17
BAB III
ANALISIS KERAGAMAN PLASMA NUTFAH KAKAO (Theobroma cacao L.) BERDASARKAN MARKA MORFOLOGIS DAN MARKA SSR Abstrak Analisis keragaman terhadap plasma nutfah kakao perlu dilakukan untuk mencari klon-klon yang memiliki potensi sebagai tetua dalam upaya perakitan klon- kakao yang berdaya hasil tinggi sekaligus tahan terhadap penyakit busuk buah yang disebabka n Phytophthora palmivora. Penelitian ini be rtujuan unt uk: 1) menganalisis keragaman plasma nutfah kakao berdasarkan karakter morfologis; 2) karakterisasi kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia menggunakan marka SSR; 3) menganalisis keragaman genetik klon-klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia dengan menggunakan marka SSR. Dalam penelitian ini, karakter morfologi dianalisis menggunakan descriptor list yang telah dikembangkan untuk kakao. Marka SSR yang digunakan untuk amplifikasi DNA genomik dari 29 klon kakao terdiri atas 39 pasangan primer SSR. Skoring pita SSR hasil amplifikasi menggunakan masing- masing pasangan primer dilakukan secara terpisah dan digunakan untuk menentukan jarak genetik diantara klon kakao yang dievaluasi. Hasil analisis karakter morfologi menunjukkan bahwa klon-klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia memiliki keragaman yang tinggi. Semua pasangan primer SSR yang digunakan mampu mengamplifikasi DNA 29 klon kakao yang diuji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24 dari 39 lokus SSR yang dianalisis bersifat polimorfik dan dapat diskoring, sedangkan lima primer yang lain bersifat monomorfik. Jumlah total alel yang berhasil diamplifikasi dari 29 klon kakao yang dievaluasi, sebanyak 132 alel, dengan kisaran antara 4 – 8 alel/locus. Rataan jumlah alel per lokus sebanyak 5.50. Hasil analisis data yang dilakukan juga menunjukkan nilai PIC untuk marka SSR yang digunakan sebesar 0.665. Untuk populasi klon kakao yang dievaluasi, diperoleh nilai rataan heterosigositas pengamatan (Ho) sebesar 0.651, dan rataan diversitas gen (He) sebesar 0.720. Nilai PIC, Ho dan He yang didapat tergolong tinggi.
Kata kunci : Theobroma cacao L, mikrosatelit, marka molekuler, keragaman genetik, heterosigositas
18
DIVERSITY ANALYSES OF CACAO (Theobroma cacao L) GERMPLASM BASED ON MOFOLOGY AND SSR MARKER Abstrac t Diversity analyses of cacao germplasm need to be done for finding the clones that potentially as parental in the cacao hybridization programe for high yield and resistant to Phytophthora palmivora. The objectives of this research were to 1) analyses diversity of cacao germplasm based on morfological characters ; 2) characterisation of ICCRI collection based on SSR marker; 3) analyses diversity of ICCRI cacao germplasm based on SSR marker. In this research, descriptor list was used to characterize morphology. 39 SSR primer pairs were used to amplify genomic DNA of 29 cacao clones. Amplified SSR fragments for each primer pairs were scored as individual band and used to determine genetic distance among evaluated cacao clones. Results of the experiment indicated that all SSR primer pairs evaluated were able to produce SSR markers for 29 cacao clones. The results also indicated that 34 out of 39 microsatellite loci evaluated were polymorphic, while 5 others were monomorphic. The total number of observed alleles among 29 clones were 132. Number of alele per locus ranged from 4 – 8, with an average of 5.5 alele per locus. Results of data analysis indicated the PIC value was 0.665, the observed heterozigosity (Ho) was 0.651, the gene diversity (He) was 0.720. The PIC, Ho, and He values were considered high. Genetic distances were evaluated using NTSys version 2.1 and dendrogram was constructed. Based on those finding, all SSR primer pairs evaluated could be used to analyze cacao genome and be useful for genetic diversity analysis of cacao germplasm. The SSR marker analysis in ICCRI cacao collections resulted in high PIC, high observed heterozygosity, and high genetic diversity.
Pendahuluan Kakao merupakan tanaman perkebunan penghasil biji coklat yang berasal dari hutan-hutan tropis Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan. Secara umum tanaman kakao dikelompokka n menjadi tiga jenis yaitu Forastero, Criollo, dan Trinitario yang merupaka n hasil pe rsilangan antara Forastero dengan Criollo (Motamayor et al. 2003). Sebagian besar klon-klon kakao yang dikembangkan sekarang merupakan pengembangan dari tipe Forastero (Hunter 1990). Tanaman ini mulai masuk dan diperkenalkan ke Indonesia oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Manado, dan beberapa tempat di Sulawesi. Di Jawa kakao mulai ditanam pada tahun 1880 di perkebunan Djati Runggo, sehingga
19
kemudian dikenal dengan klon DR yang merupaka n kakao mulia, dan hingga kini masih tetap ditanam (Prawoto 2008). Selanjutnya dihasilkan klon-klon lain seiring dengan berkembangnya perkebunan kakao di berbagai wilayah di Indonesia, baik klon-klon yang tergolong mulia maupun lindak. Saat ini lahan penanaman kakao di Indonsia menempati peringkat ke tiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Kakao dapat dikembangkan menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia yang amat potensial. Peningkatan produksi kakao di Indonesia dapat dilakukan melalui program
intensifikasi maupun ekstensifikasi penanaman kakao.
Pelaksanaan program ini memerlukan tersedianya bibit dan benih kakao yang unggul dan bermutu, sehingga diperlukan pengembangan kultivar kakao yang unggul. Berba gai upa ya terus dilakuka n untuk mendapa tka n bibit yang unggul dan bermutu, diantaranya ada lah dengan melakukan persilangan antara klon-klon kakao yang resisten terhadap penyakit sebagai tetua donor dengan kon-klon yang berdaya hasil tinggi sebagai tetua resipien. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh klon-klon baru
yang memiliki perpaduan karakter tersebut.
Keberhasilan penyilangan kakao sangat dipengaruhi oleh pemilihan tetua yang tepat sehingga diperoleh hibrida yang sesuai dengan yang diharapkan. untuk itu diperlukan informasi yang akurat tentang keragaman genetik p lasma nutfah kakao yang aka n dipilih sebagai tetua. Keragaman genetik tanaman dapat dianalisis secara morfologi dengan cara pengamatan langsung terhadap fenotipe maupun dengan menggunakan marka molekuler.
Pengamatan seperti ini lebih muda hdan efisien, tetapi karakter
morfologi sangat dipengaruhi lingkungan sehingga sering berubah. Penggunaan marka molekuler memiliki beberapa keuntungan dalam membantu pemuliaan, karena dapat digunakan untuk
(1) analisis pautan dan pemetaan genetik, (2)
identifikasi genotype, (3) menduga keragaman genetik dan kekerabatan inter dan antar species atau varietas dan juga dapat membantu menjelaskan filogenetiknya (Weising et al. 1996). Berbagai studi keragaman genetik tanaman kakao telah banyak dilakukan baik secara morfologi maupun pada tingkat molekuler. Berbagai jenis marka molekuler telah digunakan untuk kerakterisasi dan analisis keragaman, serta
20
pemetaan genetik kakao
(Lanaud et al. 1999). Pengembangan marka seleksi
untuk program pemuliaan tanaman kakao telah mulai dilakukan oleh Schnell et al. (2007), sementara keragaman genetik kakao dengan menggunakan marka SSR telah dilakukan oleh Zang et al. ( 2006). Selain itu, beberapa penelitian untuk mempelajari gen-gen ketahanan kakao terhadap P palmivora juga telah dilakuka n oleh Clement et al. (2003) dan Lanaud et al. (2004). Analisis keragaman genetik secara molekuler dapat dilakukan dengan berbagai teknik yang telah dikembangkan, antara lain Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), dan Simple Sequence Repeats (SSR). Masing- masing metode memiliki kelebihan dan keterbatasan. Di antara berbagai metode yang telah dilakukan, SSR merupakan salah satu teknik yang lebih banyak dipilih. SSR (Simple Sequens Repeats) yang dikenal juga sebagai mikrosatelit adalah lokus spesifik, kodominan, merupakan marka molekuler yang didasarkan pada sekuens DNA repetitif. SSR tersusun atas dua sampai enam DNA seperti (AT)n, (AGC) n , atau (GACA) n yang tersebar pada genom mahluk hidup eukariotik. Variasi alel pada lokus mikrosatelit dengan mudah dapat diperoleh dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik. Mikrosatelit telah digunakan secara luas pada berbagai jenis tanaman karena tingkat polimorfisme yang tinggi, lokus yang spesifik, mudah diperbanyak, hanya membutuhkan sedikit DNA, dan yang terpenting adalah sifatnya yang kodominan (Pugh 2004) Pemanfaatan marka SSR untuk mengidentifikasi keragaman genetik telah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman baik tanaman monokotil maupun dikotil. Freeman et al. (2004) menggunakan marka SSR untuk
menentukan
keragaman pada tanaman teh, Priolli et al. (2002) pada kedelai; Kacar et al. (2005) pada chery; Solodenko et al. (2005) pada helianthus, serta masih banyak komoditas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, marka SSR sangat potensial untuk dikembangkan sebagai marka molekuler terutama untuk ke perluan ide ntifikasi da n studi keragaman genetik. Penggunaan marka SSR untuk studi keragaman genetik kakao koleksi internasional telah dilakukan (Saunders et al. 2004) ; (Zang et al. 2009), akan
21
tetapi hingga saat ini belum ada informasi mengenai keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Indo nesia. Sebagai salah satu negara produsen kakao yang sedang mengembangkan upaya pemuliaan tanaman ini, maka infor masi genetik plasma nutfah kakao koleksi Indonesia sangat diperlukan. Untuk mendapatkan infor masi genetik
maka perlu dilakuka n analisis keragaman genetik tanaman
kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, sehingga pemulian tanaman kakao akan lebih terarah. Puslit Kop i da n Kakao Indo nesia mengoleksi hampir semua klon kakao yang terdapat di berbagai sentra produksi kakao di Indonesia, sehingga informasi keragaman genetik plassma nutfah kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao ini dapat merepresentasikan keragaman plasma nutfah kakao Indo nesia. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis keragaman plasma nutfah kakao berdasarkan karakter morfologis; (2) karakterisasi kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia menggunakan marka SSR; (3) menganalisis keragaman genetik klon-klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia dengan menggunakan marka SSR.
Bahan Dan Metode Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu: 1) karakterisasi tanaman berdasarkan ciri morfologi; 2) penggunaan marka SSR untuk analisis keragaman genetik plasma nutfah kakao. 1. Karakterisasi tanaman kakao berdasarkan marka morfologi Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Puslit Kopi dan Kakao Indonesia di Jember dan Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, mulai bulan Juli sampai dengan September 2008. Prosedur Tahap ini dilakukan untuk mendeskripsikan karakter morfologis 22 klon kakao dengan menggunakan deskriptor list yang telah dikemba ngka n untuk kakao. Hasil kegiatan pada tahap ini akan digunakan untuk melaksanakan kegiatan selanjutnya.
22
Pengamatan dilakukan secara langsung terhadap karakter-karakter yang telah ditentuka n. Adapun karakter morfologi yang akan diamati meliputi: 1)Deskrips i Pohon, berupa : Vigor Tanaman; Tipe percabangan; Tinggi jorket, 2) Deskripsi Daun : Panjang ; Lebar ; Bentuk helai daun; Bentuk ujung; Bentuk pangkal; Tepi helai daun; Tekstur permukaan; Tekstur permukaan; Warna flush; Warna daun, 3) Deskrips i Bunga, meliputi: Keadaan staminode ; Warna kelopak; Warna mahko ta; Pewarnaan anthocyanin; Intensitas pe warnaan anthocyanin; Warna kuncup bunga; Warna tangkai, 4) Buah: Intensitas buah; Bentuk buah; Bentuk pangkal/leher botol; Bentuk ujung;
Ukuran buah; Ketebalan kulit;
Permukaan; Kedalaman alur; Warna kulit buah muda; Warna kulit buah masak; Pewarnaan anthocyanin pada alur, 5) Biji: Bentuk; Warna kotiledon; Panjang; Lebar; Ketebalan; Bobot biji kering; Jumlah biji/tongkol; Kadar kulit ari. Karakter morfologi plasma nutfah kakao yang telah diidentifikasi pada kegiatan sebelumnya selanjutnya dianalisis dengan bantuan
perangkat lunak
NTSys versi 2.02, untuk mendapatkan dendogram keragaman genotipe kakao berdasarkan marka morfologis.
2. Penggunaan marka SSR untuk studi keragaman genetik plas ma nutfah kakao Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanaka n di Laboratorium “Biodiversity and Conservation”, Central of Agricultural Biotechnology Kasetsart University Thailand, mulai bulan September 2008 sampai dengan Januari 2009
Bahan tanaman dan ekstraksi DNA kakao Seluruh bahan tanaman yang berupa 29 klon kakao diperoleh dari Puslit Kopi dan Kakao Indonesia,
Jember (Tabe l 1). Dari 29 klon tersebut, 15 di
antaranya merupakan klon-klon yang biasa digunakan
sebagai tetua dalam
persilangan. Lebih kurang 20-30 mg daun kering dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf bersama bola gir kecil. Sampel daun diha ncurka n dalam mesin penghancur jaringan (Retsch MM301) selama 3 menit dengan frekuensi 300 hertz. Jaringan yang sudah hancur diinkubasi dengan buffer
23
lisis yang mengandung RNase selama semalam,
dan difiltrasi melalui filter
column. Ekstraksi larutan DNA selanjutnya dilakukan sesuai dengan protokol Plant
Genomic
DNA
Mini
Kit
(Geneaid,
Geneaid
Biotech
Ltd. http://www.geneaid.c om).
Tabel 1. Daftar nama klon, tipe dan kelompok kakao yang digunakan dalam penelitian No.
Klon
Tipe
1. PA 300 Forastero 2. PA 303 Forastero 3. DR 1 Trinitario 4. DR 2 Trinitario 5. DR 38 Trinitario 6. ICCRI 1 Trinitario 7. ICCRI 2 Trinitario 8. ICCRI 3 Trinitario 9. ICCRI 4 Trinitario 10 DRC 15 Trinitario 11. DRC 16 Trinitario 12. RCC 70 Forastero 13. RCC 71 Forastero 14. RCC72 Forastero 15. RCC 78 Forastero 16. SCa 6 Forastero 17. SCa12 Forastero 18. SCa89 Forastero 19. NIC 4 Forastero 20. NIC 7 Forastero 21. ICS 13 Trinitario 22. ICS 60 Trinitario 23. GC 7 Trinitario 24. KEE 2 Forastero 25. UIT 1 Forastero 26. TSH 858 Trinitario 27. TSH 908 Trinitario 28. UF 667 Forastero 29. NW 6261 Forastero Catatan: Data tipe dan kelompok kakao diperoleh dari Puslit Indo nesia.
Kelompok kakao Lindak Lindak Mulia Mulia Mulia Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Mulia Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Kopi dan Kakao
PCR dan Analisis SSR Template DNA dari masing- masing klon kakao diuji dengan 39 primer SSR yang telah dikembangkan oleh Pugh et al (2004) dan telah didesain ulang
24
urutan nukleotidanya dengan menggunakan program Primer 3 (tabel 2). PCR dilakukan de ngan total volume 15 µl, terdiri atas 2 µl DNA template, 1 µl primer (kons. 10 pmol), 1.5 µl 10x buffer, 0.15 µl MgCl, 0.075 µl Taq DNA polymerase, dan 2.7 µl dNTP.
Tabe l 2. Microsatellite (SSR) yang digunakan untuk mengamplifikasi genomic DNA cacao dalam PCR No
LG
Nama M arka
1
1
mT cCIR144
2
1
mT cCIR138
3
1
mT cCIR184
4
1
mT cCIR264
5
2
mT cCIR162
6
2
mT cCIR141
7 8 9 10
2 2 3 3
mT cCIR268 mT cCIR281 mT cCIR82 mT cCIR81
11
3
mT cCIR167
12
3
mT cCIR198
13
4
mT cCIR95
14
4
mtcCIR76
15
4
mT cCIR213
16
4
mT cCIR67
17 18
5 5
mT cCIR69 mT cCIR109
Primer
Jml
Ukuran PCR
Repeat
Tm
Basa
(bp)
Sekuens
(oC)
F: AACCACT GACACGCAAT GAA
20
242
(CT )2TTT(CT)9
60.16
R: T GTTT GCAAAT AAAGAAGAGAGGA
24
F: GGCACCT GCCAAGT CAAGT A
20
162
(CA)11
R: AAT GCTT GATTTTTCAAACACATT
24
F: ACT GCT GCAGCCT CT CTTTC
20
204
(CA)8(CT)13
R: ACAT GGAGGGAGGGAGAGAT
20
F: CGGT GAGGAAGACAAGAGGA
20
225
(CT )8
R: T CATT GACAGT GAGCAT CAGG
21
F: GACCTTTTTCCCCCT GATTC
20
250
(GA)19
R: T GGCAAAAATTCACCAGT CA
20
F: TT GGAGTT CAAGGT GT GGT G
20
239
(CT )14
R: GCCGCT AGCTTTCCT CTTTC
20
F: ACAGAGAGT GAGCGAGCA
18
R: CACTT GT GT GGGACGACATT
20
F: AATT GATT CCGCT GTTTT GG
20
R: GAAAAGGAT GAGGGGT GGTT
20
F: GCAAT CAT GT GCCCCTTCTA
20
R: AAGCTTATTGCGGAAGGACA
20
F: GT CAT GCACGTT GAACCAGA
20
R: T GGAAAAT GGT AGGGCATT C
20
F: AAT CGGT GCAT GGTAGAACC
20
R: AGCATAGT GT CGTTTCT GTT GC
22
F: GGGACCAT AAGGAAAT CAT GC
21
F: GCTT GCCCAGGT GAAGT AAG
20
R: GTT CTCGACAT GGGCT CCTA
20
F: T GCAT GGAT GCT GAAACAAG
20
F: GAAAAT GGGGGT CTTTT GGT
20
R: AGGCGAAGAGGGAGAAGAAG
2o
F: T CCAAT GTT GAT CT CGCAAA
20
R: TTTTCATTCCT GCTT GCGT A
20
F: GGTT CT CGCTT GAAAAT CCA
20
R: CCT CTTTTCCAAGCCT CCAT
20
F: GGACAT CGGT GTT CCATCAG
20
R: T GCTAT GAGATT GAAAGAGAATT GA
25
F: CCCGT AAGCTT CCATTTT CC
20
R: CAAAGGGACCAAAAAGAGCA
20
59.45 61.24 59.01 59.90 59.89 60.38 59.85 59.74 60.09 59.57 60.60 212 209
(GA)17GG(GA)
59.92
9
59.44
(T C)12(CA)14
59.94 60.17
206
(AG)6AA (AG)7
61.00 59.85
188
(CT )15
244
(GA)18
192
(CA)3TA(CA)6
237
(T C)4CC(T C)21
196
(CT )9
186
(CT )26
176
(CT )7(CA)12
60.73 59.76 59.82 59.45 60.53 59.88 60.22 60.81 60.03 60.09 60.20 59.44 60.19 60.57
208
(CT )20
61.36 59.43
221
(CT)12
60.79 60.22
25
19 20
5 5
mT cCIR106 mT cCIR10
21
6
mT cCIR16,
22
6
mT cCIR255
23
6
mT cCIR276
24
6
mT cCIR291
25
7
mT cCIR186
26
7
mT cCIR190
27
7
mT cCIR7
28 29 30
8 8 8
mT cCIR99 mT cCIR103 mT cCIR211
31
8
mT cCIR218
32
9
mT cCIR90
33
9
mT cCIR145
34
9
mT cCIR251
35
9
mT cCIR287
36
10
mT cCIR91
37
10
mT cCIR155
38 39
10 10
mT cCIR209 mT cCIR229
F: GGGAGTT AAAAT GGGGCAAG
20
R: TT GCT GTT GTT GT CTT GCTTTT
22
F: CGAATT GACAGAT GGCCT ACA
21
R: CCCAAGCAAGCCT CATACT C
20
F: CTT CACCAGCT CACCGAT CT
20
R: AT CAAT GGGTTCGGGT AGT G
20
F: GCCTTACAGCATT CCCAT GA
20
R: AT CT GCAGGACTT GGACCAC
20
F: T GT GT GTTTAATT GCT CCT GCT
22
R: T GT CT GCCCTTTGACCTTTC
20
F: TT GCAATT GTCCCAAGCAT A
20
R: AT GT CAAGCAT GGCAGT GTT
20
F: GCGT GT GT GT GCAAAT GATA
20
R: CCGAT AAAT GGGCGTT GTAG
20
F: CT GAAGCACAATTATTCCAT CAA
23
R: CCAATT GCT CCACAAAGAGC
20
F: GCTTTCAGT CCTTTGCTTTCA
21
R: CAGACAAGCCAT GGT CAGT G
20
F: TT CGGAAAT GT CGAGAGAGG
20
R: CCT CT GCCCAT GATCCT AT G
20
F: CT CCAAGAAAAAGAGGCACA
20
R: TT GT GGTTATT GCGAACGT G
20
F: GGGATT GCACTTCACAAGGT
20
R: T CCAAGTT CCGT AT GT GCT G
20
F: CAT GCGTT GACCAAGGAAG
19
R: AT CAAT GCAT GGGAACACCT
20
F: CCAGTTCAAAAAT CAT GTT CAGT G
24
R: TT GT GGAGCAACT GT CAACC
20
F: T GGAAGGCT GT CCAAAATTC
20
R: T GTTT GT GT CT GGCTTTT GC
20
F: T CAT GCCCAGT GACACAAAT
20
R: AAT GGACT GGAGCAT GGAAG
20
F: GCGTT GT CT CGCTTT CTTCT
20
R: GGGAAAGCCAT GTT CAT GTT
20
F: GCCCAT GCTT CTCTT CAT GT
20
R; GGGAAAT GAGAAGGGT GT GA
20
F: CTTAGAGGCTT GT GCCGT GA
20
R: GCCAT GCCAATTTCCAAT AA
20
F: T GT CCTT CACATAAGCCAT GA
21
R: T GTT GCCCTTCCTT GTTAGG
20
F: T CT GGCCCTT GAGAAT GAGT
20
R: T CCGCAAT CCT ACAACACAA
20
246
(GA)9TT G(CA)
60.66
3
59.96
122
(T G)13
61.04
207
(CT )13
193
(AC)11
199
(GA)14
212
(CT )12
155
(T G)8
172
(T G)12
122
(CT )14
59.84 59.67 61.00 60.12 59.81 60.23 60.07 59.17 59.15 60.34 59.13 60.78 59.62 60.31 167
(GA)9
60.33 60.44
175
(GA)10
58.08 60.56
179
(CT )9
181
(CT )11
155
(CT )10
241
(CT )17
228
(CT )7(CA)12
160
(T C)9
191
(CT )10
197
(T C)12
59.97 59.72 60.25 60.20 60.78 59.73 60.05 59.89 59.97 60.07 59.76 59.80 60.23 59.90 61.50 60.65
243
(GT)6AT(GA)9
59.14 60.10
151
(T C)8
59.80 60.11
Proses PCR dilakukan dengan 39 siklus, diawali denaturasi pada 94 o C selama 4 menit, kemudian 39 siklus berikutnya yang terdiri atas denaturasi pada 94 o C selama 45 detik, penempelan (annealing) pada suhu
60.41
55 o C selama 45
26
detik, dan perpanjangan (extension) pada suhu 72 o C selama 30 detik. Tahap terakhir dilanjutkan dengan perpanjangan akhir (final extension) pada suhu 72 o C selama 5 menit dan pendinginan (cooling) sampai suhu 16 o C selama 5 menit. Hasil amplifikasi PCR dievaluasi dengan melakukan running pada gel agarose 1% selama 20 menit pada mesin elektroforesis dengan arus 300 Am dan 200 Volt untuk konfirmasi ada tidaknya produk amplifikasi. Running PAGE DNA hasil amplifikasi dengan SSR Proses elektroforesis dimulai dengan penyiapan kaca. Pertama, siapkan dua kaca panjang dan pendek. Kaca panjang dibersihkan dengan etanol 95%, dan dilanjutkan dengan clear view. Untuk kaca pendek dibersihkan dengan etanol 95%, dilanjutkan dengan campuran antara Bind Silane dan asam asetat. Kemudian, dua kaca disusun dengan diberi plat plastik sebagai pembatas dan dijepit dengan empat pasang penjepit. Sementara itu, disiapka n “Microsatelite gel polyacrilamide” yang terdiri atas: 60 ml 4.5% acrilamide ditambah 10% APS µl dan 90 µl TEMED, kemudian diaduk perlahan sampai tercampur. Cairan acrilamide selanjutnya dituangkan secara perlahan ke celah diantara dua kaca, ke mudian disisipka n sisirnya dan dibiarkan sampai gel terpolimerisasi. Sampel berupa produk PCR sebanyak 2 µl ditambah 3-4 µl pewarna kemudian diaduk dan didenaturasi pada suhu 94° C selama 10 menit. Sementara itu dilakukan pre running elektroforesis dengan buffer 1X TBE hingga mencapai suhu 60o C. 2 µl sampel hasil amplifikasi dimasukka n pada celah sisir sampai semua sampel masuk, dan sampel siap di running pada mesin elektroforesis dengan kondisi 3000 volt, 300 mA, 65 Watt selama 2,5 jam. Setelah selesai, kaca dikeluarkan
da n kaca penutupnya dilepaskan dengan hati-hati.
Hasil
elektroforesis siap untuk diwarnai. Pewarnaan perak nitrat dimulai dengan perendaman kaca dalam larutan acetic acid 10% selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan akuades sebanyak 3x masing- masing selama 10 menit, kemudian dilakukan perendaman pada larutan perak nitrat selama 30 menit, selanjutnya dicuci dengan akuades. Selanjutnya kaca direndam pada larutan developer sambil digoyang hingga nampak pita. Setelah nampak pita, larutan developer dibuang dan terakhir dicuci dengan acetic acid selama 5 detik dan dilanjutkan pencucian terakhir dengan air.
27
Skoring dan analisis data Skoring dilakukan terhadap posisi alel hasil amplifikasi PCR untuk masing- masing genotipe pada tiap lokus SSR. Hasil skoring dilakukan analisis untuk melihat keragaman genetik dengan menggunakan
software NTSys,
sedangkan tingkat heterosigositas ditentukan dengan menggunakan software CERVUS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi morfologi kakao Pengamatan karakter morfologi kakao dilakukan secara langsung di lapangan, dengan mengamati bentuk dan karakteristik pohon, bentuk dan karakteristik daun, bentuk dan karakteristik bunga dan bagian-bagiannya, bentuk dan karakteristik buah, dan karakteristik biji. Dari 29 klon kakao yang direncanaka n, hanya 22 klon kakao yang berhasil dikarakterisasi dengan menggunakan deskriptor list yang sudah dikembangkan untuk kakao. Bentuk daun kakao bervariasi, mulai dari elips, oblong maupun obovate bergantung kepada klonnya. Demikian pula dengan bentuk ujung dan pangkalnya, memiliki keragaman yang cukup tinggi. Variasi bentuk ujung dan pangkal daun berupa runcing, meruncing, maupun membulat terdapat pada berbagai klon kakao yang diamati. Warna flush atau daun muda juga bervariasi diantara berbagai klon yang berbeda (Gambar 3a). Variasi warna flush yang ditemukan pada 22 klon kakao yang diamati adalah coklat, kuning, kuning kecoklatan, coklat kemerahan, dan merah kecoklatan (Gambar 3b). Keragaman warna daun muda ini terjadi karena belum ada klorofil yang terbentuk, tetapi terdapat banyak pigmen kain seperti antosianin, karoten, daqn xantofil. Klorofil baru terbentuk ketika daun mencapa i ukuran sempurna yaitu setelah berumur 3-4 minggu (Prawoto, 2008).
28
a
b
d
c
e
Gambar 3a. Keragaman Bentuk Daun Kakao: (a) ujung runcing; (b) ujung meruncing; (c) pangkal runcing; (d) pangkal membulat ; (e) bentuk oblong.
a
b
c
d
e
Gambar 3b. Keragaman warna daun muda (flush) kakao: (a) Kuning kecoklatan; (b) kuning; (c) coklat; (d) merah kecoklatan; (e) coklat kemerahan.
Kakao memiliki bunga yang berukuran amat kecil jika dibandingkan dengan buahnya, terdiri atas kelopak yang berwarna ungu dan mahkota bunga berwarna putih kekuningan. Perkembangan bunga kakao bersifat kauliflori yaitu bunga tumbuh dari bekas ketiak daun, yang perlahan- lahan akan menebal dan membesar membentuk bantalan bunga. Tanaman kakao memiliki bentuk dan warna buah yang bervariasi sesuai dengan tipenya. Bentuk buah kakao yang ditemukan pada klon-klon yang diamati bervariasi antara bulat (orbicularis), memanjang (oblong), dan lonjong (ellips), sedangkan warna yang ditemukan ada empat macam yaitu merah, ungu, hijau, dan hijau muda. Warna yang berragam pada buah kakao terjada pada buah muda, sedangkan buah ya ng masak hanya memiliki dua macam warna ya itu merah dan oranye. Buah yang waktu muda berwarna hijau atau hijau muda setelah masak berubah menjadi kuning, sedangkan buah yang ketika muda berwarna merah atau ungu akan berubah menjadi oranye setelah masak. Permukaan buah kakao pada umumnya kasar dan memiliki alur. Biji kakao tersusun dalam lima baris
29
mengelilingi poros buah. Bentuk dan warna kotiledon bervariasi, tetapi secara umum ditemukan dua warna yang berbeda yaitu putih dan ungu. Kotiledon berwarna putih dimiliki oleh kakao dari tipe mulia, sedangkan tipe lindak berwarna ungu (Prawoto 2008). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap karakteristik morfologis kakao, selanjutnya dibuat katalog karakter morfologis (lampiran 2).
a
c
b
d
e
Gambar 4. Keragaman Bentuk Buah Kakao: (a) warna merah bentuk oblong; (b) warna ungu oblong; (c) hijau muda elips; (d) hijau elips Keragaman morfologis klon kakao Keragaman morfologis klon kakao dianalisis dengan menggunakan katalog
karakter
morfologis
yang
telah
diperoleh.
Berdasarkan
hasil
pengelompokan (klastering) yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia memiliki ke ragaman morfologis yang tinggi. Pengelompokan klon yang diamati terlihat berhubungan dengan progenitor yang menurunkan klon masing- masing. Klon-klon yang diketahui memiliki latar belakang genetik yang sama ternyata juga mengelompok ke dalam grup (klaster) yang sama. Seba gai contoh Sca 12 dan Sca6 yang diketahui merupakan turunan dari tetua yang sama, mengelompok menjadi satu grup yang sama. Hasil analisis keragaman karakter morfologis dan klastering yang telah dilakuka n dilengkapi dengan data responnya terhadap P. Palmivora, ukuran biji, dan potensi daya hasil, disajikan pada gambar 5, 6, dan7. Kakao berasal dari dua subjenis yang berbeda yaitu tipe Criolo yang tergolong jenis mulia, dan Forastero yang merupakan kakao lindak. Selain itu terdapat kelompok kakao lain yang merupakan persilangan liar antara keduanya
30
yang kemudian dikenal dengan kelompok Trinitario. Sifat morfologi dan fisiologi keturunannya amat beragam demikian pula daya hasil dan mutu bijinya (Prawoto 2008). Hasil pengamatan morfologis terhadap 22 klon kakao yang selanjutnya dianalisis, menunjukkan keragaman yang tinggi. Pada tingkat kemiripan 75% terdapat tiga kelompok. Kondisi seperti ini akan sangat menguntungkan bagi upaya peningkatan kualitas bibit kakao melalui pengembangan hibrida kakao, yang memerluka n tetua de ngan keragaman yang tinggi . SCa12 SCa6 ICCRI4 ICCRI3 ICS60 DRC16 ICCRI1 ICCRI2 DR38 TSH858 ICS13 RCC72 RCC70 RCC71 DR2 PA300 PA303 UF667 DR1 NIC4 NIC7 GC7
0.50
0.63
0.75
Coefficient
0.88
1.00
Gambar 5. Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis, dilengkapi dengan data ketahanan terhadap P. palmivora. Tahan (merah), moderat (biru); rentan (hijau). Berdasarkan ketahanannya terhadap P. palmivora, klon-klon kakao yang diamati dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu tahan, moderat dan rentan. Hasil klastering menunjukkan bahwa kon-klon kakao pada kelompok pertama memiliki karakter tahan, kelompok kedua bervariasi antara yang tahan de ngan rentan, sedangkan pada kelompok tiga juga bervariasi antara tahan, rentan maupun moderat. Hal ini menunjukkan bahwa penyilangan antar ketiga kelompok memiliki peluang untuk menghasilkan keragaman yang tinggi baik pada sifat morfologi maupun ketahanannnya terhadap P. palmivora. Di antara 22 klon kakao yang diamati, pada umumnya memiliki ukuran biji yang besar (18 klon) baik pada kelompok pertama, kedua maupun ketiga. Hal
31
SCa12 SCa6 ICCRI4 ICCRI3 ICS60 DRC16 ICCRI1 ICCRI2 DR38 TSH858 ICS13 RCC72 RCC70 RCC71 DR2 PA300 PA303 UF667 DR1 NIC4 NIC7 GC7
0.50
0.63
0.75
Coefficient
0.88
1.00
Gambar 6. Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis, dilengkapi dengan data ukuran biji. Besar (merah), sedang (biru); kecil (hijau) ini juga mengindikasikan bahwa klon-klon yang dianalisis memiliki potensi yang baik untuk dijadikan sebagai tetua dalam penyilangan. SCa12 SCa6 ICCRI4 ICCRI3 ICS60 DRC16 ICCRI1 ICCRI2 DR38 TSH858 ICS13 RCC72 RCC70 RCC71 DR2 PA300 PA303 UF667 DR1 NIC4 NIC7 GC7
0.50
0.63
0.75
Coefficient
0.88
1.00
Gambar 7. Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis, dilengkapi dengan data potensi daya hasil (kg/ha/th). 1000 – 1100 (hijau), 1500-1750 (biru), 2000-2050 (merah)
32
Analisis SSR Dalam penelitian yang dilakukan, 39 primer yang digunakan merupakan primer SSR terpilih yang telah dilaporkan oleh Lanaud et al. (1999). Seluruh primer yang digunakan mampu menghasilkan produk hasil amplifikasi PCR, yang ditunjukkan dengan hasil elektroforesis pada gel agarose (Lampiran 3). Contoh elektroferogram hasil poly-acryllamide gel electrophoresis (PAGE) untuk memvisualisasi alel-alel marker SSR yang diamplifikasi dapat dilihat pada Gambar 8. Selanjutnya, skoring alel dari marker SSR dilakukan dengan menggunakan elekroferogram yang dihasilkan. Contoh hasil scoring yang didapat untuk elektroferogram pada Gambar 9 disajikan pada Tabel 3.
1 2 3 4 5 6
Gambar 8. Contoh elektroferogram hasil PCR menggunakan primer spesific SSR MTcCIR 211 dengan 29 contoh DNA klon kakao. Amplifikasi dengan pr imer MTcCIR 211 menghasilkan enam macam pita yang berbeda ukuran (masing- masing menjadi alel 1, Alel 2, alel 3, alel 4, dan alel 5, dan alel 6). Berdasarkan hasil skoring alel-alel pada masing- masing lokus yang diamplifikasi denga n primer SSR tertentu, maka masing- masing klon kakao yang dianalisis akan dapat ditentukan apakah mempunyai genotip dalam kondisi heterosigot atau homosigot. Dalam lokus tertentu, klon yang diuji dalam kondisi heterosigot apabila mempunyai dua macam alel yang berbeda pada lokus yang dievaluasi. Dalam Tabel 3, pada lokus MTcCIR 211 untuk klon No. 10, mempuny ai alel 1: “pita no. 3” dan alel 2: “pita no. 4”). Hal ini mengindikasikan bahwa genotip klon No. 10 adalah heterosigot (Ht). Sebaliknya, klon yang diuji dalam kondisi homosigot apabila mempunyai satu macam alel yang sama pada lokus yang dievaluasi. Dalam Tabel 3, klon No. 1 dan 2, sama-sama mempunyai
33
alel 1: “pita no. 4” dan alel 2: “pita no. 4”. Hal ini mengindikasikan bahwa genotip k lon No. 1 dan 2 pada lokus MTcCIR 211 adalah homosigot (Hm).
Tabel 3. Contoh data hasil skoring untuk masing- masing individu pada elektroferogram Gambar 7. Hasil sko ring merepresentasika n genotip individu berdasarkan lokus SSR MTcCIR 211. Sampel kakao 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
MTcCIR 211 Alel 1 Alel 2 4 4 4 4 3 4 4 6 3 3 2 4 4 4 1 4 4 6 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 1 1 1 2 1 2 3 4 3 4 3 4 1 3 3 4 4 6 3 4 1 3 4 6 2 3 4 4
Genotip Hm Hm Ht Ht Hm Ht Hm Ht Ht Ht Hm Hm Hm Hm Ht Hm Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Hm
Catatan: Ht – heterosigot: mempunyai dua alel yang berbeda pada satu lokus yang dianalisis (contoh: pada individu No. 3, mempuny ai alel 1: “3” dan alel 2: “4”)., Hm - Homosigot: mempunyai dua alel yang sama pada satu lokus yang dianalisis (contoh: pada individu No. 1 da n 2, pada mempunyai alel 1: “4” dan alel 2: “4”).
34
Identifikasi dan analisis keragaman genetik pada plasma nutfah kakao telah dilakukan dengan pengamatan mor fologi (Mot ilal da n Butler 2003; Bekele et al. 2006), akan tetapi hasilnya masih kurang sempurna karena karakter morfologi dapat berubah dan sangat dipengaruhi lingkungan. Analisis molekuler dapat membantu mengatasi kekurangan tersebut. Penggunaan marka molekuler mikrosatelit (SSR) telah dilakukan pada tanaman kakao untuk berbagai tujuan, seperti karakterisasi dan analisis keragaman genetik (Lanaud et al 1999; Zhang et al. 2006; Bruno et al. 2008) , karakterisasi kakao koleksi internasional (Zhang et al., 2009), dan pembuatan linkage map (Risterucci et al. 2000; Pugh et al. 2004). Meskipun primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan primer yang telah digunakan sebelumnya, akan tetapi beberapa lokus tidak menghasilkan pita yang jelas sehingga tidak dapat diskoring. Hal ini diduga karena urutan basa pada beberapa lokus tersebut tidak dapat mengamplifikasi genom kakao dari sampel yang digunakan. Pita polimorfik yang dihasilkan pada 24 lokus menunjukkan adanya keragaman di antara sampel kakao yang dianalisis. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan marka SSR cukup efektif untuk mempelajari keragaman genetik plasma nutfah kakao (Saunders et al. 2004).
Keragaman Genetik Dengan menggun aka n pe ndeka tan seperti yang telah disebutkan di atas, maka tingkat heterosigositas atau homosigos itas lokus- lokus dalam setiap klon kakao yang dievaluasi akan dapat ditentukan. Tingkat heterosigositas pada lokuslokus yang ada di dalam genom masing- masing klon akan menentukan kedekatan genetik antar klon kakao yang dianalisis. Informasi tentang tingkat heterosigositas atau homosigositas klon kakao sangat penting dalam kaitannya dengan pembentukan galur hibrida F1 sebagai bahan tanaman kakao. Dari hasil skoring yang dilakukan, primer SSR yang digunakan rata-rata mampu mengidentifikasi alel per lokus sebanyak 5.50 dengan rata-rata Poymorphic Information Content (PIC) sebesar 0.665. Total
jumlah alel
diperoleh sebanyak 132 dari 24 lokus, jumlah alel terkecil 4 pada beberapa lokus, dan terbesar 8 pada lokus mTcCIR 155. Rata-rata jumlah alel per lokus lebih kecil dibandingka n de ngan pe nelitian terdahulu yang dilakuka n oleh Zang et al. (2009)
35
yaitu 14.2 alel/lokus. Nilai PIC sebesar 0.665 tergolong tinggi dan hal ini mengindikasikan bahwa marker SSR yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi klon-klon kakao yang dianalisis. Jumlah alel dan nilai PIC masingmasing lokus yang didapatkan dari hasil evaluasi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabe l 5. Jumlah alel dan tingkat heterosigos itas lokus- lokus SSR pada 29 klon kakao Parameter Genetik Lok us mTcCIR 213 mTcCIR 198 mTcCIR 82 mTcCIR 16 mTcCIR 209 mTcCIR 218 mTcCIR 255 mTcCIR 190 mTcCIR 276 mTcCIR 167 mTcCIR 291 mTcCIR 211 mTcCIR 10 mTcCIR 144 mTcCIR 251 mTcCIR 184 mTcCIR 91 mTcCIR 155 mTcCIR 162 mTcCIR 76 mTcCIR 109 mTcCIR 95 mTcCIR 67 mTcCIR 69 Mean
Jumlah alel
Ho
He
PIC
6 4 4 5 6 4 7 6 5 4 6 6 4 7 5 7 4 8 4 6 7 7 5 5 5.50
0.759 0.379 0.630 0.793 0.407 0.964 0.643 0.250 0.357 0.393 0.556 0.862 0.577 0.714 0.808 0.960 0.310 0.962 0.552 0.889 0.821 0.964 0.414 0.593
0.802 0.693 0.540 0.759 0.798 0.679 0.605 0.727 0.779 0.666 0.760 0.751 0.608 0.831 0.689 0.826 0.603 0.817 0.673 0.767 0.799 0.822 0.607 0.681 0.720
0.757 0.623 0.471 0.700 0.749 0.606 0.542 0.681 0.729 0.601 0.712 0.701 0.513 0.791 0.624 0.783 0.536 0.775 0.613 0.713 0.752 0.780 0.566 0.633 0.665
Catatan: PIC – polimorphic information content (parameter untuk menentukan tingkat keragaman alel di dalam populasi tanaman yang dianalisis). Dari Tabel 5 juga dapat diketahui bahwa pada 24 lokus SSR yang dianalisis, sebagian besar klon yang diuji mempunyai pasangan alel yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa genotip klon-klon kakao yang diuji pada sebagian besar dari 24 lokus ada dalam kondisi heterosigot. Di antara 24 lokus yang
36
digunakan dalam penelitian ini, 15 lokus yang sama digunakan Zhang et al. (2009) menghasilkan rata-rata jumlah alel per lokus 5,70 pada populasi semi natural dari Rio Ucayali Peru, dan 3,68 pada populasi Rio Huallaya. Sementara itu dengan menggunakan 11 lokus SSR, Sereno et al. (2006) melaporkan rata-rata jumlah alel 4,45 dari 94 aksesi yang mewakili 14 populasi di wilayah Amazon. Rendahnya rata-rata jumlah alel yang diperoleh pada penelitian ini diduga karena jumlah aksesi yang digunakan hanya
29 sedangkan Zhang et al. (2009)
menggunakan 688 aksesi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh rata-rata gen diversity (He) 0.720 dan rata-rata heterosigos itas (Ho) sebesar 0.651. Keragaman genetik tertinggi 0.831 dihasilkan pada lokus mTcCIR 144, sedangkan terrendah 0.540 pada mTcCIR 82. Heterosigositas tertinggi 0.964 pada lokus mTcCIR 218 dan mTcCIR 95, sedangkan yang terrendah 0.250 pada lokus mTcCIR 190. Tingkat heterosigositas dan keragaman genetik yang cukup tinggi menunjukkan bahwa lokus SSR yang digunakan
dapat
membedakan
klon-klon
yang
dianalisis.
Setelah
dikembangkannya marka SSR untuk kakao oleh Lanaud et al.(1999), maka identifikasi dan karakterisasi plasma nutfah kakao berkembang cukup signifikan (Zang et al. 2009). Pada umumnya, tingkat heterosigositas yang tinggi pada lokus- lok us yang dianalisis akan berkorelasi positif dengan nilai PIC yang tinggi pula. Hal ini dapat dilihat pada hasil analisis yang disajikan dalam Tabel 5 di atas. Sebagian besar lokus- lok us yang dianalisis mempunyai persentase heterosigos itas yang tinggi dan sekaligus mempunyai nilai PIC untuk masing- masing lokus yang tinggi pula. Namun demikian, pada lokus MTcCIR 190, MTcCIR 276, dan MTcCIR 67 teramati mempunyai tingkat heterosigositas yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa pada lokus-lokus tersebut, klon-klon kakao yang dievaluasi mempunyai lebih banyak genotipe homosigot dibandingkan de ngan heterosigot. Selain tingkat heterosigos itas, hal lain yang perlu diperhatikan dalam menentukan tetua untuk persilangan adalah ada tidaknya kesamaan alel dalam masing- masing primer yang digunakan untuk menghasilkan marka molekuler SSR. Berkaitan dengan hal tersebut, klon-klon yang diharapkan menghasilkan
37
hibrida yang baik adalah klon-klon yang tingkat heterosigositasnya tinggi dan kombinasi alel dalam setiap primernya berbeda. Seluruh set data marker SSR yang diperoleh juga dapat digunakan untuk menentuka n jarak genetik a ntar klon yang dieva luasi. Besar kecilnya jarak genetik antar klon yang dievaluasi merupakan informasi penting dalam pemanfaatan klonklon tersebut untuk pe muliaan tanaman. Dua klon yang mempunyai jarak genetik yang tinggi, apabila disilangkan akan menghasilkan turunan yang variasinya sangat tinggi. Sebaliknya, dua klon yang jarak genetiknya rendah, apabila disilangkan akan menghasilka n tur unan yang variasinya renda h. Dalam pembuatan hibrida F1 sebagai bahan perbanyakan tanaman, masing- masing klon kakao yang digunakan sebagai tetua diharapkan mempunyai karakter agronomis yang baik dan keduanya mempunyai jarak genetik yang tinggi. Dengan menyilangkan dua tetua yang demikian itu maka didapatkan populasi hibrida F1 yang heterogeneous dan mempunyai keragaman yang tinggi. Populasi F1 yang heterogeneous tersebut sangat efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungk in menjadi ke ndala di lapangan seperti: stres lingkungan abiotik (seperti: nutrisi, kekeringan, keracunan hara), stres biotik (seperti: serangan hama dan penyakit). Selain itu, karena kedua tetua yang digunakan masing- masing mempunyai karakteristik agronomis yang diinginkan, hibrida F1 yang didapat diharapkan juga mewarisi sifat-sifat baik tetuanya. Dalam kondisi tertentu, heterosis juga dapat ditemuka n pada individu- individu hibrida F1 yang dihasilkan. Analisis klaster juga telah dilakukan untuk mengelompokan 29 klon kakao yang dievaluasi berdasarkan marka SSR. Hasil klastering 29 klon kakao berdasarkan marka SSR dihubungkan dengan tingkat resistensinya terhadap P.palmivora (Rubiyo 2009), disajikan pada Gambar 10. Hasil klastering pada koefisien kemiripan 0.5 menunjukkan adanya pengelompokan menjadi lima kelompok. Kelompok pertama terdiri atas klon-klon PA300, KEE2, TSH908, RCC72, dan DRC16 memiliki sifat tahan. Kelompok ke dua terdiri atas RCC 78, PA303, ICCRI4, DRC15, UIT1, da n DR38, bervariasi antara yang taha n, rentan maupun moderat. Hal yang sama jua terdapat pada kelompok ke tiga yang terdiri atas ICCRI2, UF667, NIC4, NIC7, ICS13, ICS60, TSH 858, dan GC7. Klon-klon
38
PA 300 1 ICCRI 2 PA 303 DR 38 ICCRI DR DRC 15 DRC RCC RCC 1 2 DR 3 ICCRI 4 16 71 72 RCC ICCRI 70 RCC 0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
Coefficient Gambar 9 Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR, dilengkapi dengan data resistensi terhadap P. palmivora. Tahan (merah), moderat (biru); rentan (hijau) .
PA 300 1 ICCRI 2 PA 303 DR 38 ICCRI DR DRC 15 DRC RCC RCC 1 2 DR 3 ICCRI 4 16 71 72 RCC ICCRI 70 RCC 0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
Coefficient Gambar 10. Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR, dilengkapi dengan data ukuran biji: biji besar (merah), biji sedang (hijau), biji kecil (biru)
39
DR2, DR1, RCC70, ICCRI1, ICCRI3, dan NW6261 berada pada kelompok empat dengan tingkat ketahanan yang juga bervariasi, sedangkan SCa 6, SCa 12, dan SCa 89 pada kelompok terakhir memiliki sifat tahan. Berdasarka n ukuran bijinya (data diperoleh dari Puslit kopi dan kakao Indonesia), klon-klon yang diamati pada umumnya memiliki ukuran biji besar terutama klon-klon yang terdapat pada kelompok dua dan empat, sedangkan pada kelompok lima ketiga klon SCa memiliki ukuran biji kecil.
PA 300 1 ICCRI 2 PA 303 DR 38 ICCRI DR DRC 15 DRC RCC RCC 1 2 DR 3 ICCRI 4 16 71 72 RCC ICCRI 70 RCC 0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
Coefficient Gambar 11. Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR, dilengkapi dengan data potensi daya hasil (kg/ha/th). 1000 – 1100 (hijau), 1500-1750 (biru), 2000-2050 (merah). Apabila dikaitkan dengan daya hasil, klon-klon kakao yang diamati cukup bervariasi, dimulai dari 1000 kg/ha/tahun (SCa6, SCa 12, dan SCa 89), 1500-1750 kg/ha/tahun hingga 2050 kg/ha/tahun (tersebar pada kelompok satu samapi empat). Berdasarkan hal tersebut maka klon-klon koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia memiliki keragaman yang cukup tinggi, sehingga berpotensi menjadi tetua pada persilangan untuk mendapatkan hibrida yang unggul.
40
SIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan terhadap karakter morfologis ditemukan bahwa keragaman plasma nutfah kakao ko leksi Puslit Kopi dan Kakao Indo nesia cukup tinggi. Marka SSR dapat digunakan untuk evaluasi keragaman plasma nutfah kakao dengan tingkat polimorfisme yang cukup tinggi. Tingkat heterosigositas dan keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indo nesia yang tinggi memiliki peluang yang amat potensial untuk dijadikan sebagai tetua dalam persilangan, untuk mendapatkan hibrida yang unggul dan bermutu.
DAFTAR PUSTAKA Bekele F, Bekele I, Butler D, and Bidai GSEE. 2006. Patterns of morphological variation in a sample of cacao (Theobroma cacao L.) germplasm from the International Cocoa Genebank, Trinidad. Genet Resour Crop Evol. 53:933-948 Borrone JW, Brown JS, Kuhn DN, Motamayor JC, and Schnell RJ. 2007. Microsatellite markers developed from Theobroma cacao L.expressed sequence tags. Mol Ecol Notes. 7: 236–239 Bruno I et al. 2008. Genetic diversity and structure of farm and Gene Bank accession of cacao (Theobroma cacao L.) in Cameroo n revealed b y microsatellite markers. Tree Genet & Genomes. 4: 821-831 Clement D, Risterucci AM, Grivet L,Motamayor JC, Goran JN, and Lanaud C, 2003. Mapping QTL for yield components, vigor and resistance to Phytophthora palmivora in Theobroma cacao L. Genome. 46:204-212. Freeman S, West J, James C, Lea V, and Mayes S. 2004. Isolation and characterization of highly polymorfic microsatellites in Tea (Camellia sinensis). Mol. Ecol. Notes. (4): 324-326. Kacar YA, Lezzoni A, and Cetiner S. 2005. Sweetcherry cultivar identification by using SSR Markers. J. of Biosci. p. 616-619. Kumar Pradep S, Manimekalai R, and Kumari BDR. 2011. Microsatellite marker based characterization of south pacific coconut (Cocos nucifera L.) Accessions. Int. J. Plant Breed. and Genet. 5(1): 34-43. Lanaud C et al. 1999. Isolation and characterization of microsattellites in Theobroma cacao L. Mol Ecol. 8:2141-2143
41
Lanaud C, Risterucci AM, Pieretti I, N’goran JAK, and Fargeas D.2004. Characterisation and genetic mapping of resistance and defence gene analogs in cocoa (Theobroma cacao L.). Mol. Breed. 13:211-227 Motilal L, Butler D. 2003. Verification of identities in global cacao germplasm collections. Genet Resour Crop Evol. 50:799-807. Prawoto AA. 2008. Botani dan Fisiologi. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 38-47 Priolli RHG, Mendez CT, Arantes NE, and Contel EPB. 2002. C haracterization of brazilian soybean cultivars using microsatellite markers, Gen and Mol. Biol. (25.2): 185-193. Pugh T et al. 2004. A new cacao linkage map based on codominant markers: development and integration of 201 new microsatelite markers. Theor Appl Genet 108:1151 – 1161. Saunder, JA, Mischke S, Leany EA, Hemeida AA.2004. Selection of International molecular standards for DNA fingerprinting of Theobroma cacao L. Theor Appl Genet. 110: 41-47 Schnell RJ et al. 2007. Development of a marker assisted selection program for cacao. phytopat. 12: 1664-1669 Sereno ML., Albuquerque PSB, Vencovsky R, Fiqueira A. 2006. Genetic diversity and natural population structure of cacao (Theobroma cacao) from the Brazillian Amazon evaluated by microsatellite marker. Conserv Genet 7: 13-24 Solodenko A, and Yu S. 2005. Genotyping of Helianthus-Based on Microsatelite Sequences. Helia. 28(42): 19-26. Weising K, Nybom H, Wolff K, and Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, F la. Zhang D, Mischke S, Goenaga R, Hemeida AA, Saunders JA. 2006. Accuracy and Reliability of High-Throughput Microsatellite Genotyping for Cacao Clone Ide ntification. Crop Sci. 46:2084–2092. Zhang D et al. 2006. Genetic diversity and structure of managed and semi- natural populations of cocoa (Theobroma cacao L.) in Huallaga and Ucayali Valleys of Peru. Annals of Bot. 98: 647-655. Zhang D, Mischke S, Johnson ES, Phillips-Mora W, Meinhardt L.2009. Molecular characterization of an international cacao collection using microsatellite markers. Tree Genetics & Genomes 5:1–10
42