992). Bagian vegetatif lain dari pohon jati yang perlu diketahui adalah sistem perakarannya. Pada umumnya salah satu ciri dari perakaran jati adalah tidak tahan terhadap kekurangan zat asam. Menurut Soekotjo (1977), jati termasuk
6 tanaman yang tahan terhadap kekurangan air untuk selang waktu 0 - 10 hari dan jika lebih dari itu tanaman akan tumbuh merana dan mati. Karakter Generatif Bunga jati berukuran kecil (diameter 6 – 8 mm), berwarna keputihan dengan tangkai yang pendek dan termasuk jenis biseksual atau hermaprodit, yaitu dalam satu bunga terdapat putik dan benang sari. Jati juga disebut tanaman berumah satu (monoecious), karena bunga jantan dan bunga betina ada pada pohon yang sama (Samingan, 1991). Tipe bunga jati adalah bunga majemuk tak terbatas, yaitu dikenal dengan bentuk malai atau tandan majemuk. Ukuran malai biasanya besar, terdiri atas ratusan kuncup bunga yang keluar secara serentak. Kuncup ini akan bermekaran dalam waktu yang cukup singkat yaitu dalam selang 2 - 4 minggu (Keiding, 1985). Menurut Kaosa-ard (1995) dan Cordes (1992) bunga jati merupakan bunga sempurna yang terdiri atas bagian kelopak bunga berwarna coklat terang, berbentuk lonceng, dan tidak terpisah pada bagian bawahnya, yang berfungsi untuk melindungi kuncup bunga selama tahap perkembangannya. Mahkota bunga berwarna keputih-putihan, berbentuk tabung sama panjang dengan kelopaknya, yang berfungsi merangsang penyerbukan. Mahkota bunga terdiri atas enam buah petal pada bagian tabung mahkota yang mengandung sedikit nectar pada bagian basal. Di sebelah mahkota ada enam stamen dan masing-masing terdiri atas sebuah filament dan sebuah antera bercaping dua (two-lobed) berwarna kuning. Pada bagian tengah ada sebuah pistil yang terdiri atas sebuah ovari, sebuah stilus bercabang dua dan berbulu halus.
Pada ujung masing-masing stilus terdapat
sebuah stigma. Karakter Biologi Pembungaan Pembungaan pada tanaman jati terjadi tidak seragam, tergantung pada tempat tumbuh, iklim, sistem silvikultur serta faktor genetik (Keiding, 1985). Pada daerah dengan iklim yang memungkinkan tanaman jati pada saat fase juvenilnya tumbuh cepat, pembungaan terjadi setelah tanaman berumur 2 tahun, contohnya di daerah Afrika Barat, pada hutan dataran tinggi. India dan Thailand
7 (tempat tumbuh alaminya), pembungaan terjadi setelah tanaman berumur 6 - 8 tahun, malah kadang-kadang lebih 1ambat lagi (Keiding, 1985). Pembungaan mulai terjadi pada bulan Juni sampai dengan Oktober dan berbuah antara bulan Mei sampai dengan Desember tahun berikutnya, terutama Juni sampai September (Departement Kehutanan Republik Indonesia, 1992). Penyerbukan secara alami pada bunga jati terutama dengan bantuan serangga, walaupun dengan bantuan angin dapat terjadi (Bryndum dan Hedegart, 1969). Di Thailand, Heriodes biparvula dan Ceratina hieroglyphica yang menjadi penyerbuk utama (Hedegart, 1976). Meskipun demikian berbagai macam lalat dan kupu-kupu juga terlibat (Bryndum dan Hedegart, 1969). Persentase pembuahan pada jati dalam penyerbukan alami umumnya rendah, karena tidak cukupnya serangga penyerbuk (Hedegard, 1973) dan proporsi self incompatibility tinggi yaitu dapat mencapai 96 - 100% (Hedegart, 1976).
Pembuahan terjadi 24 jam setelah penyerbukan, dan zigot mulai
berkembang pada 3 - 5 hari setelah penyerbukan. Buah mencapai ukuran penuh sekitar 50 hari setelah terjadi penyerbukan terkendali, tetapi mencapai tingkat kematangan penuh setelah berumur 120 – 200 hari setelah penyerbukan. Tanda buah sudah masak adalah jika pohon ranting digoyangkan maka buah akan jatuh, atau jatuh sendiri ke tanah (Hedegart, 1976). Marka Genetik Terdapat tiga jenis marka genetik yang dapat digunakan untuk analisis genom dan analisis populasi seperti mendeteksi keragaman genetik suatu individu di dalam atau antar populasi yaitu marka morfologi, marka biokimia dan marka molekular. Marka morfologi adalah penanda yang dapat diamati secara langsung seperti jumlah anakan, karakteristik batang, daun, bunga, buah, biji, dan lain sebagainya. Keuntungan dari penanda jenis ini adalah pengamatannya mudah, namun demikian penanda ini memiliki kelemahan karena dapat dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan serta jumlahnya sangat terbatas, sehingga kadangkala tidak dapat dibedakan antar genotipe yang diamati karena secara morfologi kelihatannya sama, tetapi sebenarnya berbeda akibat adanya interaksi intra dan inter gen. Demikian pula dengan marka biokimia jumlahnya
8 sangat terbatas dan mempunyai tingkat polimorfisme yang relatif rendah, serta ekspresinya sedikit dipengaruhi oleh lingkungan. Marka molekuler seringkali juga dikenal sebagai sidik jari DNA karena mengacu pada pita polimorfisme berupa fragmen DNA.
Keunggulan utama
penanda molekular adalah (1) keakuratan yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan yang mempengaruhi ekspresi gen tersebut, (2) dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, (3) pada pengujian ketahanan hama dan penyakit tidak tergantung pada organisme pengganggu tersebut, dan (4) seleksi pada tingkat genotipe ini dapat mempercepat proses seleksi dan hemat pada pengujian selanjutnya di lapang. Analisis genetik berdasarkan penanda molekular dapat dilakukan dengan hibridisasi fragmen DNA dengan penanda DNA pada teknik non-PCR seperti RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) (Serret et al., 1997), dengan amplifikasi fragmen DNA dalam mesin PCR (Polymerase Chain Reaction) seperti RAPD (Random Amlified Polymorphic DNA) (William et al., 1990), AFLP (Amplified Fragmen Length Polymorphisms), SSR (Simple Sequence Repeat) dan lain-lain. DNA Mikrosatelit DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan.
DNA mikrosatelit biasa
digunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif dan forensik. DNA mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan beberapa pasang primer mikrosatelit. DNA produk PCR dideteksi menggunakan teknik elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak. Daerah DNA Mikrosatelit DNA genom terdiri atas DNA ruas khas (specific sequence) dan DNA ruas berulang (repetitive sequence). DNA ruas berulang dalam genom eukariot dapat mencapai > 90% DNA total yang ada dalam genom tanaman (Weising et al., 1995). Makin besar ukuran genom suatu tanaman, maka cenderung makin besar
9 pula proporsi DNA ruas berulangnya. Dari beberapa hasil penelitian diketahui proporsi DNA ruas berulang dalam genom tanaman jagung mencapai 60% (Gupta et al., 1984), gandum dan kerabat liarnya mencapai 70% (Flavel, 1980), kedelai mencapai 60% (Walbot dan Goldberg, 1979), dan pada padi mencapai 50% (McCouch et al., 1988). DNA ruas berulang dapat berupa DNA yang ruasnya berulang secara moderat atau berselang-seling (intersperse), dan DNA yang ruasnya berulang secara berurutan (tandem). Perulangan ruas DNA secara tandem diklasifikasikan berdasarkan panjang dan jumlah ruas berulang di dalam genom, dan dapat berupa: (1) DNA satelit yang biasanya jarang ditemukan dalam lokus genom, karena perulangannya sangat tinggi (biasanya antara 1000 sampai 100000 kopi) dan bentuknya sangat panjang, sering berada pada bagian heterokromatin dengan panjang fragmen berulang antara 2 sampai beberapa ribu pasang basa tetapi umumnya ditentukan antara 100-300 pasang basa, (2) minisatelit yang biasanya banyak terdapat dalam genom, bentuknya lebih pendek (10 - 60 bp) dan menunjukkan derajat perulangan yang lebih rendah, (3) fragmen sederhana atau biasa disebut mikrosatelit (disebut juga fragmen berulang sederhana atau perulangan tanden sederhana), ruas perulangannya pendek dan derajat perulangannya lebih sedikit, terdistribusi lebih banyak pada lokus genom, dan (4) midisatelit untuk kategori DNA yang tipenya merupakan kombinasi dari satelit (perulangan yang panjang pada lokus genom tunggal) dan minisatelit (fragmen berulang secara tandem kira-kira 40 bp) (Weising et al., 1995). Pola ulangan DNA mikrosatelit terdiri atas pola di-, tri-, atau tetranukleotide berulang.
Pola ini ditemukan dalam semua organisme, baik
prokariot maupun eukariot. Ulangan dinukleotide yang paling sering ditemukan pada tanaman adalah AA/TT dan AT/TA, sedangkan pada hewan GT/AC (Hoelzel, 1998). Keungulan DNA Mikrosatelit Hoelzel (1998) menyebutkan bahwa DNA mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik yang ideal untuk analisa genom karena jumlahnya cukup banyak di dalam genom. DNA mikrosatelit memiliki tingkat ulangan 5-100 tiap lokus dan ditemukan pada sejumlah besar lokus spesifik tertentu dalam genom
10 sehingga polimorfismenya lokus tersebut dapat diketahui berdasarkan jumlah ulangannya yang berbeda. DNA mikrosatelit memiliki jumlah lokus yang banyak (104 - 105) dengan tingkat variabilitas yang tinggi dalam hal jumlah salinan berulangnya (Tautz, 1993). Tingkat polimorfismenya tinggi serta mudah untuk dianalisis, misalnya dengan teknik PCR (Ellegreen et al., 1993).
DNA
mikrosatelit lebih sedikit dalam penggunaan enzim dan runutan inti lokus dapat digunakan sebagai probe dibandingkan penciri genetik lainnya sehingga akan mengurangi biaya (Winaya, 2000). Alel-alel DNA mikrosatelit berekspresi dalam bentuk kodominan.
Sifat tersebut memungkinkan untuk membedakan antara
individu-individu homozigot dari heterozigotnya (Wright dan Benzen, 1994). Sistem Reproduksi Seksual Tanaman Proses reproduksi seksual pada tanaman merupakan proses penggabungan gamet jantan dan betina yang akan menghasilkan zigot. Pada proses reproduksi seksual ini akan terbentuk berbagai macam kombinasi gen sehingga menghasilkan turunan dengan berbagai genotipe. Dengan demikian reproduksi seksual akan menghasilkan sejumlah besar turunan yang berbeda secara genetik.
Fase
reproduksi selama perkembangan populasi merupakan hal yang menarik dari sisi genetik karena fase ini menyebabkan terjadinya perubahan yang dinamis dari struktur genetik dalam populasi tanaman (Finkeldey, 2005).
Aspek dinamik
struktur populasi genetik sangat penting dipelajari terutama dalam program breeding dan untuk koservasi tanaman tersebut (Yeh, 2000). Sistem reproduksi seksual terdiri atas beberapa sub-sistem yang berbeda yaitu sistem seksual, aliran gen (gene flow), dan sistem perkawinan (mating system). Sistem Seksual Sistem seksual pada tanaman sangat beragam, yaitu kemampuan tanaman dalam suatu populasi untuk dapat saling berkawin, tergantung dari kemampuan tanaman dalam menghasilkan gamet jantan (serbuk sari atau polen) atau gamet betina (sel telur atau ovul) atau keduanya.
Secara umum sistem seksual ini
dikelompokkan ke dalam tiga tipe utama yaitu (i) dioecious dimana semua individu-individunya dalam suatu populasi mempunyai bunga jantan dan bunga
11 betina terletak pada tanaman yang berbeda, (ii) hermaprodit dimana individuindividu dari suatu spesies mempunyai gamet jantan dan betina dalam bunga yang sama, dan (iii) monoecious dimana individu memiliki bunga jantan dan betina terpisah dalam satu tanaman (Boshier, 2000) Tanaman dioecious tidak mungkin kawin sendiri (self pollination) sehingga derajat inbreeding dalam populasi rendah. Mayoritas spesies tanaman dalam hutan tropikal adalah hermaprodit, sedangkan di hutan temperet spesiesnya monoecious. Pada hutan tropical sistem polinasi bunga hermaprodit dominan terjadi disebabkan oleh bantuan hewan terutama serangga (Gailing et al., 2003) Sistem Aliran Informasi Genetik (Gene Flow) Gene flow adalah perpindahan informasi genetik melalui serbuk sari dan biji. Jadi gene flow bertanggung jawab terhadap distribusi informasi genetik dalam populasi (intrapopulasi gene flow) dan antar populasi (interpopulation gene flow). Efisiensi gene flow melalui serbuk sari dan biji merupakan hal yang sangat penting berkenaan dengan ukuran populasi efektif dalam bereproduksi. Ukuran populasi sangat penting dalam menggambarkan pola penyebaran keragaman genetik dan perbedaan genetik di antara populasi (Hamrick, 2000 dan Gailing et al., 2003). Banyaknya tanaman, jarak serta arah gene flow melalui serbuk sari dalam tegakan menentukan apakah perkawinan yang terjadi antar tanaman yang berbeda (outcrossing) atau dalam tanaman itu sendiri (selfing). Oleh karena itu, gene flow bila dikaitkan dengan tipe perkawinan dan segala aspek-aspeknya merupakan hal yang sangat menarik dalam menganalisis sistem perkawinan (mating system). Dalam sistem pembungaan tanaman ada dua tipe transpor serbuk sari yaitu melalui angin (anemophily) dan hewan (zoophily). Namun polinasi pada hutan tropis terutama disebabkan oleh serangga (entomophily) (Hamrick, 2000 dan Gailing et al., 2003). Sistem Perkawinan (Mating System) Tipe mating system sangat menentukan struktur genetik dalam suatu populasi. Tujuan dari analisis mating system adalah untuk menentukan asal gamet dari induknya dalam suatu populasi. Bentuk struktur genetik individu dalam
12 populasi sangat tergantung pada faktor lingkungan seperti densitas populasi, tata letak tanaman, fenologi, dan vektor polinasi (Collevatti, 2001). Pendugaan laju selfing dan outcrossing sangat dipengaruhi oleh kondisi lapang. Untuk menghindari selfing dikembangkan berbagai mekanisme seperti sistem inkompatibilitas, perbedaan waktu pembungaan pada bunga jantan dan betina, terpisahnya bunga jantan dan betina. Selfing merupakan proses inbreeding dalam penurunan heterozigositas. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan viabilitas dalam turunannya berkaitan dengan peningkatan kerusakan alel-alel dalam genotipe-genotipe homosigositas. Khususnya untuk spesies yang langka dengan densitas rendah, selfing dapat mempercepat kepunahan. Jadi ukuran laju selfing dapat digunakan untuk mengembangkan prioritas dan strategi program konservasi (Gailing et al., 2003). Proporsi ovul yang terbuahi secara selfing disebut laju selfing (s) dan frekuensi ovul yang dibuahi secara outcrossing disebut laju outcrossing (t). Dimana s + t = 1. Nilai laju outcrossing berkisar dari t = 0 (100% selfing) sampai t = 1 (100% outcrossing).
Nilai-nilai yang signifikan kurang dari t=1
mengindikasikan terjadi inbreeding yang disebabkan oleh selfing atau perkawinan antar saudara.
Struktur tata letak tanaman, komposisi tanaman dan densitas
populasi, serta adanya variasi pembungaan dan mekanisme inkompatibilitas dapat menghasilkan variasi dalam laju outcrossing pada tegakan dan individu tanaman (Gailing et al., 2003). Mating system dapat dipelajari bila terdapat tipe alel atau genotip yang unik dalam populasi, dan tujuan ini dapat dicapai dengan tersedianya marka molekular dengan polimorfik yang tinggi seperti mikrosatelit atau paling sedikit terdapat satu alel unik pada tanaman dalam suatu populasi (Boshier, 2000). Koefisien inbreeding atau indek fiksasi adalah ukuran deviasi antara pengamatan struktur genotipe dan struktur genotipik sesungguhnya di bawah asumsi random mating, dan asumsi lainnya seperti tidak ada seleksi, mutasi, migrasi, dan lain sebagainya. Koefisien inbreeding untuk setiap single lokus dihitung dari perbedaan struktur genotipik berupa heterozigot yang diamat terhadap heterozigot harapan pada kondisi keseimbangan Hardy-Weinberg, yang diformulasikan sebagai F = 1 – Ho/He. Nilai positif mengindikasikan homosigot
13 lebih banyak ketimbang struktur populasi Hardy-Weinberg dan proses inbreeding diindikasikan bila F bernilai positif pada semua lokus yang diamati (Gailing et al., 2003).
3. METODE UMUM PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian Disertasi ini disusun berdasarkan empat topik penelitian yaitu: (1) Analisis kemiripan genetik (genetic similarity) tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, (2) Analisis struktur genetik (genetic structure) populasi jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, (3) Analisis aliran gen via serbuk sari (gene flow) dan biji (migration) pada tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, dan (4) Analisis sistem perkawinan (mating system) tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel daun dan benih dari tanaman jati diperoleh terutama dari hutan jati di kabupaten Muna dan Buton, Sulawesi Tenggara. Lama penelitian ini adalah 3 tahun, dimulai Mei 2003. Bahan dan Metode Penelitian Bahan Tanaman Populasi tegakan atau hutan jati yang dipilih adalah yang mempunyai level kerusakan atau gangguan terhadap tegakan jati tersebut akibat adanya aktivitas manusia.
Untuk itu telah dipilih tiga lokasi populasi di Sulawesi Tenggara
(Gambar 3.1 dan Tabel 3.1) dengan berbagai level gangguan yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna dan satu populasi dari kabupaten Buton, sebagai berikut: Lokasi Warangga terletak dekat kota Raha, Kabupaten Muna. Lokasi tanaman jati di Warangga ini relatif terjaga dari penebangan liar. Tanaman jati di lokasi ini ditanam sekitar tahun 1938. Lokasi ini sekarang dipertahankan dan mulai dipagari untuk dijadikan kebun bibit. Lokasi Dolok terletak di Tampo, Kabupaten Muna. Tanaman jati di lokasi ini diperkirakan berumur 40 tahun. aktivitas manusia.
Lokasi ini relatif tidak terganggu oleh
15 Lokasi Wadila terletak di Gunung Sejuk, Sampolawa, kabupaten Buton. Lokasi ini awalnya merupakan lokasi pertanaman jati yang pernah ditebang habis pada tahun 1958, kemudian dibiarkan sampai sekarang, dan pada lokasi ini kemudian tumbuh secara alami tanaman jati dan sekarang dikenal oleh masyarakat sebagai jati alam. Tabel 3.1. Populasi Dolok Warangga Sampolawa
Koordinat posisi geografis populasi jati dari Sulawesi Tenggara Lintang 4.63 LS 4.84 LS 5.53 LS
Bujur 122.70 BT 122.65 BT 122.68 BT
Lokasi Pulau Muna Pulau Muna Pulau Buton
Pengambilan sampel tanaman berupa daun muda serta buah jati ditujukan untuk mempelajari keragaman genetik, struktur genetik serta aspek dinamika akibat adanya perpindahan informasi genetik berupa aliran gen (gene flow) melalui serbuk sari dan biji, serta untuk mempelajari sistem perkawinan (mating system) pada tanaman jati.
Gambar 3.1. Peta lokasi tempat pengambilan sampel populasi jati di Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan Kabupaten Buton (Sampolawa)
16 Material jaringan daun yang diambil untuk diekstrasi DNA nya adalah daun yang masih muda dan masih akan berkembang, kira-kira berukuran 8 - 12 cm dan diambil sebanyak 5 - 7 helai. Daun-daun tersebut kemudian diletakan di antara dua kertas yang dapat menyerap air kemudian dikeringkan pada ruangan ber AC (air-conditioning room) atau dikering anginkan. Material daun dapat juga disimpan dalam kantong ziplock yang berisi silika gel. Jaringan tersebut juga dapat diambil langsung dilapang menggunakan tabung microtube 1.5-2.0 ml yang mengandung buffer ekstraksi, namun dengan cara ini daun tersebut harus segera di gerus untuk diekstrasi atau dapat disimpan dalam waktu cukup lama sebelum diekstrak pada suhu -20oC. Sedangkan benih diambil dengan cara memanen benih sebanyak 100-150 biji dari 15-20 pohon yang dianggap sebagai induk potensial, untuk masingmasing populasi. Benih-benih tersebut dikecambahkan untuk kemudian diisolasi DNA nya. Prosedur Molekular dengan Marka Mikrosatelit Isolasi DNA Isolasi DNA daun jati dilakukan menggunakan metode CTAB. Sebanyak 1 gram daun jati muda ditambahkan nitrogen cair kemudian digerus dengan mortal, serbuk halusnya kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf . Untuk sampel sebanyak 0.3 g yang telah dimasukkan ke dalam tabung eppendorf tersebut kemudian ditambahkan 700 µL buffer CTAB (100 mM Tris-HCL pH 8.0, 1.4 M NaCl, 20 mM EDTA, 2% (b/v) CTAB), yang sebelumnya dipanaskan pada suhu 65oC dan 0.2% β-mercaptoethanol yang ditambahkan pada saat melakukan ekstraksi) dan digoyang-goyang supaya tercampur sempurna selama 30 detik. Sampel dalam buffer diinkubasi dalam penangas air pada suhu 65oC selama 30 menit dan sesekali dibolak-balik secara perlahan supaya buffer tercampur sempurna dengan sampel. Kemudian campuran tersebut dibiarkan pada suhu ruang selama beberapa menit untuk menurunkan suhu. Untuk memisahkan larutan DNA dengan kotoran lainnya ditambahkan kloroform/isoamilalkohol (24:1) sebanyak 700 µL dan digoyang-goyang sampai terbentuk emulsi kemudian disentrifugasi pada kecepatan 15000 rpm selama 15
17 menit pada suhu ruang. Larutan bagian atas dipipet dan dimasukan ke dalam tabung yang baru kemudian ditambahkan 750 µL isopropanol dingin dan digoyang-goyang secara perlahan.
Penambahan isopropanol dingin akan
menyebabkan terbentuknya benang-benang DNA yang halus berwarna putih. Pengendapan DNA dilakukan dengan sentifugasi pada kecepatan 15000 rpm selama 15 menit pada suhu ruang. Larutan bagian atas dibuang dan pellet dicuci dengan 200 µL ethanol 70% dengan cara mengoyang-goyang dan disentrifugasi 10000 rpm selama 10 menit kemudian ethanol 70% dibuang dengan cara dipipet kemudian pellet dikeringkan dengan cara membalikan tabung di atas kertas tisue dan divacum selama 10 menit sampai kering.
Endapan DNA
dilarutkan dengan 50 µL aquabidest dengan cara digoyang-goyang secara perlahan dan diinkubasi selama 30 menit atau satu malam pada suhu 37oC, sebelum digunakan disimpan pada -20oC , untuk analisa selanjutnya. Penetapan Kualitas dan Kuantitas serta Visualisasi DNA. Ukuran dan integritas DNA ditentukan berdasarkan elektroforesis gel agarose 1%. Pembuatan gel agarose 1% (b/v) dilakukan dengan cara melarutkan 1.0 g tepung agarose ke dalam 100 ml larutan buffer 1 x TAE (50 x TAE untuk 1 L mengandung 242 g Tris-base, 57.1 mL asam asetat glasial dan 100 mL 0.5 M EDTA-Na2 pH 8.0) kemudian dipanaskan dalam microwave selama 2 menit sampai agarose benar-benar larut. Larutan agarose diinkubasi selama 30 menit untuk menurunkan suhunya hingga mencapai 65oC. Kemudian dituangkan ke dalam cetakan gel yang sudah dipasang sisir dan dibiarkan sampai mengeras kirakira 1 jam kemudian sisir dicabut dari gel secara perlahan.
Gel yang telah
mengeras dimasukan ke dalam bak elektroforesis dengan posisi sisir pada elektroda negatif dan ke dalam bak dimasukkan larutan buffer 1 x TAE sampai seluruh terendam. Pengujian dilakukan dengan menggunakan 10 µL sampel DNA dilarutkan dengan 5 µL aquabides dan 5 µL loading buffer FDEU (90% delonized formamide, 0.1 M EDTA, 10% xylene cyanol, 10% bromophenol blue dan 8% (w/v) urea) dan dicampur merata.
Elektroforesis DNA dilakukan dengan
memasukan sebanyak 20 µL campuran DNA, aquabides dan loading buffer ke dalam lubang gel. Alat elektroforesis dihubungkan dengan power suplai listrik
18 model 1000/500 (BIORAD) pada tegangan konstan 75 volt, setelah pewarna pewarna mencapai jarak 1 cm dari pinggir bawah gel, power suplai listrik dimatikan (kira-kira selama 60 menit). Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan buffer 1 x TAE yang diberi 0.5 µg/mL etidium bromida sambil digoyanggoyangkan selama 20 menit kemudian dibilas dengan aquades selama 10 menit. Hasil elektroforesis dilihat dengan menggunakan transiluminator UV model T2202 (Sigma) untuk melihat pendaran DNA yang diberikan etidium bromida dan hasilnya difoto dengan menggunakan film Polaroid 667. Amplifikasi DNA. DNA diamplifikasi dengan menggunakan primer spesifik yang telah dikembangkan untuk jati dari proyect ICA4-2000-20053 (Tabel 3.2).
Reaksi
amplifikasi dilakukan dengan menggunakan 25 µL yang merupakan campuran larutan yang terdiri atas AmpliTaq DNA polimerase dan Stoffel fragment, dNTPs (masing-masing dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP 0.4 mM), 2.5 µg bovine serum albumin (BSA) dan buffer (3 mM MgCl2, 30 mM KCl dan 10 mM Tris, pH 8.3), 25 pmol primer, 2 µL DNA cetakan, dan 18 µL dH2O supaya mencapai volume akhir 25 µL dimasukkan ke dalam tabung eppendorf volume 500 µL dispin secara pelahan lahan supaya semua larutan tercampur sempurna.
Minyak mineral
ditambahkan keatas campuran larutan PCR dan DNA cetakan sebanyak 20 µL untuk menghindari penguapan selama berlangsungnya reaksi.
19 Tabel 3.2.
Nama dan sekuen primer mikrosatelit berasal dari project jati TEAKDIV ICA4-2000-20053
No 1
Primer AG04
2
AG16
3
AGT10
4
AC44
5
AC01
6
AG14
7
ATC02
8
AC28
9
AAG10
10
CPIMS
Sekuen for: 5’-AGAGGAGGTGCAGAGAGCAG-3’ rev: 5’-TAGCATTTGCTGCAAGCTGT-3’ for: 5’-ATGCAAAAACGGAGTCTTGG-3’ rev: 5’-GGCAGAGCTATCTGAAGATCC-3’ for: 5’-TGCAGATAAAATGCTTGTGGA-3’ rev: 5’-CGCGAGAAATAGACCAGTGC-3’ for: 5’-ACGCGGGTGTTAGGAAAATG-3’ rev: 5’-CCCATCAAACTGAGACAACCA-3’ for: 5’-CATGTTGTATCATGAATGTG-3’ rev: 5’-CCTAGAAGAGAACCCCATGC-3’ for: 5’-TCCACGACTCATGCAGGCTA-3’ rev: 5’-CCAACCAACCCTTTCAAATCC-3’ for: 5’-TCAAAGCTTGGCTACCACCA-3’ rev: 5’-GCCGAATTGGGACGACTTTA-3’ for: 5’-ACGGCTATCAGACCAGCAGA-3’ rev: 5’-ATGCATGGCATGTTCTACCC-3’ for: 5’-GTGCACCAAGTCCGAGCAAT-3’ rev: 5’-CGAGAACCCGAACCTAACCA-3’ for: 5’-TTTCCCGTTATGTAGAGAATTGA-3’ rev: 5’-CCCAAATTGTGAACGATGAA-3’
Tabung berisi campuran larutan PCR dan DNA cetakan dimasukkan ke dalam mesin PCR. Reaksi amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan mesin PCR (Gene Amp PCR system 2400 Perkin-Elmer) dan diprogramkan untuk PCR awal pada suhu 95oC selama 5 menit satu siklus. Denaturasi DNA cetakan dari utas ganda menjadi utas tunggal pada suhu 95oC selama 1 menit, penempelan primer ke DNA cetakan pada suhu 36oC selama 1 menit dan pemanjangan pada 72oC selama 2 menit sebanyak 45 siklus, dan pemanjangan akhir pada suhu 72oC selama 5 menit satu siklus, dan pendinginan pada suhu 4oC selama tidak terhingga satu siklus.
4. ANALISIS KEMIRIPAN DAN KERAGAMAN GENETIK TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Genetic similarity and diversity analysis of teak from originated Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) Abstract The objective of this research was to analyze genetic similarity and diversity of three populations of teak from Southeast Sulawesi using ten microsatellite loci. The result of the research showed that the average genetic similarity, which calculated based on Dice coefficient, for total population of mature and juvenile tree were 51.91% and 54.55%, respectively. Mature tree of Dolok, Warangga and Sampolawa had genetic similarity 60%, 55%, and 73%, respectively. Juvenile tree of Dolok, Warangga, and Sampolawa had genetic similarity 56%, 61%, and 74%, respectively. The juvenile tree harvested from 1319 mature trees showed high genetic diversity similar with mature tree. Principal component analysis showed by the first two principal components explained 38% and 40% of total diversity of mature and juvenile trees. Population was separated into tree groups according locations. But condition of harvest of seeds of this research done before illegal logging on large scale, so that source of pollen very abundances. At present teak in Southeast Sulawesi are endangered, constraint of reboisation is due to not availability of seed. Bulk harvest from a lot of tree and a lot of location represent a strategy to prevent inbreeding and genetic drift. Keywords: Tectona grandis, genetic similarity, mikrosatelit
Abstrak Penelitian bertujuan untuk mempelajari kemiripan dan keragaman genetika tiga populasi tanaman jati asal Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kemiripan genetika yang dihitung menggunakan koefisien Dice (Nei dan Li, 1979) pada populasi total tanaman dewasa dan semai asal Sulawesi Tenggara berturut turut 51.91% dan 54.55%. Untuk tanaman dewasa kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 60%, 55% dan 73%. Sedangkan tanaman semai kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 56%, 61%, dan 74%. Tanaman semai yang diunduh dari 13-19 pohon induk benih memperlihatkan keragaman yang tinggi serupa dengan tanaman induknya (dewasa). Namun kondisi pengunduhan benih pada penelitian ini terjadi sebelum penebangan hutan secara besar-besaran, sehingga sumber serbuk sari sangat berlimpah. Saat ini jati di Sulawesi Tenggara sudah demikian parah, kendala reboisasi hutan tidak tersedianya benih. Pengunduhan yang berasal dari banyak tanaman dan berasal dari banyak lokasi merupakan strategi yang dapat mengurangi terjadinya inbreeding dan penghanyutan genetik. Kata kunci: Tectona grandis, kemiripan genetik, mikrosatelit
21 Pendahuluan Kawasan hutan jati di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara kini dalam kondisi rusak parah, akibat penebangan liar yang tidak terkendali. Sekitar 29.000 hektar lebih dari luas total areal semula yang mencapai 30.000 hektar, sudah berubah menjadi kawasan gundul. Hingga di awal tahun 2004 luas areal jati yang tersisa tinggal sekitar 1.000 hektar lebih, itu pun luasannya tidak terkonsentrasi pada satu kawasan, melainkan tersebar di beberapa titik lokasi. Untuk mengembalikan kerusakan hutan jati yang sudah cukup serius itu, pemerintah pusat melalui dana reboisasi hutan, berusaha menanam kembali tanaman jati melalui proyek tersebut yang sepenuhnya diserahkan kepada petani. Namun demikian yang menjadi kendala sekarang adalah tidak tersedianya sumber benih tanaman lokal sedangkan benih yang berasal dari tempat lain belum tentu sesuai dan harus diuji terlebih dahulu. Pembangunan hutan dengan cara mengunduhan benih yang berasal hanya dari beberapa tanaman saja dari tanaman yang tersisa akan menimbulkan masalah seperti inbreeding dan penghanyutan genetik, padahal untuk jangka panjang keragaman genetik total yang tinggi perlu dipertahankan.
Dengan demikian
diperlukan penelitian yang dapat memberi gambaran atau bayangan tentang kosekuensi genetik sendainya benih hanya diunduh dari beberapa tanaman saja atau dari beberapa area saja, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk menghindari hilangnya keragaman genetik. Studi tentang kemiripan genetik di antara individu tanaman dan di antara populasi dapat digunakan untuk mengambarkan keragaman genetik yang ada dan dapat digunakan dalam memilih individu tanaman dari kelompok populasi. Selama ini pemilihan individu tanaman berdasarkan fenotipe (tanaman plus), namun karakter fenotipe sangat dipengaruhi oleh lingkungan, dengan demikian informasi tambahan secara genetik sangat diperlukan guna mendapatkan tanaman plus tersebut. Dalam program pemuliaan dan konservasi keberhasilannya sangat ditentukan dari keberhasilan dalam memilih individu-individu tanaman plus yang
22 digunakan sebagai sumber material genetik yang memiliki keragaman genetik total yang tinggi. Keragaman dan kemiripan genetika dapat dipelajari melalui analisis langsung terhadap sifat morfologi, biokimia atau melalui penanda DNA seperi mikrosatelit. Penanda mikrosatelit merupakan salah satu penanda genetik yang bersifat unggul untuk digunakan karena terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), bersifatnya kodominan, bersifat polimorfik yang tinggi dan berbasis PCR Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mempelajari kemiripan genetik individu-individu tanaman di dalam populasi, (2) mempelajari keragaman genetik jati di dalam populasi dan antar populasi, dan (3) membandingkan keragaman genetik populasi jati dewasa serta progeni dari bulk benih jati Bahan dan Metode Material Tanaman Material tanaman jati berupa daun dan benih diperoleh dari dua kabupaten di Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan Kabupaten Buton (Sampolawa), dikoleksi masing-masing 20 sampel seperti tertera pada Tabel 4.1 sebagai berikut: Tabel 4.1.
Pohon induk dan tanaman semai jati yang dikoleksi dipilih secara acak pada tiga lokasi populasi jati asal Sulawesi Tenggara dianalisis menggunakan 10 lokus mikrosatelit
Asal Dolok, Muna Warangga, Muna Sampolawa, Buton Total
Populasi Pohon Semai Pohon Semai Pohon Semai
Kode T T W W S S 6 populasi
Jumlah Tanaman 20 20 20 20 20 20 120 tanaman
Isolasi serta Penentuan Kualitas dan Kuantitas DNA Untuk mendapatkan DNA total genom dilakukan isolasi DNA dari daun jati muda. Daun muda digerus menggunakan lumpang porselin sampai hancur
23 dengan menambahkan nitrogen cair.
Isolasi DNA dilakukan menggunakan
procedur CTAB yang telah dikembangkan dari project ICA4-2000-20053 (Bab 3 dan Lampiran 8). Kualitas dan kuantitas DNA yang diperoleh dicek terlebih dahulu dengan merunning dalam gel agarose 0.8% dengan menggunakan alat elektroforesis. Spektrofotometer digunakan untuk menentukan kemurnian dan konsentrasi DNA. Amplifikasi PCR dan Gel Electroforesis DNA tanaman hasil isolasi kemudian diamplifikasi menggunakan mesin PCR menggunakan 10 primer mikrosatelit. Program PCR yang digunakan adalah 5 menit pada suhu 94oC untuk pre-PCR, selanjutnya dilakukan 35 siklus yang terdiri atas 40 detik pada suhu 94oC untuk denaturasi, 1 menit pada suhu 52oC untuk anneling atau penempelan primer, dan 2 menit pada suhu 72oC untuk perpanjangan primer.
Setelah 35 siklus dilewati kemudian dilakukan
perpanjangan akhir atau post-PCR pada suhu 72oC selama 7 menit. Hasil PCR kemudian diseparasi menggunakan gel poliakrilamid 6% pada suhu 50oC pada konstan daya 100 watt selama 3 jam, sedangkan pewarnaan DNA untuk visualisasi dilakukan dengan menggunakan silver staining (Lampiran 9). Pola pita yang diperoleh kemudian diskoring, migrasi pita yang pertama muncul adalah alel pertama dan seterusnya. Analisis Data Dalam analisis keragaman genetik serta kemiripan genetik individu dalam populasi atau antar populasi maka digunakan data mikrosatelit yang diperoleh secara acak dari 20 tanaman hasil seedling dan 20 tanaman dewasa untuk setiap populasinya. Dengan demikian analisis keragaman kemiripan genetik terdiri atas 40 observarsi untuk setiap lokasinya. Untuk melihat kemiripan genetik maka data genotipe 10 lokus mikrosatelit dikonversi menjadi data biner. Matrik jarak atau kemiripan genetik untuk semua pasangan individu dihitung menggunakan koefisien Dice (Nei dan Li, 1979), sebagai berikut:
F=
2 N ab ( N a + Nb )
24 dimana F = nilai kesamaan antara individu tanaman a dan b; N ab = jumlah pita yang sama posisinya pada individu a dan b; N a dan N b = jumlah pita pada masing-masing individu a dan b. Koefisien Dice merupakan unit perhitungan taksonomi (OTUs, operational taxonomic units) dalam analisis kluster untuk membangun dendrogram dengan pengelompokan menggunakan metode UPMGA (Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic) (Sneath and Sokal, 1973), sebagai berikut: ⎛ ni ⎞ ⎛ nj ⎞ ⎟d + ⎜ ⎟d d k (ij ) = ⎜ ⎜ n + n ⎟ ki ⎜ n + n ⎟ kj j ⎠ j ⎠ ⎝ i ⎝ i
dimana d k (ij ) = ukuran kemiripan antara gerombol ke-k dengan gerombol (ij) yang merupakan penggabungan antara gerombol ke-i dengan gerombol ke-j; ni dan n j = banyaknya objek dalam gerombol ke-i dan ke-j. Selain itu posisi relatif
setiap individu dapat pula digambarkan ke dalam dua atau tiga sumbu komponen utama yang pertama, perhitungan komponen skor untuk memetakan individu dihitung dengan persamaan
Yij = a1i x1 j + a2i x2 j + " + a pi x pj Semua perhitungan statistika matrik kemiripan, analisis kluster, dan analisis komponen utama (principal component analysis) dihitung menggunakan program komputer NTSYSpc (Rohlf, 1995). Matrik kemiripan dihitung dengan prosedur SIMQUAL, principal component analysis dilakukan menggunakan prosedur SIMINIT dan EIGEN, sedangkan analisis cluster dengan SAHN clustering. Hasil Profil Pita Mikrosatelit
Dari 10 lokus mikrosatelit yang digunakan untuk mempelajari kemiripan dan keragaman genetik populasi tanaman jati dewasa dan tanaman semai asal Sulawesi Tenggara menghasilkan total 43 alel dengan rata-rata 4.3 alel setiap lokus dengan kisaran alel mulai dari dua alel (AG04, AGT10) sampai enam alel (AG16). Sedangkan tingkat polimorfisme tertinggi pada lokus AG16 (0.766) dan
25 yang terendah pada lokus AG04 dan AGT10 (0.136), informasi selengkapnya disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2.
Lokus
Jumlah alel dan polymorphic information content (angka yang di dalam tanda kurung) berdasarkan 10 lokus mikrosatelit pada populasi tanaman jati asal Sulawesi Tenggara
Sampolawa Pohon Semai 2 (0.305) 3 (0.136) AG04 3 (0.414) 5 (0.567) AG16 AGT10 2 (0.337) 2 (0.327) 3 (0.494) 3 (0.406) AC44 4 (0.262) 4 (0.241) AC01 5 (0.725) 4 (0.617) AG14 ATC02 4 (0.469) 3 (0.469) 3 (0.329) 3 (0.326) AC28 AAG10 4 (0.317) 4 (0.386) CPIMS 3 (0.409) 3 (0.406) Rataan 3.3(0.406) 3.4(0.388)
Dolok Pohon Semai 2 (0.211) 2 (0.313) 6 (0.709) 6 (0.766) 3 (0.431) 3 (0.515) 5 (0.393) 5 (0.502) 4 (0.477) 5 (0.624) 4 (0.428) 5 (0.538) 4 (0.596) 4 (0.619) 3 (0.550) 3 (0.555) 4 (0.499) 5 (0.499) 3 (0.584) 3 (0.460) 3.8(0.488) 4.1(0.539)
Warangga Pohon Semai 3 (0.548) 3 (0.436) 6 (0.560) 6 (0.659) 3 (0.447) 3 (0.136) 4 (0.657) 5 (0.480) 4 (0.621) 4 (0.595) 5 (0.716) 5 (0.685) 4 (0.556) 4 (0.601) 3 (0.497) 3 (0.469) 3 (0.586) 3 (0.474) 3 (0.519) 3 (0.575) 3.8(0.571) 3.9(0.511)
Kemiripan Genetika antar Populasi
Rata-rata kemiripan genetika yang dihitung menggunakan koefisien Dice (Nei dan Li, 1979) pada populasi tanaman dewasa dan semai asal Sulawesi Tenggara berturut turut 51.91% dan 54.55%. Analisis pengelompokan dengan UPGMA menghasilkan dendrogram yang menunjukkan terbentuk 3 kelompok tanaman dimana kelompok tanaman yang berasal dari Sampolawa memisah dengan jelas dari kelompok lainnya. Sedangkan tanaman yang berasal dari Kabupaten Muna baik itu dari Warangga atau Dolok terlihat ada beberapa individu yang tercampur. Untuk tanaman dewasa kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 60%, 55% dan 73%. Seluruh individu tanaman dewasa menjadi satu kelompok dengan kemiripan genetik 46% (Gambar 4.1).
26 S03 S27 S43 S56 S06 S47 S52 S20 S41 S76 S79 S07 S59 S64 S19 S71 S10 S29 S25 S99 T44 W03 T49 W52 W05 W27 W32 W25 W46 W59 W13 W37 W45 W26 W31 W34 W78 W23 W50 W47 W87 T10 T02 T09 T75 T12 T56 T42 T01 T62 T63 T24 T67 T41 T59 T78 T52 T16 T93 W20
0.46
0.58
0.70 0.83 Persentase Kemiripan
S
W
T
0.95
Gambar 4.1. Dendrogram kemiripan genetika jati tanaman dewasa hasil analisis kluster dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi Demikian pula dengan tanaman semai mengelompok menjadi Dolok, Warangga dan Sampolawa dengan kemiripan genetika berturut-turut 56%, 61%, dan 74%. Sedangkan seluruh tanaman semai mengelompok menjadi satu dengan kemiripan genetika 48% dan antar tanaman semai ditemukan kemiripan 100% yaitu semai T10-01 dengan T12-01 (Gambar 4.2). Baik pada tanaman dewasa atau tanaman semai untuk kluster Warangga dan Dolok beberapa tanaman tercampur misal W20 ada dalam cluster Dolok dan T44 dan T49 ada dalam cluster Warangga. Pada tanaman semai individu W09-26, W21-24 dan W09-08 berada dalam kluster Dolok, serta T24-04, T26-07, T08-06, T49-05 dan T59-01 ada berada dalam kluster Warangga.
27 S01-05 S34-05 S25-05 S03-18 S54-05 S06-02 S25-11 S06-03 S06-05 S10-07 S56-06 S10-06 S56-05 S17-08 S13-05 S34-01 S47-10 S41-02 S12-08 S58-04 W18-22 W47-12 W66-04 T24-04 T26-07 W21-15 T08-06 W18-01 W18-06 W45-16 T47-07 W66-22 T49-05 W30-17 W30-16 T59-01 W09-12 W09-13 W66-21 W66-25 W66-09 W66-17 T47-09 W30-19 T01-03 T01-04 T24-05 T59-05 T10-01 T12-01 W09-26 T59-03 W21-24 W09-08 T02-01 T42-05 T12-06 T12-08 T42-06 T46-06
0.48
0.61
0.74 0.87 Persentase Kemiripan
S
W
T
1.00
Gambar 4.2. Dendrogram kemiripan genetika jati tanaman semai hasil analisis kluster dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi. Kemiripan Genetika di dalam Populasi
Hasil analisis kemiripan genetika di antara individu tanaman dewasa serta di antara tanaman semai untuk populasi Sampolawa, Dolok, dan Warangga disajikan berturut-turut pada Tabel 4.3, Tabel 4.4 dan Tabel 4.5. Jarak genetik tanaman dewasa 42% (Sampolawa), 65% (Dolok) dan 71% (Warangga) dengan rata-rata kemiripan genetik 73%, 60% dan 56%.
Sedangkan jarak genetik
tanaman semai adalah 36% (Sampolawa), 71% (Dolok) dan 63% (Warangga) dengan rata-rata kemiripan genetik 74%, 56% dan 61%
28 Tabel 4.3.
Matrik kemiripan genetik di antara 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Sampolawa
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
0.84 0.64 0.77 0.69 0.71 0.74 0.67 0.77 0.67 0.65 0.64 0.67 0.56 0.69 0.80 0.71 0.60 0.59 0.64 0.67
0.70 0.73
0.73 0.78 0.77
0.67 0.67 0.73 0.91
0.74 0.83 0.74 0.81 0.73
0.76 0.82 0.80 0.88 0.86 0.85
0.76 0.62 0.67 0.67 0.62 0.59 0.62
0.81 0.70 0.74 0.81 0.73 0.69 0.77 0.76
0.74 0.82 0.77 0.77 0.64 0.71 0.72 0.73 0.71
0.82 0.80 0.73 0.70 0.67 0.74 0.82 0.71 0.67 0.69
0.80 0.80 0.88 0.80 0.70 0.69 0.75 0.75 0.76 0.69 0.67
0.74 0.80 0.70 0.74 0.67 0.64 0.78 0.72 0.82 0.73 0.78 0.61
0.88 0.86 0.70 0.75 0.63 0.76 0.78 0.73 0.83 0.71 0.85 0.69 0.84
0.62 0.67 0.75 0.78 0.63 0.67 0.73 0.62 0.81 0.59 0.55 0.80 0.74 0.72
0.67 0.75 0.71 0.79 0.70 0.63 0.74 0.65 0.81 0.71 0.62 0.69 0.82 0.64 0.67
0.72 0.90 0.88 0.75 0.70 0.76 0.78 0.58 0.69 0.79 0.64 0.85 0.61 0.69 0.72 0.69
0.83 0.75 0.79 0.71 0.70 0.90 0.81 0.69 0.76 0.71 0.83 0.77 0.67 0.80 0.64 0.67 0.81
0.84 0.84 0.83 0.87 0.80 0.83 0.91 0.67 0.83 0.87 0.80 0.82 0.70 0.80 0.70 0.88 0.80 0.85
0.62 0.73 0.77 0.62 0.57 0.60 0.72 0.63 0.67 0.62 0.64 0.67 0.70 0.67 0.62 0.67 0.74 0.71 0.70
0.73 0.60 0.73 0.85 0.71 0.72 0.75 0.83 0.70 0.91 0.87 0.67 0.83 0.69 0.71 0.80 0.67 0.65
Keterangan :
0.71 0.89 0.81 0.86 0.71 0.76 0.79 0.64 0.77 0.69 0.69 0.87 0.81 0.77 0.71 0.69 0.80
0.71 0.60 0.74 0.62 0.81 0.67 0.58 0.69 0.69 0.67 0.71 0.67 0.69 0.69 0.71 0.86
0.75 0.80 0.65 0.76 0.67 0.64 0.77 0.77 0.69 0.87 0.81 0.90 0.79 0.76 0.80
0.77 0.74 0.80 0.83 0.63 0.82 0.73 0.55 0.77 0.64 0.71 0.72 0.69 0.71
0.53 0.79 0.71 0.58 0.74 0.67 0.64 0.76 0.71 0.69 0.69 0.64 0.89
0.67 0.71 0.78 0.86 0.73 0.64 0.80 0.74 0.59 0.58 0.64 0.53
0.69 0.59 0.80 0.74 0.60 0.83 0.69 0.80 0.73 0.78 0.79
0.61 0.80 0.69 0.67 0.74 0.63 0.71 0.86 0.74 0.76
0.80 0.78 0.89 0.70 0.70 0.67 0.64 0.53 0.58
0.95 0.84 0.83 0.85 0.75 0.82 0.70 0.74
0.70 0.76 0.72 0.75 0.82 0.67 0.67
0.80 0.77 0.64 0.78 0.67 0.71
0.89 0.80 0.78 0.78 0.76
0.67 0.67 0.64 0.71
0.83 0.79 0.75
0.88 0.83
0.79
No urut 1-20 untuk kode tanaman dewasa dan semai adalah S03, S06, S07, S10, S19, S20, S25, S27, S29, S41, S43, S47, S52, S56, S59, S64, S71, S76, S79, S99 dan S01-05, S03-18, S06-02, S06-03, S06-05, S10-06, S10-07, S1208, S13-05, S17-08, S25-05, S25-11, S34-01, S34-05, S41-02, S47-10, S54-05, S56-05, S56-06, S58-04
29 Tabel 4.4.
Matrik kemiripan genetik 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Dolok
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
0.87 0.69 0.70 0.64 0.52 0.65 0.62 0.52 0.62 0.64 0.50 0.44 0.67 0.67 0.80 0.69 0.69 0.62 0.43 0.64
0.70 0.64
0.59 0.55 0.53
0.56 0.64 0.74 0.36
0.63 0.70 0.67 0.38 1.00
0.57 0.61 0.81 0.42 0.74 0.63
0.42 0.48 0.78 0.32 0.70 0.57 0.74
0.59 0.55 0.63 0.55 0.55 0.59 0.63 0.42
0.70 0.64 0.57 0.64 0.57 0.48 0.55 0.45 0.55
0.44 0.43 0.63 0.38 0.60 0.60 0.50 0.50 0.76 0.69
0.75 0.76 0.82 0.52 0.70 0.61 0.78 0.54 0.61 0.72 0.52
0.43 0.44 0.73 0.45 0.55 0.40 0.70 0.80 0.45 0.58 0.55 0.57
0.53 0.52 0.63 0.32 0.44 0.38 0.63 0.48 0.44 0.60 0.56 0.58 0.73
0.56 0.52 0.70 0.57 0.50 0.42 0.67 0.50 0.57 0.69 0.58 0.61 0.64 0.56
0.63 0.67 0.44 0.57 0.57 0.50 0.44 0.33 0.57 0.57 0.50 0.64 0.29 0.35 0.40
0.63 0.56 0.67 0.63 0.53 0.73 0.64 0.43 0.63 0.44 0.50 0.67 0.56 0.57 0.59 0.40
0.43 0.37 0.48 0.45 0.45 0.50 0.45 0.40 0.45 0.42 0.45 0.50 0.38 0.35 0.64 0.48 0.59
0.57 0.55 0.52 0.38 0.67 0.75 0.50 0.33 0.50 0.63 0.59 0.55 0.48 0.59 0.56 0.67 0.55 0.60
0.52 0.52 0.61 0.50 0.67 0.67 0.58 0.60 0.50 0.56 0.50 0.52 0.55 0.42 0.59 0.67 0.64 0.57 0.74
0.86 0.56 0.75 0.63 0.67 0.50 0.74 0.64 0.55 0.37 0.76 0.57 0.71 0.69 0.61 0.74 0.58 0.62
Keterangan :
0.67 0.87 0.78 0.73 0.53 0.64 0.59 0.58 0.63 0.75 0.60 0.70 0.67 0.64 0.95 0.53 0.63
0.64 0.52 0.55 0.50 0.55 0.67 0.50 0.61 0.67 0.42 0.54 0.67 0.43 0.70 0.30 0.45
0.65 0.62 0.58 0.76 0.59 0.63 0.62 0.87 0.60 0.55 0.57 0.51 0.83 0.62 0.52
0.69 0.56 0.62 0.67 0.57 0.62 0.61 0.73 0.73 0.57 0.69 0.62 0.62 0.67
0.48 0.64 0.67 0.53 0.48 0.56 0.48 0.69 0.61 0.84 0.58 0.48 0.52
0.48 0.55 0.64 0.70 0.50 0.67 0.50 0.38 0.48 0.40 0.75 0.57
0.67 0.40 0.46 0.74 0.56 0.62 0.58 0.58 0.67 0.48 0.52
0.67 0.64 0.59 0.52 0.56 0.67 0.52 0.70 0.33 0.67
0.53 0.58 0.65 0.53 0.55 0.50 0.53 0.54 0.44
0.45 0.56 0.43 0.44 0.47 0.56 0.64 0.64
0.53 0.64 0.64 0.42 0.80 0.40 0.47
0.69 0.50 0.58 0.46 0.82 0.75
0.67 0.71 0.50 0.40 0.52
0.55 0.67 0.36 0.55
0.47 0.54 0.59
0.45 0.55
0.67
No urut 1-20 untuk kode tanaman dewasa dan semai adalah T01, T02, T09, T10, T12, T16, T24, T41, T42, T44, T49, T52, T56, T59, T62, T63, T67, T75, T78, T93 dan T01-03, T01-04, T02-01, T08-06, T10-01, T12-01, T12-06, T12-08, T24-04, T24-05, T26-07, T42-05, T42-06, T46-06, T47-07, T47-09, T49-05, T59-01, T59-03, T59-05
30 Tabel 4.5.
Matrik kemiripan genetik 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Warangga
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
0.64 0.58 0.35 0.52 0.38 0.59 0.46 0.52 0.38 0.45 0.62 0.50 0.62 0.52 0.40 0.38 0.64 0.64 0.57 0.48
0.67 0.81
0.67 0.78 0.56
0.46 0.62 0.53 0.52
0.60 0.48 0.52 0.58 0.69
0.48 0.52 0.41 0.67 0.52 0.67
0.56 0.61 0.56 0.69 0.65 0.83 0.62
0.61 0.64 0.52 0.69 0.48 0.54 0.57 0.64
0.56 0.69 0.64 0.54 0.67 0.67 0.48 0.69 0.44
0.54 0.59 0.48 0.62 0.65 0.67 0.47 0.67 0.64 0.76
0.50 0.78 0.64 0.55 0.62 0.57 0.62 0.57 0.67 0.67 0.56
0.36 0.53 0.38 0.45 0.71 0.86 0.73 0.69 0.50 0.64 0.67 0.56
0.54 0.50 0.47 0.67 0.56 0.64 0.71 0.67 0.48 0.60 0.65 0.38 0.58
0.46 0.58 0.46 0.46 0.58 0.64 0.59 0.53 0.29 0.67 0.50 0.45 0.69 0.71
0.72 0.74 0.69 0.77 0.65 0.67 0.60 0.69 0.43 0.62 0.53 0.56 0.52 0.71 0.67
0.50 0.69 0.64 0.72 0.53 0.61 0.48 0.80 0.44 0.50 0.48 0.48 0.48 0.60 0.54 0.83
0.63 0.76 0.78 0.61 0.57 0.62 0.52 0.67 0.54 0.78 0.61 0.60 0.60 0.58 0.67 0.78 0.70
0.48 0.61 0.45 0.61 0.71 0.57 0.55 0.62 0.50 0.73 0.61 0.44 0.64 0.61 0.69 0.55 0.38 0.80
0.69 0.79 0.80 0.67 0.69 0.64 0.52 0.74 0.48 0.73 0.65 0.54 0.58 0.69 0.71 0.84 0.80 0.92 0.70
0.55 0.48 0.64 0.60 0.64 0.69 0.67 0.64 0.71 0.47 0.52 0.62 0.58 0.64 0.64 0.54 0.54 0.50
Keterangan :
0.50 0.44 0.48 0.37 0.50 0.46 0.56 0.44 0.48 0.60 0.64 0.60 0.44 0.64 0.56 0.40 0.52
0.52 0.41 0.47 0.43 0.55 0.58 0.67 0.50 0.67 0.45 0.48 0.52 0.52 0.56 0.72 0.52
0.65 0.67 0.52 0.64 0.62 0.67 0.57 0.42 0.47 0.48 0.87 0.62 0.57 0.71 0.56
0.65 0.41 0.52 0.52 0.65 0.47 0.47 0.71 0.39 0.58 0.52 0.69 0.69 0.46
0.44 0.59 0.54 0.67 0.53 0.57 0.56 0.39 0.60 0.29 0.57 0.71 0.56
0.31 0.72 0.44 0.62 0.53 0.64 0.60 0.44 0.64 0.56 0.32 0.52
0.45 0.80 0.48 0.53 0.36 0.53 0.72 0.58 0.43 0.70 0.48
0.46 0.72 0.55 0.59 0.46 0.54 0.62 0.67 0.42 0.48
0.50 0.61 0.53 0.62 0.73 0.62 0.64 0.79 0.56
0.73 0.58 0.55 0.57 0.59 0.69 0.46 0.42
0.51 0.53 0.48 0.58 0.58 0.58 0.57
0.56 0.40 0.41 0.69 0.48 0.54
0.55 0.64 0.59 0.44 0.72
0.69 0.57 0.71 0.56
0.58 0.42 0.57
0.67 0.52
0.52
No urut 1-20 untuk kode tanaman dewasa dan semai adalah W03, W05, W20, W13, W23, W25, W26, W27, W31, W32, W34, W37, W45, W46, W47, W50, W52, W59, W78, W87 dan W09-08, W09-12, W09-13, W09-26, W1801, W18-06, W18-22, W21-15, W21-24, W30-16, W30-17, W30-19, W45-16, W47-12, W66-04, W66-09, W6617, W66-21, W66-22, W66-25
31 W
W
WW W S S S
S
SS S SS S S S
S
T
T
S S S
T W
T W
S
S
TW T TW W T
S
T
T
W
T
S
W
W
W
T
T
T WW
T
W W
T
T
WW T
T
T
Gambar 4.3. Analisis komponen utama dari data kemiripan jati tanaman dewasa asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi, yang dipetakan ke dalam bentuk tiga sumbu komponen utama yang pertama T
T
S S SS
W W W
S
S
S S
W
S S
T T
S
T
T
T
TT
T
T W T
W S S S
SS
S W
S S S
T T W
T
W W
T T W
W W T T W W W
W W T W W
Gambar 4.4. Analisis komponen utama dari data kemiripan jati tanaman semai asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi, yang dipetakan ke dalam bentuk tiga sumbu komponen utama yang pertama
32 Hasil analisis komponen utama menunjukkan hanya 31% (dewasa) dan 30% (semai) dari total keragaman data dapat dijelaskan menggunakan dua sumbu kompoenen utama yang pertama, dan 38% dan 40% dapat dijelaskan menggunakan tiga sumbu komponen utama yang pertama (Gambar 4.3 dan 4.4). Pada Gambar 4.3 dan 4.4 terlihat tanaman yang berasal dari Sampolawa (Kabupaten Buton) dipetakan terpisah dengan jelas dari tanaman asal Warangga dan Dolok (Kabupaten Muna).
Sedangkan tanaman yang berasal dari Muna
terlihat tercampur terutama pada tanaman semai. Pembahasan
Teknologi PCR dan penanda mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini bersifat cukup polimorfis untuk membedakan semua tanaman jati yang dipelajari. Nilai rata-rata polymorphic information content (PIC) yang diperoleh dalam penelitian ini untuk tanaman dewasa dan semai adalah sebesar 0.48. Nilai ini cukup besar dibanding nilai PIC pada gandum dalam melihat kemiripan genetik menggunakan marka mikrosatelit yaitu sebesar 0.30 (Bohn et al., 1999). Derajat penyerbukan silang pada jati sangat tinggi dengan kisaran 89% dan 95% (Kjaer dan Suongtho, 1995). Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan di Sulawesi Tenggara pada tiga populasi mempunyai derajat penyerbukan silang di atas 97%, dengan kejadian selfing hanya 1-3% saja (Bab 7). Genetik rekombinasi hasil reproduksi seksual pada penyerbukan silang merupakan alasan tingginya nilai PIC dan luasnya keragaman genetik yang ditemukan pada jati. Tabel 4.2 memperlihatkan kecenderungan bahwa jumlah alel dan PIC untuk tanaman dewasa dibandingkan dengan semai memiliki nilai yang berbeda, perbedaan ini hanya disebabkan karena sedikitnya jumlah sampel yang digunakan. Dari hasil analisis kluster dan analisis komponen utama terlihat adanya pemisahan yang nyata untuk kelompok Sampolawa (Pulau Buton) dengan kelompok lainya yaitu Dolok dan Warangga (Pulau Muna) diduga karena isolasi jarak geografis yang jauh terpisah berupa lautan sehingga tidak terjadi aliran informasi genetik. Keragaman genetik populasi Sampolawa baik pada tanaman dewasa atau tanaman semai relatif kecil (26-27%) dibanding populasi dari Muna
33 (44-45%).
Pemisahan kelompok Sampolawa (Buton) dengan Dolok dan
Warangga (Muna) diperkirakan dari keragaman sumber benih asal jati tersebut itu sendiri dan hasil rekombinasi pertukaran gamet di dalam populasi tersebut. Sedangkan pengelompokan untuk Dolok dan Warangga terlihat terpisah cukup samar terutama pada tanaman dewasa karena beberapa tanaman asal Dolok berada di dalam kluster Warangga demikian sebaliknya, pencampuran menjadi sangat jelas bila dilihat pada tanaman semai. Hal ini kemungkinan telah terjadi aliran informasi genetik, antara populasi tanaman Warangga dengan Dolok yang diperkirakan berjarak 50 km. Namun demikian penelitian ini tidak membuktikan adanya transportasi aliran informasi genetik yang sangat jauh, namun fakta yang lebih mungkin bahwa hutan jati yang ada di Kabupaten Muna cenderung terjadi pada area yang kontinyu. Hasil penelitian analisis tetua (Bab 6) menunjukan transportasi informasi genetik yang dapat dideteksi sejauh 80 m. Dilihat masih cukup tingginya keragaman genetik tanaman semai yang diperoleh dari sekitar 13-19 tanaman semai yang diunduh benihnya, hal ini mengindikasikan bahwa benih yang berasal dari 13-19 masih cukup tinggi karena menghasil kemiripan dan keragaman genetik yang masih tinggi seperti tanaman dewasanya. Hal ini penting diketahui agar pembangunan hutan dapat terjaga dari segi keragaman genetik dilihat dari struktur genetik populasinya (Bab 5). Karena dengan
hilangnya keragaman genetik akan mengurangi kemampuan suatu
populasi untuk beradaptasi dari perubahan lingkungan dan untuk bertahan hidup (Barrett dan Kohn 1991). Namun yang menjadi kendala saat ini dalam pembangunan hutan di Sulawesi Tenggara akibat penebangan liar yang tidak terkendali adalah tidak tersedianya benih, jati yang tersisa hanya berupa spot-spot kecil dimana sumber serbuk sari tidak melimpah lagi sehingga kemungkinan terjadi proses inbreeding dan penghanyutan genetik. Hasil penelitian tentang bayangan benih yang berasal dari pengunduhan 13-19 tanaman sebagai sumber benih dengan hasil keragaman yang tidak dapat menjamin lagi karena sumber benih yang diperoleh saat penelitian ini populasi tanaman jati di Sulawesi Tenggara masih terjaga dari penebangan liar. Penelitian yang serupa pada kondisi saat ini mungkin diperlukan kembali dengan membandingkan dengan data genotipik saat ini dengan data
34 genotipik sebelum terjadinya penebangan liar. Namun demikian pengambilan benih dari banyak tanaman dan hasil bulk mungkin masih dapat dilakukan untuk menjaga keragaman genetik tanaman jati dari inbreeding dan penghanyutan genetik, karena masih cukup tingginya keragaman di antara individu dan keragaman antar populasi. Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: •
Hasil analisis kemiripan genetik berdasarkan analisis cluster dan analisis komponen utama berhasil memisahkan dengan jelas populasi tanaman berdasarkan lokasi geografis terutama Sampolawa (Pulau Buton) terpisah jelas dari Warangga dan Dolok (Pulau Muna).
•
Untuk tanaman dewasa kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 60%, 55% dan 73%, sedangkan tanaman semai 56%, 61%, dan 74%.
Seluruh individu tanaman dewasa
menjadi satu kelompok dengan kemiripan genetik 46%, sedangkan untuk tanaman semai 48%. •
Keragaman genetik untuk tanaman dewasa tertinggi pada kelompok Warangga (45%) terendah pada Sampolawa (27%). Sedangkan pada tanaman semai keragaman genetik teringgi pada kelompok Dolok (44%) terendah pada Sampolawa (26%).
•
Hasil analisis memperlihatkan bayangan genetik yang sama seperti populasi tanaman induknya bila benih yang diperoleh berasal dari mengunduh 13-19 tanaman. Daftar Pustaka
Bohn M, Utz HF, Melchinger AE. 1999. Genetic similarities among winter wheat cultivars determined on the basis of RFLPs, AFLPs, and microsatellites and their use for predicting progeny variance. Crop Sci.39:228-237 Kjaer ED, Suangtho V. 1995. Outcrossing rate in Tectona grandis L. Silvae Genetica 44:175-177. Nei M, Li WH. 1979. Mathematical modes for studying genetic variation in terms of restriction endonucleases. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 76: 5269–5273.
35 Rohlf FJ. 1995. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System.Version 1.80. Exter Software, Setauket, New York. Sneath PHA, Sokal RR. 1973. Numerical taxonomy. W.H. Freeman and Company. San Francisco.
5. ANALISIS STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI ASAL SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Genetic structure analysis of Southeast Sulawesi teak populations based on microsatellite markers) Abstract
Using 10 microsatellite DNA loci, genetic variation was analyzed within and between teak population collected at three locations in Southeast Sulawesi was analyzed. A total of 42 alleles were detected, with six the highest number allele at AAG10 and AG16 loci. The mean value of polymorphic information content (PIC) of the 10 loci ranged from 0.442 to 0.580. While the heterozigosity Ha and He were high (for Dolok population were 0.630 and 0.645 respectively) and the value of He was much higher than Ha. Genetic differentiation FST was 0.112 (11.2% of total genetic variation among population) and showed less deviation from Hardy-Weinberg expectation (Wright’s inbreeding coefficient FIS = 0.009). However, genetic differentiation using AMOVA showed 14% of total variation among population, the remaining 86% occured within populations. Cluster analysis calculating by Nei’s Distance showed that Dolok and Warangga population were in the same cluster. Keywords:
Tectona grandis, genetic structure, microsatellite
Abstrak
Sepuluh lokus DNA mikrosatelit, dilakukan analisis keragaman di dalam populasi dan keragaman antar populasi dari tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara. Total alel yang berhasil dideteksi adalah 42, dengan jumlah alel tertinggi sebanyak enam alel untuk lokus AAG10 dan AG16. Nilai rata-rata PIC berkisar 0.442 sampai 0.580. Nilai heterozigositas Ha dan He mempunyai nilai yang tinggi (tertinggi untuk Dolok adalah 0.630 dan 0.645) dengan nilai He selalu lebih besar daripada Ha. Nilai diferensiasi genetik FST adalah 0.112 atau 11.2% dari total keragaman genetik di antara populasi dan memperlihatkan sedikit penyimpangan dari keseimbangan Hardy-Weinberg harapan (Wright’s inbreeding coefficient FIS=0.009). Akan tetapi diferensiasi genetik yang dihitung dengan AMOVA memperlihatkan 14% terjadi keragaman di antara populasi dan sisanya sekitar 86% terjadi dalam populasi. Analisis cluster yang dihitung menggunakan jarak genetik Nei menunjukan bahwa populasi Dolok dan Warangga berada pada satu cluster. Kata kunci:
Tectona grandis, struktur genetik, mikrosatelit
37 Pendahuluan
Pengetahuan tentang variasi genetik dalam kaitannya dengan heterogenitas menurut ruang dan waktu adalah sangat penting dalam permasalahan genetik hutan.
Untuk itu diperlukan cakupan yang lebih luas dari hanya sekedar
pengamatan terhadap satu tanaman tunggal dan turunannya, ke pengamatan terhadap dinamika dari struktur genetik ditingkat kelompok individu-individu baik yang berkerabat atau tidak (Finkeldey, 2005). Dasar pendekatan yang dilakukan adalah populasi yaitu sekumpulan dari tanaman dari spesies yang sama dimana setiap individu dalam kumpulan tersebut punya peluang yang sama untuk dapat saling bertukar gamet. Informasi genetik dari suatu organisme tidak mengalami perubahan sepanjang hayatnya namun tidak dapat dipertahankan karena masa hidup suatu organisme tersebut sangat terbatas.
Namun demikian setiap organisme
mempunyai potensi untuk menurunkan informasi genetik yang dimilikinya keketurunannya melalui pertukaran gamet dan ini akan menghasilkan rekombinasi baru.
Dengan demikian dinamika dari struktur genetik tidak dapat diamati
ditingkat organisme tunggal, tetapi diamati ditingkat populasi dimana setiap anggota dari populasi tersebut saling bertukar gamet. Dinamika struktur genetik ditentukan dari komposisi gen berupa frekuensi alel dan frekuensi genotipe yang menyusun populasi tersebut.
Penyebaran
frekuensi dari genotipe-genotipe dalam populasi disebut sebagai genotipic
structure dan penyebaran frekuensi dari alel-alel dalam satu populasi disebut allelic structure.
Struktur genetik ini bersifat dinamik yaitu dalam kondisi
kesetimbangan atau mengalami perubahan atau berevolutif bila terdapat kekuatan yang dapat merubah kesetimbangan seperti adanya mutasi, aliran gen (migrasi), penghanyutan genetik (genetic drift), seleksi dan model dari sistem perkawinan. Jati (Tectona grandis Linn.f) merupakan hutan tanaman yang ditanam dalam areal yang luas. Namun kemudian dapat menjadi hutan yang terpisah-pisah (forest fragmentation) misal akibat adanya penebangan liar serta alih fungsi lahan sehingga terjadi isolasi berupa jarak atau geografis yang dapat menghambat pertukaran gamet di antara tanaman sehingga tidak terjadi aliran informasi genetik.
38 Dengan mempelajari struktur genetik suatu populasi tanaman dapat diketahui sistem genetik yang dimiliki tanaman yang merupakan alat yang komplek yang dipergunakan oleh suatu populasi untuk menjamin eksistensinya secara terus menerus. Sistem genetik bersifat adaptif, menentukan organisasi dan perpindahan informasi genetik, jenis dan jumlah kombinasi genetik yang dihasilkan oleh suatu populasi. Studi tentang struktur genetik suatu populasi tanaman sudah banyak dilakukan menggunakan penanda genetik seperti yang dilakukan pada populasi genetik kakao dan padi (Goran, 2000 dan Gao, 2002). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari struktur genetik tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara yang mempunyai level kerusakan akibat aktivitas manusia. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel daun dan benih jati diperoleh dari hutan jati di Kabupaten Muna dan Buton, Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai Mei 2003 sampai September 2006. Bahan Tanaman
Material tanaman jati berupa daun diperoleh dari dua kabupaten di Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan Kabupaten Buton (Sampolawa), yaitu lokasi-lokasi yang mempunyai level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia, untuk masing-masing lokasi diambil secara sensus dalam suatu areal (tidak dilakukan pengacakan) sebanyak 100 individual tanaman, kemudian pohon yang disampel dipetakan posisi struktur spatial penyebarannya (lihat lampiran 1 sampai 3). Analisis Data
Struktur populasi genetik digambarkan oleh frekuensi alel dan frekuensi genotipe yang menyusun populasi tersebut.
Populasi yang setimbang akan
mempunyai frekuensi alel yang tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut hukum kesetimbangan Hardy-Weinberg, frekuensi genotipe suatu
39 populasi berkawin acak akan dipertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya, selama tidak ada kekuatan luar yang dapat merusak kesetimbangan tersebut. Kekuatan tersebut adalah seleksi, migrasi, mutasi, dan erosi genetik secara acak. Kemudian dilakukan pula analisis untuk melihat keragaman genetik di dalam dan antar populasi, sebagai berikut: Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel
Untuk populasi satu lokus dengan dua alel, misal alel A dan alel a, maka genotipenya adalah AA, Aa dan aa. Bila hasil observasi banyaknya masingmasing genotipe adalah NAA, NAa, dan Naa, dimana NAA + NAa + Naa = N., maka frekuensi genotipe adalah: frekuensi genotipe AA = p ( AA) = N AA / N = D frekuensi genotipe Aa = p ( Aa) = N Aa / N = H frekuensi genotipe aa = p(aa) = N aa / N = R dan frekuensi alel adalah: frekuensi alel A = p( A) = p = D + 12 H frekuensi alel a = p (a) = q = R + 12 H
dan akan diperoleh D + H + R = 1 dan p + q = 1. Untuk populasi satu lokus dengan k buah alel (misal alel A1, A2, A3, … Ak) sehingga terdapat genotipe A1A1, A1A2, A1A3, … AkAk. Bila hasil observasi banyaknya masing-masing genotipe adalah N11, N12, N13, … Nkk, dimana N11 + N12 + N13 + … + Nkk = N, maka frekuensi genotipe masing-masing adalah:
frekuensi genotipe A1A1 = p ( A1 A1 ) = N11 / N frekuensi genotipe A1A 2 = p ( A1 A2 ) = N12 / N frekuensi genotipe A1A 3 = p ( A1 A3 ) = N13 / N # frekuensi genotipe A k A k = p ( Ak Ak ) = N kk / N dan frekuensi alel adalah: frekuensi alel A1 = p ( A1 ) = p1 = ( N11 + 1k ( N12 + N13 + " + N1k )) / N frekuensi alel A 2 = p ( A2 ) = p2 = ( N 22 + 1k ( N12 + N 23 + " + N 2 k )) / N frekuensi alel A 3 = p ( A3 ) = p3 = ( N 33 + 1k ( N13 + N 23 + " + N 3k )) / N # frekuensi alel A k = p ( Ak ) = pk = ( N kk + 1k ( N1k + N 2 k + " + N ( k −1) k )) / N
40 dan akan diperoleh: p ( A1 A1 ) + p ( A1 A2 ) + p ( A1 A3 ) + " + p ( Ak Ak ) = 1 dan p1 + p2 + p3 + … + pk = 1.
Analisis Kesetimbangan Populasi Kesetimbangan populasi dapat dianalisis menggunakan uji khi-kuadrat, dimana dalam analisis akan dibandingkan apakah frekuensi genotipe hasil pengamatan sesuai dengan frekuensi genotipe pada populasi setimbang HardyWeinberg. Misal populasi tersusun oleh satu lokus dengan dua alel yaitu A dan a, maka pengujiannya adalah:
χ2 =
( N AA − p 2 N ) ( N Aa − 2 pqN ) ( N aa − q 2 N ) + + p2 N q2 N 2 pqN
Karena dalam analisis kita dua kali melakukan pendugaan, yaitu pendugaan frekuensi alel dan pendugaan frekuensi genotipe. Jadi derajat bebas pengujian adalah k - 2, dan dalam kasus ini k – 2 = 1. Adapun kriteria uji adalah bila
2 χ 2 ≤ χ tabel ,α
maka populasi dalam keadaan setimbang, sebaliknya bila
2 χ 2 > χ tabel ,α maka populasi tidak setimbang.
Keragaman Genetik di Dalam Populasi Keragaman genetik umumnya digunakan untuk mengambarkan adanya variasi yang dijumpai dalam turunannya dan dapat diukur pada level individu, populasi dan spesies. Misal pada lokus, maka keragaman pada level individu dapat dilihat dengan adanya individu homozigot dan heterozigot. Pada level populasi, keragaman disebabkan tersekatnya individu-individu dalam populasi, sedangkan pada level spesies, keragaman disebabkan tersekatnya populasipopulasi dari satu spesies. Keragaman ditunjukan dengan adanya polimorfism pada lokus. Proporsi heterozigotitas dan derajat polimorfism pada level individu, populasi, dan spesies merupakan dua parameter yang dapat digunakan untuk menjelaskan adanya keragaman genetik. Keragaman mengandung dua pengertian
41 yaitu menyangkut kelimpahan (kekayaan) dan menyangkut bagaimana variasi tersebut tersebar (kejadian).
Dalam pengertian kekayaan berkaitan dengan
banyaknya lokus polimorfik yang muncul atau banyaknya alel pada suatu lokus. Sendangkan dalam pengertian kejadian berkaitan dengan jumlah rata-rata alel pada suatu lokus dalam suatu populasi atau spesies, dan digunakan untuk mengakses keragaman. Keragaman alelik adalah keragaman genetik yang diukur atau diduga dari keragaman aleliknya, yaitu banyaknya alel per lokus dan banyaknya lokus polimorfik. Adapun parameter yang dapat dihitung adalah:
Jumlah Rata-rata Alel per Lokus, A. Jumlah rata-rata alel per lokus adalah porporsi jumlah total alel pada semua lokus terhadap jumlah lokus monomorfik dan polimorfik, sebagai berikut: A=
jumlah total alel pada semua lokus jumlah lokus monomorfik dan polimorfik
Persentase Lokus Polimorfik, P.
Persentase lokus polimorfik adalah
proporsi jumlah lokus polimorfik terhadap jumlah lokus monomorfik dan polimorfik, sebagai berikut: P=
jumlah lokus polimorfik jumlah lokus monomorfik dan polimorfik
Jumlah Rata-rata Alel per Lokus Polimorfik, AP. Jumlah rata-rata alel per lokus polimorfik adalah proporsi dari jumlah total alel pada semua lokus terhadap jumlah lokus polimorfik, sebagai berikut:
AP =
jumlah total alel pada semua lokus jumlah lokus polimorfik
Rata-rata Heterozigot Observasi, Ho.
Rata-rata heterozigot observasi
adalah rata-rata proporsi dari genotipe heterozigot aktual untuk masing-masing lokus pada semua populasi, sebagai berikut: k
HO =
∑ i =1
N Aa N
k
dimana N Aa = banyaknya genotipe heterozigot; N = total semua genotipe; dan k = banyaknya populasi
42 Rata-rata Heterozigot Harapan, HE.
Rata-rata heterozigot harapan
adalah rata-rata proporsi dari genotipe heterozigot harapan untuk masing-masing lokus untuk semua populasi, sebagai berikut: k
HE =
∑2p q
i i
i =1
k
Nei’s Gene Diversity Statistics.
Total gene diversity, HT adalah
keragaman gen total yang didefinisikan sebagai: k
H T = 1 − ∑ pi2 i =1
dimana p adalah frekuensi rata-rata alel i sampai alel k dari semua populasi yang diamati. Keragaman Genetik Antar Populasi Jarak Genetik dan Kesamaan Genetik. Jarak genetik digunakan untuk
menghitung sejauh mana perbedaan secara genetik antara dua populasi. Ukuran jarak genetik berkisar antara 0 - 1. Nilai 0 dicapai jika struktur genetik dua populasi sama. Sebaliknya nilai jarak genetik 1 dicapai jika kedua populasi tidak membagi tipe genetik yang sama. Jarak genetik diformulasikan sebagai berikut J = 1 − HT
Sedangkan kesamaan genetik dari dua populasi X dan Y adalah:
Ij =
J XY J X JY
Keragaman Genotipik, DG. Keragaman genotipik (Genotypic diversity)
atau Simpson’s index sering digunakan sebagai suatu ukuran keragaman, dan mempunyai nilai maksimum mendekati 1 dan minimum 0, bila kedua sample indentik, formulanya adalah ⎡ ni (n j − 1) ⎤ DG = 1 − ∑ ⎢ ⎥ ⎣ N ( N − 1) ⎦ dimana ni adalah banyaknya individu dari genotipe i dalam suatu populasi berukuran N.
43 Shannon’s Index Diversity.
Nilai keragaman lainnya sama seperti
Simpson’s index yaitu Shannon’s index bernilai dari 0 sampai tak terhingga, tergantung dari banyaknya lokus yang diamati.
H = −∑ pi ln( pi ) Diferensiasi Genetik. Diferensiasi genetik atau disebut juga koefisien
diferensiasi genetik merupakan parameter gen diversity yang menghitung sejauh mana suatu populasi berbeda dengan populasi lainya. Nilainya berupa Nei’s GST, Wright’s F-statistics Nei’s GST.
Total gene diversity (HT) dapat dipecah terutama untuk
menentukan proporsi gene diversity dari suatu spesies yang muncul di dalam populasi (HS) dan antar populasi (DST), sebagai berikut: H T = DST + H S dimana HS adalah rata-rata heterozigositas harapan dalam setiap populasi, dihitung sebagai berikut: H S = 1 − ∑ i =1 p 2 i=K
dimana p adalah rata-rata frekuensi dari alel ke-i pada lokus ke-k dalam setiap populasi dan nilainya dirata dari semua populasi. Indek diversity HT, HS, dan DST dapat digunakan untuk mengukur diferensiasi genetik (GST) atau disebut juga koefisien gen diferensiasi merupakan parameter gen diversity yang menghitung sejauh mana suatu populasi berbeda dengan populasi lainya, sebagai berikut:
GST =
DST HT
Nilai GST berkisar antara 0 dan 1. Nilai GST = 0, terjadi bila HT = HS, yang berarti frekuensi allel untuk keseluruhan populasi adalah sama. Sebaliknya bila GST = 1, berarti HS = 0 yang berarti tidak ada variasi di dalam populasi Wright’s F-statistics. Menggunakan nilai-nilai dari HT, HS, dan parameter
baru turunannya, rata-rata heterozigot observasi per individu, HI, maka struktur genetik
populasi
dapat
dianalisis
menggunakan
F-statistics.
Wright
mengambarkan HT, HS sebagai total heterozigot harapan dari total populasi dan rata-rata heterozigositas harapan di dalam populasi (asumsi populasi seimbang
44 Hardy-Weinberg).
Definisi HT dan HS berbeda walaupun keduanya punya
sinonim dan punya dasar matematika yang sama (Lowe et al., 2004). FST equivalent dengan GST walaupun FST dikembangkan untuk lokus yang dialel dan untuk kasus multialelik digunakan pendekatan dari GST. Berdasarkan keragaman dari tipe level yaitu individu, populasi dan total populasi maka pendekatan Wright’s dibedakan untuk 3 level struktur populasi yaitu: Koefisien Inbreeding, FIS mengambarkan perbedaan heterozygositas
pengamatan dari heterozigositas harapannya di dalam populasi panmixia:
FIS =
HS − HI HS
Index Fiksasi, FST menggambarkan penurunan heterozigositas di dalam
populasi relatif terhadap total populasi yang dikaitkan dengan seleksi dan penghanyutan (drift). FST =
HT − H S HT
Koefisien Inbreeding Keseluruhan, FIT mengambarkan penurunan
heterozigositas dalam individu relatif terhadap total populasi yang kawin tidak acak di dalam populasi (FIS) dan population subdivision (FST). Relasi dari ketiga F-statistik tersebut adalah 1 − FIT = (1 − FIS )(1 − FST ) AMOVA (Analysis of Molecular Variance).
Asumsi yang mendasari
analisis ini seperti lokus saling bebas tidak terpaut, tidak ada variasi yang disebabkan migrasi dan penghanyutan genetik.
Dasar perhitungan AMOVA
adalah jarak genetik (jenis perhitungan dapat dipilih dari tipe-tipe data yang digunakan), analisis ini dapat menghitung keragaman di dalam dan antar group populasi.
Level singnifikansi dari AMOVA dihitung dengan metode
nonparametrik permutasi data yang diset dengan 1000 permutasi (Excoffier, 1992).
45 Hasil
Berikut ini disajikan contoh genotiping salah satu lokus mikrosatelit yaitu AC01 (Gambar 5.1) dimana pada gambar tersebut terdiri atas lima alel dimana
sebagai contoh genotipe homozigot pada Gambar tersebut adalah line 01, 03 sampai 05 dengan genotipe 33 dan yang heterozigot misal line 02, 06, dan 07 dengan genotipe 23. Sedangkan genotipe lainnya dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Contoh profil pola pita lokus AC01 pada tanaman jati Tabel 5.1
memperlihatkan
hasil pengukuran terhadap parameter
variabilitas genetik populasi jati asal Sulawesi Tenggara menggunakan 10 lokus mikrosatelit (AG04, AG16, AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS) menghasilkan total 46 alel dengan rata-rata banyaknya alel per lokus 4.03 dengan kisaran alel mulai dari tiga (AG04, AGT10 dan CPIMS) sampai enam alel (AG16 dan AAG10). Tingkat polimorfisme tertinggi pada lokus AG16 (0.767), rata-rata untuk semua lokus adalah 0.522. Sedangkan informasi untuk masing-masing populasi jati asal Buton (Sampolawa) dan asal Muna (Dolok dan Warangga) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.1.
46 Tabel 5.1.
Lokus AG04 AG16 AGT10 AC44 AC01 AG14 ATC02 AC28 AAG10 CPIMS Rata-rata Keterangan:
Jumlah alel dan tingkat polimorfisme 10 lokus mikrosatelit pada tanaman jati asal Sulawesi Tenggara Sampolawa Alel PIC 0.341 3 0.429 4 0.373 3 0.518 4 0.265 4 0.752 5 0.440 4 0.426 3 0.354 6 0.518 3
Dolok
Alel PIC 0.281 3 0.767 6 0.439 3 0.526 5 0.584 4 0.629 5 0.596 4 0.575 3 0.514 4 0.540 3 3.9 0.442 4.0 0.545 PIC = Polymorphic information content
Warangga Alel PIC 0.572 4 0.688 6 0.387 3 0.635 5 0.570 4 0.722 5 0.573 4 0.488 3 0.602 5 0.567 3
4.2
0.580
Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa frekuensi alel untuk alel dari lokus yang sama pada setiap populasi sangat bervariasi, sebagai contoh lokus AG04 pada populasi Sampolawa dan Dolok hanya memiliki tiga alel, sedangkan populasi Warangga memiliki empat alel dengan alel ke 4 memiliki frekuensi di atas 5%. Pada semua lokus yang diamati ditemukan alel jarang yaitu AG04, AG16, dan AAG10. Tabel 5.2 juga memperlihkan dalam frekuensi kecil adanya privat alel
untuk Sampolawa (S) pada lokus AAG10 alel 7 dengan frekuensi alel 0.13; untuk populasi Dolok privat alel pada lokus ATC02 dengan frekuensi alel sebesat 0.009; untuk populasi Warangga dengan privat alel pada lokus AG04 dengan frekuensi 0.052.
47 Tabel 5.2.
Lokus AG04
AG16
AGT10 AC44
AC01
AG14
ATC02
AC28 AAG10
CPIMS
Frekuensi alel 10 lokus mikrosatelit pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara Alel 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 1 2 3 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 2 3 4 5 6 7 1 2 3
Sampolawa 0.765 0.173 0.062 0.000 0.000 0.475 0.025 0.000 0.013 0.487 0.381 0.611 0.008 0.007 0.393 0.120 0.000 0.480 0.071 0.048 0.845 0.036 0.283 0.217 0.181 0.196 0.123 0.292 0.630 0.071 0.006 0.000 0.078 0.267 0.656 0.006 0.063 0.082 0.785 0.051 0.013 0.399 0.129 0.472
Dolok 0.796 0.010 0.194 0.000 0.098 0.054 0.196 0.205 0.295 0.152 0.056 0.569 0.375 0.083 0.119 0.077 0.077 0.643 0.114 0.228 0.535 0.123 0.469 0.056 0.037 0.210 0.228 0.353 0.362 0.276 0.000 0.009 0.363 0.405 0.232 0.000 0.137 0.578 0.265 0.020 0.000 0.529 0.257 0.214
Warangga 0.453 0.127 0.368 0.052 0.051 0.140 0.017 0.112 0.303 0.376 0.045 0.682 0.273 0.135 0.088 0.115 0.142 0.520 0.283 0.187 0.500 0.030 0.329 0.200 0.052 0.200 0.219 0.160 0.415 0.396 0.028 0.000 0.225 0.612 0.163 0.011 0.275 0.324 0.385 0.005 0.000 0.214 0.351 0.435
48 Keragaman genetik yang ditunjukan oleh nilai heterosigositas aktual dan harapan (Ha dan He) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata heteozigositas aktual (Ha) selalu lebih kecil dari nilai heterozigositas harapan (He) pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg. Tabel 5.3. Lokus
Keragaman genetik jati berdasarkan nilai heterosigositas dan nilai FIS Ha
Sampolawa, S He FIS
0.469 0.646 0.524 0.480 0.262 0.739 0.623 0.522 0.418 0.798 0.548 Keterangan : AG04 AG16 AGT10 AC44 AC01 AG14 ATC02 AC28 AAG10 CPIMS Rataan
Ha
Dolok, T He
FIS
Ha
Warangga, W He FIS
0.383 -0.227 0.286 0.332 0.141 0.708 0.644 -0.100 0.540 -0.197 0.750 0.804 0.068 0.652 0.735 0.114 0.485 -0.080 0.425 0.536 0.208 0.455 0.469 0.032 0.604 0.207 0.536 0.557 0.038 0.635 0.675 0.059 0.280 0.066 0.439 0.639 0.316 0.590 0.638 0.075 0.792 0.068 0.605 0.683 0.116 0.743 0.765 0.029 0.516 -0.210 0.741 0.674 -0.102 0.717 0.650 -0.104 0.496 -0.054 0.663 0.654 -0.015 0.551 0.551 0.001 0.373 -0.121 0.431 0.582 0.261 0.681 0.675 -0.009 0.605 -0.321 0.686 0.613 -0.120 0.571 0.646 0.116 0.507 -0.081 0.556 0.607 0.085 0.630 0.645 0.023 Heterozigositas aktual, Ha; heterozigositas harapan pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg, He; dan indeks fisasi di dalam populasi, FIS.
Dari nilai indek fiksasi antar tanaman dalam populasi FIS untuk populasi Dolok dan Warangga bernilai positif, sedangkan nilai negatif terdapat pada lokasi Sampolawa (Tabel 5.3) Tabel 5.4.
Nilai F-statistik populasi jati asal Sulawesi Tenggara
Lokus AG04 AG16 AGT10 AC44 AC01 AG14 ATC02 AC28 AAG10 CPIMS Rata-rata Keterangan :
FIT FST FIS 0.044 0.131 -0.100 0.160 0.148 0.014 0.216 0.147 0.082 0.155 0.062 0.099 0.229 0.081 0.161 0.090 0.027 0.065 -0.044 0.084 -0.140 0.154 0.171 -0.021 0.225 0.201 0.030 -0.028 0.077 -0.114 0.120 0.112 0.009 Indeks fiksasi total, FIT; indek antar populasi, FST; dan indeks fisasi di dalam populasi, FIS
49 Tabel 5.4 mempelihatkan nilai rata-rata indeks fiksasi FST (indek fiksasi antar populasi), FIS (indek fiksasi dalam populasi) dan FIT (indek fiksasi total populasi) jati asal Sulawesi Tenggara semua bernilai positif. Keragaman genetik di dalam populasi dan antar populasi menggunakan analisis AMOVA (Analysis of Molecular Variance) memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan keragaman secara statistik antar group, antar populasi dalam group dan antar individu dalam populasi namun demikian persentase keragaman tertinggi terdapat antar individu dalam populasi sebesar 86.35% dengan indeks fiksasi sebesar 0.136. Sedangkan diferensiasi genetik antar populasi dan antar group (Muna dan Buton) hanya terjadi keragaman genetik berturut-turut sekitar 5% dan 9%. Tabel 5.5.
AMOVA populasi jati asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 lokus mikrosatelit
Sumber Keragaman Antar group
Dalam populasi
Jumlah Kuadrat 1 87.562 1 27.124 627 1313.242
Komponen Ragam 0.29823 0.17030 2.96518
Total
629
3.43372
Antar populasi dalam group
db
1427.927
Persentase Ragam 8.69 4.96 86.35
P
< 0.01 < 0.01 < 0.01
Jarak genetik Nei yang dihitung dari frekuensi alel untuk 10 lokus mikrosatelit, menunjukan bahwa populasi Dolok dan Warangga mempunyai jarak genetik yang sangat dekat sehingga mengelompok menjadi satu cluster dengan jarak sebesar 0.0248.
Perbedaan genetik antara kluster jati dari Buton
(Sampolawa) dan Muna (Dolok dan Warangga) sebesar 0.1061 (lihat Gambar 5.2).
50
Sampolawa
Dolok
Warangga
0.00
0.05
0.10 0.15 Nei's Distance
0.20
0.25
Gambar 5.2. Dendrogram jarak genetik antar populasi jati berdasarkan jarak genetik Nei Pembahasan
Struktur populasi genetik berupa frekuensi alel ke 10 lokus mikrosatelit untuk populasi asal jati asal Sampolawa, Dolok dan Warangga (Tabel 5.2) memperlihatkan bahwa semua lokus mikrosatelit yang digunakan bersifat polimorfisme.
Frekuensi alel untuk alel dari lokus yang sama pada setiap
populasi ternyata tidak sama, dengan demikian ketiga populasi jati tersebut akan mempunyai struktur genotipe yang berbeda pula, dimana penyebaran frekuensi dari genotipe-genotipe yang terdapat dalam satu populasi akan berbeda untuk ketiga populasi tersebut. Pada semua lokus yang diamati ditemukan alel jarang (rare alleles) yaitu alel yang memiliki proporsi kurang dari 1% (AG04, AG16, dan AAG10). Keberadaan alel jarang dan privat alel dapat sangat bermanfaat bagi
deteksi tingkat aliran gen antar populasi jenis-jenis pohon tropis yang terpisah sampai beberapa kilometer (Barton dan Slatkin, 1986). Keragaman genetik dapat pula ditunjukan dari nilai heterosigositas aktual dan harapan (Ha dan He).
Pada Tabel 5.3 terlihat bahwa nilai rata-rata
heteozigositas aktual (Ha) selalu lebih kecil dari nilai heterozigositas harapan (He) pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg, hal ini berarti pada setiap populasi cenderung terjadi defisit heterozigositas, sehingga stuktur genotipe akan mengarah pada peningkatan homozigositas. Keragaman genetik dari nilai He berkisar 0.507
51 sampai 0.645 memberikan nilai yang lebih besar dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kertadikara dan Prat (1995) pada provenan jati dari Indonesia, India, Thailand dan Afrika menggunakan marka isoenzim sebesar 0.347. Perbedaan nilai ini disebabkan perbedaan marka genetik yang digunakan, mikrosatelit pada penelitian ini memberikan polimorfisme yang tinggi (0.44 sampai0.58) dengan satu lokus terdiri atas banyak alel bisa sampai tujuh alel, sedangkan pada isoenzim seperti yang dilakukian oleh Dewi (2003) hanya mempunyai dua alel. Dari nilai indek fiksasi antar tanaman dalam populasi, nilai rata-rata FIS untuk populasi Dolok dan Warangga bernilai positif hal ini berarti terjadi defisit heterozigositas, nilai negatif ditemukan pada lokus CPIMS, AGT10, dan AC44 hal ini berarti pada lokus tersebut ditemukan kelimpahan heterozigot. Nilai FIS yang positif disebabkan terjadinya silang dalam atau anggota populasi yang berkawin tidak beragam dari sisi genotipenya. Nilai FIS diperoleh untuk populasi Dolok dan Warangga sekitar 8% namun pada Sampolawa terjadi kelimpahan heterozigositas (Tabel 5.4), nilainya hampir sama dengan yang diteliti pada jenis pohon tropis mencapai 10.9%.
Namun nilai tersebut masih berada dalam kisaran sedang
sampai tinggi bila dibandingkan dengan keragaman jenis pohon yang penyerbukannya dibantu oleh hewan (zoochorous) sebesar 5% (Loveless, 1992 dalam Finkeldey, 2005). Nilai rata-rata indeks fiksasi FST (indek fiksasi antar populasi), FIS (indek fiksasi dalam populasi) dan FIT (indek fiksasi total populasi) jati asal Sulawesi Tenggara semua bernilai positif yang memberi informasi terjadi defisit heterozigositas. Defisit heterozigositas dalam suatu populasi dapat terjadi karena adanya hambatan aliran gen dalam keseluruhan populasi dan meningkatnya hubungan kekerabatan antar individu pohon yang bertetangga (Gregorius dan Namkoong, 1983 dalam Kertadikara dan Prat, 1995). Secara genetik dengan meningkatnya homozigositas dalam jangka panjang, akan menimbulkan terjadinya deperesi inbreeding yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jati secara ekonomis.
52 Secara genetik dengan meningkatnya homozigositas dalam jangka panjang, akan menimbulkan terjadinya deperesi inbreeding yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jati secara ekonomis. Terdapat keragaman genetik di antara individu dalam populasi, antar populasi dan antar group yang dianalisis menggunakan AMOVA (Analysis of Molecular Variance). Keragaman genetik yang tinggi terjadi di antara individu dalam populasi sekitar 86%, sedangkan sisanya adalah keragaman antara populasi dalam group dan keragaman dalam group sekitar 5% dan 9%. Keragaman genetik ini dapat terjadi karena terjadinya aliran informasi genetik yang tinggi karena terjadi perkawinan silang di antara tanaman, keragaman antar populasi di dalam group masih dianggap kecil bila dindingkan hasil yang diperoleh dari hasil penelitian jati menggunakan isoenzim (Dewi, 2003) dapat mencapai 13%. Populasi Dolok dan Warangga berada dalam satu kluster sedangkan Sampolawa terpisah hal ini dapat dimengerti karena Sampolawa secara geografis dipisahkan oleh lautan, sedangkan Dolok dan Warangga merupakan lokasi yang berjarak kurang lebih 45 km namun merupakan suatu area yang kontinu, kemungkinan aliran informasi genetik masih terjadi Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: •
Semua lokus bersifat polimorfisme, dengan rata-rata alel per lokus sebesar 4.03 serta tingkat polimorfisme 0.767.
•
Keragaman genetik individu dalam populasi menghasilkan nilai yang tinggi untuk populasi Dolok (He=0.804) dan keragaman antar populasi diperoleh nilai FST=11% dan terjadi fenomena defisit heterozigot.
•
Keragaman dalam populasi lebih tinggi dari keragaman antar populasi.
•
Jarak genetik populasi jati Muna (Dolok dan Warangga) sebesar 0.0248 dan perbedaan jarak genetik antara jati Muna dengan Buton (Sampolawa) sebesar 0.1061. Daftar Pustaka
Barton NH, Slatkin, 1986. A quasi-equilibrium theory of the distribution of rare alleles in a subdivided population. Heredity 56:409-415.
53 Dewi SP. 2003. Pendugaan keragaman genetik serta sistem perkawinan (mating system) di kebun benih klon jati (Tectona grandis Linn.f.). Thesis Program Pascasarjana IPB Excoffier L, Smouse PE, Quattro J.M. 1992. Analysis of molecular variance inferred from metric distances among DNA haplotypes: application to human mitochondrial DNA restriction data. Genetics 131:179–191. Finkeldey R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Gao L, Schaal BA, Zhang C, Jia J, Dong Y. 2002. Assessment of population genetic structure in commond wild rice Oryza rufipogon Griff, using microsatellite and allozyme markers. Theor Appl Genet 106:173-180 Goran JAKN, Laurent V, Risterucci AM, Lanaud C. 2000. The genetic structure of cocoa populations (Theobroma cacao L.) revealed by RFLP analysis. Euphytica 115:83-90. Kertadikara AWS, Prat D. 1995. Genetic structure and mating system in teak (Tectona grandis) provenances. Silvae Genetica 44, 2-3: 104-110. Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological genetics: design,analysis, and application. Blackwell Publishing. UK. Nei M, Li WH. 1979. Mathematical modes for studying genetic variation in terms of restriction endonucleases. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 76: 5269–5273.
6. ANALISIS ALIRAN INFORMASI GENETIK VIA SERBUK SARI DAN PENYEBARAN BENIH TANAMAN JATI ASAL SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Gene flow via pollen and seed dispersal analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) Abstract
Parentage analysis of three teak populations from Southeast Sulawesi, successfully detected candidate male parent 30% for Sampolawa, 81% for Dolok, and 87% for Warangga. Analysis parentage on juvenile tree successfully detected 76% pairs candidate male and female parents. The gene flow through pollen dispersal showed that pollens spread out to all directions by the distance average of 30.23-39.43 m and furthermost more than 80 m. Whereas, the genetic migration through seed dispersal showed that juvenile tree from their expected parents occurred by the distance average of 34.27 m and the furthermost 68.73 m. Keywords: Tectona grandis, gene flow, microsatellite, pollen, seed dispersal
Abstrak
Analisis tetua yang dilakukan pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara berhasil mendeteksi kandidat tetua sebagai sumber serbuk sari pada progeni sebanyak 30% untuk Sampolawa, 81% untuk Dolok dan 87% untuk Warangga. Analisis untuk mendeteksi pasangan tetua pada tanaman juvenil di lapang berhasil mendeteksi sebanyak 76%. Analisis lebih lanjut menunjukkan aliran informasi genetik via serbuk sari penyerbukannya terjadi dari segala arah dibantu oleh serangga. Penyerbukan yang terjadi terutama dari sumber serbuk sari dari tetangga terdekat (30%). Rata-rata sumber serbuk sari dapat menyerbuki 30.23-39.43 m dan terjauh lebih dari 80 m. Sedangkan tansportasi via penyebaran benih (tanaman juvenil) diperkirakan dibantu oleh angin dan kemudian oleh air dengan jarak migrasi dari pohon induk benih rata-rata 34.27 m dan terjauh dapat mencapat 68.73 m Kata kunci: Tectona grandis, aliran gen, mikrosatelit, serbuk sari, penyebaran benih
55 Pendahuluan
Aliran gen (gene flow) adalah proses transportasi informasi genetik melalui transportasi serbuk sari (penyebaran gamet jantan) dan transportasi melalui benih (migration). Aliran gen lewat serbuk sari berhubungan erat dengan proses perkawinan tanaman, dimana serbuk sari yang bergerak bila sampai ke kepala putik akan terjadi peristiwa pembuahan. Untuk tanaman menyerbuk sendiri (autogami), pergerakan serbuk sari dapat sangat minimal misal untuk tanaman cleistogami (serbuk sari berasal dari bunga yang sama, fertilisasi terjadi saat bunga mekar), dan beberapa meter untuk geitonogami (serbuk sari berasal dari bunga yang berbeda pada tanaman yang
sama),. Sedangkan untuk tanaman menyerbuk silang, pergerakan serbuk sari dapat beberapa meter bahkan beberapa kilometer, pembuahan terjadi bila serbuk sari dari satu tanaman sampai ke kepala putik yang receptive (siap dibuahi) dari tanaman lain dari jenis yang sama (xenogami). Pergerakan gamet jantan (serbuk sari) memerlukan vektor berupa angin (anemophily) atau hewan (zoophily) Aliran informasi genetik melalui benih dapat juga disebut proses migrasi, dan tidak mempengaruhi secara langsung terhadap sistem perkawinan, namun penyebaran benih ini penting untuk pembentukan populasi sekitar. Vektor penyebaran benih pohon terdiri atas vektor abiotik seperti oleh angin (anemochory), air (hydrochory), berat (barochory) dan vektor biotik yaitu dibantu oleh hewan (zoochory) yang meliputi endozoochorous (setelah melalui pencernaan) atau exozoochorous (tanpa melalui pencernaan). Efisiensi aliran gen baik itu melalui sebuk sari atau benih sangat penting bila dikaitkan dengan ukuran populasi yang berproduksi secara efektif, terutama menyangkut pola spatial variasi genetik. Aliran gen yang rendah dan tidak efisien dapat
menghasilkan
diferensiasi
genetik
antar
sub-populasi
dan
dapat
menyebabkan terbentuknya struktur famili. Sedangkan aliran gen yang tinggi dan efisien dapat berguna untuk menghindari terjadinya silang dalam yang kuat yang mungkin sangat merugikan dilihat dari sisi pemuliaan. Aliran informasi genetik dapat dipelajari dengan mengamati pergerakan serbuk sari secara fisik dari tingkah laku serangga menggunakan pewarna
56 fluoresence kemudian penyebaran fluoresence tersebut dianalisa, namun metode ini sangat sulit dilakukan karena transportasi serbuk sari pada pohon terjadi sebagian besar di kanopi atau bagian atas tajuk sehingga tidak dapat dilihat secara langsung. Metode lain yaitu menggunakan penanda genetik seperti, gen lokus isoenzim dan penanda gen mikrosatelit yang sangat berguna untuk menduga pergerakan serbuk sari yang efektif secara genetik di antara tanaman. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mempelajari aliran gen menggunakan penanda genetik isozim seperti pada populasi tanaman Hopea odorata (Ihara et al., 1986 dalam Finkeldey, 2005), Pinus merkusii (Siregar dan Hattemer, 2000);
sedangkan Dawson et al. (1997) menggunakan penanda gen mikrosatelit untuk mengetahui aliran gen melalui serbuk sari pada pohon neotropis Gliricidia sepium, pada populasi tanaman Eugenia dysentrica (Zucchi et al., 2003) dan Eterpe edulis (Gaiotto et al., 2003).
Aliran informasi lewat penyebaran benih telah dipelajari pula seperti pada tanaman Jacaranda copaia (Jones et al., 2005). Namun demikian penelitian aliran gen pada populasi tanaman jati masih belum banyak dilakukan terutama menggunakan penanda genetik mikrosatelit. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari sistem aliran informasi genetik melalui serbuk sari dan benih pada tiga buah populasi tanaman jati di Sulawesi Tenggara. Bahan dan Metode Material Populasi dan Ekstrasi DNA
Tiga populasi jati yang memiliki level kerusakan atau gangguan terhadap tegakan jati tersebut akibat adanya aktivitas manusia. Untuk itu dipilih tiga lokasi populasi tegakan jati di Sulawesi Tenggara dengan berbagai level gangguan yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan satu populasi dari Kabupaten Buton (Sampolawa). Untuk masing-masing lokasi dipanen buah jati secara terpisah (famili half-sib) yang berasal dari 13-19 pohon induk benih yang kemudian dikecambahkan (lihat Lampiran 11). Selain itu juga dikoleksi secara sensus tanaman jati yang dapat diidentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari bagi pohon induk benih pada areal 4 – 6 ha atau 60 – 100 tanaman dewasa.
57 Tabel 6.1.
Koleksi progeni famili half-sib jati dari 13-19 pohon induk benih serta semua tanaman jati yang diindentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit
Asal Dolok, Muna
Populasi Pohon sebagai sumber serbuk sari Pohon induk benih Bibit yang ditanam di rumah kaca Tanaman juvenil dari lapang Pohon sebagai sumber serbuk sari Pohon induk benih Bibit yang ditanam di rumah kaca Pohon sebagai sumber serbuk sari Pohon induk benih Bibit yang ditanam di rumah kaca
Jumlah Tanaman 105 17 62 25 111 Warangga, Muna 13 132 Sampolawa, Buton 99 19 119 Total 702 tanaman Keterangan : Bibit yang ditanam dirumah kaca merupakan famili half-sib dari pohon induk benih yang ditanam secara terpisah
DNA total diisolasi dari daun kecambah, daun muda progeni half-sib dari 13-19 pohon induk benih berserta induknya dan semua daun muda dari tanaman jati sekitar yang berpotensi sebagai sumber serbuk sari hasil sensus (Tabel 6.1). Untuk semua lokasi pengambilan sampel maka dilakukan pemetaan posisi relatif (spatial) setiap individu (Lampiran 1, 2 dan 3).
Ekstraksi DNA dilakukan
menggunakan procedure CTAB selengkapnya disajikan pada Bab 3 dan Lampiran 8. Analisis Marka Mikrosatelit
Amplifikasi product PCR menggunakan 10 primer mikrosatelit (Tabel 3.2) menggunakan profil PCR (Lampiran 8), sedangkan visualisasi dilakukan menggunakan prosedur elektroforesis polyacrylamide (Lampiran 9). Analisis Data
Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk menduga gene flow, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung.
Secara langsung diduga
berdasarkan pada distribusi keragaman genetik di antara populasi. Secara tidak
58 langsung gene flow diduga berdasarkan hasil pengamatan dari perpindahan serbuk sari dan benih. Pendugaan secara tidak langsung diduga dari nilai FST untuk menghitung banyaknya imigran efektif per generasi (Nem) sebagai berikut (Hamrick dan Nason (2000): Nem =
1 − FST 4 FST
dimana Ne adalah banyaknya individu-individu efektif dalam populasi dan m adalah laju imigrasi. Pengukuran gene flow secara langsung dapat diduga dari perbedaan frekuensi alel antara tetua dan generasi biji. Jika m adalah laju migrasi gene flow ke dalam populasi (misal proporsi alel-alel yang berimigrasi), dan (1-m)
adalah proporsi alel-alel yang tidak berimigrasi, qt adalah frekuensi alel pada generasi ke-t, dan q
adalah rata-rata frekuensi alel dari populasi yang
mengelilingi populasi penerima (populasi donor). Hubungan antara gene flow dengan perubahan frekuensi adalah sebagai berikut: qt = qt −1 (1 − m) + qm
nilai qt , qt −1 , dan q
dapat diduga secara langsung dari pengamatan, nilai-nilai
tersebut dapat digunakan untuk menduga m, sebagai berikut: m=
qt −1 − qt qt −1 − q
Analisis hubungan tetua dengan turunannya dilakukan menggunakan program komputer CERVUS 2.0 (Marshall, 2001). Hasil
Berikut ini disajikan salah satu genotiping lokus AG16 (Gambar 6.1), memperlihatkan lokus tersebut terdiri atas enam alel dimana sebagai contoh genotipe homozigot pada Gambar tersebut adalah line 47 sampai 51 dengan genotipe 22 dan yang heterozigot misal line 52 sampai 54 dengan genotipe 26, sedangkan genotipe lainnya dapat dilihat pada Gambar 6.1.
59
Gambar 6.1. Contoh profil pola pita lokus AG16 pada tanaman jati Dari analisis tetua yang dilakukan berhasil mendeteksi kandidat tetua sebagai sumber serbuk sari pada progeni sebanyak 30% untuk Sampolawa, 81% untuk Dolok dan 87% untuk Warangga (Lampiran 4 sampai Lampiran 6). Sedangkan analisis terhadap tanaman semai untuk mendeteksi kedua tetua berhasil mendeteksi sebanyak 76% (Lampiran 7). Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah (Gambar 6.2). Rata-rata jarak sumber serbuk sari terhadap pohon induk benih berjarak 34.27 m dengan range 30.23 m untuk Sampolawa dan 39.43 m (Warangga). Sedangkan banyaknya sumber serbuk sari benih terdekat (0-10 m) kurang dari 10% dan (10-20 m) antara 13-26% dan sumber serbuk sari yang terjauh dapat mencapai di atas 80 m terjadi pada populasi Warangga (Gambar 6.3).
Gambar 6.2. Perpindahan informasi genetik (gene flow) via serbuk sari
60 30
28.44 24.77
Persentase jumlah sumber polen
25
20 15.60
15.60 15
10
8.26 4.59
5
2.75
0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
0.00
0.00
0.00
0.00
70-80
80-90
90-100
>100
0.00
0.00
0.00
0.00
70-80
80-90
90-100
>100
Jarak tetua jantan ke tetua betina (m) 30 26.00
Persentase jumlah sumber polen
25 22.00 20
18.00 16.00
15 10.00
10
5
4.00
4.00
0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
Jarak tetua jantan ke tetua betina (m) 30
Persentase jumlah sumber polen
25
20 17.39 15.65 13.91
15
13.91 12.17
10
8.70
7.83
7.83
5 1.74
0.87
0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
80-90
90-100
0.00 >100
Jarak tetua jantan ke tetua betina (m)
Gambar 6.3. Jarak dan sumber serbuk sari untuk lokasi Sampolawa (atas), Dolok (tengah) dan Warangga (bawah)
61 Aliran informasi genetik via penyebaran benih menunjukan benih penyebarannya dibantu oleh angin (anemochory), tanaman juvenil yang terbentuk berada cukup jauh dari kedua tetuanya rata-rata 36.05 m sampai 37.11 m (jarak terdekat 7.17 m dan jarak terjauh 70.06 m). Kosekuensi genetik aliran informasi melalui serbuk sari lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh. Karena tidak efisiennya transportasi via benih maka biasanya akan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara genetik. Sedangkan jarak yang jauh dari serbuk sari dapat menghindari terjadinya silang dalam. Dari hasil penelitian memperlihatkan tanaman juvenil berada cukup jauh dari kedua tetuanya 30-40 m (jarak terdekat 7.05 m dan terjauh sampai 68.73 m), sedangkan jarak kedua kandidat tetuanya antara 0–60 m (Gambar 6.3 dan 6.4).
Gambar 6.4. Perpindahan informasi genetik melalui benih Persentase tanaman juvenil tumbuh di dekat tetuannya dengan jarak 0-20 m sebesar 31%, namun persentase jarak tetua yang berhasil menjadi tanaman juvenil dilapang dengan persentase mencapai 47.34 terjadi pada jarak 50-70 m (Gambar 6.5).
62 35
Persentase banyaknya seedling
30
25 21.05
21.05
20 15.79 15 10.53
10.53
10.53
10 5.26
5.26
5 0
0
0
80-90
90-100
>100
0
0
0
70-80
80-90
90-100
>100
0.00
0
0
0
70-80
80-90
90-100
>100
0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
Jarak antara seedling ke tetua 1
35 31.58
Pesentase banyaknya seedling
30
25 20 15.79
15.79
15.79
15 10.53 10 5.26
5.26
5 0
0.00 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
Jarak antara seedling ke tetua 2 35 31.58
Persentase banyaknya seedling
30
25 20 15.79
15.79
15.79
15 10.53 10 5.26
5.26
5 0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
Jarak antara tetua 1 dengan tetua 2
Gambar 6.5. Analisis tetua (parentage analysis) via benih untuk populasi Dolok
63 Pembahasan
Analisis tetua pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tetua sebagai sumber serbuk sari untuk analisis gene flow via serbuk sari dan pasangan tetua untuk migrasi via benih, sehingga proses transportasi informasi genetik dapat dipelajari.
Persentase
progeni yang berhasil dideteksi memperoleh sumber serbuk sari dari kandidat tetua menurun dengan meningkatnya jumlah tanaman per hektar di lapangan (kerapatan populasi). Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah, hal ini menunjukan transportasi serbuk sari dibantu oleh vektor serangga (zoophily). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Finkeldey (2005) menyatakan bahwa bunga jati banyak didatangi oleh serangga, keculi kumbang dan kemungkinan lalat adalah penyerbuk utamanya. Hasil penelitian terhadap sistem perkawinan menunjukan bahwa jata merupakan tanaman yang menyerbuk silang dengan persentase di atas 95% (Bab 7) Kebanyakan serbuk sari diangkut ke pohon tetangga saja mencapai 30% yaitu pada jarak 0-20 m, hasil ini sejalan dengan penelitian sistem perkawinan (Bab 7) yang menyatakan terjadinya biparental inbreeding yang disebabkan perkawinan dari tetangga terdekat.
Sedangkan hasil penelitian Finkeldey
menggunakan lokus gen isoenzim hanya mencapai 20% saja. Hasil penelitian menunjukan pula semakin rapat populasi maka persentase serbuk sari dibawa ke tetangga terdekat semakin besar pula, namun secara rata-rata 34.64 m dan jarak terjauh mencapai di atas 80 m, namun dengan persentase yang relatif kecil. Kecilnya persentase transportasi serbuk sari yang menyebar jauh dibawa oleh polinator sampai ratusan meter namun demikian mungkin viabilitas serbuk sari tersebut sudah hilang. Kosekuensi genetik aliran informasi melalui serbuk sari lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh. Karena tidak efisiennya transportasi via benih maka biasanya akan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara
64 genetik. Sedangkan jarak yang jauh dari serbuk sari dapat menghindari terjadinya silang dalam. Proses perpindahan informasi genetik melalui benih lebih cenderung dikatagorikan sebagai suatu migrasi genetik. Proses ini sangat penting dalam proses pembentukan populasi jati sekitarnya.
Finkeldey (2005) menyebutkan
dilihat dari bentuk dan bobot buah, jati tidak mempunyai penyesuaian khusus untuk menjamin penyebaran benihnya, diduga buah yang masak diangkut oleh angin beberapa meter ketika mulai jatuh, tidak satupun hewan yang diketahui menyebarkan benih jati.
Dari hasil penelitian ini (Gambar 6.4 dan 6.5)
memperlihatkan tanaman juvenil berada cukup jauh dari kedua tetuanya 30-40 m. Jauhnya jarak tanaman juvenil dari kandidat tetuanya diduga oleh angin dimana biji akan jatuh dan terbawa angin beberapa meter dari pohon induknya, kemudian tumbuh menjadi tanaman juvenil atau terbawa aliran air hujan sehingga jaraknya semakin jauh dari pohon induknya sehingga tanaman juvenil yang tumbuh akan berada jauh dari kandidat parentnya sampai puluhan meter (Gambar.6.4). Informasi jarak kedua kandidat parent pada studi seed dispersal sebenarnya menunjukan jarak pergerakan informasi genetik melalui serbuk sari, dengan demikian jarak pergerakan serbuk sari baik pada studi pollen dispersal atau seed dispersal memberi hasil yang relatif sama, yaitu 0 – 60 m. Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: •
Serbuk sari menyebar ke segala arah yang mengindikasikan bahwa penyerbukan dibantu oleh vektor serangga. Penyerbukan dapat terjadi sampai sejauh 80 m, namun penyerbukan sebagian besar terjadi dengan rata-rata 34.47 m.
•
Tanaman juvenil (penyebaran via benih) diidetifikasi jauh dari kedua kandidat tetuanya 30-40 m dan terjauh mencapai 68.73 m.
65 Daftar Pustaka
Dawson I.K, Waugh R, Simons A.J, Powell W. 1997. Simple sequence repeats provide a direct estimate of pollen-mediated gene dispersal in the tropical tree Gliricidia sepium. Molecular Ecology 6:179-183 Finkeldey, R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Gaiotto FA, Grattapaglia D, Vencovsky R. 2003. Genetic Structure, Mating System, and Long-Distance Gene Flow in Heart of Palm (Euterpe edulis Mart.). Journal of Heredity 94(5):399–406 Hamrick JL, Nason JD. 2000. Gene flow in forest tree. Di dalam: Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia. Jones FA, Chen J, Weng GJ, Hubbell SP. 2005. A Genetic Evaluation of Seed Dispersal in the Neotropical Tree Jacaranda copaia (Bignoniaceae). The American Naturalist 166(5):000-000 Marshall TC. 2001. Cervus Ver. 2.0. University of Edinburgh, UK. Siregar IZ, Hattemer HH. 2000. Gene flow and mating system in a seedling seed orchard and natural stand of Pinus merkusii Jungh. et de Vriese in Indonesia. Part 3: Genetic resources, reproduction, management Zucchi MI et al. 2003. Genetic structure and gene flow in Eugenia dysenterica DC in the Brazilian Cerrado utilizing SSR markers. Genetics and Molecular Biology, 26, 4, 449-457
7. ANALISIS SITEM PERKAWINAN TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT1 (Mating system analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) Abstract
In this work, investigated the mating system of three populations of teak from Southeast Sulawesi which indicated human disturbance level, using genetic data from 10 microsatellite loci. Progeny half-sib was carried out from 13 to 19 potential female parents. The mating system parameters were estimated using the mixed mating model, implemented by the software MLTR. The singlelocus outcrossing rate (ts) varied among loci and populations, but multilocus outcrossing rates (tm) were equal to one for Sampolawa and Warangga populations and so it is with biparental inbreeding (tm-ts) was different from zero for Sampolawa and Warangga populations. Biparental inbreeding occured for Dolok population and parental inbreeding for Sampolawa population. Keywords:
Tectona grandis, mating system, microsattelite
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sistem perkawinan pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara yang mempunyai level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia, menggunakan data genetik 10 lokus mikrosatelit. Progeni half-sib diperoleh dari 13 sampai 19 tanaman dari setiap populasi sebagai pohon induk benih (potensial female parents). Parameter sistem perkawinan diduga di bawah model perkawinan percampuran, menggunakan software MLTR. Derajat penyerbukan silang lokus tunggal (ts) bervariasi di antara lokus dan populasi, tetapi derajat penyerbukan silang multilokus (tm) secara statistik sama dengan satu untuk populasi Sampolawa dan Warangga demikian pula dengan koefisien biparental inbreeding (tm-ts) sama dengan nol untuk populasi Sampolawa dan Warangga. Terjadi biparental inbreeding pada populasi Dolok dan parental inbreeding (f) pada Sampolawa. Hal ini menunjukan bahwa walaupun derajat penyerbukan silang besar namun pada lokasi Dolok dan Sampolawa terjadi proses silang dalam. Kata kunci:
1
Tectona grandis, sistem perkawinan, mikrosatelit
Bagian disertasi ini telah dipublikasikan di Jurnal Ilmiah Kehutanan RIMBA Kalimantan edisi pertama volume 11 bulan Juli 2007 dengan judul yang sama
67 Pendahuluan
Sistem perkawinan (mating system) pada suatu tanaman merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam menentukan variasi serta distribusi genetik di dalam dan antar populasi suatu spesies tanaman (Hamrick et al., 1979; Boshier, 2000). Sistem perkawinan dipengaruhi oleh (1) ukuran dan kerapatan populasi, (2) tingkah laku polinator, (3) pola fenologi bunga dan waktu pembungaan, (4) struktur genetik dari populasi, dan (4) adanya sistem self-incompatibility pada tanaman (Ribeiro dan Lovato, 2004). Struktur genotipe dari satu populasi terutama ditentukan oleh sistem perkawinan, dengan demikian analisis untuk menduga parameter-parameter sistem perkawinan dari suatu analisis struktur genotipe perlu dilakukan seperti pendugaan derajat penyerbukan sendiri (selfing rate) dan lawannya derajat penyerbukan silang (outcrossing rate) serta besarnya silang dalam (inbreeding). Parameter-parameter tersebut sangat penting untuk diketahui terutama dalam menyusun program pemuliaan serta konservasi yang akan dilakukan. Struktur genotipik keturunan yang berasal dari penyerbukan sendiri hanya mempunyai alel-alel dari pohon induknya, pada seluruh lokus gen, meskipun genotipe sebuah keturunan berbeda dari pohon induknya, dalam hal ini pohon induknya heterozigot. Keturunan hasil penyerbukan silang membawa alel-alel yang ada pada populasi. Jati memiliki bunga hermaprodit dimana penyerbukannya dibantu oleh serangga.
Jati merupakan jenis yang melakukan penyerbukan silang dengan
tingkat self incompatibility yang tinggi 96-100%, juga indikasi adanya self inviability seperti yang terjadi pada jenis lain dari famili Verbenaceae, yaitu Gmelina arborea yang diduga karena tingginya tingkat selfing (Bolstad dan
Bawa, 1982). Konsekuensi genetik yang terjadi adalah terbentuknya buah inbred yang memiliki daya kecambah rendah. Pada pohon yang melakukan penyerbukan silang, buah inbreed juga terbentuk karena aktivitas polinator yang hanya berkeliaran pada satu pohon saja (Hedegart, 1973).
68 Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari sistem perkawinan pada populasi tanaman jati dengan berbagai level kerusakan populasi akibat aktivitas manusia menggunakan data genetik dari 10 lokus mikrosatelit. Bahan dan Metode Material Tanaman dan Isolasi DNA
Material tanaman diperoleh dari tiga populasi jati yang memiliki level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia. yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan satu populasi dari Kabupaten Buton (Sampolawa). Untuk masing-masing lokasi dipanen buah jati secara terpisah (progeni famili half-sib) yang berasal dari 13-19 potensial induk benih (potential female parent) yang kemudian dikecambahkan (Lampiran 7) untuk diisolasi DNAnya. Tabel 7.1.
Progeni famili half-sib jati dari 13-19 pohon induk benih yang dikoleksi pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit
Asal Dolok, Muna
Warangga, Muna Sampolawa, Buton
Populasi pohon induk benih total progeni poohon induk benih total progeni poohon induk benih total progeni
Total DNA
total
diisolasi
menggunakan
Kode MT FT MW FW MS FS 49 famili
prosedur
Jumlah Tanaman 17 62 13 132 19 119 362 tanaman
CTAB
yang
telah
dikembangkan dari project ICA4-2000-20053, diisolasi dari daun kecambah serta daun muda dari 13-19 pohon induk benih yang dikoleksi (Tabel 7.1). Analisis Penanda Mikrosatelit
Reaksi amplifikasi dengan mesin PCR menggunakan 15-30 ng genom DNA dalam 25 µl volume yang menggandung 50 mM KCl, 20 mM Tris-HCl pH 8.8; 1.5 mM MgCl2; 10 mM dNTPs; 0.2 µl primer (forward dan reverse) dan 1 U dari Tag polymerase.
69 Protokol dari PCR terdiri atas suatu periode denaturasi awal pada 96oC selama 5 menit, diikuti oleh 30 siklus yang pada 94oC untuk 40 detik, 52oC selama 1 menit, 72oC selama 1 menit, dan step selanjutnya untuk ekstension akhir pada 72oC selama 7 menit.
Fragmen hasil amplifikasi kemudian dipisahkan
dalam 6% gel akrilamide yang di running dengan 1X TBE pada 2200 volt selama 2 jam dan distaining dengan silver nitrat. Analisis Data
Parameter sistem perkawinan diduga dari adanya variasi genetik dari turunannya (progeny arrays) dari suatu tetua baik itu genotipe maternalnya diketahui atau tidak diketahui dapat digunakan untuk menghitung proporsi silang dalam (inbreeding) dan penyerbukan silang (outcrossing). (Ritland, 1996, Ritland, 2002; Ritland and Jain, 1981). Derajat penyerbukan silang lokus tunggal dihitung dari persen penyerbukan silang lokus ke-i pada tetua ke-j adalah proporsi banyaknya progeni yang memiliki salah satu alelnya berbeda dengan maternalnya pada lokus tersebut (nij) terhadap banyaknya progeni yang diuji pada tetua tersebut (Nij). Sedangkan derajat penyerbukan silang untuk lokus tunggal (ts) adalah rata-rata dari persen penyerbukan silangnya, dihitung dengan formula sebagai berikut:
ts =
∑ % outcrossing banyaknya keseluruhan tetua yang diuji
nij =
N ij
100% N
sedangkan derajat penyerbukan silang multilokus dihitung dari persen penyerbukan silang untuk multilokus pada tetua ke-j adalah proporsi banyaknya progeni dengan salah satu alelnya berbeda dari maternalnya untuk keseluruhan lokus (n.j) terhadap banyaknya progeni yang diuji pada tetua tersebut (N.j). Sedangkan derajat penyerbukan silang untuk multilokus (tm) adalah rata-rata dari persen penyerbukan silangnya, dihitung dengan formula sebagai berikut:
tm =
∑ % outcrossing banyaknya keseluruhan tetua yang diuji
n. j =
N. j
100% N
Dari kedua pendugaan parameter sistem perkawinan di atas maka dapat dihitung nilai biparental inbreeding (perkawinan atar kerabat, yang disebabkan
70 meningkatnya homozigositas) yaitu selisih antara derajat penyerbukan silang multilokus ganda dengan derajat penyerbukan silang lokus tunggal, sebagai berikut: Biparental inbreeding = tm − ts sedangkan koefiesien silang dalam diperoleh menggunakan transformasi, sebagai berikut: f = (1-t ) (1+t )
Pendugaan parameter sistem perkawinan seperti derajat penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang serta depresi silang dalam (inbreeding depression) dalam penelitian ini dilakukan menggunakan model perkawinan campuran (mixed mating) (Brown dan Allard, 1970) dengan prosedur multilocus maximumlikelihood technique menggunakan program komputer MLTR (Multilokus Mating System Program) dari Ritland dan Jain (1981). Standard error untuk parameter dihitung dari 500 bootsraps dengan resampling (pengambilan ulang) di antara famili-famili. Sedangkan untuk membandingkan parameter di antara populasi dilakukan menggunakan uji-t students untuk menentukan apakah nilai-nilai signifikan lebih kecil dari satu (tm dan ts) atau lebih besar dari nol (f, tm-ts, dan rp). Asumsi yang digunakan dalam penerapan model tersebut adalah bahwa setiap benih yang dihasilkan dapat dihasilkan dari peristiwa penyerbukan sendiri (dengan peluang sebesar s) atau penyerbukan silang dimana serbuk sari terpilih secara acak berasal dari seluruh populasi (dengan peluang sebesar t=1-s).
Hasil Hasil analisis sistem perkawinan populasi jati asal Sulawesi Tenggara menggunakan 10 lokus mikrosatelit (AG04, AG16, AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS) menghasilkan total 43 alel dengan rata-rata banyaknya alel per lokus 4.3 dengan kisaran alel mulai dari dua (AGT10 pada populasi Sampolawa) sampai enam alel (AG16) informasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.2.
71
Gambar 7.1. Contoh profil pola pita lokus AC28 pada tanaman jati Gambar 7.1 memperlihatkan salah satu contoh genotiping lokus mikrosatelit yaitu AC28, dimana lokus tersebut teridentifikasi tiga alel, dengan demikian contoh genotipe individu homozigot yaitu yang memiliki alel yang sama seperti individu pada line 31-36 dengan genotipe 33, dan untuk yang heterozigot akan memiliki pasangan alel yang berbeda misal pada line 22-24 dengan genotipe 23 demikian seterusnya.
Sedangkan line 37 adalah Ladder.
Semua progeni
memiliki paling sedikit satu alel yang berasal dari tetua betina mengikuti pola pewarisan Mendelian. Derajat penyerbukan silang lokus tunggal (ts) bervariasi di antara lokus dan populasi (Tabel 7.2). Pada populasi Sampolawa, lokus AG16 dan ATC02 memperlihatkan nilai ts yang kecil tetapi koefisien parental inbreeding (f) positif hanya pada lokus AGT10 dan sama dengan nol untuk lokus AC44, AC01, AG14, dan AC28. Nilai positif mengindikasikan homozigot lebih banyak ketimbang struktur populasi Hardy-Weinberg, proses inbreeding diindikasikan bila f bernilai positif. Hasil pengujian untuk progeni pada populasi Dolok memperlihatkan nilai ts yang kecil untuk lokus AG04 dan f sama dengan nol untuk semua lokus kecuali lokus AC44, AC28, AAG10, dan CPIMS. Untuk populasi Warangga mempunyai nilai ts yang relatif besar untuk semua lokus dan f positif hanya untuk lokus CPIMS dan sama dengan nol hanya untuk lokus AG16, AGT10, AG14, dan CPIMS.
72 Tabel 7.2.
Pop S
T
W
Derajat penyerbukan silang berdasarkan lokus tunggal (ts) dan nilai frekuensi serbuk sari (pollen) dan ovule dari alel yang sering muncul untuk tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara, Pop = populasi; A = banyaknya alel; f = koefisien parental inbreeding; SE = Standart Error; S = Sampolawa; T = Dolok; W = Warangga
Lokus AG04 AG16 AGT10 AC44 AC01 AG14 ATC02 AC28 AAG10 CPIMS AG04 AG16 AGT10 AC44 AC01 AG14 ATC02 AC28 AAG10 CPIMS AG04 AG16 AGT10 AC44 AC01 AG14 ATC02 AC28 AAG10 CPIMS
A 3 6 2 5 5 5 4 3 5 3 3 6 3 5 5 5 4 3 5 3 4 6 3 5 4 5 4 3 6 3
Pollen 0.927 0.593 0.650 0.497 0.507 0.521 0.523 0.787 0.681 0.723 0.634 0.344 0.405 0.352 0.570 0.398 0.395 0.438 0.490 0.991 0.565 0.463 0.830 0.335 0.392 0.344 0.307 0.498 0.439 0.498
Ovule 0.868 0.579 0.632 0.474 0.842 0.447 0.658 0.684 0.816 0.579 0.853 0.324 0.529 0.647 0.500 0.500 0.382 0.441 0.618 0.706 0.462 0.385 0.654 0.615 0.385 0.385 0.385 0.577 0.385 0.577
ts ± SE f ± SE 1.200 ± 0.087 -0.200 ± 0.020 0.672 ± 0.093 -0.200 ± 0.024 1.200 ± 0.093 0.548 ± 0.213 1.200 ± 0.005 -0.019 ± 0.149 0.888 ± 0.137 0.275 ± 0.330 0.934 ± 0.160 -0.084 ± 0.100 0.695 ± 0.235 -0.200 ± 0.000 1.085 ± 0.146 -0.127 ± 0.153 1.185 ± 0.076 -0.200 ± 0.000 1.200 ± 0.077 -0.200 ± 0.034 0.575 ± 0.241 0.297 ± 0.360 0.706 ± 0.119 0.033 ± 0.135 1.001 ± 0.214 0.317 ± 0.234 1.029 ± 0.133 -0.200 ± 0.000 1.121 ± 0.091 0.342 ± 0.175 0.973 ± 0.125 0.042 ± 0.164 1.080 ± 0.126 -0.143 ± 0.140 0.905 ± 0.318 -0.200 ± 0.044 1.200 ± 0.171 0.501 ± 0.185 1.200 ± 0.564 -0.200 ± 0.000 1.008 ± 0.108 -0.200 ± 0.000 0.886 ± 0.184 -0.020 ± 0.116 0.961 ± 0.123 -0.190 ± 0.136 0.881 ± 0.154 -0.200 ± 0.003 1.109 ± 0.116 -0.200 ± 0.097 1.129 ± 0.084 0.140 ± 0.203 1.187 ± 0.115 -0.142 ± 0.063 1.178 ± 0.152 -0.200 ± 0.003 1.166 ± 0.089 -0.197 ± 0.069 1.200 ± 0.047 0.463 ± 0.250
73 Hasil analisis terhadap parameter sistem perkawinan terhadap populasi jati menunjukan bahwa derajat penyerbukan silang multilokus (tm) mempunyai nilai antara 0.985 sampai 1.200 dan nilai ts lebih besar dari tm untuk populasi Sampolawa dan Warangga sehingga nilai biparental inbreeding (tm-ts) kecil atau sama dengan nol untuk populasi ini.
Sebaliknya untuk populasi Dolok
mempunyai nilai tm lebih besar dari pada ts, sehingga biparental inbreeding bernilai positif dan tidak sama dengan nol. Nilai tm dan ts sama dengan 1 untuk semua populasi kecuali tm untuk Dolok. Sedangkan parameter koefisien parental inbreeding (f) berbeda secara signifikan dari nol hanya untuk populasi Sampolawa (Tabel 7.3). Tabel 7.3.
Parameter sistem perkawinan dari tiga populasi jati Sulawesi Tenggara. Parameter yang diuji meliputi derajat outcrossing multilokus (tm), derajat outcrossing rata-rata lokus tunggal (ts), biparental inbreeding (tm-ts), koefisien parental inbreeding (f), korelasi t dugaan (rt), korelasi p dugaan (rp), kerapatan tanaman per hektar (Nr)
Parameter
Sampolawa, S
Dolok, T
Warangga, W
tm ± SE ts ± SE tm-ts ± SE f ± SE rt ± SE rp ± SE Nr
0.989 ± 0.070 1.018 ± 0.044 -0.028 ± 0.053 -0.200 ± 0.068 0.999 ± 0.486 0.247 ± 0.065 200
1.200 ± 0.002 0.978 ± 0.023 0.222 ± 0.023 0.081 ± 0.066 -0.200 ± 0.000 0.179 ± 0.071 143
0.985 ± 0.081 1.026 ± 0.038 -0.041 ± 0.075 -0.064 ± 0.050 0.999 ± 0.579 0.184 ± 0.044 120
Tabel 3 juga memperlihatkan nilai rt (korelasi derajat penyerbukan silang di dalam pengujian progeni) mempunyai nilai kecil pada populasi dolok dan rp (korelasi outcrossed paternity dalam pengujian progeni) mempunyai nilai kecil untuk semua populasi.
Pembahasan Hasil pendugaan derajat penyerbukan silang yang dihitung dengan prosedur multilocus maximum-likelihood technique (Ritland dan Jain, 1981) yaitu sebesar 0.985-1.200, nilai yang diperoleh ini sejalan dengan hasil penelitian pada jati menggunakan gen isozim yang dilakukan oleh Kertadikara dan Prat, 1995
74 serta Finkeldey (2005) yaitu antara 0.829 – 0.983. Dengan demikian jati termasuk tanaman yang menyerbuk silang, sehingga transfer serbuk sari pada jati memerlukan agen penyerbuk (vektor) yang menurut Hedegrat (1973) dibantu oleh serangga berupa lebah dan kupu-kupu. Nilai derajat penyerbukan silang yang diperoleh sangat besar menunjukkan bahwa pada jati kejadian menyerbuk silang sangat tinggi. Diharapkan dengan sistem perkawinan penyerbukan silang akan berperan penting untuk menjaga keragaman genetik yang akan terpelihara karena adanya rekombinasi gen antara penggabungan dari dua gamet yang berasal dari tetua yang berbeda, namun demikian pada populasi Dolok terjadi biparental inbreeding yaitu inbreeding yang disebabkan oleh perkawinan antara kerabat dekat, hal ini mengindikasikan bahwa polinator yang berperan membantu dalam penyerbukan mempunyai jelajah yang terbatas, demikian pula pada Sampolawa parental inbreeding disebabkan karena daerah jelajah polinator yang terbatas, kejadian inbreeding ini secara nyata meningkatkan derajat selfing dalam populasi. Dengan demikian usaha konservasi pada lokasi yang luas terutama di Dolok dan Sampolawa sangat diperlukan agar terjadi kejadian penyerbukan silang di antara individu yang bukan berkerabat untuk menjaga keragaman genetik tanaman tetap tinggi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan analisis aliran informasi genetik yang menyatakan bahwa penyebaran serbuk sari terjadi secara acak ke segala arah menunjukan bahwa jati cenderung menyerbuk silang dan dibantu oleh serangga. Sedangkan penyerbukan sendiri hanya terjadi sekitar 1-2%, rendahnya proses penyerbukan sendiri mungkin disebabkan adanya mekanisme self-incompatibilitas genetik pada jati, yaitu ketidakmampuan suatu tanaman berbiji hermaprodit fertil untuk menghasilkan zigot setelah penyerbukan sendiri seperti yang dilaporkan oleh Hedegart (1976). Mekanisme self incompatibilitas merupakan faktor penting karena akan memelihara keragaman genetik yang tinggi karena proses inbreeding tidak akan terjadi (kecil) akibat sistem perkawinan didominasi oleh penyerbukan silang yang terjadi secara acak. Hasil uji t-student pada selang kepercayaan 95% menunjukan bahwa nilai tm pada populasi Dolok berbeda dengan kedua populasi lainnya, sedangkan untuk ts menunjukan ketiga populasi mempunyai nilai ts yang sama. Liengsiri et al
75 (1998) memperlihatkan bahwa perbedaan derajat penyerbukan silang yang tampak di antara 11 populasi dari Pterocarpus macrocarpus mempunyai derajat gangguan habitat, densitas dan distribusi dari pembungaan pohon. Dalam penelitian ini derajat gangguan akibat aktifitas manusia dan kerapatan populasi cenderung mempengaruhi sistem perkawinan. Populasi dengan level gangguan yang lebih besar dan memiliki kerapatan individu yang tinggi cenderung akan terjadi proses silang dalam. Nilai-nilai rp yang rendah menunjukkan tidak ada korelasi yang berkaitan dengan asal usul tetua sumber serbuk sari, atau dapat dikatakan dalam alur famili tidak terjadi full-sib, analisis menunjukkan kearah half-sib, hal ini diperkuat bahwa serbuk sari yang dibawa oleh polinator sangat berlimpah dan penyerbukan oleh serbuk sari terjadi dalam segala arah (lihat Bab 6).
Kesimpulan dan Saran Dari penelitian tentang sistem perkawinan tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: •
Semua lokus mikrosatelit bersifat polimorfisme, dengan rata-rata alel per lokus sebesar 4.3 dengan kisaran alel mulai dari dua (AGT10 pada populasi Sampolawa) sampai enam alel (AG16).
•
Tanaman jati adalah tanaman menyerbuk silang dengan derajat penyerbukan yang tinggi dengan nilai tm dan ts berkisar dari 0.978 sampai 1.200.
•
Koefisien biparental inbreeding (tm-ts) terjadi pada populasi Dolok, sedangkan koefisien parental inbreeding (f) terjadi pada populasi Sampolawa.
•
Nilai rt (korelasi derajat outcrossing dalam pengujian progeni) mempunyai nilai kecil pada populasi dolok dan rp (korelasi outcrossed paternity dalam pengujian progeni) mempunyai nilai kecil untuk semua populasi.
•
Penelitian sistem perkawinan selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga hasilnya selalu bersifat dinamis, dengan demikian perlu dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sistem perkawinan jati lainnya pada lokasi dan waktu yang berbeda.
76
Daftar Pustaka Boshier DH. 2000. Mating system. Di dalam: Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia. Brown, A.H.D and R.W. Allard. 1970. Estimation of mating systems in openpollinated maize populations using isozyme polimorphisms. Genetics 66: 133-145 Finkeldey R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Hamrick JL, Linhart YB, Mitton JB. 1979. Relationship between life history characteristic and electrophoretically detectable genetic variation in plant. Annu Rev Ecol Syst 10:173-200 Hedegart. 1973. Pollination of teak (Tectona grandis Linn. F.). Silvae Genetica 22(4): 124-128 Hedegart. 1976. Breeding system, variation and genetic improvement of teak (Tectona grandis L.f). p 109-123. Di dalam: Burley J, Styles BT, editor. Tropical Trees. Academic Press London. Kertadikara AWS, Prat D. 1995. Genetic structure and mating system in teak (Tectona grandis) provenances. Silvae Genetica 44, 2-3: 104-110. Liengsiri C, Boyle TJB, Yeh FC. 1998. Mating system in Pterocarpus macrocarpus Kurz in Thailand. J Hered 89:216-221 Ribeiro RA, Lovato MB. 2004. Mating system in a neotropical tree species, Senna multijuga (Fabaceae). Genetics and Molecular Biology, 27, 3, 418424 Ritland K. 1996. Multilocus mating system program MLTR. fttp://128. 100.165.100. Ritland K. 2002. Extensions of models for the estimation of mating systems using n independent loci. Heredity 88: 221-228. Ritland K, Jain. S. 1981. A model for the estimation of outcrossing rate and gene frequencies using independent loci. Heredity 47(1): 35-52.
8. PEMBAHASAN UMUM Marka mikrosatelit merupakan marka genetik yang dapat digunakan dalam mempelajari keragaman genetik seperti yang telah dilaporkan oleh Qian et al., (2001) pada tanaman padi juga pada apel dan pear (Yamamoto, 2001); mempelajari kemiripan genetik seperti pada kultivar gandum (Bohn, 1999); mempelajari struktur genetik seperti pada kakao dan padi (Goran, 2000 dan Gao, 2002); mempelajari sistem perkawinan seperti pada Caryocar brasiliense (Collevati, 2001); dan gene flow seperti pada Gliricidia sepium (Dawson, 1997) dan Caryocar brasiliense Collevati, 2001). Dalam mempelajari struktur genetik serta aspek genetik lainnya pada tanaman jati marka mikrosatelit merupakan marka yang sangat informatif dan mempunyai resolusi yang tinggi melengkapi marka genetik lainnya seperti isoenzim yang sudah sering digunakan misal pada tanaman jati, namun demikian penggunaan
marka
mikrosatelit
membutuhkan
biaya
yang
mahal
dan
membutuhkan waktu untuk pengembangan primer yang spesifik. Hasil resolusi yang tinggi yang ditunjukan oleh marka mikrosatelit sangat menakjubkan, karena setiap individu dalam famili half-sib memiliki paling sedikit satu alel yang berasal dari pohon induk benih, dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas mana progeni yang melakukan penyerbukan sendiri dan mana yang melakukan penyerbukan silang. Keunggulan lainnya penggunaan marka mikrosatelit adalah memiliki tingkat polimofisme yang tinggi 76% dan mempunyai banyak alel seperti pada lokus AG16 dan AAG10 memiliki enam alel dengan rata-rata jumlah alel 4.6. Sedangkan jumlah alel pada marka isoenzim memiliki jumlah alel yang terbatas seperti yang telah dilakukan pada tanaman jati hanya mempunyai dua alel (Dewi, 2003) dan rata-rata jumlah alel per lokus 1.8 (Kertadikara dan Prat, 1995). Bayangan genetik dari tanaman yang diambil secara acak dari pengunduhan beberapa tanaman masih memperlihatkan keragaman genetik yang masih cukup tinggi antar individu dan antar populasi bila dibandingkan dengan tanaman dewasa populasi asalnya. Dengan demikian pengunduhan yang berasal dari bulk 13-19 famili akan memberikan informasi keragaman genetik yang kurang lebih sama dengan populasi tanaman dewasa awalnya.
Namun yang
menjadi pertimbangan saat ini setelah penebangan hutan secara besar-besaran
78 menyebabkan sumber serbuk sari tidak melimpah lagi, sehingga benih yang diperoleh dari pengunduhan hanya dari beberapa pohon mungkin akan menyebabkan terjadinya peristiwa inbreeding dan penghanyutan genetik. Startegi yang dapat dilakukan adalah dengan bulk dari pengunduhan hasil banyak tanaman dan dari banyak lokasi sehingga dapat menjaga pembangunan keragaman genetik populasi tanaman hutan selanjutnya. Masih tingginya keragaman genetik dari tanaman semai yang diunduh kemungkinan disebabkan melimpahnya sumber serbuk sari serta besarnya aliran informasi genetik via serbuk sari dan serta tingginya derajat peyerbukan silang pada jati yaitu di atas 95%. Keragaman genetik yang ditunjukan oleh nilai heterosigositas aktual dan harapan (Ha dan He) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata heteozigositas aktual (Ha) selalu lebih kecil dari nilai heterozigositas harapan (He) pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg, hal ini berarti pada setiap populasi cenderung terjadi defisit heterozigositas, hasil ini juga diperkuat dari nilai indek fiksasi yang diperoleh terutama pada populasi dari kabupaten Muna yang bernilai positif sehingga stuktur genotipe akan mengarah pada peningkatan homozigositas. Sedangkan pada populasi dari Kabupaten Buton (Sampolawa) cenderung terjadi kelimpahan heterozigositas. Defisit heterozigositas dalam suatu populasi dapat terjadi karena adanya hambatan aliran gen dalam keseluruhan populasi dan meningkatnya hubungan kekerabatan antar individu pohon yang bertetangga (Gregorius dan Namkoong, 1983 dalam Kertadikara dan Prat, 1995). Dari nilai indek fiksasi antar tanaman dalam populasi, nilai rata-rata FIS untuk populasi Dolok dan Warangga bernilai positif hal ini berarti terjadi defisit heterozigositas, nilai negatif ditemukan pada lokus CPIMS, AGT10, dan AC44 hal ini berarti pada lokus tersebut ditemukan kelimpahan heterozigot. Nilai FIS yang positif disebabkan terjadinya silang dalam yang meningkat, terdapat seleksi yang memihak homozigot serta efek wahlund dengan adanya migrasi (Lowe, 2004). Namun dalam penelitian ini FIS positif mungkin lebih disebabkan meningkatnya silang dalam yang ditunjukkan adanya biparental inbreeding dan parental inbreeding dalam analisis sistem perkawinan.
Sedangkan hasil diferensiasi
genetik FST (11%) memberikan hasil yang lebih kecil dari hasil perhitungan AMOVA (14%) diferensiasi antar group (Muna dengan Buton) yang dipisahkan
79 oleh lautan cukup besar dengan tingkat keragaman sekitar 9% dan di dalam group hanya 5% Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah, hal ini menunjukan transportasi serbuk sari dibantu oleh vektor serangga (zoophily). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Finkeldey (2005) menyatakan bahwa bunga jati banyak didatangi oleh serangga, kecuali kumbang dan kemungkinan lalat adalah penyerbuk utamanya. Hasil penelitian terhadap sistem perkawinan menunjukan bahwa jati merupakan tanaman yang menyerbuk silang dengan derajat penyerbukan silang di atas 95%. Kebanyakan serbuk sari diangkut ke pohon tetangga saja mencapai 30% yaitu pada jarak 0-20 m, hasil ini sejalan dengan penelitian sistem perkawinan yang menyatakan terjadinya biparental inbreeding yang disebabkan perkawinan dari tetangga terdekat. Sedangkan hasil penelitian Finkeldey (2005) menggunakan lokus gen isoenzim hanya mencapai 20% saja. Hasil penelitian menunjukan pula semakin rapat populasi maka persentase serbuk sari dibawa ke tetangga terdekat semakin besar pula, kecilnya persentase transportasi serbuk sari yang menyebar jauh dibawa oleh polinator sampai ratusan meter namun demikian mungkin viabilitas serbuk sari tersebut sudah hilang. Aliran informasi genetik via serbuk sari yang lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh dengan bantuan serangga sebagai vektor.
Finkeldey (2005) menyatakan tidak efisiennya
transportasi informasi genetik terutama via benih akan menyebabkan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara genetik. Namun pada tanaman jati yang ditanam secara monokultur struktur famili ini tidak terlihat hal ini ditunjukan oleh rp yang rendah. Hasil analisis sistem perkawinan menunjukan jati adalah tanaman yang menyerbuk silang dengan persentase di atas 95% dengan demikian struktur genotipik keturunannya akan membawa alelik-alelik yang ada di populasi Hasil pendugaan derajat penyerbukan silang yang nilainya lebih besar dari satu hal ini disebabkan tidak terpenuhinya asumsi seperti terbentuknya zigot yang berasal dari penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang harus terjadi secara acak, kerapatan tanaman yang rendah namun tanaman jati yang ditanam secara
80 monokultur mungkin tidak berlaku.
Kemungkinan yang lain yaitu adanya
tanaman jati yang disinyalir oleh beberapa peneliti lain menpunyai mekanisme self incopatibilitas sehingga secara nyata akan meningkatkan peristiwa penyerbukan silang. Dengan demikian pendugaan derajat penyerbukan silang berdasarkan pada rata-rata beberapa lokus gen (multilokus) lebih disukai karena dapat memberikan dugaan yang lebih akurat (Ritland dan Jain, 1981) serta cenderung lebih resisten terhadap asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dibandingkan dengan lokus tunggal (Shaw dan Allard, 1979). Nilai derajat penyerbukan silang populasi Dolok berbeda dengan populasi lainnya perbedaan ini disebabkan oleh adanya pebedaan dari level gangguan akibat aktifitas manusia, seperti yang diteliti oleh Liengsiri et al (1998) memperlihatkan bahwa perbedaan derajat penyerbukan silang yang tampak di antara 11 populasi dari Pterocarpus macrocarpus mempunyai derajat gangguan habitat, densitas dan distribusi dari pembungaan pohon. Dalam penelitian ini derajat gangguan akibat aktifitas manusia dan kerapatan populasi cenderung mempengaruhi sistem perkawinan. Populasi dengan level gangguan yang lebih besar dan memiliki kerapatan individu yang tinggi cenderung akan terjadi proses silang dalam berupa biparental inbreeding hal ini ditunjukan oleh nilai rp yang rendah.
9. KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian tentang sistem perkawinan tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1. Semua lokus mikrosatelit bersifat polimorfisme dengan tingkat polimorfisme tertinggi pada lokus AG16 (0.766) dan yang terendah pada lokus AG04 dan AGT10 (0.136). Rata-rata alel per lokus sebesar 4.3 dengan kisaran alel mulai dari dua (AG04, AGT10) sampai enam alel (AG16). 2. Rata-rata kemiripan genetika pada populasi tanaman dewasa dan semai asal Sulawesi Tenggara berturut turut 51.91% dan 54.55% dan terjadi pemisahan yang jelas populasi tanaman berdasarkan lokasi geografis terutama Sampolawa (Pulau Buton) terpisah jelas dari Warangga dan Dolok (Pulau Muna). Untuk tanaman dewasa kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 60%, 55% dan 73%, sedangkan tanaman semai 56%, 61%, dan 74%.
Seluruh individu tanaman dewasa
menjadi satu kelompok dengan kemiripan genetik 46%, sedangkan tanaman semai 48%. Keragaman genetik untuk tanaman dewasa tertinggi ada pada kelompok Warangga (45%) terendah pada Sampolawa (27%). Keragaman tertinggi tanaman semai terdapat pada kelompok Dolok (44%) terendah pada Sampolawa (26%). Tanaman semai yang diunduh dari 13-19 pohon induk benih memperlihatkan bayangan genetik yang sama dengan tanaman dewasanya. 3. Keragaman genetik individu dalam populasi menghasilkan nilai yang tinggi untuk populasi Dolok (He=0.804) dan keragaman antar populasi diperoleh nilai FST=11% dan terjadi fenomena defisit heterozigositas.
Keragaman
genetik di dalam populasi lebih tinggi (86%) dari keragaman antar populasi (14%).
Jarak genetik populasi jati Muna (Dolok dan Warangga) sebesar
0.0248 dan perbedaan jarak genetik antara jati Muna dengan Buton (Sampolawa) sebesar 0.1061 4. Aliran informasi genetik via serbuk sari menunjukkan bahwa serbuk sari menyebar ke segala arah dimana penyerbukan jati dibantu oleh vektor serangga, dimana sumber serbuk sari yang berhasil menyerbuki putik berasal dari rata-rata 34.47 m bahkan dapat melebih 80 m. Transportasi via benih
82 menunjukan bahwa tanaman juvenile di lapang diidentifikasi berada cukup jauh dari kandidat kedua tetuanya sekitar 30-40 m dan yang terjauhnya 68.73 m 5. Tanaman jati adalah tanaman menyerbuk silang dengan derajat penyerbukan yang tinggi dengan nilai di atas 0.978. Pada populasi Dolok terjadi biparental inbreeding (tm-ts), sedangkan pada populasi Sampolawa terjadi parental inbreeding (f). Saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Sistem genetik seperti sistem perkawinan, sistem transportasi aliran informasi genetik selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga bersifat dinamis, dengan demikian perlu dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya pada lokasi dan waktu yang berbeda. 2. Adanya defisit heterozigositas dan proses inbreeding pada tanaman jati, serta rusaknya tanaman jati akibat penebangan liar maka perlu dilakukan usaha konservasi baik secara in situ atau ex situ serta penataan jati secara spatial terutama dalam membangun hutan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1983. Statistik Kehutanan Indonesia 1981/1982. Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Barrett SCH, Kohn JR. 1991. Genetics and evolutionary consequences of small population size in plants: Implications for conservation. Di dalam: Falk DA, Holsinger KE, editor. Genetics and conservation of rare plants. Oxford University Press, New York. Beidler JL, Hilliard PR, Rill RL. 1982. Ultrasensitive staining of nucleic acids with silver. Anal Biochem 126: 374-380. Bohn M, Utz HF, Melchinger AE. 1999. Genetic similarities among winter wheat cultivars determined on the basis of RFLPs, AFLPs, and SSRs and their use for predicting progeny variance. Crop Sci. 39:228-237. Boshier DH. 2000. Mating system. Di dalam: Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia. Brown AHD, Allard RW. 1970. Estimation of mating systems in open-pollinated maize populations using isozyme polimorphisms. Genetics 66: 133-145 Bryndum, Hedegrat. 1969. Pollination of teak (Tectona grandis L.f). Silvae Genetica 18:77-80. Collevatti RG, Grattapaglia D, Hay JD. 2001. High resolution microsatellite based analysis of the mating system allows the detection of significant biparental inbreeding in Caryocar brasiliense, an endangered tropical tree species. Herydity 86:60-67 Cordes JWH. 1992. Hutan jati di Jawa. (Terjemahan). Yayasan Manggala Sylva Lestari. Malang. Dawson IK, Waugh R, Simons AJ, Powell W. 1997. Simple sequence repeats provide a direct estimate of pollen-mediated gene dispersal in the tropical tree Gliricidia sepium. Molecular Ecology 6:179-183 Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta. Dewi SP. 2003. Pendugaan keragaman genetik serta sistem perkawinan (mating system) di kebun benih klon jati (Tectona grandis Linn.f.). Thesis Program Pascasarjana IPB, Bogor. Ellegreen H et al. 1993. Assignment of 20 microsatellite markers to the porcine linkage map. Genomic 16:431-439 Finkeldey R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Flavel RB. 1980. The molecular characterization and organization of plant chromosomal DNA sequences. Ann. Rev. Plant Physiol. 31:569-596
84 Gailing O, Leinemann L, Finkeldey R. 2003. Molecular tools for the conservation of forest genetic resources. Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding, Georg-August University Goettingen, Germany. Gaiotto FA, Grattapaglia D, and Vencovsky R. 2003. Genetic Structure, Mating System, and Long-Distance Gene Flow in Heart of Palm (Euterpe edulis Mart.). Journal of Heredity 94(5):399–406 Gao L, Schaal BA, Zhang C, Jia J, Y. Dong. 2002. Assessment of population genetic structure in commond wild rice Oryza rufipogon Griff, using microsatellite and allozyme markers. Theor Appl Genet 106:173-180 Goran JAKN, Laurent V, Risterucci AM, Lanaud C. 2000. The genetic structure of cocoa populations (Theobroma cacao L.) revealed by RFLP analysis. Euphytica 115:83-90. Gupta, M., N.S. Sheperd, I. Bertram, and H. Saedler. 1984. Repetitive sequences and their organization on genomic clones of Zea mays. EMBOJ. 3:133139. Hamrick JL, Linhart YB, Mitton JB. 1979. Relationship between life history characteristic and electrophoretically detectable genetic variation in plant. Annu Rev Ecol Syst 10:173-200. Hamrick, J.L. and J.D. Nason. 2000. Gene flow in forest trees. In Young, A., D. Boshier, and T. Boyle (Eds) Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia. Hedegart. 1973. Pollination of teak (Tectona grandis Linn. F.). Silvae Genetica 22(4): 124-128. Hedegart. 1976. Breeding system, variation and genetic improvement of teak (Tectona grandis L.f). p 109-123. In. Burley, J. and B. T. Styles (eds). Tropical Trees. Academic Press London. Hoelzel,A.R. 1998. Molecular genetic analysis of population. A Pratical Approach. Second Edition. Oxford University Press. New York. Jones FA, Chen J, Weng GJ, and Hubbell SP. 2005. A Genetic Evaluation of Seed Dispersal in the Neotropical Tree Jacaranda copaia (Bignoniaceae). The American Naturalist 166(5). Kaosa-ard A. 1986. Teak in Asean: A survey report. ASEAN Canada Forest Tree Seed Centre. Kaosa-ard A. 1995. Teak (Tectona grandis L.f) domestication and breeding. Forest Resources Department. Faculty of Agriculture Chiang Mai University. UNDP/FAO. RAS. Keiding. 1985. Teak, Tectona grandis L.f. Seed Leaflet No. 4. June 1985. Danida Forest Seed Centre, Humlebaek. P. 1-6. Kertadikara AWS dan Prat D. 1995. Genetic structure and mating system in teak (Tectona grandis) provenances. Silvae Genetica 44(2-3):104-110.
85 Kjaer ED, Suangtho V. 1995. Outcrossing rate in Tectona grandis L. Silvae Genetica 44:175-177. Liengsiri C, Boyle TJB, Yeh FC. 1998. Mating system in Pterocarpus macrocarpus Kurz in Thailand. J Hered 89:216-221 Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological genetics: design,analysis, and application. Blackwell Publishing. UK. Marshall TC. 2001. Cervus Ver. 2.0. University of Edinburgh, UK. McCouch SR et al. 1988. Molecular mapping of rice chromosomes. Theor. Appl Genet. 76:815-829 Nei M, Li WH. 1979. Mathematical modes for studying genetic variation in terms of restriction endonucleases. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 76: 5269–5273. Pemberton JM, Coltman DW, Smith JA, dan Pilkington JG. 1999. Molecular analysis of a promiscuous, fluctuating mating system. Biological Journal of the Linnean Society 68: 289–301 Qian W, Ge S, Hong DH. 2001. Genetic variation within and among populations of a wild rice Oryza granulata from China detected by RAPD and ISSR markers. Theor Appl Genet 102:440–449 Rachmawati, HR. 2000. Genetika dan benih Tectona grandis L. Untuk Indonesia. Indonesia Forest Seed Project. Ribeiro RA, Lovato MB. 2004. Mating system in a neotropical tree species, Senna multijuga (Fabaceae). Genetics and Molecular Biology, 27, 3, 418424 Ritland K, Jain. S. 1981. A model for the estimation of outcrossing rate and gene frequencies using independent loci. Heredity 47(1): 35-52. Ritland K. 1996. Multilocus mating system program ± MLTR . Available free of charge via fttp at 128.100.165.100. Ritland, K. 2002. Extensions of models for the estimation of mating systems using n independent loci. Heredity 88: 221-228. Rizain AB. 1999. Pengaruh tipe penyerbukan terhadap produksi benih dan peran perlakuan invigorasi terhadap peningkatan perkecambahan benih jati (Tectona grandis L. f.). Thesis Program Pascasarjana IPB. Bogor. Rohlf FJ. 1995. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System.Version 1.80. Exter Software, Setauket, New York. Samingan. 1991. Dendrologi. Gramedia. Jakarta Sastrosumarto dan Suhaendi. 1985. Suatu tinjauan mengenai program pemuliaan jati (Tectona grandis L.f) di Indonesia. Puslitbang Hutan, Bogor. Serret MD, Udapa SM, Weigand F. 1997. Assessment of genetic diversity of cultivated chickpea using microsatellite-derived RFLP markers: Implications for origin. Plant Breeding 116:573-578.
86 Shaw DV, Allard W. 1979. Analysis of Mating System Parameters and Population Structure in Douglas-fir Using Singlelocus and Multilocus Methods. Presented at the symposium on Isozymes of North American Forest Tree and Forest Insects. Berkeley. Calif. Siregar IZ, Hattemer HH. 2000. Gene flow and mating system in a seedling seed orchard and natural stand of Pinus merkusii Jungh. et de Vriese in Indonesia. Part 3: Genetic resources, reproduction, management Sneath PHA, Sokal RR. 1973. Numerical taxonomy. W.H. Freeman and Company. San Francisco. Soekotjo. 1977. Silvika. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Sumarna Y. 2001. Budidaya Jati. Penerbar Swadaya. Jakarta. Tautz D. 1993. Notes on the definition and nomenclature of tandemly repetitive DNA sequences. Di dalam: Pena SDJ, Chakroborty R, Epplen JT, Jeffreys AJ, editor. DNA fingerprinting: State of the science. Birkhauser Verlag Basel. Switzerland. Temnykh S et al. 2000. Mapping and genome organization of microsatellite sequences in rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet 100:697–712 Walbot V, Goldberg R. 1979. Plant genome organization and its relationship to classical plant genetics. Di dalam: Hall TC, Davies JW, editor. Nucleic Acids in Plant. CRC Press, Boca Raton, Florida. Weising K, Nybom H, Wolff K, Mever W. 1995. DNA Fingerprinting in plants and fungi. CRC Press. Boca Raton Ann Arbor London, Tokyo. Wepf. 1954. Tanaman jati di Jawa. Rimba Indonesia 3:400-429. William JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA, Tingey SV. 1990. DNA polymorfisms amplified by arbitrary primer are useful as genetic markers. Nucleic Acid Res. 18(22):6531-6535 Winaya A. 2000. Penggunaan penanda molecular mikrosatelit pada deteksi polimorfisme dan analisis filogenetik genomsapi. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Wright JM, Benzen P. 1994. Microsatellite: genetic markers for the future. Review in Fish Biology and Fisheries 4:384-388. Yamamoto T et al. 2001. SSRs isolated from apple can identify polymorphism and genetic diversity in pear. Theor Appl Genet 102:865–870 Yeh FC. 2000. Population genetics. Di dalam: Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia. Zucchi MI et al. 2003. Genetic structure and gene flow in Eugenia dysenterica DC in the Brazilian Cerrado utilizing SSR markers. Genetics and Molecular Biology, 26, 4, 449-457
LAMPIRAN
88
Lampiran 1. Peta posisi relatif tanaman jati di lokasi Dolok
Keterangan :
Angka pada pertemuan garis menunjukan posisi tanaman jati di lapangan, angka di tengah garis menunjukan jarak antar pohon (meter)
89
Lampiran 2. Peta posisi relatif tanaman jati di lokasi Warangga
Keterangan :
Angka pada pertemuan garis menunjukan posisi tanaman jati di lapangan, angka di tengah garis menunjukan jarak antar pohon (meter)
90
Lampiran 3. Peta posisi relatif tanaman jati di lokasi Wadila
Keterangan :
Angka pada pertemuan garis menunjukan posisi tanaman jati di lapangan, angka di tengah garis menunjukan jarak antar pohon (meter)
91
Lampiran 4. Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Sampolawa
No
Offspring ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
S49-03 S57-01a S06-07 S62-05 S25-12 S47-10 S06-06a S13-03 S13-02b S17-08b S58-02 S54-03 S12-08a S58-04a S13-02a S03-08 S01-02a S03-01a S01-14 S25-01 S06-06b S06-04a S03-01b S41-02b S54-05a S10-04a S25-11b S03-04 S34-04 S06-02a S54-05b S56-06 S10-07 S03-18a S01-15
Keterangan :
Known parent ID S49 S57 S06 S62 S25 S47 S06 S13 S13 S17 S58 S54 S12 S58 S13 S03 S01 S03 S01 S25 S06 S06 S03 S41 S54 S10 S25 S03 S34 S06 S54 S56 S10 S03 S01
Prob. nonexclusion 0.009 0.027 0.048 0.029 0.002 0.000 0.005 0.004 0.000 0.007 0.004 0.048 0.000 0.003 0.000 0.001 0.038 0.000 0.000 0.102 0.020 0.005 0.000 0.014 0.001 0.007 0.014 0.005 0.005 0.005 0.007 0.016 0.053 0.011 0.003
Candidate parent ID
LOD
Delta Conf.
S21 S58 S03 S62 S34 S21 S59a S34 S32 S81 S42 S43 S19 S07 S32 S32 S56 S72 S24 S49 S07 S35a S72 S06 S41 S36 S57 S27 S68 S95 S26 S92 S43 S70 S48
3.517 3.955 3.488 4.024 4.468 1.991 2.186 5.070 2.127 4.854 3.458 2.509 4.300 3.486 1.987 2.152 3.649 1.849 2.450 2.537 2.313 2.766 1.507 1.883 2.624 2.463 1.903 3.155 3.726 2.325 1.986 2.407 2.628 2.153 3.061
2.721 2.460 2.243 2.101 2.081 1.764 1.676 1.618 1.617 1.285 1.216 1.196 1.172 1.155 1.151 1.050 1.002 0.998 0.968 0.939 0.894 0.890 0.850 0.838 0.805 0.797 0.775 0.769 0.762 0.733 0.716 0.705 0.689 0.676 0.655
* * * * * * * * * + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
* = 95% confidence level, + = 80% confidence level
Distance 60.55 4.40 16.77
0.00 32.44 53.73 14.71 39.62 28.56 22.22 28.15 25.22 13.66
15.52 28.56 20.65 24.31 38.83 18.53 44.45 6.20 27.77 38.83 20.15 14.18 32.53 35.20 8.71 60.85 30.32 53.83 29.64 48.77 47.00 40.50
92
Lampiran 5. Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Dolok
No
Offspring ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
T42-06a T42-06b T59-05a T46-05 T24-04 T49-07 T47-07a T49-05b T47-06 T47-07b T59-03 T01-03 T12-06b T01-04a T01-04b T46-04 T46-03 T59-01 T02-01a T10-01a T01-05 T63-17 T08-02 T12-06a T01-01 T22-08 T47-20 T42-05 T47-08 T12-01 T49-01 T08-03 T49-02 T43-02 T59-05b T02-01b T24-05a T08-06 T47-09 T12-16
Known parent ID T42 T42 T59 T46 T24 T49 T47 T49 T47 T47 T59 T01 T12 T01 T01 T46 T46 T59 T02 T10 T01 T63 T08 T12 T01 T22 T47 T42 T47 T12 T49 T08 T49 T43 T59 T02 T24 T08 T47 T12
Prob. nonexclusion 0.001 0.001 0.000 0.031 0.001 0.012 0.014 0.025 0.000 0.011 0.002 0.028 0.003 0.000 0.000 0.003 0.033 0.006 0.031 0.071 0.018 0.002 0.335 0.011 0.027 0.000 0.007 0.011 0.015 0.023 0.253 0.554 0.554 0.022 0.001 0.009 0.001 0.005 0.008 0.004
Candidate parent ID
LOD
Delta Conf.
T78 T78 T15 T27 T29b T27 T18 T26 T87b T02 T14b T98 T14a T54a T21 T02 T48 T39a T96b T16a T58a T19 T75 T14a T23 T79 T89 T84a T47 T16a T48 T01 T01 T64 T15 T21 T54b T63 T34a T15
5.778 5.778 3.619 2.641 4.940 2.620 2.219 3.802 1.459 2.327 2.788 3.998 2.863 2.102 2.722 2.546 3.181 3.108 2.117 2.822 2.797 1.627 2.084 2.863 2.906 2.160 2.766 2.449 2.552 3.784 1.960 1.653 1.638 2.107 3.619 2.300 2.224 2.776 2.405 2.645
3.565 2.925 2.738 2.641 2.632 1.806 1.744 1.674 1.459 1.394 1.380 1.330 1.289 1.044 1.036 0.987 0.940 0.800 0.761 0.725 0.636 0.599 0.597 0.596 0.578 0.565 0.561 0.469 0.388 0.374 0.357 0.290 0.287 0.258 0.242 0.183 0.180 0.164 0.159 0.158
* * * * * * * * * * * * * + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Distance 65.58 65.58 44.48 48.79 16.45 36.42 20.47 35.01 18.97 27.38 36.51 45.60 11.30 28.10 15.18 24.09 15.28 56.02 47.14 29.86 35.17 50.45 48.52 11.30 21.44 38.72 21.13 57.97 0.00 21.70 11.66 13.60 27.32 47.07 44.48 15.20 13.10 34.11 51.46 19.21
93
Lampiran 5. Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Dolok (Lanjutan)
No
Offspring ID
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
T22-05 T46-06 T10-01b T24-07 T12-08 T26-07 T12-15 T49-04 T36-01 T24-05b
Keterangan :
Known parent ID T22 T46 T10 T24 T12 T26 T12 T49 T36 T24
Prob. nonexclusion 0.030 0.000 0.018 0.003 0.028 0.001 0.002 0.143 0.234 0.001
Candidate parent ID
LOD
Delta Conf.
T36 T47 T16b T79 T30a T05 T58a T98 T41 T54b
2.360 2.252 2.914 3.548 1.751 2.568 1.863 1.613 1.689 2.224
0.151 0.139 0.134 0.120 0.118 0.111 0.096 0.087 0.040 0.035
+ + + + + + + + + +
* = 95% confidence level, + = 80% confidence level
Distance 43.11 8.10 29.86 38.72 15.46 33.99 33.68 54.05 26.01 13.10
94
Lampiran 6. Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Warangga
No
Offspring ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
W45-16 W66-17 W18-01a W46-04 W18-06a W66-21b W66-21a W46-12 W46-06 W66-08a W66-08c W66-04b W09-01 W08-08a W21-16b W66-12b W09-26a W26-17b W17-06 W47-12b W08-08b W26-02a W21-21 W66-08b W26-18 W66-12a W21-13 W21-11a W09-17 W21-06 W66-23 W30-16 W37-13 W66-04a W31-01 W66-05a W09-16b W31-04 W21-08 W31-12
Known parent ID W45 W66 W18 W46 W18 W66 W66 W46 W46 W66 W66 W66 W09 W08 W21 W66 W09 W26 W17 W47 W08 W26 W21 W66 W26 W66 W21 W21 W09 W21 W66 W30 W37 W66 W31 W66 W09 W31 W21 W31
Prob. nonexclusion 0.016 0.009 0.000 0.059 0.006 0.009 0.028 0.006 0.009 0.009 0.009 0.005 0.031 0.003 0.000 0.001 0.031 0.004 0.010 0.128 0.004 0.009 0.010 0.003 0.015 0.017 0.000 0.000 0.053 0.001 0.058 0.005 0.003 0.038 0.003 0.006 0.025 0.013 0.003 0.003
Candidate parent ID
LOD
Delta Conf.
W49 W87 W71a W30 W09 W97 W97 W78 W18 W56a W56a W04 W03 W87 W80 W26 W51 W79 W41 W51 W34 W28 W19 W71a W45 W26 W82 W89c W33 W89c W31 W78 W89b W51 W78 W04 W86 W45 W97 W77a
4.102 4.456 4.661 3.236 3.799 2.926 2.926 3.558 3.561 3.112 3.112 4.349 2.819 3.673 3.419 2.591 3.080 3.429 3.165 3.436 3.111 2.420 3.688 2.822 2.408 2.900 2.821 3.815 3.498 2.968 3.553 3.157 3.253 3.699 2.640 2.770 2.280 2.649 2.603 2.766
2.729 2.261 2.260 2.007 1.707 1.628 1.595 1.557 1.545 1.397 1.397 1.361 1.357 1.355 1.317 1.295 1.288 1.272 1.255 1.246 1.244 1.191 1.151 1.128 1.114 1.087 1.018 0.955 0.947 0.935 0.932 0.916 0.811 0.808 0.798 0.754 0.751 0.737 0.732 0.720
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Distance 35.0 93.0 30.3 57.1 36.1 7.7 7.7 17.7 33.2 61.2 61.2 27.2 19.6 80.0 27.6 36.1 59.0 58.4 10.4 18.1 5.3 10.4 13.5 41.3 58.8 36.1 24.5 38.4 10.4 38.4 18.4 74.8 66.3 76.1 72.3 27.2 76.2 64.0 64.1 70.3
95
Lampiran 6. Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Warangga (Lanjutan)
No
Offspring ID
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
W21-24b W30-17a W37-04 W47-18 W30-19 W21-10b W21-16a W47-22b W26-08 W21-10a W66-09 W08-01 W26-24 W66-22 W09-08b W09-06 W09-05 W08-05 W21-22 W30-11 W09-16a W09-26b W18-22a W45-08b W66-25 W47-06 W46-10 W09-13 W47-12a W46-08a W66-05b W66-06a W46-09 W66-20b W66-06b W47-22a W46-13 W08-10 W47-17 W18-10
Known parent ID W21 W30 W37 W47 W30 W21 W21 W47 W26 W21 W66 W08 W26 W66 W09 W09 W09 W08 W21 W30 W09 W09 W18 W45 W66 W47 W46 W09 W47 W46 W66 W66 W46 W66 W66 W47 W46 W08 W47 W18
Prob. nonexclusion 0.006 0.004 0.007 0.031 0.014 0.007 0.000 0.095 0.010 0.000 0.014 0.011 0.003 0.016 0.039 0.009 0.022 0.051 0.007 0.009 0.158 0.023 0.000 0.006 0.030 0.138 0.002 0.001 0.010 0.001 0.000 0.003 0.001 0.241 0.002 0.016 0.022 0.019 0.018 0.105
Candidate parent ID
LOD
Delta Conf.
W77a W86 W47 W09 W55 W71b W13a W56a W41 W54b W75a W89a W57a W26 W09 W32 W45 W22 W32 W19 W77a W63a W83 W75a W75a W89a W55 W94a W78 W91b W04 W97 W17 W36b W97 W27 W59 W05 W28 W13a
5.015 1.892 3.574 3.531 3.478 3.344 3.435 2.556 3.297 2.778 3.441 2.632 2.868 3.895 3.556 3.565 2.449 1.571 3.325 4.364 2.943 2.126 2.393 2.068 2.914 1.976 2.541 2.941 1.101 1.823 1.781 2.318 3.252 2.335 2.318 2.676 2.002 2.881 2.829 2.024
0.710 0.692 0.686 0.672 0.662 0.637 0.632 0.620 0.617 0.599 0.562 0.554 0.530 0.523 0.511 0.507 0.503 0.500 0.498 0.494 0.493 0.481 0.469 0.460 0.435 0.432 0.410 0.367 0.361 0.326 0.321 0.315 0.303 0.303 0.298 0.292 0.292 0.285 0.280 0.249
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Distance 20.5 89.7 53.5 41.4 56.7 50.9 21.7 14.1 45.4 18.1 70.4 52.7 23.0 36.1 0.0 7.3 50.0 36.8 41.8 58.3 59.6 32.9 43.8 7.8 70.4 31.1 19.4 25.4 23.8 49.4 27.2 7.7 26.3 13.8 7.7 38.9 29.2 12.7 44.3 28.5
96
Lampiran 6. Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Warangga (Lanjutan)
No
Offspring ID
81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
W21-24a W09-08a W18-04b W47-23 W47-14 W47-21 W26-02b W18-06b W26-05 W46-15 W26-07 W37-02 W09-12 W30-17b W08-04 W31-11 W37-01 W18-12 W66-20a W18-22b W21-11b W46-08b W45-20 W08-06 W26-09 W21-15 W46-16 W66-30 W37-05 W21-02 W46-03 W45-01 W45-08a W18-01b W21-01
Keterangan :
Known parent ID W21 W09 W18 W47 W47 W47 W26 W18 W26 W46 W26 W37 W09 W30 W08 W31 W37 W18 W66 W18 W21 W46 W45 W08 W26 W21 W46 W66 W37 W21 W46 W45 W45 W18 W21
Prob. nonexclusion 0.001 0.028 0.015 0.042 0.019 0.001 0.004 0.018 0.035 0.001 0.011 0.002 0.030 0.002 0.017 0.003 0.178 0.000 0.018 0.000 0.000 0.004 0.003 0.050 0.000 0.010 0.014 0.049 0.026 0.998 0.998 0.034 0.007 0.000 0.007
Candidate parent ID
LOD
Delta Conf.
W71b W09 W66 W94a W75b W27 W55 W66 W79 W13b W28 W25 W36a W73a W55 W31 W59 W40 W78 W47 W98b W08 W25 W20 W79 W36b W38 W46 W04 W26 W26 W71a W71a W71a W71a
4.297 3.444 0.785 3.594 2.398 2.267 1.229 2.893 1.972 2.590 2.334 1.858 2.003 1.896 1.849 1.753 1.814 2.490 2.826 1.459 1.636 1.384 2.328 2.687 2.484 3.063 2.679 2.299 2.859 0.061 0.061 2.466 3.742 3.697 2.030
0.245 0.236 0.227 0.225 0.216 0.199 0.197 0.190 0.187 0.185 0.171 0.160 0.132 0.128 0.123 0.110 0.100 0.095 0.083 0.074 0.069 0.048 0.044 0.038 0.030 0.028 0.024 0.021 0.005 0.005 0.005 0.002 0.002 0.002 0.002
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
* = 95% confidence level, + = 80% confidence level
Distance 50.9 0.0 49.6 61.9 39.3 38.9 37.5 49.6 58.4 26.2 10.4 47.8 18.5 76.5 57.1 0.0 59.3 24.1 79.6 29.1 63.8 49.8 60.3 47.5 58.4 52.2 55.0 62.9 15.8 37.3 40.3 35.6 35.6 30.3 50.9
97
Lampiran 7. Analisis tetua jantan terhadap tanaman juvenil (J) dari lapang untuk tanaman jati asal populasi Dolok
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Prob. Candidate Offspring Known parent nonparent ID ID exclusion ID F19b T23 0.001 T79 F01b T52 0.003 T98 F24 T27 0.091 T86 F09a T22 0.015 T28a F25 T87b 0.080 T81 F19a T97 0.011 T95 F23 T15 0.057 T35b F50 T93 0.080 T26 F29 T16a 0.029 T86 F15a T78 0.009 T15 F15b T78 0.001 T15 F34a T14b 0.127 T05 F32 T76 0.067 T76 F12 T26 0.142 T09a F01a T22 0.005 T98 F33 T83 0.115 T35a F09b T28a 0.073 T95 F14 T52 0.043 T33 F34b T42 0.022 T05
Keterangan :
Distance LOD
Delta Conf.
2.129 2.584 2.429 3.427 1.810 2.526 2.576 1.826 2.425 1.859 1.859 2.255 1.609 2.350 0.965 1.819 2.353 1.878 1.788
1.515 1.184 0.653 0.559 0.542 0.458 0.410 0.409 0.361 0.333 0.333 0.332 0.314 0.306 0.268 0.163 0.163 0.125 0.011
* * + + + + + + + + + + + + + + + + +
J-P1
J-P2
P1-P2
17.15 24.34 15.36 46.90 7.17 69.50 44.80 56.17 7.30 41.24 41.24 15.77 35.09 71.46 15.55 68.37 55.53 56.79 24.47
17.15 46.67 25.00 53.73 69.53 70.06 50.18 21.56 46.31 10.74 10.74 35.23 35.09 54.70 46.67 18.20 16.32 11.71 35.23
33.18 66.47 37.12 23.19 64.85 10.70 18.27 68.70 48.54 50.71 50.71 23.71 0.00 16.88 60.86 68.06 65.79 50.45 23.61
* = 95% confidence level, + = 80% confidence level
98
Lampiran 8. Prosedur isolasi DNA PROSEDUR ISOLASI DNA JATI MENGGUNAKAN BUFFER EKSTRAKSI CTAB DAN PCR Dirvamena Boer
I. PROSEDUR ISOLASI DNA JATI A. Prosedur Ekstraksi DNA Buffer ekstrasi: 100 mM Tris.HCl pH 8.0 (10 ml dari 1 M Tris.HCl, pH 8.0) 40 mM EDTA (8 ml dari 0.5 M EDTA.NaOH, pH 8.0) 1.4 M NaCl 0.5% ß-mecraptoethanol 2% CTAB (2g/100 ml) 1% PVPP atau arang aktif pH 7.9 – 8.1 Prosedur Ekstraksi 1. Penghancuran jaringan tanaman secara fisik dan kimiawi • Daun jati digerus dalam nitrogen cair pada mortar (optional daun jati digerus dalam larutan buffer CTAB) • Ditambahkan 1% PVPP untuk menghambat aktifitas polyphenoloxidase (Rogers dan Bendich, 1988), kemudian digerus kembali sampai halus (optional arang aktif dapat juga digunakan untuk menjerap senyawa fenolik) • Serbuk halus yang dihasilkan dimasukan ke dalam tabung eppendorf • Ditambahkan 500 µl buffer ekstraksi (2% CTAB buffer), yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 65oC dan diberi 0.5% ß-mecraptoethanol yang ditambahkan saat melakukan ekstrasi kemudian digoyang-goyang supaya tercampur sempurna selama beberapa detik • Optional: Tambahkan 2 µl (100 mg/ml) RNAse untuk menghilangkan molekul RNA (atau ditambahkan saat pemurnian dengan fenol) • Inkubasi pada suhu 65oC selama 20 menit dan dibulak-balik perlahan secara regular supaya buffer tercampur dengan sempurna dengan sampel 2. Menghilangkan debris serta pemurnian dari komponen selain DNA • Samplel DNA diletakan segera pada es selama 2 menit • Ditambahkan 350 µl chloroform:isoamylalcohol (24:1 pH dibuat 8.0) kemudian dikocok atau diletakkan pada shaker selama 10 menit • Campuran kemudian disentrifusi pada 14000 g selama 8 menit pada suhu ruang • Cairan bagian atas dipindahkan (± 450 µl) dengan cara memipet ke dalam tabung yang baru dan ditambah 250 µl chloroform, kemudian dicampur dengan cara mengocok atau diletakkan pada shaker selama 5 menit • Sentrifusi dilakukan kembali pada 10000 g selama 5 menit
99 3. Persipitasi DNA (pemekatan konsentrasi) dengan ethanol • Cairan bagian atas dipindahkan (± 420 µl) dengan cara memipet ke dalam tabung lain kemudian DNA diendapkan dengan menambahkan 2 kali dari total volume ethanol 100% dingin dibolak balik secara perlahan sampai terlihat benang-benang DNA yang halus berwarna putih • Inkubasi pada suhu dingin (dalam freezer) selama 10 menit • Sentrifusi pada 5000 g selama 4 menit • Supernatan dibuang dan tabung diseka hingga kering dengan kertas tissue • Pellet dilarutkan dalam 200 µl TE (10:2) lalu diaduk dengan ujung pipet tip, pencampuran dilakukan secara hati-hati dengan ujung pipet kemudian ditambahkan 1/10 Sodium Asetat • Inkubasi 15 menit pada suhu kamar • Kemudian DNA dicuci dengan 500 µl 70% ethanol dengan cara mengocok selama setengah jam sampai beberapa jam dan disentrifusi pada 5000 g selama 4 menit • Kemudian bagian cairan dibuang dan tabung dikeringkan menggunakan kertas tissue • Pellet yang diperoleh segera dikeringkan secara sempurna diletakan pada blok pemanas 40oC beberapa menit • DNA dilarutkan dalam 104 µl TE (10:1), lalu diletakkan pada shaker untuk beberapa jam (semalam) kemudian sentrifugasi pada 12000 g selama 4 menit • Cairan sebanyak 100 µl yang mengandung DNA dipindahkan ke dalam tabung mikro baru
Pemurnian DNA dengan Phenol 1. Setelah pelet DNA diperoleh, DNA dilarutkan dalam 300 µl TE 2. Ditambahkan RNAse sebanyak 3 µl (1 mg/ml, inkubasi pada suhu 37oC selama 60 menit) 3. Ditambahkan fenol kloroform (dari kulkas) 1 volume, dikocok kemudian disentrifuse selama 15 menit pada 11000 rpm. 4. Bagian atas (atas bening, bawah putih) diambil dan dipindahkan ke tube lain. 5. Ditambahkan CIA 1 volume lalu dikocok perlahan, kemudian disentrifuse selama 5 menit pada 11000 rpm 6. Cairan bagian atas diambil dan dipindahkan ke tube lain 7. Diambahkan 10 µl Na-asetat 3 M pH 5.2 dan 600 µl isopropanol dingin, dikocok dan diinkubasi di lemari es selama 30 menit, kemudian disentrifuse 8. Cairan dibuang, pellet DNA yang terbentuk lalu ditambahkan ethanol 70-80% sebanyak 100-200 µl 9. Disentrifuse selama 2-5 menit, cairan dibuang, DNA terbentuk. 10. Tube ditaruh di atas tissue secara terbalik (semalam atau 1 jam di vacum) 11. Ditambahkan air bebas ion 100 ul atau buffer TE 12. Dibiarkan 1 malam di suhu ruang, lalu disimpan di freezer.
100
B. Penetapan Kualitas dan Kuantitas DNA Uji Kuantitas 1. Sebanyak 50 µl larutan stok DNA diencerkan menjadi 4 ml dengan menambahkan aquades 2. Sebagai blangko digunakan aquades 3. Absorban diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm 4. Pembacaan pada A=1 berarti konsentrasi DNA adalah 50 µg/ml dan dianggap sebagai faktor konversi 5. Kemurnian DNA ditentukan dari nilai perbandingan A260/A280. Nilai ratio kemurnian adalah 1.8 – 2.0 6. Konsentrasi DNA dihitung dengan rumus: DNA( µ g / ml ) = faktor konversi * faktor pengenceran * A260 Uji Kualitas (Elektroforesis pada Gel Agarose) 1. Setelah gel agarose ditempatkan dalam chamber elektroforesis, kemudian diisi dengan buffer TAE 1 X hingga gel terendam setinggi 1 – 2 mm 2. Sampel DNA (5 µl DNA, 2 µl loading dye) dimasukan ke dalam sumur pada gel 3. Alat elektroforesis kemudian disambungkan ke power supply yang telah diset 60 volt selama 1 jam atau 100 vol selama 30 menit 4. Gel yang telah dielektroforesis diletakan di atas UV transluminator, DNA yang mengikat EtBr akan berpendar di bawah sinarUV, kemudian difoto
II. POLIMERASE CHAIN REACTION A. Profil untuk PCR 1. Sample DNA dimasukan sebagai cetakan 2 ul (10-100 ng) langsung ke dasar tabung PCR 2. Dibuat campuran (premix) dalam tabung 1.5 ml sebagai berikut:
Reangen ddH2O Buffer MgCl2 dNTP mix Primer F Primer R Taq Total
Premix PCR untuk satu reaksi Produk NBE 5.9 µl 2.5 µl 0.5 µl 7 µl 7 µl 0.1 µl 23 µl
Produk Promega 3.4 µl 2.5 µl 2.5 µl 0.5 µl 7 µl 7 µl 0.1 µl 23 µl
3. Kemudian divortex (vortex mixer briefly) dan spin down briefly. Pemindahan tabung dari rak ke mesin vortex mixer dan sentrifuse harus dilakukan berurutan sesuai nomor sample
101 4. Tabung PCR disusun dalam blok pemanas mesin thermal cycler. 5. Mesin thermal cycler kemudian dijalankan dengan program yang disesuaikan dengan primer, profil PCR yang digunakan sebagai berikut:
Proses Pre-PCR Denaturasi Anneling Elongation Post-PCR Penyimpanan
Profil PCR yang digunakan Suhu Waktu 94 oC 5 menit 94 oC 40 detik o 52 C 1 menit 72 oC 2 menit 72 oC 7 menit 4 oC sampai mesin dimatikan
35 siklus
III. PROSEDUR PEMBUATAN LARUTAN A. Larutan CTAB 5% (larutan stok, 100 ml) Komposisi Bahan: CTAB : 5.0 g NaCl : 2.05 g Aquades steril : 100 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam beaker glass 250 ml menggunakan magnetic strirrer pada hot plate. Larutan stok yang terbentuk kemudian disimpan dalam botol bening bertutup (100 ml) dan disimpan pada suhu ruang.
B. Buffer Tris-HCl 1 M pH 8.0 (larutan stok, 100 ml) Komposisi Bahan: Tris base : 12.11 g HCl p.a : ± 4.2 ml Aquades steril : 80 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam beaker glass 250 ml menggunakan magnetic strirrer pada hot plate. Atur pH larutan hingga 8.0 dengan menambahkan HCl pekat, kemudian ditera dengan aquades steril hingga 100 ml. Larutan dimasukan ke dalam botol bening bertutup (100 ml) kemudian disterilisasi dengan autoclave. Simpan larutan stok pada suhu ruang.
102
C. Larutan EDTA 0.5 M pH 8.0 (larutan stok, 100 ml) Komposisi Bahan: EDTA : 18.61 g NaOH : 2.0 g Aquqdes steril : 80 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam beaker glass 250 ml menggunakan magnetic strirrer pada hot plate. Atur pH larutan hingga 8.0 dengan menambahkan NaOH 2.5 M, kemudian ditera dengan aquades steril hingga 100 ml. Larutan dimasukan ke dalam botol bening bertutup (100 ml) kemudian disterilisasi dengan autoclave. Simpan larutan stok pada suhu ruang.
D. NACl 5 M (larutan stok, 100 ml) Komposisi Bahan: NaCl : 29.22 g Aquades steril : 65 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam beaker glass 250 ml menggunakan magnetic strirrer pada hot plate. Volume kemudian ditera dengan aquades steril hingga 100 ml. Larutan dimasukan ke dalam botol bening bertutup (100 ml) kemudian disterilisasi dengan autoclave. Simpan larutan stok pada suhu ruang.
E. Buffer Tris-HCl 1 M pH 7.4 (larutan stok, 50 ml) Komposisi Bahan: Tris base : 6.055 g HCl p.a : ± 3.5 ml Aquades steril : 35 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam beaker glass 100 ml menggunakan magnetic strirrer pada hot plate. Atur pH larutan hingga 7.4 dengan menambahkan HCl pekat, kemudian ditera dengan aquades steril hingga 50 ml. Larutan dimasukan ke dalam botol bening bertutup (100 ml) kemudian disterilisasi dengan autoclave. Simpan larutan stok pada suhu ruang.
103
F. Na-Asetat 3 M pH 5.2 (larutan stok, 100 ml) Komposisi Bahan: Na-Asetat.3H2O : 40.81 g Asam asetat glacial : ± ?? ml Aquades steril : 55 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam beaker glass 250 ml menggunakan magnetic strirrer pada hot plate. Atur pH larutan hingga 5.2 dengan menambahkan Asam asetat glacial, kemudian ditera dengan aquades steril hingga 100 ml. Larutan dimasukan ke dalam botol bening bertutup (100 ml) kemudian disterilisasi dengan autoclave. Simpan larutan stok pada suhu ruang.
G. Buffer TE (Tris-HCl : EDTA) 50X (larutan stok, 50 ml) Komposisi Bahan: Tris-HCl 1 M pH 8.0 : 25 ml EDTA 0.5 M pH 8.0 : 5 ml Aquades steril : 20 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam beaker glass 100 ml menggunakan magnetic strirrer pada hot plate. Larutan disaring terlebih dahulu menggunakan kertas saring kuantitatif sebelum dimasukan ke dalam botol bening bertutup (100 ml). Simpan larutan stok pada suhu ruang.
H. Buffer TAE 50X (larutan stok, 100 ml) Komposisi Bahan: Tris base : 24.2 g Asam asetat glacial : 5.7 ml EDTA 0.5 M pH 8.0 : 10 ml Aquades steril : 50 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam beaker glass 250 ml menggunakan magnetic strirrer pada hot plate. Volume kemudian ditera dengan aquades steril hingga 100 ml. Larutan dimasukan ke dalam botol bening bertutup (100 ml). Simpan larutan stok pada suhu ruang.
104
I. Buffer Ekstraksi, CTAB 2% (larutan kerja, 100 ml) Komposisi Bahan: CTAB 5% : 40 ml NaCl 5 M : 25.2 ml EDTA 0.5 M pH 8.0 : 4 ml Tris-HCl 1 M pH 8.0 : 10 ml Aquades steril : 20.8 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam beaker glass 250 ml menggunakan magnetic strirrer pada hot plate. Larutan dimasukan ke dalam botol bening bertutup (100 ml). Simpan larutan kerja pada suhu ruang.
J. ß-mecraptoethanol (larutan kerja, 50 ml) Komposisi Bahan: ß-mecraptoethanol : 50 ml Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan dalam botol bening bertutup (100 ml), kemudian larutan kerja tersebut disimpan pada suhu kamar.
K. KIA 24:1 (Kloroform : Isoamil alkohol) (larutan kerja, 100 ml) Komposisi Bahan: Kloroform : 96 ml Isoamil alkohol : 4 ml Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan dalam botol bening bertutup (100 ml). Pencampuran dilakukan dengan menggoncang botol, kemudian larutan kerja tersebut disimpan pada suhu ruang.
L. Isopropanol dingin (larutan kerja, 100 ml) Komposisi Bahan: Isopropanol : 100 ml Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan dalam botol bening bertutup (100 ml), kemudian larutan kerja tersebut disimpan dalam lemari pendingin, 4oC.
105
M. Ethanol absolut dingin (larutan kerja, 100 ml) Komposisi Bahan: Ethanol p.a. (100%) : 100 ml Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan dalam botol bening bertutup (100 ml), kemudian larutan kerja tersebut disimpan dalam lemari pendingin, 4oC.
N. Ethanol 70% (larutan kerja, 100 ml) Komposisi Bahan: Ethanol p.a. (100%) : 70 ml Aquades steril : 30 ml Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan dalam botol bening bertutup (100 ml). Pencampuran dilakukan dengan menggoncang botol, kemudian larutan kerja tersebut disimpan dalam lemari pendingin, 4oC.
O. RNAse-A (cat. no. R-5125) (10 mg/ml) Komposisi Bahan: RNAse-A : 10 mg Na-Asetat 3 M pH 5.2 : 3.3 µl Aquades steril : 996.7 µl Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan ke dalam tabung mikro 2 ml, pencampuran dilakukan dengan spin manual. Suspensi diinkubasi dengan waterbath pada suhu 100oC selama 15 menit, kemudian dibiarkan pada suhu ruang, setelah itu ditambah 100 µl (0.1 volume) Tris-HCl 1 M pH 7.4. Simpan dalam freezer, -20oC.
P. Buffer TE (Tris-HCl : EDTA) 1X (larutan kerja, 100 ml) Komposisi Bahan: Buffer TE 50X : 2 ml Aquades steril : 98 ml Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan dalam botol bening bertutup (100 ml). Pencampuran dilakukan dengan menggoncang botol, kemudian larutan kerja tersebut disimpan pada suhu ruang.
106
Q. Loading Buffer (larutan kerja, 50 ml) Komposisi Bahan: Bromophenol blue : 1.25 gram Sukrosa : 20 gram Xylol : 50 µl Cara membuat: Larutkan bromophenol blue dalam 10 ml aquades, demikian juga dengan sukrosa. Kemudian campurkan kedua larutan tersebut ke dalam botol bening dan tambahkan xylol kemudian ditera menjadi 50 ml, pencampuran dilakukan dengan spin manual. Simpan dalam suhu kamar dalam bentuk eliquat.
R. Buffer TAE 1X (larutan kerja, 100 ml) Komposisi Bahan: Buffer TAE 50X : 20 ml Aquades steril : 980 ml Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan dalam botol bening bertutup (1000 ml). Pencampuran dilakukan dengan menggoncang botol, kemudian larutan kerja tersebut disimpan pada suhu ruang.
S. Ethidium bromide 0.05% (larutan kerja, 100 ml) Komposisi Bahan: (Hati-hati karsinogenik) Ethidium bromida : 5 g (botol kemasan 5 g) Cara membuat: Buat larutan stock dengan cara menambahkan 10 ml aquades ke dalam botol bahan ethidium bromide (konsentrasi menjadi 50%) kocok sampai tercampur. Pipet 100 µl stock 50% Ethidium tersebut dan masukan ke dalam kotak yang berisi aquades sebanyak 100 ml (larutan kerja 0.05%). Bahan tersebut disimpan ditempat yang terlindung dari cahaya (kondisi gelap), dan diletakan pada suhu ruang ditempat yang aman (berbahaya).
107
T. Agarose 0.8% (elektroforesis) Komposisi Bahan: Agarose : 0.32 g TAE 1X : 40 ml Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan ke dalam beaker glass 100 ml, lalu dipanaskan menggunakan hot plate, sekali-kali dikocok dengan cara menggoyangkan beaker glass sampai semua agar larut. Pada saat mendidih, hentikan pemanasan kemudian dinginkan pada suhu kamar. Kira-kira suhu sudah turun menjadi + 65oC (beaker glass sudah tidak terlalu panas untuk dipegang), tuangkan gel ke dalam pencetak gel, kemudian pasang sisir 0.5-1 mm dari dasar cetakan gel lalu dibiarkan memadat (kurang lebih 1 jam). Gel siap digunakan untuk elektroforesis atau dapat disimpan dalam lemari pendingin, 4oC.
U. Larutan Fenol Komposisi Bahan: Kristal Fenol : 250 g β-hydroxyquinolin : 1% Tris-HCl 1 M pH 8.0 : 1 volume Cara membuat: Panaskan kristal fenol pada hotplate dengan suhu 68oC sampai berubah menjadi fase larutan (+ 250 gram kristal fenol ≈ 200 ml larutan), kemudian tambahkan 0.1% hydroxyquinolin. Untuk mengatur pH fenol tambahkan buffer Tris-HCl dengan voleme sama lalu kocok dengan stirer selama 15 menit dengan kecepatan tinggi biarkan sampai terpisah, lalu buang fase Tris-HCl, lakukan penambahan buffer Tris HCl dan stirer sampai tiga kali lalu ukur pH fenol (diperkirakan sekitar 7.8). Ke dalam larutan fenol tersebut tambahkan 0.2% β-mecraptoethanol, untuk menghindari terjadinya oksidasi tambahkan 10% volume 0.1 M Tris-HCl (ada dua fase yaitu bagian bawah fenol yang berwarna kuning dan fase atas Tris HCl). Simpan dibotol gelap pada suhu 4oC.
108
Lampiran 9. Prosedur elektroforesis polyacrylamide
PROSEDUR ELECTROFORESIS DENGAN POLYACRYLAMIDE Oleh: Dirvamena Boer
I. ELEKTROFORESIS GEL A. Prosedur merangkaian glass plate sequencing Reagen: Bind Silane SigmaCode® 95% ethanol absolute 0.5% Asam asetic glacial Membersihkan glass plate sequencing 1. Long glass plate diletakan ke dalam bak pencuci lalu cuci dengan air, detergen digunakan untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel. 2. Setelah bersih kemudian plate dibilas dengan nanopure water lalu keringkan plate menggunakan tissue KimWipe®. 3. Kaca dibersihkan dengan menyemprot 95% ethanol absolute ke permukaan kaca dan dikeringkan dengan tissue KimWipe®. 4. Dimensi plate 40 cm x 30 cm x 0.04 cm (panjang x lebar x tebal = 48 ml) Persiapan glass plate sequencing 1. Long glass plate (gel will stick to the long plate) • Campuran larutan bind silane (1 ml 95% ethanol absolute; 3 µl bind silane; 5 µl 0.5% asam asetatic glasial) disebarkan ke atas permukaan long glass plate kemudian diseka menggunakan beberapa helai kertas tissue KimWipe®. • Dikeringkan dengan membiarkan 5-10 menit. Untuk menghilangkan sisasisa bind silate yang tidak terpakai maka disemprotkan 95% ethanol absolut (kira-kira 2 ml) kepermukaan kaca lalu diseka dengan tissue KimWipe®. Bila perlu lakukan beberapa kali agar bind silate yang tidak terpakai hilang. 2. Short glass plate (gel will not stick to the short plate) • Larutan 1 ml sigmacode® disebarkan ke atas permukaan short glass plate kemudian diseka menggunakan beberapa helai kertas tissue KimWipe®. • Dikeringkan dengan membiarkan 5-10 menit. Untuk menghilangkan sisasisa sigmacode® yang tidak terpakai maka disemprotkan 95% ethanol absolut (kira-kira 2 ml) kepermukaan kaca lalu diseka dengan tissue KimWipe®. Bila perlu dilakukan beberapa kali agar sigmacode® yang tidak terpakai hilang.
109
Merangkai glass plate sequencing 1. Short glass plate (atau sering disebut Intergral Plate Chamber, IPC) ditempatkan pada meja dengan posisi yang memiliki larutan sigmacode® di atas 2. Spacers dipasang disepanjang tepi IPC glass plate 3. Long glass plate ditempatkan sedemikian rupa, dimana posisi permukaan yang memiliki band silate berhadapan dengan permukaan IPC yang memiliki Sigmacode® 4. Setelah posisi kedua plate tersebut terpasang dengan baik (tidak saling menempel), kemudian pasang alat pengikat (claps) pada masing-masing tepi. Bila perlu bagian bahwa rangkaian plat tersebut diplester agar tidak bocor saat penuangan gel.
B. Prosedur pembuatan gel Reagen: 6% larutan gel acrylamide TEMED 10% APS (Ammonium persulfate) Persiapan gel 1. Ke dalam 70 ml 6% larutan gel acrylamide ditambahkan 50 µl TEMED dan 600 µl 10% APS dan campurkan segera. 2. Secara perlahan gel dimasukan ke dalam suntikan (syringe), hilangkan gelembung udara pada syringe kemudian dimasukan gel ke dalam celah dari rangkaian glass plate sequencing secara cepat dan tepat. 3. Comb dimasukan dengan posisi terbalik di ujung plate lalu dijepit dengan alat penjepit (jangan mengeluarkan dan memasukan comb secara berulang-ulang karena akan menimbulkan gelembung udara) 4. Gel dibiarkan mengalami polimerasi selama 30-60 menit, lalu keluarkan comb
C. Prosedur running Elekroforesis gel 1. IPC ditempatkan ke dalam wadah electroforesis kemudian wadah diisi dengan menambahkan 1X TBE di bawah dan di atas IPC. 2. Pre-run gel dilakukan pada 100-120 W untuk mendapatkan temperatur permukaan gel sekitar 45-50oC (biasanya sekitar 1 jam; tahapan pre-run ini sangat penting untuk menghindari terjadinya smiling band). Suhu dapat juga diatur dengan mensetting power suplai 2200 V, 60 mA, dan (2200*60)/1000=132W selama 1-2 jam 3. Persiapkan sampel dengan menambahkan 10-12 µl 3X STR loading buffer pada masing-masing hole yang mengandung 20 µl PCR produk atau dengan perbandingan 3:1 atau 2 (3 µl PCR : 1 atau 2 µl loading dye). Kemudian denaturasi sampel tersebut dengan mesin PCR pada suhu 95oC selama 5 menit kemudian masukan ke dalam es. 4. Setelah pre-run sisa-sisa gel yang menempel pada dinding tempat comb dihilangkan secara hati-hati kemudian comb ditempatkan kira-kira 1-2 mm.
110 5. Load 4-6 µl sampel ke dalam sisir atau 2.5 µl (loding sampel sebaiknya tidak lebih dari 20 menit untuk menjaga suhu gel). Loding berkali-kali dapat dilakukan dengan interval 20-30 menit 6. Run gel menggunakan kondisi yang sama dengan tahap pre-run atau dengan setting power suplai 2200 V, 42 mA, dan 92-93 W
D. Silver staining Reagen dan peralatan Larutan fixation Staining solution Developer Shaker 4 buah baki plastik (untuk fiksasi, membilas, staining, dan developer) Prosedur Staining Cara I 1. Setelah elektroforesis, secara hati-hati masing-masing plate dipisahkan, kemudian gel (menempel pada long glass plate) ditempatkan pada baki plastik yang berisi 1 liter larutan fixation dan shaker secara perlahan selama 20 menit atau sampai warna loading dye menghilang. 2. Gel dipindahkan ke baki lain kemudian cuci gel tersebut sebanyak 3 kali (masing-masing 2 menit) dengan ultrapure water atau 2 kali (masing-masing 4-5 menit), kemudian keringkan gel dengan membiarkan kira-kira 10-20 detik. 3. Setelah dikeringkan 10-20 detik pindahkan gel ke baki lain yang berisi 1 liter larutan staining dan shaker selama 30-60 menit, biasanya 40 menit 4. Kemudian gel dibilas dalam baki yang berisi 1 liter ultrapure water tidak lebih dari 10 detik. 5. Gel ditempatkan ke dalam baki yang berisi larutan developer selama 2-5 menit atau sampai mendapat band. 6. Reaksi distop dengan memindahkan gel ke dalam larutan fixation selama 5-10 menit (larutan fixation pada tahap pertama bisa digunakan kembali) 7. Gel dicuci dengan ultrapure water selama 3-5 menit 8. Gel dikeringkan dan dibiarkan selama semalam agar kering benar. Gel siap dibaca untuk disekor.
111
Prosedur Staining Cara II (Beidler et al., 1982) Prosedur staning cara II mirip dengan cara I, perbedaan terletak pada jenis larutan fiksasi yang digunakan yaitu ethanol, dan pemberian 1.5% nitri acid sebelum gel distaining, tahapan prosedur selengkapnya disajikan seperti tabel berikut: No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Step Fiksasi Wash Petreat Rinse Impregnate Rinse Developer (1) 40% Developer (2) 60%
Solution 10% ethanol +1% acetid acid H 2O 1.5% nitri acid H 2O 0.2% AgNO3 H 2O 30 g/l NaCO3; 0.54 ml/l 47% formaldehyde (cold) -sds-
Time (menit) 10 1 3 1 20 0.5 (2 times) Until the solution become dark + 5 menit until the bands appear with diserable intentity 8 Stop 5% acetid acid 5 9 Wash H 2O 5 Note: All chemical solution were prepare using ultrapure distilled water
II. KOMPOSISI BUFFER DAN LARUTAN A. Larutan 40% Acrylamide:bis-acrylamide, 38:2 (larutan stok, 125 ml) Komposisi bahan: Acrylamide : 47.5 gram Bisacrylamide : 2.5 gram Ultrapure water : volume menjadi 125 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan di dalam 50 ml ultrapure water, kemudian volume ditetapkan menjadi 125 ml dengan ultrapure water. Larutan dimasukan ke dalam botol gelap, simpan dalam lemari pendingin 4oC larutan ini dapat stabil beberapa minggu setelah dilakukan filtering dan degassing.
112
B. 6% Acrylamide solution (larutan kerja, 1000 ml) Komposisi bahan: Urea : 420 gram 10X TBE : 100 ml 40% Acrylamide:bisacrylamide, 38:2 : 150 ml Ultrapure water tera sampai : 1000 ml Cara membuat: Bahan tersebut dilarutkan dengan 500 ml ultrapure di dalam beaker glass, urea dapat larut di bawah suhu 37oC, pemanasan boleh dilakukan beberapa detik tapi suhu yang tinggi dapat merusak urea. Setelah semua larut tepatkan volume sampai 1000 ml,. Saringlah dengan kertas Whatman 3MM dan simpan dalam botol gelap dalam 4oC (Catatan Acrylamide dan bisacrylamide bersifat neurotoxin dan terserap melalui kulit dengan efek kumulatif).
C. 0.5% Asam asetic dalam 95% Ethanol absolute (larutan kerja, 200 ml) Komposisi bahan: Asam asetic glacial : 1 ml 95% ethanol absolute : 199 ml Cara membuat: Bahan tersebut dimasukan dalam botol bertutup (250 ml), pencampuran dilakukan dengan menggoncang botol, kemudian larutan dapat disimpan pada suhu ruang.
D. 10% Ammonium persulfate, APS (larutan kerja, 10 ml) Komposisi bahan: APS : 1 gram Ultrapure water : 10 ml Cara membuat: Larutkan 1 gram APS ke dalam 10 ml ultrapure water, simpan pada tabung gelap dalam bentuk eliquat pada suhu -20oC
E. 1% Sodium thiosulfate (larutan kerja, 100 ml) Komposisi bahan: Sodium thiosulfate : 1 gram Ultrapure water : 100 ml Cara membuat: Larutkan 1 gram sodium thiosulfate ke dalam 100 ml ultrapure water.
113
F. Larutan fixation (larutan kerja, 1000 ml) Komposisi bahan: Asam asetat glacial : 100 ml Ultrapure water : 900 ml Cara membuat: Campurkan 100 ml asam asetat glacial dengan 900 ml ultrapure water
G. Larutan staining (larutan kerja, 1000 ml) Komposisi bahan: Silver nitrat : 1 gram Ultrapure water : 1000 ml Cara membuat: Larutkan silver nitrat ke dalam ultrapure water kemudian disimpan pada wadah gelap pada suhu 4oC. Catatan: larutan ini dapat digunakan sampai 3 kali. Setelah tidak terpakai untuk menetralkan perlu ditambah 5 gram NaCl, kemudian larutan bagian atas dibuang dan garam silvernitrat dikumpulkan.
H. Larutan developer (larutan kerja, 1000 ml) Komposisi bahan: Sodium carbonat : 30 gram Ultrapure water : 1000 ml 37% formaldehyde : 1.5 ml 1% larutan sodium thiosulfate : 200 µl Cara membuat: Larutan sodium carbonat seharusnya ditempatkan pada suhu 4oC atau lebih rendah sebaiknya pada -20oC sampai terbentuk bunga es. Penambahan 37% formaldehyde dan 1% larutan sodium thiosulfate hanya dilakukan kalau larutan sudah mau digunakan (penambahan disiapkan 5-10 menit sebelum staining dengan silver nitrat berakhir).
I. Loading buffer 3X STR (larutan kerja, 100 ml) Komposisi bahan: 4 M NaOH : 60 gram 95% formamide : 95 ml Bromophenol blue : 50 mg Xylene cyanol FF : 50 mg Tambahkan air sampai : volume akhir 100 ml Cara membuat: Campurkan bahan-bahan tersebut, kemudian tambahkan air sehingga volume menjadi 100 ml.
114
J. Buffer 10X TBE (larutan stok, 1000 ml) Komposisi bahan: Tris base : 108 gram EDTA : 9.2 gram Boric acid : 55.2 gram Tambahkan ultrapure water : volume akhir 1000 ml Cara membuat: Campurkan bahan-bahan tersebut, kemudian tambahkan ultrapure water sampai 1000 ml.
115
Lampiran 10. Daftar bahan kimia yang dibutuhkan Acrylamide Agarose APS Asam asetat glacial Bind silane Bis-acrylamide Boric acid Bromophenol blue Cloroform CTAB DNA marker 1 kb ladder DNA marker 100 bp dNTP mix EDTA Ethanol Ethidium Bromide Formaldehyde Formamide Isoamilalkohol Isopropanol Mecraptoethanol Micropippette tips 10 µl Micropippette tips 200 µl Microtubes 1.5 ml NaCl NaOH PCR tube Perak Nitrat Phenol Sigmacode® Sodium asetat Sodium carbonat Sodium thiosulfate Taq polimerase + Buffer TEMED Tris base Urea Xylene cyanol FF β-hydroxyquinolin
116
Lampiran 11. Persemaian benih jati
PROSEDUR PERSEMAIAN BENIH JATI Oleh: Dirvamena Boer A. Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang dibutuhkan untuk persemaian benih jati, di antaranya adalah: 1. Sekop dan garpu untuk mengaduk untuk mencampur tanah dan media pot 2. Ayakan kasar (kira-kira 1.5 cm) untuk menyiapkan media 3. Sekop untuk mengisi wadah dengan media 4. Gembor 5. Selang karet 6. Gerobak dorong untuk mengangkut semai dan material disekitar persemaian 7. Sebilah kayu yang lempeng atau sendok untuk menyapih semai muda 8. Baki perkecambahan (kedalaman 6-10 cm) 9. Polybag ukuran 8 cm x 25 cm
B. Prosedur Perlakuan Pendahuluan Karena benih jati mempunyai masa dormansi, diperlukan perlakuan sebelum penaburan benih. Adapun perlakuan terhadap benih dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Perlakuan dengan air - Merendam benih dalam air yang mengalir antara 24-72 jam (umumnya 2448 jam) dan segera ditabur setelah perendaman, atau - Merendam benih dalam air yang mengalir selama 24 jam kemudian ditiriskan selama 24 jam. Perlakuan ini diulang selama 3 kali (beberapa negara lain melakukan selama 2 minggu) kemudian segera ditabur. 2. Perlakuan dengan bahan kimia – misal dengan asam atau perawatan hormonal, dll. 3. Perlakuan secara mekanik – misal dengan membelah perikarp dan endokarp, mengambil bagian tebal dari perikarp, dll. 4. Perlakuan dengan panas - Masyarakat muna, membakar benih dengan api kecil, dengan cara diatas benih ditaburi jerami kering kemudian jerami dibakar sampai api padam. - Mengeringkan dengan panas yaitu benih dengan kadar air kurang dari 8% disimpan dalam oven dengan suhu 50oC selama 1-5 minggu atau pada suhu 80oC selama 48 jam. Perlakuan ini dapat meningkatkan persentase perkecambahan 2-5 kali (Rachmawati, 2000) 5. Matriconditioning – menggunakan abu gosok lolos saringan 0.5 mm dengan perbandingan benih : abu gosok : air adalah 1 : 0.7 : 1 selama 7x24 jam pada suhu kamar. Setelah perlakuan ini benih dikembalikan ke berat semula dengan pengeringan sinar matahari selama 3 hari mulai pukul 07.00-10.00.
117 Perlakuan ini dapat meningkatkan persentase perkecambahan 2-8 kali (Rizain, 1999). 6. Perlakuan lain – seperti fermentasi, penyimpanan dalam lubang di tanah, dll. Perlakuan pemecahan dormasi yang digunakan untuk penelitian ini adalah menggunakan teknik matriconditioning (point 5)
Persemaian Baki Perkecambahan. Benih ditabur (ditanam pada kedalaman 0.5 sampai 1 cm) pada baki perkecambahan yang mempunyai kedalaman 6-10 cm dan mempunyai banyak lubang untuk drainasi. Agar aerasi dan drainasi menjadi baik maka tanah sebagai media tumbuh pada baki tersebut harus dicampur misal campuran 75% tanah hutan dengan 25% ampas kelapa atau campuran 50% tanah hutan dengan 50% pasir, namun di dalam penelitian ini media yang digunakan untuk perkecambahan adalah 100% pasir. Setelah benih ditabur segera dilakukan penyiraman secara perlahan. Untuk selanjutnya dilakukan penyiraman setiap hari pagi dan sore menggunakan spayer atau gembor, baki perkecambahan kemudian ditempatkan di tempat terbuka agar terkena matahari. Penyapihan ke dalam polybag. Benih yang tumbuh dalam baki harus dipindahkan secara sendiri-sendiri ke dalam tempat yang lebih besar (polybag ukuran 8 cm x 25 cm) dengan media campuran untuk pertumbuhan berikutnya. Penyapihan (pricking out) biasanya dilakukan apabila pasangan daun pertama (atau kadang-kadang yang kedua) telah terbuka penuh. Penundaan penyapihan akan menyebabkan kerusakan pada sistem perakarannya. Adapun media yang diperlukan untuk pertumbuhannya dalam polybag adalah campuran 50% tanah hutan, 25% sekam kelapa atau sekam padi yang dibakar, dan 25% sekam kacang atau kompos. Apabila pertumbuhan semai lambat dan daun berwarna kuning maka perlu dilakukan pemupukkan dengan 10 butir (sama dengan 0.3 g) pupuk slow release “OsmocoteTM. Pupuk NPK 15:15:15 diberikan pada permukaan media setiap 3 bulan. Semai siap dipindah ke lapang bila telah mencapai ketinggian 15-30 cm atau dapat 50-60 cm tergantung dari kesehatan semai dan musim. Untuk hasil optimal sebaiknya dilakukan sebelum dimulainya musim penghujan.