Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PERFORMAN KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) DI LOKASI AGROEKOSISTEM YANG BERBEDA (Performance of Peranakan Etawah Goats in Two Different Agroecosystems) I-G.M. BUDIARSANA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Field research to test the performance of Peranakan Etawah (PE) Goats, was conducted in two different locations. Firsly, is in Panulisan Timur Village, Sub District of Dayeuh Luhur, Regency of Cilacap, Province of Central Java categorized as rubber plantations agro-ecosystem (Clc), and secondly, is in Leuwisari Village, Sub District of Singaparna, Regency of Tasikmalaya, West Java Province categorized as forestations agroecosystem (Tsk). Observing 58 PE goats, 14 non PE goats which reared by 12 cooperator farmers. Totals of PE goats, non PE Goats and cooperative farmers involved in each locations are; 29, 6 heads and 9 farmers vs 29, 8 heads and 12 farmers respectively for (Clc) and (Tsk). Parameter measured were pregnancy rate, total kid born and wean, growth rate, mortality rate, and feed consumptions, presented descriptively. The result shows that the pregnancy rate of PE Goats was 69–100%. Birth weight was 2,6–3,0 kg, and a pre-weaning growth rate of 86–115g/day, are higher compared to control which is 2,5 kg and a growth rate were 70– 75g/day. Net cash benefit analysis shows that the average of benefit arise is Rp. 511.000 and Rp. 571.000 year/farmer respectively for (Tsk) and (Clc). Key Words: Peranakan Etawah Goats, Agro-Ecosystem, Economics ABSTRAK Penelitian lapang untuk menguji performan Kambing Peranakan Etawah (PE) dengan melibatkan peternak kooperator telah dilakukan pada periode waktu (Januari–Desember 2004). Penelitian di lakukan di dua lokasi yang memiliki karakteristik sumber hijauan pakan berbeda yaitu Desa Panulisan Timur, Kecamatan Dayeuh Luhur, Kabupaten Cilacap (Clc) dan Desa Leuwisari, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya (Tsk). Jumlah ternak yang digunakan pada masing-masing lokasi yaitu 30 dan 41 ekor yang dipelihara oleh 9 dan 12 peternak kooperator untuk masing-masing Clc dan Tsk. Sebagai kontrol, pengamatan juga dilakukan terhadap ternak-ternak milik para peternak kooperator. Parameter yang diamati yaitu tingkat kebuntingan (fertilitas), jumlah anak yang lahir dan yang disapih, bobot hidup, pertumbuhan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan yang dicapai berkisar 69–100%. Rataan bobot lahir di kedua lokasi yaitu (2,6–3,0 kg), lebih tinggi dibandingkan dengan bobot lahir ternak kontrol yaitu 2,5 kg. Pertambahan bobot hidup harian pra-sapih di kedua lokasi berkisar antara 86–115 g/ekor/hari, dengan bobot hidup anak umur 3 bulan yaitu mencapai 11–15 kg. Analisis ekonomi dengan menggunakan metode net cash benefit menunjukkan bahwa rataan keuntungan per peternak yaitu berkisar Rp. 511.000 dan Rp. 571.000. Kata Kunci: Kambing PE, Fertilitas, Pertumbuhan
PENDAHULUAN Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Etawah (Jamnapari) dengan kambing Kacang (RESSANG, 1959). Persilangan antara kedua kambing ini terjadi pada zaman penjajahan pemerintah Belanda di Indonesia. Hasil persilangan kedua kambing ini menghasilkan ternak kambing dengan tipe
650
produksi dwi guna (penghasil susu dan daging). Didaerah sumber bibit (Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo, di Daerah Istimewa Yogyakarta), pemeliharaan ternak PE ini dilakukan oleh para peternak kecil dengan skala pemeliharaan antara 3–7 ekor/peternak. Pakan yang diberikan kebanyakan berupa daun leguminosa (Calliandra, Glirisidia, Lamtoro) dan daun tanaman pangan (daun pisang, daun
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
nangka, daun pepaya dan lain-lain). Permintaan bibit kambing PE di daerah ini dari berbagai daerah di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tingginya permintaan bibit dari daerah ini, cenderung menguras populasi yang ada di daerah sumber bibit ini. Sementara itu, belum diperoleh informasi yang konprehensif mengenai perkembangan kambing PE pada daerah-daerah yang pernah menerima kambing PE. Pengamatan di lokasi stasiun percobaan menunjukkan bahwa produktivitas kambing PE cukup baik. Aktivitas reproduksinya, dilaporkan terjadi sepanjang tahun, pubertas kambing betina terjadi pada umur 10–12 bulan dan pada bobot sekitar 13,5–22,5 kg (rataan 18,5kg) atau sekitar 55–60% dari bobot hidup dewasa (SUTAMA et al., 1994; 1995). Bobot lahir anak jantan lebih tinggi dibandingkan dengan anak betina, demikian pula dengan pertumbuhan pra-sapih sehingga bobot sapih ternak jantan menjadi lebih bobot. Jumlah anak sekelahiran 1–3 ekor (SUTAMA et al., 1994; RASNA, 1996; SUBHAGIANA, 1998), dan kelahiran 3 kali dalam dua tahun dapat dicapai. Bobot lahir anak kambing PE berkisar 2,5–5 kg (SUTAMA. et al., 1994; 1995). Disamping itu hasil penelitian yang dilaporkan oleh SETIADI et al. (1999) juga menunjukkan bahwa hasil persilangan kambing Etawah dengan kambing Boer memberikan pertumbuhan yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kambing lokal. Produksi susu kambing PE masih bervariasi. SUTAMA (1998) melaporkan pada kondisi stasiun percobaan, bahwa produksi susu kambing PE berkisar dari 1,5–3,5 l/hari. Mengingat kompleksnya faktor yang mempengaruhi performan ternak maka pengamatan ternak secara langsung di lapang (pada daerah baru) menjadi penting untuk dilakukan. MATERI DAN METODE Penelitian ini adalah kegiatan lapang dengan menggunakan ternak kambing Peranakan Etawah. Ternak kambing PE ini berasal dari Balai Penelitian Ternak, untuk kemudian diserahkan kepada para peternak kooperator di dua lokasi yang memiliki karakteristik ketinggian tempat dan sumber pakan yang berbeda. Lokasi yang dimaksud
yaitu desa Panulisan Timur, Kecamatan Dayeuh Luhur, Kabupaten Cilacap (Clc), dengan ketinggian wilayah ±100m diatas permukaan laut (dpl) dan pakannya kebanyakan dari jenis rumput-rumputan yang sumbernya berasal dari lahan perkebunan tanaman karet (agroekosistem perkebunan karet). Desa Leuwisari, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya (Tsk) dengan ketinggian wilayah ± 300m diatas permukaan laut (dpl) dengan sumber pakan ternak dari hutan rakyat (Agroekosistem pinggiran hutan), dan jenis pakannya kebanyakan dari jenis daun-daunan. Ternak yang digunakan yaitu ternak kambing PE luncuran dari pengamatan tahun sebelumnya yaitu yang diawali tahun 2002. Pengamatan pada tahun 2004 berdasarkan populasi ternak yang ada di lapang, yaitu untuk lokasi (CLc) yaitu 12 ekor induk, 2 ekor pejantan dan 12 ekor anak, dengan jumlah peternak yaitu 5 orang peternak kooperator. sedangkan lokasi Tsk yaitu 13 ekor induk 2 pejantan dan 13 ekor anak yang dipelihara oleh 10 orang peternak kooperator. Sebagai kontrol maka pengukuran juga dilakukan terhadap 15 ekor dan 9 ekor ternak kambing yang sedang dipelihara oleh para peternak kooperator. Jenis ternak milik peternak kooperator yang digunakan sebagai kontrol tersebut jenis kambing bligon. Kambing bligon ini memiliki karakteristik fostur tubuh 10-20% lebih kecil dibandingkan dengan kambing PE. Pemeliharaan ternak dilakukan sesuai dengan kebiasaan petani dilokasi masingmasing lokasi. Kinerja produksi ternak ini diamati. Kajian ekonomi dari usaha peternakan kambing PE di masing-masing lokasi juga dilakukan. Parameter yang diukur yaitu tingkat kebuntingan (fertilitas), jumlah anak lahir dan disapih, bobot hidup dan pertumbuhan, jenis dan jumlah konsumsi pakan, tingkat kematian. Semua data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan populasi Tabel 1. menggambarkan perkembangan populasi ternak di kedua lokasi pengamatan.
651
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Perkembangan populasi ternak diikuti dengan perkembangan peternak kooperator. Jumlah peternak kooperator pada akhir tahun 2002 (awal pengamatan tahun 2003) jumlah ternak yang lahir di masing-masing lokasi yaitu (Clc) 12 ekor dan (Tsk) 16 ekor. Jumlah peternak kooperator dikedua lokasi yaitu berkembang menjadi 5 untuk (Clc) dan 10 orang peternak (Tsk). Perkembangan pada tahun 2004 terlihat bahwa jumlah kelahiran anak masing-masing yaitu 13 ekor dan 16 ekor untuk masingmasing Clc dan Tsk sampai pada bulan Nopember 2004, jumlah peternak kooperator di kedua lokasi juga berkembang yaitu untuk Clc dan Tsk masing-masing menjadi 9 dan 12 peternak. Jumlah induk yang melahirkan pada tahun 2004 di kedua lokasi Clc dan Tsk adalah berturut-turut 12 ekor (100%) dan 9 ekor (69,2%). Jumlah anak sekelahiran (litter size) di kedua lokasi berkisar (1–2) dengan rataan untuk lokasi (Clc) 1,16 dan (Tsk) 1,33. (Tabel 2 dan 3). Hasil penelitian ini sedikit lebih rendah dengan hasil yang dilaporkan LS 1.3– 1.76 (OBST et al., 1980; SUBANDRIYO, 1993; SUTAMA et al., 2001, BUDIARSANA et al., 2003), Rendahnya tingkat kebuntingan di lokasi (Tsk ) mungkin disebabkan oleh sistem perkandangan yang digunakan para peternak. Luasan kandang yang sempit dan tertutup rapat baik bagian sisi maupun bagian atas terlihat sangat mangganggu dalam manajemen
perkawinan. Sistem perkandangan yang digunakan mungkin sangat cocok bagi keamanan dan kehangatan ternak namun kurang mendukung manajemen perkawinan. Dalam manajemen perkawinan kambing PE yang menggunakan kandang dengan sistem tertutup tersebut dituntut pengetahuan dan penanganan yang baik, terutama dalam hal pengetahuan mengenai ciri-ciri birahi dan saat perkawinan terbaik untuk ternak kambing. Tercatat beberapa ekor induk di Tsk yang perkawinannya sering terlambat. dan menghasilkan produktivitas yang rendah. Keengganan para peternak untuk memelihara ternak pejantan karena alasan tidak efisien merupakan masalah yang perlu dicarikan teknologinya. Ada tendensi bahwa rendahnya tingkat kebuntingan dan tingkat liter size yang diperoleh di kedua lokasi dibandingkan dengan hasil penelitian yang pernah dilaporkan, kemungkinan disebabkan berkurangnya SDM yang handal pada masing-masing kelompok. Pada bulan April 2004, 2 orang peternak kooperator (1 orang dari masing-masing lokasi) telah mengundurkan diri sebagai peternak kooperator. Kedua orang peternak tersebut tercatat sebagai peternak yang memiliki kualitas manajemen yang diatas rata-rata kelompok. Pada tahun-tahun sebelumnya peternak ini sangat mambantu meningkatkan produktrivitas ternak di lokasinya masingmasing.
Tabel 1. Perkembangan peternak kooperator dan populasi kambing PE di Cilacap dan Tasikmalaya dari tahun 2002 – awal tahun 2004 Lokasi
Keterangan
Clc
Jumlah peternak Jumlah ternak Induk Pejantan Anakan Jumlah peternak Jumlah ternak Induk Pejantan Anakan
Tsk
652
2002 2
Tahun pengamatan 2003 5
Awal 2004 9
10 1 2
12 2 12 10
15 2 13 12
10 1 -
13 2 14
19 2 16
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 2. Perkembangan populasi dan tingkat kematian kambing PE di Cilacap Tahun 2004 Nama peternak
Jumlah ternak awal tahun 2004 (ekor)
Anak lahir (ekor) LS
Jantan
Betina
Mortalitas
Induk mati (ekor)
Induk bertambah (ekor)
Jumlah induk akhir tahun 2004 (ekor)
Populasi akhir tahun 2004 (ekor)
Rojikin
3
1
2
1
-
1
-
2
5
Eko
2
2
1
3
1
-
-
-
-
Tasim
2
1
1
1
-
-
-
2
4
Kastam
2
1
1
1
-
-
-
2
4
Uyan
1
1
1
-
-
-
-
1
2
Dasta
2
1
1
1
-
-
-
2
4
Dayat
-
-
-
-
-
-
2
2
2
-
Tarsono*)
-
-
-
-
Carman*)
-
-
-
-
12
1,16
7 (50%)
7 (50%)
Total
1
-
-
1
1
-
-
1
1
1
2
13
23
*Peternak kooperator baru. menggunakan ternak yang dipelihara oleh Eko
653
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 3 Perkembangan populasi dan tingkat kematian kambing PE di Tasikmalaya Tahun 2004 Peternak Ajo
Jumlah ternak awal (ekor) 1
Anak lahir (ekor) LS 2
Jantan
Betina
1
1
Mortalitas -
Induk mati (ekor)
Induk bertambah (ekor)
Jumlah induk (ekor)
Populasi akhir tahun 2004 (ekor)
-
-
-
-
Oih
2
1
-
1
-
-
-
2
3
Tatang
2
1
1
-
-
-
-
2
3
Amir
1
-
-
-
-
-
-
1
1
Holiman
1
-
-
-
-
-
-
1
1
Misbach
1
1
-
1
-
-
-
1
2
Uu
1
2
-
2
-
-
-
2
3
Uyu
1
1
1
-
-
-
1
2
Ending
2
1.5
1
-
-
-
2
3
Dedi
1
1
1
-
-
-
1
2
Oup*)
2
1
1
1
-
-
2
2
4
Jama*)
1
2
1
1
-
-
1
1
3
Total
13
1,33
-
-
3
16
30
7 (44%)
2
9 (56%)
*Peternak kooperator baru (masuk bulan Mei 2004) kambing yang dipelihara diperoleh dari Ajo
654
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Jenis hijauan dan tingkat konsumsi pakan Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada penampilan produksi ternak. Pada pengamatan ini jenis pakan yang diberikan oleh para peternak dikedua lokasi Tabel 4. Di Tasikmalaya (Tsk) yaitu daerah yang wilayahnya di kaki Gunung Galunggung dekat dengan perkebunan milik rakyat, sumber pakan ternak cukup berlimpah dan jenisnya beraneka ragam. Kondisi seperti ini sangat memudahkan para peternak dalam mengatur kualitas maupun kuantitas pakan. Berbeda halnya dengan lokasi Cilacap (Clc) yaitu yang sumber pakannya bersumber dari sela-sela antara tanaman pohon karet, variasi jenis hijauan tidak begitu beragam cenderung pemberian pakan agak monoton. Tabel 4. Jenis Hijauan pakan ternak kambing PE di Tasikmalaya dan Cilacap Jenis pakan
makanan. Di lokasi (Tsk) jenis pakan yang intensitas pemberiannya sangat tinggi dan pemberiannya hampir setiap hari yaitu daun albizia, daun lamtoro dan calliandra, sedangkan di Clc adalah rumput lapangan. Perbedaan jenis hijauan menyebabkan perbedaan laju konsumsi harian ternak Rataan konsumsi yaitu di Clc 2,9%, sedangkan di Tsk 2,8% dari bobot hidup tertera pada Tabel 5. Laju konsumsi bahan kering pada pengamatan sedikit dibawah standar NRC yaitu 3,3% dari bobot hidup. (NRC, 1975). Laju konsumsi bahan kering sangat dipengaruhi oleh jenis dan bentuk pakan yang diberikan. Laju konsumsi pada pengamatan ini mungkin belum mewakili kondisi sebenarnya, hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu dan sulitnya pengukuran secara harian dilapangan. Analisis proximat atas sample pakan menunjukkan bahwa pakan di Tsk memiliki kualitas nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan lokasi yang Clc.
Lokasi pengamatan Tsk
Clc
Daun kacang tanah
*
Daun callopo
**
Daun albizia
***
Daun calliandra
***
Daun Lamtoro
***
Daun ubi jalar
**
Daun singkong
**
Daun pohon alpukat
*
Daun manglid
*
Daun gemitri
*
Daun pisang
**
Daun pepaya
*
Daun glirisidia
**
Rumput lapangan
*
***
Daun Pakis
*
**
***= Intensitas pemberian sangat sering (hampir setiap hari) ** = Intensitas pemberian sedang (2 x seminggu) * = Intensitas pemberian jarang (1 bulan sekali)
Variabilitas jenis pakan yang diberikan memberikan peluang pada kambing dalam melakukan seleksi pakan. Hal ini sangat penting mengingat kambing dikenal memiliki sifat seleksi yang tinggi terhadap jenis
Pertumbuhan Secara umum dapat dikatakan bahwa pertumbuhan anak kambing di lokasi (Tsk) lebih baik dibandingkan dengan (Clc). Pola pertumbuhan anak kambing di kedua lokasi tertera pada Gambar 1. Terlihat bahwa setiap titik pengamatan ternak kambing di (Tsk) selalu lebih tinggi bila dibandingkan dengan ternak yang ada di Clc. Pertambahan bobot hidup harian pra-sapih di kedua lokasi berkisar antara 86–115 g/ekor/hari tertera pada Tabel 6, lebih bobot dibandingkan dengan hasil (63,74–91,48 g/ekor/hari) yang pernah dilaporkan (TJIPTOSUMIRAT, 1997; SUTAMA, 1997). Bobot sapih pada pengamatan ini yaitu berkisar antara 11–15 kg, masih pada kisaran yang pernah dilaporkan SUTAMA et al, (1997) dan ADIATI et al. (1997) yaitu 11–13 kg. Pertumbuhan anak jantan pra-sapih di kedua lokasi cenderung lebih bobot dibandingkan dengan anak betina tertera pada Tabel 6. Lebih dari itu type anak tunggal memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan tipe kelahiran kembar. Hasil pengamatan ini juga menunjukkan bahwa performance kambing PE dikedua lokasi selalu lebih tinggi dibandingkan dengan ternak kontrol (non PE). Hal ini wajar karena perbedaan jenis/ras ternak yang berbeda.
655
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 5. Rataan konsumsi kambing PE dewasa di Tasikmalaya dan Cilacap tahun 2004 Lokasi pengamatan
Jenis pakan
Tasikmalaya
Cilacap
Bahan kering (g/ekor/hari)
1241
1139
Bahan kering /BB/hari (%)
2,70
2,98
Protein kasar (g/ekor/hari)
265
145
Bobot (kg)
Rataan konsumsi ternak dewasa
30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Tsk Clc
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (bulan)
Gambar 1. Pertumbuhan anak kambing PE di Tasikmalaya dan Cilacap Tabel 6. Rataan bobot lahir, pertumbuhan dan bobot sapih di Cilacap dan Tasikmalaya. (Rataan ± SD) Lokasi pengamatan Parameter
Tasikmalaya
Cilacap
Pengamatan
Kontrol
Pengamatan
20
8
15
4
3,07 ± 0,47
2, ± 0,50
2,64 ± 0,46
2.5 ± 0,48
Jantan
110,8 ± 20
70,5 ± 18
98,5 ± 17,3
75,8 ± 35
Betina
98,7 ± 16
70,7 ± 35
86,6 ± 28,6
70 ± 20
Tunggal
105,0 ± 74
90,0 ± 56
101,7 ± 26,3
75 ± 15
Kembar dua
95,9 ± 13.
85,5 ± 63
90,7 ± 31,3
65 ± 10
Jumlah ternak Bobot lahir (kg/ekor)
Kontrol
Pertumbuhan prasapih (g/ekor/hari)
Bobot umur 3 bulan (kg/ekor) Jumlah ternak Jantan
30
7
25
5
13,61 ± 1,7
9,0 ± 1.0
12,6 ± 2,3
8,5 ± 3,1
Betina
13,23 ± 1,1
8,5 ± 1.2
11,02 ± 1,8
8,0 ± 2,5
Tunggal
14,25 ± 1,8
9,5 ± 2.7
13,04 ± 1,1
8,8 ± 2,1
Kembar dua
13,13 ± 1,2
7,0 ± 2.5
11,57 ± 2,0
6,0 ± 1,0
656
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Analisis ekonomi Keuntungan merupakan salah satu barometer keberhasilan suatu usaha. Tinggi rendahnya tingkat keuntungan sangat ditentukan oleh efektivitas dan efisiensi penggunaan input menjadi output. Pada usaha pemeliharaan ternak (industri biologis) tingkat keuntungan sangat ditentukan oleh efektivitas ternak dalam merubah input (pakan) untuk dijadikan output (daging, dan susu). Begitu pula halnya dengan ternak kambing PE yang dikenal sebagai ternak dwiguna (penghasil susu dan daging), maka tingkat keuntungannya sangat ditentukan efisiensi kambing PE tersebut dalam memetabolis pakan menjadi produk susu dan daging. Pengeluaran usaha Pada pengamatan ini jenis pengeluaran diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu biaya tenaga kerja (manajemen pemeliharaan), biaya obat-obatan, dan biaya kandang dan biaya penyusutan. Biaya tenaga kerja Biaya tenaga kerja untuk manajemen pemeliharaan dapat dibagi menjadi tenaga
untuk mencari pakan ternak, pemberian pakan, tenaga untuk membersihkan kandang dan tenaga kerja untuk pengawasan kesehatan ternak dan pengobatan. Jumlah curahan waktu per tahun yang digunakan oleh para peternak untuk mengurus ternaknya di kedua lokasi pengamatan yang diukur dengan hari orang kerja (HOK) yaitu 101 dan 131 untuk masing-masing Tasikmalaya dan Cilacap tertera pada Tabel 7. Jumlah tersebut setara dengan 30% dari total waktu kerja petani. Dari total curahan tenaga kerja tersebut, maka sebanyak 60-70% merupakan waktu mencari pakan ternak Tingginya curahan tenaga kerja untuk memcari pakan dimasing-masing lokasi sangat dipengaruhi oleh jarak sumber tanaman pakan ternak dengan lokasi kandang. Dilokasi Tasikmalaya jarak sumber pakan ternak yaitu 1,5 km, jarak tersebut hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sementara itu, di lokasi Cilacap sumber pakan ternak relatif lebih jauh, yaitu dengan rataan 2,5 km, namun dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor. Dari total curahan tenaga kerja yang dihabiskan untuk tenaga kerja, dan dengan asumsi bahwa tingkat upah tenaga kerja harian di kedua lokasi yaitu sebesar Rp. 12.500/hari, maka biaya tenaga kerja untuk masing-masing lokasi Tasikmalaya dan Cilacap yaitu sebesar Rp. 1.263.000 dan 1.641.000
Tabel 7. Rataan alokasi tenaga kerja petani untuk usaha ternak kambing PE selama 1 tahun Jenis kegiatan untuk usaha ternak
Tasikmalaya (Tsk) Frekuensi Lama (kali) kegiatan (jam)
Cilacap (Clc) HOK/ tahun
Frekuensi (kali)
Lama kegiatan (jam)
HOK tahun
Mengarit
365
1
60,8
365
1,5
91,3
Memberikan pakan
730
0,25
30,4
730
0,25
30,4
Membersihkan kandang
365
0,25
6,1
365
0,1
6,1
Pengobatan/pengamatan kesehatan ternak
365
0,05
3,0
365
0,05
3,0
4
1
0,7
3
1
0,5
Pengangkutan kotoran Total HOK/tahun Biaya (Rp./tahun)
101 1.263.021
131,3 1.641.146
Asumsi: 1 HOK = 6 jam kerja/hari Rate per HOK = Rp. 12.500 -
657
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
yaitu Rp. 113.000 dan Rp. 101.000 untuk Cilacap dan Tasikmalaya.
Biaya penyusutan Biaya penyusutan merupakan biaya non kas yang diperhitungkan dalam biaya produksi. Besarnya biaya penyusutan ditentukan oleh harga perolehan (beli) dan umur ekonomis barang tersebut. Perhitungan biaya penyusutan pada pengamatan ini berdasarkan total nilai perolehan pembangunan kandang ditambah dengan peralatan kandang lainnya yang digunakan sehari-hari untuk memelihara ternak. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan para peternak kooperator. Rataan nilai perolehan untuk pengadaan kandang di masing-masing lokasi Tasikmalaya (Tsk) dan Cilacap (Clc) yaitu berturut-turut sebesar Rp.405.000,- dan Rp.450.000 tertera pada Table 8. Kedua lokasi menggunakan kandang system panggung, dengan atap dari genteng. Bagian tertentu kandang (tiang) rata-rata menggunakan bahan dari kayu balok. Total penyusutan yang dibebankan untuk perhitungan biaya pemeliharaan untuk masing-masing lokasi
Penerimaan Sumber penerimaan utama pada pada pemeliharaan ternak kambing ini pada analisis ini yaitu bersumber dari penjualan ternak, dan dari penerimaan pupuk kandang. Patokan harga ternak yang digunakan pada analisis ini didasarkan pada harga setempat. Harga ternak tipe bibit, yaitu Rp. 20.000/kg bobot hidup, sedangkan untuk harga pupuk kandang yaitu Rp. 3.500/karung. Analisis keuntungan Dengan memperhitungkan semua pengeluaran untuk proses pemeliharaan ternak kambing, analisis keuntungan pemeliharan kambing PE tertera pada Tabel 9.
Tabel 8. Nilai penyusutan inventaris peralatan kandang usaha ternak kambing PE. (Rp.) Tasikmalaya (Tsk)
Jenis inventaris Nilai perolehan Kandang Peralatan kandang Cangkul Arit Keranjang Golok Alokasi biaya penyusutan (Rp./tahun)
Umur ekonomis
Cilacap (Clc)
Nilai penyusutan (Rp./tahun)
Nilai Umur perolehan ekonomis
Nilai Penyusutan (Rp/tahun)
405.000
5
81.000
450.000
5
90.000
25.000 12.500 5.000 7.500
3 3 1 3
8.333 4.167 5.000 2.500
30.000 15.000 5.000 10.000
3 3 1 3
10.000 5.000 5.000 3.333
101.000
113.333
Tabel 9. Rataan perolehan keuntungan per tahun usaha pemeliharaan kambing PE skala pemeliharaan 3 ekor induk (Rp.) Parameter Penerimaan Biaya tenaga kerja Alokasi biaya penyusutan Total biaya Net cash benefit
658
Lokasi pengamatan Tasikmalaya 612.000 1.263.021 101.000 1.364.021 511.000
Cilacap 684.000 1.641.146 113.333 1.754.479 571.200
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Hasil perhitungan yang didasarkan atas biaya yang secara riil keluar dengan tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja (net cash benefit) menunjukkan bahwa peternak dikedua lokasi pengamatan menghasilkan keuntungan yaitu masing-masing sebesar Rp. 511.000 dan Rp. 571.000 berturut-turut untuk lokasi Tasikmalaya dan Cilacap. KESIMPULAN Tingkat kebuntingan yang dicapai berkisar 69–100%, dengan rataan bobot lahir di kedua lokasi yaitu 2,6–3,0kg. Pertambahan bobot hidup harian prasapih di kedua lokasi berkisar antara 86–115 g/ekor/ hari, dengan bobot hidup anak umur 3 bulan yaitu mencapai 11–15 kg. Analisis ekonomi, menunjukkan bahwa dengan tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja pada komponen biaya usaha, terlihat bahwa pemeliharaan ternak kambing dapat menghasilkan keuntungan. DAFTAR PUSTAKA ADIATI, U., HASTONO, RSG. SIANTURI, THAMRIN D. CHANIAGO dan I-K. SUTAMA. 1997. Sinkronisasi birahi secara biologis pada kambing Peranakan Etawah. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Jilid II. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 411–416. BUDIARSANA, IGM., I-KETUT SUTAMA, T. KOSTAMAN, M. MARTAWIDJAJA, HASTONO, MAULANA S. HIDAYAT, RIAD SUKMANA, BACHTIAR, GUNAWAN dan MULYAWAN. 2001. Uji Multi Lokasi Kambing Peranakan Etawah. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak 2001. MASON, I.L. 1981. Breed in Goat. Ed. Goat Production, Academic Press London. RASNA N.M.A. 1996. Pengaruh penyuntikan PMSG terhadap kelahiran kembar pada kambing dara. Thesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
RESSANG, A.A., H. FISHER and A. MUCHLIS. 1959. The Indonesian Veterinerian His Education, activities and problem. Comm. Vet 3(12): 55. Dalam Beberapa parameter genetic sifat kuantitatif kambing Peranakan Etawah. ENDANG, T.J. Thesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 1986. SETIADI, B. dan M. MARTWIDJAJA. 1999. Peningkatan usaha kambing melalui perbaikan mutu genetik (persilangan Kambing PE dengan Kambing tipe potong) dan lingkungan. Laporan Penelitian tahun 1998/1999. Balai Penelitian Ternak 1999. SUBHAGIANA, I.W. 1998. Keadaan konsentrasi progesterone dan estradiol selama kebuntingan, bobot lahir dan jumlah anak pada kambing Peranakan Etawah pada tingkat produksi susu yang berbeda. Thesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. SUTAMA I-K., B. SETIADI, SUBANDRYO, I-G.M. BUDIARSANA, T. KOSTAMAN, M. MARTAWIDJAJA, MAULANA, S.H. MULYAWAN, dan BAHTIAR 2003. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2002. Buku I. Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak. SUTAMA, I.K,. I-G.M. BUDIARSANA, H. SETIANTO and A. PRIYANTI. 1995. Productive and reproductive performances of young Peranakan Etawah. JITV. SUTAMA, I-K. 1994. Puberty and early reproductive performance of peranakan Etawah Goat. Proc. 5th AAAP Anim.Sci. Congr. Bali, Indonesia. SUTAMA, I-K., B. SETIADI, IGM. BUDIARSANA dan U. ADSIATI. 1997. Aktivitas sexual setelah beranakdari kambing perah Peranakan Etawah dengan tingkat produksi susu yang berbeda. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Jilid II. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm.401–409. TJIPTOSUMIRAT, T. dan SANTOSO. 1997. Pengaruh suplementasi pada masa akhir kebuntingan kambing Peranakan Etawah (PE) di Sumberejo, Jawa Tengah. 1997. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Jilid II. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 601–607.
659