PEMANFAATAN MARKA MOLEKULER UNTUK MENDUKUNG PERAKITAN KULTIVAR UNGGUL KAKAO (Theobroma cacao L.)
SURTI KURNIASIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
i
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pemanfaatan marka molekuler untuk mendukung perakitan kultivar unggul kakao (Theobroma cacao L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012 Surti Kurniasih A161060041
ii
ABSTRACT SURTI KURNIASIH. Utilization of Molecular Marker to Support High Yield Culltivar Construction of Cocoa (Theobroma cacao L.). Under supervised by SUDARSONO, ASEP SETIAWAN, AGUS PURWANTARA Theobroma cacao L. is one of the important cash crop, native to the South American rain forest. The beans are the sole source of cacao, the raw material for chocolate. Production of cacao beans can be increased by cultivar which has high production and resistant to black pod caused by Phytophthora palmivora. Identification and characterization of genetic diversity cacao germplasm were needed in constructing supe rior F1 hibrid. Diversity analyses of cacao germplasm need to be done for finding the clones that potentially as parental in the cacao hybridization programme for high yield and resistant to P. palmivora. Diversity of 29 clone cacao germplasm based on morphological characters was high. Results of the experiment indicated that all SSR primer pairs evaluated were able to produce kultivar SSR markers for 29 cacao clones. The total number of observed alleles among 29 clones were 132. Number of allele per locus ranged from 4 to 8, with an average of 5.5 alele per locus. Results of data analysis indicated the PIC value was 0.665, the observed heterozigosity (Ho) was 0.651, the gene diversity (He) was 0.720. The PIC, Ho, and He values were considered high. Genetic distances were evaluated using NTSys version 2.1 and de ndrogram was constructed. Based on those finding, all SSR primer pairs evaluated could be used to analyze cacao genome and be useful for genetic diversity analysis of cacao germplasm. The SSR marke r analysis in ICCRI cacao collections resulted in high PIC, high observed heterozygosity, and high genetic diversity. Genetic distance among the parents and genetic distance between the F1 hybrid individuals with the nature of resistance to black pod disease caused by infection with P. palmivora were evaluated. The genetic distance between the parents used to produce F1 hybrid strains of cocoa has a relatively high value, which ranges from 0.52 - 0.85. The farther the distance of genetic between the parents the higher genetic diversity of hybrid individuals is expected. SSR analysis results of ten individual crossed hybrids, suggest that individual genetic hybrid has a relatively high genetic diversity. Parents which have a further genetic distance were also produced hybrids with a relatively high diversity. To study the analog genes thought related to the nature of plant resistance to P. palmivora, a PCR strategy was used to clone resistance genes analogs (RGAs) and defense gene analogs (DGAs) using specific and non-specific primers. Of the eight cloned sequences, only three sequences were successfully isolated, they are one RGA sequence of Pto and two sequences of DGA of Cat1 and Cat2.
Key words: Genetic diversity, Theobroma cacao L., moleculer marker. iii
RINGKASAN SURTI KURNIASIH. Pemanfaatan Marka Molekuler untuk Mendukung Perkaitan Kultivar Unggul Kakao (Theobroma cacao L.). Dibimbing oleh SUDARSONO, ASEP SETIAWAN, dan AGUS PURWANTARA Kakao (Theobroma cacao L.) merupaka n salah satu tanaman perkebunan penting yang berasal dari wilayah Amerika Selatan. Biji tanaman ini merupakan bahan dasar untuk pembuatan coklat. Permintaan yang terus meningkat membuka peluang untuk terus meningkatkan produksi tanaman ini. Akan tetapi budi daya tanaman ini menemui berbagai kendala. Salah satu kendala yang cukup berarti ada lah seranga n pe nyakit busuk buah yang disebabka b oleh Phytophthora palmivora. Salah satu upaya peningkatan produksi kakao adalah dengan mengembangkan kultivar unggul kakao yang berdaya hasil tinggi dan resisten terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan oleh P. palmivora. Kultivar tersebut dapat diperoleh dengan cara pengembangan hibrida F1 yang berasal dari tetua do nor yang mempunyai sifat resisten da n tetua pe nerima yang mempunyai daya hasil tinggi. Keberhasilan penyilangan kakao ditentukan oleh pemilihan tetua yang tepat sehingga diperoleh hibrida yang sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu diperlukan informasi yang akurat tentang keragaman genetik plasma nutfah kakao yang aka n dipilih seba gai tetua. Analisis keragaman terhadap plasma nutfah kakao perlu dilakuka n untuk mencari klon-klon yang memiliki potensi sebagai tetua da lam upa ya perakitan klon-klon kakao yang berdaya hasil tinggi sekaligus tahan terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P. palmivora. Pada kegiatan pertama dilakukan analisis keragaman plasma nutfah kakao berdasarkan karakter morfologi dan marka SSR. Hasil analisis keragaman morfologi dengan menggunakan descriptor list terhadap 22 klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, menunjukkan terdapat keragaman yang cukup tinggi. Dua puluh empat lok us SSR yang digunaka n mampu mengamplifika si DNA genom 29 klon kakao dan menghasilkan pita polimorfik. Hasil analisis menunjukkan rataan jumlah alel per lokus sebanyak 5.50. Hasil analisis data yang dilakukan juga menunjukkan nilai PIC untuk marka SSR yang digunakan sebesar 0.665. Untuk populasi klon kakao yang dievaluasi, diperoleh nilai rataan heterosigos itas pengamatan (Ho) sebesar 0.651, dan rataan diversitas gen (He) sebesar 0.720. Nilai PIC, Ho dan He yang didapat tergolong tinggi. Pada penelitian sebelumnya telah dipilih lima tetua dengan ketahanan terhadap infeksi busuk buah dan daya hasil yang tinggi dan digunakan untuk memproduksi satu rangkaian populasi hibrida F1 dengan metode semi-dialel. Tetua terpilih yang digunakan dalam persilangan tersebut adalah klon kakao ICCRI 3, TSH 858, ICS 13, DR1 dan Sca 6. Untuk menguji apakah pilihan kelima tetua tersebut telah dilakukan dengan benar atau belum, DNA dari lima klon kakao yang digunakan untuk menghasilkan hibrida F1 telah diisolasi dan dianalisis menggunakan marker SSR pada lokus- lokus yang telah digunakan sebelumnya. Data yang dihasilkan selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan informasi tingkat kesamaan antar klon dan digunakan untuk mengelompokkan masing- masing klon dengan analisis klaster. Hasil analisis tingkat kesamaan genetik antar lima klon tetua yang digunakan dapat diketahui bahwa tingkat iv
kesamaan diantara lima klon kakao yang dijadikan sebagai tetua bervariasi antara 0.15 – 0.48. Hal ini berarti jarak genetik antar tetua yang digunakan untuk menghasilkan galur kakao hibrida F1 berkisar antara 0.52 – 0.85 yang nilainya relatif tinggi. Dari informasi jarak genetik antar tetua tersebut mengindikasikan bahwa populasi F1 yang dihasilkan akan mempunyai tingkat keragaman genetik yang tinggi. Keragaman genetik antar individu dalam populasi F1 yang dihasilkan diduga akan terlihat mempunyai nilai yag tinggi, terutama dari hasil kombinasi persilangan antara: klon kakao DR1 x Sca 6, ICS 13 x Sca 6, dan ICCRI 3 x Sca 6. Bagian ketiga dari penelitian dilakukan bertujuan untuk: (1) mengisolasi gen-gen analog yang diduga terkait dengan sifat resistensi kakao terhadap P. palmivora; (2) mengidentifikasi fragmen DNA gen-gen DGA/RGA pada tanaman kakao; (3) menentukan runutan fragmen DNA gen-gen DGA/RGA pada kakao. Selanjutnya dari hasil penelitian ini akan dikembangkan penanda molekuler spesifik untuk gen-gen DGA/RGA yang dapat digunakan untuk analisis keragaman kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia. Dari penelitian ini dapat diisolasi tiga fragmen DNA yang terdiri atas dua gen yang menyandi catalase dan satu Pto. Setelah dilakukan pensejajaran dengan sekuens dari berbagai tanaman menggunakan Blast P, ditemukan bahwa sekuens yang ditemukan pada kakao ini memiliki homologi yang cukup tinggi dengan berbagai tanaman lain, ba ik untuk Cat maupun Pto.
v
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
PEMANFAATAN MARKA MOLEKULER UNTUK MENDUKUNG PERAKITAN KULTIVAR UNGGUL KAKAO (Theobroma cacao L.)
SURTI KURNIASIH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 vii
Penguji Pada Ujian Tertutup: Dr. Dewi Sukma, SP, M.Si. Dr. Sintho W. Ardie, SP, M.Si.
Penguji Pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. GA Wattimena, M.Sc. Dr. Ir. Rubiyo, M.Si.
viii
Judul Penelitian
:
Pemanfaatan Marka Molekuler untuk Mendukung Perakitan Kultivar Unggul Kakao (Theobroma cacao L.) ,
Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: : :
Surti Kurniasih A161060041 Agronomi
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono MSc Ketua
Dr. Ir. Asep Setiawan MS Anggota I
Dr. Ir. Agus Purwantara Anggota II
Diketahui Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi MS
Dr. Ir. Dahrul Syah MScAgr
Tanggal ujian: 31
Tanggal Lulus
ix
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahuwata’ala atas segala rizki-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak Juli 2008 hingga Oktober 2011 berjudul: Pemanfaatan Marka Molekuler untuk Mendukung Perkaitan Kultivar unggul Kakao (Theobroma cacao L.) Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Sudarsono MSc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Asep Setiawan MS., dan Dr. Ir. Agus Purwantara selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan sejak persiapan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya disertasi ini. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Hugo Volkaert dari Central of Agricultural Biotechnology Kasetsart University Thailand, yang telah memberikan fasilitas serta bimbinga n selama penulis melakukan penelitian melalui program Sandwich. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pimpinan dan staf serta teknisi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, kepada staf dan teknisi pada Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman IPB, Kepada Kementerian Pertanian yang telah memberikan dukunga n biaya penelitian melalui program KKP3T. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Pakuan, Dekan serta seluruh rekan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, khususnya di Program Studi Pendidikan Biologi atas dukunga n moril maupun material, kepada rekan-reka n di Program Studi Agronomi dan Fitopatologi FAPERTA IPB, juga kepada rekan-rekan di Laboratorum Biologi Molekuler Tanaman yang telah bersahabat dan berdiskusi selama penulis studi di IPB. Ungkapan terima kasih yang mendalam kepada Ibunda Hj. Siti Nur’aeni, suami Drs. D. Hernadi, MPd., anak-anakku R. Dela Arundina, ST dan R. Rizka Arusima, serta seluruh keluarga yang telah memberikan do’a dan kasih sayangnya. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian dan penyusunan disertasi, penulis menyampaikan terima kasih, semoga Allah SWT membalas dengan sebaik-baik balasanNya.
Bogor, Januari 2012 Surti Kurniasih
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 31 agustus 1962 sebagai anak ke dua dari orang tua Mas Natawiria (alm.) dan Hj. Siti Nur’aeni. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Bandung lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1991 penulis melanjutkan studi Magister pada Program Studi Biologi, sub program studi Botani pada Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 1995. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Doktor pada Program Studi Agronomi IPB atas dukungan dana pemerintah melalui beasiswa BPPS dari Dikti- Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 1986 hingga sekarang penulis aktif sebagai staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan.
xi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………... …..
xiv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………… …..
xv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………. BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN Latar Belakang…………………………………… Pendekatan Masalah ……………………………. Tujuan Umum Penelitian ……………………….. Manfaat Penelitian ……………………………… Ruang Lingkup Penelitian ……………………….
xviii 1 4 5 5 6
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) ………… Penyakit busuk b uah pa da tanaman kakao (Theobroma cacao L.) ………………………….. Marka Molekuler ……………………………….. SSR (Simple Sequence Repeats) ..........................
12 14 15
ANALISIS KERAGAMAN PLASMA NUTFAH KAKAO (Theobroma cacao L) BERDASARKAN MARKA MORFOLOGIS DAN MARKA SSR Abstrak ………………………………………….. Abstract ………………………………………… Pendahuluan …………………………………….. Bahan dan Metode ……………………………… Hasil dan Pembahasan …………………………... Simpulan ………………………………………… Daftar Pustaka …………………………………..
17 18 18 21 27 40 40
HUBUNGAN ANTARA JARAK GENETIK TETUA DAN HIBRIDA F1 KAKAO DENGAN RESISTENSI TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl. Abstrak ………………………………………….. Abstract ………………………………………… Pendahuluan …………………………………….. Bahan dan Metode ……………………………… Hasil dan Pembahasan …………………………... Simpulan ………………………………………… Daftar Pustaka …………………………………..
43 44 44 46 50 63 63
xii
9
BAB V
ISOLASI DAN KARAKTERISASI GEN-GEN RESISTEN ANALOG PADA KAKAO (Theobroma cacao L.) Abstrak …………………………………………... Abstract …………………………………………. Pendahuluan ……………………………………... Bahan dan Metode ………………………………. Hasil dan Pembahasan …………………………… Simpulan …………………………………………. Daftar Pustaka ……………………………………
BAB VI
PEMBAHASAN UMUM
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………………………………………… Saran ……………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………..
LAMPIRAN……………………………………………………………..
xiii
65 66 66 69 72 83 84 87
93 94 97 101
DAFTAR TABEL Halaman 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Daftar nama klon, tipe dan kelompok kakao yang digunakan dalam penelitian.....................................................................................................
23
Microsatellite (SSR) yang digunakan untuk mengamplifikasi genomic DNA cacao dalam PCR..............................................................................
24
Contoh data hasil skoring untuk masing- masing individu pada elektroferogram Gambar 7. Hasil sko ring merepresentasika n genotip individu berdasarkan lokus SSR P1 dan lokus SSR P2................................................................................................................ .
33
Contoh data hasil skoring untuk masing- masing individu pada elektroferogram Gambar 8. Hasil skoring merepresentasikan genotip individu berdasarkan lokus SSR P3 dan lokus SSR P4................................................................................................................
33
Jumlah alel dan tingkat heterosigos itas lokus-lokus SSR pada 29 klon kakao...........................................................................................................
35
Tetua yang digunakan dalam persilangan hibrida kakao...........................................................................................................
47
7.
Microsatellite (SSR) yang digunakan untuk mengamplifikasi genomic DNA F1 cacao............................................................................................ 48
8.
Tingkat kesamaan 5 klon kakao terpilih yang digunakan untuk menghasilkan populasi F1...........................................................................
51
9.
Klon-klon kakao yang digunakan sebagai templat DNA untuk PCR.............................................................................................................
70
10. Primer spesifik dan non spesifik, suhu annealing dan ukuran produk PCR`untuk amplifikasi gen- gen RGA/DGA pada kakao............................
73
11. Hasil penelusuran tingkat kemiripan antara Pto- like kinase pada kakao dengan sejumlah aksesi tanaman dari Gen Bank menggunakan algoritma Blast P.........................................................................................................
76
12. Hasil penelusuran tingkat kemiripan antara Catalase pada kakao dengan sejumlah aksesi tanaman dari Gen Bank menggunakan algoritma Blast P.................................................................................................................. 77 13. Hasil desain primer spesifik gen Cat, NBS-LRR, dan Pto berdasarkan sekuen fragmen DNA kakao....................................................................... 83
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Bagan alir penelitian untuk mendapatkan klon-klon kakao yang berpotensi sebagai tetua untuk merakit bibit kakao yang berdaya hasil tinggi dan resisten terhadap Phytiphthora palmivora...................................................................................................
7
2.
Tanaman kakao dengan buahnya yang menempel pada batang (cauliflor) .................................................................................................. 11
3.
Keragaman bentuk daun kakao: (a) ujung runcing; (b) ujung meruncing; (c) pangkal runcing; (d) pangkal membulat ; (e) bentuk oblong........................................................................................................ 28
4.
Keragaman bentuk buah kakao: (a) warna merah bentuk oblong; (b) warna ungu oblong; (c) ungu bulat; (d) hijau muda elips; (e) hijau elips............................................................................................................ 28
5.
Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis.................................................................................................. 30
6.
Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis .................................................................................................................... 31
7.
Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis……………. 31
8.
Contoh elektroferogram hasil PCR menggunakan dua macam primer 32 spesific SSR (primer P1 dan P2) dengan 12 contoh DNA klon kakao…..
9.
Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR…………………………
38
10.. Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR ...................................
38
11.
Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR………………………
39
12.
Contoh Hasil PCR 10 Hibrida F1 dengan Primer MTcCIR 67 pada gel agrose........................................................................................................ 51
13.
Pengelompokkan lima klon tetua untuk menghasilkan populasi F1 berdasarkan marka molekuler SSR dan berdasarkan responnya terhadap infeksi Phytophtphora palmivora…..........................................................
14.
Contoh elektroferogram hasil PCR menggunsksn primer SSR mTcCIR
xv
52
267 (P1) dan mTcCIR 10 (P2) dengan 10 contoh DNA kakao F1...............................................................................................................
53
15.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon ICCRI-3 x TSH858 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi P. palmivora................................................ 54
16.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon ICCRI-3 x DR1 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi P. palmivora................................................................... 55
17.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon ICCRI-3 x ICS13 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi P. palmivora................................................................... 56
18.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon ICCRI-3 x SCa6 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi P. palmivora………………………………………………… 57
19.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon TSH-858 x DR1 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi P. palmivora................................................................... 58
20.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon TSH-858 x ICS-13 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya 59 terhadap infeksi P. palmivora................................................
21.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon TSH-858 x Sca-6 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi P. palmivora................................................................... 60
22.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon DR-1 x ICS13 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi P. palmivora................................................................... 61
23.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon DR-1 x Sca-6 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi P. palmivora................................................................... 62
24.
Pengelompokkan aksesi hasil persilangan F1 antara klon ICS-13 x Sca6 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi P. palmivora................................................................... 62
25.
Hasil amplifikasi genom kakao ICCRI3 dengan 6 pasang primer yang digunakan…………………………………………………………………….. 73
xvi
26.
Runutan basa dan prediksi runutan asam amino dari DNA genom kakao......................................................................................................... 75
27.
Pensejajaran sekuen asam amino yang diturunkan dari frafmen DNA Pto kakao hasil amplifikasi primer PTO...........................................................
78
Zpensejajaran sekuen asam amino yang diturunkan dari fragmen DNA Catalase kakao hasil amplifikasi primer CAT.............................................
80
28. 29.
Dendogram filogenetik sekuens asam amino Pto like kinase dari kakao (PTO230705) de ngan Pto dari tanaman Oryza sativa (AAF43394.1), Arabidopsis thaliana (CAB62020.1),Capsicum chinense (AAQ82660.1), Rosa roxburghii (AAT28296.1), Triticum aestivum (AAL51075.1), Prunus avium, Fragaria x ananassa (ABV30740.1), Corylus avellana (ACA05214.1), Ricinus communis (ACN87619.1), Cucumis x hytivus (XP002528705.1), Nicotiana repanda (ACX80234.1), Potentilla tucumanensis (ACO25571.1) dengan 80 menggunakan Clustal W.....................
30.
Dendogram filogenetik sekuens asam amino catalase 1 dan 2 dari kakao (CA 229529 dan 229533) dengan catalase dari tanaman Ziziphus jujube (AET97564.1), Gossypium hirsutum (ACJ11733.1), Pisum sativum (BAH37035.1), Prunus persica (CAD42909.1), Arabidopsis thaliana (AAK96854.1), Brassica juncea (AAD17933.1), Nicotiana tabacum (AAB71764.1), Zea mays (CAA42720.1), Jatropha curcas (ACJ22771.1), da n Vitis vinifera (AAL83720.1) 81 ....................................................................
31.
Hasil amplifikasi DNA F1 kakao dengan primer spesifik TcCAT1 pada gel agaros…………………………………………………………………………. 83
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Daftar Istilah ……………………………………………………… 101 2. Katalog karakter pohon dan daun 22 klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia ………………………………… 103 3. Katalog karakter pohon dan bunga dan biji 22 klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia………………………… 104 4. Katalog karakter pohon dan buah 22 klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia ………………………………… 105 5. Contoh hasil amplifikasi DNA kakao pada gel agaros …………… 106
xviii
1
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang telah lama dikembangkan baik oleh masyarakat maupun lahan perkebunan yang dikelola oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini berbagai produk pangan yang berbahan biji kakao sangat digemari oleh berbagai kalangan masyarakat. Oleh karena itu permintaan pasar akan tanaman ini terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor ke berbagai negara yang merupakan prod usen makanan berbahan dasar kakao. Permintaan biji kakao terus meningkat, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Berbagai negara tersebut dikenal sebagai produsen makanan yang menggunakan kakao sebagai bahan dasar utamanya. Indo nesia sebagai salah satu negara produsen perlu memanfaatkan peluang tersebut untuk meningkatkan devisa negara dengan meningkatkan ekspor biji kakao (coklat). Hal ini menyebabkan terbukanya peluang untuk pengembangan budi daya tanaman ini secara lebih baik, apalagi mengingat Indonesia sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia (Drenth dan Sendall 2004).
Di Indo nesia
dibudidayakan dua tipe kakao, yaitu kakao lindak (bulk cocoa) dan kakao mulia (fine flavour cocoa) yang mempunyai harga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kakao lindak. Seiring dengan peningkatan permintaan pasar terhadap biji kakao, maka upaya pengembangan budi daya kakao terus dilaksanakan untuk dapat memenuhi tuntutan pasar. Hingga kini lebih dari seratus klon kakao telah dikemba ngkan di berbagai sentra produksi kakao di Indonesia, baik melalui perkebunan rakyat maupun yang dike lola oleh pe merintah da n swasta. Namun demikian upaya pengembangannya masih menemui berbagai kendala, antara lain serangan hama dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas serta kuantitas produksi biji kakao. Berbagai penyakit yang disebabkan oleh patogen dapat ditemukan pada tanaman kakao, salah satunya adalah penyakit busuk buah
(black pod) yang disebabk an
2
oleh Phytophthora palmivora. Penyakit busuk buah ini menyebabkan kerugian yang bervariasi antara daerah satu de ngan yang lainnya ba hka n antar negara. Secara umum, kerugian antara 20-30% pertahun terjadi akibat penyakit busuk buah pada pertanaman kakao di lapangan (Wood dan Lass 1985). Untuk mengatasi masalah tersebut maka berbagai upaya terus dilakukan untuk mendapatkan bibit yang unggul dan bermutu. Salah satu upaya yang telah dilakuka n Pusat Penelitian Kop i dan Kakao Indo nesia ada lah de ngan melakukan persilangan antara klon-klon kakao yang resisten terhadap penyakit sebagai tetua donor dengan kon-klon yang berdaya hasil tinggi sebagai tetua penerima. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh klon-klon baru yang memiliki perpadua n karakter tersebut. Keberhasilan penyilangan kakao ditentukan oleh pemilihan tetua yang tepat sehingga diperoleh hibrida yang sesuai dengan yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan informasi yang akurat tentang keragaman genetik p lasma nutfah kakao yang akan dipilih sebagai tetua. Pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas kakao unggul yang tahan terhadap P. palmivora sangat penting untuk dilakukan dan perlu mendapatkan perhatian khusus jika Indonesia tetap ingin menjadi produsen besar komoditas ekspor ini. Tersedianya varietas kakao yang resisten terhadap infeksi P. palmivora membantu meringankan biaya produksi berupa pembelian fungisida yang harus ditanggung petani produsen, sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan. Jika telah dikembangkan, kultivar unggul kakao yang resisten terhadap infeksi P. palmivora dapat menjadi metode terbaik yang tersedia bagi petani produsen kakao di Indonesia untuk mengatasi masalah penyakit busuk buah kakao di lapangan. Di Indo nesia,
arah pe muliaan tanaman kakao
mengembangkan kultivar
ditujukan unt uk
unggul dengan sifat-sifat seba gai berikut : (i)
mempunyai potensi daya hasil yang tinggi, (ii) kualitas biji yang bermutu tinggi, dan (iii) tahan terhadap hama (seperti: penggerek buah kakao PBK da n penyakit utama (seperti busuk buah kakao P. palmivora dan vascular streak dieback (Iswanto & Winarno 1992). Program pemuliaan untuk memperoleh kultivar kakao yang resisten terhadap P. palmivora merupakan tujuan kegiatan yang dilakukan di berbagai negara produsen kakao (van der Vossen 1997).
3
Salah satu upa ya yang telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao untuk mendapatkan kultivar kakao unggul adalah dengan menggunakan benih hibrida F1. Untuk menghasilkan hibrida F1 unggul yang berproduksi tinggi dan resisten terhadap penyakit busuk buah kakao akibat infeksi P. palmivora perlu digunakan tetua donor yang mempunyai sifat resisten dan tetua penerima yang mempunyai daya hasil tinggi.
Untuk mendapatkan tetua tersebut diperlukan
identifikasi dan analisis keragaman plasma nutfah kakao dari berbagai sentra produksi kakao di Indonesia. Analisis keragaman genetik tanaman dapat dilakukan secara morfologi dengan pengamatan langsung terhadap fenotipe maupun dengan menggunakan marka molekuler. Penggunaan marka molekuler memiliki beberapa keuntungan dalam membantu pemuliaan, karena dapat digunakan untuk (1) analisis pautan dan pemetaan genetik, (2) identifikasi genotipe, (3) menduga keragaman genetik dan kekerabatan inter dan antar spesies atau varietas dan juga dapat membantu menjelaskan filogenetiknya (Weising et al. 1995). Berbagai studi keragaman genetik tanaman kakao telah banyak dilakukan baik secara morfologi maupun pada tingkat molekuler. Berbagai jenis marka molekuler telah digunakan untuk kerakterisasi dan analisis keragaman, serta pemetaan genetik kakao
(Lanaud et al. 1999). Pengembangan marka seleksi
untuk program pemuliaan tanaman kakao telah mulai dilakukan oleh Schnell et al. (2007), sementara keragaman genetik kakao dengan menggunakan marka SSR telah dilakukan oleh Zang et al.(2006). Selain itu, beberapa penelitian untuk mempelajari gen- gen ke tahanan kakao terhadap P. palmivora juga telah dilakukan oleh Clement et al. (2003) dan Lanaud et al. (2004). Dengan menggunakan marka molekuler, diversitas genetik plasma nutfah kakao sebagai calon tetua yang akan digunakan dalam program pemuliaan tanaman
akan dapat
ditentukan.
Untuk
meningkatkan kemungkinan
didapatkannya kultivar unggul baru, perlu dilakukan persilangan antar dua tetua yang mempunyai jarak genetik yang tinggi. Identitas tetua dengan jarak ge netik yang tinggi dapat diketahui dengan menggunakan marka molekuler, sehingga metode ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi program pemuliaan yang akan dilakuka n.
4
Pendekatan Masalah Penyakit busuk buah pada kakao yang disebabkan cendawan P. palmivora merupaka n masalah yang sulit untuk dike nda lika n. Oleh karena itu cara ya ng paling efektif untuk mengatasi penyakit ini adalah dengan mengembangkan kultivar kakao yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit busuk buah. Berdasarkan hal tersebut maka upaya pemuliaan tanaman kakao terutama diarahkan untuk mendapatkan kultivar unggul yang berdaya hasil tinggi dan mempunyai sifat resisten terhadap hama dan penyakit terutama penyakit busuk buah yang disebabka n P. palmivora. Namun demikian, kemajuan yang didapat untuk mencapai tujuan tersebut masih terbatas.
Hal ini disebabkan beberapa
permasalahan yang ditemukan, antara lain: (1) Rendahnya keanekaragaman plasma nutfah kakao; (2) Belum dibakukannya metode penapisan (screening) da n metode seleksi (selection) yang efisien; (3) Tidak dilakukannya strategi pemuliaan secara efektif.; (4) Belum tersedianya informasi dasar tentang keragaman genetik dan mekanisme dari sifat resisten terhadap P. palmivora yang ada pada plasma nutfah kakao. Studi tentang keragaman genetik kakao koleksi internasional telah dilakukan (Zang et al. 2009), akan tetapi hingga saat ini belum ada informasi mengenai ke ragaman genetik p lasma nut fah kakao ko leksi Indo nesia. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu plasma nutfah kakao.
tersedia data yang terkait dengan informasi genetik Untuk mendapatkan informasi genetik
maka perlu
dilakukan analisis keragaman genetik tanaman kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, sehingga pemulian tanaman kakao akan lebih terarah. Puslit Kopi dan Kakao Indonesia mengoleksi hampir semua klon kakao yang terdapat di berbagai sentra produksi kakao di Indonesia, sehingga informasi keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao ini dapat merepresentasikan keragaman plasma nutfah kakao Indonesia. Di samping itu telah dikembangkan pula hibrida F1 kakao yang merupakan hasil silangan tetua terpilih. Untuk itu maka perlu dilakukan analisis keragaman genetik hibrida F1 yang dihubungkan dengan tingkat resistensi kakao terhadap infeksi P. palmivora. Dengan demikian akan diperoleh informasi yang
5
akurat mengenai keterkaitan antara tingkat heterosigositas hibrida F1 dengan resistensinya terhadap P. palmivora. Terkait dengan sifat resistensinya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P. palmivora, maka diperlukan informasi mengenai gen-gen ya ng diduga terkait dengan sifat ketahanan kakao terhadap P.palmivora
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari penggunaan marka molekuler untuk studi ke ragaman genetik kakao. Tujuan tersebut dapa t diuraikan sebagai berikut: 1. Menganalisis keragaman plasma nutfah kakao berdasarkan karakter morfologis dan marker molekuler SSR 2. Menganalisis keragaman
hibrida F1
kakao
hasil silangan tetua
menggunakan marker molekuler SSR 3. Mengana lisis hubungan antara jarak genetik tetua dan bibit hibrida F1 hasil persilangan antar tetua terpilih dengan respon terhadap infeksi P palmivora 4. Isolasi dan karakterisasi fragmen DNA yang diduga terkait dengan sifat resistensi kakao terhadap P. palmivora 5. Menganalisis keragaman hibrida F1 berdasarkan marka RGA yang terkait dengan sifat ketahanan terhadap P. palmivora.
Manfaat Penelitian Penelitian mengenai keragaman plasma nutfah maupun hibrida kakao ini diharapkan dapat memberikan informasi awal tentang identitas genetik klon-klon kakao yang dapat digunakan sebagai calon tetua. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai berikut: 1. Diperoleh katalog marka mor fologis untuk
membedakan plasma nutfah
kakao. 2. Diperoleh daftar primer yang dapat digunakan untuk analisis marka SSR da n mampu menghasilkan marka molekuler yang polimorfik.
6
3. Hasil analisis keragaman genetik yang diperoleh dari berba gai plasma nutfah kakao, dapat memudahkan para pemulia tanaman kakao untuk menentukan calon tetua yang digunakan da lam persilangan. 4. Persilangan dari tetua yang telah diketahui karakteristiknya diharapkan akan menghasilkan hibrida F1 yang memiliki karakter unggul. 5. Dengan banyaknya hibrida F1 yang dihasilkan, maka akan menambah keragaman klon kakao, sehingga diperoleh bibit yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap P. palmivora.
Ruang Lingk up Penelitian Tujuan akhir da ri pe nelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai klon-klon kakao
yang dapat dijadikan tetua dalam persilangan untuk
mendapatkan bibit unggul, yaitu kakao yang berdaya hasil tinggi sekaligus tahan terhadap pe nyakit busuk buah yang disebabka n oleh P. palmivora. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan serangkaian penelitian yang meliputi: I.
Analisis keragaman plasma nutfah kakao (Theobroma cacao L.) berdasarkan karakter morfologis dan marka molekuler SSR
II.
Hubungan antara heterosigositas hibrida F1 kakao (Theobroma cacao L.) Dengan tingkat resistensinya terhadap Phytophthora palmivora.
III.
Isolasi dan karakterisasi fragmen DNA yang diduga terkait dengan sifat resistensi kakao terhadap Phytophthora palmivora
7
Gambar 1. Bagan alir penelitian untuk mendapatkan klon-klon kakao yang berpotensi sebagai tetua untuk merakit bibit kakao yang berdaya hasil tinggi dan resisten terhadap Phytophthora palmivora
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) Asal Tanaman Kakao Kakao merupakan tanaman perkebunan penghasil biji coklat yang berasal dari hutan-hutan tropis Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan. Secara umum tanaman kakao dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu Forastero, Criollo, dan Trinitario yang merupakan hasil persilangan antara Forastero dengan Criollo (Moramayor 2008). Sebagian besar klon-klon kakao yang dikembangkan sekarang merupakan pengembangan dari tipe Forastero. Tanaman ini mulai masuk dan diperkenalkan ke Indonesia oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Manado, dan beberapa tempat di Sulawesi. Di Jawa kakao mulai ditanam pada tahun 1880 di perkebunan Djati Runggo, sehingga kemudian dikenal dengan klom DR yang merupakan kakao mulia, dan hingga kini masih tetap ditanam (Prawoto 2008). Selanjutnya dihasilkan klon-klon lain seiring dengan berkembangnya perkebunan kakao di berbagai wilayah di Indonesia, baik klon-klon yang tergolong mulia maupun lindak. Saat ini lahan pe nanaman kakao di Indonsia menempati peringkat ke tiga setelah Pantai Gading da n Ghana.
Botani Tanaman Kakao Kakao (Theobroma cacao L.) merupaka n tanaman be rbe ntuk po hon, bercabang dengan tinggi berkisar antara 6 – 7.5 m.
Daun tunggal bentuk
memanjang (oblongus), dengan tulang daun menyirip. Bunga tunggal dengan tangkai panjang yang menempel pada batang (cauliflor), berwarna putih.
Buah
kakao mempunyai panjang 20-27 cm dengan diameter 5–10 cm dengan warna yang bervariasi sesuai varietasnya (Gambar 2). Dalam klasifikasi tanaman kakao termasuk ke dalam divisi Spermatophyta/Magnoliophyta; Classis Magnoliopsida/ Dicotyledoneae; Ordo Malvales; dan Family Sterculiaceae (Concruist, 1984). Tanaman kakao dimanfaatkan bijinya, meskipun buahnya juga dapat dimakan. Biji kakao mengandung alkaloid Theobromin yang merupakan stimulan ringan.
Biji kakao merupakan
bahan dasar pembuatan coklat yang
10
diperoleh dengan memanggang dan menggilingnya menjadi bubuk coklat, dan diolah menjadi berbagai jenis makanan maupun minuman yang banyak digemari. Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di Asia Tenggara, dan sentra produksinya tersebar di berbagai wilayah.
Kakao merupakan tanaman
yang cocok ditanam di daerah tropis dengan suhu optimal 27 o C dan kelembaban yang cukup tinggi yaitu antara 80 – 90%.
Akan tetapi iklim tersebut juga
mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan patogen P. palmivora (Wood dan Lass, 1989).
Gambar 2. Tanaman kakao dengan buahnya yang menempel pada batang (cauliflor). Tanaman kakao dapat hidup di daerah yang mempunyai kelembaban dan curah hujan rendah, tetapi peka terhadap perubahan suhu dan kelembaban, sehingga tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah yang memiliki iklim tetap. Selain itu, pohon kakao juga tidak tahan terhadap angin kencang, karena percabangannya kurang kuat sehingga mudah patah. Angin yang kencang akan mudah merusak pertanaman kakao, mematahkan batang dan merusak buahnya. Untuk menghindari hal ini, biasanya pertanaman kakao dilindungi oleh tanaman pelindung sehingga dapat terhindar dari kerusakan. Di antara tiga jenis kakao, Criolo merupakan jenis kakao tertua yang mulai ditanam oleh suku Maya sekitar 3000 tahun yang lalu di Amerika Tengah. Kakao jenis ini menghasilkan bubuk coklat dengan kualitas terbaik, tetapi tidak tahan terhadap berbagai penyakit (Argout et al. 2010). Kakao jenis criolo mempunyai
11
buah berwarna merah atau kuning, dengan kulit yang tebal dan berujung runcing. Kakao jenis ini memiliki biji berbentuk bulat, warna kotiledon putih berkualitas tinggi tetapi kurang tahan terhadap penyakit (Prawoto 2008). Jenis Forastero berasal dari wilayah Amazon, yang kemudian tersebar luas ke berbagai belahan dunia termasuk Afrika. Saat ini penghasil biji kakao terbesar adalah Pantai Gading dan Ghana, dimana Forastero telah dikembangkan sejak awal. Berdasarkan hal tersebut, dan karena ketahanannya terhadap penyakit, sepuluh produsen kakao terbesar dunia terutama mengembangkan jenis ini. Sebagian besar coklat yang diproduksi di seluruh dunia, dibuat dari biji Forastero. Buah kakao jenis ini mempunyai lekukan kulit yang lebih dalam dengan permukaan yang halus,
bentuknya agak bulat menyerupai bulbus. Daging
buahnya lebih keras dari pada jenis Criolo, sehingga lebih sulit dibuka. Warna buah bervariasi dari kuning, merah, orange maupun ungu, seda ngkan bijinya berwarna ungu tua hampir sama dengan Criolo. Karena karakter agonomisnya yang lemah dan tidak tahan terhadap penyakit, maka kemudian jenis Criolo disilangkan dengan Forastero yang menghasilkan produksi tinggi dan tahan penyakit, yang kemudian dikenal dengan Trinitario. Jenis kakao
inilah yang kemudian hingga sekarang banyak
dikembangkan di berbagai pertanaman kakao dunia (Argout 2010). Sifat morfologi dan fisiologi keturunannya amat beragam demikian juga daya hasil dan mutu bijinya. Beberapa klon dari kelompok ini disebut sebagai kakao mulia apabila keping biji segarnya berwarna putih atau sebagai kakao lindak apabila keping biji segarnya berwarna ungu. Klon-klon DR1, DR2, dan DR38 merupakan contoh kelompok Trinitario yang termasuk kakao mulia (Prawoto 2008).
Penyak it busuk buah pada tanaman kakao ( Theobroma cacao L.) Phytophthora bersifat patogenik pada semua bagian tanaman kakao, mulai dari kecambah sampai tanaman dewasa, menyebabkan sejumlah penyakit. Hingga kini ada delapan species Phytophthora yang telah diisolasi dari tanaman kakao yaitu: P. palmivora, P. megakarya, P. capsici, P. tropicalis, P. katsurae, P. arecae, P. nicotianae, da n P. megasperma (App iah et al. 2003).
12
Diantara berbagai penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora, yang paling sering ditemukan adalah penyakit busuk buah (Phytophthora Pod Rot/PPR).
Gejala pertama ditunjukkan dengan adanya bercak warna coklat
kehitaman pada buah kakao yang dimulai pada sisi buah tempat masuknya patogen pertama kali.
Perkembangan gejala sangat cepat bahkan menutupi
seluruh pe rmukaan buah. Drenth dan Guest (2001) mengidentifikasi berapa faktor yang menyebabkan organisme ini cukup efektif sebagai patogen, yaitu: 1) kemampuannya menghasilkan berbagai jenis spora seperti sporangia dan zoospora untuk daya tahan dan penyebaran jangka pendek dan klamidospora dan oospora untuk jangka panjang; 2) kecepatan sporulasi pada jaringan tanaman inang yaitu pada 3-5 hari setelah infeksi; 3) kemampuan zoospora Phytophthora untuk menembus ujung akar melalui rangsangan kimia (kemotaksis pos itif); 4) kemampuan bertahan hidup di dalam maupun di luar tubuh inang sebagai oospora atau klamidospora
dalam waktu yang lama; 5) produksi sporangia, yang dapat
disebarkan melalui udara ataupun dibawa air hujan, aliran irigasi maupun angin menuju ke pertanaman tetangga.
Sporangia ini dapat langsung menginfeksi
jaringan inang. Pada kondisi lembab dan dingin, sporangia yang sama dapat berkecambah menjadi 4 -32 zoospora yang berbeda dan menyebabkan multiple infeksi, tetapi penyebarannya terbatas; 6) Phytophthora memiliki lintasan biokimia yang berbeda dari fungi lainnya, sehingga beberapa fungisida kurang efektif terhadap patogen ini; 7) Phytophthora berkembang pada kondisi basah dan lembab, sehingga sulit dikendalikan, dan sulit mengaplikasikan fungisida pada kondisi ini. Pada perkebunan kakao dengan kelembaban tinggi ≥ 90%, miselium dan spora dapat terlihat yang dibentuk pada permukaan buah yang terserang (Drenth dan Guest 2004). Penyakit busuk buah dapat menyerang kakao pada berbagai bagian dan umur tanaman, tetapi kerugian paling besar terjadi jika penyakit ini menyerang buah, terutama pada umur dua bulan menuju pematangan.
Pada saat ini P.
palmivora dapat dengan mudah menembus dari daging buah ke kulit biji. Penyakit ini sulit dikendalikan, karena miselium banyak terdapat pada jaringan yang terinfeksi, dan spora Phytophthora dapat bertahan hidup pada jaringan buah selama lebih dari tiga bulan.
13
Pada pertumbuhan awal, serangan pada daun adalah yang paling berbahaya, karena jaringan daun yang masih muda dapat mudah terinfeksi P. palmivora. Biasanya pertulangan daun muda dan sekelilingnya yang terinfeksi membentuk bercak nekrotik.
Nekrotik pada daun berkembang dengan cepat
seiring dengan bertambahnya umur daun (Erwin dan Ribiero 1996). Serangan penyakit ini tentu mengakibatkan turunnya produksi kakao.
Marka Molekuler Analisis keragaman genetik tanaman dapat dilakukan secara morfologi dengan pengamatan langsung terhadap fenotipe maupun dengan menggunakan marka
molekuler.
Karakter
morfologi
telah
lama
digunakan
untuk
mengidentifikasi varietas, spesies, genus, maupun famili dari suatu jenis tanaman. Akan tetapi pengamatan langsung terhadap karakter morfologi memiliki kelemahan karena seringkali dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Marka
molekuler memiliki kelebihan dibandingkan dengan marka fenotipe, dapat meningkatkan efisiensi seleksi dalam pemuliaan tanaman dengan cara seleksi secara tidak langsung terhadap karakter yang diharapkan, tetapi terhadap marka molekuler yang terpaut dengan kareakter tersebut. Selain itu, marka molekuler tidak diregulasi lingkungan sehingga tidak dipengaruhi oleh kondisi dimana tanaman tersebut berada, juga marka tersebut dapat terdeteksi pada semua tahap perkembangan tanaman (Mohan et al. 1997). Marka molekuler pada tingkat DNA memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan morfologi atau alozim, antara lain: (1) karena genotipe suatu organisme diuji secara langsung, sehingga pengaruh lingkungan dan perkembangan terhadap fenotipe tidak menjadi masalah; (2) karena bagian yang berbeda dari DNA berevolusi dengan kecepatan yang berbeda, sehingga bagian yang cocok dapat digunakan untuk studi tertentu, misalnya bagian yang variabilitasnya tinggi untuk identifikasi kultivar atau yang variabilitasnya rendah untuk studi filogenetik; (3) karena jumlah polimorfisme yang ada tidak terbatas; dan (4) berbagai macam teknik telah dikembangkan yang masing- masing dapat menyediaka n marka ya ng sesuai de ngan tujuan tertentu (Weising et al. 1995). Keuntungan lain dari marka DNA adalah dapat mencerminkan perubahan pada
14
tingkat DNA sehingga menunjukkan jarak genetik yang sesungguhnya antara individu secara lebih akurat dari pada dengan marka fenotipe. Seiring dengan berkembangnya teknologi di bidang molekuler, berbagai teknik
telah dikembangkan,
antara
lain
Restriction
Fragment
Length
Polymorphism (RFLP), Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), dan Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP), dan Simple Sequence
Repeats (SSR). RFLP merupakan salah satu jenis analisis molekuler yang didasarkan pada pemotongan situs DNA dengan menggunakan enzim restriksi, menghasilkan frgmen- fragmen DNA dengan berba gai ukuran.
Perbedaan ukuran fragmen
tersebut disebabkan adanya perbedaan jumlah dan distribusi situs restriksi yang terdapat pada DNA sehingga mempengaruhi aktivitas enzim tersebut. Hal ini menyebabkan teknik RFLP dapat digunakan sebagai penduga variasi sekuen DNA, sehingga dapat digunakan untuk menduga hubungan kekerabatan dari beberapa individu atau untuk analisis keragaman ge netik (Mumm da n Dudley, 1994).
Akan tetapi analisis dengan RFLP membutuhkan DNA dalam jumlah
banyak dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi, juga sering menggunakan radio isotop sehingga teknik ini menjadi tidak efisien. RAPD merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan penelitian pada tingkat molekuler.
Analisis RAPD mempunyai
beberapa kelebihan dibanding dengan RFLP antara lain lebih murah, regenerasi lebih cepat, membutuhkan DNA lebih sedikit, tidak menggunakan radio isotop, dan tahapannya tidak terlalu rumit (Demeke dan Adams 1994). Teknik AFLP merupakan kombinasi RAPD dan RFLP yang dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik melalui penggandaan fragmen DNA yang dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi dengan menggunakan primer spesifik (Maughan et al. 1996).
SSR (Simple Sequence Repeats) SSR (Simple Sequence Repeats) yang dikenal juga sebagai mikrosatelit adalah lokus spesifik, kodominan, merupakan marka molekuler yang didasarkan pada sekuens DNA repetitif. SSR tersusun atas dua sampai enam DNA seperti
15
(AT)n, (AGC) n , atau (GACA) n yang tersebar pada genom mahluk hidup eukariotik. Variasi alel pada lokus mikrosatelit dengan mudah dapat diperoleh dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik. Mikrosatelit telah digunakan secara luas pada berbagai jenis tanaman karena tingkat polimorfisme yang tinggi, lokus yang spesifik, mudah diperbanyak, hanya membutuhkan sedikit DNA, dan yang terpenting adalah sifatnya yang kodominan (Pugh 2004). Pemanfaatan marka SSR untuk mengidentifikasi keragaman genetik telah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman baik tanaman monokotil maupun dikotil. Freeman et al. (2004) menggunakan marka SSR untuk
menentukan
keragaman pada tanaman teh, Priolli et al. (2002) pada kedelai; Kacar et al (2005) pada chery; Solodenko et al. (2005) pada helianthus, serta masih banyak komoditas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, marka SSR sangat potensial untuk dikembangkan sebagai marka molekuler terutama untuk keperluan identifikasi dan studi keragaman genetik.
17
BAB III
ANALISIS KERAGAMAN PLASMA NUTFAH KAKAO (Theobroma cacao L.) BERDASARKAN MARKA MORFOLOGIS DAN MARKA SSR Abstrak Analisis keragaman terhadap plasma nutfah kakao perlu dilakukan untuk mencari klon-klon yang memiliki potensi sebagai tetua dalam upaya perakitan klon- kakao yang berdaya hasil tinggi sekaligus tahan terhadap penyakit busuk buah yang disebabka n Phytophthora palmivora. Penelitian ini be rtujuan unt uk: 1) menganalisis keragaman plasma nutfah kakao berdasarkan karakter morfologis; 2) karakterisasi kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia menggunakan marka SSR; 3) menganalisis keragaman genetik klon-klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia dengan menggunakan marka SSR. Dalam penelitian ini, karakter morfologi dianalisis menggunakan descriptor list yang telah dikembangkan untuk kakao. Marka SSR yang digunakan untuk amplifikasi DNA genomik dari 29 klon kakao terdiri atas 39 pasangan primer SSR. Skoring pita SSR hasil amplifikasi menggunakan masing- masing pasangan primer dilakukan secara terpisah dan digunakan untuk menentukan jarak genetik diantara klon kakao yang dievaluasi. Hasil analisis karakter morfologi menunjukkan bahwa klon-klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia memiliki keragaman yang tinggi. Semua pasangan primer SSR yang digunakan mampu mengamplifikasi DNA 29 klon kakao yang diuji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24 dari 39 lokus SSR yang dianalisis bersifat polimorfik dan dapat diskoring, sedangkan lima primer yang lain bersifat monomorfik. Jumlah total alel yang berhasil diamplifikasi dari 29 klon kakao yang dievaluasi, sebanyak 132 alel, dengan kisaran antara 4 – 8 alel/locus. Rataan jumlah alel per lokus sebanyak 5.50. Hasil analisis data yang dilakukan juga menunjukkan nilai PIC untuk marka SSR yang digunakan sebesar 0.665. Untuk populasi klon kakao yang dievaluasi, diperoleh nilai rataan heterosigositas pengamatan (Ho) sebesar 0.651, dan rataan diversitas gen (He) sebesar 0.720. Nilai PIC, Ho dan He yang didapat tergolong tinggi.
Kata kunci : Theobroma cacao L, mikrosatelit, marka molekuler, keragaman genetik, heterosigositas
18
DIVERSITY ANALYSES OF CACAO (Theobroma cacao L) GERMPLASM BASED ON MOFOLOGY AND SSR MARKER Abstrac t Diversity analyses of cacao germplasm need to be done for finding the clones that potentially as parental in the cacao hybridization programe for high yield and resistant to Phytophthora palmivora. The objectives of this research were to 1) analyses diversity of cacao germplasm based on morfological characters ; 2) characterisation of ICCRI collection based on SSR marker; 3) analyses diversity of ICCRI cacao germplasm based on SSR marker. In this research, descriptor list was used to characterize morphology. 39 SSR primer pairs were used to amplify genomic DNA of 29 cacao clones. Amplified SSR fragments for each primer pairs were scored as individual band and used to determine genetic distance among evaluated cacao clones. Results of the experiment indicated that all SSR primer pairs evaluated were able to produce SSR markers for 29 cacao clones. The results also indicated that 34 out of 39 microsatellite loci evaluated were polymorphic, while 5 others were monomorphic. The total number of observed alleles among 29 clones were 132. Number of alele per locus ranged from 4 – 8, with an average of 5.5 alele per locus. Results of data analysis indicated the PIC value was 0.665, the observed heterozigosity (Ho) was 0.651, the gene diversity (He) was 0.720. The PIC, Ho, and He values were considered high. Genetic distances were evaluated using NTSys version 2.1 and dendrogram was constructed. Based on those finding, all SSR primer pairs evaluated could be used to analyze cacao genome and be useful for genetic diversity analysis of cacao germplasm. The SSR marker analysis in ICCRI cacao collections resulted in high PIC, high observed heterozygosity, and high genetic diversity.
Pendahuluan Kakao merupakan tanaman perkebunan penghasil biji coklat yang berasal dari hutan-hutan tropis Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan. Secara umum tanaman kakao dikelompokka n menjadi tiga jenis yaitu Forastero, Criollo, dan Trinitario yang merupaka n hasil pe rsilangan antara Forastero dengan Criollo (Motamayor et al. 2003). Sebagian besar klon-klon kakao yang dikembangkan sekarang merupakan pengembangan dari tipe Forastero (Hunter 1990). Tanaman ini mulai masuk dan diperkenalkan ke Indonesia oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Manado, dan beberapa tempat di Sulawesi. Di Jawa kakao mulai ditanam pada tahun 1880 di perkebunan Djati Runggo, sehingga
19
kemudian dikenal dengan klon DR yang merupaka n kakao mulia, dan hingga kini masih tetap ditanam (Prawoto 2008). Selanjutnya dihasilkan klon-klon lain seiring dengan berkembangnya perkebunan kakao di berbagai wilayah di Indonesia, baik klon-klon yang tergolong mulia maupun lindak. Saat ini lahan penanaman kakao di Indonsia menempati peringkat ke tiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Kakao dapat dikembangkan menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia yang amat potensial. Peningkatan produksi kakao di Indonesia dapat dilakukan melalui program
intensifikasi maupun ekstensifikasi penanaman kakao.
Pelaksanaan program ini memerlukan tersedianya bibit dan benih kakao yang unggul dan bermutu, sehingga diperlukan pengembangan kultivar kakao yang unggul. Berba gai upa ya terus dilakuka n untuk mendapa tka n bibit yang unggul dan bermutu, diantaranya ada lah dengan melakukan persilangan antara klon-klon kakao yang resisten terhadap penyakit sebagai tetua donor dengan kon-klon yang berdaya hasil tinggi sebagai tetua resipien. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh klon-klon baru
yang memiliki perpaduan karakter tersebut.
Keberhasilan penyilangan kakao sangat dipengaruhi oleh pemilihan tetua yang tepat sehingga diperoleh hibrida yang sesuai dengan yang diharapkan. untuk itu diperlukan informasi yang akurat tentang keragaman genetik p lasma nutfah kakao yang aka n dipilih sebagai tetua. Keragaman genetik tanaman dapat dianalisis secara morfologi dengan cara pengamatan langsung terhadap fenotipe maupun dengan menggunakan marka molekuler.
Pengamatan seperti ini lebih muda hdan efisien, tetapi karakter
morfologi sangat dipengaruhi lingkungan sehingga sering berubah. Penggunaan marka molekuler memiliki beberapa keuntungan dalam membantu pemuliaan, karena dapat digunakan untuk
(1) analisis pautan dan pemetaan genetik, (2)
identifikasi genotype, (3) menduga keragaman genetik dan kekerabatan inter dan antar species atau varietas dan juga dapat membantu menjelaskan filogenetiknya (Weising et al. 1996). Berbagai studi keragaman genetik tanaman kakao telah banyak dilakukan baik secara morfologi maupun pada tingkat molekuler. Berbagai jenis marka molekuler telah digunakan untuk kerakterisasi dan analisis keragaman, serta
20
pemetaan genetik kakao
(Lanaud et al. 1999). Pengembangan marka seleksi
untuk program pemuliaan tanaman kakao telah mulai dilakukan oleh Schnell et al. (2007), sementara keragaman genetik kakao dengan menggunakan marka SSR telah dilakukan oleh Zang et al. ( 2006). Selain itu, beberapa penelitian untuk mempelajari gen-gen ketahanan kakao terhadap P palmivora juga telah dilakuka n oleh Clement et al. (2003) dan Lanaud et al. (2004). Analisis keragaman genetik secara molekuler dapat dilakukan dengan berbagai teknik yang telah dikembangkan, antara lain Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), dan Simple Sequence Repeats (SSR). Masing- masing metode memiliki kelebihan dan keterbatasan. Di antara berbagai metode yang telah dilakukan, SSR merupakan salah satu teknik yang lebih banyak dipilih. SSR (Simple Sequens Repeats) yang dikenal juga sebagai mikrosatelit adalah lokus spesifik, kodominan, merupakan marka molekuler yang didasarkan pada sekuens DNA repetitif. SSR tersusun atas dua sampai enam DNA seperti (AT)n, (AGC) n , atau (GACA) n yang tersebar pada genom mahluk hidup eukariotik. Variasi alel pada lokus mikrosatelit dengan mudah dapat diperoleh dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik. Mikrosatelit telah digunakan secara luas pada berbagai jenis tanaman karena tingkat polimorfisme yang tinggi, lokus yang spesifik, mudah diperbanyak, hanya membutuhkan sedikit DNA, dan yang terpenting adalah sifatnya yang kodominan (Pugh 2004) Pemanfaatan marka SSR untuk mengidentifikasi keragaman genetik telah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman baik tanaman monokotil maupun dikotil. Freeman et al. (2004) menggunakan marka SSR untuk
menentukan
keragaman pada tanaman teh, Priolli et al. (2002) pada kedelai; Kacar et al. (2005) pada chery; Solodenko et al. (2005) pada helianthus, serta masih banyak komoditas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, marka SSR sangat potensial untuk dikembangkan sebagai marka molekuler terutama untuk ke perluan ide ntifikasi da n studi keragaman genetik. Penggunaan marka SSR untuk studi keragaman genetik kakao koleksi internasional telah dilakukan (Saunders et al. 2004) ; (Zang et al. 2009), akan
21
tetapi hingga saat ini belum ada informasi mengenai keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Indo nesia. Sebagai salah satu negara produsen kakao yang sedang mengembangkan upaya pemuliaan tanaman ini, maka infor masi genetik plasma nutfah kakao koleksi Indonesia sangat diperlukan. Untuk mendapatkan infor masi genetik
maka perlu dilakuka n analisis keragaman genetik tanaman
kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, sehingga pemulian tanaman kakao akan lebih terarah. Puslit Kop i da n Kakao Indo nesia mengoleksi hampir semua klon kakao yang terdapat di berbagai sentra produksi kakao di Indonesia, sehingga informasi keragaman genetik plassma nutfah kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao ini dapat merepresentasikan keragaman plasma nutfah kakao Indo nesia. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis keragaman plasma nutfah kakao berdasarkan karakter morfologis; (2) karakterisasi kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia menggunakan marka SSR; (3) menganalisis keragaman genetik klon-klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia dengan menggunakan marka SSR.
Bahan Dan Metode Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu: 1) karakterisasi tanaman berdasarkan ciri morfologi; 2) penggunaan marka SSR untuk analisis keragaman genetik plasma nutfah kakao. 1. Karakterisasi tanaman kakao berdasarkan marka morfologi Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Puslit Kopi dan Kakao Indonesia di Jember dan Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, mulai bulan Juli sampai dengan September 2008. Prosedur Tahap ini dilakukan untuk mendeskripsikan karakter morfologis 22 klon kakao dengan menggunakan deskriptor list yang telah dikemba ngka n untuk kakao. Hasil kegiatan pada tahap ini akan digunakan untuk melaksanakan kegiatan selanjutnya.
22
Pengamatan dilakukan secara langsung terhadap karakter-karakter yang telah ditentuka n. Adapun karakter morfologi yang akan diamati meliputi: 1)Deskrips i Pohon, berupa : Vigor Tanaman; Tipe percabangan; Tinggi jorket, 2) Deskripsi Daun : Panjang ; Lebar ; Bentuk helai daun; Bentuk ujung; Bentuk pangkal; Tepi helai daun; Tekstur permukaan; Tekstur permukaan; Warna flush; Warna daun, 3) Deskrips i Bunga, meliputi: Keadaan staminode ; Warna kelopak; Warna mahko ta; Pewarnaan anthocyanin; Intensitas pe warnaan anthocyanin; Warna kuncup bunga; Warna tangkai, 4) Buah: Intensitas buah; Bentuk buah; Bentuk pangkal/leher botol; Bentuk ujung;
Ukuran buah; Ketebalan kulit;
Permukaan; Kedalaman alur; Warna kulit buah muda; Warna kulit buah masak; Pewarnaan anthocyanin pada alur, 5) Biji: Bentuk; Warna kotiledon; Panjang; Lebar; Ketebalan; Bobot biji kering; Jumlah biji/tongkol; Kadar kulit ari. Karakter morfologi plasma nutfah kakao yang telah diidentifikasi pada kegiatan sebelumnya selanjutnya dianalisis dengan bantuan
perangkat lunak
NTSys versi 2.02, untuk mendapatkan dendogram keragaman genotipe kakao berdasarkan marka morfologis.
2. Penggunaan marka SSR untuk studi keragaman genetik plas ma nutfah kakao Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanaka n di Laboratorium “Biodiversity and Conservation”, Central of Agricultural Biotechnology Kasetsart University Thailand, mulai bulan September 2008 sampai dengan Januari 2009
Bahan tanaman dan ekstraksi DNA kakao Seluruh bahan tanaman yang berupa 29 klon kakao diperoleh dari Puslit Kopi dan Kakao Indonesia,
Jember (Tabe l 1). Dari 29 klon tersebut, 15 di
antaranya merupakan klon-klon yang biasa digunakan
sebagai tetua dalam
persilangan. Lebih kurang 20-30 mg daun kering dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf bersama bola gir kecil. Sampel daun diha ncurka n dalam mesin penghancur jaringan (Retsch MM301) selama 3 menit dengan frekuensi 300 hertz. Jaringan yang sudah hancur diinkubasi dengan buffer
23
lisis yang mengandung RNase selama semalam,
dan difiltrasi melalui filter
column. Ekstraksi larutan DNA selanjutnya dilakukan sesuai dengan protokol Plant
Genomic
DNA
Mini
Kit
(Geneaid,
Geneaid
Biotech
Ltd. http://www.geneaid.c om).
Tabel 1. Daftar nama klon, tipe dan kelompok kakao yang digunakan dalam penelitian No.
Klon
Tipe
1. PA 300 Forastero 2. PA 303 Forastero 3. DR 1 Trinitario 4. DR 2 Trinitario 5. DR 38 Trinitario 6. ICCRI 1 Trinitario 7. ICCRI 2 Trinitario 8. ICCRI 3 Trinitario 9. ICCRI 4 Trinitario 10 DRC 15 Trinitario 11. DRC 16 Trinitario 12. RCC 70 Forastero 13. RCC 71 Forastero 14. RCC72 Forastero 15. RCC 78 Forastero 16. SCa 6 Forastero 17. SCa12 Forastero 18. SCa89 Forastero 19. NIC 4 Forastero 20. NIC 7 Forastero 21. ICS 13 Trinitario 22. ICS 60 Trinitario 23. GC 7 Trinitario 24. KEE 2 Forastero 25. UIT 1 Forastero 26. TSH 858 Trinitario 27. TSH 908 Trinitario 28. UF 667 Forastero 29. NW 6261 Forastero Catatan: Data tipe dan kelompok kakao diperoleh dari Puslit Indo nesia.
Kelompok kakao Lindak Lindak Mulia Mulia Mulia Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Mulia Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Lindak Kopi dan Kakao
PCR dan Analisis SSR Template DNA dari masing- masing klon kakao diuji dengan 39 primer SSR yang telah dikembangkan oleh Pugh et al (2004) dan telah didesain ulang
24
urutan nukleotidanya dengan menggunakan program Primer 3 (tabel 2). PCR dilakukan de ngan total volume 15 µl, terdiri atas 2 µl DNA template, 1 µl primer (kons. 10 pmol), 1.5 µl 10x buffer, 0.15 µl MgCl, 0.075 µl Taq DNA polymerase, dan 2.7 µl dNTP.
Tabe l 2. Microsatellite (SSR) yang digunakan untuk mengamplifikasi genomic DNA cacao dalam PCR No
LG
Nama M arka
1
1
mT cCIR144
2
1
mT cCIR138
3
1
mT cCIR184
4
1
mT cCIR264
5
2
mT cCIR162
6
2
mT cCIR141
7 8 9 10
2 2 3 3
mT cCIR268 mT cCIR281 mT cCIR82 mT cCIR81
11
3
mT cCIR167
12
3
mT cCIR198
13
4
mT cCIR95
14
4
mtcCIR76
15
4
mT cCIR213
16
4
mT cCIR67
17 18
5 5
mT cCIR69 mT cCIR109
Primer
Jml
Ukuran PCR
Repeat
Tm
Basa
(bp)
Sekuens
(oC)
F: AACCACT GACACGCAAT GAA
20
242
(CT )2TTT(CT)9
60.16
R: T GTTT GCAAAT AAAGAAGAGAGGA
24
F: GGCACCT GCCAAGT CAAGT A
20
162
(CA)11
R: AAT GCTT GATTTTTCAAACACATT
24
F: ACT GCT GCAGCCT CT CTTTC
20
204
(CA)8(CT)13
R: ACAT GGAGGGAGGGAGAGAT
20
F: CGGT GAGGAAGACAAGAGGA
20
225
(CT )8
R: T CATT GACAGT GAGCAT CAGG
21
F: GACCTTTTTCCCCCT GATTC
20
250
(GA)19
R: T GGCAAAAATTCACCAGT CA
20
F: TT GGAGTT CAAGGT GT GGT G
20
239
(CT )14
R: GCCGCT AGCTTTCCT CTTTC
20
F: ACAGAGAGT GAGCGAGCA
18
R: CACTT GT GT GGGACGACATT
20
F: AATT GATT CCGCT GTTTT GG
20
R: GAAAAGGAT GAGGGGT GGTT
20
F: GCAAT CAT GT GCCCCTTCTA
20
R: AAGCTTATTGCGGAAGGACA
20
F: GT CAT GCACGTT GAACCAGA
20
R: T GGAAAAT GGT AGGGCATT C
20
F: AAT CGGT GCAT GGTAGAACC
20
R: AGCATAGT GT CGTTTCT GTT GC
22
F: GGGACCAT AAGGAAAT CAT GC
21
F: GCTT GCCCAGGT GAAGT AAG
20
R: GTT CTCGACAT GGGCT CCTA
20
F: T GCAT GGAT GCT GAAACAAG
20
F: GAAAAT GGGGGT CTTTT GGT
20
R: AGGCGAAGAGGGAGAAGAAG
2o
F: T CCAAT GTT GAT CT CGCAAA
20
R: TTTTCATTCCT GCTT GCGT A
20
F: GGTT CT CGCTT GAAAAT CCA
20
R: CCT CTTTTCCAAGCCT CCAT
20
F: GGACAT CGGT GTT CCATCAG
20
R: T GCTAT GAGATT GAAAGAGAATT GA
25
F: CCCGT AAGCTT CCATTTT CC
20
R: CAAAGGGACCAAAAAGAGCA
20
59.45 61.24 59.01 59.90 59.89 60.38 59.85 59.74 60.09 59.57 60.60 212 209
(GA)17GG(GA)
59.92
9
59.44
(T C)12(CA)14
59.94 60.17
206
(AG)6AA (AG)7
61.00 59.85
188
(CT )15
244
(GA)18
192
(CA)3TA(CA)6
237
(T C)4CC(T C)21
196
(CT )9
186
(CT )26
176
(CT )7(CA)12
60.73 59.76 59.82 59.45 60.53 59.88 60.22 60.81 60.03 60.09 60.20 59.44 60.19 60.57
208
(CT )20
61.36 59.43
221
(CT)12
60.79 60.22
25
19 20
5 5
mT cCIR106 mT cCIR10
21
6
mT cCIR16,
22
6
mT cCIR255
23
6
mT cCIR276
24
6
mT cCIR291
25
7
mT cCIR186
26
7
mT cCIR190
27
7
mT cCIR7
28 29 30
8 8 8
mT cCIR99 mT cCIR103 mT cCIR211
31
8
mT cCIR218
32
9
mT cCIR90
33
9
mT cCIR145
34
9
mT cCIR251
35
9
mT cCIR287
36
10
mT cCIR91
37
10
mT cCIR155
38 39
10 10
mT cCIR209 mT cCIR229
F: GGGAGTT AAAAT GGGGCAAG
20
R: TT GCT GTT GTT GT CTT GCTTTT
22
F: CGAATT GACAGAT GGCCT ACA
21
R: CCCAAGCAAGCCT CATACT C
20
F: CTT CACCAGCT CACCGAT CT
20
R: AT CAAT GGGTTCGGGT AGT G
20
F: GCCTTACAGCATT CCCAT GA
20
R: AT CT GCAGGACTT GGACCAC
20
F: T GT GT GTTTAATT GCT CCT GCT
22
R: T GT CT GCCCTTTGACCTTTC
20
F: TT GCAATT GTCCCAAGCAT A
20
R: AT GT CAAGCAT GGCAGT GTT
20
F: GCGT GT GT GT GCAAAT GATA
20
R: CCGAT AAAT GGGCGTT GTAG
20
F: CT GAAGCACAATTATTCCAT CAA
23
R: CCAATT GCT CCACAAAGAGC
20
F: GCTTTCAGT CCTTTGCTTTCA
21
R: CAGACAAGCCAT GGT CAGT G
20
F: TT CGGAAAT GT CGAGAGAGG
20
R: CCT CT GCCCAT GATCCT AT G
20
F: CT CCAAGAAAAAGAGGCACA
20
R: TT GT GGTTATT GCGAACGT G
20
F: GGGATT GCACTTCACAAGGT
20
R: T CCAAGTT CCGT AT GT GCT G
20
F: CAT GCGTT GACCAAGGAAG
19
R: AT CAAT GCAT GGGAACACCT
20
F: CCAGTTCAAAAAT CAT GTT CAGT G
24
R: TT GT GGAGCAACT GT CAACC
20
F: T GGAAGGCT GT CCAAAATTC
20
R: T GTTT GT GT CT GGCTTTT GC
20
F: T CAT GCCCAGT GACACAAAT
20
R: AAT GGACT GGAGCAT GGAAG
20
F: GCGTT GT CT CGCTTT CTTCT
20
R: GGGAAAGCCAT GTT CAT GTT
20
F: GCCCAT GCTT CTCTT CAT GT
20
R; GGGAAAT GAGAAGGGT GT GA
20
F: CTTAGAGGCTT GT GCCGT GA
20
R: GCCAT GCCAATTTCCAAT AA
20
F: T GT CCTT CACATAAGCCAT GA
21
R: T GTT GCCCTTCCTT GTTAGG
20
F: T CT GGCCCTT GAGAAT GAGT
20
R: T CCGCAAT CCT ACAACACAA
20
246
(GA)9TT G(CA)
60.66
3
59.96
122
(T G)13
61.04
207
(CT )13
193
(AC)11
199
(GA)14
212
(CT )12
155
(T G)8
172
(T G)12
122
(CT )14
59.84 59.67 61.00 60.12 59.81 60.23 60.07 59.17 59.15 60.34 59.13 60.78 59.62 60.31 167
(GA)9
60.33 60.44
175
(GA)10
58.08 60.56
179
(CT )9
181
(CT )11
155
(CT )10
241
(CT )17
228
(CT )7(CA)12
160
(T C)9
191
(CT )10
197
(T C)12
59.97 59.72 60.25 60.20 60.78 59.73 60.05 59.89 59.97 60.07 59.76 59.80 60.23 59.90 61.50 60.65
243
(GT)6AT(GA)9
59.14 60.10
151
(T C)8
59.80 60.11
Proses PCR dilakukan dengan 39 siklus, diawali denaturasi pada 94 o C selama 4 menit, kemudian 39 siklus berikutnya yang terdiri atas denaturasi pada 94 o C selama 45 detik, penempelan (annealing) pada suhu
60.41
55 o C selama 45
26
detik, dan perpanjangan (extension) pada suhu 72 o C selama 30 detik. Tahap terakhir dilanjutkan dengan perpanjangan akhir (final extension) pada suhu 72 o C selama 5 menit dan pendinginan (cooling) sampai suhu 16 o C selama 5 menit. Hasil amplifikasi PCR dievaluasi dengan melakukan running pada gel agarose 1% selama 20 menit pada mesin elektroforesis dengan arus 300 Am dan 200 Volt untuk konfirmasi ada tidaknya produk amplifikasi. Running PAGE DNA hasil amplifikasi dengan SSR Proses elektroforesis dimulai dengan penyiapan kaca. Pertama, siapkan dua kaca panjang dan pendek. Kaca panjang dibersihkan dengan etanol 95%, dan dilanjutkan dengan clear view. Untuk kaca pendek dibersihkan dengan etanol 95%, dilanjutkan dengan campuran antara Bind Silane dan asam asetat. Kemudian, dua kaca disusun dengan diberi plat plastik sebagai pembatas dan dijepit dengan empat pasang penjepit. Sementara itu, disiapka n “Microsatelite gel polyacrilamide” yang terdiri atas: 60 ml 4.5% acrilamide ditambah 10% APS µl dan 90 µl TEMED, kemudian diaduk perlahan sampai tercampur. Cairan acrilamide selanjutnya dituangkan secara perlahan ke celah diantara dua kaca, ke mudian disisipka n sisirnya dan dibiarkan sampai gel terpolimerisasi. Sampel berupa produk PCR sebanyak 2 µl ditambah 3-4 µl pewarna kemudian diaduk dan didenaturasi pada suhu 94° C selama 10 menit. Sementara itu dilakukan pre running elektroforesis dengan buffer 1X TBE hingga mencapai suhu 60o C. 2 µl sampel hasil amplifikasi dimasukka n pada celah sisir sampai semua sampel masuk, dan sampel siap di running pada mesin elektroforesis dengan kondisi 3000 volt, 300 mA, 65 Watt selama 2,5 jam. Setelah selesai, kaca dikeluarkan
da n kaca penutupnya dilepaskan dengan hati-hati.
Hasil
elektroforesis siap untuk diwarnai. Pewarnaan perak nitrat dimulai dengan perendaman kaca dalam larutan acetic acid 10% selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan akuades sebanyak 3x masing- masing selama 10 menit, kemudian dilakukan perendaman pada larutan perak nitrat selama 30 menit, selanjutnya dicuci dengan akuades. Selanjutnya kaca direndam pada larutan developer sambil digoyang hingga nampak pita. Setelah nampak pita, larutan developer dibuang dan terakhir dicuci dengan acetic acid selama 5 detik dan dilanjutkan pencucian terakhir dengan air.
27
Skoring dan analisis data Skoring dilakukan terhadap posisi alel hasil amplifikasi PCR untuk masing- masing genotipe pada tiap lokus SSR. Hasil skoring dilakukan analisis untuk melihat keragaman genetik dengan menggunakan
software NTSys,
sedangkan tingkat heterosigositas ditentukan dengan menggunakan software CERVUS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi morfologi kakao Pengamatan karakter morfologi kakao dilakukan secara langsung di lapangan, dengan mengamati bentuk dan karakteristik pohon, bentuk dan karakteristik daun, bentuk dan karakteristik bunga dan bagian-bagiannya, bentuk dan karakteristik buah, dan karakteristik biji. Dari 29 klon kakao yang direncanaka n, hanya 22 klon kakao yang berhasil dikarakterisasi dengan menggunakan deskriptor list yang sudah dikembangkan untuk kakao. Bentuk daun kakao bervariasi, mulai dari elips, oblong maupun obovate bergantung kepada klonnya. Demikian pula dengan bentuk ujung dan pangkalnya, memiliki keragaman yang cukup tinggi. Variasi bentuk ujung dan pangkal daun berupa runcing, meruncing, maupun membulat terdapat pada berbagai klon kakao yang diamati. Warna flush atau daun muda juga bervariasi diantara berbagai klon yang berbeda (Gambar 3a). Variasi warna flush yang ditemukan pada 22 klon kakao yang diamati adalah coklat, kuning, kuning kecoklatan, coklat kemerahan, dan merah kecoklatan (Gambar 3b). Keragaman warna daun muda ini terjadi karena belum ada klorofil yang terbentuk, tetapi terdapat banyak pigmen kain seperti antosianin, karoten, daqn xantofil. Klorofil baru terbentuk ketika daun mencapa i ukuran sempurna yaitu setelah berumur 3-4 minggu (Prawoto, 2008).
28
a
b
d
c
e
Gambar 3a. Keragaman Bentuk Daun Kakao: (a) ujung runcing; (b) ujung meruncing; (c) pangkal runcing; (d) pangkal membulat ; (e) bentuk oblong.
a
b
c
d
e
Gambar 3b. Keragaman warna daun muda (flush) kakao: (a) Kuning kecoklatan; (b) kuning; (c) coklat; (d) merah kecoklatan; (e) coklat kemerahan.
Kakao memiliki bunga yang berukuran amat kecil jika dibandingkan dengan buahnya, terdiri atas kelopak yang berwarna ungu dan mahkota bunga berwarna putih kekuningan. Perkembangan bunga kakao bersifat kauliflori yaitu bunga tumbuh dari bekas ketiak daun, yang perlahan- lahan akan menebal dan membesar membentuk bantalan bunga. Tanaman kakao memiliki bentuk dan warna buah yang bervariasi sesuai dengan tipenya. Bentuk buah kakao yang ditemukan pada klon-klon yang diamati bervariasi antara bulat (orbicularis), memanjang (oblong), dan lonjong (ellips), sedangkan warna yang ditemukan ada empat macam yaitu merah, ungu, hijau, dan hijau muda. Warna yang berragam pada buah kakao terjada pada buah muda, sedangkan buah ya ng masak hanya memiliki dua macam warna ya itu merah dan oranye. Buah yang waktu muda berwarna hijau atau hijau muda setelah masak berubah menjadi kuning, sedangkan buah yang ketika muda berwarna merah atau ungu akan berubah menjadi oranye setelah masak. Permukaan buah kakao pada umumnya kasar dan memiliki alur. Biji kakao tersusun dalam lima baris
29
mengelilingi poros buah. Bentuk dan warna kotiledon bervariasi, tetapi secara umum ditemukan dua warna yang berbeda yaitu putih dan ungu. Kotiledon berwarna putih dimiliki oleh kakao dari tipe mulia, sedangkan tipe lindak berwarna ungu (Prawoto 2008). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap karakteristik morfologis kakao, selanjutnya dibuat katalog karakter morfologis (lampiran 2).
a
c
b
d
e
Gambar 4. Keragaman Bentuk Buah Kakao: (a) warna merah bentuk oblong; (b) warna ungu oblong; (c) hijau muda elips; (d) hijau elips Keragaman morfologis klon kakao Keragaman morfologis klon kakao dianalisis dengan menggunakan katalog
karakter
morfologis
yang
telah
diperoleh.
Berdasarkan
hasil
pengelompokan (klastering) yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia memiliki ke ragaman morfologis yang tinggi. Pengelompokan klon yang diamati terlihat berhubungan dengan progenitor yang menurunkan klon masing- masing. Klon-klon yang diketahui memiliki latar belakang genetik yang sama ternyata juga mengelompok ke dalam grup (klaster) yang sama. Seba gai contoh Sca 12 dan Sca6 yang diketahui merupakan turunan dari tetua yang sama, mengelompok menjadi satu grup yang sama. Hasil analisis keragaman karakter morfologis dan klastering yang telah dilakuka n dilengkapi dengan data responnya terhadap P. Palmivora, ukuran biji, dan potensi daya hasil, disajikan pada gambar 5, 6, dan7. Kakao berasal dari dua subjenis yang berbeda yaitu tipe Criolo yang tergolong jenis mulia, dan Forastero yang merupakan kakao lindak. Selain itu terdapat kelompok kakao lain yang merupakan persilangan liar antara keduanya
30
yang kemudian dikenal dengan kelompok Trinitario. Sifat morfologi dan fisiologi keturunannya amat beragam demikian pula daya hasil dan mutu bijinya (Prawoto 2008). Hasil pengamatan morfologis terhadap 22 klon kakao yang selanjutnya dianalisis, menunjukkan keragaman yang tinggi. Pada tingkat kemiripan 75% terdapat tiga kelompok. Kondisi seperti ini akan sangat menguntungkan bagi upaya peningkatan kualitas bibit kakao melalui pengembangan hibrida kakao, yang memerluka n tetua de ngan keragaman yang tinggi . SCa12 SCa6 ICCRI4 ICCRI3 ICS60 DRC16 ICCRI1 ICCRI2 DR38 TSH858 ICS13 RCC72 RCC70 RCC71 DR2 PA300 PA303 UF667 DR1 NIC4 NIC7 GC7
0.50
0.63
0.75
Coefficient
0.88
1.00
Gambar 5. Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis, dilengkapi dengan data ketahanan terhadap P. palmivora. Tahan (merah), moderat (biru); rentan (hijau). Berdasarkan ketahanannya terhadap P. palmivora, klon-klon kakao yang diamati dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu tahan, moderat dan rentan. Hasil klastering menunjukkan bahwa kon-klon kakao pada kelompok pertama memiliki karakter tahan, kelompok kedua bervariasi antara yang tahan de ngan rentan, sedangkan pada kelompok tiga juga bervariasi antara tahan, rentan maupun moderat. Hal ini menunjukkan bahwa penyilangan antar ketiga kelompok memiliki peluang untuk menghasilkan keragaman yang tinggi baik pada sifat morfologi maupun ketahanannnya terhadap P. palmivora. Di antara 22 klon kakao yang diamati, pada umumnya memiliki ukuran biji yang besar (18 klon) baik pada kelompok pertama, kedua maupun ketiga. Hal
31
SCa12 SCa6 ICCRI4 ICCRI3 ICS60 DRC16 ICCRI1 ICCRI2 DR38 TSH858 ICS13 RCC72 RCC70 RCC71 DR2 PA300 PA303 UF667 DR1 NIC4 NIC7 GC7
0.50
0.63
0.75
Coefficient
0.88
1.00
Gambar 6. Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis, dilengkapi dengan data ukuran biji. Besar (merah), sedang (biru); kecil (hijau) ini juga mengindikasikan bahwa klon-klon yang dianalisis memiliki potensi yang baik untuk dijadikan sebagai tetua dalam penyilangan. SCa12 SCa6 ICCRI4 ICCRI3 ICS60 DRC16 ICCRI1 ICCRI2 DR38 TSH858 ICS13 RCC72 RCC70 RCC71 DR2 PA300 PA303 UF667 DR1 NIC4 NIC7 GC7
0.50
0.63
0.75
Coefficient
0.88
1.00
Gambar 7. Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis, dilengkapi dengan data potensi daya hasil (kg/ha/th). 1000 – 1100 (hijau), 1500-1750 (biru), 2000-2050 (merah)
32
Analisis SSR Dalam penelitian yang dilakukan, 39 primer yang digunakan merupakan primer SSR terpilih yang telah dilaporkan oleh Lanaud et al. (1999). Seluruh primer yang digunakan mampu menghasilkan produk hasil amplifikasi PCR, yang ditunjukkan dengan hasil elektroforesis pada gel agarose (Lampiran 3). Contoh elektroferogram hasil poly-acryllamide gel electrophoresis (PAGE) untuk memvisualisasi alel-alel marker SSR yang diamplifikasi dapat dilihat pada Gambar 8. Selanjutnya, skoring alel dari marker SSR dilakukan dengan menggunakan elekroferogram yang dihasilkan. Contoh hasil scoring yang didapat untuk elektroferogram pada Gambar 9 disajikan pada Tabel 3.
1 2 3 4 5 6
Gambar 8. Contoh elektroferogram hasil PCR menggunakan primer spesific SSR MTcCIR 211 dengan 29 contoh DNA klon kakao. Amplifikasi dengan pr imer MTcCIR 211 menghasilkan enam macam pita yang berbeda ukuran (masing- masing menjadi alel 1, Alel 2, alel 3, alel 4, dan alel 5, dan alel 6). Berdasarkan hasil skoring alel-alel pada masing- masing lokus yang diamplifikasi denga n primer SSR tertentu, maka masing- masing klon kakao yang dianalisis akan dapat ditentukan apakah mempunyai genotip dalam kondisi heterosigot atau homosigot. Dalam lokus tertentu, klon yang diuji dalam kondisi heterosigot apabila mempunyai dua macam alel yang berbeda pada lokus yang dievaluasi. Dalam Tabel 3, pada lokus MTcCIR 211 untuk klon No. 10, mempuny ai alel 1: “pita no. 3” dan alel 2: “pita no. 4”). Hal ini mengindikasikan bahwa genotip klon No. 10 adalah heterosigot (Ht). Sebaliknya, klon yang diuji dalam kondisi homosigot apabila mempunyai satu macam alel yang sama pada lokus yang dievaluasi. Dalam Tabel 3, klon No. 1 dan 2, sama-sama mempunyai
33
alel 1: “pita no. 4” dan alel 2: “pita no. 4”. Hal ini mengindikasikan bahwa genotip k lon No. 1 dan 2 pada lokus MTcCIR 211 adalah homosigot (Hm).
Tabel 3. Contoh data hasil skoring untuk masing- masing individu pada elektroferogram Gambar 7. Hasil sko ring merepresentasika n genotip individu berdasarkan lokus SSR MTcCIR 211. Sampel kakao 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
MTcCIR 211 Alel 1 Alel 2 4 4 4 4 3 4 4 6 3 3 2 4 4 4 1 4 4 6 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 1 1 1 2 1 2 3 4 3 4 3 4 1 3 3 4 4 6 3 4 1 3 4 6 2 3 4 4
Genotip Hm Hm Ht Ht Hm Ht Hm Ht Ht Ht Hm Hm Hm Hm Ht Hm Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Ht Hm
Catatan: Ht – heterosigot: mempunyai dua alel yang berbeda pada satu lokus yang dianalisis (contoh: pada individu No. 3, mempuny ai alel 1: “3” dan alel 2: “4”)., Hm - Homosigot: mempunyai dua alel yang sama pada satu lokus yang dianalisis (contoh: pada individu No. 1 da n 2, pada mempunyai alel 1: “4” dan alel 2: “4”).
34
Identifikasi dan analisis keragaman genetik pada plasma nutfah kakao telah dilakukan dengan pengamatan mor fologi (Mot ilal da n Butler 2003; Bekele et al. 2006), akan tetapi hasilnya masih kurang sempurna karena karakter morfologi dapat berubah dan sangat dipengaruhi lingkungan. Analisis molekuler dapat membantu mengatasi kekurangan tersebut. Penggunaan marka molekuler mikrosatelit (SSR) telah dilakukan pada tanaman kakao untuk berbagai tujuan, seperti karakterisasi dan analisis keragaman genetik (Lanaud et al 1999; Zhang et al. 2006; Bruno et al. 2008) , karakterisasi kakao koleksi internasional (Zhang et al., 2009), dan pembuatan linkage map (Risterucci et al. 2000; Pugh et al. 2004). Meskipun primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan primer yang telah digunakan sebelumnya, akan tetapi beberapa lokus tidak menghasilkan pita yang jelas sehingga tidak dapat diskoring. Hal ini diduga karena urutan basa pada beberapa lokus tersebut tidak dapat mengamplifikasi genom kakao dari sampel yang digunakan. Pita polimorfik yang dihasilkan pada 24 lokus menunjukkan adanya keragaman di antara sampel kakao yang dianalisis. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan marka SSR cukup efektif untuk mempelajari keragaman genetik plasma nutfah kakao (Saunders et al. 2004).
Keragaman Genetik Dengan menggun aka n pe ndeka tan seperti yang telah disebutkan di atas, maka tingkat heterosigositas atau homosigos itas lokus- lokus dalam setiap klon kakao yang dievaluasi akan dapat ditentukan. Tingkat heterosigositas pada lokuslokus yang ada di dalam genom masing- masing klon akan menentukan kedekatan genetik antar klon kakao yang dianalisis. Informasi tentang tingkat heterosigositas atau homosigositas klon kakao sangat penting dalam kaitannya dengan pembentukan galur hibrida F1 sebagai bahan tanaman kakao. Dari hasil skoring yang dilakukan, primer SSR yang digunakan rata-rata mampu mengidentifikasi alel per lokus sebanyak 5.50 dengan rata-rata Poymorphic Information Content (PIC) sebesar 0.665. Total
jumlah alel
diperoleh sebanyak 132 dari 24 lokus, jumlah alel terkecil 4 pada beberapa lokus, dan terbesar 8 pada lokus mTcCIR 155. Rata-rata jumlah alel per lokus lebih kecil dibandingka n de ngan pe nelitian terdahulu yang dilakuka n oleh Zang et al. (2009)
35
yaitu 14.2 alel/lokus. Nilai PIC sebesar 0.665 tergolong tinggi dan hal ini mengindikasikan bahwa marker SSR yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi klon-klon kakao yang dianalisis. Jumlah alel dan nilai PIC masingmasing lokus yang didapatkan dari hasil evaluasi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabe l 5. Jumlah alel dan tingkat heterosigos itas lokus- lokus SSR pada 29 klon kakao Parameter Genetik Lok us mTcCIR 213 mTcCIR 198 mTcCIR 82 mTcCIR 16 mTcCIR 209 mTcCIR 218 mTcCIR 255 mTcCIR 190 mTcCIR 276 mTcCIR 167 mTcCIR 291 mTcCIR 211 mTcCIR 10 mTcCIR 144 mTcCIR 251 mTcCIR 184 mTcCIR 91 mTcCIR 155 mTcCIR 162 mTcCIR 76 mTcCIR 109 mTcCIR 95 mTcCIR 67 mTcCIR 69 Mean
Jumlah alel
Ho
He
PIC
6 4 4 5 6 4 7 6 5 4 6 6 4 7 5 7 4 8 4 6 7 7 5 5 5.50
0.759 0.379 0.630 0.793 0.407 0.964 0.643 0.250 0.357 0.393 0.556 0.862 0.577 0.714 0.808 0.960 0.310 0.962 0.552 0.889 0.821 0.964 0.414 0.593
0.802 0.693 0.540 0.759 0.798 0.679 0.605 0.727 0.779 0.666 0.760 0.751 0.608 0.831 0.689 0.826 0.603 0.817 0.673 0.767 0.799 0.822 0.607 0.681 0.720
0.757 0.623 0.471 0.700 0.749 0.606 0.542 0.681 0.729 0.601 0.712 0.701 0.513 0.791 0.624 0.783 0.536 0.775 0.613 0.713 0.752 0.780 0.566 0.633 0.665
Catatan: PIC – polimorphic information content (parameter untuk menentukan tingkat keragaman alel di dalam populasi tanaman yang dianalisis). Dari Tabel 5 juga dapat diketahui bahwa pada 24 lokus SSR yang dianalisis, sebagian besar klon yang diuji mempunyai pasangan alel yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa genotip klon-klon kakao yang diuji pada sebagian besar dari 24 lokus ada dalam kondisi heterosigot. Di antara 24 lokus yang
36
digunakan dalam penelitian ini, 15 lokus yang sama digunakan Zhang et al. (2009) menghasilkan rata-rata jumlah alel per lokus 5,70 pada populasi semi natural dari Rio Ucayali Peru, dan 3,68 pada populasi Rio Huallaya. Sementara itu dengan menggunakan 11 lokus SSR, Sereno et al. (2006) melaporkan rata-rata jumlah alel 4,45 dari 94 aksesi yang mewakili 14 populasi di wilayah Amazon. Rendahnya rata-rata jumlah alel yang diperoleh pada penelitian ini diduga karena jumlah aksesi yang digunakan hanya
29 sedangkan Zhang et al. (2009)
menggunakan 688 aksesi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh rata-rata gen diversity (He) 0.720 dan rata-rata heterosigos itas (Ho) sebesar 0.651. Keragaman genetik tertinggi 0.831 dihasilkan pada lokus mTcCIR 144, sedangkan terrendah 0.540 pada mTcCIR 82. Heterosigositas tertinggi 0.964 pada lokus mTcCIR 218 dan mTcCIR 95, sedangkan yang terrendah 0.250 pada lokus mTcCIR 190. Tingkat heterosigositas dan keragaman genetik yang cukup tinggi menunjukkan bahwa lokus SSR yang digunakan
dapat
membedakan
klon-klon
yang
dianalisis.
Setelah
dikembangkannya marka SSR untuk kakao oleh Lanaud et al.(1999), maka identifikasi dan karakterisasi plasma nutfah kakao berkembang cukup signifikan (Zang et al. 2009). Pada umumnya, tingkat heterosigositas yang tinggi pada lokus- lok us yang dianalisis akan berkorelasi positif dengan nilai PIC yang tinggi pula. Hal ini dapat dilihat pada hasil analisis yang disajikan dalam Tabel 5 di atas. Sebagian besar lokus- lok us yang dianalisis mempunyai persentase heterosigos itas yang tinggi dan sekaligus mempunyai nilai PIC untuk masing- masing lokus yang tinggi pula. Namun demikian, pada lokus MTcCIR 190, MTcCIR 276, dan MTcCIR 67 teramati mempunyai tingkat heterosigositas yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa pada lokus-lokus tersebut, klon-klon kakao yang dievaluasi mempunyai lebih banyak genotipe homosigot dibandingkan de ngan heterosigot. Selain tingkat heterosigos itas, hal lain yang perlu diperhatikan dalam menentukan tetua untuk persilangan adalah ada tidaknya kesamaan alel dalam masing- masing primer yang digunakan untuk menghasilkan marka molekuler SSR. Berkaitan dengan hal tersebut, klon-klon yang diharapkan menghasilkan
37
hibrida yang baik adalah klon-klon yang tingkat heterosigositasnya tinggi dan kombinasi alel dalam setiap primernya berbeda. Seluruh set data marker SSR yang diperoleh juga dapat digunakan untuk menentuka n jarak genetik a ntar klon yang dieva luasi. Besar kecilnya jarak genetik antar klon yang dievaluasi merupakan informasi penting dalam pemanfaatan klonklon tersebut untuk pe muliaan tanaman. Dua klon yang mempunyai jarak genetik yang tinggi, apabila disilangkan akan menghasilkan turunan yang variasinya sangat tinggi. Sebaliknya, dua klon yang jarak genetiknya rendah, apabila disilangkan akan menghasilka n tur unan yang variasinya renda h. Dalam pembuatan hibrida F1 sebagai bahan perbanyakan tanaman, masing- masing klon kakao yang digunakan sebagai tetua diharapkan mempunyai karakter agronomis yang baik dan keduanya mempunyai jarak genetik yang tinggi. Dengan menyilangkan dua tetua yang demikian itu maka didapatkan populasi hibrida F1 yang heterogeneous dan mempunyai keragaman yang tinggi. Populasi F1 yang heterogeneous tersebut sangat efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungk in menjadi ke ndala di lapangan seperti: stres lingkungan abiotik (seperti: nutrisi, kekeringan, keracunan hara), stres biotik (seperti: serangan hama dan penyakit). Selain itu, karena kedua tetua yang digunakan masing- masing mempunyai karakteristik agronomis yang diinginkan, hibrida F1 yang didapat diharapkan juga mewarisi sifat-sifat baik tetuanya. Dalam kondisi tertentu, heterosis juga dapat ditemuka n pada individu- individu hibrida F1 yang dihasilkan. Analisis klaster juga telah dilakukan untuk mengelompokan 29 klon kakao yang dievaluasi berdasarkan marka SSR. Hasil klastering 29 klon kakao berdasarkan marka SSR dihubungkan dengan tingkat resistensinya terhadap P.palmivora (Rubiyo 2009), disajikan pada Gambar 10. Hasil klastering pada koefisien kemiripan 0.5 menunjukkan adanya pengelompokan menjadi lima kelompok. Kelompok pertama terdiri atas klon-klon PA300, KEE2, TSH908, RCC72, dan DRC16 memiliki sifat tahan. Kelompok ke dua terdiri atas RCC 78, PA303, ICCRI4, DRC15, UIT1, da n DR38, bervariasi antara yang taha n, rentan maupun moderat. Hal yang sama jua terdapat pada kelompok ke tiga yang terdiri atas ICCRI2, UF667, NIC4, NIC7, ICS13, ICS60, TSH 858, dan GC7. Klon-klon
38
PA 300 1 ICCRI 2 PA 303 DR 38 ICCRI DR DRC 15 DRC RCC RCC 1 2 DR 3 ICCRI 4 16 71 72 RCC ICCRI 70 RCC 0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
Coefficient Gambar 9 Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR, dilengkapi dengan data resistensi terhadap P. palmivora. Tahan (merah), moderat (biru); rentan (hijau) .
PA 300 1 ICCRI 2 PA 303 DR 38 ICCRI DR DRC 15 DRC RCC RCC 1 2 DR 3 ICCRI 4 16 71 72 RCC ICCRI 70 RCC 0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
Coefficient Gambar 10. Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR, dilengkapi dengan data ukuran biji: biji besar (merah), biji sedang (hijau), biji kecil (biru)
39
DR2, DR1, RCC70, ICCRI1, ICCRI3, dan NW6261 berada pada kelompok empat dengan tingkat ketahanan yang juga bervariasi, sedangkan SCa 6, SCa 12, dan SCa 89 pada kelompok terakhir memiliki sifat tahan. Berdasarka n ukuran bijinya (data diperoleh dari Puslit kopi dan kakao Indonesia), klon-klon yang diamati pada umumnya memiliki ukuran biji besar terutama klon-klon yang terdapat pada kelompok dua dan empat, sedangkan pada kelompok lima ketiga klon SCa memiliki ukuran biji kecil.
PA 300 1 ICCRI 2 PA 303 DR 38 ICCRI DR DRC 15 DRC RCC RCC 1 2 DR 3 ICCRI 4 16 71 72 RCC ICCRI 70 RCC 0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
Coefficient Gambar 11. Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR, dilengkapi dengan data potensi daya hasil (kg/ha/th). 1000 – 1100 (hijau), 1500-1750 (biru), 2000-2050 (merah). Apabila dikaitkan dengan daya hasil, klon-klon kakao yang diamati cukup bervariasi, dimulai dari 1000 kg/ha/tahun (SCa6, SCa 12, dan SCa 89), 1500-1750 kg/ha/tahun hingga 2050 kg/ha/tahun (tersebar pada kelompok satu samapi empat). Berdasarkan hal tersebut maka klon-klon koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia memiliki keragaman yang cukup tinggi, sehingga berpotensi menjadi tetua pada persilangan untuk mendapatkan hibrida yang unggul.
40
SIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan terhadap karakter morfologis ditemukan bahwa keragaman plasma nutfah kakao ko leksi Puslit Kopi dan Kakao Indo nesia cukup tinggi. Marka SSR dapat digunakan untuk evaluasi keragaman plasma nutfah kakao dengan tingkat polimorfisme yang cukup tinggi. Tingkat heterosigositas dan keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indo nesia yang tinggi memiliki peluang yang amat potensial untuk dijadikan sebagai tetua dalam persilangan, untuk mendapatkan hibrida yang unggul dan bermutu.
DAFTAR PUSTAKA Bekele F, Bekele I, Butler D, and Bidai GSEE. 2006. Patterns of morphological variation in a sample of cacao (Theobroma cacao L.) germplasm from the International Cocoa Genebank, Trinidad. Genet Resour Crop Evol. 53:933-948 Borrone JW, Brown JS, Kuhn DN, Motamayor JC, and Schnell RJ. 2007. Microsatellite markers developed from Theobroma cacao L.expressed sequence tags. Mol Ecol Notes. 7: 236–239 Bruno I et al. 2008. Genetic diversity and structure of farm and Gene Bank accession of cacao (Theobroma cacao L.) in Cameroo n revealed b y microsatellite markers. Tree Genet & Genomes. 4: 821-831 Clement D, Risterucci AM, Grivet L,Motamayor JC, Goran JN, and Lanaud C, 2003. Mapping QTL for yield components, vigor and resistance to Phytophthora palmivora in Theobroma cacao L. Genome. 46:204-212. Freeman S, West J, James C, Lea V, and Mayes S. 2004. Isolation and characterization of highly polymorfic microsatellites in Tea (Camellia sinensis). Mol. Ecol. Notes. (4): 324-326. Kacar YA, Lezzoni A, and Cetiner S. 2005. Sweetcherry cultivar identification by using SSR Markers. J. of Biosci. p. 616-619. Kumar Pradep S, Manimekalai R, and Kumari BDR. 2011. Microsatellite marker based characterization of south pacific coconut (Cocos nucifera L.) Accessions. Int. J. Plant Breed. and Genet. 5(1): 34-43. Lanaud C et al. 1999. Isolation and characterization of microsattellites in Theobroma cacao L. Mol Ecol. 8:2141-2143
41
Lanaud C, Risterucci AM, Pieretti I, N’goran JAK, and Fargeas D.2004. Characterisation and genetic mapping of resistance and defence gene analogs in cocoa (Theobroma cacao L.). Mol. Breed. 13:211-227 Motilal L, Butler D. 2003. Verification of identities in global cacao germplasm collections. Genet Resour Crop Evol. 50:799-807. Prawoto AA. 2008. Botani dan Fisiologi. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 38-47 Priolli RHG, Mendez CT, Arantes NE, and Contel EPB. 2002. C haracterization of brazilian soybean cultivars using microsatellite markers, Gen and Mol. Biol. (25.2): 185-193. Pugh T et al. 2004. A new cacao linkage map based on codominant markers: development and integration of 201 new microsatelite markers. Theor Appl Genet 108:1151 – 1161. Saunder, JA, Mischke S, Leany EA, Hemeida AA.2004. Selection of International molecular standards for DNA fingerprinting of Theobroma cacao L. Theor Appl Genet. 110: 41-47 Schnell RJ et al. 2007. Development of a marker assisted selection program for cacao. phytopat. 12: 1664-1669 Sereno ML., Albuquerque PSB, Vencovsky R, Fiqueira A. 2006. Genetic diversity and natural population structure of cacao (Theobroma cacao) from the Brazillian Amazon evaluated by microsatellite marker. Conserv Genet 7: 13-24 Solodenko A, and Yu S. 2005. Genotyping of Helianthus-Based on Microsatelite Sequences. Helia. 28(42): 19-26. Weising K, Nybom H, Wolff K, and Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, F la. Zhang D, Mischke S, Goenaga R, Hemeida AA, Saunders JA. 2006. Accuracy and Reliability of High-Throughput Microsatellite Genotyping for Cacao Clone Ide ntification. Crop Sci. 46:2084–2092. Zhang D et al. 2006. Genetic diversity and structure of managed and semi- natural populations of cocoa (Theobroma cacao L.) in Huallaga and Ucayali Valleys of Peru. Annals of Bot. 98: 647-655. Zhang D, Mischke S, Johnson ES, Phillips-Mora W, Meinhardt L.2009. Molecular characterization of an international cacao collection using microsatellite markers. Tree Genetics & Genomes 5:1–10
42
43
BAB IV HUBUNGAN ANTARA JARAK GENETIK ANTAR TETUA DAN HIBRIDA F1 KAKAO DENGAN RESISTENSI TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl. Abstrak Peningkatan permintaan biji kakao mendorong tersedianya bibit kakao yang unggul da n be rmutu, yaitu bibit yang berda ya hasil tinggi da n tahan terhadap penyakit khusus nya pe nyakit busuk buah yang disebabka n oleh Phytophthora palmivora. Salah satu upa ya untuk mendapatka n bibit tersebut adalah dengan melakukan penyilangan antara tetua yang memiliki daya hasil tinggi dengan yang tahan terhadap P.palmivora. Salah satu keberhasilan penyilangan ditentukan oleh keragaman sifat dari tetua yang disilangkan. Pada penelitian sebelumnya telah dipilih lima tetua de ngan ke tahanan terhadap infeks i busuk buah da n da ya hasil yang tinggi dan digunakan untuk memproduksi satu rangkaian populasi hibrida F1 dengan metode semi-dialel. Tetua terpilih yang digunakan dalam persilangan tersebut adalah klon kakao ICCRI 3, TSH 858, ICS 13, DR1 dan Sca 6. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis jarak genetik antar tetua da n antar individu pada populasi hibrida kakao berdasarkan marka SSR, juga mempelajari hubungan antara jarak genetik antar tetua dan jarak genetik antar individu hibrida F1 dengan sifat resistensi terhadap penyakit busuk buah akibat infeksi P. palmivora. Hasil analisis klaster menunjukkan ba hwa tingkat kesamaan di antara lima klon kakao yang dijadikan sebagai tetua bervariasi antara 0.15 – 0.48. Hal ini berarti jarak genetik antar tetua yang digunakan untuk menghasilkan galur kakao hibrida F1 memiliki nilai yang relatif tinggi, yaitu berkisar antara 0.52 – 0.85. Semakin jauh jarak genetic diharapkan keragaman individu hibrida semakin tinggi. Hasil analisis SSR pada sepuluh silangan individu hibrida, menunjukkan bahwa karagaman genetik individu hibrida relatif tinggi. Tetua dengan jarak genetic yang jauh ternyata juga menghasilkan hibrida dengan keragaman yang relatif tinggi.
Kata kunci: Phytophthora palmivora, hibrida F1, jarak genetic, heterosigositas
44
GENETIC DISTANCE AND THE RELATIONS WITH CACAO RESISTANCE AGAINST Phytophthora palmivora Butl. Abstrac t Demands for cocoa beans have encourage the availability of cocoa seedlings that have superior quality, high yield and resistant to diseases, especially pod rot caused by Phytophthora palmivora. One of the efforts to get these kinds of seeds is by crossing the parents which have a high yield with the parents which have a resistance to P.palmivora. The success of the crossing is determined by the diversity of parents. Before, it has selected five parents which have high yield and resistance to black pod infection to be used to produce a series of F1 hybrid population using semidialel method. Selected parents used in these crosses are clones of cocoa ICCRI 3, TSH 858, ICS 13, DR1 and SCA 6. The aims of this study is to analyze the genetic distance between parents and among individuals in a population of hybrid cocoa based on SSR markers, and also to study the relationship of genetic distance among the parents and genetic distance between the F1 hybrid individuals with the nature of resistance to black pod disease caused by infection with P. palmivora. The results of cluster analysis showed that the degree of similarity among the five parents varies between 0.15 to 0.48. This means that the genetic distance between the parents used to produce F1 hybrid strains of cocoa has a relatively high value, which ranges from 0.52 0.85. The farther the distance of genetic between the parents the higher genetic diversity of hybrid individuals is expected. SSR analysis results of ten individual crossed hybrids, suggests that individual genetic hybrid has a relatively high genetic diversity. Parents which have a further genetic distance were also produced hybrids with a relatively high diversity.
Pendahuluan Tanaman kakao telah lama dibudidayakan di Indonesia, baik oleh masyarakat maupun perkebunan yang dikelola perusahaan swasta ataupun pemerintah. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki areal pertanaman kakao paling luas di dunia dengan luas areal penenaman mencapai 917 ribu hektar dan teersebar di seluruh provinsi kecuali DKI Jakarta. Sealain itu Indonesia juga termasuk negara penghasil kakao terbesar ke tiga setelah Pantai Gading dan Ghana, dengan nilai produksi tahunan mencapai 572 ribu ton (Wahyudi dan Raharjo 2008). Akan tetapi di pasaran internasional harga kakao asal Indonesia masih rendah karena kualitas bijinya yang kurang baik, yaitu
45
didominasi oleh biji-biji yang tanpa fermentasi dan kadar kotoran tinggi serta terkontaminasi serangga, jamur, atau mikotoksin. Hal tersebut tentunya
menjadi keprihatinan kita bersama
untuk
mengatasinya, karena dengan potensi lahan yang luas sangat memungkinkaan untuk meningkatkan kualitas biji yang dihasilkan tanaman kakao produksi negara kita. Dengan demikian maka peluang Indonesia sebagai negara pengekspor biji kakao terbuka dengan lebar, sehingga dapat meningkatkan devisa negara. Hingga saat ini pengembangan budi daya kakao masih menemui berbagai kendala, antara lain serangan hama dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas serta kuantitas produksi biji kakao. Berbagai penyakit yang disebabkan oleh patogen dapat menyerang tanaman kakao, salah satunya adalah penyakit busuk buah (Black pod) yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora palmivora. Serangan penyakit busuk buah ini menyebabkan kerugian yang bervariasi antara daerah satu dengan yang lainnya bahkan antar negara. Secara umum, kerugian antara 20-30% pertahun terjadi akibat serangan penyekit busuk buah pada pertanaman kakao di lapangan (Wood dan Lass 1985). Pengadaan bibit yang unggul dan bermutu merupakan salah satu jalan ke luar yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut. Usaha-usaha yang harus dilakukan untuk memperoleh bahan tanam yang unggul antara lain dengan melakukan pemuliaan tanaman kakao meliputi rangkaian kegiatan seperti memperisapkan koleksi plasma nutfah, melakukan pengujian klon, menyilangkan antar klon, dan melakukan pengujian hasil silangan klon (Winarno 2008). Salah satu upa ya yang telah dilakuka n Pusat Penelitian Kop i da n Kakao Indonesia adalah dengan melakukan penyilangan antara klon-klon kakao yang resisten terhadap penyakit sebagai tetua donor dengan kon-klon yang berda ya hasil tinggi sebagai tetua resipien. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh klon-klon baru yang memiliki perpaduan karakter tersebut. Untuk mendapatkan hibrida yang sesuai de ngan yang diharapka n maka salah satu faktor penentunya adalah pemilihan tetua yang tepat. Untuk itu dipe rluka n infor masi yang akurat tentang keragaman genetik plasma nutfah kakao yang akan dipilih sebagai tetua. Pengetahuan tentang keragaman ge netik di antara klon-klon kakao yang biasa ditanaman, juga jenis-jenis gen yang terlibat dalam ketahanan terhadap penyakit,
46
daya hasil, kualitas, dan karakter agronomis lainnya sangat diperluka n oleh para pemulia kakao untuk menyeleksi klon-klon tetua secara efektif dan efisien (Martinez et al. 2006). Dalam kegiatan yang dilakukan pada penelitian sebelumnya mengenai persilangan untuk perakitan varietas baru dari tetua yang memiliki deversitas genetik tinggi resistensi terhadap hama PBK, Penyakit Busuk buah, VSD dan produksi tinggi, telah dipilih lima tetua dengan ke tahanan terhadap infeks i busuk buah dan daya hasil yang tinggi dan digunakan untuk memproduksi satu rangkaian populasi hibrida F1 dengan metode semi-dialel (Rubiyo 2009). Tetua terpilih yang digunakan dalam persilangan tersebut adalah klon kakao ICCRI 3, TSH 858, ICS 13, DR1 dan Sca 6. Untuk menguji apakah pilihan ke-lima tetua tersebut telah dilakukan dengan benar atau belum, DNA dari lima klon kakao yang digunakan untuk menghasilkan hibrida F1 telah diisolasi dan dianalisis menggunakan marker SSR pada lokus- lokus yang telah digunakan sebelumnya. Data yang dihasilkan selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan informasi tingkat kesamaan antar klon dan digunakan untuk mengelompokkan masing- masing klon dengan analisis klaster. Kegiatan penelitian bertujuan unt uk mempelajari:` (1) menganalisis jarak genetik antar tetua yang digunakan dalam persilangan untuk menghasilkan populasi hibrida F1 berdasarkan marka SSR; (2) Jarak genetik antar individu hibrida F1 hasil persilangan antara dua klon kakao terpilih berdasarkan marka SSR; (3) Hubungan antara jarak genetik antar tetua dan jarak genetik antar individu hibrida F1 dengan sifat resistensi terhadap penyakit busuk buah akibat infeksi P. palmivora. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi da n Hortikultura, Fakultas Pertanian Intitut Pertanian Bogor, mulai bulan Juli 2009 sampai dengan Juli 2010.
Bahan tanaman dan ekstraksi DNA kakao
47
DNA diisolasi dari tanaman F1 hasil silangan antar lima tetua yang menghasilkan sepuluh hibrida (Tabe l 6), diperoleh dari hasil penelitian Rubiyo (2009), masing- masing diambil 10 individu tanaman untuk dianalisis. Sebanyak 2 gram daun segar dipotong-potong halus dan dimasukkan ke dalam tabung ependorf 2 ml yang telah berisi buffer ekstraksi.
Tabe l 6. Tetua yang digunakan dalam persilangan hibrida kakao TETUA ICCRI 3 TSH 858 DR 1 ICS 13
ICCRI 3
TSH 858
DR 1
ICS 13
Sca 6
1
2 5
3 6 8
4 7 9 10
Sca 6
Total genomic DNA diekstraksi
berdasarkan prosedur Cetye Trietye
Ammonium Bromide (CTAB) dari wilkie (1997 ) yang dimodifikasi. Daun yang telah direndam dalam bufer ekstraksi digerus di dalam mortar bersama dengan 1,5 ml buffer ekstraksi (2% CTAB; 1,4 M NaCl; 40 mM EDTA; 100 mM Tris-HCl pH 8), 1% B- mercaptoethanol dan 1% pvp, setelah halus disimpan pada tabung miccrotube 2 ml. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 65o C selama 30 menit dalam kloroform isoamil alcohol/ CIA (24:1) sebanyak 2 x volume ke dalam masingmasing tabung kemudian divortek selama 3 menit, dan disentrifugasi 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tabung baru, ditambahkan 1 ml kloroform; Isoamil alcohol dan disentrifugasi lagi
seperti sebelumnya.
Supernatan ke mud ian dipinda hkan ke tabung baru dan selanjutnya ditambahkan 2-propanol dingin sambil dibolak-balik tabungnya hingga terbentuk gumpalan putih, kemudian diinkubasi dalam freezer pada suhu selama 30 menit. Presipitasi DNA dengan 3 M sodium asetat (pH 8.0) dan ditambahkan 1 ml etanol absolute dingin, pellet dicuci dengan etanol 70 % kemudian dikeringkan dengan membalik tabung di atas kertas tissue. DNA dillarutkan dalam 300 ul TE (10 mM Tris-HCl; 0,1 mM EDTA (pH 8.0). DNA yang sudah diisolasi siap untuk PCR.
48
PCR dan Analisis SSR Template DNA dari masing- masing individu kakao diuji dengan 22 primer SSR yang telah dikembangkan oleh Pugh et al (2004) dan dipilih dari hasil penelitian sebelumnya (Tabel 7). PCR dilakukan dengan total volume 15 µl, terdiri atas 2 µl DNA template, 1 µl primer, 1.5 µl 10x buffer, 0.15 µl MgCl2 , 0.075 Taq DNA polymerase, dan 2.7 µl dNTP Tabe l 7. Microsatellite (SSR) yang digunakan untuk mengamplifikasi genomic DNA F1 cacao No
LG
Nama
Primer
Jml Basa
M arker 1
1
mT cCIR144
2
1
mT cCIR184
3 4 5
2 3 3
mT cCIR162 mT cCIR167 mT cCIR198
6
4
mT cCIR95
7
4
mT cCIR213
8
4
mT cCIR67
9
5
mT cCIR69
10
5
mT cCIR109
11
5
mT cCIR10
12
6
mT cCIR16,
13 14 15 16
6 6 6 7
mT cCIR255 mT cCIR276 mT cCIR291 mT cCIR190
F: AACCACT GACACGCAAT GAA
20
R: T GTTT GCAAAT AAAGAAGAGAGGA
24
F: ACT GCT GCAGCCT CT CTTTC
20
R: ACAT GGAGGGAGGGAGAGAT
20
F: GACCTTTTTCCCCCT GATTC
20
R: T GGCAAAAATTCACCAGT CA
20
F: AAT CGGT GCAT GGTAGAACC
20
R: AGCATAGT GT CGTTTCT GTT GC
22
F: GGGACCAT AAGGAAAT CAT GC
21
F: GCTT GCCCAGGT GAAGT AAG
20
R: GTT CTCGACAT GGGCT CCTA
20
F: T GCAT GGAT GCT GAAACAAG
20
F: T CCAAT GTT GAT CT CGCAAA
20
R: TTTTCATTCCT GCTT GCGT A
20
F: GGTT CT CGCTT GAAAAT CCA
20
R: CCT CTTTTCCAAGCCT CCAT
20
F: GGACAT CGGT GTT CCATCAG
20
R: T GCTAT GAGATT GAAAGAGAATT GA
25
F: CCCGT AAGCTT CCATTTT CC
20
R: CAAAGGGACCAAAAAGAGCA
20
F: CGAATT GACAGAT GGCCT ACA
21
R: CCCAAGCAAGCCT CATACT C
20
F: CTT CACCAGCT CACCGAT CT
20
R: AT CAAT GGGTTCGGGT AGT G
20
F: GCCTTACAGCATT CCCAT GA
20
R: AT CT GCAGGACTT GGACCAC
20
F: T GT GT GTTTAATT GCT CCT GCT
22
R: T GT CT GCCCTTTGACCTTTC
20
F: TT GCAATT GTCCCAAGCAT A
20
R: AT GT CAAGCAT GGCAGT GTT
20
F: CT GAAGCACAATTATTCCAT CAA
23
R: CCAATT GCT CCACAAAGAGC
20
PCR size
Repeat
Tm
(bp)
Sekuens
(oC)
242
(CT )2TTT(CT)9
60.16
204
(CA)8(CT)13
59.45 59.90 59.89 250
(GA)19
59.74 60.09
244
(GA)18
59.82 59.45
192
(CA)3TA(CA)6
237
(T C)4CC(T C)21
186
(CT )26
176
(CT )7(CA)12
208
(CT )20
221
(CT)12
122
(T G)13
207
(CT )13
60.53 59.88 60.22 60.81 60.20 59.44 60.19 60.57 61.36 59.43 60.79 60.22 61.04 59.84 60.41 59.67
193
(AC)11
61.00 60.12
199
(GA)14
59.81 60.23
212
(CT )12
172
(T G)12
60.07 59.17 59.13 60.78
49
17
8
mT cCIR211
18
8
mT cCIR218
19
9
mT cCIR251
20
10
mT cCIR91
21
10
mT cCIR155
22
10
mT cCIR209
F: GGGATT GCACTTCACAAGGT
20
R: T CCAAGTT CCGT AT GT GCT G
20
F: CAT GCGTT GACCAAGGAAG
19
R: AT CAAT GCAT GGGAACACCT
20
F: T CAT GCCCAGT GACACAAAT
20
R: AAT GGACT GGAGCAT GGAAG
20
F: GCCCAT GCTT CTCTT CAT GT
20
R; GGGAAAT GAGAAGGGT GT GA
20
F: CTTAGAGGCTT GT GCCGT GA
20
R: GCCAT GCCAATTTCCAAT AA
20
F: T GT CCTT CACATAAGCCAT GA
21
R: T GTT GCCCTTCCTT GTTAGG
20
179
(CT )9
181
(CT )11
228
(CT )7(CA)12
191
(CT )10
197
(T C)12
243
(GT)6AT(GA)9
59.72 60.25 60.20 59.97 60.07 60.23 59.90 61.50 60.65 59.14 60.10
Proses PCR dilakukan dengan 39 siklus, diawali denaturasi pada 94 o C selama 4 menit, kemudian 39 siklus berikutnya yang terdiri atas denaturasi pada 94 o C selama 45 detik, penempelan (annealing) pada suhu
59.97
55 o C selama 45
detik, dan perpanjangan (extension) pada suhu 72 o C selama 30 detik. Tahap terakhir dilanjutkan dengan perpanjangan akhir (final extension) pada suhu 72 o C selama 5 menit dan pendinginan (cooling) sampai suhu 16 o C selama 5 menit. Hasil amplifikasi PCR dievaluasi de ngan melakukan runni ng pada gel agarose 1% selama 20 menit pada mesin elektroforesis dengan arus 300 Am dan 200 Volt untuk konfirmasi ada tidaknya produk amplifikasi.
Running PAGE DNA hasil amplifikasi dengan SSR Proses elektroforesis dimulai dengan penyiapan kaca. Pertama disiapkan dua kaca panjang dan pendek. Kaca panjang dibersihkan dengan etanol 95%, dan dilanjutkan dengan clear view. Untuk kaca pendek dibersihkan dengan etanol 95%, dilanjutkan dengan campuran antara Bind Silane dan asam asetat. Kemudian, dua kaca disusun dengan diberi plat plastik sebagai pembatas dan dijepit dengan empat pasang penjepit. Sementara itu, disiapka n “Microsatelite gel polyacrilamide” yang terdiri atas: 60 ml 4.5% acrilamide ditambah 10% APS µl dan 90 µl TEMED, kemudian diaduk perlahan sampai tercampur. Cairan acrilamide selanjutnya dituangkan secara perlahan ke celah diantara dua kaca, sisipka n sisirnya dan dibiarkan sampai gel terpolimerisasi. Sampel berupa produk PCR sebanyak 2 µl ditambah 3-4 µl pewarna kemudian diaduk dan didenaturasi pada suhu 94° C selama 10 menit. Plat kaca
50
kemudian dipasang pada mesin elektroforesis, dan dilakukan pre running elektroforesis dengan buffer 1X TBE hingga mencapai suhu 60o C. 2 µl sampel hasil amplifikasi dimasukkan pada celah sisir sampai semua sampel masuk, dan sampel siap di running pada mesin elektroforesis dengan kondisi 3000 volt, 300 mA, 65 Watt selama 2,5 jam. Setelah selesai, kaca dikeluarkan dan lepaskan kaca penutupnya dengan hati- hati. Hasil elektroforesis siap untuk d iwarnai. Pewarnaan perak nitrat dimulai dengan perendaman kaca dalam larutan acetic acid 10% selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan akuades sebanyak 3 x masing- masing selama 10 menit, kemudian dilakukan perendaman pada larutan perak nitrat selama 30 menit, selanjutnya dicuci dengan akuades. Selanjutnya kaca direndam pada larutan developer sambil digoyang hingga nampak pita. Setelah nampak pita, larutan developer dibuang dan terakhir dicuci dengan acetic acid selama 5 detik dan dilanjutkan pencucian terakhir dengan air.
Skoring dan analisis data Skoring dilakukan terhadap posisi alel hasil amplifikasi PCR untuk masing- masing genotipe pada tiap lokus SSR. Hasil skoring dilakukan analisis untuk melihat keragaman genetik dengan menggunakan
software NTSys,
sedangkan tingkat heterosigositas ditentukan dengan menggunakan software CERVUS. Data hasil analisis klastering digabungkan denga n data respon ketahanan terhadap P. palmivora yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya (Rubiyo, 2009). Respon ketahanan ditentukan berdasarkan luas bercak daun yang muncul pada hari ke-6 setelah diinokulasi dengan P. palmivora. TH: tahan; AT: agak tahan;
AR: agak rentan; RT: rentan; SR: sangat rentan terhadap infeksi P.
palmivora menguunakan metode uji yang dilakukan.
Has il dan pe mbahas an Analisis SSR Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan 22 primer yang sebelumnya telah digunakan dalam mengamplifikasi DNA tetua. Pada amplifikasi DNA tetua digunakan 39 primer SSR, akan tetapi hanya 22 primer yang
51
menunjukkan pita polimorfik untuk lima tetua yang digunakan. Hasil PCR menunjukkan bahwa seluruh primer dapat mengamplifikasi sepuluh hibrida (H1 sampai H10), meskipun tidak untuk semua individu. Hal ini dapat dilihat dari hasil running pada gel agarose (Gambar 12).
H1
H2
H3
H4
H5
M
H6
H7
H8
H9
H10
Gambar 12. Contoh Hasil PCR 10 hibrida F1 dengan Primer MTcCIR 67 pada gel agarose, M = marka Hasil analisis tingkat kesamaan genetik antar lima klon tetua yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8, sedangkan hasil analisis klaster untuk pengelompokkan lima klon kakao yang digunakan sebagai tetua disajikan pada Gambar 13.
Tabe l 8. Tingkat kesamaan 5 klon kakao terpilih yang digunakan untuk menghasilkan populasi F1. Klon kakao ICCRI3 TSH858 DR1 ICS13 Sca6 ICCRI3 TSH858 0.33 DR1 0.33 0.43 ICS13 0.40 0.48 0.33 Sca6 0.22 0.32 0.17 0.15 Keterangan: Tingkat kesamaan dianalisis berdasarkan keragaman alel dengan menggunakan sejumlah lokus marker SSR yang telah digunakan sebelumnya. Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa tingkat kesamaan di antara lima klon kakao yang dijadikan sebagai tetua bervariasi antara 0.15 – 0.48. Hal ini berarti jarak genetik antar tetua yang digunakan untuk menghasilkan galur kakao hibrida F1 berkisar antara 0.52 – 0.85 yang menunjukkan bahwa nilainya relatif tinggi. Dari informasi jarak genetik antar tetua tersebut mengindikasikan bahwa populasi F1 yang dihasilkan akan mempunyai tingkat keragaman genetik yang tinggi. Keragaman genetik antar individu dalam populasi F1 yang dihasilkan diduga akan
52
mempunyai nilai tinggi, terutama dari hasil kombinasi persilangan antara: klon kakao DR 1 x Sca 6, ICS 13 x Sca 6, dan ICCRI 3 x Sca 6.
Gambar 13. Pengelompokkan lima klon tetua untuk menghasilkan populasi F1 berdasarkan marka molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Ketiga famili hibrida F1 hasil persilangan antara ketiga pasangan tetua tersebut diduga akan mengasilkan populasi F1 dengan keragaman genetik yang tinggi. Selain itu, karena dalam persilangan tersebut digunakan klon kakao Sca 6 (yang diketahui seba gai klon resisten) sebagai do nor sifat-sifat resistensi terhadap hama dan penyakitkya, maka besar kemungkinan populasi hibrida F1 hasil persilangan antara ketiga pasangan tetua tersebut diduga akan menghasilkan populasi F1 dengan ketahanan terhadap infeksi penyakit dan hama PBK. Hasil analisis klaster yang dilakukan juga menjelaskan bahwa Sca 6 mempunyai tingkat kesamaan yang paling rendah dengan empat klon kakao yang lain. Sebaliknya, klon kakao TSH 858 dan ICS 13 mempunyai tingkat kesamaan yang tertinggi diantara lima tetua yang dievaluasi (Gambar 13). Berdasarkan hal tersebut, akan menjadi menarik untuk melihat keragaman yang ada pada individuindividu dalam populasi hibrida F1 turunan pasangan kombinasi tetua tertentu dan hubungannya dengan jarak genetik pasangan tetuanya .
Keragaman hibrida F1 Hasil running pada gel akrilamid menunjukkan adanya keragaman pada individu- individu dalam populasi hibrida F1 (gambar 14).
53
M 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 10
1
1
2
2 3
Gambar 14. Contoh elektroferogram hasil PCR menggunakan primer SSR mTcCIR 167 (P1) dan mTcCIR 10 (P2) dengan 10 contoh DNA kakao F1. Amplifikasi dengan primer P1 (lokus P1) menghasilkan dua macam pita yang berbeda ukuran (masing- masing menjadi alel 1 dan alel 2 pada lokus P1). Primer P2 (lokus P2) menghasilkan tiga macam pita yang berbeda (masing- masing menjadi alel 1. Alel 2, dan alel 3 pada lokus P2). Adanya keragaman di antara individu pada hasil silangan dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya adalah adanya rekombinasi alel terutama pada genotipe yang heterozigot. Apabila dua tetua yang masing- masing memiliki dua alel heterozigot disilangkan, maka akan menghasilkan individu dengan empat ke mungkinan variasi genotipe (misalnya P1 memiliki alel “1” dan “2” disilangkan dengan P2 yang memiliki “3” dan “4”, maka hibrida F1 yang dihasilkan memiliki empat kemungkinan kombinasi alel yaitu A:“1” da n “3”; B: “1” da n “4”; C: “2” dan “3”; D:”2” da n “4”. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa selain tingkat heteros igos itas, hal lain yang perlu dipe rhatika n da lam menentuka n tetua untuk persilangan adalah ada tidaknya kesamaan alel dalam masing- masing primer yang digunakan untuk menghasilkan marka molekuler SSR. Berkaitan de ngan hal tersebut, klon-klon yang diharapkan menghasilkan hibrida yang baik adalah klonklon yang tingkat heterosigositasnya tinggi dan kombinasi alel dalam setiap primernya berbeda. Sebagai contoh: klon ICCRI 3 mempunyai kombinasi alel 2,5 untuk primer mTcCIR 213 dan 1,3 untuk primer mTcCIR 16, sedangkan klon TSH 858 mempunyai kombinasi alel masing- masing 2,4 dan 1,3 untuk primer yang sama. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kedua klon sama-sama heterosigot dan memiliki kompos isi alel yang berbeda. Semakin besar tingkat
54
heterosigos itas dan semakin beragam kombinasi alel pada semua lokus yang diamplifikasi untuk sepasang klon kakao yang disilangkan, maka semakin besar keragaman genetik yang aka n dihasilka n diantara tur unan hasil persilangan dari kedua tetua tersebut (Sudarsono et al.2009). Analisis keragaman hibrida kakao dilakukan berdasarkan marka molekuler dan respon terhadap P.palmivora. Hasil analisis clustering dengan menggunakan program NTSys pada masing- masing silangan menunjukkan adanya keragaman dan pengelompokan di antara individu. Analisis yang dilakukan terhadap sepuluh individu hasil persilangan antara ICCRI3 dengan TSH 858 menunjukkan adanya pengelompokan yang terdiri atas tiga kelompok pada koefisien keragaman 0.5 (Gambar 15). Individu nomor 1, 2, 6, 9 dan 10 berada pada satu kelompok yang sama, individu nomor 1,4, dan 7 terpisah dari kelompok pertama, sedangkan nomor 1 dan 8 berada pada kelompok lain.
Gambar 15. Pengelompokkan aksesi hasil persilangan antara klon ICCRI-3 x TSH858 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua ini menghasilkan delapan individu yang tahan, satu agak tahan dan satu agak rentan (Gambar 15). individu- individu yang tahan berada pada kelompok dua dan tiga, sedangkan kelompok pertama sebagian individu tahan tetapi ada yang agak tahan da n agak r entan. Analisis yang dilakukan terhadap sepuluh individu hasil persilangan antara ICCRI3 dengan DR1 menunjukkan adanya pengelompokan yang terdiri atas dua
55
kelompok pada koefisien keragaman 0.5. Individu nomor 1 berada pada satu kelompok dengan nomor 4, 5 dan 10, sedangkan nomor 2, 6, 8, dan 9 pada kelompok lain. Individu nomor 3 dan 7 terpisah dari kedua kelompok (Gambar 16).
Gambar 16. Pengelompokka n aksesi hasil persilangan antara klon ICCRI-3 x DR1 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua ini menghasilkan sembilan individu yang tahan, dan satu agak rentan (Gambar 16). Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum silangan antara tetua ICCRI3 de ngan DR1 merupaka n tetua yang memiliki potensi kuat untuk menghasilkan keturunan yang tahan terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora .
56
Gambar 17. Pengelompokkan aksesi hasil persilangan antara klon ICCRI-3 x ICS13 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Analisis yang dilakuka n terhadap sepuluh individu hasil persilangan antara ICCRI3 dengan ICS13 menunjukkan adanya pengelompokan yang terdiri atas dua kelompok pada koefisien keragaman 0.5. Individu nomor 1,3, 5, 6, dan 7 berada dalam satu kelompok, nomor 2, 4, 8 dan 10 berada pada kelompok yang lain, sedangkan individu nomor 9 tidak termasuk ke
dalam dua kelompok
tersebut (Gambar 17). Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua ini menghasilkan sepuluh
individu yang
seluruhny a tahan (Gambar 17). Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum silangan antara tetua ICCRI3 dengan ICS13 merupaka n tetua yang memiliki potensi kuat untuk menghasilkan keturunan yang taha n terhadap pe nyakit busuk buah yang disebabka n P.palmivora .
57
Gambar 18. Pengelompokkan aksesi hasil persilangan antara klon ICCRI-3 x Sca6 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Analisis yang dilakukan terhadap sepuluh individu hasil persilangan antara ICCRI3 dengan SCa-6 menunjukkan adanya pengelompokan menjadi dua kelompok pada koefisien keragaman 0.5. Individu nomor 1, 2, 3, 6, dan 8 berada dalam satu kelompok, nomor 4, 7, 9 dan 10 berada pada kelompok yang lain, sedangkan individu nomor 5 tidak termasuk ke dalam dua kelompok tersebut (Gambar 18). Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua di atas menghasilkan sepuluh individu yang berragam terdiri atas lima individu tahan, satu agak tahan, satu agak rentan, dua rentan, dan satu sangat rentan (Gambar 18). Keragaman ini nampaknya tidak ada kaitannya dengan pengelompokan karena pada kelompok yang sama ternyata ketahanannya bervariasi. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun kedua tetua memiliki sifat tahan tetapi de ngan jarak genetik yang tinggi dapat menghasilkan hibrida yang memiliki keragaman tinggi. Dengan demikian apabila mengharapkan hasil silangan yang seluruhnya tahan terhadap P. palmivora maka tidak disarankan untuk menyilangkan kedua tetua ini.
58
Gambar 19. Pengelompokkan aksesi hasil persilangan antara klon TSH-858 x DR1 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Analisis yang dilakukan terhadap sepuluh individu hasil persilangan antara TSH 858 de ngan DR1 menunjukkan adanya pengelompokan yang terdiri atas dua kelompok pada koefisien keragaman 0.5. Individu nomor 1,2, 5, 7, dan 10 berada dalam satu kelompok, nomor 3, 4, da n 6
berada pada kelompok yang lain,
sedangkan individu nomor 8 da n 9 tidak termasuk ke dalam dua kelompok tersebut (Gambar 19). Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua ini menghasilkan tujuh individu yang tahan, satu agak tahan, da n dua rentan (Gambar 19). Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun kedua tetua memiliki sifat tahan terhadap P palmivora, tetapi dengan jarak genetik yang cukup tinggi (0.53) dapat menghasilkan hibrida yang memiliki keragaman tinggi.
59
Gambar 20. Pengelompokkan aksesi hasil persilangan antara klon TSH-858 x ICS-13 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Analisis yang dilakukan terhadap sepuluh individu hasil persilangan antara TSH-858 de ngan ICS-13 menunjukkan adanya pengelompokan yang terdiri atas empat kelompok pada koefisien keragaman 0.5. Individu nomor 1, 6, dan 9 berada da lam satu kelompok, nomor 2 dan 3 berada pada kelompok ke dua, individu 4 dan 8 pada kelompok ke tiga, seda ngka n individu nomor 5 dan 7 dalam kelompok yang lain (Gambar 20). Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua ini menghasilkan sepuluh
individu yang
cukup berragam terdiri atas lima individu taha n, dua agak tahan, da n dua rentan (Gambar 18). Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun kedua tetua memiliki sifat tahan terhadap P palmivora, tetapi de ngan jarak genetik yang cukup jauh dapat menghasilkan hibrida yang memiliki keragaman tinggi.
60
Gambar 21. Pengelompokkan aksesi hasil persilangan antara klon TSH-858 x Sca-6 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Analisis yang dilakukan terhadap sepuluh individu hasil persilangan antara TSH-858 de ngan SCa-6 menunjukkan adanya pengelompokan yang terdiri atas tiga kelompok pada koefisien keragaman 0.5. Individu nomor 1, 6, 8 dan 10 berada dalam satu kelompok, nomor 3, 4, dan 5 berada pada kelompok ke dua, sedangkan individu nomor 2, 7 dan 9 dalam kelompok ke tiga (Gambar 21). Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua ini menghasilkan sepuluh
individu yang
berragam terdiri atas enam individu tahan, satu agak tahan, satu agak rentan, satu rentan, dan satu sangat rentan (Gambar 21). Keragaman ini nampaknya tidak ada kaitannya dengan pengelompokan karena. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun kedua tetua memiliki sifat tahan tetapi dengan jarak genetik yang tinggi (0.68) dapat menghasilkan hibrida yang memiliki keragaman tinggi. Dengan demikian apabila mengharapkan hasil silangan yang seluruhnya tahan terhadap P. palmivora maka tidak disarankan untuk menyilangkan kedua tetua ini.
61
Gambar 22. Pengelompokka n aksesi hasil persilangan antara klon DR-1 x ICS-13 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Analisis yang dilakuka n terhadap tujuh individu hasil persilanga n antara DR1 dengan ICS13 menunjukkan adanya pengelompokan yang terdiri atas tiga kelompok pada koefisien keragaman 0.5. Individu nomor 1 dan 5 berada dalam satu kelompok, nomor 2, 6, dan 7 berada pada kelompok ke dua, sedangkan individu nomor 3 dan 4 termasuk ke dalam kelompok ke tiga (Gambar 22). Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua ini menghasilkan tujuh
individu yang
seluruhny a tahan (Gambar 22). Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum silangan antara tetua DR1 de ngan ICS13 merupaka n tetua yang memiliki pot ensi kuat untuk menghasilkan keturunan yang tahan terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora . Analisis yang dilakukan terhadap sepuluh individu hasil persilangan antara DR1 de ngan SCa-6 menunjukkan tidak adanya pengelompokan di antara sepuluh individu hasil silangan yang dianalisis (Gambar 23). Hal ini mengindikasikan bahwa silangan ke dua tetua yang memiliki jarak genetik cukup tinggi (0.83) ini menghasilkan keragaman yang cukup tinggi. Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua ini menghasilkan delapan individu yang tahan, dan dua agak tahan (Gambar 23).
62
Gambar 23. Pengelompokkan aksesi hasil persilangan antara klon DR-1 x Sca-6 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Analisis yang dilakukan terhadap sembilan individu hasil persilangan antara ICS13 dengan SCa 6 menunjukkan adanya pengelompokan yang terdiri atas dua kelompok pada koefisien keragaman 0.5. Individu nomor 1,3, 4, 6, dan 9 berada dalam satu kelompok, sedangkan nomor 3, 5, 7 dan 8 berada pada kelompok yang lain (Gambar 24).
Gambar 24. Pengelompokkan aksesi hasil persilangan antara klon ICS-13 x Sca-6 berdasarkan marker molekuler SSR dan berdasarkan responsnya terhadap infeksi Phytophthora palmivora. Berdasarkan responnya terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P.palmivora, persilangan dua tetua ini menghasilkan delapan
individu yang
63
tahan dan satu individu agak tahan (Gambar 24). Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum silangan antara tetua ICS13 dengan SCa6 merupaka n tetua yang memiliki potensi kuat untuk menghasilkan keturuna n yang tahan terhadap penyakit busuk b uah ya ng disebabka n P. palmivora .
Simpulan Hasil analisis dengan marka SSR terhadap populasi F1 menunjukkan adanya keragaman genetik yang cukup tinggi di antara individu- individu yang dianalisis. Hal ini terkait dengan perbedaan jarak genetik di antara tetua yang disilangkan. Demikian pula dengan karakter ketahanannya terhadap P. palmivora, hasil silangan menunjukkan keragaman tingkat ketahanannya, meskipun berasal dari dua tetua yang memiliki ketahanan yang sama. Tetua dengan jarak genetik yang tinggi menghasilkan hibrida yang memiliki keragaman tinggi baik pada tingkat alel maupun sifat resistensinya terhadap P. palmivora.
DAFTAR PUSTAKA Borrone JW, Brown JS, Kuhn DN, Motamayor JC, and Schnell RJ. 2007. Microsatellite markers developed from Theobroma cacao L.expressed sequence tags. Molecular Ecology Notes 7: 236–239 Clement D, Risterucci AM, Grivet L,Motamayor JC, Goran JN, and Lanaud C, 2003. Mapping QTL for yield components, vigor and resistance to Phytophthora palmivora in Theobroma cacao L. Genome 46:204-212. Drenth A. and B. Sendall. 2004. Economic Impact of Phytophthora Diseases in Southeast Asia. In Drenth, A. and Guest, D.I., ed. 2004. Diversity and management of Phytop hthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph. P. 10-18 Martinez CC et al. 2006. Combining ability for disease resistance, yield, and horticultural traits of cacao (Theobroma cacao L.) clones. J Amer. Soc. Hor. Sci. 131 (2): 231-241 Pugh T et al. 2004. A new cacao linkage map based on codominant markers: development and integration of 201 new microsatelite markers. Theor Appl Genet 108:1151 – 1161 Rubiyo. 2009. Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) di Indonesia. Disertasi S3 IPB (tidak diterbitkan), 168p.
64
Wahyudi T, Raharjo P. 2008. Sejarah dan Prospek. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 11-26. Winarno H. 2008. Bahan Tanam. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 68-73. Wood GAR. 1985. Establishment. In GAR Wood and RA Lass (Eds.) Cocoa: 119-165. Longman, London
65
BAB V ISOLASI DAN KARAKTERISASI GEN-GEN ANALOG RESISTEN PADA TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) Abstrak Resistensi tanaman terhadap penyakit dikendalikan oleh sejumlah gen ketahanan. Secara umum terdapat dua kelompok gen ketahanan yaitu (1) R gene yang menyandi protein-protein yang berperan dalam mengenali patogen; dan defense gene yang menyandi protein-protein yang berperan menghambat pertumbuhan patogen.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gen-ge n
analog yang diduga terkait dengan sifat resistensi tanaman kakao terhadap Phytophthora palmivora. Melalui teknik PCR dilakukan kloning terhadap gen-ge n resisten analog (RGA) dan defense gen analog (DGA) menggunakan primer spesifik dan non spesifik. Empat primer spesifik yang digunakan adalah Tc-ICLR, Tc Cat, Tc-Chit, da n Tc-Pox, sedangkan primer non spesifik adalah NBS-LRR, Pto, iPto, dan iGlu. Dari delapa n sekuens ya ng diklon, hanya tiga sekuens ya ng berhasil diisolasi, yaitu satu sekuens RGA berupa PTo dan dua sekuens DGA yaitu Cat1 dab Cat2.
Berdasarkan analisis pensejajaran dan dendogram
filogenetik pada tingkat asam amino, ketiga gen analog yang diperoleh memiliki tingkat homologi yang cukup tinggi dengan berbagai tanaman lain. Dari sekuens yang diperoleh selanjutnya dibuat primer spesifik yang dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik kakao berdasarkan marka gen analog resisten.
Kata kunci: Resistance gene, defense gene, primer spesifik, pr imer non spesifik
66
ISOLATION AND CHARACTERIZATION OF RESISTANCE AND DEFENSE GENE ANALOGS IN COCOA (Theobroma cacao L.) Abstract Plants disease Resistance is controlled by a number of resistance genes. Generally there are two groups of resistance genes namely (1) R gene that encod e proteins involved in recognizing pa thogens; and (2) defense response gene that encode proteins that inhibit the growth of pa thogens. This research aims to study the ana log genes thought related to the nature of plant resistance to Phytophthora palmivora. A PCR strategy was used to clone resistance genes analogs (RGAs) and defense gene analogs (DGAs) using specific primers (Tc-ICLR, Tc Cat, TcChit Tc-Pox ), and non-specific primers (NBS-LRR, Pto, IPTO, and I Glu). Of the eight cloned sequences, only three sequences were successfully isolated, they are one RGA sequence of Pto and two sequences of DGA of Cat1 and Cat2. Based on the analysis of alignments and phylogenetic de ndo gram at the amino acid level, those three analogue genes have a fairly high level of homology against other plants. From the obtained sequences, the specific primer will be designed to analyze the ge netic diversity of cocoa by resistant gene analog- marker.
Pendahuluan Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan konsumsi masyarakat terhadap berbagai produk berbahan dasar coklat, maka terjadi peningkatan permintaan biji kakao baik untuk pasar lokal maupun internasional. Hal ini merupaka n pe luang yang amat ba ik bagi Indo nesia seba gai salah satu Negara produsen kakao untuk meningkatkan produksinya baik secara kualitas maupun kuantitas. Pengembangan budi daya kakao di Indonesia masih menemui berbagai kendala, salah satunya adalah gangguan berbagai penyakit yang dapat menyerang tanaman ini. Salah satu penyakit utama yang menyerang pertanaman kakao adalah busuk buah yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora palmivora. Buah ya ng terinfeksi akan menunjukkan gejala pembusukan disertai bercak coklat kehitaman
67
dengan batas yang tegas, biasanya dimulai dari ujung atau pangkal buah (Sukamto 2008). Penyakit ini merupakan masalah yang sulit untuk dikendalikan, sehingga menyebabkan penurunan hasil kakao sacara signifikan. Salah satu cara yang paling efektif untuk mengatasi penyakit ini adalah dengan penanaman kultivar yang tahan. Menurut Akrofi dan Opoku (2000) penanaman varietas yang tahan merupakan cara pengendalian penyakit yang paling bermanfaat karena cara ini ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka upaya pemuliaan tanaman kakao terutama diarahkan untuk mendapatkan kultivar unggul yang berdaya hasil tinggi dan mempunyai sifat resisten terhadap hama dan penyakit terutama penyakit busuk b uah ya ng disebabka n P. palmivora. Pengemba ngan klon kakao yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P.palmivora
juga perlu dilakukan untuk mengatasi penurunan hasil
tanaman kakao. Klon kakao unggul yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P.palmivora dapat dirakit melalui hibridisasi terkontrol antara tetua yang resisten atau toleran de ngan yang berdaya hasil tinggi (Rubiyo 2009). Phytophthora bersifat patogen pada semua bagian tanaman kakao, mulai dari kecambah sampai tanaman dewasa, menyebabkan sejumlah penyakit. Hingga kini ada delapan species Phytophthora yang telah diisolasi dari tanaman kakao yaitu: P. palmivora, P. megakarya, P. capsici, P. tropicalis, P. katsurae, P. arecae, P. nicotianae, da n P. megasperma (App iah et al. 2003). Mekanisme resistensi penyakit tanaman dibagi menjadi dua kategori yaitu preformed resistance (resistensi alami) dan induced resistance (resistensi yang diinduksi) (Agrios 2005). Tanaman sejenis dapat memberikan respon yang berbeda terhadap serangan patogen. Ada yang rentan, agak rentan, tahan atau agak tahan. Hal ini bergantung pada jenis dan jumlah gen- gen resisten yang terdapa t pada tanaman tersebut. (Agrios 2005). Ketika tanaman terserang patogen maka sejumlah gen ketahanan akan diaktifkan, sehingga tanaman akan membatasi penyebaran penyakit dengan membentuk bercak-bercak, lesion, atau be njolan melalui pembentukan struktur maupun senyawa yang dapat menahan penyebaran patogen.
68
Tanaman memiliki sistem yang kompleks dalam hal mempertahankan diri dari serangan penyakit, nematode maupun serangga (Chen et al. 2009). Salah satu pertahanan yang efektif dike nal de ngan interaksi gen de ngan gen yang membutuhkan gen ke tahanan (R) khusus dan berhubungan dengan gen avirulen (Avr) dari pathogen (Wang et al. 2004; Miller et al. 2008). Fungsi utama dari R gene adalah mengenda lika n ketahanan terhadap pe nyakit dengan memiliki hubungan antar gen (gene for gen relationship) de ngan gen avirulen (avr) pathogen ((Hammond-Kosack and Jones 1997). Beberapa gen yang terlibat dalam interaksi tanaman-patogen telah berhasil dikenali. Gen yang mengendalikan sifat resistensi terdiri atas dua kelompok: yang pertama adalah kelompok gen yang terlibat dalam pengenalan patogen dan atau sinyal transduksi disebut gen ke tahaman (R gene); yang lainnya terlibat dalam mekanisme ketahanan dan sintesis produk yang dibutuhka n unt uk pe ngenalan patogen (Hammond-Kosack dan Jones 1997). Ketahanan secara kuantitatif pada tanaman kakao telah banyak dipelajari. Berdasarkan pengamatan fenotipik dijelaskan bahwa sifat resistensi dikendalikan oleh banyak gen (poligenik), oleh karena itu pendekatan yang digunakan untuk mempelajarinya difokuskan pada gen-gen yang berpotensi terlibat dalam lintasan biokimia ketahanan terhadap penyakit. Hal ini didasarkan pada dugaan bahwa gen-ge n tertentu yang dike nal fungs inya be rhubungan de ngan ketahana n tanaman memegang peranan dalam interaksi antara tanaman dengan patogen (Lanaud et al.2003). Bailey et al. (2005) berhasil mempelajari gen-gen yang terekspresi sebagai respon kakao terhadap infeksi Phytophthora megakarya dan menemukan bahwa ekspresi gen- gen tersebut berbeda pada berbagai umur daun. Saat ini telah lebih dari 60 gen ke tahanan (R gene) yang berhasil diperoleh dan diperbanyak dari berbagai spesies tanaman (Dilbirligi and Gill 2004; Chen et al. 2008). Berdasarkan domain structural yang dimilikinya, gen ketahanan (R gene) dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok : 1) gen yang menyandi protein yang mengandung Nucleotide Binding Site da n Leucine-Rich Repeat (NBS-LRR); 2) ge n yang menyandi protein yang menga ndung serin/threonin kinase (STK); 3) gen yang menyandi protein yang mengandung extracitoplasmic Leucine-Rich Repeat (eLRR) (Gao et al. 2005). Gen NBS menyandi protein NBS yang
69
memegang peran penting dalam ketahanan terhadap patogen dan siklus sel. Keberadaan kelompok gen NBS cukup berlimpah dalam genom tanaman berkisar antara 0.6 – 2% dari jumlah gen total (De Young 2006). Genom kakao paling sedikit mengandung 253 gen LRR-RLK yang memiliki kemiripan dengan A thaliana (Argout et al. 2010) Kelompok gen lainnya dikenal sebagai gen pertahanan (defence response gene), berperan dalam pembatasan serangan pathogen pada jaringan tanaman dengan cara membatasi pertumbuhan, perkembangan dan perbanyakan patogen dalam tubuh tanaman. Gen ini menyandi protein yang dikenal dengan PR protein (Pathogenesis Related Protein). Beberapa senyawa yang sudah diidentifikasi sebagai PR protein antara lain glucanase, chitinase, peroxidase, dsb. (Lanaud et al. 2003). Berbagai gen ketahanan telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi dari berbagai jenis tumbuhan seperti anggur (Gaspero and Cipriani, 2003), kedelai (Wang et al. 2004), kapas (Gao et al. 2005), sorghum (Totad et al.2005), zizania (Chen et al. 2006), pisang (Xinwu et al. 2007; Miller et al. 2008), ubi ramba t (Chen et al. 2008), juga gandum (Zhang et al. 2010). Demikian pula pada kakao, penelitian tentang RGA/DGA sebelumnya telah dilakukan oleh Lanaud et al. (2003); Clement et al. (2003); dan Bailey et al. (2005). Penelitian yang dilakuka n bertujuan untuk: (1) mengisolasi gen- gen analog yang diduga terkait dengan sifat resistensi kakao terhadap Phytophthora Palmivora ; (2) mengidentifikasi fragmen DNA gen-gen DGA/RGA pada tanaman kakao; (3) menentukan runutan fragmen DNA gen- gen DGA/RGA pada kakao. Selanjutnya dari hasil penelitian ini akan dikembangka n pe nanda molekuler spesifik untuk gen-gen DGA/RGA yang dapat diguna ka n untuk analisis keragaman kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia.
Bahan dan Metode Waktu dan tempat Kegiatan
dilaksanakan
di
laboratorium
Central
of
Agricultural
Biotechnology Kasetsart University, Thailand mulai bulan September 2008
70
sampai dengan Januari 2009, dan laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura (Agrohort), Fakultas Pertanian Intitut Pertanian Bogor dari bulan September 2009 sampai dengan Juni 2010.
Bahan tanaman dan ekstraksi DNA kakao DNA kakao diisolasi dari delapan klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia,
Jember (Tabe l 9). Lebih kurang 20-30 mg daun kering
dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam tabung eppendoft bersama bola gir kecil. Sampel daun dihancurkan dalam mesin penghancur jaringan (Retsch MM301) selama 3 menit de ngan frekuensi 300 hertz. Jaringa n yang suda h hancur diinkubasi dengan buffer lisis yang mengandung RNase selama semalam, dan difiltrasi melalui filter column. Eks traks i larutan DNA selanjutnya dilakukan sesuai dengan protokol Plant Genomic DNA Mini Kit (Geneaid, Geneaid Biotech Ltd. http://www.geneaid.com). Urutan tahapan ekstraksi secara lengkap disajikan pada lampiran.
Tabe l 9. K lon-klon kakao yang digunakan sebagai templat DNA untuk PCR No.
Klon
Tipe
Kelompok
Ketahanan
1.
DR 1
Trinitario
Mulia
SR
2.
DR 2
Trinitario
Mulia
RT
3.
DR 38
Trinitario
Mulia
TH
4.
ICCRI 1
Trinitario
Lindak
TH
5.
ICCRI 2
Trinitario
Lindak
AR
6.
ICCRI 3
Trinitario
Lindak
TH
7.
ICCRI 4
Trinitario
Lindak
RT
8.
DRC 15
Trinitario
Lindak
SR
9.
PA 300
Trinitario
Lindak
TH
10.
SCa 6
Trinitario
Lindak
TH
Catatan: Data tipe dan kelompok kakao diperoleh dari Puslit Kopi dan Kakao Indo nesia. Data Respon ketahanan diperoleh dari hasil penelitian Rubiyo (2009). Ket: SR: sangat rentan; RT: rentan; AR: agak rentan; AT: agak tahan; TH: tahan.
71
PCR dan Amplifikasi DNA Template DNA dari masing- masing klon kakao diamplifikasi dengan empat primer
spesifik dan empat primer non spesifik. Primer spesifik yang
digunakan adalah Tc-ICLR, Tc Cat, Tc-Chit, da n Tc-Pox, sedangkan primer non spesifik adalah NBS-LRR, Pto, iPto, da n iGlu. Primer yang digunakan dalam penlitian ini diambil da ri primer yang sudah digunakan dalam penelitian sebelumnya pada kakao (Lanaud et al. 2004). PCR dilakukan dengan total volume 15 µl, terdiri atas 2 µl DNA template, 1 µl primer, 1.5 µl 10x buffer, 0.15 µl MgCl, 0.075 Taq DNA polymerase, dan 2.7 µl dNTP. Proses PCR dilakukan dengan 39 siklus, diawali denaturasi pada 94 oC selama 4 menit, kemudian 39 siklus berikutnya yang terdiri atas denaturasi pada 94 o C selama 45 detik , penempelan (annealing) pada suhu 50 o C (untuk primer spesifik) dan 42 o C ( untuk pr imer non spesifik) selama 45 detik, dan perpanjangan (extension) pada suhu 72 o C selama 30 detik. Tahap terakhir dilanjutkan dengan perpanjangan akhir (final extension) pada suhu 72
o
C selama 5 menit dan pendinginan
(cooling)sampai suhu 16 o C selama 10 menit. Hasil amplifikasi PCR dievaluasi dengan melakukan running pada gel agarose 1% selama 20 menit pada mesin elektroforesis dengan arus 300 Am dan 200 V.
Kloning dan Sekuensing Fragmen DNA Produk PCR yang telah divisualisasikan pada gel agarose, dipilih yang memiliki pita yang jelas untuk keperluan kloning dan sekuensing. Produk PCR dilakukan menurut protokol PCR Clean Up Kit dari produk Gel/PCR DNA Fragments Extraction Kit (Geneaid). Fragmen DNA PCR yang telah murni diperbanyak di bakteri Eschericia coli strain DH 10B. Fragmen DNA sebanyak 1.5 ul diligasikan ke vektor p GEMP-T 0.5 ul menggunakan enzim T4 DNA ligase 0.5 ul dan buffer 2.5 ul pada suhu 4°C selama semalam. Sebanyaak 2.5 ul DNA plasmid hasil ligasi ditransformasikan ke 40 ul sel kompeten E. coli dengan sistem kejut listrik. Bakteri E. coli kemudian dikultur pada media LB cair 800 ul. Bakteri E. coli digoyang di atas shaker dengan kecepatan 220 rpm dan suhu 37°C selama lebih kurang dua jam. Sel E. coli sebanyak 80 ul kemudian disebar di media LB padat yang mengandung ampisilin, dan IPTG. E. coli diinkubasi di
72
dalam inkubator dengan suhu 37°C selama semalam. Sel E. coli transfor man yang mengandung DNA sisipan akan membentuk koloni putih. Konfirmasi adanya DNA sisipan pada plasmid dilakukan dengan elektrophoresis PCR koloni di agarose 1.0% . Koloni bakteri yang positif mengandung plasmid dan DNA sisipan diambil sebanyak 5 ul dan dikultur dalam media LB cair 5 ml, selanjutnya digoyang di atas shaker incubator dengan kecepatan 220 rpm selama 16 jam. Ekstraksi plasmid rekombinan dari bakteri E. coli dilakukan sesuai dengan protokol High-Speed Plasmid Mini Kit (Geneaid). DNA plasmid diukur konsentrasinya dengan metode elektroforesis dalam agarose gel 1.0 % dengan marka kuantitas. DNA plasmid dikirim ke manufaktur untuk disekuensing.
Analisis Hasil Sekuensing dan Desain Primer Spesifik Data hasil sekuensing berupa runutan DNA selanjutnya dianalisis tingka t kemiripannya dengan tanaman lain menggunakan metode BlastN, yang dapat diakses dari situs NCBI (http://www,ncbi.nlm.nih.gov). Runutan asam amino diperoleh de nga n
mentranslasika n
runutan
nukleotida
hasil
sekuensing
menggunakan perangkat lunak DNAMAN. Analisis pensejajaran runutan asam amino dilakuka n de ngan program ClustalW yang tersedia di situs Genebe e (http://www.genebee.msu.su/clustal/advanced.html) dan diekspor ke program Genedoc. Selanjutnya analisis filogenetik dilakukan dengan menggunakan program UPGMA untuk mempe roleh dendo gram. Berdasarka n hasil sekuensing diperoleh runutan fragmen DNA yang ke mudian dibuat desain primer spesifik dengan menggunakan program software Primer 3. Selanjutnya primer spesifik ini akan digunakan untuk menganalisis keragaman genetik hibrida F1 kakao.
Hasil dan Pembahasan Amplifikasi PCR dan sekuensing klon yang mengandung DGA/RGA Hasil amplifikasi dengan PCR menunjukkan bahwa di antara delapan pasang primer yang digunakan, tidak semuanya dapat mengamplifikasi genom kakao. Primer- primer yang dapat mengamplifikasi genom kakao terdiri atas
73
empat primer spesifik dan dua primer non spesifik (Tabel 11). Produk PCR yang dihasilkan memiliki ukuran berkisar antara 800 -1000 bp (Gambar 25). Produk PCR dari setiap gen diligasi ke dalam plasmid vector dan selanjutnya diperbanyak da lam bakteri E. coli, menghasilkan masing- masing dua klon untuk TcCat, NBSLRR, dan Pto. Klon-klon yang mengandung fragmen DNA tersebut selanjutnya dilakuka n sekue nsing.
Tabe l 10. Primer spesifik dan non spesifik, suhu annealing dan ukuran produk PCR`untuk amplifikasi gen- gen RGA/DGA pada kakao No.
Nama Primer
1.
A. Primer spesifik Tc-ICLR
2.
Tc Cat
3.
Tc-Chit
4.
Tc-Pox,
5.
B. Non spesifik NBS-LRR
6
Pto
Sekuens
Suhu annealing
F: ATGGCTGCATCTTTCTCAGTGCC R: GTTCTCCATAAC TTCTTGGCCAT F: TCACTAATGGATCCCTACAAGG R: GTGACCTCAAAGAAACCCTTTGC F: TTCGCTACAACCGGTGATGATGC R: AGAAGGCTTTGGGTGGATTGTGGAG F: CTTCATTTCCATGACTGCTTCGT R: GGTGGTAAGGTTCTGCAAGGTTACT
56 oC
F: GGTGGCATTGGTAARACNACNCTNGC R: GTTGTCTTACCAATGCCNCCCATNCC F: GGAGGATTTGGTAARGTNTAYAAR R: ACCACACCAAATGAPTANACPTC
M
1
2
3
4
5
56 oC 56 oC 56 oC 42oC 42oC
6
Gambar 25. Hasil amplifikasi genom kakao ICCRI3 dengan 6 pasang primer yang digunakan: 1 hasil amplifikasi genom kakao dengan primer NBS-LRR, 2 primer TcPox, 3 primer Cat, 4. Primer Chit, 5 primer ICL, dan 6 primer Pto, M=marker
74
Analisis Runutan Fragmen DNA dan Asam amino Analisis runutan basa dari potongan fragmen gen Cat1, Cat2, dan Pto yang berasal dari DNA genomik kakao menghasilkan runutan basa masing- masing dengan panjang 1081, 957, dan 542 bp (Gambar 26). Fragmen gen Cat 1 memiliki daerah ekson dengan panjang 882 bp dan menyandikan 294 asam amino (Gambar 26A), Cat 2 memiliki daerah ekson dengan panjang 665 bp dan menyandikan 222 asam amino (Gambar 26B), sedangkan Pto
memiliki daerah ekson dengan
panjang 540 bp dan menyandikan 180 asam amino (Gambar 26C). A 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961 1021 1081
TCACTAATGGATCCCTACAAGGTACTCTTTCTCTTCTCCGATTCTAATTATAATTAATAA T N G S L Q G T L S L L R F * L * L I TCGTTTGCTGGATTTAATTCGACTTTGTATTTGTTTTTGACGAATTATTTTCTTCTTTCA I V C W I * F D F V F V F D E L F S S F ATCAAATCTTGCTGAGGTTCGTTTTTGATTGACTCTGTTTCCTTCTTCTTCTTTTTTCCT N Q I L L R F V F D * L C F L L L L F S TTTTTGTTAATTGGATTTCTGTAACGTGGCCTTGTTTGCTTCGATTAAAGTTTTCTTCAG F F V N W I S V T W P C L L R L K F S S GATGTTCCTAATCGTTTCTTACCTTAAGCTATTAGATGAGAAATCGCTTTTTAGGGAGAA G C S * S F L T L S Y * M R N R F L G R AATTATTTTTGACTTCCGAAGACTGAAGTACTAAAAAGCCATTTCAAATAAGTCTCTTTA K L F L T S E D * S T K K P F Q I S L F TAATAATAATTTTGATGAATCGAGTTGAATTTCTTTCTTTTGGTTTTTTTCATTTTTCTC I I I I L M N R V E F L S F G F F H F S TGCGATTACAGTTCGTTAGTGAATAATCATTCTTTTTGGGTATTCTAAATTGGATGATGC L R L Q F V S E * S F F L G I L N W M M AGTACCGCCCATCAAGTGCTTTCAATTCCCCATTCTGGACAACTAATTCTGGTGCTCCAG Q Y R P S S A F N S P F W T T N S G A P TTTGGAACAACAACTCATCACTCACTGTCGGACCCAGAGGTATATGATTTTCTCCCCCTT V W N N N S S L T V G P R G I * F S P P TTTCTTTTGTTTTTATAGAAATACTACTTGTGTAACTATAATGAAAATCACCCGCTACTG F S F V F I E I L L V * L * * K S P A T ACTGCCAGATTATTAGTCATGATTTTTCTTGAGCACTTTCCTCTTGAGTTGATATTCATT D C Q I I S H D F S * A L S S * V D I H TTGGCAATACTTATGATTATCAAGAGCACTTTATCATTATAATTTGTGCCGCGATCAGCA F G N T Y D Y Q E H F I I I I C A A I S TTTTGTTGTTATAGTTTGCTTAGGTTGTTCCTATTTGATTATATATCACTATCACTAATA I L L L * F A * V V P I * L Y I T I T N TAGTAGTCTTATGCAATGCATTCCTGTAACTATTAAACTGAAAACCATCTTTTCCCATTT I V V L C N A F L * L L N * K P S F P I TTTTTATTAGCTGGGTGGGGGGCTGGGGTTTGCACTTGGCATTTTGTGTCAATCAAATTG F F I S W V G G W G L H L A F C V N Q I TAAAACTTGAAAACTATGTTAATATTCTTTGCGGGAACAATTTTCTTTTAACAAATGTTG V K L E N Y V N I L C G N N F L L T N V TTGAAAATTTGGAACCNNANTTNNNTTTGACAGGACCAATNNNCTCTTGAGGANNNNATT V E N L E P X X X L T G P X X S * G X X A
B 1 61 121
GTGACCTCAAAGAAACCCTTTGCCCAATCTCCCTTGTAGGGATCCATTAGTGAATTAGAT * P Q R N P L P N L P C R D P L V N * M GAGAAATCGCTTTTTAGGGAGAAAATTATTTTTGACTTCCGAAGACTGAAGTACTAAAAA R N R F L G R K L F L T S E D * S T K K GCCATTTCAAATAAGTCTCTTTATAATAATAATTTTGATGAATCGAGTTGAATTTCTTTC P F Q I S L F I I I I L M N R V E F L S
75
181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901
C 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541
TTTTGGTTTTTTTCATTTTTCTCTGCGATTACAGTTCGTTAGTGAATAATCATTCTTTTT F G F F H F S L R L Q F V S E * S F F L GGGTATTCTAAATTGGATGATGCAGTACCGCCCATCAAGTGCTTTCAATTCCCCATTCTG G I L N W M M Q Y R P S S A F N S P F W GACAACTAATTCTGGTGCTCCAGTTTGGAACAACAACTCATCACTCACTGTCGGACCCAG T T N S G A P V W N N N S S L T V G P R AGGTATATGATTTTCTCCCCCTTTTTCTTTTGTTTTTATAGAAATACTACTTGTGTAACT G I * F S P P F S F V F I E I L L V * L ATAATGAAAATCATCCGCTACTGACTGCCAGATTATTAGTCATGATTTTTCTTGAGCACT * * K S S A T D C Q I I S H D F S * A L TTCCTCTTGAGTTGATATTCATTTTGGCAATACTTATGATTATCAAGAGCACTTTATCAT S S * V D I H F G N T Y D Y Q E H F I I TATAATTTGTGCCGCGATCAGCATTTTGTTGTTATAGTTTGCTTAGGTTGTTCCTATTTG I I C A A I S I L L L * F A * V V P I * ATTATATATCACTATCACTAATATAGTAGTCTTATGCAATGCATTCCTGTAACTATTAGA L Y I T I T N I V V L C N A F L * L L D CTGAAAACCATCTTTTCCCATTTTTTTTATTAGCTGGGTGGGGGGCTGGGGTTTGCACTT * K P S F P I F F I S W V G G W G L H L GGCATTTTGTGTCAATCAAATTGTAAAACTTGAAGACTATGTTAATATTCTTTGTGGGAA A F C V N Q I V K L E D Y V N I L C G N CAATTTTCTTTTAACAAATGTTGTTGATAATTTGGAACCTACATTTCTATTTGACAGGTC N F L L T N V V D N L E P T F L F D R S CAATTCTCCTTGAGGACTATCATCTGGTGGAAAAGCTTGCCAACTTTGATAGGGAGCGGA N S P * G L S S G G K A C Q L * * G A D TTCCAGAACGTGTTGTCCATGCTAGGGGAGCCAGTGCAAAGGGTTTCTTTGAGGTCC S R T C C P C * G S Q C K G F L * G
GGAGGATTTGGTAAGGTATATAAGGGGTTCTTAGATGAAGGGGAAACAATAGTTGCAATC G G F G K V Y K G F L D E G E T I V A I AAGCGCCTGAATCCAGAGTCCAGACAAGGTGTTTCCGAGTTCTTGACAGAGATTGAGATG K R L N P E S R Q G V S E F L T E I E M CTCTCTCAGCTTCGCCATGTTCATTTGGCGTCCTTGATCGGATATTGCAATGAAAATCGT L S Q L R H V H L A S L I G Y C N E N R GAGATGATACTCGTGTATGATTTTATGAGTAACGGAACTCTTTCTGATCATCTTTATGGT E M I L V Y D F M S N G T L S D H L Y G ACTAGCTATGATTCTCTGACTTGGAAGCAAAGGCTGGAGATATGCAAGGGAGCAGCTATT T S Y D S L T W K Q R L E I C K G A A I GGGTTGAACTATCTTCATACAGAAGTGAAGTATACTGTCATTCATCGAGACGTGAAGACA G L N Y L H T E V K Y T V I H R D V K T AGCAACATTCTACTAGATGAGAAATTCACAGCCAAAGTTTCGGATTTTGGGTTGTCCAAA S N I L L D E K F T A K V S D F G L S K ACGGACCCAAAAGTTGACATGCTTAATACTGGAATAAAGGGCACATGGGGATACTTGGAT T D P K V D M L N T G I K G T W G Y L D CCAGAGTATGCTCGAGGTCATTCATTAACCGAAAAATCAGATGTTTACTCATTTGGTGTG P E Y A R G H S L T E K S D V Y S F G V GT
Gambar 26. Runutan basa dan prediksi runutan asam amino dari DNA genom kakao. A. potongan fragmen gen Cat1 (1081 bp); B. potongan fragmen gen Cat2 (957 bp); C. potongan fragmen gen Pto (542 bp). Runutan fragmen DNA hasil sekuensing ditranslasikan menjadi urutan asam amino menggunakan perangkat lunak DNAMAN versi 4. Berdasarkan konserv domain yang dimilikinya, dari lima sekuens yang ditranslasikan menjadi
76
urutan asam amino hanya diperoleh tiga sekuens ya ng mengandung konserv domain, yaitu dua untuk Catalase dan satu Pto. Urutan asam amino yang diperoleh selanjutnya dianalisis tingkat kemiripannya dengan berbagai jenis tanaman lain yang terdapat di data base Gen Bank, menggunakan algoritma Blast X dan Blast P (Tabel 11 dan 12).
Tabel 11. Hasil penelusuran tingkat kemiripan antara Pto- like kinase pada kakao dengan sejumlah aksesi tanaman dari Gen Bank menggunakan algoritma Blast P Aksesi
AAF43394.1 CAB62020.1 AAQ82660.1 AAT28296.1 AAL51075.1 ABV30740.1 ACA05214.1 ACN87619.1 XP_002528705.1 ACX80234.1 ACO25571.1 ACA05217.1 XP_002534329.1
Protein yang dihasilkan
serine/threonine protein kinase receptor-like protein kinase homolog Pto-like serine/threonine kinase Pto-like receptor kinase resistance protein kinase R-like protein kinase-like protein pto-like protein kinase-like protein kinase, putative Pto-type resistance protein protein kinase-coding resistance protein pto-like protein Serine/threonine-protein kinase
E value
Max Ident
Oryza sativa Arabidopsis thaliana
1e-82 2e-81
68% 68%
Capsicum chinense Rosa roxburghii
4e-81 2e-79
67% 65%
Triticum aestivum Prunus avium Fragaria x ananassa Corylus avellana Ricinus communis Cucumis x hytivus Nicotiana repanda
2e-79 6e-78 7e-78 2e-80 1e-79 4e-83 2e-80
66% 68% 62% 68% 72% 67% 65%
Potentilla tucumanensis 2e-79 Ricinus communis 2e-84
67% 71%
Jenis tanaman
Fragmen DNA Pto ditranlasikan dengan menggunakan program Blast X untuk mengetahui susunan dan panjang asam amino pada masing- masing fragmen. Runutan asam amino ini mempunyai tingkat homologi yang cukup tinggi (72%) dengan asam amino
dari Ricinus communis (XP002534329.1).
Runutan asam amino untuk fragmen DNA Pto juga memiliki homologi denga n Arabidopsis thaliana (CAB92960.1), Oryza sativa (AAF43394.1), Prunus avium (ABV30740.1), dan Corylus avellana (ACN87619.1) sebesar 68%. Selanjutnya berturut-turut pada Capsicum chinensis, Potentilla tucumanensis, Cucumis x hytivus
77
(67%), Triticum aestivum (66%), Rosa roxburghii dan Nicotiana repanda (65%), Fragaria x ananassa (62%).
Tabel 12. Hasil penelusuran tingkat kemiripan antara Catalase pada kakao dengan sejumlah aksesi tanaman dari Gen Bank menggunakan algoritma Blast P Aksesi
Protein yang dihasilkan
Jenis tanaman
E value
Max Ident
AET97564.1
Catalase
Ziziphus jujube
4e-12
91%
ACJ11733.1
Catalase
Gossypium hirsutum
5e-12
94%
BAH37035.1
Catalase 1
Pisum sativum
6e-11
91%
CAD42909.1
Catalase
Prunus persica
1e-10
82%
AAK96854.1
Catalase
Arabidopsis thaliana
4e-10
82%
AAD17933.1
Catalase
Brassica juncea
5e-10
82%
AAB71764.1
Catalase 1
Nicotiana tabacum
2e-08
88%
CAA42720.1
Catalase-1
Zea mays
5e-08
79%
ACJ22771.1
Catalase 1
Jatropha curcas
6e-08
84%
AAL83720.1
Catalase
Vitis vinifera
7e-08
76%
Hasil analisis Fragmen DNA Cat pada kakao setelah ditranslasikan menghasilkan runutan asam amino yang memiliki homologi tinggi dengan tanaman lain.
Runutan yang memiliki homologi tertingga i adalah Gossypium
hirsutum (94%), selanjutnya berturut-tur ut tanaman Pisum sativum dan Ziziphu s jujube (91%). Runutan catalase kakao juga memiliki homologi yang tinggi dengan tanaman dikotil lainnya seperti Nicotiana tabacum (88%), Jatropha curcas (84%), Arabidopsis thaliana dan Prunus persica (82%), Zea mays (79%), dan Vitis vinifera (76%).
78
Gambar 27. Pensejajaran sekuen asam amino yang diturunkan dari fragmen DNA Pto kakao hasil amplifikasi primer PTO, dengan tanaman Oryza sativa (AAF43394.1) , Arabidopsis thaliana (CAB62020.1),Capsicum chinense (AAQ82660.1), Rosa roxburghii (AAT28296.1), Triticum aestivum (AAL51075.1), Prunus avium, Fragaria x ananassa (ABV30740.1), Corylus avellana (ACA05214.1), Ricinus communis (ACN87619.1), Cucumis x hytivus (XP002528705.1), Nicotiana repanda (ACX80234.1), Potentilla tucumanensis (ACO25571.1)
79
80
Gambar 28. Pensejajaran sekuen asam amino yang diturunkan dari fragmen DNA Catalase kakao hasil amplifikasi primer CAT, dengan tanaman Ziziphus jujube (AET97564.1), Gossypium hirsutum (ACJ11733.1), Pisum sativum (BAH37035.1), Prunus persica (CAD42909.1), Arabidopsis thaliana (AAK96854.1), Brassica juncea (AAD17933.1), Nicotiana tabacum (AAB71764.1), Zea mays (CAA42720.1), Jatropha curcas (ACJ22771.1), da n Vitis vinifera (AAL83720.1). Dendrogram filogenetik Pto da n catalase dibuat berdasarkan sekuen asam amino yang diturunka n dari masing- masing fragmen DNAnya.
Dendrogram
filogenetik Pto menunjukkan adanya 3 group. Pto kakao mengelompok dalam satu group de ngan Oryza sativa, Capsicum chinense, Rosa roxburghii, Prunus avium, Fragaria x ananassa, Corylus avellana, Cucumis x hytivus, dan Potentilla tucumanensis.
Gambar 29. Dendogram filogenetik sekuens asam amino Pto like kinase dari kakao (PTO230705) dengan Pto dari tanaman Oryza sativa (AAF43394.1) , Arabidopsis thaliana (CAB62020.1),Capsicum chinense (AAQ82660.1), Rosa roxburghii (AAT28296.1), Triticum aestivum (AAL51075.1), Prunus avium, Fragaria x ananassa (ABV30740.1), Corylus avellana (ACA05214.1), Ricinus communis (ACN87619.1), Cucumis x hytivus (XP002528705.1), Nicotiana repanda (ACX80234.1), Potentilla tucumanensis (ACO25571.1) dengan menggunakan Clustal W.
81
Grup Pto yang ke dua terdiri atas Arabidopsis thaliana, Nicotiana repanda, da n Lycopersicon esculentum, sedangkan grup yang ketiga adalah Ricinus communis dan Arabidopsis thaliana (Gambar 29). Dendo gram filogenetik Catalase terbagi menjadi tiga group dimana dua catalase kakao terpisah dari tanaman lainnya, seperti Prunus persica Nicotiana tabacum, Ziziphus jujube, Arabidopsis thaliana, da n Brassica juncea yang berada pada grup dua, sedangkan di grup tiga terdiri atas catalase dari tanaman Pisum sativum, Jatropha curcas, Vitis vinifera da n Zea mays (Gambar 30)
Gambar 30. Dendogram filogenetik sekuens asam amino catalase 1 dan 2 dari kakao (CA 229529 dan 229533) dengan catalase dari tanaman Ziziphus jujube (AET97564.1), Gossypium hirsutum (ACJ11733.1), Pisum sativum (BAH37035.1), Prunus persica (CAD42909.1), Arabidopsis thaliana (AAK96854.1), Brassica juncea (AAD17933.1), Nicotiana tabacum (AAB71764.1), Zea mays (CAA42720.1), Jatropha curcas (ACJ22771.1), da n Vitis vinifera (AAL83720.1). Sejumlah gen ketahanan telah berhasil ditemukan pada berbagai jenis tanaman. Pada kakao, Lanaud et al. (2004) be rhasil mengisolasi sebelas fragmen DNA yang diduga terka it dengan gen-gen ketahanan. Dalam pnelitian tersebut diperoleh dua sekuens termasuk NBS yang berlokasi pada kromosom nomor 7 dan 10, sekuens seperti Pto terdapat pada lima wilayah genom yang salah satunya
82
berada pada kromosom no 4, sedangkan sekuens PR2 berada pada dua wilayah yang terdapat pada kromosom nomor 5 dan 9. Pada penelitian ini tidak didapat kan sekuens NBS-LRR, meskipun sebenarnya kelompok ini cukup berlimpah ter kandung dalam genom tanaman yaitu berkisar antara 0.6% - 2% dari jumlah total genom tanaman (De Young et al. 2006). Gen resisten analog yang diperoleh pada penelitian ini adala Pto, yang merupakan salah satu anggota dari kelompok Serine-Threonin Kinase (STK). Martin et al. (1994) pertama kali menemukan Pto yang berperan dalam menghasilkan protein ketahanan terhadap bakteri pada tanaman tomat. Lanaud et al. (2004) telah berhasil menemukan sekuens Pto
yang terkait dengan sifat
resistensi terhadap P.palmivora pada kakao, tepatnya berada pada kromosom nomor 4. Catalase termasuk kelompok PR protein bersama dengan chitinase, glucanase, dan peroksidase, yang berperan dalam memicu mekanisme ketahanan pada sel tanaman. Berbagai strategi untuk mencari kandidat gen perlu dikembangkan secara terus menerus. Salah satunya adalah dengan mengisolasi gen yang menghasilkan ekspresi berbeda selama proses infeksi pada tanaman yang tahan dan tanaman yang rentan (Lanaud et al. 2004). Menurut Totad et al. (2005), studi mengenai R gene dan RGA masih perlu digali lebih lanjut. Masih diperlukan informasi yang lebih banyak mengenai sekuens R gene untuk mengetahui lebih banyak struktur domain yang merupakan dasar dari penelusuran gen-gen RGA pada berba gai tanaman.
Desain Primer Spesifik Berdasarkan runutan DNA hasil sekuensing selanjutnya dilakuka n desain primer spesifik dengan menggunakan program Primer 3. Primer spesifik yang dihasilkan selanjutnya diharapkan dapat digunakan untuk mengamplifikasi DNA kakao (Tabe l 13). Primer spesifik yang berhasil didesain dalam penelitian ini selanjutnya digunakan untuk amplifikasi DNA kakao untuk mengevaluasi keragaman genetik tetua maupun hibrida F1. Hasil produk PCR dari templat DNA dengan primer spesifik di atas, setelah dievaluasi dengan runnin g pada gel agaros menunjukkan bahwa DNA kakao dapat teramplifikasi (Gambar 31). Akan tetapi
83
untuk mengetahui apakah primer ini dapat menghasilkan pita polimorfik untuk tetua maupun hibrida kakao yang digunakan, masih perlu evaluasi lebih lanjut.
Tabe l 13. Hasil desain primer spesifik gen Cat dan Pto berdasarkan sekuen fragmen DNA kakao No
Marker
1
TcCAT 1
2
TcCAT2
5
TcPTO
Urutan Basa
Jmlh Basa
F: TTGCTGAGGTTCGTTTTTGA R: GCAGTCAGTAGCGGGTGATT F: GTAACGTGGCCTTGTTTGCT R: GCCAGTAGGTGGGTGGAGTA F: GTTCATTTGGCGTCCTTGAT R: CCATGTGCCCTTTATTCCAG
20 20 20 20 20 20
PCR Size (bp) 537 446 330
Tm (o C) 59.4 60.3 60.2 60.0 59.9 60.3
Gambar 31. Hasil amplifikasi DNA F1 kakao dengan primer spesifik TcCAT1 pada gel agaros. Di antara berbagai jenis marka molekuler yang telah digunakan, Resistance Gene Analogue (RGA) merupakan marka spesifik yang dibuat berdasarka n urutan gen ketahanan. Penggun aan marka RGA untuk analisis keragaman genetic padi telah dilakukan oleh Bustamam et al. (2004). Primer spesifik yang diperoleh dari penelitian ini diharapka n dapat menjadi marka RGA yang aplikatif untuk mempelajari keragaman genetik kakao resisten terhadap P. palmivora. Simpulan Amplifikasi genom tetua kakao dengan primer spesifik dan non spesifik menghasilka n tiga sekuens kandidat gen resisten analaog, yang terdiri atas satu sekuen Pto da n dua sekuens Cat. Hasil penelusuran dan pensejajaran sekuens tersebut pada level asam amino menunjukkan bahwa ketiganya memiliki homologi yang cukup tinggi dengan berbagai jenis tanaman lain. Hal ini
84
mengindikasikan bahwa sekuen-sekuens tersebut juga terdapat pada tanaman lain dengan tingkat kemiripan yang cukup tinggi. Primer spesifik yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai marka untuk mempelajari keragaman genetic kakao resisten terhadap P. palmivora.
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Pathology.. Elsevier Academic Press. New York. 5th ed. 803p. Akrofi AY & Opoku IY. 2000. Managing Phytophthora megakarya pod root disease. Ghana experience. Proc 3rd Int. Seminar of International Permanent Working Group for Cacao Pests and Diseases. Kota Kinabalu, Sabah Malaysia. 16-17th October. App iah AA, Flood,J., Bridge, P.D. Ancher,S.A.2003. Inter-and intraspecific morphometric variation and characterization of Phytophthora isolates from cocoa. Plant Pathology,52,168-180. Argout et al.2010. The genome of Theobroma cacao. Nature Genetics. http://www.nature.com/doifinder/10.1038/ng.736 Bailey BA et al. 2005. Developmental expression of stress response genes in Theobroma cacao leaves and their response to Nep1 treatment and a compatible infection by Phytophthora megakarya, Plant physiology and Biochemistry. 43: 611-621. Bustamam M, Reflinur, Agisimanto, Suyono. 2004. Variasi genetik padi tahan blas berdasarkan sidik jari DNA dengan markah gen analog resisten. J Biotek Pertanian. 9: 56-61 Chen GS, Zhou YF, Hou LL, Pan DR. 2009. Cloning and characterization of full length cDNA of a CC-NBS-LRR Resistance Gene in Sweetpotato. Agricultural Science in China. 8(5): 538-545. De young BI & Innes RW.2006. Plant NBS-LRR proteins in pathogen sensing and host defense. Nat. Immunol. 7: 1243-1249. Di Gaspero G & Cipriani G. 2002. Resistance gene analogs are candidate marker for disease-resistance genes in grape (Vitis spp.). Theoretical and Aplied Genetics. 106: 163-172. Drenth A. and B. Sendall. 2004. Economic Impact of Phytophthora Diseases in Southeast Asia. In Drenth, A. and Guest, D.I., ed. 2004. Diversity and management of Phytophthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph. P. 10-18.
85
Gao Y, Guo W, Wang L, Zhang T. 2006. Isolation and characterization of resistance and de fense gene ana logs in cotton (Gossypium barbadense L.). Science in China Series C: Life Sciences. 49.6: 530-542. Hammond-Kosack KE, Jones JDG. 1997. Plant disease resistance gene. Annual review plant Molecular Biology. 48;575-607. Lanaud C, Risterucci AM, Pieretti I, N’goran JAK, and Fargeas D.2004. Characterisation and genetic mapping of resistance and defence gene analogs in cocoa (Theobroma cacao L.). Molecular Breeding 13:211-227. Martin et al. 1994. A member of the tomato Pto gene family confer sensitivity to fenthion in rapid cell death. Plant Cell 6: 1543-1552. Miller RN, et al. 2008. Analysis of non-TIR-NBS-LRR resistance gene analogs in Musa acuminate Colla: isolation, RFLPmarker development, and physical mapping. BMC Plant Biology. 30 : 8-15. Sukamto S. 2008. Pengendalian Penyakit. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 154-167. Totad AS, Fkhrudin B, Kuruvinashetti MS. 2005. Isolation and characterization of resistnce gene analogue (RGAs) from sorghum (Sorghum bicolor L.Moenih). Euphytica vol. 143, no 1-2.p 179-188. Weising K, Nybom H, Wolff K, and Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, Fla. Xinwu P et al. 2007. Isolatio, characterization and phylo genetic analysis of the resistance gen analogues (RGAs) in ba na na (Musa spp.).
87
BAB VI PEMBAHASAN UMUM
Kakao merupaka n salah satu tanaman perkebunan yang memiliki po tensi untuk dikembangkan, seiring dengan peningkatan kebutuhan dan permintaan terhadap biji kakao yang semakin tinggi. Upaya ini menemui berbagai kendala, salah satunya adalah penyakit busuk buah yang disebabka n oleh infeks i Phytophthora palmivora Butl. Untuk mengatasi masalah tersebut maka pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas kakao unggul yang tahan terhadap P. palmivora sangat penting untuk dilakukan dan perlu mendapatkan perhatian khusus. Kultivar unggul kakao yang resisten terhadap infeksi P. palmivora dapat menjadi metode terbaik yang tersedia bagi petani produsen kakao di Indonesia untuk mengatasi masalah serangan pe nyakit busuk b uah kakao d i lapangan. Bahan tanaman yang unggul dan bermutu dapat diperoleh dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan benih hibrida F1.
Untuk
menghasilkan hibrida F1 unggul yang berproduksi tinggi dan resisten terhadap serangan penyakit busuk buah kakao akibat infeksi P. palmivora perlu digunakan tetua do nor yang mempunyai sifat resisten da n tetua pe nerima yang mempunyai daya hasil tinggi. Untuk mendapatkan tetua tersebut diperlukan identifikasi dan analisis keragaman plasma nutfah kakao dari berbagai sentra produksi kakao di Indo nesia. Informasi ini akan sangat bermanfaat untuk mendapatkan hibrida F1 seperti yang diharapka n. Analisis keragaman genetic dapat dilakukan secara langsung dengan mengamati karakter morfologi pada plasma nutfah kakao telah dilakukan dengan pengamatan morfologi (Motilal dan Butler, 2003; Bekele et al., 2006), akan tetapi hasilnya masih kurang sempurna karena karakter morfologi dapat berubah dan sangat dipengaruhi lingkungan. Analisis dengan menggunakan marka molekuler dapat menentukan diversitas genetik plasma nutfah kakao sebagai calon tetua yang akan digunakan dalam program pemuliaan tanaman. Untuk meningkatkan kemungkinan didapatkannya kultivar unggul baru, perlu dilakukan persilangan antar dua tetua yang mempunyai jarak genetik yang tinggi. Identitas tetua dengan jarak genetik yang tinggi dapat diketahui dengan menggunakan marka molekuler,
88
sehingga metode ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi program pe muliaan yang aka n dilakuka n. Analisis terhadap keragaman morfologi dilakukan secara langsung dengan mengamati berbagai karakter morfologi. Sebanyak 22 klon kakao telah berhasil dikarakterisasi dengan menggunakan deskriptor list yang sudah dikembangkan untuk kakao. Bentuk daun kakao bervariasi, mulai dari elips, oblong maupun obovate bergantung kepada klonnya. Demikian pula dengan bentuk ujung dan pangkalnya, memiliki keragaman yang cukup tinggi. Variasi bentuk ujung dan pangkal daun berupa runcing, meruncing, maupun membulat terdapat pada berbagai klon kakao yang diamati. Warna flush atau daun muda juga bervariasi diantara berbagai klon yang berbeda. Kakao memiliki bunga yang berukuran amat kecil jika dibandingkan dengan buahnya, terdiri atas kelopak yang berwarna ungu dan mahkota bunga berwarna putih kekuningan. Bunga kakao muncul dari cabang yang tua (kauliflor). Kakao berasal dari dua subjenis yang berbeda yaitu tipe Criolo yang tergolong jenis mulia, dan Forastero yang merupakan kakao lindak. Selain itu terdapat kelompok kakao lain yang merupakan persilangan liar antara keduanya yang ke mudian dikenal dengan kelompok Trinitario. Sifat morfologi dan fisiologi keturunannya amat beragam demikian pula daya hasil dan mutu bijinya (Prawoto 2008). Klon-klon kakao yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia pada umumnya termasuk tipe Forastero dan Trinitario, akan tetapi klon-klon mulia seri DR (Djati Runggo) meskipun termasuk jenis Trinitario lebih dikenal dengan sebutan Java Criolo karena menghasilkan biji putih (Susilo 2010). Keragaman morfologis klon kakao dianalisis dengan menggunakan katalog
karakter
morfologis
yang
telah
diperoleh.
Berdasarkan
hasil
pengelompokan (klastering) yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia memiliki keragaman morfologis yang tinggi. Pengelompokan klon yang diamati terlihat berhubungan dengan progenitor yang menurunkan klon masing- masing. Klon-klon yang diketahui memiliki latar belakang genetik yang sama ternyata juga mengelompok ke dalam grup (klaster) yang sama. Sebagai contoh Sca 12 dan Sca6 yang diketahui
89
merupakan turunan dari tetua yang sama, mengelompok menjadi satu grup yang sama. Seperti telah diuraikan di atas bahwa identifikasi dengan marka morfologi memiliki kelemahan karena karkater tersebut sangat dipengaruhi lingkunga n. Analisis molekuler dapat membantu mengatasi kekurangan tersebut. Berbagai marka molekuler telah dikembangkan untuk analisis keragaman genetik pada berbagai jenis tanaman. Salah satu marka molekuler yang paling efektif untuk tujuan tersebut adalah marka SSR atau dikenal juga dengan
mikrosatelit.
Mikrosatelit telah digunakan secara luas pada berbagai jenis tanaman karena tingkat polimorfisme yang tinggi, lokus yang spesifik, mudah diperbanyak, hanya membutuhkan sedikit DNA, dan yang terpenting adalah sifatnya yang kodominan (Pugh 2004). Pemanfaatan marka SSR untuk mengidentifikasi keragaman genetik telah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman baik tanaman monokotil maupun dikotil. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, marka SSR sangat potensial untuk dikembangkan sebagai marka molekuler terutama untuk ke perluan ide ntifikasi da n studi keragaman genetik. Pada tanaman kakao marka SSR telah digunakan untuk berbagai tujuan, seperti karakterisasi dan analisis keragaman genetik (Lanaud et al 1999; Zhang et al. 2006), karakterisasi kakao koleksi internasional (Zhang et al., 2009), dan pembuatan linkage map (Risterucci et al. 2000; Pugh et al. 2004). Penggunaan marka SSR juga telah dilakukan unt uk analisis keragamann genetic klon-klon kakao tahan hama penggerek buah kakao (PBK) (Susilo 2010). Pada penelitian ini, dari 39 lokus SSR yang digunakan untuk menganalisis 29 klon kakao, pita polimorfik yang dihasilkan pada 24 lokus menunjukkan adanya keragaman di antara sampel kakao yang dianalisis.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
marka SSR cukup efektif untuk mempelajari keragaman genetik plasma nutfah kakao (Saunders et al. 2004). Terka it de ngan tujuan unt uk mencari klon-klon yang memiliki potensi sebagai tetua, hasil analisis dengan marka
SSR yang diperoleh juga dapat
digunaka n untuk menentuka n jarak ge netik antar klon yang dievaluasi. Besar kecilnya jarak genetik antar klon yang dievaluasi merupakan informasi penting dalam pemanfaatan klon-klon tersebut unt uk pe muliaan tanaman. Dua klon ya ng
90
mempunyai jarak genetik yang tinggi, apabila disilangkan akan menghasilkan turunan yang variasinya sangat tinggi. Sebaliknya, dua klon yang jarak genetiknya rendah, apabila disilangkan aka n menghasilka n turuna n yang variasinya renda h. Klon-klon yang digunakan sebagai tetua dalam persilangan untuk mendapatkan bibit unggul harus memiliki karakter agronomis yang baik dan keduanya mempunyai jarak genetik yang tinggi. Dengan menyilangkan dua tetua yang demikian itu maka didapatkan populasi hibrida F1 yang heterogeneous dan mempunyai keragaman yang tinggi. Populasi F1 yang heterogeneous tersebut sangat efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin menjadi kendala di lapangan seperti: stres lingkungan abiotik (seperti: nutrisi, kekeringan, keracunan hara), stres biotik (seperti: serangan hama dan penyakit). Selain itu, karena kedua tetua yang digunakan masing- masing mempunyai karakteristik agronomis yang diinginkan, hibrida F1 yang didapat diharapkan juga mewarisi sifat-sifat baik tetuanya. Hasil analisis kedekatan genetik mengindikasikan tingkat kesamaan antar individu yang ditentukan berdasarkan koe fisien DICE de ngan menggun akan prosedur SIMQUAL yang tersedia dalam paket perangkat lunak NTSys versi 2.01. Hal ini berarti, jarak genetik antar klon kakao yang diuji menjadi semakin kecil dengan semakin besarnya nilai kesamaan diantara keduanya. Sebaliknya, jarak genetik antar klon kakao yang diuji menjadi semakin besar dengan semakin kecilnya nilai kesamaan diantara keduanya. Tingkat kesamaan di antara lima klon kakao yang dijadikan sebagai tetua bervariasi antara 0.15 – 0.48. Hal ini berarti jarak genetik antar tetua yang digunakan untuk menghasilkan galur kakao hibrida F1 berkisar antara 0.52 – 0.85, merupakan nilai relatif tinggi. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa populasi F1 yang dihasilkan akan mempunyai tingkat keragaman genetik yang tinggi. Keragaman genetik antar individu dalam populasi F1 yang dihasilkan diduga akan terlihat mempunya i nilai yag tinggi, terutama dari hasil kombinasi persilanga n antara: klon kakao DR 1 x Sca 6, ICS 13 x Sca 6, dan ICCRI 3 x Sca 6. Hasil analisis klaster yang dilakukan juga menunjukan bahwa Sca 6 mempunyai tingkat kesamaan yang paling rendah dengan empat klon kakao yang lain. Sebaliknya, klon kakao TSH 858 dan ICS 13 mempunyai tingkat kesamaan
91
yang tertinggi diantara lima tetua yang dievaluasi. Berdasarkan informasi genetik yang diperoleh,maka terpilih lima tetua
yang digunakan dalam persilanga n
tersebut adalah klon kakao ICCRI 3, TSH 858, ICS 13, DR1 dan Sca 6. Upaya melakukan perakitan klon-klon unggul kakao tidak terlepas dari analisis runutan fragmen DNA yang diduga terkait dengan sifat resistensi kakao terhadap penyakit busuk buah ynag disebabkan P. palmivora. Runutan fragmen DNA hasil sekuensing ditranslasikan menjadi urutan asam amino menggunakan perangkat lunak DNAMAN versi 4. Berdasarkan konserv domain yang dimilikinya, dari lima sekuens yang ditranslasikan menjadi urutan asam amino hanya diperoleh tiga sekuens yang mengandung konserv domain, yaitu dua unt uk Catalase dan satu Pto. Urutan asam amino yang diperoleh selanjutnya dianalisis tingkat kemiripannya dengan berbagai jenis tanaman lain yang terdapat di data base Gen Bank, menggunakan algoritma Blast X dan Blast P. Fragmen DNA Pto ditranlasikan dengan menggunakan program Blast X untuk mengetahui susunan dan panjang asam amino pada masing- masing fragmen. Runutan asam amino ini mempunyai tingkat homologi yang cukup tinggi (72%) dengan asam amino
dari Ricinus communis (XP002534329.1).
Runutan asam amino untuk fragmen DNA Pto juga memiliki homologi dengan Arabidopsis thaliana (CAB92960.1), Oryza sativa (AAF43394.1), Prunus avium (ABV30740.1), dan Corylus avellana (ACN87619.1) sebesar 68%. Selanjutnya berturut-turut pada Capsicum chinensis, Potentilla tucumanensis, Cucumis x hytivus (67%), Triticum aestivum (66%), Rosa roxburghii da n Nicotiana repanda (65%), Fragaria x ananassa (62%). Hasil analisis Fragmen DNA Cat pada kakao setelah ditranslasikan menghasilkan runutan asam amino yang memiliki homologi tinggi dengan tanaman lain.
Runutan yang memiliki homologi tertingga i adalah Gossypium
hirsutum (94%), selanjutnya berturut-tur ut tanaman Pisum sativum dan Ziziphu s jujube (91%). Runutan catalase kakao juga memiliki homologi yang tinggi dengan tanaman dikotil lainnya seperti Nicotiana tabacum (88%), Jatropha curcas (84%), Arabidopsis thaliana dan Prunus persica (82%), Zea mays (79%), dan Vitis vinifera (76%).
92
Secara umum terdapat dua ke lompok utama gen yang mengendalikan ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit, yang pertama adalah kelompok gen yang terlibat dalam pengenalan patogen dan atau sinyal transduksi disebut gen ketahaman (R gene) yang dikenal juga dengan RGA; yang lainnya terlibat dalam mekanisme ketahanan dan sintesis produk yang dibutuhkan untuk pengenalan pathogen, d ike nal de ngan DGA (Hammond-Kosack dan Jones 1997). Berdasarkan hasil analisis runutan fragmen DNA yang berhasil diisolasi, gen resisten analog (RGA) yang diperoleh pada penelitian ini adala Pto, yang merupakan salah satu anggota dari kelompok Serine-Threonin Kinase (STK). Martin et al. (1994) pertama kali menemukan Pto yang berperan dalam menghasilkan protein ketahanan terhadap bakteri pada tanaman tomat. Lanaud et al. (2004) telah berhasil menemukan sekuens Pto
yang terkait dengan sifat
resistensi terhadap P.palmivora pada kakao, tepatnya berada pada kromosom nomor 4. Kelompok DGA yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini adalah Cat yang menyandi protein Catalase, yaitu termasuk kelompok PR protein bersama dengan chitinase, glucanase, dan peroksidase, yang berperan dalam memicu mekanisme ketahanan pada sel tanaman.
93
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Keragaman morfologis plasma nutfah kakao yang diamati cukup tinggi. Kondisi seperti ini akan sangat menguntungkan bagi upaya peningkatan kualitas bibit kakao melalui pengembangan hibrida kakao, yang memerlukan tetua dengan keragaman yang tinggi. 2. Marka SSR dapat digunakan untuk evaluasi keragaman genetik plasma nutfah kakao dengan tingkat polimorfisme yang cukup tinggi. Secara umum dapat diketahui bahwa klon kakao yang dikoleksi oleh Puslit Kopi dan Kakao Indonesia mempunyai keragaman genetik yang tinggi. Tingkat heterosigositas dan keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia yang relatif tinggi memiliki peluang yang amat potensial untuk dijadikan sebagai tetua dalam persilangan, untuk mendapatkan hibrida yang unggul. 3. Hasil analisis keragaman hibrida F1 dengan menggunakan marka SSR menunjukkan bahwa populasi hibrida F1 kakao hasil silangan tetua yang terpilih menunjukkan adanya keragaman yang cukup tinggi.
Hal ini
mengindikasikan bahwa persilangan antara dua tetua dengan jarak genetik tinggi dapat menghasilkan hibrida dengan keragaman yang tinggi. Dengan menyilangkan dua tetua yang demikian itu maka didapatkan populasi hibrida F1 yang heterogeneous dan mempunyai keragaman yang tinggi. Populasi F1 yang heterogeneous tersebut sangat efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin menjadi kendala di lapangan. 4. Hasil analisis terhadap populasi hibrida F1 dengan menggunakan marka SSR diperoleh keragaman yang cukup tinggi di antara individu hasil silangan. Rata-rata tingkat heteros igositas relatif tinggi, akan tetapi tidak ditemukan adanya keterkaitan antara tingkat heterosigos itas hibrida F1 dengan sifat ke tahanannya terhadap pe nyakit busuk buah yang disebabk an oleh Phytophthora palmivora.
94
5. Amplifikasi genom tetua kakao dengan primer spesifik dan non spesifik menghasilka n tiga sekuens ka ndida t gen resisten analaog, yang terdiri atas satu sekuen Pto dan dua sekuens Cat. Hasil pe nelus uran dan pe nsejajaran sekuens tersebut pada level asam amino menunjukkan bahwa ketiga memiliki homologi yang cukup tinggi dengan berbagai jenis tanaman lain. Hal ini mengindikasikan bahwa sekuen-sekuens tersebut juga terdapat pada tanaman lain dengan tingkat kemiripan yang cukup tinggi.
Saran 1. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat mengenai keragaman plasma nutfah kakao, perlu dilakukan analisis dan karakterisasi terhadap seluruh klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia maupun klonklon kakao yang tersebar di berbagai sentra produksi kakao
seluruh
Indonesia. 2. Marka SSR merupakan marka molecular yang sangat informatif untuk mengevaluasi
keragaman.
Oleh
karena
itu
marka
SSR
dapat
direkomendasikan agar digunakan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan analisis keragaman genetik pada berbagai jenis tanaman. 3. Analisis keterkaitan antara heterosigositas dengan sifat ketahanan terhadap P. palmivora masih perlu dikembangkan, dengan menggunakan sampel yang lebih banyak. Demikian pula dengan jumlah lokus SSR yang digunakan sebaiknya lebih banyak lagi agar informasi yang diperoleh lebih akurat. 4. Isolasi dan karakterisasi terhadap gen- gen analog yang diduga terka it dengan sifat ketahanan kakao terhadap P. palmivora masih perlu dikembangkan, dengan menggunakan lebih banyak primer baik yang spesifik maupun non spesifik untuk mengamplifikasi genom kakao. Hal ini perlu dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai gen-gen RGA dan DGA pada tanaman kakao. 5. Kegiatan penelitian perlu terus dilanjutkan, terutama mengenai analisis keragaman klon-klon kakao khususnya terkait dengan sifat ketahanannya terhadap P. palmivora berdasarkan marka RGA dan DGA yang primernya
95
sudah dibuat pada penelitian ini. Namun demikian jumlah primer yang didesain juga masih perlu ditambah, sehingga hasilnya menjadi lebih informatif. 6. Kegiatan penelitian untuk memperoleh bibit kakao yang unggul perlu terus dikembangkan,
sehingga tujuan pemuliaan tanaman kakao
untuk
mendapatkan klon-klon kakao yang memiliki daya hasil tinggi sekaligus tahan terhadap pe nyakit secara bertahap dapat terwujud.
97
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. Amsterdam. Elsevier Acad Press. 803p Akrofi AY, Opoku IY. 2000. Managing Phytophthora megakarya pod root disease. Ghana experience. Proc 3rd Int. Seminar of International Permanent Working Group for Cacao Pests and Diseases. Kota Kinabalu, Sabah Malaysia. 16-17th October. App iah AA, Flood J, Bridge PD, Ancher SA.2003. Inter-and intraspecific morphometric variation and characterization of Phytophthora isolates from cocoa. Plant Pathol. 52:168-180 Argout et al. 2010. The genome of Theobroma cacao. Nat. http://www.nature.com/doifinder/10.1038/ng.736
Genet.
Bailey BA et al. 2005. Developmental expression of stress response genes in Theobroma cacao leaves and their response to Nep1 treatment and a compatible infection by Phytophthora megakarya, Plant physiol and Biochem. 43: 611-622. Bekele F, Bekele I, Butler D, and Bidai GSEE. 2006. Patterns of morphological variation in a sample of cacao (Theobroma cacao L.) germplasm from the International Cocoa Genebank, Trinidad. Genet. Resour. Crop Evol. 53:933948. Borrone JW, Brown JS, Kuhn DN, Motamayor JC, Schnell RJ. 2007. Microsatellite markers developed from Theobroma cacao L.expressed sequence tags. Mol. Ecol. Notes. 7: 236–239 Bruno I et al. 2008. Genetic diversity and structure of farm and Gene Bank accession of cacao (Theobroma cacao L.) in Cameroon revealed by microsatellite markers. Tree Genet & Genomes. 4: 821-831 Bustamam M, Reflinur, Agisimanto, Suyono. 2004. Variasi genetik padi tahan blas berdasarka n sidik jari DNA dengan marka h gen analog resisten. J Biotek Pertanian. 9: 56-61 Chen GS, Zhou YF, Hou LL, Pan DR. 2009. Cloning and characterization of full length cDNA of a CC-NBS-LRR Resistance Gene in Sweetpotato. Agric. Sci. in China. 8(5): 538-545. Clement D, Risterucci AM, Grivet L,Motamayor JC, Goran JN, a nd Lanaud C, 2003. Mapping QTL for yield components, vigor and resistance to Phytophthora palmivora in Theobroma cacao L. Genome. 46:204-212. Conqruist A. 1984. An Integrated System of Classification of Flowering Plants. New York. Columbia University Press. 1262p.
98
De young BI, Innes RW.2006. Plant NBS-LRR proteins in pathogen sensing and host defense. Nat. Immunol. 7: 1243-1249 Di Gaspero G & Cipriani G. 2002. Resistance gene analogs are candidate marker for disease-resistance genes in grape (Vitis spp.). Theor. and Apl. Genet. 106: 163-172 Dias LAS, Picoli EAT, Rocha RB, Alfenas AC. 2004. A priori choice of hybrid parentas in plants. Genet. and Mol. Research. 3(3): 356-368. Dilbirligi M, Gill KS. 2004. Identification and analysis og expressed resistance gene sequences in wheat. Plant mol. biol. 53:771-787 Drenth A, Sendall B. 2004. Economic Impact of Phytophthora Diseases in Southeast Asia. Di dalam: Drenth A, Guest DI, editor. Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph. P. 10-18 Freeman S, West J, James C, Lea V, and Mayes S. 2004. Isolation and Characterization of Highly Polymorfic Microsatellites in Tea (Camellia sinensis). Mol. Ecol. Notes (4): 324-326. Gao Y, Guo W, Wang L, Zhang T. 2006. Isolation and characterization of resistance and de fense gene analogs in cotton (Gossypium barbadense L.). Science in China Series C: Life Sci. 49(6): 530-542. Hammond-Kosack K E, Jones JDG. 1997. Plant disease resistance gene. Ann. review plant Mol. Biol. 48;575-607. Iswanto A, Winarno H. 1992. Cooa Breeding at RIEC Jember and The Role of Planting Material Resistant to VSD and Black Pod. Di dalam Keane PJ, Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australia: 163-169. FAO Plant Production and Protection Paper No.112. Kacar YA, Lezzoni A, and Cetiner S. 2005. Sweetcherry Cultivar Identification by using SSR Markers. J. of Biosci. p. 616-619. Kumar Pradep S, Manimekalai R, and Kumari BDR. 2011. Microsatellite Marker based Characterization of South Pacific Coconut (Cocos nucifera L.) Accessions. Int. J. Plant Breed. and Genet. 5(1): 34-43. Lanaud C et al. 1999. Isolation and characterization of microsattellites in Theobroma cacao L. Mol Ecol 8:2141-2143 Lanaud C, Risterucci AM, Pieretti I, N’goran JAK, and Fargeas D. 2004. Characterisation and genetic mapping of resistance and defence gene analogs in cocoa (Theobroma cacao L.). Mol. Breed. 13:211-227 Miller RN, et al. 2008. Analysis of non-TIR-NBS-LRR resistance gene analogs in Musa acuminate Colla: isolation, RFLPmarker development, and physical mapping. BMC Plant Biol. 30: 8-15
99
Motamayor et al. 2008. Geographic and genetic population differentiation of the Amazonian chocolate tree (Theobroma cacao L.). Cacao Pos Differentiation 3(10): 1-8 Motilal L, and Butler D. 2003. Verification of identities in global cacao germplasm collections. Genet Resour Crop Evol 50:799-807. Prawoto AA. 2008. Botani dan Fisiologi. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 38-47 Priolli RHG, Mendez CT, Arantes NE, and Contel EPB. 2002. Characterization of Brazilian Soybean Cultivars using M icrosatellite Markers, Gen and Mol. Biol. (25.2): 185-193. Pugh T et al. 2004. A new cacao linkage map based on codominant markers: development and integration of 201 new microsatelite markers. Theor. Appl. Genet. 108:1151 – 1161 Rubiyo. 2009. Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Penya kit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) di Indo nesia. Disertasi S3 IPB (tidak diterbitkan), 168p. Saunder JA, Mischke S, Leany EA, Hemeida AA.2004. Selection of International molecular standards for DNA fingerprinting of Theobroma cacao L. Theor. Appl. Genet. 110:41-47 Schnell RJ et al. 2007. Development of a marker assisted selection program for cacao. Phytopath. 12: 1664-1669 Sereno ML, Albuquerque PSB, Vencovsky R, Fiqueira A. 2006. Genetic diversity and natural population structure of cacao (Theobroma cacao) from the Brazillian Amazon evaluated by microsatellite marker. Conserv. Genet. 7: 1324. Solodenko A, and Yu S. 2005. Genotyping of Helianthus-Based on Microsatelite Sequences. Helia. 28(42): 19-26. Sudarsono et al. 2009. Teknik molekuler dan pemuliaan tanaman untuk percepatan perakitan kultivar unggul kakao ((Theobroma cacao L.) resisten terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora Butl.). Lap. Penel. KKP3T (tidak diterbitkan). 208p. Sukamto S. 2008. Pengendalian Penyakit. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 154-167. Susilo AW.2010. studi karakteristik sifat ketahanan tanaman kakao (Theobroma cacao L.) terhadap hama penggerek buah kakao (Canopomorpha cramerella Snell.). Disertasi S3 UGM. (tidak diterbitkan). 186. Totad AS, Fkhrudin B, Kuruvinashetti MS. 2005. Isolation and characterization of resistnce gene analogue (RGAs) from sorghum (Sorghum bicolor L.Moenih). Euphytica vol. 143, no 1-2.p 179-188.
100
Wahyudi T, Raharjo P. 2008. Sejarah dan Prospek. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 11-26. Weising K, Nybom H, Wolff K, and Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, F la. Winarno H. 2008. Bahan Tanam. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 68-73. Wood GAR. 1985. Establishment. Di dalam: GAR Wood and RA Lass (Eds.) Cocoa: 119-165. Longman, London Xinwu P et al. 2007. Isolation, characterization and phylogenetic analysis of the resistance gen ana logues (RGAs) in ba nana (Musa spp.). Plant Sci. 172: 11661174 Zhang D, Mischke S, Goe naga R, Hemeida AA, Saunders JA. 2006. Accuracy and Reliability of High-Throughput Microsatellite Genotyping for Cacao Clone Identification. Crop Sci. 46:2084–2092. Zhang D et al. 2006. Genetic diversity and structure of managed and semi- natural populations of cocoa (Theobroma cacao L.) in Huallaga and Ucayali Valleys of Peru. Annals of Bot. 98: 647-655. Zhang D, Mischke S, Johnson ES, Phillips-Mora W, Meinhardt L.2009. Molecular characterization of an international cacao collection using microsatellite markers. Tree Genetics & Genomes 5:1–10
DAFTAR ISTILAH GLOSARY Alel Fenotipe Genotype Heterosigot Heterosigositas Hibrida Homosigot Kakao linadak (bulk cacao) Kakao mulia (fine flavor cacao) Klon Lokus Primer PIC
Lampiran 2. Katalog karakter morfologis 22 klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia
Warna Daun Tua
Tepi Helai
5 5 5 5 5 5 5 7 3 3 5 5 5 5 7
5 5 5 7 7 7 5 7 5 5 7 7 7 5 5
5 5 5 7 7 7 5 7 5 5 5 5 5 2 5
2 3 1 2 3 1 3 2 2 3 2 3 2 2 1
2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 1 2
3 1 1 3 3 3 3 3 3 1 3 1 3 2 3
2 2 2 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
5 5 7 5 7 5 5 5 5 5 3 3 3 5 5
5 5 5 7 7 5 5 5 5 5 5 5 5 3 5
7 2 9 2 2 2 2 6 6 3 7 9 4 3 3
2 3 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
16 17 18 19 20 21 22
PA 300 PA 303 TSH 858 DR 1 NIC 4 UF 667 NIC 7
5 5 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2 2
5 5 5 5 7 3 7
7 7 7 5 5 5 5
3 3 3 7 7 5 7
1 3 1 3 3 3 2
2 2 2 3 3 3 3
1 1 3 1 1 1 1
1 1 2 2 1 1 1
2 2 2 2 2 2 1
5 5 5 3 3 3 5
5 5 5 3 3 3 5
9 6 6 3 9 2 6
3 3 3 3 3 3 3
Warna Flush
Bentuk Pangkal
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Tangkai
Bentuk Ujung
3 3 5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Bentuk Helai
SCA 12 SCA 6 GC7 ICS 60 DR 2 DR 38 DRC 16 ICS13 ICCRI 3 ICCRI 4 RCC 70 RCC 71 RCC 72 ICCRI 1 ICCRI 2
Klon
Tinggi Jorket
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
No
Postur
Lebar
Tekstur Permukaan Bawah
Tekstur Permukaan Atas
Bagian-bagian Daun
Panjang
Tipe Percabangan
Pohon
Keterangan: Postur pohon- (3) vigor baik, (5) sedang, (7) lemah; Tipe percabangan – (1) tegak, (2) horizontal; Tinggi jorket- (3) pendek, (5) sedang, (7) tinggi; Panjang daun- (3) pendek, (5) sedang, (7) panjang; Lebar daun- (3) sempit, (5) sedang, (7) lebar; Bentuk helai daun- (1) ellips, (2) oblong, (3) obovate; Bentuk ujung daun- (1) runcing, (2) meruncing pendek, (3) meruncing panjang, (4) membulat; Bentuk pangkal dau- (1) runcing, (2) meruncing (3) membulat; Tepi helai daun- (1) rata, (2) bergelombang; Tangkai daun- (1) pulvini tidak tampak, (2) pulvini tampak; Tekstur permukaan atas daun- (3) halus, (5) sedang, (7) kasar; Tekstur permukaan atas daun- (3) halus, (5) sedang, (7) kasar; Warna flush- (1) kuning, (2) kuning kecoklatan, (3) coklat, (4) coklat muda, (5) coklat tua, (6) coklat kemerahan, (7) merah kecoklatan, (8) merah muda, (9) merah; Warna daun tua- (1) hijau muda, (2) hijau, (3) hijau tua.
1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1
1 1 4 1 3 2 1 5 1 1 4 4 1 1 1 1 1 5 4 4 1 4
5 1 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 4 4 1 4
1 1 9 1 9 9 1 9 1 9 9 9 9 9 9 1 1 9 9 9 1 9
7 3 5 5 3 5 5 5 0 0 0 0 5 5 0 5
5 5 7 5 3 7 3 7 5 5 7 7 5 5 7 5 5 7 7 7 5 7
7 5 7 5 5 7 5 7 7 7 7 7 7 7 7 5 7 7 7 7 5 7
2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 1 1 3 3 1 2 2 1 2 3 2
Warna Kotiledon
Bentuk
Warna Tangkai
Warna Kuncup
Intensitas Anthocyanin
SCA 12 SCA 6 GC7 ICS 60 DR 2 DR 38 DRC 16 ICS13 ICCRI 3 ICCRI 4 RCC 70 RCC 71 RCC 72 ICCRI 1 ICCRI 2 PA 300 PA 303 TSH 858 DR 1 NIC 4 UF 667 NIC 7
Biji
Anthocyanin
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Warna Petala
Klon
Warna Sepala
No
Keadaan Staminodia
Bunga
1 1 1 1 2 3 2 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 1 2 2 2
Keterangan: Keadaan staminodia- (1) membuka, (2) menutup; warna sepala- (1) kuning kehijauan, (2) kuning tepi merah, (3) hijau, (4) merah, (5) merah tepi hijau; Warna petala- (1) kuning kehijauan, (2) kuning tepi merah, (3) hijau, (4) merah, (5) merah tepi hijau; Pewarnaan anthocyanin- (1) tidak ada, (9) ada; Intensitas pada anthocyanin-(3) lemah, (5) sedang, (7) kuat; Warna kuncup bunga-(3) kekuningan, (5) kehijauan, (7) kemerahan; Warna tangkai bunga- -(3) kekuningan, (5) kehijauan, (7) kemerahan-(3) kekuningan, (5) kehijauan, (7) kemerahan;- (1) oblong, (2) ellips, (3) lonjong; Warna kotiledon- (1) ungu, (2) putih.
1 1 4 2 1 4 2 1 1 1 2 1 3 3 3 3 3 3 2 4 3 4
2 2 3 1 1 1 2 3 2 1 3 3 3 2 2 2 3 2 2 4 1 3
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 7 7 5 5 5 7 7 7 5 7 7 7
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 5 5 7 7 7 7 7 7 5
Kedalaman Alur
Permukaan
Ketebalan Kulit
Ukuran
Bentuk Ujung
Bentuk Pangkal 2 2 4 2 2 4 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 1 3 1 2
7 7 3 7 7 7 5 7 7 7 7 7 7 5 5 7 7 7 7 7 7 7
5 5 2 5 5 3 3 3 7 5 5 5 3 3 3 5 3 5 5 3 5 5
Pewarna Anthocyanin Pada Alur
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 1 9 9 9
Warna Kulit Buah Masak
SCA 12 SCA 6 GC7 ICS 60 DR 2 DR 38 DRC 16 ICS13 ICCRI 3 ICCRI 4 RCC 70 RCC 71 RCC 72 ICCRI 1 ICCRI 2 PA 300 PA 303 TSH 858 DR 1 NIC 4 UF 667 NIC 7
Warna Kulit Buah Muda
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Klon
Bentuk
No
Intensitas Buah
Buah
1 1 3 1 4 3 2 5 5 1 5 5 2 3 3 3 1 3 4 3 1 5
1 1 2 1 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2
9 1 9 9 1 9 9 9 1 9 9 9 1 9 9 1 1 9 9 1 1 1
Keterangan: Intensitas buah- (1) tegas, (9) kontinyu; Bentuk buah- (1) oblong, (2) ellips, (3) obovate, (4) orbicularis, (5) oblet; Bentuk pangkal/leher botol- (1) samar; (2), agak jelas, (3) kuat, (4) tidak hadir; Bentuk ujung- (1)meruncing, (2) runcing, (3) tumpul, (4) bulat, (5) puting; Ukuran buah- (3) kecil, (5) sedang, (7) besar; Ukuran (3) tipis, (5) sedang, (7) tebal; Permukaan buah (3) halus, (5) sedang, (7) kasar; Keadaan alur buah- (1) tanpa alur, (3) dangkal, (5) sedang, (7) dalam, (9) sangat dalam; Warna kulit buah muda- (1) hijau muda, (2) hijau muda, (3) merah, (4) merah muda, (5) merah tua, (6) merah ungu, (7) coklat; Warna kulit buah masak- (1) kuning, (2) kuning tua-oranye; Pewarnaan anthosianin pada alur- (1) tidak ada, (9) ada.
Lampiran 3.
Gambar 1. Hasil amplifikasi DNA 29 klon kakao dengan Primer MTcCIR 69, MTcCIR 82, dan MTcCIR 138 pada gel agarose, M = marka
Gambar 2. Hasil amplifikasi DNA 29 klon kakao dengan Primer MTcCIR 10, MTcCIR 144, dan MTcCIR 106 pada gel agarose, M = marka