BAB VI PENGEMBANGAN MARKA DAN KARAKTERISASI MOLEKULER HASIL PERSILANGAN INTERSPESIFIK J. curcas x J. integerrima Abstrak Pengamatan pada karakter morfologi telah dilakukan terhadap individuindividu F1 hasil persilangan interspesies antara J. curcas x J. integerrima. Keragaman antar tanaman F1 tidak terlalu besar dan secara umum mempunyai karakter pertengahan (intermediate) antara kedua tetuanya. Individu F 1 cenderung mengikuti sifat J. integerrima pada karakter bentuk percabangan, batang, bentuk karangan bunga serta pigmentasi pada daun, tangkai daun dan tangkai bunga. Karakter pada F1 yang mengikuti tetua J. curcas adalah bentuk daun. Analisis molekuler menggunakan marka SSR, RAPD dan ISSR dilakukan terhadap 8 indifidu F1 dan kedua tanaman tetua. Marka EU099522 dan OPC10 polimorf pada kedua tetua dan dapat diturunkan secara bersama (co-inherited) pada semua individu F 1 . Marka EF612741 dan EU099524 masing-masing spesifik untuk J. integerrima dan J. curcas dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi hasil persilangan melalui multiplex PCR. Keragaman antar kedua tetua tinggi (66%) sementara antar F 1 keragamannya rendah (rerata 18%). Berdasarkan dendrogram, tetua J. integerrima berada pada klaster tersendiri (out group) sementara tetua J. curcas dan semua individu F1 berada pada satu klaster yang lain.
Kata kunci: mikrosatelit, marka molekuler, F1 interspesifik, keragaman morfologis 85
Development and molecular characterization of interspecific hybrids of Jatropha curcas x J. integerrima
Abstract Hybrids from interspecific crossing between J. curcas x J. integerrima have been observed for morphological characters. Variation between hybrids was not too large and generally intermediate between the parents. The hybrids tend to follow male parent (J. integerrima) on such characters i.e. branching, stem, inflorescence and pigmentation of leaves, leaf stalks and flower stalks. Character that follows the J. curcas was a leave shape. Molecular analysis using SSR markers, RAPD and ISSR conducted on 8 hybrids and their parents. Two markers (EU099522 and OPC 10) were polymorphic in both parents and co-inherited to all hybrids. EF612741 and EU099524 were specific to J. integerrima and J. curcas respectively and could be used for identification of hybrids through multiplex PCR. Parents have high genetic variability (66%) while the hybrids have less variability (18% in average). Dendrogram generated from molecular analysis showed that J. integerrima was out group while J. curcas clustered together with all hybrids.
Keywords: microsatellite, molecular marker, F1 interspecific, morphological
86
variation Pendahuluan
Pemuliaan jarak pagar masih diprioritaskan untuk mendapatkan varietas yang mempunyai kadar minyak dan daya hasil tinggi (Heller, 1996). Kegiatan pemuliaan memerlukan materi genetik berupa keragaman dari karakter yang hendak dimuliakan (Acquaah, 2007). Berdasarkan pengamatan pada karakter morfologis, beberapa koleksi plasma nutfah jarak pagar Indonesia berpotensi menjadi tetua perakitan varietas berdaya hasil tinggi (Hartati et al., 2009). Sayangnya, berdasarkan evaluasi menggunakan marka molekuler, plasma nutfah yang bersangkutan ternyata memiliki keragaman genetik rendah. Jarak pagar adalah tanaman tahunan monoecious protandrous yang memiliki kemampuan menyerbuk silang maupun sendiri (Raju dan Ezradanam, 2002) sehingga pemuliaan secara konvensional akan memakan waktu yang lama (Divakara et al., 2009).
Pemuliaan dengan seleksi massa atau seleksi berulang dengan basis
genetik yang sempit tidak akan efektif karena kemajuan genetik yang diperoleh tiap siklus pemuliaan akan sangat kecil. Peningkatan hasil jarak pagar dapat dilakukan secara tidak langsung dengan perbaikan sifat-sifat agronomis, peningkatan ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik serta peningkatan kualitas minyak biji. Potensi hasil yang dimiliki oleh plasma nutfah jarak pagar Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain (Yi et al., 2010) meskipun basis genetiknya tidak terlalu luas. Potensi tersebut dapat diperbaiki dengan menambahkan karakter-karakter unggul dari spesies kerabat jarak pagar. Jarak pagar mempunyai karakter batang yang lunak sehingga rentan terhadap genangan dan penyakit busuk akar. Jarak pagar juga sensitif terhadap suhu di bawah nol derajat (Dhillon et al., 2009), rentan terhadap serangan tungau pucuk (Eriophyid dan Polyphagotarsonemus latus) dan thrips (Selenothrips rubrocinctus dan Rhipiphorothrips cruentatus) (Asbani dan Heliyanto, 2008). Jatropha integerrima adalah salah satu spesies Jatropha yang ditanam sebagai tanaman hias, toleran terhadap suhu rendah, resisten terhadap penyakit busuk batang, mempunyai batang kokoh dan mempunyai ketahanan tinggi terhadap ulat pemakan daun (Lakshminarayana dan Sujatha, 2001), diduga tahan terhadap tungau pucuk dan thrips (Asbani dan Heliyanto, 2008), bijinya mempunyai kadar 87
asam linoleat tinggi (Rao dan Lakshminarayana, 1987). Persilangan interspesies antara J. curcas dengan J. integerrima dilakukan untuk menggabungkan sifat-sifat baik dari keduanya. Pada pemuliaan tradisional, metode yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi tanaman F1 adalah dengan GOT (grow out test) yang meliputi kegiatan penanaman sampel biji dan dikuti dengan pengamatan karakter-karakter morfologis. Metode ini banyak memakan waktu, mahal dan membutuhkan lahan yang luas (Wu et al., 2006) serta seringkali hasil pengamatannya dipengaruhi oleh bias lingkungan sehingga mengurangi akurasi dalam determinasi (Moose dan Mumm, 2008). Beberapa metode alternatif seperti analisis isoenzim telah digunakan dan terbukti efektif (Ronis et al., 1990; Hirose et al., 1993), tetapi memiliki kelemahan yaitu tidak dapat mendeteksi polimorfisme pada beberapa galur yang berkerabat dekat sehingga diperlukan metode yang lebih sensitif untuk membedakan hibrida (Wu et al., 2006). Marka molekuler berbasis DNA dapat digunakan untuk determinasi hasil persilangan dengan akurasi yang lebih dapat diandalkan (Spooner et al., 2005). Marka molekuler selain dapat menghindari bias lingkungan dalam determinasi hibrida juga dapat diaplikasikan pada saat tanaman masih dalam fase juvenil (Dhillon et al., 2009) sehingga seleksi individu hibrida dapat dilakukan lebih awal. Dhillon et al. (2009) telah mengembangkan marka RAPD yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi hasil persilagan intersepesifik antara J. curcas dengan J. integerrima. Berbagai marka molekuler lain bebasis DNA telah banyak digunakan untuk determinasi hasil persilangan pada beberapa spesies tanaman seperti pada Passiflora (Conceição et al., 2010), Chrysanthemum (Huang et al., 2000), Mentha (Shasany et al., 2005) menggunakan marka RAPD dan pada Helianthus (Iqbal et al., 2010), jagung (Wu et al., 2006), walnut (Pollegioni et al., 2010), kacang tanah (Gomez et al., 2008) menggunakan marka SSR. Pada penelitian ini marka SSR, RAPD serta ISSR digunakan untuk menganalisis hasil persilangan antara J. curcas x J. integerrima beriringan dengan pengamatan secara morfologis. Marka yang terbukti dapat mengidentifikasi hasil persilangan dengan baik dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil persilangan dengan skala yang lebih luas untuk kepentingan pemuliaan jarak pagar di masa mendatang.
88
Bahan dan Metode
Bahan tanaman yang digunakan untuk penelitian ditanam di Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Jl. Raya Karangploso, Malang. Analisis molekuler dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juni 2011. Bahan tanaman untuk percobaan adalah populasi F1 hasil persilangan interspesifik antara tetua betina J. curcas (P 1 ) dan tetua jantan J. integerrima bunga merah (P 2 ) (Asbani dan Heliyanto, 2008). Sampel DNA diambil dari daun muda 8 individu F 1 dan kedua tetuanya yang ditanam di lapangan. Primer DNA yang digunakan adalah 9 pasang primer SSR, 5 primer RAPD dan 3 primer ISSR. Marka SSR dipilih dari penelitian tahap sebelumnya yang terbukti dapat teramplifikasi pada genom J. curcas maupun J. integerrima serta polimorf antar keduanya. Marka RAPD dan ISSR dipilih dari penelitian sebelumnya yang terbukti dapat teramplifikasi pada genom jarak pagar dan menunjukkan pita DNA yang jelas. Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode ekstraksi DNA jarak pagar yang digunakan pada penelitian sebelumnya (Sudheer et al. 2009). Sebanyak 0.1 g daun muda (berukuran ± 3 cm) digerus dengan 500 µL buffer ekstraksi (CTAB 2%, 100 mM Tris HCl pH 8, 3.5 M NaCl, 0.5 M EDTA) dan 1% polyvinylpolypyrolydone (PVP). Ekstrak daun kemudian dipindahkan ke dalam tabung mikro berukuran 2.000 µL, ditambahkan 1.5% β-merkaptoetanol dan diinkubasi pada suhu 65oC selama 90 menit. Setelah inkubasi ditambahkan kloroform:isoamil alkohol (24:1) dengan volume sebanding dan dikocok perlahan selama 10 menit. Campuran disentrifugasi 8.000 rpm selama 8 menit pada suhu ruang. Fase cair bagian atas dipindahkan ke tabung yang baru dan ditambahkan 2M NaCl dengan volume sebanding. Ke dalam campuran tersebut ditambahkan isopropanol sebanyak 0.6 kali volume akhir dan diinkubasi pada suhu ruang selama 60 menit. Alkohol 80% sebanyak 2 x dari volume akhir ditambahkan pada campuran tersebut dan
89
campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Selanjutnya campuran disentrifugasi 10.000 rpm selama 15 menit pada suhu ruang. Pelet dicuci dengan alkohol 70% kemudian dikeringkan dan dilarutkan pada 200 µL buffer TE. Kuantifikasi DNA dilakukan dengan spektrofotometer maupun dengan running pada gel agarosa.
Amplifikasi DNA dan separasi hasil amplifikasi PCR dilakukan pada volume total 25 μl yang mengandung 0.2 μM primer, 1.25 U Taq polymerase (Real Biotech Corporation), 1 X buffer PCR, 0.1 μM d NTP (mix 1 0mM) dan 1 μl DNA templat. Siklu s PCR yang dig unak an untu k marka SSR adalah: satu siklus denaturasi pada suhu 95oC selama 5 menit; 36 siklus untuk tahap-tahap denaturasi pada suhu 94oC selama 30 detik, annealing pada suhu sesuai primer masing-masing selama 30 detik, elongation pada suhu 72oC selama 1 menit; 1 siklus final extension pada suhu 72oC selama 5 menit. Siklus PCR untuk marka RAPD adalah sebagai berikut: satu siklus denaturasi pada suhu 94oC selama 3 menit diikuti dengan 45 siklus masing-masing pada suhu 94oC selama 45 detik, 36 oC selama 30 detik, 72 oC selama 2 menit dan final extension pada suhu 72oC selama 7 menit. Kondisi amplifikasi DNA dengan marka ISSR dilakukan sesuai dengan prosedur sebagai berikut: satu siklus denaturasi pada suhu 94oC selama 4 menit diikuti dengan 35 siklus masingmasing pada suhu 92oC selama 30 detik, Ta selama 1 menit, 72 oC selama 2 menit dan final extension pada suhu 72oC selama 7 menit. DNA hasil amplifikasi dengan primer RAPD dan ISSR diseparasi dengan elektroforesis gel agarosa (1%) dan divisualisasi dengan pewarnaan ethidium bromide serta diamati di bawah penyinaran UV transluminescent. Marka DNA berukuran kelipatan 1000 bp (1 Kb ladder) digunakan untuk membantu menentukan ukuran potongan DNA hasil amplifikasi PCR. Hasil amplifikasi dengan
primer
SSR
diseparasi
dengan
PAGE
(polyacrylamide
gel
electrophoresis) 6% (terdiri dari 40% akrilamid/bis-akrilamid, 10% amonium persulfat, 5X buffer TBE, urea, TEMED) dilakukan dengan Dedicated Height Sequencer (Cole-Parmer) menggunakan buffer TBE 1X pada tegangan konstan 1.100 V selama 3 jam. Volume hasil PCR yang diseparasi adalah 1.8 µL
90
berjumlah 60 sampel per gel. Hasil PAGE divisualisasi dengan pewarnaan perak (silver staining). Marka DNA berukuran kelipatan 100 bp (100 bp ladder) digunakan untuk membantu menentukan ukuran potongan DNA hasil amplifikasi PCR.
Pengamatan karakter morfologis Pengamatan karakter morfologis dilakukan pada tanaman tetua maupun tanaman F1 hasil persilangan antara keduanya. Pengamatan dilakukan untuk melihat secara fenotipik karakter morfologis tetua dan penurunan sifat tetua pada hasil persilangannya. Kerakter morfologis yang diamati antara lain adalah : bentuk dan warna daun, bentuk dan warna bunga, bentuk dan warna buah, bentuk dan warna biji tua, bentuk percabangan. Variasi karakter morfologis didokumentasi untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang karakter-karakter yang diamati.
Analisis data Skoring dilakukan pada hasil analisis molekuler individu-individu tetua maupun F1 . Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya maka setiap pita yang muncul pada analisis dengan marka SSR diasumsikan sebagai satu lokus. Skoring dilakukan dengan memberi nilai angka yang berbeda pada setiap lokus yang bebeda untuk tiap-tiap marka. Nilai 1 diberikan kepada pita DNA dengan ukuran paling besar pada masing-masing marka, nilai 2 dan seterusnya diberikan untuk ukuran pita DNA yang lebih kecil secara berturutturut. Tabel skoring dibuat untuk mempermudah pembandingan pola pita DNA antara tetua dan F1 .
Data biner (nilai “1” untuk kemunculan pita DNA dan “0”
untuk ketidakmunculan pita DNA) dibuat dari hasil skoring dan digunakan untuk membuat dendrogram hubungan genetik bedasarkan analisis molekuler antar semua individu yang diuji. Dendrogram dibuat berdasarkan indeks kesamaan genetik menurut Nei dan Li (1979) dengan Unweight Pair Group Method Arithmetic (UPGMA) menggunakan perangkat lunak NTSYSpc 2.02 (Rohlf, 1998). Analisis bootstrap dilakukan antar lokus dengan program Winboot (Yap dan Nelson, 1996).
91
Hasil
Tanaman F1 pada penelitian ini vigor, dapat menghasilkan bunga dan secara morfologis menunjukkan sifat pertengahan (intermediate) antara kedua tetuanya. Individu F1 cenderung mengikuti sifat P 2 (J. integerrima) pada karakter bentuk percabangan, batang, bentuk karangan bunga serta pigmentasi pada daun, tangkai daun dan tangkai bunga. Kemampuan membentuk buah pada F 1 sedikit, mengikuti karakter pembentukan buah pada P 2 (J. integerrima). Batang pada F1 mengikuti P 2 yaitu lebih keras dan berkayu dibandingkan batang P 1 (J. curcas). Bentuk daun mengikuti P 1 tetapi ukurannya merupakan pertengahan antara kedua tetuany. Bentuk dan ukuran buah berada pada pertengahan antara kedua tetua tetapi mempunyai variasi mengikuti P 1 atau P 2 (Tabel 15; Gambar 13).
Tabel 15 Perbedaan karakter morfologi yang teramati pada tanaman P 1 (J. curcas), P 2 (J. integerrima) dan F 1 hasil persilangan antara keduanya Karakter Daun
Batang Percabangan
P 1 (J. curcas) spiral, cordate, palmately dengan 5 lobus berlekuk dalam, hijau tua, tangkai daun panjang tidak berpigmen sukulen, kulit tebal, mudah patah sedikit, vertikal ke atas
Bunga
kecil, kelopak kuning kehijauan, menggulung di ujung, tangkai tidak berpigmen, serbuk sari kuning muda
Infloresens
cymose, unisexual, monoecious, tangkai pendek tidak berpigmen
Buah
hijau, besar drupaceous
Biji
besar, hitam
F1 spiral, cordate dengan 5 lobus berlekuk dangkal, hijau tua, tangkai daun sedang, berpigmen ungu ringan kulit tipis, ulet, lebih berkayu banyak, cenderung menyamping kelopak merah muda lebih ringan dengan intensitas bervariasi, sedikit menggulung di ujung, tangkai berpigmen ungu ringan dan tidak berpigmen, serbuk sari kuning tua variatif cymose, unisexual, monoecious, tangkai panjang berpigmen ungu ringan dengan intensitas bervariasi hijau,pigmen variatif, lobus variatif ukuran intermediate, bervariasi dari hitam sampai hitam kecoklatan
92
P 2 (J. integerrima) spiral, obovate dengan 3 lobus berlekuk dangkal, hijau tua, tangkai daun pendek, berpigmen ungu kuat kulit tipis, ulet, lebih berkayu banyak, cenderung menyamping besar, berkelopak merah muda gelap, rata, tangkai berpigmen ungu agak gelap, serbuk sari kuning tua
cymose, unisexual, monoecious, tangkai panjang berpigmen ungu agak gelap hijau berpigmen ungu ringan, kecil dengan lobus dalam kecil, coklat berbintik hitam
A
B
P2
P2
P1
F1
P1 F1 10 cm
C
D P1
2 cm
P2 1 cm
F1
P1
E
P2
F1
F
1 cm
G
H
Gambar 13 Hasil pengamatan secara morfologis karakter daun (A), bunga (B), buah (C), biji (D) pada tanaman tetua dan F1; variasi bentuk biji (E) dan percabangan (F) pada tanaman F1 ; Variasi pigmentasi pada tangkai karangan bunga tanaman F1 : berpigmen (G) dan tidak berpigmen (H); P 1 = J. curcas, P 2 = J. integerrima 93
Semua marka SSR yang diuji dapat teramplifikasi pada tanaman F1 maupun tanaman tetua kecuali satu marka (EU099524) tidak teramplifikasi pada P 2 . Lokus yang terdeteksi berjumlah 1 hingga 3 lokus pada tetua dan 1 hingga 4 lokus pada F1 . Semua lokus yang dijumpai pada F1 dapat dijumpai pada tetua kecuali satu lokus yang ditemukan pada satu individu F 1 (individu no 6) dengan marka AF469003 dan satu lokus yang ditemukan pada individu F 1 (individu no.2, 4, 5, 6, 7, 8) dengan marka OPG18. Semua marka SSR dan RAPD polimorf baik dengan sesama tetua maupun antara tetua dengan F1 paling tidak pada satu lokus. Dua marka ISSR (UBC 810 dan UBC 834) monomorf pada semua individu yang diuji semantara satu marka yang lain (UBC 812) tidak teramplifikasi sama sekali. Lokus-lokus yang dihasilkan oleh marka EU586348, AF469003, EU099522 dan OPC10 polimorf antar tetua pada semua lokusnya. Semua lokus dari marka EU099522 dan OPC10 diturunkan bersama (co-inherited) kepada tanaman F 1 sementara untuk EU586348 dan AF469003 terjadi rekombinasi sempurna tetapi tidak pada semua individu F 1 (Tabel 16). Tabel 16 Hasil skoring terhadap analisis molekuler menggunakan marka SSR, RAPD dan ISSR pada individu-individu tetua dan F 1 hasil persilangan keduanya Primer
Individu 4
P1
P2
1
2
3
SSR EU586348 EU586343 EF612741 EF612739 EU099518 EU099522 EU099524 AF469003 EU586349
245 12 2 2 2 24 12 2 123
13 2 1 1 2 13 -1 3
1234 12 1 2 2 1234 12 12 123
135 12 1 1 2 1234 12 12 123
135 12 1 1 2 1234 12 2 123
RAPD OPQ 11 OPC 10 OPG 17 OPG 18 OPV 17
24 1 13 3 1
13 23 2 23 --
24 123 13 ---
14 -13 13 --
1 123 13 ---
5
6
7
8
234 12 1 1 2 1234 12 12 123
35 12 1 1 2 1234 12 12 123
135 12 1 1 1 1234 12 3 123
35 12 1 1 2 1234 12 12 --
35 12 1 2 2 1234 12 2 3
1 -13 123 --
13 -13 13 1
13 123 13 123 --
13 123 13 123 --
13 123 13 13 --
ISSR UBC 810 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 UBC 834 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 UBC 812 ----------Keterangan: P 1 = tetua J. curcas; P 2 = tetua J. integerrima; 1 - 8 = individu F 1 hasil persilangan P 1 x P 2 ; -- = tidak ada pita DNA terdeteksi
94
Marka EF612741 menghasilkan satu lokus pada P 1 dan satu lokus yang berbeda pada P 2 dan semua individu F1 hanya menunjukkan kehadiran lokus sesuai dengan P 2 . Marka EU099524 menghasilkan 2 lokus spesifik pada P 1 karena tidak teramplifikasi pada P 2 dan semua tanaman F1 memiliki kedua lokus tersebut. Marka OPG17 menghasilkan 3 lokus di mana satu lokus muncul pada P 2 sementara 2 lokus yang berbeda muncul pada P 1 dan semua individu F 1 memiliki pola pita yang sama dengan P 1 . Marka EU099518 menghasilkan satu lokus dan monomorf pada tetua maupun pada individu F 1 . Marka EU586343 dan marka EU586349 masing-masing memiliki satu lokus yang dimiliki bersama oleh P 1 dan P 2 (Gambar 14).
EU586322 M P1 P2 1 2 3 4 5 6 7 8
EU586324 M P1 P2 1 2 3 4 5 6 7 8 200 bp
300 bp
200 bp
100 bp
EU586348 M P1 P2 1 2 3 4 5 6 7 8
EU586343 M P1 P2 1 2 3 4 5 6 7 8
200 bp
100 bp
100 bp
Gambar 14 Elektroferogram hasil amplifikasi DNA 8 individu F 1 (1-8) hasil persilangan J. curcas (P 1 ) x J. integerrima (P 2 ) dengan 4 marka SSR. M = marka DNA 100 bp
95
Nilai kesamaan genetik antar tetua berdasarkan semua marka molekuler yang digunakan rendah yaitu 34%. Berdasarkan semua marka yang digunakan, rerata nilai kesamaan genetik antar individu F1 sebesar 82%, antara individu F1 dengan P 1 sebesar 72% dan antara individu F 1 dengan P 2 sebesar 62%. Rerata nilai kesamaan genetik antara F1 dengan P 1 dan P 2 berdasarkan marka SSR saja berturut-turut adalah sebesar 75 dan 59%. Nilai kesamaan genetik paling rendah (55%) adalah antara individu P 2 dengan individu 1 F1 sementara nilai kesamaan genetik paling tinggi (93%) adalah antara individu F1 no 3 dan no 5 (Tabel 17). Dendrogram yang dihasilkan menunjukkan individu-individu yang diuji terbagi dalam 2 klaster besar. Klaster pertama hanya terdiri dari individu P 2 dan klaster kedua terdiri dari individu P 1 dan semua individu F1 (Gambar 15). Klaster kedua terbadi menjadi 2 subklaster dimana tetua P 1 bersama dengan individu F 1 nomor 1 terpisah menjadi satu klaster tersendiri.
Tabel 17 Koefisien kesamaan genetik antara 8 individu F1 (1-8) dan 2 tanaman tetuanya (P 1 = J. curcas; P 2 = J. integerrima) berdasarkan hasil analisis molekuler dengan 9 marka SSR, 5 marka RAPD dan 3 marka ISSR
P2 1 2 3 4 5 6 7 8
P1 0.34 0.82 0.74 0.72 0.74 0.74 0.63 0.63 0.72
P2
1
2
3
4
5
6
7
0.55 0.61 0.63 0.61 0.61 0.62 0.69 0.63
0.79 0.84 0.79 0.72 0.72 0.76 0.81
0.87 0.89 0.93 0.81 0.79 0.76
0.80 0.84 0.86 0.80 0.81
0.89 0.78 0.86 0.80
0.81 0.82 0.80
0.81 0.79
0.91
96
Gambar 15 Dendrogram hasil analisis molekuler menggunakan marka SSR, RAPD dan ISSR pada individu-individu tetua (P 1 = J. curcas; P 2 = J. integerrima) dan F1 hasil persilangan keduanya (1-8)
Pembahasan
Di antara persilangan interspesies pada Jatropha, persilangan antara J. curcas dengan J. integerrima adalah sedikit dari yang berhasil dilakukan dan mendapatkan generasi F1 . Sujatha dan Prabakaran (2003) mendapatkan angka keberhasilan persilangan (% pembentukan biji) sebesar 9.3%, sementara Dhillon et al. (2009) mendapatkan keberhasilan sebesar 7.3%. Keberhasilan persilangan antara J. curcas dengan J. integerrima diduga berkaitan dengan kedekatan hubungan genetik antara keduanya seperti yang telah dikonfirmasi pada penelitian sebelumnya dan beberapa penelitian lain (Sudheer et al., 2009; Yadav et al., 2011). Dehgan (1982) menyebutkan bahwa J. integerrima adalah persilangan alami yang kompleks dan mungkin saja di dalamnya ada komponen J. curcas yang terlibat. Keberhasilan persilangan diduga juga Sejauh ini persilangan hanya dapat dilakukan jika J. curcas bertindak sebagai tetua betina dan tidak sebaliknya (Sujatha dan Prabakaran, 2003; Dhillon et al., 2009).
97
Tanaman hasil persilangan dalam penelitian ini vigor dan semua dapat menghasilkan bunga secara normal. Secara umum, berdasarkan karakter morfologis individu-individu F 1 menunjukkan karakter pertengahan antara kedua tetuanya. Pengecualian ditemukan pada karakter batang di mana individu F1 cenderung mengikuti P 2 . Karakter pertengahan yang ditunjukkan oleh individuindividu F 1 menegaskan bahwa individu-individu tersebut benar-benar merupakan hasil persilangan J. curcas dan J. integerrima. Dalam kasus di mana tetua mempunyai perbedaan karakter cukup menonjol seperti dalam penelitian ini, pengamatan karakter morfologis dapat diandalkan untuk determinasi hasil persilangan. Evaluasi dengan marka molekuler diarahkan untuk mendapatkan marka molekuler yang dapat digunakan untuk seleksi hasil persilangan di tahaptahap berikutnya. Aspek penting yang dapat dicapai dengan ditemukannya marka spesifik ini selain akurasi dalam determinasi hasil persilangan juga waktu identifikasi dapat dilakukan lebih awal sehingga secara keseluruhan program pemuliaan dapat dilakukan lebih singkat. Marka SSR yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari J. curcas dan sudah teruji dapat teramplifikasi pada J. curcas. Pengujian amplifikasi lintas spesies telah dilakukan dan marka yang bersangkutan dapat teramplifikasi pada J. integerrima serta menghasilkan pita polimorf dengan J. curcas. Marka yang lokus-lokus pada tetuanya polimorf dan dapat diturunkan secara bersama (co-inherited) pada semua individu F1 dapat digunakan untuk analisis pewarisan genetik (Kang et al. 2011). Dari 9 marka SSR 1 marka (EU099522) memenuhi kriteria tersebut. Dua marka (EU586348, AF469003) tidak dapat diandalkan karena meskipun keduanya polimorf pada tetua dan terekombinasi sempurna tetapi tidak terjadi pada semua F 1 . Marka EU586343 tidak dapat diandalkan karena ada satu lokus pada F1 yang ditemukan juga pada kedua tetuanya sehingga tidak diketahui pasti berasal dari P 1 atau P 2 . Marka EF612741 spesifik untuk P 2 sehingga karena persilangan dilakukan dengan P 1 sebagai tetua betina, marka tersebut menggambarkan andil P 2 pada F 1. Marka EU099524 spesifik untuk P 1 dan mempunyai ukuran berbeda dengan lokus dari marka EF612741. Kedua marka tersebut dengan multiplex PCR dapat digunakan untuk identifikasi hasil persilangan.
98
Jumlah lokus yang teridentifikasi dengan marka RAPD dalam penelitian ini tidak banyak tetapi satu marka (OPC 10) dapat digunakan untuk membantu determinasi hasil persilangan antara J. curcas dengan J. integerrima. Polimorfisme yang ditunjukkan oleh marka RAPD dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti delesi yang menghilangkan sisi pengikatan (binding site) primer, insersi yang membuat fragmen DNA menjadi terlalu besar untuk polimerisasi, substitusi nukleotida pada sisi penempelan primer (annealing site) yang menyebabkan kegagalan polimerasi atau penambahan atau delesi kecil yang menyebabkan fragmen DNA menjadi mengecil atau membesar. RAPD adalah marka dominan (Bardakci, 2001; Williams et al., 1990), teknik ini masih dapat digunakan untuk mengidentifikasi primer-primer yang menunjukkan profil hibrida dengan marka dari kedua induknya (co-inherited marker) yang dengan demikian lebih banyak genotip dapat ditapis lebih cepat dan lebih hemat dibandingkan dengan teknik lain. Beberapa pita DNA yang muncul pada F 1 tetapi tidak ditemukan pada tetua kemungkinan terjadi karena rekombinasi atau mutasi (Lodish et al., 2003). Sebaliknya pindah silang kromosom selama miosis dapat menyebabkan hilangnya sisi primer (priming sites) sehingga primer teramplifikasi pada tetua tetapi tidak teramplifikasi pada F 1 (Tiyagi et al., 1992). Keragaman genetik antar F1 hanya berkisar antara 7 hingga 28% dengan rerata 18% menunjukkan rendahnya variasi antara keturunan persilangan. Rendahnya keragaman F1 dapat terjadi karena tingginya homosigositas tanaman tetua seperti yang telah didapatkan pada kegiatan penelitian sebelumnya (Bab IV). Tanaman F 1 yang lebih dekat kepada P 1 adalah individu 1, 2, 3, 4, 5 dan 8, sementara individu 6 lebih dekat kepada P 2 . Berdasarkan dendrogram diketahui bahwa P 1 (J. curcas) mengelompok dengan F1 sementara P 2 (J. integerrima) memisah dengan jarak cukup jauh menjadi satu klaster tersendiri. Hasil ini berkebalikan dengan yang didapatkan oleh Dhillon et al. (2009) dimana J. curcas yang terpisah dalam klaster tersendiri. Dendrogram yang dibuat dengan marka SSR saja mendapatkan hasil yang sama dan hal ini mungkin terjadi karena marka SSR dikembangkan dari J. curcas. Hasil evaluasi dengan marka molekuler ternyata tidak komplementer dengan evaluasi berdasarkan karakter morfologis yang menunjukkan karakter pertengahan pada F1 .
99
Penggunaan marka SSR untuk identifikasi F 1 hasil persilangan antara J. curcas dengan J. integerrima ini adalah yang pertama kali dilakukan dan marka spesifik yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk program pemuliaan tahap berikutnya. Marka-marka terpilih pada penelitian ini belum diketahui terpaut dengan sifat tertentu sehingga perlu kajian lebih lanjut. Pemanfaatan marka-marka yang terpilih pada penelitian ini masih terbatas untuk determinasi dan analisis pewarisan genetik persilangan antara J. curcas dengan J. integerrima serta seleksi pada generasi-generasi persilangan berikutnya. Generasi persilangan lebih lanjut masih terbuka untuk hasil persilangan ini karena individu-individu F 1 terbukti fertil dan dapat menghasilkan biji yang dapat ditumbuhkan menjadi tanaman F 2 . Tidak diketahui asal serbuk sari yang menyerbuki tanaman F1 sehingga menjadi tanaman F 2 karena selain sesama tanaman F1 yang lain, di sekitar tanaman F1 juga terdapat tanaman J. curcas dan J. integerrima. Tanaman F2 yang tumbuh telah ada yang berbunga dan menghasilkan biji tetapi hanya ada satu biji yang dihasilkan pada tiap kapsul. Kecilnya keberhasilan pembentukan biji ini mungkin terjadi karena terbatasnya sumber serbuk sari yang ada. Bentuk dan warna buah dan biji yang terbentuk pada tanaman F 2 ini identik dengan buah J. curcas tetapi berukuran lebih kecil. Secara umum morfologi batang dan daun tanaman F2 lebih mendekati sifat J. curcas kecuali adanya pigmentasi pada daun dan tangkai daun yang menyerupai J. integerrima pada 2 individu tanaman F 2 . Tanaman F 2 yang tidak berpigmen pada batang, tangkai daun maupun daunnya mempunyai kelopak bunga putih, sedangkan tanaman F2 yang berpigmen mempunyai kelopak bunga berwarna merah muda (Lampiran 6). Rekombinasi karakter-karakter antara J. curcas dan J. integerrima pada tanaman F2 menguatkan dugaan bahwa tanaman F1 yang diuji betul-betul merupakan hasil persilangan antara J. curcas dengan J. integerrima.
Kesimpulan
Keragaman antar tanaman F 1 hasil persilangan J. curcas dengan J. integerrima tidak terlalu besar dan secara umum mempunyai karakter pertengahan (intermediate) antara kedua tetuanya. Individu F 1 cenderung mengikuti sifat J.
100
integerrima pada karakter bentuk percabangan, batang, bentuk karangan bunga serta pigmentasi pada daun, tangkai daun dan tangkai bunga. Karakter pada F1 yang mengikuti tetua J. curcas adalah bentuk daun. Keragaman antar kedua tetua tinggi (66%) sementara antar F1 keragamannya rendah (rerata 18%). Marka SSR EU099522 dan marka RAPD OPC10 polimorf pada kedua tetua dan dapat diturunkan secara bersama (co-inherited) pada semua individu F1 . Marka SSR EF612741 dan EU099524 dapat digunakan untuk identifikasi hasil persilangan melalui multiplex PCR. Indifidu F 1 fertil dan dapat menghasilkan tanaman F2 yang fertil pula.
Daftar pustaka
Acquaah G. 2007. Principles of Plant Genetics and Breeding. Blackwell Publishing Ltd. 350 Main Street, Malden, MA 02148-5020, USA; 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK; 550 Swanston Street, Carlton, Victoria 3053, Australia. hal 87 Asbani N, Heliyanto B. 2008. Kompatibilitas persilangan interspesifik Jatropha curcas x J. integerrima. Infotek Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) 3(2):7 Bardakci F. 2001. Random amplified polymorphic DNA (RAPD) markers. Turk J Biol (25):185-196 Conceição LDHCS et al. 2011. Confirmation of cross-fertilization using molecular markers in ornamental passion flower hybrids. Genetics and Molecular Research 10 (1): 47-52 Lodish H, Berk A, Zipursky SL, Matsudaira P, Darnell J. 2003. Molecular and Cellular Biology. Fifth edition. WH Freeman & Company New York Dhillon RS et al. 2009. Development and molecular characterization of interspecific hybrids of Jatropha curcas x J. integerrima. Indian Journal of Biotechnology 8:384-390 Divakara BN, Upadhyaya HD, Wani SP, Laxmipathi Gowda CL. 2009. Biology and genetic improvement of Jatropha curcas L.: A review. Applied Energy 87:732-742 Gomez SM et al. 2008. Identification of peanut hybrids using microsatellite markers and horizontal polyacrylamide gel electrophoresis. Peanut Science 35:123-129 Hartati RS, Setiawan A, Heliyanto B, Pranowo D, Sudarsono. 2009. Keragaan morfologi dan hasil 60 individu jarak pagar (Jatropha curcas L.) terpilih di kebun percobaan Pakuwon Sukabumi. Jurnal Littri 15(4):152-161 101
Heller J. 1996. Physic nut Jatropha curcas L. Promoting the conservation and use of under utilized and neglected crops. International Plant Genetic Resources Institute. Rome Hirose T, Ujihara A, Kitabayashi H, Minami M. 1993. Morphology and identification by isozyme analysis of interspecific hybrids in buckwheats. Fagopyrum 13:25-30 Huang SC, Tsai CC, Sheu CS. 2000. Genetic analysis of Chrysanthemum hybrids based on RAPD molecular markers. Bot. Bull. Acad. Sin. 41: 257-262 Iqbal A, Sadaqat HA, Khan AS, Amjad M. 2010. Identification of sunflower (Helianthus annuus, Asteraceae) hybrids using simple-sequence repeat markers. Genetics and Molecular Research 10(1):102-106 Kang JH et al. 2011. Microsatellite analysis as a tool for discriminating an interfamily hybrid between olive flounder and starry flounder. Genetics and Molecular Research 10 (4):2786-2794 Lakshminarayana M, Sujatha M. 2001. Screening of Jatropha species against the defoliators of castor (Ricinnus communis L.). J oilseeds Res. 18:228-230 Moose SP, Mumm RH. 2008. Molecular plant breeding as the foundation for 21st century crop improvement. Plant Physiology 147:969-977 Nei M, Li WH. 1979. Mathematical model for studying genetic variation in terms of restriction endonucleases. Proc Natl Acad Sci USA 76:5269-5273 Pollegioni P, Woeste K, Mugnozza GS, Malvolti ME. 2009. Retrospective identification of hybridogenic walnut plants by SSR fingerprinting and parentage analysis. Mol Breeding 24:321-335 Raju AJS, Ezradanam V. 2002. Pollination ecology and fruiting behaviour in a monoecious species, Jatropha curcas L. (Euphorbiaceae). Current Science 83(11): 1395- 1398 Rao KS, Lakhsminarayana G. 1987. Characteristics and composition of six newer seed and the oils. Fat. Sci. Technol. 89:324-326 Rohlf FJ. 1998. NTSYSPCpc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System Version 2.0 User Guide. Applied Biostatistics Inc., 3 Heritage Lane, Setauket, New York Ronis DH, Thompson AE, Dierig DA, Johnson ER. 1990. Isozyme verification hybrids of interspecific of Cuphea. Hortscience (11):1431-1434 Shasany AK et al. 2005. Use of RAPD and AFLP markers to identify inter- and intraspecific hybrids of Mentha. Journal of Heredity 96(5):542-549 Spooner D, Treuren van R, Vicente de MC. 2005. Molecular markers for genebank management. IPGRI Technical Bulletin No. 10. International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy. hal 67
102
Sudheer PDVN, Pandya N, Reddy MP, Radhakrishnan. 2009. Comparative study of interspecific genetic divergence and phylogenetic analysis of genus Jatropha by RAPD and AFLP. Mol Biol Rep 36:901-907 Sujatha M, Prabakaran AJ. 2003. New ornamental hybrids through interspecific hybridization. Genetic Resources and Crop Evolution 50:75-82 Tiyagi BR, Ahmed T, Bahl JR. 1992. Cytology, genetics and breeding of commercially important Mentha species. Curr Res Med Arom Plants 14: 51-56 Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA, Tingey SV. 1990. DNA polimorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Res. 18:6531-6535 Wu M, Jia X, Tian L, Baochun LV. 2006, Rapid and reliable purity identification of F1 hybrids of maize (Zea may L.) using SSR markers. Molecular Plant Breeding 4(3):381-384 Yadav HK et al. 2011. EST-derived SSR markers development, characterization, polymorphism and transferability across the species/genera. Tree Genetics & Genomes 7:207-219 Yap IV, Nelson RJ. 1996. WINBOOT a program for performing bootstrap analysis of binary data to determine the confidence limits of UPGMAbased dendrograms. In: IRRI Disc. Pap. Ser. 14. International Rice Research Institute, Manila, Philippines Yi C, Zhang S, Liu X, Bui HTN, Hong Y. 2010. Does epigenetic polymorphism contribute to phenotypic variances in Jatropha curcas L. BMC Plant Biology 2010 10: 259
103