Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
PERFORMAN EKONOMI KAMBING KABOER DAN KAMBING KACANG PADA KONDISI STASIUN PENELITIAN CILEBUT (Economic Performance of Kaboer Goat and Kacang Goat at the Research Station) DWI PRIYANTO, B. SETIADI, D. YULISTIANI, dan H. SETIYANTO Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor16002
ABSTRACT Level of Kacang goat productivity is varied , therefore crossing this breed with imported breed (Boer goat) is one of alternative methods recommended to increase its productivity. Study was carried out in Cilebut research station, in this study Kacang goat were crossed with Boer crossed (Kaboer). Result from this crossing was monitored following research on nutrition treatment and breeding record. Analysis on level of efisiency f goat farming was done using method of WELLER (1994), the analysis was done at different age of kids up to 1 year old. Result from study shows that performance of Kaboer is better than acang goat. It shown from kid productivity of Kaboer from birth up to 1 year old is higher than Kacang. Economic efficiency is expressed by cost/body weight, from those two breed shows that male goat has higher economic value than female at similar age. Those result proven from the lower cost need to get 1 kg body weight. Similar result also shown from R/C value of male kids is higher than female at similar age. The convertion of selling value between breed shows that generally Kacang goat has better economic value than Kabor goat, except for male Kaboer goat at weaning. This result is based on calculation of cost/body weight which lower and R/C value was higher, this due to feed consumption of Kaboe goat is not balance with its growth performance. Therefore the increase of age after weaning tend to caused in decreasing R/C value, whichis lower than Kacang goat at similar age. Key words: Economic performance, kaboer goat, kacang goat
PENDAHULUAN Populasi kambing di Indonesia mencapai 12.456.402 ekor yang cenderung mengalami penurunan populasi sebesar 0.86% dibanding tahun sebelumnya (STATISTIK PETERNAKAN, 2001). Populasi tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa yang mencapai 6.802.631 ekor (54.61%) dari populasi nasional, yang meningkat 2% dibanding tahun sebelumnya. Total ekspor kambing tahun 2000 mencapai 497.900 ekor dimana 359.032 ekor (72.11%) tersebut berasal dari Pulau Jawa. Kondisi demikian menunjukkan bahwa ternak kambing memberikan prospek bagus sebagai komoditas ekspor. Kendala yang terjadi di Indonesia adalah bahwa komposisi ternak kambing yang ada hampir seluruhnya adalah merupakan ternak asli diantaranya adalah kambing Kacang, Peranakan Etawah (PE) dan kambing lokal lainnya yang cenderung beragam tingkat produktivitasnya (MERKENS dan SYARIF, 1932). Di wilayah kantong bibit Kambing PE, sumbangan pendapatan usahaternak dapat mencapai 11 – 13% dari total pendapatan petani sebagai akibat harga jual ternak yang tinggi (SUBANDRIYO et al., 1995). Hal tersebut menunjukkan prospek yang lebih baik. Kambing Kacang banyak diusahakan di pedesaaan oleh peternak kecil, karena memiliki beberapa keistimewaan diantaranya adalah dapat memanfaatkan kondisi pakan yang kurang bagus, manajemen cocok
212
untuk digembalakan, serta memiliki komposisi karkas dengan proporsi tinggi. Kekuranganya adalah memiliki postur tubuh yang relatif kecil yang ditunjukkan adanya bobot badan dewasa yang relatif rendah. Salah satu upaya untuk memperbaiki tingkat produkivitas khususnya dalam hal produksi daging adalah dengan melakukan program persilangan dengan kambing impor (Kambing Boer) sebagai tipe potong (produksi daging). Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan performan produksi (bobot badan) yang realif lebih tinggi dan berprospek memenuhi kualitas kambing ekspor (bobot badan minimal 45 kg/ekor). Pembentukan kambing tersebut dilakukan distasiun penelitian Cilebut. Untuk mengetahui efisiensi ekonomik dan kelayakan usahaternak hasil persilangan tersebut perlu dilakukan kajian ekonomik usaha, karena program pengembangan ternak kambing tidak hanya dipengaruhi oleh potensi biologis, namun juga ditentukan oleh nilai ekonomi usahaternak (efisiensi input produksi). METODOLOGI Penelitian dilakukan di stasiun penelitian Cilebut, dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan penelitian pemuliaan. Analisis produktivitas marginal dilakukan melalui monitoring bulanan secara intensif
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
terhadap penggunaan input faktor produksi dari hasil penelitian pemuliaan melalui pendekatan parameter teknis yang direkomendasikan dalam penelitian tersebut. Dari "bangsa" silangan yang terbentuk diamati produktivitas anak s/d umur 1 tahun, biaya pakan, hubungan antara pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan pakan dan biaya produksi non pakan. Data teknis dan ekonomik hasil monitoring dilakukan analisis efisiensi ekonomik dengan menggunakan petunjuk WELLER (1994): E = R/C = (Rd + Ro)/(Efd + Id + Efo + Io) Dimana: E
= Efisiensi ekonomik
Rd
= Output dari produksi induk
Ro
= Output dari produksi anak
Efd dan Id
= Biaya pakan dan non pakan untuk induk
Efo dan Io
= Biaya pakan dan non pakan untuk anak
Parameter yang diukur adalah parameter teknis kaitannya dengan penelitian pemuliaan diantaranya adalah bobot lahir anak, bobot sapih, bobot badan umur 9 bulan dan bobot umur 1 tahun. Input produksi yang diamati meliputi kebutuhan (intake) pakan (konsentrat dan rumput), hubungan antara pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan pakan dan biaya produksi lainnya. Penelitian untuk kambing persilangan (Kaboer) dalam kondisi laboratorium dilakukan dengan dua perlakukan pakan, akan tetapi dalam pembahasan ekonomik usahaternak tidak dibedakan atas penggunaan ransum, tetapi dilakukan konversi dengan rataan biaya yang dikelompokkan dalam jenis kelamin anak (jantan dan betina). HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian pemuliaan ini dilaporkan tingkat produktivitas kambing persilangan Kambing Boer dan Kambing Kacang (Kaboer), dibandingkan dengan produktivitas kambing Kacang sendiri (umur sapih, 9 bulan dan umur 1 tahun). Hal tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan persepsi penerimaan konsumen secara umum dalam upaya pembelian kambing baik sebagai bibit maupun sebagai ternak potong. Pengamatan kambing Kaboer Hasil pengamatan kambing Kaboer (Tabel 1), bahwa tingkat pertumbuhan kambing jantan lebih tinggi
dibanding kambing betina yang ditunjukkan bobot badan yang relatif lebih unggul pada kambing jantan baik bobot lahir, sapih, umur 9 bulan dan umur 1 tahun (2,7 vs 2,4; 15,01 vs 10,27; 22,51 vs 14,04; dan 25,96 vs 18,60). Trend peningkatan bobot badan kambing jantan sebesar 455% (dari lahir s/d sapih), sebesar 49% (dari sapih s/d umur 9 bulan), dan hanya sebesar 15% dari umur 9 bulan sampai dengan umur 1 tahun. Pada kambing betina trend peningkatan sebesar 327% (lahir s/d sapih), 36% (sapih s/d 9 bulan dan 32% (9 bulan s/d 1 tahun). Hal yang sama juga ditunjukkan adanya revenue hasil penjualan ternak yang diperhitungkan pada kondisi standart ternak bibit (Rp 20.000/kg bobot hidup). Monitoring kebutuhan konsentrat (diperhitungkan sebesar Rp 1.250/kg), terlihat bahwa konsentrat kambing jantan lebih tinggi dibanding kebutuhan kambing betina, dan cenderung terjadi peningkatan kebutuhan dengan betambahnya umur kambing masing-masing pada kambing jantan dan betina yakni sebesar 49,68 kg dan 47,08 kg sampai dengan sapih, sebesar 122,24 kg dan 104,68 kg pada saat umur 9 bulan dan sebesar 173,03 kg vs 145,28 kg pada saat kambing berumur 1 tahun. Performan kambing jantan kebutuhan konsentrat dari sapih s/d umur 9 bulan, trendnya peningkatan (memncapai 125%), sedangkan dari umur 9 bulan s/d umur 1 tahun trend peningkatan sebesar 33%. “Intake” rumput per ekor (ad libitum), terlihat s/d sapih mencapai 150,04 kg/ekor, umur 9 bulan mencapai 466,62 kg, dan pada umur 1 tahun mencapai 345,24 kg (anak jantan). Trend peningkatan kebutuhan rumput mencapai 172% pada saat sapih s/d umur 9 bulan, dan 39% pada saat umur 9 bulan s/d 1 tahun. Faktor tenaga kerja diperhitungkan berdasarkan 1 orang mampu memelihara 50 ekor anak kambing dengan upah kerja sebesar Rp 300.000/bulan (setara dengan Rp 10.000/hari). Sedangkan sewa kandang diperhitungkan Rp 100.000/50 ekor/bulan. Biaya tenaga kerja dan kandang cenderung mengalami peningkatan yang linear dengan meningkatnya masa pemeliharaan ternak dengan skala yang tetap. Total biaya adalah merupakan hasil penjumlahan dari biaya pakan (biaya konsentrat, biaya rumput, biaya tenaga kerja dan biaya kandang). Didapatkan perhitungan cost/bobot badan pada kambing jantan sebesar Rp 6.768 pada saat sapih, Rp 10.889 pada saat umur kambing 9 bulan dan Rp 13.120 pada saat umur 1 tahun. Pada kambing betina sebesar Rp 9.542 pada saat sapih, Rp 15.463 pada saat umur 9 bulan dan Rp 16.390 pada saat umur 1 tahun. Kambing betina nilai cost/bobot badan yang lebih tinggi dibanding kambing jantan pada kondisi umur yang sama. Kambing betina memiliki efisiensi ekonomi yang lebih rendah dibanding kambing jantan karena membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan laju pertumbuhan yang lebih rendah.
213
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
Tabel 1. Analisis efisiensi usahaternak kambing Kaboer di stasiun pengamatan Cilebut Peubah Bobot lahir (kg) Jantan 2.7 Betina 2.4 Revenue (Rp) Input pakan * Konsentrat (kg) Biaya (Rp) (a) *Rumput (kg) Biaya (Rp) (b) * Tenaga kerja(c) * Sewa kandang (d) Total Revenue Total cost Cost/BB R/C
Jantan
Sapih Betina
Umur 9 bulan Jantan Betina
Umur 1 tahun Jantan Betina
15.01
10.27
22.51
14.04
25.96
18.60
300.200
205.400
450.200
280.800
519.200
372.000
49.68 62.100 150.04 7.502 24.000 8.000 300.200 101.602 6.768 2.95
47.08 58.850 142.94 7.147 24.000 8.000 205.400 97.997 9.542 2.10
122.24 152.800 406.62 20.331 54.000 18.000 450.200 245.131 10.889 1.84
104.68 130.850 385.24 14.162 54.000 18.000 280.800 217.112 15.463 1.29
173.03 216.287 566.62 28.331 72.000 24.000 519.200 340.618 13.120 1.52
145.28 181.600 545.24 27.262 72.000 24.000 372.000 304.862 16.390 1.22
Keterangan: (a) = Harga konsentrat Rp 1.250/kg (b) = Konversi harga rumput Rp 50/kg (c) = Diperhitungkan Rp 10.000/hari dengan kapasitas per orang mampu memelihara 50 ekor (d) = Sewa kandang Rp.100.000/50 ekor/bulan
Berdasarkan analisis berbagai umur terlihat cost/bobot badan yang paling kecil adalah terjadi pada kambing saat sapih baik pada kondisi kambing jantan maupun betina. Terlihat efisiensi usaha tertinggi adalah pada saat kambing lepas sapih dibanding pada umur yang lebih tua (9 bulan dan 1 tahun). Dinyatakan bahwa biaya pembentukan 1 kg bobot badan hanya mencapai Rp 6.768 vs Rp 9.542 pada kambing jantan dan betina, dibandingkan pada saat umur-umur selanjutnya, dan kambing jantan adalah paling ekonomis. Tingkat efisiensi usaha juga dapat ditunjukkan adanya nilai R/C yang cenderung tinggi dicapai pada saat kambing lepas sapih (sekitar 4 bulan) yang mencapai 2,95 dan 2,10 masing-masing pada kambing jantan dan betina dan semakin menurun dengan bertambahnya umur kambing. Tingkat efisiensi tertinggi dilihat dari berbagai umur adalah pada saat umur sapih, sedangkan dilihat berdasarkan jenis kelamin adalah terjadi pada kambing jantan. Pengamatan Kambing Kacang Pada pengamatan kambing Kacang (Tabel 2), terlihat bahwa performan produksi kambing Kacang (penampilan bobot badan) jauh lebih rendah dibanding Kambing Kaboer yang tejadi pada kondisi berbagai umur. Tingkat produktivitas kambing Kacang yang dihasilkan dalam penelitian memiliki bobot lahir dan
214
bobot sapih jauh lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya (ASTUTI, 1984; SETIADI dan SITORUS, 1984), yang masing-masing mendapatkan bobot lahir anak Kambing Kacang sebesar 2,40; 2,00; dan 1,74 kg. Sedangkan bobot sapih yang dihasilkan penelitian sebelumnya yakni sebesar 9,0; 9,7; dan 8,7 menurut pengamatan (SETIADI, 1984; NGADIYONO et al., 1984; dan KNIPSCHEER et al., 1983). Kondisi kambing Kacang yang dipelihara di stasiun Cilebut didapatkan dari Jawa Tengah yang dimungkinkan kualitasnya lebih rendah semakin menurunnya kualitas performan produksi. Kebutuhan pakan konsentrat juga rendah dibanding kambing Kaboer. Kebutuhan konsentrat tersebut hanya mencapai sekitar 38% dari kebutuhan pengamatan Kambing Kaboer pada berbagai umur ternak. Kebutuhan rumput relatif hampir sama dengan kebutuhan konsumsi Kambing Kaboer yakni mencapai sekitar 80–88% kebutuhan kambing Kaboer. Kebutuhan pakan konsentrat dan hijauan kambing jantan lebih tinggi dibanding kambing betina. Total biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan Kambing Kacang (kambing jantan dan betina) dicatat sebesar Rp 62.858 vs Rp 61.450 sampai dengan sapih masing, Rp 143.201 vs Rp 139.970 pada umur 9 bulan dan Rp 212.928 vs Rp 207.650 pada umur 1 tahun. Perhitungan cost/bobot badan (jantan dan betina) didapatkan sebesar Rp 7.062 vs Rp 7.493 pada saat lepas sapih, Rp 143.201 vs Rp 139.970 pada umur 9 bulan dan Rp 12.057 vs Rp 13.209 pada umur 1 tahun. Sama halnya nilai efisiensi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
usaha (cost/bobot badan) terendah terjadi pada kambing lepas sapih, khususnya pada kambing jantan. Hal tersebut juga didukung adanya nilai perhitungan R/C yang paling tinggi terjadi pada kambing lepas sapih khususnya pada kambing jantan (2,83) dan kambing betina mencapai 2,67 dan cenderung semakin menurun dengan meningkatnya umur ternak, yakni pada umur 9 bulan didapatkan R/C sebesar 2,07 vs 1,89, dan umur 1 tahun 1,66 vs 1,51 masing-masing pada ternak jantan dan betina. Tingkat efisiensi usahatrernak Kambing Kacang dibandingkan dengan Kambing Kaboer
didasarkan perhitungan, efisiensi usaha Kambing Kaboer pada saat lepas sapih khususnya ternak jantan terlihat lebih ekonomis dibanding Kambing Kacang, yang ditunjukkan rendahnya biaya dalam pembentukan 1 kg bobot badan (Rp 6.768 vs Rp 7.062), dan untuk ternak betina Kambing Kacang tampak lebih unggul (Rp 7.493 vs Rp 9.542), sedangkan untuk umur selanjutnya (9 bulan dan 1 tahun) kambing Kacang menunjukkan lebih ekonomis. Kondisi demikian sebagai akibat lebih ekonomisnya penggunaan pakan ternak baik pakan konsentrat maupun hijauan.
Tabel 2. Analisis efisiensi usahaternak Kambing Kacang di stasiun pengamatan Cilebut Peubah Bobot lahir (kg) Jantan 1,75 Betina 1,53 Revenue(Rp) Input pakan * Konsentrat (kg) (*) Biaya (Rp) (a) Rumput (kg)(**) Biaya (Rp) (b) * Tenaga kerja(c) * Sewa kandang (d) Total Revenue Total cost Coat/BB R/C
Sapih
Umur 9 bulan Jantan Betina
Umur 1 tahun Jantan Betina
Jantan
Betina
8,9
8,2
14,8
13,26
17,66
15,72
178.000
164.000
296.000
265.200
353.200
314.400
18,80 23.500 147,16 7.358 24.000 8.000 178.000 62.858 7.062 2,83
17,9 22.375 141,5 7.075 24.000 8.000 164.000 61.450 7.493 2,67
42,53 53.162 360,78 18.039 54.000 18.000 296.000 143.201 9.675 2,07
40,5 50.625 346,9 17.345 54.000 18.000 265.200 139.970 10.555 1,89
67,73 84.662 645,32 32.266 72.000 24.000 353.200 212.928 12.057 1,66
64,5 80.625 620.5 31.025 72.000 24.000 314.400 207.650 13.209 1,51
Keterangan: (a) = Harga konsentrat Rp 1.250/kg (b) = Konversi harga rumput Rp 50/kg (c) = Diperhitungkan Rp 10.000/hari dengan kapasitas per orang mampu memelihara 50 ekor (d) = Sewa kandang Rp 100.000/50 ekor/bulan (*) = Kebutuhan konsentrat ternak jantan = 1,05 ternak betina (angka konversi) (**) = Kebutuhan rumput ternak jantan = 1,04 ternak betina (angka konversi)
Tabel 3. Performan ekonomi kambing persilangan dengan kambing Kacang Peubah Kambing Kaboer Total Revenue Total cost Cost/BB R/C Kambing Kacang Total Revenue Total cost Cost/BB R/C
Jantan
Sapih Betina
Umur 9 bulan Jantan Betina
Umur 1 tahun Jantan Betina
300.200 101.602 6.768 2,95
205.400 97.997 9.542 2,10
450.200 245.131 10.889 1,84
280.800 217.112 15.463 1,29
519.200 340.618 13.120 1,52
372.000 304.862 16.390 1,22
164.000 61.450 7.493 2,67
296.000 143.201 9.675 2,07
265.200 139.970 10.555 1,89
353.200 212.928 12.057 1,66
314.400 207.650 13.209 1,51
178.000 62.858 7.062 2,83
215
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
DAFTAR PUSTAKA ASTUTI, M., M. BELL, P. SITORUS, and G.E. BRADFORD. 1984. The impact of altitude on sheep and goat production. Working paper No. 30, SR-CRSP/Balitnak, Bogor. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2001. Buku Statistik Peternakan 2001. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. KNIPSCHEER, H.C., J. DE BOER, and T.D. SOEDJANA. 1983. The economic role of sheep and goat in West Java. Bul. of O\Indonesian Economics Studies. Vol. XIX. No. 3: 74. PRIYANTO, D., B. SETIADI, D. YULISTIANI, M. MARTAWIDJAJA, M. SALEH, S. AMINAH, M SYAERI, dan ROHYAT. 2000. Analisis Sosio-Ekonomik Perbaikan Mutu Genetik Kambing. Laporan Hasil Penelitian T.A. 2000. Balai penelitian Ternak Ciawi, Bogor. MERKENS, J. dan SYARIF. 1932. Bijdfrage tot de kennis van de geitenfokkerij in Nederlandsd Ooast Indie (Sumbangan Pengatahuan Tentang Perternakan kambing di Indonesia) dalam Utoyo, R.P. (penterjemah), 1979. Domba dan Kambing. LIPI.
216
SETIADI, B dan P. SITORUS. 1984. Penampilan reproduksi dan produksi kambing Peranakan Etawah. Proc. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Pusdat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. pp.118-121. SETIADI, B., SUBANDRIYO, I-K. SUTAMA, K. DIWYANTO, I. INOUNU, M. MARTAWIDJAJA, A. ANGGRAENI, A. WILSON, dan NUGROHO. 1999. Peningkatan produktivitas kambing melalui metode persilangan. Laporan hasil penelitian APBN T.A. 1998/1999, Balai Penelitian Ternak. SUBANDRIYO, B. SETIADI, D. PRIYANTO, M. RANGKUTI, W.K. SEJATI, D. ANGGRAENI, RIA SARI, HASTONO, dan O.S. BUTAR-BUTAR. 1995. Analisis potensi kambing Peranakan Etawah dan sumberdaya di daerah sumber bibit pedesaan. Pusat Penelitian dan pengembangan Peternakan. Bogor. WELLER, J.I. 1994. Economic Aspects of Animal Breeding. Chapman & Hall, London.