Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH IGM. BUDIARSANA dan I-KETUT SUTAMA Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221, Ciawi – Bogor 16002
ABSTRAK Kambing PE merupakan salah satu plasma nutfah ternak kambing Indonesia yang memiliki ciri khas yaitu sebagai kambing dwi guna (daging dan susu). Pengamatan dilaksanakan di stasiun kandang percobaan Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, dan ditingkat peternak di daerah sumber bibit kambing PE yaitu Kaligesing Purworejo (Jawa Tengah) dan Kulonprogo (DI Yogyakarta), dan di daerah pengembangan kambing PE yaitu Cilacap, Tasikmalaya dan Sleman, serta di perusahaan komersial di Cariu, Jawa Barat. Di stasiun percobaan Balai Penelitian Ternak pengamatan terhadap kelahiran anak (berat lahir, seks rasio, litter size, dimensi tubuh), pertumbuhan pra dan pasca sapih, berat sapih, pola warna bulu, dimensi tubuh ternak induk (dewasa). Sedangkan di daerah sumber bibit dan daerah pengembangan dilakukan pengumpulan data jumlah kepemilikan ternak per petani, pengukuran data biologis dilakukan pada ternak dewasa saja (gigi tetap 4) yaitu terhadap pola warna bulu, berat dan dimensi tubuh, jumlah dan seks rasio anak yang lahir. Di tingkat petani, produk utama kambing PE adalah ternak bibit/potong, sedangkan produksi susu kambing masih terbatas. Oleh karena itu sebagian besar ternak yang dimiliki petani adalah ternak induk (39.7%) dan anak (20.9%) dari total pemilikan ternak per petani sebanyak 6.39 ekor (range 1 – 21 ekor/peternak). Sebaliknya di perusahaan swasta, pemerahan susu memang dilakukan untuk tujuan komersial. Produktivitas induk yang ditunjukkan dengan liter size tidak berbeda antar lokasi pengamatan (rataan 1.4) namun berat induk dewasa lebih tinggi di daerah sumber bibit (46 kg) dari daerah lainnya ( < 41 kg). Di Balai Penelitian Ternak diperoleh rataan berat lahir anak adalah 3.6 kg, dengan produksi susu yang relatif cukup tinggi (rataan 766 g/ekor/hari) selama 90 hari pertama laktasi. Rataan tingkat pertumbuhan anak pra-sapih yang diperoleh adalah 84 g/hari dan berat sapih 11.9 kg/ekor. Tingkat kematian anak pra-sapih yang masih relatif tinggi (17.65%). Dimensi tubuh ternak induk di daerah sumber bibit (Kaligesing) terlihat lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya, menunjukkan petani sudah melakukan seleksi dan mempertahankan ternak-ternak yang dianggap lebih unggul. Warna bulu putih di bagian badan dan hitam atau coklat di kepala merupakan dua pola warna yang disukai petani. Tingginya berat badan, jumlah anak sekelahiran (LS) dan produksi susu adalah beberapa karakter produksi yang menunjukkan keungulan dari kambing PE ini di Indonesia. Oleh karena itu sangat penting untuk melestarikan dan mengembangkan plasma nutfah ternak yang sangat berharga ini. Melibatkan petani dalam program pelestarian plasma nutfah kambing PE adalah salah satu cara untuk mengurangi dan mengindari pengurasan secara berlebihan dari plasma nutfah ini. Kata kunci: Kambing PE, produktivitas
PENDAHULUAN Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan salah satu plasma nutfah ternak kambing Indonesia yang jumlah populasinya belum diketahui secara pasti. Dilihat sari daerah penyebarannya yang tidak begitu luas mengindikasikan populasi ternak ini tidak terlalu banyak dibandingkan dengan kambing kacang yang hampir tersebar di seluruh nusantaranya. Menurut tipenya, rumpun kambing PE termasuk kambing dwi guna (daging dan susu), dengan tingkat produksi susu sekitar 0,45 – 2,1 l/h/laktasi (OBST dan NAPITUPULU, 1984;
SUTAMA et al., 1995; ADRIANI et al., 2003). Namun hingga saat ini usaha pemeliharaan kambing PE lebih banyak ditujukan untuk produkksi anak/bibit/daging. Kemampuan produksi susu dari kambing PE disebabkan adanya genotipe Etawah yang menurut tipenya termasuk tipe perah. Beragamnya produksi susu banyak berhubungan dengan beragamnya proporsi genotipe Etawah dan atau lingkungan yang menyertainya. Tidak adanya sistem perkawinan yang terarah selama ini mengakibatkan produktivitas ternak ini masih sangat beragam. Demikian pula secara kasat mata dapat diketahui adanya variasi yang begitu besar pada tampilan fisik kambing ini.
215
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Usaha perbaikan produktivitas kambing lokal (Kacang) dengan PE telah banyak dilakukan sehingga kemurnian kambing kacang maupun kambing PE di daerah pengembangan semakin terancam. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pola breeding yang dilakukan petani umumnya masih seadanya tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pemuliabiakan yang baku. Dengan demikian dalam waktu cepat akan terjadi degradasi kemurnian mutu genetik kambing lokal Indonesia termasuk kambing PE. Pemurnian kambing ini sangat diperlukan dalam upaya penyelamatan plasma nutfah ternak lokal yang sangat berharga ini. Pemurnian kambing PE di daerah sumber bibit yang dilakukan petani selama ini sangat membantu mengurangi kecepatan degradasi mutu kambing PE di Indonesia. Informasi biologis kambing PE ini baik ditingkat petani (in situ) maupun diluar habitat aslinya (ex situ) perlu diketahui dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah ternak kiambing PE ini dimasa mendatang. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di stasiun percobaan Balai Penelitian Ternak Ciawi, dan di daerah sumber bibit kambing PE yaitu Purworejo (Jawa Tengah) dan Kulonprogo (DI Yogyakarta) serta di daerah pengembangan kambing PE yaitu Tasikmalaya dan Sleman, serta di perusahaan komersial diaderah Cariu, Jawa Barat. Penelitian di Balinak menggunakan 50 ekor betina dan 5 ekor jantan dewasa. Ternak ini akan dipelihara secara kelompok (6–8 ekor per kelompok), dan dikawinkan secara alami. Jenis dan jumlah pakan yang diberikan adalah pakan standar yang terdiri dari rumput Raja segar dan konsentrat (500 – 750 g/ekor/hari). Anak disapih pada umur 3 bulan, dan induk kembali dikawinkan segera setelah birahi tampak. Parameter yang diukur antara lain data kelahiran anak (berat lahir, seks rasio, litter size, dimensi tubuh), pertumbuhan pra dan pasca sapih, berat sapih, pola warna bulu, dimensi tubuh ternak induk (dewasa) dan karakteristik darahnya (RBC, WBC, PCV). Di daerah sumber bibit dan daerah pengembangan akan dilakukan pengumpulan data jumlah
216
kepemilikan ternak per petani, pengukuran data biologis dilakukan pada ternak dewasa saja (gigi tetap 4) yaitu terhadap pola warna bulu, berat dan dimensi tubuh, jumlah dan seks rasio anak lahir. Informasi lain seperti pola pemeliharaan, jenis dan jumlah pakan yang diberikan, kondisi kesehatan ternak dan tingkat kematian juga akan digali melalui wawancara dan pengamatan langsung dilapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Tatalaksana pemeliharaan kambing perah Peranakan Etawah (PE) di tingkat lapang Dari kunjungan lapang diketahui bahwa, secara umum pemeliharaan kambing PE, khususnya di daerah sumber bibit di Kaligesing dan Kulon Progo serta didaerah pengembangan yaitu di Sleman, DIY dan Tasik Malaya Jawa Barat, umumnya adalah dikandangkan. Kandangnya adalah kandang panggung dengan lantai kandang 50–70 cm diatas permukaan tanah. Lokasi kandang umumnya dilahan petani masing-masing di dekat rumah tinggal, Di Sleman dijumpai adanya kandang kelompok (koloni) dalam hamparan lahan milik desa. Kondisi kandang masih sangat bervariasi dan pada umumnya masih perlu ditingkatkan. Pembagian ruang (space) kandang untuk status reproduksi tertentu telah dibuat. Luasan kandang beranak, laktasi dan pejantan bervariasi antara 1,5 – 2 m2. Sedangkan untuk status reproduksi yang lain tidak disediakan ukuran yang mutlak. Bahan kandang umumnya memanfaatkan bahan yang tersedia secara lokal, dengan atap genteng banyak dijumpai diberbagai lokasi. Pada usaha peternakan yang sudah relative maju kondisi kandangnya secara teknis lebih baik dan permanen. Jumlah pemilikan ternak sangat bervariasi antar petani dimasing-masing lokasi (Tabel 1). Jumlah pemilikan ternak tertinggi per petani terdapat di Cilacap (7,4 ekor) disusul Kaligesing (7 ekor). Disemua lokasi jumlah ternak induk adalah terbanya >2 ekor/petani, dan ternak pemacek (pejantan) jumlahnya sangat rendah < 1 ekor menunjukkan banyaknya petani yang tidak memiliki ternak pejantan pemacek. Dalam hal ini petani akan meminjam ternak pemacek untuk mengawini ternaknya dari petani lain. Secara keseluruhan
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
rataan jumlah pemilikan ternak per petani adalah 6.39 ekor dimana bagian terbanyak adalah induk betina (39.70%), disusul anak 20.94%). Persentase betina dan jantan muda adalah hampir sama masing-masing 17.49% dan 16.20%, dan pejantan adalah terendah yaitu 5.68%. Pakan yang diberikan adalah pakan hijauan dan penambahan pakan penguat (konsentrat) tidak ditemukan, Jenis hijauan yang diberikan sangat beragam dari satu daerah ke daerah lain, sesuai dengan kondisi alam setempat. Hampir semua jenis hijauan baik tanaman yang khusus sebagai pakan ternak maupun hasil ikutan tanaman pangan dijadikan sebagai pakan ternak. Jenis hijauan yang bersumber dari hasil ikutan tanaman pangan, a.l. daun pisang, daun
nangka, daun singkong, daun pepaya dan daun ubijalar. Akan tetapi hijauan yang paling sering diberikan ternak dan menjadi patokan nutrisi dalam pemberian pakan yaitu 40% daun Calliandra, sisanya 60% terdiri dari campuran berbagai daun antara lain Glirisidia, Gajah, daun Albizia dan rumput lapangan. Kendala yang selalu ditemui dalam penyediaan pakan yaitu kurangnya sumber pakan hijauan pada musim kemarau, yang terjadi hampir setiap tahun. Pada kondisi seperti ini alternatif penyediaan pakan biasanya dilakukan dengan cara mencari jauh (1–2 km) ke tempat lain. Upaya untuk mengawetkan pakan hijauan untuk persediaan di musim kering belum dilakukan.
Tabel 1. Jumlah pemilikan ternak per petani di beberapa lokasi penelitian
Lokasi
Jumlah Jumlah ternak (ekor) peternak
Sleman Kaligesing Tasikmalaya Cilacap
36 15 9 6
5,61 (1-10) 7,00 (1-21) 5,56 (1-10) 7,38 (4-8)
Anak (ekor) 1,25 1,00 1,22 1,88
Rataan
66
6.39 (1-21)
1.34 (20.94%)
Kawin alam merupakan sistem perkawinan yang umum dijumpai. Walaupun demikian ada juga yang memiliki pejantan sehingga harus meminjam dari petani lain. Kamping PE ditingkat petani cukup prolifik dengan anak yang lahir 1–3 ekor/induk. Secara umum gangguan penyakit pada kambing PE relative kecil. Beberapa jenis penyakit yang sifatnya ringan dan ditemui di tingkat peternak, a.l. penyakit kudis dan mastitis. Pengobatan penyakit mastitis biasanya dilakukan oleh petugas Dinas Peternakan, namun pengobatan untuk kasus penyakit kudis peternak cenderung menggunakan obat tradisional karena penggunaan obat komersial (ivomex) terlalu mahal. Obat tradisional yang sering digunakan yaitu oli bekas dicampur dengan belerang. Pemerahan susu kambing belum banyak dilakukan, tapi sudah mulai berkembang. Pada peternak yang melakukan pemerahan susu kambing, pemerahan umumnya dilakukan
Induk (ekor) 2,06 3,33 2,00 2,75 2.53 (39.70%)
Umur Betina muda Jantan muda Pejantan (ekor) (ekor) (ekor) 1,31 0,67 0,33 1,13 1,00 0,53 0,78 1,22 0,33 1,25 1,25 0,25 1.12 (17.49%)
1.03 (16.20%)
0.36 (5.68%)
sekali per hari, dengan produksi sekitar 1 liter/ekor/hari. Kinerja produksi Dilihat dari data berat badan induk dewasa terlihat bahwa kambing di daerah sumber bibit memiliki rataan berat badan dewasa yang lebih tinggi dari daerah lainnya. Hal ini menunjukkan petani di daerah sumber bibit telah melakukan seleksi “ala petani” terhadap ternak yang dipeliharanya dan berat badan sebagai cerminan tingkat pertumbuhan menjadi salah satu factor seleksi yang dipergunakan (SUTONO, komunikasi langsung). Disamping itu penampilan tubuh secara umum juga suatu hal penting dan bahkan menjadi faktor utama dalam petani meklasifikasikan ternaknya. Jumlah anak sekelahiran (LS) hampir sama disemua lokasi berkisar 1.38 – 1.46, dan persentase anak jantan selalu lebih tinggi dari anak betina (Tabel 2).
217
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Tabel 2. Kinerja produksi kambing PE di stasiun percobaan Balai Penelitian Ternak Lokasi Parameter
Jumlah induk yang diamati (ekor) Berat badan dewasa (kg) LS Rasio jantan : betina (%) Berat lahir anak (kg) ADG anak pra sapih (g/hari) Berat sapih (kg) ADG anak pasca sapih (3–6 bulan (g/h) Mortalitas anak pra sapih (%) Produksi susu 0–90 hari laktasi (g/h)
Daerah Perusahaan Sumber bibit pengembangan Balai Penelitian Komersial (Kaligesing (Sleman, Ternak (Cariu – Jawa dan Tasikmalaya dan Barat) Kulon Progo) Cilacap) 32 63 36 78 39.50 ± 7.43 39.38 ± 8.32 46.01 ± 1.83 40.27 ± 7.87 1.46 ± 0.57 1.38 ± 0.46 1.42 ± 0.42 1.38 ± 0.51 54.9 ± 45.1 51.2 ± 49.8 55.4 ± 44.6 50.2 ± 49.8 3.57 ± 0.86 – – – 84.67 ± 11.02 – – – 11.90 ± 1.12 – – – 52.3 ± 8.25 – – – 17.65 – – – 765.5 ± 86.8 – – –
Tabel 3. Dimensi tubuh kambing PE jantan dewasa Laktasi Sleman Cilacap Tasikmalaya Kaligesing/ Kulon Progo Cariu (Swasta) Ciawi Balitnak
Umur (gigi Tinggi badan tetap (cm) 9 2–4 2.39 ± 0.25 4 4–6 2.53 ± 0.14 2 6 2.70 ± 0.37 23 2 2.42 ± 0.25 N
Dimensi tubuh Lingkar dada Panjang badan Panjang telinga Berat badan (cm) (cm) (cm) (kg) 8.49 ± 0.85 24.72 ± 2.66 8955 ± 2320 48.83 ± 13.77 8.78 ± 0.73 25.83 ± 1.86 12272 ± 3987 39.88 ± 9.78 8.33 ± 0.88 25.17 ± 3.08 13432 ± 3188 66.00 ± 2.12 7.82 ± 0.80 23.25 ± 3.32 15859 ± 1942 43.63 ± 10.46
2
4
2.27 ± 0.70
7.89 ± 0.81
23.25 ± 3.32
11975 ± 2559
75.50 ± 10.61
8
4–6
2.67 ± 0.23
8.58 ± 0.86
26.12 ± 3.93
11244 ± 2373
64.10 ± 3.16
Data lain seperti berat lahir, pertumbuhan, mortalitas dan produksi susu ditingkat petani sulit diperoleh karena tidak adanya pencatatan yang dilakukan petani. Namun dari informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan petani bahwa tingkat kematian anak kambing pra-sapih relatif rendah (<10%). Hal ini terkait dengan intensitas pengawasan oleh petani terhadap ternaknya. Keterlibatan hampir semua anggota keluarga dalam pemeliharaan ternak ini berpengaruh positif terhadap kinerja ternak tersebut. Hasil pengamatan di Balai Penelitian Ternak, diperoleh rataan mortalitas yang relatif tinggi yaitu 17.65% namun masih lebih rendah dari hasil yang pernah dilaporkan Sutama, dkk 2003 yaitu sebesar 28%. Produksi susu selama 3 bulan laktasi pada pengamatan ini adalah 765 g/hari. Pemerahan susu kambing didaerah
218
sumber bibit belum banyak dilakukan, dan kalaupun ada hanya pada ternak yang anaknya sudah disapih atau mati, sehingga gambaran potensi susu ternak ditingkat petani tidak diperoleh. Namun dari hasil wawancara dengan petani dilaporkan produksi susu kambing peliharaannya dapat mencapai 1.5 liter per sekali perah per hari. Informasi ini belum dapat dijadikan gambaran potensi produksi susu, namun dapat memberikan indikasi bahwa ada ternak-ternak yang mempunyai potensi produksi susu yang cukup tinggi pada kambing PE. Oleh karena itu seleksi terhadap ternakternak dengan produksi susu tinggi akan dapat meningkatkan produksi susu suatu populasi kambing PE.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Dimensi tubuh kambing PE Data dimensi tubuh kambing PE jantan dewasa dari berbagai lokasi pengamatan ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi demensi tubuh kambing PE yang cukup besar antar lokasi, dimana pada umur yang sama (gigi tetap 4 – 6) ukuran tertinggi diperoleh pada kambing PE di Cariu, Tasik dan Balitnak. Untuk lokasi Cariu dan Balitnak, hal ini dapat dimengerti mengingat kedua lokasi tersebut telah melakukan seleksi terhadap pejantan yang akan tetap dipertahankan dilokasi, sehingga jumlah ternak pada kedua lokasi ini adalah sangat sedikit (2 – 8 ekor). Hal yang menarik terjadi di Kaligesing dimana sangat sulit ditemukan kambing PE jantan yang mempunyai gigi tetap >2. Pada umumnya petani didaerah ini akan menjual ternaknya pada umur muda gigi tetap 0 – 2, karena pada umur ini akan diperoleh tingkat harga yang cukup tinggi. Pemanfaatan ternak jantan sebagai pemacek juga relatif singkat. Pejantan umur sekitar 1 – 2 tahun (gigi 0 – 2) umumnya mempunyai aktivitas seksual yang sangat tinggi (sangat aktif), dan oleh karenanya petani akan memanfaatkan ternak ini pada periode tersebut untuk tujuan breeding lalu menjualnya dan ternak ini masih
mempunyai nilai jual yang tinggi. Pada umur ini kondisi ternak ini umumnya sedang mencapai puncaknya, sehingga penampilan eksteriornya sangat baik. Faktor inilah yang menjadi satu dari berbagai alasan mengapa petani didaerah Kaligesing menjual ternak kambing PE jantan pada umur muda. Berbeda halnya dengan ternak betina, sangat mudah menemukan betina dewasa dalam berbagai tingkatan umur. Petani masih mempertahankan ternak induk samapi umur cukup tua (gigi tetap 8). Ternak betina yang dipelihara petani adalah ternak pilihan sehingga ternak tersebut akan tetap dipertahankan yang merupakan modal usaha petani, sedangkan anaknya baru dijual. Tinggi badan PE induk (dewasa) > 75 cm dengan rataan berat badan dari berbagai lokasi berkisar 39 – 46 kg (Tabel 4). Dari data pada Table 4 juga dapat dilihat bahwa dimensi tubuh kambing PE induk di daerah pengembangan yang diwakili oleh daerah Sleman, Cilacap dan Tasikmalaya lebih rendah dari daerah sumber bibit (Kaligesing), sedangkan untuk Cariu dan Balitnak yang melakukan program seleksi terhadap ternak yang dipeliharanya dan sering menambah ternak dari daerah sumber bibit, deminsi tubuh ternak pada kedua lokasi ini cenderung sama dengan ternak dari Kaligesing.
Tabel 4. Dimensi tubuh kambing PE jantan dewasa Lokasi Sleman Cilacap Tasik Kaligesing/ Kulonprogo Cariu (Swasta) Ciawi (Balitnak)
Dimensi tubuh Umur N (gigi Tinggi badan Lingkar dada Panjang badan Panjang telinga Berat badan (kg) tetap) (Cm) (Cm) (Cm) (Cm) 9 2-4 79.11 ± 8.72 85.00 ± 6.80 87.22 ± 8.80 29.78 ± 3.56 48.83 ±13.77 4 4-6 78.00 ± 4.97 80.75 ± 6.45 81.75 ± 11.24 27.25 ± 2.99 39.88 ± 9.78 2 6 92.00 ± 4.24 95.00 ± 1.41 88.00 ± 12.73 29.50 ± 0.71 66.00 ± 2.12 23
2
80.61 ± 6.31
81.00 ± 5.84
82.43 ± 7.56
31.52 ± 3.20
43.63 ±10.46
2
4
87.00 ± 7.07
93.50 ± 9.19
93.00 ± 9.90
35.00 ± 2.83
75.50 ± 10.61
8
4-6
93.20 ± 4.42
94.00 ± 2.42 87.40 ± 14.53
28.92 ± 0.81
64.10 ± 3.16
Pola warna bulu Warna bulu putih merupakan warna bulu dominan pada kambing PE di Sleman dan Kaligesing. Pola warna yang yang umum dijumpai pada kambing di kediua lokasi tersebut adalah putih dengan belang/bercak
hitam atau coklat atau kompinasi ketiga warna tersebut (putih, hitam dan coklat). Di Sleman 68.42% kambing PE berwarna putih belang coklat dan 10% warna putih. Sebaliknya di Kaligesing, ternk yang dipelihara petani 62.03% adalah berwarna putih dengan belang hitam, dan 3291% putih belang coklat. Tidak
219
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
dijumapai adanya ternak dengan warna bulu hitam mulus, sedangkan ternak kambing dengan warna coklat dijumpai dalam jumlah yang rendah (1.27-5.26%) (Tabel 5). Warna hitam atau coklat umumnya dijumpai dibagian kepala dan leher. Warna bulu in terkait dengan kesenangan petani terhadap ternaknya dan ini
mungkin sifatnya personal, namun ada kecenderungan bahwa ternak berwarna putih dengan kepala hitam mempunyai harga yang lebih tinggi dari warna lainnya. Kaitan antara warna bulu dengan tingkat produksi ternak bersangkutan belum diketahui.
Tabel 5. Pola warna bulu ternak kambing di daerah sumber bibit (Kaligesing) dan daerah pengembangan (Sleman) Pola warna bulu
Lokasi Sleman Kaligesing
N % N %
Hitam
Putih
Coklat
Putih-hitam
Putih-coklat
Putih-hitam-coklat
0 0 0 0
6 10.53 0 0,00
3 5.26 1 1,27
8 14.04 49 62,03
39 68.42 26 32,91
1 1.75 3 3,80
Total 57 100 79 100
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Kambing PE sebagai salah satu plasma nutfah ternak nasional mempunyai peran yang sangat besar bagi kehidupan petani khususnya didaerah sumber bibit. Walaupun demikian masih ada dijumpai dengan jumlah pemilikan ternak yang hanya 1 ekor, menunjukkan ternak ini masih tetap dipelihara sebagai sambilan saja. Pada hal jika dikelola dengan baik akan dapat memberikan sumbangan pendapat yang cukup berarti bagi keluarga, apalagi kalau susu ternak tersebut (766 g/ekor/hari) juga dapat dimanfaatkan paling tidak untuk konsumsi keluarga sendiri. Produktivitas kambing PE cukup tinggi, jumlah anak sekelahiran (LS) 1.4 dengan rataan berat sapih 12 kg. Berat badan induk dewasa 39 – 46 kg, dan pejantan 40 – 75 kg. Di daerah sumber bibit (Kaligesing) petani cenderung tidak mempertahankan pejantan di kandang terlalu lama, dan ternak berwarna putih dengan kepala dan leher hitam merupakan warna pilihan peternak, berbeda dengan di derah pengembangan (Sleman) yang cenderung memilih warna putih dengan kepala dan leher berwarna coklat.
ADRIANI, I-K. SUTAMA, A. SUDONO, T. SUTARDI dan W. MANALU. 2003. Pengaruh Superovulasi sebelum Perkawinan dan Suplementasi Seng terhadap Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah. Jurnal Produksi Ternak, Fak. Peternakan Univ. Jedeneral Soedirman, 6: 8694.
220
OBST, J.M. and Z. NAPITUPULU. 1984. Milk Yields of Indonesian Goats. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 15: 501-504. SUTAMA, I-K., IGM. BUDIARSANA, H. SETIANTO and A. PRIYANTI. 1995. Productive and Reproductive Performances of Young Peranakan Etawah Does. JIlTV 1(2): 81-85. SUTAMA, I-K., B. SETIADI, SUBANDRIYO, IGM. BUDIARSANA, T. KOSTAMAN, M. MARTAWIDJAJA, HIDAYAT, R. SUKMANA, MULYAWAN dan BACHTIAR. 2003. Optimalisasi Produktivitas Kambing Peranakan Etawah untuk Menunjang Produksi Daging dan Susu Nasional. Kumpulan Hasilhasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2002. Buku I Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak Ciawi – Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm. 111142.