PEMANFAATAN PELLET Indigofera sp. PADA KAMBING PERAH PERANAKAN ETAWAH DAN SAANEN DI PETERNAKAN BANGUN KARSO FARM
SKRIPSI TITIS ANUGRAHENI PUTRI APDINI
DEPARTEMEN ILMU NUTRSI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 i
RINGKASAN Titis Anugraheni Putri Apdini. D24070179. Pemanfaatan Pellet Indigofera sp. pada Kambing Perah Peranakan Etawah dan Saanen di Peternakan Bangun Karso Farm. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr Peternakan kambing perah merupakan sektor usaha yang menunjang produksi susu nasional. Salah satu permasalahan pakan yang terjadi di Peternakan Bangun Karso Farm adalah kurang terpenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Pakan yang diberikan yaitu rumput lapang dan konsentrat dengan rasio 60% : 40%. Setelah dilakukan analisis proksimat diketahui bahwa kandungan protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar dari total ransum di peternakan tersebut sebesar 12,76%, 2,35%, dan 32,01% secara berurutan, sehingga kurang mencukupi kebutuhan nutrien kambing untuk produksi susu optimal. Salah satu bahan pakan sumber protein adalah legum Indigofera sp. yang memiliki kandungan protein mencapai 25,66%. Daun Indigofera sp. yang diolah menjadi pellet memiliki daya simpan lebih lama dan memudahkan proses transportasi pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pellet Indigofera sp. dalam ransum kambing perah terhadap konsumsi pakan serta produksi susu kambing PE dan saanen di peternakan Bangun Karso Farm, Babakan Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Sebanyak 7 ekor kambing perah terdiri dari 4 ekor kambing saanen laktasi ke-3 dan 3 ekor kambing PE (peranakan etawah) laktasi ke-2 dipilih untuk menerima 2 macam perlakuan ransum yaitu P0 (60% rumput lapang + 40% konsentrat) dan P1 (60% rumput lapang + 40% pellet Indigofera sp.). Masa adaptasi dilakukan selama 7 hari kemudian pemeliharaan dilakukan selama 30 hari dan dilakukan pencatatan konsumsi pakan serta produksi susu total harian. Pada 7 hari terakhir masa pemeliharaan dilakukan koleksi sampel feses untuk mengukur kecernaan pakan dengan metode Acid Insolubke Ash (AIA). Sampel susu diambil untuk diuji komposisinya menggunakan milkotester. Seluruh data tersebut dianalisis secara deskriptif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering ransum P0 maupun P1 lebih tinggi 4% bobot badan kambing perah. Konsumsi protein kambing PE dan saanen yang diberi ransum P1 lebih tinggi dibandingkan ransum P0. Kecernaan bahan kering ransum P1 lebih tinggi dari ransum P0, karena ransum P1 mengandung serat kasar yang lebih rendah dibandingkan ransum P0. Pellet Indigofera sp. yang terdapat dalam ransum P1 lebih mudah dicerna dibandingkan ransum P0. Produksi susu kambing PE dan saanen yang diberi ransum P1 lebih tinggi dari kambing perah yang diberi ransum P0. Kualitas pellet Indigofera sp. dalam ransum kambing perah tidak hanya dilihat dari tingkat konsumsi, nilai kecernaan, dan produksi susu melainkan juga seberapa efisien nutrien yang terdapat dalam pakan dapat dimanfaatkan oleh kambing perah untuk produksi menjadi susu. Berdasarkan rasio pemanfaatan nutrien pakan terhadap produksi susu dapat dilihat bahwa nutrien ransum P1 lebih efisien untuk digunakan dalam proses sintesis susu kambing. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa pemanfaatan pellet ii
Indigofera sp. dalam ransum kambing perah dapat memperbaiki manajemen pakan harian kambing PE laktasi ke-2 dan kambing saanen laktasi ke-3 di peternakan Bangun Karso Farm yang dilihat dari tingkat peningkatan kecernaan pakan, produksi susu, dan rasio pemanfaatan nutrien pakan. Kata kunci: pellet Indigofera sp., kambing perah, kecernaan AIA, produksi susu, efisiensi nutrien.
iii
ABSTRACT Utilization of Indigofera sp. Pellet for Etawah Crossbred and Saanen Does in Bangun Karso Farm Apdini, T. A. P., D.A. Astuti, and L. Abdullah Aim of study was evaluating the effect of Indigofera sp. pellet in ration of dairy goat toward feed consumption, dry matter digestibility and milk production of Etawah Crossbred and Saanen does. The research was conducted from May till July 2011 at Bangun Karso Farm, Babakan Palasari, Cijeruk, Bogor. There were 7 does consist of 3 Etawah Crossbred does (2nd lactating period) and 4 Saanen does (3rd lactating period) which were treated by 2 types of ration, such as P0 (60% of field grass + 40% of concentrate) and P1 (60% of field grass + 40% of Indigofera sp. pellet). The data that had been collected were analyzed descriptively. The result showed that dry matter consumption was higher than 4% of body weight, whereas protein intake of P1 was higher than P0. Based on AIA (Acid Insoluble Ash) Method, dry matter digestibility of P1 was higher than P0. Milk production was higher in both of Etawah Crossbred and Saanen does which were fed by P1. The utilization of Indigofera sp. pellet was more efficient to be converted into milk nutrients/quality. It was described from the ratio between nutrient of feed and nutrient of the milk. Thus Indigofera sp. pellet could improve the quality of ration for both saanen and PE dairy goats.
Keywords: Indigofera sp. pellet, dairy goat, AIA digestibility, milk production, efficiency of nutrient
iv
Lembar Pernyataan
PEMANFAATAN PELLET Indigofera sp. PADA KAMBING PERAH PERANAKAN ETAWAH DAN SAANEN DI PETERNAKAN BANGUN KARSO FARM
TITIS ANUGRAHENI PUTRI APDINI D24070179
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Meperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRSI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
v
Judul Nama NIM
: Pemanfaatan Pellet Indigofera sp. pada Kambing Perah Peranakan Etawah dan Saanen di Peternakan Bangun Karso Farm : Titis Anugraheni Putri Apdini : D24070179
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS)
(Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr)
NIP: 19611005 198503 2 001
NIP: 19670107 199103 1 003
Mengetahui Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. Agr) NIP: 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 16 September 2011
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1990 di Ponorogo, Jawa Timur. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Agus Susanto (Alm) dan Ibu Suprapti. Awal pendidikan dasar penulis ditempuh pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri Sekaran 02 Ponorogo dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diawali pada tahun 2001 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Ponorogo dan diselesaikan pada tahun 2004. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Madiun. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mask IPB (USMI) di Fakultas Peternakan dan pada tingkat dua memasuki masa perkuliahan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Pada tingkat pertama penulis aktif sebagai anggota UKM Tae Kwon Do IPB dan Dewan Gedung A3, Asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama IPB sebagai Wakil Lurah. Penulis aktif di International Association of student in Agricultural and Related Science (IAAS) Local Committee IPB dan menjabat sebagai Ketua pada periode 2009/2010. Penulis bersama rekan satu tim pernah mendapat dana hibah dari DIKTI untuk PKM bidang Kewirausahaan yang berjudul “Fortifikasi Tepung Bayam dalam Pembuatan Permen Susu sebagai Pangan Sehat untuk Anak” pada tahun 2009 dan PKM bidang Pengabdian Masyarakat yang berjudul “Sosialisasi Pengolahan Limbah Padi Terpadu di Desa Cikarawang, Kab. Bogor, Jawa Barat” pada tahun 2010 sehingga terpilih menjadi peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XXIII di Universitas Mahasaraswati, Denpasar, Bali. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis, Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2011. Penulis berkesempatan menjadi penyaji makalah yang berjudul “The Benefit of Sapindus rarak to Reduce Methane Emission in Ruminant” dalam International Agricultural Student Symposium di Universitas Putra Malaysia. Penulis menerima Beasiswa Unggulan dari Kemendiknas sebagai delegasi dalam The 53 rd IAAS World Congress di Mexico dan beasiswa Eurasia2 dari Erasmus Mundus untuk Exchange Program ke Czech University of Life Science, Prague. Penulis juga terpilh sebagai Mahasiswa Berprestasi Fakultas Peternakan IPB pada tahun 2010 dan 2011. vii
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunai-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi berjudul Pemberian Pellet Indigofera sp. terhadap Pemanfaatan Nutrien dan Produksi Susu Kambing Saanen dan PE di Peternakan Bangun Karso Farm. Skripsi ini merupakan syarat memperoleh gelar sarjana peternakan. Skripsi ini ditulis berdasarkan pengamatan studi kasus manajemen pemberian pakan kambing saanen dan PE di Peternakan Bangun Karso Farm sejak bulan Mei sampai bulan Juli 2011. Hasil sampel kemudian dianalisis di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Peternakan kambing perah merupakan sektor penunjang kebutuhan susu segar nasional, oleh karena itu produksi susu kambing perlu ditingkatkan. Faktor utama penunjang produksi susu kambing adalah pakan. Selama ini manajemen pakan di peternakan kambing perah masih dilakukan secara tradisional sehingga kecukupan nutrisi ternak kurang terpenuhi. Salah satu bahan pakan dengan komposisi nutrisi berkualitas adalah legum Indigofera sp. Pengolahan daun Indigofera sp. menjadi pellet akan mempermudah proses transportasi dan meningkatkan umur simpan pakan. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh pemberian pellet Indigofera sp. dalam ransum kambing saanen dan PE terhadap konsumsi pakan, nilai kecernaan, dan produksi susu. Penulis memahami bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan diaplikasikan dengan baik.
Bogor, September 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ...............................................................................................
ii
ABSTRACT ..................................................................................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
v
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
vi
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
vii
DAFTAR ISI .................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xii
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................... Perumusan Masalah ........................................................................... Tujuan ...............................................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
4
Indigofera sp ...................................................................................... Pellet Indigofera sp. ........................................................................... Kambing Perah di Indonesia ................................................... Kambing Peranakan Etawah (PE) ........................................... Kambing Saanen ................................................................................ Susu Kambing.................................................................................... Kecernaan Nutrien ............................................................................. Metabolisme Nutrien.......................................................................... Sintesis Susu ...................................................................................... Biosintesis Protein Susu .......................................................... Biosintesis Lemak Susu .......................................................... Biosintesis Laktosa Susu.........................................................
4 5 8 9 9 10 12 13 14 15 16 16
MATERI DAN METODE .............................................................................
18
Lokasi dan Waktu .............................................................................. Materi ................................................................................................ Metode............................................................................................... Rancangan Percobaan ............................................................. Perlakuan................................................................................ Prosedur ............................................................................................. Persiapan ................................................................................ Pemeliharaan .......................................................................... Koleksi Sampel Feses ............................................................. Peubah yang Diamati ......................................................................... Konsumsi Pakan (kg/ekor/hari) ...............................................
18 18 18 18 19 20 20 20 21 21 21
ix
Kecernaan dengan Metode AIA (Van Keulen dan Young, 1977) .............................................. Produksi Susu (liter/ekor/hari) dan Komposisi Susu ................ Efisiensi Pemanfaatan Ransum terhadap Komposisi Susu ......................................................................
22 22 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
24
Gambaran Umum Peternakan ............................................................. Hasil Pengamatan .............................................................................. Pembahasan ....................................................................................... Kecernaan bahan Kering ......................................................... Produksi Susu ......................................................................... Komposisi Susu ...................................................................... Efisiensi Pemanfaatan ransum terhadap Komposisi Susu Kambing .......................................................
24 25 25 28 30 34
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
39
Kesimpulan ........................................................................................ Saran..................................................................................................
39 39
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
41
36
x
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Nutrien dan Asam Amino Pellet Indigofera sp. Ukuran 5 mm............................................................
7
2. Kebutuhan Nutrien Kambing Perah Dewasa Berbagai Fase Produksi.............................................................................
8
3. Komposisi Susu Kambing .........................................................................
11
4. Komposisi Nutrien Bahan Pakan Penelitian ..............................................
19
5. Susunan Ransum Penelitian dan Perhitungan Komposisi Nutrien Ransum (%BK) ..........................................................
20
6. Konsumsi Bahan Kering Ransum Kambing PE dan Saanen dihitung dari 4% Bobot Badan Awal .........................................................
21
7. Perhitungan Analisis Deskriptif Parameter yang Diamati ..........................
25
8. Rataan Konsumsi Nutrien Kambing PE dan Saanen pada Setiap Perlakuan ...............................................................................
28
9. Bobot Badan Kambing Perah Sebelum dan Setelah Pemeliharaan .............
37
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Legum Indigofera sp .................................................................................
4
2. Pellet Indigofera sp. Diameter 5mm ..........................................................
7
3. Model Estimasi Kurva Laktasi Kambing Saanen Tanpa Dikawinkan ....................................................................................
10
4. Sistem Perkandangan di Bangun Karso Farm (a) dan Kambing Saanen yang Mengonsumsi Pellet Indigofera sp ........................
24
5. Kecernaan Bahan Kering Ransum P0 dan P1 pada Tiap Kambing Perah .........................................................................................
29
6. Rataan Produksi Susu Kambing Saanen dan PE yang Mendapat Perlakuan P0 dan P1 .................................................................
31
7. Produksi Susu Harian Kambing PE yang Mendapat Perlakuan P0 dan P1 Selama Pemeliharaan ...............................................................
33
8. Produksi Susu Harian Kambing Saanen yang Mendapat Perlakuan P0 dan P1Selama Pemeliharaan ................................................
33
9. Efisiensi Pemanfaatan Nutrien Ransum untuk Produksi dan Komposisi Susu ...................................................................
36
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi ternak kambing di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2000 sebanyak 12.566.000 ekor menjadi 16.821.000 ekor pada tahun 2010 (BPS, 2011). Usaha peternakan kambing di Indonesia kini berkembang menjadi usaha ternak dwiguna yaitu penghasil daging dan susu. Pemenuhan kebutuhan susu masyarakat Indonesia yang masih kurang dipenuhi dari sektor peternakan sapi perah kini dapat disuplai dari usaha kambing perah, meskipun masyarakat Indonesia masih belum banyak mengonsumsi susu kambing. Alasan utama masyarakat Indonesia mengapa kurang menyukai susu kambing adalah aroma susu kambing, oleh karena itu perlu diterapkan Good Farming Practices untuk menjaga kebersihan kandang dan ternak. Pengemasan susu kambing setelah diperah harus segera dilakukan untuk mencegah kontaminasi. Harga susu kambing di Peternakan Bangun Karso Farm, Kec.Cijeruk, Kab.Bogor yaitu Rp 25.000,- per liter. Harga susu kambing di peternakan kambing perah lain di Kab.Bogor bisa mencapai Rp 35.000,00 bahkan Rp 100.000,- per liter. Biaya pakan merupakan faktor utama yang menentukan harga susu kambing, selain itu saat ini susu kambing dijadikan sebagai pangan fungsional untuk pengobatan alternatif sehingga harga jualnya lebih tinggi dibandingkan harga susu sapi. Di Indonesia kambing yang dikembangkan sebagai penghasil susu adalah kambing peranakan etawah (PE) dan kambing saanen. Kambing PE merupakan hasil persilangan kambing lokal dengan kambing etawah yang diperkenalkan Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1908 dan dimanfaatkan sebagai sumber daging dan susu. Produksi susu kambing PE berkisar antara 0,45-2,2 liter/hari (Sodiq dan Abidin, 2008). Kambing saanen berasal dari Swiss dan kini telah banyak dikembangkan sebagai penghasil susu di Indonesia karena produksi susunya mencapai 3,8 liter/ekor/hari (Erlangga, 2011). Pengembangan usaha kambing perah harus didukung dengan ketersediaan pakan yang cukup, karena pakan akan mempengaruhi kualitas dan produksi susu kambing. Permasalahan yang terjadi di peternakan kambing perah pada umumnya adalah manajemen pakan yang dilakukan secara tradisional sehingga peternak kurang memperhatikan kecukupan nutrisi kambing perah seperti pemenuhan energi, protein,
1
dan air. Kekurangan zat makanan selain dapat berpengaruh langsung terhadap penurunan produksi susu juga dapat mempengaruhi performa ternak, apabila dibiarkan dalam jangka waktu lama sehingga mengakibatkan umur produksi ternak menjadi pendek. Pemanfaatan Indigofera sp. sebagai hijauan pakan sumber protein adalah salah satu cara memenuhi kebutuhan nutrisi kambing perah. Daun Indigofera sp. mengandung protein kasar 27,9%, serat kasar 15,25%, kalsium 0,22% dan fosfor 0,18%. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk melihat pemanfaatan Indigofera sp. sebagai pakan ternak menyatakan bahwa kecernaan protein kasar Indigofera sp. yang diuji secara in vitro mencapai 90,64% (Suharlina, 2010). Hal terebut menunjukkan bahwa kandungan protein pada daun Indigofera sp. berpotensi untuk digunakan sebagai pakan sumber protein. Selain itu, penelitian Tarigan (2009) memperlihatkan bahwa nilai kecernaan bahan kering daun Indigofera sp. yang diberikan pada kambing Boerka sebanyak 45% dari total ransum adalah 60,07%. Tanaman Indigofera sp. merupakan legum pohon yang dapat dipanen setiap 60 hari sehingga kontinuitas persediaan pakan terjamin. Pemberian daun Indigofera sp. dapat diberikan langsung dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan. Pengolahan daun Indigofera sp. dalam bentuk pellet akan mempermudah proses distribusi dan meningkatkan umur simpan pakan tanpa mengubah komposisi zat makanan. Potensi Indigofera sp. sebagai bahan pakan ternak diharapkan mampu memperbaiki kualitas nutrisi pakan kambing perah sehingga dapat meningkatkan produksi susu kambing nasional. Oleh karena itu diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui pemanfaatan pellet Indigofera sp. terhadap produksi dan komposisi susu kambing perah. Perumusan Masalah Kualitas pakan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi produktivitas susu kambing. Peternakan kambing perah yang mulai dikembangkan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan susu selama ini masih melakukan manajemen pakan secara tradisional sehingga kebutuhan nutrisi ternak kurang diperhatikan. Contoh kasus di Peternakan Kambing Perah Bangun Karsa Farm di Desa Babakan Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang masih memberikan pakan tanpa memperhitungkan kebutuhan nutrien ternak. Pakan yang diberikan yaitu 2
rumput lapang dan konsentrat dengan rasio 60% : 40%. Setelah dilakukan analisis proksimat terhadap ransum yang diberikan dapat diketahui bahwa kandungan protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar dari total ransum di peternakan tersebut sebesar 12,76%, 2,35%, dan 32,01% secara berurutan. Kandungan zat makanan dalam ransum tersebut kurang mencukupi kebutuhan nutrisi kambing. Selain itu peternak juga tidak memberikan air secara ad libitum sehingga kurang menunjang produksi susu optimal kambing perah. Indigofera sp. merupakan hijauan pakan sumber protein. Karakteristik tanaman Indigofera sp. yang dapat tumbuh di daerah tropis dan dapat dimanfaatkan setelah mencapai umur potong 60 hari menunjukkan potensi legum ini untuk dijadikan pakan ternak. Daun Indigofera sp. dapat diberikan dalam bentuk segar maupun setelah mengalami proses pengolahan menjadi pellet. Pakan dalam bentuk pellet akan mempermudah transportasi serta meningkatkan umur simpan pakan. Beberapa penelitian telah mengkaji pemanfaatan daun Indigofera sp. untuk pekan ternak baik dengan metode in vitro maupun in vivo. Sejauh ini, penelitian tersebut hanya melihat aspek kecernaan pakan saja, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji pemberian Indigofera sp. dalam ransum kambing perah terhadap pemanfaatan nutrien dan produksi serta komposisi susu kambing perah. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pellet Indigofera sp. dalam ransum kambing perah terhadap konsumsi pakan, kecernaan pakan, produksi serta komposisi susu kambing PE dan saanen di peternakan Bangun Karso Farm, Babakan Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.
3
TINJAUAN PUSTAKA Indigofera sp. Indigofera sp. merupakan tanaman dari kelompok kacang-kacangan (family Fabaceae) dengan genus Indigofera dan memiliki 700 spesies yang tersebar di Benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Utara, sekitar tahun 1900 Indigofera sp. dibawa ke Indonesia oleh bangsa Eropa, serta terus berkembang secara luas (Tjelele, 2006). Berdasarkan penelitian Hassen et al. (2006) menggunakan beberapa spesies Indigofera sp antara lain I. amorphoides, I. arrecta, I. brevicalyx, I. coerulea, I. costata, I. cryptantha, I. spicata, I. trita, I. vicioides diketahui bahwa tanaman ini berpotensi digunakan sebagai tanaman pakan sekaligus sebagai tanaman pelindung karena mampu memperbaiki kondisi tanah penggembalaan yang mengalami over grazing dan erosi. Beberapa spesies seperti I. arrecata Hochst. Ex A. Rich., I. suffruticosa Mill. dan I. tinctoria L., dimanfaatkan sebagai pewarna, pakan ternak, pelindung tanaman pangan, pelindung tanah dari erosi dan sebagai tanaman hias (Schrire, 2005).
Gambar 1. Legum Indigofera sp. Produktivitas Indigofera sp. mencapai 2,6 ton bahan kering/ha/panen (Hassen et al., 2008). Hal yang mempengaruhi produktivitas Indigofera sp. antara lain waktu pemanenan dan pemupukan. Produksi Indigofera sp. mencapai 4.096 kg bahan kering/ha saat dipanen pada hari ke-88 (Abdullah dan Suharlina, 2010). Abdullah (2010) menyatakan produksi bahan kering Indigofera sp. dapat mencapai 6,8 ton/ha dengan perlakuan pupuk daun dosis 30 g/10 liter. Hasil penelitian Budhie (2010) menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik cair baik dari sumber urin kambing PE
4
maupun pupuk komersial dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi Indigofera sp. Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang kaya akan nitrogen, fosfor dan kalsium. Indigofera sp. sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak dan mengandung protein kasar 27,9%, serat kasar 15,25%, kalsium 0,22% dan fosfor 0,18%. Legum Indigofera sp. memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air dan tahan terhadap salinitas (Hassen et al., 2007). Tarigan (2009) menyebutkan bahwa kandungan protein kasar, kalsium, dan fosfor semakin menurun seiring dengan meningkatnya interval pemotongan, sedangkan kandungan bahan organik, NDF, ADF semakin tinggi dengan meningkatnya interval pemotongan. Kualitas biologi hijauan dapat dilihat dari koefisien cerna bahan kering (KCBK), bahan organik (KCBO), dan protein kasar (KCPK) yang diukur secara in vitro. Koefisien cerna in vitro bahan kering Indigofera sp. berkisar antara 68,2173,15%, koefisien cerna bahan organik berkisar antara 65,33-70,64%, sedangkan koefisien cerna protein kasar mencapai 90,64% (Suharlina, 2010). Pemanfaatan serat kasar sebagai sumber energi bagi ruminan dapat dilihat dari kandungan VFA total Indigofera sp. berkisar 135,54-157,06 mM (Jovintry, 2011). Peningkatan konsentrasi VFA mencerminkan tingginya kualitas hijauan Indigofera sp. Potensi daun Indigofera sp. sebagai pakan kambing telah diteliti oleh Tarigan (2009). Pemberian Indigofera sp. sebanyak 45% dari total ransum kambing Boerka memperlihatkan nilai KCBK sebesar 60,07%, KCBO 62,53%, dan KCPK 69,80% (Tarigan, 2009). Indigofera sp. adalah hijauan dengan kandungan serat kasar rendah dengan nilai kecernaan NDF sebesar 52,13% dan nilai kecernaan ADF sebesar 55,26% (Tarigan, 2009). Pellet Indigofera sp. Ransum bentuk pellet merupakan ransum yang terdiri dari bahan-bahan baku yang diolah melalui proses mekanik, yaitu dipadatkan dan ditekan oleh roller dan die, sehingga membentuk silinder atau batangan kecil. Dozier (2001) menyatakan bahwa ransum dalam bentuk pellet dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi dalam pakan, mempermudah penanganan sehingga menurunkan biaya produksi dan
5
mengurangi penyusutan. Pengolahan hijauan menjadi pellet dapat meningkatkan konsumsi pakan karena pellet merupakan pakan yang telah mengalami proses pemotongan dan penggilingan sehingga ukuran partikel berkurang. Semakin panjang ukuran pakan maka waktu retensi pakan dalam rumen akan meningkat sehingga ternak cenderung akan mengurangi konsumsi pakan. Pakan berbentuk pellet mengalami proses pemotongan, penggilingan, dan pemadatan. Hijauan yang digiling akan meningkatkan luas permukaan pakan sehingga menyediakan media bagi mikroba rumen lebih banyak dan degradasi pakan akan meningkat (Rappeti dan Bava, 2008). Pakan dalam bentuk pellet menyediakan komposisi nutrien yang lebih lengkap bagi ternak karena diformulasi dari campuran beberapa bahan pakan. Proses pemanasan memicu timbulnya gelatinisasi pati yang membantu pengikatan partikel dalam pembentukan pellet, hal ini dapat meningkatkan kecernaan pati (Cheeke, 2005). Berbagai bahan pakan ternak baik biji-bijian maupun hijauan dapat dibentuk menjadi pellet sehingga memiliki komposisi bahan yang lebih padat dan tidak mengubah kandungan bahannya. Salah satu hijauan yang berpotensi diproses menjadi pellet adalah Indigofera sp. yang akan digunakan sebagai pakan sumber protein karena memiliki kandungan protein kasar sebanyak 25,66% (Abdullah, 2010). Pellet dibuat dari daun Indigofera sp. yang dikeringkan setelah panen di bawah sinar matahari hingga kadar air mencapai 14%. Selanjutnya dilakukan penggilingan sampai daun menjadi tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan pellet. Pellet Indigofera sp. memerlukan ruang setengah kali lebih kecil per satuan berat tertentu sehingga lebih efisien dalam hal pengangkutan dan penyimpanan. Nilai rataan Pellet Durability Index sebesar 94,95% menunjukkan bahwa pellet daun Indigofera sp. memiliki kualitas baik sehingga tidak mudah hancur. Pellet Indigofera sp. yang disimpan hingga 60 hari menunjukkan kualitas fisik yang relatif konstan atau tidak berubah sehingga pellet Indigofera sp. dapat disimpan dalam waktu dua bulan (Sholihah, 2011).
6
Gambar 2. Pellet Indigofera sp. Diameter 5 mm Pembuatan pellet Indigofera sp. juga dapat dicampur dengan bahan pakan lain seperti jerami jagung dan jagung giling. Hasil penelitian Handayany (2010) menunjukkan bahwa pellet campuran 75% jerami jagung + 20% legum Indigofera sp. + 5% jagung giling dengan ukuran die 8 mm memiliki kualitas fisik dan komposisi kimia paling baik. Komposisi nutrien daun Indigofera sp. setelah mengalami proses pelleting tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Nutrien dan Asam Amino Pellet Indigofera sp. Ukuran 5 mm Nutrien Bahan kering
Komposisi (% BK) 88,11
Abu
6,41
Protein kasar
25,66
Serat kasar
14
Lemak kasar
2,9
Beta-N
39,14
Asam amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tyrosin Valin Metionin Iso-leusin Leusin
0,150 0,300 0,150 0,055 0,030 0,100 0,045 0,065 0,055 0,080 0,070 0,040 0,065 0,130
7
Lysin
0,035
Sumber: Abdullah, 2010
Kambing Perah di Indonesia Kambing termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, subfamili Caprinae, genus Capra, dan spesies Carpa hicrus (Ensminger, 2002). Populasi kambing di Indonesia sebanyak 16.821.000 ekor (BPS, 2010). Populasi kambing perah di Indonesia dari tahun 2005 sampai 2007 meningkat sebanyak 3.375.000 ekor dan akan terus meningkat karena kambing perah kini dikembangkan menjadi sektor usaha dwiguna yaitu penghasil daging dan susu. Faktor utama yang menentukan produksi susu kambing adalah pakan, oleh karena itu peternak sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan pakan untuk menunjang kebutuhan nutrien kambing perah yang berbeda pada setiap fase produksi seperti yang ditunjukkan Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Kambing Perah Dewasa pada Berbagai Fase Produksi
Fase Produksi
Konsumsi bahan kering (% bobot badan)
Kebutuhan nutrien harian Protein kasar TDN (% BK) (% BK) 7 53
Hidup pokok
1,8 – 2,4
Awal kebuntingan
2,4 – 3,0
9 – 10
53
Akhir kebuntingan
2,4 – 3,0
13 – 14
53
Laktasi
2,8 – 4,6
12 – 17
53 – 66
Sumber: Rashid, 2008
Bagian tubuh yang membedakan antara kambing perah dan jenis kambing lain adalah ambingnya. Ambing kambing perah memiliki ukuran yang lebih besar untuk menunjang produksi susu. Pertumbuhan ukuran ambing dimulai pada masa pubertas karena pertumbuhan sistem ductus akibat pengaruh hormonal. Ambing akan semakin membesar seiring dengan pertambahan umur kebuntingan akibat pertumbuhan alveolus yang sangat pesat. Jaringan lemak digantikan oleh sel sekresi yang akan memproduksi susu. Pada masa laktasi ukuran ambing sudah tidak mengalami pertambahan tetapi sudah dapat menghasilkan susu. Kambing perah di dunia dikelompokkan berdasarkan daerah asalnya, sifatsifat produksinya, dan karakteristiknya sebagai penghasil susu. Beberapa jenis 8
kambing perah yang banyak dikembangkan di dunia antara lain kambing jamnapari dari India, kambing alpin, toggenburg, dan saanen dari Swiss,
kambing anglo
Nubian dari Afrika. Jenis kambing perah yang telah dibudidayakan di Indonesia adalah kambing saanen dan kambing peranakan etawah (Sarwono, 2008). Kambing Peranakan Etawah (PE) Bangsa kambing peranakan etawah merupakan hasil persilangan dari kambing kacang (tipe pedaging) dengan kambing etawah. Kambing peranakan etawah (PE) memiliki bentuk fisik mirip kambing etawah, jika bentuk fisiknya lebih mirip kambing kacang dan ukuran badannya lebih kecil dari kambing PE, maka disebut
kambing
bligon,
gumbolo,
atau
jawa
randu
(Sarwono,
2002).
Karakteristiknya yaitu telinga panjang menggantung dengan warna bulu hitam atau merah dengan putih. Bobot badan jantan sekitar 40-45 kg sedangkan bobot badan betina sekitar 32 kg (Susilorini et al., 2009). Kambing PE mampu beranak 3 kali per dua tahun. Anaknya bervariasi antara 1-4 ekor per kelahiran atau rata-rata 2 ekor per kelahiran. Produksi susu kambing PE berkisar antara 0,5-2,5 liter/hari/ekor dengan masa laktasi 7-10 bulan (Sarwono, 2002). Penelitian Asminaya (2007) menunjukkan konsumsi bahan kering dan produksi susu kambing PE laktasi ke-2 adalah 1346 g/ekor/hari dan 1,2 liter/ekor/hari secara berturut-turut, sedangkan komposisi susu kambing PE yaitu : berat jenis 1,0276 kg/m3 ; protein 3,43%; laktosa 6,42%; lemak 5,56%. Penelitian Astuti et al. (2003) menunjukkan bahwa produksi susu kambing PE yang diberi limbah tempe terfermentasi mencapai 1.544 g/ekor/hari dengan kandungan protein 67,51 g/hari, laktosa 57,76 g/hari, dan lemak 58,50 g/hari.
Kambing Saanen Kambing saanen berasal dari dataran Eropa, yaitu lembah Saanen, Switzerland. Kambing ini termasuk tipe perah dengan ciri-ciri: warna bulu putih atau krem pucat/muda; pada umumnya warna di daerah hidung, telinga, dan ambing belang (hitam/krem-putih); telinga relatif tegak sehingga dahi terlihat lebar (Mulyono, 2005). Kambing saanen jantan dapat mempunyai berat rata-rata 90 kg dan tinggi 90 cm, sedangkan betina mempunyai berat rata-rata 60 kg dan tinggi 80 cm. Produksi susu kambing saanen betina mencapai 3,8 liter/hari/ekor (Erlangga, 2011). 9
Susu kambing saanen memiliki kandungan protein 3,35%, lemak 3,69%, dan laktosa 3,13% (Ruhimat, 2003).
Susu Kambing Kambing perah dapat memproduksi susu sebanyak 3000-4500 lb atau 347521 galon tiap laktasi. Kambing PE dapat menghasilkan susu 0,8-2,5 liter per hari. (Kusuma dan Irmansah, 2009). Panjang masa laktasi PE rata-rata 156 hari selama setahun (Sodiq dan Abidin, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas susu kambing antara lain: 1) bobot badan induk; 2) umur induk; 3) ukuran ambing; 4) jumlah anak; 5) nutrisi pakan; 6) suhu lingkungan; dan 4) penyakit (Ensminger, 2002). Produksi susu kambing masih dapat ditingkatkan dengan manajemen yang baik, seperti pemberian pakan tambahan dan bibit yang berkualitas (Atabany, 2002). Produksi susu kambing akan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya periode laktasi, mulai dari laktasi ke-1 sampai ke-4. Puncak produksi susu terjadi antara minggu ke-2 sampai minggu ke-4 pada setiap periode laktasi (Macciota et al., 2008).
Produksi susu (kg)
──── WD - - - - - - CL ▲ hasil pengamatan
Periode laktasi (bulan)
Gambar 3. Model Estimasi Kurva Laktasi Kambing Saanen tanpa Dikawinkan Sumber: Takma et al., 2009
10
Susu kambing lebih berwarna putih dibanding susu sapi karena tidak mengandung karoten. Perbedaan utama antara susu sapi dan susu kambing adalah kandungan butiran lemak (fat globule) susu kambing yang lebih kecil dibandingkan dengan susu sapi (Ensminger, 2002). Kandungan lemak susu sangat sensitif terhadap perubahan asupan nutrisi. Kandungan protein susu hanya dapat sedikit dimodifikasi karena sangat dipengaruhi oleh polimorfisme lokus αS 1-casein, sedangkan konsentrasi laktosa, mineral, dan komponen solid lainnya dalam susu dipengaruhi langsung oleh zat makanan yang dikonsumsi ternak (Pulina et al., 2008). Komposisi susu kambing terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Susu Kambing Komposisi Bahan kering (%)
Jumlah 15,56-17,76
Sumber Hertaviani (2009)
Lemak (%)
5.97-7,12
Hertaviani (2009)
Protein (%)
4,15-5,0
Hertaviani (2009)
BKTL (%)
9,62-10,01
Hertaviani (2009)
Berat jenis (kg/m3)
1.030-1,035
Hertaviani (2009)
Laktoferin (mg/l)
42,62-46,10
Hertaviani (2009)
6,64-6,69
Hertaviani (2009)
Laktosa (%)
4,8
Pulina dan Nudda (2004)
Energi (kkal/l)
650
Pulina dan Nudda (2004)
Kalsium (mg/l)
134
Pulina dan Nudda (2004)
Fe (%)
0,07
Fosfor (%)
0,27
American Dairy Goat Association (2002) American Dairy Goat Association (2002) American Dairy Goat Association (2002) American Dairy Goat Association (2002) American Dairy Goat Association (2002) American Dairy Goat Association (2002) American Dairy Goat Association (2002) American Dairy Goat Association (2002)
pH
Vitamin A (iu/gram)
39
Vitamin B (μg/100mg)
68
Riboflavin (μg/100mg)
210
Vitamin C (mg asam askorbat/100ml)
2
Vitamin D (iu/gram)
0,7
Kolesterol (mg/100ml)
12
11
Kecernaan Nutrien McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa zat makanan yang tercerna dapat dihitung dengan mengukur selisih zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan zat makanan yang tersisa dalam feses. Pengukuran kecernaan dapat dilakukan secara langsung pada ternak (in vivo) maupun tidak langsung di laboratorium (in vitro) dan melalui metode kantong nilon (in sacco). Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat kecernaan antara lain komposisi pakan, formulasi ransum, teknik pengolahan pakan, suplementasi enzim, jenis ternak, dan tingkat konsumsi ternak. Pengukuran kecernaan ternak ruminansia secara langsung (in vivo) dilakukan melalui koleksi feses total yang lebih mudah dilakukan pada ternak jantan karena saluran ekskresi feses (rektum) berjauhan dari saluran uretra. Ternak ditempatkan dalam kandang individu sehingga dapat diukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan feses yang diekskresikan. Tingkat kecernaan pakan dapat dihitung dengan rumus berikut (Cheeke, 2005): % Kecernaan =
Pakan yang dikonsumsi – Jumlah feses Pakan yang dikonsumsi
x 100%
Sebelum melakukan koleksi feses, ternak harus beradaptasi terhadap pakan yang diberikan untuk memastikan kestabilan mikroflora dalam saluran pencernaan terhadap perlakuan pakan dan menghilangkan residu pakan yang diberikan sebelumnya. Adaptasi selama 10-14 hari dilakukan untuk memaksimalkan tingkat konsumsi pakan. Metode koleksi feses dibagi menjadi dua yaitu koleksi total feses dan koleksi sampel feses. Koleksi total dilakukan dengan mengumpulkan seluruh feses yang dikeluarkan ternak pada waktu yang sama setiap harinya. Astuti et al. (2000) menyatakan kecernaan bahan kering ransum yang terdiri dari hijauan (Penisetum purpureum) dan konsentrat dengan metode koleksi total pada kambing PE laktasi berkisar antara 65-70%, sedangkan kecernaan protein sebesar 52-56% dan kecernaan energi berkisar antara 57-68%. Pengukuran kecernaan di tingkat lapang dapat dilakukan dengan metoda Acid Insoluble Ash (AIA). Koleksi sampel feses dilakukan dengan mengambil feses langsung dari rektum untuk menjaga sampel dari kontaminasi. Panjang waktu koleksi feses adalah 4-12 hari (Rymer, 2000). Hasil koleksi sampel feses kemudian dianalisis
12
dengan metode Acid Insoluble Ash (AIA) secara kualitatif untuk menghitung kecernaan bahan kering ransum (Van Keulen dan Young, 1977). Kadar abu sampel feses dan pakan dianalisis dengan tanur (suhu 600oC) yang dilanjutkan dengan perendaman pada asam kuat atau basa kuat dan kemudian diabukan kembali. Selisih kadar abu sebelum dan sesudah pencucian adalah indikator abu yang tak terlarut dalam asam, yang dapat digunakan sebagai bagian yang tak tercerna. Hasil analisis metode AIA sama dengan pengukuran kecernaan nutrien menggunakan metode koleksi total, akan tetapi metode ini lebih praktis diterapkan. Beberapa keunggulan lain dari metode AIA yaitu lebih nyaman dan murah untuk diaplikasikan dibandingkan dengan metode total koleksi feses pada ternak yang digembalakan (Faichney, 1975; Fahey dan Jung, 1983; Merchen, 1993). Thonney et al. (1985) melaporkan bahwa hasil perhitungan kecernaan bahan kering pakan silase menggunakan metode AIA mirip dengan hasil estimasi kecernaan menggunakan metode total koleksi. Metabolisme Nutrien Tyler dan Ensminger (2006) menyatakan bahwa hal utama yang menjadi ciri khas sistem pencernaan ruminansia adalah perutnya. Ruminansia memiliki 4 bagian perut yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Rumen merupakan lambung dengan ukuran terbesar, semakin dewasa seekor ternak maka ukuran rumen akan meningkat dan papillae rumen yang berfungsi untuk membantu penyerapan nutrien yang telah difermentasi oleh mikroba juga bertambah. Omasum memiliki jaringan untuk membantu pencernaan, sedangkan abomasum juga membantu pencernaan yang bekerja hampir mirip dengan kinerja lambung pada hewan monogastrik. Mikroba rumen akan mencerna karbohidrat menjadi karbondioksida dan Volatile Fatty Acid (VFA) yang produk akhirnya terdiri dari propionat, asetat, dan butirat. VFA tersebut akan diserap di dinding rumen untuk menyuplai kebutuhan energi bagi ruminansia. Lemak akan dicerna oleh mikroba rumen serta di usus menjadi asam lemak dan gliserol. Gliserol akan diubah menjadi propionat, sedangkan asam lemak rantai panjang akan menuju usus halus untuk diserap (Tyler dan Ensminger, 2006). Sebagian besar protein pakan dimetabolisme oleh mikroba dan menyatu menjadi protein mikroba. Proses degradasi protein menghasilkan ammonia yang 13
akan diserap melalui dinding rumen sebagai prekursor nitrogen untuk sintesis protein mikroba (Tyler dan Ensminger, 2006). Amonia yang dihasilkan dalam rumen akan diserap melalui dinding rumen dan bersama asam amino yang diserap dari usus halus akan memasuki aliran darah untuk selanjutnya dibawa ke hati, ginjal, otot dan kelenjar susu. Ketersediaan karbohidrat dibutuhkan sebagai sumber energi untuk perombakan protein. Karbohidrat yang seimbang di rumen mendorong pembentukan propionat sehingga mengurangi kebutuhan asam amino untuk glukoneogenesis dan meningkatkan ketersediaan asam amino untuk diserap dalam usus yang akan digunakan dalam sinesis susu. Pulina et al. (2008) menyatakan bahwa suplementasi karbohidrat dalam pakan sebagai sumber energi dapat meningkatkan penggunaan nitrogen dan membantu sintesis protein mikroba. Selain itu, konsentrasi anti nutrisi seperti tannin terkondensasi dalam pakan dapat mengurangi aktivitas mikroba rumen dan kecernaan asam amino di usus. Senyawa yang telah diserap akan diedarkan oleh darah ke organ target yaitu hati, otot, jaringan adipose, dan kelenjar susu. Asam propionat diubah menjadi glukosa untuk cadangan glukosa hati dan untuk keperluan pembentukan glikogen otot, lemak jaringan adiposa serta lemak dan laktosa susu. Asam butirat sebagian kecil akan dimetabolis menjadi keton untuk keperluan otot, jaringan adipose dan kelenjar susu, sedangkan asetat dibutuhkan untuk pembentukan lemak otot, jaringan adipose dan lemak susu. Asam lemak yang telah diserap melalui sel mukosa usus halus akan diubah menjadi trigliserida kemudian dilepas ke sistem portal untuk ditranspor ke seluruh jaringan yang membutuhkan (Drackley, 1999). Sintesis Susu Substrat utama yang diekstraksi dari darah oleh kelenjar susu ternak laktasi adalah glukosa, asam amino, asam lemak, dan mineral. Biosintesis komponen susu berlangsung di tempat yang berbeda dalam sel. Biosintesis laktosa terjadi di membran golgi, protein disintesis dalam sel sekresi kelenjar susu yang mengandung mitokondria mengikuti pengkodean genetik begitu juga biosintesis beberapa prekursor asam lemak terjadi di tempat yang sama. Biosintesis asam lemak, gliserol dan komponen intermediet lainnya terjadi di sitosol, sedangkan biosintesis trigliserol di dekat retikulum endoplasmik. Komponen lain seperti mineral masuk ke dalam sel melalui transport aktif dan pasif (Akers, 2002). 14
Selama proses biosintesis susu, keterlibatan faktor hormon sangat penting. Hormon prolaktin dilepaskan oleh pituitary anterior setelah induk partus mengambil peran dalam memproduksi susu. Selain itu hormon oksitosin juga berperan dalam milk let down yang membantu keluarnya susu dari puting pada saat pemerahan maupun menyusui (Delaval, 2008). Biosintesis Protein Susu Protein susu terdiri dari dua fraksi utama yaitu kasein (αS1, αS2, β dan κ) dan whey (α-laktoalbumin dan β–laktoglbulin). Susu kambing mengandung kasein sebanyak 80% dari total protein. Biosintesis kasein terjadi di sel sekresi yang dipengaruhi agen eksternal yaitu hormon (progesteron, glukokortikoid, prolaktin, dan insulin) sebagai pengirim sinyal transduksi ke nukleus sehingga gen kasein mengalami transkripsi menjadi mRNA. Molekul mRNA yang telah matang akan mengalami translasi menjadi molekul tunggal kasein kemudian ditransfer ke retikulum endoplasma untuk modifikasi post-translasi. Kasein lebih banyak mengandung prolin, glutamat, dan glutamin, namun sedikit mengandung glisin dan aspartat. Kalsium dan fofat dalam jumlah banyak diperlukan supaya bentuk kasein stabil (Greppi et al., 2008). Sejak mekanisme polimorfisme kasein dan whey teridentifikasi, pada dekade terakhir polimorfisme protein diapliaksikan terhadap karakter molekular dan biokimia untuk meningkatkan performa ternak dan kualitas susu melalui mekanisme genetik. Polimorfisme berkaitan dengan varian generik dan modifikasi saat posttranslasi tergantung pada lokasi dari rangkaian asam amino (Greppi et al., 2008). Peningkatan protein susu juga dapat dilakukan melalui modifikasi pakan. Beberapa studi melaporkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan terhadap protein susu sapi yang diberi pakan dengan kandungan protein kasar tinggi, hal tersebut disebabkan oleh protein pakan tergolong dalam protein yang tidak dapat didegradasi di rumen sehingga akan lebih baik apabila suplementasi protein diberikan dalam bentuk NonProtein Nitrogen (NPN) atau pakan sumber protein yang mudah terdegradasi. Selain itu bahan pakan dari limbah mengandung protein yang sulit dicerna sehingga ternak tidak dapat memanfaatkan asam amino yang terkandung dalam bahan tersebut (Schingoethe, 1996).
15
Biosintesis Lemak Susu Sebagian besar lemak susu terdapat dalam bentuk trigliserida yang disintesis dari bahan-bahan yang diserap dari darah yakni glukosa, asetat, asam βhidroksibutirat, lipoprotein, asam palmitat, serta asam-asam lemak rantai pendek. Pada ruminansia asetat dan β-hidroksibutirat akan disintesis menjadi asam lemak oleh enzim asetil-CoA karboksilase dan fatty acid synthetase (FAS). Sebagian asam lemak yang lain disintesis dari mobilisasi cadangan lemak tubuh dengan proporsi bervariasi menurut fase laktasi (Chilliard et al., 2000). Lemak pakan akan dirombak dalam rumen menjadi trigliserida, fosfolipid, dan glikolipid selanjutnya akan mengalami lipolisis dan hidrogenasi. Trigliserida akan mengalami proses lipolisis oleh enzim lipase dari mikroba mejadi asam lemak bebas (FFA) dan gliserol. FFA juga dihasilkan melalui proses hidrolisis dari galaktolipid dan fosfolipid. Gliserol kemudian akan diubah menjadi asam propionat sebagai prekursor dalam sintesis lemak susu (Mele et al., 2008). Proses hidrogenasi mengubah asam oleat, linoleat, dan linolenat menjadi asam steara dan sejumlah kecil asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap trans. Hasil akhir lipolisis dan hidrogenasi berupa asam lemak rantai pendek akan diserap oleh dinding rumen dan asam lemak rantai panjang masuk ke abomasums, kemudian bercampur dengan digesta dan mengalir ke usus halus. Emulsi lemak terjadi di usus halus dengan bantuan garam empedu dan enzim lipase menghasilkan lemak tercerna berupa misel yang stabil. Misel ini berdifusi melalui sel mukosa usus halus untuk diserap kemudian diubah menjadi trigliserida kemudian ditranspor ke seluruh jaringan yang membutuhkan (Drackley, 1999). Konsentrasi lemak susu dipengaruhi oleh beberapa faktor nutrisi antara lain: (i) konsentrasi, konsumsi, dan sumber karbohidrat bukan serat; (ii) ukuran partikel pakan; (iii) penggunaan probiotik; (iv) jumlah, bentuk fisik, dan komposisi asam lemak dalam pakan; (v) ketersediaan prekursor trans-10, cis-12 asam linoleat terkonjugasi yang dapat menurunkan kadar lemak (Pulina et al., 2008). Biosintesis Laktosa Susu Sebanyak 80% glukosa dari plasma darah digunakan untuk sintesis laktosa, di mana 50-60% diubah menjadi galaktosa dahulu. Sintesis laktosa dari prekursor UDPglaktosa dan glukosa yang masuk ke membran golgi dari sitoplasma dengan osmotik aktif (Neville, 1998). Reaksi pembentukan laktosa dapat adalah sebagai berikut : 16
ATP + glukosa Glukosa-6P
Heksokinase Phospoglucomutase
UTP + Glukosa–1P
UDP-Glucose Puryphosporylase
UDP-Glukosa
UDP-Galactose 4-epimerase
UDP-Galaktosa+ Glukosa
Lactose synthesase
Glukosa-6P +ADP Glukosa-1P UDP-Glukosa+PP UDP-Galaktosa Laktosa + UDP
Peningkatan propionat dari hasil fermentasi pakan di rumen akan meningkatkan glukogenesis di hati dan sekresi insulin. Glukosa adalah prekursor sintesis laktosa. Peningkatan sintesis laktosa dan transport laktosa di dalam alveoli ambing diikuti oleh peningkatan air sehingga produksi susu juga meningkat Rigout et al. (2003). Lin Xue-yan et al. (2010) menyatakan bahwa sintesis laktosa juga ditentukan oleh potensi genetik ternak dan respon positif hanya dapat diamati ketika glukosa merupakan faktor pembatas untuk sintesis laktosa.
17
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Peternakan Kambing Perah Bangun Karso Farm yang terletak di Babakan Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis pakan dan feses dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan selama bulan Mei sampai Juli 2011. Materi Ternak yang digunakan adalah 3 ekor kambing peranakan ettawa (PE) laktasi ke-2 dan 4 ekor kambing saanen laktasi ke-3. Tujuh kambing yang digunakan dalam penelitian ini berada dalam masa akhir laktasi setelah 3 bulan beranak. Pakan yang diberikan antara lain rumput rumput lapang, konsentrat, dan pellet Indigofera sp. Kambing PE dan saanen ditempatkan dalam kandang individu berbentuk panggung berukuran 2x1,5 meter yang terbuat dari bambu. Peralatan yang digunakan selama penelitian antara lain alat-alat perkandangan, perlengkapan koleksi feses, peralatan analisis proksimat, gelas ukur, tanur, timbangan pakan, timbangan gantung, dan milkotester. Metode Rancangan Percobaan Sebanyak 7 ekor kambing yang terdiri dari 3 ekor kambing PE laktasi ke-2 dan 4 ekor kambing saanen laktasi ke-3. Kambing tersebut diberikan 2 perlakuan yaitu P0 (tanpa pellet Indigofera sp.) dan P1 (pellet Indigofera sp. 40% dari total ransum). Sebanyak 2 ekor kambing saanen menerima perlakuan P0 dan 2 ekor kambing saanen lainnya menerima perlakuan P1. Tiga ekor kambing PE terdiri 2 ekor untuk mendapat perlakuan P0 dan 1 ekor sisanya mendapat perlakuan P1. Pakan diberikan sebanyak 4 kali sehari sedangkan air minum diberikan secara ad libitum. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif melalui penjabaran ukuran penyebaran dan pemusatan untuk memperoleh gambaran pengaruh pemberian pellet Indigofera sp. dalam ransum (Steel dan Torrie, 1995).
18
Perlakuan Dua perlakuan antara lain yang diberlakukan pada penelitian ini adalah: P0 = kontrol (rumput lapang 60% + konsentrat 40%) P1 = rumput lapang 60% + pellet Indigofera sp. 40% Komposisi nutrien rumput lapang, konsentrat, dan pellet Indigofera sp. yang digunakan untuk penyusunan ransum selama penelitian dapat dilihat di Tabel 4. Susunan ransum berdasarkan perlakuan yang diberikan terdapat pada Tabel 5.
Tabel 4. Komposisi Nutrien Bahan Pakan Penelitian Nutrien
Komposisi (%) Rumput lapang1
Konsentrat1
Pellet Indigofera sp.2
Bahan kering
22,67
86,63
88,11
Abu
8,76
7,64
6,41
Prtotein kasar
11,61
14,48
25,66
Serat kasar
38,27
22,62
14
Lemak kasar
1,25
4,01
2,9
Beta-N
31,90
36,99
39,14
TDN3
59,3
56,01
75,47
Keterangan: 1. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2011). 2. Abdullah, 2010. 3. Rumus perhitungan TDN (Total Digestible Nutrient) TDN rumput lapang (Sutardi, 1980) = 1,334 (SK) + 6,598 (LK) + 1,423 (Beta-N) + 0,967 (PK) – 0,020 (SK)2 – 0,670 (LK)2 – 0,024 (SK) (Beta-N) - 0,055 (LK) (Beta-N) – 0,146 (LK) (PK) + 0,039 (LK)2 (PK) TDN Konsentrat dan Pellet Indigofera sp. (Hartadi et al., 1980) = 37,937 – 1,018 (SK) – 4,886 (LK) + 0,173 (Beta-N) + 1,042 (PK) + 0,015 (SK) 2 – 0,058 (LK)2 + 0,008 (SK) (beta-N) + 0,119 (LK) (Beta-N) + 0,038 (Beta-N) (PK) + 0,003 (SK)2 (PK)
19
Tabel 5. Susunan Ransum Penelitian dan Perhitungan Komposisi Nutrisi Ransum (%BK) Bahan Pakan
Taraf Pemberian (%)
Rumput lapang
P0 60
P1 60
Konsentrat
40
0
Pellet Indigofera sp.
0
40
Jumlah (%) Bahan kering
100 48,25
100 48,85
Abu
8,31
7,82
Protein kasar
12,76
17,23
Serat kasar
32,01
28,56
Lemak kasar
2,35
1,91
Beta-N
33,94
34,81
TDN
57,98
65,77
Keterangan: Komposisi nutrien ransum P0 = (60% x nutrien rumput lapang) + (40% x nutrien konsentrat) Komposisi nutrien ransum P1 = (60% x nutrien rumput lapang) + (40% x nutrien pellet Indigofera sp.)
Prosedur Persiapan Sebelum diberikan perlakuan, ternak percobaan harus melalui tahap penyesuaian terhadap perubahan pakan (preliminary) selama 1 minggu. Tahap ini juga bertujuan untuk mengurangi pengaruh pakan yang diberikan sebelum perlakuan terhadap parameter yang akan diamati. Persiapan pemeliharaan meliputi penyekatan tempat pakan kandang dan memindahkan kambing yang digunakan untuk penelitian ke kandang individu. Pemeliharaan Pemeliharaan 7 ekor kambing (4 ekor kambing saanen dan 3 ekor kambing PE) dilakukan selama 4 minggu di kandang individu. Sebelum pemeliharaan dilakukan penimbangan dengan tujuan untuk menghitung jumlah konsumsi bahan kering kambing perah per hari yaitu sebesar 4% dari bobot badan (Ensminger, 2002). Pakan diberikan sebanyak 4 kali sehari sedangkan air minum diberikan secara ad
20
libitum. Konsumsi pakan dan sisa pakan ditimbang setiap hari. Pengukuran produksi susu per hari dilakukan dengan mencatat hasil pemerahan pada pagi dan sore hari.
Tabel 6. Konsumsi Bahan Kering Ransum Kambing PE dan Saanen Dihitung dari 4% Bobot Badan Awal Pemeliharaan Konsumsi bahan kering Perlakuan
P0
P1
Keterangan : 1) P0 P1 2) S PE
Kode kambing S1
Bobot badan (kg) 48
(kg/ekor/hari) 1,92
S2
38
1,52
PE1
34
1,36
PE2
50
2,00
S1
39
1,56
S2
35
1,40
PE
48
1,92
= Rumput lapang 60% + konsentrat 40% = Rumput lapang 60% + pellet Indigofera sp. 40% = kambing saanen = kambing Peranakan Etawah
Koleksi Sampel Feses Koleksi feses dilakukan dengan mengambil sampel feses dari rektum kambing sebanyak 8-10 butir selama 7 hari terakhir masa pemeliharaan. Pada hari terakhir, koleksi feses dilakukan setiap 3 jam sekali. Sampel feses kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Berat sampel sebelum dan sesudah dikeringkan dicatat. Sampel feses yang sudah kering dari masing-masing percobaan dicampur kemudian dibawa ke laboratorium Nutrisi Ternak Perah untuk dianalisis Acid Insoluble Ash (AIA).
Peubah yang Diamati Konsumsi Pakan (kg/ekor/hari) Konsumsi pakan merupakan selisih antara pakan yang diberikan dengan pakan sisa yang ditimbang. Sedangkan konsumsi pakan per ekor per hari merupakan
21
konsumsi pakan total dibagi masa pemeliharaan. Perhitungan konsumsi bertujuan untuk mengetahui konsumsi bahan kering (BK) dan nutrien pakan seperti protein, serat, lemak dan energi.
Konsumsi BK pakan (%) = [pakan yang diberikan (g) – sisa pakan (g)] x %BK bahan Konsumsi Nutrien (g/ekor/jari) = konsumsi BK pakan x kadar nutrien dalam pakan
Kecernaan dengan Metode AIA (Van Keulen dan Young, 1977) Koleksi feses dilakukan selama 7 hari berturut-turut pada akhir penelitian. Feses diambil langsung dari dalam rektum. Pengambilan sampel feses dilakukan sebanyak dua kali pada pagi dan sore secara kualitatif dan hari terakhir dilakukan koleksi feses setiap 3 jam sekali. Sampel feses dari setiap ekor kambing diambil sebanyak 8-10 butir kemudian dikeringkan di bawah matahari sebelum dibawa ke laboratorium. Berat sampel ditimbang sebelum dan setelah dikeringkan. Selama periode pemberian pakan, sampel pakan diambil untuk dianalisis proksimat. Pada akhir percobaan sampel feses yang sudah kering dari setiap percobaan digabungkan kemudian digiling dan dianalisis proksimat. Sebanyak 2 g sampel diabukan pada suhu 600oC. Abu dimasukkan dalam gelas piala, ditambah 25 ml HCl 2N dan dididihkan hingga volume awal menjadi kurang lebih setengahnya. Kemudian abu disaring ke dalam crucible (yang sudah diketahui bobotnya). Endapan dicuci dengan air suling panas (85-100oC) sampai bebas asam. Hasil saringan diabukan lagi. Timbang berat abu yang tidak larut dalam asam. Analisis ini dikerjakan untuk sampel feses dan pakan. % AIA =
Berat abu yang tidak larut dalam asam - Blanko Berat sampel
x 100%
Hasil persen AIA digunakan untuk menghitung kecernaan bahan kering dengan perhitungan sebagai berikut.
% KCBK =
%AIA feses – %AIA pakan %AIA feses
x 100%
22
Produksi Susu (liter/ekor/hari) dan Komposisi Susu Produksi susu diperoleh dengan cara mencatat hasil pemerahan 12 ekor kambing PE pada pagi dan sore hari yang diukur dari masa persiapan (preliminary) dan pemeliharaan. Alat yang digunakan adalah gelas ukur dengan skala terkecil 50 ml dan kapasitas maksimal 1 liter. Sampel susu diambil untuk dilakukan analisis komposisi susu kambing meliputi kandungan lemak, protein, dan berat jenis susu menggunakan Milkotester Ltd. “Milk Analyzer Master Pro”. Sampel susu sebanyak 100 ml diletakkan di bawah alat sensor ultrasonik. Komposisi susu akan terbaca setelah 60 detik kemudian. Efisiensi Pemanfaatan Ransum Terhadap Komposisi Susu Rasio penggunaan nutrien ransum terhadap komposisi susu dihitung dari perbandingan antara kandungan nutrien dalam susu dibanding konsumsi nutrien tersebut, atau dapat disebut dengan efisiensi nutrien terhadap komposisi produk (Asminaya, 2007). Efisiensi pemanfaatan protein ransum dihitung dari rasio antara jumlah protein dalam susu dibagi jumlah konsumsi protein dari ransum (Zamami et al., 2011). Pemanfaatan nutrien lain dihitung dari rasio yang sama yaitu jumlah nutrien susu dibagi konsumsi nutrien dari ransum. Efisiensi penggunaan ransum menjadi produksi susu (
)
( ) (
)
Efisiensi penggunaan protein pakan menjadi protein susu ( ) ( ) Efisiensi penggunaan lemak pakan menjadi lemak susu ( ) ( )
( )
Efisiensi penggunaan glukosa menjadi laktosa ( ) ( ) 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Peternakan Peternakan Bangun Karso Farm terletak di Babakan Palasari, Kec. Cijeruk, Kab. Bogor, Jawa Barat. Peternakan ini membudidayakan beberapa jenis komoditi ternak antara lain sapi perah, sapi potong, domba, dan kambing perah. Sektor usaha kambing perah yang dikembangkan adalah kambing peranakan etawah (PE) dan saanen. Jumlah kambing perah laktasi di Bangun Karso Farm 30 ekor dengan produksi susu kambing total di Bangun Karso Farm rata-rata 25 liter per hari. Produksi susu kambing PE pada masa laktasi selama 1 bulan pertama setelah beranak mencapai 1,5-2 liter sedangkan produksi susu kambing saanen pada masa laktasi bisa mencapai 4 liter. Idealnya kambing bisa beranak sebanyak 2 kali selama setahun, akan tetapi di peternakan Bangun Karso Farm sering terjadi kasus gagal kawin sehingga selang beranak bertambah panjang. Kualitas susu kambing senantiasa dijaga dengan menerapkan Good Farming Practices. Kandang kambing di peternakan Bangun Karso Farm berbentuk kandang panggung sehingga kotoran ternak dapat langsung jatuh ke saluran pembuangan. Peternak menjaga kebersihan kandang dengan membersihkan kandang dan memandikan kambing secara rutin. Setelah pemerahan susu ditempatkan ke dalam wadah (milk can) tertutup untuk disaring dan segera dikemas. Susu yang sudah dikemas kemudian dibekukan dalam freezer. Harga jual susu kambing di Bangun Karso Farm adalah Rp 25.000,- per liter.
(a) Gambar 4.
(b) Sistem Perkandangan di Bangun Karso Farm (a) dan Kambing Saanen yang Mengonsumsi Pellet Indigofera sp. (b)
24
Hasil Pengamatan Hasil perhitungan analisis deskriptif meliputi nilai maksimum dan minimum, rataan, serta ragam keseluruhan data beberapa parameter yang diamati dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perhitungan Analisis Deskriptif Parameter yang Diamati Parameter
Minimum
Maksimum
Rataan
Ragam
Konsumsi BK (g/e/h)
1898
2552
2170,86
6,511
Kecernaan (%)
40,21
73,91
53,6357
194,937
287
795
574,14
3,595
1,0280
1,0337
1,0318
0,000
Protein (%)
4,94
6,12
5,5400
0,176
Lemak (%)
4,00
10,17
6,7371
5,178
Laktosa (%)
3,24
3,90
3,6486
0,045
Ransum (%)
15,6
38,4
27,286
80,021
Protein (%)
7,3
12,0
10,423
3,791
Lemak (%)
3,7
7,4
5,434
1,812
Laktosa (%)
1,7
4,0
2,996
0,888
Produksi susu (ml/e/h) Komposisi susu Berat jenis (kg/m3)
Efisiensi
Pembahasan Konsumsi Pakan Rataan konsumsi bahan kering ransum sebesar 2170,86 g/e/h. Konsumsi bahan kering terendah adalah konsumsi ransum P0 (rumput lapang 60% + konsentrat 40%) oleh kambing saanen sebanyak 1898 g, sedangkan konsumsi bahan kering tertinggi yaitu konsumsi ransum P0 oleh kambing PE sebanyak 2552 g/e/h. Konsumsi bahan kering kambing perah lebih dari 4% bobot badan kambing yang ditimbang sebelum masa pemeliharaan. Konsumsi ternak dipengaruhi oleh faktor pakan dan ternak. Ternak lebih suka mengonsumsi pakan berkualitas dengan tingkat palatabilitas tinggi. Kualitas pakan ternak selain ditentukan dari kandungan zat makanan juga dipengaruhi oleh tingkat 25
kecernaannya. Faktor ternak yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah kondisi fisiologi ternak yang membutuhkan zat makanan dengan jumlah berbeda pada setiap fasenya (Orskov, 2001). Jumlah konsumsi kambing yang tinggi diperlukan untuk menunjang kebutuhan zat makanan yang diperlukan pada masa laktasi. Kambing saanen laktasi ke-3 dan kambing PE laktasi ke-2 yang digunakan dalam penelitian ini memerlukan zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, dan produksi susu. Apabila dikaji dari segi kandungan nutrisinya, ransum P1 mengandung protein kasar lebih tinggi dengan kandungan serat kasar yang lebih rendah dibandingkan P0 sehingga konsumsi bahan kering ransum P1 meskipun lebih rendah namun telah memenuhi kebutuhan nutrien kambing perah. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi bahan kering adalah sistem pencernaan ternak. Ternak ruminansia akan mengurangi konsumsi pakan jika waktu retensi pakan meningkat sehingga kapasitas rumen untuk menampung makanan berkurang (Orskov, 2001). Waktu retensi pakan juga dipengaruhi oleh bentuk pakan. Semakin panjang ukuran partikel pakan, maka waktu retensi dalam rumen akan meningkat. Pellet merupakan pakan yang telah mengalami proses pemotongan dan penggilingan untuk memperkecil ukuran partikel, akan tetapi berdasarkan hasil pengamatan konsumsi ransum P1 yang mengandung pellet Indigofera sp. lebih rendah dibandingkan ransum P0. Hal ini disebabkan oleh kurang terpenuhinya kebutuhan air minum untuk kambing perah di Peternakan Bangun Karso Farm. Ransum P1 mengandung protein kasar lebih tinggi sedangkan kandungan serat kasarnya lebih rendah, ketika air dan mineral cukup terpenuhi maka kambing akan memilih hijauan yang mengandung nitrogen lebih tinggi dan kandungan serat lebih rendah (Fisher et al., 1999; Raghavendra et al., 2002). Oleh karena itu kambing yang diberi ransum P0 mengonsumsi bahan kering lebih banyak. Perbandingan konsumsi bahan kering antara kambing saanen dan kambing PE menunjukkan bahwa kambing saanen yang memiliki bobot badan lebih rendah mengonsumsi bahan kering lebih tinggi dibandingkan kambing PE. Tingkat konsumsi pada kambing perah selain dipengaruhi oleh bobot badan juga dipengaruhi oleh produksi susu dan periode laktasi (Avondo et al., 2008). Kambing saanen memiliki produksi susu lebih tinggi dibandingkan dengan kambing PE sehingga memerlukan zat makanan dalam jumlah lebih banyak untuk sintesis susu.
26
Konsumsi bahan kering kambing PE pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan konsumsi bahan kering kambing PE pada penelitian Astuti et al. (2000) yaitu sebesar 620-864 g/ekor/hari dengan kandungan protein ransum lebih tinggi yaitu 17,16% dan penelitian Asminaya (2007) yaitu sebanyak 638 g/ekor/hari dengan kandungan protein 19,61%. Konsumsi bahan kering menentukan konsumsi nutrien ternak. Rashid (2008) menyatakan bahwa kebutuhan protein kasar kambing perah berkisar antara 12-17% per hari dan TDN sebesar 53-66%. Ransum yang diberikan di Peternakan Bangun Karso Farm terdiri dari campuran rumput lapang dan konsentrat kurang memenuhi kebutuhan protein harian kambing perah sehingga pemanfaatan pellet Indigofera sp. dalam ransum dapat meningkatkan ketersediaan protein kasar dalam pakan kambing perah. Berdasarkan perhitungan rataan konsumsi bahan kering ransum P0 dan P1 dapat dilihat bahwa konsumsi protein kambing PE dan kambing saanen yang diberi ransum P1 dengan kandungan protein sebanyak 17% dan kandungan TDN lebih tinggi sebesar 65,77% telah memenuhi kebutuhan protein harian yang dibutuhkan kambing perah laktasi. Komposisi nutrien ransum menentukan jumlah konsumsi nutrien oleh ternak. Nutrien yang dikonsumsi ternak akan mengalami proses pencernaan dan metabolisme dalam tubuh kemudian ditranspor oleh darah ke organ-organ yang membutuhkan. Perhitungan rataan konsumsi nutrien kambing perah masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 8. Konsumsi lemak kasar, serat kasar, dan Beta-N pada kambing perah yang diberi ransum P0 lebih tinggi daripada kambing yang diberi ransum P1. Hal ini sejalan dengan konsumsi bahan kering ransum P0 pada kambing PE dan saanen yang lebih tinggi dibandingkan konsumsi bahan kering ransum P1 sehingga konsumsi nutrien lebih banyak. Sebaliknya, konsumsi protein kasar dan TDN lebih tinggi pada kambing perah yang diberi ransum P1 sehingga meskipun konsumsi bahan kering ransum P1 lebih rendah akan tetapi jumlah konsumsi tersebut telah menyuplai asupan protein dan TDN yang lebih banyak untuk kambing perah fase laktasi.
27
Tabel 8. Rataan Konsumsi Nutrien Kambing PE dan Saanen pada Setiap Perlakuan Perlakuan P0
P1 Keterangan : 1) P0 P1 2) S PE 3) LK PK SK TDN
Konsumsi nutrien ransum (g/ekor/hari) LK SK Beta-N TDN 52 704 747 2339
Kode kambing S
PK 281
PE
426
79
725
788
2394
S
363
40
602
733
2536
PE
354
39
587
715
2479
= Rumput lapang 60% + konsentrat 40% = Rumput lapang 60% + pellet Indigofera sp. 40% = kambing saanen = kambing Peranakan Etawah = Lemak kasar = Protein kasar = Serat kasar = Total Digestable Nutrient
Konsumsi protein pada kambing PE dan saanen yang diberi ransum P1 lebih tinggi dibandingkan konsumsi protein pada kambing yang diberi ransum P0. Kandungan protein ransum P1 yang diberi pellet Indigofera sp. lebih tinggi dibandingkan kandungan protein ransum P0, sehingga meskipun konsumsi bahan kering ransum P1 lebih sedikit namun telah memenuhi kebutuhan protein kambing perah. Konsumsi protein pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Astuti et al. (2000) yang menyatakan bahwa konsumsi protein kambing perah laktasi berkisar antara 135-158 g/ekor/hari.
Kecernaan Bahan Kering Perhitungan Koefesien Cerna Bahan Kering (KCBK) melalui metode Acid Insoluble Ash (AIA) diperoleh dari selisih abu yang tidak terlarut dalam asam sebagai indikator dari bahan yang tidak tercerna. Nilai terendah kecernaan bahan kering sebesar 40,21% yaitu kecernaan ransum P0 pada kambing saanen sedangkan ransum P1 memiliki nilai kecernaan tertinggi pada kambing saanen sebesar 73,91%. Nilai keragaman koefisien cerna cukup besar disebabkan perbedaan yang tinggi antara kecernaan ransum P0 dan P1.
28
Gambar 5. Kecernaan Bahan Kering Ransum P0 dan P1 pada Tiap Kambing Perah. P0 = Rumput Lapang 60%+Konsentrat 40%; P1 = Rumput Lapang 60%+Pellet Indigofera sp. 40%. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan pakan adalah teknik pengolahan pakan (McDonald et al., 2002). Pakan berbentuk pellet mengalami proses pemotongan, penggilingan, dan pemadatan. Hijauan yang digiling akan memperkecil ukuran partikel serta meningkatkan luas permukaan bahan pakan. Hal ini akan meningkatkan kecernaan pakan karena semakin luas permukaan partikel pakan dapat meningkatkan kesempatan bagi mikroba rumen menempel pada partikel pakan dan mencerna makanan (Rappeti dan Bava, 2008). Oleh karena itu ransum P1 memiliki nilai kecernaan lebih tinggi dibandingkan ransum P0. Nilai kecernaan bahan kering yang tinggi mengindikasikan zat makanan yang dikonsumsi dapat dicerna dan diserap lebih baik oleh ternak. Nilai kecernaan bahan kering ransum P1 juga lebih tinggi dibandingkan nilai kecernaan bahan kering daun Indigofera sp. yang diberikan pada ransum kambing boerka yaitu sebesar 60,07%, jadi pemberian pellet Indigofera sp. lebih mudah dicerna sebagai pakan kambing perah. Koefisien cerna bahan kering ransum P0 lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Astuti et al. (2000) yang menunjukkan bahwa kecernaan konsentrat pada kambing PE sebesar 65-70%, artinya nutrien yang terkandung dalam konsentrat Peternakan Bangun Karso Farm kurang dapat dimanfaatkan oleh kambing perah. Konsentrat yang diberikan pada kambing perah di Peternakan Bangun Karso Farm
29
terbuat dari campuran dedak, pollard, kulit kopi, bungkil kedelai, limbah roti, dan jagung. Pellet Indigofera sp. memiliki kandungan serat kasar sebesar 14%, lebih rendah dibandingkan dengan konsentrat yang mengandung serat kasar 22,62% sehingga kecernaan ransum P0 yang mengandung 40% konsentrat lebih rendah dibandingkan kecernaan ransum P1. Suharlina (2010) menyatakan bahwa koefisien cerna bahan kering Indigofera sp. yang diukur secara in vitro berkisar antara 68,21-73,15%. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil pengukuran kecernaan Indigofera sp. dalam ransum kambing boerka maupun kambing PE dan saanen. Pengukuran nilai kecernaan secara in vivo suatu ransum juga dipengaruhi oleh kondisi ternak dan bahan pakan lain yang diberikan sebagai campuran dalam ransum. Pada penelitian ini ransum P1 terdiri dari campuran rumput lapang dan pellet Indigofera sp., sehingga kecernaan ransum P1 juga dipengaruhi oleh komposisi nutrien yang terdapat dalam rumput lapang. Tarigan (2010) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering daun Indigofera sp. pada kambing boerka mengalami peningkatan seiiring dengan tingkat pemberiannya dalam ransum karena kandungan serat kasar turun sehingga kecernaan meningkat. Faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap kandungan nutrisi tanaman seperti umur tanaman, pemberian pupuk, kondisi iklim dan tanah juga menentukan tingkat kecernaan pakan (McDonald et al., 2002). Pengaruh pemberian pupuk dapat meningkatkan kualitas nutrisi hijauan sebagai pakan ternak (Whitehead, 2000). Penelitian Jovintry (2011) menunjukkan koefisien cerna bahan kering daun Indigofera sp. secara in vitro tidak nyata dipengaruhi oleh pemberian pupuk cair daun. Hal ini disebabkan pemberian pupuk di awal masa pertumbuhan tanaman Indigofera sp. belum terakumulasi sehingga tidak ada perubahan kandungan nutrisi.
Produksi Susu Terdapat kurang lebih 20 ekor kambing laktasi yang menghasilkan produksi susu total sebanyak 25 liter per hari di Peternakan Bangun Karso Farm. Kambing laktasi tersebut berada pada periode laktasi berbeda mulai dari laktasi ke-1 sampai ke-4. Tujuh ekor kambing yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 ekor kambing PE laktasi ke-2 dan 4 ekor kambing saanen laktasi ke-3. Seluruh kambing tersebut memasuki periode akhir laktasi yaitu pada bulan ke-3 post-partum. Produksi
30
susu kambing per hari dicatat dari jumlah pemerahan pagi dan sore dengan selang waktu pemerahan 12 jam. Rata-rata produksi susu kambing sebesar 574 ml/e/h dengan produksi susu terendah 287 ml/h/e pada kambing saanen yang diberi ransum P0 sedangkan produksi susu tertinggi 795 ml/e/h pada kambing saanen yang diberi ransum P1. Kambing saanen yang diberi ransum P1 memiliki produksi susu harian lebih tinggi dibandingkan kambing saanen yang diberi ransum P0. Kambing PE yang diberi ransum P1 memiliki produksi susu lebih tinggi dari pada rataan produksi kambing PE yang diberi ransum P0. Perbandingan antara rataan produksi susu kambing PE dan saanen pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6.
Rataan Produksi Susu Kambing Saanen dan PE yang Mendapat Perlakuan P0 dan P1. P0 = Rumput Lapang 60%+Konsentrat 40%; P1 = Rumput Lapang 60%+pellet Indigofera sp.
Kambing PE mampu memproduksi susu sebanyak 0,5-2,5 liter/hari/ekor sedangkan kambing saanen produksi susunya mencapai 3,8 liter/ekor/ekor pada puncak masa laktasi (Sarwono, 2002; Erlangga, 2011). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan produksi susu kambing lebih rendah karena status fisiologi kambing perah tersebut berada pada fase laktasi akhir di mana produksi susu sudah mulai turun. Berdasarkan hasil penelitian, produksi susu kambing perah yang diberi ransum P1 lebih tinggi dibandingkan ransum P0. Hal ini disebabkan perbedaan kualitas ransum P0 dan P1. Ransum P1 mengandung protein kasar 17,23%
31
dan TDN 65,77% lebih tinggi dibandingkan ransum P0 yang memiliki kandungan protein kasar dan TDN sebesar 12,76% dan 57,98% secara berurutan. Kualitas ransum tidak hanya dapat dilihat dari komposisi nutrisinya saja, melainkan juga tingkat kecernaan. Rataan nilai kecernaan ransum P1 lebih tinggi dibandingkan nilai kecernaan ransum P0 baik pada kambing PE maupun kambing saanen. Semakin tinggi nilai kecernaan maka nutrien ransum dapat dimanfaatkan lebih baik oleh ternak. Pakan merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi susu. Sintesis susu diperoleh dari nutrien yang dialirkan oleh darah sebagai prekursor untuk proses sintesis susu di sel sekresi ambing. Kambing perah laktasi membutuhkan protein 16% dan TDN 60% per hari (Asminaya, 2007). Ransum P0 dan P1 telah memiliki komposisi nutrien yang sesuai untuk mencukupi kebutuhan nutrien kambing perah fase laktasi akan tetapi karena ransum P0 memiliki nilai kecernaan yang lebih rendah maka kambing perah yang diberi ransum P1 mendapatkan asupan nutrien yang lebih banyak. Ransum P1 yang berbentuk pellet dapat mengurangi waktu makan sehingga dapat menghemat energi. Energi yang dihemat ini dapat digunakan untuk produksi susu (Orskov, 2001). Perubahan pakan dapat berdampak langsung terhadap produksi susu kambing. Produksi susu harian kambing PE dan saanen mengalami fluktuasi seperti yang digambarkan pada grafik (Gambar 6 dan Gambar 7). Hal ini disebabkan kondisi rumput lapang yang diberikan oleh peternak setiap hari tidak stabil. Rumput lapang diberikan dalam kondisi segar dan tidak disimpan dalam gudang pakan sehingga apabila hujan tiba rumput akan terkena air hujan. Palatabilitas rumput tersebut menjadi berkurang, akibatnya konsumsi ternak turun dan produksi susu pada hari berikutnya juga mengalami penurunan.
32
Gambar 7. Produksi Susu Harian Kambing PE yang Mendapat Perlakuan P0 dan P1 Selama Pemeliharaan. P0 = Rumput Lapang 60% + Konsentrat 40%; P1 = Rumput Lapang 60% + pellet Indigofera sp.
Gambar 8. Produksi Susu Harian Kambing Saanen yang Mendapat Perlakuan P0 dan P1 Selama Pemeliharaan. P0 = Rumput Lapang 60% + Konsentrat 40%; P1 = Rumput Lapang 60% + pellet Indigofera sp.
Pada masa awal pemeliharaan produksi susu kambing PE mengalami penurunan drastis, hal ini dikarenakan kambing masih berada dalam fase adaptasi terhadap perubahan pakan yang diberikan. Produksi susu kembali meningkat pada hari ke-7 pemeliharaan dan sedikit mengalami fluktuasi namun tidak ekstrim pada hari berikutnya. Penurunan produksi susu kembali terjadi pada masa akhir 33
pemeliharaan. Pada 7 hari terakhir masa pemeliharaan dilakukan koleksi sampel feses langsung dari rektum kambing yang memicu cekaman sehingga mempengaruhi produksi susu. Sudono et al. (2003) menyatakan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi produksi susu adalah selang beranak (calving interval). Kambing mampu beranak sebanyak 3 kali dalam 1,5 tahun artinya selang beranak kambing adalah 6 bulan. Fakta yang terjadi di peternakan Bangun Karso Farm adalah selang beranak mencapai lebih dari 7 bulan sehingga produksi susu mengalami penurunan. Penyebabnya adalah kurang terpenuhi asupan nutrien untuk menjaga siklus reproduksi ternak sehingga waktu birahi kambing terlambat. Selain itu peternak kurang terampil dalam mendeteksi kebuntingan sehingga keberhasilan perkawinan tidak segera diketahui.
Komposisi Susu Kandungan berat jenis susu kambing perah berkisar antara 1,0280-1,0337 (kg/m3); protein susu 4,94-6,12%; lemak susu 4-10,17%; laktosa susu 3,24-3,90%. Berdasarkan perhitungan nilai keragaman komposisi berat jenis, protein, dan laktosa susu kambing memiliki nilai rendah. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi berat jenis, protein, dan laktosa tidak berbeda antara susu yang diproduksi dari kambing dengan perlakuan ransum P0 maupun ransum P1. Kualitas susu dipengaruhi oleh zat makanan yang tersedia dalam darah karena zat makanan tersebut akan digunakan sebagai prekursor dalam sintesis susu (Rumetor, 2008). Kandungan lemak susu kambing yang diberi ransum P0 lebih tinggi dibandingkan lemak susu pada susu kambing yang diberi ransum P1. Kualitas dan kuantitas lemak susu dapat dimodifikasi melalui perubahan komposisi ransum seperti perbandingan pemberian konsentrat dan hijauan, kualitas hijauan, dan suplementasi lemak. Pada fase awal laktasi suplementasi lemak dalam pakan akan meningkatkan lemak susu dan produksi susu, sedangkan pada pertengahan masa laktasi suplementasi lemak hanya akan meningkatkan lemak susu. Sebaliknya pada masa akhir laktasi suplementasi lemak tidak terlalu memengaruhi produksi susu (Chilliard et al., 2001). Studi terkini mengenai pengaruh komposisi ransum terhadap produksi
34
susu dan kandungan lemak susu menyatakan bahwa peningkatan jumlah konsentrat dalam ransum hingga 60% dapat meningkatkan produksi susu namun tidak mempengaruhi kadar lemak susu (Min et al., 2005). Ransum P1 mengandung serat kasar dan lemak kasar lebih rendah dibandingkan ransum P0, sehingga lemak susu pada kambing perah yang diberi ransum P1 lebih rendah dibandingkan pada kambing perah yang diberi ransum P0. Lemak susu kambing PE yang diberi ransum P0 sesuai dengan hasil penelitian Hertaviani (2009) yaitu berkisar antara 5,97%-7,12%. Kandungan protein susu kambing PE dan saanen pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kandungan protein susu kambing pada penelitian Hertaviani (2009) yang berkisar antara 4,15%-5%. Protein pakan berpengaruh langsung terhadap komposisi protein dan produksi susu kambing. Tingkat kecernaan protein pakan di rumen akan menentukan ketersediaan asam amino yang akan digunakan sebagai prekursor dalam sintesis protein susu. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah bentuk pakan. Hasil penelitian Sanz Sampelayo et al. (1998) menunjukkan bahwa pemberian hijauan dalam bentuk pellet pada kambing akan meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen untuk sintesis protein mikroba sehingga asam amino yang dihasilkan juga meningkat. Asam amino akan digunakan sebagai prekursor dalam proses sintesis susu. Kandungan laktosa susu kambing PE dan saanen pada kedua perlakuan ransum tidak berbeda jauh. Nudda dan Pulina (2004) menyatakan bahwa kandungan laktosa susu kambing sebesar 4,8% sedangkan berdasarkan penelitian Asminaya (2007), kandungan laktosa susu kambing mencapai 6,24%. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan laktosa hasil uji komposisi susu kambing PE dan saanen pada penelitian ini. Laktosa disintesis dari glukosa darah yang diedarkan dari sel sekretori pada kelenjar ambing. Glukosa diperoleh dari perombakan karbohidrat pakan. Sumber karbohidrat diperoleh dari perombakan serat kasar pakan dan karbohidrat non-serat yang dinyatakan dalam bentuk Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (Beta-N). Kandungan serat kasar dan Beta-N baik ransum P0 maupun ransum P1 tidak berbeda jauh sehingga komposisi laktosa susu kambing juga tidak berbeda.
35
Efisiensi Pemanfaatan Ransum terhadap Komposisi Susu Kambing Kualitas suatu bahan pakan tidak hanya dilihat dari komposisi nutrien tetapi juga pemanfaatan nutrien untuk menunjang produksi ternak. Konsusmsi bahan kering ransum P1 (rumput lapang 60% + pellet Indigofera sp. 40%) lebih efisien untuk dikonversi menjadi produksi susu dibandingkan konsumsi ransum P0 (rumput lapang 60% + konsentrat 40%). Rasio pemanfaatan ransum untuk produksi susu berkisar antara 15,6% pada kambing saanen yang diberi ransum P0 sedangkan rasio tertinggi sebesar 38,4% pada kambing saanen yang diberi ransum P1. Berdasarkan perhitungan rasio antara nutrien ransum dan komposisi susu dapat dilihat bahwa nutrien yang terkandung dalam ransum P1 lebih efisien untuk disintesis menjadi susu. Perbandingan efisiensi pemanfaatan bahan kering dan nutrien antara ransum P0 dan P1 ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9.
Efisiensi Pemanfaatan Nutrien Ransum untuk Produksi dan Komposisi Susu. P0 = Rumput lapang 60% + konsentrat 40%; P1 = Rumput lapang 60% + pellet Indigofera sp. 40%; S = kambing saanen; PE = kambing Peranakan Etawah
Pemanfaatan nutrien ransum pada kambing perah selain untuk produksi susu juga ada yang digunakan untuk pertumbuhan. Data persentase efisiensi pemanfaatan nutrien yang dikonversi menjadi susu belum termasuk pemanfaatan nutrien untuk pertumbuhan (daging). Hal ini dapat dilihat dari pertambahan bobot badan kambing selama pemeliharaan seperti yang ditunjukkan Tabel 9.
36
Tabel 9. Bobot Badan Kambing Perah Sebelum dan Setelah Pemeliharaan Perlakuan
P0
P1
Keterangan : 1) P0 P1 2) S PE
Bobot badan
Bobot badan
PBB
S1
awal (kg) 48
akhir (kg) 55
(kg/30 hari) 6
S2
38
42,5
4,5
PE1
34
36
2
PE2
50
53
3
S1
39
42
3
S2
35
38,5
3,5
PE
48
53
5
Kode kambing
= Rumput lapang 60% + konsentrat 40% = Rumput lapang 60% + pellet Indigofera sp. 40% = kambing saanen = kambing Peranakan Etawah
Semakin besar nilai rasio efisiensi pakan menunjukkan bahwa semakin banyak nutrien dari pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk produksi susu. Rasio pemanfaatan nutrien ransum P0 yang diberikan pada kambing PE lebih tinggi dibandingkan rasio pemanfaatan nutrien ransum pada kambing saanen, sedangkan dengan pemberian ransum P1 kambing saanen lebih efisien dalam memanfaatkan bahan kering. Kambing saanen pada dasarnya lebih efisien dalam memanfaatkan nutrien ransum untuk proses sintesis susu. Rasio pemanfaatan nutrien ransum P1 baik pada kambing PE maupun saanen lebih tinggi dibandingkan ransum P0, hal ini menunjukkan bahwa nutrien dari ransum P1 lebih efisien dimanfaatkan dalam proses sintesis susu. Hasil perbandingan antara lemak susu dengan konsumsi serat kasar dan lemak kasar pada ransum P0 tidak berbeda jauh dengan rasio lemak susu kambing yang diberi ransum P1. Hal ini dikarenakan kandungan serat kasar dan lemak kasar kedua ransum juga tidak berbeda jauh. Berbeda dengan rasio pemanfaatan lemak, berdasarkan hasil perbandingan laktosa susu dengan konsumsi karbohidrat ransum P1 memiliki efisiensi lebih tinggi dibandingkan ransum P0, artinya karbohidrat dalam ransum P1 lebih efisien untuk diubah menjadi glukosa yang akan digunakan sebagai prekursor dalam sintesis laktosa susu. 37
Rasio pemanfaatan protein ransum P1 lebih tinggi dari rasio pemanfaatan protein ransum P0. Hal ini menunjukkan bahwa protein dalam ransum P1 yang berasal dari suplementasi pellet Indigofera sp. lebih efisien dikonversi menjadi protein susu dibandingkan protein pada ransum P0 yang berasal dari konsentrat. Tingginya efisiensi pemanfaatan bahan kering, protein dan karbohidrat terlarut pada ransum P1 menunjukkan bahwa kualitas ransum P1 yang mengandung Indigofera sp cukup menyediakan nutrein untuk menunjang produksi susu. Data rasio pemanfaatan protein ransum P1 pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Astuti et al. (2003) yaitu 0,135 (diperoleh dari perbandingan protein susu 21,38 g/hari dan konsumsi protein 158 g/hari), hal ini disebabkan oleh perbedaan sumber protein ransum yang dipakai yaitu ampas tempe terfermentasi. Protein merupakan zat makanan yang penting dan menentukan harga ransum ternak perah sehingga efisiensi penggunaannya perlu diperhatikan (Laudadio dan Tufarelli, 2010). Pemanfaatan pellet Indigofera sp. dalam ransum kambing perah lebih ekonomis karena memiliki efisiensi penggunaan nutrien lebih tinggi dibandingkan konsentrat, sehingga diharapkan mampu menekan biaya pakan dan meningkatkan keuntungan peternak.
38
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemanfaatan pellet Indigofera sp. sebagai pengganti konsentrat pakan pada taraf 40% dari total ransum yang diberikan pada kambing saanen dan PE di Peternakan Bangun Karso Farm dapat memperbaiki efisiensi pemanfaatan nutrien menjadi produk susu. Hal ini dapat dilihat dari jumlah konsumsi pakan harian, peningkatan nilai kecernaan pakan, serta peningkatan produksi susu harian kambing PE laktasi ke-2 dan kambing saanen laktasi ke-3.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan taraf pemberian pellet Indigofera sp. dalam ransum kambing perah fase laktasi sehingga dapat diketahui peningkatan produksi susu yang optimal. Selain itu perlu dilakukan uji komposisi susu untuk membedakan kandungan susu kambing yang diberi pellet Indigofera sp. dibandingkan dengan hijauan lain.
39
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kehadirat Allah SWT atas curahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Pemberian Pellet Indigofera sp. terhadap Pemanfaatan Nutrien dan Produksi Susu Kambing Saanen dan PE (Studi Kasus Peternakan Bangun Karso Farm)”. Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing anggota dan Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS selaku pembimbing utama skripsi atas motivasi, nasehat serta pelajaran yang diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ahmad Heri Sukria, M.Sc.Agr selaku dosen pembahas seminar, Dr. Despal, S.Pt., M.Sc.Agr dan Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si atas saran yang telah diberikan pada ujian akhir. Ucapan terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada Pak Bangun dan seluruh pegawai di Peternakan Bangun Karso Farm atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian. Penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada Ayah Agus Susanto (Alm) dan Ibu Suprapti atas doa, nasehat, serta semangat yang diberikan. Adik Saktiti, Mbak Rena, Budhe Sulasih, Tante Susi dan seluruh keluarga besar yang selalu memberi motivasi. Intan Jovintry, teman satu bimbingan untuk perjuangan selama masa perkuliahan. Keluarga besar IAAS LC IPB dan pengurus IAAS Indonesia untuk kebersamaan yang indah. Sahabat ANTRAK 44 serta sahabatsahabat terdekatbyang selalu memberi keceriaan dan semangat. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
40
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Populasi Ternak di Indonesia. https://www.bps.go.id/. [10 Agustus 2011]. Abdullah, L. & Suharlina. 2010. Herbage yield and quality of two vegetative parts of indigofera at different times of first regrowth defoliation. Med. Pet. 33 (1): 4449. Abdullah, L. 2010. Herbage production and quality of shrub indigofera treated by different concentration of foliar fertilizer. Med. Pet. 34: 169-175. Abdullah, L. 2010. Laporan Akhir Program Intensif Terapan: Pengembangan Produk Hay, Tepung dan Pellet Daun Indigofera cordifolia sebagai Alternatif Sumber Protein Murah Pakan Kambing Perah. LPPM, IPB, Bogor. Abdullah, L., N. R. Kumalasari, Nahrowi, & N. Aizah. 2010. Pengembangan Produk Hay, Tepung dan Pelet Daun Indigofera cordifolia sebagai Alternatif Sumber Protein Murah Pakan Kambing Perah. Bogor: Seminar LPPM 13 Desember 2010. Akers, R. M. 2002. Lactation and The Mamary Gland. Iowa State Press, Iowa. American Dairy Goat Association. 2002. Milk Comparison. The American Dairy Goat Association. Spindale, New York City. Asminaya, N. S. 2007. Penggunaan ransum komplit berbasis sampah sayuran pesar untuk produksi dan komposisi susu kambing perah. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Astuti, D. A., D. Sastradipradja, & T. Sutardi. 2000. Nutrient balance and glucose metabolism of female growing, late pregnant and lactating Etawah Crossbred goats. Asian-Aus. J. Anim. Sci 13 (8): 1068-1075. Astuti, D. A., E.B. Laconi, & D. Sastradipradja. 2003. Studies on milk production of Etawah crossbreed goat fed with tempe waste. Proceeding: Progress in research on energy and protein metabolism. EEAP Publication No.109. Atabany, A. 2002. Strategi pemberian pakan induk kambing perah sedang laktasi dari sudut neraca energi. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Avondo, M., L. Biondi, R. I. Pagano, A. Bonanno, & L. Lutri. 2008. Feed Intake. In: G. Pulina & A. Cannas (Eds.). Dairy Goats Feeding and Nurition. CAB International, Wallingford. Budhie, D. D. S. 2010. Aplikasi urin kambing peranakan ettawa dan NASA® sebagai pupuk organic cair untuk pemacu pertumbuhan dan produksi tanaman pakan legume Indigofera sp. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition: Feed and Feeding 3 rd Ed. Pearson and Prentice Hall, New Jersey. Chilliard, Y., A. Ferlay, & M. Doreau. 2001. Effect of different types of forages, animal fat or marine oils in cow’s diets on milk fat seceretion and composition,
41
especially conjugated linoleic acid (CLA) and plyundaturated fatty acids. Livestock Production Science 70: 20-48. Chilliard, Y., A. Ferlay, R. M. Mansbridge, & M. Doreau. 2000. Ruminant milk fat plasticity: nutritional control pf saturated, polyunsaturated, trans and conjugated fatty acids. Annales de Zzootechnie 49: 161-192. Delaval. 2008. Milking Technology. In: Delaval (Ed.). The Lactating Dairy Cow. USA: Delaval Publishing. [terhubung berkala]. http://www.milkproduction.com/library [20Agustus 2011] Dozier, W. A. 2001. Pellet quality for more economical poultry meat. J. Feed International 52 (2) : 40-42. Drackley, J. K. 1999. Farm Animal Metabolism and Nutrition: Lipid Metabolism. New York: CAB International. Ensminger, M. E. 2002. Sheep and Goat (Animal Agriculture Series) 6th Ed. Interstate Publishers, Inc., Danvile. Erlangga. 2011. Kambing Saanen. http: //www.infoternak.com/kambing-saanen-2. [9 Juli 2011]. Fahey, G. C. & H. G. Jung. 1983. Lignin as a marker in digestion studies: a review. J. Anim. Sci. 57:220–225. Faichney, G. J. 1975. The Use of Markers to Partition Digestion Within The Gastrointestinal Tract of Ruminants. In: I.W. McDonald & A. C. I Warner, (Eds.). Digestion and Metabolism in The Ruminant. The University of New England Publishing Unit, Armidale. Fisher, D.S., H. F. Mayland, & J. C. Burns. 1999. Variation in ruminants preference for tall fescue hays cut either at sundown or at sunup. J. Anim. Sci. 77, 762– 768. Greppi, G. F., P. Roncada, & R. Fortin. 2008. Protein Components of Goat’s Milk. In: G. Pulina & A. Cannas (Eds.). Dairy Goats Feeding and Nurition. CAB International, Wallingford. Handayany, P. 2010. Uji kualitas fisik pellet berbasis jerami jagung sebagai pakan sumber serat untuk ternak ruminansia. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, S. Lebdosukojo, & A. D. Tillman. 1980. Tabeltabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station, Logan. Hassen A., N. F. G. Rethman, Van Niekerk, & T. J. Tjelele. 2007. Influence of season/year and species on chemical composition and in vitro digestibility of five indigofera accessions. J. Anim Feed Sci Technology 136: 312-322. Hassen, A., N. F. G., Z. Rethman, & Apostolides. 2006. Morphological and agronomic characteristic of Indigofera species using multivariate analysis. J. Tropical Grassland. 40: 45-59. Hertaviani, R. F. 2009. Kandungan nutrisi dan kadar laktoferin dalam susu kambing perah bangsa peranakan etawah (PE) dan jawarandu. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
42
Jovintry, I. 2011. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro daun tanaman indigofera sp. yang mendapat perlakuan pupuk cair untuk daun. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusuma, B. D & Irmansah. Menghasilkan Kambing Peranakan Etawa Jawara Kontes. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. Laudadio, V. & V. Tufarelli. 2010. Effects of pelleted total mixed rations with different rumen degradable protein on milk yield and composition of Jonica dairy goat. Small Ruminant Research (90): 47-52. Lin Xue-yan, Zhang Na, Li Fu-chang, & Wang Zhong-hua. 2010. The Effects of Graded Abomasal Glucose Infusion on Milk Yield and Composition in Lactating Goats. Agricultural Sciences in China 9(5): 745-753. Macciota, N. P. P., C. Dimauro, R. Steri, & A. Cappio-Borlino. 2008. Mathemical modeling of goat lacatation curve. In: G. Pulina & A. Cannas (Eds.). Dairy Goats Feeding and Nurition. CAB International, Wallingford. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, & C.A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Pretice all, London. Mele, M, A. Buccioni, A. Serra, M. Antongiovanni, & P. Secchiari. 2008. Lipids of Goat’s Milk: Origin, Composition and main Sources of Vaiation. In: G. Pulina & A. Cannas (Eds.). Dairy Goats Feeding and Nurition. CAB International, Wallingford. Merchen, N. R. 1993. Digestion, Absorption, and Excretion in Ruminants. In: D.C. Church (Ed.). The Ruminant Animal: Digestive Physiology and Nutrition. Waveland Press, Inc., Prospect Heights, Illinois. Min, B. R, S. P. Hart, T. Sahlu, & L. D. Satter. 2005, The effect of diet on milk production and composition, and on lactation curves in pastured dairy goats. J. Dairy Sci 88: 2604-2615. Mulyono, S. 2005. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya, Jakarta. Neville, M. C. 1998. Milk Secretion: An Overview. http: //www.mammary.nih.gov/reviews/lactation/neville001/htm. [18 September 2011]. Nudda, A., G. Battacone, R. Bencini, & G. Pulina. 2004. Nutrition and Milk Quality. In: D, Pulina (Eds.). Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing, Wallingford. Orskov, ER. 2001. The Feeding of Ruminants Principles and Practice. Chalcombe Publication, Lincoln. Pulina, G, A. Nudda, G. Battacone, S. Fancellu, & A. H. D. Francesconi. 2008. Nutrition and Quality of Goat’s Milk. Di dalam: Cannas A dan Pulina G, editor. Dairy Goats Feeding and Nutritions. Wallingford: CAB International. Pulina, G. & A. Nudda. 2004. Milk Production. Di dalam: D. Pulina, editor. Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing, Wallingford. Raghavendra, B., A.K. Shinde, S.K. Sankhyan, & D.L.Verma. 2002. Nutrition of range goats in a shrubland of western India. Asian–Australasian J. Anim. Sci. 15, 1719–1724.
43
Rappeti, L. & L. Bava. 2008. Feeding Management of Dairy Goats in Intensive System. In: G. Pulina & A. Cannas (Eds.). Dairy Goats Feeding and Nurition. CAB International, Wallingford. Rashid, M. 2008. Goat and Their Nutrition. http: //www.manitobagoats.ca/. [07 September 2011]. Rigout, S., C. Hurtaud, S. Lemosquet, A. Bach, & H. Rulquin. 2003. Lactational effect of propionic acid and duodenal glucose in cows. Journal of Dairy Science, 86: 243-253. Ruhimat, A. 2003. Produktivitas kambing persilangan peranakan etawah betina dengan kambing saanen jantan (PESA) di PT Taurus Dairy Farm. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Rumetor, S. D. 2008. Suplementasi daun bangun-bangun (Coleus amboinicus lour) dan zinc-vitamin E dalam ransum untuk memperbaiki metabolisme dan produksi susu kambing peranakan Ettawah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rymer, C. 2000. Measurement of Forage Digestibility In Vivo. In: D. I. Givens, E. Owen, R. F. E. Axford, & H.M. Omed (Eds.). Forage Evaluation in Ruminant Nutrition. CABI Publishing, Wallingford. Sanz Sampalayo M. R, L. Perez, J. Boza, & L. Amigo. 1998. Forage of different physical forms in the diets of lactating granadina goats: nutrient digestibility and milk production and composition. Journal of Dairy Science 81: 492-498. Sarwono, B. 2002. Beternak Kambil Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta. Schingoethe, D. J. 1996. Dietary influence on protein level in milk and milk yield in dairy cows. J. Anim. Feed Sci. and Tech. 60: 181-190. Schrire. 2005. Tribe Indigofereae. In: G. Lewis, B. Schrire, B. Mackinder & M. Lock (Eds). Legumes of the World, Royal Botanic Gardens. Sholihah, U. I. 2011. Pengaruh diameter pellet dan lama penyimpanan terhadap kualitas fisik pellet daun legume Indigofera sp. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sodiq, A & Z. Abidin. 2008. Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Ed ke-2 Terjemahan: B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sudono, A, R. F. Rosdiana, & B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta. Suharlina. 2010. Peningkatan produktivitas Indigofera sp. sebagai pakan hijauan berkualitas tinggi melalui aplikasi pupuk organik cair dari limbah industri penyedap masakan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susilorini, T. E., M. E. Sawitri, & Muharlien. 2009. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.
44
Takma, C., Y. Akbas, & T. Turgay. 2009. Modelling lactation curver of turkish saanen and bornova goats. Asian Journal of Animal and Veterinary Advances. 4 (3): 122-129. Tarigan, A. 2009. Produktivitas dan pemanfaatan Indigofera sp sebagai pakan ternak kambing pada interval dan intensitas pemotongan yang berbeda. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Thonney, M. L., B. A. Palhof, M. R. Decarlo, D. A. Ross, N. L. Firth, R. L. Quaas, D. J. Perosio, D. J. Duhaime, S. R. Rollins, & A. Y. M. Nour. 1985. Sources of variation of dry matter digestibility measured by the acid insoluble ash marker. Journal of Dairy Science 68:661–668. Tjelele, T. J. 2006. Dry matter production, intake and nutritive value of certain Indigofera species. Tesis. M.Inst. Agrar, University of Pretoria, Pretoria. Tyler, H. D. & M. E. Ensminger. 2006. Dairy Cattle Science 4th Edition. Pearson Prentice Hall, New Jersey. Van Keulen, J & B. A. Young. 1977. Evaluation of acid insoluble ash as a natural marker in ruminant digestibility studies. J. Anim. Sci. 44: 282-287. Zamami, P., S. R. Miraei-Ashtiani, D. Alipour, H. Aliarabi, & A. A. Saki. 2011. Genetic parameters of protein efficiency and its relationships with yield traits in lactating dairy cows. Livestock Science 138: 272–277.
45