1001
Potensi tepung darah sebagai sumber protein ...
(Titin Kurniasih)
POTENSI TEPUNG DARAH SEBAGAI SUMBER PROTEIN PAKAN IKAN ALTERNATIF Titin Kurniasih Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Sempur No. 1, Bogor 16154 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Harga pakan ikan terus meningkat disebabkan karena tingginya harga bahan baku sumber protein utama seperti tepung ikan dan tepung bungkil kedelai (TBK). Upaya pencarian sumber-sumber protein alternatif yang ekonomis menguntungkan dan ramah lingkungan, optimasi potensi dan kualitasnya, serta minimalisasi faktor antinutrisinya merupakan hal mendesak yang harus dilakukan. Tepung darah merupakan salah satu alternatif sumber protein pakan, karena kandungan proteinnya sangat tinggi (85%-94%), kecernaan protein tinggi, profil asam aminonya cukup sempurna, dan kecernaan fosfor yang lebih baik daripada tepung ikan. Pemakaiannya dalam formulasi pakan ikan dibatasi oleh adanya isu penyakit bawaan dari ternak asal, tingginya kadar zat besi dan palatabilitas kurang baik . Namun hasil-hasil penelitian terkini justru melaporkan bahwa tepung darah memiliki kecernaan protein dan bioavailabilitas asam amino yang tinggi, dan kombinasinya dengan beberapa bahan lain yang bersifat saling melengkapi, akan dapat meningkatkan kualitas pakan secara signifikan. Tulisan ini mencoba meringkas beberapa penelitian mengenai kualitas nutrisi tepung darah dan pemanfaatannya dalam formulasi pakan ikan sebagai pengganti sumber protein dari tepung ikan. KATA KUNCI: tepung darah, bahan baku, sumber protein, pakan ikan
PENDAHULUAN Keterbatasan persediaan bahan baku pakan ikan yang berkualitas merupakan kendala utama bagi terciptanya kegiatan usaha akuakultur yang berkesinambungan di tengah kompetisi dengan kegiatan usaha produksi bahan pangan lainnya (FAO, 2006). Sumber protein pakan yang berkualitas tinggi seperti tepung ikan dan tepung bungkil kedelai semakin terbatas, dikarenakan stok ikan rucah di laut sebagai bahan baku bagi produksi tepung ikan semakin menipis sehingga harganya meningkat, dan harga kedelai yang semakin tidak terjangkau. Konsekuensinya, upaya pencarian sumber bahan baku alternatif yang memiliki nilai nutrisi tinggi dan ketersediaannya melimpah merupakan fokus perhatian utama bagi pembudidaya dan ahli nutrisi ikan dewasa ini. Menurut Bureau (2000), bahan hewani memiliki kelebihan antara lain secara umum memiliki kandungan protein dan lemak serta kecernaan nutrien yang tinggi sehingga sangat sesuai digunakan untuk pakan yang memerlukan protein dan lemak dalam persentase tinggi. Bahan hewani juga kaya akan nutrien-nutrien penting seperti lisin, asam amino sulfur, histidin, arginin, dan fosfor sehingga sangat cocok dipasangkan dengan bahan nabati tertentu (seperti corn gluten meal dan tepung bungkil kedelai). Terlebih lagi, bahan hewani juga sangat digemari oleh sebagian besar spesies ikan, karena aromanya yang lebih merangsang. Di dalam menyusun formulasi pakan ikan yang berbasis bahan hewani, perhatian harus ditekankan pada kelebihan dan kekurangannya akan nutrien-nutrien tertentu, sehingga perlu didampingi dengan bahan lain yang bersifat saling melengkapi. Tepung darah adalah salah satu sumber protein yang berpotensi bagi pakan ikan dan ternak (Bureau 2000; Tacon 2005). Tepung darah memiliki kadar protein sangat tinggi yaitu sekitar 85%92%. Penggunaannya bersamaan dengan beberapa bahan lain yang bersifat saling melengkapi akan dapat meningkatkan kualitas nutrisi dan performa pertumbuhan ikan. Akan tetapi diketahui pula bahwa tepung darah mengandung zat besi yang sangat tinggi, dan keberadaannya dapat mengganggu metabolisme zat nutrisi lain, sehingga berdampak pada menurunnya laju pertumbuhan apabila
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1002
dikonsumsi secara intensif. Tulisan ini memaparkan potensi tepung darah, kandungan nutrien yang dimilikinya, kombinasi tepung darah dan bahan lain dalam pakan serta hasil-hasil penelitian yang telah mengevaluasi level optimalnya pada pakan ikan. Kandungan Nutrisi Tepung Darah Tepung darah merupakan limbah rumah pemotongan hewan yang mengandung protein sangat tinggi (lebih dari 80%), lisin 9% per total bobot kering dan abu serta lemak yang rendah. Tepung darah dibuat dengan beberapa cara baik yang konvensional (langsung dikeringkan dengan sinar matahari atau direbus terlebih dahulu) hingga dengan spray dried (misalnya SBC = spray died blood cells). Kandungan protein tepung darah berkisar antara 92% (SBC; Johnson & Summerfelt 2000), 91,4%-94,5% (spray-dried blood products; Bureau 1999), 84,3% (Laining et al., 2003) dan 87% (Kurniasih et al., 2011). Tepung darah memiliki profil asam amino esensial yang cukup baik, dengan kandungan lisin, metionin, arginin, cystein, leusin, dan treonin yang cukup tinggi, namun rendah kandungan isoleusinnya. Kadar lisin pada tepung darah adalah dua kali kadar lisin tepung ikan, dan hampir tiga kali dari tepung bungkil kedelai (Crawshaw, 1994). Ketersediaan nutrien tepung darah merupakan hal yang dipengaruhi oleh berbagai faktor (Moughan, 1991). Proses pengolahan, apabila tidak dilakukan dengan hati-hati, akan menyebabkan menurunnya ketersediaan nutrien suatu bahan. Pemanasan tinggi selama proses pengeringan dapat mengakibatkan menurunnya bioavailabilitas asam amino tertentu, terutama lisin (Crawshaw, 1994; NRC, 1994). Bureau et al. (1999) dan Phillips (1989) melaporkan, treatment panas yang dibutuhkan untuk pematangan dan pengeringan bahan dapat mengakibatkan perubahan protein atau kerusakan struktur asam amino serta nutrien lain melalui proses oksidasi ikatan sulfhidril (-SH) menjadi ikatan disulfida (S-S), crosslinking non-peptida, reaksi Maillard, degradasi oksidatif, dan bahkan pirolisis. Keseluruh reaksi ini diketahui sangat berpengaruh terhadap kualitas nutrisi bahan termasuk tepung darah. Bureau (2000), menegaskan di antara beberapa teknik pembuatan tepung darah yang modern, teknik spray dried merupakan proses yang paling aman, dengan risiko pemaparan suhu paling minimal dan bioavailabilitas asam amino paling baik. Namun Donkoh et al. (1999), membuktikan bahwa tepung darah yang dikeringkan dengan sinar matahari (konvensional) tetap memiliki kandungan lisin yang tinggi (81,4 g/kg), yang Tabel 1. Komposisi kimia tepung darah Komponen
Bahan kering (g/kg)
Analisis proksimat Protein Lemak Serat kasar Abu
852,3 14,9 35,1 20,6
Arginin Lisin Hestidin Fenilalanin Tirosin Metionin Leusin Isoleusin Valin Treonin Cystin Triptofan
39,1 81,4 53,3 61,3 28,8 12,8 116 8,5 79 45,9 11,7 14,6
Asam amino
Sumber: Donkoh et al. (1999)
1003
Potensi tepung darah sebagai sumber protein ...
(Titin Kurniasih)
mengindikasikan bahwa cara pengeringan tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap kualitas nutrisi tepung darah. Komposisi kimia dan asam amino tepung darah yang dikeringkan dengan penjemuran matahari tersaji pada Tabel 1 (Donkoh et al., 1999). Kecernaan protein dan total tepung darah sangat dipengaruhi oleh teknik pengeringan dan pemrosesan (Cho et al., 1982; Bureau et al., 1999). Teknik pengeringan memberikan pengaruh yang paling signifikan terhadap kualitas kecernaan tepung darah. Cho et al. (1982) mengamati bahwa flame-dried BM memiliki kecernaan protein hanya 12%, sedangkan spray-dried BM mencapai 99%. Bureau et al. (1999) melaporkan bahwa di antara beberapa teknik proses yang modern, maka teknik spray-dried memberikan kecernaan protein BM yang tertinggi (96%-99%) diikuti teknik flash-died dan ring-dried. Sedangkan teknik konvensional hanya memiliki kecernaan protein 55,2% dan kecernaan total 48,1% (Laining et al., 2003). Secara umum dibandingkan bahan baku lain yang digunakan untuk pakan ikan laut, tepung darah tergolong rendah kandungan bahan pencemarnya, termasuk polutan organik persisten dan logam berat (Van der Velden, 2005). Terkait dengan masalah limbah fosfor yang berasal dari pakan, tepung ikan tergolong bahan dengan kadar fosfor tinggi, sekitar 1,67% (NRC, 1993), sehingga pakan yang berbasis tepung ikan akan berkontribusi terhadap akumulasi limbah fosfor di perairan. Spraydried blood meal memiliki kandungan fosfor rendah (0,26%; Luzier et al., 1995) dan kecernaan protein tinggi, sehingga sangat cocok mengganti sebagian proporsi tepung ikan dalam formulasi pakan, atau menjadi komponen kedua sumber protein hewani pakan setelah tepung ikan. Kendala Pemanfaatan Tepung Darah dalam Formulasi Pakan Beberapa sifat tepung darah yang dianggap kurang menguntungkan adalah teksturnya yang ringan dan mudah menggumpal jika disimpan lama dalam keadaan lembab. Sifat higroskopisnya membuat nutrien tepung darah mudah larut dan tercuci dalam air (apabila diberikan pada jenis krustase yang suka membiarkan pakan selama berjam-jam). Sedangkan warna tepung darah yang gelap dianggap menguntungkan, karena ada anggapan bahwa warna pakan yang gelap berhubungan dengan tingginya kualitas pakan dan kandungan proteinnya. Penggunaan tepung darah dalam prosentase tinggi (lebih dari 15% dalam formulasi pakan) dilaporkan dapat berdampak menurunkan nafsu makan ikan kerapu bebek (Purnama, 2008; Halimatusadiah, 2009; Setiawati et al., 2009). Aroma tepung darah kurang disukai ikan, dan juga karakteristiknya yang cenderung lebih liat dan keras karena diduga mengandung serat-serat fibrinogen. Masalah ini dapat diatasi dengan penambahan atraktan. Atraktan mengandung sinyal yang memungkinkan hewan akuatik mengenali pakan lebih baik sebagai sumber makanannya (Hertrampf & Pascual, 2000). Pada umumnya atraktan dihasilkan dari asam amino bebas. Glysin, prolin, taurine, dan valine memberikan respons makan yang lebih sensitif pada ikan karnovora (Houlihan et al., 2002). Atraktan juga dapat ditemukan pada hewan invertebrata laut. Tepung cumi dan produk cumi lainnya memiliki atraktan berupa glysin dan betaine yang penting untuk merangsang kebiasaan makan (Hertrampf & Pascual, 2000). Setiawati et al. (2009) melaporkan bahwa pakan yang mengandung tepung darah 15% dan tepung ikan 35,5%, setelah ditambah atraktan 3%, vitamin C 1.000 mg dan mineral Zn 150 mg/L, ternyata dikonsumsi oleh ikan kerapu bebek sama baiknya dengan pakan yang mengandung tepung ikan 51% dan tanpa tepung darah. Penelitian ini berbeda dengan sebelumnya (Setiawati et al., 2007), yang melaporkan maksimal penggunaan tepung darah dalam formulasi pakan kerapu bebek hanya 6%, karena alasan palatabilitas dan kandungan Fe yang terlalu tinggi. Kandungan zat besi pada SBC adalah 2700 mg/kg, 23,7 kali lebih besar daripada tepung ikan herring (114 mg/kg) dan 19,3 kali lebih besar daripada tepung bungkil kedelai (140 mg/kg) (NRC, 1993). Tacon (2005) dan Andersen et al. (1997) mengemukakan bahwa kandungan zat besi yang sangat tinggi pada tepung darah dapat memberikan efek negatif terhadap kestabilan nutrien lain. Zat besi mendorong reaksi yang tidak diinginkan seperti oksidasi pigmen carotenoid dan asam askorbat, atau menghalangi penyerapan dan metabolisme beberapa trace elements seperti zinc, copper, dan manganese. Kadar zat besi yang tinggi dalam pakan juga dapat mendorong reaksi oksidasi lemak pada ikan rainbow trout (Desjardins et al., 1987). Apabila minyak ikan teroksidasi, yang
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1004
mengandung 20%-25% PUFA (polyunsaturated fatty acids), maka pro-oksidant seperti radikal bebas dan peroksida akan dihasilkan (Lovell, 1989). Senyawa-senyawa ini akan bereaksi dengan nutriennutrien lain dan menurunkan nilai biologis dan availabilitas nutrien tersebut (Goodard, 1996), dan menurunkan performa pertumbuhan dan kesehatan ikan (Lovell, 1989). Menurut Johnson & Summerfelt (2000), pemberian vitamin E dapat mengurangi efek toksik dari lemak teroksidasi ini. Untuk mencegah oksidasi, pakan komersial biasanya dilengkapi dengan antioksidan; namun, belum ada penelitian yang melaporkan apakah dosis antioksidan yang diberikan sudah cukup untuk mengatasi masalah oksidasi pada pakan yang mengandung zat besi tinggi. Menurut NRC (1993), kebutuhan zat besi untuk rainbow trout yang direkomendasikan adalah sebesar 60 mg/kg pakan, namun Desjardins et al. (1987) melaporkan bahwa kadar zat besi rata-rata pada pakan rainbow trout komersial berkisar antara 200-1.000 mg/kg pakan. Berkaitan dengan adanya keresahan mengenai kemungkinan perpindahan penyakit Transmissible Spongiform Encephalopathies (TSEs) dari darah hewan non ruminansia kepada hewan yang mengkonsumsinya, beberapa pengujian menyatakan belum mendapatkan bukti bahwa ikan, unggas maupun babi rentan ataupun menderita penyakit TSEs (APC Europe, 2004; SSC, 2003). Lebih lanjut, perundangan di negara-negara maju seperti Eropa telah secara tegas memerintahkan bahwa produksi dan pemanfaatan tepung darah telah diatur dan dikontrol. Darah yang diperbolehkan untuk diproses menjadi makanan ternak adalah hanya yang berasal dari hewan non ruminant yang sehat dan dari peternakan yang tersertifikasi. Menurut Tacon (2005), penggunaan tepung darah dalam industri pakan ikan di dunia masih sangat terbatas. Alasan utamanya adalah berdasarkan permintaan Negara Eropa dan Jepang, sebagai negara konsumen seafood terbesar di dunia. Seafood yang dikonsumsi setengah matang, dikhawatirkan masih mengandung bibit penyakit yang dapat ditransfer ke tubuh manusia. Namun di Amerika Serikat, sebagai negara produsen tepung darah dan tepung limbah ternak terbesar di dunia, tepung darah telah digunakan untuk pakan ikan Salmon selama 30 tahun lebih tanpa adanya efek negatif terhadap ikan budidaya maupun manusia yang mengkonsumsinya. Tepung Darah dalam Formulasi Pakan Ikan Berbagai penelitian substitusi tepung darah dalam formulasi pakan ikan dan udang memberikan hasil yang bervariasi. Secara umum, penelitian yang dilakukan di era 20-30 tahun ke belakang, cenderung memberikan hasil yang kurang menggembirakan. Menurut Abery et al. (2002), secara umum respons berbagai jenis ikan terhadap pakan yang mengandung tepung darah, sebagian besar tidak dapat mentolerir kadarnya yang melebihi 20% dalam pakan. Kadar zat besi dan zink yang terlalu tinggi dalam pakan dianggap sebagai faktor utama yang membatasi level inklusinya dalam pakan. Namun penelitian yang melaporkan hasil yang mengggembirakan pun tidak sedikit jumlahnya. Perbedaan efek dan respons ini diduga disebabkan oleh perbedaan jenis dan cara pengolahan tepung darah, yang berakibat pada kadar protein, bioavailabilitas asam amino, kecernaan protein dan total yang berbeda, dan perbedaan jumlah dan jenis bahan baku lain yang digunakan sebagai partner dalam formulasi pakan (tepung ikan, bungkil kedelai, atau lainnya) yang dapat memberikan respons interaksi yang berbeda. Abery et al. (2002) menguji pakan kontrol yang hanya menggunakan tepung ikan sebagai satusatunya sumber protein (74,1% tepung ikan dalam formulasi) dan empat pakan uji yang disubstitusi tepung darah (4,7%; 9,4%; 14,1%; dan 18,8% tepung darah dalam formulasi). Kelima pakan dianggap isonitrogen (49,9%; 48,7%; 48,0%; 49,5%; 50,1%) dan isokalori (20,0; 20,8; 20,5; 20,1; 20,7 kJ g -1), dan diberikan pada ikan Murray cod air tawar Australia Maccullochellla peelii pellii yang berukuran awal 2-3 g selama 70 hari pemeliharaan. Hasilnya adalah bahwa pakan kontrol ternyata secara signifikan lebih baik dari keempat pakan yang menggunakan tepung darah, baik untuk laju pertumbuhan, konversi pakan maupun sintasan ikan uji. Buruknya performa tepung darah dalam pengujian ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama diduga karena ikan uji yang digunakan masih terlalu muda (2-3 g) sedangkan karakter tepung darah yang cenderung keras liat
1005
Potensi tepung darah sebagai sumber protein ...
(Titin Kurniasih)
dan kurang palatable, sebaiknya memang diperuntukkan bagi ikan dalam stadia pembesaran. Faktor kedua diduga karena dalam formulasinya, tepung darah hanya bersanding dengan tepung ikan sebagai sumber protein, tanpa adanya bungkil kedelai yang dapat membantu kekurangan tepung darah dalam hal ketersediaan isoleusin. Kekurangan isoleusin dalam pakan tepung darah, menyebabkan performa pakan lebih buruk dibandingkan pakan berbasis tepung ikan, yang dianggap sudah cukup ketersediaan asam aminonya. Agbebi et al. (2009) membandingkan pakan kontrol (25% tepung ikan) dengan tiga formulasi pakan yang tepung ikannya diganti dengan tepung darah yaitu B (15% TI dan 10% TD), C (10% TI dan 15% TD), dan D (25% TD). Keempat pakan yang dianggap isonitrogen (30, 82; 32, 22; 33, 28; 33, 84), diberikan pada ikan lele dumbo yang dipelihara selama 4 bulan di keramba apung. Hasilnya sangat menggembirakan, bahwa pakan D secara signifikan lebih baik daripada pakan kontrol untuk parameter laju pertumbuhan dan dan rasio efisiensi proteinnya, sedangkan untuk parameter konversi pakan dan sintasan ikan uji, pakan D sama dengan pakan kontrol. Kurniasih et al. (2011) juga mendapatkan hasil yang menarik. Pakan kontrol (14% tepung ikan) dan 4 pakan uji B (10,5% TI dan 2,3% TD), C (7,0% TI dan 4,5% TD), D (3,5% TI dan 6,8% TD), dan pakan E (9,0% TD) diberikan pada ikan nila yang berukuran awal rata-rata 17,9 g dan dipelihara selama 50 hari. Hasilnya adalah bahwa untuk parameter laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan, pakan tepung darah yang total menggantikan tepung ikan (E) sama baiknya dengan pakan kontrol (A), namun keduanya secara signifikan lebih rendah daripada pakan yang mengkombinasikan tepung ikan dan tepung darah (pakan B, C, dan D). Kelima pakan perlakuan menggunakan tepung bungkil kedelai dalam persentase yang sama (25% dalam formulasi). Ini mengindikasikan bahwa tepung darah dapat menggantikan tepung ikan secara keseluruhan dalam formulasi pakan untuk ikan nila, asalkan dalam formulasinya, tepung bungkil kedelai tetap digunakan sebagai partner penyumbang protein pakan. Bahkan apabila tepung darah dikombinasikan dengan tepung ikan dan tepung bungkil kedelai, performa pertumbuhan dan efisiensi pakan akan menjadi semakin sempurna. Johnson & Summerfelt (2000) membandingkan antara pakan berbasis tepung ikan (47,5%) dan pakan yang disubstitusi tepung darah (34,5% tepung ikan; 8,75% tepung darah SBC) untuk ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) yang berukuran awal 6,4 g; dengan masa pemeliharaan selama 12 minggu. Kedua pakan dibuat isonitrogen (48,5% dan 48,0%) dan isokalori (3,977 dan 3,927 kcal DE/kg). Hasilnya adalah tidak ada perbedaan nyata antara pertumbuhan dan konversi pakan, NPU (net protein utilization) dan retensi besi oleh ikan rainbow trout. Retensi fosfor untuk pakan yang mengandung tepung darah (42,0) lebih besar daripada pakan berbasis tepung ikan (34,1), yang menandakan bahwa fosfor pada tepung darah lebih baik kecernaannya dibandingkan pada tepung ikan. KESIMPUL AN Tepung darah sangat berpotensi untuk digunakan sebagai pengganti tepung ikan dalam formulasi pakan ikan. Level inklusinya dalam pakan masih dibatasi hingga 20% dalam pakan. Tepung darah dapat menggantikan tepung ikan secara total, asalkan masih ada tepung bungkil kedelai di dalam formulasinya, atau bahan lain yang dapat melengkapi kekurangan tepung darah (isoleusin, antioksidan, dan atraktan). Pemanfaatan tepung darah secara luas di masyarakat memerlukan pendampingan dari pihak pemerintah dan asistensi tenaga ahli. DAFTAR ACUAN Agbebi, O.T., Otubusin, S.O., & Ogunleye, F.O. 2009. Effect of Different Levels of Substitution of Fishmeal with Blood Meal in Pelleted Feeds on Catfish Clarias gariepinus (Burchell, 1822) Culture in Net Cages. European J. of Scientific Research, 31(1): 6-10. Andersen, F., Lorentzen, R.W., & Maage, A. 1997. Bioavailability and interactions with other micronutrients of three dietary iron sources in Atlantic salmon. Salmo salar Smolts. Aquaculture Nutrition, 3(4): 239-246.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1006
APC Europe S.A. 2004. Safety, in regard to the TSE risk of non-ruminant blood products for use in aquaculture feed. A description of the source, the blood collection procedure, its processing and its use. APC Europe S.A., Barcelona, Spain, 29 pp. Bureau, D.P., Harris, A.M., & Cho, C.Y. 1999. Apparent digestibility of rendered animal protein ingredients for rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). Aquaculture, 180: 345-358. Bureau, D. 2000. Aquaculture feeds: opportunities and potential for rendered products. Render, 29(4): 10-12. Cho, C.Y., Slinger, S.J., & Bayley, H.S. 1982. Bioenergetics of salmonid fishes: energy intake, expenditure and productivity. Comparative Biochemistry Physiology, 73B: 25-41. Crawshaw, R. 1994. Bloodmeal: a review of its nutritional qualities for pigs, poultry and ruminant animals. National Renderers Association Technical Review, United Kingdom, 594: 7. Desjardins, L.M., Hicks, B.D., & Hilton, J.W. 1987. Iron catalyzed oxidation of trout diets and its effect on the growth and physiological response of rainbow trout. Fish Physiology and Biochemistry, 3: 173-182. Donkoh, A., Atuahene, C.C., Anang, D.M., & Ofori, S.K. 1999. Chemical composition of solar dried blood meal and its effect on performance of broiler chickens. Animal Feed Science and Technology, 81: 299-307. FAO. 2006. FAO Fisheries Technical Paper. No 500. Rome, FAO. 145pp. http://www.fao.org/figis/servlet/ static?dom=root&xxml =aquaculture/regional.reviews.list.xml Goodard, S. 1996. Feed management in intensive aquaculture. Chapman & Hall. New York. USA. Halimatusadiah, S.S. 2009. Pengaruh atraktan untuk meningkatkan penggunaan tepung darah pada pakan ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis. Skripsi. FPIK IPB. Bogor. Hertrampf, J.W. & Pascual, F.P. 2000. Handbook on Ingredients for Aquaculture Feeds. Kluwer Academic Publishers. London, 573 pp. Houlihan, D., Boujard, T., & Jobling, M. 2002. Food Intake in Fish. University of Trompson Norway. Johnson, J.A. & Summerfelt, R.C. 2000. Spray-dried blood cells as partial replacement for fishmeal in diets for rainbow trout Oncorhynchus mykiss. J. of The World Aquac. Soc., 31(1): 96-104. Kurniasih, T., Melati, I., Suryaningrum, L.H., & Azwar, Z.I. 2011. Substitusi Tepung Darah sebagai Pengganti Tepung Ikan dalam Pakan Nila. J. Ris. Akuakultur. Dalam proses. Laining, A., Rachmansyah, Ahmad, T., & Williams, K. 2003. Apparent digestibility of selected feed ingredients for humpback grouper, Cromileptes altivelis. Aquaculture, 218: 529-538. Lovell, T. 1989. Nutrition and feeding of fish. AVI Book, Van Nostrand Reinhold, New York. USA. Moughan, P.J. 1991. Towards an improved utilization of dietary amino acids by the growing pig. In: Haresign, W. & Cole, D.J.A. (Eds.). Recent Advances in Animal Nutrition. 1991. Butterworths. London, pp. 45-64. National Research Council. 1993. Nutrient requirements of fishes. National Academy Press, Washington DC. USA. National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Domestic Animals. Nutrient Requirements of Poultry. 9th revised ed. National Academy Press. Washington DC. USA. Phillips, R.D. 1989. Effect of extrusion on the nutritional quality of plant proteins. In: Phillips, R.D. & Finley, J.W. (Eds.). Protein Quality and the Effects of Processing. Marcel Dekker. New York, pp. 219246. Purnama, P. 2008. Pengaruh penggunaan tepung darah sebagai sumber zat besi organik dalam pakan terhadap kinerja pertumbuhan kerapu bebek Cromileptes altivelis. Skripsi. FPIK IPB. Bogor. Setiawati, M., Nuryati, S., & Mokoginta, I. 2007. Bioavailability Fe-tepung darah untuk pertumbuhan dan peningkat daya tahan tubuh ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis. Laporan Penelitian Hibah Bersaing No. 012/SP2H/PP/DP2M/III/2007 (003.1/13.11/PL/2007). Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Setiawati, M., Nuryati, S., Mokoginta, I., & Effendi, I. 2009. Bioavailability Fe-tepung darah untuk
1007
Potensi tepung darah sebagai sumber protein ...
(Titin Kurniasih)
pertumbuhan dan peningkat daya tahan tubuh ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian IPB. 558-568. SSC (Scientific Steering Committee). 2003. Opinion on the feeding of wild fishmeal to farmed fish and recycling of fish with regard to the risk of TSE. Report of the Scientific Steering Committee, adopted 6-7th March 2003. European Commission (http:/Europe.eu.int/comm./food/fs/sc/ssc/out320_en.pdf). Tacon, A.G.J. 2005. The current and potential use of blood products and blood meal in Aqquafeeds. Scientific Opinion for European Animal Protein Association. Brussels, Belgium. Honolulu, 53 pp. Van der Velden, G. 2005. Blood meal, blood products and gelatine base binders in compound aquafeeds. International Aquafeeds, 8(2): 12.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1008