KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT ASAL NIGERIA DAN ASOSIASI MARKA MIKROSATELIT (SSR) DENGAN KARAKTER VIRESCENS
TINCHE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
RINGKASAN TINCHE. Keragaman Genetik Kelapa Sawit Asal Nigeria dan Asosiasi Marka Mikrosatelit (SSR) dengan Karakter Virescens. Dibimbing oleh SUDARSONO, DWI ASMONO dan DINY DINARTI. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak sayur utama dunia. Sempitnya sumber genetik kelapa sawit yang tersedia di Indonesia menyebabkan keterbatasan dalam pengembangan program pemuliaan. Salah satu cara untuk memperluas sumber genetik adalah menggunakan populasi introduksi. Hasil eksplorasi dan pemuliaan populasi Nigeria menunjukkan beberapa keunggulan dalam karakter komersial kelapa sawit. Program pemuliaan kelapa sawit memiliki beberapa tujuan yaitu meningkatkan hasil dengan berbasiskan area tanam, meningkatkan kualitas minyak, memperlambat laju penambahan tinggi tanaman, dan mengembangkan varietas yang resisten terhadap berbagai hama dan penyakit. Karakter-karakter minor yang mendukung kualitas panen mulai diperhitungkan dalam perakitan varietas. Karakter warna buah seperti karakter Virescens (Vir) dapat digunakan sebagai indikator kematangan buah pada tandan kelapa sawit. Perbedaan warna buah Vir yang kontras antara buah mentah dan masak dapat memudahkan dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk panen tanpa harus memungut buah yang jatuh. Studi ini bertujuan untuk: (1) evaluasi keragaman genetik kelapa sawit famili DP-E; (2) mencari marka yang berasosiasi dengan karakter Virescens. Beberapa marka SSR yang memiliki alel spesifik Pisifera dan Dura diperoleh dari hasil seleksi dari 105 marka SSR. Analisis keragaman genetik famili DP-E berdasarkan 25 marka SSR menunjukkan keragaman yang masih tinggi. Estimasi struktur populasi famili DP-E juga memperlihatkan adanya rekombinasi yang tinggi pada individu progeni. Resolusi peta pautan genetik yang diperoleh dalam studi ini mencakup empat kelompok pautan (KP) dengan total cakupan peta genetik 213.1 cM. Lokus SSR mEgCIR3376 diperoleh sebagai kandidat marka yang terpaut pada karakter Virescens dengan jarak genetik 27.7 cM pada posisi Linkage Group 8. Pengujian marka pada empat populasi verifikasi memberikan hasil yang belum stabil. Individu progeni famili DP-E yang memiliki karakter hasil tinggi, unggul dan Virescens dapat dipilih untuk dilanjutkan ke siklus pemuliaan berikutnya. Marka SSR mEgCIR3376 dapat digunakan sebagai alat bantu pada populasi tetua atau populasi pemuliaan untuk seleksi tanaman yang Virescens dengan persentase keterpautan 72.3%. Eksplorasi marka yang lebih dekat dengan karakter Virescens dapat dilakukan dengan memilih marka-marka SSR yang spesifik terdapat pada LG 8. Kata kunci: asosiasi marka, kelapa sawit, keragaman genetik, SSR, virescens
SUMMARY TINCHE. Genetic Diversity of Oil Palm Originated from Nigeria and Association Marker of Microsatellite with Virescence trait. Supervised by SUDARSONO, DWI ASMONO and DINY DINARTI. Oil palm is one of the major oil crops of the world. The narrow genetic base of Indonesian oil palm collections limited the progress of breeding programs. One way to broaden the genetic source was to introduce other breeding populations. The exploration and breeding programs of Nigerian oil palms shows several commercial valued characters. The breeding programs in oil palm have several purposes: to increase yield based on land expansion, to increase oil quality, to delay height increament and to develope varieties that resistant to pests and diseases. Minor traits which supported yield quality have been considered in developing improved hybrids. The contrasting color of unripe to ripe fruits Virescence (Vir) could be used as indicator of ripeness of oil palm fruit bunches. The use of this phenotypic marker could increase harvest efficiency and reduce cost, instead of counting and collecting loose fruits. The objectives of this study were to: (1) to evaluate the genetic diversity of oil palm DP-E family; (2) to identify SSR marker that associate with Virescens trait. This study identified several SSR markers that had Pisifera and Dura alleles specific from screening of 105 markers. The genetic diversity analysis of DP-E family based on 25 SSR markers showed that the progenies still retained high genetic distance between individuals. The population estimation structure of DP-E family revealed high recombination numbers in progenies. The resolution of genetic linkage map obtained in this study covered 213.1 cM with four Linkage Group. Loci mEgCIR3376 was identified as candidate marker linked to Virescence trait with 27.7 cM genetic distance on LG 8. Marker verification on four other population showed that the marker was still unstable. The progenies from DP-E family that has valued commercial characters and Virescence could be selected as candidate in the next breeding cycle. Marker mEgCIR3376 could be employed as a tool to screen Virescence plants on parent or breeding population with 72.3% linkage percentage. An exploration of closer marker to Virescence could be carried out by choosing SSR markers specifically linked to LG 8. Keywords: genetic diversity, linkage, oil palm, SSR, virescence
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaman Genetik Kelapa Sawit Asal Nigeria dan Asosiasi Marka Mikrosatelit (SSR) dengan Karakter Virescens adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Tinche NIM A253100141
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT ASAL NIGERIA DAN ASOSIASI MARKA MIKROSATELIT (SSR) DENGAN KARAKTER VIRESCENS
TINCHE
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Dewi Sukma, SP, MSi
Judul Tesis : Keragaman Genetik Kelapa Sawit Asal Nigeria dan Asosiasi Marka Mikrosatelit (SSR) dengan karakter Virescens Nama : Tinche NIM : A253100141 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Sudarsono, MSc Ketua
Dr Ir Dwi Asmono, MS, APU Anggota
Dr Ir Diny Dinarti, MSi Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 23 Juli 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul tesis ini adalah Keragaman Genetik Kelapa Sawit Asal Nigeria dan Asosiasi Marka Mikrosatelit (SSR) dengan Karakter Virescens. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Dwi Asmono, MS, APU dan Ibu Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si. selaku pembimbing atas bimbingan, motivasi dan arahannya selama perencanaan, pelaksanaan serta penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada tim riset PT Sampoerna Agro, Tbk atas dukungan dan bantuannya selama penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman PBT angkatan 2010 atas kerjasama, semangat dan dukungannya selama studi; rekan-rekan di Plant Molecular Biology Laboratorium atas bantuannya dalam kegiatan penelitian. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga, atas dukungan dan doanya sehingga pendidikan ini dapat diselesaikan dengan baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Tinche
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1! PENDAHULUAN Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2! TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Pemuliaan Kelapa Sawit Marka Berbasis PCR Bulk Segregant Analysis
1! 2! 2! 4 4 6 7 7
3! KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) POPULASI NIGERIA BERDASARKAN ANALISIS MARKA SSR (SIMPLE SEQUENCE REPEATS) Abstrak 9! Pendahuluan 10 Bahan dan Metode
11!
Hasil dan Pembahasan
13
Simpulan
19
4!!!ASOSIASI MARKA SSR (SIMPLE SEQUENCE REPEATS) DENGAN KARAKTER WARNA BUAH VIRESCENS PADA POPULASI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) ASAL NIGERIA Abstrak 21! Pendahuluan 22 Bahan dan Metode
23!
Hasil dan Pembahasan
25
Simpulan
34
5! PEMBAHASAN UMUM 6! SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
35!
LAMPIRAN
43
RIWAYAT HIDUP
57
!
37! 37! 38!
DAFTAR TABEL 2.1 3.1 3.2 3.3 4.1 4.2 4.3
Tipe dan bentuk buah kelapa sawit Genotipe terpilih berdasarkan hasil survei dan analisis segregasi karakter warna buah untuk seleksi primer Primer hasil seleksi pada populasi dura dan pisifera yang terpilih untuk genotyping Data heterozigositas, jumlah alel dan Polymorphic Information Content (PIC) pada populasi DP-E dengan 25 marka SSR Analisis segregasi 25 lokus SSR dan satu lokus karakter warna buah pada famili DP-E Pemetaan lokus SSR pada famili DP-E dengan kriteria LOD 0.56 – 10.56 dan fraksi rekombinan 0.25 Segregasi primer mEgCIR3376 pada famili G, H, K dan L berdasarkan kelompok warna buah (Virescens dan nigrescens)
6! 14 15 16 27 28 33
!
DAFTAR GAMBAR 1.1 2.1 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 4.1 4.2 4.3 4.4
Bagan alir kegiatan penelitian analisis keragaman genetik dan asosiasi marka SSR (Simple Sequence Repeats) populasi kelapa sawit asal Nigeria Tipe warna buah pada kelapa sawit Profil marka SSR pada genotipe pisifera (P) dan dura bulk (D1-D5) menggunakan primer mEgCIR0588 Profil marka SSR pada genotipe pisifera (P1-P10) dan dura bulk (D1D5) menggunakan primer mEgCIR3376 Dendogram analisis UPGMA populasi DP-E menggunakan 25 primer SSR Perubahan delta K (!K) sesuai dengan perbedaan K antara (a) populasi DP-E dan (b) 47 individu progeni DP-E yang diidentifikasi oleh STRUCTURE dengan model campuran Estimasi struktur populasi DP-E berdasarkan data genotyping 25 lokus SSR pada populasi kelapa sawit DP-E (a) dan progeni DP-E (b) menggunakan program STRUCTURE Separasi pita DNA pada gel akrilamid 6% dan contoh skoring Profil marka SSR pada genotipe pisifera (P1 – P10) dan dura bulk (D1-D5) menggunakan primer mEgCIR3376 pada tahap skrining primer Peta pautan genetik kelapa sawit berdasarkan famili DP-E, dikonstruksi dengan nilai LOD minimum 0.56 dan fraksi rekombinasi maksimum 0.25 Profil marka SSR pada famili DP-E menggunakan primer mEgCIR3376. P3 = pisifera 3, D3 = dura 3
3! 5! 14! 15! 17! 18!! 19!! 25!! 26!! 28!! 29!!
4.5
Dua tipe (A dan B) kemungkinan konfigurasi alel dan distribusi segregasi marka mEgCIR3376 pada famili DP-E 4.6 Profil marka SSR pada famili G menggunakan primer mEgCIR3376 4.7 Profil marka SSR pada famili H menggunakan primer mEgCIR3376 4.8 Profil marka SSR pada famili K menggunakan primer mEgCIR3376 4.9 Profil marka SSR pada famili L menggunakan primer mEgCIR3376 4.10 Konfigurasi genotipe dan distribusi segregasi marka mEgCIR3376
30! 31!! 31 32 32 33
!
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Daftar 105 primer yang digunakan dalam tahap skrining primer 44! Profil marka SSR pada kelapa sawit famili DP-E 48! Prosedur pembuatan larutan 55! Tabel pengkodean sampel kelapa sawit untuk studi keragaman genetik dan asosiasi marka SSR dengan warna buah 58 Skoring pada tahap genotyping kelapa sawit famili DP-E dengan 25 marka SSR 60 Data skoring kelapa sawit famili DP-E untuk analisis MAPMAKER/EXP 64
5 6 !
1 PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting dan strategis dalam mendukung peningkatan penambahan devisa negara Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman penghasil minyak sayur utama dunia (39.9 %) selain kedelai (26.6 %), kanola (14.9 %), biji bunga matahari (8.8 %) dan beberapa komoditi lainnya (USDA 2014). Walaupun bukan tanaman asli Indonesia, kelapa sawit dapat tumbuh baik dan berproduksi tinggi di wilayah-wilayah Indonesia dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun yang menyebar merata sepanjang tahun (Hartley 1988). Pertambahan luasan tanam dan produksi kelapa sawit saat ini belum mencukupi untuk memenuhi konsumsi dunia berdasarkan prediksi permintaan konsumsi minyak sayur dan peningkatan populasi dunia (Corley 2009). Permasalahan utama dalam meningkatkan produksi kelapa sawit yaitu pembatasan program perluasan areal tanam karena menyangkut masalah konversi dan keterbatasan luasan areal tanam yang tersedia. Hal ini menegaskan bahwa diperlukan program intensifikasi dengan cara meningkatkan potensi genetik kelapa sawit agar produktivitas per satuan hektar meningkat. Peningkatan potensi genetik dapat dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman yang memanfaatkan semua sumber daya genetik dan variasi genetik dari materi-materi yang telah diperoleh. Pada saat ini perbaikan potensi genetik kelapa sawit tidak hanya diarahkan untuk karakter tunggal seperti peningkatan produktivitas crude palm oil (CPO) yang dilakukan pada tahun 1980-an. Asmono et al (1999) menyatakan bahwa karakter kualitas minyak menjadi perhatian utama setelah peningkatan hasil atau kuantitas. Karakter kuantitas dan kualitas minyak merupakan karakter kompleks yang tidak hanya berdiri sendiri sehingga seleksi dan perbaikan genetik kelapa sawit saat ini lebih tekankan untuk seleksi sifat berganda yang dilakukan secara simultan. Peningkatan kuantitas minyak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (1) meningkatkan karakter komponen produksi seperti karakter ukuran tandan, berat tandan, jumlah buah/tandan, jumlah tandan/tanaman, tebal daging buah, rasio minyak ke tandan dan (2) meminimalkan kehilangan hasil pada saat panen. Sementara itu peningkatan kualitas minyak dilakukan dengan meningkatkan karakter kandungan asam lemak tak jenuh dan kandungan metabolit sekunder penting yang bermanfaat bagi kesehatan seperti kandungan !-karoten. Salah satu karakter penting yang dapat digunakan untuk meminimalkan kehilangan hasil pada saat panen dan penciri untuk kandungan !-karoten yaitu karakter warna buah. Pada kelapa sawit, tipe buah yang paling sering ditemui berwarna ungu gelap hingga hitam pada bagian apex dan kuning kehijauan pada bagian basal sebelum masak, yang disebut dengan nigrescens. Tipe lain yang kurang lazim ditemui berwarna hijau sebelum masak dan disebut Virescens. Tipe ini berubah warna menjadi jingga kemerahan pada saat masak, meskipun bagian apex dari eksternal buah tetap hijau (Corley & Tinker 2003). Karakter Virescens merupakan karakter penting yang dapat digunakan untuk menentukan waktu panen yang tepat sehingga meminimalkan kehilangan hasil pada saat panen.
"!
!
Analisis genetik karakter Virescens belum banyak dilakukan terutama pada populasi spesifik yaitu populasi yang berasal dari Nigeria. Populasi Pisifera Nigeria kelapa sawit yang digunakan dalam studi merupakan material introduksi dari ASD Costa Rica oleh PT Bina Sawit Makmur (anak perusahaan PT Sampoerna Agro) antara tahun 1995 hingga 1998. Studi preliminari pada material genetik ini oleh Breure (2002) menunjukkan bahwa Pisifera origin Nigeria memiliki karakter superior dalam hal hasil minyak tinggi dengan tinggi batang yang pendek dan juga beberapa karakter pendukung yang berasosiasi dengan indeks panen tinggi, seperti proporsi total bahan kering yang digunakan untuk produk ekonomi. Marka Simple Sequence Repeats (SSR) adalah marka yang berbasis PCR (Polymerase chain reaction) yang reprodusibel dan dapat mendeteksi lokus multialelik dan kodominan. Pada kelapa sawit, marka SSR pertama kali diaplikasikan oleh Billotte et al. (2001) dan kemudian digunakan untuk konstruksi peta genetik (Billotte et al. 2005), analisis keragaman genetik, analisis parental (Thongthawee et al. 2010), dan verifikasi hibrida (Thawaro dan Te-chato 2009). Bulk Segregant Analysis (BSA), yang dikembangkan oleh Michelmore et al. (1991), adalah salah satu metode untuk mengidentifikasi marka yang terpaut pada gen atau area genom tertentu secara cepat. Prinsip dasar metode ini adalah membandingkan dua kelompok sampel DNA bulk dari populasi bersegregasi hasil persilangan. Individu dalam setiap kelompok bulk memiliki kesamaan pada karakter atau gen yang diinginkan tapi memiliki perbedaan untuk karakter yang lain. Dua kelompok DNA, dalam studi ini adalah kelompok Vir dan kelompok nigrescens (nig) dianalisis untuk mengidentifikasi marka yang dapat membedakan warna buah. Studi ini ditujukan untuk mempelajari struktur genetik dan keragaman genetik populasi kelapa sawit yang berasal dari Nigeria koleksi PT. Sampoerna Agro dan mempelajari asosiasi antara marka molekuler SSR dengan karakter Virescens. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai: (1) Bahan informasi keragaman genetik pada famili DP-E asal Nigeria, (2) Informasi primer SSR yang polimorfik dan berasosiasi dengan karakter Virescens dapat digunakan sebagai alat seleksi, (3) Dasar seleksi tetua dan progeni yang akan dipilih untuk tahap seleksi selanjutnya.
!
#!
Tahapan 1. Penentuan Populasi Nigrescens
Survei karakter warna buah
Virescens
Output: populasi terpilih yang memiliki segregan nigrescens dan virescens pada progeninya
$%&'()*+!,%-*!'%,%! './+0*)!,%*!101-%! 2')3)40.%!,%*!,-.%5!
Tahapan 2. Seleksi 105 primer
•
Isolasi DNA sampel tetua
•
Pengujian kualitas dan kuantitas DNA
•
PCR
Output: primer polimorfik
Tahapan 3. Genotyping populasi
Output: data molekuler tetua dan progeni
•
Isolasi DNA sampel progeni
•
Data biner (1 atau 0)
•
•
Data genotipe (A, B atau H)
Pengujian kualitas dan kuantitas DNA
•
PCR
Tahapan 4. Analisis data
A. Jarak genetik menggunakan data biner dan software NTSYS dan STRUCTURE B. Asosiasi marka SSR dengan karakter Vir menggunakan data genotipe dan software MAPMAKER/EXP ver 3.0.
Gambar 1.1 Bagan alir kegiatan penelitian analisis keragaman genetik dan asosiasi marka SSR (Simple Sequence Repeats) populasi kelapa sawit asal Nigeria
2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit diyakini berasal dari benua Afrika berdasarkan catatan eksplorasi Zeven (1965). Kumpulan pohon liar dan semi-liar ditemukan sepanjang garis pantai mulai dari bagian paling utara dataran Senegal ke Sierra Leone, Liberia, Pantai Gading, Ghana, Togo, Benin, Nigeria, Kamerun, Republik Rakyat Kongo, Angola hingga ke bagian paling selatan di Republik Demokratik Kongo (Corley dan Tinker 2003). Pusat asal dan keragaman kelapa sawit terkonsentrasi di hutan tropis Nigeria, Kamerun, Kongo dan Angola (Ngando-Ebongue et al. 2012). Catatan pertama introduksi kelapa sawit di Asia Tenggara adalah adanya empat bibit yang ditanam di Kebun Raya Buitenzorg (sekarang Bogor) pada tahun 1848 di pulau Jawa. Pohon yang tumbuh dari ke empat bibit ini relatif seragam dan diperkirakan di produksi di Amsterdam, dari biji yang dibawa dari Afrika (Hartley 1988). Turunan dari empat pohon ini kemudian didistribusikan dan yang kemudian digunakan untuk pengembangan materi genetik kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah tanaman monokotil dari ordo Arecales dan merupakan famili Palmae dan subfamili Cocosideae. Tanaman ini termasuk satu genus Cocos dengan kelapa. Kata elaeis diambil dari bahasa Yunani ‘elaion’ yang berarti minyak dan ‘elaia’ yang berarti zaitun. Kelapa sawit memiliki satu titik tumbuh. Daun tumbuh dari meristem apikal yang terletak di bagian apex batang. Bagian ini memiliki diameter 10-12 cm dan panjang 2.5-4 cm. Tajuk kelapa sawit dewasa terdiri dari 30-50 daun. Pertumbuhan batang rata-rata per tahun sekitar 0.3-0.6 m. Pada perkebunan, penanaman ulang dilakukan jika tinggi rata-rata pohon mencapai 10 m. Diameter batang bervariasi antara 20-75 cm. Pada kelapa sawit dewasa, akar primer dengan diameter 5-10 mm tumbuh mengarah ke bawah dari dasar tanaman atau menyebar horizontal hingga radius 3.5-4.5 m. Akar sekunder dengan diameter 1-4 mm tumbuh dari akar primer dan mengarah ke bawah, akar tersier berdiameter 0.5-1.5 mm tumbuh dari akar sekunder dan dapat mencapai panjang hingga 20 cm dengan arah tumbuh yang tidak diketahui. Tanaman palma ini berdaun majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral. Daun kelapa sawit tersusun berselang seling (pinnate) dan terbagi menjadi dua bagian: rachis yang menghasilkan anak daun dan petiol yang lebih pendek dari rachis, yang menghasilkan duri lateral pendek. Batang daun atau rachis keras dan berserat, dengan panjang 5-9 m, sedangkan panjang petiol bervariasi dan dapat mencapai hingga 1.2 m. Jumlah daun yang diproduksi per tahun mulai dari 30 hingga 40 daun pada 2-4 tahun pertama, kemudian produksi berkurang hingga 20-25 daun per tahun pada 8 tahun berikutnya.
! 5 Tipe pembungaan kelapa sawit pada umumnya adalah monoecious dengan bunga jantan atau betina tumbuh terpisah dalam satu pohon. Buah yang dihasilkan berbentuk tandan yang besar dan kompak. Tipe buah kelapa sawit adalah drupe dengan mesokarp yang mengandung banyak minyak. Biji buah (nut) terdiri dari cangkang atau endocarp, dan satu, dua atau tiga kernel. Umumnya hanya satu kernel yang bertahan karena kernel yang lain aborsi. Tipe dan bentuk buah kelapa sawit dibedakan menjadi beberapa jenis (Tabel 2.1).
A!
B!
Gambar 2.1 Tipe warna buah pada kelapa sawit. A = tipe nigrescens; B = tipe Virescens. Tabel 2.1 Tipe dan bentuk buah kelapa sawit (Corley dan Tinker 2003) Karakter Terminologi Deskripsi Tipe buah Warna eksternal Nigrescens Mengandung antosianin di eksokarp, berwarna hitam atau coklat pada bagian apex buah Virescens Tidak terdapat antosianin di eksokarp, buah berwarna hijau saat masih mentah, berwarna jingga dengan ujung kehijauan saat masak Warna mesokarp Albescens Mengandung karoten yang sangat rendah di mesokarp, berwarna kuning pucat, bukan jingga Bentuk buah Ketebalan cangkang Dura Bercangkang tebal, 2-8 mm, 35-65 % mesokarp/buah, tidak ada cincin serat melingkari biji jika dibelah Tenera Bercangkang tipis, 0.5-4 mm, 55-96% mesokarp/buah, terdapat cincin serat Pisifera Tidak bercangkang, biasanya steril untuk bunga betina
6!
!
Pemuliaan Kelapa Sawit Pemuliaan dan seleksi kelapa sawit berkaitan erat dengan pengembangan dura Deli berdasarkan empat pohon kelapa sawit yang diintroduksikan di Bogor tahun 1848. Kelapa sawit memiliki siklus pemuliaan yang panjang, sekitar 10 tahun, seperti: satu tahun untuk polinasi, dua hingga tiga bulan untuk persiapan dan germinasi benih, tiga tahun di lapangan sebelum panen dan empat hingga enam tahun untuk evaluasi panen. Jika ditambahkan dengan uji progeni, waktu yang dibutuhkan mendekati 20 tahun untuk mengembangkan progeni yang telah teruji. Pemuliaan kelapa sawit memiliki beberapa tujuan utama: (1) meningkatkan hasil minyak, (2) tanaman yang pendek, (3) peningkatan kualitas minyak, (4) ketahanan terhadap penyakit, (5) sifat-sifat fisiologis (indeks tandan, jumlah bobot kering dan bunch dry matter), (6) eksploitasi interaksi genotipe dan lingkungan (Rajanaidu et al. 2000). Secara umum, ada beberapa pendekatan yang diadopsi untuk pemuliaan kelapa sawit. Pendekatan yang umum digunakan adalah Reciprocal Recurrent Selection (RRS) dan Family and Individual Selection (FIS). RRS bertujuan untuk mengembangkan kelompok pisifera dan dura secara terpisah dan saling melengkapi untuk sifat tertentu dimana vigor hibrida dieksploitasi ketika disilangkan. Uji lanjut dilakukan pada progeni sebelum pengembangan selanjutnya untuk memperoleh nilai pemuliaan. FIS digunakan untuk mengidentifikasi famili terbaik dan kemudian tetua terbaik dari generasi berikutnya dipilih menggunakan nilai fenotipik (Price et al. 2007). Metode Modified Recurrent Selection (MRS) digunakan oleh sebagian besar pemulia kelapa sawit di Malaysia. Metode seleksi ini melibatkan persilangan diantara tetua terseleksi dan progeni dilanjutkan pada siklus seleksi berikutnya. Berbeda dengan RRS, introduksi bahan genetik baru dilakukan dalam program pemuliaan (Rajanaidu et al. 2000). Proses ini memungkinkan introduksi gen baru dalam program pemuliaan untuk meningkatkan variabilitas genetik (Hardon 1970). Untuk membantu memotong siklus pemuliaan yang panjang, metode seleksi berbasis DNA digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan presisi dalam studi gen (Collard dan Mackill 2008). Seleksi berbasis DNA lebih dapat diandalkan daripada seleksi konvensional yang berbasis fenotipe, karena fenotipe dipengaruhi oleh lingkungan dan genotipe. Penggunaan marka berbasis DNA dalam pemuliaan disebut Marker-Assisted Selection (MAS). MAS dapat dilakukan pada tahap awal tanaman (plantlet) sehingga berpotensi mengurangi jumlah individu yang diuji dan juga mereduksi biaya. Persyaratan untuk prosedur klasik MAS adalah marka DNA dan analisis pautan yang akan mengidentifikasi marka yang terpaut dengan gen-gen yang mengendalikan karakter-karakter yang diamati. Kualitas dan jumlah marka menentukan kesuksesan MAS. Kualitas marka berhubungan dengan karakteristik markanya, biaya dan efisiensi proses genotyping. Jumlah marka mempengaruhi reliabilitas keterpautan antara marka dan gen. Dengan kata lain, seleksi marka dalam jumlah besar memiliki potensi untuk identifikasi pautan yang dekat dan dapat dipercaya antara marka dan gen yang diinginkan (Ben-Ari dan Luvi 2012).
! 7 Marka Berbasis PCR Marka berbasis PCR memiliki beberapa keuntungan sepertinya waktu yang lebih singkat untuk memperoleh hasil, jumlah DNA genom yang diperlukan lebih sedikit (5-50 ng), dan kemampuannya untuk membagi informasi sekuen primer tanpa perlu tukar menukar DNA. Marka ini dapat berdasarkan reaksi primer yang berubah-rubah, seperti RAPD (random amplified polymorphic DNA), ISSR (inter simple sequence repeats) dan AFLP (amplified fragment length polymorphisms). Namun, banyak juga marka yang berdasarkan sekuen yang telah diketahui, seperti mikrosatelit atau SSR (simple sequence repeats), STS (sequence tagged sites) dan SNP (single nucleotide polymorphisms) (Godwin 2003). SSR (simple sequence repeats) atau mikrosatelit tersebar merata di genom eukariot. Polimorfisme SSR menggambarkan variasi jumlah unit berulang di daerah tertentu dalam genom. Frekuensi pengulangan yang lebih dari 20 bp diperkirakan muncul setiap 33 kb di tanaman. Sekuen nukleotida yang mengapit pengulangan tersebut digunakan untuk mendesain primer untuk amplifikasi berbagai unit pengulangan di berbagai varietas. Primer-primer ini sangat berguna untuk deteksi cepat dan akurat lokus-lokus yang polimorfik dan informasi ini dapat digunakan untuk membangun peta fisik berdasarkan sekuen tag tersebut. Tipe polimorfisme ini sangat reprodusibel (Varshney et al. 2004). Seleksi menggunakan marka molekuler merupakan alternatif yang menarik karena memiliki potensial untuk mengurangi waktu yang diperlukan untuk menghasilkan varietas baru dan melepasnya ke pasar. Hal ini dikarenakan kemampuan untuk menyeleksi di tahap awal (terutama pada tahap pembibitan) akan memberikan efek yang besar dalam mengurangi waktu dan sumber lain yang dibutuhkan untuk perbaikan varietas (Singh et al. 2007). Marka SSR pada kelapa sawit pertama kali dikembangkan oleh Billote et al. (2001) dengan menskrining pustaka SSR yang kaya (GA)n, (GT)n dan (CCG)n hingga karakterisasi akhir 21 lokus SSR. Estimasi kisaran ukuran alel dan heterozigositas yang diharapkan di E. guineensis dan spesies yang berkerabat dekat E. oleifera juga dipublikasikan sekuen primer, dimana penggunaan optimal dari marka SSR dilakukan. Analisis data multivariat menunjukkan kemampuan marka SSR secara efisien mengungkapkan struktur keragaman genetik genus Elaeis sesuai dengan asal geografis dan hubungan genetiknya berdasarkan studi molekuler sebelumnya. Tingginya tingkat variabilitas alelik mengindikasikan bahwa SSR E. guineensis merupakan alat yang kuat untuk studi genetik genus Elaeis, termasuk identifikasi varietas dan pemetaan genetik intra atau inter spesifik. Bulk Segregant Analysis (BSA) Metode Bulk Segregant Analysis (BSA) dikembangkan oleh Michelmore et al. (1991) untuk identifikasi cepat marka yang terpaut dengan gen atau region genom yang spesifik. Metode ini membandingkan dua kelompok sampel DNA dari populasi bersegregasi yang berasal dari satu hasil persilangan. Dalam setiap
7!
!
kelompok, atau bulk, individu-individu dalam kelompok tersebut identik untuk karakter atau gen yang diamati tetapi berbeda untuk gen-gen lainnya. Dua kelompok dengan karakter yang kontras berbeda (contohnya resisten dan rentan terhadap penyakit tertentu) dianalisis untuk identifikasi marka yang dapat membedakan karakter tersebut. Keuntungan dari metode ini adalah metode ini dapat difokuskan pada region yang diinginkan dengan marka; dan dapat dengan cepat mengetahui lokasi gen. Metode BSA dapat digunakan untuk mencari marka-marka yang terpaut erat dengan penyakit (Devey et al. 1995; Silva et al. 2003); analisis keragaman genetik pada kultivar (Wakui et al. 2009) dan membuat peta genetik (Hong et al. 2010).
3 KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) ASAL NIGERIA BERDASARKAN MARKA SSR (SIMPLE SEQUENCE REPEATS)1
Abstrak Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak sayur utama dunia. Sempitnya sumber genetik kelapa sawit yang tersedia di Indonesia menyebabkan keterbatasan dalam pengembangan program pemuliaan. Salah satu cara untuk memperluas sumber genetik adalah menggunakan populasi introduksi. Hasil eksplorasi dan pemuliaan populasi Nigeria menunjukkan beberapa keunggulan dalam karakter komersial kelapa sawit. Tujuan dari studi ini adalah untuk seleksi primer SSR yang polimorfik, mencari primer SSR yang memiliki alel spesifik untuk pisifera dan mengevaluasi keragaman genetik intrapopulasi Nigeria famili DP-E. 105 primer SSR digunakan untuk skrining primer dan 25 marka terseleksi digunakan untuk tahap evaluasi keragaman genetik. Segregasi marka yang diperoleh dari hasil seleksi 105 marka SSR cukup tinggi (91.4 % polimorfik). Marka dengan alel spesifik pisifera dapat digunakan untuk tujuan eksplorasi marka yang berasosiasi dengan karakter warna buah. Pada hasil studi ini, 25 marka SSR mampu memperlihatkan keragaman genetik dan struktur populasi famili DP-E. Analisis jarak genetik dengan pengelompokan UPGMA menghasilkan dua kelompok besar dengan koefisien kemiripan 56 % dan tiga subgrup progeni pada koefisien kemiripan 63 %. Estimasi struktur populasi dengan program STRUCTURE menunjukkan adanya rekombinasi yang tinggi pada individu progeni. Jumlah individu rekombinan yang tinggi menguntungkan untuk pemilihan individu untuk seleksi pada program pemuliaan selanjutnya. Kata kunci: kelapa sawit, keragaman genetik, SSR, virescens, warna buah
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 1 Bagian bab ini sedang dalam proses review di Buletin Palma
89!
!
Abstract Oil palm is one of the major oil crops of the world. The narrow genetic base of Indonesian oil palm collections limited the progress of breeding programs. One way to broaden the genetic source was to introduce other breeding populations. The exploration and breeding programs of Nigerian oil palms shows several commercial valued characters. The aims of this study were to screen polymorphic SSR primers, to identify SSR primers that amplified pisifera’s specific bands and to evaluate the genetic diversity of Nigerian population DP-E family. 105 SSR markers were used in primer screening and 25 selected markers were used in genotyping. The marker segregation obtained from 105 SSR markers in this study was relatively high (91.4 % polymorphic). Markers with specific alleles for pisifera could be used to find markers that associated with fruit color trait. In this study, 25 SSR markers could reveal the genetic diversity and population structure of DP-E family. Genetic analysis with UPGMA clustering system generated two clusters with 56 % similarity coefficient and three subclusters of progenies DP-E with 63 % similarity coefficient. Estimation of population structure using STRUCTURE software showed high recombination numbers in progenies. The high recombination numbers in progenies would be an advantage in providing genetic materials to be selected for further breeding programs. Keywords: fruit color, genetic diversity, oil palm, SSR, virescence
Pendahuluan
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting dan strategis dalam mendukung peningkatan penambahan devisa negara Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman penghasil minyak sayur utama dunia (39.9 %) selain kedelai (26.6 %), kanola (14.9 %), biji bunga matahari (8.8 %) dan beberapa komoditi lainnya (USDA 2014). Suplai terbesar minyak kelapa sawit berasal dari Indonesia (33 500 MT) diikuti oleh Malaysia (20 800 MT), Thailand (2 250 MT) dan negara lainnya (6 248 MT) berdasarkan data produksi minyak sawit dunia per Juli 2014. Di Indonesia sendiri, penambahan area penanaman kelapa sawit masih terus meningkat hingga 8 % per tahun (BPS 2011). Pertambahan luasan tanam dan produksi kelapa sawit saat ini belum mencukupi untuk memenuhi konsumsi dunia berdasarkan prediksi permintaan konsumsi minyak sayur dan peningkatan populasi dunia (Corley 2009). Beberapa alternatif untuk memenuhi permintaan tersebut adalah dengan memaksimalkan pengelolaan perkebunan yang ada dan penggunaan bibit dengan karakter yang unggul. Sumber genetik kelapa sawit yang dikembangkan di Indonesia berasal dari empat kecambah yang ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Pohon
! 11 yang tumbuh dari kecambah ini relatif seragam dengan tipe buah Dura dan diindikasikan berasal dari satu pohon tetua. Program pemuliaan kelapa sawit Indonesia dikembangkan dari populasi ini dan dikenal sebagai ‘kelapa sawit Deli’. Dura Deli memiliki beberapa keunggulan: buahnya besar dan mesokarp yang mengandung minyak tinggi (60 %) (Hartley 1988, Pamin 1998). Implikasi dari pengembangan dura Deli ini menyebabkan keragaman genetik kelapa sawit Indonesia menjadi relatif sempit. Salah satu upaya untuk memperluas keragaman genetik ini adalah dengan mengintroduksikan sumber genetik baru. Populasi kelapa sawit asal Nigeria adalah salah satu sumber genetik yang digunakan. Beberapa keunggulan dari populasi Nigeria: memiliki pertumbuhan tinggi yang lambat (15-25 cm/tahun), kadar iodine tinggi (IV > 70) dan rataan kernel to bunch yang tinggi (di atas 12 %) (Rajanaidu dan Rao 2002). Pada kelapa sawit, tipe buah yang paling sering ditemui berwarna ungu gelap hingga hitam pada bagian apex dan kuning kehijauan pada bagian basal sebelum masak, yang disebut dengan nigrescens. Tipe lain yang kurang lazim ditemui berwarna hijau sebelum masak dan disebut Virescens. Tipe ini berubah warna menjadi jingga kemerahan pada saat masak, meskipun bagian apex dari eksternal buah tetap hijau (Corley & Tinker 2003). Warna buah Virescens ini juga ditemui pada beberapa aksesi di populasi Nigeria. Studi ini menggunakan marka SSR, yang berdasarkan pada sejumlah sekuen DNA berulang (2-5 nukleotida) yang terdapat dalam mikrosatelit. Jumlah pengulangan kopi SSR ini bervariasi antar individu dan merupakan sumber polimorfisme di tanaman. Marka SSR merupakan marka berlokus tunggal, multialelik dan kodominan (Acquaah 2007). Pada kelapa sawit, marka SSR pertama kali diaplikasikan oleh Billotte et al. (2001). Marka SSR dipilih karena jumlahnya yang melimpah dan terdistribusi merata, dihasilkan cepat melalui PCR, mudah diskoring dan informasi sekuen primernya mudah diakses melalui publikasi (Saghai-Maroof et al. 1994). Tujuan dari studi ini adalah untuk seleksi primer SSR yang polimorfik, mencari primer SSR yang memiliki alel spesifik Pisifera dan mengevaluasi keragaman genetik intrapopulasi famili DP-E asal Nigeria. Bahan dan Metode Pemilihan Populasi Jumlah pohon yang digunakan dalam survei adalah 2 480 pohon, terdiri dari 53 famili hasil persilangan enam genotipe Pisifera dengan 51 genotipe Dura berdasarkan desain alpha (alpha design). Survei warna buah dikategorikan menjadi dua: Virescens (Vir) dan nigrescens (nig). Populasi yang dipilih adalah 107 pohon kelapa sawit yang terdiri atas 10 pohon pisifera, 50 pohon dura dan 47 pohon progeni hasil persilangan DxP terpilih asal Nigeria. Survei karakter warna buah dilakukan pada populasi terpilih untuk memperoleh informasi fenotipe.
8"!
!
Ekstraksi DNA dan prosedur SSR Sampel daun tombak digunakan untuk ekstraksi DNA. DNA diisolasi menggunakan metode CTAB berdasarkan modifikasi dari Orozco-Castillo et al. (1994). Sampel daun tombak segar dengan ukuran ± 1 cm x 1 cm dipotong kemudian digerus hingga halus dalam mortar yang telah diisi dengan larutan buffer ekstraksi 1 000 µl dan 0.1 mg PVP. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml yang telah berisi 500 µl buffer ekstraksi (CTAB) dan 10 µl mercaptoethanol. Hasil gerusan diinkubasi selama 60 menit di waterbath dengan suhu 65 °C dan dibalik manual setiap 10 menit. Setelah inkubasi, KIAA ditambahkan kedalam campuran hingga total volume 2 ml dan divortex hingga homogen, diikuti sentrifusi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan dipindahkan ke tabung mikro 2 ml baru dan ditambahkan 1 ml KIAA, divortex hingga homogen. Campuran disentrifusi kembali dengan kecepatan 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifusi kedua dipindahkan ke tabung mikro 1.5 ml baru, ditambahkan Na-asetat 1/10 dari volume total dan etanol p.a hingga total volume 2 ml. Tabung dibalik berulangkali secara perlahan hingga timbul benang halus berwarna putih bening atau kekuningan. Tabung diinkubasi di suhu 4 °C selama 60 menit, setelahnya disentrifusi pada 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikeringanginkan selama 15-30 menit. Buffer TE 1x sebanyak 300 µl ditambahkan ke dalam tabung dan dibalik berulangkali secara manual hingga larut, inkubasi di 4 °C selama 60 menit. Setelah inkubasi, RNAase 3.3 µl ditambahkan dalam tabung dan inkubasi di 37 °C selama 60 menit. Suspensi ditambahkan 1 ml etanol p.a dan disimpan pada suhu 4 °C selama 60 menit, kemudian disentrifusi pada 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikering-anginkan selama 15 menit, kemudian ditambahkan 0.5 ml etanol 70% untuk membersihkan larutan CTAB yang tersisa. Tabung dibalik berulangkali secara perlahan, etanol dibuang dan pelet dikering-anginkan selama 15-30 menit. Pelet yang telah mengering disuspensikan kembali dengan menambahkan 200 µl buffer TE 1x, dibalik manual dan perlahan untuk menghindari terputusnya DNA. Suspensi yang dihasilkan merupakan DNA stok dan disimpan di suhu -20 °C untuk penggunaan selanjutnya. Pengecekan kualitas dan kuantitas DNA menggunakan 0.8% gel agarose dan diwarnai dengan GelRedTM. Gel divisualisasi dengan Bio Rad Gel DocTM UV-Transluminator. Campuran Polymerase Chain Reaction (PCR) terdiri dari 9.5 µl ddH2O, 12.5 µl Promega GoTaq® Green master mix (Taq DNA polymerase, dNTPs, MgCl2 dan buffer reaksi), 1.0 µl primer forward, 1.0 µl primer reverse dan 5 ng/µl DNA template. PCR dijalankan dengan tahap denaturasi pertama pada 95 °C selama 1 menit, tahap denaturasi kedua pada 94 °C selama 30 detik, tahap annealing sesuai dengan Ta primer selama 1 menit, tahap extension pada 72 °C selama 2 menit dan tahap final extension pada 72 °C selama 8 menit. Proses dijalankan dengan 35 siklus sebelum suhu diturunkan ke 4 °C. Produk PCR dipisahkan menggunakan dengan Cole-Parmer® Dedicated Height Sequencer pada gel akrilamid 6 % dengan buffer SB 1X (Brody dan Kern 2004) dan diwarnai dengan perak nitrat (Creste et al. 2001) untuk visualisasi.
! 13 Seleksi Primer dan Genotyping Primer-primer yang dipilih dari Billotte et al. (2005) sebanyak 105 digunakan dalam proses skrining primer. Materi genetik yang digunakan dalam skoring primer adalah 10 sampel pisifera dan lima DNA bulk dari masing-masing lima genotipe dura. DNA bulk per genotipe dura diperoleh dengan cara mem-bulk DNA dari 10 individu dura dalam genotipe yang sama. Pada tahap genotyping, populasi yang digunakan adalah famili DP-E dengan 47 sampel progeni, tetua jantan (P3) dan tetua betina (D3). Primer yang digunakan pada tahap ini adalah 25 primer SSR yang dihasilkan dari tahap seleksi primer. Kriteria seleksi primer untuk genotyping adalah primer harus polimorfik dan pita pada individu Pisifera harus heterozigot. Analisis Data Pita – pita yang diperoleh pada plat kaca diskoring manual sebagai data biner dengan kode (1) jika ada pita dan (0) jika tidak ada pita. Data hasil skoring digunakan untuk estimasi parameter keragaman genetik dalam populasi: Polymorphic Information Content (PIC) menggunakan persamaan matematika: ! ! ! !"# ! ! ! ! !!!! !!! ! ! !!! !!! !!!!! !! !! . Software CERVUS 2.0 (Marshall et al. 1998) digunakan untuk estimasi heterozigositas (He) berdasarkan Nei (1972), He = 1 – "Pi2, dimana Pi adalah rataan frekuensi ke-i alel SSR. Software POPGENE (Yeh et al. 1999) digunakan untuk kalkulasi alel efektif (Ne). Analisis pengelompokan berdasarkan Unweighted pair-group with arithmetic average (UPGMA) dengan koefisien Dice (1945) menggunakan software NTSYSpc ver. 2.02 (Rohlf 1998). Program STRUCTURE V2.3.4 (Pritchard et al. 2000) digunakan untuk mengestimasi struktur populasi yang menunjukkan kemiripan genotipe dalam subgroup. Setiap individu dijalankan pada kisaran kluster genetik K=1 hingga K=10 dengan model admixture, dan setiap K diulang sebanyak 20 kali. Setiap run diimplementasikan dengan burn-in period 100 000 steps diikuti dengan replikasi 250 000 Monte Carlo Markov Chain (MCMC). Plot hasil didasarkan pada consensus permutasi Q-matrix dari 20 replikasi setiap K menggunakan program CLUMPP (Jakobsson dan Rosenberg 2007) dan ditampilkan dengan bantuan program DISTRUCT (Rosenberg 2004). Hasil dan Pembahasan Pemilihan Populasi Total jumlah pohon yang disurvei dalam percobaan ini adalah 2 480 pohon terdiri dari 53 famili hasil persilangan enam genotipe Pisifera dengan 51 genotipe Dura berdasarkan desain alpha (alpha design). Survei warna buah dikategorikan menjadi dua: Virescens (Vir) dan nigrescens (nig). Berdasarkan hasil survei, 19
8:!
!
famili memiliki segregasi warna buah Vir dan nig; 34 famili lainnya memiliki warna buah yang seluruhnya berwarna hitam (nig). Sembilan belas famili yang memiliki segregasi warna buah diuji rasio segregasi turunannya untuk karakter tersebut. Lima populasi dura (D1, D2, D3, D4, D5) dan satu populasi DP-E terpilih untuk digunakan dalam seleksi primer dan genotyping (Tabel 3.1). Genotipe-genotipe ini terpilih karena segregasi warna buah Vir dan nig nya mendekati rasio 1:1 dengan uji khi kuadrat. Polimorfisme Mikrosatelit pada Seleksi Primer Hasil dari seleksi 105 primer spesifik SSR menujukkan lima primer (4.8 %) tidak menghasilkan pita, empat primer (3.8 %) menghasilkan pita monomorfik dan 96 primer (91.4 %) dengan pita polimorfik. Enam primer (mEgCIR3828, mEgCIR0803, mEgCIR2423, mEgCIR0588, mEgCIR3747 dan mEgCIR2813) hanya menghasilkan pita pada sampel dura tetapi tidak pada individu pisifera. Primer tersebut dapat dikategorikan sebagai primer spesifik Dura (Gambar 3.1). Dua puluh lima primer (Tabel 3.2) yang menghasilkan alel spesifik pisifera (Gambar 3.2) diperoleh dari seleksi lanjut 96 primer yang polimorfik. Primer ini digunakan selanjutnya dalam tahap genotyping. Sampel dura (D1-D5) merupakan sampel bulk atau gabungan DNA dari 10 sampel setiap genotipe. Hasil amplifikasi pita pada kelima sampel adalah 0 (tidak ada amplikon) dan maksimal dua pita. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kontaminasi pollen lain pada saat persilangan DxD dan tidak ada mislabeling pada saat pembibitan dan transportasi hingga penanaman di lapangan untuk sampel yang digunakan. Tabel 3.1
Genotipe terpilih berdasarkan hasil survei dan analisis segregasi karakter warna buah kelapa sawit untuk seleksi primer Genotipe Tipe Buah Jumlah Sampel DP-E Tenera 47 D1 Dura 10 D2 Dura 10 D3 Dura 10 D4 Dura 10 D5 Dura 10 P Pisifera 10
! Gambar 3.1 Profil marka SSR pada kelapa sawit genotipe Pisifera (P) dan Dura bulk (D1-D5) menggunakan primer mEgCIR0588. Pada sampel Pisifera tidak ada pita yang teramplifikasi.
! 15
Gambar 3.2 Profil marka SSR pada kelapa sawit genotipe Pisifera (P1-P10) dan Dura bulk (D1-D5) menggunakan primer mEgCIR3376. Tanda panah pada gambar menunjukkan alel spesifik pada Pisifera.
Tabel 3.2 Primer hasil seleksi pada kelapa sawit populasi dura dan pisifera yang terpilih untuk genotyping Primer
Tipe Repetisi
Sekuen-5’
52
1
GTGTTTGATGGGACATACA
52
1
GGCGGGGCCGAAGGTAGAGG
TCCGGCCCTAGCACCACATC
52
1
(GA)18
TTGTATGACCAAAGACAGC
mEgCIR3819
(GA)17
CCTCCTTTGGAATTATG
(GA)13
Ta. LGa
AGCGCAACATCAGACTA
mEgCIR3788 mEgCIR3297
Sekuen-3’
mEgCIR3813
(GA)19
CATACCCTGCTTATCTTTC
GTAGATACCCGTTAGTTGAC
52
1
mEgCIR0800
(GA)18
GTGGGACAATTGAAAGGGAAGT
CCAGCTGCCAAATGCTGTAG
56
2
mEgCIR0408
(CCG)5
TTGCGGCCCATCGTAATC
TCCCTGCAGTGTCCCTCTTT
58
2
mEgCIR3683
(GA)15
GTAGCTTGAACCTGAAA
AGAACCACCGGAGTTAC
52
2
ATTTTGCATGTGTTGAGAGC
CAACCAATTGCACCCTAAAG
52
3
mEgCIR2347
(GA)15
mEgCIR3716
(GA)19
GCAGACATGGCAGCAAAAAG
GGGGATGTTCCTGGATATCA
52
4
mEgCIR1917
(GA)12
CGATCTTCTAGCGTGCAAGA
ATTCCCCACCTCCTCCACAC
52
4
GGAATGCTGGTCATGGAATATA
52
4
ATACATCCCCTCCCCTCTCT
52
5
TTTCTTATGGCAATCACACG
GGAGGGCAGGAACAAAAAGT
52
6
mEgCIR3310
(GA)18
ATCATGGCCGATCTGTATTA
mEgCIR3902
(GA)17
ACAATAACCTGAGACAACAAGAAAC
mEgCIR3281
(GA)17
mEgCIR0894
(GA)18
TGCTTCTTGTCCTTGATACA
CCACGTCTACGAAATGATAA
52
7
mEgCIR3376
(GA)19
CCCTCCCTGCTACCTTCT
TTATGTGAGTGCCTTTGATG
52
8
ACAATATTTAGACCTTCCATGAG
52
9
TATTGATAGCATTTGGGATTAG
52
10
GTTTTGTTTGGTATGCTTGT
52
10
GCAGGCCTGAAATCCCAAAT
58
10
TGTCAGACCCACCATTA
52
11
mEgCIR3878
(GA)25
TAGTTTTCCCATCACAGAGT
mEgCIR0825
(GA)21
AGTGAGGTATGGTTGATTAGGA
mEgCIR0788
(GA)13
ACATTCCCTCTATTATTCTCAC
mEgCIR0146 (GT)2(GA)27 GACCTTTGTCAGCATACTTGGTGTG mEgCIR3382
(GA)24
TGTAGGTGGTGGTTAGG
mEgCIR0773
(GT)7(GA)8
GCAAAATTCAAAGAAAACTTA
CTGACAGTGCAGAAAATGTTATAGT
52
15
mEgCIR2860
(GA)12
AGGGAGGCGAACGAGAAACA
CGACTGCTGATGGGGAAGAG
52
15
TCTCACTTCCTCCCCACATC
52
15
GGTTTAGGTATTGGAACTGATAGAC
52
16
CATCCCATTTCCCTCTT
52
16
mEgCIR0037
(GA)17
CCAGTCTGCTAACCATCCTATAC
mEgCIR2436 (GT)7ca(GA)8 AACACTCCAGAAGCCAGGTC mEgCIR3750
(GA)16
GATGTTGCCGCTGTTTG
Keterangan: Ta. = Annealing Temperature, LG = Linkage Group, dikembangkan oleh Billotte et al. (2005)
a
Primer yang digunakan
Persentase lokus polimorfik pada tahap seleksi primer adalah 96 %. Angka ini menunjukkan heterozigositas yang tinggi antara individu Pisifera dan populasi Dura. Nilai PIC rata-rata dan nilai He rata-rata pada populasi seleksi primer
86!
!
adalah 0.45 dan 0.51. Nilai ini mengindikasikan bahwa populasi yang digunakan memiliki keragaman genetik moderat (Hildebrand et al. 1992) pada set primer yang digunakan dalam seleksi. Jumlah total alel yang diperoleh adalah 327 alel dengan variasi antara satu hingga tujuh alel per lokus. Lokus mEgCIR0037 (6 alel) dan mEgCIR3382 (7 alel) menghasilkan jumlah alel tertinggi. Analisis Keragaman Genetik pada populasi DP-E Informasi genetik pada famili DP-E disajikan dalam Tabel 3.3. Tingkat polimorfisme DP-E dievaluasi dengan mengkalkulasi nilai PIC pada 25 loci SSR. Nilai PIC maksimum diperoleh pada angka 0.701 pada primer mEgCIR3310 yang menunjukkan lokus ini yang paling informatif. Primer mEgCIR0146 dan mEgCIR2860 adalah lokus yang paling kurang informatif (PIC = 0.272). Nilai Ho berkisar antara 0.41 hingga 1 (rataan Ho = 0.75), dan kisaran nilai He adalah 0.330.75 (rataan He = 0.54). Nilai rata-rata heterozigositas yang diharapkan (He) dan heterozigositas yang diamati (Ho) mengindikasikan keragaman genetik yang relatif tinggi intrapopulasi DP-E. Total alel yang dihasilkan dari 25 primer SSR adalah 69 alel dengan kisaran alel efektif 1.48-3.97 dan rerata alel efektif (Ne) 2.44. Tabel 3.3 Data heterozigositas, jumlah alel dan Polymorphic Information Content (PIC) pada kelapa sawit famili DP-E dengan 25 marka SSR Primer mEgCIR3310 mEgCIR0773 mEgCIR1917 mEgCIR0146 mEgCIR2347 mEgCIR3376 mEgCIR3902 mEgCIR2436 mEgCIR3819 mEgCIR0825 mEgCIR3878 mEgCIR0037 mEgCIR3281 mEgCIR3788 mEgCIR3297 mEgCIR3813 mEgCIR3683 mEgCIR0800 mEgCIR0788 mEgCIR0894 mEgCIR3716 mEgCIR3382 mEgCIR2860 mEgCIR0408 mEgCIR3750
Ho 1.00 0.98 1.00 0.41 0.67 0.98 0.63 0.51 0.84 0.67 0.98 0.82 0.53 0.82 1.00 0.45 0.45 0.47 1.00 1.00 0.61 0.98 0.41 0.98 0.53
He 0.76 0.63 0.75 0.33 0.57 0.63 0.44 0.38 0.64 0.55 0.63 0.66 0.39 0.65 0.66 0.35 0.35 0.36 0.74 0.75 0.43 0.63 0.33 0.66 0.39
Jumlah alel 4 3 4 2 3 3 2 2 3 3 3 3 2 3 3 2 2 2 4 4 2 3 2 3 2
PIC 0.701 0.551 0.698 0.272 0.502 0.554 0.339 0.308 0.561 0.483 0.546 0.584 0.314 0.570 0.582 0.288 0.288 0.295 0.688 0.695 0.335 0.549 0.272 0.581 0.314
Keterangan: He = heterozigositas yang diharapkan, Ho = heterozigositas yang diamati, PIC = Polymorphic Information Content
! 17
Hasil percobaan memperlihatkan penurunan nilai rata–rata He (0.54) dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Putri (2010) (0.663) pada tiga populasi Nigeria dari koleksi yang sama dengan percobaan ini, dan Bakoume (2009) (0.644) pada lima populasi alami asal Nigeria. Rerata jumlah alel (Na) yang hasil percobaan ini (2.76) lebih tinggi daripada nilai yang diperoleh Abdullah et al. (2011) (populasi elit Deli-AVROS = 2.3) tetapi lebih rendah daripada hasil penelitian Zulhermana (2009) (Nigeria = 3.3), Putri (2010) (Nigeria = 4.5), Ajambang et al. (2012) (populasi alami asal Kamerun = 4.71) dan Billotte et al. (2001) (LaMé x Dura Deli = 5.25). Rendahnya jumlah alel yang ditemukan dapat dijelaskan oleh jenis populasi yang digunakan dalam percobaan, dalam kasus ini material yang digunakan adalah populasi elite hasil pemuliaan dan persilangan dari beberapa individu yang mempengaruhi variabel jumlah alel dan populasi (Arias et al. 2012). Hal ini dikarenakan kecenderungan umum kehilangan keragaman genetik yang dikarenakan perbaikan genetik pada kelapa sawit (Arias et al. 2012; Bakoume 2007). Struktur populasi DP-E ditunjukkan oleh Gambar 3.4. Jumlah subgroup populasi, K, dievaluasi menggunakan metode yang dikemukakan oleh Evanno et al. (2005). Log likelihood hasil analisis STRUCTURE meningkat secara bertahap dari
Gambar 3.3
Dendogram analisis UPGMA kelapa sawit famili DP-E menggunakan 25 primer SSR. Tanda di kanan label individu menunjukkan fenotipe warna buah; kotak diarsir = virescens dan kotak polos = nigrescens.
87!
!
K= 1 hingga K=10 dan tidak menunjukkan titik optimum yang jelas (data tidak diperlihatkan). Sebaliknya, perhitungan ad hoc maksimum #K diperoleh pada K=2, yang mengindikasikan bahwa famili DP-E dapat dibagi menjadi dua subgrup (Gambar 3.4a). Analisis STRUCTURE secara terpisah juga dilakukan untuk menduga struktur populasinya progeni DP-E. #K menunjukkan nilai maksimum pada K=3, yang mengindikasikan bahwa ada tiga subgrup di progeni DP-E (Gambar 3.4b). Hasil analisis pengelompokan UPGMA dan STRUCTURE sama-sama mengelompokkan famili DP-E menjadi dua grup dengan tiga subgrup, dengan komposisi grup dan subgrup yang berbeda-beda. Metode analisis seperti UPGMA hanya dapat digunakan untuk menghubungkan prosedur statistik yang memungkinkan untuk identifikasi kluster homogen antar individu (MontillaBascon et al. 2013). Program STRUCTURE (Pritchard et al. 2000) sendiri menggunakan pendekatan Bayesian untuk menentukan K (jumlah subpopulasi dalam suatu koleksi) dan mengestimasi proporsi genom setiap aksesi yang berasal dari setiap subpopulasi, atau disebut juga persentase campuran. Hal ini yang menyebabkan perbedaan komposisi grup hasil analisis UPGMA dan STRUCTURE. Kemiripan genetik tetua jantan (P3) dan tetua betina (D3) yang mencapai 56% pada analisis UPGMA menunjukkan komposisi genetik kedua individu ini tidak berbeda jauh. Analisis STRUCTURE juga memperlihatkan hasil yang serupa (Gambar 3.5a). Meskipun demikian, hasil persilangan dua tetua dengan origin yang berbeda menghasilkan variasi rekombinan yang tinggi pada progeninya. Estimasi struktur populasi progeni (Gambar 3.5a) memperlihatkan tidak ada individu progeni yang 100% mendekati kedua tetua. Pada K=3 di populasi progeni (Gambar 3.5b), hanya individu E2 dan E16 yang mendekati pola tetuanya, sedangkan 45 progeni lainnya merupakan rekombinan.
Gambar 3.4 Perubahan delta K (#K) sesuai dengan perbedaan K antara (a) famili DP-E dan (b) 47 individu kelapa sawit progeni DP-E yang diidentifikasi oleh STRUCTURE dengan model campuran.
! 19
!"#
P3 D3 E34 E22 E48 E47 E29 E20 E26 E8 E1 E37 E17 E35 E15 E46 E43 E25 E7 E42 E5 E40 E18 E13 E14 E36 E38 E9 E19 E16 E27 E28 E23 E24 E2 E21 E10 E30 E12 E11 E3 E41 E39 E33 E6 E45 E44 E32 E31
K=2
Tetua
Progeni
$"#
E32 E23 E24 E31 E27 E28 E45 E44 E10 E11 E12 E3 E6 E2 E16 E21 E33 E39 E9 E19 E41 E38 E30 E25 E36 E15 E42 E48 E1 E20 E37 E13 E14 E40 E22 E35 E18 E17 E7 E5 E29 E26 E47 E46 E43 E34 E8
K=3
Progeni
Gambar 3.5 Estimasi struktur populasi kelapa sawit DP-E berdasarkan data genotyping 25 lokus SSR pada famili DP-E (a) dan progeni DP-E (b) menggunakan program STRUCTURE. Setiap individu direpresentasikan dengan garis vertikal tipis. Jumlah subgrup (K) ditandai dengan perbedaan warna. Tinggi setiap bar merepresentasikan probabilitas penggolongan setiap individu dalam subgroup.
Metode pemuliaan kelapa sawit dominan menggunakan Reciprocal Recurrent Selection (RRS) dengan salah satu poin pentingnya adalah penggunaan dua populasi dasar: populasi ‘A’ terdiri dari dura Deli dari beberapa origin dan populasi ‘B’ terdiri dari Tenera dan Pisifera origin Afrika (Corley and Tinker 2003). Skema persilangan interpopulasi pada RRS memungkinkan ekploitasi heterosis untuk meningkatkan performa persilangan antar dua populasi (Acquaah 2007, Price et al. 2007). Persentase rekombinan yang tinggi dari hasil persilangan tetua P3 dan D3 pada famili DP-E memberikan peluang yang besar untuk eksploitasi vigor hibrida. Individu rekombinan dengan fenotipe yang unggul seperti karakter pendukung hasil, ketahanan penyakit, penambahan tinggi yang lambat dapat digunakan untuk seleksi pada siklus pemuliaan berikutnya. Simpulan Segregasi marka yang diperoleh dari hasil seleksi 105 marka SSR cukup tinggi. Marka dengan alel spesifik pisifera dapat digunakan untuk tujuan eksplorasi marka yang berasosiasi dengan karakter warna buah. Pada hasil studi ini, 25 marka SSR mampu memperlihatkan keragaman genetik dan struktur populasi DP-E. Analisis jarak genetik dengan pengelompokan UPGMA
"9!
!
menghasilkan dua kelompok besar dengan koefisien kemiripan 56 % dan tiga subgrup progeni pada koefisien kemiripan 63 %. Estimasi struktur populasi dengan program STRUCTURE menunjukkan adanya rekombinasi yang tinggi pada individu progeni. Jumlah individu rekombinan yang tinggi menguntungkan untuk pemilihan individu untuk seleksi pada program pemuliaan selanjutnya.
4 ASOSIASI MARKA SSR (SIMPLE SEQUENCE REPEATS) DENGAN KARAKTER WARNA BUAH VIRESCENS PADA POPULASI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) ASAL NIGERIA
Abstrak Program pemuliaan kelapa sawit memiliki beberapa tujuan yaitu meningkatkan hasil dengan berbasiskan area tanam, meningkatkan kualitas minyak, memperlambat laju penambahan tinggi tanaman, dan mengembangkan varietas yang resisten terhadap berbagai hama dan penyakit. Karakter-karakter minor yang mendukung kualitas panen mulai diperhitungkan dalam perakitan varietas. Karakter warna buah seperti karakter Virescens (Vir) dapat digunakan sebagai indikator kematangan buah pada tandan kelapa sawit. Perbedaan warna buah Vir yang kontras antara buah mentah dan masak dapat memudahkan dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk panen tanpa harus memungut buah yang jatuh. Konstruksi peta pautan genetik menggunakan 25 SSR menghasilkan empat Kelompok Pautan (KP) dengan total cakupan peta genetik 213.1 cM. Marka SSR mEgCIR3376 diidentifikasi sebagai kandidat marka yang terpaut pada karakter Virescens dengan jarak genetik 27.7 cM, meskipun tidak stabil pada populasi verifikasi. Marka mEgCIR3376 masih dapat digunakan sebagai alat bantu seleksi untuk merakit DxP dengan hasil tinggi dan memiliki karakter Vir dgn menggunakan famili DP-E. Kata kunci: asosiasi marka, kelapa sawit, peta genetik, SSR, virescens
""!
!
Abstract The breeding programs in oil palm have several purposes: to increase yield based on land expansion, to increase oil quality, to delay height increament and to develope varieties that resistant to pests and diseases. Minor traits which supported yield quality has been considered in developing improved hybrids. The contrasting color of unripe to ripe fruits virescence (Vir) could be used as indicator of ripeness of oil palm fruit bunches. The use of this phenotypic marker could improve harvest efficiency and reduce cost, instead of counting and collecting loose fruits. The linkage map of 25 SSR markers generated four Linkage Group (LG) covering 213.1 cM. Marker mEgCIR3376 has been identified as candidate marker linked to Virescens trait with 27.7 cM distance. Although the marker showed inconsistent result on verification population, mEgCIR3376 could still be used as a tool to develop DxP with have high yield traits and Virescens fruit color from DP-E family. Keywords: association marker, linkage map, oil palm, SSR, virescence Pendahuluan Program pemuliaan kelapa sawit memiliki beberapa tujuan yaitu meningkatkan hasil dengan berbasiskan area tanam, meningkatkan kualitas minyak, memperlambat laju penambahan tinggi tanaman, dan mengembangkan varietas yang resisten terhadap berbagai hama dan penyakit. Selain itu, program pemuliaan kelapa sawit juga mengarah ke pengembangan materi tanaman dengan sifat-sifat pendukung lainnya, seperti percepatan masa panen, buah dengan bobot kernel yang lebih tinggi, dan kadar karotin serta vitamin E yang tinggi (Nair 2010). Karakter buah lainnya seperti warna buah belum mendapat perhatian dalam program pemuliaan karena dinilai belum memberikan keuntungan yang berarti. Pada kelapa sawit, tipe buah yang paling sering ditemui berwarna ungu gelap hingga hitam pada bagian apex dan kuning kehijauan pada bagian basal sebelum masak, yang disebut dengan nigrescens. Tipe lain yang kurang lazim ditemui berwarna hijau sebelum masak dan disebut Virescens. Tipe ini berubah warna menjadi jingga kemerahan pada saat masak, meskipun bagian apex dari eksternal buah tetap hijau (Corley dan Tinker 2003). Pada penelitian ini, karakter Virescens (Vir) menjadi fokus karena potensinya untuk digunakan sebagai indikator panen. Karakter Vir dikendalikan oleh gen tunggal dominan dan terekspresi pada kondisi dominan homozigot (Vir/Vir) dan heterozigot (Vir/vir) (Corley dan Tinker 2003). Perbedaan warna buah Vir yang kontras antara buah mentah dan masak dapat memudahkan dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk panen tanpa harus memungut buah yang jatuh. Perbedaan warna buah yang kontras tersebut juga dapat digunakan untuk mempermudah sortasi kematangan buah menggunakan kamera pada proses
! 23 sortir di pabrik (May dan Amaran 2011, Fadilah et al. 2012). Karakter Vir ini juga dapat digunakan untuk memastikan kualitas dan kuantitas minyak dari buah yang dipanen karena jika buah dipanen terlalu muda, kandungan minyaknya akan rendah, jika terlalu tua maka banyak buah jatuh yang dipanen dan kadar asam lemak dalam minyak akan terlalu tinggi (Ying et al. 2007). Metode seleksi berbasis marka molekuler digunakan untuk menyeleksi karakter Vir. Kelebihan dari metode ini adalah tanaman dapat diseleksi secara cepat menggunakan DNA sebelum karakter yang diinginkan terekspresi sehingga proses pemuliaan dapat disingkat. Beberapa jenis marka DNA telah digunakan untuk mencari marka yang terpaut dengan karakter Vir seperti Restriction fragment length polymorphism (RFLP), Simple Sequence Repeat (SSR) (Singh et al. 2006), Amplified fragment length polymorphism (AFLP) (Ying et al. 2007). Simple Sequence Repeats (SSR) atau mikrosatelit, dengan motif pengulangan di- hingga tetra-nukleotida dan diapit oleh sekuen unik, terdapat dalam jumlah yang banyak dan tersebar diseluruh bagian genom eukariotik (Morgante et al. 2002). Dalam beberapa tahun terakhir, SSR menjadi salah satu marka molekuler yang banyak diaplikasikan pada berbagai komoditi seperti beras (Siwach et al. 2004), jagung (Vigouroux et al. 2005) dan komoditi lainnya. SSR memiliki keunggulan karena bersifat kodominan, sangat polimorfik, banyak dan tersebar diseluruh genom, hampir selalu berupa lokus tunggal, tidak ambigu, secara spesifik terpetakan di genom, dan berdasarkan pada teknologi berbasis PCR (Chen et al. 2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari marka SSR yang berasosiasi dengan karakter warna buah Virescens menggunakan 25 marka SSR (Simple Sequence Repeats) hasil seleksi dari studi sebelumnya. Bahan dan Metode Bahan tanaman Bahan tanaman yang digunakan dalam studi adalah 47 progeni famili DPE hasil persilangan berasal dari Pisifera asal Nigeria dan Dura MARDI. Populasi yang digunakan merupakan populasi elite pada koleksi PT Bina Sawit Makmur (anak perusahaan PT Sampoerna Agro Tbk.). Verifikasi marka dilakukan pada progeni empat famili (G, H, K, L) dengan jumlah sampel dari masing-masing famili 20 sampel. 20 sampel dari setiap famili terdiri dari 10 sampel Virescens dan 10 sampel nigrescens dan dipilih secara acak. Progeni famili G, H, K dan L merupakan half-sib dengan progeni famili DP-E. Ekstraksi DNA dan prosedur SSR Sampel daun tombak digunakan untuk ektraksi DNA. DNA diisolasi menggunakan metode CTAB berdasarkan modifikasi dari Orozco-Castillo et al. (1994). Sampel daun tombak segar dengan ukuran ± 1 cm x 1 cm dipotong kemudian digerus hingga halus dalam mortar yang telah diisi dengan larutan
":!
!
buffer ekstraksi 1 000 µl dan 0.1 mg PVP. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml yang telah berisi 500 µl buffer ekstraksi (CTAB) dan 10 µl mercaptoethanol. Hasil gerusan diinkubasi selama 60 menit di waterbath dengan suhu 65 °C dan dibalik manual setiap 10 menit. Setelah inkubasi, KIAA ditambahkan kedalam campuran hingga total volume 2 ml dan divortex hingga homogen, diikuti sentrifusi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan dipindahkan ke tabung mikro 2 ml baru dan ditambahkan 1 ml KIAA, divortex hingga homogen. Campuran disentrifusi kembali dengan kecepatan 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifusi kedua dipindahkan ke tabung mikro 1.5 ml baru, ditambahkan Na-asetat 1/10 dari volume total dan etanol p.a hingga total volume 2 ml. Tabung dibalik berulangkali secara perlahan hingga timbul benang halus berwarna putih bening atau kekuningan. Tabung diinkubasi di suhu 4 °C selama 60 menit, setelahnya disentrifusi pada 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikeringanginkan selama 15-30 menit. Buffer TE 1x sebanyak 300 µl ditambahkan ke dalam tabung dan dibalik berulangkali secara manual hingga larut, inkubasi di 4 °C selama 60 menit. Setelah inkubasi, RNAase 3.3 µl ditambahkan dalam tabung dan inkubasi di 37 °C selama 60 menit. Suspensi ditambahkan 1 ml etanol p.a dan disimpan pada suhu 4 °C selama 60 menit, kemudian disentrifusi pada 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikering-anginkan selama 15 menit, kemudian ditambahkan 0.5 ml etanol 70% untuk membersihkan larutan CTAB yang tersisa. Tabung dibalik berulangkali secara perlahan, etanol dibuang dan pelet dikering-anginkan selama 15-30 menit. Pelet yang telah mengering disuspensikan kembali dengan menambahkan 200 µl buffer TE 1x, dibalik manual dan perlahan untuk menghindari terputusnya DNA. Suspensi yang dihasilkan merupakan DNA stok dan disimpan di suhu -20 °C untuk penggunaan selanjutnya. Pengecekan kualitas dan kuantitas DNA menggunakan 0.8 % gel agarose dan diwarnai dengan GelRedTM. Gel divisualisasi dengan Bio Rad Gel DocTM UV-Transluminator. Campuran Polymerase Chain Reaction (PCR) terdiri dari 9.5 µl ddH2O, 12.5 µl Promega GoTaq® Green master mix (Taq DNA polymerase, dNTPs, MgCl2 dan buffer reaksi), 1.0 µl primer forward, 1.0 µl primer reverse dan 5 ng/µl DNA template. PCR dijalankan dengan tahap denaturasi pertama pada 95 °C selama 1 menit, tahap denaturasi kedua pada 94 °C selama 30 detik, tahap annealing sesuai dengan Ta primer selama 1 menit, tahap extension pada 72 °C selama 2 menit dan tahap final extension pada 72 °C selama 8 menit. Proses dijalankan dengan 35 siklus sebelum suhu diturunkan ke 4 °C. Produk PCR dipisahkan menggunakan dengan Cole-Parmer® Dedicated Height Sequencer pada gel akrilamid 6 % dengan buffer SB 1X (Brody dan Kern 2004) dan diwarnai dengan perak nitrat (Creste et al. 2001) untuk visualisasi. Seleksi Primer dan Genotyping Primer-primer yang dipilih dari Billotte et al. (2005) sebanyak 105 digunakan dalam proses skrining primer. Materi genetik yang digunakan dalam skoring primer adalah 10 sampel pisifera dan lima DNA bulk dari masing-masing lima genotipe dura. DNA bulk per genotipe dura diperoleh dengan cara mem-bulk
! 25
Gambar 4.1 Separasi pita DNA pada gel akrilamid 6 % dan contoh skoring
DNA dari 10 individu dura dalam genotipe yang sama. Pada tahap genotyping, populasi yang digunakan adalah famili DP-E dengan 47 sampel progeni, tetua jantan (P3) dan betinanya (D3). Primer yang digunakan pada tahap ini adalah 25 primer SSR. Verifikasi kandidat marka dilakukan pada progeni empat famili yaitu famili G, H, K dan L dengan sampel kontrol tetua dari masing-masing famili. Sampel dari setiap famili adalah 20 individu progeni yang terdiri dari 10 individu Vir dan 10 individu nig. Skoring Pita-pita yang diperoleh pada plat kaca diskoring manual sebagai data biner dengan kode (1) jika ada pita dan (0) jika tidak ada pita dan data genotipe. Dalam tahap seleksi primer, primer-primer yang menghasilkan pita polimorfik akan digunakan dalam tahapan genotyping. Skoring pita DNA diilustrasikan pada gambar 4.1. Analisis Data Data hasil skoring ditabulasikan dalam excel dan digunakan untuk analisis asosiasi marka dengan karakter Virescens menggunakan software MAPMAKER/EXP ver. 3.0 (Lander et al. 1987; Lincoln et al. 1993). Hasil pemetaan genetik divisualisasikan dengan software MapChart 2.2 (Voorrips 2002).
"6!
!
Hasil dan Pembahasan Kriteria untuk menyeleksi primer yang akan digunakan pada studi ini adalah pita yang dihasilkan oleh primer harus polimorfik, pola pita pada individu Pisifera adalah heterozigot dan salah satu atau kedua pita tersebut memiliki ukuran basa yang berbeda dengan panjang pita pada sampel Dura. Berdasarkan kriteria di atas, 25 primer polimorfik terpilih untuk digunakan pada tahap genotyping (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Profil marka SSR pada kelapa sawit genotipe Pisifera (P1-P10) dan Dura bulk (D1-D5) menggunakan primer mEgCIR3376 pada tahap skrining primer. Tanda panah menunjukkan posisi alel pada pisifera yang tidak dimiliki oleh dura. Profil SSR pada famili DP-E dapat memberikan beberapa informasi genetik seperti membedakan tanaman homozigot dan heterozigot, PIC (Polymorphic Information Content), heterozigositas dan jumlah alel pada lokus yang diamplifikasi. Nilai PIC maksimum diperoleh pada angka 0.701 pada primer mEgCIR3310 yang menunjukkan lokus ini yang paling informatif. Primer mEgCIR0146 dan mEgCIR2860 adalah lokus yang paling kurang informatif (PIC = 0.272). Nilai Ho berkisar antara 0.41 hingga 1 (rataan Ho = 0.75), dan kisaran nilai He adalah 0.33-0.75 (rataan He = 0.54). Nilai rata-rata heterozigositas yang diharapkan (He) dan heterozigositas yang diamati (Ho) mengindikasikan keragaman genetik yang relatif tinggi intrapopulasi DP-E. Total alel yang dihasilkan dari 25 primer SSR adalah 69 alel dengan kisaran alel efektif 1.48 – 3.97 dan rerata alel efektif (Ne) 2.44. Marker Assisted Selection menggunakan marka SSR Segregasi 25 primer terpilih diuji menggunakan khi kuadrat dengan ekspektasi Mendel 1:1 pada taraf 0.05. Seluruh marka yang diuji memenuhi rasio tersebut sehingga dapat digunakan untuk dalam pembentukan peta genetik. Lokus warna buah dimasukkan sebagai lokus tambahan selain 25 lokus lainnya untuk mencari marka yang berasosiasi dengan warna buah. Total cakupan peta genetik yang diperoleh adalah 213.1 cM dan densitas rata-rata per marka: 19.8 cM. Dari 26 lokus yang digunakan, 11 lokus dapat dipetakan menjadi empat kelompok pautan (KP) dan 15 lokus lainnya tidak terpetakan. Pada nilai LOD 0.56-10.56, empat grup diperoleh dengan variasi jumlah lokus dua hingga tiga (Tabel 4.2). Grup yang diperoleh sesuai dengan peta
! 27 Tabel 4.1 Analisis segregasi 25 lokus SSR dan satu lokus karakter warna buah pada kelapa sawit famili DP-E Lokus mEgCIR3310 mEgCIR0773 mEgCIR1917 mEgCIR0146 mEgCIR2347 mEgCIR3376 mEgCIR3902 mEgCIR2436 mEgCIR3819 mEgCIR0825 mEgCIR3878 mEgCIR0037 mEgCIR3281 mEgCIR3788 mEgCIR3297 mEgCIR3813 mEgCIR3683 mEgCIR0800 mEgCIR0788 mEgCIR0894 mEgCIR3716 mEgCIR3382 mEgCIR2860 mEgCIR0408 mEgCIR3750 Warna buah
Yang diamati Jumlah alel 1 Jumlah alel 2 (Vir) (nig) 21 26 20 27 19 28 19 28 22 25 25 22 30 17 24 23 22 25 19 28 29 18 27 20 25 22 22 25 25 22 21 26 21 26 22 25 17 30 21 26 29 18 28 19 19 28 25 22 25 22 23 24
Khi Kuadrat hitung
P= 0.05
Segregasi alel
0.47 0.31 0.19 0.19 0.66 0.66 0.06 0.88 0.66 0.19 0.11 0.31 0.66 0.66 0.66 0.47 0.47 0.66 0.06 0.47 0.11 0.19 0.19 0.66 0.66 0.88
ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns ns
1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
Keterangan: ns = non-significant
genetik yang dihasilkan Billotte et al. (2005). Nilai LOD dibawah 3.0 pada beberapa lokus kemungkinan disebabkan karena jumlah sampel yang digunakan hanya 49 individu. Resolusi peta genetik yang dihasilkan dalam studi ini jauh lebih rendah dibandingkan peta genetik yang dihasilkan Billotte et al. (2005) dengan cakupan peta genetik total 1 415 cM (densitas marka rata – rata = 5 cM); Billotte et al. (2010) dengan cakupan 1 479 cM (densitas marka rata – rata = 6 cM); Singh et al. (2009) dengan cakupan 1 815 cM dan Montoya et al. (2013) dengan cakupan 1 485 cM. Billote et al. (2005) dan Billotte et al. (2010) menggunakan populasi hasil persilangan dua tetua heterozigot E. guineensis (LM2T x DA10D) dengan jumlah individu 115 sedangkan Singh et al. (2009) dan Montoya et al. (2013) menggunakan populasi hasil persilangan E. oleifera x E. guineensis dengan jumlah individu 118 dan 134. Jumlah sampel, jenis dan jumlah marka molekuler
!
"7!
yang terbatas dalam studi ini jelas mempengaruhi cakupan peta genetik yang diperoleh dalam studi ini. Tabel 4.2 Pemetaan lokus SSR pada kelapa sawit famili DP-E dengan kriteria LOD 0.56-10.56 dan fraksi rekombinan 0.25 KP Lokus cM LOD LGa 1 2 3 4
mEgCIR0773 mEgCIR2860 mEgCIR0037 mEgCIR0146 mEgCIR0825 mEgCIR0788 mEgCIR3376 Warna mEgCIR3813 mEgCIR3819 mEgCIR3788
17.7 72.6
5.56 0.56
35.7 14.7
2.55 6.35
27.7
3.58
40.3 4.4
2.11 10.56
Keterangan: cM = Haldane centi morgan, LG = Linkage Group, (2005)
Gambar 4.3
15 15 15 10 10 10 8 1 1 1 a
Berdasarkan Billotte et al.
Peta pautan genetik kelapa sawit berdasarkan famili DP-E, dikonstruksi dengan nilai LOD minimum 0.56 dan fraksi rekombinasi maksimum 0.25. Peta mencakup 25 marka SSR dan satu lokus Virescens.
! 29 Hasil analisis pautan genetik memperlihatkan bahwa karakter warna terpaut dengan lokus mEgCIR3376 di KP 3 (Gambar 4.3) atau linkage group (LG) 8 (Billotte et al. 2005) dengan jarak 27.7 cM. Jarak genetik kandidat marka yang diperoleh dalam studi ini masih lebih jauh dibandingkan dengan kandidat marka AFLP yang dihasilkan Ying et al. (2007) yaitu 6 cM. Studi Singh et al. (2014) melaporkan adanya marka RFLP MET16 yang terpaut erat dengan gen Vir. Hasil penelitian tersebut juga mengidentifikasi gen VIR. Marka MET16 dan gen Vir ini terletak pada kelompok pautan (KP) 1 (Singh et al. 2013) atau LG 8 pada peta genetik Billotte et al. (2005). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil studi ini dimana lokus Vir juga terpaut pada LG 8. Jarak genetik yang jauh dengan gen target akan meningkatkan resiko terjadinya rekombinasi pada saat meiosis dan mengakibatkan hilangnya marka pada generasi berikutnya. Gambar 4.4 memperlihatkan profil marka SSR mEgCIR3376 pada famili DP-E. Sampel tetua jantan (P3) dan tetua betina (D3) digunakan sebagai kontrol alel sekaligus untuk verifikasi segregasi alel pada progeni (E1-E48). Pada lokus mEgCIR3376, tetua jantan (pembawa sifat Vir) memiliki posisi alel 1 dan 2 yang berbeda dengan tetua betina (nig) (alel 3). Segregasi alel pada progeni menunjukkan 19 individu Vir dengan posisi alel 13 (satu tiga), 18 individu nig dengan posisi alel 23 (dua tiga), empat individu Vir dengan posisi alel 23 (dua tiga) dan enam individu nig dengan posisi alel 13 (satu tiga). Individu Vir dengan alel 13 (satu tiga) dan individu nig dengan alel 23 (dua tiga) merupakan turunan tipe tetua; sedangkan individu Vir dengan alel 23 dan individu nig dengan alel 13 merupakan tipe rekombinan. Konfigurasi alel tetua famili DP-E dapat diprediksi berdasarkan pola segregasi alel pada progeni. Gambar 4.5 memperlihatkan dua kemungkinan konfigurasi alel tetua P3 dan D3. Hasil segregasi alel pada progeni DP-E mengarah ke tipe A, dimana individu Vir alel 13 dan individu nig alel 23 jumlahnya lebih banyak dan merepresentasikan tetua, sedangkan total individu tipe rekombinan lebih sedikit.
Gambar 4.4 Profil marka SSR pada kelapa sawit famili DP-E menggunakan primer mEgCIR3376. P3 = Pisifera 3, D3 = Dura 3. Tanda panah menunjukkan posisi alel tetua sebagai referensi.
#9!
!
P1 = Dura
A.
v
v
3
3
P2 = Pisifera
X
Nig
P1 = Dura
B.
V
v
v
v
1
2
3
3
Vir
P2 = Pisifera
X
v
V
1
2
Vir
Nig
F1
F1
V
v
v
v
V
v
v
v
v
v
V
v
v
v
V
v
1
3
2
3
2
3
1
3
1
3
2
3
2
3
1
3
Vir
Nig
Vir*
Nig*
Nig
Vir
Nig*
Vir*
Gambar 4.5 Dua tipe (A dan B) kemungkinan konfigurasi alel dan distribusi segregasi marka mEgCIR3376 pada kelapa sawit famili DP-E. F1 Vir dan Nig adalah tipe tetua; F1 Vir* dan Nig* adalah rekombinan. Verifikasi Lokus Kandidat yang Terpaut dengan Karakter Virescens Kandidat marka mEgCIR3376 yang diduga terpaut dengan karakter Vir diuji pada empat famili E. guineensis yang memiliki segregasi warna buah Vir dan nig. Progeni dari empat famili ini merupakan half-sib dari progeni famili DP-E, dimana tetua jantannya sama (P3) tetapi tetua betinanya berbeda-beda (D1, D2, D3 dan D4). Hasil verifikasi pada ke empat famili (G, H, K, L) memperlihatkan hasil lokus mEgCIR3376 tidak konsisten terpaut pada populasi yang diuji untuk karakter Virecens. Elektroferogram lokus mEgCIR3376 ditunjukkan pada Gambar 4.6-4.9. Alel 1 pada lokus mEgCIR3376 pada famili DP-E terpaut dengan Virescens tetapi pada famili verifikasi G, H, K dan L, individu-individu yang memiliki alel 1 tidak selalu mempunyai warna buah Virescens. Berdasarkan hasil segregasi progeni famili G, H, K dan L pada Tabel 4.3, hanya famili G dan H yang memiliki jumlah progeni dengan tipe tetua yang banyak dan mengikuti pola segregasi famili DP-E. Pola segregasi famili K memiliki jumlah progeni dengan tipe rekombinan yang lebih banyak dan famili L memiliki jumlah progeni dengan tipe tetua yang selisih sedikit dari jumlah tipe rekombinan. Penyimpangan pola segregasi progeni famili K dan L dapat disebabkan karena sampel yang digunakan dalam tahap verifikasi hanya 20 dan dipilih secara acak dari total setiap populasi (populasi lengkap = 46-48 pohon). Konfigurasi tetua populasi verifikasi dapat diprediksi berdasarkan hasil segregasi profeni famili G, H, K dan L. Gambar 4.10 menunjukkan bahwa konfigurasi tetua jantan tetap sama dengan Gambar 4.5, tetapi konfigurasi tetua betina berbeda. Tetua betina pada famili verifikasi diprediksi merupakan tipe rekombinan.
! 31
Gambar 4.6 Profil marka SSR pada kelapa sawit famili G menggunakan primer mEgCIR3376. P3 dan D1 adalah tetua jantan dan betina. Progeni ditandai dengan inisial G; diwakili oleh 10 individu dengan warna buah Virescens dan 10 individu dengan warna buah nigrescens.
Gambar 4.7 Profil marka SSR pada kelapa sawit famili H menggunakan primer mEgCIR3376. P3 dan D2 adalah tetua jantan dan betina. Progeni ditandai dengan inisial H; diwakili oleh 10 individu dengan warna buah Virescens dan 10 individu dengan warna buah nigrescens.
#"!
!
Gambar 4.8 Profil marka SSR pada kelapa sawit famili K menggunakan primer mEgCIR3376. P3 dan D4 adalah tetua jantan dan betina. Progeni ditandai dengan inisial K; diwakili oleh 10 individu dengan warna buah Virescens dan 10 individu dengan warna buah nigrescens.
Gambar 4.9 Profil marka SSR pada kelapa sawit famili L menggunakan primer mEgCIR3376. P3 dan D5 adalah tetua jantan dan betina. Progeni ditandai dengan inisial L; diwakili oleh 10 individu dengan warna buah Virescens dan 10 individu dengan warna buah nigrescens.
! 33 Tabel 4.3 Segregasi primer mEgCIR3376 pada kelapa sawit famili G, H, K dan L berdasarkan kelompok warna buah (Virescens dan nigrescens) Jumlah sampel F1 Jumlah Famili Sampel I (Vir) II (Nig) III (Vir*) IV (Nig*) G (P3 x B1) 9 8 1 2 20 H (P3 x B2) 9 10 1 0 20 K (P3 x B4) 6 2 4 8 20 L (P3 x B5) 7 5 3 5 20
P1 = Dura
A.
P2 = Pisifera
v
v
X 1
1
V
v
1
2
Vir
Nig
v 1
1
v
v V
v 2
1
1
2
Alel Dura
V
v
v
1
2
1
Terjadi rekombinasi
F1 V
Virescens
B.
1
Alel Dura
?
v
v
?
v
v
1
2
1
1
Vir
Nig
Vir*
Nig*
I
II
III
IV
Terjadi rekombinasi
Gambar 4.10 A. Kemungkinan konfigurasi alel dan distribusi segregasi marka mEgCIR3376 pada sampel kelapa sawit famili G, H, K dan L. F1 Vir dan Nig adalah tipe tetua; F1 Vir* dan Nig* adalah rekombinan. B. Dua kemungkinan terjadinya rekombinasi yang menghasilkan alel 1 pada Dura. Gambar 4.10 bagian B mengilustrasikan dua kemungkinan terjadinya rekombinasi pada alel tetua betina hingga menghasilkan alel 1. Kemungkinan pertama adalah terjadinya rekombinasi antara alel dari individu Vir dengan alel dari individu nig yang membawa alel 2. Kemungkinan kedua adalah terjadinya rekombinasi antara alel dari individu yang tidak diketahui warna buahnya dengan alel dari individu nig yang membawa alel 2. Perbedaan konfigurasi tetua di populasi pemetaan dan verifikasi mengindikasikan hubungan kekerabatan secara tidak langsung. Pada populasi pemetaan (famili DP-E), konfigurasi tetua menunjukkan adanya hubungan kekerabatan yang cukup jauh, sedangkan pada populasi verifikasi kedua tetua menunjukkan indikasi hubungan kekerabatan yang lebih dekat. Marka mEgCIR3376 masih dapat digunakan sebagai alat bantu seleksi untuk merakit DxP yang hasil tinggi dan Vir dengan menggunakan famili DP-E.
#:!
!
Untuk memperoleh marka spesifik Virescens yang lebih dekat, marka-marka SSR atau marka molekuler lain yang terdapat pada LG 8 (Billotte et al. 2005) atau LG 1 (Singh et al. 2009) dapat dieksplorasi untuk studi lanjut dan juga untuk memperoleh marka yang mengapit gen Vir. Penggunaan marka pengapit atau intragenik akan meningkatkan reliabilitas marka secara drastis untuk prediksi fenotipe (Collard dan Mackill 2008). Simpulan Konstruksi peta pautan genetik menggunakan 25 SSR menghasilkan empat Kelompok Pautan (KP) dengan total cakupan peta genetik 213.1 cM. Marka SSR mEgCIR3376 diidentifikasi sebagai kandidat marka yang terpaut pada karakter Virescens dengan jarak genetik 27.7 cM dengan posisi di LG8, meskipun marka tidak stabil pada populasi verifikasi. Marka mEgCIR3376 masih dapat digunakan sebagai alat bantu seleksi untuk merakit DxP dengan hasil tinggi dan memiliki karakter Vir dgn menggunakan famili DP-E.
5 PEMBAHASAN UMUM
Kajian informasi genetik kelapa sawit koleksi PT Bina Sawit Makmur menggunakan marka molekuler dilakukan pertama kali oleh Putri (2010b) pada 22 famili Pisifera dari tujuh origin (Yangambi, Ekona, Ghana, LaMe, Nigeria, Dami, AVROS) dan 24 tetua Dura dari tiga origin (Dami, Chemara dan Mardi). Studi ini menggunakan 20 marka SSR. Hasil penelitiannya menunjukkan Pisifera dengan origin Nigeria, Ekona dan Yangambi memiliki tingkat keragaman alelik yang tinggi; Dura origin Dami membentuk satu grup sendiri dan origin Mardi dan Chemara pada grup yang berbeda. Studi lanjutan dilakukan oleh Zulhermana (2010) pada populasi Pisifera klon dan Pisifera TxP famili origin Nigeria. Studi ini juga menggunakan marka SSR sebanyak 12 marka. Hasil percobaan menujukkan bahwa marka SSR dapat digunakan untuk verifikasi keseragaman klon pada kelapa sawit hasil kultur jaringan, sebagai salah satu perangkat seleksi dalam konservasi keragaman genetik yang tersedia dan memberikan informasi yang akurat mengenai tingkat kekerabatan genetik. Analisis keragaman genetik pada studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam keragaman genetik pada famili DP-E hasil persilangan Pisifera origin Nigeria dan Dura MARDI menggunakan 25 marka SSR. Pisifera yang digunakan dalam percobaan adalah Pisifera klon dan telah diuji true to type oleh Zulhermana (2010). Keragaman progeni DP-E yang diperoleh pada studi ini masih luas dan hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya. Progeni DP-E yang Vir dan memiliki karakter hasil yang tinggi dapat digunakan untuk disilang balik dengan tetua Pisifera Vir untuk membentuk populasi Pisifera yang homozigot Vir dan membawa karakter hasil tinggi. Resolusi peta genetik yang diperoleh pada studi ini (213.1 cM) dapat ditingkatkan dengan menggunakan jumlah populasi yang lebih besar. Populasi yang kurang dari 50 individu umumnya memberikan resolusi peta yang kurang informatif (Young 2000). Densitas peta genetik dapat ditingkatkan juga dengan memperbesar jumlah marka molekuler yang terdapat di banyak spesies tanaman. Saat ini, jumlah marka bervariasi antara 1 000 hingga 2 000 untuk seluruh genom, tetapi jumlah yang lebih besar diharapkan dengan adanya teknologi baru (Jansen et al. 2001). Hasil analisis asosiasi marka SSR dengan karakter Vir menunjukkan bahwa marka mEgCIR3376 memiliki persentase keterpautan 72.3 % dengan peluang rekombinasi 27.7 %. Hasil ini bermakna bahwa marka ini dapat digunakan untuk alat bantu seleksi (MAS) dengan catatan hanya pada populasi tetua atau breeding population, dan bukan pada populasi komersil. Idealnya, marka yang diperoleh harus terpaut sangat dekat dengan lokus target, dengan jarak genetik kurang dari 5 cM. Adanya marka pengapit atau marka intragenik akan meningkatkan angka kepercayaan marka untuk memprediksi fenotipe yang diamati (Collard dan Mackill 2008). Berdasarkan hasil studi ini, marka-marka SSR yang berada pada LG 8 (Billotte et al. 2005) dalam kisaran jarak 30 cM dapat dieksplorasi untuk mencari marka pengapit dan memperkecil jarak genetik antara marka dan karakter warna buah.
!#6!
!
Studi terbaru tentang gen VIRESCENS yang mengendalikan warna buah dan mengkode R2R3-MYB membuka jalan untuk pengembangan uji genetik untuk warna buah sebelum tanam dan untuk introgresi sifat yang diinginkan ke material elite untuk pemuliaan (Singh et al. 2014). Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan eksplorasi marka-marka molekuler spesifik seperti SNP (Singh et al. 2013) dan SSR (Billotte et al. 2010) pada LG spesifik yang terpaut dengan Vir dapat dilakukan sebagai alternatif.
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Beberapa marka SSR yang memiliki alel spesifik Pisifera dan Dura diperoleh dari hasil seleksi 105 marka SSR. Analisis keragaman genetik famili DP-E berdasarkan 25 marka SSR menunjukkan keragaman yang masih tinggi. Estimasi struktur populasi famili DP-E juga memperlihatkan adanya rekombinasi yang tinggi pada individu progeni. Resolusi peta pautan genetik yang diperoleh dalam studi ini mencakup empat kelompok pautan (KP) dengan total cakupan peta genetik 213.1 cM. Lokus SSR mEgCIR3376 diperoleh sebagai kandidat marka yang terpaut pada karakter Virescens dengan jarak genetik 27.7 cM pada posisi Linkage Group (LG) 8. Pengujian marka pada populasi verifikasi memberikan hasil yang belum stabil. Saran Individu progeni famili DP-E yang memiliki karakter hasil tinggi, unggul dan Virescens dapat dipilih untuk dilanjutkan ke siklus pemuliaan berikutnya. Marka SSR mEgCIR3376 dapat digunakan sebagai alat bantu pada populasi tetua atau populasi pemuliaan untuk seleksi tanaman yang Virescens dengan persentase keterpautan 72.3 %. Eksplorasi marka yang lebih dekat dengan karakter Virescens dapat dilakukan dengan memilih marka-marka SSR yang spesifik terdapat pada LG 8.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah N, Yusop MR, Ithnin M, Saleh G, Latif MA. 2011. Genetic variability of oil palm parental genotypes and performance of its progenies as revealed by molecular markers and quantitative traits. C R Biologies. 334:290-299. Acquaah G. 2007. Principles of plant genetics and breeding. Oxford (GB): Blackwell. Ajambang W. 2012. Microsatellite markers reveal Cameroon’s wild oil palm population as a possible solution to broaden the genetic base in the Indonesian-Malaysia oil palm breeding programs. African J of Biotech. 11(69):13244-13249. Arias D, Montoya C, Rey L, Romero H. 2012. Genetic similarity among commercial oil palm materials based on microsatellite markers. Agronomia Colombiana. 30(2):188-195. Asmono D, Guritno P, Pamin K. 1999. Peluang, tantangan, dan arah penelitian pemuliaan kelapa sawit di Indonesia. Warta PPKS. 7(1):1-9. Bakoume C, Wickneswari R, Rajanaidu N, Kushairi A, Amblard P, Billotte N. 2007. Allelic diversity of natural oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) populations detected by microsatellite markers: implications for conservation. Plant Genet Resource: Characterization and Utilization. 5(2):104-107. Bakoume C, Wickneswari R, Rajanaidu N, Kushairi A, Billotte N. 2009. Screening natural oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) populations using SSR markers [Internet]. The International Society for Oil Palm Breeders (ISOPB) Seminar; 2010 Nov 4–5. Kuala Lumpur. Kuala Lumpur: ISOPB. [diunduh 2014 Juni 10]. Tersedia pada: http://www.isopb.org/docs/2009/P6%20Bakoume%20Paper_Screening%2 0natural%20oil%20palm%20(Elaeis%20guineensis%20Jacq)%20populati ons%20using%20SSR%20marker.pdf Ben-Ari G, Lavi U. 2012. Marker-assisted selection in plant breeding. Di dalam: Altman A, Smith RH, Hasegawa PM, Moser BC, editor. Plant Biotechnology and Agriculture Prospects for the 21st Century. London (GB): Elsevier. hlm 163-184. Bilotte N, Risterucci AM, Barcelos E, Noyer JL, Amblard P, Baurens FC. 2001. Development, characterization, and across-taxa utility of oil palm (Elais guineensis Jacq.) microsatelitte markers. Genome. 44:413-425. Billotte N, Marseillac N, Risterucci AM, Adon B, Brottier P, Baurens FC, Singh R, Herran A, Asmady H, Billotte C et al. 2005. Microsatelitte-based high density linkage map in oil palm (Elais guineensis Jacq.). Theor Appl Genet. 110:754-765. Billotte N, Jourjon MF, Marseillac N, Berger A, Flori A, Asmady H, Adon B, Singh R, Nouy B, Potier F et al. 2010. QTL detection by multi-parent linkage mapping in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Theor Appl Genet. 120(8):1673-1687.doi:10.1007/s00122-010-1284-y.
! #;! [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Luas tanaman perkebunan besar menurut jenis tanaman, Indonesia. [Internet]. [Diunduh 22 Juni 2012]. Tersedia pada:http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&i d_subyek=54¬ab=1 Breure CJ. 2002. Preliminary results of ASD’s genetic material planted at Bina Sawit Makmur (BSM) in South Sumatra. Di dalam: Poeloengan Z, Guritno P, Darnoko D, Buana L, Purba R, Darmosarkoro W, Sudharto PS, Haryati T, Elisabeth J, Siahaan D et al., editor. Enhancing oil palm industry development through environmentally friendly technology. 2002, Juli 8-12; Bali, Indonesia. Medan (ID):IOPRI. hlm 153-162. Brody JR, Kern SE. 2004. Sodium boric acid: a Tris-free, cooler conductive medium for DNA electrophoresis. BioTechniques. 36:214-216. Chen C, Yu Q, Hou S, Li Y, Eustice M, Skelton RL, Veatch O, Herdes RE, Diebold L, Saw J et al. 2007. Construction of a sequence-tagged highdensity genetic map of papaya for comparative structural and evolutionary genomics in brassicales. Genetics. 177:24812491.doi:10.1534/genetics.107.081463. Collard CYB, Mackill DJ. 2008. Marker-assisted selection: an approach for precision plant breeding in the twenty-first century. Phil. Trans. R. Soc. B. 363:557-572.doi:10.1098/rstb.2007.2170. Corley RHV. 2009. How much palm oil do we need?. Environ Sci. and Policy. 12:134-139. Corley RHV, Tinker PB. 2003. The oil palm, 4th edition. Oxford (GB): Blackwell Science. Creste S, Neto AT, Figueira A. 2001. Detection of single sequence repeats polymorphisms in denaturing polyacrylamide sequencing gels by silver staining. Plant Mol Biol Reporter. 19:299-306. Devey ME, Delfino-Mix A, Kinloch BB, Neale DB. 1995. Random amplified polymorphic DNA markers tightly linked to a gene for resistance to white pine blister rust in sugar pine. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 92:2066-2070. Dice LR. 1945. Measures of the amount of ecology association between species. Ecology. 26(3): 297-302. Evanno G, Regnaut S, Goudet J. 2005. Detecting the number of clusters of individuals using the software STRUCTURE: a simulation study. Mol Ecol. 14: 2611-2620. Fadilah N, Mohamad-Saleh J, Halim ZA, Ibrahim H, Ali SSS. 2012. Intelligent color vision system for ripeness classification of oil palm fresh fruit bunch. Sensors. 12:14179-14195.doi:10.3390/s121014179. Godwin I. 2003. Plant germplasm collections as sources of useful genes. Di dalam: Newbury HJ. Plant molecular breeding. Oxford (GB): Blackwell Publishing. hlm 134-148. Hardon JJ. 1970. In breeding in populations of the oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Oleagineux. 28:449. Hartley CWS. 1988. The Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.). New York (US): John Wiley and Sons. Hildebrand CE, Torney DC, Wagner RP. 1992. Informativeness of polymorphic DNA markers. Los Alamos Sci. 20:100-102.
!:9!
!
Hong Y, Chen X, Liang X, Liu H, Zhou G, Li S, Wen S, Holbrook CC, Guo B. 2010. A SSR-based composite genetic linkage map for the cultivated peanut (Arachis hypogaea L.) genome. BMC Plant Biol. 10:17.doi: 10.1186/1471-2229-10-17. Jakobsson M, Rosenberg NA. 2007. CLUMPP: a cluster matching and permutation program for dealing with label switching and multimodality in analysis of population structure. Bioinformatics. 23(14):1801-1806. Jansen J, Jong AG, OOijen JW. 2001. Constructing dense genetic linkage maps. Theor Appl Genet. 102:1113-1122. Lander ES, Green P, Abrahamson J, Barlow A, Daly MJ, Lincoln SE, Newburg L. 1987. MAPMAKER: an interactive computer package for constructing primary genetic linkage maps of experimental populations. Genomics 1:174-181. Lincoln SE, Daly MJ, Lander ES. 1993. Constructing genetic linkage maps with MAPMAKER/EXP Version 3.0: A tutorial and reference manual. Cambridge: Whitehead Institute. Marshall TC, Slate J, Kruuk LEB, Pemberton JM. 1998. Statistical confidence for likelihood-based paternity inference in natural populations. Mol Ecol. 7:639-655. May Z, Amaran MH. 2011. Automated oil palm fruit grading system using artificial intelligence. IJVIPNS-IJENS. 11(3):30-35. Michelmore RW, Paran I, Kesseli RV. 1991. Identification of markers linked to disease-resistance genes by bulked segregant analysis: A rapid method to detect markers in specific genomic regions by using segregating populations. Proc Natl Acad Sci. USA. 88:9828-9832. Montilla-Bascon G, Sanchez-Martin J, Rispail N, Rubiales D, Mur L, Langdon T, Griffiths I, Howarth C, Prats E. 2013. Genetic diversity and population structure among oat cultivars and landraces. Plant Mol Biol Rep 31:13051314. Montoya C, Lopes R, Flori A, Cros D, Cuellar T, Summo M, Espeout S, Rivallan R, Risterucci A, Bittencourt D et al. 2013. Quantitative trait loci (QTLs) analysis of palm oil fatty acid composition in an interspecific pseudobackcross from Elaeis oleifera (H.B.K) Cortes and oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Tree Genet. & Genomes. 9:12071225.doi:10.1007/s11295-013-0629-5. Ngando-Ebongue GF, Ajambang WN, Koona P, Firman BL, Arondel V. 2012. Oil Palm. Di dalam: Gupta SK, editor. Technological Innovations in Major World Oil Crops. Breeding. Volume 1. New York (US): Springer. Nei M. 1972. Genetic distance between populations. Am Nat. 106:282-292. Orozco-Castillo C, Chalmers KJ, Waugh R, Powell W. 1994. Detection of genetic diversity and selective gene introgression in coffee using RAPD markers. Theor Appl Genet. 87:934-940. Pamin K. 1998. A hundred and fifty years of oil palm development in Indonesia: from the Bogor Botanical Garden to the industry. Di dalam: Jatmika A. et al., editor. Commodity of the past, today and the future, Int. Oil Palm Conf; 1998; Medan, Indonesia. Medan(ID): IOPRI. hlm 3-23.
! :8! Price Z, Mayes S, Billotte N, Hafeez F, Dumortier F, MacDonald D. 2007. Oil Palm. Di dalam: Kole C, editor. Genome Mapping and Molecular Breeding in Plants. Volume 6. Berlin (DE): Springer-Verlag. hlm 94-108. Pritchard JK, Stephens M, Donnelly P. 2000. Inference of population structure using multilocus genotype data. Genetics. 155:945 – 959. Putri LAP. 2010a. Allelic diversity of 22 Sampoerna Agro’s oil palm pisifera based on microsatellite markers. Di dalam: Siahaan D, Samosir Y, Herawan T, Rahutomo S, Jatmika A, Erwinsyah, Susanto A, Sutarta ES, Panjaitan FR, Hasibuan HA et al., editor. International Oil Palm Conference 2010; 2010 Juni 1-3; Yogyakarta, Indonesia. Medan (ID): IOPRI. hlm 397-404. Putri LAP. 2010b. Pendugaan parameter genetik dan karakterisasi molekuler keragaman genetik dengan marka mikrosatelit (SSR) pada kelapa sawit [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Rajanaidu N, Kushairi A, Rafii M, Mohd DA, Maizura I, Jalani BS. 2000. Oil Palm Breeding and Genetic Resources. Di dalam: Basiron Y, Jalani BS, Chan KW, editor. Advances in Oil Palm Research. Volume 1. Selangor (MY): MPOB. hlm 171-237. Rajanaidu N, Rao RV. 2002. Managing plant genetic resources and the role of private and public sectors: oil palm as a model. Di dalam: Engels JMM, Rao RV, Brown AHD, Jackson MT, editor. Managing Plant Genetic Diversity. Wallingford (UK): CABI Publishing. Rosenberg NA. 2004. DISTRUCT: a program for the graphical display of population structure. Mol Ecol Notes. 4:137-138. Saghai-Maroof MA, Biyashev RM, Yang GP, Zhang Q, Allard RW. 1994. Extraordinarily polymorphic microsatellite DNA in barley species diversity, chromosomal location and population dynamics. Proc Natl Acd Sci. 9:5546-5470. Silva GF, Santos JB, Ramalho AP. 2003. Identification of SSR and RAPD markers linked to a resistance allele for angular leaf spot in the common bean (Phaseolus vulgaris) line ESAL 550. Genet Mol Biol. 26(4):459-463. Singh R, Rahman RA, Choo CS. 2006 June. Markers to predict skin colour of oil palm fruit. MPOB Information Series TT No.306. Kuala Lumpur (MY): MPOB. Singh R, Nagappan J, Tan S, Panandam JM, Cheah S. 2007. Development of simple sequence repeat (SSR) markers for oil palm and their application in genetic mapping and finger printing of tissue culture clones. Asia Pacific J Mol Bio Biotech. 15(3):121-131. Singh R, Tan SG, Panandam JM, Rahman RA, Ooi LCL, Low EL, Sharma M, Jansen J, Cheah S. 2009. Mapping quantitative trait loci (QTLs) for fatty acid composition in an interspecific cross of oil palm. BMC Plant Bio. 9:114.doi:10.1186/1471-2229-9-114. Singh R, Ong-Abdullah M, Low EL, Manaf MAA, Rosli R, Nookiah R, Ooi LC, Ooi S, Chan K, Halim MA, Azizi N et al. 2013. Oil palm genome sequence reveals divergence of interfertile species in Old and New worlds. Nature. 500:335-339.doi:10.1038/nature12309. Singh R, Low EL, Ooi LC, Ong-Abdullah M, Nookiah R, Ting N, Marjuni M, Chan P, Ithnin M, Manaf MAA et al. 2014. The oil palm VIRESCENS
!:"!
!
gene controls fruit colour and encodes a R2R3-MYB. Nature Comms. 5:4106.doi:10.1038/ncomms5106. Siwach P, Jain S, Saini N, Chowdhury VK, Jain RK. 2004. Allelic diversity among Basmati and non-Basmati long-grain indica rice varieties using microsatellite markers. J Plant Biochem. & Biotech. 13:25-32. Thawaro S, Te-chato S. 2009. Application of molecular markers in the hybrid verification and assessment of somaclonal variation from oil palm propagated in vitro. Sci Asia 35:142-149. Thongthawee S, Tittinutchanon P, Volkaert H. 2010. Microsatellites for parentage analysis in oil palm breeding population. Thai J Genetics 3(2):172-181. [USDA] United States Department of Agriculture. 2014 July. Oilseeds: world markets and trade. Circular Series FOP 07-14. Varshney A, Mohapatra T, Sharma RP. 2004. Molecular mapping and marker assisted selection of traits for crop improvement. Di dalam: Srivastava PS, Narula A, Srivastava S. Plant biotechnology and molecular markers. New Delhi (IN): Anamaya Publishers. hlm 289 – 330. Vigouroux Y, Mitchell S, Matsuoka Y, Hamblin M, Kresovich S, Smith JSC, Jaqueth J, Smith OS, Doebly J. 2005. An analysis of genetic diversity across the maize genome using microsatellites. Genetics. 169:16171630.doi:10.1534/genetics.104.032086. Voorrips R.E. 2002. MapChart: Software for the graphical presentation of linkage maps and QTLs. J Heredity. 93(1):77-78. Wakui K, Iwata H, Takahashi Y, Takahata Y, Fujigaki J. 2009. Assessment of the congruity of genetic relationship and variation revealed by individualand bulked-samples-based approaches using RAPD and ISSR markers in Japanese turnip (Brassica rapa ssp. rapa) cultivars. Breeding Sci. 59:447452. Yeh FC, Yang RC, Boyle T. 1999. POPGENE version1.31 Microsoft WindowBase Software For Population Genetic Analysis:A Quick User’s Guide. Canada (CA): University of Alberta. Ying ST, Zaman FQ, Ling HC, Ithnin M, Rao V. 2007. Flanking AFLP markers for the virescens trait in oil palm. J Oil Palm Research. 19:381-392. Young ND. 2000. Constructing a plant genetic linkage map with DNA markers. Di dalam: Phillips RL, Vasil JK, editor. DNA-based Markers in Plants. Netherlands (NL): Kluwer Pr. Zeven AC. 1965. Oil palm groves in southern Nigeria. Part I. Types of groves in existence. J Nigerian Inst. Oil Palm Res. 4:226-249. Zulhermana. 2009. Keragaman genetik intra dan interpopulasi kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pisifera asal Nigeria berdasarkan analisis marka Simple Sequence Repeat (SSR) [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
!
:#!
Lampiran 1 Daftar 105 primer SSR yang digunakan dalam tahap skrining primer Primer mEgCIR1713 mEgCIR3788 mEgCIR3819 mEgCIR3297 mEgCIR3428 mEgCIR3813 mEgCIR2763 mEgCIR3792 mEgCIR0800 mEgCIR3282 mEgCIR0408 mEgCIR3649 mEgCIR2575 mEgCIR2215 mEgCIR3683 mEgCIR3698 mEgCIR2518 mEgCIR0369 mEgCIR3544 mEgCIR3301
!
5' - 3' Primer F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R
GCTGAAGATGAAATTGATGTA TTCAGGTCCACTTTCATTTA TTGTATGACCAAAGACAGC AGCGCAACATCAGACTA CCTCCTTTGGAATTATG GTGTTTGATGGGACATACA GGCGGGGCCGAAGGTAGAGG TCCGGCCCTAGCACCACATC GACAGCTCGTGATGTAGA GTTCTTGGCCGCTATAT CATACCCTGCTTATCTTTC GTAGATACCCGTTAGTTGAC TCCTCACTGCTCCTCTAATC ACTCCCTATGGACCTTAGTC CAGCACACAAATGACAT CACCTTTCCTTTTTGTC GTGGGACAATTGAAAGGGAAGT CCAGCTGCCAAATGCTGTAG GTAACAGCATCCACACTAAC GCAGGACAGGAGTAATGAGT TTGCGGCCCATCGTAATC TCCCTGCAGTGTCCCTCTTT TTTAGAGGACAAGGAGATAAG CGACCGTGTCAAGAGTG GGGACTTCGCAAACTGTAGCA CGGTGGCGTATGGTGGATT GAACTTGGCGTGTAACT TGGTAGGTCTATTTGAGAGT GTAGCTTGAACCTGAAA AGAACCACCGGAGTTAC AAGCCACCAGGATCATC GTCATTGCCACCTCTAACT GATCCCAATGGTAAAGACT AAGCCTCAAAAGAAGACC GGGTAGCAAACCTTGTATTA ACTTCCATTGTCTCATTATTCT AGCAGGGCAAGAGCAATACT TTCAGCAGCAGGAAACATC GCACTTGGTGGTTATGA AGCTGCTGATGGATATC
An. T
bp
LG loc
52
252
1
52
173
1
52
132
1
52
128
1
52
175
1
52
167
1
52
179
1
52
150
2
56
205
2
52
245
2
58
193
2
52
284
2
52
269
2
52
121
2
52
126
2
52
182
3
52
277
3
52
206
3
52
188
3
52
140
3
!::!
!
Primer mEgCIR2347 mEgCIR3260 mEgCIR3275 mEgCIR3716 mEgCIR1917 mEgCIR3310 mEgCIR2423 mEgCIR3693 mEgCIR2595 mEgCIR3775 mEgCIR3691 mEgCIR3828 mEgCIR3902 mEgCIR2813 mEgCIR3427 mEgCIR3281 mEgCIR3747 mEgCIR3643 mEgCIR0804 mEgCIR0195 mEgCIR3383
!
5' - 3' Primer F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R
ATTTTGCATGTGTTGAGAGC CAACCAATTGCACCCTAAAG AGGGCAAGTCATGTTTC TATAAGGGCGAGGTATT GAAGCCTGAGACCGCATAGA TTCGGTGATGAAGATTGAAG GCAGACATGGCAGCAAAAAG GGGGATGTTCCTGGATATCA CGATCTTCTAGCGTGCAAGA ATTCCCCACCTCCTCCACAC ATCATGGCCGATCTGTATTA GGAATGCTGGTCATGGAATATA TCCAAGTAGCAAATGATGAC TGCCCTGAAACCCTTGA TGCACACAGGCACACATA AAAATGGGGTGTAGAGTTG TCAAAGAGCCGCACAACAAG ACTTTGCTGCTTGGTGACTTA TCTTGATATTAAAAGGTCAGGAGAA CGTTCCCTTTTTCCATAGAT GCATCATTGGACTATCATACC TTGTGAACCAGGGAACTATC AGCCAGATGGAAATACAC GTGCGATAAAGAGGAGAGT ACAATAACCTGAGACAACAAGAAAC ATACATCCCCTCCCCTCTCT GCTTTGTTGCAGTTTGACTA GTTTAGGATGTTGCGTGAT AAATGGACTCAACAAACACA AACTAACCAAAATGGTATATTTA TTTCTTATGGCAATCACACG GGAGGGCAGGAACAAAAAGT CCTCCACTTCTCTTCATCTT CTTCCTCAAGCTCAAACAAT TCCACTCTGGCAACTCC AAGGATGGGCTTTGTAGT GGAGTTAGTAAGTTAGTGAGAGAGA GCGTTGTTTGGATGATG CCCACCACCCCTAGCTTCTC ACCCCGGTCCAAATAAAATC AGCAAGACACCATGTAGTC GACACGTGGGATCTAGAC
An. T 52
153
LG loc 3
52
221
3
52
146
4
52
200
4
52
153
4
52
104
4
52
342
4
52
290
4
52
184
4
52
193
4
52
181
5
52
282
5
52
116
5
52
210
5
52
165
5
52
232
6
52
109
6
52
136
6
52
205
6
58
255
6
52
170
6
bp
! :
!
5' - 3' Primer F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R
GAATGTGGCTGTAAATGCTGAGTG AAGCCGCATGGACAACTCTAGTAA CAGTGCTCTTCCAGTATTA GGTTCTGCCTCTTCATACTA TGCTTCTTGTCCTTGATACA CCACGTCTACGAAATGATAA CACCACATGAAGCAAGCAGT CCTACCACAACCCCAGTCTC AAAGAAGGAAGCGGGTGGG AGACCATTACCCCGATGTCAC TTGGTGAGCCATTTGCTACA CCTCCTTCCACCCCTCTACT GGGGATGAGTTTGTTTGTTC CCTGCTTGGCGAGATGA ATGCCGCCTTCTCTTTATCC ATGGTTGGGCTCTCTGTCTT TACCATCACTGACCAATAAC GTCTTTCTTGCTAACTACAC CTTACCCCGCCTCCTCTCCT CGAAATGCCCTTCCTTTACACTA CCCTCCCTGCTACCTTCT TTATGTGAGTGCCTTTGATG GAGGGGGTTGGGACATTAC TAGCTCACAACCCAGAATCTAT TTTCTCATGGTGGGTAGGTG TCAGATTGCGGTGGATGTAT TTCCAGAAGCTAAACGAATGAC GCGGACAGTGCGAAGAGAGT TGGGGATGGGGGAGCAG TCGCACCGCCTCCTACC GCTCGTTTTTGTTTAGGTGA TTTTCTCCATAGTCCGTTAC TAGTTTTCCCATCACAGAGT ACAATATTTAGACCTTCCATGAG ACTTGCACCACTACTTCTAT CTTTTAGGCATTCTCTTGTAG GCCGTTCAAGTCAATTAGAC TTTGGGAGCAAGCATTATCA GAAGAAGAGCAAAAGAGAAG GCTAGGTGAAAAATAAAGTT AGCAAAATGGCAAAGGAGAG GGTGTGTGCTATGGAAGATCATAGT
An. T 58
296
LG loc 6
52
239
7
52
186
7
231
16 &7
52
115
7
52
243
7
52
277
7
52
153
8
52
226
8
58
149
8
52
213
8
52
185
8
52
248
8
52
182
8
52
105
9
52
220
9
52
153
9
52
160
9
52
240
9
52
204
9
52
230
9
52
bp
!:6!
!
Primer mEgCIR0803 mEgCIR0825 mEgCIR3826 mEgCIR0788 mEgCIR3519 mEgCIR0146 mEgCIR0551 mEgCIR0366 mEgCIR3400 mEgCIR2110 mEgCIR3653 mEgCIR0192 mEgCIR3766 mEgCIR1977 mEgCIR3382 mEgCIR2417 mEgCIR2414 mEgCIR2422 mEgCIR0827 mEgCIR0906 mEgCIR3825
!
5' - 3' Primer F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R
AAGCCAACTTCACAGATATGTTGAT ATGAGCCTAACAAAGCACATTCTAA AGTGAGGTATGGTTGATTAGGA TATTGATAGCATTTGGGATTAG AAACCAAGTCAAGTTCAGTT TTTTTTTAATTGATGGATAG ACATTCCCTCTATTATTCTCAC GTTTTGTTTGGTATGCTTGT CCACTGCTTCAAATTTACTAG GCGTCCAAAACATAAATCAC GACCTTTGTCAGCATACTTGGTGTG GCAGGCCTGAAATCCCAAAT AGGGGGAGAAGCAGATGAAG ATCGTCTCTCATTGTCAAGTTAGAT CCTTGCATTATTATTTTATTC TGCATCAATTCATCTTTT CAATTCCAGCGTCACTATAG AGTGGCAGTGGAAAAACAGT TGTTTTGTTTCGTGCATGTG GGCTGACATGCAACACTAAC CATGAGATGGTATATAATCTATAC ACGAGATCTGCTTCATTGT AAGCTAGCGACCTATGATTTTAGA AAACAAGTAATGTGCATAACCTTTC ATGCTCCACCAAGTTTA CACATCCTAGCATCATTG GGTGCAAGAGAGGAGGAATG TTTGGTAGTCGGGCGTTTTA TGTAGGTGGTGGTTAGG TGTCAGACCCACCATTA GAGCATGACGCAAACAAAGG GCAACATGTTTGATGCATTAATAGTC CAATCATTGGCGAGAGA CGTCACCTTTCAGGATATG GCCCTCCCTCAACTCAAAAA ATGGTGTCTGGGACTCTGAGTA AGGGGCACAAAGAACAAGGT AGAGCTCATAGGTCTTCTTGAACATC TTTTATTTTCCCTCTCTTTTGA ATTGCGTCTCTTTCCATTGA ATTGGAGAGCACTTGGATAG TTCTCTTCCTTCTCACTTGT
An. T 52
265
LG loc 9
52
200
10
52
257
10
52
129
10
52
236
10
58
301
10
52
252
10
52
290
10
52
148
11
52
154
11
52
143
11
52
204
11
52
137
11
52
134
11
52
125
11
52
234
12
52
195
12
52
248
12
52
164
12
52
159
12
52
238
12
bp
! :=! Primer mEgCIR3311 mEgCIR3555 mEgCIR2569 mEgCIR2212 mEgCIR3399 mEgCIR3569 mEgCIR2427 mEgCIR0779 mEgCIR3607 mEgCIR0772 mEgCIR0588 mEgCIR3633 mEgCIR3402 mEgCIR0773 mEgCIR2860 mEgCIR3737 mEgCIR0409 mEgCIR3807 mEgCIR0037 mEgCIR3745 mEgCIR3639
!
5' - 3' Primer F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R
AATCCAAGTGGCCTACAG CATGGCTTTGCTCAGTCA CATCAGAGCCTTCAAACTAC AGCCTGAATTGCCTCTC TAGCCGCACTCCCACGAAGC CCAGAATCATCAGACTCGGACAG CGGTTTTGTCGCATCTATG GTCGTCAGGGAACAACAGT AGCCAATGAAGGATAAAGG CAAGCTAAAACCCCTAATC AAGGCTTGGAGTTGAGGTAT CACCATTGCATCATTATTCC GAAGGGGCATTGGATTT TACCTATTACAGCGAGAGTG AATGCAGACCAAGCTAATCATATAC GTTCAGGTGATGGTGACTCAGATAG ATTGCAGAGATGATGAGAAG GAGATGCTGACAATGGTAGA TATAATCCACCCAGCACAAC CCAATTATACAATCCCACAAAG GCAAGATGCAATGGAGTTCA CAAACCGCAGCAAGTCAGA TCTCCCAAATCACTAGAC ATCTGCAAGGCATATTC GGGCTTTCATTTTCCACTAT GCTCAACCTCATCCACAC GCAAAATTCAAAGAAAACTTA CTGACAGTGCAGAAAATGTTATAGT AGGGAGGCGAACGAGAAACA CGACTGCTGATGGGGAAGAG TGCTACGTGCTGAAATA ATTTCAGGTTCGCTTCA AGGGAATTGGAAGAAAAGAAAG TCCTGAGCTGGGGTGGTC CCTATTCCTTACCTTTCTGT GACTTACTATCTTGGCTCAC CCAGTCTGCTAACCATCCTATAC TCTCACTTCCTCCCCACATC GGAAGTCTTGATGTTGAAAG ATCAAGCAGTCGCATAATAC ACGTTTTGGCAACTCTC ACTCCCCTCTTTGACAT
An. T 52
176
LG loc 12
52
136
13
56
229
13
52
125
13
52
265
13
52
237
14
52
116
14
52
238
14
52
188
14
52
148
14
52
215
14
52
140
14
52
241
15
52
250
15
52
97
15
52
140
15
58
252
15
52
164
15
52
175
15
52
273
16
52
278
16
bp
!:7!
!
Primer mEgCIR2436 mEgCIR3750 mEgCIR0782
5' - 3' Primer F R F R F R
AACACTCCAGAAGCCAGGTC GGTTTAGGTATTGGAACTGATAGAC GATGTTGCCGCTGTTTG CATCCCATTTCCCTCTT CGTTCATCCCACCACCTTTC GCTGCGAGGCCACTGATAC
Lampiran 2 Profil marka SSR pada kelapa sawit famili DP-E
!
An. T 52
178
LG loc 16
52
149
16
56
187
16
bp
! :;!
!
!<9!
!
!
! <8!
!
!<"!
!
!
! <#!
!
!<:!
!
!
! <
CTAB 5% (b/v) (Larutan Stok, 100 ml) 5.0 g CTAB dan 2.05 g NaCl dilarutkan dalam 100 ml ddH2O, larutkan hingga homogeny dengan stirrer. Simpan di suhu ruang.
•
NaCl 5M (Larutan Stok, 100 ml) 29.22 g NaCl dilarutkan secara bertahap dalam 65 ml ddH2O. Tera hingga 100 ml jika bahan sudah homogen. Simpan di suhu ruang.
•
EDTA 0.5 M pH 8.0 (Larutan Stok, 100 ml) 18.6 g Na-EDTA dan 2.0 g NaOH dilarutkan dalam 80 ml ddH2O. Setelah homogen, larutan ditera dengan menambahkan NaOH 2.5 M hingga pH 8.0, tepatkan volume hingga 100 ml. Simpan di suhu ruang
•
Tris-HCl 1M pH 8.0 (Larutan Stok, 100 ml) 12.11 g Trizma base dan 4.2 ml HCl dilarutkan dalam 80 ml ddH2O. Setelah homogen, larutan ditera dengan menambahkan HCl pekat hingga pH 8.0, tepatkan volume hingga 100 ml. Simpan di suhu ruang.
•
Tris-HCl 1M pH 7.4 (Larutan Stok, 50 ml) 6.055 g Trizma base dan 3.5 ml HCl dilarukan dalam 40 ml ddH2O. Setelah homogeny, larutan ditera dengan menambahkan HCl pekat hingga pH 7.4, tepatkan volume hingga 50 ml. Simpan di suhu ruang.
•
Na-asetat 3M pH 5.2 (Larutan Stok, 100 ml) 40.81 g Na-asetat.3H2O dilarutkan dalam 55 ml ddH2O. Setelah homogen, larutan ditera dengan menambahkan acetic acid glacial hingga pH 5.2, tepatkan volume hingga 100 ml. Simpan di suhu ruang.
•
TE (Tris-EDTA) buffer 50X (Larutan Stok, 50 ml) 25 ml larutan stok Tris-HCl 1M pH 8.0 dan 5 ml larutan stok EDTA 0.5M pH 8.0 dilarutkan dalam 20 ml ddH2O, stir hingga homogen, saring dengan kertas saring. Simpan di suhu ruang.
•
Buffer ekstraksi CTAB (Larutan kerja, 250 ml) 100 ml larutan stok CTAB 5%, 63 ml larutan stok NaCl 5M, 25 ml larutan stok Tris-HCl 1M pH 8.0 dan 10 ml larutan stok EDTA 0.5M pH 8.0 dilarutkan dalam 52 ml ddH2O, stir hingga homogen. Simpan di suhu ruang.
•
KIAA 24:1 (Larutan Kerja, 100 ml) 96 ml Chloroform dan 4 ml Isoamilalkohol dicampur hingga homogen, disimpan di suhu ruang.
•
Etanol 70% (Larutan Kerja, 100 ml) 70 ml etanol pure analysis dilarutkan dalam 30 ml ddH2O, simpan di suhu 4 °C.
!
!<6!
!
•
RNAase-A (Larutan Stok, 10 mg/ml) 10 mg RNAase-A, 3.3 µl larutan stok Na-asetat 3M pH 5.2 dilarutkan dalam 996.7 µl ddH2O dalam tabung mikro 2 ml. Larutkan hingga homogen, inkubasi di suhu 100 °C selama 15 menit, dinginkan hingga suhu ruang. 100 µl larutan stok Tris-HCl 1M pH 7.4 ditambahkan dalam larutan. Simpan dalam freezer.
•
TE Buffer 1X (Larutan Kerja, 100 ml) 2 ml larutan stok TE Buffer 50X dilarutkan dalam 98 ml ddH2O hingga homogen. Simpan di suhu ruang.
•
Buffer TAE 50X (Larutan Stok, 500 ml) 121 g Trizma base, 28.55 ml acetic acid glacial dan 50 ml EDTA 0.5 M pH 8.0 dilarutkan dalam ddH2O, stir hingga homogen dan tepatkan volume dengan ddH2O hingga 500 ml. Simpan di suhu ruang.
•
Buffer TAE 1X (Larutan Kerja, 1000 ml) 50 ml buffer TAE 50X dilarutkan dalam 980 ml ddH2O, campur hingga homogen. Simpan di suhu ruang.
•
Loading dye 6X (Larutan Kerja, 100 ml) 40 g sukrosa dan 0.25 g bromophenol blue dilarutkan dalam 100 ml ddH2O, stir hingga homogen. Simpan di suhu ruang.
•
Acrylamide 40% (Larutan Stok, 250 ml) 95 g acrylamide dan 5 g bis-acrylamide dilarutkan dalam 100 ml ddH2O, stir hingga homogen. Volume ditepatkan dengan ddH2O hingga 250 ml. Simpan di suhu 4 °C dalam wadah gelap.
•
Ammonium persulfate solution (APS) 10% (Larutan Kerja, 10 ml) 1 g APS dilarutkan dalam 10 ml ddH2O, aduk hingga homogen. Simpan di suhu 4 °C dalam wadah gelap.
•
Sodium Boric (SB) Buffer 20X (Larutan Stok, 1 000 ml) 8 g NaOH dan 45 g Boric acid dilarutkan dalam ddH2O, stir hingga homogen, tepatkan volume hingga 1 000 ml. Simpan di suhu ruang.
•
Acrylamide 6% (Larutan Kerja, 100 ml) 15 ml Acrylamide 40%, 42 g urea dan 5 ml SB 20X dilarutkan dalam ddH2O, stir hingga homogen. Simpan di suhu 4 °C dalam wadah gelap.
•
Sodium Boric (SB) Buffer 1X 50 ml larutan stok SB 20X dilarutkan dalam 950 ml ddH2O, aduk hingga homogen. Simpan di suhu ruang.
!
! <=! •
Sodium thiosulfate 1% 100 mg Sodium thiosulfate dilarutkan dalam 10 ml ddH2O, aduk hingga homogen. Simpan di suhu 4 °C.
•
Formamide Loading dye (Larutan Stok, 10 ml) Bahan Konsentrasi akhir 0.5 M EDTA pH 8.0 10 mM 99 % formamide
95 %
9.6 ml
Bromophenol Blue
0.05 %
5 mg
Xylene Cyanol
0.05 %
5 mg
ddH2O
•
!
!
Jumlah 0.02 ml
0.38 ml
Larutan Pewarnaan Gel (Silver staining) (Larutan Kerja, 1 000 ml) Larutan Prosedur Fiksasi 100 ml ethanol dan 10 ml acetic acid glacial dilarutkan dalam 890 ml ddH2O Pre-treat
15 ml nitric acid dilarutkan dalam 985 ml ddH2O
Staining
2 g perak nitrat dilarutkan dalam 1 000 ml ddH2O
Developer
30 g Sodium karbonat dilarutkan dalam 1 000 ml ddH2O, dinginkan hingga terbentuk bunga es. Sebelum pemakaian, tambahkan 1.5 ml 37% formaldehyde dan 200 µl sodium thiosulphate 1%
Stop
50 ml acetic acid glacial dilarutkan dalam 950 ml ddH2O
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Tanjung Balai pada tanggal 15 Juli 1983 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Hermanto Karya dan Ani. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMU SUTOMO 1 Medan pada tahun 2001. Penulis menyelesaikan studi sarjana tahun 2006 di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis tercatat sebagai mahasiswa pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Tahun akademik 2010/2011.