Volume 15, Nomor 1 Hal 01-08 Januari – Juni 2013
ISSN 0852-8349
PENGARUH SUPLEMENTASI MINERAL SENG TERHADAP KUALITAS SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWAH Adriani Fakultas Peternakan Universitas Jambi Abstrak Tiga puluh enam ekor kambing Peranakan Etawah laktasi telah digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh suplementasi mineral seng terhadap kualitas susu kambing yang dihasilkan. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 perlakuan suplementasi yaitu konsentrasi seng 40 mg/kg BB (Zn-1), 60 mg/kg BB (Zn-2) dan 80 mg/kg BB (Zn-3) dengan 12 ulangan. Pemerahan kambing dilakukan 2 kali sehari dan pengambilan sampel susu dilakukan 1 kali dalam 2 minggu. Hasil penelitian menujukkan bahwa perlakuan suplementasi seng nyata menurunkan jumlah bakteri susu kambing selama penelitian yaitu untuk perlakuan Zn-1 sebesar 452.5 x 103 sel/ml , Zn-2 sebesar 294.05 x 103 sel/ml dan Zn-3 sebesdar 216.2 x 103 sel/ml, dengan persamaam Y = 697354 - 6332,9 X, koefisien korelasi –0,97. Seng juga nyata meningkatkan produksi susu kambing Peranakan Etawah (Zn-1 sebesar 565,7 g/ekor/hari, Zn-2 sebesar 737,9 g/ekor/hari dan Zn-3 sebesar 666,9 g/ekor/hari) dan tidak mempengaruhi kadungan lemak susu (rataan 6,75%, dengan kisaran 4 – 9,5%) , laktosa (5,5%, dengan kisaran 4,9 – 6,6%) protein susu (kisaran 3,0 – 6,9% dan rataan 4,5%), bahan kering (kisaran 12,4 – 26,9% dengan rataan 16,4%) , Ca dan P susu (adalah 0,11% dan 0,095%). Kesimpulan penelitian bahwa peningkatan suplementasi seng mampu menurunkan jumlah bakteri susu, meningkatkan produksi susu, tetapi tiak mempengaruhi kadar lemak, protein, bahan kering, laktosa serta mineral Ca dan P susu. Kata kunci : Mineral seng, kualitas susu, bakteri susu
PENDAHULUAN Usaha peternakan kambing perah sekarang ini menjadi suatu trend baru di masyarakat, dimana khasiat susu kambing dipercaya sebagai penyembuh beberapa penyakit seperti anti alergi (Devendra, 1993), asma dan obat kuat. Namun usaha peternakan kambing perah belum sepopuler usaha kambing sebagai penghasil daging. Kambing merupakan salah-satu ternak yang berpotensi sebagai penghasil susu. Namun kontribusinya masih relatif rendah dibandingkan dengan susu sapi dan kerbau. Produksi susu kambing hanya 1,5% dari produksi susu dunia (Devendra, 1980). Prospek usaha peternakan kambing perah sebagai penghasil susu cukup menjanjikan, yaitu tingginya permintaan akan air susu, harga jual susu kambing yang jauh lebih tinggi (Rp 25.000 – 30.000/liter) dibandingkan harga susu sapi (Rp. 30003500/liter). Tentunya ini merupakan tantangan sekaligus peluang dalam usaha peternakan
kambing perah. Pemanfaatan kambing sebagai penghasil susu di Indonesia umumnya masih terbatas pada kalangan tertentu saja (Thahar et al., 1996). Selain itu produksi susu kambing yang dihasilkan masih sangat beragam yaitu 0,45–2,2. kg/ekor/hari (Obts dan Napitupulu, 1984: adriani et al, 2003), 0,285 - 0,825 kg/ekor/hari (Sutama et al., 1995), 0,5-1,5 liter/ekor/hari (Thahar et al., 1996) dan 0,471,04 kg/ekor/hari (Yulistiani et al.,1999).Sementara Subhagiana (1998) mengelompokkan total produksi susu kambing PE berdasarkan produksi susu rendah, sedang dan tinggi berturut-turut 136,05, 198,07 dan 253,37 kg/laktasi, dengan persistensi produksi susu berkisar antara 68,32 – 81,44%. Usaha kambing perah memerlukan manajemen pemeliharaan yang lebih baik dibandingkan dengan usaha ternak potong, sehingga produksi susu bisa dihasilkan dalam jumlah yang tinggi, selain itu perlu penanganan susu yang baik. Karena susu merupakan produk yang mudah rusak. Jika susu tidak segera diolah maka akan mengalami 1
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
kerusakan dan tidak bisa dijual. Selain itu faktor yang mempngaruhi produksi susu yang dihasilkan adalah kualitas ransum yang diberikan, salah satunya adalah mineral seng (Zn). Karena secara umum hijauan makanan ternak di Indonesia defisien mineral seng. Padahal seng memengang peran penting untuk meningkatkan proses metabolisme dan sistem kekebalan tubuh. Mineral seng berperan sebagai komponen metaloenzim dalam tubuh yang dapat meningkatkan enzim-enzim pencernaan (McDowell et al., 1983), sintesis asam nukleat dan protein, metabolisme energi dan proses reproduksi (Larvor, 1983). Selain itu mineral seng juga dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh sapi sehingga sapi tidak mudah terkena mastitis yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas susu dan menurunkan jumlah bakteri susu yang dihasilkan (Muktiani, 2002; Adriani et al., 2004). Kandungan seng dalam ransum ternak ruminansia di Indonesia relatif rendah yaitu antara 20 dan 38 mg/kg bahan kering (Little, 1986), sementara kebutuhan seng adalah 40 mg/kg bahan kering (McDowell et al., 1983), dan menurut Scaletti et al. (2003) adalah 40 – 60 mg/kg bahan kering. Berdasarkan kondisi ini, tentunya diperlukan usaha untuk mencukupi kebutuhan seng pada kambing dengan cara suplementasi, karena defisiensi seng dapat berpengaruh negatif pada produksi susu, pertumbuhan dan proses reproduksi. Selain itu dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Sehingga kejadian mastitis bisa ditekan (Adriani at al. 2003). Dengan demikian produksi dan kualitas susu menjadi lebih baik. Suplementasi seng sebanyak 300 ppm dalam bentuk bioplex dapat menurunkan jumlah sel somatik sebesar 44,8% (Boland dan O’Callagban , 2000). Berdasarkan pemikiran di atas maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh suplementasi mineral seng terhadap kualitas air susu yang dihasilkan kambing Peranakan Etawah. BAHAN DAN METODE Sebanyak 36 ekor kambing Peranakan Etawah laktasi telah digunakan dalam penelitian ini. Kambing dipeliharaan dalam kandang individu yang diberi perlakuan suplementasi mineral seng. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 perlakuan yaitu suplementasi seng 2
40 mg/kg BK (Zn-1), suplementasi mineral seng 60 mg/kg BK (Zn-2) dan suplementasi mineral seng 80 mg/kg BK (Zn-3). Masingmasingnya mendapat perlakuan sebanyak 12 ekor. Kambing percobaan dikelompokkan berdasarkan tingkat produksi susu yaitu produksi susu rendah, sedang dan produksi susu tinggi. Kambing laktasi diadaptasikan dengan perlakuan ransum selama 2 minggu kemudian dilakukan pengataman selama 5 bulan laktasi. Kambing percobaan diberi jenis hijauan dan konsentrat yang sama selama penelitian berlangsung dengan suplementasi mineral seng yang berbeda (sesuai perlakuan). Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari yaitu pukul 7.00 WIB pagi dan pukul 16.00 sore. Pemberian rumput gajah sebanyak 2,0 kg/ekor/hari, konsentrat sebanyak 0,8 kg/ekor/hari yang dicampur dengan ampas bir sebanyak 1,5 kg/ekor/hari. Sementara pemberian air minum dilakukan secara ad libitum. Untuk menjaga kesehatan kambing, dilakukan pembersihan kandang dan peralatan kandang serta peralatan pemerahan setiap hari. Kambing percobaan diperah dua kali sehari dengan tangan yaitu pada pagi dan sore hari. Sebelum dilakukan pemerahan, kambing dibersihkan dulu dengan kain lap basah yang mengandung antiseptik (alkohol 70%) untuk mencegah air susu tercemar oleh mikroba yang berasal dari sekitar puting dan kambing. Pemerahan dilakukan dengan tangan dan air susu yang didapat ditampung dalam takaran susu yang terbuat dari plastik berwarna putih. Air susu yang diperoleh ditimbang dengan menggunakan timbangan kapasitas 2 kg dengan ketelitian 0.01 kg dan dirata-ratakan untuk produksi susu per ekor per hari. Produksi susu didapat dari hasil pemerahan pagi dan sore selama 5 bulan. Untuk analisis kualitas susu dilakukan pengambilan sampel susu sekali dalam dua minggu sebanyak 150 ml dari tiap ekor kambing. Sampel susu ini diperoleh dari hasil pemerahan pagi. Selanjutnya sampel susu dimasukkan ke dalam termos es untuk didinginkan dan mencegah perkembangbiakan mikroorganisme perusak susu sebelum sampai ke laboratorium. Kemudian sampel susu dibekukan sampai dilakukan analisis kualitas susu terutama bahan kering, lemak, laktosa protein, mineral Ca dan P susu. Sementara
analisis jumlah bakteri susu dilakukan siang hari setelah pemerahan dengan metode breed. Parameter yang diukur Parameter yang diukur selama penelitian adalah jumlah jumlah bakteri susu, berat jenis, kadar lemak, kadar protein, kadar laktosa, bahan kering susu mineral Ca dan P. Jumlah bakteri susu masing-masing dihitung dengan menggunakan metode Breed dan Prescott (Schalm et al., 1971) yaitu 0,01 ml susu diletakkan di atas gelas objek yang sudah bebas lemak dan diberi tanda pengenal. Gelas objek diletakkan di atas cetakan bujur sangkar 1 x 1 cm2 dengan menggunakan sebuah ose siku. Contoh susu tadi disebarkan sesuai dengan bidang 1 x 1 cm2 . Kemudian dikeringkan di udara 10 – 15 menit dan difiksasi di atas api, kemudian preparat tersebut dicelupkan ke dalam alkohol ether (ana) selama 5 menit untuk membuang lemak susu dan diwarnai dengan larutan methylen blue loeffler selama 3 menit. Secara hati-hati preparat yang telah diwarnai tersebut dibilas dengan air. Preparat itu kemudian dicelupkan ke dalam alkohol 96% untuk membersihkan bahan pulasan yang tidak terikat, kemudian dikeringkan di udara atau dengan kertas penghisap untuk selanjutnya dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 x (objektif) dengan menggunakan minyak imersi. Jumlah sel somatik dihitung sebanyak 10 lapang pandang yang dirata-ratakan = A sel somatik. Jumlah sel somatik yang terdapat dalam 1 ml susu dihitung dengan terlebih dahulu mengetahui diameter lapang pandang dari mikroskop yang digunakan. Dengan rumus sebagai berikut : Luas areal pandang = r2 (mm2), sementara r2/100. Karena susu disebarkan seluas 1 cm2 sebanyak 0.01 ml, maka jumlah sel somatik per ml susu adalah: r2 / 1000 x 0.01 x A. Berat jenis susu ditentukan dengan alat laktodensimeter. Air susu hasil pemerahan yang diperoleh disaring dengan kain kasa, kemudian diambil 150 ml untuk ditempatkan di dalam gelas ukur. Setelah suhu susu berkisar antara 20-30 oC, laktodensimeter dimasukkan ke dalam gelas ukur, kemudian dibaca berat jenis dan suhu susu. Berat jenis dan suhu susu yang diperoleh sewaktu pengukuran dikonversi sesuai tabel berat jenis susu pada suhu 27,5 0C (Sudono et al., 1999). Bahan kering susu diperoleh dengan cara mengeringkan 20 gram air susu untuk tiap ekor kambing pada oven dengan kisaran suhu
antara 50 - 80 oC selama 72 jam. Setelah itu dilakukan penimbangan beberapa kali, sampai berat sampel tidak berubah lagi. Kadar protein susu ditentukan dengan menggunakan metode yang dipakai oleh Manalu dan Sumaryadi (1996) yaitu menggunakan Kit Lowry. Prosedur pengukuran meliputi persiapan tabung yang dilabel untuk blanko, standar dan sampel. Masing-masing tabung diisi dengan 25 mg air susu, kemudian ditambahkan 2,5 ml TCA 5%. Campuran tersebut dipanaskan pada penangas air suhu 100 0C selama 20 menit, kemudian larutan yang didapat disentrifus pada kecepatan 1000 rpm selama 20 menit dan dibiarkan semalam untuk memperoleh endapan. Endapan yang diperoleh dilarutkan dalam 1 ml NaOH 4% selama 15 menit, kemudian divorteks. Masing-masing tabung ditambah lagi dengan 100 ml NaOH 4% untuk kemudian ditambah larutan A (K-Na tartarat dalam Na2CO3 2% segar). Setelah itu ditambahkan 100 l reagen folin pada setiap tabung dan divorteks dengan baik, lalu dibiarkan 30 menit atau sampai berwarna biru gelap. Selanjutnya dilakukan pembacaan dengan menggunakan spektrofotometer Beckman dengan panjang gelombang 527 nm. Penentuan kadar lemak susu dilakukan dengan metode Gerber (Sudono et al., 1999) yaitu 10,75 ml susu dimasukkan ke dalam butirometer, kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 pekat (91-92%) dengan menggunakan pipet dan ditambah 1 ml amilalkohol pa. Butirometer ditutup dengan sumbat yang terbuat dari karet dan dikocok berlahan-lahan dengan membentuk angka delapan sampai bercampur dengan homogen. Butirometer ini kemudian ditaruh pada penangas air suhu 65– 70 0C selama 10 menit, untuk selanjutnya dilakukan sentrifus dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit. Setelah itu butirometer kembali dipanaskan pada penangas air selama 5 menit untuk selanjutnya dilakukan pembacaan kadar lemak susu. Kadar laktosa susu ditentukan dengan menggunakan metode kolorimetri (Teles et al., 1978). Prosedur pengukuran meliputi persiapan tabung, kemudian dilabel untuk blanko, standar dan sampel. Masing-masing tabung diisi dengan 2,5 ml sampel diencerkan 50 kali. Sampel ditambahkan 0,2 seng sulfat 5% dan 0,2 ml barium hidrosida 4,5%, kemudian disentrifus pada 1000 rpm 1 menit sehingga terbentuk endapan putih dan 3
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
supernatan. Sebanyak 1 ml supernatan diambil dan dipindahkan ke dalam tabung yang 15 ml, lalu ditambahkan dengan 2.5 ml reagen (1 volume phenol 1% : 2 volume NaOH 5% : 2 volume picrid acid 1% : 1 volume sodium disulfit), kemudian tabung ditutup. Tabung tersebut segera didinginkan di bawah kran air. Setelah dingin ke dalam tabung tersebut ditambahkan aquades sehingga larutan menjadi 12,5 ml, lalu tabung dibalikbalikkan 5–10 kali untuk menghomogenkan larutan di dalam tabung. Absorban dibaca dengan spektrofotometer panjang gelombang 520 nm.
Analisis data dilakukan sesuai dengan rancangan yang digunakan, jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan’t (Steel dan Torrie, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan kualitas susu kambing peranakan Etawah selama penelitian berdasarkan perlakuan suplementasi mineral seng dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Kualitas susu Kambing Peranakan Etawah berdasarkan Suplementasi Mineral Seng Peubah
Z1
Z2
Z3
Nilai P
3
Jumlah Bakteri susu (x10 ) 452.5 294.05 216.2 ** Produksi susu (g/hari) 565.7 737.85 666.95 * Lemak (%) 6.8 6.7 6.75 tn Protein (%) 4.5 4.45 4.6 tn Laktosa (%) 5.45 5.5 5.6 tn Berat jenis 1.159 1.290 1.159 tn Bahan kering (%) 16.35 16.45 16.35 tn Bahan Kering Tanpa Lemak (%) 9.55 9.45 9.6 tn Kadar air (%) 83.65 83.55 83.65 tn Ca (%) 0.105 0.11 0.105 tn P (%) 0.09 0.1 0.1 tn Ket : tn=tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata (p<0,05), **=berbeda sangat nyata (p<0,01) Jumlah bakteri dalam susu merupakan salah satu tolok ukur kualitas susu yang terkait dengan kesehatan kelenjar kambing, kesehatan ternak dan sanitasi usaha peternakan. Suple-mentasi seng dalam pakan sangat nyata menurunkan jumlah bakteri susu yang dihasilkan selama penelitian secara linier
(p<0,01) (Gambar 1). Rataan jumlah bakteri susu pada kelompok kambing yang mendapat suplementas mineral seng adalah Zn-1 sebesar 452.5 x 103 sel/ml, Zn-2 sebesar 294.05 x 103 sel/ml dan Zn-3 sebesdar 216.2 x 103 sel/ml, dengan persamaam Y = 697354 6332,9 X, koefisien korelasi –0,97.
Gambar 1. Pengaruh Suplemetasi Seng terhadap Jumlah Bakteri Susu 4
Rataan bakteri susu kambing pada penelitian ini adalah 321 x 103 sel/ml dengan kisaran antara 11.200 dan 1.829.000 sel/ml susu. Rataan ini ada di bawah syarat kualitas susu yang layak untuk dikonsumsi menurut Milk Codex (Sudono, 1985) yaitu jumlah bakteri yang terdapat dalam susu untuk dikonsumsi sebaiknya kurang daripada 1 juta sel/ml susu. Ini berarti secara umum susu yang dihasilkan kambing sebagai respons suplementasi mineral seng pada penelitian ini berkualitas baik dan layak untuk dikonsumsi berdasarkan kandungan bakterinya. Hasil ini juga lebih rendah daripada penelitian pada domba yang mengandung bakteri 1099 x 103 sel/ml (Adriani, 1998) dan pada sapi di Cipanas 2.589 x 103 sel/ ml (Rumawas dan Sudarwanto, 1985). Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menurunkan jumlah bakteri pada susu seperti memberikan suplementasi mineral yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Kincaid et al., 1992).Pemakaian alas tidur (bedding) pada sapi dapat menurunkan jumlah bakteri sebesar 66,2% (Adriani et al., 1996), sementara pencukuran bulu di sekitar ambing dan puting pada kambing dapat menurunkan bakteri susu antara 18 42% (Ernawati, 1990) serta menjaga kebersihan lingkungan kandang, alat pemerahan dan tukang perah (Adriani et al., 2003; Sudono, 1999). Suplementasi seng dalam ransum nyata meningkatkan produksi susu (p<0,08) yang dihasilkan kambing Peranakan Etawah. Rataan produksi susu perlakuan suplementasi seng Zn-1 sebesar 565,7 g/ekor/hari, Zn-2 sebesar 737,9 g/ekor/hari dan Zn-3 sebesar 666,9 g/ekor/hari dan. Produksi susu tertinggi di dapat pada suplementasi seng 60 mg/kg bahan kering (Zn-2) atau 30,4% lebih tinggi daripada perlakuan suplementasi seng 40 mg/kg bahan kering (Zn-1). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Putra (1999) bahwa sapi Bali yang mendapat seng 60,5 mg/kg bahan kering pakan dapat meningkatkan produksi susu hingga 32,8% dibanding dengan yang mendapatkan pakan yang mengandung seng 18,3 mg/kg bahan kering. Kebutuhan
ternak akan seng berkisar antara 40 - 60 mg/kg bahan kering (Scaletti et al., 2003), sementara peneliti lain merekomendasikan 40 mg/kg bahan kering (McDowell et al., 1983; Liebierman dan Bruning, 1990). Seng di dalam tubuh berperan sebagai aktivator enzim-enzim pencernaan seperti karboksi peptidase, karbonat anhidrase dan alkalin fosfatase (McDowell et al., 1983). Selain itu seng berfungsi memacu sintesis asam nukleat sebagai akibat peningkatan DNA, RNA polimerase, sehingga pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing lebih tinggi dan produksi susu yang dihasilkan juga lebih tinggi. Rataan produksi susu selama penelitian adalah 756.8 gram/ekor/hari dengan kisaran antara 359 gram/ekor/hari sampai dengan 1355g/ekor/hari. Kondisi ini relatif sama dengan hasil penelitian terdahulu pada kambing yang mendapatkan produksi susu berkisar antara 0.4-1.1 kg/ekor/hari (Adriani et al., 2003). Suplementasi mineral seng dalam ransum tidak mempengaruhi kadar lemak susu kambing yang dihasilkan. Rataan kadar lemak susu kambing adalah 6,75%, dengan kisaran 4 – 9,5%. Hasil ini relatif sama dengan penelitian lain pada kambing PE laktasi yaitu 6 0,05% (Budi, 2002) dan 4 –7,3% (Chaniago dan Hartono, 2001). Kadar lemak susu merupakan komponen paling mudah berubah dan sangat bergantung pada kadar serat kasar makanan (Sutardi, 1980). Serat kasar makanan yang rendah akan menghasilkan asetat yang rendah, padahal asetat merupakan bahan utama pembentukan lemak susu (Schmidt, 1971). Suplementasi mineral seng dalam ransum tidak mempengaruhi kandungan protein susu kambing Peranakan Etwah selama penelitian. Kisaran kandungan protein susu kambing padalah 3,0 – 6,9% dengan rataan 4,5%. Hasil ini relatif sama dengan kadar protein yang dikemukan oleh peneliti lain pada kambing PE yaitu sebesar 3,9% (Subhagiana, 1998), 3,8% (Edelsten 1988) dan 3,3 - 4,9% (Chaniago dan Hartono, 2001). Suplementasi mineral seng tidak mempengaruhi kandungan laktosa susu kambing. Rataan laktosa susu penelitian 5
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
adalah 5,5%, dengan kisaran 4,9 – 6,6%. Hasil ini relatif sama dengan beberapa peneliti terdahulu yaitu laktosa susu kambing adalah 5,0% (Devendra dan Mc Leroy, 1982) dan 5,3 % (Edelsten, 1988). Laktosa susu merupakan salah satu indikator untuk meningkatkan jumlah air susu yang dihasilkan semakin tinggi kandungan laktosa dalam susu, maka semakin tinggi daya absorbsi air untuk pembentukan air susu, sehingga terjadi peningkatan produksi susu yang duhasilkan tanpa merubah kandungan laktosa di dalam susu (Scmith, 1977). Kisaran berat jenis susu penelitian adalah 1,027 – 1,035 dengan rataan 1,0296. Berat jenis susu ini masih sama dengan hasil peneliti lain pada kambing yaitu 1,0293 0,0002 (Budi, 2002) dan masih dalam kisaran berat jenis yang dilaporkan Edelsten (1988) yaitu 1,0260 – 1,0420. Berat jenis susu dipengaruhi oleh komponen-komponen susu terutama bahan kering susu. Suplementasi mineral seng tidak mempengaruhi kandungan bahan kering susu kambing penelitian. Kandungan bahan kering susu adalah 12,4 – 26,9% dengan rataan 16,4%. Rataan bahan kering tanpa lemak susu kambing berkisar 9,5% dengan kisaran 7,1 – 14,4%. Hasil ini masih dalam kisaran yang dikemukan oleh Budi (2002) bahwa rataan bahan kering susu kambing 15,2% dan bahan kering tanpa lemak 9,3%. Namun sedikit di atas bahan kering susu kambing 14,8% yang didapat oleh Eldelsten (1988). Perbedaan ini akibat kandungan nutrisi susu (Edelsten, 1988), di mana kadar lemak susu penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan peneliti lainnya yang menyebabkan bahan kering susu juga lebih tinggi. Rataan Ca dan P susu kambing percobaan ini adalah 0,11% dan 0,095%. Angka ini relatif sama dengan susu kambing PE yang diteliti oleh Subhagiana (1998) yaitu Ca dan P adalah 0,10% dan 0,08%.
6
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suplementasi seng mampu menurunkan jumlah bakteri susu, meningkatkan produksi susu, tetapi tiak mempengaruhi kadar lemak, protein, nahan kering, laktosa serta mineral Ca dan P susu. DAFTAR PUSTAKA Adriani, T. Sutardi dan Ubaidillah. 1996. Pengaruh alas tidur (bedding) dan zeolit terhadap produksi dan efisiensi penggunaan ransum. Makalah Seminar Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak I. IPB Bogor. Adriani dan W. Manalu. 1998. Hubungan antara konsentrasi ion kalium dalam susu dengan jumlah bakteri dan sel somatik serta skor uji Mastitis California (CMT) pada domba. Proc. Seminar Hasil Penelitian Veteriner, Balivet Bogor. pp: 67-94. Adriani, 1998. Hubungan laju penyusutan sel-sel sekretoris kelenjar ambing dengan produksi susu dan jumlah anak pada domba Priangan yang memperoleh dua tingkat pemberian pakan [tesis].Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana. Adriani, A. Sudono, T. Sutardi, W. Manalu dan I-K Sutama. 2003. Optimalization of Kids and Milk Yield of Etawah-Grade Does by Superovulation and Zinc Supplementation.J.Forum Pascasarjana IPB. Vol 26(4):335352. Boland, M.P. and D. O’Callagban. 2000. Effects of nutrition and organic minerals on some aspects of fertility in cattle. 12 th Annual Asia Pasific Lecture Tour. Passpart to the Year 2000. Alltech’s. Budi, U. 2002. Pengaruh interval pemerahan terhadap produksi susu dan aktivitas seksual setelah beranak pada kambing Peranakan Etawah [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana.
Devendra, C. 1980. Milk production in goats compared to buffalo and cattle in humid tropics. J. Dairy Sci. 63:1755-1767. Devendra, C. and G.B. Mcleroy. 1982. Good and Sheep Production in the Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. London and New York. Devendra, C. 1993. Kambing. Dalam G. Williamson dan W.J.A. Payne: Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Alih Bahasa S.G.N. D. Darmadja. Gajah Mada University Press. pp:578-605. Edelsten, D. 1988. Composition of Milk. In Cross H.R. and A.J. Oversy. Meat Science, Milk Science and Tecnology. Elsivier Science Publishers B.V. Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo. pp:137-195. Ernawati. 1990. Pengaruh tata laksana pemerahan terhadap kualitas susu kambing dan hasil olahanya [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana. Kincaid, R.L., B.P. Chew and J.D. Cronrath. 1992. Zinc oxide and amino acid a saurces of dietary zinc for calves : effects on uptake and immunity. J. Dairy Sci.80:1381-1388. Larvor, P. 1983. The Pools of Celluler Nutrients: Mineral. In. P.M. Riss: Dynamic Biochemistry of Animal Production Ed. Elsivier. Amsterdam. Little, D.A. 1986. The mineral content of ruminant feeds and potential for mineral supplementation in SouthEast Asia with particular reference to Indonesia. In Rm. Dixon Ed. Proc. of the Fifth Annual Workshop of the Australian-Asian Ruminant Feeding System Utilizing Fibrous Agricultural Residues- 1985. Int. Dev. Prog of Austr. Univ. and Calleges Limited (IPP) Canbera. Australia. Manalu, W. and M.Y. Sumaryadi. 1996. Peranan ketersedian substrat dalam memperlambat laju involusi jaringan kelenjar susu pada domba laktasi. Proc. Temu Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan. BPT Ciawi. Bogor. pp:249-258.
McDowell, L.R., J.H. Conrad, G.L. Ellis and J.K. Loosli, 1983. Mineral for grazing ruminants in tropical regions. Dept. of Anim. Sci. Centre for Tropical Agric. Univ. of Florida, Gainesville and the US Agency for International Development. Muktiani.A. 2002. Penggunaan hidrolisat bulu ayam dan sorgum serta suplemen kromium organik untuk meningkatkan produksi susu pada sapi perah [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana. Obst, J.M. and Z. Napitupulu. 1984.Milk yields of Indonesian goats. Proc. Austr. Soc.Anim.Prod. 15: 501-504. Rumawas,I. danM. Sudarwanto.1985. Pemakaian demeton B untuk pengobatan mastitis pada sapi-sapi di Cipanas dan Cisarua.Laporan Penelitian Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor. Scaletti, R.W., D.M. Amaral-Phillips and R.J. Harmon. 2003. Using nutrituon to improve immunity against desease in dairy cattle: copper, zinc, selenium and vitamin E. Departemen of Animal Sci.http:\\www.Ca.Uky.Edu/Agc/Pub s/Asc/Asc154/Asc154.htm. 3 Maret 2003. Schalm, O.W., E.J. Carroll and N.J. Jain. 1971. Bovine Mastitis. Lea & Febiger. Philadelphia. Schmidt. G.H. 1971. Biology of Lactation. Freeman and Company. San Francisco. Schmidt, G.H., L.D. Van Vleck and M.F. Hutjens. 1988. Principles of Dairy Science. 2ed. Prentice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta. Subhagiana. I.W. 1998. Keadaan konsentrasi progesteron dan stradiol selama kebuntingan, bobot lahir dan jumlah anak pada kambing Peranakan Etawah pada tingkat produksi susu yang berbeda [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana 7
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
Sudono, A. 1985. Produksi Sapi Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. Sudono, A., I.K. Abdulgani, H. Nadjib dan R.A.M. Ratih. 1999. Penuntun Praktikum Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. Sutama, I.K. , I.G.M. Budiarsana, H. Setiyanto and A. Priyanti. 1995. Productive and reproductive performances of young Etawah-cross does. J.Ilmu Ternak dan Vet. 1(2):81-85. Teles. F.F.F., C.K. Young and J.W. Stull. 1978. A Method for rapid determination of lactosa. J. Dairy Sci. 61:506-508.
8
Thahar, A., E. Juarini, A. Priyanti, D. Priyanto dan B. Wibowo. 1996. Usaha kambing perah rakyat sebagai salah satu sumber pendapatan rumah tangga di Jawa Timur. Proc. Temu Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan. BPT. Ciawi. pp:195-203. Yulistiani, D., I.W. Mathius, I.K.Sutama, U. Adiati, R.S.G. Sianturi, Hastono and I.G.M. Budiarsa. 1999. Production response Of Etawah Crossbred (PE) does to improvement of feeding management during late pregnancy and lactation periode. J. Ilmu Ternak dan Vet 4(2):88-94.
Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Kulit Kayu Manis Dan Lama Perendaman Terhadap Umur Simpan Bakso Ikan Patin Pada Suhu Ruang Ade Yulia1), Silvi Leila Rahmi2), Indriyani3) ABSTRAK Bakso ikan Patin adalah produk olahan yang mudah rusak sehingga perlu diolah lebih lanjut agar lebih tahan lama. Agar dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan patin perlu dilakukannya penambahan zat pengawet. Salah satu pengawet alami yang dapat digunakan untuk mengawetkan bakso ikan adalah kayu manis. Kayu manis selama ini berpotensi sebagai antimikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet pada produk makanan. selama ini belum diketahui seberapa efektif perendaman bakso dalam ekstrak kayu manis dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan Patin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak kulit kayu manis dan lama perendaman terhadap umur simpan bakso ikan Patin yang disimpan pada suhu ruang serta untuk menentukan konsentrasi ekstrak kulit kayu manis dan lama perendaman yang tepat sehingga menghasilkan bakso ikan Patin dengan umur simpan paling lama. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap factorial dengan 2 faktor yaitu konsentrasi ekstrak kulit kayu manis dan lama perendaman. Konsentrasi ekstrak air kulit kayu manis terdiri dari 2 taraf perlakuan yaitu 15%, dan 25%. Lama perendaman dilakukan pada 2 taraf yaitu 30 menit dan 60 menit. Dengan demikian didapat 4 pasang perlakuan, dan diulang sebanyak 4 kali, sehingga dengan demikian untuk percobaan ini terdapat 16 satuan percobaan. Hasil Penelitian menunjukkan tidak ada interaksi antara konsentrasi ekstrak kayu manis dan lama perendaman terhadap umur simpan bakso ikan patin. Penambahan ekstrak kulit kayu manis 25% dan lama perendaman 60 menit dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan patin selama 60 jam (2,5 hari).
Kata Kunci : Ekstrak Kulit Kayu Manis, Bakso Ikan Patin, Umur simpan
PENDAHULUAN Bakso ikan Patin adalah produk olahan yang mudah rusak sehingga perlu diolah lebih lanjut agar lebih tahan lama beberapa alternatifnya adalah mengolahnya menjadi bakso beku, namun proses pembekuan memerlukan biaya yang mahal sehingga hanya dilakukan oleh industri besar dengan jangkauan pemasaran yang luas. Alternatif lain adalah dengan metode pengawetan menggunakan zat kimia dan pengawetan alami. Pengawet kimia yang banyak digunakan saat ini adalah formalin tetapi berbahaya untuk kesehatan manusia (Yernisa, et.al., 2007). Salah satu pengawet alami yang dapat digunakan untuk mengawetkan bakso ikan adalah kayu manis. Kayu manis selama ini berpotensi sebagai antimikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet pada produk
makanan. Bubuk kayu manis dapat mengawetkan roti manis selama 7 hari (Kusuma, 2008), ekstrak kayu manis dapat mengawetkan dodol rumput laut selama 20 hari (Wardhana, 2010). Tetapi selama ini belum diketahui seberapa efektif perendaman bakso dalam ekstrak kulit kayu manis dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan patin. BAHAN DAN METODE Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit kayu manis (Cinnamon Burmanii. BI) yang diperoleh dari Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi, Ikan Patin yang diperoleh dari petani ikan Patin di kota Jambi gula, asam sitrat, tepioka, garam, bawang putih, merica, mineral water dan batu es (air es). Alat-alat yang digunakan yaitu neraca analitik, alat-alat gelas kimia, 9
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
baskom, meat grinder, panic, pengaduk, timbangan dan kemasan plastik polietilen. Pembuatan Ekstrak Air Kulit Kayu Manis Kayu manis diperoleh dari Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi. Kulit kayu manis yang telah dipotong dicuci. Kulit kayu manis sebanyak 10 gram dimasukkan kedalam erlenmeyer kemudian ditambahkan aquades 100 ml. Setelah itu dipanaskan pada suhu 600C. Waktu ekstraksi dimulai pada saat suhu sampel menunjukkan suhu perlakuan. Setelah itu disaring, disentrifuse dan diambil filtrat nya. Pembuatan Bakso Ikan Patin Ikan Patin disiangi dan dibuang kepala dan kulitnya.kemudian dibersihkan dan dihancurkan.Tapioka yang digunakan adalah sebanyak 30%, es 20%, garam 3%, merica 0,3% dan bawang putih 0,3%. Garam, merica dan bawang putih dihaluskan. Bakso ikan Patin yang telah masak, diinginkan kemudian diberi perlakuan dalam ekstrak kulit kayu manis dengan cara total larutan yaitu 300 ml dengan perlakuan ekstrak air kulit kayu manis 15% yaitu 45 ml ekstrak kulit kayu manis dan 255 ml mineral water, perlakuan ekstrak air kulit kayu manis 25% yaitu 75 ml ekstrak air kulit kayu manis dan 225 ml mineral water dengan lama perendaman sesuai dengan perlakuan yaitu 30 dan 60 menit. Setelah direndam kemudian bakso ditiriskan, dan dikemas dalam plastik polietilen, ditutup, dan disimpan pada suhu ruang. Setiap kemasan terdiri dari 10 butir bakso dengan berat 20 gram per butir bakso. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap factorial dengan 2 faktor yaitu konsentrasi ekstrak air kulit kayu manis dan lama perendaman. Konsentrasi ekstrak air kulit kayu manis terdiri dari 2 taraf perlakuan yaitu 15%, 10
dan 25%. Lama perendaman dilakukan pada 2 taraf yaitu 30 menit dan 60 menit. Dengan demikian didapat 4 pasang perlakuan, dan diulang sebanyak 4 kali, sehingga dengan demikian untuk percobaan ini terdapat 16 satuan percobaan. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisis varians (ANOVA) pada taraf 5% dengan menggunakan aplikasi program komputer STATS Pengamatan Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kerusakan bakso karena bakteri, kapang dan khamir yang diukur setiap 12 jam selama maksimal 6 hari. Pengamatan dihentikan apabila bakso ikan patin telah mengalami kerusakan 100%. Total kerusakan pada bakso dapat diamati secara visual dimana kerusakan bakso karena bakteri terjadi apabila terdapat penyimpangan flavor dan terdapat lender pada sampel. Kerusakan bakso karena kapang terjadi apabila terdapat pertumbuhan bulu dan perubahan warna pada sampel. Kerusakan bakso karena khamir terjadi apabila terdapat lender dan bintik-bintik putih pada sampel. Persentase Kerusakan = Jumlah sampel yang rusak x 100% Total sampel
Umur simpan ditentukan menggunakan tabel data total kerusakan dimana umur simpan adalah waktu penyimpanan sebelum terjadi kerusakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Kulit Kayu Manis Analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara konsentrasi ekstrak kulit kayu manis terhadap total kerusakan bakso ikan patin pada penyimpanan 12, 24 dan 144 jam.
Konsentrasi ekstrak kulit kayu manis berpengaruh nyata pada penyimpanan 36, 48, 60, 72, 84, 96, 108, 120, 132 jam (Lampiran 3). Gambar 3 memperlihatkan bahwa bakso ikan patin yang direndam selama 30 menit pada konsentrasi ekstrak kulit kayu manis 15% mengalami kerusakan lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Pada perendaman selama 30 dan 60 menit, kerusakan bakso ikan patin rata-rata terjadi setelah 36 jam (Gambar 1 dan 2). Pada konsentrasi ekstrak kulit kayu manis 25% bakso ikan patin yang direndam selama 30 menit mengalami
kerusakan setelah 48 jam penyimpanan. Sedangkan perendaman selama 60 menit kerusakan terjadi setelah 72 jam penyimpanan (Gambar 3 dan 4). Semakin banyak konsentrasi ekstrak kayu manis yang digunakan untuk perendaman bakso ikan patin maka semakin lambat terjadinya kerusakan bakso ikan patin.
Gbr 1. Total kerusakan bakso ikan patin yang direndam dalam ekstrak kulit kayu manis selama 30 menit
11