PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) PADA KONDISI TATALAKSANA YANG BERBEDA
SKRIPSI JUNAIDI HAKIM RANGKUTI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
Junaidi Hakim Rangkuti. D14086016. 2011. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Afton Atabany, M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr. Kambing perah merupakan ternak yang mempunyai karakteristik diantaranya mampu beradaptasi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, mudah dipelihara, cepat berkembangbiak dengan daya reproduksi tinggi dan efisien dalam mengubah pakan menjadi susu. Produksi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bangsa, genetik, umur, ketinggian tempat dan tatalaksana pemeliharaan (perkandangan, pemberian pakan, pemerahan, penanganan reproduksi dan penyakit). Penelitian tentang produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah (PE) pada kondisi tatalaksana yang berbeda perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi tatalaksana terhadap produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu dari bulan Januari sampai Februari 2011. Pelaksanaan penelitian dilakukan di empat peternakan kambing perah. Analisa susu dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Kambing PE yang digunakan berjumlah 51 ekor yang terdiri dari kondisi A sebanyak 13 ekor, kondisi B sebanyak 13 ekor, kondisi C sebanyak 12 ekor dan kondisi D sebanyak 13 ekor. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t untuk membandingkan empat peternakan yaitu peternakan Cordero (kondisi A, pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut dan rasio pakan hijauan dan konsentrat 36:64), peternakan Prima Fit (kondisi B, pada ketinggian 350 meter di atas permukaan laut dan rasio pakan hijauan dan konsentrat 40:60), peternakan milik Bapak Purwadi (kondisi C, pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut dan rasio pakan hijauan dan konsentrat 50:50) dan PT Gizi Dewata Utama (kondisi D, pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut dan rasio pakan hijauan dan konsentrat 64:36). Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah jenis pakan hijauan dan konsentrat, rasio pemberian pakan hijauan dan konsentrat, konsumsi pakan, produksi susu, kualitas susu dan efisiensi produksi susu. Kondisi tatalaksana yang berbeda mempengaruhi konsumsi pakan dimana konsumsi pakan tertinggi ada pada kondisi D. Kondisi tatalaksana yang berbeda mempengaruhi konsumsi abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) dan gross energi. Konsumsi protein kasar, lemak kasar, BETN dan gross energi tertinggi ada pada kondisi D, konsumsi abu tertinggi ada pada kondisi A sedangkan konsumsi serat kasar tertinggi ada pada kondisi B. Kondisi tatalaksana yang berbeda mempengaruhi berat jenis susu, persentase bahan kering susu, persentase protein susu, persentase lemak susu, persentase Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) susu dan gross energi susu yang dihasilkan. Berat jenis susu,
i
persentase bahan kering susu dan persentase BKTL susu tertinggi ada pada kondisi D, persentase protein susu tertinggi ada pada kondisi A sedangkan persentase lemak susu dan gross energi susu tertinggi ada pada kondisi B. Kondisi tatalaksana yang berbeda mempengaruhi produksi susu dan produksi kadar komposisi susu yang dihasilkan. Produksi susu tertinggi ada pada kondisi D, produksi kadar bahan kering, kadar protein, kadar lemak, kadar BKTL dan kadar gross energi susu tertinggi juga ada pada kondisi D. Kondisi tatalaksana yang berbeda mempengaruhi efisiensi produksi bahan kering susu, protein susu, lemak susu dan gross energi susu. Efisiensi produksi bahan kering susu tertinggi ada pada kondisi B dan D, efisiensi produksi kadar protein susu tertinggi ada pada kondisi A, B dan C, efisiensi produksi kadar lemak dan efisiensi produksi kadar gross energi susu tertinggi ada pada perlakuan B. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa kondisi D menghasilkan produksi susu tertinggi dengan kualitas susu terbaik. Kondisi D menggunakan rasio hijauan dan konsentrat sebesar 64:36 pada ketinggian tempat 500 meter di atas permukaan laut. Kata kunci: Kambing Peranakan Etawah, produksi susu, kualitas susu.
ii
ABSTRACT Milk Yield of Etawah Grade Goat Differing in Rearing Management Rangkuti, J. H, A. Atabany, and B. P. Purwanto Milk production of goat influenced by breed, genetic, age and rearing management. In Indonesian breed, genetic and age of goats among dairy goat farm are almost the same, but the rearing management varied any the farm. Therefore it was needed to know effect of rearing management on milk production of using goat. A study was done for 2 month to observe effect of rearing management on milk production of Etawah grade goat at 4 dairy goat farms. The data were then analyzed using t – test for comparing the farms (Cordero : A, 700 m above sea level, Prima Fit : B, 350 m, Mr. Purwadi : C, 300 m and PT Gizi Dewata Utama : D, 500 m). The forage : concentrate ratios at each farm were 36 : 64, 40 : 60, 50 : 50 and 64 : 36 for A, B , C and D, respectively. From the results it was concludec that the best farms was D fam that had highest milk production dan best milk quality. Keywords: Etawah grade goat, milk production, milk quality.
iii
PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) PADA KONDISI TATALAKSANA YANG BERBEDA
JUNAIDI HAKIM RANGKUTI D14086016
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
iv
Judul : Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda Nama : Junaidi Hakim Rangkuti NIM
: D14086016
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Ir. Afton Atabany, M.Si.) NIP: 19640521 199512 1 002
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr.) NIP: 19600503 198503 1 003
Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian: 10 Juni 2011
Tanggal Lulus:
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Februari 1987 di Kota Padangsidimpuan, Propinsi Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda (Alm) Amir Hakim Rangkuti dan Ibunda Zuaidah Nasution. Pendidikan penulis dimulai dengan bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) Persit Kartika Chandra Kirana Padangsidimpuan pada tahun 1991-1993. Tahun 1993 penulis melanjutkan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 15/142431 Padangsidimpuan dan diselesaikan tahun 1999. Penulis melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Padangsidimpuan tahun 1999 dan diselesaikan tahun 2002. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Padangsidimpuan pada tahun 2002 dan diselesaikan tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak, Direktotar Program Diploma, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2005 dan diselesaikan tahun 2008. Penulis melanjutkan ke program Sarjana di Program Alih Jenis, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun 2008. Penulis aktif di Organisasi Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan- Bogor (IMATAPSEL-Bogor) selama masih kuliah di Institut Pertanian Bogor. Untuk menyelesaikan studi di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda” dibawah bimbingan Ir. Afton Atabany, M.Si. dan Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr.
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil ’alamin Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda” dengan baik. Tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kambing perah merupakan ternak yang mempunyai karakteristik diantaranya mampu beradaptasi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, mudah dipelihara, cepat berkembangbiak dengan daya reproduksi tinggi dan efisien dalam mengubah pakan menjadi susu. Produksi susu kambing dipengaruhi oleh faktor bangsa, genetik, umur, ketinggian tempat dan tatalaksana pemeliharaan. Oleh karena itu dilakukan penelitian tentang pengaruh kondisi tatalaksana pemeliharaan kambing Peranakan Etawah betina laktasi terhadap produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah. Penulis mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah membantu terutama kepada pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Bogor, Juni 2011
Junaidi Hakim Rangkuti
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .............................................................................................
i
ABSTRACT ................................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
v
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xiii
PENDAHULUAN.......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................ Tujuan ..............................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. Kambing .......................................................................................... Kambing Etawah ............................................................................. Kambing Kacang ............................................................................. Kambing Peranakan Etawah ........................................................... Pakan ............................................................................................... Konsumsi Pakan .............................................................................. Konsumsi Bahan Kering ................................................................. Konsumsi Protein Kasar .................................................................. Konsumsi Lemak ............................................................................. Konsumsi Energi ............................................................................. Rasio Pakan Hijauan dan Konsentrat .............................................. Produksi Susu .................................................................................. Komposisi Susu ............................................................................... Efisiensi Produksi Susu ...................................................................
3 3 3 4 4 5 5 6 7 9 9 11 11 12 14
MATERI DAN METODE .......................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... Materi Penelitian ............................................................................. Ternak ................................................................................. Peralatan .............................................................................. Prosedur Penelitian .......................................................................... Pemilihan Lokasi Penelitian ................................................ Pengukuran Konsumsi pakan .............................................. Analisa Kualitas Pakan ....................................................... Penghitungan Rasio Pakan Hijauan dan Konsentrat ...........
15 15 15 15 16 16 16 16 16 16 viii
Pengukuran Produksi Susu .................................................. Analisa Kualitas Susu ......................................................... Produksi Kadar Komposisi Susu ......................................... Efisiensi Produksi Susu ....................................................... Pengumpulan Data .............................................................. Analisis Data ...................................................................................
17 17 19 19 20 20
KEADAAN UMUM LOKASI ................................................................... Peternakan Kambing Perah Cordero ............................................... Pemberian Pakan dan Air Minum ....................................... Pemerahan ........................................................................... Peternakan Kambing Perah Prima Fit ............................................. Pemberian Pakan dan Air Minum ....................................... Pemerahan ........................................................................... Peternakan Kambing Perah Milik Bapak Purwadi .......................... Pemberian Pakan dan Air Minum ....................................... Pemerahan ........................................................................... PT Gizi Dewata Utama .................................................................... Pemberian Pakan dan Air Minum ....................................... Pemerahan ...........................................................................
22 22 23 23 23 24 25 25 26 26 26 28 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
29
Komposisi Pakan ............................................................................. Konsumsi Pakan .............................................................................. Konsumsi Abu .................................................................... Konsumsi Protein Kasar ...................................................... Konsumsi Serat Kasar ......................................................... Konsumsi Lemak Kasar ...................................................... Konsumsi BETN Pakan ....................................................... Konsumsi Gross Energi ....................................................... Komposisi Susu ............................................................................... Berat Jenis Susu .................................................................. Bahan Kering Susu ............................................................. Protein Susu ......................................................................... Lemak Susu ......................................................................... BKTL Susu .......................................................................... Gross Energi Susu ............................................................... Produksi Susu dan Kadar Komponen Susu ..................................... Produksi Susu ...................................................................... Produksi Kadar Komposisi BK Susu .................................. Produksi Kadar Komposisi Protein Susu ............................ Produksi Kadar Komposisi Lemak Susu ............................. Produksi Kadar Komposisi BKTL Susu .............................. Produksi Kadar Komposisi Gross Energi Susu ................... Efisiensi Produksi Susu ................................................................... Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu ................................ Efisiensi Produksi Protein Susu ........................................... Efisiensi Produksi Lemak Susu ........................................... Efisiensi Produksi Gross Energi Susu .................................
29 31 33 34 34 35 36 36 37 37 38 39 40 40 40 41 42 44 45 46 47 48 48 49 50 50 51 ix
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
52
Kesimpulan ...................................................................................... Saran ................................................................................................
52 52
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
55
LAMPIRAN ................................................................................................
61
x
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Konsumsi Bahan Kering Harian Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4 %....................................
7
2. Kebutuhan Protein Kasar dengan 20 % Protein tidak Terdegradasi Dalam Rumen pada Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4 % ............................................ ..
8
3. Konsumsi Bahan Kering Harian Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4 %..................................
10
4. Komposisi Susu Kambing, Sapi dan ASI..........................................
13
5. Komposisi Pakan dari Masing-masing Peternakan pada Saat Penelitiann.........................................................................................
29
6. Konsumsi Pakan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian..............................................................
31
7. Konsumsi Zat Makanan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitiann.........................................................................
33
8. Komposisi Susu dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian...
37
9. Produksi Susu dan Kadar Komponen Susu Kambing PE dari dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian..............................
41
10. Efisiensi Produksi Susu Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian...........................................................................
49
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. (a). Kambing PE Kondisi A; (b). Kambing PE Kondisi B (c). Kambing PE Kondisi C; (d). Kambing PE Kondisi D.. .............
15
2. Kandang Pemeliharaan Kambing PE di Peternakan Cordero .............
22
3. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di Peternakan Prima Fit ........
24
4. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di Peternakan Milik Pak Purwadi ........................................................................................
26
5. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di PT Gizi Dewata Utama ....
27
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Komposisi Pakan dari Masing-masing Kondisi ...........................
61
2. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Bahan Kering Pakan Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................................
62
3. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Abu Pakan Kambing PE pada Saat Penelitian..............................................................................
64
4. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Protein Kasar Pakan Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................................
66
5. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Serat Kasar Pakan Kambing PE Pakan Kambing PE pada Saat Penelitian ......................................
68
6. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Lemak Kasar Pakan Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................................
70
7. Hasil Analisis Uji t Konsumsi BETN Pakan Kambing PE pada Saat Penelitian...............................................................................
72
8. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Gross Energi Kambing PE pada Saat Penelitian...............................................................................
74
9. Hasil Analisis Uji t Produksi Susu Kambing PE pada Saat Penelitian ......................................................................................
76
10. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Bahan Kering Susu Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................
78
11. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Protein Susu Kambing PE pada Saat Penelitian ......................................................................
80
12. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Lemak Kambing PE pada Saat Penelitian ...............................................................................
82
13. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar BKTL Susu Kambing PE pada Saat Penelitian ......................................................................
84
14. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Gross Energi Susu Kambing PE pada Saat Penelitian .................................................................
86
15. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu Kambing PE pada Saat Penelitian .................................................
88
16. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Protein Susu Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................................
90
17. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Lemak Susu Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................................
92
18. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Gross Energi Susu Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................
94 xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemeliharaan kambing perah merupakan salah satu alternatif diversifikasi ternak penghasil susu disamping sapi perah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia. Kambing perah merupakan ternak yang lebih efisien dibandingkan sapi serta mempunyai karakteristik yang istimewa diantaranya adalah mampu beradaptasi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, mudah dipelihara, cepat berkembangbiak dengan daya reproduksi tinggi dan efisien dalam mengubah pakan menjadi susu. Kambing perah yang dipelihara di Indonesia umumnya adalah kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Kacang asli Indonesia dengan kambing Etawah (Jamnapari) asli India, sehingga kambing PE memiliki sifat diantara kedua tetuanya namun lebih mendekati ke arah performa kambing Etawah. Persilangan ini dilakukan karena kambing Etawah terkenal dengan potensi pertumbuhannya dan kemampuannya dalam menghasilkan susu sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu kambing lokal di Indonesia. Produksi susu yang dihasilkan kambing PE masih sangat beragam. Produksi susu kambing dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor bangsa, ketinggian tempat dan tatalaksana pemeliharaan yaitu perkandangan, pemberian pakan, pemerahan, penanganan reproduksi dan penyakit. Ketinggian tempat di atas permukaan laut mempengaruhi suhu lingkungan, semakin rendah ketinggian tempat di atas permukaan laut maka semakin tinggi suhu lingkungan sehingga konsumsi pakan menurun dan meningkatkan konsumsi air minum. Penurunan konsumsi pakan akan mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan. Kebutuhan pakan bagi ternak sangat penting karena sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Kebutuhuan hidup pokok dapat diperoleh dari hijauan, sedangkan untuk produksi susu diperlukan pakan tambahan. Pemberian pakan yang salah dapat mengakibatkan penurunan produksi, gangguan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Kambing perah laktasi yang diberikan hijauan saja hanya mencukupi kebutuhan hidup pokoknya dengan produksi yang rendah. Kambing perah laktasi
harus diberikan sejumlah konsentrat disamping hijauan untuk mencapai produksi susu yang tinggi. Pemberian konsentrat yang terlalu banyak tidak akan selalu dapat meningkatkan produksi susu, bahkan akan menjurus ke arah penggemukan. Konsentrat yang diberikan terlalu banyak tidak ekonomis, karena harga konsentrat relatif lebih mahal daripada hijauan. Penelitian tentang pengaruh kondisi tatalaksana terhadap produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah perlu dilakukan. Pada penelitian ini digunakan kambing Peranakan Etawah betina periode laktasi pada empat peternakan dengan kondisi tatalaksana seperti ketinggian tempat dan rasio pemperian pakan yang berbeda. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi tatalaksana terhadap produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah.
2
TINJAUAN PUSTAKA Kambing Ternak kambing berasal dari kambing liar yang didomestikasi sebagai ruminansia kecil dari ordo Ungulata, sub-ordo Artiodactila, family Bovidae, subfamily Caprinae, genus Capra dan spesies Capra hircus (Williamson dan Payne, 1993). Kambing adalah hewan bukit yang baik dan dapat menempuh perjalanan jauh untuk mencapai makanan kesukaannya baik berupa tunas, semak, perdu atau tanaman lainnya (Blakely dan Bade, 1991). Kambing berfungsi sebagai ternak penghasil daging, susu, kulit dan bulu serta kotoran (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Sudono dan Abdulgani (2002), kambing tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, karena memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap hijauan pakan ternak, rerumputan dan dedaunan serta mampu memanfaatkan bermacammacam hijauan yang tidak dapat dimakan oleh ternak ruminansia lainnya seperti domba dan sapi. Kambing juga mempunyai kemampuan beradaptasi yang luas terhadap berbagai keadaan lingkungan. Kambing Etawah Bangsa kambing Etawah merupakan bangsa kambing yang paling popular dipelihara secara luas sebagai penghasil susu di India dan Asia Tenggara. Kambing Etawah berasal dari distrik Etawah daerah antara sungai Yamuna dan Chambal, propinsi Uttar Pradesh, India dengan nama kambing Jamnapari tetapi di Indonesia dikenal sebagai kambing Etawah (Mason, 1976). Kambing Etawah termasuk tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Kambing Etawah di Indonesia merupakan keturunan dari kambing Jamnapari yang diimpor dari India sekitar tahun 1920 (Devendra dan Burns, 1994). Bobot badan kambing Etawah jantan dewasa berkisar antara 69-90 kg dan betina 45-65 kg. Warna bulu tidak seragam, biasanya berwarna belang putih, merah atau coklat. Panjang daun telinga 31-40 cm dengan lebar 7-13 cm, telinga melipat dan terkulai dengan bagian pangkal menguncup. Profil muka cembung dengan rahang atas lebih pendek daripada rahang bawah. Ambing besar dengan puting berbentuk botol. Kaki panjang dan terdapat rambut panjang terutama pada paha dan bagian belakang (Benerjee, 1982). Berdasarkan kemampuannya menghasilkan susu
3
dan potensi pertumbuhannya, bangsa ini digunakan secara luas untuk meningkatkan mutu kambing yang lebih kecil diberbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan ternak potong bermutu tinggi, subur dan cocok untuk daerah pedesaan yang masih jarang penduduknya dengan pola peternakan ekstensif (Sudono dan Abdulgani, 2002). Kambing Kacang merupakan kambing yang tahan derita, lincah, mampu beradaptasi dengan baik dan tersebar luas di wilayah Malaysia dan Indonesia (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Mekir et al. (1986), kambing Kacang memiliki sifat fisik bertubuh pendek, kepala ringan dan kecil, telinga pendek dan tegak ke atas depan. Pada umumnya memiliki warna rambut tunggal yaitu putih, hitam dan coklat tetapi terdapat juga warna campuran dari dua atau tiga warna tersebut. Kambing Kacang betina mempunyai rambut pendek pada seluruh tubuhnya kecuali pada bagian ekor dan dagu sedangkan pada jantan selain di seluruh tubuh dan dagu juga tumbuh rambut panjang di sepanjang garis leher, pundak dan punggung sampai ekor dan pantat. Kambing Peranakan Etawah Kambing PE merupakan hasil kawin tatar (grading-up) antara kambing Kacang dengan kambing Etawah, sehingga mempunyai sifat diantara tetuanya (Atabany, 2001). Didukung oleh Heryadi (2004), kambing PE merupakan hasil persilangan yang tidak terarah dan kurang terpola antara kambing Etawah asal India dan kambing lokal yaitu kambing Kacang dengan karakteristik yang lebih mendekati ke arah performa kambing Etawah. Markel dan Subandriyo (1997) menyatakan, karakteristik kambing PE adalah kuping panjang antara 18-19 cm, tinggi badan antara 75-100 cm dan bobot jantan sekitar 40 kg dan bobot betina sekitar 35 kg. Kambing jantan PE berbulu di bagian atas dan bawah leher, pundak dan paha belakang lebih lebat dan panjang. Kambing PE betina mempunyai bulu panjang hanya terdapat pada bagian paha belakang. Warna kombinasi coklat sampai hitam abu-abu (Sudono dan Abdulgani, 2002) dan muka cembung (Hardjosubroto, 1994).
4
Pakan Zat makanan adalah komponen bahan makanan yang dapat dicerna, dapat diserap serta bermanfaat bagi tubuh (Sutardi, 1980). Zat makanan merupakan substansi kimia dalam bahan makanan yang dapat dimetabolisasi dan dimanfaatkan untuk hidup pokok, produksi dan reproduksi (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Jika persediaan zat makanan cukup dan memenuhi persyaratan dari segi kualitas, kuantitas dan palatabilitas, maka kebutuhan akan hidup pokok, produksi dan reproduksi terpenuhi (Sudono, 1985). Kambing perah mempunyai potensi genetik untuk memegang peranan penting dalam menyediakan protein kualitas tinggi dari susu melalui konversi pakan dari sumber hijauan non kompetitif (Budiarto, 2006). Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya produksi susu adalah dari segi pemberian pakan dan minum. Pakan yang diberikan untuk ternak kambing harus dapat memenuhi kebutuhannya untuk hidup pokok dan reproduksi (Ensminger, 2001). Menurut National Research Council (NRC) (2006), kebutuhan nutrisi yang diperlukan kambing ialah energi, protein, mineral, vitamin dan air. Jumlah pakan yang diberikan tergantung ukuran tubuh, kondisi kambing (pertumbuhan, bunting dan laktasi), jenis kelamin (Sudono dan Abdulgani, 2002), umur dan kapasitas produksi (Gall, 1981). Pakan yang melebihi kebutuhan hidup pokoknya akan dimanfaatkan untuk produksi yang lebih tinggi (Devendra dan Burns, 1994). Kambing PE menyukai pakan beragam tanaman berupa daun kaliandra, mahoni, daun nangka, daun pisang, daun dadap, rumput Setaria dan rumput gajah (Astuti et al., 2002). Konsumsi Pakan Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor yang esensial dan merupakan dasar untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Konsumsi pakan ruminansia dikontrol oleh faktor-faktor yang tidak sama dengan non ruminansia. Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik produktivitas ternak (Arora, 1995). Tingkat konsumsi zat makanan sangat mempengaruhi performa produksi ternak, sedangkan tingkat konsumsi suatu pakan mencerminkan tingkat palatabilitas pakan tersebut (Nursasih, 2005). Palatabilitas pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya rasa, bentuk dan bau dari pakan itu sendiri (Tillman et 5
al., 1989). Hewan ruminansia akan berhenti makan setelah kapasitas rumennya terpenuhi, meskipun sesungguhnya masih membutuhkan tambahan energi untuk metabolisme tubuhnya (Suryapratama, 1999). Menurut Parakkasi (1999), tingkat konsumsi ternak dapat dipengaruhi oleh ternak itu sendiri (bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa), makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (temperatur, kelembaban dan sinar matahari). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Atabany (2001) menunjukkan induk laktasi kambing PE dengan rataan bobot hidup 48 kg, mengkonsumsi 8,19 kg pakan segar per ekor per hari. Pakan konsentrat, ampas tahu dan singkong yang diberikan selalu habis dikonsumsi. Rataan banyaknya rumput yang dikonsumsi induk laktasi 76,63% dari pemberian atau 4,19 kg/ekor/hari. Pemberian rumput dilakukan tiga kali sehari, sedangkan konsentrat dua kali sehari. Menurut Budiarto (2006), konsumsi rata-rata pakan segar kambing PE pada penelitiannya di Kecamatan Kaligesing 7,19±0,65 kg/ekor/hari. Konsumsi Bahan Kering Konsumsi bahan kering (BK) kambing merupakan satu faktor yang sangat penting. Menurut Devendra dan Burns (1994), kapasitas mengkonsumsi pakan secara aktif merupakan faktor pembatas yang mendasar dalam pemanfaatan pakan. Kambing perah berproduksi tinggi karena mempunyai kemampuan mengkonsumsi bahan kering yang relatif tinggi. Despal et al. (2007) menambahkan, pakan dengan kandungan bahan kering tinggi berpengaruh terhadap intake, pada ruminansia intake dipengaruhi oleh tingkat penyerapan dan bentuk pakan. Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999). Menurut Blakely dan Bade (1991), kambing dapat mengkonsumsi bahan kering yang relatif banyak yaitu 5-7% dari berat hidupnya, jika dibandingkan dengan sapi hanya 2-3% dari berat hidupnya. Konsumsi bahan kering harian kambing perah yang memiliki anak tunggal dengan kadar lemak susu 4% dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1. Konsumsi Bahan Kering Harian Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4% Status (produksi susu) Awal Laktasi (0,88-1,61 kg/hari)
Pertengahan Laktasi (0,63-1,15 kg/hari)
Akhir Laktasi (0,55-1,25 kg/hari)
Bobot Badan (kg)
Konsumsi (kg/hari)
% Bobot Badan
30
1,38
4,59
40
1,67
4,17
50
1,94
3,87
60
2,19
3,66
30
1,22
4,05
40
1,48
3,70
50
1,72
3,44
60
1,95
3,25
30
1,12
3,74
40
1,36
3,41
50
1,58
3,16
60
1,79
2,99
Sumber: NRC (2006)
Kambing lokal (bangsa kambing pedaging dan perah) di daerah tropis yang diberi pakan sekenyangnya mempunyai konsumsi bahan kering harian dalam kisaran 1,8-4,7% dari berat hidupnya (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Jaelani (1999), kisaran konsumsi kambing PE pada penelitiannya adalah 446,51 gram/ekor/hari atau setara dengan 3,3-3,75% dari berat hidup, sedangkan menurut Atabany (2001) konsumsi bahan kering harian kambing PE dengan rataan bobot hidup 48 kg pada penelitiannya di peternakan Barokah adalah 1759 gram/ekor/hari atau setara dengan 3,7% dari berat hidup. Konsumsi Protein Kasar Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul tinggi. Menurut Tillman et al. (1989) ruminansia mendapatkan protein dari 3 sumber, yaitu protein mikroba rumen, protein pakan yang lolos dari perombakan mikroba rumen dan sebagian kecil dari endogenus. Tubuh memerlukan protein untuk
7
memperbaiki dan menggantikan sel tubuh yang rusak serta untuk produksi. Protein dalam tubuh diubah menjadi energi jika diperlukan. Kebutuhan ternak akan protein biasanya disebutkan dalam bentuk Protein Kasar (PK). Kebutuhan protein ternak dipengaruhi oleh masa pertumbuhan, umur fisiologis, ukuran dewasa, kebuntingan, laktasi, kondisi tubuh dan rasio energi protein (Ensminger, 1991). Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu (Sudono, 1999). Kondisi tubuh yang normal membutuhkan protein dalam jumlah yang cukup, defisiensi protein dalam ransum akan memperlambat pengosongan perut sehingga menurunkan konsumsi. Kebutuhan protein kasar dengan 20% tidak terdegradasi dalam rumen pada kambing perah yang memiliki anak tunggal dengan kadar lemak susu 4% dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan Protein Kasar dengan 20% Protein tidak Terdegradasi dalam Rumen pada Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4% Status (produksi susu) Awal Laktasi (0,88-1,61 kg/hari)
Pertengahan Laktasi (0,63-1,15 kg/hari)
Akhir Laktasi (0,55-1,25 kg/hari)
Bobot Badan (kg)
Kebutuhan (gram/hari)
30
77
40
93
50
109
60
124
30
70
40
86
50
100
60
114
30
67
40
81
50
95
60
108
Sumber: NRC (2006)
Kelebihan protein masih dapat ditolerir tanpa membahayakan ternak selama timbunan hasil fermentasi tidak meracuni jaringan tubuh, seperti halnya ammonia. Ginting (2000) menambahkan, kekurangan protein merupakan faktor pembatas
8
utama dalam produksi susu kambing karena pada musim kering kandungan PK rumput mengalami penurunan yang drastis, yaitu dibawah 4%. Konsumsi PK yang tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis bahan pakan khususnya bahan penyusun konsentrat. Konsentrat merupakan pakan penguat dengan kadar serat kasar rendah dan banyak mengandung protein dan juga energi. Palatabilitas pakan dan jumlah pakan yang dimakan akan meningkatkan konsumsi protein yang lebih banyak dari kebutuhan minimalnya sehingga dapat berguna untuk meningkatkan bobot badan. Protein dalam tubuh diubah menjadi energi jika diperlukan. Protein dapat diperoleh dari bahan-bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan yang berasal dari biji-bijian. Menurut Atabany (2001), konsumsi PK kambing PE pada penelitiannya di peternakan Barokah adalah 215 gram/ekor/hari. Konsumsi Lemak Menurut Parakkasi (1999), lemak merupakan zat tidak larut air, sistem organik yang larut dalam pelarut organik. Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi, 1980). Parakkasi (1999) menambahkan, ruminansia dewasa kurang toleransi terhadap lemak, kecuali anak ruminansia yang masih menggunakan makanan cair. Kadar lemak ransum ruminan yang melebihi 7-8% menyebabkan gangguan pencernaan, terutama
penurunan
konsumsi
yang
disebabkan
oleh
gangguan
fungsi
mikroorganisme dalam rumen. Jika dipandang dari segi energi lemak akan mengandung energi lebih kurang dua kali nilai energi biji-bijian yang baik (Parakkasi, 1999). Bahan makanan utama ruminan (hijauan) tidak banyak mengandung lemak (sekitar 3% saja), akan tetapi jika konsumsi hijauan tersebut cukup banyak maka konsumsi dari lemak akan relatif banyak pula, apalagi ditambah bahan makanan khusus (dari berbagai makanan konsentrat) yang banyak mengandung lemak (Parakkasi, 1999). Konsumsi Energi Energi sangat diperlukan pada setiap langkah makhluk hidup, tanpa adanya energi berarti tidak ada kehidupan. Sebagian besar porsi dari pakan yang dikonsumsi
9
oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan energi karena reaksi anabolik dan katabolik dalam tubuh memerlukan energi. Kebutuhan energi kambing perah yang memiliki anak tunggal dengan kadar lemak susu 4% dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kebutuhan Energi Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4% Status (produksi susu) Awal Laktasi (0,88-1,61 kg/hari)
Pertengahan Laktasi (0.63-1,15 kg/hari)
Akhir Laktasi (0,55-1,25 kg/hari)
Bobot Badan (kg)
Kebutuhan (kg/hari)
30
0,73
40
0,89
50
1,03
60
1,16
30
0,64
40
0,78
50
0,91
60
1,04
30
0,59
40
0,72
50
0,84
60
0,95
Sumber: NRC (2006)
Ørskov (1998) menyatakan bahwa ternak membutuhkan energi untuk digunakan dalam pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh dan untuk produksi. Energi bahan pakan pada umumnya dibagi menjadi 4 bagian yaitu energi bruto, energi dapat dicerna, energi metabolis dan energi netto (Anggorodi, 1994). Energi yang digunakan oleh tubuh hewan merupakan hasil dari metabolisme lemak, protein dan karbohirat. Besarnya konsumsi energi tergantung pada bobot badan, temperatur lingkungan, tingkat produksi, aktivitas dan umur. Jika ternak diberikan pakan yang mengandung energi dibawah kebutuhan untuk hidup pokok, maka ternak akan menggunakan lemak tubuhnya (Ørskov, 1998).
10
Rasio Pakan Hijauan dan Konsentrat Pemberian formula ransum yang tepat merupakan hal penting dalam efisiensi pemanfaatannya. Kekurangan satu atau kelebihan zat makanan akan menurunkan efisiensi produksi. Persentase pemberian hijauan dalam ransum tergantung pada kualitas hijauannya, bila kualitas hijauan tinggi maka persentasenya dalam ransum dapat ditingkatkan, sebaliknya bila kualitas hijauan rendah maka persentasenya dalam ransum harus diturunkan dengan ketentuan batas minimal serat kasar dan protein ransum tetap terjaga (Suherman, 2005). Menurut Basya (1983), untuk dapat memproduksi susu yang tinggi dengan tetap mempertahankan kandungan protein dan lemak dalam batas-batas normal, perimbangan itu haruslah 60:40. Namun hendaknya dipahami bahwa angka perimbangan itu belum merupakan suatu imbangan optimal yang mutlak karena perimbangan itu dapat bergeser ke kiri atau ke kanan sesuai dengan kualitas hijauan yang diberikan. Apabila hijauan yang diberikan berkualitas tinggi, maka perimbangan bergeser ke kiri yaitu ke arah pemberian yang lebih banyak. Sebaliknya apabila hijauan yang diberikan berkualitas rendah, maka perimbangan tadi bergeser ke kanan yaitu pemberian konsentrat ditingkatkan sedangkan pemberian hijauan diturunkan. Menurut Sudono et al. (2003), pakan yang terlalu banyak hijauan menyebabkan kadar lemak susu tinggi karena lemak susu tergantung dari kandungan serat kasar dalam pakan, sapi betina dewasa yang sedang laktasi dan kering membutuhkan kadar serat kasar dalam ransum minimal 17% dari bahan kering. Kadar lemak kasar susu dipengaruhi oleh rasio hijauan dan konsentrat, turunnya rasio hijauan dalam bahan pakan menghasilkan kandungan lemak susu rendah yang diikuti oleh peningkatan protein susu. Menurut Arora (1995), pemberian rasio pakan konsentrat lebih besar daripada hijauan menyebabkan pH rumen menurun yang disebabkan konsentrat akan menekan kerja buffer karena mastikasi berkurang akibat produksi saliva menurun dan meningkatkan produksi volatile fatty acid (VFA). Produksi Susu Produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana yang diberlakukan terhadap ternak (perkandangan, pakan dan kesehatan), kondisi iklim setempat, daya adaptasi ternak 11
dan aktivitas pemerahan (Phalepi, 2004). Phalepi (2004) menambahkan, produksi susu pada ternak yang umur tua lebih tinggi dari pada ternak umur muda karena ternak umur muda masih mengalami pertumbuhan. Pendistribusian zat-zat makanan pada ternak muda hanya sebagian untuk produksi susu dan sebagian lagi untuk pertumbuhan, termasuk kelenjar ambing yang masih pada tahap perkembangan. Produksi akan meningkat sejak induk beranak kemudian akan turun hingga akhir masa laktasi (Blakely dan Bade, 1991). Puncak produksi akan dicapai pada hari ke 48-72 setelah beranak (Devendra dan Burns, 1994), menurut Atabany (2001), puncak produksi susu kambing di peternakan Barokah pada hari ke-11, menurut Sutama dan Budiarsana (1997), puncak produksi susu kambing PE akan dicapai pada hari ke-40 setelah beranak. Menurut Novita et al. (2006), produksi susu pada kambing PE dapat berkisar antara 567,1 gram/ekor/hari, hingga 863 gram/ekor/hari (Subhagiana, 1998) sedangkan menurut Atabany (2001), produksi susu harian kambing PE di peternakan Barokah 0,99 kg/ekor/hari. Perbedaan produksi susu tersebut menurut Phalepi (2004) karena produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana pemeliharaan, kondisi iklim setempat, daya adaptasi ternak, dan aktivitas pemerahan. Komposisi Susu Susu segar adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan tidak mendapat kondisi apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (SNI, 1998). Secara alamiah yang dimaksud dengan susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan, yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain (Sudono, 1999). Susu kambing mempunyai karakteristik warnanya lebih putih, globul lemak susunya lebih kecil dan beremulsi dengan susu sehingga mudah dicerna, dan mengandung mineral (Ca, P), vitamin A, E, dan B kompleks yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi (Blakely dan Bade, 1991). Sutama dan Budiarsana (1997) menambahkan, susu kambing mempunyai karakteristik yang khas yaitu 12
warnanya lebih putih dari susu sapi, karena susu kambing tidak mengandung karoten, yang menyebabkan warna agak kekuningan seperti susu sapi. Kualitas susu ditentukan oleh (1) warna, bau, rasa, uji masak, uji penyaringan (kebersihan) dan (2) berat jenis, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak dan kadar protein (Sudono, 1999). Secara keseluruhan nilai gizi susu kambing lebih tinggi dibandingkan susu sapi kecuali kadar kolesterol sedangkan kandungan protein, vitamin C dan vitamin D mempunyai nilai yang sama. Apabila dibandingkan dengan air susu ibu (ASI), nilai gizi susu kambing lebih tinggi kecuali pada kandungan lemak, zat besi (Fe) dan kolesterol. Perbandingan susu kambing, susu sapi dan ASI menurut American Dairy Goat Association (2002) dapat dillihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Susu Kambing, Sapi dan ASI Komposisi
Kambing
Sapi
ASI
Protein (%)
3,0
3,0
1,1
Lemak (%)
3,8
3,6
4
Kalori (/100ml)
70
69
68
Vitamin A (IU/gram)
39
21
32
Vitamin B (µg/100mg)
68
45
17
Riboflavin (µg/100mg)
210
159
26
2
2
3
Vitamin D (IU/gram)
0,7
0,7
0,3
Kalsium (%)
0,19
0,18
0,04
Fe (%)
0,07
0,06
0,2
Fosfor (%)
0,27
0,23
0,06
12
15
20
Vitamin C (mg asam askorbat/100ml)
Kolesterol (mg/100ml) Sumber : American Dairy Goat Association (2002)
Susu yang baik apabila mengandung jumlah bakteri sedikit, tidak mengandung spora mikroba petogen, bersih yaitu tidak mengandung debu dan kotoran lainnya, mempunyai citarasa atau flavour yang lebih baik dan tidak dipalsukan (Saleh, 2004). Komponen-komponen susu yang terpenting adalah protein dan lemak. Kandungan protein susu berkisar 3-5% sedangkan kandungan lemak berkisar 3-8%. Kandungan energi adalah 65 kkal dan pH susu adalah 6,7.
13
Komposisi susu bervariasi tergantung bangsa, produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas makanannya (Larson, 1981). Kandungan susu relatif tidak berubah untuk satu spesies kecuali kadar lemak. Asam lemak rantai pendek (C4-C14) disintesis dalam kelenjar ambing. Asam lemak ini berasal dari asetat dan beta hidroksi butirat yang diproduksi di rumen. Protein susu sebagian besar disintesis di kelenjar ambing dari asam amino dan sebagian lagi ditransfer langsung dari darah. Laktosa berasal dari glukosa yang ada di dalam darah sementara mineral dan vitamin ditransfer langsung dari darah (Schmidt, 1971). Tingginya kadar nutrien air susu kambing dipengaruhi oleh faktor bangsa yang berbeda, pakan, jumlah air yang diminum, tingkat laktasi, interval pemerahan dan iklim daerah setempat (Joesoep, 1986). Menurut Atabany (2001) komposisi susu kambing PE pada penelitiannya di peternakan Barokah yaitu berat jenis 1,0292, bahan kering 16,38%, lemak 6,68%, protein 2,93 %, Solid Non Fat (SNF) 9,69%. Menurut Subhagiana (1998) komposisi susu kambing PE pada penelitiannya adalah bahan kering 13,70-14,30%, protein 3,55-4,24% dan lemak 4,22-4,44%. Efisiensi Produksi Susu Efisiensi dapat diartikan sebagai peningkatan keluaran (output) satuan produksi dibandingkan dengan masukan (input) (Budiarsana et al., 2001). Efisiensi (produksi) dikatakan nol adalah bila ternak tidak menghasilkan produksi sama sekali. Terdapatnya variasi produksi di dalam spesies ternak yang sama disebabkan oleh faktor individu ternaknya yaitu besarnya ternak, tingkat konsumsi pakan dan produksi ternaknya (Devendra dan Mc Leroy, 1982). Efisiensi (E) dinyatakan dengan rumus : E = P/F x 100, dimana P adalah produk (dalam hal ini susu) yang dinyatakan sebagai energi dan F adalah energi (EM) dalam pakan yang dikonsumsi (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Brody (1945), efisiensi produksi susu ditentukan dengan menggunakan rumus yaitu produksi susu dibagi konsumsi pakan dalam satuan kkal. Subhagiana (1998) melaporkan efisiensi produksi energi susu berkisar antara 17,9131,46% dan efisiensi produksi protein susu berkisar 21,48-36,98%. Menurut Budi (2002) efisiensi produksi energi susu berkisar antara 13,50-22,41%. Menurut Adriani (2003) efisiensi produksi bahan kering susu berkisar 6,2-11,6% dan efisiensi produksi protein susu berkisar 12,5-23,4%. 14
MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu dari bulan Januari sampai Februari 2011. Pelaksanaan penelitian dilakukan di peternakan kambing perah Cordero, peternakan kambing perah Prima Fit, peternakan kambing perah milik Bapak Purwadi dan PT Gizi Dewata Utama. Analisa susu dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Penelitian Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing Peranakan Etawah betina laktasi yang tidak dibatasi umur dan bobot badan. Kambing yang diamati berjumlah 51 ekor yang terdiri dari 13 ekor pada peternakan Cordero (kondisi A), 13 ekor pada peternakan Prima Fit (kondisi B), 12 ekor pada peternakan milik Bapak Purwadi (kondisi C) dan 13 ekor pada PT Gizi Dewata Utama (kondisi D). Kambing Peranakan Etawah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. (a). Kambing PE Kondisi A, (b). Kambing PE Kondisi B, (c). Kambing PE Kondisi C, (d). Kambing PE Kondisi D.
15
Peralatan Peralatan yang digunakan adalah alat tulis, timbangan pakan untuk menimbang pakan, gelas ukur untuk mengukur produksi susu dan alat serta bahan untuk analisa komposisi susu yang ada di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Prosedur Penelitian Pemilihan Lokasi Penelitian Lokasi peternakan (kondisi) dipilih berdasarkan ketentuan yaitu memiliki induk kambing PE yang sedang laktasi. Peternakan yang memiliki ketentuan tersebut akan dijadikan sebagai tempat penelitian. Pengukuran Konsumsi Pakan Konsumsi
pakan
diukur
dengan
menghitung
jumlah
pemberian
pakan/ekor/hari dan jumlah pakan yang tersisa/ekor/hari dalam gram. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan pada setiap pemberian pakan dengan menggunakan timbangan pakan yang digunakan di masing-masing kondisi. Analisa Kualitas Pakan Sampel pakan yang diambil dari masing-masing kondisi dianalisa oleh Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penghitungan Rasio Pakan Hijauan dan Konsentrat Rasio pakan hijauan dan konsentrat diperoleh dengan menghitung jumlah pakan hijauan dan konsentrat yang diberikan dalam satuan gram, kemudian mengalikan dengan persentase bahan kering hasil analisa hijauan dan konsentrat. Hasil perkalian pakan hijauan dijumlahkan dengan hasil perkalian pakan konsentrat. Selanjutnya hasil dari perkalian jumlah pakan hijauan yang diberikan dengan persentase bahan kering analisa dibagi dengan hasil penjumlahan dari perkalian pakan hijauan dan konsentrat kemudian dikali 100%, begitu juga dengan pakan konsentrat.
16
Pengukuran Produksi Susu Pengukuran produksi susu dilakukan pada tiap ekor ternak dengan menggunakan gelas ukur, hasil produksi susu dikonversi dari mililiter ke gram. Selain produksi susu, interval pemerahan dan berapa kali dilakukan pemerahan setiap hari juga diamati. Analisa Kualitas Susu Sampel susu dari masing-masing kondisi diambil sebanyak 250 ml pada setiap satu kali analisa dan dibawa ke Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor untuk dilakukan analisa komposisi susu yakni berat jenis, kadar bahan kering, kadar lemak, kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL), kadar protein dan gross energi. Berat Jenis Susu. Pengukuran berat jenis dilakukan 3 jam setelah pemerahan atau apabila temperatur suhu 20-300C. Sampel susu sebanyak 200 ml dihomogenkan, kemudian dimasukkan ke dalam tabung. Berat jenis dan suhunya dicatat. Berat jenis susu diukur dengan laktodensimeter yang telah ditera pada suhu 27,50C. Hasil pengukuran berat jenis dengan menggunakan laktodensimeter tersebut dibakukan pada suhu 27,50C. Kadar Bahan Kering Susu. Penentuan kadar bahan kering dilakukan dengan menggunakan Rumus Fleischmann yaitu : Kadar bahan kering %
1, 23 L
2,71
100 (BJ - 1) BJ
Keterangan : L = lemak BJ = berat jenis Kadar Protein Susu. Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode titrasi formol (FAO, 1977). Susu sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer, lalu ditambahkan 0,4 ml kalium oksalat jenuh dan 1 ml phenophtalein 1% sebagai indikator. Larutan tersebut dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah muda, kemudian diberi dua mililiter formalin 40% dan warna merah muda akan hilang. Larutan tersebut dititrasi kembali dengan NaOH 0,1 N sampai timbul warna merah muda. Banyaknya NaOH yang digunakan dicatat (a gram).
17
Aquadest sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer, lalu ditambahkan 0,4 ml kalium oksalat jenuh dan 1 mililiter phenophtalein 1% sebagai indikator. Larutan tersebut dititrasi lagi dengan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah muda. Banyaknya NaOH yang digunakan dicatat (b ml). Kemudian dikalikan dengan faktor formol susu kambing. Faktor formol didapatkan dari kadar protein susu berdasarkan hasil analisis dengan metode Kjeldahl dibagi dengan banyaknya (ml) NaOH 0,1 N yang dipakai untuk titrasi tersebut. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus : % Kadar Protein
(a
b) x 1,95 (faktor formol)
Keterangan : a = banyaknya NaOH yang digunakan pada titrasi pertama b = banyaknya NaOH yang digunakan pada titrasi kedua Kadar Lemak Susu. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode Gerber (Sudono et al. 1989). H2SO4 sebanyak 10 ml dengan konsentrasi 91-92% dimasukkan ke dalam butirometer, ditambakan 11 ml susu dan 1 mililiter amyalkohol p.a. Butirometer ditutup dengan sumbat karet dan dikocok perlahanlahan sampai homogen, kemudian butirometer dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 65-700C selama 10 menit. Setelah itu butirometer disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1200 putaran/menit. Kemudian butirometer tersebut dimasukkan ke dalam penangas air lagi selama 5 menit. Kemudian dibaca pada skala yang terdapat pada butirometer. Kadar BKTL Susu. Penentuan kadar BKTL dihitung dengan mengurangi kadar bahan kering dengan kadar lemaknya. Kadar Energi Bruto Susu. Penentuan gross energi susu dapat dilakukan setelah ditentukan kadar abu susu dan kadar karbohidrat susu, lalu menggunakan rumus: GE (kalori/g)
(4 x Protein)
(9 x Lemak)
(4 x KH)
Kadar Abu Susu. Analisis kadar abu menggunakan metode AOAC, yaitu metoda pembakaran menggunakan pemanasan dengan tanur suhu 400-6000C maka semua zat organik akan terbakar. Penetapan kadar abu dilakukan dengan prosedur terlebih dahulu siapkan cawan yang sebelumnya telah dipanaskan dalam tanur 400-6000C kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang berat cawan (X).
18
Sejumlah sampel ditimbang ±5 gram dan dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat awal (Y). Kemudian sampel dibakar di atas hot plate sampai tidak berasap lalu dimasukkan dalam tanur untuk diabukan pada suhu 400-6000C. Setelah abu menjadi putih seluruhnya didinginkan dalam eksikator, lalu sampel ditimbang kembali untuk mendapatkan berat akhir (Z). Penentuan kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus : % Kadar Abu
(Z
X)
Y
x 100 %
Keterangan : X = berat cawan Y = berat awal Z = berat akhir Produksi Kadar Komposisi Susu Produksi kadar komposisi susu dihitung berdasarkan bahan kering susu yang dihasilkan. Produksi kadar komposisi susu meliputi produksi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, BKTL dan gross energi susu, dihitung dengan cara: 1) Produksi bahan kering susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar bahan kering susu (%) 2) Produksi protein susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar bahan kering susu (%) x protein susu (%) 3) Produksi lemak susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar bahan kering susu (%) x lemak susu (%) 4) Produksi BKTL susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar bahan kring susu (%) x BKTL susu (%) 5) Produksi gross energi susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar bahan kring susu (%) x gross energi susu (kalori/gram) Efisiensi Produksi Susu Efisiensi produksi susu adalah perbandingan antara produksi susu dengan konsumsi pakan yang dinyatakan dalam persen. Efisiensi produksi susu yang dihitung adalah efisiensi produksi bahan kering susu, protein susu, lemak susu dan gross energi susu, dihitung dengan cara :
19
1) Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu (%)
Produksi Bahan Kering Susu x 100 Konsumsi Bahan Kering
2) Efisiensi Produksi Protein Susu (%)
Produksi Protein Susu x 100 Konsumsi Protein Kasar
3) Efisiensi Produksi Lemak Susu (%)
Produksi Lemak Susu x 100 Konsumsi Lemak
4) Efisiensi Produksi Gross Energi Susu (%)
Produksi Gross Energi Susu x 100 Konsumsi Gross Energi
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Data primer diperoleh dengan cara mengukur langsung konsumsi pakan dan produksi susu kambing perah dari masing-masing kondisi, melihat hasil analisa kualitas pakan dan kualitas susu. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t untuk membandingkan empat peternakan yaitu peternakan Cordero (kondisi A yaitu peternakan yang berada pada ketinggian tempat 700 meter di atas permukaan laut dan menggunakan rasio pakan hijauan dan konsentrat 36:64), peternakan Prima Fit (kondisi B yaitu peternakan yang berada pada ketinggian tempat 350 meter di atas permukaan laut dan menggunakan rasio pakan hijauan dan konsentrat 40:60), peternakan milik Bapak Purwadi (kondisi C yaitu peternakan yang berada pada ketinggian tempat 300 meter di atas permukaan laut dan menggunakan rasio pakan hijauan dan konsentrat 50:50) dan PT Gizi Dewata Utama (kondisi D yaitu peternakan yang berada pada ketinggian tempat 500 meter di atas permukaan laut dan menggunakan rasio pakan hijauan dan konsentrat 64:36). Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), rumus uji t yang digunakan adalah sebagai berikut:
t hitung
(x 1 x 2 ) s (x 1 x 2 )
Dimana
s (x 1
x2 )
s 12
n1
s 22
n2
20
Dengan derajat bebas effektif sebesar dbeff, dimana
db
s 12 n1 eff
s 12 n1
s 22 n2 2
n1 1
2
s 22 n2 n2
2
1
Keterangan: t
= Nilai t hitung
x
= Nilai rataan
s
= Simpangan baku
n
= Jumlah individu sampel/ukuran contoh
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah jenis pakan hijauan dan konsentrat, rasio pemberian pakan hijauan dan konsentrat, konsumsi pakan, produksi susu, kualitas susu dan efisiensi produksi susu.
21
KEADAAN UMUM LOKASI Peternakan Kambing Perah Cordero Peternakan kambing perah Cordero merupakan peternakan kambing perah yang dimiliki oleh 3 orang yaitu Bapak Sauqi Marsyal, Bapak Akhmad Firmansyah, dan Bapak Agus Setiawan. Peternakan Cordero dirintis dari tahun 2007 dengan latar belakang hobi dari para pemilik dalam memelihara ternak. Bapak Sauqi Marsyal dan Bapak Akhmad Firmansyah telah melakukan usaha sejenis dari tahun 2006 sampai 2007 yang bertempat di Nambo, karena manajemen dan penanganan terhadap kambing yang kurang baik mengakibatkan terjadinya kerugian. Bapak Agus Setiawan telah melakukan usaha sejenis ini lebih lama, yaitu dari tahun 2003 sampai 2007 yang bertempat di Setu. Peternakan Cordero terletak di Desa Sukajaya, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Kecamatan Tamansari berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, temperatur lingkungan sekitar 25-270C, kelembaban udara sekitar 65-80% dan curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/tahun. Luas areal peternakan Cordero sekitar 1,5 ha yang terdiri atas lahan rumput 8000 m2 dan sisanya adalah bangunan kandang, tempat tinggal dan lahan kosong yang direncanakan untuk pembangunan kandang sapi. Peternakan Cordero memiliki 6 kandang yaitu kandang B, C, D, E, F, dan H. Pemeliharaan kambing perah menggunakan kandang B, C, D, E, F dan G, sedangkan kandang H digunakan untuk pemeliharaan sapi perah. Salah satu kandang pemeliharaan yang digunakan di peternakan Cordero dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kandang Pemeliharaan Kambing PE di Peternakan Cordero.
22
Pada awalnya kambing di peternakan ini didatangkan dari tempat usaha awal masing-masing pemilik pada akhir tahun 2007. Kambing milik Bapak Agus Setiawan sebanyak 90 ekor dan kambing milik bapak Sauqi dan Bapak Akhmad sebanyak 60 ekor. Pada awal pendirian usaha ini mengalami masalah yang cukup serius yakni mengalami masalah penurunan populasi sebesar 50% karena kondisi peternakan yang relatif belum stabil. Menurut pengelola, hal ini disebabkan oleh beberapa penyakit seperti paru-paru, diare dan kembung yang terjadi ketika proses pemindahan dari peternakan sebelumnya. Pemberian Pakan dan Air Minum Pakan yang diberikan di peternakan Cordero adalah adalah hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan berupa rumput gajah (Pennisetum purpureum), sedangkan konsentrat yang diberikan merupakan campuran dari ampas tempe dan konsentrat buatan pabrik. Pemberian pakan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari setelah dilakukan pemerahan susu yaitu sekitar pukul 07.30 WIB dan sore hari sebelum dilakukan pemerahan susu yaitu sekitar pukul 16.00 WIB. Pemerahan Pemerahan
dilakukan
secara
manual
dengan
menggunakan
tangan.
Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 06.30 WIB dan sore hari pukul 17.30 WIB. Peternakan Prima Fit Peternakan Prima Fit merupakan peternakan milik Bapak H. Dwi Susanto yang didirikan pada tahun 2002 di Jl. Sukamaju, Kampung Cibuntu Batas, Desa Cibuntu. Desa Cibuntu terletak di daerah dengan ketinggian 350 meter di atas permukaan laut, temperatur lingkungan 25-300C, kelembaban 65-72% dan curah hujan 1800–2000 mm/tahun. Keadaan geografis Desa Cibuntu adalah di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Cisadas, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cinangka, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Ciampea Udik dan disebelah Barat berbatasan dengan Desa Ciaruteun Udik. Latar belakang didirikannya peternakan ini adalah karena hobi pemilik memelihara ternak. Pada awalnya pemilik hanya memelihara 5 ekor kambing perah yang terdiri dari 4 ekor kambing Jawarandu betina yang dibeli di pasar Leuwiliang
23
dan seekor kambing PE jantan yang dibeli di Kaligesing, Purworejo. Pada tahun 2007 pemilik membeli 5 ekor pejantan kambing perah yaitu kambing British Alpine, Saanen, Boer dan Togenburg. Kambing-kambing tersebut akan digunakan sebagai pejantan agar keturunan yang dihasilkan semakin baik. Tahun 2010 pemilik tidak hanya memelihara kambing perah, tetapi pada awal Januari 2010 pemilik memelihara sapi perah dan sapi potong serta pada bulan Maret 2010 pemilik memelihara kuda. Luas areal yang digunakan pada awal didirikannya peternakan ini kurang lebih 4027 m2 yang berstatus sewa. Pemilik membeli lahan yang semula disewa sehingga luas areal yang digunakan sekarang ini menjadi 1 ha. Lahan-lahan tersebut dimanfaatkan untuk kandang kambing, kandang sapi perah dan sapi potong, kandang kuda, tempat tinggal karyawan, musholla dan lahan rumput. Peternakan Prima Fit memiliki 3 unit kandang pemeliharaan untuk kambing perah yang memiliki fungsi yang berbeda-beda pada setiap unitnya. Kandang yang digunakan sebagai tempat pemeliharaan kambing betina laktasi berada di unit II. Kandang pemeliharaan betina laktasi di peternakan Prima Fit dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di Peternakan Prima Fit. Pemberian pakan dan Air Minum Pakan yang diberikan pada peternakan Prima Fit adalah hijauan dan ampas tempe. Hijauan yang diberikan adalah rumput lapang yang diberikan hanya satu kali dalam sehari yaitu pada siang hari. Ampas tempe diberikan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari dengan tujuan sebagai pakan tambahan kambing.
24
Pemberian air minum di peternakan ini hanya satu kali dalam seminggu, hal ini dilakukan dengan alasan kambing merupakan ternak tropis sehingga sudah terbiasa dalam kondisi panas sehingga kambing tidak membutuhkan banyak air untuk minum. Pemerahan Pemerahan susu kambing di peternakan Prima Fit dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan. Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari dengan selang pemerahan yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan sore hari pukul 16.30 WIB. Peternakan Milik Bapak Purwadi Peternakan kambing perah milik Bapak Purwadi terletak di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Kelurahan Cimahpar berada pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut yang memiliki temperatur lingkungan sekitar 25-310C dengan kelembaban sekitar 65-83% dan curah hujan rata-rata 35004000 mm/tahun. Peternakan ini didirikan pada tahun 1997 dengan latar belakang memiliki hobi memelihara ternak dan akhirnya berubah menjadi bisnis. Luas areal peternakan milik Bapak Purwadi sekitar 1 ha yang terdiri atas bangunan kandang sebanyak 5 buah kandang dan 2 buah rumah tempat tinggal karyawan. Pada awalnya kambing yang dipelihara sebanyak 35 ekor yang dibeli dari Cibedug dan karena pemilik merasa pemeliharaan kambing sangat menguntungkan maka pemilik menambah populasi kambing peliharaannya menjadi 500 ekor yang terdiri dari beberapa macam bangsa kambing perah yaitu kambing Peranakan Etawah, kambing Jawarandu, dan kambing Saanen. Peternakan ini memiliki 5 unit kandang yang digunakan sebagai kandang pemeliharaan betina laktasi, kandang pemeliharaan betina kering, kandang tempat beranak, dan 2 buah kandang tempat pemeliharaan anak sampai dewasa kelamin. Kandang tempat pemeliharaan betina laktasi dapat dilihat pada Gambar 4.
25
Gambar 4. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di Peternakan Milik Bapak Purwadi. Pemberian Pakan dan Air Minum Pakan yang diberikan di peternakan ini berupa hijauan dan ampas tempe. Hijauan yang diberikan adalah rumput lapang yang tumbuh di sekitar peternakan dan pinggiran jalan tol, sedangkan ampas tempe dibeli dari daerah Bogor, Tangerang dan Jakarta. Pemberian rumput dan ampas tempe dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi setelah dilakukan pemerahan susu dan sore hari sebelum dilakukan pemerahan susu. Pemberian air minum dilakukan jika suhu lingkungan tinggi karena menurut keterangan dari salah satu peternak pada saat suhu lingkungan rendah kandungan air dari hijauan dan ampas tempe sudah mencukupi kebutuhan air dari kambing yang dipelihara. Pemerahan Pemerahan
dilakukan
secara
manual
dengan
menggunakan
tangan.
Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 06.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB. PT Gizi Dewata Utama PT Gizi Dewata Utama merupakan peternakan kambing perah milik Bapak Ir. Darmo Dewanto yang terletak di Desa Bendungan, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Desa Bendungan berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut yang memiliki temperatur lingkungan sekitar 26-280C dengan kelembaban sekitar 75-92% dan curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/tahun.
26
Peternakan didirikan pada tahun 1998 dengan latar belakang hobi dalam memelihara ternak dan untuk pengobatan asma yang dialami oleh putrinya. Penyakit asma tersebut telah sembuh karena mengkonsumsi susu kambing. Pada awalnya pemilik memelihara 4 ekor kambing Peranakan Etawah dengan tujuan hanya untuk mengambil susu untuk obat asma agar lebih mudah mendapatkan susu kambing. Setelah putri pemilik sembuh, pemilik menambah populasi kambing yang dipelihara dengan tujuan untuk membantu masyarakat di daerah sekitar peternakan mendapatkan susu bagi yang membutuhkan susu sebagai obat. Kambing yang dipelihara adalah kambing Peranakan Etawah, Saanen, Peranakan Etawah Saanen (PESA), Saanen Peranakan Etawah (SAPERA), dan persilangan kambing PE dengan kambing Alpine. Lokasi pemeliharaan PT Gizi Dewata Utama ada 2 tempat yaitu di Desa Bendungan Kecamatan Ciawi dan di Desa Cilember Kecamatan Megamendung. Lokasi pemeliharaan di Desa Bendungan digunakan sebagai tempat pemeliharaan kambing betina dan tempat pembesaran kambing jantan sampai dewasa kelamin, sedangkan di Desa Cilember digunakan sebagai tempat pemeliharaan pejantan. Luas areal peternakan di Desa Bendungan sekitar 1 ha yang terdiri atas 300 m2 digunakan sebagai tempat bangunan Villa dan sisanya adalah bangunan kandang dan rumah tempat tinggal karyawan. Lokasi pemeliharaan di Desa Bendungan memiliki 3 unit kandang yang digunakan 1 unit sebagai kandang pemeliharaan betina induk, 1 unit tempat pemeliharaan anak sampai lepas sapih dan 1 unit kandang pemeliharaan kambing jantan dan betina dari lepas sapih sampai dewasa kelamin. Kandang yang digunakan untuk tempat pemeliharaan betina laktasi dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di PT Gizi Dewata Utama. 27
Pemberian Pakan dan Air Minum Pakan yang diberikan di peternakan ini berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan adalah beberapa jenis daun-daunan dari tanaman pohon yang tumbuh di sekitar Desa Bendungan diantaranya daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus), daun Nangka (Artocarpus heterophyllus), daun Ki Ancret (Spathodea campanulata) dan daun Mindi (Melia azedarach). Konsentrat yang diberikan
merupakan campuran dari ampas bir, bungkil kelapa, dedak padi, garam, kapur dan molases dengan konsentrat buatan pabrik. Daun-daunan diberikan satu kali dalam sehari yaitu pada sore hari setelah dilakukan pemerahan susu pukul 17.00 WIB. Konsentrat diberikan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari sebelum dilakukan pemerahan susu yaitu pukul 07.00 WIB dan sore hari setelah dilakukan pemerahan yaitu pukul 17.00 WIB. Pemberian air minum dilakukan ad libitum, setiap kandang dilengkapi tempat air minum yang terbuat dari pipa paralon dan kran air otomatis yang terbuka jika air dalam pipa paralon berkurang. Pemerahan Pemerahan
dilakukan
secara
manual
dengan
menggunakan
tangan.
Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.30 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Pakan Komposisi zat makanan dari pakan yang diberikan pada masing-masing kondisi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Pakan dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian
A
BK (%) 28,33
Abu (%) 8,78
Komposisi Pakan PK SK LK (%) (%) (%) 11,20 36,41 3,22
BETN (%) 40,39
GE kal/gr 4309
B
21,93
8,37
12,35
44,78
2,02
32,42
4548
C
22,26
4,71
12,47
34,12
5,90
38,46
4399
D
26,44
4,22
23,34
25,40
5,23
41,83
4951
Kondisi
Keterangan : A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36; BK = Bahan Kering; PK = Protein Kasar; SK = Serat kasar; LK = Lemak Kasar; BETN= Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen; GE= Gross Energi.
Kondisi A terdiri atas rumput gajah dan campuran konsentrat dengan ampas tempe. Kondisi B dan C yang terdiri atas rumput lapang dan ampas tempe. Kondisi D terdiri atas daun-daunan dan campuran konsentrat dengan ampas bir, bungkil kelapa, dedak padi, garam, kapur dan molases. Komposisi zat-zat makanan dari pakan yang diberikan pada keempat kondisi memiliki banyak perbedaan. Kondisi A mempunyai kandungan bahan bahan kering tertinggi diikuti oleh kondisi D, C dan B karena rasio konsentrat tinggi walaupun bahan kering konsentrat yang digunakan belum sesuai dengan syarat bahan kering konsentrat. Syarat bahan kering konsentrat yaitu 86% (SNI, 2009). Menurut Sutardi (1980) produksi susu dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering dan komposisi zat makanannya. Tingginya kandungan bahan kering ransum diharapkan akan dapat meningkatkan konsumsi bahan kering. Kandungan abu terendah terdapat pada kondisi D diantara keempat kondisi. Analisa Proksimat, kandungan bahan kering pakan terdiri dari abu dan bahan organik dan bahan organik suatu pakan terdiri dari protein, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Sofyan et al., 2000). Pakan yang mempunyai kadar abu yang rendah akan memiliki kadar bahan organik yang tinggi, sehingga kualitas
29
pakan akan baik karena kandungan protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat yang lebih tinggi. Kondisi D mempunyai kandungan protein kasar lebih tinggi dari kondisi C, B dan A. Rasio konsentrat yang diberikan rendah akan tetapi konsentrat tersebut campuran dari konsentrat, ampas bir, bungkil kelapa, dedak padi, garam, kapur dan molases sehingga mengandung gizi yang tinggi khususnya protein kasar. Pemberian pakan dengan sumber protein meningkatkan konsumsi pakan, karena protein mempunyai kecernaan yang tinggi (Parakkasi, 1999). Kandungan serat kasar tertinggi terdapat pada kondisi B diikuti kondisi A, C dan D. Tingginya kandungan serat kasar akan menyebabkan konsumsi serat kasar yang tinggi. Konsumsi serat kasar yang tinggi akan menyebabkan kandungan lemak kasar susu tinggi. Menurut Despal et al. (2008), kadar serat yang rendah pada ransum sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu rendah. Meskipun konsumsi serat kasar tinggi belum tentu akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi terbaik. Menurut Wilson et al. (1998) serat kasar berupa lignin bersifat menurunkan daya cerna. Kandungan lemak kasar tertinggi terdapat pada kondisi C diikuti oleh kondisi D, A dan B. Kandungan BETN pakan yang paling tinggi adalah kondisi D dan kandungan gross energi yang paling tinggi adalah kondisi D. Tingginya kandungan energi ransum diharapkan konsumsi energi menjadi tinggi sehingga kebutuhan energi ternak tercukupi, namun kandungan energi dapat mempengaruhi keefisienan penggunaan ransum, semakin tinggi kandungan energi dalam ransum semakin banyak energi yang dapat dicerna sehingga produksi susu yang dihasilkan juga akan semakin tinggi. Tetapi apabila energi dalam ransum berlebihan juga dapat menyebabkan penurunan keefisienan penggunaan ransum (Prior et al., 1977). Secara umum komposisi pakan yang paling baik dan sesuai dengan rasio hijauan dan konsentrat yang diberikan adalah pada kondisi D karena hijauan yang diberikan memiliki kandungan abu paling rendah sehingga kandungan bahan organik (protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat) tinggi. Konsentrat yang digunakan juga memiliki kandungan protein, energi lebih tinggi dan serat kasar rendah sehingga tidak berbeda jauh dengan syarat standar konsentrat berdasarkan SNI. Konsentrat
30
merupakan campuran pakan yang mengandung kadar air 14%, protein kasar 16-18% (SNI, 2009), mengandung serat kasar kurang dari 18% (Sofyan et al., 2000). Konsumsi Pakan Pemberian pakan pada kambing merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk produksi. Tingkat konsumsi zat makanan sangat mempengaruhi performans produksi ternak, sedangkan tingkat konsumsi suatu pakan mencerminkan tingkat palatabilitas pakan tersebut. Parakkasi (1999) menegaskan bahwa konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar zat makanan dalam pakan untuk memenuhi hidup pokok dan produksi. Konsumsi pakan kambing PE dari masing-masing kondisi pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 dan konsumsi zat makanan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 6. Konsumsi Pakan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian Pakan
Kondisi A
B
C
D
Pemberian Pakan Hijauan (gram) 742,45±66,70 753,21±35,52 1120,89±15,88 1669,16±12,61 Konsentrat (gram) 1276,78±0,00 1065,06±0,00 1109,69±7,07 960,00±0,00 Total (gram) 2019,23±66,70 1818,26±35,52 2230,58±22,95 2629,16±12,61 Sisa Pakan Hijauan (gram) 174,15±66,47 0 259,86±12,42 137,68±18,90 Konsentrat (gram) 42,41±43,98 0 0 0 Total (gram) 216,57±91,44 0 259,86±12,42 137,68±18,90 Konsumsi Pakan Hijauan (gram) 568,29±73,46 753,21±35,52 861,03±3,46 1531,48±23,38 Konsentrat (gram) 1234,37±128,93 1065,06±0,00 1109,69±7,07 960,00±0,00 Total (gram) 1802,66±182,67a 1818,26±35,52a 1970,72±10,53b 2491,48±23,38c Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36.
Penentuan konsumsi pada ternak ruminansia didasarkan pada bahan kering, hal ini disebabkan kandungan air dari berbagai macam pakan sangat bervariasi. Konsumsi pakan pada kambing selama periode laktasi lebih banyak ditujukan untuk
31
memproduksi susu. Hasil penelitian pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap konsumsi pakan (P<0,05). Perbedaan tatalaksana dalam hal pemberian pakan dengan rasio pakan hijauan dan konsentrat yang berbeda menyebabkan perbedaan pH rumen. Penurunan pH dapat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam proses pencernaan pakan dan selanjutnya akan mengakibatkan kecernaan pakan menurun. Penurunan kecernaan pakan maka akan menyebabkan konsumsi menurun. Menurut Tillman et al. (1989) meningkatnya daya cerna menyebabkan konsumsi meningkat. Parakkasi (1999) menyatakan, konsumsi ternak dipengaruhi oleh hewan itu sendiri (bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan bangsa sapi), makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (temperatur, kelembaban dan sinar matahari). Berdasarkan hasil uji t, konsumsi pakan yang tertinggi adalah kondisi D sebesar 2491,48±23,38 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C sebesar 1970,72±10,53 gram/ekor/hari, kondisi B sebesar 1818,26±35,52 gram/ekor/hari dan kondisi A sebesar 1802,66±182,67 gram/ekor/hari, dimana kondisi A sama dengan kondisi B. Konsumsi pakan tertinggi ada pada kondisi D disebabkan memiliki rasio hijauan lebih tinggi sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi maka kambing akan memakan hijauan lebih banyak. Pakan konsentrat tinggi akan gizi sehingga dengan hanya mengkonsumsi sedikit sudah dapat memenuhi kebutuhan gizi. Konsumsi pakan terendah ada pada kondisi A disebabkan rasio hijauan lebih rendah daripada konsentrat sehingga pH rumen menurun. Penurunan pH dapat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam proses pencernaan pakan dan selanjutnya akan mengakibatkan kecernaan pakan menurun. Penurunan kecernaan pakan maka akan menyebabkan konsumsi menurun. Menurut Tillman et al. (1989) meningkatnya daya cerna menyebabkan konsumsi meningkat. Menurut Atabany (2001), kambing PE laktasi yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan singkong yang memiliki kandungan bahan kering 16,43%, 88,95%, 10,11% dan 32,30% mengkonsumsi bahan kering sebesar 1759 gram/ekor/hari. Konsumsi bahan kering kambing PE laktasi hasil penelitian Adriani (2003) berkisar antara 679,9-1719,4 gram/ekor/hari yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat dan ampas bir yang mengandung bahan kering 21,12%, 63,45% dan 50,75%. Konsumsi bahan kering kambing PE hasil penelitian Adiati et al. (2000)
32
yang diberi pakan rumput Raja dan konsentrat adalah 1141,4±48,90-1221,4±55 gram/ekor/hari. Konsumsi bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Atabany (2001), Adriani (2003) dan Adiati et al. (2000). Tabel 7. Konsumsi Zat Makanan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian Komposisi Zat Makanan Abu (gram/ekor/hari) Protein Kasar (gram/ekor/hari) Serat Kasar (gram/ekor/hari) Lemak Kasar (gram/ekor/hari) BETN (gram/ekor/hari) Gross Energi (kalori)
Kondisi A
B
C
D
153,81±15,72d
133,77±5,08c
93,27±0,44a
103,59±1,13b
205,32±20,76a
235,65±3,13b
266,76±1,57c
591,79±4,50d
648,39±65,90a
852,42±11,54c
700,61±3,71b
621,02±7,04a
58,18±5,89b
38,51±0,52a
128,61±0,79c
134,26±0,84d
736,96±74,54b
557,01±15,20a
781,48±4,02b
1041,34±9,86c
7735464,51 ± 784551,89 a
8311144,38 ± 156874,28 b
9090474,24 ± 48983,46 c
12400061,31 ± 109741,51 d
Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36.
Konsumsi Abu Tabel 7 memperlihatkan bahwa kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan (P<0,05) terhadap konsumsi abu yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil uji t, konsumsi abu tertinggi adalah kondisi A sebesar 153,81±15,72 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi B sebesar 133,77±5,08 gram/ekor/hari, kondisi D sebesar 103,59±1,13 gram/ekor/hari dan kondisi C sebesar 93,27±0,44 gram/ekor/hari. Konsumsi abu tertinggi terjadi pada kondisi A disebabkan kandungan abu pakan lebih tinggi daripada kondisi B, D dan C. Konsumsi abu kondisi A, B dan D lebih tinggi daripada konsumsi abu kambing PE induk laktasi hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 119 gram/ekor/hari yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan singkong. Hal ini terjadi karena konsumsi bahan kering dan kandungan abu pakan pada kondisi A dan B lebih tinggi daripada pakan pada penelitian Atabany (2001). 33
Konsumsi Protein Kasar Protein kasar merupakan unsur penting dalam tubuh hewan dan diperlukan terus menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis. Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu (Sudono, 1999). Tabel 7 memperlihatkan bahwa konsumsi protein kasar berbeda (P<0,05) akibat kondisi tatalaksana yang berbeda. Berdasarkan hasil uji t, konsumsi protein kasar tertinggi terjadi pada kondisi D sebesar 591,79±4,50 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C, B dan A sebesar 266,76±1,57; 235,65±3,13 dan 205,32±20,76 gram/ekor/hari. Konsumsi protein kasar kondisi D lebih tinggi daripada kondisi A, B dan C karena kondisi D memiliki kandungan protein kasar pakan lebih tinggi. Konsumsi protein kasar kondisi A merupakan konsumsi pakan terendah karena kondisi A memiliki kandungan protein kasar pakan lebih rendah daripada kondisi B, C dan D. Menurut Atabany (2001), konsumsi protein kasar kambing PE induk laktasi hasil penelitian di peternakan Barokah yaitu 215 gram/ekor/hari. Menurut Adriani (2003) konsumsi protein kasar kambing PE berkisar antara 225,4-286,3 gram/ekor/hari. Konsumsi protein kasar pada kondisi B, C dan D lebih tinggi daripada konsumsi protein kasar kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) dan Adriani (2003), hal ini disebabkan konsumsi bahan kering kondisi B, C dan D lebih tinggi. Konsumsi Serat Kasar Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa konsumsi serat kasar berbeda (P<0,05) akibat kondisi tatalaksana yang berbeda. Berdasarkan hasil uji t, konsumsi serat kasar yang tertinggi adalah kondisi B sebesar 852,42±11,54 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C, A dan D sebesar 700,61±3,71; 648,39±65,90 dan 621,02±7,04 gram/ekor/hari, dimana kondisi A dan D memiliki konsumsi serat kasar yang sama. Konsumsi serat kasar kondisi B lebih tinggi karena memiliki kandungan serat kasar pakan lebih tinggi dari kondisi C, A dan D. Konsumsi serat kasar kondisi D sama dengan kondisi A, hal ini disebabkan konsumsi pakan segar kondisi D lebih tinggi daripada kondisi A namun kandungan serat kasar pakan kondisi A lebih tinggi daripada kondisi D sehingga konsumsi serat kasar yang diperoleh sama.
34
Mikroba yang terdapat dalam rumen membantu proses pencernaan serat kasar pada proses fermentasinya. Serat kasar yang berasal dari pakan masuk ke dalam rumen kemudian difermentasi menjadi VFA dan diserap untuk mencukupi ketersediaan energi untuk pertumbuhan. Meskipun demikian, konsumsi serat kasar yang tinggi bukan berarti akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi terbaik karena serat kasar berupa lignin bersifat menurunkan daya cerna (Wilson et al., 1998). Menurut Atabany (2001), konsumsi serat kasar kambing PE di peternakan Barokah adalah 386 gram/ekor/hari, sedangkan menurut Adriani (2003) konsumsi serat kasar kambing PE laktasi berkisar antara 266,9-284,9 gram/ekor/hari. Hasil tersebut lebih rendah dari konsumsi serat kasar hasil penelitian ini, karena konsumsi bahan kering dan kandungan serat kasar pakan yang diberikan pada penelitian ini lebih tinggi. Konsumsi Lemak Kasar Lemak merupakan zat tidak larut air, sistem organik yang larut dalam pelarut organik (Parakkasi, 1999). Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi, 1980). Pada Tabel 7 dapat dilihat kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap konsumsi lemak kasar (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, konsumsi lemak kasar tertinggi terjadi pada kondisi D sebesar 134,26±0,84 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C, A dan B sebesar 128,61±0,79; 58,18±5,89 dan 38,51±0,52 gram/ekor/hari. Konsumsi lemak kasar kondisi D lebih tinggi daripada kondisi C, A dan B disebabkan kondisi D memiliki kandungan lemak kasar pakan lebih tinggi daripada kondisi C, A dan B. Parakkasi (1999) menyatakan, bahan makanan utama ruminan (hijauan) tidak banyak mengandung lemak (sekitar 3% saja), akan tetapi jika konsumsi hijauan tersebut cukup banyak maka konsumsi dari lemak akan relatif banyak pula, apalagi ditambah bahan makanan khusus (dari berbagai makanan konsentrat) yang banyak mengandung lemak. Konsumsi lemak kasar terendah terjadi pada kondisi B disebabkan kandungan lemak kasar pakan kondisi B lebih rendah daripada kondisi A, C dan D. Konsumsi lemak kasar kondisi A, C dan D lebih tinggi daripada konsumsi lemak kasar kambing PE laktasi hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 52 35
gram/ekor/hari. Hal ini disebabkan konsumsi bahan kering dan kandungan lemak kasar kondisi A, C dan D lebih tinggi. Konsumsi lemak kasar kondisi C dan D lebih tinggi dari konsumsi lemak kasar kambing PE laktasi hasil penelitian Adriani (2003) berkisar antara 67-69,6 gram/ekor/hari. Hal ini disebabkan konsumsi bahan kering dan kandungan lemak kasar pakan pada kondisi C dan D lebih tinggi. Konsumsi BETN Konsumsi BETN hasil penelitian pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan (P<0,05) terhadap konsumsi BETN. Berdasarkan hasil uji t, konsumsi BETN tertinggi terjadi pada kondisi D sebesar 1041,34±9,86 gram/ekor/hari diikuti kondisi C, A dan B sebesar 781,48±4,02; 736,96±74,54 dan 557,01±15,20 gram/ekor/hari. Konsumsi BETN tertinggi terjadi pada kondisi D karena selisih kandungan karbohidrat dengan serat kasar atau yang disebut BETN kondisi D lebih tinggi dari kondisi C, A dan B. Konsumsi BETN Konsumsi BETN terendah terjadi pada kondisi B karena kandungan BETN pakan pada kondisi B lebih rendah daripada kondisi A, C dan D. Menurut Anggorodi (1994), kandungan karbohidrat pada tumbuh-tumbuhan biasanya mewakili 50-75% dari bahan kering. Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan selisih dari karbohidrat dan serat kasar (Sofyan et al., 2000). Konsumsi BETN kondisi D lebih tinggi daripada konsumsi BETN induk kambing PE laktasi hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 817 gram/ekor/hari. Konsumsi BETN kondisi D juga lebih tinggi daripada konsumsi BETN kambing PE laktasi hasil penelitian Adriani (2003) yang berkisar antara 919,4-1014,6%. Konsumsi Gross Energi Sebagian besar porsi dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan energi karena reaksi anabolik dan katabolik dalam tubuh memerlukan energi. Ternak membutuhkan energi untuk digunakan dalam pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh dan untuk produksi (Ørskov, 1998). Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap konsumsi gross energi (P<0,05).
36
Berdasarkan hasil uji t, konsumsi gross energi tertinggi terjadi pada kondisi D sebesar
12400061,31±109741,51
kalori
diikuti
oleh
kondisi
C
sebesar
9090474,24±48983,46 kalori, kondisi B sebesar 8311144,38±156874,28 kalori dan kondisi A sebesar 7735464,51±784551,89 kalori. Konsumsi gross energi tertinggi terjadi pada kondisi D disebabkan kandungan gross energi pakan pada kondisi D lebih tinggi dari kondisi B, C dan A. Konsumsi gross energi terendah terjadi pada kondisi A disebabkan kandungan gross energi pakan yang lebih rendah. Menurut Atabany (2001) konsumsi gross energi induk kambing PE laktasi yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan singkong dengan kandungan gross energi pakan 3591 kalori/gram, 4689 kalori/gram, 3838 kalori/gram dan 4400 kalori/gram di peternakan Barokah yaitu 5453 kalori/gram. Komposisi Susu Komposisi susu kambing PE hasil penelitian dari masing-masing kondisi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi Susu Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian Komposisi Susu Kondisi A
1,0308
BK (%) 15,48
B
1,0295
16,71
4,22
7,28
9,44
1020,29
C
1,0310
16,57
4,39
6,85
9,72
995,13
D
1,0315
16,79
4,17
6,93
9,86
1000,56
Berat Jenis
Protein (%) 4,56
Lemak (%) 6,00
BKTL (%) 9,48
GE (Kal/gr) 904,96
Keterangan : A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36; BK = Bahan Kering; BKTL = Bahan Kering Tanpa Lemak. Sumber : Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Berat Jenis Susu Berat jenis susu paling tinggi adalah kondisi D sebesar 1,0315, diikuti oleh kondisi C dan A (1,0310 dan 1,0308), dan yang terendah adalah berat jenis kondisi B (1,0295). Perbedaan berat jenis susu disebabkan perbedaan bahan kering susu. Berat
37
jenis susu kondisi D lebih tinggi karena kondisi D memiliki kandungan bahan kering susu paling tinggi daripada kondisi C, A dan B, diduga karena kondisi D memiliki konsumsi bahan kering yang lebih tinggi daripada ketiga kondisi lainnya. Berat jenis susu erat kaitannya dengan komponen padatan susu dan bahan kering dalam ransum. Adriani (2003) menyatakan, berat jenis susu ditentukan oleh kandungan bahan kering susu, sehingga perbedaan kandungan bahan kering menyebabkan perbedaan berat jenis. Menurut Eckles et al. (1957), perbedaan berat jenis susu yang dihasilkan disebabkan oleh faktor komposisi susu itu sendiri yaitu protein, lemak, laktosa, gas dan mineral dalam susu. Perbedaan berat jenis susu tersebut juga disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan kering susu itu sendiri. Berat jenis susu dari keempat kondisi sesuai dengan pendapat Eldesten (1988) yaitu berat jenis susu kambing bervariasi antara 1,0260 sampai 1,420. Berat jenis susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Atabany (2001) yaitu 1,0292, hasil penelitian dari Adriani (2003) yaitu 1,029, dan hasil penelitian dari Asminaya (2007) yaitu antara 1,0272 sampai 1,0276. Berat jenis susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Triwulandari (1990) dengan pemberian konsentrat buatan pabrik yaitu 1,0293 dan konsentrat buatan sendiri yaitu 1,0297. Bahan Kering Kandungan bahan kering susu paling tinggi adalah kondisi D (16,79%), diikuti oleh kondisi B, C (16,71 dan 16,57%) dan yang terendah adalah kondisi A (15,48%). Perbedaan bahan kering susu yang dihasilkan terjadi karena perbedaan antara komponen penyusun komposisi bahan kering susu. Perbedaan antara komponen penyusun bahan kering susu terjadi karena perbedaan konsumsi zat-zat makanan sehingga konsumsi bahan kering pakan yang diberikan berbeda. Bath et al. (1985) menyatakan, kadar bahan kering susu tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai prekursor dalam pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu. Kandungan bahan kering susu kondisi D lebih tinggi, hal ini disebabkan konsumsi bahan kering pakan yang diberikan lebih tinggi dan memiliki total kandungan protein, lemak, karbohidrat dan abu lebih tinggi daripada kondisi B, C
38
dan A. Komposisi susu terdiri dari dua komponen yaitu air dan bahan kering, bahan kering susu terdiri dari dua komponen lagi yaitu lemak, dan bahan kering tanpa lemak yang terdiri dari tiga bagian yaitu laktosa, fraksi N (NPN dan protein), dan mineral dan vitamin (Bath et al., 1985; Suryahadi et al., 2003). Bahan kering susu hasil penelitian lebih rendah dari bahan kering susu kambing PE hasil penelitian Triwulandari (1990) yaitu dengan pemberian konsentrat buatan pabrik dan konsentrat buatan sendiri yaitu 14,72% dan 14,81%. Kandungan bahan kering hasil penelitian kondisi B, C dan D lebih tinggi dari bahan kering susu kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 16,38% dan bahan kering susu kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yaitu 16,2-16,5%. Protein Susu Kandungan protein susu tertinggi terjadi pada kondisi A (4,56%), dikuti oleh kondisi B (4,22%), C (4,39%) dan yang terendah adalah kondisi D (4,17%). Kandungan protein kasar susu kondisi A lebih tinggi karena rasio konsentrat yang diberikan lebih tinggi dari hijauan. Menurut Despal et al. (2008), konsumsi ransum yang berkadar konsentrat tinggi menyebabkan penurunan aktivitas bakteri selulolitik yang menyebabkan penurunan pH rumen sehingga proporsi propionat dan butirat lebih tinggi dari asetat. Suherman (2005) menambahkan, infusi asam propionat dalam rumen meningkatkan protein susu dan energi dalam asam propionat inilah yang meningkatkan protein susu. Kandungan protein susu hasil penelitian ini lebih rendah dari pada kandungan protein susu hasil penelitian Triwulandari (1990) dengan pemberian konsentrat buatan pabrik yaitu 4,85% namun dengan pemberian konsentat buatan sendiri yaitu 4,39% kondisi A dan B yang lebih tinggi. Kandungan protein susu hasil penelitian ini juga lebih tinggi dari kandungan protein susu kambing PE dari hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 2,93%, Subhagiana (1998) yaitu 3,554,03%, Asminaya (2007) yaitu 3,22-3,89%, kandungan protein susu yang dilaporkan Devendra dan Burns (1994) yaitu 3,75%, yang dilaporkan Blakely dan Bade (1991) yaitu 3,52% sedangkan dengan kandungan protein susu kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yaitu 4,4-4,6% kondisi A, B dan D lebih tinggi.
39
Lemak Susu Kandungan lemak susu kondisi B (7,28%) lebih tinggi daripada kondisi D (6,93%), C (6,85%) dan A (6,00%), hal ini disebabkan konsumsi serat kasar kondisi B lebih tinggi. Menurut Despal et al. (2008), kadar serat yang rendah pada ransum sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu rendah. Pernyataan tersebut mendukung hasil kadar lemak susu kondisi B karena memiliki total kandungan serat pakan yang tertinggi sehingga menghasilkan lemak susu yang tertinggi. Kadar lemak susu hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Triwulandari (1990) dengan pemberian konsentrat buatan pabrik dan konsentrat buatan sendiri yaitu 5,78% dan 5,09%, kandungan lemak kasar susu hasil penelitian Subhagiana (1998) yaitu 4,22-4,44%. Kandungan lemak susu kondisi B, C dan D lebih tinggi dari kadar lemak susu kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) yaitu 6,68% dan Adriani (2003) yaitu 6,6-6,9%. BKTL Susu Kandungan BKTL susu tertinggi terjadi pada kondisi D (9,86%) diikuti oleh kondisi C (9,72%), A (9,48%) dan B (9,44%). Hal ini terjadi disebabkan oleh tingginya selisih antara kadar bahan kering dan lemak susu. Tillman et al. (1989) menyatakan, kadar bahan kering tanpa lemak yaitu bahan kering yang tinggal setelah lemak susu dihilangkan. Kandungan BKTL hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Triwulandari (1990) yaitu kandungan BKTL susu dengan pemberian konsentrat buatan koperasi 8,99%, sedangkan jika dengan pemberian buatan sendiri 9,75% hanya kondisi D yang lebih tinggi. Kandungan BKTL kondisi A, C dan D lebih tinggi dari hasil penelitian Budi (2002) yaitu 9,12-9,49%. Gross Energi Susu Kandungan gross energi susu tertinggi terjadi pada kondisi B (1020,29 kalori/gram), diikuti kondisi D (1000,56 kalori/gram), C (995,13 kalori/gram) dan yang terendah adalah kondisi A (904,96 kalori/gram). Kandungan gross energi susu hasil penelitian ini berbeda disebabkan perbedaan komposisi susu seperti protein, karbohidrat dan lemak susu sendiri.
40
Gross energi susu paling tinggi terjadi pada kondisi B, hal ini diduga karena kondisi B memiliki kandungan lemak susu lebih tinggi. Menurut Sofyan et al. (2000), sumbangan lemak menjadi energi sebesar 2,5 kali. Kandungan gross energi susu hasil penelitian ini lebih rendah dari kandungan gross energi kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 3305 kalori. Kondisi B mempunyai konsumsi energi lebih rendah daripada kondisi D, akan tetapi mempunyai gross energi susu lebih tinggi. Gross energi susu ditentukan oleh kadar lemak susu dan kadar lemak susu dipengaruhi oleh konsumsi serat kasar. Kondisi B mempunyai konsumsi serat kasar tertinggi daripada ketiga kondisi lainnya. Produksi dan Kadar Komposisi Susu Produksi dan kadar komposisi susu kambing PE dari masing-masing kondisi pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Produksi dan Kadar Komposisi Susu Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian Produksi Susu Produksi Susu (gram/ekor/hari) Bahan Kering Susu (gram/ekor/hari) Protein Susu (gram/ekor/hari) Lemak Susu (gram/ekor/hari) BKTL Susu (gram/ekor/hari)
Kondisi A
B
C
D
671,21±230,97a
829,54±398,19a
655,97±193,56a
1158,45±260,75b
103,87±35,74a
138,65±66,55a
108,72±32,08a
194,55±43,79b
4,74±1,63a
5,84±2,8a
4,77±1,41a
8,11±1,83b
6,23±2,14a
10,09±4,84b
7,50±2,21ab
13,47±3,03c
97,64±33,60a
128,56±61,71a
101,22±29,87a
181,07±40,76b
93998,09 141458,87 108191,12 194655,34 ± ± ± ± 32345,07a 67902,28b 31924,12ab 43814,20c Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36. GE Susu (kalori)
Pakan memegang peranan yang sangat penting karena digunakan untuk hidup pokok, produksi susu dan pertumbuhan. Produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana yang diberlakukan terhadap ternak (perkandangan, pakan dan kesehatan), kondisi iklim setempat, daya adaptasi ternak dan aktivitas pemerahan (Phalepi, 2004).
41
Produksi kadar komposisi susu dihitung berdasarkan bahan kering susu yang dihasilkan. Despal et al. (2008) menyatakan, faktor pakan dan manajemen pemberian pakan juga mempengaruhi produksi dan komposisi susu yaitu jenis pakan, rasio hijauan dan konsentrat, tingkat konsumsi bahan kering dan strategi pemberian pakan . Produksi Susu Produksi susu yang dihasilkan berbeda (P<0,05) akibat kondisi tatalaksana yang berbeda. Berdasarkan hasil uji t, produksi susu tertinggi ada pada kondisi D (1158,45±260,75 gram/ekor/hari) diikuti kondisi B (829,54±398,19 gram/ekor/hari), kondisi A (671,21±230,97 gram/ekor/hari) dan kondisi C (655,97±193,56 gram/ekor/hari) dimana kondisi B, A dan C memiliki produksi susu yang sama. Produksi susu tertinggi terjadi pada kondisi D, hal ini disebabkan konsumsi bahan kering dan gross energi pakan yang diberikan lebih tinggi dari kondisi B, A dan C. Sutardi (1980) menyatakan, faktor utama yang mempengaruhi produksi dan konsentrasi komponen susu adalah konsumsi bahan kering dan komposisi zat makanannya. Air, lemak, protein, laktosa, vitamin dan mineral adalah komponen utama susu, yang juga merupakan bahan baku susu dan diperoleh dari bahan pakan yang dimakan. Apabila suplai bahan baku pembentuk komponen susu meningkat, maka produksi susu juga akan meningkat (Foley et al., 1972). Castle dan Watkins (1984) menambahkan, konsumsi energi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produksi susu. Kondisi B, A dan C memiliki persamaan dalam hal produksi susu, konsumsi bahan kering dan gross energi kondisi B, A dan C tidak sama namun karena perbedaan efisiensi penggunaan pakan, mekanisme sintesa susu dan suhu lingkungan menyebabkan produksi susu yang dihasilkan sama. Konsumsi bahan kering tertinggi diantara kondisi B, A dan C ada pada kondisi C, sedangkan konsumsi gross energi tertinggi ada pada kondisi B dan C. Kondisi C memiliki konsumsi bahan kering tertinggi tetapi menghasilkan produksi susu yang sama dengan kondisi A dan B, hal ini diduga disebabkan efisiensi penggunaan pakan dan mekanisme sintesa susu pada kondisi A dan B lebih baik. Brody (1945) menyatakan, produksi susu tergantung pada bahan susu yang ada di dalam darah dan bahan-bahan tersebut tergantung pada bahan makanan serta keefisienan penggunaan pakan yang dikonsumsi. Meskipun bahan susu yang berasal 42
dari makanan yang dikonsumsi cukup tinggi di dalam darah, tetapi produksi susu masih tergantung pada mekanisme sintesa susu, khususnya ketersediaan enzimenzim yang terlibat di dalam mekanisme tersebut (Mayne dan Gordon, 1984). Kondisi B dan C memiliki konsumsi gross energi lebih tinggi daripada kondisi A tetapi produksi susu yang dihasilkan sama, hal ini diduga disebabkan kondisi B dan C berada pada ketinggian tempat lebih rendah daripada kondisi A sehingga suhu lingkungan lebih tinggi. Tingginya suhu lingkungan menyebabkan ternak terlebih dahulu menggunakan energi yang dikonsumsi untuk meningkatkan frekuensi pernafasan dan denyut nadi (respon fisiologik) agar dapat mengatasi kenaikan suhu tubuh daripada untuk produksi susu sehingga mengakibatkan produksi susu berkurang. Siregar (1997) menyatakan, suhu udara di lingkungan tinggi akan berakibat pada peningkatan reaksi fisiologis tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap suhu udara di sekeliling lingkungan yang tinggi. Dalam hal ini terjadi peningkatan frekuensi pernafasan dan denyut nadi atau disebut reaksi fisiologis tubuh untuk mengatasi kenaikan suhu tubuh. Apabila suhu udara di sekeliling tinggi menyebabkan energi yang dikonsumsi yang seyogyanya digunakan untuk kebutuhan produksi susu terpaksa digunakan untuk reaksi-reaksi fisiologik tubuh sehingga produksi susu menurun, dalam kata lain efisiensi penggunaan energi menjadi tidak efisien. Produksi susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Budi (2002) yaitu 390,93-614,57 gram/ekor/hari, tetapi kondisi D lebih tinggi daripada hasil penelitian Budiarsana et al. (2001) yaitu 1095,6-1788,61 gram/ekor/hari. Produksi susu kondisi B, C dan D sama dengan rataan produksi susu kambing PE hasil penelitian Subhagiana (1998) yaitu berkisar antara 764-1026 gram/ekor/hari. Produksi susu kondisi D lebih tinggi daripada hasil penelitian Adriani yaitu 450,7-856,2 gram/ekor/hari dan produksi susu hasil penelitian Atabany (2001) yaitu 990 gram/ekor/hari. Perbedaan produksi susu yang dihasilkan disebabkan oleh perbedaan mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi dan tatalaksana yang diberlakukan terhadap ternak (Phalepi, 2004).
43
Produksi Kadar BK Susu Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap produksi kadar bahan kering susu yang dihasilkan (P<0,05). Produksi kadar bahan kering susu hasil penelitian ini terdapat pada Tabel 9. Berdasarkan hasil uji t, produksi kadar bahan kering susu tertinggi adalah kondisi D sebesar 194,55±43,79 gram/ekor/hari diikuti kondisi B, C dan A sebesar 138,65±66,55; 108,72±32,08 dan 103,87±35,74 gram/ekor/hari. Produksi kadar bahan kering susu kondisi D lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A karena memiliki konsumsi bahan kering lebih tinggi. Kondisi B, C dan A memiliki produksi kadar bahan kering susu sama disebabkan memiliki produksi susu yang sama. Produksi susu yang dihasilkan oleh kondisi B, C dan A sama tetapi konsumsi bahan kering dan gross energi berbeda, hal ini disebabkan perbedaan efisiensi penggunaan pakan, mekanisme sintesa susu dan suhu lingkungan. Kondisi C memiliki konsumsi bahan kering tertinggi tetapi menghasilkan produksi susu yang sama dengan kondisi A dan B, hal ini diduga disebabkan efisiensi penggunaan pakan dan mekanisme sintesa susu pada kondisi A dan B lebih baik. Brody (1945) menyatakan, produksi susu tergantung pada bahan susu yang ada di dalam darah dan bahan-bahan tersebut tergantung pada bahan makanan serta keefisienan penggunaan pakan yang dikonsumsi. Meskipun bahan susu yang berasal dari makanan yang dikonsumsi cukup tinggi di dalam darah, tetapi produksi susu masih tergantung pada mekanisme sintesa susu, khususnya ketersediaan enzimenzim yang terlibat di dalam mekanisme tersebut (Mayne dan Gordon, 1984). Perbedaan produksi kadar bahan kering susu disebabkan oleh perbedaan produksi susu dan komponen penyusun komposisi susu yaitu kandungan lemak dan kandungan bahan kering tanpa lemak susu yang dihasilkan. Komposisi susu terdiri dari dua komponen yaitu air dan bahan kering, bahan kering susu terdiri dari dua komponen lagi yaitu lemak, dan bahan kering tanpa lemak yang terdiri dari tiga bagian yaitu laktosa, fraksi N (NPN dan protein), dan mineral dan vitamin (Bath et al., 1985; Suryahadi et al., 2003). Kandungan bahan kering susu tergantung pada zatzat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai prekursor pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu (Bath et al., 1985).
44
Produksi bahan kering susu hasil penelitian ini lebih tinggi daripada produksi bahan kering susu kambing PE hasil penelitian Budi (2002) yaitu 57,66-91,76 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan BK susu 14,75-15,80% dan hasil penelitian Asminaya (2007) yaitu 56,98-114,47 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan BK susu 15,07-16,8%. Produksi bahan kering susu kondisi D lebih tinggi daripada rataan produksi bahan kering susu induk kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 162,16 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan BK susu 16,38%. Produksi Kadar Protein Susu Tabel 9 memperlihatkan bahwa kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap produksi kadar protein susu yang dihasilkan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, produksi kadar protein susu tertinggi terjadi pada kondisi D (8,11±1,83 gram/ekor/hari) diikuti kondisi B (5,84±2,8 gram/ekor/hari), C (4,77±1,41 gram/ekor/hari) dan A (4,74±1,63 gram/ekor/hari), dimana produksi protein susu kondisi B, C dan A sama. Produksi kadar protein tertinggi ada pada kondisi D, hal ini disebabkan konsumsi protein kondisi D lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A. Kondisi B, C dan A memiliki produksi protein susu yang dihasilkan sama namun konsumsi protein dari ketiga kondisi tidak sama. Hal ini disebabkan produksi protein yang dihasilkan bukan hanya dari protein kasar yang dikonsumsi tetapi diduga ada protein tubuh yang dikeluarkan untuk produksi kadar protein susu yang dihasilkan. Sintesis protein susu berasal dari asam amino yang beredar dalam darah sebagai hasil penyerapan zat makanan dari saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh dan asam amino yang disintesis oleh sel epitel kelenjar susu (Etgen et al., 1987). Produksi kadar protein susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari produksi kadar protein susu hasil penelitian Asminaya (2007) yaitu 1,84-5,5 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan protein susu 3,13-3,96%. Menurut Atabany (2001), produksi kadar protein susu di peternakan Barokah yaitu 4,75 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan protein 2,93%.
45
Produksi Kadar Lemak Susu Produksi kadar lemak susu dapat dilihat pada Tabel 9. Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap produksi kadar lemak susu yang dihasilkan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, produksi kadar lemak susu tertinggi ada pada kondisi D (13,47±3,03 gram/ekor/hari) diikuti kondisi B (10,09±4,84 gram/ekor/hari), C (7,50±2,21 gram/ekor/hari) dan A (6,23±2,14 gram/ekor/hari). Kondisi B sama dengan kondisi C sedangkan kondisi C juga sama dengan kondisi A. Produksi lemak susu tertinggi terjadi pada kondisi D, hal ini disebabkan pada kondisi D rasio hijauan lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A sehingga asam asetat lebih tinggi. Tillman et al. (1989) menyatakan bahwa asam asetat yang terbentuk dalam rumen merupakan bahan baku utama pembentuk berbagai asam lemak dari lemak susu. Berkurangnya jumlah asam asetat mengakibatkan berkurangnya sintesis lemak susu, sehingga kadar lemak susu menurun. Faktor lain yang menyebabkan produksi lemak susu kondisi D lebih tinggi adalah konsumsi lemak lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A. Menurut Despal et al. (2008), sekitar 50% lemak susu berasal dari asam lemak rantai pendek (C2-C4) yang disintesis di kelenjar ambing dari asam asetat dan beta hidroksi butirat. Sekitar 50% lagi adalah asam lemak rantai panjang (C16-C18) yang berasal lemak pakan dan lemak cadangan tubuh. Produksi lemak susu kondisi B sama dengan kondisi C, hal ini diduga disebabkan kondisi B memiliki konsumsi serat kasar lebih tinggi daripada kondisi C namun untuk konsumsi lemak kondisi B lebih rendah daripada kondisi C. Kualitas dan kuantitas susu sangat dipengaruhi oleh macam dan jumlah makanan yang diberikan. Lemak susu selain dibentuk dari lemak, protein dan BETN, juga dari serat kasar dalam ransum. Serat kasar makanan akan membentuk asam asetat yang akan diubah menjadi lemak susu. (Triwulandari, 1990). Kadar serat yang rendah pada ransum sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu rendah (Despal et al., 2008). Produksi lemak susu kondisi C sama dengan kondisi A, hal ini diduga disebabkan kondisi A menggunakan cadangan lemak tubuh untuk memproduksi kadar lemak susu. Kondisi A diduga menggunakan cadangan lemak tubuh karena jika dilihat dari rasio hijauan yang digunakan kondisi A memiliki rasio hijauan yang
46
lebih rendah daripada kondisi C, konsumsi serat kasar dan konsumsi lemak kondisi A lebih rendah daripada kondisi C. Produksi kadar lemak susu kondisi B, C dan D lebih tinggi dari produksi kadar lemak susu hasil penelitian Asminaya (2007) yaitu 2,85-12,61 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan lemak 5,39-7,18%. Produksi kadar lemak susu kondisi D lebih tinggi daripada produksi kadar lemak susu kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 10,83 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan lemak 6,68%. Produksi Kadar BKTL Susu Produksi kadar BKTL susu hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap produksi kadar BKTL susu yang dihasilkan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, produksi kadar BKTL susu tertinggi ada pada kondisi D (181,07±40,76 gram/ekor/hari) diikuti kondisi B (128,56±61,71 gram/ekor/hari), kondisi C (101,22±29,87 gram/ekor/hari) dan kondisi A (97,64±33,60 gram/ekor/hari), dimana kondisi B, C dan A memiliki produksi BKTL susu yang sama. Produksi kadar BKTL susu tertinggi terjadi pada kondisi D, karena kondisi D memiliki konsumsi bahan kering lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A. Konsumsi bahan kering pakan kondisi D berhubungan dengan konsumsi pakan segarnya. Pakan pada kambing PE tersebut mempunyai bahan kering yang hampir sama sehingga konsumsi bahan kering dipengaruhi oleh konsumsi pakan segar. Kondisi B, C dan A memiliki produksi BKTL susu yang sama padahal konsumsi bahan kering kondisi C lebih tinggi daripada kondisi A dan B. Hal ini diduga mekanisme sintesa susu kondisi A dan B lebih baik daripada kondisi C sehingga produksi BKTL susu yang dihasilkan sama. Meskipun bahan susu yang berasal dari makanan yang dikonsumsi cukup tinggi di dalam darah, tetapi produksi susu masih tergantung pada mekanisme sintesa susu, khususnya ketersediaan enzimenzim yang terlibat di dalam mekanisme tersebut (Mayne dan Gordon, 1984). Produksi kadar BKTL susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari produksi kadar BKTL susu hasil penelitian Asminaya (2007) yaitu 4,77-12,11 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan BKTL susu 9,2-9,7%. Menurut Atabany (2001), produksi
47
kadar BKTL susu kambing PE di peternakan Barokah yaitu 15,71 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan BKTL susu 9,69%. Produksi Kadar Gross Energi Susu Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap produksi kadar gross energi susu yang dihasilkan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, produksi kadar gross energi susu tertinggi ada pada kondisi D (194655,34±43814,20 kalori) diikuti oleh kondisi B (141458,87±67902,28 kalori), kondisi C (108191,12±31924,12 kalori) dan kondisi A (93998,09±32345,07 kalori) dimana kondisi B sama dengan kondisi C dan kondisi C juga sama dengan kondisi A. Produksi kadar gross energi susu tertinggi terjadi pada kondisi D karena memiliki konsumsi gross energi yang lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A. Produksi kadar gross energi susu kondisi B sama dengan kondisi C disebabkan konsumsi gross energi kondisi B sama dengan kondisi C. Produksi kadar gross energi susu kondisi C sama dengan kondisi A padahal konsumsi gross energi kondisi C lebih tinggi, hal ini diduga disebabkan suhu lingkungan kondisi C lebih tinggi daripada kondisi A sehinggga gross energi yang dikonsumsi terlebih dahulu digunakan untuk meningkatkan frekuensi pernafasan dan denyut nadi (respon fisiologik) agar dapat mengatasi kenaikan suhu tubuh daripada untuk produksi susu sehingga mengakibatkan produksi susu berkurang. Produksi kadar gross energi susu hasil penelitian ini lebih rendah daripada produksi kadar gross energi susu kambing PE hasil penelitian Atabany (2001). Menurut Atabany (2001), produksi kadar gross energi susu kambing PE di peternakan Barokah yaitu 535945,14 kalori yang memiliki kandungan gross energi susu 3305 kalori/gram. Efisiensi Produksi Susu Efisiensi produksi susu menjadi penting agar layak diterapkan kalau tingkat efisiensinya memadai. Semakin tinggi nilai perbandingan tersebut semakin tinggi efisiensi produksi susu. Efisiensi produksi susu kambing PE hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 10.
48
Tabel 10. Efisiensi Produksi Susu Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian Zat Makanan
Kondisi A
B ab
Bahan Kering Susu (%)
5,77±1,96
Protein Susu (%)
7,73±2,64b
Lemak Susu (%) Gross Energi Susu (%)
7,56±3,58
C bc
5,93±3,08ab
D a
7,81±1,79c
7,93±2,35b
5,30±1,21a
5,52±1,63
36,45±12,43a 62,17±32,32b 25,74±7,62a 39,29±8,95a 4,16±1,42a
7,90±3,83c
3,22±0,95a
6,00±1,37b
Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36.
Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu Efisiensi produksi bahan kering susu kambing PE hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap efisiensi produksi bahan kering susu (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, efisiensi produksi bahan kering susu tertinggi ada pada kondisi D (7,81±1,79%), B (7,56±3,58%) dan A (5,77±1,96%) diikuti oleh kondisi C (5,52±1,63%). Kondisi B, D dan A memiliki persamaan dalam hal efisiensi produksi bahan kering susu, namun kondisi A dan B juga sama dengan kondisi C. Efisiensi produksi bahan kering kondisi D dan B lebih tinggi daripada kondisi A dan C disebabkan produksi kadar bahan kering susu yang dihasilkan dari konsumsi bahan kering kondisi D dan B lebih tinggi daripada kondisi A dan C akibat dari efisiensi penggunaan pakan dan mekanisme sintesa susu yang lebih baik. Brody (1945) menyatakan, produksi susu tergantung pada bahan susu yang ada di dalam darah dan bahan-bahan tersebut tergantung pada bahan makanan serta keefisienan penggunaan pakan yang dikonsumsi. Meskipun bahan susu yang berasal dari makanan yang dikonsumsi cukup tinggi di dalam darah, tetapi produksi susu masih tergantung pada mekanisme sintesa susu, khususnya ketersediaan enzim-enzim yang terlibat di dalam mekanisme tersebut (Mayne dan Gordon, 1984). Efisiensi produksi bahan kering susu hasil penelitian ini sama dengan efisiensi produksi bahan kering kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yaitu sebesar 6,2-11,6%. 49
Efisiensi Produksi Protein Susu Efisiensi produksi protein susu hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap efisiensi produksi protein susu (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, kondisi C, A dan B memiliki efisiensi produksi protein yang sama sebesar 7,93±2,35; 7,73±2,64 dan 5,93±3,08% dimana kondisi B juga sama dengan kondisi D (5,30±1,21%). Efisiensi produksi protein susu kondisi C, A dan B lebih tinggi daripada kondisi D disebabkan kebutuhan protein untuk hidup pokok dari protein yang dikonsumsi kondisi C, A dan B lebih rendah sehingga protein kasar yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan lebih banyak untuk produksi susu. Efisiensi produksi protein susu kambing PE hasil penelitian ini lebih rendah dari efisiensi produksi protein susu kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yang berkisar antara 12,65-23,4% dan Budiarsana et al. (2001) yaitu 23,53-36,82%. Hal ini disebabkan kebutuhan protein untuk hidup pokok dari protein yang dikonsumsi oleh kambing PE pada penelitian ini masih lebih tinggi daripada kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) dan Budiarsana et al. (2001). Kebutuhan protein untuk hidup pokok tinggi menyebabkan kebutuhan protein untuk produksi kadar protein susu berkurang sehingga produksi kadar protein susu yang dihasilkan menurun. Efisiensi Produksi Lemak Susu Efisiensi produksi lemak susu kambing PE hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap efisiensi produksi lemak susu (P<0,05). Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsumsi lemak dan produksi kadar lemak susu. Berdasarkan hasil uji t, efisiensi produksi lemak susu paling tinggi adalah kondisi B (62,17±32,32%) diikuti oleh kondisi D (39,29±8,95%), A (36,45±12,43%) dan C (25,74±7,62%). Efisiensi produksi lemak susu kondisi B lebih tinggi daripada kondisi D, A dan C, hal ini disebabkan kandungan lemak susu yang dihasilkan lebih tinggi akibat dari konsumsi serat kasar yang lebih tinggi. Tingginya konsumsi serat kasar menyebabkan produksi asetat lebih tinggi. Tillman et al. (1989) menyatakan bahwa asam asetat yang terbentuk dalam rumen merupakan bahan baku utama pembentuk berbagai asam lemak dari lemak susu. Kadar serat yang rendah pada
50
ransum sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu rendah (Despal et al., 2008). Efisiensi Produksi Gross Energi Susu Efisiensi produksi gross energi susu hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap efisiensi produksi gross energi susu (P<0,05). Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsumsi protein, lemak dan karbohidrat pakan sehingga konsumsi gross energi pakan berbeda dan perbedaan produksi kadar gross energi susu yang dihasilkan berbeda. Berdasarkan hasil uji t, efisiensi produksi gross energi susu yang paling tinggi adalah kondisi B (7,90±3,83%) diikuti oleh kondisi D (6,00±1,37%), A (4,16±1,42%) dan C (3,22±0,95%), dimana kondisi A dan B memiliki efisiensi produksi gross energi yang sama. Efisiensi produksi gross energi susu kondisi B lebih tinggi daripada kondisi D, A dan C disebabkan produksi kadar gross energi susu yang dihasilkan dari gross energi pakan yang dikonsumsi lebih tinggi pada kondisi B. Produksi kadar gross energi susu lebih tinggi disebabkan kebutuhan gross energi untuk hidup pokok rendah sehingga gross energi yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan lebih banyak untuk produksi susu. Kebutuhan gross energi kondisi D, A dan C untuk hidup pokok tinggi menyebabkan gross energi yang dikonsumsi untuk kebutuhan produksi kadar gross energi susu menjadi berkurang sehingga produksi kadar gross energi susu rendah. Efisiensi produksi gross energi susu hasil penelitian ini masih jauh lebih rendah dari efisiensi produksi kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yang berkisar antara 16,66-31,4%.
51
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kondisi D menghasilkan produksi susu tertinggi dengan kualitas susu terbaik. Kondisi D menggunakan rasio hijauan dan konsentrat sebesar 64:36 pada ketinggian tempat 500 meter di atas permukaan laut. Saran Pemberian pakan untuk pemeliharaan kambing perah Peranakan Etawah betina laktasi yang berada pada ketinggian tempat 500 meter di atas permukaan laut sebaiknya menggunakan rasio pakan hijauan dan konsentrat 64:36 agar menghasilkan produksi susu tinggi dengan kualitas terbaik.
52
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Afton Atabany, M.Si. dan Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dari mulai penelitian hingga penulisan skripsi ini. Kepada Ir. Sri Rahayu, M.Si., Dr. Despal, S.Pt, M.Sc.Agr dan Ir. Lucia Cyrilla, E.N.S.D., M.Si. selaku dosen penguji sidang, atas saran dan masukannya penulis mengucapkan terima kasih. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberi saran dan motivasi kepada penulis. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, M.S. dan Yayasan Somarsipoda yang telah banyak membantu penulis dalam hal material selama proses perkuliahan. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc., Dr. Ir. Rukmiasih, M.S., Ir. Sri Darwati, M.Si., Bapak Sukma Wijaya, A.Md dan Bapak Dedi Permadi, A.Md atas bantuan yang diberikan selama ini. Terima kasih kepada pemilik dan karyawan peternakan Cordero, Prima Fit, PT Gizi Dewata Utama dan peternakan milik Bapak Purwadi yang telah memberikan izin kepada penulis melaksanakan penelitian di peternakan tersebut. Penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat dan tersayang Ayah (Alm) dan Ibu yang telah banyak memberikan dorongan moril dan material, doa restu dan kepercayaannya dalam menyelesaikan studi selama ini. Kepada Abang dan Adik tersayang (Dwi Surahman Rangkuti, Juni Andriani Rangkuti dan Agustina Swastika Rangkuti) serta Abang Irwansyah Siregar terima kasih atas doa dan dukungannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Suci Agustina yang telah setia mendampingi penulis, Yusup Kurnia dan teman seperjuangan (TMT 42 dan Alih Jenis Peternakan IPB) yang telah memberikan saran, bantuan, dukungan dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian hingga penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Agus, Aris, Arsyad, Bode, Hasrul,
53
Kiki, Muslim, Oki, Rahmat, Rasyid, Romi serta teman-teman seorganisasi IMATAPSEL-Bogor atas bantuan dan dorongannya dalam menyelesaikan studi selama ini. Bogor, Juni 2011 Penulis
54
DAFTAR PUSTAKA Adiati, U., I. K. Sutama, D. Yulistiani & I. G. M. Budiarsana. 2001. Pemberian konsentrat dengan level protein yang berbeda pada induk kambing PE selama bunting dan laktasi. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan veteriner Bogor. ISBN: 979-8308-36-0, Pulitbang Peternakan, Bogor. 247-255. Adriani. 2003. Optimalisasi produksi anak dan susu kambing Peranakan Etawah dengan superovulasi dan suplementasi seng. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. American Dairy Goat Association. 2002. Milk Comparison. The American Dairy Goat Association. Spindale, New York City. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta. Arora, S. P. 1995. Percernaan Mikroba pada Ruminansia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Asminaya, N. S. 2007. Penggunaan Ransum komplit berbasis sampah sayuran pasar untuk produksi dan komposisi susu kambing perah. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut pertanian Bogor, Bogor. Astuti, Y. A., Sri H., & Siswadi. 2002. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi susu dan efisiensi ekonomis agribisnis peternakan kambing perah. Animal Production. 4(1): 27-31. Atabany, A. 2001. Studi kasus produksi kambing Peranakan Etawah dan kambing Saanen pada peternakan kambing Barokah dan PT Taurus Dairy Farm. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Basya, S. 1983. Berbagai faktor yang mempengaruhi kadar lemak susu sapi perah. Pusat Pelatihan dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Wartazoa 1(2): 13-16. Bath, D. L., F. N. Dickinson, H. A. Tucker & R. D. Applemen. 1985. Dairy cattle: Principles, Pactices, Problems, Profits. 3rd ed. Lea & Febiger. Philadelphia. Benerjee, G. C. 1982. A Texbook of Animal Husbandry. 5th ed. Oxford Publishing Co, New Delhi. Blakely, J & D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi ke-4. Terjemahan: Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Brody, S. 1945. Bio-Energetics and Growth. Reinhald Publ. Corp. New York. Budiarsana, I. G. M., I. K. Sutama, U. Adiati, T. Kostama, Mulyawan, Bachtiar & M. S. Hidayat. 2001. Efisiensi produksi susu kambing Peranakan Etawah.
55
Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Ajaran 2000. Buku I. Penelitian Ternak Ruminansia-Bogor. Balai Penelitian Ternak, Bogor. 255-260. Budiarto, A. 2006. Tatalaksana dan produktivitas kambing Peranakan Etawah pada peternakan rakyat Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Budi, U. 2002. Pengaruh interval pemerahan terhadap produksi susu dan aktivitas seksual setelah beranak pada kambing Peranakan Etawah. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Castle, M. E & Watkins. 1984. Modern Milk Production. 2nd ed. Redmood Burn Ltd. Trwbridge. Despal, A. A. Dewi, D. M. Suci, D. Evvyernie, I. G. Permana, N. A. Sigit, R. Mutia., Sumiati, T. Toharmat & W. Hermana. 2007. Pengantar Ilmu Nutrisi. Modul Kuliah. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Despal, N. Sigit, Suryahadi, D. Evvyernie, A. Sardiana, I. G. Permana & T. Toharmat. 2008. Nutrisi Ternak Perah. Diktat Kuliah. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Devendra, C. & C. B. Mc. Leroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. First Publication Longmas. London. New York. Singapore. Devendra, C & M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan: IDK. H. Putra. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Eckles, C. H.,W.B. Combs & H. Macy. 1957. Milk and Milk Production, 4th ed. McGraw-Hill Publishing Book Company Inc., New York, Totonto, London. Eckles, C. H.,W.B. Combs & H. Macy. 1980. Milk and Milk Production. Tata Mc Graw_Hill Publishing Company ltd. Bombay, New Delhi. Etgen, W. M., R. E. James and P. M. Reaves. 1987. Dairy Cattle: Feeding and Management. John Wiley and Sons, New York-Brisbane-TorontoSingapore_Chicester. Eldesten, D. 1988. Composition of milk. Dalam Cross HR, Oversy AJ. Merat Sciences, Milk Science and Tecnology. Elsivier Publisher B. V. Amsterdam. 137-195. Ensminger, M. E. 2001. Sheep and Goat Science. 6th ed. Interstate Publisher. Inc. Danville, Illinois.
56
Ensminger, M. L. 1991. Feed and Nutrition. 2nd ed. The Ensminger Publishing. Company, California. FAO. 1977. Laboratory Guide in Diry Chemistry. FAO Dairy Development and Training Center for Asia and the Pacific. The Government of the Philipines. Denmark. Foley, R. C., D. L. Bath, B. N. Dickinson & H. A. Tucker. 1972. Dairy Catle: Principles, Practise, Problems, Profits. Philadelphia, Lea dan Febiger, Printed in United States of Amerika. 167-434. Gall, C. 1981. Goat Production. Academic Press Inc. Ltd, London. Ginting, P. M. 2000. Pengaruh penambahan daun widuri pada pakan basal rumput kume terhadap penambahan berat badan kambing jantan lokal. Buletin Peternakan. 3(24): 103-109. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Grasindo, Jakarta. Haryanto, B. & Djajanegara, A. 1993. Pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak ruminansia. Dalam Tomaszewka WM, Mastika IM, Djajanegara A, Gardiner S, Wiradarya TR: Produksi Kambing dan Domba di Indonesi. Sebelas Maret University Press. Surakarta:159-209. Heryadi, D. 2004. Standarisasi Mutu Bibit Kambing Peranakan Etawah. Kerja Sama Penelitian antara Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dengan Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung. Jaelani, U. 1999. Penampilan kambing dara yang diberi konsentrat mengandung bungkil biji kapuk. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Joesoep, E. T. 1986. Beberapa parameter genetik sifat kuantitatif kambing Peranakan Etawah. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut pertanian Bogor, Bogor. Larson, B. L. 1981. Biosintesis and cellular Secretion of Milk. Lowa State University Press. Markel, R. C. & Subandriyo. 1997. Sheep and Goat Production Handbook for Southeast Asia. 3th ed. CV. Ekha Putra, Bogor. Mason. I. L. 1976. Using the Worlds Genetic Resouses. Dalam: Meat Animal. Pelnum Press, USA. Mattjik, A.A. & I.M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.
57
Mayne, C. S. & F. J. Gordon. 1984. The effect of type concentrate and level of concentrate feeding on milk production. Animal Production. 39 : 65-76. Mekir, S., N. Nusada & I. W. Subhagiana. 1986. Tatalaksana pemeliharaan kambing. Dalam: laporan khusus keterampilan beternak kambing PE di desa Tista kecamatan Busung Biu kabupaten Buleleng. Pusat Pengabdian pada Masyarakat. Universitas Udayana, Denpasar. National Research Council. 2006. Nutrient Requirement of Small Ruminants. The National Academy press, Washington, D.C. Novita, C. I., A. Sudono, I. K. Sutama & T. Toharmat. 2006. Produktivitas kambing Peranakan Etawah yang diberi ransum berbasis jerami padi fermentasi. Media Peternakan 29 (2): 96-106. Nursasih, E. 2005. Kecernaan zat makanan dan efisiensi pakan pada kambing Peranakan Etawah yang mendapat ransum dengan sumber serat berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ørskov, E. R. 1998. The Feeding of Ruminant Principles and Practice. Chalcombe Publications, UK. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Indonesia University Press, Jakarta. Phalepi, M. A. 2004. Performa kambing Peranakan Etawah (Studi kasus di peternakan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya Citarasa). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prior, R. E., L. D. Satter, A. R. Hardie & W. J. Tyler. 1978. Influence of dietary protein concentration on milk production by dairy cattle early lactation. Jurnal Dairy Science. 61:1442.
Saleh,
E. 2004. Dasar pengolahan susu www. Library.usu.ac.id [15 Februari 2011]
dan
hasil
ikutan
ternak.
Schmidt, G. H. 1971. Biology of Lactation. Freeman and Company, Sanfransisco. Siregar, S. B. 1997. Aspek iklim tropis terhadap kemampuan berproduksi susu kambing perah. Wartazoa 6(2): 33-37. SNI 01-3141-1998. 1998. Susu Segar. Badan Standar Nasional, Jakarta. SNI 3148. 1. 2009. Pakan Konsentrat-Bagian 1: Sapi Perah. Badan Standar Nasional, Jakarta Sodiq, A & Z. Abidin. 2002. Kambing Peranakan Etawah Penghasil Susu Berkhasiat Obat. Agromedia Pustaka, Jakarta.
58
Sofyan, L. A., L. Aboenawan, E. B. Laconi, A. Djamil, N. Ramli, M. Ridla, & A. D. Lubis. 2000. Diktat. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Laboratorium Ilmu dan Teknologi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Subhagiana, I. W. 1998. Keadaan konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan, bobot lahir dan jumlah anak pada kambing Peranakan Etawah pada tingkat produksi susu yang berbeda. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pernanian Bogor, Bogor. Sudono, A. 1985. Produksi Sapi Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudono, A., R. F. Rosdiana & B. S. Setiawan. 2003. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis: Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta. Sudono, A. & I. K. Abdulgani. 2002. Budidaya Aneka Ternak Perah. Diktat Kuliah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudono, A. & I. K. Abdulgani, & H. Nadjib. 1989. Penuntun Praktikum Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suhardjo & C.M. Kusharto. 1987. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suherman, D. 2005. Imbangan rumput lapangan dan konsentrat terhadap kualitas produksi susu sapi perah Holstein. Animal Production. 7(1): 14-20. Suryahadi, B. Bakrie, Amrullah, B. V. Lotulong, R. Laside. 2003. Kajian tehnik suplementasi terpadu untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi perah di DKI Jakarta. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Suryapratama, W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatil bercabang dan kapsul lisin serta treonin terhadap nutrisi sapi Holstein. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutama, I. K., & I. G. M. Budiarsana. 1997. Kambing Peranakan Etawah penghasil susu sebagai sumber pertumbuhan dan subsektor peternakan di Indonesia. Proceeding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor. 18-19 November 1997: 156-170. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
59
Tahahar, A., E. Juarin, A. Prianto & B. Wibowo. 1996. Usaha kambing perah rakyat sebagai salah satu pendapatan rumah tangga di Jawa Timur. Prosiding Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan. BPPT Ciawi. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, & S. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Triwulandari, R. 1990. Pengaruh pemberian makanan konsentrat terhadap produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Williamson, G. & W. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan: Djiwa Darmaja. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wilson, R. C., T. R. Overton & J. H. Clark. 1998. Effect of Yucca schidigera extract and soluble protein on performance of cow and concentrations or urea nitrogen in plasma and milk. J. Dairy Sci. 81: 1022-1027.
60
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi Pakan dari Masing-masing Kondisi Kondisi
Pakan
A
Rumput Gajah Konsentrat
B
C
D
Rumput Lapang Ampas Tempe Rumput Lapang Ampas Tempe Hijauan Konsentrat
Komposisi Pakan Serat Kasar Lemak Kasar (%) (%) * 39,57 3,16*
Bahan Kering (%) 21,12*
Abu (%) 10,56*
Protein Kasar (%) 9,84*
BETN (%) 36,87*
GE kal/gr 4438
33,13
7,60
12,10
34,31
3,26
42,73
4224
23,50**
14,30**
8,82**
32,50**
1,46**
42,80**
4416
20,35
2,45
15,89
57,05
2,58
22,03
4680
21,74***
7,43***
6,61***
37,15***
1,52***
47,29***
4420
22,27***
2,64***
18,91***
34,31***
10,41***
33,73***
4762
27,76
4,83
19,26
30,12
3,61
42,17
4694
24,00
3,08
30,91
16,65
8,22
41,19
5428
Keterangan : A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36; BETN= Bahan Ekstrak tanpa Nitroge; GE= Gross Energi; BETN= Bahan Ekstrak tanpa Nitroge; GE= Gross Energi. Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor * Adriani (2003) ** Sofyan, et al. (2000) *** Suhermin (2009)
61
Lampiran 2. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Bahan Kering Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 1803 183 51 B 13 1818.3 35.5 9.9
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -15.5977 95% CI for difference: (-128.0508, 96.8554) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.30 P-Value = 0.768 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 1803 183 51 C 12 1970.7 10.5 3.0
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -168.053 95% CI for difference: (-278.637, -57.469) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.31 P-Value = 0.006 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 1803 183 51 D 13 2491.5 23.4 6.5
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -688.822 95% CI for difference: (-800.107, -577.536) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -13.49 P-Value = 0.000 DF = 12
62
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 1818.3 35.5 9.9 C 12 1970.7 10.5 3.0
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -152.456 95% CI for difference: (-174.570, -130.342) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -14.79 P-Value = 0.000 DF = 14
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 1818.3 35.5 9.9 D 13 2491.5 23.4 6.5
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -673.224 95% CI for difference: (-697.827, -648.621) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -57.08 P-Value = 0.000 DF = 20
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 1970.7 10.5 3.0 D 13 2491.5 23.4 6.5
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -520.768 95% CI for difference: (-535.951, -505.585) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -72.71 P-Value = 0.000 DF = 16
63
Lampiran 3. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Abu Kambing PE pada Saat Penelitian
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 153.8 15.7 4.4 B 13 133.77 5.08 1.4
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: 20.0446 95% CI for difference: (10.2144, 29.8748) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 4.37 P-Value = 0.001 DF = 14
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 153.8 15.7 4.4 C 12 93.275 0.444 0.13
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 60.5358 95% CI for difference: (51.0298, 70.0418) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 13.88 P-Value = 0.000 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 153.8 15.7 4.4 D 13 103.60 1.13 0.31
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 50.2146 95% CI for difference: (40.6881, 59.7411) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 11.48 P-Value = 0.000 DF = 12
64
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 133.77 5.08 1.4 C 12 93.275 0.444 0.13
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 40.4912 95% CI for difference: (37.4064, 43.5759) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 28.60 P-Value = 0.000 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 133.77 5.08 1.4 D 13 103.60 1.13 0.31
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 30.1700 95% CI for difference: (27.0493, 33.2907) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 20.89 P-Value = 0.000 DF = 13
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 93.275 0.444 0.13 D 13 103.60 1.13 0.31
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -10.3212 95% CI for difference: (-11.0441, -9.5982) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -30.43 P-Value = 0.000 DF = 15
65
Lampiran 4. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Protein Kasar Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 205.3 20.8 5.8 B 13 235.65 3.13 0.87
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -30.3231 95% CI for difference: (-43.0098, -17.6364) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.21 P-Value = 0.000 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 205.3 20.8 5.8 C 12 266.76 1.57 0.45
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -61.4362 95% CI for difference: (-74.0196, -48.8527) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -10.64 P-Value = 0.000 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 205.3 20.8 5.8 D 13 591.78 4.50 1.2
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -386.461 95% CI for difference: (-399.188, -373.733) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -65.60 P-Value = 0.000 DF = 13
66
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 235.65 3.13 0.87 C 12 266.76 1.57 0.45
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -31.1131 95% CI for difference: (-33.1790, -29.0472) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -31.77 P-Value = 0.000 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 235.65 3.13 0.87 D 13 591.78 4.50 1.2
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -356.138 95% CI for difference: (-359.300, -352.975) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -234.20 P-Value = 0.000 DF = 21
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 266.76 1.57 0.45 D 13 591.78 4.50 1.2
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -325.025 95% CI for difference: (-327.854, -322.195) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -244.82 P-Value = 0.000 DF =15
67
Lampiran 5. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Serat Kasar Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 648.4 65.9 18 B 13 852.4 11.5 3.2
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -204.036 95% CI for difference: (-244.465, -163.608) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -11.00 P-Value = 0.000 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 648.4 65.9 18 C 12 700.61 3.71 1.1
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -52.2196 95% CI for difference: (-92.1101, -12.3291) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.85 P-Value = 0.015 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 648.4 65.9 18 D 13 621.02 7.04 2.0
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 27.3623 95% CI for difference: (-12.6863, 67.4109) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.49 P-Value = 0.162 DF = 12
68
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 852.4 11.5 3.2 C 12 700.61 3.71 1.1
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 151.817 95% CI for difference: (144.575, 159.058) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 44.96 P-Value = 0.000 DF = 14
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 852.4 11.5 3.2 D 13 621.02 7.04 2.0
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 231.398 95% CI for difference: (223.549, 239.248) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 61.70 P-Value = 0.000 DF = 19
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 700.61 3.71 1.1 D 13 621.02 7.04 2.0
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 79.5819 95% CI for difference: (74.9028, 84.2610) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 35.73 P-Value = 0.000 DF = 18
69
Lampiran 6. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Lemak Kasar Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 58.18 5.89 1.6 B 13 38.509 0.521 0.14
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: 19.6677 95% CI for difference: (16.0918, 23.2436) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 11.98 P-Value = 0.000 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 58.18 5.89 1.6 C 12 128.605 0.789 0.23
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -70.4281 95% CI for difference: (-74.0244, -66.8317) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -42.67 P-Value = 0.000 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 58.18 5.89 1.6 D 13 134.262 0.847 0.23
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -76.0854 95% CI for difference: (-79.6839, -72.4868) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -46.07 P-Value = 0.000 DF = 12
70
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 38.509 0.521 0.14 C 12 128.605 0.789 0.23
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -90.0958 95% CI for difference: (-90.6623, -89.5292) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -334.11 P-Value = 0.000 DF = 18
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 38.509 0.521 0.14 D 13 134.262 0.847 0.23
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -95.7531 95% CI for difference: (-96.3302, -95.1759) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -347.23 P-Value = 0.000 DF = 19
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 128.605 0.789 0.23 D 13 134.262 0.847 0.23
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -5.65731 95% CI for difference: (-6.33558, -4.97903) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -17.30 P-Value = 0.000 DF = 22
71
Lampiran 7. Hasil Analisis Uji t Konsumsi BETN Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 737.0 74.5 21 B 13 557.0 15.2 4.2
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: 179.951 95% CI for difference: (133.979, 225.923) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 8.53 P-Value = 0.000 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 737.0 74.5 21 C 12 781.48 4.02 1.2
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -44.5162 95% CI for difference: (-89.6316, 0.5993) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.15 P-Value = 0.053 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 737.0 74.5 21 D 13 1041.34 9.86 2.7
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -304.373 95% CI for difference: (-349.810, -258.936) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -14.60 P-Value = 0.000 DF = 12
72
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 557.0 15.2 4.2 C 12 781.48 4.02 1.2
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -224.467 95% CI for difference: (-233.915, -215.018) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -51.32 P-Value = 0.000 DF = 13
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 557.0 15.2 4.2 D 13 1041.34 9.86 2.7
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -484.324 95% CI for difference: (-494.808, -473.840) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -96.36 P-Value = 0.000 DF = 20
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 781.48 4.02 1.2 D 13 1041.34 9.86 2.7
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -259.857 95% CI for difference: (-266.156, -253.558) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -87.46 P-Value = 0.000 DF = 16
73
Lampiran 8. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Gross Energi Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 7735465 784552 217596 B 13 8311144 156874 43509
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -575680 95% CI for difference: (-1059165, -92195) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.59 P-Value = 0.023 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 7735465 784552 217596 C 12 9090474 48983 14140
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -1355010 95% CI for difference: (-1830110, -879910) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -6.21 P-Value = 0.000 DF = 12
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 7735465 784552 217596 D 13 12400061 109742 30437
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -4664597 95% CI for difference: (-5143312, -4185881) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -21.23 P-Value = 0.000 DF = 12
74
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 8311144 156874 43509 C 12 9090474 48983 14140
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -779330 95% CI for difference: (-877452, -681208) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -17.03 P-Value = 0.000 DF = 14
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 8311144 156874 43509 D 13 12400061 109742 30437
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -4088917 95% CI for difference: (-4199341, -3978493) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -77.01 P-Value = 0.000 DF = 21
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 9090474 48983 14140 D 13 12400061 109742 30437
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -3309587 95% CI for difference: (-3380733, -3238441) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -98.61 P-Value = 0.000 DF = 16
75
Lampiran 9. Hasil Analisis Uji t Produksi Susu Kambing PE pada Saat Penelitian
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 671 231 64 B 13 830 398 110
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -158.332 95% CI for difference: (-425.552, 108.889) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.24 P-Value = 0.230 DF = 19
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C SE N Mean StDev Mean A 13 671 231 64 C 12 656 194 56
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 15.2363 95% CI for difference: (-161.0497, 191.5222) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.18 P-Value = 0.859 DF = 22
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D SE N Mean StDev Mean A 13 671 231 64 D 13 1158 261 72
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -487.246 95% CI for difference: (-687.100, -287.392) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.04 P-Value = 0.000 DF = 23
76
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 830 398 110 C 12 656 194 56
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 173.568 95% CI for difference: (-87.562, 434.698) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.40 P-Value = 0.179 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 830 398 110 D 13 1158 261 72
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -328.915 95% CI for difference: (-604.284, -53.545) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.49 P-Value = 0.022 DF = 20
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D SE N Mean StDev Mean C 12 656 194 56 D 13 1158 261 72
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -502.482 95% CI for difference: (-692.015, -312.950) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.50 P-Value = 0.000 DF = 22
77
Lampiran 10. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Bahan Kering Susu Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 103.9 35.7 9.9 B 13 138.6 66.6 18
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -34.7746 95% CI for difference: (-78.7926, 9.2433) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.66 P-Value = 0.114 DF = 18
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 103.9 35.7 9.9 C 12 108.7 32.1 9.3
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -4.85000 95% CI for difference: (-32.98355, 23.28355) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.36 P-Value = 0.724 DF = 22
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 103.9 35.7 9.9 D 13 194.5 43.8 12
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -90.6738 95% CI for difference: (-123.1037, -58.2440) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.78 P-Value = 0.000 DF = 23
78
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 138.6 66.6 18 C 12 108.7 32.1 9.3
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 29.9246 95% CI for difference: (-13.6465, 73.4958) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.45 P-Value = 0.166 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D SE N Mean StDev Mean B 13 138.6 66.6 18 D 13 194.5 43.8 12
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -55.8992 95% CI for difference: (-101.9902, -9.8083) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.53 P-Value = 0.020 DF = 20
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 108.7 32.1 9.3 D 13 194.5 43.8 12
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -85.8238 95% CI for difference: (-117.5866, -54.0611) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.62 P-Value = 0.000 DF = 21
79
Lampiran 11. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Protein Susu Kambing PE pada Saat Penelitian
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 4.74 1.63 0.45 B 13 5.84 2.80 0.78
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -1.10846 95% CI for difference: (-2.99196, 0.77503) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.23 P-Value = 0.233 DF = 19
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 4.74 1.63 0.45 C 12 4.77 1.41 0.41
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -0.034679 95% CI for difference: (-1.295285, 1.225926) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.06 P-Value = 0.955 DF = 22
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 4.74 1.63 0.45 D 13 8.11 1.83 0.51
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -3.37615 95% CI for difference: (-4.78137, -1.97094) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -4.97 P-Value = 0.000 DF = 23
80
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 5.84 2.80 0.78 C 12 4.77 1.41 0.41
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 1.07378 95% CI for difference: (-0.77760, 2.92517) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.22 P-Value = 0.238 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 5.84 2.80 0.78 D 13 8.11 1.83 0.51
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -2.26769 95% CI for difference: (-4.20436, -0.33103) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.44 P-Value = 0.024 DF = 20
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 4.77 1.41 0.41 D 13 8.11 1.83 0.51
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -3.34147 95% CI for difference: (-4.68814, -1.99481) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.15 P-Value = 0.000 DF = 22
81
Lampiran 12. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Lemak Susu Kambing PE pada Saat Penelitian
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 6.23 2.15 0.60 B 13 10.08 4.84 1.3
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -3.85462 95% CI for difference: (-6.96810, -0.74113) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.62 P-Value = 0.018 DF = 16
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 6.23 2.15 0.60 C 12 7.50 2.21 0.64
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -1.27250 95% CI for difference: (-3.08320, 0.53820) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.46 P-Value = 0.159 DF = 22
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 6.23 2.15 0.60 D 13 13.47 3.03 0.84
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -7.24462 95% CI for difference: (-9.38578, -5.10345) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -7.04 P-Value = 0.000 DF = 21
82
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 10.08 4.84 1.3 C 12 7.50 2.21 0.64
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 2.58212 95% CI for difference: (-0.55525, 5.71948) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.74 P-Value = 0.101 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 10.08 4.84 1.3 D 13 13.47 3.03 0.84
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -3.39000 95% CI for difference: (-6.69415, -0.08585) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.14 P-Value = 0.045 DF = 20
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 7.50 2.21 0.64 D 13 13.47 3.03 0.84
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -5.97212 95% CI for difference: (-8.16735, -3.77688) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.66 P-Value = 0.000 DF = 21
83
Lampiran 13. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar BKTL Susu Kambing PE pada Saat Penelitian
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 97.6 33.6 9.3 B 13 128.6 61.7 17
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -30.9231 95% CI for difference: (-71.8652, 10.0190) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.59 P-Value = 0.130 DF = 18
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 97.6 33.6 9.3 C 12 101.2 29.9 8.6
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -3.58135 95% CI for difference: (-29.90861, 22.74592) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.28 P-Value = 0.780 DF = 22
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 97.6 33.6 9.3 D 13 181.1 40.8 11
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -83.4369 95% CI for difference: (-113.7411, -53.1327) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.70 P-Value = 0.000 DF = 23
84
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 128.6 61.7 17 C 12 101.2 29.9 8.6
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 27.3417 95% CI for difference: (-13.0913, 67.7747) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.43 P-Value = 0.172 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D SE N Mean StDev Mean B 13 128.6 61.7 17 D 13 181.1 40.8 11
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -52.5138 95% CI for difference: (-95.2995, -9.7282) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.56 P-Value = 0.019 DF = 20
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 101.2 29.9 8.6 D 13 181.1 40.8 11
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -79.8556 95% CI for difference: (-109.4196, -50.2916) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.62 P-Value = 0.000 DF = 21
85
Lampiran 14. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Gross Energi Susu Kambing PE pada Saat Penelitian
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 93998 32345 8971 B 13 141459 67902 18833
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -47460.8 95% CI for difference: (-91472.0, -3449.6) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.28 P-Value = 0.036 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 93998 32345 8971 C 12 108191 31924 9216
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -14193.0 95% CI for difference: (-40865.2, 12479.1) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.10 P-Value = 0.282 DF = 22
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 93998 32345 8971 D 13 194655 43814 12152
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -100657 95% CI for difference: (-131982, -69332) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -6.66 P-Value = 0.000 DF = 22
86
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 141459 67902 18833 C 12 108191 31924 9216
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 33267.7 95% CI for difference: (-10968.0, 77503.5) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.59 P-Value = 0.131 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 141459 67902 18833 D 13 194655 43814 12152
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -53196.5 95% CI for difference: (-99949.0, -6443.9) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.37 P-Value = 0.028 DF = 20
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 108191 31924 9216 D 13 194655 43814 12152
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -86464.2 95% CI for difference: (-118180.7, -54747.7) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.67 P-Value = 0.000 DF = 21
87
Lampiran 15. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 5.77 1.96 0.54 B 13 7.56 3.58 0.99
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -1.78846 95% CI for difference: (-4.16659, 0.58966) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.58 P-Value = 0.132 DF = 18
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 5.77 1.96 0.54 C 12 5.52 1.63 0.47
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 0.251795 95% CI for difference: (-1.239123, 1.742712) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.35 P-Value = 0.729 DF = 22
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 5.77 1.96 0.54 D 13 7.81 1.79 0.50
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -2.04462 95% CI for difference: (-3.56618, -0.52305) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.78 P-Value = 0.011 DF = 23
88
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 7.56 3.58 0.99 C 12 5.52 1.63 0.47
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 2.04026 95% CI for difference: (-0.27945, 4.35997) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.86 P-Value = 0.081 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 7.56 3.58 0.99 D 13 7.81 1.79 0.50
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -0.256154 95% CI for difference: (-2.598953, 2.086645) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.23 P-Value = 0.820 DF = 17
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 5.52 1.63 0.47 D 13 7.81 1.79 0.50
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -2.29641 95% CI for difference: (-3.71604, -0.87678) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.35 P-Value = 0.003 DF = 22
89
Lampiran 16. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Protein Susu Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 7.73 2.64 0.73 B 13 5.92 3.08 0.85
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: 1.80923 95% CI for difference: (-0.51864, 4.13710) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.61 P-Value = 0.122 DF = 23
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 7.73 2.64 0.73 C 12 7.93 2.35 0.68
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -0.199487 95% CI for difference: (-2.269114, 1.870139) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.20 P-Value = 0.843 DF = 22
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 7.73 2.64 0.73 D 13 5.30 1.21 0.34
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 2.43385 95% CI for difference: (0.72492, 4.14277) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.02 P-Value = 0.008 DF = 16
90
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 5.92 3.08 0.85 C 12 7.93 2.35 0.68
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: -2.00872 95% CI for difference: (-4.26931, 0.25187) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.84 P-Value = 0.079 DF = 22
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 5.92 3.08 0.85 D 13 5.30 1.21 0.34
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 0.624615 95% CI for difference: (-1.331347, 2.580577) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.68 P-Value = 0.506 DF = 15
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 7.93 2.35 0.68 D 13 5.30 1.21 0.34
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 2.63333 95% CI for difference: (1.03044, 4.23623) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.48 P-Value = 0.003 DF = 16
91
Lampiran 17. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Lemak Susu Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 36.4 12.4 3.4 B 13 62.2 32.3 9.0
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -25.7177 95% CI for difference: (-46.1886, -5.2468) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.68 P-Value = 0.017 DF = 15
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 36.4 12.4 3.4 C 12 25.74 7.62 2.2
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 10.7044 95% CI for difference: (2.1738, 19.2350) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.62 P-Value = 0.016 DF = 20
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 36.4 12.4 3.4 D 13 39.29 8.95 2.5
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -2.84538 95% CI for difference: (-11.67963, 5.98886) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.67 P-Value = 0.510 DF = 21
92
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 62.2 32.3 9.0 C 12 25.74 7.62 2.2
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 36.4221 95% CI for difference: (16.4811, 56.3632) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.95 P-Value = 0.002 DF = 13
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 62.2 32.3 9.0 D 13 39.29 8.95 2.5
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 22.8723 95% CI for difference: (2.7772, 42.9674) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.46 P-Value = 0.029 DF = 13
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 25.74 7.62 2.2 D 13 39.29 8.95 2.5
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -13.5498 95% CI for difference: (-20.4295, -6.6701) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -4.08 P-Value = 0.000 DF = 22
93
Lampiran 18. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Gross Energi Susu Kambing PE pada Saat Penelitian Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B Two-sample T for kondisi A vs kondisi B N Mean StDev SE Mean A 13 4.16 1.42 0.39 B 13 7.90 3.83 1.1
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B) Estimate for difference: -3.73231 95% CI for difference: (-6.14669, -1.31792) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.29 P-Value = 0.005 DF = 15
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C Two-sample T for kondisi A vs kondisi C N Mean StDev SE Mean A 13 4.16 1.42 0.39 C 12 3.220 0.952 0.27
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 0.943846 95% CI for difference: (-0.054481, 1.942173) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.97 P-Value = 0.063 DF = 21
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D Two-sample T for kondisi A vs kondisi D N Mean StDev SE Mean A 13 4.16 1.42 0.39 D 13 6.00 1.37 0.38
Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -1.83538 95% CI for difference: (-2.96871, -0.70206) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.35 P-Value = 0.003 DF = 23
94
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C Two-sample T for kondisi B vs kondisi C N Mean StDev SE Mean B 13 7.90 3.83 1.1 C 12 3.220 0.952 0.27
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C) Estimate for difference: 4.67615 95% CI for difference: (2.30586, 7.04645) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 4.26 P-Value = 0.001 DF = 13
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D Two-sample T for kondisi B vs kondisi D N Mean StDev SE Mean B 13 7.90 3.83 1.1 D 13 6.00 1.37 0.38
Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D) Estimate for difference: 1.89692 95% CI for difference: (-0.50839, 4.30223) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.68 P-Value = 0.113 DF = 15
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D Two-sample T for kondisi C vs kondisi D N Mean StDev SE Mean C 12 3.220 0.952 0.27 D 13 6.00 1.37 0.38
Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D) Estimate for difference: -2.77923 95% CI for difference: (-3.75648, -1.80198) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.91 P-Value = 0.000 DF = 21
95
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only. This page will not be added after purchasing Win2PDF.