11
annealing yang tepat dengan mengatur reaksi pada berbagai suhu dalam satu reaksi sekaligus sehingga lebih efektif dan efisien. Proses optimasi dilakukan menggunakan satu sampel DNA kelapa sawit yaitu KS 8.4 dengan menggunakan empat primer forward dan reverse dan tiga suhu meliputi 40°C, 45°C, dan 50°C. Optimasi dilakukan dengan membuat campuran reaksi PCR yang dilanjutkan dengan amplifikasi melalui program PCR gradien. Pembuatan campuran reaksi PCR dilakukan pada tabung mikro dengan komposisi antara lain 1 µL sampel DNA (50 ng), 2.5 µL buffer complete, 1 µL dNTPs, 1 µL primer forward mTcCIR (15, 26, 37, dan 229), 1 µL primer reverse mTcCIR (15, 26, 37, dan 229), 0.5 µL Taq DNA polimerase, dan 18 µL MW (Molekular Water) sehingga volume total menjadi 25 µL. Campuran tersebut kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan speed vac selama beberapa saat kemudian dimasukkan ke dalam mesin PCR. Tahap berikutnya yaitu amplifikasi yang dilakukan pada mesin PCR ESCO APBIO dengan program PCR gradien. Siklus PCR yang terdiri dari 35 siklus selama kurang lebih 3 jam dengan rincian reaksi predenaturasi pada suhu 94°C selama 7 menit, denaturasi pada suhu 94°C selama 45 detik, annealing diatur pada tiga suhu yaitu pada suhu 40°C , 45°C, dan 50°C selama 45 detik, extension pada suhu 72°C selama 2 menit, dan pasca pemanjangan primer pada suhu 72°C selama 5 menit. Hasil amplifikasi kemudian disimpan ke dalam freezer bersuhu -20°C. Untuk mengetahui secara kualitatif dapat diuji dengan elektroforesis gel agarose kemudian dianalisis pita yang terbentuk dari hasil elektroforesis gel agarosa sehingga diketahui suhu annealing optimum untuk digunakan pada amplifikasi DNA selanjutnya. Amplifikasi DNA Kelapa Sawit dengan Primer Mikrosatelit Pembuatan campuran reaksi PCR dilakukan pada tabung mikro dengan komposisi antara lain 1 µL sampel DNA (50 ng), 2.5 µL buffer complete, 1 µL dNTPs, 1 µL primer forward mTcCIR (15, 26, 37, 229, dan kombinasinya), 1 µL primer reverse mTcCIR (15, 26, 37, 229, dan kombinasinya), 0.5 µL Taq DNA polimerase, 18 µL MW (Molecular Water) sehingga volume total menjadi 25 µL. Campuran tersebut kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan speed vac selama beberapa saat kemudian secara hati-hati dimasukkan ke dalam mesin PCR.
Tahap berikutnya yaitu amplifikasi yang dilakukan pada mesin PCR ESCO APBIO yang terdiri dari 35 siklus selama kurang lebih 3 jam dengan rincian reaksi predenaturasi pada suhu 94°C selama 7 menit, denaturasi pada suhu 94°C selama 45 detik, annealing pada suhu 45°C (hasil dari optimasi) selama 45 detik, extension pada suhu 72°C selama 2 menit, dan pasca pemanjangan primer pada suhu 72°C selama 5 menit. Hasil amplifikasi kemudian disimpan ke dalam freezer bersuhu -20°C. Hasil amplifikasi DNA dianalisis dengan elektroforesis gel agarose. Elektroforesis Hasil Amplifikasi Hasil amplifikasi berdasarkan penanda mikrosatelit dapat diketahui visualisasinya dengan melakukan konfirmasi dengan menggunakan elektroforesisi gel agarose. Gel agarose yang digunakan yaitu gel agarosa 1.5%. Sebelum dilakukan elektroforesis, hasil amplifikasi dicampurkan dengan loading buffer terlebih dahulu dengan perbandingan 1:5. Marker yang digunakan adalah 1 kb plus DNA ladder sebanyak 0.8 µL. Elektroforesis dialiri tegangan listrik 75 volt selama ± 60 menit. Hasil elektroforesis diamati dengan bantuan lampu UV dalam transilluminator. Analisis Segregasi Marka SSR Evaluasi dari pita-pita yang dihasilkan dilihat dari fragmen DNA yang mempunyai berat molekul tertentu. Ada atau tidaknya marka SSR diskor secara manual. Kriteria penskoran berdasarkan muncul tidaknya alel, alel yang muncul diberi skor 1 dan yang tidak muncul diberi skor 0. Data biner yang diperoleh selanjutnya diolah menjadi dendrogram atau disebut dengan pohon filogenetik dengan menurunkan matriks koefisien kemiripan dengan menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method Arithmatic mean) memakai software komputer NTSYS versi 2.02. Selain itu juga dilihat koefisien kemiripan genetik antar individu dalam populasinya dengan menggunakan program yang sama.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Pita DNA Genom Total Tanaman Kelapa Sawit Hasil Isolasi DNA genom total menjadi komponen penting yang dibutuhkan dan sangat mempengaruhi keberlangsungan penelitian mengenai pengelompokkan tanaman kelapa
12
sawit berdasarkan simple sequence repeats (SSR) marker ini. DNA genom total berfungsi sebagai DNA target (template) yang selanjutnya akan diamplifikasi dengan mengggunakan primer spesifik yang telah dipilih. Isolasi DNA dan pemurniannya merupakan langkah awal analisis dan manipulasi secara in vitro dalam studi molekuler. Melalui tahapan isolasi DNA diperoleh DNA genom total dari 58 sampel tanaman kelapa sawit yang sebelumnya belum diketahui identitasnya untuk dianalisis secara lebih lanjut. Menurut Bintang (2010) tahap yang paling penting dalam mengisolasi DNA adalah tahapan pemecahan dinding sel untuk mengeluarkan DNA. Kegagalan dalam memecahkan semua dinding sel dari suatu jaringan dapat mempengaruhi hasil akhir isolasi DNA. Selain itu selama proses penggerusan perlu ditambahkan nitrogen cair untuk proses liofilisasi, sehingga komponennya kering dan mudah digerus. Nitrogen cair mempunyai suhu minus 196°C. Enzim-enzim menjadi inaktif pada suhu dingin, sehingga DNA sampel tidak mengalami denaturasi (Barnum 2005). Metode isolasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode Orozco-Castillo (1994). Pemilihan metode ini berdasarkan pada optimasi yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian
sebelumnya. Ying dan Zaman (2006) juga menyatakan bahwa metode Castillo (1994) umum digunakan pada tanaman perkebunan seperti kelapa sawit. Tahapan isolasi DNA dengan metode Castilo (1994) pada prinsipnya hampir serupa dengan metode isolasi DNA yang dikembangkan oleh Murray dan Thompson (1980) yakni Cetyl trimethylammonium bromide (CTAB). Hanya terdapat sedikit perbedaan yaitu terletak pada penambahan β-merkaptoetanol dan polyvinylpyrolidone (PVP) 1.5% untuk mencegah terjadinya oksidasi yang menyebabkan kerusakan DNA. Bagian yang diambil untuk diisolasi DNA tanaman sawit adalah daun. Daun dipilih karena bagian tersebut merupakan bagian yang mudah untuk dihancurkan dan penting dalam mengontrol proses kehidupan tanaman. Daun yang dipilih adalah daun muda karena banyak mengandung DNA. Daun muda sedang aktif dalam melakukan proses pembelahan dan pertumbuhan sel sehingga banyak mengandung DNA. DNA genom total hasil isolasi DNA ini akan diamplifikasi dengan primer spesifik dan dielektroforesis dengan gel agarosa untuk selanjutnya dianalisis lebih lanjut. Parameter hasil isolasi yang baik dapat dilihat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Uji kualitatif dilakukan dengan menggunakan elektroforesis gel agarose 1%.
12000 bp
DNA RNA, polisakarida , protein
DNA RNA, polisakarida, protein
Gambar 3 Elektroforegram DNA kelapa sawit sebelum pemurnian.
13
12000 bp
DNA
DNA
Gambar 4 Elektroforegram DNA kelapa sawit setelah pemurnian. Secara kualitatif DNA hasil isolasi menunjukkan profil yang cukup bagus. Hal tersebut ditunjukkan oleh intensitas keseluruhan pita DNA yang dihasilkan tampak jelas dan terang seperti terlihat pada Gambar 3. Sampel yang paling bagus yaitu sampel 46 dengan visualisasinya yang sangat jelas dan terang. Visualisasi pita DNA yang dihasilkan dari 58 sampel tanaman kelapa sawit sangat bervariasi, tetapi memiliki intensitas dan ukuran yang hampir sama yaitu berkisar pada 12000 bp. Ukurannya yang cukup besar yaitu berkisar pada 12000 bp dan posisi pita yang berada pada bagian awal proses migrasi menunjukkan bahwa DNA yang berhasil diisolasi merupakan DNA genom total. Konsentrasi DNA Kelapa Sawit Hasil Isolasi Secara kuantitatif konsentrasi DNA dapat dilihat dengan mengukur rasio absorbansinya pada panjang gelombang 260 nm dengan spektrofotometer UV-VIS. Adanya ikatan rangkap terkonjugasi pada basa heterosiklik purin dan pirimidin menyebabkan nukleosida, nukleotida, dan polinukleotida dapat menyerap sinar UV (Murray et al. 2003). Konsentrasi DNA dihitung dengan
pengukuran bahwa pada panjang gelombang 260 nm, nilai 1 unit absorban sebanding dengan 50 μg/ml DNA (Brown 2003; Walker & Wilson 2000). Sehingga konsentrasi DNA bisa didapat melalui perkalian nilai absorban pada panjang gelombang 260 nm dengan faktor pengenceran dan 50 μg/ml (Sambrook et al. 1989). Hasil isolasi DNA memperlihatkan konsentrasi yang sangat bervariasi pada ke-58 sampel yaitu berkisar antara 200-945 ng/µL. Selain konsentrasi, tingkat kemurnian juga menjadi parameter penting dari segi kuantitatif. Kemurnian DNA ditentukan dengan indeks kemurnian. Kemurnian tersebut dihitung berdasarkan kemurnian terhadap protein (A260nm/A280nm) dan polisakarida (A260nm/A230nm). Nilai rasio A260/A280 dikatakan murni jika bernilai 1.6-1.8 (Farrell 2010). Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa rasio A260/A280 berada pada kisaran 1.21-2.16, sementara rasio A260/A230 berkisar antara 0.74-2.49 seperti yang tercantum pada Lampiran 4 (Tabel hasil pengukuran kuantitatif DNA dengan spektrofotometer). Sehingga berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui bahwa DNA yang berhasil diisolasi dari beberapa sampel masih terdapat kontaminan protein dan polisakarida seperti
14
yang terlihat pada Gambar 3. Sehingga perlu dilakukan pemurnian DNA hasil isolasi. Pemurnian hasil isolasi DNA dilakukan dengan penambahan RNase. Setelah adanya penambahan RNase kemungkinan adanya kontaminan RNA sangat kecil bahkan tidak ada seperti yang terlihat pada Gambar 4. Tingkat kemurnian pada rasio A260nm/A280nm dan A260nm/A230nm yang tidak berada pada rentang yang sesuai dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti DNA yang tidak terlarut secara sempurna sehingga akan mempengaruhi pembacaan pada alat spektrofotometer, tingginya kandungan polisakarida yang dapat meningkatkan viskositas hasil isolasi, dan adanya polifenol yang merupakan agen oksidator dalam berbagai spesies tanaman termasuk kelapa sawit yang menyebabkan penurunan yield dan kemurnian hasil isolasi DNA (Porebski et al. 1997). Pemilihan konsentrasi DNA yang tepat akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses PCR. Nurhaimi-Haris et al. (2003) menyatakan bahwa konsentrasi DNA akan berdampak pada kualitas fragmen hasil amplifikasi. Jika konsentrasi DNA terlalu rendah fragmen yang dihasilkan sebagai pita akan sangat tipis pada gel atau bahkan pita tidak terlihat secara visual, sebaliknya jika konsentrasi DNA terlalu tinggi akan menyebabkan fragmen terlihat tebal sehingga sulit dibedakan antara satu pita dengan pita lainnya. Akan tetapi penggunaan mikrosatelit mempunyai kelebihan yaitu jumlah DNA yang dibutuhkan relatif rendah. Selain itu juga mampu menggunakan DNA dengan kualitas rendah sampai sedang (Lee 1998). Senior et al. (1996) juga menyatakan bahwa teknik PCR pada mikrosatelit hanya menggunakan DNA dalam jumlah sedikit dengan daerah amplifikasi yang kecil 100-300 bp dari genom. Kelebihan lain dari marka mikrosatelit yaitu dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena sampel yang dibutuhkan untuk ekstraksi DNA sangat sedikit, selain itu dapat menggunakan bagian tanaman lain seperti biji atau serbuk sari (Senior et al.1996). Sehingga sampel yang memiliki konsentrasi rendah tetap bisa dijadikan cetakan pada amplifikasi. Konsentrasi DNA yang digunakan pada proses amplifikasi sebesar 50 ng/µL, sehingga perlu dilakukan pengenceran agar konsentrasi DNA yang dipakai pada proses amplifikasi seragam antara satu sampel dengan sampel lainnya.
Suhu Annealing Optimum untuk Amplifikasi DNA Kelapa Sawit Variasi jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus diantara genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR (Hamada et al. 1982). Tahapan annealing merupakan tahapan kritis pada teknik PCR tersebut karena pada saat tersebut terjadi penempelan primer pada DNA cetakan. Proses penempelan primer yang optimal atau kurang optimal pada bagian mikrosatelit DNA akan berpengaruh pada hasil amplifikasi. Jika pemilihan suhu annealing tidak tepat dapat berakibat primer tidak dapat mengamplifikasi DNA dengan baik sehingga tidak terbentuk pita hasil amplifikasi atau pita sangat tipis dan bahkan smear. Oleh karena itu sebelum dilakukan amplifikasi terlebih dahulu dilakukan optimasi suhu annealing. Optimasi dilakukan dengan mengambil satu sampel dari keseluruhan sampel dengan menggunakan enam primer yang juga digunakan dalam proses amplifikasi DNA. Suhu yang dioptimasi yaitu berkisar pada suhu 40°C, 45°C, dan 50°C. Berdasarkan hasil optimasi dengan program PCR gradien terlihat bahwa pada suhu 40°C dan 45°C terbentuk pita-pita yang cukup jelas, sedangkan pada suhu 50°C hanya terbentuk satu pita seperti terlihat pada Gambar 5. Sehingga dipilih suhu annealing 45°C. Rahman et al. (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu annealing maka larik-larik DNA yang dihasilkan akan semakin spesifik. Hal tersebut tergantung pada kualitas hasil PCRnya. Diharapkan dengan suhu yang telah dipilih tersebut DNA yang akan diamplifikasi dapat menghasilkan amplikon yang berkualitas baik.
Suhu 45°C
Gambar 5 Elektroforegram hasil optimasi suhu annealing (40°C, 45°C, dan 50°C) Profil Pita Hasil Amplifikasi DNA Kelapa Sawit dengan SSR Marker (Mikrosatelit) Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan enam primer mikrosatelit yang
15
telah dirancang sebelumnya. Lokus mikrosatelit diapit oleh suatu urutan nukleotida yang terkonservasi, sehingga urutan DNA pengapit ini dapat dijadikan primer spesifik yang bisa diamplifikasi menggunakan PCR (Treuren 2000). Empat primer merupakan primer utama dan dua primer berikutnya merupakan kombinasi dari empat primer tersebut. Adapun primer yang digunakan yaitu mTcCIR 15, mTcCIR 26, mTcCIR 37, dan mTcCIR 229. Urutan sekuen masing-masing primer yang digunakan terlampir pada Lampiran 3. Masing-masing primer yang digunakan berupa primer forward dan reverse, sedangkan untuk primer kombinasi menggunakan mTcCIR 229 sebagai primer forward dan mTcCIR 26 serta mTcCIR 37 sebagai primer reverse. Pita yang muncul pada gel agarose pada setiap lokus diasumsikan sebagai alel mikrosatelit. Sedangkan marka DNA merupakan data alel yang teramati dengan memperhatikan pita DNA yang muncul berdasarkan ukuran produk PCR (Megia dan Djuita 2010). Davidson (2001) menyatakan bahwa kualitas hasil PCR mikrosatelit yang bagus yaitu pita yang dihasilkan sebanyak dua pita. Dua pita menunjukkan alel heterozigot, sedangkan satu pita menunjukkan alel homozigot. Dua pita yang dihasilkan mengindikasikan bahwa penanda mikrosatelit bersifat kodominan bagi organisme diploid yang dapat membedakan genotip homozigot dan heterozigot (Pandin et al. 2008). Amplifikasi DNA dengan menggunakan enam pasang primer spesifik yang berbedabeda menghasilkan amplikon berupa pita dengan pola yang sangat bervariasi. Masingmasing lokus dapat menghasilkan 27-301 alel teramplifikasi, dan berbeda-beda jumlah alelnya untuk masing-masing lokus. Primer mTcCIR 26 dan mTcCIR 37 hanya menghasilkan 27 dan 49 alel pada setiap lokusnya, sedangkan pada primer lainnya yaitu mTcCIR 15, 229, kombinasi mTcCIR 229 dan mTcCIR 26, serta kombinasi mTcCIR 229 dan mTcCIR 37 masing-masing menghasilkan alel teramplifikasi sebanyak 140, 301, 186, dan 156 alel per lokusnya. Jumlah alel per lokus dapat dilihat pada Lampiran 12 hingga Lampiran 17. Perbedaan jumlah alel dalam setiap lokus ini akan menyebabkan perbedaan nilai heterozigositas. Semakin tinggi jumlah alel dalam suatu lokus maka semakin tinggi nilai heterozigositasnya (Unadi et al. 2010). Sehingga pada primer mTcCIR 26 dan mTcCIR 37 lebih banyak alel yang homozigot. Nilai heterozigositas yang
tinggi diasumsikan sebagai lokus yang memiliki tingkat mutasi yang tinggi, mutasi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dari alel homozigot dengan urutan basa yang sama sehingga menghasilkan alel dengan urutan basa yang berbeda. Hal ini menyebabkan keragaman genetik tinggi. Keseluruhan sampel yang berjumlah 58 dengan enam pasang primer membentuk fragmen berjumlah 859 pita DNA dengan intensitas dan ukuran yang beragam (Lampiran 12 hingga Lampiran 17). Primer mTcCIR 229 menghasilkan fragmen paling banyak yaitu 11 fragmen dengan ukuran berkisar antara 300-4000 bp, sementara primer mTcCIR 26 menghasilkan fragmen yang paling sedikit yaitu 4 fragmen dengan ukuran 1650-5000 bp. Primer yang lainnya yaitu primer mtcCIR 15 menghasilkan 10 fragmen dengan ukuran berkisar antara 400-12000 bp, primer mTcCIR 37 menghasilkan 5 fragmen dengan ukuran 500-1800 bp, kombinasi primer mTcCIR 229 dengan mTcCIR 26 menghasilkan 5 fragmen dengan ukuran 4504000 bp, dan kombinasi primer mTcCIR 229 dengan mTcCIR 37 menghasilkan 8 fragmen dengan ukuran 200-1650 bp. Perbedaan ukuran pita yang terjadi pada masing-masing primer menunjukkan adanya perubahan genomik. Perubahan tersebut dapat terjadi dari alel yang bersifat homozigot (satu pita) menjadi heterozigot (dua pita) atau sebaliknya (Meiga dan Djuita 2010). Hasil pengamatan elektroforegram hasil PCR SSR terlihat pada Tabel 1. Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan jumlah dan intensitas pita DNA yang terbentuk pada setiap primer dan pada masing-masing lokus. Tingey et al. (1994) menyatakan bahwa variasi yang terjadi pada jumlah dan intensitas pita DNA yang terbentuk setelah proses amplifikasi sangat tergantung pada cara primer mengenal urutan DNA komplementernya pada cetakan DNA (DNA template) yang digunakan. Kemurnian dan konsentrasi DNA cetakan juga berpengaruh. DNA cetakan yang mengandung kontaminan seperti polisakarida dan senyawa fenolik, serta konsentrasi DNA cetakan yang terlalu kecil sering menghasilkan pita DNA amplifikasi yang redup atau tidak jelas (Weeden et al. 1992). Selain itu sebaran situs penempelan primer pada DNA cetakan dan adanya kompetisi tempat penempelan primer pada DNA cetakan menyebabkan satu fragmen diamplifikasi dalam jumlah banyak sementara fragmen lainnya hanya sedikit. Weeden et al. (1992) juga menyatakan bahwa
16
Tabel 1 Kompilasi elektroforegram hasil amplifikasi DNA dengan SSR marker Total Total fragmen % Kode primer fragmen polimorfisme polimorfisme mTcCIR 15 10 10 100% mTcCIR 26 4 4 100% mTcCIR 37 5 5 100% mTcCIR 229 11 9 81.8 % mTcCIR 229 + mTcCIR 26 5 5 100% mTcCIR 229 + mTcCIR 37 8 7 87.5% Total 43 40 93.03% amplifikasi mungkin diinisiasi pada beberapa tempat, tetapi hanya beberapa set yang dapat dideteksi sebagai pita sesudah amplifikasi. Sehingga pemilihan primer pada analisis keragaman genetik sangat berpengaruh terhadap polimorfisme pita yang dihasilkan, karena setiap primer memiliki situs penempelan spesifik tersendiri. Akibatnya pita DNA polimorfik yang dihasilkan setiap primer menjadi berbeda, baik dalam ukuran banyaknya pasang basa maupun jumlah pita DNAnya. Seperti pada primer mTcCIR 26 dan mTcCIR 37 yang hanya sedikit sekali menghasilkan pita dibandingkan dengan primer lainnya. Pita DNA yang dihasilkan dari amplifikasi juga memberikan informasi ilmiah mengenai tingkat polimorfisme dan keragaman genetik dari sampel-sampel yang diujikan. Visualisasi pada elektroforegram memperlihatkan 40 dari 43 fragmen yang dihasilkan mempunyai tingkat polimorfisme yang sempurna yaitu 100%, sementara 3 fragmen lainya mempunyai tingkat polimorfisme dengan presentase berkisar antara 80-87%. Tetapi secara keseluruhan presentasi polimorfisme bernilai tinggi yaitu sebesar 93.03% seperti yang tercantum pada Tabel 1. Tingginya persentase polimorfisme dapat dipengaruhi oleh banyaknya jumlah individu dalam suatu populasi. Pita polimorfik menggambarkan keadaan genom tanaman. Pembentukan pita polimorfik pada sampel menunjukkan adanya keragaman genetik pada sampel. Semakin banyak pita DNA polimorfik keragaman genetik sampel semakin tinggi karena semakin banyak situs penempelan primer pada genom tanaman. Kemiripan Genetik Kelapa Sawit Hubungan kekerabatan genetik dalam populasi dapat diukur berdasarkan kesamaan dari sejumlah karakter. Pola hubungan genetik dari 58 tanaman kelapa sawit dapat diketahui dengan menganalisis kemiripan genetik antar individunya. Kemiripan genetik antar individu dalam suatu populasi dapat dianalisis
Ukuran fragmen (bp) 400-12000 1650-5000 500-1800 300-4000 450-4000 200-3000
berdasarkan nilai koefisien kemiripan dan jarak genetik antara satu individu dengan individu yang lain. Semakin besar nilai derajat kemiripan genetik antar dua individu berarti semakin besar kemiripan genetiknya. Hal ini dilakukan dengan membandingkan pita hasil elektroforesis dengan koefisien kemiripan genetik Jaccard menggunakan software NTSYS. Nilai dari koefisien kemiripan yang diperoleh berdasarkan hasil skoring yang berupa bilangan biner akan menghasilkan angka-angka dengan kisaran 0.000 hingga 1.000 yang mencerminkan seberapa dekat atau seberapa jauh kemiripan genetik antar individu dalam suatu populasi. Semakin kecil koefisien kemiripan dari nilai 1.000 antar individu dalam suatu populasi maka semakin jauh kemiripan genetiknya dan keseragaman antar populasi semakin rendah atau beragam. Sebaliknya semakin mendekati koefisien kemiripan dengan nilai 1.000 antar individu dalam suatu populasi maka semakin mirip antar individunya dan populasi tersebut memiliki anggota yang seragam. Berdasarkan matriks koefisien kemiripan genetik yang telah diperoleh dari 58 sampel (Lampiran 11), koefisien kemiripan antar individu memiliki nilai yang sangat bervariasi. Nilai koefisien kemiripan yang diperoleh berada pada kisaran 0.4186-0.9767 atau jarak genetik antara 0.5814-0.0233 seperti yang terlihat pada Lampiran 11(Matriks kemiripan genetik antara 58 genotip tanaman kelapa sawit berdasarkan proporsi fragmen yang dimiliki secara bersama). Sehingga dapat dinyatakan bahwa kemiripan yang dimiliki antar individu dalam satu populasi berkisar antara 41.86% - 97.67%. Kemiripan paling tinggi dimiliki oleh pohon nomor 16.3 dengan 18.3 yakni 97.67% (Lampiran 11). Tinggginya kemiripan tersebut menunjukkan bahwa kedua pohon tersebut memiliki tingkat kekerabatan yang sangat dekat bahkan mungkin kedua individu secara genotipik tidak berbeda. Kemiripan paling rendah dimiliki oleh pohon nomor 1.6 dengan 16.5, 1.6 dengan 20.1, dan 3.4 dengan 13.1 yakni
17
hanya 41.86%. Berdasarkan angka koefisien kemiripan juga diperoleh informasi bahwa pohon nomor 3.6 dengan 6.4 ternyata merupakan individu yang tidak berbeda secara genetik karena memiliki kemiripan dengan nilai sempurna yaitu 100% (Lampiran 11). Koefisien kemiripan ini akan sangat menentukan keberhasilan dalam persilangan antar individu dalam proses pemuliaan tanaman. Semakin besar nilai koefisien kemiripannya (mendekati 1) atau semakin kecil jarak genetik (mendekati 0) antara dua individu yang akan disilangkan, maka tingkat keberhasilan persilangan akan semakin kecil, demikian pula sebaliknya. Sehingga hasil persilangan yang bagus nantinya akan diperoleh dari persilangan antar individu yang mempunyai kemiripan genetik kecil atau berjarak genetik besar sehingga dapat mempertahankan keragaman genetik yang ada (Sukartini 2008). Pola Konstruksi Filogenetik Penelitian mengenai pengelompokkan tanaman kelapa sawit berdasarkan simple sequence repeat (SSR) marker telah berhasil mengelompokkan 58 tanaman kelapa sawit sesuai kedekatan tingkat kekerabatan antar individunya dalam bentuk pohon filogenik seperti yang terlihat pada Gambar 6. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan informasi ilmiah berupa tingkat keragaman genetik individu dalam satu populasi. Suryanto (2003) menyatakan bahwa analisis keragaman genetik dapat dilakukan melalui analisis hasil elektroforesis DNA. Pita-pita DNA yang terbentuk menunjukkan polimorfisme sehingga dapat diketahui posisi tertentu dalam filogenetik. Pembuatan pohon filogenik membutuhkan data berupa hasil skoring elektroforegram hasil amplifikasi DNA. Setiap pita DNA yang terbentuk berdasarkan marka SSR menunjukkan posisi alel pada lokus, dimana 1 marka SSR merupakan satu lokus. Alel-alel tersebut kemudian diterjemahkan secara manual menjadi data biner. Setiap alel dianggap mewakili satu karakter dan diberi nilai berdasarkan ada tidaknya suatu alel. Hasil skoring terdapat pada Lampiran 5-10. Pohon filogenik (dendogram) kemudian dibuat berdasarkan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Aritmetic means) dengan cara menurunkan dari matriks kemiripan genetiknya. Pada mulanya metode UPGMA digunakan untuk tujuan taksonomi, akan tetapi sering pula digunakan untuk pembentukan pohon
filogenik dengan asumsi bahwa kecepatan mutasi nukleotida atau subsitusi asam amino mempunyai laju evolusi yang sama pada setiap garis keturunannya (Kumar et al. 1993). Sehingga pohon filogenik berdasarkan metode UPGMA menghasilkan akar pohon. Selain itu mudah dalam interpretasi dan aplikasinya serta mengurangi kesalahan-kesalahan stokastik akibat estimasi jarak genetik. Pohon filogenik yang dihasilkan seperti yang terlihat pada Gambar 6 memperlihatkan bahwa 58 tanaman kelapa sawit dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar dan beberapa kelompok kecil sesuai dengan nilai koefisien kemiripannya. Semakin tinggi koefisien kemiripan maka akan semakin spesifik pengelompokkannya. Seluruh individu dalam populasi secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok besar pada saat presntase koefisien kemiripan sebesar 64.9%. Kelompok pertama terdiri atas 19 pohon, sedangkan kelompok kedua terdiri atas 39 pohon yang masing-masing akan terpisah lagi pada koefisien kemiripan genetik yang lebih tinggi. Seperti yang terlihat pada Gambar 6, kelompok besar pertama yang terdiri atas 19 pohon kemudian terbagi lagi menjadi dua kelompok pada presentase koefien kemiripan yang lebih tinggi yaitu 70%. Sub kelompok pertama terdiri atas 15 pohon dengan nomor 1.6, 8.3, 12.2, 2.5, 3.4, 7.5 (kemudian menjadi satu sub kelompok pada koefien kemiripan yang lebih tinggi dari 82%), 3.2, 8.1, 7.4, 13.2, 8.2, 8.6, 4.6, 7.6, dan 11.3 (kemudian menjadi satu sub kelompok pada koefien kemiripan yang lebih tinggi dari 82%). Sedangkan sub kelompok dua hanya terdiri atas empat pohon dengan nomor 16.3, 18.3, 19.5, dan 19.4. Pada presentase koefisien kemiripan yang lebih tinggi yaitu 88% ketiga indivudu yaitu 16.3, 18.3, dan 19. 5 merupakan satu sub kelompok dan pohon 19.4 merupakan satu sub kelompok sendiri (Gambar 6). Seperti halnya pada kelompok besar yang pertama, kelompok besar yang kedua dibagi lagi menjadi dua sub kelompok pengelompokkan lebih jauh lagi dengan memperhatikan koefisien kemiripan genetik yang lebih tinggi. Kelompok besar kedua yang terdiri atas 39 pohon terbagi menjadi dua sub kelompok lagi. Sub kelompok pertama terdiri atas 37 individu yang akan terbagai lagi selanjutnya menjadi kelompok kelompok kecil, sementara dua individu dengan nomor pohon 8.4 dan 8.5 membentuk satu sub kelompok. Sub kelompok pertama yang terdiri
18
atas 37 individu terbagi lagi menjadi dua sub kelompok, sub kelompok pertama merupakan satu individu sendiri yang terpisah dengan yang lainnya yaitu pohon dengan nomor 10.1. Individu 10.1 merupakan individu yang sangat istimewa karena letaknya dalam pohon filogenetik yang terpisah dengan individu yang lain. Dapat diartikan bahwa individu ini merupakan individu langka dan keberadaannya harus dipertahankan. Jika dia punah maka tidak ada individu lain yang mirip dengan pohon nomor 10.1, sehingga sedapat mungkin individu ini dipertahankan untuk memperkaya sumberdaya genetik plasma nutfah Indonesia guna perbaikan karakter yang diinginkan para pemulia. Sementara sub kelompok kedua terdiri atas 36 individu yang kemudian pada koefisien kemiripan lebih tinggi terbagi menjadi sub kelompok yang lebih kecil lagi. Sub kelompok pertama terdiri atas pohon nomor 2.2, 20.5, 22.1, 1.4, 3.1, 9.1B, 2.1, 3.6, 6.4, 4.1, 6.6, 7.1, dan 4.7. Sub kelompok kedua terdiri atas pohon dengan nomor 2.3, 5.5, 11.2, 2.6, 10.3, 13.3, 14.3, 15.1,16.5,20.1, 15.2, 14.1, 14.2, dan 12.1. Sementara sub kelompok ketiga terdiri atas pohon dengan nomor 9.1A, 13.1, 9.3, 11.4, 12.5, 16.1, 16.2, 17.4, dan 17.1. Secara garis besar dengan memperhatikan struktur pohon filogenetik, satu populasi tanaman kelapa sawit yang belum diketahui identitasnya ini dapat terbagi menjadi delapan kelompok yang masing masing terdiri atas anggota yang berbeda-beda. Delapan kelompok tersebut terlihat pada nilai koefisien kemiripan 76%. Kelompok yang pertama terdiri atas individu dengan nomor pohon 1.6, 8.3, 12.2, 2.5, 3.4, 7.5. Kelompok kedua terdiria atas individu dengan nomor pohon 3.2, 8.1, 7.4, 13.2, 8.2, 8.6, 4.6, 7.6, 11.3. Kelompok tiga terdiri atas individu dengan nomor pohon 16.3, 18.3, 19.5, dan 19.4. Kelompok 1, 2, dan 3 merupakan cabang dari kelompok besar pertama. Kelompok keempat yaitu individu tunggal dengan nomor pohon 10.1. Individu dengan nomor pohon 2.2, 20.5, 22.1, 1.4, 3.1, 9.1B, 2.1, 3.6, 6.4, 4.1, 6.6, 7.1, dan 4.7 merupakan anggota kelompok kelima. Kelompok keenam mempunyai anggota individu yang paling banyak dari keseluruhan kelompok yaitu 13 pohon yang meliputi individu dengan nomor pohon 2.3, 5.5, 11.2, 2.6, 10.3, 13.3, 14.3, 15.1, 16.5, 20.1, 15.2, 14.1, dan 14.2. Kelompok selanjutnya yaitu kelompok ketujuh yang terdiri atas sembilan individu dengan nor pohon 9.1A, 13.1, 9.3, 11.4, 12.5, 16.1, 16.2, 17.4, dan 17.1. Sementara
kelompok terakhir yaitu kelompok delapan yang beranggotakan dua individu dengan nomor pohon 8.4 dan 8.5. Kelompok-kelompok tersebut pada koefisien kemiripan yang lebih tinggi yaitu 90% akan terbagai lagi menjadi kelompokkelompok yang lebih spesifik sehingga satu kelompok hanya terdapat dua individu dan dapat diketahui dua invidu yang saling berdekatan seperti yang terlihat pada Gambar 6. Beberapa kelompok hanya terdiri dari satu individu yaitu pohon nomor 1.6, 7.5, 11.3, 19.5, 19.4, 9.1B, 6.6, 7.1, 4.7, 11.2, 15.2, 12.1, 16.2, 17.4, dan 17.1. Berdasarkan pohon filogenik juga didapatkan informasi bahwa pohon nomor 3.6 dan 6.4 terletak pada satu garis lurus pada presentasi koefisien kemiripan 100% sehingga dapat disimpulkan kedua individu tersebut tidak berbeda secara genetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis genom dengan penanda mikrosatelit sangat representatif untuk mengetahui keragaman genetik dalam suatu populasi. Keragaman genetik tanaman dalam suatu populasi sangat penting, agar seleksi dengan maksud untuk mendapatkan karakter-karakter unggul dapat dilakukan. Semakin tinggi keragaman genetik maka peluang untuk mendapatkan genotip unggul semakin besar. Hasil persilangan yang bagus diperoleh dari persilangan antar individu yang mempunyai kemiripan genetik kecil atau berjarak genetik besar sehingga dapat mempertahankan keragaman genetik yang ada (Sukartini 2008). Pola konstruksi pohon filogenik tersebut merupakan informasi yang penting untuk proses pemuliaan tanaman. Melalui pola konstruksi yang terlihat dapat diketahui individu-individu yang kekerabatannya dekat dan yang jauh. Sehingga jika dilakukan penanaman kembali untuk mempertahankan varietas dapat dilakukan penanaman dengan mengelompokkan tanaman sesuai dengan pola konstruksi filogenetik yang telah diperoleh pada penelitian sehingga mempermudah untuk proses pemuliaan selanjutnya. Pemanfaatan Mikrosatelit DNA (SSR) dalam program pemuliaan tanaman kelapa akan sangat membantu untuk mempercepat mengidentifikasi penanda DNA atau gen tertentu yang berkaitan dengan suatu karakter spesifik yang bernilai ekonomi, memperkecil penggunaan lahan untuk setiap satuan penelitian, memperkecil biaya yang diperlukan untuk pemeliharan tanaman dan dapat mencegah duplikasi materi koleksi (Pandin 2010).
19
Gambar 6 Pohon filogenetik 58 pohon kelapa sawit berdasarkan pola pita hasil amplifikasi dengan marka mikrosatelit menggunakan enam pasang primer.