Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
REPRODUKSI AWAL KAMBING KACANG DAN BOERKA-1 DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG (First Reproduction Kacang and Boerka-1 goats at Research Institute for Goat Production Sei Putih) FERA M AHMILIA, M. D OLOKSARIBU, S. N ASUTION dan S. H ASIBUAN Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Sungei Putih, Galang 20585, Sumatera Utara
ABSTRACT The research aim was to study first reproduction of Kacang and Boerka-1 (50B : 50K) goat, at Research Institute for Goat Production, Sei Putih. This research used 35 and 30 head, Kacang and Boerka-1 goats. The measured included; first mating weight, first bearing weight, first mating old, first bearing old, pregnancy, litter size and mortality. The results show that mating weight and first bearing Boerka-1 goat was have significantly (P < 0.05) different and no significantly different to Kacang goats. More variable (mating old, first bearing, pregnancy, litter size and mortality) no significantly (P > 0.05) different on Kacang and Boerka1 goat. Key Words: Reproduction, Goat, Kacang, Boeka-1 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari kinerja reproduksi awal kambing Kacang dan Boerka-1 (50B : 50K) yang ada di Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih. Total ternak yang diobservasi sebanyak 35 ekor kambing Kacang dara dan 30 ekor kambing Boerka-1 dara. Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa bobot hidup (kawin dan beranak pertama) antara kambing Kacang dan Boerka-1 berbeda (P < 0.05). Sedangkan umur (kawin dan beranak pertama), lama bunting, litter size dan mortalitas relatif sama (P > 0.05). Kata Kunci: Reproduksi, Kambing, Kacang, Boerka-1
PENDAHULUAN Tingkat kinerja reproduksi ternak tergantung pada interaksi faktor genetik dan lingkungan, tetapi faktor lingkungan lebih berpengaruh. Pada kondisi tercekam, kinerja reproduksi cendrung tertekan, yang mengakibatkan fertlitas rendah, dewasa kelamin lambat dan interval beranak yang lama (DEVENDRA dan BURNS 1994). Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia yang mempunyai bobot hidup lebih kecil dibanding kambing jenis lainnya. Kambing Kacang memiliki keunggulan, diantaranya: mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan reproduksinya cukup baik, pada umur 15 – 18 bulan bisa menghasilkan keturunan (BOER INDONESIA. 2008) dengan litter sizenya adalah 1.57 ekor (SETIADI, 2001).
Kambing Boer dianggap kambing unggul penghasil daging terbaik (ERASMUS, 2000). Menurut TED dan SHIPLEY (2005), kambing Boer betina sudah bisa dikawinkan umur 10 – 12 bulan dan 3 bulan setelah melahirkan induk betina bisa dikawinkan lagi. Kambing Boer betina mampu menjadi induk selama 5 – 8 tahun. Sedangkan kambing jantan mulai aktif kawin pada umur 7 – 8 bulan, di mana aktivitas seksual ini bisa dipertahankannya hingga umur 7 – 8 tahun dan mampu melakukan perkawinan sepanjang tahun. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan memasukkan pejantan unggul dari luar, melalui kawin silang (INOUNU et al., 2002). Metode ini telah banyak digunakan dan umumnya berhasil cukup baik. Loka Penelitian Kambing Potong telah mengembangkan program pembentukan
367
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
kambing unggul melalui pendekatan perkawinan silang (cross breeding) antara pejantan kambing Boer dengan kambing Kacang. Hasil silangan kedua ras kambing tersebut adalah kambing ’Boerka’. Penelitian ini bertujuan mempelajari kinerja reproduksi awal pada kambing Kacang dan kambing Boerka-1 (hasil persilangan Pejantan Boer dengan Kacang). MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih. Pengamatan dilakukan tahun 2007 dan 2008, dengan mengamati 35 ekor kambing Kacang dara (akan dikawinkan dengan pejantan Kacang) dan 30 ekor kambing Boerka-1 dara (50B : 50K) (akan dikawinkan dengan pejantan Boer). Sumber makanan pokok bagi kambing dara adalah hijauan pakan ternak yang diambil dari lapangan dalam bentuk cut dan carry (± 10% dari bobot badan). Pakan tambahan berupa konsentrat (± 1,25% bobot badan) yang diberikan pada waktu pagi hari, sedangkan hijauan diberikan siang dan sore hari. Dan air minum disediakan ad libitum. Parameter yang diamati adalah kinerja reproduksi awal, yang meliputi: bobot hidup kawin pertama dan beranak pertama, umur perkawinan pertama dan beranak pertama, lama bunting, litter size, dan mortalitas prasapih. Seluruh parameter pengamatan dianalisis dengan uji rata-rata menggunakan metode linear dari paket SPSS versi 15.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot kawin dan beranak pertama kambing Kacang dan Boerka-1 Bobot kawin pertama DEVENDRA dan BURNS (1994) menganjurkan bahwa hewan betina muda jangan dikawinkan sampai mereka mencapai berat tertentu (paling sedikit dua pertiga dari bobot badan dewasa). Karena dikawatirkan bila dibiakkan ketika masih terlalu kecil pertumbuhan seterusnya akan terhambat, yang akan berpengaruh buruk terhadap: keperidian, berat dan daya hidp anak-anaknya. Hasil pengamatan bobot hidup saat perkawinan pertama pada kambing Kacang berbeda (P < 0,05) dengan kambing Boerka-1. Dimana perkawinan pertama pada kambing Boerka-1 terjadi pada bobot badan yang lebih tinggi (17,48 kg) dibandingkan dengan kambing Kacang (14,71 kg). Dengan variasi bobot pada kisaran 11,00 – 18,00 kg pada kambing Kacang, dan 14,20 – 23,00 kg pada kambing Boerka-1. Sementara itu DEVENDRA (1966) menyarankan kawin pertama pada kambing Kacang di Malaysia pada bobot 18 – 20 kg. SHELTON (1961) dalam DEVENDRA dan BURNS (1994) mendapatkan bahwa berat badan lebih penting dari umur dalam menentukan waktu dewasa kelamin. Oleh karena itu ternak yang tumbuh cepat akan mencapai pubertas lebih awal. Ditunjang oleh teori yang dikenal dengan nama target weight theory, yaitu seekor ternak akan mencapai pubertas atau aktivitas produksi dapat berlangsung secara normal jika telah mencapai bobot badan tertentu (SUGIHARSO, 2009).
Tabel 1. Bobot hidup kawin dan beranak pertama kambing Kacang dan kambing Boerka-1 Parameter
Kacang x Kacang Rataan
Bobot kawin I (kg)
a
14,71
Bobot beranak I (kg)
16,80a 2,09
Perubahan bobot hidup (kawin sp beranak) (2 – 1) kg
Kisaran
Boerka-1 x Boer Rataan
11,00 – 18,00
17,48
14,20 – 23,00
13,00 – 21,00
21,60b
17,20 – 28,20
2,00 – 3,00
4,12
3,00 – 5,20
Huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
368
Kisaran
b
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Bobot beranak pertama Rataan bobot hidup saat beranak pertama pada kedua genotipe ini juga berbeda (P < 0,05). Dimana bobot saat beranak pada kambing Boerka-1 (21,60 kg) lebih tinggi dibanding bobot saat beranak pada kambing Kacang (16,80 kg). Menurut INOUNU et al. (2002) banyak hal yang mempengaruhi bobot saat beranak ini, diantaranya rumpun/bangsa, tahun beranak dan paritas. Perubahan bobot hidup dari kawin sampai beranak Biasanya bobot induk setelah beranak akan terjadi penurunan akibat kelahiran atau keluarnya anak bersama plasenta dan cairannya. Namun pada pengamatan ini rataan bobot hidup setelah beranak justru lebih tinggi dari saat kambing dikawinkan. Perubahan bobot hidup tersebut lebih tinggi pada Boerka1 (4,12 kg) dibandingkan dengan kambing Kacang (2,09 kg). Jika dipersentasekan perubahan bobot hidup tersebut pada Boerka-1 sebesar 23,57%, sedangkan pada kambing Kacang hanya 14,21%. SOEBANDRIYO et al. (2002) juga mendapat peningkatan 18,90% pada domba St Croix. Peningkatan itu menandakan terjadi pertumbuhan induk waktu kebuntingan, terutama pada induk-induk muda yang masih mempunyai peluang bertumbuh. Umur kawin dan beranak pertama kambing Kacang dan Boerka-1
selama masa hidup ternak tersebut. Umur perkawinan pertama yang lebih panjang, secara ekonomi akan mengurangi pendapatan peternak, karena biaya pemeliharaan untuk pakan dan tenaga kerja akan menjadi lebih banyak. CONSTANTINOU (1981) dalam DEVENDRA dan BURNS (1994) menyimpulkan bahwa pubertas tergantung pada umur dan berat badan. Tetapi umur ternak betina pada saat pubertas mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan pada saat pubertas (NURYADI, (2000) dalam SUGIHARSO (2009)). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan umur kejadian perkawinan pertama pada kambing Kacang relatif sama (P > 0.05) dengan Boerka-1 406.85 hr pada kambing Kacang dan 413.43 hr ada kambing Boerka-1. Bila dilihat dari rentang waktu, kawin pertama pada Boerka-1 terjadi pada umur yang lebih muda yaitu pada umur 172 hari, sedangkan pada kambing Kacang umur 236 hari. Perkawinan pertama terjadi lebih awal 64 hari pada Boerka-1 dibandingkan dengan Kacang. Menurut W ODZICKA-TOMASZEWKA et al. (1991) ternak silangan (crossbred) mungkin mempunyai pubertas pada umur pertengahan diantaranya kedua induknya, bahkan mungkin juga mencapai pubertas lebih awal dari kedua galur induknya. Menurut DEVENDRA dan BURNS (1994) variasi umur dan bobot badan pada pubertas terjadi diantara galur dan 1 galur. Tergantung pada interaksi; umur, bobot badan dan mungkin juga kondisi tubuh serta musim (W ODZICKA-TOMASZEWKA et al., 1991). Umur beranak pertama
Umur kawin pertama Pubertas merupakan awal dari kehidupan reproduksi, makin awal pubertas terjadi makin banyak anak/keturunan yang dapat dihasilkan
Hasil pengamatan menunjukkan (Tabel 2) bahwa rataan kejadian beranak pertama pada kambing Kacang juga tidak berbeda (P > 0.05)
Tabel 2. Umur kawin dan beranak pertama kambing Kacang dan Boerka-1 Parameter
Kacang x Kacang rataan
min-max
Umur perkawinan I (hari)
a
406,85
Umur beranak I (hari)
617,83 a
Lama bunting I (hari)
a
Priode perkawinan I (hari) (2 – 1 – 3)
147,63 a
36,25
Boerka-1 x Boer rataan
Min – max
236 – 642
413,43
a
172 – 632
387 – 842
637,26a
366 – 880
146 – 150
a
146 – 151
0 – 125
148,40 57,52
a
0 – 117
369
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
dengan kambing Boerka-1, yaitu 617.83 hari pada kambing Kacang dan 637.26 hari pada kambing Boerka. Bila diamati, kejadian beranak pertama pada Boerka-1 terjadi pada umur yang lebih muda yaitu pada umur 366 hari, sedangkan kambing Kacang baru beranak pada umur 387 hari. Atau dengan kata lain beranak pertama terjadi lebih awal 21 hari pada Boerka-1 dibandingkan dengan Kacang. Berbeda dengan laporan BOER INDONESIA, (2008), umumnya ternak kambing di Indonesia beranak pertama kali pada umur 15 – 19 bulan. Ditambahkan oleh SARWONO (2002) cepat atau lambatnya masa beranak yang pertama sangat tergantung pada bangsa, kualitas pakan yang diberikan, serta tatalaksana pemeliharaan.
nol (0) hari. Ini artinya perkawinan pada birahi pertama dapat menghasilkan kebuntingan. Hal ini bisa terjadi karena umumnya birahi pertama diikuti oleh ovulasi (SUTAMA et al. (1995). Sedangkan untuk priode perkawinan terpanjang adalah 125 hari pada kambing Kacang dan 117 hari pada kambing Boerka-1. SUGIHARSO (2009) juga menyarankan untuk menunda perkawinan sampai beberapa kali siklus atau hingga umur 3 atau 4 bulan setelah birahi pertama terlihat pada kambing Etawah.
Lama bunting
Rataan jumlah anak sekelahiran atau litter size pada kedua model perkawinan relatif sama (P > 0,05), yaitu 1.17 pada Kacang dan 1 Boerka-1. Litter size cendrung meningkat seiring dengan bertambahnya umur induk. Peningkatan tersebut disebabkan bertambah sempurnanya mekanisme hormonal dengan semakin dewasanya induk akan (FARID dan FAHMY, 1996). Litter size terendah didapatkan pada induk yang berumur muda (SUBANDRIYO et al., 2001) dan pada paritas pertama (INOUNU et al., 2001).
Lama bunting pada kambing Kacang dan kambing Boerka-1 relatif sama (P > 0,05), dengan kisaran 146 sampai 150 hari pada kambing Kacang dan 148 sampai 151 hari pada Boerka-1. Menurut DEVENDRA dan BURNS (1994), bahwa lama bunting yang singkat merupakan ciri bangsa kambing yang kecil. Ditambahkan lagi oleh GUPTA et al. (1964) dalam DEVENDRA dan BURNS (1994), keragaman tersebut dipengaruhi oleh musim, tahun, pejantan yang digunakan dan interaksi diantaranya. Namun lama bunting kedua genotipe kambing tersebut masih dalam kisaran normal yaitu antara 147 – 155 hari (SUTAMA, 2003).
Litter Size dan mortalitas anak; Kacang, Boerka-1 dan Boer Litter size
Tabel 3. Rataan litter size dan mortalitas anak; Kacang, Boerka-1 dan Boer Kambing anak Uraian
Kacang (100 K)
Boerka-2 (75B:25K)
Litter size
1,17a
1a
Mortalitas (%)
22,85a
18,18a
Priode perkawinan pertama Priode perkawinan dapat dihitung dengan jalan mengurangi interval beranak dengan lama bunting (DEVENDRA dan BURNS, 1994). Maka priode perkawinan pertama merupakan selisih umur beranak pertama dengan perkawinan pertama, dan dikurangi lama bunting. Sehingga didapat rataan priode perkawinan pertama (Tabel 2) pada kambing Kacang adalah 36,25 hari dan 57,52 pada Boerka-1. Artinya untuk mencapai kebuntingan kambing Kacang dan Boerka-1 membutuhkan waktu selama 36,25 hari dan 57.22 hari setelah birahi pertama. Bila dilihat dari kisaran priode perkawinan pada kedua genotype ini, masing-masing mempunyai priode perkawinan terpendek yaitu
370
Mortalitas Kemampuan hidup kambing anak merupakan parameter yang penting dalam perkembangan produktivitas. Tingginya kemampuan hidup dalam satu populasi ditunjukkan dengan rendahnya laju kematian. Laju kematian prasapih antara kambing Kacang dan Boerka-1 tidak berbeda (P > 0,05). Namun secara angka mortalitas kambing Kacang lebih tinggi (22,85%) dibandingkan dengan Boerka-1 (18,18%). K OSTAMAN dan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
SUTAMA (2005), melaporkan bahwa salah satu keuntungan yang didapat dari heterosis adalah meningkatnya kemampuan hidup. Menurut SETIADI et al. (2001) daya hidup prasapih tergantung pada litter size, produksi susu serta kemampuan induk merawat anaknya selama priode menyusui. Ditambahkan oleh DEVENDRA dan BURNS (1994), walau ambing kambing Kacang berkembang dengan baik namun produksi susu sedikit. Sehingga berpengaruh kepada keterbatasan penyediaan susu bagi anak yang dilahirkan. Dan produksi susu tergantung yang akan dihasilkan induk sangat tergantung kepada: musim beranak, jumlah laktasi dan umur pertama kali beranak (ATABANY, 2002). KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kinerja reproduksi awal antara kambing Kacang dan kambing Boerka-1 tidak berbeda, namun ada kecendrungan bahwa kejadian kawin dan beranak pertama pada Boerka-1 terjadi pada umur yang lebih muda dengan bobot yang lebih tinggi dibanding kambing Kacang. DAFTAR PUSTAKA ATABANY, A. 2002. Strategi pemberian pakan induk kambing perah sedang laktasi dari sudut neraca energi. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. BOER INDONESIA. 2008. Tujuh plasma nutfah kambing lokal Indonesia. http://www.boer indonesia.co.cc/jenis-kambing.html. (26 Maret 2008). DEVENDRA, C. 1966. The importance of goats in Malaya. Zeitschrift für Tierzuhtung und Züchtungstbiologie 83: 72 – 79 (ABA 35.1556). DEVENDRA, C. dan M. BURNS. 1994. Produksi Kambing di daerah Tropis. Institut Teknologi Bandung, Bandung. ERASMUS, J.A. 2000. Adaptation to various environments and resistance to disease of improved Boer goat. Small Rum. Res. 36: 179 – 187.
FARID, A.H. dan M.H. FAHMY. 1996. The East Friesian and other European breeds. In: Prolific Sheep. FAHMY, M.H. (Ed.). CAB. International. INOUNU, I., N. HIDAYATI, A. PRIYANTI dan B. TIESNAMURTI. 2002. Peningkatan produktivitas domba melalui pembentukan rumpun komposit. TA 2001. Buku I. Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak, Bogor. KOSTAMAN, T. dan I-K S UTAMA. 2005. Laju pertumbuhan kambing anak hasil persilangan antara kambing Boer dengan Peranakan Etawah pada priode pra-sapih. JITV 10: 106 – 112. SARWONO. B. 2002. Beternak kambing unggul. PT Penebar Swadaya, Jakarta. SETIADI, B. S UBANDRIYO, M. MARTAWIDJAJA , D. PRIYANTO, D. YULISTIANI, T. SARTIKA, B. TIESNAMURTI , K. DIWYANTO dan L. PRAHARANI. 2001. Karakterisasi kambing lokal dan upaya mempertahankan keanekaragaman sumberdaya genetik. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Balai Penelitian Ternak. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 188 – 214. SETIADI, B., B. TIESNAMURTI, SUBANDRIYO, T. SARTIKA, U. A DIATI, D, D. Y ULISTIANI, dan I. SENDOW. 2002. Koleksi dan evaluasi karakteristik kambing kosta dan gembrong secara ex-situ. Balitnak, Bogor. SUBANDRIYO, B. TIESNAMURTI, D. Y ULIASTIANI, U. A DIATI, M. SYAERI, S. A MINAH dan Z. LAYLA. 2002. Koleksi dan evaluasi karakteristik biologik domba prolifik dan ST. Croix secara ex-situ. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 2001. Balai Penelitian Ternak. Puslitbang Peternakan, Bogor. SUGIHARSO. 2009. Pusat informasi untuk investasi dan budidaya kambing etawa. http://www. kambingetawa/org. (16 April 2009). SUTAMA, I-K, I.G.M. BUDIARSANA. H. SETIANTO dan A. PRIYANTI. 1995. Productive and reproductive performances of young PE does. JITV (submitted). SUTAMA, I-K. 2003. Tantangan dan peluang peningkatan produktivitas kambing melalui inovasi teknologi reproduksi. Pros. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Puslitbang Peternakan, Bogor.
371
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
TED dan L. SHIPLEY. 2005. Mengapa harus memelihara kambing boer daging untuk masa depan. Malang, Indonesia. http://www.boer indonesia.com.cc/mengapa-boer-html. (26 Maret 2008).
372
WODZICKA-TOMASZEWSKA, M., I-K SUTAMA, I.G. PUTU dan T.D. CHANIAGO. 1991. Reproduksi, tingkah laku dan produksi ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.