SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1999
RESPON FISIOLOGI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIKAWINKAN DENGAN KAMBING SAANEN I-KETUT SUTAMA, R. DHARSANA, B . SETIADI, U. AmATI, R.S .G . SIANTURI, IGM. BUDIARSANA, HASTONO, dan A. ANGGRAENI
Balai Penelitian Tenak, P.O . Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk nlenganlati respon fisiologi kambing PE induk yang dikawinkan dengan pejantan kambing Saanen (Kelompok A) dan PE (Kelompok B). Semua ternak diberi pakan cacahan nlnlput Raja (Pennisetunt purpureophoides) dan konsentrat secukupnya sehingga nlencapai 1,2 - 1,4 kali dari kebutuhan nutrien. Selama kebuntingan karakteristik darah (Hb, erythrosit, leucosit, PCV), frekuensi pernafasan dan suhu rektal dari ternak diukur setiap 2 minggu. Parameter produksi dan reproduksi yang diamati adalah tingkat kebuntingan, lama kebuntingan, junilah anak sekelahiran (litter size), berat lahir anak, berat sapih, tingkat kematian anak, pertunibu11an anak pra-sapill clan produksi susu induk. Hasil penelitian menunjukkan fdak terfllat adanya perbedaan respon fisiologi akibat perbedaan anak yang dikandung difllat dari penlbahan tenlperatur rektal, frekuensi pernafasan, dan denyut nadi selama nlasa kebuntingan, walaupun terdapat kecendenlngan ballwa Kelompok A mempunyai nilai yang lebih tinggi untuk semua parameter yang diukur dibandingkan dengan Kelompok B. Hal yang sebaliknya terjadi pada karakteristik darah dinlana PCV selama kebuntingan pada Kelompok A (25 - 30,8%) cendenmg sedikit lebih rendah dari Kelompok B (29,3 - 33%) . Perbedaan yang lebih jelas terjadi pada haemoglobin (Hb) clan butir-butir darah nlerah (RBC) . Rataan kadar Hb selama kebuntingan pada Kelompok A (9,85 - 10,9 g/1nn13) secara konsisten lebih rendah dari pada Kelompok B (11,1-13,2 g/nun3), nannln perbedaannya pada setiap pengamatan adalah fdak nyata. Hal yang sama jaga terjadi pada kadar RBC yaitu kadarnya lebill rendah pada Kelompok A (856-980 juta/mn13) dari pada Kelompok B (1030 - 1091 jutahnn1 3). Akan tetapi perbedaan ini fdak narnpak selama 3 bulan nlasa laktasi . Ternak pada Kelompok A nlenunjukkan tingkat fertilitas yang lebill tinggi pada berahi (perkawinan) pertama . Ternak pada kelompok ini nlenjadi bunting setelah dua siklus berahi, senlentara pada Kelompok B perlu 3 siklus berahi agar semua ternak jadi bunting . Lania bunting fdak berbeda nyata antar kedua kelompok induk, walaupun Kelompok A mempunyai litter size yang lebill tinggi dibandingkan dengan Kelompok B, clan ini nlenyebabkan berat lahir anak yang lebih tinggi pada Kelompok B. Kadar hornlon progesteron meningkat sesuai dengan nleningkatnya unulr kebuntingan . namun fdak berbeda nyata antar kelompok . Rataan produksi susu pada rninggii pertama laktasi pada Kelompok A lebill tinggi dari Kelompok B (0,801 vs 1,015 kg/11ari) . Perbedaan ini tents berlangsung sampai minggu ke-4 laktasi, kennldian produksi susu dari kedua kelompok induk tersebut hanlpir sama. Rataan produksi susu pada bulan pertama laktasi pada kelompok A clan B masing-nlasing 718 dan 895 g/hari . Berat lahir anak kambing hampir sama pada kedua kelompok induk, walaupun terdapat kecendenlngan ballwa berat lahir anak kambing hasil silangan PE x Saanen lebih rendah dari anak kambing PE x PE, baik pada kelahiran tunggal, kenlbar dua Inaupun kenlbar fga, serta pada anak jantan clan befna. Kedua 224
SeninarNasionalPeternakan dan Veteriner 1999
Keompok anak kambing ini juga memperlihatkan pertumbuhan pra-sapih (44 vs 39 g/hari) dan berat sapih (7,5 vs 7,6 kg) yang hampir sama. Kematian anak pra-sapih relatif tinggi pada penelitian ini yaitu 28,4% pada Kelompok A dan 23,7% pada Kelompok B. Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan ballwa jenis genotipe anak yang dikandung pada kambing PE tidak memberikan pengarull nyata terhadap perubahan fisiologi induk (karakteristik darah, denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan temperatur tubuh), kadar hormon progesteron, lama kebuntingan dan produksi susu . Kata kunci : Kambing, persilangan, fisiologi, reproduksi, susu PENDAHULUAN Terbatasnya daerah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah di Indonesia menjadikan produksi susu sapi secara nasional belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga perlu dilakukan impor . Di samping itu pemeliharaan sapi perah memerlukan investasi modal yang cukup besar sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat petani kecil di pedesaan . Akibatnya perkembangan populasi ternak sapi perah di Indonesia perkembangannya relatif kecil (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 1997) . Untuk itu perlu dicari ternak alternatif yang per(umbuhannya cepat dan produksi susu cukup tinggi (ternak dwiguna), serta daerah penyebarannya Was. Dalam llal ini ternak kambing merupakan salah satu ternak pilihan . Saat ini kambing Peranakan EtaNvah (PE) dianggap sebagai kambing dwiguna di Indonesia, nanum pertumbuliannya relatif lambat yaitu sekitar 30-65 g/hari (WODZICKA-TOMASZEWSKA dan MASTIKA, 1993 ; SUTAMA et al., 1994, 1995), dan produksi susunya masih sangat bervariasi 0,45 2,2 liter/liari (OBST dan NAPrFUPULU, 1984; SLrrAMA et al., 1995) . Keadaan ini akan memberi peluang untuk rueningkatkan produktivitas kambing PE ini melalui seleksi . Akan tetapi, respon seleksi dalam bangsa sendiri adalah kecil (HORST dan MATHUR, 199l), sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai target produksi tertentu . Persilangan antar bangsa (crossbreeding) dapat mempercepat perubahan mutu genetik dan produktivitas ternak, dan kaitannya dengan kambing PE persilangannya dapat dilakukan dengan kambing-kambing perah seperti Saanen, Anglo Nubian dan Togenburg sehingga produksi susu ketunmannya (F1) lebih tinggi dari produksi susu kambing PE dan mempunyai konformasi tubuh cukup besar . Kambing Saanen merupakan kambing perah dengan produksi susu sekitar 3 - 4 liter/hari (BROWN, 198l) . Nanurn karena ternak ini berasal dari daerah sub-tropis, maka ternak ini akan mengalami masalah adaptasi dengan kondisi lingkiuigan iklim tropis di Indonesia . Oleh karenanya program persilangan kambing lokal dengan kambing Saanen dilakukan terbatas dalam llhgkungan yang terkontrol (laboratorium atau stasion perubahan) . Diharapkan melalui efek heterosis akan terjadi peningkatan produksi susu yang cukup nyata pada keturunannya (FI), dan pertumbuhannya tinggi, serta dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkimgan di Indonesia. Untuk Inenunjang program crossbreeding dan seleksi ini perlu dipaliami karakteristik fisiologi ternak, termasuk fisiologi reproduksinya . Dalam hal ini peranan hormon reproduksi (progesteron, estrogen, FSH, dan LH) adalah sangat penting . Homon-hormon tersebut, baik secara sendirian maupun bersama-sama dengan hormon yang lain, berperan terhadap kesuksesan terjadinya berahi, ovulasi, fertilitasi, kebutingan, dan kelahiran anak. Pertumbulian embrio dipenganlhi oleh suplai nutrisi yang diberikan oleh kelenjar susu utenls yang sekresinya 225
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
dlrangsang oleh adanya hornlon progesteron dan estrogen (MANALU clan SumARYADi, 1995) . Senlentara itu, kemainpuan hidup pada tahap awal setelah lahir sangat ditentukan oleh dapat tidaknya anak tersebut inengkonsunlsi antibodi melalui konsumsi susu induk (LEBLANc, 1992), disamping nlanjeiuen pemeliharaan yang diberikan . Dalanl lltlblnlgannya dengan keadaan lingkungan sehari-hari, kemampuan adaptasi ternak hasil silangan terhadap penganih lingkungan perlu diamati dengan melihat indikator fisiologi ternak antara lain pernafasan, temperatur tubuh dan denyut nadi (SHAw clan SUTAMA, 1993) atau karakteristik darah . Hal ini sangat diperlukan dalam pengembangan ternak silangan ini secara Was . Pengenlbangan peternakan kambing dwiguna (produksi daging clan susu) akan dapat meningkatkan status gizi masyarakat di pedesaan melalui konsumsi susu kanlbing produksinya sendiri . Dengan demikian secara nasional pengembangan ternak kambing dwiguna di Indonesia akan sangat inenlbantu program penlbangunan di bidang kesehatan, disamping sebagai sunlber pendapatan (pertunlbullan) bani sub-sektor peternakan. Secara teknis, efisiensi produksi pada kainbing 28% lebill tinggi dibandingkan pada sapi perah (DEVENDRA dan BURNS, 1983). Ini berarti, usalla peinelillaraan kambing akan dapat memberikan tingkat pendapatan yang lebill tinggi bagi petani . MATERI DAN METODE Pada penelitian ini digtmakan 100 ekor kambing PE betina dewasa (umur 3 - 4 tallun) dan 6 ekor kambing jantan dewasa (3 ekor PE clan 3 ekor Saanen) . Kambing PE induk dibagi secara acak atas dua kelonlpok inasing-nlasing 50 ekor (Keloinpok A) clan 50 ekor (Keloinpok B). Ternak dikawinkan secara alam dengan pejantan Saanen (Keloinpok A) atau pejantan kainbing PE (Keloinpok B) sebagai kontrol . Semua ternak mendapat pakan dan cara penleliharaan yang sanla. Jenis pakan yang diberikan terdiri dari cacahan rumput Raja (Pennisetuni purpureophoides) dan konsentrat secukupnya sehingga inencapai sekitar 1,2 - 1,4 kali dari kebutullan nutrien yang direkonlendasi NRC (1981). Adapun susunan ransum yang diberikan pada ternak ditunjukkan pada Tabel 1 . Ternak ditimbang setiap 2 ininggu, clan penyapihan anak dilakukan pada uinur 3 bulan, dan selanjutnya dipelihara secara kelompok. Selama kebuntingan, gambaran/karakteristik darah (Hb, erythrosit, leucosit, PCV), frekuensi pernafasan dan suhu rektal dari ternak diukur setiap 2 minggu . Parameter lainnya yang diamati adalah tingkat kebuntingan, lanla kebuntingan, junllah anak sekelahiran (litter size), berat lahir anak, berat sapih, tingkat kematian anak, pertumbuhan anak pra-sapill, clan produksi susu induk . Produksi susu diukur dua kali (pagi clan sore hari) setiap nlinggu dengan nlenlisallkan anak dari induknya selama 24 jam, dan hasil susu perahan diberikan kembali kepada anaknya . Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam clan perbedaan antara kedua kelompok diuji dengan Student's t-Test (STEEL dan TORRIE, 1991).
226
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
Tabel 1.
Stisunan ransum
Ransom (Untuk BB = 40 Kg)
Bunting muda
Bahan (%) 85 Rumput Raja Bungkil kedele 1 Jagung giling 12 1 Bungkil kelapa NDCP (natural dicalsium phosphat) 0,5 Garam dapur 0,5 Nutrien Ransum - Bahan kering (%) 28,85 - TDN (0/(,DM) 64,79 - Protein kasar (%DM) 10,14 - Energi (Mcal/kg DM) 2,44 - Ca (% DM) 0,86 - P (% DM) 0,58 - Serat kasar (0/.DM) 22,01 - P/E rasio (g PK/Mcal DE) 33,87 Keterangan : PIE rasio = Imbangan protein terhadap energi
Ransum standar Bunting ttta
Laktasi
65 1 26 7 0,5 0,5
45 2 24,75 26,75 1 0,5
43,00 73,45 11,21 2,84 0,59 0,45 13,96 32,19
56,65 77,44 14,93 3,00 0,81 0,58 11,83 40,60
HASIL Respons fsiologi Hasil penelitian tidak menunjukkan perbedaan respon fisiologi (temperatur rektal, frekuensi pernapasan, dan denyut nadi) yang jelas akibat perbedaan anak yang dikandung dilihat dari perubahan temperatur rektal, frekuensi pernafasan, dan denyut nadi selama masa kebuntingan (Tabel 2), walaupun terdapat kecenderungan baliwa Kelompok A mempunyai nilai yang lebih tinggi untuk semua parameter yang diukur dibandingkan dengan Kelompok B . Pada bulan pertama masa laktasi perbedaan ini tidak terlihat lagi. Karakteristik darah Selama kebuntingan tidak terjadi perubahan karakteristik darah pada kedua kelompok induk kambing PE (Tabel 3). PCV selama kebuntingan pada Kelompok A (25 - 30,8%) cenderung sedikit lebih rendah dari Kelompok B (29,3 - 33%). Perbedaan yang lebih jelas terjadi pada haemoglobin (Hb) dan butir-butir darah merah (RBC) . Rataan kadar Hb selama kebuntingan pada kelompok A (9,85 - 10,9 g/mm3) secara konsisten lebili rendali dari pada Kelompok B (11,1-13,2 g/mm3), namun perbedaannya pada setiap pengamatan adalah tidak nyata . Hal yang sama juga terjadi pada kadar RBC yaitu kadarnya lebilt rendah pada kelompok A (856-980 juta/mm3) dari pada Kelompok B (1030 - 1091 juta/mm3) . Akan tetapi perbedaan ini tidak nampak selama 3 bulan -masa laktasi .
227
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
Tabel 2.
Respon fisiologi (temperatur rektal, frekttensi pemafasan, dan denyut nadi) kambing PE induk bunting menunit kelompok perkawinan
Parameter
Kelompok
Fase kebuntingan (bulan)
perkawinan Temperatur rektal (°C) Frekuensi pematasan (kali/menit) Denyut nadi (kali/menit)
1
2
A B
38,9
38,6
38,3
38,5
A B
30,0
A B
laktasi (bulan)
4
5
1
2
3
38,5
38,8
38,9
39,1
38,9
38,4
38,9
38,6
38,9
38,7
38,7
39,0
29,2
30,4
29,3
31,0
27,5
30,7
28,7
28,0
25,3
26,0
28,4
30,8
29,6
29,2
26,0
114,0 92,0
109,6 90,0
97,6
111,7
107,8
111 .0
110,7
104,0
105,2
111,4
98,4
105,9
3
94,7 100
Kelompok Keterangan : A = Induk PE yang dikawinkan dengan pejantan Saanen Kelompok B = Induk PE yang dikawinkan dengan pejantan PE
Tabel 3. Parameter
Kat
Fase kebuntingan (bulan)
Fase laktasi (bulan)
perkawinan
1
2
3
4
5
1
2
3
PCV (°~o)
A
25,0
27.8
29,0
30,8
23,9
28,4
31,0
32,0
B
33,0
32,3
29,3
30,0
26,2
31,0
31,8
31,0
Haemoglobin (ghmn' )
A B
10,22 11,30
10,80
10,90
11,40
9,85
10,70
10,60
11,60
Erythrosit
A
856
11,60 968
13,20
12,10
11,10
11,30
11,60
11,80
B
1016
1082
952
980
895
1017
1082
1023
1091
1030
1068
1000
1076
1015
A
169
169
161
163
180
178
166
192
B
184
163
168
167
145
219
177
(I06 /tnml ) Leucosit (10; /mm; ) Keterangan :
Kelompok A Kelompok B PCV
= = =
Induk PE yang dikawinkan dengan pejantan Saanen Induk PE yang dikawinkan dengan pejantan PE Pack cell volume
Berat badan induk Penlballan berat badan induk kanlbing PE selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 1 . Rataan berat badan awal dari kedua kelompok induk adalah 36,4 kg. Kedua kelompok mengalami peningkatan berat badan selalna kebuntingan hingga mencapai berat 44,6 kg pada akhir masa kebuntingan (21 nlinggll) . Selanla 6 minggu pertama masa laktasi terjadi penuninan berat badan sebelum akllirnya nleningkat hingga penyapihan anak pada umur 3 bulan. Kinerja reproduksi induk Kinerja reproduksi kambing PE pada kedua kelompok perkawinan ditunjukkan pada Tabel 4. Kambing PE induk yang dikawinkan dengan pejantan Saanen (Kelompok A) menunjukkan tingkat fertilitas yang lebill tinggi pada berahi (perkawinan) pertama. Kambing PE induk pada kelompok A bunting senula setelah dua siklus berahi, sementara pada kelompok B perlu 3 siklus berahi agar semua ternak jadi bunting . Hal ini menunjukkan adanya pengaruh genetik terhadap fertilitas . Lama bunting tidak berbeda nyata antar kedua kelompok induk, walaupun Kelonlpok A 228
SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1999
mempunyai litter size yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kelompok B, dan ini menyebabkan berat lahir anak yang lebih tinggi pada Kelompok B. Kadar hormon progesteron meningkat sesuai dengan meningkatnya umur kebuntingan, namun tidak berbeda nyata antar kelompok (Tabel 5) .
rn c R w O O
m
Gambar 1. Grafnk perubalian berat badan induk kambing PE selama penelitian Tabe14. Parameter
Rataan kinerja reproduksi kambing PE indik pada dua sistein perkawinan
Aunlah induk- (ekor) Beratbadan awal (kg) Fertilitas (%) - Beralni pertama - Berahi kedua - Berahi ketiga Lmna bunting (hari) Junilah induk bemnak : - Ttniggal, n (%) - Kernbar dua, n (%) - Kembar fga, n (%) Jumlah anak sekelahiran (ekor)
Kelompok A (PE x Saanen) 50 35,9
Kelompok B (PE x PE)
80 20 145,9
40 50 10 146,8
27(54) 22(44) 1(2) 1,9
21(42) 28(56) 1(2) 1,5
50 36,8
229
Seminar Nosional Peternakan dan Veteriner 1999
Tabel 5 .
Kadar honnon progesteron dalam plasma darah kambing PE selama kebuntntgait
Umur kebtmtuigan
Kelompok A (PE x Saanen)
Kelompok B (PE x PE) ng/ml
- Bulan ke-1
7,33+2,87 2,87
- Bulan ke-2 - Btdan ke-3
8,54+2,14 2,14 8,53+2,56 2,56
6,75+3,14 3,14 7,84+3,12 3,12 8,76+1,89 1,89
- Bulan ke4 - Bulan ke-5
_8,47+3,73
8,28+1,21 1,21
7,31+2,46
7,79+1,17
Produksi susu Penibaltan produksi susu dari masing-masing kelompok induk selatna pengamatan ditunjukkan pada Gambar 2 . Produksi susu terlihat menunut sangat nyata selama 3 bulan pertama masa laktasi, kemudian penunmannya relatif kecil hingga akhir Iaktasi (27 mtnggu) . Rataan produksi susu pada minggti pertanta laktasi pada kelompok A lebih tinggi dari Kelompok B (0,801 vs 1,015 kg/hari) . Perbedaan ini tents berlangsung sampai minggu ke-4 laktasi, kemudian produksi susu dari kedua kelompok induk tersebut hampir sama . Rataan produksi susu pada bulan pertama laktasi pada kelompok A clan B masing-masing 718 clan 895 g/hari . Mulai bulan kedua hingga akhir laktasi perbedaanya sangat kecil (Tabel 6) . 1100 1000 900
a, r
H
.a
Y w
a
Boo 700 600 500
400 300 200 100 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Periode laktasi (minggu)
Gambar 2. Graft produksi susu kambing Peranakan Etawah selama 27 minggu masa laktasi 23 0
23
24
Seminar NasionalPeternakan don Veteriner 1999
Tabel 6.
Prodtiksi smu kaunbutg PE pada dtta sistem perkawinan
Parameter Rataan prodtd si susu (g/hari): Bulan ke-1 lak-tasi Bulan ke-2 lak-tasi Bulan ke-3 lak-tasi Bulan ke4 lak-tasi Bulan ke-5 lak-tasi Bulan ke-6 kAtasi Rataan produk-si susu selatn i 18011<1ri lak-tasi (g/haarti)
Kelompok A (PE x Saanen)
Kelompok B (PE x PE)
718,2 494,4 329,4 255,5 202,2 209,8 345,1
895,8 503,5 310,5 269,3 202,8 197,9 369,4
Pertumbuhan anak Berat lahir anak kambing liampir sama pada kedua kelompok induk, walauplln terdapat kecendeningan baliwa anak kambing llasil silangan PE x Saanen lebih rendah dari anak kambing PE x PE, baik pada kelahiran tunggal, kembar dua maupun kembar tiga, serta pada anak jantan dan betina . Kedua kelompok anak kambing ini juga memperlihatkan pertumbullan pra-sapih yang llampir saltta (44 vs 39 g/liari), sehingga berat sapihnyapun (umur 14 minggu) adalah hampir sama yaitti maslng-masing 7,5 dan 7,6 kg pada Kelompok A dan B (Tabel 7). Kematian anak prasapill relatif tinggi pada penelitian ini yaitu 28,4% pada Kelompok A dan 23,7% pada kelompok B. Kebanyakan kenlatian ini terjadi pada bulan pertama setelah lahir. Tabel 7.
Perttunbttlian anak kvnbittg PE dan silangan PE x Saanen
Parameter Aunlali mtak lahir (ekor) Berat lahir anak (kg): Ttuiggal Kemb,,tr dua Kembar tiga Jantui Betina Rataan Berat sapih (kg) Ttuiggal KeinKtr kuttan Betuta Perttunbtthmt (g/hari) Timggal Kembar Jantan Betina Kernatimi Pra-sapih (%)
Kelompok A (PE x Saanen) 74
Kelompok B (PE x PE) 80
3,60+0,72 2,90+0,48 2,93+0,41 3,43+0,66 2,96 + 0,61 3,16+0,68
3,82+0,91 0,91 3,28+0,79 2,67+0,49 3,61 + 0,90 3,10+0,70 _ 3,40+0,90 _
8,54+1,33 6,47+1,05 8,31+ 1,55 6,73+1,15
8,25+1,69 7,29+1,39 1,01 7,95+1,01 1,87 6,63+1,87
51,89+13,6 36,73 + 10,86 50,14 + 14,54 38,77 + 11,89 28,38
40,37+_ 17,79 39,13+ 10,8 40,98 + 8,99 36,30 +_ 16,52 23,75
23 1
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
PEMBAHASAN Perkawinan kambing PE induk dengan kambing Saanen yang dilakukan pada penelitian ini diliarapkan akan memberikan efek yang positif terhadap produktivitas keturunan yang dihasilkan melalui efek heterosisnya . Kinerja reproduksi selama Perkawinan menunjukkan bahwa kambing PE induk yang dikawinkan dengan pejantan Saanen menunjukkan tingkat fertilitas yang lebih tinggi pada berahi (Perkawinan) pertama . Kambing PE induk pada kelompok ini menjadi bunting semua setelah dua siklus beralu, sementara pada kelompok yang dikawinkan dengan pejantan PE perlu 3 siklus berahi agar semua ternak jadi bunting . Namun perbedaan ini masih sulit dijelaskan apakah Orena perbedaan genotipe pejantan atau suatu kebetulan mengingat perbedaannya tidak bergitu signifikan. Demikian pula kalau dilihat dari lama kebuntingan adalah tidak berbeda nyata antara kedua kelompok induk, walaupun terdapat perbedaan litter size diantara kedua kelompok induk kambing PE tersebut (1,9 vs 1,5) . Jumlah litter size ini sebanding dengan hasil penelitian terdahulu (NGADIONO et al., 1983, SETIADi dan SIToRus, 1986; SUTAMA et al., 1995; SUBHAGIANA, 1998), sehingga masuk dalam katagori normal pada kambing PE ini . Tinggi rendahnya litter size erat kaitannya dengan angka ovulasi, pembuahan, kemampuan hidup embrio (HLJLET dan SHELTON, 1980), unlur (NGADIONo et al., 1983; SUBANDRIO et al., 1986) serta faktor manajemen pemeliharaan lainnya terutama pakan. Ternak kambing yang baru pertama kali beranak umunlnya nlempunyai litter size satu (RESTALL, 1991 ; WODZISCKA-TOMASZEWSKA et al., 1993). NoADIONo et al. (1983) melahorkan bahwa litter size kambing PE sejak kelahiran pertama sampai kelahiran keempat adalah 1,56; 1,77; 1,90; dan 1,40. Dinalnika perubahan berat badan kambing PE selama penelitian seperti yang ditunjukkau pada Gambar 1, menunjukkan adanya peningkatan berat badan pada kedua kelompok perlakuan selama kebuntingan . Hal ini terjadi karena selama bunting progesteron merangsang terbentuknya sel-sel alveoli dalam meningkatkan tumbuh kembang kelenjar ambing dan juga merangsang pertumbuhan uterus untuk memelihara fetus (SLJBHAGIANA, 1998). Secara alami induk kambing juga mengalami pertanibahan berat badan untuk memperbaiki kondisi tubuh menjelang beranak . Oleh karenanya kebetuhan pakan akan meningkat sesuai dengan bertambahnya umur kebuntingan (SUBHAGIANA, 1998). Berat badan tertinggi terjadi menjelang beranak baik pada induk yang dikawinkan dengan pejantan PE maupun dengan penjantan Saanen . Setelah beranak terjadi Penurunan berat badan akibat kelahiran/keluarnya anak bersama placenta dan cairannya . Penurunan berat badan induk ini terus berlangsung hingga sekitar 4-6 nilnggu Inasa laktasi sebelum akhirnya meningkat (Gambar 1) . Penurunan berat badan induk tersebut disamping disebabkan oleh kelahiran anak pada awal laktasi, juga akibat tingginya produksi susu tidak seimbang dengan pasokan zat makanan sehingga terjadi mobilisasi cadangan zat Inakanan tubuh yang menyebabkan turunnya berat badan. Mobilisasi ini juga disebabkan oleh kecepatan peningkatan konsumsi pada awal laktasi lebih lambat daripada kecepatan peningkatan produksi susu sehingga terjadi penyusutan berat badan (SUTARDI, 1981) . Kejadian tersebut menyebabkan ternak penghasil susu tinggi cenderung mengorbankan berat badannya untuk mempertallankan produksi susu yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ternak dengan tingkat produksi susu rendah. RAI dan CHOREY (1965) menyatakan bahwa pengaruh produksi susu tinggi kambing Etawah pada laktasi bulan pertama terhadap berat badan, mengakibatkan Penurunan berat badan selama bulan pertama setelah melahirkan 15-16% (sekitar 9 kg) . Seberapa jauh Penurunan berat badan disebabkan oleh cekaman laktasi belum jelas, karena adanya faktor lain 232
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
seperti nutrisi induk sebelum dan sesudah beranak, musim dan cara pemeliharaan . Tetapi (1980) menyatakan bahwa kehilangan berat badan selama laktasi sepenuhnya normal dan energi yang tinggi sangat diperllilcan untuk produksi susu yang tinggi clan dapat tersedia tanpa menyebabkan beban berlebilnan pada sistem pencernaan . Disarankan pemberian pakan yang baik agar tersedia cadangan yang cukup pada waktu beranak clan mencegah kehilangan berat badan yang berlebih selama laktasi .
MACKENZI
Dibandingkan dengan berat saat dikawinkan (awal penelitian), berat badan setelah beranak pada kedua kelompok induk meningkat sekitar 8 - 8,2 kg. Hal ini menunjukkan jumlah dan kualitas pakan yang diberikan masih mencukupi kebutuhan ternak . Penurunan kualitas pakan (akibat meningkaUrya harga pakan) sekitar akhir masa kebuntingan membawa dampalc terhadap perkembangan kelenjar ambing dan produksi susu selama laktasi . Hal ini tercermin dari kurve produksi susu yang terns nienunin sejak awal laktasi sampai akhir masa laktasi (Gambar 2). Biasanya produksi susu kanibing PE ini meningkat sampai minggu 3-4 laktasi kernudian menurun secara gradual hingga akhir laktasi (SUTAMA et al., 1995; ANGGRAENI et al., 1997) . Lebih lanjut AGGRAENI et al. (1997) melaporkan bahwa produksi susu kambing PE selama 180 hari laktasi bervariasi 0,45 - 1,56 liter/hari . Pada penelitian ini produksi susu tertinggi (1,015 kg/hari) terjadi pada minggu pertaina dan selanjutnya menurun hingga akhir laktasi, clan rataan produksi susu selanna 180 hari laktasi adalah 382,4 g/hari. Tingkat produksi susu ini lebih rendah dari hasil laktasi sebelumnya (0,787 - 0,941 kg/hari) yang dilaporkan SUBHAGIANA (1998), dan ini menunjukkan adanya pengandi faktor umur. Ternak yang dipakai dalam penelitian ini sudah relatif tua (umur 4 tahtin) . Sebelumnya OBST and NAPITUPLILU (1984) melaporkan produksi susu kanibing lokal Indonesia bervariasi 0,45 - 2,2 kg/hari, sedangkan SLrrAMA (1997) melaporkan tingkat produksi susu kanibing PE 1,5 - 3,7 kg/hari . Dari penelitian ini fdak terlihat pengaruh anak yang dikandung (persilangan atau murni) terhadap produksi susu, menunjukkan produksi susu Iebill besar dipenganihi oleh kondisi tubuh induk sendiri. Sedangkan litter size dilaporkan berpengaruh terhadap produksi susu (SUBHAGIANA, 1998) . Perbedaan genotipe anak yang dikandung oleh masing-masing kelompok fdak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap status fisiologi induk seperti ditunjnilckan dengan frekuensi pernafasan, denyut nadi dan temperatur tubuh induk selama kebuntingan, walaupun terdapat kecendenuigan bahwa ternak yang dikawinilcan dengan Saanen, narmin perbedaannya pada setiap pengamatan adalah fdak nyata . Demikian juga kalau difhat kadar hormon progesteron selama kebuntingan, kedua kelompok induk menunjukkan kadar hormon progesteron yang llampir sanla . Hal ini mungkin yang menyebabkan fdak adanya perbedaan berat lahir anak, sebagainiana dilaporkan oleln MANALU dan SumARYADI (1995) bahwa hormon progesteron berpenganih terhadap pertunibulnan fetus dan berat lahir anak. Rataan berat lahir pada penelitian ini (2,0 - 4,8 kg/ekor) tergantung tipe kelahiran dan seks, adalah hampir sama dengan yang dilaporkan sebelumnya oleli SU'IANIA et al. (1995) dan ADIATI et al. (l998). Dari segi berat lahir keadaan ini adalah normal, clan cukup niampu untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi pada penelitian ini tingkat kematian anak pra-sapili cukup tinggi (23 - 28%) pada kedua kelompok induk. Penibahan kualitas pakan pada akhir kebuntingan berpengaruh terhadap produksi susu induk. Kematian yang lebill tinggi pada Keloiupok A (PE x Saanen) mengindikasikan bahwa kebutuhan susu anak kambing silangan ini inungkin lebih tinggi dari anak kambing PE x PE, atau memang kemampuan anak kanibing silangan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada di stasion penelitian fdak sebaik anak kanibing PE x PE. Harapan terjadinya peningkatan pertumbuhan dari 233
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1999 anak silangan ini tidak terbukti pada penelitian ini . Rataan pertumbuhan pra-sapih anak kambing silangan tidak berbeda nyata (44,3 vs 39,7 g/hari, P>0,05) dengan pertumbuhan pra-sapih anak kambing PE x PE. Hal ini dapat dimengerti mengingat kambing Saanen bukan termasuk kambing
untuk produksi daging (pertumbuhan cepat), tapi merupakan ternak perah (penghasil susu yang baik) . Dengan demikian harapan akan terjadinya peningkatan produksi susu dari ternak hasil silangan ini adalah cukup besar dan ini merupakan tujuan akhir dari program penelitian peningkatan produktivitas kambing PE sebagai penghasil susu di Indonesia.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jenis genotipe anak yang dikandung pada kambing PE tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan fisiologi induk (karakteristik darah, denyut nadi, freknensi pernafasan, dan temperatur tubuh) dan produktivitas pasca kelahiran .
DAFTAR PUSTAKA AmATI, U ., HASTONO, RSG. SIANTURi, T .D. CHANIAOo, dan I-K . SUTAMA . 1998 . Sinkronisasi berahi secara biologis pada kambing Peranakan Etawall . Pros . Seminar Nasional Peternakan dna Veteriner II: 411416 . ANGGRAENI, A ., I-K . SuTAMA, dan B . SETIADI . 1997 . Evaluasi performans produksi susu kambing Peranakan Etawah (PE) di stasiun percobaan Balitnak . Laporan Hasil Penelitian, Balitnak 1997. BRowN, H .H . 1981 . The Dairy Goats in Queensland. Queensland Departement of Primary Industry, Brisbane . DEvENDRA, C . and M. BURNS . 1983 . Goat Production in the Tropics. Commonwealth Agricultural Bureau . Farnham Royal, UK . DiREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN . 1997 . Buku Statistik Peternakan . Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. HORST, P . and P.K . MATHuR . 1991 . Breedin g Objective and Strategies. In : Goat Husbbandry and Breeding in The tropics . Eds . J.M . Panandam, S . Sivaraj, T .K . Mukherjee and P . HORST ., Food and Agric . Dev . Centre, Feldafing, Germany. pp.70-99 . HULET, C .V . and M . SHELTON . 1980 . Sheep and Goat In : E .S.E . Hafez (Ed .) . Reproduction in Farm Animals . 4th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. LEBLANC . 1992 . Passive transfer of immunity in kids . Proc . 15th Florida Dairy Goat Prod. Conf., Univ. of Florida, pp: 31-53 . MACKENzie, D. 1980 . Goat Husbandry . Feber & Feber . Ed . 4, London . MANALu, W . dan M .Y . SumARYADL 1995 . Hubungan antara konsentrasi dan estradiol dalam serum induk selama kebuntingan dengan total massa fetus pada akhir kebuntingan . Pros . Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Balai Penelitian Ternak pp . : 57-62 . NATIONAL RESEARCH COUNCIL (NRc) . 1981 . Nutrient Requirements of Goats : Angora, Dairy and Meats Goats in Temperate and Tropical Countries . National Academy of Sciences. Washington, D .C . NGADIONo, N., P . BASuKI, dan G . MURDJITO . 1984 . Beberapa data perfonnans ternak kambing yang dipelihara secara tradisional di pedesaan sejak lahir sampai dengan umur disapih . Pros . Domba dan 234
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
Kambing di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pergembangan Peternakan, Badan Litbang, Departemen Pertanian, Bogor pp . 122-125. OBST, J.M. and Z. NAPITupuLu . 1984 . Milk yields of Indonesian goats. Proc . Aust. Soc. Anim . Prod . 15 : 501-504 . RAI, G.S . and PA . CHOREY . 1965 . Lactational performance of Jumnapari and Barbari goats. Indian Vet. J. 42 : 958-961 . RESTALL, B.J . 1991 . Goat production in The Asian humid tropics. Proc. Int. Seminar. Thailand . ROBERTSHAW, D. and K. SuTAMA . 1993 . Assessment of the thermal environment of sheep in the humid tropics. Proc . Workshop on Research Methodologies . Medan, North Sumatera. pp . : 82-93. SETIADI, B. dan P. SITORUS . 1986 . Penyerentakan berahi dengan menggunakan medroxyprogesterone acetate intravaginai sponge pada kambing. I. Perampilan reproduksi . Ilmu dan Peternakan . 2: 87-90. STEEL, R.G.D. and J .H . ToRRIE . 1991 . PrinSip dan Prosedur Statistika . Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
SuBANDRio, B. SETIADI, and P. SITORUS. 1986 . Ovulation rate and litter size of Indonesian goats. Proc . 5th Int. Conf Livestock Prod . and Deseases in The Tropic. Kuala Lumpur, Malaysia . pp . : 53-54.
SUBHAGIANA, I.W . 1998 . Keadaan Konsentrasi Progesteron dan Estradiol Selama Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jlumlah Anak Pada Kambing Peranakan Etawah Pada Tingkat Produksi Susu Yang Berbeda. Thesis Pascasarjana, IPB Bogor. SuTAMA, I-K., I.G .M . BuDIARSANA, dan Y. SAEFCIDIN. 1994 . Kinerja reproduksi sekitar pubertas dan beranak pertama kambing Peranakan Etawah .1lmu dan Peternakan 8: 9-12 . SuTAMA, I-K., IGM. BUDIARSANA, H. SETIANTO, and A. PRiYANTI. 1995 . Productive and reproductive performances of young Peranakan Etawah does . Jurnal Ilmu Ternak dun Veteriner 1: 81-85.
SuTARDi, T. 1981 . Sapi Perah (Ian Pemberian Makanannya . Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB Bogor . WODzicKA-TomASZEWSKA, M. and M. MASTIKA. 1993 . Effects of feeding molasses-urea blocks on growth rate and onset of puberty in Ettawa-cross goats. In : Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Pros. Workshop, Ciawi-Bogor, Indonesia August 3-4, 1993 . pp. : 213-219.