Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
1
MENGUBAH DAMPAK NEGATIF LALAT MENJADI TEPUNG LALAT SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PROTEIN PAKAN TERNAK UNGGAS Bibit Kowanus Utomo, Suci Maulida, Syahru Ramadhan*
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan usaha peternakan sampai saat ini masih mengalami kendala dalam pengadaan sumber protein dan mengatasi masalah pembuangan ekskreta sehingga terjadi penumpukan ekskreta di lokasi peternakan. Sumber protein dalam pakan terutama pakan unggas masih sangat tergantung pada tepung ikan dan bungkil kedele, yang ketersediaannya masih diimpor. Akibatnya harga pakan sangat fluktuatif, tergantung pada nilai tukar dolar dan ketersediaan bahan tersebut di luar negeri. Sementara itu penumpukan ekskreta dapat mengakibatkan bau yang menyengat dan mengundang lalat untuk berdatangan. Selain berdatangan ke lokasi peternakan, biasanya populasi lalat juga menjadi meningkat di pemukiman penduduk yang berada di sekitar kawasan peternakan. Lalat dikenal sebagai hewan yang dapat menyebarkan penyakit yang berasal dari kotoran seperti diare. Lalat juga dapat mempercepat meningkatnya bau yang ditimbulkan oleh ekskreta. Ini menjadi salah satu alasan mengapa lokasi peternakan tidak boleh dekat dengan kawasan pemukiman penduduk, minimal berjarak 1 km. Akan tetapi peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang cepat mengakibatkan banyaknya perumahan yang dibangun oleh pengembang. Kondisi ini mengakibatkan lokasi peternakan yang pada mulanya jauh dari pemukiman penduduk menjadi semakin dekat sehingga peternak selalu harus mengalah dan pindah mencari lokasi baru yang jauh dari
*
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
2
pemukiman. Hal ini tidak perlu terjadi bila pengusaha peternakan dapat mengatasi masalah ekskreta, bau yang ditimbulkan dan lalat yang berdatangan.
1.2 Perumusan Masalah Dalam karya tulis ilmiah yang berjudul “Mengubah Dampak Negatif Lalat Menjadi Tepung Lalat Sebagai Alternatif Sumber Protein Pakan Ternak Unggas” ini dapat diidentifikasi beberapa masalah, yaitu: 1. Bagaiman cara mengatasi peningkatan populasi lalat di kawasan peternakan dan pemukiman penduduk? 2. Bagaimana mendapatkan bahan pakan non konvensional sebagai sumber protein untuk alternatif tepung ikan? 3. Bagaiman cara mengatasi masalah berjangkitnya dan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh lalat?
1.3 Tujuan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk: 1. mengatasi peningkatan populasi lalat di kawasan peternakan dan pemukiman penduduk. 2. Mendapatkan bahan pakan non konvensional sebagai sumber protein untuk alternatif tepung ikan. 3. Mengatasi masalah berjangkitnya dan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh lalat.
1.4 Manfaat Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah didapatnya bahan pakan alternatif tepung ikan sehingga biaya produksi menjadi
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
3
lebih murah dan masyarakat semakin meningkat daya beli terhadap produk unggas serta masyarakat semakin tercukupi gizi.
1.5. Metode Penulisan Dalam penulisan karya tulis ilmiah yang berjudul “Mengubah Dampak Negatif Lalat Menjadi Tepung Lalat sebagai Alternatif Sumber Protein Pakan Ternak Unggas” ini di berdasarkan kajian pustaka menggunakan referensi yang dapa dipertanggung jawabkan, dianalisis dan disintesis sehingga menhasilkan solusi untuk penyelesaian permasalahan yang ada dan selanjutnya dapat dijadikan bahan acuan baru.
II. TELAAH PUSTAKA 2.1 Mengenal Lalat dan Jenis Lalat Lalat termasuk dalam kelompok serangga yang berasal dari subordo Cyclorrapha dan ordo Diptera. Secara morfologi, lalat mempunyai struktur tubuh berbulu, mempunyai antena yang berukuran pendek dan mempunyai sepasang sayap asli serta sepasang sayap kecil (berfungsi menjaga kestabilan saat terbang). Lalat mampu terbang sejauh 32 km dari tempat perkembangbiakannya. Meskipun demikian, biasanya lalat hanya terbang 1,6-3,2 km dari tempat tumbuh dan berkembangnya lalat.
2.2 Cara dan Siklus Hidup Lalat Lalat memerlukan makanan untuk mempertahankan hidupnya di alam ini. Menurut Ahmad (2002), lalat makan paling sedikit 2-3 kali sehari. Makanan lalat dapat berupa sisa makanan yang biasa di konsumsi oleh manusia pada daerah pemukiman. Umur lalat pada umumnya sekitar 2-3 minggu, tetapi pada kondisi yang lebih sejuk biasa sampai 3 (tiga) bulan. Tempat hinggap lalat biasanya pada ketinggian tidak lebih dari 5 (lima) meter (Rudianto, 2002). Menurut Anonim (2007), lalat juga dapat terbang jauh mencapai 1
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
4
kilometer. Tetapi lalat tidak kuat terbang menantang arah angin (Rudianto, 2002). Pada Waktu hinggap lalat mengeluarkan ludah dan tinja yang membentuk titik hitam. Tandatanda ini merupakan hal yang penting untuk mengenal tempat lalat istirahat. Lalat sering beristirahat di lantai dinding, langit-langit, rumput- rumput dan tempat yang sejuk. Juga menyukai tempat yang berdekatan dengan makanan dan tempat berbiaknya, serta terlindung dari angin dan matahari yang terik. Di dalam rumah, lalat istirahat pada pinggiran tempat makanan, kawat listrik dan tidak aktif pada malam hari. Menurut Anonim (2007), untuk istirahat lalat memerlukan suhu sekitar 35º-40ºC, hal ini sesuai dengan keadaan suhu TPA yang digunakan sebagai habitat lalat. Dalam iklim panas larva lalat ditempat sampah dapat menjadi pupa dalam waktu hanya 3–4 hari (Anonim, 2007). Dengan memahami ekologi lalat juga dapat menjelaskan peranan lalat sebagai karier penyakit. Siklus hidup semua lalat terdiri dari 4 tahapan, yaitu telur, larva, pupa dan lalat dewasa. Lalat dewasa akan menghasilkan telur berwarna putih dan berbentuk oval. Telur ini lalu berkembang menjadi larva (berwarna coklat keputihan) di feses yang lembab (basah). Setelah larva menjadi dewasa, larva ini keluar dari feses atau lokasi yang lembab menuju daerah yang relatif kering untuk berkembang menjadi pupa. Dan akhirnya, pupa yang berwarna coklat ini berubah menjadi seekor lalat dewasa. Pada kondisi yang optimal (cocok untuk perkembangbiakan lalat), 1 siklus hidup lalat tersebut (telur menjadi lalat dewasa) hanya memerlukan waktu sekitar 7-10 hari dan biasanya lalat dewasa memiliki usia hidup selama 15-25 hari.
2.3 Lalat sebagai Transmitter dan Vektor Agen Penyakit Jenis lalat yang terutama menimbulkan masalah dalam industri peternakan baik peternakan unggas, babi dan sapi perah maupun pada prosessing makanan asal hewan adalah lalat rumah Musca domestica Linn (Axtell dan Arends, 1990). Jenis lalat Musca domestica Linn merupakan lalat yang paling tinggi populasi maupun potensinya sebagai
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
5
hama (Pestiferous fly) serta menjadi target utama dalam program manajemen dan pengendalian (Axtell, 1986). Dari beberapa literatur juga disebutkan setiap kali lalat hinggap disuatu tempat, maka ± 125.000 bibit penyakit dijatuhkan pada lokasi tersebut (wikimedia, 2007). Prof. Drh. Hastari Wuryastuty, M.Sc, PhD (2005) peneliti di fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyatakan jika seekor lalat yang memiliki berat 20 mg mampu membawa bibit penyakit (virus) sebanyak 10% dari berat badannya, yaitu 2 mg maka lalat tersebut dapat menulari 2.000 ekor ayam. Hal ini disebabkan setiap 1 gram virus dapat menginfeksi satu juta ekor ayam. Pernyataan ini sesuai dengan Howard dan Wall (1996), yang menyatakan bahwa lalat dapat berperan sebagai transmitter dan vektor beberapa agen penyakit unggas.
2.4 Lalat Membawa Penangkal Anti Kuman Perihal lalat diketahui dipelajari oleh Prof. Brefild (1871). Ilmuwan Jerman dari Universitas Hall ini menemukan bahwa dalam badan lalat terdapat mikrab-mikrab sejenis Fitriat yang diberi nama Ambaza Mouski dari golongan Antomofterali. Mikrabmikrab ini hidup di bawah tingkat zat minyak dalam perut lalat. Bentuknya bundar yang kemudian memanjang dan keluar dari lingkungan perut melalui lubang pernapasan. Tahun 1947, Ernestein dari Inggris juga menyelidiki fitriat pada lalat ini. Hasil penyelidikannya menyimpulkan bahwa fitriat tersebut dapat memusnahkan bermacam bakteria diantaranya bakteria penyebab darah menjadi seperti grume,kuman disentri dan typhoid. Pada tahun yang sama, Dr.Muftisch juga meneliti soalan ini dan menyimpulkan bahwa satu sel mikrab ini dapat memelihara lebih dari 1000 liter susu dari bakteria Thyphoid, disentri dan lainnya. Tahun 1950, Roleos dari Switzerland menemukan pula mikrab-mikrab ini dan memberi nama Javasin. Para peneliti lain yaitu Prof. Kock, Famer (Inggris), Rose, Etlengger (German) dan Blatner (Switzerland) melakukan penyelidikan dan berkesimpulan sama tentang mikrab pada lalat sekaligus
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
6
membuktikan bahwa berbagai macam penyakit dan bakteria pada lalat hanya terdapat pada ujung kaki lalat saja dan bukan pada seluruh badannya.
2.5 Ampas Tahu sebagai Pemancing Kedatangan Lalat Salah satu bahan pakan yang memiliki aroma khas yang dapat memancing lalat dalam skala yang cukup besar untuk hinggap pada bahan pakan tersebut adalah ampas tahu. Oleh karena itu, ini akan menjadi media pemancing yang dapat berguna untuk memperoleh lalat dalam memenuhi alternatif kebutuhan sumber protein hewani terhadap ternak unggas.
III. ANALISIS SINTESIS Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa jika seekor lalat jatuh ke dalam minuman, maka seluruh tubuh lalat harus dicelupkan ke dalam air atau makanan yang berkuah tersebut diriwayatkan oleh HR Bukhari. “Jikalau lalat terjatuh pada salah satu tempat minumanmu, hendaklah ditenggelamkan seluruh badan lalat itu ke dalam tempat minum tersebut, kemudian buanglah ke luar. Sebab pada salah satu sayapnya ada obat dan pada sayap lainnya terdapat penyakit”. Akibat ulah manusia maka lalat dapat menjadi pengganggu. Populasi lalat pengganggu (Diptera: Muscidae) semakin meningkat dalam usaha peternakan unggas dari hari ke hari. Hal ini disebabkan karena produksi ekskreta ayam yang terus menerus dan dibiarkan menumpuk dilokasi peternakan selama masa pemeliharaan yang panjang. Umumnya pembersihan ekskreta dilakukan pada saat pemanenan dan untuk peternakan ayam pedaging yang masuknya ayam dengan system bergilir maka pembersihan dilakukan per enam kali masa panen. Begitu pula untuk ayam petelur. Tumpukan ekskreta merupakan media optimal bagi perkembangbiakan lalat. Oleh karena itu, usaha peternakan khususnya unggas sering dianggap penyebab banyaknya jumlah lalat yang
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
7
memasuki lingkungan pemukiman disekitar peternakan dan menurut Howard dan Wall (1996), lalat dapat berperan sebagai transmitter dan vektor beberapa agen penyakit unggas.
3.1 Ordo Diptera dan Jenis-jenis lalat Jenis lalat yang terutama menimbulkan masalah dalam industri peternakan baik peternakan unggas, babi dan sapi perah maupun pada prosessing makanan asal hewan adalah lalat rumah Musca domestica Linn (Axtell dan Arends, 1990). Pada peternakan unggas, Axtell (1986) juga menyatakan bahwa jenis lalat ini merupakan lalat yang paling tinggi populasi maupun potensinya sebagai hama (Pestiferous fly) serta menjadi target utama dalam program manajemen dan pengendalian. Secara morfologi, lalat mempunyai struktur tubuh berbulu, mempunyai antena yang berukuran pendek dan mempunyai sepasang sayap asli serta sepasang sayap kecil (berfungsi menjaga kestabilan saat terbang). Lalat mampu terbang sejauh 32 km dari tempat perkembangbiakannya. Meskipun demikian, biasanya lalat hanya terbang 1,6-3,2 km dari tempat tumbuh dan berkembangnya lalat.
3.2 Perkembangan Populasi Lalat dan Vektor penyakit Dalam mempertahankan hidupnya lalat membutuhkan makanan yang ada di alam ini. Menurut Ahmad (2002), lalat dapat mengkonsumsi makanan paling sedikit sebanyak 2-3 kali sehari. Makanan lalat dapat berupa sisa makanan yang biasa di konsumsi oleh manusia pada daerah pemukiman. Pada umumnya lalat berumur sekitar 2-3 minggu, tetapi pada kondisi tertentu dengan keadaan udara yang lebih sejuk umur lalat biasa mencapai 3 bulan. Menurut Rudianto (2002), penyakit yang dapat ditularkan adalah desentri, diare, typhoid dan cholera.
3.3 Pencegahan Penyebaran Penyakit yang di sebabkan Oleh Lalat
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
8
Untuk melakukan tindakan pencegahan penyebaran penyakit yang di bawa oleh lalat maka perlu dilakukan kegiatan sanitasi lingkungan dan desinfeksi yang baik. Kegiatan tersebut dapat diterapkan pada pemukiman penduduk maupun dalam lingkungan peternakan, khususnya peternakan unggas. Pelaksanaanya dilakukan secara rutin sebagai tindakan pencegahan (preventif) terhadap kemungkinan penyakit yang dibawa hewan-hewan seprti lalat. 3.4 Lalat sebagai Sumber Protein Kesulitan yang dihadapi dalam mengatasi jumlah lalat yang berdatangan ke lokasi peternakan akibat bau yang ditimbulkan dari ekskreta dan penyebarannya ke pemukiman menjadi dasar pemikiran penulis untuk memanfaatkan lalat tersebut menjadi sumber protein. Sebagaimana dinyatakan Bernard dan Allen (1997) bahwa pada tubuh lalat rumah mengandung 58% protein dan pada larva lalat terkandung 56% protein. Beberapa cara telah dilakukan peternak untuk mengurangi bau yang ditimbulkan ekskreta sehingga mengurangi jumlah lalat yang berdatangan seperti dengan perbaikan pakan yang diberikan, pemberian zeolit atau kapur pada litter, sanitasi kandang yang ditingkatkan. Cara-cara tersebut nyata meningkatkan biaya produksi sehingga cara tersebut tidak lagi dilakukan oleh peternak. Penangkapan lalat yang memasuki kawasan peternakan dan pemukiman akan menjadi sumber protein yang murah mengingat kandungan air tubuhnya yang rendah, tidak
membutuhkan
pemanasan
khusus
untuk
mengeringkannya.
Pemanasan
menggunakan sinar matahari sudah cukup untuk mengolah lalat menjadi tepung lalat.
3.5 Metode Penangkapan dan Pengeringan Lalat Penangkapan Lalat Penangkapan lalat yang dilakukan dengan cara sederhana adalah dengan meneggunakan media Ampas tahu dan minyak sayur yang telah dicampur rata dan diletakkan pada suatu wadah sehingga lalat akan datang untuk menghinggapi media
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
9
tersebut. Kemudian lalat yang tidak dapat terbang tersebut dapat diambil dan siap dikumpulkan untuk diproses lebih lajut lagi. Selain itu dapat juga mengunakan alat modern untuk menngkap lalat.
Pengolahan Lalat menjadi Tepung Lalat Lalat yang berhasil dikumpulkan akan dikeringkan dan dijadikan tepung dengan cara sebagai berikut: 1.
Lalat yang diperoleh, dimatikan, kemudian dijemur dipanas matahari (sekitar 30 – 60 menit). Sehingga siap untuk digiling menjadi tepung.
2.
Jika cuaca mendung maka lalat cukup dikeringanginkan pada suhu ruangan (lebih kurang 28oC) selama satu hari.
3.
Lalat siap untuk digiling dan menjadi tepung lalat.
4.
Tepung lalat dapat langsung dicampurkan kedalam ransum.
5.
Pengeringan lalat juga dapat dilakukan menggunakan lemari pengering
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan Disimpulkan bahwa lalat merupakan sumber protein hewani yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber protein pada pakan unggas. Pengumpulan dan pengeringan lalat untuk dijadikan tepung lalat dapat dilakukan secara sederhana dan efisien menggunakan alat yang dimodifikasi.
4.2 Rekomendasi Agar ditemukannya alat sederhana yang dapat menangkap lalat sebelum lalat masuk ke kawasan peternakan unggas maupun ke kawasan pemukiman penduduk. Sehingga kedatangan lalat yang menjadi pengganggu dan transmitter maupun vektor pembawa penyakit dapat dihambat atau di kurangi.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
10
DAFTAR PUSTAKA Ahmad 2002. Kawalan Lalat Rumah (Musca domestica) di Kawasan Ladang Peternakan Ayam. www.jphpk.gov.my. Diakses 22 Maret 2010 Anonim. 2007. Multifase lalat menuntut pengendalian yang multiaspek, terintegrasi antara fisik, biologis dan kimiawi. Agri Ternak. 01 December 2007 www.trobos.com Anonim. 2008. Pengendalian lalat. http://info.medion.co.id. Diakases 24 Maret 2010. Axtell, R. C dan J. J. Arends. 1990. Ecology and management of arthropods pest poultry. Ann. Rev. Entomol (35): 101-126. Axtell, R. C. 1986. Fly management in poultry production: cultural, biological, and chemical. Poultry science 5: 657-667. Bernard, J.B. dan Allen, M.E. 1997. Feeding Captive Insectivorous Animals: Nutritional Aspects of Insects as Food. Doctoral Dissertation, Michigan State University, East Lansing, MI. Howard, J., R. Wall. 1996. Control of the House Fly, M. domestica in Poultry Unit: Current Techniques and Future Prospect. Agric. Zool. Rev. 7: 247-265. Samsudin. 2008. Serangga merupakan sumber protein. Lembaga Pertanian Sehat. http://www.pertaniansehat.or.id/?pilih=news&aksi=lihat&id=83, 28 Maret 2010. Triplehorn, B. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.