ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MENGGUNAKAN MARKA MOLEKULER SSR DAN KARAKTERISASI KOMPONEN HASIL KLON KAKAO KOLEKSI BALITTRI
ILHAM NUR ARDHI WICAKSONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keragaman Genetik Menggunakan Marka Molekuler SSR dan Karakterisasi Komponen Hasil Klon Kakao Koleksi Balittri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2017 Ilham Nur Ardhi Wicaksono NIM A253130301
RINGKASAN ILHAM NUR ARDHI WICAKSONO. Analisis Keragaman Genetik Menggunakan Marka Molekuler SSR dan Karakterisasi Komponen Hasil Klon Kakao Koleksi Balittri. Dibimbing oleh SUDARSONO, RUBIYO dan DEWI SUKMA. Analisis keragamanan genetik koleksi plasma nutfah kakao mempunyai peranan penting dalam program perakitan klon unggul baru. Ketersediaan klon hasil eksplorasi dan introduksi meningkatkan peluang keberhasilan perakitan klon unggul baru sehingga analisis keragaman genetik materi tersebut perlu dilakukan. Penggunaan marka molekuler dalam analisis keragaman genetik memiliki keuntungan, antara lain tidak dipengaruhi faktor lingkungan dan dapat digunakan untuk menentukan tetua yang akan digunakan dalam persilangan berdasarkan pada nilai jarak genetiknya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keragaman genetik klon lokal, klon komersil dan klon introduksi koleksi Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) berdasarkan marka molekuler SSR yang berguna untuk pemilihan tetua kakao dalam rangka mendapatkan keturunan dengan sifat yang lebih unggul dari tetuanya. Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan, yaitu analisis keragaman genetik berdasarkan marka SSR klon kakao lokal koleksi Balittri dan analisis keragaman genetik berdasarkan marka SSR dan karakterisasi komponen hasil klon kakao koleksi Balittri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa marka SSR dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Balittri. Semua primer bersifat polimorfik dengan tingkat keragaman genetik cukup tinggi yang ditunjukkan dengan rataan PIC (Polymorphism Information Content) sebesar 57%. Pohon filogenetik untuk analisis klon lokal terbagi menjadi 3 kelompok besar yang menempatkan klon unggul lokal dan klon komersial muncul dalam tiap-tiap kelompok. Hasil dari pohon filogenetik menunjukkan beberapa klon kakao berpotensi menjadi tetua karena mempunyai jarak genetik yang cukup jauh. Klon unggul lokal yang diuji mempunyai perbedaan secara genetik dengan klon komersial sehingga ada harapan untuk dilepas sebagai klon unggul baru apabila mempunyai keunggulan dibandingkan dengan klon komersil. Sedangkan pada analisis kedua, pohon filogenetik terbagi menjadi 3 kelompok besar dimana klon introduksi agak terpisah dari klon yang lain. Diduga beberapa klon introduksi mempunyai jarak genetik yang jauh dengan klon-klon yang sudah dibudidayakan di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan hasil analisis struktur populasi yang menggambarkan bahwa populasi terbagi menjadi dua dimana kelompok pertama didominasi oleh klon introduksi sedangkan kelompok kedua gabungan dari klon unggul lokal dan klon komersil. Berdasarkan hasil analisis molekuler dan data komponen hasil, dapat dipilih calon tetua persilangan terbaik. Pada karakter daya hasil, prioritas persilangan adalah MCC 02 x Sulawesi 2. Karakter bobot per biji kering, dapat menggunakan persilangan antara ICCRI 3 atau MCC 01 dengan MCC 02 atau IAARD 9. Tetua yang mempunyai jarak genetik yang jauh untuk karakter kadar lemak adalah klon Sulawesi 2 atau ICCRI 3 disilangkan dengan Sca 6. Pada klon introduksi, terdapat 2 klon yang mempunyai prekositas tinggi dan jumlah buah tertinggi yaitu E 13 dan E 23. Klon Ekuador masih harus diamati
lebih lanjut daya hasil, mutu biji dan ketahanannya supaya diketahui aspek mana yang perlu diperbaiki. Kata kunci: keragaman genetik, kakao, marka SSR, klon lokal, klon introduksi
SUMMARY ILHAM NUR ARDHI WICAKSONO. Genetic Diversity Analysis Based on SSR Marker and Characterization of Yield Component from Collection Cacao Clones in BALITRI. Suprvised by SUDARSONO, RUBIYO and DEWI SUKMA. Genetic diversity analysis to the cocoa germplasm collections has important role in the development of clones breeding program. The clones availability obtained from exploration and the introduction of clones that give potential on high yielding is increasing the advance possibility to assemble of new superior clones, therefore the analysis of the genetic diversity of clones material needs to be initiated. The utilization of molecular markers on the genetic diversity analysis possess the advantage such as it is not influenced by environmental factors and can be taken to determine the parent of the hybrid population based on the genetic distance analysis. The purpose of this study was to analyze the genetic diversity of local clones, commercial clones and introduction clones of cacao collection in Research Institute of Industrial Crops and Refresher (BALITTRI) based on SSR markers that are useful to carry out selection on the cocoa parent population in order to profile the offsprings with more unique and superior properties than the parent. This study was consisted of two experiments including the analysis of genetic diversity based on SSR markers to compare between local and commercial cocoa clones to get and analysis of genetic diversity based on SSR markers introduction and characterization of yield component cloned cocoa BALITTRI collection. The results showed that SSR markers can be used to access the genetic diversity of collections cocoa germplasm in BALITTRI. All polymorphic primer resulted the high PIC (Polymorphism Information Content) value of 57% in average which demonstrated the high level of genetic diversity. The phylogenetic tree based on local and commercial clones analysis grouped into separated 3 main group. The phylogenetic tree showed some cocoa clones with distinct genetic distance that might be promoted to be potential candidate parents. Local clones which genetically have distinct SSRs profile with commercial clones and give adventage on the phenotypic performance might be released as new clones. While in the second analysis, the phylogenetic tree was grouped into 3 major groups where the introduced clones separate from the other clones. The introduced clones was estimated has distinct genetic distance with clones that have been cultivated in Indonesia. This is also supported by the results of the population structure analysis which illustrated that the population was divided into two groups, where the first group is dominated by the introduced clones and the second group consisted of local and commercial clones at once. Based on the results of molecular analysis and evaluation of yield component, the potential parents for cross breeding could be selected. Crossing scheme of MCC 02 x Sulawesi 2 is estimated to give the best breeding result based on the yield characters. We also promoted ICCRI 3/MCC 01 againt MCC 02/ IAARD 9 to be the potential breeding parents based on weight dry beans characters. Parents who expected to
have distinct genetic distance based on the character of the fat content were a clone of Sulawesi 2/ Sulawesi 3 crossed with Sca ICCRI 6. There were two introduced clones that have a high precocity and the highest fruit number that were E 13 and E 23. Ecuador clones still have further observed yield, seed quality and durability that unknown aspect of which need to be repaired. Keywords: genetic diversity, cacao, SSR marker, local clones, introduced clones
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MENGGUNAKAN MARKA MOLEKULER SSR DAN KARAKTERISASI KOMPONEN HASIL KLON KAKAO KOLEKSI BALITTRI
ILHAM NUR ARDHI WICAKSONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Diny Dinarti, MSi
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul “Analisis Keragaman Genetik Menggunakan Marka Molekuler SSR dan Karakterisasi Komponen Hasil Klon Kakao Koleksi Balittri”. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof Dr Sudarsono, MSc, Dr Ir Rubiyo, MSi dan Dr Dewi Sukma, SP MSi selaku dosen pembimbing atas segala arahan, saran, masukan, dan motivasi yang telah diberikan selama ini. 2. Dr Ir Diny Dinarti, MSi selaku dosen penguji luar komisi ujian tesis dan Dr Ir Maya Melati, MS MSc selaku perwakilan Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas saran dan masukannya. 3. Dr Ir Yudiwanti WE Kusumo, MS selaku ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga tesis ini menjadi lebih baik. 4. Almarhum ayahanda Drs Prayitno, MPd dan ibunda Ir Wiwik P Handayani serta kakakku Prasetyaning Dyah WA, SE ME yang tiada hentinya selalu mendoakan dan memberikan dukungan. Istriku tersayang Yunita Ruliastuti, SP dan kedua buah hatiku Rimsha Syauqina Nindyastuti dan Rifkie Gerrard Adyatama atas kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan motivasinya. 5. Badan Litbang Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan melanjutkan studi magister melalui program beasiswa. 6. Seluruh civitas akademika Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, khususnya para dosen Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB yang telah mencurahkan ilmunya kepada kami. 7. Teman-teman PMB Lab : Zikril Illahi SP MSi; Dr Ir Ismail Maskromo, MSi; Dr Anneke Pesik, SP MSi; Dr Fetrina Oktavia, SSi MSi; Ir Megayani MSi; Firman, SP MSi; Azis SP MSi; Mega SP MSi; Juanita Elina SP MSi; Aline SP MSi; Imam SP; Indah SP; Erick SP; Mba Susilawati dan Pak Agus atas bantuan tenaga, kerja sama, kebersamaan, dan ikatan kekeluargaan yang erat. 8. Teman-teman seperjuangan di program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Angkatan 2013 atas persahabatan dan kekeluargaannya. Tiada yang sempurna pada karya manusia, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang pemuliaan tanaman dan pertanian pada umumnya. Bogor, April 2017 Ilham Nur Ardhi Wicaksono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Hipotesis Penelitian 1.4 Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 3
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kakao 2.2 Keragaman Genetik Tanaman Kakao 2.3 Simple Sequence Repeats (SSR)
5 5 6 6
3
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK BERDASARKAN MARKA SSR KLON KAKAO LOKAL KOLEKSI BALITTRI Abstrak Abstract 3.1 Pendahuluan 3.2 Metode Penelitian 3.3 Hasil dan Pembahasan 3.4 Kesimpulan Daftar Pustaka
8 8 9 10 11 14 18 18
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK BERDASARKAN MARKA SSR DAN KARAKTERISASI KOMPONEN HASIL KLON KAKAO KOLEKSI BALITTRI Abstrak Abstract 4.1 Pendahuluan 4.2 Metode Penelitian 4.3 Hasil dan Pembahasan 4.4 Kesimpulan Daftar Pustaka
20 20 21 22 23 28 38 38
5
PEMBAHASAN UMUM
41
6
KESIMPULAN UMUM
43
4
DAFTAR PUSTAKA
44
RIWAYAT HIDUP
47
DAFTAR TABEL 3.1 3.2
3.3
4.1 4.2 4.3
4.4
4.5 4.6 4.7 4.8
Identitas marka mikrosatelit (SSR) yang digunakan dalam penelitian Ukuran alel, jumlah alel per primer (N), persentase primer polimorfik (PIC), heterozigositas teramati (Ho) dan Heterozigositas harapan (He) dari 20 primer SSR Pendugaan jumlah rata-rata alel per primer (Na), rata-rata alel efektif (Ne), heterozigositas teramati (Ho) dan Heterozigositas harapan (He), nilai indeks fiksasi (F) dan rata-rata jumlah alel spesifik pada masing-masing populasi klon kakao berdasar 20 marka SSR Klon kakao yang digunakan dalam penelitian Identitas marka mikrosatelit (SSR) yang digunakan dalam penelitian Ukuran alel, jumlah alel per primer (N), persentase primer polimorfik (PIC), heterozigositas teramati (Ho) dan Heterozigositas harapan (He) dari 20 primer SSR Pendugaan jumlah rata-rata alel per primer (Na), rata-rata alel efektif (Ne), heterozigositas teramati (Ho) dan Heterozigositas harapan (He), nilai indeks fiksasi (F) dan rata-rata jumlah alel spesifik pada masing-masing populasi klon kakao berdasar 20 marka SSR Daya hasil, bobot/biji kering dan kadar lemak 28 klon kakao Ketahanan 28 klon kakao yang digunakan dalam penelitian Perkembangan klon kakao Ekuador Kemungkinan kombinasi persilangan kakao berdasarkan informasi jarak genetik antar klon
12
14
15 23 26
28
30 33 35 36 37
DAFTAR GAMBAR 1.1 3.1 3.2
4.1
4.2 4.3
Bagan alir penelitian Pohon filogenetik 28 klon kakao dengan 20 marka SSR menggunakan Neighbour Joining Estimasi struktur populasi 28 klon kakao berdasar analisis Structure (K3). Setiap individu direpresentasikan dengan garis vertikal. Jumlah subgrup (K) ditandai dengan perbedaan warna. Tinggi setiap bar merepresentasikan probabilitas penggolongan setiap individu dalam subgroup Contoh variabilitas alel hasil PAGE yang menggunakan marka mTcCIR103. 1-5 (merah): nomor alel yang muncul pada masingmasing klon. 100 bp: posisi ukuran 100 bp pada marker DNA Pohon filogenetik 50 klon kakao dengan 20 marka SSR menggunakan Neighbour Joining Estimasi struktur populasi 50 klon kakao berdasar analisis Structure (K2). Setiap individu direpresentasikan dengan garis vertical. Jumlah subgrup (K) ditandai dengan perbedaan warna. Tinggi setiap bar merepresentasikan probabilitas penggolongan setiap individu dalam subgroup
4 16
17
29 31
32
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas tanaman perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2011, Indonesia masuk tiga besar pengekspor biji kakao terbesar dunia dengan produksi biji kering 550.000 ton setelah Pantai Gading dan Ghana dengan produksi berturut-turut 1.242.000 ton dan 662.000 ton (ICCO 2011). Areal dan produksi kakao Indonesia meningkat pesat pada dekade terakhir dengan laju 5,99% per tahun (Ditjenbun 2009). Sentra produksi nasional kakao Indonesia adalah daerah Sulawesi yang meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara. Peluang pengembangan kakao terkendala dengan permasalahan yang dihadapi petani kakao Indonesia antara lain serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), penurunan tingkat produktivitas, rendahnya kualitas biji kakao dan budidaya tanaman yang kurang tepat. Produktivitas biji kering hanya berkisar 750 kg/ha/th, jauh dari tingkat produksi yang diharapkan sebesar 1.250 kg per ha/tahun. Pada perkebunan rakyat penurunan produktivitas kakao diduga akibat penggunaan mutu benih yang rendah. Pengembangan kakao di Indonesia didukung pemerintah melalui program Gernas Kakao oleh Kementerian Pertanian, terutama keterkaitannya dengan program rehabilitasi, intensifikasi dan peremajaan. Program ini diarahkan untuk peningkatan produksi dan mutu hasil tanaman kakao di Indonesia. Peningkatan produksi dan perbaikan mutu kakao dapat dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Penerapan kedua program tersebut memerlukan tersedianya bibit dan benih kakao unggul, sehingga pengembangan kultivar atau klon kakao unggul secara terprogram perlu segera dilakukan. Arah pemuliaan kakao saat ini ditujukan untuk mengembangkan kultivar unggul dengan sifat-sifat antara lain daya hasil tinggi, kualitas biji yang bermutu tinggi serta ketahanan terhadap hama (penggerek buah kakao) dan penyakit utama seperti busuk buah kakao (Phytophthora palmivora) dan vascular streak dieback (Iswanto dan Winarno 1992). Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan informasi yang akurat tentang keragaman genetik plasma nuftah kakao yang akan dipilih sebagai tetua. Analisis keragaman genetik tanaman dapat dilakukan secara morfologi maupun dengan menggunakan marka molekuler. Penggunaan marka molekuler memiliki beberapa keuntungan dalam membantu program pemuliaan, karena dapat digunakan untuk analisis pautan dan pemetaan genetik, identifikasi genotipe, menduga keragaman genetik dan kekerabatan inter dan antar spesies atau varietas dan juga dapat membantu menjelaskan filogenetiknya (Weising et al. 1995). Seleksi dengan bantuan marka molekuler berdasar sifat genetik tanaman, dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga kegiatan pemuliaan tanaman dapat menjadi lebih tepat, cepat, dan relatif lebih hemat biaya dan waktu (Azrai 2005). Salah satu marka molekuler yang biasa digunakan untuk analisis keragaman genetik adalah mikrosatelit atau Simple Sequence Repeat (SSR). SSR
2
menarik dikembangkan khususnya pada spesies yang mempunyai variasi genetik rendah, pada populasi inbred dan populasi yang diperoleh dari daerah-daerah berdekatan sehingga sulit dipilah-pilah dengan pendekatan yang lain (Roder et al. 1995). SSR atau mikrosatelit tersusun atas dua sampai enam DNA yang tersebar pada genom makhluk hidup eukariotik. Variasi alel pada lokus SSR dapat diperoleh dengan mudah dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik. Mikrosatelit mempunyai tingkat polimorfisme yang tinggi, lokus yang spesifik, mudah diperbanyak, hanya membutuhkan sedikit DNA dan mempunyai sifat kodominan (Pugh et al. 2004). Analisis keragaman genetik kakao dengan menggunakan marka SSR telah dilakukan oleh Zang et al. (2009), dan Kurniasih et al. (2011). Penelitian mengenai pemilihan tetua P1 dan P2 dalam mengembangkan hibrida kakao berproduksi tinggi dan resisten terhadap P. palmivora juga telah dilakukan dengan menggunakan marka molekuler SSR. Hasil penelitian Rubiyo et al. (2011) melaporkan 16 klon kakao yang telah dianalisis dengan marka molekuler SSR menunjukkan keragaman genetik dan jarak genetik antar klon yang tinggi. Berdasarkan jarak genetik tersebut dapat ditentukan kelompok calon tetua P1 (klon kakao Sca 6, atau NW 6261, RCC 70 atau RCC 71, PA 300 atau PA 303, dan ICS 13 atau TSH 858) dan P2 (klon kakao DR 2, ICCRI 2, DRC 16, DR1, ICCRI 3, ICCRI 1, ICCRI 4, atau DRC 15). Perakitan klon kakao produksi tinggi terkait dengan penyediaan bahan tanam (benih) unggul dapat diperoleh dengan memilih tetua yang tepat berdasarkan hasil analisis molekuler didukung mutu hasil dan sifat penting lainnya seperti ketahanan terhadap penyakit. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memperoleh informasi tentang keragaman genetik klon kakao lokal dan identitas genetik klon unggul lokal koleksi Balittri berdasarkan marka molekuler SSR yang berguna untuk program pelepasan klon unggul baru kakao. 2. Memperoleh informasi tentang keragaman genetik klon kakao introduksi dan lokal koleksi Balittri berdasarkan marka molekuler SSR dan karakter komponen hasil sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pemilihan tetua dalam program pemuliaan kakao. 1.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Terdapat keragaman genetik klon kakao lokal dan identitas genetik klon unggul lokal koleksi Balittri berdasarkan marka molekuler SSR sehingga dapat digunakan untuk program pelepasan klon unggul baru kakao. 2. Terdapat keragaman genetik klon kakao introduksi dan lokal koleksi Balittri berdasarkan marka molekuler SSR dan karakter komponen hasil sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pemilihan tetua dalam program pemuliaan kakao.
3
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Kegiatan penelitian ini mempunyai dua ruang lingkup yang berbeda namun saling terkait dalam mencapai tujuannya. Percobaan pertama, analisis keragaman genetik klon kakao lokal koleksi Balittri berdasarkan marka molekuler SSR. Informasi keragaman genetik ini dapat digunakan untuk program pelepasan klon unggul baru kakao dan pemilihan tetua persilangan. Salah satu syarat pelepasan varietas adalah mempunyai konstitusi genetik yang berbeda dengan klon yang sudah dilepas sebelumnya. Apabila klon unggul secara genetik mempunyai perbedaan dengan klon komersial dan mempunyai keunggulan tertentu maka klon tersebut berpeluang dilepas sebagai klon unggul. Percobaan kedua, analisis keragaman genetik klon kakao introduksi dan lokal koleksi Balittri berdasarkan marka molekuler SSR dan keragaman karakter komponen hasil. Keragaman genetik dalam kakao tergolong sempit, hal ini dikarenakan perbanyakan dilakukan secara klonal. Salah satu upaya untuk menambah keragaman dapat dilakukan dengan memasukkan klon dari luar negeri atau biasa disebut introduksi dengan harapan mempunyai kekerabatan yang jauh dengan klon yang sudah dibudidayakan di Indonesia. Klon introduksi diharapkan mempunyai sifat unggul yang tidak dipunyai oleh klon lokal. Percobaan kedua ini berguna sebagai dasar pemilihan tetua dalam program pemuliaan kakao. Keseluruhan kegiatan penelitian disajikan dalam bentuk diagram alir (Gambar 1.1).
4
Plasma nuftah klon kakao koleksi Balittri
Klon kakao unggul lokal dan klon komersial
Klon kakao unggul lokal, klon komersial dan klon introduksi
Isolasi DNA klon kakao
Genotiping menggunakan marka SSR
Keragaman genetik dan identitas genetik klon unggul lokal
Genotiping menggunakan marka SSR
Karakterisasi komponen hasil
Identitas genotipe
Identitas fenotipe
Keragaman genetik klon kakao dan karakter komponen hasil
Sebagai informasi penunjang pelepasan klon kakao unggul baru dan dasar pemilihan klon kakao yang berpotensi sebagai tetua persilangan
Gambar 1.1 Bagan alir penelitian
5
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kakao
Kakao merupakan komoditas utama sub sektor perkebunan yang berperan sebagai sumber devisa negara, sumber lapangan kerja dan sebagai konservasi tanah dan air. Budidaya kakao menghadapi banyak kendala di lapangan, antara lain penyakit dan hama tanaman yang dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi kakao. Hama penggerek buah kakao (PBK) saat ini merupakan hama utama tanaman kakao di Indonesia. Penyakit utama pada tanaman kakao di Indonesia adalah penyakit busuk buah (black pod) yang disebabkan oleh Phytopthora palmivora dan VSD (Vascular Straek Dieback). Penyakit yang sama juga diketahui menyerang tanaman kakao di berbagai negara penghasil kakao. Secara umum, besarnya kerugian antara 20-30% per tahun dapat terjadi akibat infeksi penyakit busuk buah pada pertanaman kakao di lapangan (Wood & Lass 1985). Berdasarkan data tahun 1997 dilaporkan infeksi penyakit busuk buah menyebabkan menurunnya total kakao dunia hingga sebesar 44 %/tahun (Van der Vossen 1997). Tanaman kakao mempunyai nama ilmiah Theobroma cacao L., anggota dari familia Sterculiaceae (Tjitrosoepomo 1988). Kakao merupakan tanaman diploid yang mempunyai jumlah kromosom 20 (2n = 2x = 20). Ukuran genom kakao relatif kecil sekitar 0,43 x 109 bp sangat mirip dengan genom padi. Dengan demikian berdasar ukuran genomnya tanaman kakao merupakan tanaman perkebunan model untuk studi genomik. Sekuen acuan untuk beberapa genom kakao telah tersedia dan dapat diakses. Berdasar sekuen genom acuan ini, genom kakao mengandung sekitar 28.798 gen (Argout et al. 2011). Kakao termasuk jenis tanaman asli hutan hujan tropis Amerika Selatan. Diperkirakan kakao berasal dari hulu sungai Amazon, tempat Theobroma dan jenis sekerabatnya terdapat dalam populasi yang paling besar. Tanaman kakao tersebut merupakan satu-satunya species diantara 22 jenis dalam genus Theobroma yang diusahakan secara komersial. Sistematika tanaman kakao secara lengkap dapat diklasifikasikan dalam taksa-taksa sebagai berikut: Divisio: Spermatophyta, Sub divisio: Angiospermae, Kelas: Dicotyledoneae, Ordo: Malvales, Familia: Sterculiaceae, Genus: Theobroma, Species: Theobroma cacao L. (Cheesman 1944). Pertumbuhan batang kakao bersifat dimorfisme yang berarti mempunyai dua macam bentuk pertumbuhan batang, yaitu pertumbuhan batang utama yang bersifat ortotrop yang tumbuh tegak dengan rumus daun 3/8, dan pertumbuhan ke samping seperti cabang primer disebut plagiotrop, mempunyai rumus daun 1/2 (Prawoto 1991). Bentuk buah kakao bervariasi, dari bulat ke lonjong dan meruncing dengan permukaan yang halus sampai kasar. Permukaan buah kakao mempunyai alur primer dan alur sekunder. Sering kali alur sekunder tidak tampak. Permukaan buah kakao berlilin, kaku (rigid), mempunyai rambut-rambut tegak dan mulut kulit yang agak terangkat (Cuatrecasas 1964). Bentuk buah kakao tersebut antara lain: amilonado, cundeamor, angoleta, calabasilo, criolo dan pentagona.
6
2.2 Keragaman Genetik Tanaman Kakao Menurut Lass dan Wood (1985) berdasarkan tipe populasinya, tanaman kakao dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu tipe Criolo, Forastero dan Trinitario. Criollo berasal dari penyebaran melintasi pegunungan Andes ke arah dataran rendah Venezuela, Kolumbia, dan Ekuador, dan ke arah utara ke Amerika Tengah dan Meksiko. Sifat-sifat tipe Criolo antara lain pertumbuhan tanaman kurang kuat, daya hasilnya lebih rendah dibanding Forastero, dan relatif lebih rentan terhadap gangguan hama dan penyakit. Kulit buahnya tebal tetapi lunak sehingga mudah dibelah. Criollo menghasilkan kakao mulia (fine flavour cocoa). Warna buah hijau atau agak merah karena adanya pigmen antosianin; perikarp agak kasar, tipis dan lunak, mesokarp mengandung lignin, biji bulat dan kotiledon putih. Kelompok ini cenderung rentan terhadap penyakit (Soria 1974; Opeke 1982). Kadar lemak di dalam biji lebih rendah dibandingkan dengan Forastero tetapi ukuran bijinya lebih besar, bulat, memberikan citarasa khas yang unggul. Dalam tataniaga kakao criolo termasuk dalam jenis kakao mulia, sedangkan tipe Forastero termasuk dalam jenis kakao lindak. Forastero dihasilkan oleh penyebaran ke lembah Amazon, ke arah Brazil bagian barat dan Guyana (Alvim 1997). Forastero menghasilkan kakao bermutu sedang, dikenal dengan kakao lindak (bulk cocoa). Tipe Trinitario merupakan hibrida antara Criolo dan Forastero. Dalam tataniaga kakao kelompok Trinitario termasuk dalam kakao mulia atau kakao lindak tergantung dari mutu biji yang dihasilkannya. Trinitario mempunyai buah berwarna merah atau hijau dan bervariasi, tekstur keras; warna biji bervariasi dari ungu muda sampai ungu tua (Wood & Lass 1985). Pertumbuhan pohon gigas. Contoh kelompok ini adalah klon-klon ICS 60, ICS 84, ICS 95, DR 1, DR 2, DR 38, dan DRC 16. 2.3 Simple Sequence Repeats (SSR) Mikrosatelit atau Simple Sequence Repeats (SSR) adalah salah satu penanda DNA berdasarkan teknik PCR (Varshney et al. 2005). SSR adalah lokus spesifik, kodominan dan marka molekuler yang didasarkan pada sekuen DNA repetitif. SSR tersusun atas dua sampai enam nukleotida seperti (AT)n, (AGC)n, atau (GACA)n yang tersebar pada genom makhluk hidup eukariotik. Variasi alel pada lokus mikrosatelit dengan mudah dapat diperoleh dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik. Penanda ini menggunakan primer (potongan pendek DNA sintetik) yang mengandung motif mikrosatelit pendek pada ujung 3’ atau 5’ atau mengapit daerah mikrosatelit. Saat ini mikrosatelit dapat dipakai sebagai alat dalam program pemuliaan karena kemampuan yang tinggi dalam mendeteksi perbedaan urutan basa, sampai satu pasang basa. Penggunaan mikrosatelit relatif mudah karena menggunakan teknik PCR. Melalui teknik PCR DNA yang sudah diisolasi diperbanyak secara in vitro dengan mengunakan urutan nukleotida sebagai primer (potongan DNA sintetis yang dibuat pabrik). Proses perbanyakan menggunakan alat yang disebut “DNA Thermal Cycler” (Thermolyne). Hasil perbanyak DNA melalui teknik PCR dimulai dari satu molekul DNA kemudian diperbanyak sampai 100 juta molekul DNA yang sama dalam waktu 30 menit (Mullis 1990).
7
Mikrosatelit sangat bermanfaat sebagai penanda genetik karena bersifat kodominan, memiliki polimorfis alel sangat tinggi, cukup mudah, dan ekonomis dalam pengujiannya (McCouch et al. 1997). Penamaan marka untuk SSR kakao menggunakan mTcCIR, m mengacu pada mikrosatelit, Tc merupakan Theobroma cacao dan CIR mengacu pada kata CIRAD (Risterucci et al. 2000). Analisis lokus mikrosatelit dapat dilakukan dengan amplifikasi in vitro pada daerah ulangan nukleotida menggunakan PCR (Saiki et al. 1988), menggunakan primer spesifik lokus yang komplemen dengan urutan susunan daerah nukleotida yang berulang. Sekuen mikrosatelit yang pendek menyebabkan sekuen tersebut dapat diamplifikasi menggunakan PCR secara efisien, dengan sekuen pengapitnya sebagai primer. Variasi jumlah ulangan mikrosatelit dapat dideteksi menggunakan elektroforesis hasil amplifikasi produk DNA pada suatu gel dengan standar sekuen, yang mampu memisahkan fragmen dengan perbedaan setara dengan satu nukleotida (Rohrer et al. 1994). Adanya mikrosatelit yang berlimpah dalam genom, dan tingkat polimorfisme yang tinggi dan mudah untuk dianalisis, membuat mikrosatelit menjadi pilihan marka untuk pemetaan genetik dan analisis keterpautan pada hampir sebagian spesies. Analisis mikrosatelit secara teratur menggunakan PCR hanya memerlukan jumlah bahan nukelotida sangat sedikit dan dapat digunakan secara otomatis, sehingga merupakan nilai tambah bagi mikrosatelit sebagai penanda (marka), baik studi untuk gen maupun pemetaan genom (Jeffreys et al. 1988; Moore et al. 1992 dan Neilan et al. 1994). Beberapa penggunaan SSR yang menggunakan kakao sebagai objek studi antara lain: studi keragaman genetik kakao ( Zhang et al. 2006a; Opoku et al. 2007), pembuatan peta genetik sebagai basis pemuliaan kakao (Allegre et al. 2012), mendeteksi ketahanan serangan Pyhytoptora palmivora (Lanaud et al. 2004), Identifikasi genotipe klon kakao (Zhang et al. 2006b). Hal ini menunjukkan bahwa marka SSR sangat potensial untuk dikembangkan sebagai marka molekuler terutama untuk keperluan identifikasi dan studi keragaman genetik.
8
3 ANALISIS KERAGAMAN GENETIK BERDASARKAN MARKA SSR KLON KAKAO LOKAL KOLEKSI BALITTRI Abstrak Informasi keragamanan genetik koleksi plasma nutfah kakao mempunyai peranan penting dalam program perakitan klon unggul baru. Ketersediaan klon komersial dan klon unggul lokal meningkatkan peluang keberhasilan perakitan klon unggul baru sehingga analisis keragaman genetik materi tersebut perlu dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keragaman genetik klon kakao koleksi Balittri berdasarkan marka molekuler SSR yang berguna untuk pemilihan tetua kakao dalam rangka program pemuliaan kakao dan dapat digunakan sebagai informasi tambahan dalam program pelepasan klon unggul baru kakao. Analisis dilakukan pada 28 klon kakao yang terdiri dari 13 klon unggul lokal hasil observasi Balittri dan 15 klon komersial. Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan prosedur berbasis CTAB. Selanjutnya, template DNA diamplifikasi dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) menggunakan 20 pasang primer SSR (Simple Sequence Repeats). Hasil penelitian menunjukkan bahwa marka SSR dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Balittri. Semua primer bersifat polimorfik dengan tingkat keragaman genetik cukup tinggi yang ditunjukkan dengan rataan PIC (Polymorphism Information Content) sebesar 57%. Pohon filogenetik dengan program DARwin (Dissimilarity Analysis and Representation for WINDOWS) versi 6.05 terbagi menjadi 3 kelompok besar yang menempatkan klon unggul lokal dan klon komersial muncul dalam tiap-tiap kelompok. Klon unggul lokal diduga mempunyai asal usul yang dekat dengan klon komersial yang sudah dibudidayakan di Indonesia. Hasil dari pohon filogenetik menunjukkan beberapa klon kakao berpotensi menjadi tetua karena mempunyai jarak genetik yang cukup jauh. Klon unggul lokal yang diuji mempunyai perbedaan secara genetik dengan klon komersial sehingga ada harapan untuk dilepas sebagai klon unggul baru apabila mempunyai keunggulan dibandingkan dengan klon komersil. Pengetahuan mengenai keragaman genetik mempermudah pemilihan tetua dalam perakitan klon unggul baru. Selain itu, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa marka SSR merupakan alat bantu yang cukup potensial untuk menentukan tetua persilangan yang diharapkan dapat meningkatkan peluang heterosis pada keturunannya. Kata kunci: keragaman genetik, kakao, marka SSR, klon unggul lokal, klon komersial
9
Abstract Genetic diversity information of cocoa germplasm is important to support the cocoa breeding programs. Genetic diversity analysis recorded the availability of commercial and superior local clones would give better chance in development of new superior clones. The purpose of this study was to analyzed genetic diversity of cocoa clones collection in BALLITRI using Simple Sequence Repeat (SSR) marker. The results was ordered to screening the best cocoa parent for plant breeding purpose and could be used as additional information to released the potential new cocoa clones as variety. Analysis were performed on 28 cocoa clones consisted of 13 superior local clones and 15 commercial clones. DNA was extracted using CTAB procedure and used as template in Polymerase Chain Reaction (PCR) using 20 SSR primer pairs. The results showed that SSR marker could be used to analyze genetic diversity of cocoa germplasm collection in BALLITRI. All primers were polymorphic and the level of genetic diversity were high with Polymorphism Information Content (PIC) rate of 57%. Phylogenetic tree that generated by DARwin (Dissimilarity Analysis and Representation for WINDOWS) version 6.05 divided the superior local clones and commercial clones into three groups with each clones group presented in each tree groups. This result showed that superior local clones might have similar origin with the commercial clones in Indonesia. Some cocoa clones were potentially used as parents because they had distinct genetic distance. Superior local clones had genetic differences compared to commercial clones and could be released as new superior clones if basen on the phenotypic performace had advantages over commercial clones. Genetic diversity information would support parent selection process to assembly new superior clones. In addition, the results of this research showed that SSR markers was useful tool for determining parents candidate for cross breeding purpose that expected to increase heterosis possibility of the offspring. Keywords: genetic diversity, cocoa, SSR markers, superior local clones, commercial clones
10
3.1 Pendahuluan Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas tanaman penyegar yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Produksi kakao Indonesia memiliki pangsa sebesar 10,74%, masih di bawah Pantai Gading (36,29%) dan Ghana (21,46%) (ICCO 2014). Terdapat dua jenis kakao yang diekspor oleh Indonesia yaitu kakao lindak dan kakao mulia. Kakao mulia hanya dihasilkan di perkebunan Jawa Timur yang terkenal dengan sebutan “Java Criollo”. Berdasarkan tipe populasinya, tanaman kakao dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tipe Criollo, Forastero dan Trinitario. Sifat dari tipe Criollo antara lain pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil rendah dan rentan terhadap hama dan penyakit. Tipe Criollo mempunyai ukuran biji yang besar, kotiledon berwarna putih dan citarasa khas yang unggul. Forastero menghasilkan kakao bermutu sedang, dikenal dengan kakao lindak (bulk cocoa). Biji tipe Forastero lebih kecil dan pipih dibanding Criollo, kotiledon berwarna ungu dan pertumbuhannya gigas (Opeke dan Gorenz 1982). Tipe Trinitario merupakan hibrida antara Criolo dan Forastero. Program perakitan varietas unggul kakao yang efektif biasanya mengacu pada pola seleksi berulang (recurrent selection) (Eskes dan Lanaud 2001). Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya prioritas lebih diarahkan pada penggunaan varietas unggul spesifik lokasi agar proses seleksi yang diperlukan tidak terlalu lama (Baihaki 2004). Kegiatan seleksi yang dilakukan terhadap klon unggul lokal akan menghasilkan kultivar baru yang sesuai untuk dibudidayakan dengan kondisi lingkungan dan pola iklim spesifik. Pendekatan yang sesuai adalah melalui pemuliaan tanaman partisipatif (participatory plant breeding), yaitu melibatkan petani setempat dalam proses pemuliaan (Brummer et al. 2011). Contoh klon unggul kakao yang diperoleh melalui pendekatan tersebut adalah klon Sulawesi 1 dan Sulawesi 2 yang memiliki produktivitas tinggi sekaligus tahan VSD (Susilo dan Anita-Sari 2011). Analisis keragaman genetik tanaman dapat dilakukan secara morfologi maupun dengan menggunakan marka molekuler. Penggunaan marka molekuler memiliki keuntungan karena dapat meningkatkan efisiensi seleksi dalam pemuliaan tanaman dengan cara seleksi tidak langsung terhadap karakter yang diharapkan. Selain itu, marka molekuler tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan dapat mendeteksi pada semua tempat perkembangan atau bagian tanaman (Mohan et al. 1997). Marka molekuler dapat digunakan untuk analisis pautan dan pemetaan genetik, identifikasi genotipe, menduga keragaman genetik dan kekerabatan inter dan antar spesies atau varietas dan juga dapat membantu menjelaskan filogenetiknya (Weising et al. 1995). Salah satu marka molekuler yang biasa digunakan untuk analisis keragaman genetik adalah mikrosatelit atau Simple Sequence Repeat (SSR). SSR menarik dikembangkan khususnya pada spesies yang mempunyai variasi genetik rendah, pada populasi inbred dan populasi yang diperoleh dari daerah-daerah berdekatan sehingga sulit dipilah-pilah dengan pendekatan yang lain (Roder et al. 1995). Mikrosatelit mempunyai tingkat polimorfisme yang tinggi, lokus yang spesifik, mudah diperbanyak, hanya membutuhkan sedikit DNA dan mempunyai sifat kodominan (Pugh et al. 2004).
11
Analisis keragaman genetik kakao dengan menggunakan marka SSR telah dilakukan oleh Zang et al. (2009), dan Kurniasih et al. (2011). Hasil penelitian Rubiyo et al. (2011) melaporkan 16 klon kakao yang telah dianalisis dengan marka molekuler SSR menunjukkan keragaman genetik dan jarak genetik antar klon yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh informasi tentang keragaman genetik klon kakao lokal dan identitas genetik klon unggul lokal koleksi Balittri berdasarkan marka molekuler SSR yang berguna untuk program pelepasan klon unggul baru kakao. 3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 sampai Mei 2016. Kegiatan ini dikerjakan di laboratorium Terpadu Balittri dan laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB lab), Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB. 3.2.2 Bahan Tanam Klon kakao yang dianalisis sebanyak 28 yang terbagi menjadi 2 populasi. Populasi pertama adalah 13 klon unggul lokal hasil observasi Balittri yang terdiri atas 3 klon asal Jawa Timur (KT 1, KT 3 dan KT 4), 5 klon asal Lampung (Theca 1, Theca 2, Theca 3, Theca 4 dan Theca 6) dan 5 klon asal Sulawesi Tenggara (IAARD 1, IAARD 2, IAARD 4, IAARD 6 dan IAARD 9). Klon unggul lokal berasal dari persilangan buatan yang dilakukan oleh petani setempat dan ada juga yang berasal dari biji hasil persilangan alami yang setelah ditanam ternyata mempunyai keunggulan dalam hal produktivitas. Sedangkan populasi kedua adalah 15 klon komersial hasil seleksi di Indonesia (ICS 13, GC 7, SUL 1, SUL 2, DRC 16, TSH 858, ICCRI 3, ICS 60, DR 38, Sca 6, Sca 12, NIC 7, MCC 01, MCC 02 dan RCC 73). Semua klon yang digunakan telah ditanam di KP. Pakuwon, Balittri. 3.2.3 Ekstraksi DNA Kakao Protokol yang digunakan untuk ekstraksi DNA adalah prosedur ekstraksi berbasis CTAB mengikuti metode Allen et al. (2006) dan Santos et al. (2014) yang dimodifikasi. Sampel daun muda segar dari 28 klon kakao ditimbang sebanyak 0.3 g, lalu ditambahkan buffer ekstraksi CTAB, PVP dan mercapto etanol. Proses ekstraksi ditambahkan RNase yang berfungsi mendegradasi RNA. Pellet DNA hasil ekstraksi selanjutnya dikeringanginkan. Setelah kering dimasukkan 200 µl TE buffer dan dibiarkan selama setengah hari untuk melarutkan benang-benang DNA. 3.2.4 Penentuan Kualitas DNA DNA hasil isolasi selanjutnya diuji kualitas dan kuantitasnya menggunakan elektroforesis gel agarose 1 % dan Nanodrop 2000 spektrofotometer untuk melihat konsentrasi dan kemurniannya. Pengukuran konsentrasi DNA dengan spektrofotometer dilakukan pada panjang gelombang 260 nm, sedangkan protein diukur pada panjang gelombang 280 nm. Batas kemurnian yang diterima dalam analisis molekuler pada rasio A260/A280 adalah 1.8 – 2.0.
12
3.2.5 Optimasi PCR Template DNA dari masing-masing klon kakao diamplifikasi menggunakan 20 primer SSR yang telah dikembangkan oleh Lanaud et al (1999) dan Kurniasih et al (2011) yang mendesain ulang urutan nukleotidanya berdasarkan program primer 3 (Tabel 3.1). PCR dilakukan dengan total volume 15 µl, terdiri atas 2 µl DNA template, 0.3 µl primer mix (konsentrasi 10 pmol), 1.5 µl 10x buffer, 0.15 µl MgCl, 0.075 Taq DNA polymerase, 2.7 µl dNTP dan ditambahkan ultra purewater (ddH2O). Tabel 3.1 Identitas marka mikrosatelit (SSR) yang digunakan dalam penelitian Jumlah
Ukuran
Basa
Alel
F: AACCACTGACACGCAATGAA
20
242
(CT)2TTT(CT)9
R: TGTTTGCAAATAAAGAAGAGAGGA
24
F: ACTGCTGCAGCCTCTCTTTC
20
204
(CA)8(CT)13
R: ACATGGAGGGAGGGAGAGAT
20
F: GACCTTTTTCCCCCTGATTC
20
250
(GA)19
R: TGGCAAAAATTCACCAGTCA
20
F: CCGCTGTTTTGGTATTTC
18
194
(TC)12(CA)14
R: GGATGAGGGGTGGTTG
16
F: GCAATCATGTGCCCCTTCTA
20
206
(AG)6AA (AG)7
55.2
R: AAGCTTATTGCGGAAGGACA
20
(GA)16
54.5
F: TGAAACTCCCATACTACTGA
20
216
(GA)10
49.9
R: ACAATCTGTCCATTATTCTG
20
F: GAAAATGGGGGTCTTTTGGT
20
196
(CT)9
R: AGGCGAAGAGGGAGAAGAAG
20
F: GATCTCGCAAAACTAACA
18
261
(CT)26
R: TAAGTAAAATGAAGGTGTGA
20
F: GGACATCGGTGTTCCATCAG
20
R: TGCTATGAGATTGAAAGAGAATTGA
25
F: CCCGTAAGCTTCCATTTTCC
20
R: CAAAGGGACCAAAAAGAGCA
20
F: GCCTTACAGCATTCCCATGA
20
R: ATCTGCAGGACTTGGACCAC
20
F: TTGCAATTGTCCCAAGCATA
20
R: ATGTCAAGCATGGCAGTGTT
20
F: CTGAAGCACAATTATTCCATCAA
23
R: CCAATTGCTCCACAAAGAGC
20
F: TGTTGCATAAAACACGAGTTC
21
R: CCTAAAATCCTTCCTAACAGC
21
F: GGGATTGCACTTCACAAGGT
20
R: TCCAAGTTCCGTATGTGCTG
20
F: GAGAGATGGCTTAAGGAT
18
R: ACCATACTATTGAAACATTG
20
F: TCATGCCCAGTGACACAAAT
20
R: AATGGACTGGAGCATGGAAG
20
F: CAGACTTCCAACTCAAAACT
20
R: TGAGAATAGATGGACCGAT
19
F: CTTAGAGGCTTGTGCCGTGA
20
R: GCCATGCCAATTTCCAATAA
20
F: TGTCCTTCACATAAGCCATGA
21
R: TGTTGCCCTTCCTTGTTAGG
20
No.
LG
Nama Marka
Primer (5’ – 3’)
A
1
mTcCIR144
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
mTcCIR184
mTcCIR162
mTcCIR281
mTcCIR82
mTcCIR81
mTcCIR76
mTcCIR213
mTcCIR69
mTcCIR109
mTcCIR255
mTcCIR291
mTcCIR190
mTcCIR141
mTcCIR211
mTcCIR103
mTcCIR251
mTcCIR145
mTcCIR155
mTcCIR209
Repeat Sekuens
Tm (⁰C) 55.1 52.7 57.6 57.1 53.3 52.9 49 52.4
47.3 53.3 56.3 47.1 46.3 208
(CT)20
221
(CT)12
193
(AC)11
212
(CT)12
172
(TG)12
217
(TC)14
179
(CT)9
112
(GA)10
228
(CT)7(CA)12
117
(CT)17
197
(TC)12
243
(GT)6AT(GA)9
55.6 52.4 53.9 53.4 55.2 57.1 52.8 55.3 53.7 59.1 51.6 50.8 55.6 54.9 48 45.3 54.8 54.9 50.2 49.7 57.2 51.7 53.8 55
13
Proses PCR dilakukan dengan 35 siklus, diawali pre denaturasi pada 95⁰C selama 3 menit, kemudian masuk ke tahap amplifikasi yang terdiri dari denaturasi 95⁰C selama 15 detik, penempelan (annealing) pada suhu 53⁰C selama 15 detik, dan perpanjangan (extension) pada suhu 72⁰C selama 15 detik. Tahap terakhir dilanjutkan dengan perpanjangan akhir (final extension) pada suhu 72⁰C selama 10 menit dan pendinginan (cooling) sampai suhu 15⁰C selama 10 menit. Hasil amplifikasi PCR dievaluasi dengan gel agarose 1%. 3.2.6 Running PAGE DNA Hasil Amplifikasi dengan Marka SSR Proses elektroforesis dimulai dengan penyiapan kaca panjang dan pendek. Kaca panjang dibersihkan dan ditambah larutan pengikat 2 µl Bind Silane ke dalam 1 mL etanol 95% (v/v) dan 5 µL asam asetat glacial 0.5% (v/v). Untuk kaca pendek digunakan “Microsatelite gel polyacrilamide” yang terdiri atas: 55 ml akrilamid 6%, 300 µl APS 10% dan 55 µl TEMED. Sampel produk PCR sebanyak 2 µl ditambah 3-4 µl pewarna kemudian diaduk dan didenaturasi pada suhu 94° C selama 10 menit. Sementara itu dilakukan pre running elektroforesis dengan buffer 1X TBE hingga mencapai suhu 60°C. Sampel hasil amplifikasi 2 µl dimasukkan pada celah sisir sampai semua sampel masuk, dan sampel siap di running pada mesin elektroforesis dengan kondisi 3000 volt, 300 mA, 65 Watt selama 2,5 jam. Sekitar 2 µl ladder 1 kb dimasukkan ke well pertama dan terakkhir. Setelah selesai, kaca dikeluarkan dan kaca penutupnya dilepaskan dengan hati-hati. Pewarnaan perak nitrat dimulai dengan perendaman kaca dalam larutan acetic acid 10% sebagai larutan fiksasi selama 30 menit dalam shaker. Selanjutnya dicuci dengan air bebas ion sebanyak 3 kali masing- masing selama 10 menit, kemudian dilakukan perendaman pada larutan perak nitrat selama 30 menit, selanjutnya dicuci dengan air bebas ion. Kaca lalu direndam pada larutan developer hingga nampak pita. Kemudian kaca dicuci dengan asam asetat glasial selama 5 detik, dilanjutkan pencucian terakhir dengan air bebas ion. Pengeringan dilakukan pada suhu ruang. 3.2.7 Skoring dan Analisis Data Hasil skoring SSR ditentukan oleh pola pita yang terbentuk dari hasil amplifikasi PCR untuk masing-masing genotipe. Marka SSR adalah marka multi alel sehingga dapat diperoleh informasi jumlah alel untuk setiap primer yang digunakan. Analisis faktorial dan kontruksi pohon filogenetik dianalisis menggunakan software DARwin (Dissimilarity Analysis and Representation for WINDOWS) versi 6.05. Matriks ketidaksamaan dianalisis berdasar data alel untuk tingkat ploidi dua dan bootstrap yang digunakan adalah pengulangan sebanyak 10.000. Parameter genetik dari primer yang digunakan seperti jumlah alel (N), nilai heterozigositas teramati (Ho), nilai heterozigositas harapan (He), dan Polymorphic Information Content (PIC) dihitung menggunakan software Cervus 2.0 sedangkan rata-rata alel (Na), rata-rata alel efektif (Ne), Ho dan He populasi dihitung dengan software GenAlEx 6.501. Software STRUCTURE versi 2.3 digunakan untuk menganalisis stuktur populasi. Jumlah pengelompokan populasi yang ideal berdasar nilai tertinggi Delta K (∆K) yang diestimasi menggunakan STRUCTURE HARVESTER.
14
3.3 Hasil Dan Pembahasan 3.3.1 Analisis SSR Hasil PCR menggunakan 20 primer SSR pada 28 klon kakao telah dianalisis parameter genetiknya (Tabel 3.2). Masing-masing primer mempunyai ukuran alel yang berbeda tergantung dengan primer yang digunakan. Keseluruhan alel yang diperoleh adalah 88 alel yang berkisar antara 4 sampai dengan 6 alel per lokus (rata-rata 4.5). Persentase primer polimorfik (PIC) dan heterozigositas harapan (He) tertinggi terdapat pada primer mTcCIR213 sedangkan terendah pada primer mTcCIR103. Nilai PIC yang lebih tinggi dari 0.7 menunjukkan bahwa lokus tersebut sangat informatif. Beberapa primer mempunyai nilai heterozigositas teramati yang lebih tinggi dari heterozigositas harapan. Hal ini mengindikasikan jika primer SSR tersebut cukup baik digunakan untuk analisis keragaman karena dapat membedakan klon-klon yang dianalisis. Tabel 3.2 Ukuran alel, jumlah alel per primer (N), persentase primer polimorfik (PIC), heterozigositas teramati (Ho) dan Heterozigositas harapan (He) dari 20 primer SSR. Nama Primer LG Ukuran Alel (bp) N PIC Ho He mTcCIR144 1 242 5 0.679 0.536 0.738 mTcCIR184 1 204 4 0.580 0.464 0.662 mTcCIR162 2 250 4 0.562 0.393 0.631 mTcCIR281 2 194 4 0.492 0.714 0.562 mTcCIR82 3 206 5 0.652 0.679 0.719 mTcCIR81 3 216 5 0.649 0.500 0.706 mTcCIR76 4 196 4 0.476 0.536 0.527 mTcCIR213 4 261 5 0.716 0.857 0.769 mTcCIR69 5 208 4 0.677 0.714 0.742 mTcCIR109 5 221 4 0.560 0.536 0.624 mTcCIR255 6 193 4 0.492 0.464 0.555 mTcCIR291 6 212 6 0.638 0.607 0.701 mTcCIR190 7 172 5 0.664 0.786 0.731 mTcCIR141 7 217 4 0.552 0.643 0.632 mTcCIR211 8 179 4 0.428 0.393 0.480 mTcCIR103 8 112 4 0.348 0.464 0.389 mTcCIR251 9 228 5 0.671 0.607 0.728 mTcCIR145 9 117 4 0.531 0.250 0.610 mTcCIR155 10 197 4 0.556 0.643 0.615 mTcCIR209 10 243 4 0.480 0.429 0.547 Rata-rata 4.5 0.570 0.561 0.633 Rata-rata jumlah alel (N) yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari studi sebelumnya yang dilakukan oleh Silva et al (2011) dengan rata-rata jumlah alel 3.25 pada 8 lokus SSR yang diuji terhadap populasi kakao Amazon Brasil. Namun rata-rata jumlah alel yang diperoleh lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih et al (2011) yaitu 5.5 alel per lokus. Perbedaan jumlah alel yang dihasilkan dipengaruhi oleh jenis dan jumlah klon yang dianalisis serta jenis dan jumlah lokus yang digunakan. Berdasarkan parameter genetik populasi diperoleh hasil rata-rata tertinggi untuk semua parameter terdapat
15
pada populasi klon komersial. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik klon komersial lebih besar dibandingkan populasi klon unggul lokal (Tabel 3.3). Salah satu penyebab nilai keragaman yang tinggi adalah perbedaan jumlah sampel yang dianalisis. Klon komersial menggunakan sampel yang lebih banyak dibandingkan klon unggul lokal. Klon komersial yang digunakan merupakan klon yang merepresentasikan bahan tanam yang tersebar di Indonesia sedangkan klon unggul lokal merupakan klon yang mempunyai keunggulan tertentu di suatu wilayah tertentu sehingga wajar apabila keragamannya lebih rendah. Nilai heterozigositas teramati (Ho) apabila dibandingkan dengan heterozigositas harapan (He) tidak ada yang lebih tinggi pada semua populasi. Klon unggul lokal dan klon komersial nilai Ho dan He selisihnya dekat. Hal ini menunjukkan keragaman genetik kedua populasi tersebut tidak terlalu tinggi. Keragaman yang terbentuk dari dua populasi kemungkinan disebabkan pemilihan sampel yang mewakili keragaman produksi, ketahanan terhadap OPT, dan mutu. Khusus klon komersial terdapat 2 jenis kakao yang dianalisis yaitu forastero dan trinitario. Dalam populasi mempunyai alel spesifik yang berkisar antara 0.25-0.45. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat potensi genetik tertentu pada kedua populasi tersebut. Nilai indeks fiksasi (F) yang dihasilkan adalah positif yang menandakan bahwa frekuensi alel antar populasi juga menentukan keseluruhan keragaman. Tabel 3.3 Pendugaan jumlah rata-rata alel per primer (Na), rata-rata alel efektif (Ne), heterozigositas teramati (Ho) dan Heterozigositas harapan (He), nilai indeks fiksasi (F) dan rata-rata jumlah alel spesifik pada masingmasing populasi klon kakao berdasar 20 marka SSR Alel Populasi Na Ne Ho He F spesifik Klon Unggul Lokal 3.950 2.667 0.558 0.600 0.078 0.250 Klon Komersial 4.150 2.769 0.563 0.611 0.079 0.450 3.3.2 Analisis Keragaman Genetik Analisis keragaman genetik 28 klon kakao dengan 20 marka SSR menggunakan Neighbour Joining sudah dilakukan dan menghasilkan pohon filogenetik seperti pada Gambar 3.1. Hasil filogenetik menunjukkan terdapat 3 kelompok besar pada klon kakao yang dianalisis. Masing-masing kelompok terdiri dari pencampuran dua populasi yang diuji. Kelompok besar pertama terbagi menjadi dua sub kelompok, yang pertama adalah campuran dari populasi klon unggul lokal dan klon komersial dengan komposisi yang relatif berimbang, sedangkan yang kedua hanya terdapat dua klon saja yaitu Theca 6 yang mewakili klon unggul lokal dan TSH 858 yang merupakan klon komersial. Kelompok besar kedua juga terdapat pencampuran dari dua populasi namun proporsi klon komersial hanya ada dua yaitu Theca 1 dan IAARD 6. Kelompok besar terakhir hanya terdiri dari 5 klon yaitu 3 klon unggul lokal dan 2 klon komersial. Klon unggul lokal yang terdapat dalam kelompok ini berasal dari lokasi yang sama yaitu KT 1, KT 3 dan KT 4. Hasil pohon filogenetik tersebut memberi gambaran bahwa klon unggul lokal dan klon komersial relatif bercampur dan muncul pada setiap kelompok besar. Hasil tersebut menggambarkan bahwa klon unggul yang diuji dengan klon komersial diduga mempunyai asal usul yang dekat. Klon
16
komersial yang menghasilkan biji putih (edel) yang termasuk dalam jenis trinitario yaitu DR 38 dan DRC 16 ternyata berada pada posisi yang berdekatan. Klon unggul lokal yang diuji tidak ada yang mempunyai genetik yang identik dengan klon komersial. Klon unggul lokal tersebut mempunyai peluang untuk dilepas sebagai klon unggul baru apabila mempunyai keunggulan dibandingkan dengan klon komersil yang sudah dibudidayakan secara luas di Indonesia. Selain mempunyai keunggulan dan berbeda secara genetik, klon tersebut juga sudah harus memenuhi kaidah-kaidah yang disyaratkan dalam pelepasan klon unggul baru. Pengetahuan materi genetik yang mempunyai jarak genetik terjauh juga berguna untuk pemilihan tetua yang akan digunakan untuk perakitan klon unggul baru. Klon yang berpotensi menjadi tetua adalah klon unggul lokal (Theca 2 dan Theca 3) dan klon komersial (MCC 01 dan RCC 73) yang disilangkan dengan klon komersial (ICCRI 3 dan Sca 12) dan klon unggul lokal (KT 1, KT 3 dan KT 4). Pemilihan tetua tersebut berdasarkan pohon filogenetik yang terbentuk, dimana dipilih yang mempunyai jarak genetic terjauh yaitu kelompok I dan kelompok III. Persilangan buatan tentunya juga harus mengarah kepada tujuan akhir yang mengacu pada tiga hal yaitu produktivitas, kualitas/mutu dan ketahanan terhadap OPT.
Gambar 3.1 Pohon filogenetik 28 klon kakao dengan 20 marka SSR menggunakan Neighbour Joining
17
3.3.3 Struktur Genetik Populasi Hasil analisis struktur populasi menggunakan Structure Harvester diperoleh puncak teringgi kurva log probability yaitu pada K=3. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat 3 kelompok besar klon kakao dengan pencampuran klon pada masing-masing kelompok (Gambar 3.2). Kelompok pertama yang merepresentasikan dominansi warna merah terdiri dari klon komersial ICS 13, GC 7, ICS 60, NIC 7, DR 38 dan DRC 16. Klon Sulawesi 1, Sulawesi 2, IAARD 6 dan Theca 2 mulai tersisipi warna hijau yang cukup banyak. Warna hijau yang dominan muncul pada klon IAARD 2, Theca 3, Sca 6, MCC 02 dan MCC 03. Di kelompok ini klon unggul lokal dan klon komersil menyebar merata. Kelompok terakhir yang merepresentasikan warna biru terdiri dari klon Sca 12, KT 1, KT 4, ICCRI 3, dan KT 3. Pengelompokan warna biru diduga terdapat pengaruh klon Sca 12. Sebagai contoh klon ICCRI 3 merupakan hasil persilangan antara DR 2 dengan Sca 12. Klon Sca 12 sering digunakan sebagai tetua jantan karena merupakan donor ketahanan terhadap OPT. Hasil analisis juga diperoleh hal yang menarik dimana terdapat satu klon yang mempunyai 3 warna yang relatif seimbang yaitu klon MCC 01. Pencampuran warna pada beberapa individu genotipe menunjukkan bahwa terjadi aliran gen antar populasi yang mengakibatkan pencampuran genetik. Hasil penelitian ini dapat menjelaskan hubungan kekerabatan antar genotipe mengingat klon unggul lokal merupakan klon hasil observasi yang sebelumnya tidak diketahui asal usul genetiknya. Pengetahuan mengenai keragaman genetik pada kakao mempermudah pemilihan tetua dalam perakitan klon unggul baru. Selain itu, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa marka SSR merupakan alat bantu yang cukup potensial untuk menentukan tetua persilangan yang diharapkan dapat meningkatkan peluang heterosis pada keturunannya.
Gambar 3.2 Estimasi struktur populasi 28 klon kakao berdasar analisis Structure (K3). Setiap individu direpresentasikan dengan garis vertikal. Jumlah subgrup (K) ditandai dengan perbedaan warna. Tinggi setiap bar merepresentasikan probabilitas penggolongan setiap individu dalam subgroup.
18
3.4 Kesimpulan Parameter genetik menggunakan 20 primer SSR menunjukkan bahwa tingkat keragaman genetik klon kakao koleksi Balittri cukup tinggi dengan rataan PIC sebesar 57%. Pohon filogenetik terbagi menjadi 3 kelompok besar dimana klon unggul lokal dan klon komersial bercampur dalam tiap-tiap kelompok. Klon unggul lokal diduga mempunyai asal usul yang dekat dengan klon komersial yang sudah dibudidayakan di Indonesia. Klon unggul lokal yang diuji mempunyai perbedaan secara genetik dengan klon komersial sehingga ada harapan untuk dilepas sebagai klon unggul baru apabila mempunyai keunggulan dibandingkan dengan klon komersil. Hasil penelitian ini dapat menjelaskan hubungan kekerabatan antar genotipe mengingat klon unggul lokal merupakan klon hasil observasi yang sebelumnya tidak diketahui asal usul genetiknya. Pengetahuan mengenai keragaman genetik pada kakao mempermudah pemilihan tetua dalam perakitan klon unggul baru. Selain itu, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa marka SSR merupakan alat bantu yang cukup potensial untuk menentukan tetua persilangan yang diharapkan dapat meningkatkan peluang heterosis pada keturunannya.
Daftar Pustaka Allen GC, Vergara MA, Krasynanski S, Kumar S, Thompson WF. 2006. A modified protocol for rapid DNA isolation from plant tissues using cetyl trimethylammonium bromide. Nat. Prot. 1:2320-2325. Azrai M. 2005. Pemanfaatan marka molekuler dalam proses seleksi pemuliaan tanaman. Jurnal AgroBiogen. 1(1):26-27. Baihaki A. 2004. Mengantisipasi persaingan dalam menuju swasembada varietas unggul. Simposium PERIPI 2004. Bogor. Brummer EC, Barber WT, Collier SM, Cox TS, Johnson R, Murray SC, Olsen RT, Pratt RC, Thro AN. 2011. Plant Breeding for harmony between agriculture and the environment. Frontiers in Ecology and the Environment. 9(10):561-568.doi: 10.1890/100225. Ditjenbun. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Eskes AB, Lanaud C. 2011. Cocoa. In Charrier A, Jacquot M, Hamon S and Nicolas D (Eds). Tropical plant breeding, 78-105. France & USA: CIRAD &Science Publishers. Inc. ICCO (International Cocoa Organization). 2014. ICCO Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol. XL (4) Cocoa year 2013/2014. Iswanto A. dan Winarno H. 1992. Cocoa breeding at RIEC Jember and the roll of planting material resistant to VSD and black pod. Dalam P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australia: 163-169. FAO Plant Production and Protection Paper No. 112.
19
Izzah NK. 2014. Peran marka molekuler dalam perbaikan genetik tanaman kakao. Bunga Rampai Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao. 47-56. Kurniasih S, Rubiyo, Setiawan A, Purwantara A, dan Sudarsono. 2011. Analisis keragaman genetik plasma nutfah kakao (Theobroma cacao L.) berdasarkan marka SSR. Littri.17(4):156-162. Mohan M, Nair S, Bhagwat A, Krishna TG, Yano M. 1997. Genome mapping, molecular markers and marker-assisted selection in crop plants. Molecular Breeding. 3(2):87-103 Opeke LK, Gorenz AM. 1982. Phytophthora Pod rot: Symtoms and Economic Importance. In P.H. Gregory(Eds.). Phytophthora Disease of Cocoa: 117124. Longman, London. Pugh T, Fouet O, Risterucci AM, Brottier P, Abouladze M, Deletrez C, Courtois B, Clement D, Larmande P, N’Goran JAK et al. 2004. A new cacao linkage map based on codominant marka: development and integration of 201 new microsatellite markas. Theor Appl Genet 108:1151-1161. Roder MS, Plaschke J, König U, Börner A, Sorrells M, Tanksley SD, dan Ganal MW. 1995. Abundance, variability, and chromosomal location of microsatellites in wheat. Mol. Gen. Genet. 246:327-333. Rubiyo, Sudarsono, Siswanto, Indah AS dan Cicu. 2011. Penelitian penggunaan marka molekuler RAPD, AFLP, dan SSR sebagai dasar pemilihan tetua P1 dan P2 dalam pengembangan hibrida kakao berproduksi tinggi dan resisten terhadap P. palmivora. Laporan akhir Penelitian Peningkatan Produktivitas Kakao > 50% melalui Penggunaan klon Tahan PBK, VSD dan Busuk buah. Pusat Penelitian dan pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian. 59 hal. Santos RMF, Lopes UV, Clement D, Pires JL, Lima EM, Messias TB, Gramacho KP. 2014. A protocol for large scale genomic DNA isolation for cacao genetics analysis. African Journal of Biotechnology. 13(7):814-820. Silva CRS, Albuquerque PSB, Ervedosa FR, Mota JWS, Figueira A, Sebben AM. 2011. Understanding the genetic diversity, spatial genetic structure and mating system at the hierarchical levels of fruits and individuals of a continuous Theobroma cacao population from the Brazilian Amazon. Heredity. 106:973-985. Susilo AW, Anita-Sari I. 2011. Respon ketahanan beberapa hibrida kakao (Theobroma cacao L) terhadap serangan penyakit pembuluh kayu (Vascular-streak Dieback). Pelita Perkebunan. 27(2):77-87. Susilo AW. 2015. Botani, keragaman genetik dan pengelolaan plasma nutfah. Dalam Kakao: Sejarah, botani, proses produksi, pengolahan dan perdagangan. 19-35. Gadjah Mada University Press. Weising K, Nybon H, Wolff K, and Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, Fla. Zhang D, Mischke S, Johnson ES, Phillips-Mora W, and Meinhardt L. 2009. Molecular characterization of an international cacao collection using microsatellite markers. Tree genetic&Genomic. 5:1-10.
20
4 ANALISIS KERAGAMAN GENETIK BERDASARKAN MARKA SSR DAN KARAKTERISASI KOMPONEN HASIL KLON KAKAO KOLEKSI BALITTRI Abstrak Informasi keragamanan genetik koleksi plasma nutfah kakao mempunyai peranan penting dalam program perakitan klon unggul baru. Penentuan tetua yang akan digunakan dalam persilangan dapat dipilih berdasar jarak genetik terjauh dan sifat unggul yang dimiliki baik produksi, mutu dan ketahanan. Ketersediaan klon komersial, klon unggul lokal dan klon introduksi meningkatkan peluang keberhasilan perakitan klon unggul baru sehingga analisis keragaman genetik materi tersebut perlu dilakukan. Analisis dilakukan pada 50 klon kakao yang terdiri dari 13 klon unggul lokal hasil observasi Balittri, 15 klon komersil dan 22 klon introduksi dari Ekuador menggunakan 20 pasang primer SSR. Hasil menunjukkan bahwa semua primer yang digunakan bersifat polimorfik dan tingkat keragaman genetik cukup tinggi dengan rataan PIC sebesar 57%. Pohon filogenetik terbagi menjadi 3 kelompok besar dimana klon introduksi agak terpisah dari klon yang lain. Diduga beberapa klon introduksi mempunyai jarak genetik yang jauh dengan klon-klon yang sudah dibudidayakan di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan hasil analisis struktur populasi yang menggambarkan bahwa populasi terbagi menjadi dua dimana kelompok pertama didominasi oleh klon introduksi sedangkan kelompok kedua gabungan dari klon unggul lokal dan klon komersil. Berdasarkan hasil analisis molekuler dan data komponen hasil, dapat dipilih calon tetua persilangan terbaik. Pada karakter daya hasil, prioritas persilangan adalah MCC 02 x Sulawesi 2. Karakter bobot per biji kering, dapat menggunakan persilangan antara ICCRI 3 atau MCC 01 dengan MCC 02 atau IAARD 9. Tetua yang mempunyai jarak genetik yang jauh untuk karakter kadar lemak adalah klon Sulawesi 2 atau ICCRI 3 disilangkan dengan Sca 6. Pada klon introduksi, terdapat 2 klon yang mempunyai prekositas tinggi dan jumlah buah tertinggi yaitu E 13 dan E 23. Klon Ekuador masih harus diamati lebih lanjut daya hasil, mutu biji dan ketahanannya supaya diketahui aspek mana yang perlu diperbaiki. Kata kunci : keragaman genetik, kakao, marka SSR, klon lokal, klon introduksi
21
Abstract Information of cocoa germplasm genetic diversity is important for cocoa breeding program. Candidate of parents for cross breeding purpose could be selected based on genetic distant and useful characters such as yield, fruit quality, and disease resistance. Genetic diversity analysis in purpose to determine the commercial and superior local clones would give better possibility in development of new superior clones. Analysis were performed on 50 cocoa clones consisted of 13 superior local clones observed by BALLITRI, 15 commercial clones, and 22 introduced clones from Equador, by using 20 SSR primer pairs. All primers were polymorphic and generated moderately high genetic diversity with PIC rate of 57%. Phylogenetic tree were divided into three main clusters where introduced clones were distantly related to others. It was presumed that some introduced clones had distant genetic distance with Indonesian cultivated clones. Population structure analysis showed that there were two clusters where the first cluster was dominated by introduced clones while second cluster was dominated by superior local clones and commercial clones. The best parent candidates for crossing could be selected based on molecular analysis results and yield components data. Clones of MCC 02 x Sulawesi 2 was considerated as parents candidate for yield character while crossing between ICCRI 3 or MCC01 with MCC02 or IAARD 9 was potentially selected as parents candidate for dry seed weigh trait. The highest genetic distance for fat content traits were Sulawesi 2 or ICRRI 3 and Sca6. E 13 and E 23 clone had high precocity and highest fruit numbers. Equador clones had to observed first for seed quality and disease resistance traits to determine the aspects that could be improved. Keywords: genetic diversity, cocoa, SSR markers, local clones, introduced clones
22
4.1 Pendahuluan Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan komoditas perkebunan penghasil biji yang dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan, minuman dan kosmetik. Lemak kakao (cocoa butter) biasa digunakan dalam industri cokelat dan kosmetik. Kakao bubuk (cocoa powder) digunakan sebagai salah satu bahan dasar pembuatan berbagai jenis makanan dan minuman, seperti minuman rasa cokelat, es krim rasa cokelat, serta beragam kue dan biscuit. Pasta kakao (cocoa liquor) digunakan untuk bahan pembuatan cokelat batangan, baik murni maupun dikombinasikan dengan bahan tambahan lainnya (International Cocoa Organization (ICCO) 2003). Indonesia merupakan negara penghasil biji kakao, baik kakao lindak (bulk) maupun kakao mulia (edel). Kualitas biji kakao mulia Indonesia sudah terkenal di pasar dunia dengan nama Java ‘A’ light breaking cacao (Anitasari et al. 2012). Arah pemuliaan kakao saat ini ditujukan untuk merakit kultivar unggul dengan sifat-sifat antara lain daya hasil tinggi, kualitas biji yang bermutu tinggi serta ketahanan terhadap hama dan penyakit. Perakitan klon unggul kakao mempunyai beberapa tahapan, yaitu 1), pengumpulan materi genetik atau plasma nutfah melalui eksplorasi maupun introduksi, 2) evaluasi materi genetik, dan 3) pemanfaatan materi genetik melalui proses seleksi, hibridisasi, mutasi dan rekayasa genetik. Hibridisasi adalah proses persilangan yang dilakukan untuk menggabungkan beberapa karakter yang diharapkan. Keberhasilan suatu persilangan ditentukan oleh jarak genetik tetua yang digunakan, yaitu semakin jauh jarak genetik akan semakin meningkatkan peluang terjadinya heterosis pada progeni yang dihasilkan (Rubiyo 2013). Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan informasi yang akurat tentang keragaman genetik plasma nuftah kakao yang akan dipilih sebagai tetua. Analisis keragaman genetik tanaman dapat dilakukan secara morfologi maupun dengan menggunakan marka molekuler. Marka molekuler adalah variasi dalam urutan DNA pada lokasi tertentu dalam suatu genom yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu atau spesies (Izzah 2014). Penggunaan marka molekuler telah berhasil mengidentifikasi kelompok genetik klon-klon Nacional Ecuador yang dikenal sebagai Arriba Cocoa dimana hasilnya berbeda secara genetik dengan kelompok Criollo, Forastero dan Trinitario (Crouzillat et al. 2000). Analisis keragaman genetik berbasis molekuler oleh Motamayor et al. (2008) telah berhasil mendapatkan 10 kelompok genetik, yaitu Maranon, Curaray, Criollo, Iquitos, Nanay, Contamana, Amelonado, Purus, Nacional, dan Guiana. Hal ini membuktikan bahwa persilangan antar genotipe dapat membentuk kelompok genetik yang baru. Plasma nutfah kakao di Indonesia kemungkinan dapat mengalami hal yang sama mengingat sebagian besar koleksi plasma nutfah diperoleh melalui kegiatan eksplorasi pada populasi yang silsilah genetik tetuanya tidak diketahui (Susilo 2005). Salah satu marka molekuler yang sering digunakan untuk analisis keragaman genetik adalah mikrosatelit atau Simple Sequence Repeat (SSR). SSR adalah sekuen DNA dengan panjang sampai 6 pasangan basa yang diulang secara berurutan (Thiel et al. 2003). Marka SSR sering digunakan dalam analisis genetik karena mempunyai beberapa keunggulan, yaitu mempunyai variasi tinggi, menghasilkan banyak alel, mempunyai reproduktivitas tinggi, bersifat kodominan,
23
jumlahnya relatif melimpah di sepanjang genom, mempunyai tingkat polimorfisme yang tergolong tinggi, dapat diidentifikasi dengan metode PCR, mempunyai cakupan genom yang luas, terdapat pada lokasi kromosom yang spesifik, dan dapat diaplikasikan menggunakan metode genotyping yang canggih (Parida et al. 2010; Kalia et al. 2011). Analisis keragaman genetik kakao dengan menggunakan marka SSR telah dilakukan oleh Zang et al. (2009), Kurniasih et al. (2011), dan Rubiyo et al. (2015). Hasil penelitian De Schawe et al. (2013) berhasil mengelompokkan genotipe kakao di Bolivia menjadi dua grup, yaitu genotipe kakao budidaya dan kakao liar dengan menggunakan marka SSR. Sementara, hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Rubiyo et al. (2015) menggunakan 14 marka SSR polimorfik berhasil mengelompokkan 12 klon kakao yang berasal dari Sulawesi Tenggara menjadi 3 kelompok serta mendapatkan 7 kombinasi persilangan dengan nilai jarak genetik > 80%. Perakitan klon kakao produksi tinggi terkait dengan penyediaan bahan tanam (benih) unggul dapat diperoleh dengan memilih tetua yang tepat berdasarkan hasil analisis molekuler dengan didukung mutu hasil dan sifat penting lainnya seperti ketahanan terhadap penyakit. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keragaman genetik klon kakao koleksi Balittri berdasarkan marka molekuler SSR untuk pemilihan tetua kakao dalam rangka program perakitan varietas baru kakao. 4.2 Metode Penelitian 4.2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 sampai Mei 2016. Kegiatan ini dikerjakan di laboratorium Terpadu Balittri dan laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB lab), Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB. 4.2.2 Materi Tanaman Klon kakao yang dianalisis sebanyak 50 yang terbagi menjadi 3 populasi. Populasi pertama adalah 13 klon unggul lokal hasil observasi di beberapa sentra produksi kakao, populasi kedua adalah 15 klon komersial yang telah dibudidayakan secara luas oleh petani, sedangkan populasi ketiga adalah 22 klon introduksi dari Ekuador (Tabel 4.1). Klon unggul lokal berasal dari persilangan buatan yang dilakukan oleh petani setempat dan ada juga yang berasal dari biji hasil persilangan alami yang setelah ditanam ternyata mempunyai keunggulan dalam hal produktivitas. Klon komersial merupakan hasil dari program pemuliaan kakao secara konvensional yang telah dilepas oleh pemerintah sebagai klon unggul nasional. Semua klon yang digunakan telah ditanam di KP. Pakuwon, Balittri. Tabel 4.1 Klon kakao yang digunakan dalam penelitian No Nama Klon Tipe kakao Lokasi pengambilan sampel 1 KT 1 Lindak Banyuwangi, Jawa Timur 2 KT 4 Lindak Banyuwangi, Jawa Timur 3 KT 3 Lindak Banyuwangi, Jawa Timur 4 Theca 1 Lindak Pesawaran, Lampung 5 Theca 2 Lindak Pesawaran, Lampung
24
No 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Nama Klon Theca 3 Theca 4 Theca 6 IAARD 1 IAARD 2 IAARD 4 IAARD 6 IAARD 9 ICS 13 GC 7 Sulawesi 1 Sulawesi 2 DRC 16 TSH 858 ICCRI 3 ICS 60 DR 38 Sca 6 Sca 12 NIC 7 MCC 01 MCC 02 RCC 73 E3 E4 E 13 E 22 E 23 E 24 E 28 E 39 E 44 E 62 E 63 E 64 E 55 E2 E 20 E6 E7 E 86 E 85 E 18 E 21 E 61
Tipe kakao Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Edel Lindak Lindak Lindak Edel Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak -
Lokasi pengambilan sampel Pesawaran, Lampung Pesawaran, Lampung Pesawaran, Lampung Sulawesi Tenggara Sulawesi Tenggara Sulawesi Tenggara Sulawesi Tenggara Sulawesi Tenggara Kebun Percobaan Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon KP. Pakuwon
25
4.2.3 Ekstraksi DNA Kakao Protokol yang digunakan untuk ekstraksi DNA adalah prosedur ekstraksi berbasis CTAB mengikuti metode Allen et al. (2006) dan Santos et al. (2014) yang dimodifikasi. Sampel daun muda segar kakao ditimbang sebanyak 0.3 g, lalu diletakkan dalam cawan porselin steril dan ditambahkan 1.5 ml buffer ekstraksi CTAB, 0.05 gr PVP dan 5 µl mercapto etanol kemudian digerus dengan mortar steril sampai daun lumat. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tube 2 ml kemudian diinkubasi dalam water bath selama 60 menit pada suhu 65⁰C, setiap 15 menit dibolak-balik. Sampel kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11.500 rpm selama 15 menit pada suhu 25⁰C. Tujuannya untuk memisahkan debris dan komponen sel lain yang menjadi penyebab kontaminasi DNA. Larutan bagian atas (supernatan) dipindahkan sebanyak 0.8 ml kemudian ditambah 0.8 ml CIA dan 8 µl NaOAC. Kemudian dibolak-balik secara merata dengan tangan selama 10-15 menit untuk mengikat kotoran (debris) dari lautan DNA tersebut. Chloroform merupakan pelarut organik yang dapat melarutkan protein, lipid dan molekul lain seperti polisakarida, sehingga diharapkan akan diperoleh supernatan berisi DNA yang bebas kontaminan. Selanjutnya suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 11.500 rpm selama 15 menit pada suhu 25⁰C, sehingga diperoleh adanya tiga lapisan suspense; lapisan atas berwarna hijau jernih, lapisan tengah berwarna hijau keruh, dan lapisan bawah berupa pelet yang berwarna hijau tua. Cairan bagian atas dipindahkan ke eppendorf 1.5 ml sebanyak 0.8 ml lalu ditambahkan 0.64 ml isopropanol (2/3 dari volume untuk presipitasi DNA) dan 8 µl NaOAC. Eppendorf 1.5 ditutup rapat dan bolak-balik dengan tangan sambil dilihat munculnya benang-benang DNA hasil isolasi. Kemudian eppendorf dimasukkan ke freezer selama 20 menit untuk mengikat benang-benang DNA. Larutan DNA kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 11.500 rpm untuk mengendapkan DNA. Buang cairan secara perlahan dan tiriskan di atas tissue. Setelah kering (sekitar 30 menit) dimasukkan etanol 70% dingin sebanyak 400 µl lalu disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 11.500 pada suhu 4⁰C, kemudian cairan etanol dibuang dan pellet DNA dikeringanginkan. Setelah kering dimasukkan 200 µl TE buffer dan dibiarkan selama setengah hari untuk melarutkan benang-benang DNA. 4.2.4 Penentuan Kualitas DNA DNA hasil isolasi selanjutnya diuji kualitas dan kuantitasnya menggunakan elektroforesis gel agarose 1 % dan Nanodrop 2000 spektrofotometer untuk melihat konsentrasi dan kemurniannya. Pengukuran konsentrasi DNA dengan spektrofotometer dilakukan pada panjang gelombang 260 nm, sedangkan protein diukur pada panjang gelombang 280 nm. Batas kemurnian yang diterima dalam analisis molekuler pada rasio A260/A280 adalah 1.8 – 2.0. 4.2.5 Optimasi PCR Template DNA dari masing-masing klon kakao diamplifikasi dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) menggunakan 20 primer SSR yang telah dikembangkan oleh Lanaud et al (1999) dan Kurniasih et al (2011) yang mendesain ulang urutan nukleotidanya berdasarkan program primer 3 (Tabel 4.2). PCR dilakukan dengan total volume 15 µl, terdiri atas 2 µl DNA template, 0.3 µl
26
primer mix (konsentrasi 10 pmol), 7,5 µl PCR mix dan ditambahkan 5,2 µl ultra purewater (ddH2O). Tabel 4.2 Identitas marka mikrosatelit (SSR) yang digunakan dalam penelitian No.
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
LG
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
Nama Marka
mTcCIR144
mTcCIR184
mTcCIR162
mTcCIR281
mTcCIR82
mTcCIR81
mTcCIR76
mTcCIR213
mTcCIR69
mTcCIR109
mTcCIR255
mTcCIR291
mTcCIR190
mTcCIR141
mTcCIR211
mTcCIR103
mTcCIR251
mTcCIR145
mTcCIR155
mTcCIR209
Primer (5’ – 3’)
Jumlah
Ukuran
Basa
Alel
Repeat Sekuens
Tm
F: AACCACTGACACGCAATGAA
20
242
(CT)2TTT(CT)9
R: TGTTTGCAAATAAAGAAGAGAGGA
24
F: ACTGCTGCAGCCTCTCTTTC
20
204
(CA)8(CT)13
R: ACATGGAGGGAGGGAGAGAT
20
F: GACCTTTTTCCCCCTGATTC
20
250
(GA)19
R: TGGCAAAAATTCACCAGTCA
20
F: CCGCTGTTTTGGTATTTC
18
194
(TC)12(CA)14
R: GGATGAGGGGTGGTTG
16
F: GCAATCATGTGCCCCTTCTA
20
206
(AG)6AA (AG)7
55.2
R: AAGCTTATTGCGGAAGGACA
20
(GA)16
54.5
F: TGAAACTCCCATACTACTGA
20
216
(GA)10
49.9
R: ACAATCTGTCCATTATTCTG
20
F: GAAAATGGGGGTCTTTTGGT
20
196
(CT)9
R: AGGCGAAGAGGGAGAAGAAG
20
F: GATCTCGCAAAACTAACA
18
261
(CT)26
R: TAAGTAAAATGAAGGTGTGA
20
F: GGACATCGGTGTTCCATCAG
20
208
(CT)20
R: TGCTATGAGATTGAAAGAGAATTGA
25
F: CCCGTAAGCTTCCATTTTCC
20
221
(CT)12
R: CAAAGGGACCAAAAAGAGCA
20
F: GCCTTACAGCATTCCCATGA
20
193
(AC)11
R: ATCTGCAGGACTTGGACCAC
20
F: TTGCAATTGTCCCAAGCATA
20
212
(CT)12
R: ATGTCAAGCATGGCAGTGTT
20
F: CTGAAGCACAATTATTCCATCAA
23
172
(TG)12
R: CCAATTGCTCCACAAAGAGC
20
F: TGTTGCATAAAACACGAGTTC
21
217
(TC)14
R: CCTAAAATCCTTCCTAACAGC
21
F: GGGATTGCACTTCACAAGGT
20
179
(CT)9
R: TCCAAGTTCCGTATGTGCTG
20
F: GAGAGATGGCTTAAGGAT
18
112
(GA)10
R: ACCATACTATTGAAACATTG
20
F: TCATGCCCAGTGACACAAAT
20
228
(CT)7(CA)12
R: AATGGACTGGAGCATGGAAG
20
F: CAGACTTCCAACTCAAAACT
20
117
(CT)17
R: TGAGAATAGATGGACCGAT
19
F: CTTAGAGGCTTGTGCCGTGA
20
197
(TC)12
R: GCCATGCCAATTTCCAATAA
20
F: TGTCCTTCACATAAGCCATGA
21
243
(GT)6AT(GA)9
R: TGTTGCCCTTCCTTGTTAGG
20
(⁰C) 55.1 52.7 57.6 57.1 53.3 52.9 49 52.4
47.3 53.3 56.3 47.1 46.3 55.6 52.4 53.9 53.4 55.2 57.1 52.8 55.3 53.7 59.1 51.6 50.8 55.6 54.9 48 45.3 54.8 54.9 50.2 49.7 57.2 51.7
4.2.6 Running PAGE DNA Hasil Amplifikasi dengan Marka SSR Proses elektroforesis dimulai dengan penyiapan kaca. Pertama, siapkan dua kaca panjang dan pendek. Kaca panjang dibersihkan dengan etanol 95% (3 kali), dan dilanjutkan dengan clear view. Larutan pengikat disiapkan pada saat akan digunakan dengan menambahkan 2 µl Bind Silane ke dalam 1 mL etanol 95% (v/v) dan 5 µL asam asetat glacial 0.5% (v/v). Larutan Bind Silane dituangkan
53.8 55
27
pada tissue dan diratakan pada seluruh permukaan. Plate kemudian dibiarkan mengering, teteskan 2 mL etanol 95% pada permukaan plate kaca untuk untuk menghilangkan kelebihan Bind Silane (larutan pengikat). Untuk kaca pendek dibersihkan dengan etanol 95% menggunakan tissue Kimwipe. SigmaCote 0.5 ml diteteskan pada plate menggunakan pipet mikro lalu diratakan pada seluruh permukaan plate menggunakan tissue. Plate dibiarkan mengering, SigmaCote yang tersisa dibersihkan dengan membersihkan plate dua kali menggunakan tissue dengan etanol 95%. Kemudian disiapkan “Microsatelite gel polyacrilamide” yang terdiri atas: 55 ml akrilamid 6%, 300 µl APS 10% dan 55 µl TEMED. Cairan akrilamid selanjutnya dituangkan secara perlahan ke celah diantara dua kaca, kemudian disisipkan sisir dan dibiarkan sampai gel terpolimerisasi (sekitar 1 jam). Sampel produk PCR sebanyak 2 µl ditambah 1-3 µl pewarna kemudian diaduk dan didenaturasi pada suhu 94° C selama 10 menit. Sementara itu dilakukan pre running elektroforesis dengan buffer 1X TBE hingga mencapai suhu 60°C. Sebanyak 2 µl sampel hasil amplifikasi dimasukkan pada celah sisir sampai semua sampel masuk, dan sampel siap di running pada mesin elektroforesis dengan kondisi 3000 volt, 300 mA, 65 Watt selama 2,5 jam. Sekitar 2 µl ladder 1 kb dimasukkan ke well pertama dan terakhir. Setelah selesai, kaca dikeluarkan dan kaca penutupnya dilepaskan dengan hati-hati. Pewarnaan perak nitrat dimulai dengan perendaman kaca dalam larutan acetic acid 10% sebagai larutan fiksasi selama 30 menit dalam shaker. Selanjutnya dicuci dengan air bebas ion sebanyak 3 kali masing-masing selama 10 menit, kemudian dilakukan perendaman pada larutan perak nitrat selama 30 menit, selanjutnya dicuci dengan air bebas ion. Kaca lalu direndam pada larutan developer sambil digoyang hingga nampak pita. Setelah nampak pita, larutan developer dibuang dan kaca dicuci dengan acetic acid glacial selama 5 detik, dilanjutkan pencucian terakhir dengan air bebas ion. Pengeringan dilakukan pada suhu ruang dengan menegakkannya di atas tissue. 4.2.7 Skoring dan Analisis Data Hasil skoring SSR ditentukan oleh pola pita yang terbentuk dari hasil amplifikasi PCR untuk masing-masing genotipe. Marka SSR adalah marka multi alel sehingga dapat diperoleh informasi jumlah alel untuk setiap primer yang digunakan. Analisis faktorial dan kontruksi pohon filogenetik dianalisis menggunakan software DARwin (Dissimilarity Analysis and Representation for WINDOWS) versi 6.05. Matriks ketidaksamaan dianalisis berdasar data alel untuk tingkat ploidi dua dan bootstrap yang digunakan adalah pengulangan sebanyak 10.000. Parameter genetik dari primer yang digunakan seperti jumlah alel (N), nilai heterozigositas teramati (Ho), nilai heterozigositas harapan (He), dan Polymorphic Information Content (PIC) dihitung menggunakan software Cervus 2.0 sedangkan rata-rata alel (Na), rata-rata alel efektif (Ne), Ho dan He populasi dihitung dengan software GenAlEx 6.501. Software STRUCTURE versi 2.3 digunakan untuk menganalisis stuktur populasi. Jumlah pengelompokan populasi yang ideal berdasar nilai tertinggi Delta K (∆K) yang diestimasi menggunakan STRUCTUR HARVESTER.
28
4.3 Hasil Dan Pembahasan 4.3.1
Analisis Keragaman Genetik Menggunakan Marka SSR
Klon
Kakao
Koleksi
Balittri
4.3.1.1 Analisis SSR Hasil PCR menggunakan 20 primer SSR pada 50 klon kakao telah dianalisis parameter genetiknya (Tabel 4.3). Masing-masing primer mempunyai ukuran alel yang berbeda tergantung dengan primer yang digunakan. Keseluruhan alel yang diperoleh adalah 90 alel yang berkisar antara 4 sampai dengan 6 alel per lokus (rata-rata 4.5). Persentase primer polimorfik (PIC) dan heterozigositas harapan (He) tertinggi terdapat pada primer mTcCIR213 sedangkan terendah pada primer mTcCIR76. Kedua primer berada pada LG yang sama yaitu kromosom keempat. Nilai PIC yang lebih tinggi dari 0.7 menunjukkan bahwa lokus tersebut sangat informatif. Hasil analisis memperoleh 2 primer yang nilainya lebih tinggi dari 0.7 yaitu mTcCIR213 dan mTcCIR291. Beberapa primer juga mempunyai nilai heterozigositas teramati yang lebih tinggi dari heterozigositas harapan. Hal ini mengindikasikan jika primer SSR tersebut cukup baik digunakan untuk analisis keragaman karena dapat membedakan klon-klon yang dianalisis. Tabel 4.3 Ukuran alel, jumlah alel per primer (N), persentase primer polimorfik (PIC), heterozigositas teramati (Ho) dan Heterozigositas harapan (He) dari 20 primer SSR. Nama Primer LG Ukuran Alel (bp) N PIC Ho He mTcCIR144 1 242 5 0.539 0.340 0.583 mTcCIR184 1 204 4 0.582 0.500 0.657 mTcCIR162 2 250 4 0.518 0.360 0.584 mTcCIR281 2 194 5 0.581 0.720 0.641 mTcCIR82 3 206 5 0.633 0.560 0.678 mTcCIR81 3 216 5 0.580 0.340 0.629 mTcCIR76 4 196 4 0.407 0.460 0.450 mTcCIR213 4 261 5 0.739 0.700 0.782 mTcCIR69 5 208 4 0.613 0.660 0.681 mTcCIR109 5 221 4 0.535 0.480 0.612 mTcCIR255 6 193 4 0.588 0.500 0.641 mTcCIR291 6 212 6 0.731 0.620 0.776 mTcCIR190 7 172 5 0.675 0.760 0.731 mTcCIR141 7 217 4 0.579 0.420 0.653 mTcCIR211 8 179 4 0.423 0.400 0.464 mTcCIR103 8 112 5 0.498 0.540 0.535 mTcCIR251 9 228 5 0.679 0.480 0.734 mTcCIR145 9 117 4 0.441 0.280 0.498 mTcCIR155 10 197 4 0.575 0.580 0.641 mTcCIR209 10 243 4 0.530 0.320 0.587 Rata-rata 4.5 0.572 0.501 0.628
29
Gambar 4.1 Contoh variabilitas alel hasil PAGE yang menggunakan marka mTcCIR103. 1-5 (merah): nomor alel yang muncul pada masingmasing klon kakao. 100 bp: posisi ukuran 100 bp pada marker DNA Rata-rata jumlah alel (N) yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari studi sebelumnya yang dilakukan oleh Silva et al (2011) dengan rata-rata jumlah alel 3.25 pada 8 lokus SSR yang diuji terhadap populasi kakao Amazon Brasil. Namun rata-rata jumlah alel yang diperoleh lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih et al (2011) yaitu 5.5 alel per lokus. Perbedaan jumlah alel yang dihasilkan dipengaruhi oleh jenis dan jumlah klon yang dianalisis serta jenis dan jumlah lokus yang digunakan. Salah satu contoh hasil amplifikasi yang polimorfik pada klon kakao dengan primer mTcCIR103 dapat dilihat pada Gambar 4.1. Berdasarkan parameter genetik populasi diperoleh hasil rata-rata tertinggi untuk semua parameter terdapat pada populasi klon komersil sedangkan terendah pada populasi klon introduksi. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik klon komersil lebih besar dibandingkan kedua populasi lainnya (Tabel 4.4). Salah satu penyebab nilai keragaman yang tinggi adalah perbedaan sampel yang dianalisis. Klon komersil menggunakan sampel yang lebih banyak dibandingkan klon unggul lokal. Namun klon introduksi dengan sampel paling banyak ternyata mempunyai keragaman genetik rendah. Hal ini disebabkan klon introduksi asal usulnya hanya berasal dari 5 buah saja sehingga wajar apabila keragamannya rendah. Nilai heterozigositas teramati (Ho) apabila dibandingkan dengan heterozigositas harapan (He) tidak ada yang lebih tinggi pada semua populasi. Klon unggul lokal dan klon komersil nilai Ho dan He selisihnya dekat dan apabila dibandingkan klon introduksi nilainya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan keragaman genetik kedua populasi tersebut tidak terlalu tinggi. Keragaman yang terbentuk dari dua populasi kemungkinan disebabkan pemilihan sampel yang mewakili keragaman produksi, ketahanan terhadap OPT, dan mutu. Khusus klon komersil terdapat 2 jenis kakao yang dianalisis yaitu forastero dan trinitario. Sedangkan klon introduksi walaupun parameter genetiknya rendah diharapkan mempunyai sumber gen spesifik terkait sifat unggul tertentu sehingga berguna untuk program pemuliaan selanjutnya. Semua populasi mempunyai alel spesifik yang berkisar antara 0.1-0.25. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat potensi genetik tertentu pada ketiga populasi tersebut. Nilai indeks fiksasi (F) yang dihasilkan adalah positif yang menandakan bahwa frekuensi alel antar populasi juga menentukan keseluruhan keragaman.
30
Tabel 4.4 Pendugaan jumlah rata-rata alel per primer (Na), rata-rata alel efektif (Ne), heterozigositas teramati (Ho) dan Heterozigositas harapan (He), nilai indeks fiksasi (F) dan rata-rata jumlah alel spesifik pada masingmasing populasi klon kakao berdasar 20 marka SSR Alel Populasi Na Ne Ho He F spesifik Klon Unggul Lokal 3.950 2.667 0.558 0.600 0.078 0.100 Klon Komersil 4.150 2.769 0.563 0.611 0.079 0.250 Klon Introduksi Ekuador 3.400 2.270 0.426 0.526 0.197 0.100 4.3.1.2 Analisis Keragaman Genetik Analisis keragaman genetik 50 klon kakao dengan 20 marka SSR menggunakan Neighbour Joining sudah dilakukan dan menghasilkan pohon filogenetik seperti pada Gambar 4.2. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 3 kelompok besar dan sejumlah kelompok kecil pada klon kakao yang dianalisis. Kelompok besar pertama terbagi menjadi dua sub kelompok, yang pertama adalah campuran dari populasi klon unggul lokal dan klon komersil sedangkan yang kedua adalah populasi introduksi. Kelompok besar kedua terbagi menjadi dua sub kelompok yang terdiri dari campuran dari ketiga populasi yang dianalisis. Kelompok besar terakhir hanya terdiri dari 4 klon yaitu 3 klon unggul lokal dan 1 klon komersil. Hasil pohon filogenetik tersebut memberi gambaran bahwa klon introduksi agak terpisah dari klon yang lain. Klon unggul lokal dan klon komersil relatif bercampur walaupun ada pada setiap kelompok besar. Beberapa klon unggul lokal berada dalam kelompok besar yang sama sehingga diduga mempunyai asal usul yang dekat. Klon komersil yang menghasilkan biji putih (edel) yang termasuk dalam jenis trinitario yaitu DR 38 dan DRC 16 ternyata berada pada posisi yang berdekatan. Adanya pengelompokan pada klon introduksi memberikan harapan yang baik bagi program pemuliaan selanjutnya. Apabila klon tersebut nantinya mempunyai keunggulan tertentu maka dapat digunakan sebagai materi tetua untuk perakitan klon unggul.
31
Gambar 4.2 Pohon filogenetik 50 klon kakao dengan 20 marka SSR menggunakan Neighbour Joining 4.3.1.3 Struktur Genetik Populasi Hasil analisis struktur populasi menggunakan Structure Harvester diperoleh puncak teringgi kurva log probability yaitu pada K=2. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat 2 kelompok besar klon kakao dengan pencampuran klon pada masing-masing kelompok (Gambar 4.3). Klon unggul lokal dan klon komersil tergabung menjadi satu kelompok yang ditandai dengan warna merah. Warna hijau merepresentasikan klon introduksi yang berasal dari Ekuador. Klon yang mempunyai dominasi warna merah tertinggi terdapat pada 3 klon yaitu klon nomor 18 (DRC 16), 14 (ICS 13) dan 25 (NIC 7) yang merupakan populasi klon komersil. Klon nomor 44 (Ekuador 6) mempunyai warna hijau yang paling dominan. Disusul nomor 46 (E 86), 40 (E 64) dan 48 (E 18). Ada juga klon yang berada diantara dua golongan warna, diantaranya klon nomor 24 (Sca 12) dan 11 (IAARD 4). Pencampuran warna pada beberapa individu genotipe menunjukkan bahwa terjadi aliran gen antar populasi yang mengakibatkan pencampuran genetik. Hasil analisis menunjukkan keragaman dan struktur populasi dari klon yang ditanam di Indonesia dengan klon introduksi dari Ekuador. Informasi yang diperoleh sangat penting bagi program pemuliaan kakao di Indonesia. Pengetahuan materi genetik yang mempunyai jarak genetik terjauh sangat berguna untuk pemilihan tetua yang akan digunakan untuk perakitan klon unggul baru.
32
Ketersediaan informasi struktur genetik tanaman kakao juga dapat digunakan untuk program konservasi plasma nutfah kakao.
Gambar 4.3. Estimasi struktur populasi 50 klon kakao berdasar analisis Structure (K2). Setiap individu direpresentasikan dengan garis vertical. Jumlah subgrup (K) ditandai dengan perbedaan warna. Tinggi setiap bar merepresentasikan probabilitas penggolongan setiap individu dalam subgroup. 4.3.2 Karakteristik Komponen Hasil Klon Kakao Koleksi Balittri Pengamatan komponen hasil dilakukan terhadap 13 klon unggul lokal hasil observasi di beberapa sentra produksi kakao. Tanaman yang diamati umurnya bervariasi antara 4 sampai 10 tahun. Semua klon sudah diperbanyak di Balittri namun karena belum berbuah maka pengamatan dilakukan di lokasi asalnya. Data komponen hasil 15 klon komersial diambil dari SK Pelepasan Varietas, sedangkan klon introduksi dari Ekuador tidak diamati karena belum berbuah. Hasil kegiatan pada tahap ini akan digunakan untuk mendukung hasil analisis marka molekuler. Pengamatan dilakukan terhadap karakter yang telah ditentukan. Adapun karakter komponen hasil yang diamati meliputi: daya hasil, bobot biji kering dan kadar lemak. Jumlah tanaman sampel yang diamati adalah 5 tanaman per genotipe. Selain komponen hasil, data ketahanan terhadap OPT juga diambil karena sangat berguna sebagai dasar pemilihan tetua. Klon introduksi Ekuador dilakukan pengamatan terhadap awal berbuah dan potensi jumlah buah. 4.3.2.1 Komponen Hasil Klon kakao yang digunakan dalam penelitian mempunyai potensi produksi yang cukup tinggi. Daya hasilnya berkisar 1.5 – 3.6 ton/ha/tahun (Tabel 4.5). Produktivitas yang tinggi merupakan salah satu sasaran dalam merakit klon unggul baru. Daya hasil paling rendah terdapat pada 6 klon yaitu IAARD 1, IAARD 2, DRC 16, DR 38, Sca 6 dan Sca 12. Pada kakao, rendahnya produktivitas biasanya berkorelasi dengan sifat ketahanan dan mutu. Klon Sca 6 dan Sca 12 meskipun mempunyai daya hasil yang rendah namun mempunyai ketahanan terhadap serangan OPT sehingga dapat digunakan sebagai tetua jantan (donor ketahanan). Sedangkan klon DRC 16 dan DR 38 merupakan klon menghasilkan biji putih (edel) yang mempunyai mutu yang bagus. Klon ini dapat digunakan sebagai tetua dalam merakit klon unggul bertipe edel. Daya hasil tertinggi terdapat pada klon MCC 01 dan MCC 02 yaitu 3.6 dan 3.1 ton/ha/tahun. Kedua klon tersebut tergolong baru karena dilepas tahun 2014 dan menggunakan
33
metode pemuliaan partisipatif. Klon tersebut bisa digunakan sebagai tetua untuk merakit klon produksi tinggi. Mutu biji kakao yang baik selain dari penerapan pasca panen berbasis GMP (good manufacturing practice) juga dipengaruhi oleh bahan tanaman yang memiliki karakter mutu yang baik (kadar air biji, berat biji, kadar kulit dan kadar lemak), produktivitas yang tinggi serta tahan hama dan penyakit. Mutu biji kakao salah satunya ditentukan oleh bobot per biji kering. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), (2012) mutu biji kakao kering terbagi menjadi beberapa kategori. Kategori AA dengan bobot per biji kering 1.17 g atau lebih; kategori A dengan bobot 1.16-1 g; kategori B dengan bobot 0.99-0.9; kategori C dengan bobot 0.90.83; dan kategori S dengan bobot kurang dari 0.83. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bobot per biji kering dari 28 klon kakao berkisar antara 0.67 – 1.75 g (Tabel 5). Bobot terendah yang masuk kategori S terdapat pada klon KT 1, KT 4, KT 3, Sca 6 dan Sca 12. Sedangkan bobot per biji kering yang masuk kategori AA cukup banyak dimana yang tertinggi pada klon MCC 01 dengan bobot 1.75 g. Tabel 4.5 Daya hasil, bobot/biji kering dan kadar lemak 28 klon kakao Daya hasil Bobot/biji Kadar No Nama Klon Tipe kakao (ton/ha) kering (g) lemak (%) 1 KT 1 Lindak 2 0.67 43.10 2 KT 4 Lindak 1.7 0.73 46.90 3 KT 3 Lindak 1.7 0.70 48.30 4 Theca 1 Lindak 2 1.58 32.09 5 Theca 2 Lindak 2 1.33 31.59 6 Theca 3 Lindak 2.2 1.4 27.24 7 Theca 4 Lindak 1.8 1 23.36 8 Theca 6 Lindak 2.2 1.22 19.23 9 IAARD 1 Lindak 1.5 1.02 49.02 10 IAARD 2 Lindak 1.5 1.36 49.9 11 IAARD 4 Lindak 1.7 1.08 49.29 12 IAARD 6 Lindak 2 1.14 32.9 13 IAARD 9 Lindak 2 1.64 50.76 14 ICS 13 Lindak 1.8 1.05 52 15 GC 7 Lindak 2 1.24 55 16 Sulawesi 1 Lindak 1.8-2.5 1.1 45-50 17 Sulawesi 2 Lindak 1.8-2.75 1.27 55.07 18 DRC 16 Edel 1.5 1.19 53.45 19 TSH 858 Lindak 1.7 1.15 56 20 ICCRI 3 Lindak 2 1.27 55.07 21 ICS 60 Lindak 1.6 1.67 54 22 DR 38 Edel 1.5 1.47 23 Sca 6 Lindak 1.5 0.65-0.8 49.6-58.1 24 Sca 12 Lindak 1.5 0.77 25 NIC 7 Lindak 1.6 1.5 53 26 MCC 01 Lindak 3.6 1.75 49.6 27 MCC 02 Lindak 3.1 1.61 49.6 28 RCC 73 Lindak 2.7 1.15 56.2
34
Kadar lemak kakao adalah karakter yang mempengaruhi nilai komersial dan aplikasinya dalam industri. Kadar lemak juga merupakan kriteria yang digunakan untuk menentukan keunggulan suatu genotipe. Menurut Khan et al (2008), kadar lemak terbagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi (>55%), sedang (52.355%) dan rendah (≤52.2%). Data kadar lemak biji dari 28 klon kakao bervariasi antara 19.23 sampai 58.1%. Klon unggul lokal dari Lampung yaitu Theca 1-6 mempunyai kadar lemak yang rendah, hal ini diduga karena biji yang dianalisa berasal dari buah yang terserang PBK sehingga menyebabkan kematian jaringan plasenta biji dan biji tidak bisa berkembang sempurna serta biji menjadi lengket. Kadar lemak yang tinggi terdapat pada 4 klon kakao yaitu Sulawesi 2, ICCRI 3, Sca 6 dan RCC 73 dengan kadar 55.07, 55.07, 58.1 dan 56.2%. 4.3.2.2 Ketahanan Terhadap OPT Produktivitas kakao sebagian besar ditentukan oleh faktor genetik dari klon itu sendiri, namun serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) sering menjadi faktor pembatas. Terdapat 3 serangan OPT yang cukup penting pada pertanaman kakao di Indonesia, yaitu penggerek buah kakao (PBK) yang disebabkan hama Conopomorpha cramerella Snellen, busuk buah kakao (BBK) yang disebabkan Phytophthora palmivora dan penyakit pembuluh kayu (vascular streak dieback = VSD) yang disebabkan Oncobasidium theobromae. Akibat yang ditimbulkan cukup serius karena dapat menurunkan produksi hingga 40%. Informasi klon kakao yang tahan akan sangat penting dalam program pemuliaan untuk merakit klon unggul baru yang tahan terhadap OPT. Klon yang digunakan dalam penelitian ini belum semua dilakukan pengujian, terutama klon unggul lokal (Tabel 4.6). Terdapat 4 klon yang tahan terhadap PBK yaitu IAARD 2, Sulawesi 2, Sca 6 dan Sca 12. Klon kakao yang mempunyai ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao ada 9 klon, yaitu IAARD 1, IAARD 2, Sulawesi 1, DRC 16, ICCRI 3, Sca 6, Sca 12, MCC 01 dan MCC 02. Salah satu klon yaitu DRC 16 merupakan klon penghasil biji putih sehingga selain mempunyai mutu yang bagus juga mempunyai ketahanan terhadap salah satu penyakit utama. Sifat ketahanan terhadap serangan VSD muncul pada 5 klon yaitu Sulawesi 1, Sca 6, Sca 12, MCC 01 dan MCC 02. Klon MCC 01 dan MCC 02 dapat dipilih sebagai salah satu tetua persilangan karena selain mempunyai produktivitas tinggi juga tahan terhadap BBK dan VSD. Klon Sca 6 dan Sca 12 menunjukkan ketahanan terhadap ketiga hama dan penyakit utama kakao. Klon Sca 6 lebih direkomendasikan karena mempunyai kadar lemak yang tinggi dan sudah dilepas sebagai varietas. Klon ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber polen untuk mewariskan sifat ketahanannya. Oleh karena itu, perlu dipilih tetua betina yang mempunyai daya hasil tinggi dan ukuran biji yang besar sehingga diharapkan mampu menghasilkan keturunan yang mewarisi sifat baik dari kedua tetuanya.
35
Tabel 4.6 Ketahanan 28 klon kakao yang digunakan dalam penelitian No Nama Klon PBK BBK VSD 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
KT 1 KT 4 KT 3 Theca 1 Theca 2 Theca 3 Theca 4 Theca 6 IAARD 1 IAARD 2 IAARD 4 IAARD 6 IAARD 9 ICS 13 GC 7 Sulawesi 1 Sulawesi 2 DRC 16 TSH 858 ICCRI 3 ICS 60 DR 38 Sca 6 Sca 12 NIC 7 MCC 01 MCC 02 RCC 73
Moderat Tahan Moderat Moderat Moderat Rentan Tahan Rentan Tahan Tahan Moderat Moderat Moderat
Tahan Tahan Moderat Moderat Moderat Rentan Rentan Moderat Tahan Tahan Tahan Rentan Tahan Tahan Moderat Tahan Tahan Moderat
Rentan Rentan Tahan Moderat Rentan Moderat Rentan Tahan Tahan Tahan Tahan Moderat
4.3.2.3 Perkembangan Klon Ekuador Salah satu upaya meningkatkan keragaman genetik plasma nutfah kakao adalah dengan menggunakan klon introduksi. Balittri sebagai pemegang mandat penelitian dan pengembangan kakao sudah menanam klon introduksi yang berasal dari Ekuador. Klon tersebut berasal dari 5 buah yang di negara asalnya tergolong kakao aromatik. Klon introduksi yang di tanam di KP. Pakuwon sebanyak 87 klon dengan rincian 34 klon sudah berbuah, 28 klon belum berbuah dan 25 klon mati. Penelitian menggunakan 22 klon yang dipilih berdasar keragaman di lapang (Tabel 4.7). Walaupun berasal dari 5 buah, ternyata keragaman yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini membuktikan bahwa kakao yang sebagian besar melakukan penyerbukan silang mempunyai keragaman alel yang tinggi dalam masing-masing genotipe. Umur tanaman mulai berbuah (prekositas) sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. Prekositas tertinggi terdapat pada 15 klon kakao, 2 klon prekositas sedang, 3 klon rendah dan 2 klon belum berbuah. Semakin tinggi prekositas akan semakin baik karena panen buah kakao akan semakin cepat. Pengamatan jumlah buah tertinggi pada masing-masing klon cukup bervariasi antara 1-50 buah per
36
pohon. Terendah pada klon E 55 dan tertinggi pada klon E 28. Karakter jumlah buah akan memberi gambaran potensi produksi dari masing-masing genotipe. Terdapat 2 klon yang mempunyai prekositas tinggi dan jumlah buah tertinggi yang baik yaitu E 13 dan E 23. Kedua klon tersebut dapat diuji lebih lanjut karena apabila mempunyai keunggulan, selain dapat langsung dilepas sebagai klon unggul, juga dapat dipilih sebagai tetua persilangan. Tabel 4.7 Perkembangan klon kakao Ekuador No Nama Klon Prekositas Jumlah buah tertinggi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
E3 E4 E 13 E 22 E 23 E 24 E 28 E 39 E 44 E 62 E 63 E 64 E 55 E2 E 20 E6 E7 E 86 E 85 E 18 E 21 E 61
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Sedang
13 7 45 26 44 15 50 11 8 4 13 7 1 2 4 19 27 13 21 18
4.3.2.4 Pemilihan Tetua Persilangan Berdasarkan hasil analisis molekuler dan data komponen hasil serta ketahanannya maka dapat diperoleh informasi mengenai klon kakao yang dapat digunakan sebagai tetua persilangan. Perakitan klon kakao unggul pada dasarnya mengacu pada tiga hal yaitu mempunyai produktivitas tinggi, mutu yang baik dan ketahanan terhadap serangan OPT. Semua klon yang digunakan dalam penelitian mempunyai potensi daya hasil yang cukup tinggi karena lebih tinggi dari 1.5 ton/ha/tahun. Nilai tersebut melebihi dari rata-rata produktivitas nasional. Terdapat 2 klon yang mempunyai daya hasil paling tinggi yaitu MCC 01 dan MCC 02. Keduanya dapat dipilih sebagai salah satu tetua untuk produktivitas tinggi. Namun kedua klon tersebut kurang tahan terhadap serangan PBK sehingga dapat disilangkan dengan klon lain yang mempunyai ketahanan terhadap hama PBK, salah satunya Sulawesi 2. Berdasarkan analisis molekuler, Sulawesi 2 mempunyai jarak genetik yang lebih jauh dengan MCC 02 dibanding MCC 01 sehingga prioritas persilangan yang dipilih adalah MCC 02 x Sulawesi 2.
37
Karakter bobot per biji kering yang masuk kategori AA (≥1.17 g) cukup banyak, yaitu klon Theca 1, Theca 2, Theca 3, Theca 6, IAARD 2, IAARD 9, GC 7, Sulawesi 2, DRC 16, ICCRI 3, ICS 60, DR 38, NIC 7, MCC 01 dan MCC 02. Dari analisis molekuler, yang mempunyai jarak genetik terjauh adalah ICCRI 3 atau MCC 01 disilangkan dengan MCC 02 atau IAARD 9. Persilangan ini dapat dilakukan resiprok untuk menguji pakah ada efek maternal dari karakter bobot per biji kering. Terdapat 2 klon kakao edel yang tergolong kategori AA yaitu DRC 16 dan DR 38. Kedua klon ini dapat dipilih sebagai tetua untuk disilangkan dengan MCC 02 atau IAARD 9 dengan harapan keturunannya ada yang mempunyai bobot biji dengan kategori baik dan berwarna putih. Kadar lemak yang tinggi (>55%) terdapat pada 4 klon kakao yaitu Sulawesi 2, ICCRI 3, Sca 6 dan RCC 73 dengan kadar 55.07, 55.07, 58.1 dan 56.2%. Berdasarkan analisis molekuler, tetua yang mempunyai jarak genetik yang jauh adalah klon Sulawesi 2 atau ICCRI 3 yang disilangkan dengan Sca 6. Klon RCC 73 tidak direkomendasikan karena masih satu kelompok dengan Sca 6. Keunggulan Sca 6 seperti yang sudah dijelaskan di atas dapat digunakan juga sebagai donor ketahanan. Pada karakter ketahanan tidak perlu disilangkan sesama yang tahan, namun sebaiknya disilangkan dengan tetua betina yang mempunyai keunggulan produktivitas, mutu biji yang baik yaitu bobot biji dan warna biji. Terdapat 2 klon introduksi yang mempunyai prekositas tinggi dan jumlah buah tertinggi yang baik yaitu E 13 dan E 23. Dari analisis molekuler menggunakan program STRUCTURE klon ekuador yang punya dominansi warna hijau lebih banyak adalah klon E 13. Klon ini dapat disilangkan dengan tetua yang mempunyai warna dominan merah, yaitu DRC 16, GC 7 dan DR 38. Ketiga klon tersebut mempunyai bobot per biji kering yang tinggi dan warna biji putih. Klon Ekuador masih harus diamati lebih lanjut daya hasil, mutu biji dan ketahanannya supaya diketahui aspek mana yang perlu diperbaiki. Tabel 4.8 Kemungkinan kombinasi persilangan kakao berdasarkan informasi jarak genetik antar klon No
Karakter
Tetua P1
Tetua P2
1
Produksi tinggi dan tahan OPT
MCC 02
Sulawesi 2
2
Bobot per biji kering
ICCRI 3 atau MCC 01
MCC 01 atau IAARD 9
3
Kadar lemak
Sulawesi 2 atau ICCRI 3
Sca 6
38
4.4 Kesimpulan Parameter genetik menggunakan 20 primer SSR menunjukkan bahwa tingkat keragaman genetik klon koleksi Balittri cukup tinggi dengan rataan PIC sebesar 57%. Pohon filogenetik terbagi menjadi 3 kelompok besar dimana klon introduksi agak terpisah dari klon yang lain. Diduga beberapa klon introduksi mempunyai jarak genetik yang jauh dengan klon-klon yang sudah dibudidayakan di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan hasil analisis struktur populasi yang menggambarkan bahwa populasi terbagi menjadi dua dimana kelompok pertama didominasi oleh klon introduksi sedangkan kelompok kedua gabungan dari klon unggul lokal dan klon komersil. Berdasarkan hasil analisis molekuler dan data komponen hasil serta ketahanannya maka perakitan produktivitas tinggi prioritas persilangan yang dipilih adalah MCC 02 x Sulawesi 2. Karakter bobot per biji kering, dapat menggunakan persilangan antara ICCRI 3 atau MCC 01 dengan MCC 02 atau IAARD 9. Tetua yang mempunyai jarak genetik yang jauh untuk karakter kadar lemak adalah klon Sulawesi 2 atau ICCRI 3 disilangkan dengan Sca 6. Pada klon introduksi, terdapat 2 klon yang mempunyai prekositas tinggi dan jumlah buah tertinggi yaitu E 13 dan E 23. Dari analisis molekuler menggunakan program STRUCTURE dapat dilakukan persilangan antara klon E 13 dengan klon DRC 16, GC 7 atau DR 38. Klon Ekuador masih harus diamati lebih lanjut daya hasil, mutu biji dan ketahanannya supaya diketahui aspek mana yang perlu diperbaiki.
Daftar Pustaka Allen GC, Vergara MA, Krasynanski S, Kumar S, Thompson WF. 2006. A modified protocol for rapid DNA isolation from plant tissues using cetyl trimethylammonium bromide. Nat. Prot. 1: 2320-2325. Anitasari I, Susilo AW, dan Yusianto. 2012. Pengkayaan materi genetik “A” java light breaking cocoa melalui kegiatan seleksi dan eksplorasi pada populasi kakao edel di wilayah Jawa Timur. Prosiding Insinas. 140-144. Azrai M. 2005. Pemanfaatan marka molekuler dalam proses seleksi pemuliaan tanaman. Jurnal AgroBiogen. 1(1):26-27. Crouzillat D, Bellanger L, Rigoreau M, Bucheli P, Petiard V. 2000. Genetic structure, characterization and selection of national cocoa compared to other genetic groups. Dalam Bekele F, End M dan Eskes A (Eds.) Proceeding of the International Workshop on New Technologiesand Cocoa Breeding. Kota Kinibalu. Malaysia De Schawe CC, Durka W, Tscharntke T, Hensen I, dan Kessler M. 2013. Gene flow and genetic diversity in cultivated and wild cacao (Theobroma cacao L) in Bolivia. American Journal of Botany. 100(11):2271-2279. Ditjenbun. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
39
ICCO (International Cocoa Organization). 2003. Products that can be made from cocoa. Retrieved from http://www.icco.org/faq/52-by-products/115products-that-can-be-made-from-cocoa.html. ICCO (International Cocoa Organization). 2016. ICCO Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol. XLII (1) Cocoa year 2015. Iswanto A. dan Winarno H. 1992. Cocoa breeding at RIEC Jember and the roll of planting material resistant to VSD and black pod. Dalam P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australia. 163-169. FAO Plant Production and Protection Paper No. 112. Izzah NK. 2014. Peran marka molekuler dalam perbaikan genetik tanaman kakao. Bunga Rampai Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao. 47-56 Kalia RK, Rai MK, Kalia S, Singh R, dan Dhawan AK. 2011. Microsatellite Markers: An overview of the recent progress in plants. Euphytica. 177:309-334. Khan N, Motilal LA, Sukha DA, Bekele FL, Iwaro AD, Bidaisee GG, Umaharan P, Grierson LH, Zhang D. 2008. Variability of butterfat content ini cacao (Theobroma cacao L.): Combination and correlation with other seed derived traits at international Cocoa Genebank, Trinidad. Plant Genetic Resources: Characterization and Utilization. 112.doi:10.1017/S1479262108994132. Kurniasih S, Rubiyo, Setiawan A, Purwantara A, dan Sudarsono. 2011. Analisis keragaman genetik plasma nutfah kakao (Theobroma cacao L.) berdasarkan marka SSR. Littri.17(4):156-162. Motamayor JC, Lachenaud P, da Silva e Mota JW, Loor R, Kuhn DN, Brown JS, Schnell RJ. 2008. Geographic and genetic population differentiation of the Amazonian chocolate tree (Theobroma cacao L.). Cacao Post Differentiation. 3:1-8. Parida SK, Yadava DK, dan Mohapatra T. 2010. Microsatellites in Brassica unigenes: Relative abundance, marker design, and use in comparative physical mapping and genome analysis. Genome. 53:55-67. Pugh T, Fouet O, Risterucci AM, Brottier P, Abouladze M, Deletrez C, Courtois B, Clement D, Larmande P, N’Goran JAK et al. 2004. A new cacao linkage map based on codominant marka: development and integration of 201 new microsatellite markas. Theor Appl Genet. 108:1151-1161. Rubiyo. 2013. Inovasi teknologi perbaikan bahan tanam kakao di Indonesia. Buletin RISTRI. 4(3):199-214. Santos RMF, Lopes UV, Clement D, Pires JL, Lima EM, Messias TB, Gramacho KP. 2014. A protocol for large scale genomic DNA isolation for cacao genetics analysis. African Journal of Biotechnology. 13(7):814-820. Silva CRS, Albuquerque PSB, Ervedosa FR, Mota JWS, Figueira A, Sebben AM. 2011. Understanding the genetic diversity, spatial genetic structure and mating system at the hierarchical levels of fruits and individuals of a continuous Theobroma cacao population from the Brazilian Amazon. Heredity. 106:973-985.
40
Susilo AW. 2005. Pengelolaan plasma nutfah kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 21:33-41. Standar Nasional Indonesia. 2002. Biji kakao (SNI 01-2323-2002). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional Thiel T, Michalek W, Varshney RK, dan Graner A. 2013. Exploiting EST database for the development of cDNA derived microsatellite markers in barley (Hordeum vulgare L.). Theor. Appl. Genet. 106:411-422. Weising K, Nybon H, Wolff K, and Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, Fla. Zhang D, Mischke S, Johnson ES, Phillips-Mora W, and Meinhardt L. 2009. Molecular characterization of an international cacao collection using microsatellite markers. Tree genetic&Genomic. 5:1-10.
41
5 PEMBAHASAN UMUM Kakao merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan, minuman dan kosmetik. Pengembangan kakao di Indonesia mempunyai hambatan, antara lain produktivitasnya rendah, kualitas mutu kurang bagus serta serangan hama dan penyakit (Rubiyo 2013). Upaya perakitan klon unggul baru kakao memerlukan keragaman genetik yang tinggi. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan metode konvensional maupun non konvensional. Metode konvensional dapat dilakukan dengan eksplorasi, persilangan dan introduksi. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (BALITTRI) sebagai balai yang memiliki mandat penelitian dan pengembangan komoditas kakao sudah melakukan upaya tersebut. Informasi mengenai keragaman genetik sangat penting dalam program pemuliaan kakao sebagai dasar untuk memilih tetua persilangan. Analisis keragaman genetik dapat dilakukan secara morfologi maupun molekuler. Penggunaan marka molekuler memiliki beberapa keuntungan dalam membantu program pemuliaan, karena dapat diwariskan dan relatif mudah penggunaannya. Hasil yang dicapai dalam perkembangan marka berbasis DNA telah meningkatkatkan pemahaman mengenai sumber daya genetik (Kalia et al. 2011). Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan, yaitu analisis keragaman genetik berdasarkan marka SSR klon kakao lokal koleksi Balittri dan analisis keragaman genetik berdasarkan marka SSR dan karakterisasi komponen hasil klon kakao koleksi Balittri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa marka SSR dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Balittri. Semua primer bersifat polimorfik dengan tingkat keragaman genetik cukup tinggi. Pada penelitian pertama, klon unggul lokal diduga mempunyai asal usul yang dekat dengan klon komersial yang sudah dibudidayakan di Indonesia. Klon unggul lokal yang diuji mempunyai perbedaan secara genetik dengan klon komersial. Pengujian identitas genetik sangat penting karena berguna untuk tujuan paten, perlindungan hak pemulia, kontrol kemurnian benih dan deteksi klon di lapang (Izzah 2014). Marka molekuler dapat digunakan untuk mengkonfirmasi kebenaran identitas dari individu tanaman (Collard & Mackill 2008). Perbedaan identitas dari klon yang diuji memunculkan harapan bahwa klon unggul lokal dapat dilepas sebagai klon baru apabila mempunyai keunggulan. Pelepasan klon unggul lokal akan mempermudah penyediaan benih di lokasi tersebut dan terbukti adaptif terhadap lingkungan di lokasi tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui pemuliaan tanaman partisipasif yaitu melibatkan petani setempat dalam proses pemuliaan. Hasil dari pohon filogenetik menunjukkan beberapa klon kakao berpotensi menjadi tetua karena mempunyai jarak genetik yang cukup jauh. Informasi mengenai keragaman genetik dan hubungan kekerabatan sangat berguna untuk perbaikan genetik tanaman. Program pemuliaan bergantung pada keragaman genetik yang tinggi supaya tercapai kemajuan seleksi (Collard & Mackill 2008). Aplikasi marka molekuler untuk karakterisasi plasma nutfah kakao sangat penting dilakukan mengingat sebagian dari koleksi plasma nutfah diperoleh dari eksplorasi dan introduksi yang asal usul genetiknya belum diketahui. Pada penelitian yang menggunakan klon unggul lokal, klon komersial dan klon introduksi, pohon filogenetik terbagi menjadi 3 kelompok besar dimana klon
42
introduksi agak terpisah dari klon yang lain. Hal ini juga didukung dengan hasil analisis struktur populasi yang menggambarkan bahwa populasi terbagi menjadi dua dimana kelompok pertama didominasi oleh klon introduksi sedangkan kelompok kedua gabungan dari klon unggul lokal dan klon komersil. Perbedaan genetik dari klon introduksi diharapkan mengarah pada keunggulan karakter tertentu sehingga dapat langsung dilepas sebagai klon baru atau menjadi tetua persilangan yang membawa sifat unggul. Pada penelitian De Schawe et al. (2013), telah berhasil mengelompokkan genotipe kakao di Bolivia menggunakan mikrosatelit menjadi dua grup, yaitu kakao budidaya dan kakao liar. Upaya perbaikan genetik kakao dilakukan secara berkesinambungan untuk memperoleh genotipe baru yang mempunyai keunggulan dalam daya hasil, ukuran biji besar, kadar lemak tinggi serta tahan cekaman biotik dan abiotik. Penggabungan semua sifat unggul ke dalam satu genotipe merupakan hal yang sulit dilakukan. Sifat yang terkait dengan kuantitatif seperti daya hasil dikendalikan oleh banyak gen. Pemulia tanaman biasanya menentukan satu atau dua sifat unggul saja sebagai kriteria seleksi. Klon hibrida hasil persilangan dirakit berdasarkan fenomena heterosis. Secara teoritis, persilangan antar tetua yang mempunyai jarak genetik sangat dekat akan menimbulkan tekanan silang dalam (inbreeding depression). Sebaliknya, persilangan antar tetua berkerabat jauh mempunyai peluang yang tinggi untuk memperoleh efek heterosis. Mutu biji kakao ditentukan oleh bobot biji lebih dari 1 gram dan kadar lemak lebih dari 55%. Berdasarkan hasil analisis molekuler dan data komponen hasil, dapat dipilih calon tetua persilangan terbaik. Pada karakter daya hasil, prioritas persilangan adalah MCC 02 x Sulawesi 2. Karakter bobot per biji kering, dapat menggunakan persilangan antara ICCRI 3 atau MCC 01 dengan MCC 02 atau IAARD 9. Tetua yang mempunyai jarak genetik yang jauh untuk karakter kadar lemak adalah klon Sulawesi 2 atau ICCRI 3 disilangkan dengan Sca 6. Pada klon introduksi, terdapat 2 klon yang mempunyai prekositas tinggi dan jumlah buah tertinggi yaitu E 13 dan E 23. Klon Ekuador masih harus diamati lebih lanjut daya hasil, mutu biji dan ketahanannya supaya diketahui aspek mana yang perlu diperbaiki.
43
6 KESIMPULAN UMUM Parameter genetik menggunakan 20 primer SSR menunjukkan bahwa tingkat keragaman genetik klon kakao koleksi Balittri cukup tinggi dengan rataan PIC sebesar 57%. Analisis keragaman genetic pada klon lokal menghasilkan pohon filogenetik yang terbagi menjadi 3 kelompok besar dimana klon unggul lokal dan klon komersial bercampur dalam tiap-tiap kelompok. Klon unggul lokal diduga mempunyai asal usul yang dekat dengan klon komersial yang sudah dibudidayakan di Indonesia. Klon unggul lokal yang diuji mempunyai identitas genetik yang berbeda dengan klon komersial sehingga ada harapan untuk dilepas sebagai klon unggul baru apabila mempunyai keunggulan dibandingkan dengan klon komersial. Hasil penelitian ini dapat menjelaskan hubungan kekerabatan antar genotipe mengingat klon unggul lokal merupakan klon hasil observasi yang sebelumnya tidak diketahui asal usul genetiknya. Pengetahuan mengenai keragaman genetik pada kakao mempermudah pemilihan tetua dalam perakitan klon unggul baru. Selain itu, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa marka SSR merupakan alat bantu yang cukup potensial untuk menentukan tetua persilangan yang diharapkan dapat meningkatkan peluang heterosis pada keturunannya Pohon filogenetik pada analisis keragaman genetik klon unggul lokal, klon komersil dan klon introduksi terbagi menjadi 3 kelompok besar dimana klon introduksi agak terpisah dari klon yang lain. Diduga beberapa klon introduksi mempunyai jarak genetik yang jauh dengan klon-klon yang sudah dibudidayakan di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan hasil analisis struktur populasi yang menggambarkan bahwa populasi terbagi menjadi dua dimana kelompok pertama didominasi oleh klon introduksi sedangkan kelompok kedua gabungan dari klon unggul lokal dan klon komersil. Berdasarkan hasil analisis molekuler dan data komponen hasil serta ketahanannya maka perakitan produktivitas tinggi prioritas persilangan yang dipilih adalah MCC 02 x Sulawesi 2. Karakter bobot per biji kering, dapat menggunakan persilangan antara ICCRI 3 atau MCC 01 dengan MCC 02 atau IAARD 9. Tetua yang mempunyai jarak genetik yang jauh untuk karakter kadar lemak adalah klon Sulawesi 2 atau ICCRI 3 disilangkan dengan Sca 6. Pada klon introduksi, terdapat 2 klon yang mempunyai prekositas tinggi dan jumlah buah tertinggi yaitu E 13 dan E 23. Dari analisis molekuler menggunakan program STRUCTURE dapat dilakukan persilangan antara klon E 13 dengan klon DRC 16, GC 7 atau DR 38. Klon Ekuador masih harus diamati lebih lanjut daya hasil, mutu biji dan ketahanannya supaya diketahui aspek mana yang perlu diperbaiki.
44
DAFTAR PUSTAKA Alvim PT. 1997. Cocoa. dalam Alvim PT & Kozlowski TT (Eds) Ecophyciology of Tropical Crops. 279-313. Academic Press. New York. Allegre M, Argout X, Boccara M, Fouet O, Roguet Y, Berard A, Thevenin JM, Chauveau A, Rivallan R,Clement D, et al. 2012. Discovery and mapping of new expressed sequence tag-single nucleotide polymorphisme and sequence repeat panel for large-scale genetic studies and breeding of Theobroma cacao L. DNA Research 19:23-35.doi:10.1093/dnares/dsr039. Argout X, Salse J, Aury J, Guiltinan M, Droc G, Gouzy J, Allegre M, Chaparro C, Legrave T, Maximova S, et al. 2010. The genome of Theobroma cacao. Nature Genetics. 43:101-108.doi:10.1038/ng.736. Azrai M. 2005. Pemanfaatan Marka Molekuler dalam Proses Seleksi Pemuliaan Tanaman. Jurnal AgroBiogen. 1(1):26-27. Cheesman EE. 1944. Cocoa notes on nomenclature classification and possible relationships of cocoa populations. Trop.Agr. Trinidad. 21:144-150. Cuatrecasas J. 1964. Cocoa and Its Alleis A Taxonomic Revision of The Genus Theobroma. Bull. US National Herbarium. 35:379-612. De Schawe CC, Durka W, Tscharntke T, Hensen I, dan Kessler M. 2013. Gene flow and genetic diversity in cultivated and wild cacao (Theobroma cacao L) in Bolivia. American Journal of Botany. 100(11):2271-2279. Ditjenbun. 2009. Statistik Perkebunan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. ICCO (International Cocoa Organization). 2012. Pest and Disease. http://www.icco.org/ about-cocoa/pest-a-diseases.html. (Desember 2012). Iswanto A. dan Winarno H. 1992. Cocoa Breeding at RIEC Jember and The Roll of Planting Material Resistant to VSD and Black Pod. Dalam P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australia: 163-169. FAO Plant Production and Protection Paper No. 112. Izzah NK. 2014. Peran marka molekuler dalam perbaikan genetik tanaman kakao. Bunga Rampai Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao. 47-56. Jeffreys AJ, Royle NJ, Wilson V, Wong. 1988. Spontaneous mutation rates to new length alleles at tandem-repetitive hypervariable loci in human DNA. Nature. 332:278-281. Kalia RK, Rai MK, Kalia S, Singh R, dan Dhawan AK. 2011. Microsatellite Markers: An overview of the recent progress in plants. Euphytica. 177:309-334. Kurniasih S, Rubiyo, Setiawan A, Purwantara A, dan Sudarsono. 2011. Analisis Keragaman Genetik Plasma nutfah Kakao (Theobroma cacao L.) berdasarkan Marka SSR. Littri.17(4):156-162. Lanaud C, Risterucci AM, Pieretti I, N’goran JAK, and Fargeas D. 2004. Characterisation and Genetik Mapping of Resistance and Defence Gene Analogs in Cocoa (Theobroma cacao L.). Molecular Breeding. 13:211227.
45
McCouch SR, Teytelman L, Xu Y, Lobos KB, Clare K, Walton M, Fu B, Maghirang R, Li Z, Xing Y, et al. 2002. Development and mapping of 2240 new SSR markas for rice (Oryza sativa L.). DNA Research. 9:257279. Moore SS, Barendse W, Berger KT, Armitage SM, Hetzeel DJS. 1992. Bovine and ovine DNA microsatellite from the EMBL and GENEBANK databases. Animal Genetics. 23:463-467. Mullis KB. 1990. The unusual origin of the polymerase chain reaction. Sci Am. 262:56–61 Neilan BA, Leigh DA, Elizabeth R, Mc Donald BL. 1994. Microsatellite genome screening: rapid non-deanturing, non-isotopic dinucelotide repeat analysis. BioTechniques. 1:708-712. Opeke LK, Gorenz AM. 1982. Phytophthora Pod rot: Symtoms and Economic Importance. In P.H. Gregory(Eds.). Phytophthora Disease of Cocoa: 117124. Longman, London. Opoku SY, Bhattacharjee R, Kolesnikova-Allen M, Motamayor JC, Schnell R, Ingelbrecht I, Enu-Kwesi L, Adu-Ampomah Y. 2007. Genetic Diversity in Cocoa (Theobroma cacao L.) Germplasm Collection from Ghana. Journal of Crop Improvement. 20:73-87.doi:10.1300/j411v20n01_04. Prawoto AA, Raharjo P, Abdullah S, Sri-Sukamto, Winarsih, Odang B, Suhendi D, Wiryadiputra S, Sulistyowati. 1988. Pedoman Teknis Budidaya Tanaman Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan kakao, Jember. Pugh T, Fouet O, Risterucci AM, Brottier P, Abouladze M, Deletrez C, Courtois B, Clement D, Larmande P, N’Goran JAK et al. 2004. A new cacao linkage map based on codominant marka: development and integration of 201 new microsatellite markas. Theor Appl Genet. 108:1151-1161. Risterucci AM, Grivet L, N’Goran JAK, Pieretti I, Flament MH, Lanaud C. 2000. A high-density linkage map of Theobroma cacao L. Theor Appl Genet. 101:948-955. Roder MS, Plaschke J, König U, Börner A, Sorrells M, Tanksley SD, Ganal MW. 1995. Abundance, variability, and chromosomal location of microsatellites in wheat. Mol. Gen. Genet. 246:327-333. Rohrer GA., Alexander LJ., Keele JW, Smith TP, Beattie CW. 1994. A microsatellite linkage map of the porcine genome. Genetics. 136:231-245. Rubiyo, Sudarsono, Siswanto, Indah AS dan Cicu. 2011. Penelitian Penggunaan marka Molekuler RAPD, AFLP, dan SSR sebagai Dasar Pemilihan Tetua P1 dan P2 dalam Pengembangan Hibrida Kakao Berproduksi Tinggi dan resisten terhadap P. palmivora. Laporan akhir Penelitian Peningkatan Produktivitas Kakao > 50% melalui Penggunaan klon Tahan PBK, VSD dan Busuk buah. Pusat Penelitian dan pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian. Rubiyo. 2013. Inovasi teknologi perbaikan bahan tanam kakao di Indonesia. Buletin RISTRI. 4(3):199-214.
46
Rubiyo, Izzah NK, Sulistiyorini I, dan Tresniawati C. 2015. Evaluation of genetic diversity in cacao collected from Kolaka, Southeast Sulawesi, using SSR markers. Indonesian Journal of Agricultural Science. 16(2):71-78. Saiki RK., Gelfand DH, Stoffel S, Scharf SJ, Higuchi R, Hom GT, Mullis KN, Erlich HA. 1988. Primer-directed enzymatic amplification of DNA with a thermostable DNA polymerase. Science. 239:487-491. Soria J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora. Dalam P.H Gregory (ed.) Phytophthora Disease of cocoa: 197-202. Longman London. Syafaruddin dan Santoso TJ. 2011. Optimasi Teknik Isolasi dan Purifikasi DNA yang Efisien dan Efektif pada Kemiri Sunan (Reutalis trisperma (Blanco) Airy Shaw). Jurnal Litri 17(1):11-17. Tjitrosoepomo G. 1988. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Vander vossen HAM. 1997. Strategies of Vareity Improvement on Cocoa with Emphasis on Durable disease Resistance. INGENIC. Reading. UK. 32p. Varshney RK, Graner A, Sorrells ME. 2005. Genic Microsatellite Markers in Plants: Feature and Applications. Trends in Biotechnology. 23:48-56. Weising K, Nybon H, Wolff K, Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, Fla. Wood GAR. 1985. Establisment. In G.A.R. Wood & R.A. Lass (Eds.) Cocoa: 119-165. Longman, London. Zhang D, Arevalo E, Mischke S, Zuniga L, Barreto A. 2006a. Genetic diversity and structure of managed and semi-natural population of cocoa (Theobroma cacao L.) in Huallaga and Ucayali Valleys of Peru. Annals of Bot. 98:647-655. Zhang D, Mischke S, Goenaga R, Hemeida AA, Saunders JA. 2006b. Accuracy and reliability of high-throughput microsatellite genotyping for cacao clone identification. Crop Sci. 46:2084-2092 Zhang D, Mischke S, Johnson ES, Phillips-Mora W, Meinhardt L. 2009. Molecular Characterization of an international cacao collection using microsatellite markers. Tree genetic&Genomic. 5:1-10.
47
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pacitan, 21 Januari 1980. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Prayitno dan Ibu Wiwik Pujiastuti. Pada tanggal 22 Februari 2009 penulis menikah dengan Yunita Ruliastuti dan telah dikaruniai dua orang anak bernama Rimsha Syauqina Nindyastuti dan Rifkie Gerrard Adyatama. Pendidikan dasar diselesaikan penulis pada tahun 1993 di SDN Baleharjo II. Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1996 di SMPN 1 Pacitan. Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMUN 1 Pacitan pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Pemuliaan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan menyelesaikan studi pada tahun 2004. Tahun 2013 penulis melanjutkan studi pada program magister Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2005 penulis diterima bekerja di PT SMART tbk. salah satu perusahaan yang bergerak di perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagai Asisten Lapang. Pada tanggal 1 Januari 2008 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pertanian dan bertugas di Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (BALITTRI) sebagai peneliti di Kelti Pemuliaan dan Bioteknologi.