Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
AYAM HASIL PERSILANGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA TERNAK UNGGAS DJOKO PRAMONO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek Kotak Pos 101 Ungaran 50501
ABSTRAK Ayam kampung merupakan komoditas ternak unggas yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat di pedesaan. Sebagian besar keluarga memelihara ayam kampung untuk tambahan pendapatan, tetapi pemeliharaanya secara umum masih dilakukan dengan ekstensif (umbaran). Oleh karena itu sangat rentan terhadap serangan/wabah penyakit yang dapat menimbulkan kematian dalam jumlah banyak. Permasalahan pokok lainnya adalah rendahnya produktivitas, sehingga perkembangannya sangat lambat. Dilain pihak produk ayam kampung yang berupa daging dan telur diminati oleh konsumen. Ayam hasil persilangan antara ayam kampung jantan dengan ayam ras petelur betina (hibrida) dapat dijadikan alternatif sebagai substitusi dalam rangka memenuhi permintaan daging ayam kampung. Keunggulanya: 1) dapat diproduksi/diusahakan dalam skala besar, 2) umur panen singkat (2 – 2,5 bulan), 3) cita rasa dagingnya mirip ayam kampung. Pada pemeliharaan intensif, sampai umur 60 hari dapat menghasilkan rata-rata bobot badan 0,85 kg. Masalah yang masih muncul adalah warna bulu, sekitar 40% warna bulunya masih dominan seperti induknya (coklat) sehingga sementara waktu dapat mempengaruhi harga di pasaran. Penelitian lanjutan masih perlu dilakukan untuk mendapatkan ayam hasil persilangan yang warna bulunya dominan menyerupai ayam kampung. Kata kunci: Ayam, persilangan, usahaternak unggas
PENDAHULUAN Sampai saat ini, ayam kampung masih merupakan komoditas ternak unggas yang menjadi pilihan bagi masyarakat di pedesaan. Alasannya antara lain karena mudah pengelolaannya, tidak memerlukan banyak biaya/modal dan tempat secara khusus. Selain itu pemasarannya juga mudah, karena produk yang dihasilkan berupa daging dan telur banyak diminati oleh konsumen. Namun demikian, karena sistem pemeliharaannya sebagian besar masih dilakukan dengan ekstensif (umbaran) maka sangat rentan terhadap serangan penyakit. Bahkan apabila terjadi serangan atau wabah penyakit menular dengan cepat dapat menimbulkan kematian dalam jumlah banyak. Kelemahan lainnya adalah produktivitas yang rendah, sehingga perkembangannya lambat. Dilain pihak permintaan produk ayam kampung terus meningkat. Apabila tidak dilakukan upaya peningkatan produktivitas dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan populasi dan kelestarian selanjutnya.
Upaya untuk mengembangkan ayam kampung sudah dilakukan oleh pemerintah maupun para pelaku, yaitu melalui penerapan teknologi maupun perbaikan sistem kelembagaan. Intensifikasi Ayam Buras (INTAB) merupakan salah satu progam yang dicanangkan oleh pemerintah. Maksudnya supaya ayam buras atau yang biasa disebut ayam kampung dapat berkembang dan diusahakan sebagai sumber pendapatan. Ternyata hasilnya sampai saat ini belum bisa mencapai seperti yang diharapkan. Masalah pokoknya adalah produktifitas yang rendah dan tingkat kematian yang tinggi, sehingga secara ekonomi kurang menjanjikan. Salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan ayam adalah bibit, dengan bibit yang berkualitas baik maka efisiensi produksi dapat dicapai. Namun pada ayam kampung, ketersediaan bibit yang berkualitas merupakan masalah. Bibit yang ada merupakan hasil perkawinan beberapa strain secara bebas, sehingga sangat memungkinkan terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding). Akibatnya secara genetik pertumbuhan ayam kampung sangat lambat, sehingga untuk mencapai bobot
157
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
siap potong memerlukan waktu cukup lama. Selain itu, untuk mendapatkan telur tetas yang seragam dalam jumlah banyak sulit diperoleh, hal tersebut erat kaitannya dengan produksi telur ayam kampung yang rendah. Dilain pihak untuk mengembangkan ayam kampung tidak bisa lepas dari ketersediaan bibit yang cukup. Oleh karena itu diperlukan teknologi terobosan yang bisa menghasilkan telur tetas dalam jumlah banyak yang akhirnya akan menghasilkan bibit (doc) yang banyak pula. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah melakukan persilangan antara ayam kampung dengan ayam strain lain yang mempunyai produksi telur tinggi. IMPLEMENTASI TEKNOLOGI PERSILANGAN PADA AYAM KAMPUNG Penerapan teknologi persilangan antara ayam kampung dengan ayam starin lain adalah bertujuan untuk meningkatkan produktivitas. Hal tersebut dilakukan karena kemampuan produksi ayam kampung yang rendah dan tingkat kematian yang tinggi. Hasil penelitian GULTOM et al., 1989 dan DIRDJOPRATONO et al., 1995, menunjukkan bahwa ayam kampung yang dipelihara secara intensif produksi telurnya hanya berkisar 25 – 36 butir/ekor/16 minggu. Selain itu, untuk mencapai bobot badan siap potong (0,9 – 1,0 kg) memerlukan waktu 4 – 5 bulan. Faktor lain yang yang menghambat perkembangan ayam kampung adalah tingginya angka kematian, pada pemeliharaan ekstensif dapat mencapai sekitar 67% (YUWANTO et al., 1982). Sebenarnya penerapan teknologi persilangan pada ayam kampung sudah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Bahkan ditingkat peternak sudah ada yang melaksanakan persilangan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas. Persilangan yang telah dilakukan antara lain ayam ras petelur jantan dengan ayam kampung betina dengan tujuan untuk meningkatkan produksi telur. Sementara waktu produksi telur dapat meningkat seperti yang diharapkan, tetapi warna telur yang dihasilkan dominan berwarna coklat dan berukuran lebih besar. Akibatnya, karena tampilan telur yang dihasilkan menyerupai telur ayam ras maka kegiatan
158
tersebut berhenti dengan sendirinya. Selain itu, dampak lain yang berkaitan dengan ayam kampung adalah kelestarian genetik, yaitu sifat keturunannya yang lebih dominan kepada tetua jantannya. Persilangan lain yang pernah dilakukan yaitu antara ayam Pelung jantan dengan ayam kampung betina, keturunanya dapat mencapai bobot badan 1,2 kg pada umur 12 minggu (GUNAWAN dan SARTIKA, 1999; ISKANDAR dan RESNAWATI, 1999). Meskipun keturunannya mempunyai pertumbuhan bobot badan yang cukup baik, tetapi dalam perkembangannya masih kurang menggembirakan. Permasalahan pokoknya adalah produksi telur yang rendah, sehingga sulit untuk menghasilkan telur tetas yang seragam umurnya dalam jumlah banyak. Salah satu ayam lokal Jawa Tengah yang mempunyai produksi telur cukup tinggi adalah ayam Kedu Hitam, dengan cara pemeliharaan intensif mampu menghasilkan produksi telur sekitar 58% (CRESWELL dan GUNAWAN, 1982). Dalam rangka memanfatkan kemampuan produksi telurnya, pernah dilakukan penelitian persilangan ayam kampung dengan kedu hitam. Ternyata hasilnya tidak efisien, karena keturunannya hanya mampu meningkatkan produksi telur sebanyak 10 butir per tahun (HARDJOSUBROTO dan ATMODJO, 1977). Upaya pengembangan ayam kampung sebagai penghasil daging yang disukai oleh segala lapisan masyarakat tidak berhenti sampai disitu. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti Balai pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah adalah menyilangkan ayam kampung jantan dengan ayam petelur betina menggunakan teknologi inseminasi buatan (IB). Hasilnya menunjukkan bahwa, fertilitas telur hasil persilangan ayam kampung jantan dengan ayam petelur betina mencapai 85%, sedangkan telur hasil persilangan sesama ayam kampung hanya 70% (PRAWIRODIGDO et al., 2001). Sayangnya, keberhasilan fertilitas tersebut belum diikuti dengan daya tetas yang tinggi pula, yaitu hanya berkisar 40–50%. Untuk kelengkapan informasi disampaikan bahwa penetasan menggunakan mesin tetas konvensional dengan kapasitas 100 – 200 butir. Oleh karena itu, penelitian lanjutan masih perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab rendahnya daya tetas.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
POTENSI PENGEMBANGAN AYAM HASIL PERSILANGAN (HIBRIDA) Keunggulan ayam hibrida Disini yang dimaksud dengan ayam hasil persilangan adalah keturunan dari persilangan antara ayam kampung jantan dengan ayam petelur betina. Untuk sementara ayam hasil persilangan ini disebut dengan ayam hibrida. Tujuannya untuk menghasilkan ayam potong yang diharapkan mampu mensubstitusi akan tingginya permintaan daging ayam kampung. Keunggulan ayam ini mampu diproduksi dalam jumlah banyak dengan umur yang seragam, sedangkan pertumbuhannya lebih cepat dibanding ayam kampung asli. Pada pemeliharaan intensif, umur 60 hari rata-rata bobot badannya dapat mencapai 0,85 kg, sedangkan ayam kampung hanya 0,50 kg (MURYANTO, 2005). Informasi dari beberapa peternak yang telah memelihara ayam ini mengatakan bahwa tingkat kematianya relatif rendah (sekitar 5%). Penyebab kematian yang menonjol adalah saling mematok antar individu (kanibal), tetapi dapat diatasi dengan potong paruh dan mengelompokan berdasarkan ukuran tubuh. Berdasarkan uji karkas dan uji rasa yang telah dilakukan hasilnya menunjukkan bahwa tampilan karkasnya mirip dengan ayam kampung. Setelah dimasak dengan bumbu dan jenis masakan yang sama (goreng) ternyata para panelis tidak bisa membedakan antara ayam hibrida dengan ayam kampung. Keunggulan lainnya adalah mudah beradaptasi dengan lingkungan dan apabila diusahakan dalam jumlah besar tidak menutup kemungkinan dapat mendukung program pencukupan daging yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Secara teknis pengembangan usaha ayam hibrida tidak akan berpengaruh negatif terhadap kelestarian genetik ayam kampung, karena tujuannya sebagai ayam potong. Pada umur yang masih muda (2 – 2,5 bulan) sudah mencapai bobot potong yang banyak diminati oleh konsumen, sehingga peluang berkembang sampai umur dewasa relatif kecil. Saat permintaan ayam hibrida berkurang atau tidak diproduksi lagi ayam ras petelur tetap dapat berfungsi sebagai penghasil telur konsumsi seperti biasa. Sedangkan pejantan ayam
kampung tetap dapat dimanfaatkan sebagai pejantan untuk mengawini ayam kampung betina. Hal tersebut menunjukkan bahwa teknologi persilangan ini tidak berpeluang besar untuk mempengaruhi genetik ayam kampung secara umum. Potensi pengembangan Untuk mendapatkan ayam hasil persilangan (hibrida) melalui tahapan-tahapan yang masing -masing dapat dijadikan sebagai obyek usaha, yaitu: 1. Usaha memproduksi telur tetas Pada segmen usaha ini materi pokok yang harus tersedia antara lain perkandangan, ayam kampung jantan, ayam ras petelur betina, pakan dan seperangkat alat IB. Pelaksanaan IB sebaiknya dilakukan oleh personal yang sudah terampil untuk menghindari kegagalan. Produk utama yang diharapkan dari usaha ini adalah telur tetas. Secara ekonomi usaha ini mempunyai peluang untuk mendapatkan peningkatan nilai jual dari telur konsumsi menjadi telur tetas. Rata-rata harga telur konsumsi sekitar Rp. 400/ butir dan setelah menjadi telur tetas harganya mencapai Rp. 800,- – Rp. 900,-/butir. Adapun keberhasilan IB atau tingkat fertilitas yang pernah dicapai antara 80–90%. Untuk menjaga kelangsungan usaha ini perlu dibangun kerjasama dengan pihak konsumen khususnya mengenai teknik penetasan. Usaha ini dapat melayani konsumen dengan tingkat usaha kecil sampai besar, karena secara teknis tinggal menambah jumlah pejantan maupun induk ayam. 2. Usaha penetasan telur Usaha ini merupakan rangkaian dari tahapan usaha sebelumnya (telur tetas). Keberhasilan penetasan (daya tetas) menggunakan mesin tetas sederhana dengan kapasitas 100–200 butir telur dapat mencapai sekitar 40% (PRAMONO et al., 2004), sedangkan dengan mesin otomatis dapat mencapai 60–70%. Jadi apabila diperhitungkan untuk mendapatkan satu ekor DOC memerlukan biaya
159
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
sekitar Rp. 1940,- termasuk biaya penetasan. Apabila penjualan DOC dengan harga Rp. 2.900,-/ekor, maka masih terdapat peningkatan nilai jual sebesar Rp. 960,-/ekor. Seperti tahapan usaha sebelumnya usaha ini dapat dilakukan dengan skala kecil maupun besar, karena telur tetasnya dapat diproduksi dalam jumlah besar. 3. Usaha pembesaran Usaha ini paling banyak diminati oleh kalangan peternak, karena dalam operasionalnya tidak memerlukan keterampilan khusus. Sampai umur 30 hari ayam dipelihara dalam kandang box dengan pakan komersial. Selanjutnya ternak dipindakan ke kandang yang lebih besar dengan pakan campuran sendiri sampai umur panen (60 hari). Setelah diperhitungkan biaya produksi untuk satu ekor ayam sampai umur panen sebesar Rp. 7.900,-, sedangkan bobot badannya mencapai 0,85 kg dengan harga jual Rp. 11.050,atau peningkatan nilai sebesar Rp. 3.150,-. Sama halnya dengan tahapan usaha sebelumnya, usaha pembesaran dapat dilakukan dalam skala kecil maupun besar. IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN AYAM HIBRDA Pada awalnya ayam ini diusahakan dalam skala pengkajian di kandang percobaan Laboratorium Klepu, BPTP Jawa Tengah. Selanjutnya masih dalam skala pengkajian dikembangkan di daerah Temanggung, Karanganyar dan Surakarta. Operasionalnya bekerjasama dengan kelompok peternak setempat dengan spesifikasi usaha yang berbeda. Di Daerah Temanggung kegiatan pengkajian usaha meliputi pengadaan telur tetas, penetasan dan pembesaran. Di Daerah Karanganyar hanya penetasan dan pembesaran, sedangkan telur tetas disuplai dari Laboratorium Klepu. Demukian pula di Surakarta hanya melakukan penetasan dan DOC yang dihasilkan dijual atau dibesarkan oleh anggotanya di Daerah Klaten. Baru pada tahun 2005 usaha yang lebih besar difasilitasi oleh Dinas Pertanian Sukoharjo dengan
160
memanfaatkan fasilitas RRMC. Disini proses penetasan sudah menggunakan mesin tetas otomatis dengan kapasitas 5000 butir sebanyak 2 unit. Selain ditetaskan sendiri telur tetas yang dihasilkan sebagian disuplai ke Karanganyar yang telah memiliki 1 unit mesin tetas otomatis. DOC yang dihasilkan dijual kepada kelompok binaan dinas masing-masing. Sampai saat ini usaha masih berjalan dengan kapasitas 800 ekor induk sebagai penghasil telur tetas. Berdasarkan hasil pantauan di daerah pengembangan (Sukoharjo) pemasaran ayam hibrida tidak ada hambatan. Pada umunya ayam dijual dalam bentuk hidup setelah berumur 2 sampai 2,5 bulan dengan bobot badan antara 0,85 – 1,00 kg. Penjualan ayam dilakukan dengan sistem taksir/ekor atau berdasarkan bobot badan (kg) dengan harga Rp. 13.000 – Rp. 15.000/kg hidup. PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN AYAM HIBRIDA Secara teknis pengembangan usaha ayam hibrida tidak terdapat hambatan, karena teknologi yang diterapkan relatif sederhana, sehingga apabila ditekuni dengan cepat dapat dikuasai. Namun dalam hal kelembagaan khususnya pemasaran produk masih perlu mendapatkam dukungan semua pihak. Seperti disebutkan di depan bahwa pemasaran dari produsen (peternak) ada yang langsung ke konsumen (warung makan) atau melewati pengumpul. Hal tersebut ada kaitannya dengan warna bulu sekitar 40% masih dominan berwarna coklat seperti induknya, sehingga oleh pedagang sering dimanfaatkan untuk menetukan standar harga. Selain itu , sampai saat ini pengembangan ayam hibrida masih dilakukan oleh lembaga/instansi terkait bekerjasama dengan kelompok-kelompok peternak. Padahal untuk dapat berkembang menjadi lebih besar diperlukan penanganan secara profesional dengan konsep usaha komersial. KESIMPULAN Berdasarkan hasil-hasil pengkajian dan proses pengembangan yang telah berjalan selama ini maka dapat disimpulkan bahwa:
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
1. Secara teknis persilangan antara ayam kampung jantan dengan ayam ras petelur betina dapat dilakukan secara efisien dengan memanfaatkan teknologi inseminasi buatan (IB), karena dengan sistem flock banyak telur yang pecah/ dipatok. 2. Ayam hasil persilangan (hibrida) dapat diusahakan dalam skala kecil sampai besar, karena secara teknis telur tetas maupun DOC dapat diproduksi berdasarkan permitaan. 3. Secara ekonomi usaha pembesaran ayam hasil persilangan (hibrida) masih menguntungkan, karena waktunya tidak terlalu lama (2 - 2,5 bulan). 4. Tidak menutup kemungkinan apabila sudah diusahakan dalam skala besar (komersial) ayam hasil persilangan ini dapat mendukung program kecukupan daging. 5. Kegiatan pengkajian masih perlu dilanjutkan untuk mendapatkan keturunan ayam yang lebih mendekati/mirip ayam kampung, khususnya mengenai warna bulu yang masih sering muncul menyerupai induknya. DAFTAR PUSTAKA DIRDJOPRATONO, W., MURYANTO, SUBIHARTA, D.M. YUWONO, U. NUSCHATI, B. UTOMO dan D. ANDAYANI. 1995. Studi Penerapan Teknologi Peternakan untuk Peningkatan Produkstivitas Ayam Buras. Kasus KTT–AB “Karya Makmur” Desa Cibiyuk, Kabupaten Pemalang. CRESWELL, D,C. dan B. GUNAWAN. 1982. Pertumbuhan Badan dan Produksi Telur dari 5 Strain Ayam Sayur pada Peternakan Intensif. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan. Puslitbang Peternakan, Bogor.
GULTOM, D., W. DIRDJOPRATONO dan PRIMASARI. 1089. Protein dan Energi Rendah dalam Ransum Ayam Buras Periode Bertelur. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. FAPET – UNDIP Semarang. GUNAWAN, B. dan SARTIKA. 1999. Keragaan Ayam Silangan Pelung >< Lokal Hasil Seleksi Generasi Pertama (G1). Dalam Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, pp. 265 – 277 (HARYANTO, B., T.B. MURDIATI, A. DJAJANEGARA, SUPAR, I.K. SUTAMA, B. SETIADI, DARMINTO, BERIAJAYA dan ABUBAKAR) Editor Puslitbangnak, Bogor. HARDJOSUBROTO, W. dan ATMODJO S.P. 1977. Performan dari Ayam Kampung dan Ayam Kedu. Seminar I Tentang Ilmu dan Industri Perunggasan. P3T. Bogor. ISKANDAR, S. dan RISNAWATI, H.R. 1999. Potensi Daging Ayam Silangan (F1) Pelung >< Kampung yang Diberi Ransum Berbeda pada Masa Stater. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis (SUPL): 29 – 42. MURYANTO. 2005. Pengembangan Ayam Hibrida (Ayam Potong Lokal). Petunjuk Teknis. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. PRAWIRODIGDO, S., D. PRAMONO, B. BUDIHARTO, ERNAWATI, S. ISKANDAR, D. ZAENUDIN, SUGIYONO, G. SEJATI, PRAWOTO dan P. LESTARI. 2001. Laporan Kegiatan. Pengkajian Partisipatif Persilangan Ayam Lokal dengan Ayam Ras Petelur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. YUWANTO, T., WIHNDOYO dan S. HARIMURTI. 1982. Hubunga Prestasi Ayam Kampung saat DOC, Lepas Induk dan Dewasa Kelamin pada Kondisi Pemeliharaan Tradisional Pedesaan. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan. Puslitbang Peternakan, Bogor.
161