Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
TINJAUAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN PAKAN ALTERNATIF DAN PERSILANGAN KAMBING POTONG (Overview of The Research Studies on The Development of Alternative Feedstuffs and Development of Crossbred Goats) SIMON P. GINTING, FERA MAHMILIA, SIMON ELIESER, LEO P. BATUBARA dan RANTAN KRISNAN Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Galang, Sumatera Utara
ABSTRACT Feed supply and quality as well as genetic capacity of local goats play important role in the slow growth rate of goat population and goat enterprises in Indonesia. Studies that aimed to explore some alternative feedstuffs for specific agroecosystem, in this case horticultures have been conducted and focussed on the utilization of by products from the processing of passion fruits, pineapples and brassica. The optimum inclusion levels when used as component in concentrates fed to growing goats were 15%, 45% and 30%, and resulting ADG of 76 g, 81 g and 64 g with feed efficiency of 0,094, 0,101 and 0,080 for passion hulls, passion seeds and brassica meal, respectively. Utilization of passion hulls in a complete diet for growing goats gave better results as shown by higher ADG (105 g) and feed efficiency (0,137). Passion hulls and pineapple wastes could be used as feed to substitute a part or the total forages in the diet, although it was found that the optimal substitution rate for passion hulls and pineapple wastes were 67% and 75%, respectively. Palm oil sludge (POS) was known for its good nutritional contents, but its utilization as animal feed has been limited. It is suggested to develop a pelleted feed containing the mixture of palm kernel meal (PKM) and POS in order to fasten the use of POS as animal feed. Research studies showed that the optimal ratio of PKM/POS for a pelleted feed was 2/1, without the inclusion of any additives. However, the pellet density was still quite low ranging from 0,24-0,34 g/cm3. The development of crossbred goats (Boer x Kacang) is promising. The crossess showed significant increases in some trait performances compared to the Kacang. Birth weight, weaning weight and doe’s weight at kidding increased at 35−58%, 49−62% and 53%, respectively. Total litter weight incresed at 14-16%, while total weaning weight increased at 124−137%. Reproduction Productivity Index (RPI) and Production Index (PI) have been increased at 21% and 38%. The colour pattern of the Boerka was very closed to that of the Boer, which is dominated by the white collor and some brown colour on the head, ears and the neck. It is concluded that the nutritional potential of some by products from the processing of horticultural products, in particular their potential to substitute a part or total of forages in diets could be a driven factor for the development of goats production in the horticultural agroeco-system. The development of Boer x Kacang breeding programme should be encouraged to speed the process of obtaining a new genotype of goats with good genetic capacity and good adaptability. Key Words: Feed, Agriculture By-Products, Goat, Crossbreds ABSTRAK Masalah pakan dan potensi genetik kambing lokal merupakan kendala penting bagi pengembangan usaha produksi kambing. Penelitian pakan telah dilakukan untuk mengeksplorasi potensi limbah beberapa tanaman hortikultura dan industri kelapa sawit. Limbah pengolahan markisa (kulit buah markisa dan biji markisa), nenas (kulit dan serat perasan buah) dan sayur lobak dapat menjadi bahan pakan laternatif pada agroekosistem hortikultura. Taraf optimal pemanfaatan kulit buah markisa (KBM), biji markisa dan limbah sayur lobak sebagai komponen penyusun konsentrat berturut-turut adalah 15%, 45% dan 30%, dengan PBHH berturut-turut adalah 76 g, 81 g dan 64 g dan efisiensi penggunaan ransum (EPR) sebesar 0,094, 0,101 dan 0,080. Penggunaan KBM dalam pakan komplit menghasilkan respon yang lebih baik yaitu PBHH sebesar 105 g dan EPR sebesar 0,137. KBM dan limbah nenas dapat digunakan untuk mensubstitusi rumput dalam pakan komplit sampai tingkat 100%, walaupun taraf substitusi optmal adalah 67% pada KBM dan 75% pada limbah nenas. Pengembangan pakan dengan mengkombinasikan bungkil inti sawit (BIS) dan lumpur sawit (LS) dalam satu kemasan (pelet) ditawarkan sebagai salah satu pendekatan untuk memanfaatkan LS secara lebih ekstensif sebagai bahan pakan ternak. Rasio BIS/LS yang optimal untuk menghasilkan karakter fisik pelet
55
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
BIS-LS yang adalah 2/1. Pengembangan kambing unggul dengan menyilangkan kambing Boer dengan kambing Kacang menghasilkan kambing persilangan (”Boerka”) dengan keragaan produksi yang lebih unggul dibandingkan kambing Kacang. Peningkatan bobot lahir, bobot sapih dan bobot induk saat melahirkan berturut turut meningkat pada kisaran 35−58%, 49−62% dan 53%. Total bobot anak lahir meningkat sebesar 14−16%, sedangkan total bobot sapih meningkat sebesar 124−137%. Laju reproduktivitas induk (LRI) dan produktivitas Induk (PI) berturut-turut meningkat 21% dan 38%. Karakter warna tubuh kambing persilangan Boer x Kacang didominasi warna putih dengan campuran warna cokelat yaitu pola warna yang mirip dengan kambing Boer. Disimpulkan bahwa potensi limbah pengolahan beberapa tanaman hortikultura sebagai bahan pakan, terutama sebagai substitusi hijauan dapat menjadi faktor pendorong bagi berkembangnya usaha produksi kambing disentra tanaman hortikultura dengan pola tanaman-ternak secara terintegrasi. Pengembangan kambing persilangan Boer x Kacang perlu dilanjutkan secara intensif sebagai upaya untuk menghasilkan kambing unggul. Kata Kunci: Pakan, Limbah Pertanian, Kambing, Persilangan
PENDAHULUAN Laju perkembangan produksi kambing nasional termasuk lambat bila dilihat dari pertumbuhan populasi yang hanya mencapai 4,5% selama periode 1997−2003 (MAKKA, 2004). Peningkatan populasi sebesar rata-rata 0,91% per tahun ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Distribusi populasi kambing terkonsentrasi di Pulau Jawa (>54%) dan pola usaha sebagian besar masih tradisional, dan terkait erat dengan usaha pertanian (YUSDJA, 2004). Kondisi ini dapat menghambat upaya ekspansi skala usaha, dan dengan sendirinya menghambat perubahan pola usaha dari tradisional-sambilan kearah usaha spesialisasikomersial. Faktor teknis yang diduga memberi kontribusi penting atas rendahnya laju pertumbuhan populasi ini termasuk potensi genetik kambing lokal (keragaman) dan pakan (mutu, jumlah, logistik, kompetitif). Pakan yang tersedia sepanjang tahun, secara efisien dapat dimanfaatkan oleh ternak, dan dapat diperoleh dengan biaya yang kompetitif merupakan kondisi ideal sistem pakan yang menjadi tantangan dalam upaya mempercepat pengembangan usaha produksi kambing. Pentingnya komponen pakan dalam produksi kambing adalah akibat pengaruh langsung terhadap produktivitas ternak (laju pertumbuhan, tingkat morbiditas dan mortalitas, tingkat reproduktivitas induk) (SURYANTO et al., 2002), dan tingkat kontribusinya terhadap biaya produksi (DE BOER dan BICKEL, 1988). Selain memiliki keragaman genetik yang tinggi, SAKUL et al. (1993) menyimpulkan bahwa hampir semua jenis rumpun kambing
56
yang terdapat di Indonesia secara genetis tidak secara khusus mengarah kesuatu tampilan produksi (trait) tertentu, seperti produksi susu atau daging. Hal ini, secara genetik dapat menjadi kendala dalam mencapai tingkat produktivitas yang tinggi. Sehubungan dengan kondisi tersebut diatas, maka program penelitian yang dikembangkan Loka Penelitian Kambing Potong telah menempatkan masalah pakan dan mutu genetik kambing sebagai aspek penelitian prioritas. Adapun tujuan utama program penelitian ini adalah: 1) mengembangkan berbagai pakan alternatif yang kompetitif untuk agroekosistem tertentu, dan 2) mengembangkan rumpun kambing unggul. Dalam tulisan ini dikemukakan ulasan hasil-hasil penelitian dalam rangka pengembangan pakan kambing berbasis limbah pertanian yang kompetitif, serta status kemajuan program persilangan kambing Boer dengan Kacang dalam rangka pengembangan bibit kambing unggul. PENGEMBANGAN PAKAN BERBASIS LIMBAH PERTANIAN Sistem produksi tanaman-ternak yang terintegrasi telah menjadi salah satu alternatif sistem produksi pertanian yang dianggap sesuai dengan kondisi pertanian di Indonesia (DEVENDRA et al., 2001; SUBAGYONO, 2004. Dalam sistem produksi ini berbagai komponen, terutama tanaman dan ternak saling terkait secara komplementer. Kaitan kedua komponen tersebut utamanya terletak pada potensi ternak sebagai sumber pupuk organik yang sangat dibutuhkan oleh tanaman dan potensi tanaman sebagai sumber pakan, berupa hasil samping,
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
sisa atau limbah untuk mendukung produksi ternak. Dalam kontek ini telah dilakukan berbagai penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi potensi berbagai tanaman hortikultura maupun tanaman kelapa sawit sebagai sumber bahan baku pakan alternatif dalam menunjang produksi kambing. Limbah hortikultura Industri pengolahan hasil tanaman hortikultura seperti markisa (Passiflora edulis), sayur lobak (Raphanus sativa) dan nenas (Annanas communis L) menghasilkan limbah yang tidak dimanfaatkan. Biomas tersebut dapat menjadi potensi bahan pakan, namun belum dimanfaatkan. Pentingnya pemanfaatan bahan inkonvensional ini menjadi semakin terasa mengingat bahan pakan konvensional, terutama biji bijian semakin mahal dan tidak kompetitif bila digunakan untuk usaha produksi kambing. Komposisi kimiawi Kandungan nutrisi produk limbah pengolahan tanaman hortikultura disajikan pada Tabel 1. Kandungan lemak kasar pada biji markisa (39,8%) dan BETN pada limbah sayur (37,2%) termasuk kategori tinggi. Kedua unsur nutrisi ini merupakan sumber energi yang mudah dicerna, sehingga mengindikasikan adanya potensi kandungan energi dengan tingkat kecernaan yang tinggi. Selain itu,
BETN dapat menjadi sumber energi mudah larut didalam rumen (VAN SOEST, 1982), sehingga penggunaan limbah sayur lobak dapat dikombinasikan dengan bahan lain yang memiliki kandungan nitrogen bukan protein (NBP), seperti urea untuk mengoptimalkan kondisi rumen bagi proses pencernaan bahan pakan. Kelebihan limbah buah markisa (kulit buah dan biji) adalah kandungan protein kasar yang juga relatif tinggi, masing-masing 18,3% dan 20%, sehingga berpotensi sebagai sumber protein. Pemanfaatan kulit buah kopi sebagai bahan pakan memiliki keterbatasan akibat kandungan serat (NDF dan ADF) yang tinggi, sedangkan kandungan protein kasar sangat rendah (4,4%). Oleh karena itu, sebelum dapat dimanfaatkan sebagai pakan secara maksimal diperlukan penelitian untuk menghasilkan teknologi yang mampu meningkatkan kualitasnya secara efisien dengan biaya yang kompetitif. Penelitian dapat diarahkan untuk menurunkan kandungan serat atau meningkatkan kandungan protein atau kedua-duanya. Kandungan protein kasar pada limbah pengolahan buah nenas juga rendah (3,5%), namun kandungan seratnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kulit buah kopi dan setara dengan kulit buah markisa. Namun, kandungan air yang tinggi pada limbah nenas (46%) dan juga pada limbah sayur (35%) mengakibatkan perlunya upaya pengeringan yang lebih intensif sebelum dapat dimanfaatakan sebagai bahan pakan.
Tabel 1. Komposisi kimiawi beberapa bahan pakan berasal dari pengolahan tanaman hortikultura Nutrien
Kulit buah markisa
Biji markisa
Limbah sayur
Limbah nenas
Kulit buah kopi
Bahan kering
67,0
75,0
65,3
54,2
92,6
Abu
24,1
16,0
9,9
8,1
2,5
N
2,9
3,2
1,3
0,56
0,7
Lemak kasar
10,2
39,8
8,5
3,49
-
Serat kasar
22,1
34,0
10,7
19,69
-
BETN
20,29
6,95
37,2
-
-
NDF
54,5
44,6
Td
57,27
83,8
ADF
44,2
36,9
8,3
31,09
63,6
Energi kasar
6,469
8,452
3,949
4,481
-
Sumber: GINTING et al. (2004a; 2004b)
57
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Penggunaan sebagai komponen konsentrat Taraf optimal penggunaan kulit buah markisa, biji markisa dan limbah sayur lobak sebagai komponen penyusun konsentrat untuk kambing fase tumbuh berturut-turut adalah 15%, 45% dan 30% (Tabel 2). Capaian tingkat konsumsi konsentrat mengindikasikan bahwa penggunaan ketiga bahan sebagai komponen konsentrat tidak menimbulkan masalah terhadap palatabilitas, walaupun konsumsi konsentrat yang menggunakan limbah sayur relatif lebih rendah dibandingkan kulit buah dan biji markisa. Tingkat konsumsi yang normal ini sejalan dengan tingkat pertambahan bobot hidup dan efisiensi penggunaan pakan yang relatif tinggi pada kelompok yang diberi kulit buah dan biji markisa, dan relatif moderat pada kambing yang diberi limbah sayur lobak. Keunggulan biji markisa dibandingkan dengan kulit buah dan limbah sayur selain terletak pada tingkat penggunaan optimal yang lebih tinggi sebagai komponen konsentrat juga pada tingkat PBHH dan ERP yang lebih baik. Hal ini kemungkinan terkait dengan kandungan lemak yang tinggi pada biji markisa, sehingga ketersediaan energi dapat tercerna menjadi lebih tinggi. Walaupun respons optimal penggunaan kulit buah markisa tercapai pada taraf 15%, namun penggunaan sampai taraf 45% dalam konsentrat masih menghasilkan respon yang baik pada kambing, seperti tampak pada PBHH
sebesar 60 g dengan total konsumsi pakan 779 g, sehingga EPR mencapai 0,077. Penggunaan dalam pakan komplit Penggunaan pakan komplit merupakan salah satu metode pemberian pakan yang dapat diterapkan, terutama pada pola usaha yang intensif. Pada usaha produksi kambing metode ini belum digunakan karena ciri usaha produksi yang bersifat sambilan. Namun, metode tersebut dapat menjadi pilihan apabila usaha produksi kambing diselenggarakan secara intensif. Hasil penelitian (Tabel 3) menunjukkan bahwa penggunaan kulit buah markisa sebagai salah satu komponen penyusun pakan komplit dapat menghasilkan pertambahan bobot hidup dan efisiensi penggunaan ransum yang lebih baik jika diberikan sebagai pakan komplit (pelet). PBHH dan EPR berturut-turut lebih tinggi 38% dan 46% pada pemberian dalam bentuk pakan komplit dibandingkan dengan pemberian dalam bentuk konsentrat secara terpisah dengan pakan dasar (hijauan), seperti sebelumnya disajikan pada Tabel 2. Walaupun perbedaan respons tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan kondisi kambing yang digunakan dalam penelitian, karena penelitian dilakukan dalam periode yang berbeda, namun diduga sumbangan terbesar disebabkan oleh metode pemberian pakan dalam bentuk pakan komplit.
Tabel 2. Taraf pemanfaatan dan respon kambing terhadap penggunaan beberapa limbah hortikultura sebagai komponen dalam konsentrat Taraf penggunaan Bahan Kulit buah markisa Biji markisa Limbah sayur
Kisaran
Optimal
15−45 15−45 10−40
15 45 30
Respons pada taraf penggunaan optimal Konsumsi PBHH EPR Suplemen Pakan 330 809 76 0,094 334 803 81 0,101 230 851 64 0,08
Sumber: GINTING et al. (2004a;2004b; 2003) Tabel 3. Taraf pemanfaatan dan respons kambing terhadap kulit buah markisa sebagai komponen dalam pakan komplit Bahan Kulit buah markisa Kulit buah markisa fermentasi
Taraf penggunaan Kisaran Optimal 15 15−45 20 20−60
Sumber: GINTING et al. (2004a); SIMANIHURUK (2005)
58
Respons pada taraf penggunaan optimal Konsumsi g/hari PBHH g EPR 769 105 0,137 773 93 0,120
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Penggunaan pakan komplit pelet menyebabkan ransum yang dikonsumsi sesuai dengan komposisi yang telah dirancang secara seimbang, karena dapat mencegah adanya pemilihan terhadap bahan pakan tertentu. Proses fermentasi dengan Aspergillus niger telah dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan respon kambing terhadap kulit buah markisa. Namun, tidak menghasilkan respon yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa fermentasi, walaupun proses fermentasi meningkatkan kadar protein dalam kulit buah markisa sebesar 38%. Penggunaan sebagai substitusi hijauan Salah satu tujuan pemanfaatan kulit buah markisa dan limbah pengolahan buah nenas (kulit dan serat perasan buah) adalah sebagai pengganti hijauan dalam ransum kambing. Peranan limbah hortikultura sebagai substitusi sebagian atau seluruh hijauan dalam pakan komplit memiliki arti strategis mengingat tingkat penggunaan lahan di sentra produksi hortikultura umumnya sangat intensif, sehingga lahan tersedia untuk produksi hijauan pakan menjadi sangat terbatas. Hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa limbah pengolahan buah nenas maupun kulit buah markisa dapat digunakan sebagai pakan dasar pengganti rumput. Taraf optimal substitusi rumput dengan kulit buah markisa tarjadi pada level 67%, namun substitusi pada taraf 80% dan bahkan 100% masih menghasilkan respon yang baik pada kambing. PBHH pada kedua taraf substitusi tersebut berturut-turut adalah 90 g dan 86 g, sedangkan EPR berturut-turut adalah 0,119 dan 0,114. Kecenderungan yang serupa terlihat pada penggunaan limbah nenas. Taraf optimal tercapai pada substitusi 75%, walaupun substitusi sampai taraf 100% menghasilkan respon yang relatif sebanding yaitu PBHH sebesar 62 g dan EPR sebesar
0,110. Potensi untuk menggunakan limbah nenas atau kulit buah markisa sebagai pengganti seluruh hijauan dalam ransum untuk kambing diharapkan dapat menjadi faktor mendorong bagi berkembangnya usaha produksi kambing disentra produksi kedua jenis tanaman hortikultura tersebut, karena dapat mengurangi ketergantungan akan hijauan. Limbah perkebunan kelapa sawit Salah satu kelebihan industri pengolahan kelapa sawit adalah tersedianya limbah atau hasil sisa dalam berbagai produk yang beragam, sehingga memungkinkan menyusun ransum yang sepenuhnya menggunakan bahan baku dari limbah industri tersebut. Penelitian tentang potensi nutrisi berbagai produk limbah industri kelapa sawit telah dilakukan secara ekstensif. Kombinasi penggunaan berbagai bahan asal industri kelapa sawit dalam menyususn ransum (BATUBARA et al.,2004) menunjukkan ransum dengan bahan daun kelapa sawit (29%), bungkil inti sawit (50%) dan lumpur sawit (20%), serta mineral mix (1,0%) dapat menghasilkan pertambahan bobot hidup kambing pada tingkat sedang yaitu berkisar antara 52−57 g/h dengan nilai konversi pakan berkisar antara 10,3−10,8. Pelet BIS-lumpur sawit sebagai bahan pakan Penggunaan lumpur sawit atau solid dekanter oleh industri kelapa sawit saat ini masih terbatas sebagai bahan organik untuk tujuan perbaikan kondisi lahan perkebunan. Walaupun bahan ini telah diketahui mengandung unsur nutrisi dengan baik, namun penggunaannya masih sangat terbatas. Sementara itu, penggunaan bungkil inti sawit sebagai bahan pakan jauh lebih meluas dan
Tabel 4. Pengaruh taraf substitusi rumput dengan kulit buah markisa atau limbah nenas dalam pakan komplit terhadap performans kambing fase tumbuh Bahan Kulit buah markisa Limbah nenas
Taraf substitusi % Kisaran Optimal 67 50−100 75 25−100
Respons pada taraf substitusi optimal Konsumsi g/hari PBHH g EPR 760 980 0,129 568 64 0,113
Sumber: GINTING et al. (2004a; 2005)
59
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
telah lama menjadi komoditas ekspor untuk digunakan sebagai pakan ternak. Selain disebabkan faktor kualitas nutrisi yang lebih baik, bentuk fisik BIS yang relatif kering memungkinkan manajemen penanganan yang lebih mudah dibandingkan dengan lumpur sawit. Oleh karena itu, pengembangan bahan pakan yang terdiri dari campuran BIS-lumpur sawit yang dikemas dalam bentuk pelet dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan penggunaan lumpur sawit sebagai pakan ternak. Dari berbagai rasio BIS/Lumpur sawit dengan atau tanpa menggunakan bahan pengikat (binder) diperoleh beberapa karakterfisik pelet BIS-lumpur sawit, seperti disajikan pada Tabel 5. Dari berbagai kombinasi yang digunakan disimpulkan bahwa karakter fisik pelet terbaik diperoleh pada rasio BIS/Lumpur sawit sebesar 2/1 (tanpa menggunakan bahan lain). Ketahanan pelet dalam air (stabilitas air) relatif tinggi dengan kehilangan bahan berkisar antara 10−18% setelah sekitar 1 jam direndam didalam air. Akan tetapi, densitas pelet relatif rendah, dan hal ini sejalan dengan nilai rasio ekspansi yang relatif tinggi. Secara biologis densitas pelet yang rendah dapat berdampak positif bagi ternak yang mengkonsumsinya karena pelet akan tertahan lebih lama di dalam sistem retikulo-rumen, sehingga lebih terekspose untuk proses pencernaan. Namun, secara ekonomis, terutama untuk skala industri densitas yang rendah dapat meningkatkan biaya transportasi secara signifikan, sehingga diperlukan upaya untuk lebih meningkatkan densitas pelet. Penggunaan mesin pelet yang relatif sederhana dalam penelitian ini kemungkinan belum mampu menghasilkan kondisi pelet yang ideal. Disamping itu, penggunaan bahan lain yang bersifat pengikat untuk meningkatkan densitas bahan dengan biaya yang kompetitif perlu diteliti lebih jauh. Tabel 5. Kisaran nilai beberapa karakter fisik pelet dari berbagai rasio BIS/Lumpur sawit Karakter fisik pelet Stabilitas dalam air, % Absorbsi air, % Densitas, g/cm3 Rasio ekspansi, %
82,8–89,4 192–236 0,24–0,34 23,5–49,4
Sumber: KRISNAN dan GINTING (2005)
60
PENGEMBANGAN BIBIT KAMBING UNGGUL Persilangan (crossbreeding) saat ini masih merupakan salah satu metode yang relevan dilakukan dalam rangka memperbaiki potensi genetik suatu rumpun ternak, termasuk kambing (MUKHERJEE, 1992). Penggunaan kambing Boer yang merupakan salah satu jenis kambing penghasil daging terbaik (ERASMUS, 2000) dengan kambing lokal (Kacang) diharapkan akan menghasilkan jenis kambing dengan genotipa baru yang memiliki ciri kambing pedaging yang lebih baik dengan kambing lokal. Seperti yang diharapkan, hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan bobot hidup per individu kambing persilangan Boer x Kacang (”Boerka”) secara signifikan dibandingkan dengan kambing Kacang baik di Sei Putih maupun Bogor (Tabel 6). Peningkatan dalam hal bobot lahir terlihat relatif lebih rendah di lokasi Bogor dibandingkan dengan data dari Sei Putih. Namun, angka tersebut tidak dengan sendirinya mengindikasikan bobot hidup absolut yang lebih rendah. Tabel 6. Peningkatan tampilan bobot hidup pada kambing persilangan Boer x Kacang dibandingkan dengan Kacang di lokasi Sei Putih dan Bogor Parameter
Peningkatan tampilan bobot hidup, % Sei Putih
Bogor
58,04
35,96
Bobot sapih
49,59
61,54
Bobot saat melahirkan
53,84
-
Total bobot anak lahir
Bobot lahir
14,24
16,72
Total bobot anak 30 hari
-
29,50
Total bobot anak 60 hari
-
98,07
Total bobot anak 90 hari
124,32
137,41
Sumber: SETIADI et al. (2002); ELIESER et al. (2004)
Data penelitian lokasi Bogor menunjukkan bahwa dengan bertambahnya umur anak sejak lahir sampai disapih ada kecenderungan akselerasi peningkatan tampilan total bobot anak kambing Boerka dibandingkan dengan kambing Kacang.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Berdasarkan data dari penelitian lokasi Bogor, keragaan bobot hidup kambing persilangan Boer x Kacang pada F2 terlihat menurun dibandingkan dengan keragaan pada F1, kecuali untuk bobot hidup lahir yang meningkat sekitar 17% (Tabel 7). Hal ini menunjukkan masih kuatnya ketidakstabilan keragaan keragaan bobot hidup pada kambing persilangan tersebut. Namun, hal ini dapat diterima mengingat stabilitas potensi genetik kambing persilangan biasanya baru akan tercapai paling tidak pada generasi yang ke lima. Tabel 7. Perubahan tampilan bobot hidup kambing ”Boerka” F2 dibandingkan dengan F1 Parameter
Peningkatan tampilan bobot hidup,%
Bobot lahir
16,9
Bobot 30 h
-17,0
Bobot 60 h
-17,6
Bobot 90 h
-18,6
beranak dapat diupayakan selama 8 bulan, maka LRI dan PI (potensial) untuk lokasi Sei Putih dapat ditingkatkan sebesar 8%. Peningkatan LRI (potensial) untuk kambing Boerka di lokasi Bogor mencapai 38%, sedangkan peningkatan PI jauh lebih tinggi yaitu 109% dibandingkan dengan kambing Kacang. Karakteristik warna tubuh kambing ”Boerka” (F1) didominasi oleh warna putih dengan relatif sedikit campuran warna cokelat (Tabel 9). Distribusi warna cokelat terdapat pada bagian kepala, telinga dan leher. Pola ini mirip dengan karakter warna kambing Boer (CASEY dan VAN NIEKERK, 1988). Terdapat varian kombinasi dua atau tiga warna pada populasi kambing persilangan, namun dalam proporsi yang rendah. Tabel 9. Karakteristik warna “Boerka” (F1) Karakteristik warna tubuh
Sumber: SETIADI et al. (2002)
Seperti yang diharapkan produktivitas induk kambing ”Boerka” lebih tinggi dibandingkan dengan kambing Kacang (Tabel 8). Laju reproduksi induk (LRI; ekor anak sapih/induk/tahun) maupun produktivitas induk (PI; kg anak sapih/induk/tahun) kambing Kacang maupun ”Boerka” lebih tinggi di lokasi Bogor dibandingkan dengan Sei Putih. Untuk lokasi Sei Putih terjadi peningkatan laju reproduktivitas induk (LRI) kambing Boerka sebesar 21%, sedangkan produktivitas induk (PI) meningkat sebesar 27% dibandingkan dengan kambing Kacang. Apabila selang
Persentase
Pola warna Satu warna
27,8
Dua warna
56,5
Tiga warna
15,7
Warna dominan Putih Cokelat merah Cokelat tua
tubuh
kambing
Keterangan
Sebagian besar putih Putih dan cokleat Putih, cokelat muda, cokelat merah
86,1 9,6 4,3
-
Jumlah pengamatan (N) = 115
Tabel 8. Tingkat produktivitas induk kambing Kacang dan ”Boerka” (F1) di dua lokasi penelitian Parameter LRI PI
Status
Sei Putih
Bogor
Kacang (K)
”Boerka” (B)
B/K
Kacang (K)
”Boerka” (B)
B/K
Aktual
1,32
1,60
1,21
-
-
-
Potensial
1,43
1,72
1,21
1,69
2,34
1,38
Aktual
8,34
11,48
1,38
-
-
Potensial
9,04
12,44
1,38
11,86
24,8
2,09
Sumber: SETIADI et al. (2002); ELIESER et al. (2004)
61
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
KESIMPULAN Program pengembangan pakan alternatif berbasis limbah pertanian dan industri agro yang telah dilaksanakan menunjukkan potensi beberapa tanaman hortikultura sebagai sumber bahan baku pakan untuk agroekosistem tersebut. Bahan berupa limbah hasil pengolahan buah markisa, buah nenas dapat digunakan baik sebagai komponen penyusun konsentrat (sumber energi atau protein), maupun sebagai pakan dasar. Potensi kulit buah markisa dan limbah nenas sebagai substitusi sebagian atau seluruh hijauan pakan dalam ransum memiliki arti strategis. Potensi ini menyebabkan ketergantungan yang minimal akan hijauan pakan yang pada dasarnya sangat terbatas pada agroekosistem hortikultura, sehingga produksi kambing dapat sepenuhnya didukung oleh limbah hortikultura. Walaupun penelitian yang telah dilakukan menggunakan komoditas kambing, namun informasi tersebut dapat diekstrapolasi kepada jenis ruminansia lain seperti sapi dan domba. Pengembangan bahan baku pakan dengan mengkombinasikan bungkil inti sawit dan lumpur sawit dalam satu kemasan merupakan pendekatan alternatif yang perlu dicapai untuk memaksimalkan pemanfaatan lumpur sawit sebagai bahan pakan. Keragaan kambing persilangan Boer x Kacang menunjukkan tingkat performans yang lebih tinggi dibandingkan kambing Kacang. Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan informasi data yang berasal dari populasi kambing yang belum ideal serta dari jumlah generasi terbatas (F1 dan F2). Oleh karena itu, tampilan keragaan performans ini masih akan terus dievaluasi. Program persilangan ini perlu dipacu secara intensif untuk mempercepat terbentuknya rumpun kambing baru yang unggul dalam rangka mendorong perkembangan usaha produksi kambing. DAFTAR PUSTAKA BATUBARA, L.P., S.P. GINTING, M. DOLOKSARIBU dan JUNJUNGAN. 2004. pengaruh kombinasi bungkil inti sawit dengan Lumpur sawit serta suplementasi molasses terhadap pertumbuhan kambing potong. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4–5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 421−426.
62
CASEY, N.H. and W.A. VAN NIEKERK. 1988. The Boer goat. I. Origin, adaptability, performance testing, reproduction and milk production. Small Rum. Res. 1: 291−302. DE BOER, F. and H. BICKEL. 1988. Impact of Feed in Livestock Production. Livest. Prod. Sci. 19: 3−10. DEVENDRA, C., C. SEVILLA and D. PEZO. 2001. Food-Feed Systems in Asia-Review. AsianAust. J. Anim. Sci. 14: 733−745. ELIESER, S., M. DOLOKSARIBU, F. MAHMILIA, A. TARIGAN dan E. ROMJALI. 2004. Bobot lahir beberapa genotipa kambing hasil persilangan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4–5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 369−374. ERASMUS, J.A. 2000. Adaptation to various environments and resistance to disease of Improved Boer goat. Small Rum. Res. 36: 179−187. GINTING, S.P., L.P. BATUBARA, A. TARIGAN, R. KRISNAN dan JUNJUNGAN. 2004a. Komposisi kimiawi, konsumsi dan kecernaan kulit buah dan biji markisa (Paciflora edulis) yang diberikan kepada kambing. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4–5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 396−401. GINTING, S.P., L.P. BATUBARA, A. TARIGAN, R. KRISNAN dan JUNJUNGAN. 2004b. Pemanfaatan limbah industri pengolahan sayur lobak (Raphanus sativa) sebagai pakan kambing. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4–5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 403−406. GINTING, S.P., R. KRISNAN dan A. TARIGAN. 2005. Substitusi hijauan dengan limbah pengolahan buah nenas dalam pakan komplit untuk kambing. Makalah disampaikan dalam Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 12−13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. KRISNAN, R. dan S.P. GINTING. 2005. Studi Optimasi Penggunaan Solid ex Decanter sebagai Perekat Pembuatan pakan Komplit Berbentuk Pelet. Laporan Kemajuan Hasil Penelitian Loka Penelitian Kambing Potong. 2005. MAKKA, D. 2004. Tantangan dan peluang pengembangan agribisnis kambing ditinjau dari aspek pewilayahan sentra produksi ternak. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Bogor, 6 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan dan Loka Penelitian Kambing Potong. hlm. 3−14.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
MUKHERJEE, T.K. 1992. Improvement of Goats in the Tropics through Genetic and Biotechnological Methods. In: R.R. LOKESHWAR (Ed.) Pre-Conference Proc. Plenary Papers and Invited Lectures. V International Conference on Goats, New Delhi, India, 2−8 March 1992. International Goat Association. pp. 26−36. SAKUL, H., G.E. BRADFORD and SUBANDRIYO. 1994. Prospects for Genetics Improvement of Small Ruminants in Asia. In: Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and the Pacific. SUBANDRIYO and R.M. GATENBY (Eds.) Proc. Symposium in conjunction with 7th Asian-Australasian Association of Animal Production Societies Congress, Denpasar, Bali, Indonesia July 11−16, 1994. pp. 3−13. SETIADI, B., SUBANDRIYO, M. MARTAWIDJAJA, I-K SUTAMA, U. ADIATI, D.YULISTIANI dan D. PRIYANTO. 2002. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2001. Buku I Ternak Ruminansia. Balai penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 123−142.
SIMANIHURUK, K. 2005. Pemanfaatan Kulit Buah Markisa (Passiflora edulis Sims. edulis Deg) sebagai Campuran pakan Pelet Komplit Untuk Kambing Kacang. Tesis. Insitut Pertanian Bogor. SUBAGYONO, D. 2004. Prospek Pengembangan Ternak Pola Integrasi di Kawasan Perkebunan. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20–22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan, BPTP Bali dan CASREN. hlm. 13−17. SURYANTO, B., B.W.H.E. PRASETIYONO and E. KURNIANTO. 2002. The effects of production factors on commercial production of Etawah crossbred goats in Boyolali, Central Java, Indonesia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15: 1263−1266. VAN SOEST, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. O & B Book, Inc. YUSDJA, Y. 2004. Prospek Usaha Peternakan Kambing Menuju 2020. Pros. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Bogor, 6 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Loka Penelitian Kambing Potong. hlm. 21−27.
63