Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
EFISIENSI PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWAH (The Efficiency of Milk Production of Peranakan Etawah Goats) I-G.M. BUDIARSANA dan I-K. SUTAMA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Ciawi-Bogor ABSTRACT Development of animal husbandry successfully increased dairy cattle population as the main milk producer in Indonesia. However, at present milk production is much less than overall demand for milk. Therefore, importation of milk can not be avoided and increased each year. However, total milk consumption is still below national standard nutrient (SOEHADJI, 1995), and this require effort to increase national milk production. Apart of dairy cattle, raising dairy goat of Peranakan Etawah (PE) is an alternative to produce milk in Indonesia. This programme will be able to increase farmer’s income and improve food quality by consuming goat milk of their own product. At present, general technique to increase milk production is through improvement of management practice of milk production including feed and feeding in order to improve nutrient flows into udder. Until a certain limit, this method may be workable, but it may be not economically feasible. In this case, milk production efficiency is important. This research is aimed to investigate milk production profiles and efficiency in relation to litter size of PE goats. Research result show that there was a significant difference on feed consumption during 12 weeks lactation of does with single and twins kids (1722 vs 1800 g DM/day, P<0.01). This was related with higher nutrient requirement of does with twins than that of does with single kids. However, daily milk production of both groups of does was not different, though milk production of does with twins kids always higher than that of does with single. Milk quality as shown by dry matter content (13.92-14.19%), fat (4.29-4.39%), protein (3.78-3.94%), lactose (5.08-5.21%) and some macro minerals (Ca and P) was almost the same between the two groups of does. Does with twin's kids shown higher efficiency on milk energy and milk protein than does with single. This was related to an increase of secretory cells of the udder during pregnancy shown by higher udder size at 5 months of pregnancy. Furthermore, economic milk efficiency was always higher in does with twins compared with single kids, though the values varied depend on place and time in which the calculation was made. From the results of the present study, it could be concluded that biologically PE goats are very potential as dairy goats shown by levels of milk production, persintentcy and efficiency of milk production. Technically this goat is easy to be managed by small farmer in the rural areas, and economically feasible to be developed commercially. Kata kunci: PE goat, milk production, efficiency ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui tingkat efisiensi produksi susu kambing Peranakan Etawah (PE), telah dilakukan di Stasiun Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. Dua puluh ekor kambing PE laktasi (beranak tunggal dan kembar) dipakai dalam penelitian ini. Ternak ditempatkan dalam kandang individu dan diberi pakan berupa rumput raja segar sekitar 4-5 kg/ekor/hari dan konsentrat sebanyak 500-750 g/ekor/hari (CP 16%). Pada masa laktasi jumlah konsentrat yang diberikan ditingkatkan menjadi 1000-1200 g/ekor/hari (CP 18%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap konsumsi pakan selama 12 minggu pertama laktasi antara induk dengan anak tunggal dan anak kembar (1722 vs 1800 g DM/hari, P<0,01). Kualitas susu yang dilihat dari kandungan bahan kering (13,92–14,19%), lemak (4,29–4,39%), protein (3,783,94%), laktosa susu (5,08-5,21%) dan beberapa mineral makro (Ca dan P) hampir sama pada kedua kelompok induk. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara biologis kambing PE induk sangat potensial sebagai kambing perah di Indonesia, yang ditunjukkan dengan tingkat produksi, persistensi produksi dan tingkat
427
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
efisiensi produksinya. Secara teknis ternak ini mudah dilaksanakan oleh peternak kecil, dan secara ekonomis usaha pemeliharaan kambing PE ini sebagai ternak perah cukup menguntungkan. Kata kunci : Kambing PE, Produksi susu, Effisiensi
PENDAHULUAN Pembangunan peternakan dilaporkan telah berhasil meningkatkan populasi sapi perah sebagai penghasil susu utama dalam negeri (SOEHADJI, 1995a), namun produksi susu tersebut belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan kansumsi nasional. Akibatnya impor susu tetap dilakukan sampai pada proyeksi konsumsi, produksi dan impor tahun 2000 dan seterusnya terus meningkat. Walaupun demikian, total konsumsi susu nasional masih berada dibawah standar gizi nasional (SOEHADJI, 1995b), sehingga perlu upaya peningkatan populasi dan efisiensi produksi susu serta diversifikasi ternak penghasil susu dalam menghadapi era globalisasi. Pemeliharaan ternak kambing perah merupakan salah satu alternatif upaya diversifikasi ternak perah selain sapi. Salah satu jenis kambing yang mempunyai potensi untuk menghasilkan susu adalah kambing Peranakan Etawah (PE) yang saat ini telah tersebar luas di Indonesia. Pemeliharaan kambing PE relatif mudah, murah (modal yang diperlukan relatif kecil), dan reproduksinya lebih cepat dibandingkan dengan sapi perah. Pengembangan kambing perah PE secara luas akan membantu peningkatan pendapatan atau paling tidak peningkatan konsumsi gizi masyarakat dipedesaan melalui konsumsi susu kambing produksi petani sendiri. Saat ini peternakan kambing perah secara intensif masih sangat terbatas, namun perkembangan kearah itu sudah mulai nampak belakangan ini. Untuk mengantisifasi perkembangan tersebut informasi yang menyangkut biologis ternak kambing perah ini sangat diperlukan. Sebagai ternak dwiguna, produktivitas kambing PE dapat dilihat dari jumlah dan bobot lahir anak serta produksi susu yang dihasilkan, dan ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan termasuk nutrisi dan manajemen. Produksi susu kambing PE masih sangat beragam (0,45-2,1 liter/hari) dan angka kelahiran tunggal sering terjadi, padahal ternak ini mempunyai kemampuan untuk menghasilkan anak lebih dari satu. Salah stu faktor penyebab rendahnya tingklat kelahiran adalah karena adanya kematian embrio (10-30%) yang umumnya terjadi sebelum hari ke-12 (WODZICKA-TOMASZEWSKA et al., 1991). Demikian juga kematian pra-sapih pada kambing masih relatif tinggi (66.6%) terutama pada kelahiran kembar dua atau kembar tiga (RASNA, 1996), mungkin sebagai akibat penurunan bobot lahir pada kelahiran kembar, atau karena rendahnya produksi susu induk. Saat ini, cara yang umum ditempuh untuk meningkatkan produksi susu adalah melalui perbaikan manajemen pemeliharaan termasuk pemberian pakan, yang terutama bertujuan untuk meningkatkan aliran substrat ke kelenjar susu. Produksi susu akan lebih meningkat jika peningkatan aliran substrat itu juga disertai oleh peningkatan sel sekretoris kelenjar ambing, yang terutama terjadi selama kebuntingan. Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing diatur oleh hormon progesteron, yang terutama disekresikan oleh CL dan juga oleh plasenta. Jadi sinergi faktor nutrisi dan faktor faali (genetik) menentukan tingkat produksi susu. Sampai batas tertentu peningkatan level pakan mampu meningkatkan produksi susu, namun perlu diketahui apakah cara ini menguntungkan secara ekonomis, dan dalam hal ini efisiensi produksi menjadi sangat penting, dan ini mungkin masih sangat bervariasi antar individu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola produksi dan tingkat efisiensi produksi susu kaitannya dengan jumlah anak yang lahir.
428
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
MATERI DAN METODE Dua puluh ekor kambing PE laktasi (beranak tunggal dan kembar) dipakai dalam penelitian ini. Ternak ditempatkan dalam kandang individu dan diberi pakan berupa rumput raja segar sekitar 4-5 kg/ekor/hari dan konsentrat sebanyak 500-750 g/ekor/hari (CP 16%). Pada masa laktasi jumlah konsentrat yang diberikan ditingkatkan menjadi 1000-1200 g/ekor/hari (CP 18%). Ternak ditimbang setiap 2 minggu, sedangkan konsumsi pakan diukur setiap hari. Produksi susu harian (pagi dan sore) dari setiap induk diukur selama laktasi. Kualitas susu diukur setiap minggu. Penentuan BJ susu dengan laktodensimeter. Kadar lemak diukur dengan menggunakan metode "Enzymatic, Colorimetric, Endpoint' menurut cara WAHLEFELD (1974). Kadar protein susu ditetapkan dengan metode "Enzymatic, Colorimetric, Endpoint' menurut cara LOWRY et al. (1951). Sedangkan kadar laktosa susu diukur denngan cara TELES et al. (1978). Persistensi produksi susu ditetapkan dengan metode BRATON dan MILLER (1959) dengan rumus: n ∑ Pi i=1 PP= ------ x 100% n Keterangan: i= 1, 2, 3 ....n. Pi = Nilai perbandingan antara produksi susu bulan berikutnya dengan bulan sebelumnya setelah dicapai produksi susu maksimum. n= Jumlah perbandingan. Efisiensi produksi susu dihitung berdasarkan energi atau protein yang terkandung dalam produksi susu harian dalam kalori atau gram dibagi dengan energi atau protein dalam pakan yang dikonsumsi per hari (BRODY, 1974). Sedangkan efisiensi ekonomi produksi susu dihitung berdasarkan nilai uang hasil penjualan dengan biaya pembelian pakan. EP = P/F x 100 Keterangan: P = produk (susu) yang dinyatakan dalam energi atau protein. F = energi atau protein dalam pakan. Parameter yang diukur: konsumsi ransum, produksi susu, BJ susu, kalori, komposisi susu (bahan kering, air, abu, lemak, protein, laktosa, Ca dan P), persistensi produksi susu, efesiensi produksi susu. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi pakan Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada penampilan produksi susu. WARWICK, et al. (1983) menyatakan bahwa pengaruh faktor pakan terhadap tampilan produksi susu yaitu sebesar 70%. Konsumsi pakan harian seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Terdapat perbedaan yang nyata terhadap konsumsi pakan selama 12 minggu pertama laktasi antara induk dengan anak tunggal (LS1) dan anak kembar (LS2) yaitu 1722 vs 1800 g DM/hari, (P<0,01). Trend konsumsi 429
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
pakan pada kelompok ternak LS2 dan LS1 seperti ditunjukkan pada Grafik 1. Tingginya konsumsi bahan kering pada LS2, berhubungan dengan kebutuhan nutrisi induk beranak kembar yang lebih besar terutama untuk memperbaiki kondisi tubuhnya setelah beranak karena kehilangan berat badan yang lebih besar saat beranak. Lebih dari itu tingginya konsumsi bahan kering pada LS2, juga disebabkan pada upaya dalam memenuhi kebutuhan nutrisi untuk produksi susu yang lebih tinggi, akibat adanya rangsangan pada kelenjar ambing untuk bersekresi susu lebih tinggi. Tabel 1. Rataan konsumsi pakan, produksi susu dan efisiensi produksi susu selama 12 minggu pertama laktasi kambing Peranakan Etawah Induk dengan Anak tunggal (LS-1)
Induk dengan anak kembar (LS-2)
Konsumsi pakan selama pra-sapih (g DM/ek/hari)
1722,6 ± 88,35
1800,2 ± 40,65 **
Rataan produksi susu selama 12 minggu laktasi (g/ekor/hari)
1308,44 ± 212,84
1434,51 ± 354,10
22,55 ± 4,89
25,66 ± 7,65
Parameter
Efisiensi produksi (%) Keterangan: **: P<0,01
Produksi susu Tingginya konsumsi induk pada LS2 tidak dikuti dengan peningkatan produksi susu harian secara signifikan pada LS2 (Tabel 1). Produksi susu yang dicapai pada penelitian ini lebih tinggi dari produksi yang pernah dilaporkan yaitu 0,8kg/ekor/hr (SUTAMA et al,. 1995), 1,14 kg/ekor/hr (TJIPTOSUMIRAT et al.,1997), akan tetapi masih pada kisaran produksi 0,45-2,2 ltr/hari (OBST dan NAPITUPULU, 1984). Perbedaan produksi susu kambing PE yang dicapai pada penelitian ini dibandingkan dengan laporan penelitian yang pernah dilaporkan tersebut mungkin disebabkan hereditas kemampuan produksi ternak yang digunakan berbeda. Kurva produksi susu mingguan seperti ditunjukkan pada Grafik 2. Terdapat kecenderungan pada kedua kelompok ternak bahwa, terjadi penurunan produksi susu yang terus menerus selama 24 minggu masa laktasi. Kondisi seperti ini juga dijumpai pada ternak domba perah. GATENBY (1985) melaporkan bahwa kurva laktasi domba Jaisalmeri tidak terdapat puncak produksi dan menurun secara linear selama 12 minggu masa laktasi. Kualitas susu Komposisi susu sangat dipengaruhi oleh periode laktasi. Susu yang dihasilkan beberapa hari setelah melahirkan lebih dikenal dengan sebutan kolostrum. Komposisi kandungan bahan pada kolostrum sangat kaya dan padat, hal ini disebabkan karena kolostrum mengandung kadar protein. ADU dan NGERE (1979)., melaporkan kandungan protein pada susu kolostrum dari domba Dwarf di Nigeria mengandung lebih dari 20% yaitu 4-5 kali lebih tinggi dari kandungan protein setelah masa tersebut. Komposisi susu pada pengamatan ini seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Walaupun produksi susu induk pada LS2 selalu lebih tinggi dari induk LS1 (Grafik 2). Kualitas susu yang dilihat dari kandungan bahan kering (13,92-14,19%), lemak (4,29-4,39%), protein (3,78-3,94%), laktosa susu (5,08-5,21%) dan beberapa mineral makro (Ca dan P) hampir sama pada kedua kelompok induk (Tabel 3). 430
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
2100
LS-1
2000
LS-2 1900
1800
1700
1600 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Periode Laktassi (Minggu)
Grafik 1. Konsumsi pakan kambing Peranakan Etawah selama 13 minggu laktasi
2000
LS-2 1500
LS-1
1000
500
0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 Periode laktsi (minggu)
19
21
23
Grafik 2. Produksi susu kambing Peranakan Etawah dengan anak satu dan anak dua/lebih
431
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Analisis Effisiensi Effisiensi dapat diartikan sebagai peningkatan keluaran (output) satuan produksi dibandingkan dengan satuan masukan (input). Hasil perhitungan efisiensi pada penelitian ini seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Kelompok ternak LS2 mempunyai efisiensi protein susu yang lebih tinggi dari kelompok ternak LS1 yaitu ternak dengan anak tunggal. Hal ini berhubungan dengan adanya peningkatan sel sekretori kelenjar ambing selama kebuntingan ditunjukkan dengan lebih besarnya ukuran ambing ternak tersebut, bukan karena lebih tingginya produksi susu per unit jaringan yang umumnya sama pada spesies ternak yang sama (LINZELL, 1972). Demikian pula halnya dengan efisiensi ekonomi yang selalu lebih tinggi pada induk dengan anak kembar (LS2), walaupun nilai ini akan sangat situasional, tergantung tempat dan waktu dimana perhitungan itu dilakukan. Tabel 2. Rataan lama laktasi, produksi susu, persistensi produksi susu dan efisiensi produksi susu selama laktasi kambing Peranakan Etawah Anak tunggal
Parameter
Anak kembar
(LS-1)
(LS-2)
Lama laktasi (hari)
214,3 ± 58,65
245,5 ± 102,30
Total prod. Susu selama laktasi (kg/laktasi)
177,42 ± 47,56
203,19 ± 66,65
Produksi susu harian selama (kghari)
0,83 ± 0,06
0,87 ± 0,20
Persistensi prod. Susu (%)
95,48 ± 2,27
93,11 ± 4,71
Efisiensi protein susu (%) Efisiensi ekonomi susu (%)
28,55 ± 5,02
29,33 ± 7,49
283,59 ± 62,29
269,40 ± 83,72
Tabel 3. Komposisi susu kambing peranakan etawah Komposisi
Anak tunggal
Anak kembar
(LS1)
(LS2)
Air (%)
85,10 ± 0,93
86,08 ± 1,12
Bahan kering (%)
14,19 ± 0,93
13,92 ± 1,12
Lemak (%)
4,29 ± 0,13
4,39 ± 0,65
Protein (%)
3,94 ± 0,52
3,78 ± 0,65
Laktosa (%)
5,21 ± 0,46
5,08 ± 0,71
Abu (%)
0,7333 ± 0,0823
0,6947 ± 0,0881
Ca (%)
0,1033 ± 0,0097
0,0991 ± 0,0093
P (%)
0,8100 ± 0,006
0,0786 ± 0,0062
BJ
1,0274 ± 0,0007
1,0282 ± 0,0008
432
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
40
LS-1
35
Efisiensi produksi susu (%)
LS-2 30
25
20
15
10 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Periode laktasi (minggu)
Grafik 3. Perkembangan efisiensi produksi susu kambing Peranakan Etawah selama 13 minggu pertama laktasi KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara biologis kambing PE induk sangat potensial sebagai kambing perah di Indonesia, yang ditunjukkan dengan tingkat produksi, persistensi produksi dan tingkat efisiensi produksinya. Secara teknis ternak ini mudah dilaksanakan oleh peternak kecil, dan secara ekonomis usaha pemeliharaan kambing PE ini sebagai ternak perah cukup menguntungkan. DAFTAR PUSTAKA ADU, I.F.; NGERE,L.O (1979) The indigenous sheep of Nigeria, World Review of Animal Production 15(3): 5162. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN . 1997. Buku statistik Peternakan 1997. Jakarta. BLACK, J.L., G.R. PEARCH and D.E. TRIBLE, 1973. Protein requirement of growing lambs Brit. J. Nutr. 30 : 45-65 BRATON, C. and G.D. MILLER. 1959. Some heredity and environmental aspect of persistency of milk yield of Holstein Friesian in Lousiana. J. Dairy Sci. 42: 923. BRODY, S. 1974. Bioenergetics and Growth. A Publication of Herman Frasch Foundation. Hafner Press. A Division of Macmillan Publishing Co., New York. 827-832.
433
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
GATENBY, R.M. 1985. Sheep Production in Tropics and Sub-Tropics 208. In Sahni, K.L.; Tiwari,S.B.1975. Studies on milk production and pre-weaning growth of lambs in different sheep breeds under semi-arid condition , Indian Journal of Animal Sciences 45 : 252-255. Sitorus, S.S., J.E. Van Eys. And I. Inounou, 1985. Effects of level feeding and litter size on milk yield and composition from Javanese ewes. Proc the 3 rd AAAP Congress. May 6-10. Vol. 2. Soul. Korea. HOQUE, D.E. 1967. Protein requirement of lactating ewes. In Cornell nutr. Conf. Cornell University Ithaca, N.Y. 118-122 LINZELL, J.L. 1972. Milk yield, energy loss in milk, and mammary gland weight in different species. Dairy Science Abstracts 24: 351-360. LOWRY, H.O., J.N. ROSERBROUGH, L.A. FARR and J.R. RANDALL. 1951. Protein measurement with folin phenol reagent. J. Biol. Chem. 193: 265-275. OBST, J.M. and Z. NAPITUPULU. 1984. Milk yields of Indonesian goats. Proc.Aust. Soc. Anim. Prod. 15 : 501504. OWEN, J.B. 1979. Complete diets for cattle and sheep. Farming Press, Limited Wharfedale Roud,Suffolk. PAPAS, A. 1977. Protein requirement of Chios sheep during maintenance. J. An. Sci. 44. 4:672. SITORUS, S.S., 1994. Milk Production from “Kacang” goats in Indonesia. Proc. Of the 7 AAAP.Animal Sci. Congress. July 11-14, 1994 held in Bali, Indonesia. SOEHADJI. 1995. Konsolidasi usaha sapi perah rakyat. Seminar Persusuan Nasional. 21 Agustus 1995, Jakarta. STEMMER, A. 1991. Husbandry and kid raising methods. In “ Goat Husbandry and Breeding in The Tropics”. Eds. J.M.Panandam S. Sivaraj, T.K. Mukherjee and O. Horst. German Foundation for International Development, Feldafing, pp. 151-161. SUTAMA, I.K,. I.G.M. BUDIARSANA, H.SETIANTO and A.PRIYANTI. 1995 Productive and reproductive performances of young Peranakan Etwah does. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (submitted) TELES, F.F.F., C.K. YOUNG and J.W. STULL. 1978. A method for rapid determination of lactose. J. Dairy Sci. 61: 506-508. WAHLEFELD, 1974. Triglycerides. Determinations after Enzymatic Hyfdrolysis. In H.U. Brigmeyer (Ed). Methode of Enzymatic Analysis. 2nd English Ed. Verlag Chemic Weinhelm and Academic Press Inc. New York.
434