KERAGAMAN GENETIK DAN VIRULENSI ISOLAT Phytophthora palmivora ASAL KELAPA DAN ASAL KAKAO
HIASINTA FRANSISCA JAQUELINE MOTULO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keragaman Genetik dan Virulensi Isolat Phytophthora palmivora Asal Kelapa dan Asal Kakao adalah hasil penelitian saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka disertasi ini.
Bogor, Januari 2008
Hiasinta Hiasinta FJ Motulo NIM A426014011
RINGKASAN Hiasinta F.J. MOTULO, Keragaman Genetik dan Virulensi Isolat Phytophthora palmivora Asal Kelapa dan Asal Kakao. Dibimbing oleh Meity SURADJI SINAGA, Alex HARTANA, Gede SUASTIKA, dan Hajrial ASWIDINNOOR. Untuk memaksimalkan potensi lahan dan meningkatkan pendapatan petani maka dilakukan diversifikasi tanaman kelapa dengan memanfaatkan lahan di bawah kelapa dengan tanaman kakao. Ditinjau dari aspek penyakit tanaman, hal ini mengkuatirkan karena tanaman kelapa dan kakao memiliki penyakit penting yang disebabkan oleh patogen yang sama Phytophthora palmivora. Patogen tersebut patogen menyebabkan penyakit gugur buah pada tanaman kelapa dan penyakit busuk buah pada tanaman kakaoyang sangat merugikan. Berdasarkan analisis morfologi, molekuler, dan virulensi serta inokulasi silang antara kedua isolat tersebut diketahui bahwa P. palmivora asal kelapa dan P. palmivora asal kakao berbeda. Bentuk sporangium antara P. palmivora asal kelapa dan asal kakao tidak berbeda, tetapi panjang dan lebar sporangium P. palmivora berbeda. Isolat asal kelapa lebih lebar dan lebih panjang dari isolat asal kakao. Semua isolat P. palmivora hasil koleksi memiliki sporangium dengan pedikel pendek, papila, percabangan miselium simpel simpodium, dan bersifat caducous. Tipe kawin A1 telah ditemukan pada isolat P. palmivora asal kakao, sehingga dua tipe kawin A1 dan A2 telah didapatkan dari isolat P. palmivora asal kakao. Isolat P. palmivora asal kelapa juga mempunyai tipe kawin A1 dan A2. Keragaman tipe koloni isolat P. palmivora asal kelapa tidak berbeda dengan isolat asal kakao. Terdapat tiga tipe koloni pada isolat asal kelapa dan asal kakao yaitu, stelate, cottony, dan rosaceous. Diameter koloni isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao. Diameter koloni P. palmivora asal kelapa lebih lebar dari koloni isolat asal kakao. Fragmen DNA P. palmivora baik isolat P. palmivora asal kelapa maupun isolat asal kakao berukuran 900 bp. Berdasarkan perunutan fragmen ITS-DNA isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao. Isolat P. palmivora dari Jawa Timur dan Sulawesi Utara berbeda dengan isolat P. palmivora yang berasal dari Taiwan, Puerto Rico, Ghana, dan Costa Rica. Berdasarkan analisis RAPD dengan lima primer OPA2, OPA-11, OPA16, OPB-1, OPB-5 nampak isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao sangat beragam dengan kemiripan genetik yang rendah yaitu 54% dan 56%. Jumlah pita polimorfik isolat P. palmivora asal kakao dan asal kelapa sebesar 52 dari 56 pita atau 92.8%. Umumnya isolat P. palmivora yang berasal dari kelapa lebih tinggi virulensinya pada buah kelapa dibandingkan dengan buah kakao. Hal yang sama terjadi pada isolat P. palmivora asal kakao virulensinya lebih tinggi pada buah kakao sendiri dibandingkan dengan buah kelapa. Inokulasi silang isolat P. palmivora asal kelapa bisa terjadi pada buah kakao dan sebaliknya isolat P. palmivora asal kakao pada buah kelapa. Kata kunci : karakterisasi, morfologi, sekuensing ITS-DNA, virulensi, P. palmivora, kelapa, kakao, tumpangsari.
ABSTRACT HIASINTA FJ MOTULO. Genetic Diversity and Virulence of Phytophthora palmivora Isolates from Coconut and Cocoa. Under direction of Meity SURADJI SINAGA, Alex HARTANA, Gede SUASTIKA, dan Hajrial ASWIDINNOOR. Phytophthora palmivora as the causal of coconut nutfall and cacao black pod is the potentially destructive diseases. This study was conducted to differentiate the isolates of P. palmivora from coconut and cocoa pod based on morphology and molecular characters, diversity, virulence and cross inoculation. Comparative morphological : diameter of colony, length and width of sporangium, l/w ratio , type of colony and sequence ITS-DNA tests showed that all isolates of Phytophthora isolated from coconut and cocoa in Indonesia are Phytophthora palmivora. Morphological characters of pathogen isolated from cocoa were smaller and significantly different in length, width, length/width ratio of sporangium and diameter of colony compared to isolates from coconut. Sporangia of 22 isolates were caducous with short pedicel, but were variable in shape and size. The culture produce ovoid, limoniform, obturbinate, ellipsoid dan globose sporangia, average 40-62 µm in length and 28-43 µm in width. The colony type were stelate, cottony and rossaceous with average diameter of P. palmivora coconut’s isolates 54.8 cm and P. palmivora cocoa’s isolates 43.4 cm. New mating type A1 was found on P. palmivora isolates from cocoa. There are two mating types on P. palmivora isolates from cocoa were namely A1 and A2 mating types. P. palmivora isolates from coconut and cocoa have a amphigynous antheridium. Specific fragment of 900 bp was successfully amplify from coconut P. palmivora isolates and cocoa P. palmivora isolates. The DNA sequence analysis of the nuclear ribosomal internal transcribed spacer (ITS) region showed that the coconut isolates were not in the same cluster with the cocoa isolates. Based on sequence analysis, the P. palmivora isolates from Indonesia different were cluster from those of Taiwan, Ghana, Puerto Rico and Costa Rica isolates. The polimorphic band on P. palmivora isolates from coconut and cocoa was 92.8%. Isolates of P. palmivora from coconut and cocoa in the field have a high diversity. The genetic diversity analysis of all isolates employing RAPD showed that genetic similarity on isolates P. palmivora from coconut were 54% and on isolates P. palmivora from cocoa were 56%. There was a cross inoculation between isolate P. palmivora from coconut to cocoa pod and isolate P. palmivora from cocoa to coconut. The isolates showed different virulence on coconut and cocoa pod. Generally isolates P. palmivora from coconut were more virulence toward coconut than cocoa, and isolates P. palmivora from cocoa were more virulence in cocoa pod than coconut. Key words: characterisation, morphological, ITS-DNA sequenzing, virulence, P. palmivora, coconut, cocoa, intercropping.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KERAGAMAN GENETIK DAN VIRULENSI ISOLAT Phytophthora palmivora ASAL KELAPA DAN ASAL KAKAO
HIASINTA FRANSISCA JAQUELINE MOTULO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji pada ujian tertutup : Dr. Ir. Suryowiyono M.Sc. Penguji pada ujian terbuka : Dr. Ir. Giyanto M.Si Dr. Ir. Dyah Manohara M.S
Judul Disertasi
: Keragaman Genetik Dan Virulensi Isolat Phytophthora palmivora Asal Kelapa dan Asal Kakao
Nama
: Hiasinta Fransisca Jaqueline Motulo
NIM
: A 426014011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Alex Hartana Anggota
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Entomologi dan Fitopatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro M.S
Tanggal Ujian : 15 Januari 2008
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah Bapa di Surga Tuhan Yang Maha Kuasa dipersembahkan penulis atas semua berkat dan kasihNya sehingga karya ilmiah ini dapat dirampungkan. Karya ini merupakan hasil penelitian yang penulis kerjakan berdasarkan penelaahan lapangan dan laboratorium di daerah Jawa Timur dan Sulawesi Utara sejak Februari 2005 sampai Februari 2007. Subjek yang disajikan adalah keragaman P. palmivora asal kelapa dan asal kakao berdasarkan morfologi, molekuler, dan virulensinya pada lokasi tumpangsari kelapa-kakao dan monokultur kelapa atau kakao. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Meity SuradjiSinaga M.Sc, Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, Dr. Ir. Gede Suastika M.Sc, dan Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan membantu menyelesaikan karya ilmiah ini. Di samping itu kepada
Jean Marc
Thevenin dan Dr. Panabiere penulis berterima kasih atas kesediaan mengirimkan artikel yang berkenaan dengan patogen P. palmivora. Demikian pula kepada Dr. Ir. Suryowiyono, penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang diajukan selama ujian tertutup. Kepada Dr. Ir. Dyah Manohara M.Si dan Dr. Ir. Giyanto M.Si yang juga berkontribusi dalam ujian terbuka, penulis menyampaikan terima kasih. Selama
penelitian lapangan dan laboratorium penulis dimudahkan atas
kesediaan waktu membantu dari Dr. Ir. Dwinita, Ir. Firul, Tuti Legiastuti, Dadang, Ir. Jeanet Kumaunang M.Sc, Ir. Donata Pandin M.Si, Meity Kodong, Agus Palit, Anne Palit, Ir. Rizal M.Si, Ir. Rai MS, Dr. Ir. Siti Hapsa, Ir. Hasnia, dan Trasman. Bersama dengan
teman-teman seprogram studi Dr. Ir. Eliza Rusli, Dr. Ir. Noor
Aidawati, Dr. Ir. Lisnawita, Dr. Ir. Mohammad Taufik, Dr. Ir. Andi Khaeruni, Ir. Yunik Istikoma MS dan teman-teman seasrama di Bogor Baru II, penulis mengucapkan terima kasih.
Selanjutnya
kepada Ir. Joice Rimper M.Si , Ir.
Josephine Saerang MS dan Ir. Ingerid Moniaga penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan doa dan kebersamaan dalam suka dan duka. Dalam menyelesaikan studi penulis mendapatkan bantuan beasiswa dan dana penelitian. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Balai Penelitian Tanaman
Kelapa dan Palma Lainnya, pengurus
Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik
Indonesia (APTIK), dan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara. Rasa hormat dan terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua, papi Ferdinand Raymond Motulo dan mami Maria Josephine Leyley atas kasih sayang, bimbingan dan doa serta perhatian untuk anak dan suamiku selama mengikuti pendidikan S3. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada adik-adikku Meydi, Boy, Sandra, Anne, Reyfi, dan Frandy atas dukungan doa dan bantuan morilnya. Kepada mami dan papi mertua,
kakak, dan adik-adik ipar penulis
ucapkan terima kasih atas bantuannya. Selama mengikuti program S3 penulis mendapat pengertian yang dalam dari suami Ir. Benedictus Brahmaputra dan anak Brigitta Louise Brahmaputra. Kepada kedua orang yang dicintai tersebut, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas cinta dan pengorbanan, kekuatan doa dan dorongan semangat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, dengan harapan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati Bapak dan Ibu. Sebagai suatu hasil dari proses belajar, penulis menyadari karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan dan keterbatasannya. Walaupun demikian penulis berharap semoga karya ini dalam
mendiskusikan
dan
mempertimbangkan
bermanfaat setidaknya
kegiatan-kegiatan
terpaut
selanjutnya.
Bogor, Januari 2008 Hiasinta F.J. Motulo
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Manado pada 31 Maret 1964, sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara dari ibu Maria Josephine Leyley dan ayah Ferdinand Raymond Motulo. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pada tahun 1982 di Manado, penulis menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan lulus tahun 1987. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Fitopatologi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun ajaran 2002. Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lainnya di Manado sejak tahun 1988. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah penyakit tanaman. Pendidikan dan pelatihan dalam bidang penyakit tanaman pernah dilakukan di Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO-BIOTROP) Bogor-Indonesia pada tahun 1991 dan di Département des Culture Pérennes- Centre de Coopération Internationale en Recherche Agronomique pour le Développement (CIRAD-CP) MontpellierPerancis pada tahun 1993. Penulis menikah dengan Ir Benedictus Brahmaputra pada tahun 1993 dan dikaruniai seorang putri. Suami bekerja sebagai geologis pada Dinas Pertambangan Provinsi Sulawesi Utara. Anak, Brigitta Louise Brahmaputra berstatus pelajar pada SMP Rajawali di Makassar. Satu artikel dari disertasi ini telah diterbitkan di Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol. 13 No.3 dengan judul “Karakter Morfologi dan Molekuler Isolat Phytophthora palmivora asal Kelapa dan Kakao”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………………
xiii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..
xvi
I. PENDAHULUAN ………………………..…..……………………….
1
Latar belakang ……………………………..…….…………………… Tujuan Penelitian ………………………..………..……………………..
1 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………….……………………………..
7
Penyakit pada tanaman kelapa ................................................................. Penyakit pada tanaman kakao ….……….……..……………………….. Pola tanam tumpangsari kelapa–kakao .…................………………… Sistimatika Phytophthora spp……… .……….....………………………. Identifikasi Phytophthora .. ….…………..……………………………. Biologi P. palmivora ………….……………..…………………………. Keragaman antar spesies Phytophthora ... ………...…………………… Identifikasi P. palmivora dengan teknik molekular runutan DNA ……. Struktur DNA ribosom ………………………..………………………... Random Amplified Polymorphic DNA …..…………………………….. Penggunaan PCR untuk mendeteksi Phytophthora ..………………….. Patogenisitas P. palmivora ..…………………………………………….
7 8 10 11 12 13 15 17 18 19 20 21
III. METODOLOGI PENELITIAN ………….……………………………..
23
Tempat dan waktu ………………..…………………………………….. Survey penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao ……………. Isolasi dan koleksi P. palmivora …………………………..………… Isolasi zoospora tunggal ……………….……………………………… Karakterisasi morfologi P. palmivora ………………..………………… Identifikasi P. palmivora berdasarkan tipe kawin ……………..……… Identifikasi P. palmivora secara molekuler ………….…………………. Amplifikasi sekuen ITS-DNA ………….………………………………. Perunutan ruas ITS-DNA ………………………………………………. Analisis filogenetik …………….……………………………………… Analisis keragaman genetik berdasarkan RAPD …………….…………. Amplifikasi DNA menggunakan primer acak …………..…………… Virulensi dan patogenisitas P. palmivora pada kelapa dan kakao ……
24 24 24 26 27 29 30 31 32 34 34 34 35
Persiapan inokulum …………………………………………………….. Metode inokulasi pada buah kelapa dan kakao …………………………
35 35
IV. HASIL PENELITIAN Survey penyakit gugur buah dan busuk buah pada kelapa dan kakao …. Isolasi P. palmivora …………………………………………………….. Morfologi P. palmivora ………..……………………………………… Sporangium…………………………………………………………….. Klamidospora ………………………………………………………… Koloni ……………………………………………………....................... Tipe kawin ……………………………………………………………… Karakter molekuler isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao …… Amplifikasi ruas ITS-DNA …………………………………………….. Perunutan DNA ITS P. palmivora …………………………………… Keragaman genetik isolat P. palmivora berdasarkan ruas ITS-DNA … Keragaman Genetik isolat P. palmivora berdasarkan RAPD ………… Analisis filogenetik isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao … Virulensi dan patogenisitas ……………………………………………..
39 40 42 42 46 47 49 51 51 51 55 56 58 60
V PEMBAHASAN ……………………………………………………….
64
VI SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………….
75
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
77
DAFTAR TABEL Halaman 1 Campuran reaksi amplifikasi ITS-DNAdengan teknik PC……………..
31
2 Nomor asesi, inang, lokasi geografi dan kode isolat sekuen DNA- ITS P. palmivora pada GeneBank dan koleksi isolat dalam penelitian...........................
33
3 Jenis primer dan susunan basa yang digunakan dalam reaksi implifikasi (Invitrogen Live Technologies) ..................................................................
34
4 Kriteria penentuan tingkat virulensi isolat P. Palmivora pada penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao ................................................. 38 5 Gugur buah kelapa dan busuk buah kakao pada beberapa lokasi perkebunan …………………... 40 6 Koleksi Isolat P. Palmivora asal kelapa dan asal kakao yang digunakan dalam penelitian …………………………………………………………. 41 7 Bentuk sporangium, papila, pedikel, caducous, dan percabangan sporangium P. palmivora .......................................................................... 44 8 Ukuran panjang, lebar, dan rasio P/L sporangium, dan diameter koloni isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao .......................................... 45 9 Tipe kawin isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao .......................
50
10 Jenis primer, susunan basa, total pita dan pita polimorfik isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao ……………………………….......
57
11 Rataan periode laten, keparahan Penyakit dan laju perkembangan penyakit Isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao pada kelapa tahan (GSK), kelapa rentan (GKN) dan kakao ………………………… 61 12 Tingkat virulensi 22 isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao ........
63
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Konidiosporangium dari Phytophthora…………………………………
4
2 Penyakit busuk buah (black pod) pada kakao : di pohon (A) , di tanah (B)…………………………………………..…….………………….....
9
3 P. palmivora : Sporangium (A) dan klamidospora (B) .………….……
14
4 Anteridium paragynous dari Phytium (A), anteridium amphigynous dari P. cambivora (B)…………………………………………………...
15
5 Siklus hidup P. palmivora ….…………………………………....……..
16
6 Gen yang mengkode subunit ribosomal RNA..........................................
19
7 Alur penelitian keragaman genetik dan virulensi P. palmivora asal kelapa dan asal kakao ………………………………………………...... 24 8 Buah kelapa yang diduga terserang penyakit gugur buah (A) dan buah kakao yang terserang penyakit busuk buah (B) ..……………………….
25
9 Koloni P. palmivora yang diisolasi dari jaringan sakit ………………...
25
10 Metode pemancingan P. palmivora buah kelapa GKN sehat (A), wadah berisi tanah (B), buah yang terinfeksi (C) ……………………...
26
11 Proses produksi zoospora tunggal P. palmivora………………………
27
12 Cara menentukan titik panjang dan lebar sporangium P. palmivora….
28
13 Pengamatan tipe kawin P. palmivora......................................................
29
14 Buah kelapa dan kakao yang diinokulasi dengan inokulum P. palmivora……………………………………………………………….
35
15 Cara pengukuran luas bercak……………………………………………
36
16 Bentuk sporangium P. palmivora isolat asal kelapa dan asal kakao : (1) globose, (2) obturbinate, (3) ovoid, (4) ellipsoid, (5) limoniform ...........
43
17 Bentuk sporangium P. palmivora dengan papila yang menonjol.............
43
18 Rata-rata panjang dan lebar sporangium isolat P. palmivora populasi asal kelapa dan populasi asal kakao .........................................................
46
19 Bentuk klamidopora P. palmivora: Globose & terminate (A) subglobose & intercalary (B)...................................................................
46
20 Tipe Koloni P. palmivora : Rossaceous (A),.(1-5) P05KoKlwgJT, P02KoKlTgJT, P19KoPglSU, P06KoKlwgJT, P09KoKlkptJT, Cottony (B), (6-7) P44KpByASU, P46KpByASU, Stelate (C) (8-22) P35KpMrwSU, P34KpMrwSU, P04KoTrbslJT, P61KoSLorJT, P40KoMpySU, P22KoMrwSU, P53KpTuSU, P58KpSdkSU, P42KpHbGrto, P43KpKdGrto, P51KpSkjtiJT, P41KpHbGrto, P52KpTuSU, P12KpMpgSU, P13KpMpgSU…………………………………………………………..……
47
21 Rata-rata diameter koloni populasi isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao .... ............................................................................................
49
22 Oogonium globose (A), oospora (B) dan anteridium amphigynous P. palmivora………………………………………………………………..
50
23 Hasil amplifikasi ruas ITS-DNA beberapa isolat P. palmivora menggunakan sepasang primer ITS 4F dan ITS 5R. Lajur 1 Penanda DNA 1 kb DNA ladder (Invitrogen), lajur 2 isolat kakao (P22KoMrwSU) , lajur 3 isolat kakao (P40KoMpySU), lajur 4 isolat kelapa (P44KpByASU) dan lajur 5 isolat kelapa (P53KpTuSU) ...................................................................................................................
51
24 Perbandingan hasil perunutan DNA P. palmivora isolat asal kelapa (P53KpTuSU) dan dua isolat asal kakao (P22KoMrwSU, dan P40KoMpySU ) dari Indonesia dan P. palmivora dari GeneBank..................................................................................................
52
25 Dendrogram isolat-isolat P. palmivora asal Indonesia (P53KpTuSU, P22KoMrwSU, P40KoMpySU) terhadap isolat P. palmivora dari lokasi geografi lain yang ada di GeneBank (Ghana, Taiwan, Puerto Rico, dan Costa Rica) berdasarkan analisis urutan ITS-DNA menggunakan program ClustalW 1.83………………………………………………………….……
55
26 Pola pita isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao hasil amplifikasi menggunakan primer OPA-11. 1) Marker 1 kb (Invitrogen), 2-23) isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao…………............
57
27 Dendrogram isolat P. palmivora asal kelapa berdasarkan RAPD……...
58
28 Dendrogram isolat P. palmivora asal kakao berdasarkan RAPD………
59
29 Dendrogram isolat P. palmivora asal kelapa dan kakao………………...
60
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman kelapa dan kakao memiliki arti ekonomi yang sangat penting karena merupakan sumber pendapatan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Data statistik perkebunan tahun 2006 menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2005 luas pertanaman kelapa di Indonesia sekitar 3.8 juta ha dengan produksi 3.096.845 ton. Dari luas pertanaman kelapa tersebut, sekitar 97% diusahakan sebagai perkebunan rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia dengan melibatkan 7 404 284 keluarga tani (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006a), sedangkan luas pertanaman kakao sebesar 1.167.046 ha dengan
produksi kakao mencapai 748 827 ton
(Direktorat Jenderal Perkebunan 2006b). Di Sulawesi Utara, tanaman kelapa merupakan tanaman andalan dalam sektor perkebunan. Banyak petani menjadikan tanaman ini sebagai sumber pendapatan utama keluarga. Dalam upaya meningkatkan pendapatan petani di Sulawesi Utara, maka tahun 1993 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan melakukan diversifikasi lahan dengan tumpangsari kakao di bawah kelapa. Hal ini dimungkinkan karena di dalam budidayanya kakao membutuhkan naungan. Disamping itu umumnya tanaman kelapa di Sulawesi Utara adalah kelapa Dalam yang telah berumur di atas 25 tahun dengan rata-rata tinggi tanaman telah mencapai 10-27 m dari permukaan tanah, sehingga dengan jarak tanam 7 m x 7 m memungkinkan ditumpangsarikan dengan kakao. Gomes dan Gomes (1983) melaporkan bahwa efisiensi budidaya kakao di bawah tanaman kelapa sebenarnya merupakan langkah pemanfaatan sumber daya lahan dan energi matahari karena penyebaran terluas akar tanaman kelapa tua (umur > 20 tahun) hanya mencapai radius 2 m di sekitar pohon. Pada radius 2 m tersebut penyebaran akar kelapa berkisar pada 76-85%. Di luar batas itu lahan dapat dimanfaatkan oleh spesies tanaman lain yang tentunya toleran terhadap penaungan. Berdasarkan kajian ekonomis Prawoto et al. (2001) diketahui bahwa tumpangsari kelapa dengan kakao jauh lebih menguntungkan dari pada monokultur kakao. Oleh karena itu kebijakan pemanfaatan lahan dibawah tanaman kelapa
untuk pertanaman kakao
dinilai sangat tepat. Kebijakan tersebut dapat
mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda karena dapat
melakukan
intensifikasi
lahan sehingga sekaligus memperoleh tambahan
keuntungan
ekonomi yang
lebih besar dibandingkan dengan hasil
monokultur
tanaman
kelapa atau kakao. Namun dari sudut pandang epidemik penyakit, tumpang sari kakao di bawah tanaman kelapa mungkin akan terhambat oleh adanya penyakit penting yang disebabkan oleh patogen yang sama yang menyerang baik pada tanaman kelapa maupun tanaman kakao, yaitu Phytophthora spp. Pada tanaman kelapa P. palmivora menyebabkan penyakit gugur buah dan busuk pucuk sedangkan pada tanaman kakao patogen yang sama menyebabkan penyakit busuk buah, kanker batang, dan bercak daun. Penyakit tersebut merupakan penyakit yang sangat merugikan bagi tanaman kelapa maupun tanaman kakao. Satu pertanyaan muncul : patogen P. palmivora menyerang terlebih dahulu tanaman kelapa atau tanaman kakao. Di Indonesia, tanaman kelapa pertama kali ditemukan oleh Marcopolo pada tahun 1292, namun adanya budidaya tanaman kelapa baru dilaporkan pada tahun 1880 di Minahasa (Sulawesi Utara) (Reyne 1948). Serangan penyakit gugur buah pada tanaman kelapa tidak pernah dilaporkan hingga masuknya kelapa Hibrida PB121 ke Indonesia. Pada tahun 1984 dilaporkan adanya epidemik penyakit busuk pucuk yang diikuti dengan gugur buah yang terjadi
di lokasi demonstrasi plot kelapa Hibrida PB 121 di Desa Pandu
(Sulawesi Utara). Di tahun yang sama juga dilaporkan epidemik penyakit gugur buah pada populasi Kelapa Genjah Kuning Nias (GKN) di kebun Percobaan Balitka Desa Paniki (Sulawesi Utara) (Bennett et al. 1985). Tanaman kakao
diperkenalkan oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di
Minahasa (Sulawesi Utara) (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 2004). Di Sumatera Utara, pada tahun 1940-1970 merupakan areal pertanaman kakao. Pada masa itu belum pernah ada laporan mengenai epidemik penyakit busuk buah. Penyakit busuk buah mulai dilaporkan sebagai masalah pada budidaya kakao pada tahun 1971 setelah masuknya kakao lindak (Uper Amazone Hybrid) (Parnata 1983). Genus Phytophthora terdiri dari beberapa spesies yang dapat menyebabkan penyakit
gugur buah dan busuk pucuk pada tanaman kelapa. Sedangkan pada
tanaman kakao patogen yang sama dapat menyebabkan penyakit busuk buah, kanker batang, dan bercak daun. Bennett et al. (1985) merupakan pelapor pertama
terjadinya epidemik penyakit gugur buah yang disebabkan oleh P. palmivora pada tanaman kelapa populasi Genjah Kuning Nias (GKN) di Kebun Induk Paniki, Sulawesi Utara. Hall dan Warokka (1992) melaporkan P. katsurae sebagai patogen gugur buah kelapa di Pantai Gading (Cote-d’Ivoire) sedangkan Garcia dan Blaha (1992) melaporkan P. nicotianae dan P. arecae penyebab penyakit gugur buah kelapa di Indonesia. Kedua peneliti ini, membedakan isolat P. palmivora tipe lambat (slow type) berdasarkan pola pita enzim phosphoglucose isomerase (PGI). Pada tanaman kakao dilaporkan P. megakarya merupakan spesies yang paling agresif di Afrika Barat (Griffin 1977), sedangkan P. capsici merupakan spesies yang dominan di Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Caribbean, dan
P.
citrophthora dominan di Brazil (Campello & Luz 1981) dan di India (Chowdappa & ChandraMohanan 1996). Franquevielle & Kouassi (1992) melaporkan bahwa di Pantai Gading, Afrika Barat penyakit gugur buah pada tanaman kelapa menyebabkan kehilangan hasil sebesar 30-40%. Di kebun koleksi Mapanget Sulawesi Utara, penyakit ini menyebabkan kehilangan hasil sebesar 23.6 - 25% pada populasi kelapa Genjah Kuning Nias (GKN) (Mangindaan et al. 1992). Sedangkan pada tanaman kakao di areal pertumbuhan yang beriklim basah dan lahan basah, penyakit busuk buah dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 10 - 90%
(Opeke & Gorenz 1974).
Di Papua New Guinea, penyakit ini dapat menyebabkan kehilangan produksi kakao hingga 40% per tahun (Hicks 1975). Keberadaan beberapa spesies Phytophthora pada kelapa dan kakao dapat menimbulkan epidemik penyakit yang sangat merugikan. Epidemik penyakit akan meluas dengan cepat karena beberapa spesies Phytophthora dapat melakukan kariogami antar spesies, sehingga dikuatirkan akan menyebabkan muculnya genotipe baru yang lebih virulen dari spesies asalnya. Fenomena terjadinya kariogami antar spesies Phytophthora di laboratorium melalui fusi zoospora dari P. capsici dan P. nicotianae telah dilaporkan oleh Silvar et al. (2006). Pada tumpangsari tanaman kelapa dan kakao,
kejadian dan keparahan
penyakit yang disebabkan oleh patogen ini akan
lebih sulit dikendalikan
dibandingkan dengan pertanaman monokultur, karena
populasi inokulum awal
patogen
selalu tinggi. Sumber inokulum selain dari tanah terdapat juga pada
bagian pucuk dan buah kelapa serta batang dan buah kakao yang terinfeksi.
Pengendalian penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao semakin sulit karena patogen merupakan patogen tular tanah yang dapat disebarkan melalui angin, percikan air hujan dan dapat terbawa oleh serangga atau alat pertanian. Selain itu, kestabilan genetik
Phytophthora diketahui sangat labil
karena
kemungkinan terjadinya variasi genetik sangat tinggi sehingga tingkat virulensi patogen sangat beragam di areal pertanaman kelapa dan kakao. Berdasarkan hasil analisis RAPD, Motulo et al. (2004) melaporkan bahwa kemiripan genetik isolat P. palmivora asal kelapa mencapai 40.6% dengan virulensi dari avirulen hingga virulen. Sumber variasi genetik melalui mutasi, rekombinasi mitotik, paraseksual, interspesifik,
dapat terjadi dan persilangan
antar ras (Whissom et al. (1994), Goodwin (1997)). Penyebaran penyakit selain didukung oleh kondisi iklim, juga ditentukan oleh karakter struktur morfologi patogen seperti miselium, sporangium, klamidospora, zoospora, dan oospora. Miselium P. palmivora yang mengandung banyak sporangium ditemukan pada permukaan kulit buah. Sporangium patogen ini dapat langsung berkecambah membentuk hifa, oleh karena itu kemudian dinamakan konidiosporangium (Gambar 1).
Gambar 1 Konidiosporangium dari Phytophthora (Hefler et al. (2002). Keterangan : tanda panah adalah kecambah sporangium Konidiosporangium merupakan propagul utama Phytophthora spp. untuk penyebaran inokulum. Propagul tersebut mudah disebarkan oleh angin dan percikan air hujan. Konidiosporangium ditemukan pada
kulit buah kakao
terinfeksi yang telah tertumpuk lebih dari tiga bulan (Anonimous 1996). Pada tanaman kelapa, buah yang jatuh akan terinfeksi
P. palmivora dari tanah dan
dapat bertahan sampai empat bulan. Buah kelapa maupun buah kakao yang
terinfeksi dan masih berada di pohon merupakan sumber inokulum yang berkesinambungan. Patogen ini dapat membentuk struktur klamidospora yang mampu bertahan sampai puluhan tahun. Selama periode musim hujan klamidospora di dalam tanah akan berkecambah untuk menghasilkan miselium, sporangium dan melepaskan zoospora. Zoospora dapat tersebar ke udara dengan bantuan percikan air hujan, dan dapat bertahan
15 menit sampai 24 jam dalam percikan air hujan sambil
disebarkan oleh angin sehingga dapat menjadi sumber inokulum untuk buah yang sehat (Anonimous 2007b). Selain klamidospora dan sporangium P. palmivora menghasilkan spora seksual (oospora) karena mampu membentuk anteridium (gamet jantan) dan oogonium (gamet betina), sehingga fusi antara keduanya akan menghasilkan oospora. Keberadaan dua tipe kawin tersebut dalam satu area bukan saja dapat membentuk struktur bertahan tetapi juga dapat menciptakan genotipe rekombinan baru yang lebih virulen, spesifik inang atau tahan terhadap fungisida (Legard et al. 1995 ; Gisi & Cohen 1995; Goodwin et al. 1995). Di Indonesia tipe kawin A1 dan A2 dari isolat-isolat P. palmivora pada tanaman kelapa ditemukan pada buah kelapa yang terserang gugur buah, pucuk,
busuk
dan sampel tanah di bawah pohon kelapa (Warokka & Thevenin 1992).
Sedangkan pada tanaman kakao kedua tipe kawin A1 dan A2
ditemukan pada
buah yang terserang penyakit busuk buah yang didominasi oleh tipe A2 (Zentmyer et al. 1968). Selama ini di lapangan belum pernah ditemukan oospora pada tanaman kelapa maupun kakao, meskipun pada percobaan in vitro dengan memasangkan koloni tipe A1 dan A2 di laboratorium bisa menghasilkan oospora. Dengan
adanya karakter P. palmivora yang berpotensi
membentuk
keragaman genetik yang tinggi maka kekuatiran akan terjadinya epidemik gugur buah kelapa dan busuk buah kakao tentunya tidak berlebihan. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi spesies dari isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao di sentra produksi. Selain itu perlu dikaji keragaman isolat, virulensi, dan inokulasi silang antar isolat pada sentra produksi kelapa dan kakao serta tumpangsarinya.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis perbedaan karakter morfologi, dan runutan ITS-DNA
isolat
P. palmivora asal kelapa dan asal kakao pada pola tanam monokultur kelapa dan monokultur kakao serta tumpangsari kelapa-kakao. 2. Menganalisis keragaman DNA isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao berdasarkan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) 3. Menganalisis virulensi dan terjadinya inokulasi silang antar isolat P. palmivora asal kelapa ke buah kakao atau dari isolat P. palmivora asal kakao ke buah kelapa pada pola tanam monokultur kelapa dan monokultur kakao serta tumpangsari kelapa-kakao.
II. TINJAUAN PUSTAKA Penyakit pada tanaman kelapa Beberapa penyakit penting yang menyebabkan penurunan produksi kelapa di Indonesia adalah penyakit busuk pucuk, gugur buah, bercak daun pendarahan batang, dan berbagai penyakit layu yang disebabkan oleh fitoplasma (Bennett et al. 1985 ; Warokka et al. 2006). Penyakit busuk pucuk dan gugur buah merupakan penyakit yang sampai saat ini masih meresahkan petani kelapa. Di Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh beberapa spesies Phytophthora yaitu P. palmivora, P. nicotianae, dan P. arecae (Bennett et al. 1986 ; Hall & Warokka 1992). P. palmivora,
dan P. arecae dapat diisolasi dari bagian pucuk
tanaman dan buah kelapa di atas pohon. Sedangkan P. nicotianae
umumnya
dijumpai pada isolat-isolat dari tanah atau buah yang jatuh di tanah (Hall & Warokka 1992). Di Pantai Gading (Afrika Barat) penyakit yang sama disebabkan oleh P. heveae ( Quillec et al. 1984), di Jamaica, Philipines dan Hawaii penyakit ini disebabkan oleh P. katsurae, (Steer & Coates-Beckford 1990 ; Uchida & Aragaki 1992). Pada pertanaman kelapa di Indonesia, penyakit busuk pucuk dan gugur buah menyerang tanaman kelapa hibrida PB121 dan kelapa induk GKN. Bahkan di Sulawesi Utara saat ini penyakit telah menyerang kelapa Dalam Lokal, yang sebelumnya varietas tersebut tergolong tahan terhadap penyakit busuk pucuk. Di Pantai Gading (Afrika Barat) kedua penyakit ini menyerang kelapa West African Tall (WAT) dan kelapa Hibrida PB 121 (Malayan Yellow Dwarf X West African Tall) (Quillec & Renard (1984). Di Filipina, penyakit ini menyerang kelapa Hibrida MAWA (Malayan Yellow Dwarf X West African Tall) (Concibido 2004). Kehilangan tanaman yang mati akibat penyakit busuk pucuk pada kultivar kelapa yang rentan dapat mencapai 50% setiap tahun. Sedangkan penyakit gugur buah menyebabkan kehilangan produksi 15-30% per pohon dan dapat mencapai 75% pada musim hujan (Renard 1992). Penyakit gugur buah menyerang buah kelapa umur 3-4 bulan (Kharie et al. 1992) dan kehilangan hasil dapat mencapai 4.2-34.4% pada kultivar kelapa hibrida PB 121(Renard & Darwis 1992). Gejala serangan penyakit busuk pucuk dimulai dari daun tombak. Daun tombak mulai terkulai dan anak daun akan berubah warna menjadi kuning
kecoklatan. Selanjutnya daun tombak akan mengering yang diikuti oleh daun-daun di bagian bawah. Apabila tanaman ditebang dan diamati bagian pucuknya akan terlihat jaringan bagian pucuk yang lembek dan berbau busuk yang sangat tajam. Pada gejala lanjut daun tombak akan mengering yang diikuti dengan layunya seluruh daun dalam waktu 10-12 bulan.
Gejala serangan pada buah yang
terserang penyakit gugur buah dimulai dengan terlihatnya warna coklat yang dibatasi oleh warna hijau kekuningan pada bagian epikarp. Dalam beberapa hari bercak akan meluas dan permukaan buah akan ditutupi dengan miselium yang berwarna putih. Miselium tersebut mengandung sporangium dan zoospora. Jika ada air, sporangium dapat pecah dan melepaskan zoospora yang merupakan inokulum baru yang berpotensi untuk menginfeksi
buah-buah lainnya. Bercak
pada buah terus berkembang sampai pada daerah basal dan apikal buah kelapa. Pada serangan yang parah tanaman membentuk lapisan absisi pada bagian pangkal buah sehingga buah lepas dari tangkainya (Thevenin et al. 1992). Patogen dapat menyebar melalui percikan air hujan atau angin, serangga dan alat-alat pertanian.
Hasil penelitian Thevenin (1992) menunjukkan bahwa
percikan air hujan dari tanah sampai ketinggian 75 cm
masih mengandung
propagul P. palmivora. Jumlah propagul P. palmivora lebih banyak pada percikan air hujan dengan ketinggian 25 cm dibandingkan 50 cm dan 75 cm. Patogen juga dapat menyebar dengan bantuan hama tanaman kelapa Oryctes rhinocerous dan Plesispa sp. O. rhinocerous dan Plesispa sp. yang dikurung dalam cawan petri yang mengandung miselium dan sporangium P. palmivora kemudian dipindahkan ke permukaan buah kelapa sehat maka buah tersebut akan terinfeksi dengan P. palmivora (Thevenin 1994). Penyakit pada tanaman kakao Beberapa penyakit penting yang menyebabkan penurunan produksi pada tanaman kakao adalah penyakit busuk buah, kanker batang, busuk akar dan bercak daun. Penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phytophthora merupakan penyakit yang paling banyak menyerang buah kakao di dunia dan menyebabkan kerugian yang cukup tinggi (Gambar 2).
AA
B B
Gambar 2 Penyakit busuk buah (black pod) pada kakao : di pohon (A), di tanah (B) (Anonimous 2007a). Keterangan:tanda panah menunjukkan busuk buah. Secara umum penyakit ini menyebabkan penurunan hasil sebesar 20-30% pada pertanaman kakao dunia. Di Samoa Barat, penyakit busuk buah menyebabkan kehilangan hasil sebesar 60-80% terutama pada tahun-tahun yang curah hujannya tinggi (Keane 1992), di Papua New Guinea menyebabkan kehilangan hasil sebesar 17% (Holderness 1992) dan di Mexico menyebabkan kehilangan hasil hingga 80% (Rochas 1965). Penyakit busuk buah kakao pertama kali dilaporkan tahun 1833 di Sri Lanka. Penyakit ini sebelumnya diketahui disebabkan oleh P. omnivora (Masse 1899), kemudian diketahui disebabkan oleh Pythium palmivorum (Butler 1907). Selanjutnya patogen tersebut
diganti namanya oleh Butler (1919) menjadi P.
palmivora (Butler). P. palmivora mempunyai kisaran inang yang sangat luas. Beberapa spesies Phytophthora telah diisolasi dari buah kakao yang terserang penyakit busuk buah. Spesies-spesies tersebut adalah P. megakarya di Nigeria, P. capsici di Mexico, Venezuela dan Kamerun, serta P. megasperma di Venezuela (Zentmeyer 1987). Umumnya patogen yang menyerang kakao adalah P. palmivora dan sebagian lagi
P. megakarya dan P. citrophthora (Brasier dan
Griffin 1979). Selanjutnya isolat P. palmivora yang berasal dari Afrika Barat diidentifikasi
mempunyai tiga bentuk morfologi
yaitu : morphological form
(MF)-1 adalah P. palmivora (Waterhouse 1974), MF3 P. megakarya (Griffin 1977, Brasier & Griffin 1979), dan MF-4 Pengelompokkan
P. capsici (Tsao & Alizadeh 1988).
menurut morphological form (MF)1, MF3, dan MF4
berdasarkan panjang pedikel (Zentmyer et al. 1977) , ukuran dan jumlah kromosom (Sansome et al. 1975) serta bentuk morfologi sporangium dan oogonium (Brasier et al. 1981).
Buah kakao merupakan bagian yang sangat rentan terhadap penyakit busuk buah terutama pada buah yang belum matang. Patogen dapat menginfeksi semua bagian permukaan buah, tetapi yang paling rentan adalah bagian pangkal buah. Jika buah sudah terinfeksi P. palmivora maka permukaan buah akan menunjukkan warna coklat kehitaman dan akan menyebar
menutupi permukaan buah. Jika
kelembaban sesuai maka seluruh permukaan buah akan ditutupi miselium yang berwarna putih dan mengandung sporangium. Sumber inokulum P. palmivora dapat berasal dari akar, batang, dan alatalat pertanian yang digunakan dalam proses panen. Pada akar dan batang yang terinfeksi dengan P. palmivora
dalam keadaan tersedia air akan membentuk
sporangium yang mengandung zoospora dan merupakan sumber inokulum yang potensial. Alat-alat pertanian seperti parang dan gunting stek yang digunakan pada tanaman yang terserang penyakit busuk buah dapat menyebarkan propagul P. palmivora jika digunakan pada tanaman sehat. Hujan yang disertai dengan angin dapat juga menjadi perantara bagi penyebaran penyakit busuk buah kakao pada tanaman kakao lainnya. Penyebaran inokulum dapat mencapai ketinggian empat meter. Semut dan tikus dapat menyebarkan sporangium, miselium, dan zoospora dari P. palmivora. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa semut (Anoplolepsis longipes) dapat menyebarkan inokulum tetapi di lapangan tidak menunjukkan adanya peningkatan kejadian penyakit busuk buah kakao. Di Papua New Guinea golongan rayap (Technomyrmex albipes) dapat menyebarkan inokulum dan juga meningkatkan jumlah buah yang terserang penyakit busuk buah (McGregor & Moxon 1985). Pola tanam tumpangsari kelapa-kakao Karakteristik tanaman kelapa yang memiliki tinggi tanaman 10-27 meter ternyata berpotensi sebagai tanaman penaung pada tanaman kakao. Kajian agronomis dan ekonomis dari pemanfaatan tanaman kelapa sebagai penaung tanaman kakao ternyata dapat meningkatkan pendapatan petani dibandingkan dengan pola monokultur tanaman kelapa atau kakao. Berdasarkan kajian ekonomis tumpangsari kakao-kelapa jauh lebih menguntungkan dari pada kakao monokultur. Dengan populasi kelapa 123 pohon/ha maka potensi tambahan pendapatan dari hasil kelapa buah sekitar 7.380
butir/tahun atau mencapai harga sekitar Rp 5 667 900 dan bila dipanen nira dengan sistim bagi hasil 1:1, hasil gula yang menjadi bagian pekebun sekitar 13.759 kg gula/ha/tahun atau senilai Rp 28 659 997. Dengan demikian pola tanam kelapakakao jauh lebih menguntungkan dari pada pola monokultur kakao (Prawoto et al. (2001). Menurut Osei-Bonsu et al. (2002) tanaman kakao yang menggunakan penaung Gliricidia sepium mengalami stres kelembaban lebih tinggi dibandingkan dengan penaung kelapa sehingga produksi buah kakao lebih rendah pada kakao berpenaung G. sepium dari pada berpenaung kelapa. Hasil panen kelapa maupun kakao lebih menguntungkan pada pola tanam tumpangsari kelapa-kakao dari pada G. sepium –kakao. Persaingan unsur hara pada pola tanam tumpangsari kelapa-kakao tidak mempengaruhi produksi asalkan jarak tanam kelapa 9 m x 9 m dan jarak tanam kakao diantara kelapa sebesar 3 m x 3 m. Jarak tanam kelapa 9 m x 9 m dan umur tanaman lebih dari 20 tahun, akar tanaman terkonsentrasi pada radius 2 m. Sedangkan dengan jarak tanam kakao 3 m x 3 m pada umur tanaman 13, tahun akar tanaman terkonsentrasi pada radius 2,1 m. Dengan jarak tanam tersebut tidak terjadi persaingan unsur hara. Sistematika Phytophthora spp. Awalnya Phytophthora
yang tergolong dalam kelas Oomycetes
dimasukkan dalam kelompok alga (Pringsheim 1858)
karena beberapa sifat yang
dimiliki oleh kelas Oomycetes seperti menyerap nutrisi dan mempunyai miselium maka para ahli penyakit memasukkannya dalam kelompok cendawan. Selanjutnya Kreisel (1969) dan Shaffer (1975) mengeluarkan Oomycetes dari cendawan dan mengelompokkan kembali ke dalam alga. Saat ini Oomycetes digolongkan dalam Kingdom Stramenopila atau Chromista berdasarkan sifat yang dimiliki oleh zoospora yang mempunyai dua jenis flagela (Patterson & Sogin 1992). Menurut Rossman & Palm (2006), beberapa sifat yang membedakan kelas Oomycetes dari cendawan yaitu semua genus dari kelas Oomycetes memiliki fase sexual yang menghasilkan oospora, sedangkan cendawan tidak memiliki oospora tetapi zigospora, basidiospora, dan askospora. Miselium Oomycetes adalah diploid sedangkan cendawan adalah haploid atau dikariotik. Sifat yang lain dari kelas Oomycetes adalah dinding sel terdiri dari ß-glukan dan selulosa sedangkan
cendawan mengandung kitin. Krista mitokondria Oomycetes berbentuk silinder sedangkan cendawan berbentuk datar. Selanjutnya kelas Oomycetes memiliki zoospora dengan dua flagela yaitu: tinsel dan whiplash sedangkan cendawan, jika memiliki flagela hanya terdiri dari whiplash flagella. Menurut Alexopoulos et al. (1996) sistematika P. palmivora adalah : Kingdom
: Stramenopila
Filum
: Heterokontophyta
Class
: Oomycetes
Ordo
: Peronosporales
Famili
: Pythiaceae
Genus
: Phytophthora
Spesies
: P. palmivora Identifikasi Phytophthora
Identifikasi spesies P. palmivora adalah salah satu langkah awal yang harus dilakukan untuk mendapatkan metode pengendalian. Sampai saat ini identifikasi secara konvensional seperti pengamatan morfologi masih digunakan. Waterhouse (1963)
mengidentifikasikan Phytophthora
berdasarkan karakter morfologi
sebagai berikut : 1. Tipe anteridium : amphygenous atau paragynous, dan pembentukkan oospora secara homotalik atau heterotalik. 2. Bentuk, ukuran, dan rasio panjang/lebar dari sporangium. Ada atau tidak ada papila pada sporangium. 3. Ada atau tidak ada sifat sporangium yang mudah lepas dari tangkai sporangium (caducity) dan panjang pedikel. 4. Proliferasi sporangium. 5. Tipe percabangan. 6. Ada atau tidak ada klamidospora. 7. Ada atau tidak ada pembengkakan hifa. 8. Suhu maksimum untuk pertumbuhan. Selain itu, tipe koloni dan diameter koloni merupakan karakter yang penting dalam mengidentifikasi Phytophthora.
Identifikasi dan karakterisasi Phytophthora terutama
menggunakan
karakter morfologi seringkali bersifat subjektif dan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman seseorang, karena beberapa karakter saling tumpang tindih antar spesies. Identifikasi Phytophthora sampai pada tingkat spesies masih mungkin dilakukan melalui aspek-aspek morfologi. Tetapi kaitannya dengan perbedaan ras dan virulensi selain dilihat dengan kemampuan menginfeksi juga lebih akurat dengan menggunakan teknologi molekuler seperti penanda RFLP dan hibridisasi DNA. Pendekatan secara molekuler menyediakan metode yang akurat untuk mengidentifikasi dan mendeteksi suatu patogen, serta mendeteksi terjadinya variasi antar spesies pada tingkat perubahan satu basa (Schlik et al. 1994). Dalam kunci identifikasi Stamp et al. (1990) P. nicotianae var. parasitica berbeda secara morfologi dengan P. nicotianae var. nicotianae namun berdasarkan penanda DNA dan isozim diketahui kedua ras P. nicotianae tidak berbeda (Panabieres et al. 1989). Oleh karena itu penanda molekuler dikembangkan untuk menganalisis variasi dalam populasi ataupun mengidentifikasi isolat. Variasi molekuler di dalam spesies
banyak dilaporkan oleh ahli-ahli fitopatologi (Sreenivasaprasad et al.
1992; Silvar et al. 2006).
Biologi P. palmivora Secara umum Phytophthora spp. mempunyai ciri-ciri yang istimewa dibandingkan dengan cendawan tingkat tinggi. Seluruh kehidupan Phytophthora adalah diploid, dinding selnya terdiri atas selulosa dan β 1,3-glucan (BarnickiGarcia & Wang 1983). Phytophthora spp. tidak menghasilkan sterol
tetapi
memerlukan β-hidroksi sterol untuk sporulasinya (Elliot 1983). Selain itu organisme ini tahan terhadap antibiotik seperti pimaricin. Menurut Stamps et al. (1990)
P. palmivora dikelompokan ke dalam kelompok II yang telah
dideskripsikan secara lebih rinci oleh Waterhouse (1970) dan Stamps (1985). Miseliumnya tidak bersepta, tumbuh menembus ke dalam sel-sel tanaman inang dan membentuk haustorium untuk mengabsorbsi nutrisi. Bentuk sporangium sangat beragam bergantung kepada tiap isolat tetapi umumnya berbentuk lonjong sampai bulat. Sebanyak 20 sporangium dapat dihasilkan dalam satu tangkai sporangium. Sporangium bersifat mudah lepas dari tangkai (caducity) dan setelah sporangium terpisah terlihat tangkai spora atau pedikel yang sangat pendek
berukuran 5 µm. Panjang sporangium berkisar 40-60 µm dan lebar 25-40 µm serta ratio panjang lebar adalah 1.4-2 (Holiday 1980). Bentuk sporangium, klamidospora dan miselium P. palmivora ditampilkan dalam Gambar 3. Satu sporangium mengandung 10-40 zoospora yang berflagela dan akan dilepaskan apabila diinkubasikan dalam air (Holliday 1980). Kemudian zoospora akan melepaskan flagela yang berubah menjadi kista dan berkecambah membentuk tabung kecambah. Zoospora merupakan salah satu inokulum penting bagi penyebaran penyakit. Selain zoospora dan sporangium Phytophthora juga membentuk klamidospora yang terletak di ujung atau di tengah miselium. Klamidospora berbentuk globose sampai ke subglobose, terletak interkalari pada miselium dengan diameter berukuran 32-42 µm (Mchau & Coffey 1994). P. palmivora membentuk oogonium dan anteridium secara alami atau buatan. Oogonium dibentuk secara lateral atau terminal berdinding tipis dan tidak berwarna waktu masih muda. Setelah matang oogonium akan berdinding tebal dan berwarna coklat keemasan. Anteridium juga dibentuk secara lateral atau terminal, berdinding tipis, tidak berwarna pada waktu muda tetapi akan berwarna kuning hingga coklat keemasan apabila telah matang. Pada kelas Oomycetes terdapat dua tipe anteridiun yaitu amphigynous dan paragynous . Jika posisi anteridum berada
B
A A
B
Gambar 3 P. palmivora : Sporangium (A) dan klamidospora (B) (Koleksi foto pribadi).
disamping oogonium dinamakan paragynous anteridium dan jika posisi anteridium terlihat mengapit
pada bagian basal oogonium disebut amphigynous anteridium
(Gambar 4). A
B
Gambar 4 Anteridium paragynous dari Phytium (A), anteridium amphigynous dari P. cambivora (B) (Hefler et al. 2002). Keterangan : tanda panah menunjukkan anteridium. Apabila oogonium dan anteridium dari P. palmivora berpasangan
maka
terjadi fertilisasi antara kedua tipe kawin tersebut sehingga terbentuk oospora (Brassier & Griffin 1979). Secara in vitro oospora dibentuk pada suhu rendah (20oC) dalam keadaan gelap dan nutrisi yang sesuai. Pada keadaan alami, oospora dibentuk pada jaringan berkayu atau sisa-sisa tanaman yang terhindar dari cahaya Perkembangan siklus hidup asexual maupun sexual P. palmivora ditampilkan dalam Gambar 5. Keragaman antar spesies Phytophthora P. palmivora tipe A2 biasanya diisolasi dari buah kakao, sedangkan tipe A1 diisolasi dari pucuk kelapa dan batang karet. Pada kakao kedua tipe kawin A1 dan A2 ditemukan, dengan A2 merupakan isolat yang dominan. Di Afrika Barat P. megakarya tipe A1 yang menjadi predominan pada buah kakao, sedangkan tipe A2 sejauh ini hanya ditemukan pada buah kakao di Kamerun. Dari 70 isolat P. palmivora yang dikoleksi oleh Appiah et al. (2003) dari pertanaman kakao di seluruh dunia hanya
16 isolat tipe A1 sedangkan yang lainnya adalah tipe A2.
Sebaliknya P. palmivora yang dikoleksi dari inang di luar kakao terdapat 19 tipe A1 dari 29 isolat. Oospora hampir belum pernah ditemukan di lapang, namun oospora bisa didapatkan jika tipe kawin A1 dan A2 dipasangkan secara in vitro pada media V8.
Sporangium Perkecambahan sporangium
Perkecambahan sporangium
Zoospora
Zoospora Oospora
Pembentukan kista
Pembentukan kista Kariogami
Percabangan sporangium
Percabangan sporangium
Gamet A
Gamet a
Plasmogami
Oogonium Anteridium Perkecambahan
Perkecambahan
Meiosis Anteridium
Miselium
Miselium
Oogonium
Gametangium
Gambar 5 Siklus hidup Phytophthora palmivora (Alexopoulos et al. 1996) Turner (1960) mendapatkan koleksi isolat P.palmivora
dunia yang
mempunyai karakter morfologi yang seragam. Brasier dan Griffin (1979) juga melaporkan karakter morfologi dari isolat P. palmivora yang ada di International Collection relatif seragam. Penelitian tentang keragaman DNA dan virulensi antar spesies maupun antar isolat sudah dilakukan pada beberapa spesies Phytophthora, misalnya P. infestans (Gotoh et al. 2005), dan P. cinnamomi (Chang et al. 1996). Analisis variasi isolat menggunakan karakter morfologi dan bentuk koloni sudah biasa dilakukan. Menurut Appiah et al. (1999) karaker morfologi yang dapat
membedakan spesies adalah bentuk koloni. Selanjutnya Appiah membedakan spesies Phytophthora antara P megakarya yang bentuk koloninya seperti kapas (cottony), P. palmivora yang berbentuk stelate dan P capsici yang berbentuk rosette. Analisis genetik dengan penanda RFLP dan isozim dapat memberikan pemahaman tentang struktur populasi dan evolusi yang terjadi pada beberapa spesies Phytophthora (Fry et al. 1993). Goodwin et al. 1994 mengemukakan sebelum tahun 1980 isolat-isolat dari klon tunggal tipe A1 dan US-1 didominasi oleh P. infestans. Isolat US-1 merupakan isolat hasil propagasi asexual dari strainstrain P. infestans yang masuk pada tahun 1980 dari Mexico ke Amerika Utara dan menyebar ke seluruh dunia (Goodwin 1997). Tooley et al. (1986) telah membandingkan variasi genetik berdasarkan penanda isozim dan molekuler pada isolat asexual Phytophthora spp. dari Amerika Utara dan
Mexico. Teridentifikasi
bahwa terdapat 15 kelompok genotipe pada populasi Phytophthora dari Mexico yang mempunyai rekombinasi genetik yang tinggi. Sebaliknya pada tipe asexual dari Amerika Utara hanya terdapat empat kelompok genotipe dan tidak terdapat rekombinasi genetik. Identifikasi P. palmivora dengan teknik molekuler runutan DNA Fungsi-fungsi gen sering dapat diturunkan dari sekuen nukleotidanya, misalnya dalam membandingkan sekuen sampel dengan sekuen gen yang telah diketahui fungsinya. Informasi sekuen nukleotida sangat penting dalam bidang kloning molekuler sebab dengan mengetahui sekuen DNA maka dapat ditentukan situs enzim restriksi spesifik atau dapat memprediksi open reading frame (ORF) sekuen DNA yang bersangkutan. Metode pertama yang dilakukan untuk merunut bentangan panjang DNA ialah dengan melakukan degradasi secara kimia. Metode ini melibatkan degradasi kimia terhadap fragmen DNA yang akan dirunut (Ilyas 2005). Akan tetapi metode ini menghasilkan ketidakstabilan beberapa reaktan sehingga menyebabkan hasil tidak konsisten. Selain itu, metode ini juga menggunakan bahan kimia yang berbahaya seperti hidrasin, piperidine, dan dimetylsulfat (Zyskind & Berastein 1992) sehingga metode ini jarang digunakan.
Metode kedua adalah metode
terminasi rantai atau juga disebut metode dideoksi. DNA yang akan dirunut
diinkubasi dengan DNA polimerase I, primer dan dNTP dengan melibatkan penanda radioaktif pada salah satu dNTPnya (Voot et al. 1999). Saat ini perkembangan perunutan DNA dimudahkan dengan adanya bantuan komputer dalam menganalisis ruas basa-basa DNA secara otomatis. Metode ini merupakan satu variasi dari metode terminasi rantai dimana primer yang digunakan dalam reaksi perpanjangan rantai masing-masing dihubungkan dengan warna pendaran yang berbeda (Voot et al. 1999). Analisis perunutan DNA hanya dilakukan pada sekuen DNA tertentu, dalam banyak analisis terutama dilakukan pada ruas ITS-DNA (Tan et al. 1996) dan ruas 5.8S rDNA (Bailey et al. 1996). Analisis ruas ITS-DNA dari RNA ribosom telah dilakukan untuk mendeterminasi keragaman di dalam spesies Phytophthora (Cook et al. 1996). Perbedaan runutan DNA telah digunakan untuk membedakan antar spesies Phytophthora (Ristaino et al. 1998). Runutan ruas DNA ITS telah digunakan untuk mempelajari hubungan kekerabatan dari banyak spesies Phytophthora (Lee & Taylor 1992). Berbagai teknik analisis DNA telah digunakan untuk mengetahui variasi di dalam dan antar spesies Phytophthora seperti analisis DNA mitokondria dan nukleus dengan teknik RFLP (Förster et al. 1987) dan analisis perunutan (sequencing) ribosom RNA (rRNA). Struktur DNA ribosom Ribosom sitoplasmik pada eukariot mengandung empat jenis rRNA. Identifikasi biasanya dilakukan berdasarkan perbedaan laju sedimentasi pada saat sentrifugasi yang diberi nilai S (Svedber value). Sekuen DNA yang menyandi rRNA banyak digunakan untuk studi hubungan taksonomi dan variasi genetik pada cendawan (Bruns et al. 1992). Kluster gen rRNA ditemukan dalam inti dan mitokondria,
terdiri dari daerah yang sangat konservatif dan beragam yang
meliputi gen-gen untuk pembentukkan rRNA berukuran kecil (5.8 S) dan besar (18 S) (White et al. 1990). Dalam satu genom haploid gen rRNA pada cendawan tersusun secara tandem
berulang 60-200 kali (Henson & French 1993) terdiri atas 3 ruas yaitu
5.8S, 18S dan 28S RNA ribosom (Mitchel et al. 1995) (Gambar 6). Ruas diantara 18S dan 5.8S, serta 5.8S dan 28S merupakan ruas yang dinamakan ruas internal
transcribed spacer (ITS) (Mitchel et al. 1995). Ruas yang memisahkan unit rRNA sepanjang kromosom dinamakan ruas non-transcribed spacer (NTS). Pada unit 18S terdapat ruas pendek yang dinamakan externally transcribed spacer (ETS) dan bersama-sama dengan NTS membentuk ruas intergenic spacer (Mitchel et al. 1995). Keragaman banyak terjadi pada ruas ITS diikuti oleh ruas NTS, meskipun yang paling banyak terjadi keragaman pada ruas intergenic transcribed spacer (Henson & French 1993). Pada ruas-ruas rRNA : gen struktural, transcribed spacer dan non transcribed spacer dapat dilakukan perunutan DNA untuk membedakan taxa pada tingkat yang berbeda (Sherriff et al. 1994). Gen struktural sangat stabil sehingga dapat digunakan untuk membedakan ordo (Mitchel et al. 1995). Subunit susunan Tandem RNA
Salah satu subunit 11kb
Posisi primer
Produk amplifikasi 1300 bp Produk amplifikasi 930 bp
Gambar 6 Gen yang mengkode subunit ribosomal RNA. (Anonimous 2006). Keterangan : 18S, 5.8S, 28S adalah ukuran rRNA ; ITS4 dan ITS6 adalah nama primer.
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Metode RAPD merupakan suatu cara untuk menganalisis keragaman genetik melalui amplifikasi DNA genom hanya dengan menggunakan satu primer acak tunggal 6-10 basa (Foster et al. 1993). Keragaman genetik suatu organisme dapat dilihat berdasarkan polimorfisme urutan nukleotida dari pita DNA hasil amplifikasi PCR. Dalam reaksi tersebut satu jenis primer tunggal akan berikatan dengan pasangan sekuen komplemennya didua tempat yang berbeda pada dua utas
yang berlawanan dari DNA genom yang sebelumnya telah didenaturasi. Jika tempat penempelan primer yang satu dengan yang lainnya berada dalam jarak yang dapat diamplifikasi dan tersedia enzim polimerase, dNTP dan larutan penyangga maka produk PCR akan diperoleh berupa pita DNA. Pita DNA hasil amplifikasi mempunyai homologi dengan urutan nukleotida pada DNA genom dan primer oligonukleotida. Rata-rata setiap primer akan secara bersamaan mengamplifikasi beberapa lokus yang diskrit dalam DNA genom, sehingga ini merupakan cara yang efisien untuk memeriksa polimorfis dari urutan nukleotida setiap individu. Penggunaan PCR untuk mendeteksi Phytophthora Dewasa ini untuk mengkarakterisasi maupun mendeteksi cendawan telah dikembangkan teknik molekuler Polymerase Chain Reaction (PCR). Teknik ini merupakan metode in vitro
untuk mensintesis asam nukleat atau nukleotida
dengan cara satu bagian DNA dapat diperbanyak dalam waktu singkat. Pada dasarnya amplifikasi DNA dalam mesin PCR mengikuti pola sintesis DNA di dalam sel. Di dalam sel proses sintesis DNA meliputi penguraian utas ganda DNA menjadi utas tunggal yang disebut denaturasi. Kemudian sintesis rantai DNA baru dengan menggunakan utasan tunggal sebagai model atau cetakan. Sintesis DNA dimulai dengan penempelan primer pada utas tunggal DNA cetakan, dilanjutkan dengan pemanjangan rantai DNA dan pembentukan utas ganda kembali. Sintesis DNA mempunyai arah pertumbuhan 5 – 3 , yaitu dua nukleotida digabungkan satu dengan lainnya dengan cara merangkaikan karbon gula kelima (C5) yang mengandung fosfat dari satu nukleotida kepada karbon gula ketiga (C3) yang mengandung OH dari nukleotida lain membentuk ikatan fosfodiester. Seperti halnya sintesis DNA di dalam sel, amplifikasi DNA pada mesin PCR secara in vitro membutuhkan enzim DNA polimerase, primer, basa
nukleotida (dATP, dCTP, dGTP, dTTP), MgCl₂ dan buffer yang berfungsi sebagai
kofaktor enzim serta H₂O. Reaksi PCR melibatkan pengaturan suhu pada mesin
PCR selama pengulangan siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap : 1) Denaturasi dengan pemisahan DNA untai ganda menjadi untai tunggal pada suhu 94ºC, 2) Penempelan primer (anealing) dilakukan dengan menurunkan suhu reaksi sehingga primer dapat menempel pada DNA target sesuai dengan ruas komplemennya. Suhu annealing berkisar antara 50-60 ºC. 3) Sintesis DNA pada suhu 72 ºC sehingga memungkinkan enzim DNA polimerase bekerja lebih aktif. Selanjutnya primer secara langsung diperpanjang dengan bantuan DNA polimerase untuk mensintesis untai komplemen dari DNA target dengan adanya dNTP (Voot et al. 1999). Ketiga tahapan tersebut dilakukan dalam satu siklus, namun untuk memperoleh jumlah DNA yang banyak maka siklus PCR diulang 30-40 kali. Penggunaan
teknik
PCR
untuk
deteksi
dan
analisis
keragaman
Phytophthora banyak dilakukan. Förster et al. (2000) telah mempelajari hubungan filogenetik beberapa spesies Phytophthora berdasarkan analisis ruas daerah ITS rRNA dengan membandingkan kelompok morfologi V dan VI dari Waterhouse. Hibridisasi secara alami antara P. nicotianae dan P. cactorum telah dideteksi melalui PCR-RAPD oleh Willem et al. (1998). Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas PCR ialah
konsentrasi komponen reaksi (MgCl₂, buffer, enzim, DNA cetakan, primer,
nukleotida, dan H₂O), suhu denaturasi, suhu penempelan primer, suhu
pemanjangan primer, jumlah siklus, serta keutuhan dan kemurnian DNA cetakan (Halden et al. 1996). Patogenisitas P. palmivora Satu spesies Phytophthora dapat menyebabkan beberapa penyakit pada tanaman yang sama maupun yang berbeda. P. infestans dapat menyebabkan penyakit hawar daun pada tanaman kentang dan tomat. Berdasarkan karakterisasi DNA mitokondria, tipe isoenzim dan kepekaan terhadap metalaksil diketahui P. infestans asal kentang berbeda dengan P. infestans asal tomat (Wangsomboodee et al. (2002). Pengujian patogenisitas 26 isolat durian, karet, dan lada
P. palmivora asal durian pada tanaman
menunjukkan dapat menyebabkan bercak coklat pada
tanaman lada dan karet meskipun pada tanaman durian patogenisitasnya lebih tinggi (Pongpisutta & Sangchote (2004). Patogenisitas isolat P. palmivora asal kakao dapat menginfeksi bibit tanaman karet sehingga menyebabkan penyakit pada daun dan pucuk tanaman setelah 7-8 hari, sedangkan isolat P. palmivora asal karet tidak dapat menginfeksi tanaman kakao (Orellana 1959). Kharie et al. (1992) melakukan pengujian patogenisitas P. palmivora, P. arecae dan P. nicotianae pada kelapa GKN. Hasil pengujian
patogenisitas yang
paling tinggi adalah P. palmivora. Berdasarkan hal ini di dalam penelitian ini penulis menggunakan P. palmivora sebagai penyebab penyakit gugur buah pada kelapa dan busuk buah pada kakao, meskipun kedua patogen P. arecae dan P. nicotianae dilaporkan juga sebagai penyebab penyakit gugur buah pada kelapa dan busuk buah pada kakao (Quillec et al. 1984). Kellam dan Zentmyer (1981) telah mempelajari patogenisitas P. palmivora, P. citrophthora dan P. capsici pada bibit kakao. Tidak ada satupun bibit yang mati ketika diinokulasi dengan P.capsici setelah delapan minggu, tetapi bibit yang diinokulasi dengan P. palmivora dan P. citophthora menyebabkan kematian bibit sebesar 67% dan 53%.
III. METODE PENELITIAN Sesuai tujuan,
serangkaian kegiatan penelitian telah dilaksanakan.
Kerangka pelaksanaan penelitian dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan, secara ringkas diilustrasikan dalam Gambar 7.
KERAGAMAN GENETIK DAN VIRULENSI ISOLAT Phytophthora palmivora ASAL KELAPA DAN ASAL KAKAO SURVEY PADA PERKEBUNAN KELAPA DAN KAKAO DI JAWA TIMUR DAN SULAWESI UTARA
ISOLASI PATOGEN
KOLEKSI ISOLAT
IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI & MOLEKULER P. palmivora - Bentuk & diameter koloni - Ukuran & bentuk sporangium - Tipe Kawin - PCR ITS-DNA - Perunutan ITS-DNA - Analisis filogenetik
ANALISIS KERAGAMAN P. palmivora PADA KELAPA DAN KAKAO BERDASARKAN RAPD -
Ekstraksi DNA Seleksi primer PCR - RAPD Analisis filogenetik
VIRULENSI & PATOGENITAS P.palmivora PADA KELAPA DAN KAKAO - Virulensi Isolat P. palmivora pada kelapa Salak, GKN, dan kakao
Gambar 7 Alur penelitian keragaman genetik dan virulensi P palmivora asal kelapa dan asal kakao.
Tempat dan Waktu Pengambilan sampel dilakukan di pertanaman kelapa dan kakao di Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Sedangkan pengujian laboratorium dilakukan di Laboratorium Mikologi dan Laboratorium Virologi, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, IPB serta Laboratorium Hama dan Penyakit Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lainnya di Manado. Penelitian dilaksanakan mulai dari Februari 2005 sampai dengan Februari 2007
Survey penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao Survey penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao dilakukan pada bulan Februari 2005 di Propinsi Sulawesi Utara dan bulan April 2005 di Provinsi Jawa Timur. Survey dilakukan di Perusahaan Swasta, PT Perkebunan dan perkebunan rakyat di Kabupaten Banyuwangi dan Jember (Jawa Timur), Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara). Pada masingmasing lokasi dipilih tiga tempat yang berbeda yaitu monokultur kelapa, monokultur kakao dan tumpangsari kelapa-kakao. Pengamatan dilakukan terhadap kejadian penyakit
gugur buah kelapa dan busuk buah kakao. Kejadian penyakit
dihitung dengan menggunakan rumus:
KjP
=
Kejadian penyakit (%)
n
=
Jumlah pohon yang menunjukkan gejala penyakit.
N
=
Jumlah pohon yang diamati.
Isolasi dan koleksi P. palmivora Pengambilan sampel buah kelapa yang menunjukkan gejala gugur buah dan buah kakao yang menunjukkan gejala busuk buah di lakukan di semua lokasi survey (Gambar 8).
B A
Gambar 8 Buah kelapa yang diduga terserang penyakit gugur buah (A) dan buah kakao yang terserang penyakit busuk buah (B). Isolasi dilakukan dengan mengambil bagian buah yang menunjukkan infeksi aktif seluas
3 x 3 mm2 lalu disterilkan dengan alkohol 70% selama 30
detik. Selanjutnya potongan-potongan tersebut diinokulasi pada media selektif V8 (Agar Bacto 15 gr, V8 Juice 200 ml yang telah dimurnikan dengan CaCO3 3 gr, dan akuades steril sampai satu liter) (Miller 1955) yang ditambah antibiotik (Pimaricin
10
ppm,
Ampicilin
250
ppm,
Rifampicin
10
ppm,
Pentachloronitrobenzen 100 ppm) (Papavizas et al. 1981) serta hymexazol 25 ppm (Masago et al. 1977 ; Tsao & Guy 1977). Cawan yang telah berisi potongan jaringan sakit kemudian diinkubasi selama tiga hari pada suhu kamar. Isolat P. palmivora yang tumbuh diisolasi hingga didapat biakan murni. Selanjutnya isolat diidentifikasi. Isolat yang telah diidentifikasi akan digunakan dalam pengujianpengujian lebih lanjut (Gambar 9).
Gambar 9 Koloni P. palmivora yang diisolasi dari jaringan sakit.
Pada lokasi pertanaman kelapa atau kakao yang tidak menunjukkan adanya gejala penyakit gugur buah atau busuk buah, diambil sebanyak 500 gr sampel tanah yang berada di bawah kanopi tanaman kelapa atau kakao. Isolat P. palmivora dari tanah diisolasi dengan cara menggenangi sampel tanah dengan air steril, kemudian buah kelapa sehat yang umur enam bulan diletakkan di atas tanah tersebut (Gambar 10). Spora P. palmivora akan berenang menuju ke permukaan kulit buah pada batas permukaan air. Buah yang terserang P. palmivora akan menampakkan bercak berwarna coklat. Jaringan yang sakit tersebut kemudian diisolasi dan ditumbuhkan pada media selektif V8. Isolat
P. palmivora yang
tumbuh kemudian diisolasi dan dipindahkan ke medium V8 baru yang tidak mengandung antibiotik dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Semua isolat yang telah murni dipindahkan ke media miring V8dalam tabung reaksi, dalam botol yang berisi minyak parafin (20 ml) dan botol yang berisi air steril (20 ml). Setelah itu, isolat yang ditumbuhkan pada media miring V8
disimpan pada
inkubator dengan suhu ruang sedangkan isolat yang ditumbuhkan pada minyak parafin dan air steril disimpan pada inkubator suhu 18oC.
A
B
C
Gambar 10 Metode pemancingan P. palmivora. Buah kelapa GKN sehat (A), wadah berisi tanah (B), buah yang terinfeksi (C). Isolasi zoospora tunggal Isolat P. palmivora yang dikulturkan dalam media V8 berumur 6-10 hari digenangi dengan air
steril sebanyak 15 ml, lalu diinkubasi selama delapan jam
untuk merangsang pertumbuhan sporangium. Setelah itu, inokulum dimasukkan ke dalam lemari pendingin dengan suhu 4oC selama 30 menit, kemudian dipindahkan ke suhu kamar selama 5 menit. Perlakuan dari suhu rendah ke suhu kamar akan merangsang pecahnya sporangium sehingga zoospora akan keluar dan berenang
dalam air. Air yang mengandung zoopora diambil sebanyak 1 ml dan ditambahkan dengan 9 ml air steril. Proses pengenceran ini dilakukan sampai 10-4 (Gambar 11). Pada tingkat konsentrasi 10-4 ini diambil 0.1 ml suspensi zoospora dan disebar secara merata pada media agar 1.5% (Bacto Agar 15 gr, akuades 1000 ml). Sepuluh sampai 12
jam akan terlihat zoospora P. palmivora berkecambah
membentuk hifa. Kemudian
hifa
diambil dengan jarum dengan bantuan
mikroskop stereo, kemudian diinokulasi pada media V8. Setelah dua hari inkubasi di suhu ruang, hifa asal zoospora tunggal akan membentuk koloni. Kemudian dari koloni zoospora tunggal dipindahkan lagi ke media V8 dan diinkubasi selama 710 hari. Selanjutnya koloni asal zoospora tunggal siap digunakan dalam analisis karakter morfologi, molekuler, dan uji virulensi serta patogenisitas.
1ml
10
10-1
10-2
10-3
10-4
Zoospora P. palmivora
Koloni tunggal
Gambar 11 Proses produksi zoospora tunggal P. palmivora Karakterisasi morfologi P. palmivora Identifikasi Phytophthora secara morfologi dilakukan berdasarkan bentuk dan ukuran sporangium, diameter koloni, tipe koloni, papila dan pedikel, caducity, tipe anteridium, tipe percabangan miselium, dan tipe kawin menurut petunjuk identifikasi Waterhouse et al. (1983) dan Stamp et al. (1990). Identifikasi spesies berdasarkan morfometri hanya dilakukan pada sporangium dan diameter koloni, sedangkan pedikel tidak diukur karena sangat pendek. Pengukuran diameter koloni dilakukan dengan cara menentukan dua titik yang berlawanan pada permukaan koloni P. palmivora yang ditumbuhkan pada media V8 di dalam cawan petri.
Kedua titik tersebut dihubungkan dengan
penggaris untuk mengetahui jarak kedua titik tersebut. Pengamatan sporangium didapatkan dari kultur berumur 6-10 hari yang ditumbuhkan dalam media agar V8. Dari tiap isolat diambil lima potongan agar (diameter 5 mm) sehingga total sporangium yang diamati pada setiap isolat berjumlah 25 sampel. Setiap potongan diamati dengan mengambil 5-7 gambar sporangium di bawah mikroskop Olympus BX 51 perbesaran 200 x
(10x20) dengan
menggunakan kamera digital mikroskop Olympus DP 11.
Foto ditransfer ke
komputer dengan menggunakan program morfometri tpsdig (Bennet & Hoffman 1998). Digitasi dilakukan pada setiap gambar sporangium dengan menentukan secara konsisten titik-titik panjang dan lebar. Pada proses ini ditentukan titik panjang mulai dari papila (1) sampai pangkal sporangium (2), titik lebar sebelah kiri (3) dan kanan (4) (Gambar 12).
1 4
3
2
Gambar 12 Cara menentukan titik panjang dan lebar sporangium P. palmivora Setiap titik dari gambar pemotretan digitasi diubah dalam kordinat x dan y sehingga dapat diketahui jarak antar titiknya, kemudian dimasukkan dalam persamaan jarak menggunakan program Microsof Exel untuk memperoleh jarak yang sesungguhnya, yaitu : DV(mm)=
(persamaan jarak -1)
DS(mm) = DV/DP
(persamaan jarak -2)
DV(mm)
=
Jarak Vektor
DS(mm)
=
Jarak sesungguhnya
DP
=
Jarak pembesaran mikroskop
=
Titik-titik vector pada sumbu X dan Y
X1, X2, Y1, Y₂ Ukuran panjang dan lebar sporangium merupakan akar dari jumlah kuadrat jarak antar titik tersebut di atas. Hasil digitasi sporangium berbentuk vektor kemudian dikonversi dalam ukuran mm dengan cara nilai vektor dibagi dengan 399.699. Nilai yang diperoleh dari digitasi skala mikrometer (sepanjang 1 mm) pada pembesaran yang sama saat pemotretan sporangium P. palmivora yaitu 10 X 20 atau (200x). Pengamatan tipe koloni dilakukan dengan melihat model pertumbuhan dari miselium yang dikategorikan dalam bentuk stelate, rossaceous dan cottony. Pengamatan papila dan pedikel dilakukan hanya dengan melihat ada atau tidak ada papila dan pedikel. Pengamatan caducity yaitu dengan melihat sifat sporangium yang mudah lepas dari tangkai spora. Pengamatan percabangan miselium dilakukan dengan mengamati banyak atau sedikitnya percabangan miselium. Identifikasi P. palmivora berdasarkan tipe kawin Untuk menentukan isolat-isolat P. palmivora termasuk dalam tipe kawin A1 atau A2 maka isolat-isolat yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan uji tipe kawin (mating type) mengikuti prosedur Tooley et al. (1989) dan Wangsomboondee et al. (2002). Determinasi tipe kawin dilakukan dengan menandingkan setiap isolat yang diperoleh dengan isolat P. palmivora dan P. capsici yang sudah diketahui (tester) A1 dan A2 pada medium agar V8 (Gambar 13). Isolat tersebut diamati 4-6 hari diinkubasi pada suhu 22oC di ruang gelap.
C
A1
B
A2
Gambar 13 Pengamatan tipe kawin P. palmivora. Tipe kawin A1 dan A2, isolat yang belum diketahui tipe kawinnya (B), Oospora (C).
Pengamatan dilakukan terhadap ada tidaknya oospora pada zone interaksi kedua isolat P. palmivora tersebut. Apabila
isolat yang dideterminasi membentuk
oospora dengan tester A1 dan tidak membentuk oospora dengan tester A2 berarti isolat tersebut dikatakan sebagai A2. Sebaliknya apabila isolat yang dideterminasi membentuk oospora dengan tester A2 dan tidak membentuk oospora dengan tester A1 berarti isolat tersebut dikatakan A1. Identifikasi P. palmivora secara molekuler Metode ekstraksi DNA untuk PCR mengikuti cara yang dilakukan oleh Goodwin et al. (1992) dan Sambrook et al. (1989). Isolat P. palmivora berumur 610 hari dipindahkan ke media cair V8 dalam tabung erlemeyer. Setelah 7-10 hari miselium dipanen dan disaring dengan kertas Whatman Nomor 1
kemudian
disimpan dalam tabung eppendorf, jika sampel belum digunakan maka dapat disimpan pada suhu -20oC. Miselium ini akan digunakan dalam ekstraksi DNA P. palmivora. Miselium dari ke 22 isolat P. palmivora digerus dalam nitrogen cair dan dipindahkan ke tabung reaksi yang telah diberi 1 ml larutan penyangga (1.4 M NaCl, 20 mM EDTA, 100 mM Tris-HCl (pH 8,0), 2% (w/v) CTAB, 1% βmercaptoethanol). Setelah digerus campuran dikocok sampai homogen
dan
o
diinkubasi pada suhu 65 C selama 30 menit. RNAse 10 µl ditambahkan, dikocok kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37oC. Setelah itu Khloroform dan isoamil (24 : 1) ditambahkan dengan volume yang sama, dikocok dan disentrifus pada kecepatan 11.000 rpm selama 10 menit. Fase cair yang terpisah dipindahkan ke tabung baru kemudian ditambahkan 1000 µl khloroform, dikocok kemudian disentrifus pada kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan dipindahkan ke tabung baru kemudian ditambahkan 1000 µl isopropanol dingin lalu dikocok, kemudian disentrifus pada kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Larutan dibuang selanjutnya pelet DNA ditambahkan 200 µl TE (1x) dikocok perlahan dan diinkubasikan selama satu jam pada suhu 37oC. Selanjutnya ditambahkan
0.1 volume Sodium Asetat dan 2.5 volume etanol murni dan
disentrifus pada 14.000 rpm selama 10 menit. Pelet DNA dicuci dengan 70% etanol 500 µl dan disentrifus pada 12000 rpm pada suhu 4oC selama 5 menit.
Kemudian etanol dibuang dan pelet dilarutkan dalam TE 100 µl pada suhu ruang kemudian disimpan pada suhu -80oC. DNA
hasil
ekstrasi
diukur
kemurniannya
dengan
menggunakan
spektrofotometer UV-VIS Shimadzu 2000. Sampel larutan DNA dipipet sebanyak 50 µl lalu diencerkan menjadi 3 µl, kemudian dimasukkan ke dalam kuvet. Salah satu kuvet
diisi akuades sebagai blanko. Absorban (A) diukur pada λ260 dan
λ280 nm. Pembacaan absorban pada λ260 =1 berarti konsentrasi DNA adalah 50µg/ml dan dianggap sebagai faktor konversi. Perhitungan konsentrasi DNA dilakukan menurut Sambrook et al. (1989) dengan cara sebagai berikut : konsentrasi DNA (µg/µl) = faktor konversi x pengenceran x absorban pada λ260. Kemudian kualitas DNA dihitung berdasarkan perbandingan nilai absorban pada λ260 dan λ280 yaitu sekitar 1.7-2.0. Amplifikasi sekuen ITS-DNA DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan teknik PCR berdasarkan metode Trout et al. (1997) menggunakan primer universal ITS4 dan ITS5. Susunan basa primer ITS4 adalah 5’-TCCTCCGCTTATTGATATGC-3’
dan
primer ITS5
adalah 5’-GGAAGTAAAAGTCGTAACAAG-3’ (White et al. (1990). Volume akhir setiap reaksi PCR adalah 25 µl yang terdiri atas beberapa reaksi (Tabel 1). Tabel 1 Campuran reaksi amplifikasi ITS-DNA dengan teknik PCR Komponen
Konsentrasi dlm reaksi PCR
ddH2O
Volume utk 1 sampel
-
16.3µl
1x
2.5 µl
0.5-2.5mM
1.5µl
dNTPs (10 mM)
200 µM
0.5 µl
Primer ITS4 10µM
0,4 µM
1 µl
Primer ITS 5 10µM
0,4µM
1 µl
1 unit
0.2 µl
10x PCR Buffer 2+
Mg
Taq DNA Polymerase 5 unit/ul Template DNA (50 ng)
-
2 µl
Total volume
-
25 µl
Sumber : Invitrogen Live Technologies
Amplifikasi DNA dengan menggunakan mesin PCR Gene Amp PCR System 9700 berlangsung dengan tahapan sebagai berikut. Tahap pra amplifikasi 5 menit pada suhu 96oC, tahap pemisahan utas 1 menit pada suhu 96oC, tahap penempelan primer 1 menit pada suhu 55oC, tahap sintesis 1 menit pada suhu 72oC, tahap pasca amplifikasi 10 menit pada suhu 72oC menurut Trout et al. (1997) dengan sedikit modifikasi pada suhu penempelan primer yaitu menjadi 47oC. Reaksi PCR dilakukan sebanyak 35 siklus. Untuk mendapatkan gambar pita DNA hasil amplifikasi dengan PCR maka DNA hasil amplifikasi dielektroforesis pada gel Agarose. Fragmen DNA hasil amplifikasi ditambah dengan 3 ul larutan penanda Bromofenol blue dimasukkan ke dalam lubang-lubang gel Agarose 1%. Selanjutnya pita dilarikan pada gel elektroforesis dengan menyambungkan pada power suply 70 volt selama 60 menit. Pewarnaan dilakukan dengan merendam gel Agarose dalam etidium bromida 0.5 ug/ml selama 30 menit lalu dibilas dengan H2O. Pita DNA hasil amplifikasi diamati di atas transiluminator UV dan dipotret dengan alat dokumentasi gel UV. Perunutan (sequencing) ruas ITS-DNA Perunutan ruas ITS-DNA hanya dilakukan pada 4 isolat terdiri atas 2 isolat asal kelapa (P53KpTuSU dan P44KpByASU) dan 2 isolat asal kakao (P22KoMrwSU dan P40KoMpySU). Fragmen DNA hasil PCR dengan primer ITS4 dan ITS5 dari keempat isolat tersebut selanjutnya dianalisis runutan ITSDNA dengan menggunakan mesin sekuensing ABI-Prism 3100 Avant Genetic Analyser. Perunutan ITS-DNA dilakukan di Laboratorium Biomolekuler Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Bogor dan Laboratorium Bioteknologi LIPI Serpong. Data hasil perunutan DNA dari isolat P. palmivora yang dikoleksi selanjutnya digunakan sebagai bahan analisis tingkat kesamaan genetiknya dengan P. palmivora yang berasal dari daerah geografi yang berbeda. Analisis ini memanfaatkan informasi perunutan DNA menggunakan
program
BLAST
yang
tersedia
dalam
GeneBank
dari www.ncbi.nlm.nih. Hasil analisis gen
ITS-DNA P. palmivora melalui program BLAST disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2
Nomor asesi, inang, lokasi geografi dan kode isolat sekuen ITS-DNA P. palmivora dari GeneBank dan koleksi isolat dalam penelitian ini
Sumber/ No. Asesi
Inang
Lokasi Geografi
Penelitian ini
Cocos nucifera
Desa Boyong P44KpByASU Atas, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia
Penelitian ini
Cocos nucifera
Penelitian ini
Theobroma Cacao
Penelitian ini
Theobroma Cacao
Kode Isolat
Desa Tungoi, P53KpTuSU Kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara, Indonesia Desa Marinsow, Kabupaten P22KoMrwSU Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia Desa Mopuya, Kabupaten Bolmong, P40KoMpySU Sulawesi Utara, Indonesia
AF467093/ Appiah et (2003)
al.
Theobroma Cacao
Taiwan
KakaoTaiwan1
AF467094/ Appiah et (2003)
al. Theobroma Cacao
Taiwan
KakaoTaiwan2
AF467096/ Appiah et (2003)
al. Theobroma Cacao
Ghana
KakaoGhana1
AF467090/ Appiah et (2003)
al.
Theobroma Cacao
Ghana
KakaoGhana2
Puerto Rico
KakaoPuertoRico
Costa Rica
KakaoCostaRica
DQ987920/ Irish Theobroma Cacao et al. Belum dipublikasikan Theobroma Cacao AY423300/ Ivors et al. (2004)
Analisis Filogenetik Analisis filogenetik dan jarak genetik dari sekuen P. palmivora dari GeneBank dan P. palmivora dari koleksi penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program ClustalW 1.83 (www.ebi.ac.uk/cgi-bin/clustalw/ ).
Analisis keragaman genetik berdasarkan RAPD Amplifikasi DNA menggunakan primer acak DNA ke 22 isolat P. palmivora yang telah diekstrak kemudian diamplifikasi dengan teknik PCR. Seleksi primer dilakukan terhadap isolat P. palmivora asal kelapa dan kakao menggunakan 10 jenis primer acak (Invitrogen) yaitu OPA20, OPA16, OPA11, OPA5, OPA2, OPA7, OPB12, OPB1, OPB5 dan OPB10. Dari 10 primer hanya diambil 5 primer yang dapat menghasilkan pita polimorfis. Jenis primer dan susunan basa yang digunakan dalam reaksi amplifikasi DNA disajikan dalam Tabel 3. Volume akhir campuran reaksi PCR adalah 40 ul. Komposisi reaksi adalah sebagai berikut : 1x larutan penyangga reaksi (50 nM KCl, 10 mM Tris-HCl pH 8.8 dan 0.1% triton X-100), 200 uM dNTP, 2.5 mM MgCl2, 0.4 µM primer, 1 U Tag DNA polymerase (Invitrogen), 50 ng DNA genom dan dd H2O sehingga mencapai 25 ul. Tabel 3 Jenis primer dan susunan basa DNA yang digunakan dalam reaksi amplifikasi Nomor
Primer
Susunan Basa
1 2 3 4 5
OPA-02 OPA-11 OPA-16 OPB-1 OPB-5
TGCCGAGCTG CAATCGCCGT AGCCAGCGAA GTTTCGCTCC TGCGCCCTTC
Sumber : Invitrogen Live Technologies Amplifikasi DNA dengan menggunakan mesin PCR berlangsung dengan tahapan sebagai berikut. Tahap pra amplifikasi 5 menit pada suhu 94oC, tahap pemisahan utas 1 menit pada suhu 94oC, tahap penempelan primer 1 menit pada
suhu 55oC, tahap sintesis 1 menit pada suhu 72oC, tahap pasca amplifikasi 5 menit pada suhu 72oC. Reaksi PCR dilakukan sebanyak 38 siklus. Untuk mendapatkan gambar pita DNA isolat P. palmivora hasil amplifikasi dengan PCR maka DNA hasil amplifikasi dielektroforesis pada gel Agarose. Fragmen DNA hasil amplifikasi ditambah dengan 3 ul larutan penanda Bromofenol blue dimasukkan ke dalam lubang-lubang gel Agarose 1%. Selanjutnya pita dilarikan pada gel elektroforesis dengan menyambungkan pada power suply 70 volt selama 60 menit. Pewarnaan dilakukan dengan merendam gel Agarose dalam etidium bromida 0.5 ug/ml selama 30 menit lalu dibilas dengan H2O. Pita DNA hasil amplifikasi diamati di atas transiluminator UV dan dipotret dengan alat dokumentasi gel UV.
Virulensi dan patogenisitas P. palmivora pada kelapa dan kakao Persiapan inokulum Inokulum
yang akan digunakan dalam pengujian ini diambil dari biakan
murni ke 22 isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao yang telah dikoleksi. Isolat P. palmivora ditumbuhkan pada medium agar V8 selama 7 hari. Biakan murni yang mengandung miselium dan sporangium dipotong dengan diameter 0.3 cm, lalu diinokulasi pada buah kelapa dan buah kakao. Metode inokulasi pada buah kelapa dan kakao Inokulasi pada buah kelapa dan kakao dilakukan di laboratorium (Gambar 14). Buah kelapa dan kakao yang digunakan untuk inokulasi diambil dari buah yang masing-masing berumur 6-7 bulan.
Gambar 14 Buah kelapa dan kakao yang diinokulasi dengan inokulum P. palmivora.
Sebelum diinokulasikan pada bagian permukaan kulit buah kelapa maupun kakao dilakukan pembersihan dari sisa-sisa bahan organik yang menempel pada kulit buah. Inokulasi inokulum P. palmivora dilakukan dengan cara menempelkan potongan agar yang mengandung sporangia dan miselium berumur 7 hari pada bagian tengah bidang dari buah kelapa dan buah kakao. Setelah itu potongan agar tersebut ditutup dengan pita berperekat dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Uji patogenisitas 22 isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao dilakukan pada buah kelapa populasi Genjah Salak sebagai kategori tahan, buah kelapa populasi Genjah Kuning Nias kategori rentan dan buah kakao. Peubah yang diamati adalah periode laten (hari), luas bercak cm2, keparahan penyakit (%), dan prakiraan laju infeksi (r). 1. Periode laten Periode laten dihitung mulai dari waktu inokulasi sampai dengan munculnya gejala awal yang ditandai oleh adanya bercak coklat pada daerah sekitar tempat inokulasi. 2. Luas bercak Pengukuran luas bercak dilakukan terhadap bagian permukaan kulit buah yang mempunyai bercak coklat (Gambar 15). Pengukuran ini dilakukan setiap hari dengan menggunakan milimeter blok transparan sejak munculnya gejala awal hingga 7 hari masa inkubasi.
Gambar 15 Cara pengukuran luas bercak 3. Keparahan penyakit atau kerusakan jaringan buah Keparahan penyakit dihitung menurut Rumus Towsend & Heőberger Unterstenhıfer 1976, yaitu :
KpP ni vi
= = =
V N
= =
Persentase keparahan penyakit Jumlah buah yang berbercak pada setiap kategori Nilai numerik masing-masing serangan, dimana i adalah skor 1, 2, 3, 4, dan 5. Nilai numerik kategori serangan tertinggi Jumlah buah yang diamati
Nilai skoring setiap kategori serangan berdasarkan pengamatan besarnya luas bercak (cm2) pada buah kelapa yaitu : Skor 0: tidak ada bercak, Skor 1 : 0 < X ≤ 5, Skor 2: 5 < X ≤ 15, Skor 3: 15 < X ≤ 25, Skor 4: 25 < X ≤ 35, Skor 5: 35 < X ≤ 45 sedangkan skoring untuk buah kakao adalah, Skor 0: tidak ada bercak, Skor 1 : 0 < X ≤ 20, Skor 2: 20 < X ≤ 40, Skor 3: 40 < X ≤ 60, Skor 4: 60 < X ≤ 80, Skor 5: X ≥ 80 4. Laju infeksi Perhitungan laju infeksi dilakukan menurut Rumus Zadoks dan Schein (1980),
r
=
laju infeksi
t1
=
waktu pengamatan keparahan penyakit pada x1
t2
=
waktu pengamatan keparahan penyakit pada x2
x1
=
nilai keparahan penyakit pada waktu t1
x2
=
nilai keparahan penyakit pada waktu t2
Tingkat virulensi isolat P. palmivora ditentukan berdasarkan data periode laten, keparahan penyakit dan laju perkembangan penyakit. Kriteria penentuan tingkat virulensi setiap isolat P. palmivora asal kelapa maupun kakao ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Kriteria penentuan tingkat virulensi isolat P. Palmivora pada penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao Periode Laten (hari)
Laju perkembangan penyakit (r)
Tingkat virulensi isolat
0 < X ≤ 10 10 < X ≤20 20 < X ≤ 40 X > 40
r=0 0 < r ≤ 0.2 0.2 < r ≤ 0.4 r > 0.4
Avirulen Virulen rendah Virulen sedang Virulen tinggi
0 < X ≤ 10 10 < X ≤ 20 20 < X ≤ 30 X > 30
r=0 0 < r ≤ 0.2 0 .2< r ≤ 0.4 r > 0.4
Avirulen Virulen rendah Virulen sedang Virulen tinggi
Keparahan Penyakit (%)
Kelapa X =7 5<X≤7 3<X≤5 1<X≤3 Kakao X>7 5<X≤7 3<X≤5 1<X≤3
IV. HASIL PENELITIAN Survey penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao Hasil pengamatan kejadian penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao di Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Utara disajikan pada Tabel 5. Pengamatan kejadian penyakit busuk buah pada tanaman kakao di Jawa Timur dilakukan di lokasi Kebun Kaliwining Puslit Kopi & Kakao Jember, Avdeling Sepanjang Lor, dan Kalitagir Perkebunan Glenn More, Kebun Treblasala PT Lonsum, dan Kebun Kalikempit PT PXII, Banyuwangi. Avdeling Kalitagir merupakan kebun dengan pola tanam kakao monokultur. Di lokasi ini dijumpai banyak tanaman kakao yang menunjukkan gejala busuk buah. Avdeling Sepanjang Lor, Kebun Treblasala, dan Kalikempit merupakan kebun dengan pola tanaman tumpang sari kelapa dan kakao. Pada lokasi tersebut banyak tanaman kakao yang menunjukkan gejala busuk buah, sedangkan pada tanaman kelapa tidak ditemukan tanaman
yang bergejala gugur buah, sehingga
dilakukan pengambilan sampel tanah. Di lokasi ini varietas kelapa yang di tanam adalah kelapa Dalam yang tergolong agak tahan terhadap penyakit gugur buah. Selain itu pengambilan sampel dilakukan pada musim kemarau sehingga tidak didapatkan sampel penyakit gugur buah pada kelapa. Di kebun petani Desa Karangharjo, Sukojati, dan Glenn Faloch merupakan lokasi penanaman kelapa monokultur tetapi tidak ditemukan kejadian penyakit gugur buah. Di Provinsi Sulawesi Utara kejadian penyakit busuk buah pada kakao ditemukan pada Kebun Pungkol PT Lonsum, Kebun Marinsow PTP XIV, kebun petani di Desa Tungoi, dan Desa Mopuya (Bolaang Mongondow). Pada lokasi pertanaman tumpangsari kelapa kakao di Desa Tungoi dan Kebun Marinsow tidak ditemukan kejadian penyakit gugur buah pada tanaman kelapa. Kejadian penyakit gugur buah pada tanaman kelapa ditemukan pada Kebun Percobaan Balitka di Mapanget
dan Kebun Boyong Atas PTP XIV. Lokasi lainnya di Kabupaten
Minahasa
yaitu Desa Koka dan Tombariri serta desa Anggrek di Kabupaten
Gorontalo merupakan lokasi penanaman kelapa monokultur juga tidak ditemukan kejadian penyakit gugur buah. Di lokasi tersebut dilakukan pengambilan sampel tanah untuk mendapatkan isolat P. palmivora .
Tabel 5 Gugur buah kelapa dan busuk buah kakao pada beberapa lokasi perkebunan Kejadian penyakit Lokasi
Jawa Timur Perkebunan Glenn More Sepanjang Lor Kalitagir PT Lonsum Treblasala PTP XII Kalikempit Kaliwining, Puslit Kopi Kakao Desa Karangharjo Desa Sukojati Desa Glenn Faloch Sulawesi Utara PT Lonsum Pungkol PTP XIV Marinsow PTP XIV Boyong Atas Desa Tungoi Desa Mopuya Desa Anggrek Balitka Mapanget
Gugur buah kelapa
Busuk buah kakao
Pola tanam
-
7.0% 15,3% 10.0% 8.0% 12.0%
Tumpangsari Monokultur kakao Tumpangsari Tumpangsari Monokultur kakao
-
-
Monokultur kelapa Monokultur kelapa Monokultur kelapa
6.0% 3.0%
12.0% 20.0% 42.0% 34.0% -
Monokultur kakao Tumpangsari Monokultur kelapa Tumpangsari Monokultur kakao Monokultur kelapa Monokultur kelapa
Keterangan : (-) tidak ada penyakit gugur buah kelapa atau busuk buah kakao Berdasarkan survey diketahui bahwa penyakit gugur buah hanya ditemukan pada populasi kelapa Hibrida PB121 di kebun PTP XIV Desa Marinsow dan kelapa Genjah Kuning Nias di kebun BALITKA Desa Mapanget. Pada saat melakukan survey kejadian penyakit ini sangat kurang di lapangan. Walaupun demikian, dari tanah pertanaman kelapa berhasil diperoleh isolat P. palmivora melalui metode pemancingan patogen
dengan buah kelapa sehat.
Isolasi P. palmivora Melalui isolasi patogen P. palmivora dari
buah kelapa, buah kakao dan
sampel tanah diperoleh 22 isolat, yang terdiri dari 13 isolat P. palmivora asal pertanaman kelapa dan 9 isolat P. palmivora asal pertanaman kakao (Tabel 6). Isolasi patogen dari sampel buah kakao yang terserang penyakit busuk buah yang parah sulit dilakukan karena telah terjadi kontaminasi organisme sekunder.
Tabel 6 Koleksi isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao yang digunakan dalam penelitian No.
Asal Isolat
Kode isolat P. palmivora
Lokasi
Kabupaten
Propinsi
Pola tanam
Sumber inokulum
Asal pertanaman kelapa Minahasa
Sulut
Monokultur
Minahasa
Sulut
Monokultur
PTPXIV Marinsow
Minahasa
Sulut
Tumpangsari
PTPXIV Marinsow
Minahasa
Sulut
Tumpangsari
-
Gorontalo
Monokultur
-
Gorontalo
Monokultur
-
Gorontalo
Monokultur
P44KpByASU
Desa Anggrek Kelapa hibrida Desa Anggrek Kelapa hibrida Desa Anggrek Kelapa Dalam PTP XIV Boyong atas
Minahasa
Sulut
Monokultur
9
P46KpByASU
PTP XIV Boyong atas
Minahasa
Sulut
Monokultur
10
P51KpSkjtiJT
Desa Sukojati
Banyuwangi
Jatim
Monokultur
11
P52KpTuSU
Desa Tungoi
Bolaang Mongondow
Sulut
Tumpangsari
12
P53KpTuSU
Sulut
Tumpangsari
13
P58KpSdkSU
Bolaang Mongondow Minahasa
Sulut
Monokultur
14
Asal pertanaman kakao Perk. Glen More Sepanjang Lor P61KoSLorJT
Banyuwangi
Jatim
Tumpangsari
15
P02KoKlTgJT
Perk. Glenn More KaliTagir
Banyuwangi
Jatim
Monokultur
16
P04KoTrbslJT
Banyuwangi
Jatim
Tumpangsari
17
P05KoKlwgJT
PT Lonsum Treblasala Kaliwining Puslit Kopi dan Kakao
Jember
Jatim
Monokultur
18
P06KoKlwgJT
Kaliwining Puslit Kopi dan Kakao
Jember
Jatim
Monokultur
19
P09KoKlkptJT
PTP XII Waringin Kalikempit
Banyuwangi
Jatim
Tumpangsari
20
P19KoPglSU
PT Lonsum Kebun Pungkol
Minahasa
Sulut
Monokultur
21
P22KoMrwSU
PTP XIV Kebun Marinsow
Mianahsa
Sulut
Tumpangsari
22
P40KoMpySU
Desa Mopuya
Bolaang Mongondow
Sulut
Monokultur
1
P12KpMpgSU
2
P13KpMpgSU
KPBalitka Mapanget KPBalitka Mapanget
3
P34KpMrwSU
4
P35KpMrwSU
5
P41KpHbGrto
6
P42KpHbGrto
7
P43KpKdGrto
8
Desa Tungoi Desa Senduk
Berdasarkan pengamatan gejala, nampak gejala mirip penyakit pada kakao,
namun
mirip dengan koloni
setelah
Buah terinfeksi Buah terinfeksi Tanah kelapa Tanah kelapa Tanah kelapa Tanah kelapa Tanah kelapa Buah terinfeksi Buah terinfeksi Tanah kelapa Tanah kelapa Tanah kelapa Tanah kelapa Buah terinfeksi Buah terinfeksi Buah terinfeksi Buah terinfeksi Buah terinfeksi Buah terinfeksi Buah terinfeksi Tanah kakao Buah terinfeksi
busuk
buah
diisolasi tidak ada satupun mikroorganisme yang
P. palmivora. Berulang kali diisolasi dan yang terisolasi
adalah koloni cendawan bersepta yang mempunyai tubuh buah (acervulus). Gejala seperti ini ditemukan pada banyak sampel buah kakao yang diambil dari Desa Marinsow Kabupaten Minahasa (Sulawesi Utara). Morfologi P. palmivora Sebanyak 22
isolat P. palmivora
telah berhasil diisolasi dari lokasi
perkebunan kelapa dan kakao di Kabupaten Jember dan Banyuwangi (Jawa Timur), Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara) (Tabel 6). Semua isolat yang diperoleh mencirikan P. palmivora dengan kriteria sebagai berikut : koloni berbentuk bulat dengan pinggiran rata dan hifa berwarna putih. Koloni yang tumbuh pada media V8 jika dipotong
akan terasa kenyal dan
miselium yang tumbuh seperti kapas. Sifat-sifat morfologi lain seperti bentuk dan ukuran sporangium, papila, pedikel, tipe koloni, diameter koloni, klamidospora, dan tipe kawin akan diuraikan di bawah ini.
Sporangium. Hasil pengamatan terhadap sporangium dari ke-22 isolat P. palmivora hasil koleksi mempunyai bentuk sporangium yang berbeda yaitu: globose, obturbinate, ovoid,
ellipsoid, dan limoniform (Gambar 16). Semua isolat P. palmivora
mempunyai sporangium yang memiliki papila, pedikel yang berukuran pendek, dan bersifat mudah lepas dari tangkai sporangium dengan model percabangan simpel simpodium (SS). Ada dua bentuk papila yang diperoleh yaitu semipapila dan papila. Papila terlihat menonjol pada sporangium (Gambar 17). Hasil pengamatan sporangium selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Untuk mendapatkan sporangium dalam jumlah banyak, maka koloni P. palmivora terlebih dahulu direndam dengan ekstrak air tanah steril selama 6-8 jam. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan sporangium dari setiap isolat bervariasi dari 4-10 hari.
1
2
3
4
5
Gambar 16 Bentuk sporangium isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao : (1) globose, (2) obturbinate, (3) ovoid, (4) ellipsoid, (5) limoniform.
Gambar 17 Bentuk sporangium P. palmivora dengan papila yang menonjol.
Tabel 7 Bentuk sporangium, papila, pedikel, caducous, dan percabangan sporangium P. palmivora Kode isolat P. palmivora
Sporangium Bentuk
Papila
Caducous
Pedikel
Tipe percabangan
Asal pertanaman kelapa P12KpMpgSU
P42KpHbGrto
Obturbinate Ovoid Obturbinate Ovoid Obturbinate Ovoid Obturbinate Obturbinate Limoniform Ovoid
P43KpKdGrto
Ovoid
P13KpMpgSU P34KpMrwSU P35KpMrwSU P41KpHbGrto
P44KpByASU P46KpByASU P51KpSkjtiJT P52KpTuSU P53KpTuSU P58KpSdkSU
Obturbinate Ovoid Ovoid Obturbinate Ovoid Obturbinate Ovoid Obturbinate Elipsoid Obturbinate Ovoid Obturbinate
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
Asal pertanaman kakao P61KoSLorJT P02KoKlTgJT P04KoTrbslJT P05KoKlwgJT P06KoKlwgJT P09KoKlkptJT P19KoPglSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
Ovoid Obturbinate Limoniform Ovoid Obturbinate Ovoid Obturbinate Ovoid Obturbinate Ovoid Obturbinate Globose Obturbinate Limoniform Obturbinate Ovoid Obturbinate Ovoid Obturbinate Ovoid
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
+
+
+
SS
Keterangan : SS = simpel simpodium + = ada - = tidak ada
Berdasarkan pengamatan ukuran sporangium menunjukkan bahwa ke 22 isolat P. palmivora memiliki ukuran panjang, lebar dan rasio P/L yang beragam. Secara umum panjang, lebar dan rasio P/L sporangium P. palmivora asal kelapa lebih besar dibandingkan sporangium P. palmivora asal kakao (Tabel 8). Tabel 8 Ukuran panjang, lebar, dan rasio P/L sporangium serta diameter koloni isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao
No
Isolat P. palmivora
SPORANGIA Panjang Lebar (µm) Rasio P/L (µm)
Ø koloni (mm)
Asal pertanamn kelapa 1 P12KpMpgSU 2 P13KpMpgSU 3 P34KpMrwSU 4 P35KpMrwSU 5 P41KpHbGrto 6 P42KpHbGrto 7 P43KpKdGrto 8 P44KpByASU 9 P46KpByASU 10 P51KpSkjtiJT 11 P52KpTuSU 12 P53KpTuSU 13 P58KpSdkSU Asal pertanaman kakao 14 P61KoSLorJT 15 P02KoKlTgJT 16 P04KoTrbslJT 17 P05KoKlwgJT 18 P06KoKlwgJT 19 P09KoKlkptJT 20 P19KoPngklSU 21 P22KoMrwSU 22 P40KoMpySU
58 48 49 57 59 62 55 51 47 53 50 49 55
43 34 32 42 42 42 34 37 35 40 37 37 41
1.3 1.4 1.5 1.4 1.4 1.5 1.6 1.4 1.4 1.3 1.3 1.3 1.3
55.7 55 40.7 60.7 59.7 57.5 33.7 56.0 56.0 56.2 59.0 61.7 61.0
48 49 50 45 45 50 45 40 54
33 37 33 28 32 35 32 29 37
1.5 1.3 1.5 1.6 1.4 1.4 1.4 1.4 1.5
55.5 46.5 47.7 43.0 50.2 38.7 32.2 28.7 37.0
Sporangium P. palmivora terpanjang adalah isolat P42KpHbGrto (62 µm) dan terlebar adalah isolat P12KpMpgSU (43 µm), keduanya isolat P. palmivora asal kelapa. Sebaliknya sporangium dengan panjang dan lebar terkecil dijumpai pada isolat P. palmivora asal kakao, yaitu isolat P22KoMrwSU dengan panjang 40 µm dan
isolat P05KoKlwgJT dengan lebar 28 µm . Jika dirata-ratakan 13 isolat P.
palmivora asal kelapa dan 9 isolat P. palmivora asal kakao maka rata-rata panjang dan lebar sporangium P. palmivora asal kelapa lebih panjang dan lebar dari isolat P. palmivora asal kakao. Rata-rata panjang sporangium P. palmivora asal kelapa
(53 µm) umumnya lebih panjang dari isolat P. palmivora asal kakao (47 µm), begitu juga rata-rata ukuran lebar P. palmivora asal kelapa (38 µm) lebih lebar dari isolat P. palmivora asal kakao (32 µm) (Gambar 18). Berarti sporangium isolat P. palmivora asal kelapa lebih besar dibandingkan isolat P. palmivora asal kakao.
Gambar 18 Rata-rata panjang dan lebar sporangium P. palmivora populasi asal kelapa dan populasi asal kakao. Klamidospora Klamidospora ke 22 isolat P. palmivora asal kakao maupun asal kelapa berbentuk globose dan subglobose, tumbuh pada ujung hifa (terminate) maupun diantara miselium (intercalary) (Gambar 19 ).
A
B
Gambar 19 Bentuk klamidospora P. palmivora. Globose dan terminate (A), subglobose dan intercalary (B)
Koloni Koloni P. palmivora berbentuk bulat, berwarna putih dengan pinggiran rata maupun tidak rata. Tipe koloni dari 22 isolat P. palmivora dikategorikan dalam tiga
kelompok yaitu, tipe stelate,
palmivora yang tergolong tipe
rossaceous, dan
rossaceous
cottony. Isolat P
adalah isolat P05KoKlwgJT,
P02KoKlTgJT, P19KoPglSU, P06KoKlwgJT, P09KoKlkptJT, tipe cotonny adalah isolat P44KpByASU, P46KpByASU dan tipe stelate adalah isolat P35KpMrwSU, P34KpMrwSU, P04KoTrbslJT, P61KoSLorJT, P40KoMpySU,
P22KoMrwSU,
P53KpTuSU, P58KpSdkSU, P42KpHbGrto, P43KpKdGrto,
P51KpSkjtiJT,
P41KpHbGrto, P52KpTuSU, P12KpMpgSU, P13KpMpgSU (Gambar 20). Karakter tipe koloni tidak dapat membedakan isolat P. palmivora asal kakao atau asal kelapa. Isolat P. palmivora asal kakao mempunyai dua tipe koloni yaitu tipe stelate (4 isolat) dan rosaceous (5 isolat), sedangkan isolat P. palmivora asal kelapa mempunyai tipe koloni stelate (11 isolat) dan cottony (2 isolat). A. Tipe Rossaceous
1
4
Gambar 20
2
3
5
Tipe Koloni P. palmivora : Rossaceous (A) (1-5) P05KoKlwgJT, P02KoKlTgJT, P19KoPglSU, P06KoKlwgJT, P09KoKlkptJT, Cottony (B) (6-7) P44KpByASU, P46KpByASU, Stelate (C) (8-22) P35KpMrwSU, P34KpMrwSU, P04KoTrbslJT, P61KoSLorJT, P40KoMpySU, P22KoMrwSU, P53KpTuSU, P58KpSdkSU, P42KpHbGrto, P43KpKdGrto, P51KpSkjtiJT, P41KpHbGrto, P52KpTuSU, P12KpMpgSU, P13KpMpgSU.
B. Tipe Cottony
6
7
C. Tipe Stelate
8
9
10
11 P61
12
13
14
17
05P53 15
18
16
19 P41
Gambar 20 (lanjutan)
20
21
22
Berdasarkan pengamatan diameter koloni P. palmivora 5 hari setelah inokulasi (hsi) (Tabel 8) terlihat bahwa diameter koloni setiap isolat P. palmivora bervariasi. Diameter koloni P. palmivora yang paling besar adalah P53KpTuSU dan yang kecil adalah P19KoPglSU. Rata-rata diameter koloni P. palmivora asal kelapa lebih besar (54.8 mm) dibandingkan dengan isolat P. palmivora asal kakao (43.5 mm) (Gambar 21).
Gambar 21
Rata-rata diameter koloni populasi isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao.
Tipe kawin Dua puluh dua isolat P. palmivora hasil koleksi diuji tipe kawinnya dengan dua spesies Phytophthora yang telah diketahui tipe kawinnya yaitu P. palmivora tipe A1 (isolat Co5 asal Pakuwon) dan tipe A2 (isolat Co2 asal Manado) serta P. capsici tipe A1 (isolat N2) dan tipe A2 (isolat N4). Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 22 isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao hanya 20 isolat P. palmivora yang membentuk oospora. Dua isolat P. palmivora yang tidak membentuk oospora adalah isolat asal kakao P06KoKlwgJT dan P22KoMrwSU. Isolat P. palmivora yang membentuk oospora memiliki bentuk oogonium globose
dan anteridium
amphigynous (Erwin & Ribeiro 1996) (Gambar 22). Tipe kawin
dari 22 isolat P. palmivora ditampilkan dalam Tabel 9.
A
B C
Gambar 22 Oogonium globose (A), oospora (B), dan anteridium amphigynous (C) dari P. palmivora Tabel 9 Tipe kawin isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao Isolat P. palmivora Asal kelapa P12KpMpgSU P13KpMpgSU P34KpMrwSU P35KpMrwSU P41KpHbGrto P42KpHbGrto P43KpKdGrto P44KpByASU P46KpByASU P51KpSkjtiJT P52KpTuSU P53KpTuSU P58KpSdkSU Asal kakao P61KoSLorJT P02KoKlTgJT P04KoTrbslJT P05KoKlwgJT P06KoKlwgJT P09KoKlkptJT P19KoPngklSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
P. palmivora Co5 Co2 (A1) (A2)
P. capsici N2 N4 (A1) (A2)
Tipe kawin
Anteridium
+ + + + + + -
+ + + + + + +
+ + + + + + -
+ + + + + + +
A1 A2 A2 A1 A2 A2 A1 A2 A2 A1 A1 A1 A1
amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous
+ + + + -
+ + +
+ + + + -
+ + +
A1 A2 A2 A2 A2 A1 A1
amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous amphigynous
Keterangan : (+) = ada oospora ; (-) = tidak ada oospora Karakter molekuler isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao
Amplifikasi ruas ITS-DNA. Diantara 22 isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao yang berhasil diekstraksi DNAnya, hanya 4 isolat yang di amplifikasi ruas DNA dengan teknik PCR menggunakan primer ITS 4R dan ITS 5F. Keempat isolat tersebut adalah dua isolat P. palmivora asal kelapa (P44KpByASU dan P53KpTuSU) dan dua isolat P. palmivora asal kakao (P22KoMrwSU dan P40KoMpySU). Hasil amplifikasi DNA keempat isolat P. palmivora tersebut menghasilkan satu pita DNA dengan ukuran 900 bp (Gambar 23). Pita DNA dengan ukuran 900 bp merupakan spesies P. palmivora (Umaya 2004). Pita DNA dari empat isolat P. palmivora tersebut dengan ukuran 900 bp selanjutnya dinalisis runutan DNAnya dengan menggunakan mesin sekuensing ABI-Prism 3100 Avant Genetic Analyser.
1
2
3
4
5
1000 850
Gambar 23
900 bp
Hasil amplifikasi ruas ITS-DNA beberapa isolat P. palmivora menggunakan sepasang primer ITS 4F dan ITS 5R. Lajur 1 Penanda DNA 1 kb DNA ladder (Invitrogen), lajur 2 isolat asal kakao (P22KoMrwSU) , lajur 3 isolat asal kakao (P40KoMpySU), lajur 4 isolat asal kelapa (P44KpByASU) dan lajur 5 isolat asal kelapa (P53KpTuSU)
Perunutan ITS-DNA P. palmivora Perunutan DNA dilakukan terhadap empat fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dari isolat P. palmivora asal kelapa (P44KpByASU dan P53KpTuSU) dan isolat asal kakao (P22KoMrwSU dan P40KoMpySU). Dari empat isolat P. palmivora yang dianalisis runutan DNAnya hanya tiga isolat P. palmivora yang menghasilkan runutan DNA yaitu isolat P22KoMrwSU,
P40KoMpySU, dan
P53KpTuSU sedangkan hasil runutan DNA isolat P44KpByASU tidak teramati jenis nukleotidanya. Dari keempat isolat P. palmivora tersebut hanya data isolat P22KoMrwSU, P40KoMpySU, dan P53KpTuSU yang selanjutnya digunakan sebagai bahan analisis kesamaan genetiknya. Isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao ini dianalisis kemiripan genetiknya dengan P. palmivora dari daerah geografi lainnya informasi perunutan DNA yang tersedia dalam GeneBank
berdasarkan
melalui program
BLAST dari NCBI (www.ncbi.nlm.nih). Hasil analisis tiga isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao dengan menggunakan analisis Clustal.W nampak beberapa bagian yang diapit oleh ruas ITS4R dan ITS5F memiliki homologi (Gambar 24). KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
----AAGGATCATTACC--ACACCTAAAAACTTTCCACGTGAACCGTATCAAAACTTAGT ------------TTACC--ACACCTAAAAACTTTCCACGTGAACCGTATCAAAACTTAGT -------------------------------------------CCGTATCAAAACTTAGT ----AAGGATCATTACC--ACACCTAAAAACTTTCCACGTGAACCGTATCAAAACTTAGT ----AAGGATCATTACC--ACACCTAAAAACTTTCCCCGTGAACCGTATCAAAACTTAGT ----AAGGATCATTACC--ACACCTAAAAACTTTCCACGTGAACCGTATCAACCTTTAGT --TGTTGGCCTGATATCTGGTGCCTTTGAGAGGCGCGCGGAAGCTACACAAGTTCCCAAA CTGGGTTAGTCTATGACACACACCGAACGATCCTCGACGGTGGGTCCACGTTGTGTGATA ---TGCTGCTCTGTGCT-CTCGTCTCATCATCGTCCAGAACAAAAAAAGCATGCGAAATA * *
54 46 17 54 54 54 58 60 56
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
--TGGGG--GTC---TCTTTC-GGCGGCGGCTGCTGGCTTCCATTGCTG-------GCGG --TGGGG--GTC---TCTTTC-GGCGGCGGCTGCTGGCTTC-ATTGCTG-------GCGG --TGGGG--GTC---TCTTTC-GGCGGCGGCTGCTGGCTTC-ATTGCTG-------GCGG --TGGGG--GTC---TCTTTC-GGCGGCGGCTGCTGGCTTC-ATTGCTG-------GCGG --TGGGG--GTC---TCTTTC-GGCGGCGGCTGCTGGCTTC-ATTGCTG-------GCGG --TGGGG--GTC---TTTTTC-GGCGGCGGCTGCTGGTTTA-ATTACTG-------GCGG --TGGGGCGACC---CTCGAC-AGCCGAAGCCGCCACTCTACTTCGCAACACC---AAAG --CTGCATCGTC---ATCGAT-CAGCACAGCTCTACGATCACGCATCAGCATGG--ACTG GATAGCGATGTCTCGATAGATGCATCACGTAGCCACGATCATACAATCGATCTGCATCCG * * *
99 90 61 98 98 98 109 112 116
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
CTGCTGTTGGGA---GAGC-TCTATC-ATGGCGAGCGTTTGGGCTT-CGGTCTGA---AC CTGCTGTTGGGA---GAGC-TCTATC-ATGGCGAGCGTTTGGGCTT-CGGTCTGA---AC CTGCTGTTGGGA---GAGC-TCTATC-ATGGCGAGCGTTTGGGCTT-CGGTCTGA---AC CTGCTGTTGGGA---GAGC-TCTATC-ATGGCGAGCGTTTGGGCTT-CGGTCTGA---AC CTGCTGTTGGGA---GAGC-TCTATCCATGGCGAGCGTTTGGGCTT-CGGTCTGA---AC TTGCTGCTGGGA---GAGC-CCTATC-ATGGCGAGCGTTTGGGCTT-CGGTCTGA---AC CCAATTCAAAAACC-AAGC-TCTCATAGCTACGGGTCACCAATCATACCACCCCA---GC CGCTCGCTATGATC-GAGTATCGACCTACGCGCTCTGCGCAAGCTCGCCGCGCAAC--GC CGCCTGCTATGTGCGGAGTCATGTGCCATGCGTCTGTCTCAGACTC-CAGCGACACGCGC ** * * * *
150 141 112 149 150 149 164 169 175
Gambar 24
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2
Perbandingan hasil perunutan DNA isolat P. palmivora asal kelapa (P53KpTuSU) dan dua isolat P.palmivora asal kakao (P22KoMrwSU, dan P40KoMpySU ) dari Indonesia dan P. palmivora dari GeneBank. *) menunjukkan nukleotida yang sama
T-AGTAGCTTTTTTAAACCCATTCTT------TATAACTGATTATACTG-TAGGGACGAA T-AGTAGCTTTTTTAAACCCATTCTT------TATAACTGATTATACTG-TAGGGACGAA T-AGTAGCTTTTTTAAACCCATTCTT------TATAACTGATTATACTG-TAGGGACGAA T-AGTAGCTTTTTTAAACCCATTCTT------TATAACTGATTATACTG-TAGGGACGAA T-AGTAGCTTTTTTAAACCCATTCTT------TATAACTGATTATACTG-TAGGGACGAA
202 193 164 201 202
KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
T-AGTAGCTTTTTTAAACCCATTCAT------TATTACTGATTATACTG-TGGGGACGAA TGAGGAAATATTCAATAAGCGTCTGTGCAGC-CGAAGCCAACCATACCG-C-GAATCGAA TCACGCCGCTCACTGAGCTCGATCATCGTTCGCGCACACGCGGGTCCCGACCCGATCACG CGCCGCACTCGATCCGTCTCTGTCTCGCACATCGCTTTCGGCCGCCTCGTCTCGACATCG * *
201 221 229 235
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
AGTCTCTGCTTTTA------ACTAGATAG-CAACTTTCAGCAGTGGATGTCTAGGCTCGC AGTCTCTGCTTTTA------ACTAGATAG-CAACTTTCAGCAGTGGATGTCTAGGCTCGC AGTCTCTGCTTTTA------ACTAGATAG-CAACTTTCAGCAGTGGATGTCTAGGCTCGC AGTCTCTGCTTTTA------ACTAGATAG-CAACTTTCAGCAGTGGATGTCTAGGCTCGC AGTCTCTGCTTTTA------ACTAGATAG-CAACTTTCAGCAGTGGATGTCTAGGCTCGC AGTCTCTGCTTTTA------ACTAGATAG-CAACTTTCAGCAGTGGATGTCTAGGCTCGC CACTCCTCCATTAACGCCACACCAGACAAACTGGGCGCCAGACTGGGTACGCAAGCGGCC GATTCGGATAGCGATGCGTCACGACAGACTTACATCACTACAGCAG-TGCGCGCTCAACA GGTGCCGAGACTGT-------CTTCCCAT-CAGTCGACACGAGTCGCTCTACCCGCCTTG * * * * * * * ACATCGATGAAGAACGCTGC-GAACTGCGATACGT--AATGCGAAT--TG----CAGGAACATCGATGAAGAACGCTGC-GAACTGCGATACGT--AATGCGAAT--TG----CAGGAACATCGATGAAGAACGCTGC-GAACTGCGATACGT--AATGCGAAT--TG----CAGGAACATCGATGAAGAACGCTGC-GAACTGCGATACGT--AATGCGAAT--TG----CAGGAACATCGATGAAGAACGCTGC-GAACTGCGATACGT--AATGCGAAT--TG----CAGGAACCTCGATGAAGAACGCTGC-GAACTGCGATACGT--AATGCGAAT--TG----CAGGATCCACAATCAGCAACGCCAC-GCTTTTGGAGAAAA--GAGAAGAAC--AGTT--CAGTAC ACATTAGTAGCCACCTCTGC-CCGCTGTGATATAACGAATCTTTAC--TAGCTGCAGACA TCTTGTACGTCCAGCGTCGCGCCGGTGAGAGACAT---ATCGTTATCTTATATCTATACT * * * * * ** * * * * --TTCAGTGAGTCATCGAA-ATTTTGAACGCATATT-GCA------CTTCCGGGTTAGTC --TTCAGTGAGTCATCGAA-ATTTTGAACGCATATT-GCA------CTTCCGGGTTAGTC --TTCAGTGAGTCATCGAA-ATTTTGAACGCATATT-GCA------CTTCCGGGTTAGTC --TTCAGTGAGTCATCGAA-ATTTTGAACGCATATT-GCA------CTTCCGGGTTAGTC --TTCAGTGAGTCATCGAA-ATTTTGAACGCATATT-GCA------CTTCCGGGTTAGTC --TTCAGTGAGTCATCGAA-ATTTTGAACGCATATT-GCA------CTTCCGGGTTAGTC ATTTCAAAGGACTCTCAGCCGATCCGAAGACCAGCC-GCAAGAGACTTTACATCTGGGAC GTTGTGTGGCATGCACGAGACGCGTATCCGCGAACTCGCATG----TATCTGCGCGAGTC ACCACAATGTGTGTGTCTAGAGCCCGCGAAAGAGCCCACAC-----CCCCCATAT-ATCC * ** * CTGGGAGTATGCCTGTATCAGTGTCCGTACATCAAACTTGGTTTTCTTTCCTTC-----CTGGGAGTATGCCTGTATCAGTGTCCGTACATCAAACTTGGTTTTCTT-CCTTC-----CTGGGAGTATGCCTGTATCAGTGTCCGTACATCAAACTTGGTTTTCTT-CCTTC-----CTGGGAGTATGCCTGTATCAGTGTCCGTACATCAAACTTGGTTTTCTT-CCTTC-----CTGGGAGTATGCCTGTATCAGTGTCCGTACATCAGACTTGGTTTTCTT-CCTTC-----CTGGAAGTATGCCTGTATCAGTGTCCGTACATCAAACTTGGGTTTCTT-CCTTC-----ATCCCCCCCCGACTACACGGAAGGAAGAAAACCAAGTTTGAGGTGCGGACACTGATACAG GTGCAGACAAGCTCGCTGCGCTCTCTCGAGTGTGTGAGCGTGCTGAGCACGGCGAGCT-GCGCGCGAATATTCGTAACCCCCTCTCTCTCTCACATTTATATCGCGCCCACCAGAGCAG * -CGTGTAGTCGGTGGT-----GGATGTGC-CAGATGTGAAGTGTCTTGCGGCTGGTC---CGTGTAGTCGGTGGT-----GGATGTGC-CAGATGTGAAGTGTCTTGCGGCTGGTC---CGTGTAGTCGGTGGT-----GGATGTGC-CAGATGTGAAGTGTCTTGCGGCTGGTC---CGTGTAGTCGGTGGT-----GGATGTGC-CAGATGTGAAGTGTCTTGCGGCTGGTC---CGTGTAGTCGGTGGT-----GGATGTGC-CAGATGTGAAGTGTCTTGCGGCTGGTC---CGTGTAGTCGGTGGA-----GGATATGC-CAGATGTGAGGTGTCTTGCGGCTGGCC--GCGTACTCCCAGGAGTAACCCGGAAGAGC-AATATGCGTTCAAAATTTCGATGACTC---CGCACCGTGTGTGTGCGTACACACGCACGCGAGCGTGCGCCTATCCGCTCGCACGC--AGAACCAAAGTGTGTG-----TCGCGTCC-CAGAAGTGTGGCGTATCGCGCCAGAGCAGA * * * * * * TTCGGATCG-GCTGTGAGTCCTTTGAAATGTACTGAACTGTACTTCTCTTTGCTCC-AAA TTCGGATCG-GCTGTGAGTCCTTTGAAATGTACTGAACTGTACTTCTCTTTGCTCC-AAA TTCGGATCG-GCTGTGAGTCCTTTGAAATGTACTGAACTGTACTTCTCTTTGCTCC-AAA TTCGGATCG-GCTGTGAGTCCTTTGAAATGTACTGAACTGTACTTCTCTTTGCTCC-AAA TTCGGATCG-GCTGTGAGTCCTTTGAAATGTACTGAACTGTACTTCTCTTTGCTCC-AAA TTCGGGTCG-GCTGTGAGTCCCTTGAAATGTACTGAACTGTACTTCTCTTTGCTCG-AAA ACTGAATCCTGCAATTCGCATTACGTATCGCAGTTCGCAGCGTTCTTCATCGATGT-GCG GCTCGCTCCGTACGCGACTATACGTGCACGTGCGCATCCGCCTCCGCTCGTGCTCTTGTG GCCCTCTCC-CCCACAAATATACGTGCACA-ACGCGCCCACACGCGCCCTGTCTTT-GTG ** * *
255 246 217 254 255 254 281 288 287
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
305 296 267 304 305 304 334 345 344 355 346 317 354 355 354 393 401 398 409 399 370 407 408 407 453 459 458 459 449 420 457 458 457 509 515 512 517 507 478 515 516 515 568 575 569
Gambar 24 (lanjutan) KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2
AGCGTGGCGTTGCTGATTGTGGAGGCTGCTTGCGTA-GCCAGTCTGGCGACCAGTTTGTC AGCGTGGCGTTGCTGATTGTGGAGGCTGCTTGCGTA-GCCAGTCTGGCGACCAGTTTGTC AGCGTGGCGTTGCTGATTGTGGAGGCTGCTTGCGTA-GCCAGTCTGGCGACCAGTTTGTC AGCGTGGCGTTGCTGATTGTGGAGGCTGCTTGCGTA-GCAAGTCTGGCGACCAGTTTGTC AGCGTGGCGTTGCTGATTGTGGAGGCTGCTTGCGTA-GCCAGTCTGACGACCAGTTTGTC
576 566 537 574 575
KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
AGTAAAGC-TTGCTTGTTGTGGAGGCTGCTTGTGTA-ACCAGTC-GGCGACTAGTTTGTC AGCCTAGACAT-CCACTGCTGAAAGTTGCTATCTAG-TTAAAAGCAGAGACTTTCGTCCC GGTGACGACCCACATGTGAGGACACGTCTATGCATGCGTTGCCATGGTTATCAGTTTGTG GGAGAGCA-CCACAGAGAGAGATAGAGTATCTCTAGTTTGTACATGTATACACATTTTCA * * * * *
572 626 635 628
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
TGCT---GTGGCGTTAATGGAGGAGTGTTCGATTCGCGGTATGGTTGGCTTCGGCTGAATGCT---GTGGCGTTAATGGAGGAGTGTTCGATTCGCGGTATGGTTGGCTTCGGCTGAATGCT---GTGGCGTTAATGGAGGAGTGTTCGATTCGCGGTATGGTTGGCTTCGGCTGAATGCT---GTGGCGTTAATGGAGGAGTGTTCGATTCGCGGTATGGTTGGCTTCGGCTGAATGCT---GTGGCGTTAATGGAGGAGTGTTCGATTCGCGGTATGGTTGGCTTCGGCTGAATGCT---GTGGCGTTAATGGAGGAGTGTTCGATTCGCGGTATGATTGGCTTCGGCTGAATACA---GTATAATCAGTTATAAAGAATGGGTTTAAAAAAGCTACTAGTTCAGACCGAAG CACGA-GGTAGGACCCTTCACACGCGCACGTAATTACGCAGCATATGCGCCCGCTCGCGC CAGAGAGGGAGCGTCTCTCTACAGCTCGCGCATGTACGCGAAAGAGATACCAGCGCCCG* * *
632 622 593 630 631 628 683 694 687
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
--CAGACGCTTATTG----AATATTTCTTCAGCTGTGGTGGT-----ATGAT-TGGTGAA --CAGACGCTTATTG----AATATTTCTTCAGCTGTGGTGGT-----ATGAT-TGGTGAA --CAGACGCTTATTG----AATATTTCTTCAGCTGTGGTGGT-----ATGAT-TGGTGAA --CAGACGCTTATTG----AATATTTCTTCAGCTGTGGTGGT-----ATGAT-TGGTGAA --CAGACGCTTATAG----AATATTTCTTCAGCTGTGGTGGT-----ATGAT-TGGTGAA --CAGAAGCTTATTG----GGCGTTTTTCCTGCTATGGCGGT-----ATGAAGTAGTGAA CCCAAACGCTCGCCATGATAGAGCTCTCCCAACAGCAGCCGCCAGCAATGAAGCCAGCAG CCTGGACGAGATGCT-----ATCATCCTTCGTTNCCAGTCACTTTGTTTGGG--GGAGCA --CGCACAAGAGAAC-----ACCATCTTTCTATACACATT--------TGTGTGGGCGCA * * * **
680 670 641 678 679 677 743 747 732
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
CCGTAGCTATGTGAG---CTTGGCT---TTTGAATTGGCTTTGCT-------GTTGCGAA CCGTAGCTATGTGAG---CTTGGCT---TTTGAATTGGCTTTGCT-------GTTGCGAA CCGTAGCTATGTGAG---CTTGGCT---TTTGAATTGGCTTTGCT-------GTTGCGAA CCGTAGCTATGTGAG---CTTGGCT---TTTGAATTGGCTTTGCT-------GTTGCGAA CCGTAGCTATGTGAG---CTTGGCT---TTTGAATTGGCTTTGCT-------GTTGCGAA CCGTAGTTATGTGGG---CTTGGCT---TTTGAATGTGCTC-GCT-------GT-GCGAA CCGCCGCCGAAAGAGACCCCCAACTAAGTTTTGATACGGTTCACGTGGAAA-GTTTTTAG CCACAACTTTGTCGCACCTCCAACGCTACCGCNATACCTCGTCCGCCGCGGCGGGACGAG C-ACATTTCCCCCCCCACACCCGCGA-GCCCTATCACTACGCGGGAGAGAGGAGAGAGAA * * *
727 717 688 725 726 722 802 807 790
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
GTAGAGTGGCGGC--TTCGGCTGTCGAGGGTCGATCCA--TTTGGGAACTTGTGTATG-GTAGAGTGGCGGC--TTCGGCTGTCGAGGGTCGATCCA--TTTGGGAACTTGTGTATG-GTAGAGTGGCGGC--TTCGGCTGTCGAGGGTCGATCCA--TTTGGGAACTTGTGTATG-GTAGAGTGGCGGC--TTCGGCTGTCGAGGGTCGATCCA--TTTGGGAACTTGTGTATG-GTAGAGTGGCGGC--TTCGGCTGTCGAGGGTCGATCCA--TTTGGGAACTTGTGTATG-GTAGAGTGGCGAC--TTTGGGTGTCGAGGGTCGATCCA--TTTGGGAAATTGTGTGTA-GTGTGGTAATGACC-TTCCGCAGTGTGATTTTGAACGC--GTATTGCACTGCCGGGTGAGTGGGGACACGAAACAACTCCCGTCTCAGCTTCGTCTT--GTTATGTGACTTTGCCTGAT AAATAATCACTCAATGTGTGTTGTGTGAGATGTGTTATACGCTGGGAAACACCCCCTGTG ** * * *
781 771 742 779 780 776 858 865 850
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
---CTTCGGCATGCAT---CTCAATTG--------GACCTGATATCAGGCAAGAT-TACC ---CTTCGGCATGCAT---CTCAATTG--------GACC-----------------------CTTCGGCATGCAT---CTCAA--------------------------------------CTTCGGCATGCAT---CTCAATTG--------GACCTGATATCAGGCAAGAT-TACC ---CTTCGGCATGCAT---CTCAATTG--------GACCTGATATCAGGCAAGAT-TACC ---CTTCGGTATGCAT---CTCAATTG--------GACCTGATATCAGGCAAGGT-TACC -GTCCTGGGAGTATGC---CTGTATCACT------GTCCGTACATCAGACTTGGT-TTTC CGGGCCGACTACGATA---TTTTATTAAT------GCCGGGCGGGTCCACTTCAT-TGCT -ATATATACTACGAGGGGCCGCTATCACTCTTCCCCCCCCGAGGGGAAACCTAATATCCT *
826 796 760 824 825 821 907 915 909
Gambar 24 (lanjutan) KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU
CGCTGAACTTAA---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------CGCTGAACTTAA-----------------------------------------------CGCTGAACTTAA-----------------------------------------------CGCTGAACTTAA-----------------------------------------------TTCCTTCCGTGAAGTCAGT-GGTGGAT---------------------------------
838
836 837 833 933
P22KoMrwSU P40KoMpySU
CCCCGCGCCCGGGAGGCAT-CATCCCACACCCCGCCGCG--------------------- 953 CCCCGCGGGGAAGAGATGTGTGCTCCAGAATTATATGTGCCGCGGTTTTTCATCAAAAAA 969
KoGhana1 KoPuertoRico KoCostaRica KoTaiwan1 KoTaiwan2 KoGhana2 P53KpTuSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------AAATTTTTTCTGGCGGAAATGTGGAAACCTCATCCCCACCT 1010
Gambar 24 (lanjutan) Keragaman genetik P. palmivora berdasarkan ruas ITS-DNA Analisis kemiripan genetik hasil perunutan DNA ruas ITS DNA menggunakan analisis ClustalW 1.83 disajikan dalam Gambar 25.
1.0
0
0.5
koefisien
Indonesia
Gambar 25
GeneBank
Dendrogram isolat-isolat P. palmivora asal Indonesia (P53KpTuSU, P22KoMrwSU, P40KoMpySU) terhadap isolat P. palmivora dari lokasi geografi lain yang ada di GeneBank (Ghana, Taiwan, Puerto Rico, dan Costa Rica) berdasarkan analisis urutan ITS-DNA menggunakan program ClustalW 1.83.
Hasil analisis menunjukan isolat-isolat tersebut terbagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok pertama terdiri dari isolat P. palmivora asal Indonesia yang mempunyai tingkat kemiripan genetik 67%, dan kelompok kedua terdiri dari isolat asal Ghana2, dan kelompok ketiga yang mempunyai tingkat kemiripan genetiknya 99.8%. terdiri dari isolat P. palmivora asal Ghana1 , Taiwan 1, Taiwan 2, Puerto Rico dan Costa Rica.
Isolat P. palmivora asal Indonesia (Jawa Timur dan Sulawesi Utara) (P53KpTuSU, P22KoMrwSU, P40KoMpySU) tidak berada dalam kelompok yang sama dengan isolat P. palmivora asal Taiwan, Ghana, Puerto Rico dan Costa Rica. Sedangkan
hasil analisis filogenetik tiga isolat P. palmivora asal Indonesia
menunjukkan bahwa isolat P. palmivora asal kelapa (P53 KpTuSU) tidak sekelompok dengan dua
isolat P. palmivora asal kakao (P22KoMrwSU dan
P40KoMpySU). Keragaman Genetik Isolat P. palmivora Berdasarkan RAPD Profil pita DNA Hasil seleksi 10 primer yaitu OPA20, OPA16, OPA11, OPA5, OPA2, OPA7, OPB12, OPB1, OPB5, dan OPB10 terhadap DNA total P. palmivora asal kelapa dan asal kakao dengan teknik PCR-RAPD menghasilkan 5 jenis primer yang menunjukkan pita polimorfis dan memberikan gambar pita DNA yang tajam dan jelas. Kelima primer tersebut adalah OPA16, OPA11, OPB1, OPB5, OPA2 yang kemudian digunakan untuk mengamplifikasi DNA P. palmivora. Berdasarkan pengamatan terhadap profil pita RAPD yang dihasilkan oleh lima primer tersebut menunjukkan bahwa semua DNA isolat P. palmivora dapat diamplifikasi. Jumlah pita DNA hasil amplifikasi per primer berkisar antara 7-14 pita. Pita DNA hasil amplifikasi yang diperoleh berukuran 250-1000 pasang basa (Gambar 26). Jumlah pita DNA hasil amplifikasi disajikan dalam Tabel 10. Dengan menggunakan kelima primer yaitu OPA-16, OPB-05, OPA-02, OPB-1, OPA-11 diperoleh 56 pita DNA. Jumlah pita DNA paling banyak terdapat pada primer OPA-11 yaitu sebanyak 15 pita DNA yang semuanya adalah pita polimorfik sedangkan yang paling sedikit adalah primer OPB-1 dan OPA-16 yang masingmasing dengan jumlah pita DNA 9 dan semua pita adalah polimorfik. Persentase pita polimorfik dari hasil amplifikasi lima primer adalah 52 pita atau 92.8% dari total pita. Jumlah pita polimorfik hasil amplifikasi pada isolat P. palmivora asal kelapa sebanyak 92.8%. Sedangkan jumlah pita polimorfik hasil amplifikasi pada isolat P. palmivora asal kakao sebanyak 88.5%.
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
1
1000 850
1000
850
Gambar 26 Pola pita DNA isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao hasil amplifikasi menggunakan primer OPA-11. 1) Marker 1 kb (Invitrogen), 2-23) isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao. Tabel 10 Jenis primer, susunan basa, total pita DNA dan pita DNA polimorfik isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao
No.
1 2 3 4 5
Primer
OPA-02 OPA-11 OPA-16 OPB-1 OPB-5
Isolat P. palmivora dan jumlah pita polimorfis
Total Pita DNA
Total pita DNA polimorfik
Asal Kelapa
Asal Kakao
TGCCGAGCTG CAATCGCCGT AGCCAGCGAA GTTTCGCTCC TGCGCCCTTC
12 15 9 9 11
12 15 9 8 9
12 14 9 8 9
10 10 8 8 10
Total Persentase (%)
56
52 92.8
52 92.8
46 88.5
Susunan basa (5’----------3’)
Analisis filogenetik isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao berdasarkan RAPD Hasil pengelompokkan berdasarkan pada penanda RAPD menggunakan lima primer memperlihatkan bahwa antar isolat P. palmivora asal kelapa mempunyai kemiripan genetik yang rendah ditunjukkan dengan mengelompoknya
seluruh isolat P. palmivora asal kelapa pada tingkat kemiripan genetik 54%. Pada tingkat kemiripan 54% pengelompokkan isolat P. palmivora asal kelapa terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama hanya terdiri dari satu isolat P12KpMpgSU,
dan
kelompok
P34KpMrwSU,
P35KpMrwSU,
kedua
terdiri dari isolat
P53KpTuSU,
P13KpMpgSU,
P51KpSkjtiJT,
P52KpTuSU,
P58KpSdkSU, P41KpHbGrto, P42KpHbGrto, P43KpKdGrto, P44KpByASU, dan P46KpByASU (Gambar 27). Demikian pula hubungan genetik antar isolat P. palmivora asal kakao hanya mempunyai kemiripan genetik 56%. Pada kemiripan genetik 56% isolat P. palmivora asal kakao terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok isolat P61KoSLorJT, P02KoKlTgJT, P04KoTrbslJT, P06KoKlwgJT, P05KoKlwgJT, dan P09KoKlkptJT yang semuanya berasal dari Jawa Timur, dan kelompok kedua terdiri dari isolat
P19KoPglSU, P22KoMrwSU, dan
P40KoMpySU yang ketiganya berasal dari Sulawesi Utara (Gambar 28). Hasil ini
P12MpgSU P13MpgSU P35MrwSU P58SdkSU P53TuSU P51SkjtiJT P52TuSU P34MrwSU P41HbGrto P42HbGrto P46ByASU P44ByASU P43KdGrto 0.50
0.61
0.72
0.84
0.95
Koefisien
Gambar 27
Dendrogram isolat P. palmivora asal kelapa berdasarkan RAPD
P61SLorJT P05KlwgJT P02KlTgJT P04TrbslJT P06KlwgJT P09KlkptJT P19PgklSU P40MpySU P22MrwSU 0.50
0.61
0.72
0.84
0.95
Koefisien
Gambar 28
Dendrogram isolat P. palmivora asal kakao berdasarkan RAPD
mengindikasikan bahwa populasi isolat P. palmivora asal kakao lebih beragam dari pada isolat P. palmivora asal kelapa. Jika kedua kelompok populasi isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao digabung analisis filogenetiknya, maka populasi isolat P. palmivora terbagi menjadi beberapa kelompok dan tidak ada pola pengelompokkan yang jelas antara isolat P. palmivora asal kelapa atau asal kakao. Seluruh isolat P. palmivora mengumpul membentuk satu kelompok pada kemiripan genetik 54% (Gambar 29). Pada tingkat kemiripan genetik 54%, terjadi dua tingkat pengelompokan yaitu kelompok pertama terdiri atas 6 isolat yaitu P61KoSLorJT, P02KoKlTgJT, P04KoTrbslJT, P06KoKlwgJT, P05KoKlwgJT, P12KpMpgSU. Kelompok kedua terdiri dari 16 isolat yaitu P09KoKlkptJT,
P13KpMpgSU, P34KpMrwSU,
P35KpMrwSU, P53KpTuSU, P22KoMrwSU, P40KoMpySU, P43KpKdGrto, P51KpSkjtiJT,
P52KpTuSU,
P58KpSdkSU,
P19KoPglSU,
P41KpHbGrto,
P42KpHbGrto, P44KpByASU, dan P46KpByASU. Pengelompokkan ini juga menunjukkan bahwa isolat P. palmivora asal kelapa dapat mengelompok bersama dengan isolat asal kakao berdasarkan RAPD.
P12MpgSU P02KlTgJT P04TrbslJT P06KlwgJT P61SLorJT P05KlwgJT P13MpgSU P35MrwSU P58SdkSU P53TuSU P51SkjtiJT P52TuSU P22MrwSU P34MrwSU P40MpySU P43KdGrto P41HbGrto P42HbGrto P46ByASU P19PgklSU P44ByASU P09KlkptJT 0.50
0.61
0.72
0.84
0.95
Koefisien
Gambar 29
Dendrogram isolat P. palmivora antar populasi asal kelapa dan asal kakao berdasarkan RAPD
Jika dilihat dari lokasi pengambilan sampel, maka isolat yang berasal dari lokasi yang sama atau berdekatan tidak selalu menunjukkan hubungan kekerabatan yang dekat sebaliknya isolat yang berasal dari lokasi yang berjauhan tidak selalu menunjukkan hubungan kekerabatan yang jauh. Isolat asal kakao P51KpSkjtiJT dari Sukojati Banyuwangi, Jawa Timur mempunyai kemiripan genetik 86% dengan isolat asal kakao P52KpTuSU dari Tungoi Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Pengelompokkan ini memperlihatkan bahwa isolat P. palmivora di lapangan sudah sangat beragam baik antar isolat P. palmivora asal kelapa maupun asal kakao. Virulensi dan patogenisitas Untuk
mengetahui virulensi dari isolat-isolat P. palmivora dilakukan
pengamatan terhadap periode laten, keparahan penyakit dan laju perkembangan penyakit melalui bercak pada buah yang muncul akibat inokulasi P. palmivora pada buah kelapa (GSK dan GKN) dan kakao (Tabel 11). Periode laten ke 22 isolat P. palmivora berkisar antara 3.8-7 hari pada kelapa GSK, 2.7-3.5 hari pada kelapa GKN, dan 2.4-7 hari pada kakao. Periode laten tercepat pada kelapa adalah 2.7 hari setelah
inokulasi yaitu isolat P41KpHbGrto, sedangkan pada kakao 2.4 hari
setelah inokulasi terjadi pada isolat P61KoSLorJT. Keparahan penyakit yang terjadi pada kelapa GSK dan GKN berkisar antara 3.6-50.5% dan kakao 7.537.25%. Keparahan penyakit ertinggi pada buah kelapa GSK terjadi pada isolat P52KpTuSU, sedangkan pada kelapa GKN
keparahan tertinggi pada isolat
P41KpHbGrto dan P46KpByASU. Keparahan penyakit tertinggi pada buah kakao terjadi pada isolat P61KoSLorJT. Laju perkembangan penyakit berkisar antara 0.1-0.73 unit/hari. Pada buah kelapa GSK laju perkembangan penyakit tertinggi 0.53 unit/hari adalah isolat P46KpByASU dan pada buah kelapa GKN laju perkembangan penyakit tertinggi 0.73 unit/hari adalah isolat P46KpByASU, sedangkan pada buah kakao laju perkembangan penyakit tertinggi adalah isolat P61KoSLorJT. Isolat asal kelapa P34KpMrwSU yang diinokulasikan
pada kelapa
tidak menunjukkan gejala
penyakit namun pada bagian yang diinokulasi terlihat adanya permukaan kulit buah (0.5 cm) yang berkerut dan agak basah. Nampak isolat P34KpMrwSU adalah isolat yang sudah kehilangan virulensinya sehingga
buah kelapa yang
diinokulasikan dengan isolat tersebut menunjukkan reaksi hipersensitif. Persentase keparahan penyakit yang ditimbulkan suatu isolat pada tanaman inang pada waktu tertentu merupakan dasar dari penetapan skor virulensi suatu isolat. Tingkat virulensi isolat ditentukan berdasarkan pada skor yang dimiliki setiap isolat (Tabel 12). Ketika isolat-isolat P. palmivora asal kelapa diinokulasikan pada tanaman kelapa maka diperoleh dua isolat P. palmivora yang memiliki tingkat virulensi yang tinggi pada buah kelapa GSK dan empat isolat pada tanaman kelapa GKN. Sedangkan isolat P. palmivora asal kakao diinokulasikan pada buah kakao diperoleh dua isolat yang bervirulensi tinggi. Ketika
13 isolat P. palmivora asal
kelapa diinokulasikan pada buah kakao terlihat bahwa tingkat virulensi sebagian besar isolat P. palmivora tergolong avirulen dan hanya satu isolat yang tingkat virulensinya rendah yaitu P52KpTuSU. Begitu juga dengan tingkat virulensi dari sembilan isolat P. palmivora asal kakao yang diinokulasi pada buah kelapa, sebagian besar isolat P. palmivora tergolong avirulen sampai virulensi rendah dan terdapat tiga isolat P. palmivora bervirulensi sedang yaitu P61KoSlorJT, P09KoKlkptJT, dan P40KoMpySU.
Tabel 12 Tingkat virulensi 22 isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao Tingkat virulensi pada Isolat P. palmivora
Pola tanam
Kelapa GSK
Kelapa GKN
Kakao
Asal Kelapa P12KpMpgSU P13KpMpgSU P34KpMrwSU P35KpMrwSU P41KpHbGrto P42KpHbGrto P43KpKdGrto P44KpByASU P46KpByASU P51KpSkjtiJT P52KpTuSU P53KpTuSU P58KpSdkSU
Monokultur Monokultur Tumpangsari Tumpangsari Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Tumpangsari Tumpangsari Monokultur
rendah rendah avirulen avirulen avirulen rendah sedang sedang tinggi rendah sedang avirulen avirulen
sedang sedang avirulen tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang avirulen
avirulen avirulen avirulen avirulen avirulen avirulen avirulen avirulen avirulen avirulen rendah avirulen avirulen
Asal Kakao P61KoSLorJT P02KoKlTgJT P04KoTrbslJT P05KoKlwgJT P06KoKlwgJT P09KoKlkptJT P19KoPglSU P22KoMrwSU P40KoMpySU
Tumpangsari Monokultur Tumpangsari Monokultur Monokultur Tumpangsari Monokultur Tumpangsari Monokultur
rendah avirulen rendah avirulen avirulen avirulen avirulen avirulen avirulen
sedang avirulen avirulen avirulen avirulen sedang avirulen avirulen sedang
tinggi sedang sedang avirulen sedang sedang avirulen sedang tinggi
V. PEMBAHASAN Penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao merupakan penyakit penting secara ekonomi dan dipandang sebagai ancaman utama pada perusahaan perkebunan dan petani kelapa dan kakao di Indonesia.
Hasil
survei
pada
daerah sentra produksi kelapa di daerah Sulawesi Utara dan Jawa Timur diketahui bahwa tanaman kelapa yang terserang penyakit gugur buah hanya di provinsi Sulawesi Utara. Di provinsi Jawa Timur penyakit gugur buah tidak ditemukan pada areal pertanaman kelapa. Tidak adanya penyakit gugur buah pada tanaman kelapa di Jawa Timur
karena secara umum tanaman kelapa yang ditanam di
daerah ini adalah populasi kelapa Dalam Banyuwangi (DBI). Mangindaan et al. (1992) melaporkan bahwa kelapa DBI adalah kelapa yang tahan terhadap penyakit gugur buah. Selain itu pada saat survey dilakukan, tanaman kelapa yang ditanam pada kebun petani di Jawa Timur sedang tidak menghasilkan buah karena bakal buahnya disadap untuk diambil niranya. Di Sulawesi Utara penyakit gugur buah ditemukan pada populasi kelapa Hibrida PB-121 dan kelapa GKN. Kedua populasi tersebut ternyata sangat rentan terhadap penyakit gugur buah seperti yang dilaporkan oleh Kharie et al. (1992), beliau mengemukakan bahwa kelapa Hibrida PB 121 yang merupakan hasil persilangan antara kelapa Dalam Afrika dan Genjah Merah Malaysia sangat rentan terhadap penyakit gugur buah. Runtunuwu et al. (1999) juga melaporkan bahwa GKN sangat rentan terhadap penyakit gugur buah. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa luas busuk buah pada populasi
kelapa GKN yang
diinokulasi dengan P. palmivora berkisar antara 50.8 - 87.0 cm2 merupakan paling luas
diantara beberapa populasi kelapa Genjah dan kelapa Dalam uji.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa sebenarnya gugur buah kelapa akan menjadi ancaman pada kelapa yang rentan seperti kelapa Hibrida PB-121 dan GKN tapi tidak pada kelapa Dalam. Walaupun populasi kelapa Dalam diketahui tahan terhadap busuk buah, ketahanan ini hanya akan terjadi selama tidak ada tindakan pengendalian yang bertujuan untuk memusnahkan patogen seperti aplikasi pestisida
atau penggunaan tanaman tahan (vertikal resisten) secara
monokultur yang luas. Hasil survey menunjukkan penyakit busuk buah kakao ditemukan pada lokasi sentra produksi kakao di provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Di
provinsi Jawa Timur terlihat
kejadian penyakit busuk buah lebih tinggi pada
lokasi dengan pola tanam monokultur dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari. Sedangkan di Sulawesi Utara, kejadian penyakit gugur buah tidak menunjukkan perbedaan antara lokasi tumpangsari dan monokultur. Tingginya kejadian penyakit busuk buah
lebih dipengaruhi oleh keadaan kebun yang tidak
terawat. Ada lokasi tumpangsari kelapa dan kakao yang kejadian penyakitnya ringan yaitu lokasi Sepanjang Lor, Treblasala, dan Kalikempit (Jawa Timur). Lokasi tersebut dilakukan pemeliharaan dengan pemangkasan. Frekuensi panen setiap 3 hari sekali juga digunakan sebagai kegiatan dalam memantau adanya buah busuk untuk dimusnahkan dengan cara memendamkan buah busuk dalam tanah. Pada lokasi Marinsow (Sulawesi Utara),
tingkat kejadian penyakit busuk
buah kakao adalah sedang, sedangkan pada lokasi di Desa Tungoi dan Mopuya adalah berat. Tingginya kejadian penyakit busuk buah kakao karena tidak melakukan pemeliharaan pemangkasan dan gulma di bawah tanaman. Selain itu tingginya kejadian penyakit busuk buah diperparah dengan adanya serangan penggerek
buah
kakao
(PBK).
Kurangnya
pengetahuan
petani
tentang
pemeliharaan tanaman dan pengetahuan tentang hama dan penyakit tanaman kakao juga memperparah kejadian penyakit busuk buah.
Oleh karena itu untuk
mengurangi munculnya penyakit busuk buah kakao dianjurkan untuk melakukan teknik budidaya yang benar. Pemangkasan ranting-ranting perlu dilakukan untuk menjaga agar kelembaban udara di dalam areal kebun rendah sehingga patogen tidak berkembang. Selain itu perlu dilakukan pengendalian terhadap penggerek buah kakao dan penggunaan varietas tahan terhadap beberapa ras patogen. Penggunaan varietas yang horizontal resisten harus menjaga kelembaban udara dan tanah di dalam kebun tetap stabil. Analisis keragaman isolat-isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao di areal sampel berdasarkan aspek morfologi diketahui ke 22 isolat P. palmivora sangat beragam. Pengamatan bentuk sporangium ke-22 isolat P. palmivora sangat beragam, tapi umumnya berbentuk ellipsoid sampai ke ovoid. Tidak ada perbedaan bentuk antara isolat P. palmivora asal kelapa maupun isolat P. palmivora asal kakao. Berdasarkan ukuran panjang dan lebar sporangium diketahui juga sangat bervariasi antar isolat P. palmivora. Kisaran panjang sporangium P palmivora asal kelapa 47-62 µm dan lebar 32-43 µm, sedangkan panjang sporangium P.
palmivora asal kakao 40-54 µm dan lebar 28-37 µm. Menurut Stamp et al. (1990) bahwa panjang dan lebar sporangium P. palmivora 35-60 µm dan 20-40 µm Sedangkan menurut Erwin dan Ribeiro (1996) ukuran panjang berkisar antara 40-60 µm
P. palmivora
dan lebar 20-40 µm. Panjang dan lebar sporangium
isolat asal kelapa lebih panjang dan lebih lebar dari isolat asal kakao. Hasil ini juga didukung oleh beberapa peneliti sebelumnya bahwa rata-rata panjang sporangium isolat asal kelapa 52 µm dan lebar 31 µm, lebih panjang dan lebih lebar dari isolat asal kakao dengan panjang
49.7 µm dan lebar 30.3 µm
(Reinking 1923 ; Thompsom 1929). Dalam penelitian diamati
panjang
sporangium mencapai 62 µm dan lebar 43 µm. Meskipun ukurannya lebih besar dari rata-rata tetapi
isolat dengan ukuran tersebut masih termasuk kriteria P.
palmivora. Rasio
panjang/lebar sporangium P. palmivora juga bervariasi, rata-rata
sekitar 1.5. Mchau & Coffey (1994) melaporkan rasio panjang/lebar sporangium P. palmivora adalah 1.3-1.8. Sporangium P. palmivora bersifat mudah lepas dari tangkai sporangium (caducous) dengan pedikel pendek (< 5 µm) dan mempunyai bentuk papila yang menonjol.
Patogen ini sangat berbeda dengan spesies
Phytophthora yang lain yang tergolong dalam kelompok heterotalik karena sporangiumnya mempunyai bentuk papila dengan tonjolan yang jelas (Gambar 17). Klamidospora P. palmivora berbentuk globose dan sedikit subglobose. Umumnya klamidospora terletak di ujung hifa (terminate) dan sebagian lagi
diantara
miselium (intercalary). Beberapa isolat P. palmivora tidak membentuk klamidospora pada medium V8 agar. Diameter klamidospora berukuran 32-42 µm (Holliday, 1980) dan rata-rata 33 µm (Waterhouse, 1974) dan 36.2±9.6 µm (Mchau dan Coffey, 1994). Berdasarkan pengamatan tipe koloni, umumnya isolat P. palmivora mempunyai tipe koloni stelate baik isolat asal kelapa maupun isolat asal kakao. Sedangkan koloni tipe cottony hanya terdapat pada isolat P. palmivora asal kelapa dan tipe rossaceous hanya pada isolat asal kakao. Menurut Appiah et al. (1999) bentuk koloni dapat digunakan untuk membedakan spesies Phytophthora yaitu, bentuk koloni P megakarya adalah cottony, P. palmivora stelate, dan P capsici rosette. Dalam penelitian ini, bentuk koloni
P. palmivora didapatkan bukan
hanya berbentuk stelate tetapi ada juga yang berbentuk cottony dan rossaceous.
Dengan demikian bentuk koloni tidak dapat membedakan antara isolat P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao. Pengamatan diameter koloni menunjukkan adanya variasi ukuran antar isolat P. palmivora. Rata-rata diameter koloni isolat P. palmivora asal kelapa lebih besar dibandingkan dengan isolat P. palmivora asal kakao. Berdasarkan karakter morfologi terungkap bahwa isolat P. palmivora mempunyai variasi yang tinggi, baik di dalam populasi asal kelapa maupun dalam populasi asal kakao. Variasi dalam tingkat isolat P palmivora dapat terjadi secara asexual. Produksi zoospora yang bervariasi dalam satu isolat P. palmivora dapat terjadi karena heterokariosis dan rekombinasi paraseksual dapat terjadi pada genus Phytophthora. Abu-El Samen et al. (2002) melaporkan bahwa dari 15 progeni asexual isolat zoospora tunggal
P infestans (P-126) terdapat 13 progeni yang
sangat peka dan 2 progeni kurang peka terhadap pestisida mefenoxam dibandingkan dengan isolat asal P-126 P. infestans. Progeni asexual dari isolat P126 P. infestans juga sangat bervariasi dalam virulensi. Variasi genetik yang terjadi dalam proses pertumbuhan dan reproduksi asexual juga dapat disebabkan mutasi pada mitokondria. Caten (1971) melaporkan variasi antar koloni tunggal zoospora Phytophthora karena miselium yang berkecambah dari zoozpora terdiri berbagai tipe sitoplasma yang secara terus menerus melakukan seleksi. Beberapa variasi fenotipik yang terjadi juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti medium pertumbuhan dan suhu pada saat melakukan pemeliharaan isolat di laboratorium. Oleh karena variasi yang tinggi di dalam populasi sehingga kadang sulit untuk mengidentifikasi spesies. Dengan demikian untuk membedakan isolat P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao sangat sulit jika hanya berdasarkan karakter morfologi. Menurut Erwin dan Ribeiro (1996) bahwa perbedaan sifat morfologi P. palmivora penyebab penyakit gugur buah kelapa atau busuk buah kakao dapat dibedakan menurut sporangium, ratio panjang dan lebar sporangium,
bentuk dan ukuran
tipe dan diameter koloni,
caducity, dan pedikel. Tetapi dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak semua karakter morfologi dapat membedakan isolat P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao. Namun beberapa karakter yang dapat diukur seperti diameter koloni dan panjang/lebar sporangium dapat digunakan untuk membedakan kedua
populasi isolat P. palmivora. Oleh karena itu kedua karakter ini dapat menjadi acuan untuk membedakan populasi isolat P. palmivora asal kelapa dengan kakao. Keberadaan kedua tipe kawin dari P. palmivora yaitu A1 dan A2 diyakini menjadi sumber keragaman dari spesies tersebut dan dapat menjadi indikasi adanya spesies baru. Selama ini diketahui bahwa isolat P. palmivora asal kakao hanya memiliki tipe kawin A2 (Warokka & Thevenin 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe kawin A1 telah ditemukan pada isolat asal kakao. Adanya tipe kawin A1 dan A2 pada spesies P. palmivora asal kakao yang bersifat heterotalik dapat menimbulkan tingkat heterosigositas tinggi dalam populasi. Jadi dengan
ditemukannya tipe kawin A1 pada isolat P. palmivora asal kakao dapat
menimbulkan kekuatiran akan adanya progeni baru yang lebih virulen sehingga menimbulkan epidemik penyakit busuk buah kakao atau gugur buah kelapa. Isolat P. palmivora asal kelapa maupun isolat P. palmivora asal kakao mempunyai kedua tipe kawin A1 dan A2. Pada daerah sentra produksi kelapa memang telah lama ditemukan adanya tipe kawin A1 dan A2. Seperti yang dilaporkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Warokka & Thevenin (1992) bahwa penyebaran isolat P. palmivora tipe A1 dan A2
telah ditemukan pada
daerah-daerah perkebunan kelapa di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Maluku, sedangkan di provinsi Sulawesi Selatan dan Aceh hanya ditemukan salah satu tipe kawin A1 atau A2. Dari 22 isolat P. palmivora tersebut terdapat 2 isolat yang tidak dapat membentuk oospora. Thorold (1974) melaporkan bahwa terdapat
isolat P.
palmivora asal kelapa yang diisolasi dari spora tunggal tidak menghasilkan oospora ketika dipasangkan. Sedangkan isolat P. palmivora yang bukan berasal dari spora tunggal dapat menghasilkan oospora. Kemungkinan hal yang sama terjadi pada kedua isolat P. palmivora tersebut sehingga tidak menghasilkan oospora. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao bisa disilangkan dengan isolat P. capsici asal lada dan menghasilkan oospora, sehingga mengindikasikan bahwa pada genus Phytophthora dapat terjadi persilangan antar spesies. Goodwin & Fry, (1994) mengemukakan bahwa persilangan antar spesies P. infestans dan P. mirabillis telah dilakukan di laboratorium dan diduga munculnya spesies P. meadii terjadi akibat persilangan kedua spesies tersebut. Jadi adanya tipe kawin A1 dan A2 serta persilangan antar
spesies dari genus Phytophthora pada pertanaman kelapa maupun kakao menjadi ancaman akan munculnya progeni baru P. palmivora yang lebih virulen dan dapat meningkatkan epidemik. Kekuatiran ini menjadi tidak berlebihan karena banyak epidemik penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora telah terjadi di luar negeri, seperti penyakit hawar daun pada tanaman kentang yang diakibatkan masuknya tipe kawin A2 dari P. infestans. Perubahan inang dari P. palmivora juga terjadi pada kelapa Dalam di Sulawesi Utara. Semula serangan penyakit busuk pucuk oleh P. palmivora yang terjadi di Sulawesi Utara sejak masuknya tanaman kelapa Hibrida PB121. Sampai dengan tahun 1997 hampir sebagian besar tanaman kelapa Hibrida mati terserang penyakit busuk pucuk kelapa. Setelah periode tersebut laporan kejadian penyakit busuk pucuk kelapa semakin menurun karena tanaman kelapa Hibrida banyak yang mati dan petani tidak menanam lagi kelapa hibrida tetapi menggantikannya dengan kelapa Dalam Lokal. Pada tahun 2005 mulai ada laporan serangan penyakit busuk pucuk pada populasi tanaman kelapa Dalam di Minahasa Selatan (Sulawesi Utara), yang dapat membuktikan adanya perubahan virulensi dari patogen P. palmivora yang semula menyerang kelapa Hibrida kini menyerang kelapa Dalam yang sebelumnya tergolong tahan terhadap patogen tersebut. Secara umum berdasarkan karakter morfologi isolat P. palmivora asal kelapa sulit dibedakan dengan isolat P. palmivora asal kakao. Untuk itu diperlukan cara lain agar dapat membedakan kedua populasi isolat tersebut. Identifikasi secara molekuler sangat diperlukan untuk dapat melengkapi data-data yang dapat membedakan tiap isolat. Untuk mengetahui karakter molekuler isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao dapat digunakan analisis amplifikasi DNA dengan teknik PCR. Isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao dapat diamplifikasi dengan primer ITS4R/ITS5F dan menghasilkan pita DNA dengan ukuran 900 bp. Penelitian molekuler Phytophthora spp pada kakao
dengan menggunakan primer
ITS4R/ITS5F menghasilkan pita DNA tunggal dengan ukuran 900 bp (Darmono dan Purwantara 2001). Pita berukuran ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Umaya (2004), Darmono et al. (2006) yang menggunakan primer yang sama untuk P. palmivora yang diisolasi dari kakao. Pita dengan ukuran tersebut setelah diurutkan DNAnya, diketahui bahwa isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao.
Enam isolat P. palmivora asal kakao yang diambil dari koleksi GeneBank berkelompok dengan isolat P. palmivora asal kakao dari Indonesia dan berbeda kelompok dengan isolat P. palmivora asal kelapa. Penelitian ini membuktikan hasil analisis filogenetik bahwa isolat asal kelapa tidak sekelompok dengan isolat P. palmivora asal kakao (Gambar 25). Perbedaan yang nyata dapat terjadi karena adanya delesi, insersi, atau substitusi DNA antar spesies dalam daerah ITS. Meskipun isolat P. palmivora asal kelapa tidak sekelompok dengan isolat P. palmivora asal kakao, tetapi dalam kelompok isolat P. palmivora asal kakao ternyata menunjukkan bahwa isolat P. palmivora asal kakao dari Indonesia tidak sekelompok dengan isolat P. palmivora asal geografi lain (Gambar 25). Jadi isolat P. palmivora asal kakao memiliki tingkat perbedaan genetik yang tinggi. Hasil ini didukung dengan hasil analisis keragaman genetik dengan menggunakan 5 primer acak bahwa tingkat keragaman isolat asal kakao mencapai 54% (Gambar 28). Hasil analisis keragaman genetik dengan menggunakan 5 primer acak menunjukkan bahwa 22 isolat P. palmivora asal kelapa dan kakao memiliki tingkat kemiripan yang rendah (54%). Tingkat kemiripan populasi isolat asal kelapa hanya 54%. Hasil ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Motulo et al. (2004) bahwa kemiripan genetik isolat P. palmivora yang berasosiasi dengan penyakit gugur buah kelapa sangat rendah yaitu 40.6%. Mchau dan Coffey (1994) mempelajari keragaman 93 isolat P. palmivora berdasarkan analisis isoenzim. Dari 93 isolat tersebut menghasilkan 18 tipe elektroforetik isoenzim dan delapan tipe eletroforetik isoenzim dimiliki oleh isolat P. palmivora asal kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman yang tinggi terjadi pada populasi isolat asal kelapa. Berdasarkan analisis filogenetik diketahui kemiripan genetik populasi isolat asal kakao 56%. Hasil ini sangat berbeda dengan yang didapatkan oleh Umaya 2004, bahwa kemiripan genetik P. palmivora asal kakao adalah 83%. Perbedaan ini dapat terjadi kemungkinan disebabkan karena sampel isolat P. palmivora dan primer acak RAPD yang digunakan tidak sama dengan yang digunakan dalam penelitian ini. Pengamatan intensitas pita dengan menggunakan kelima primer yaitu OPA16, OPA11, OPB1, OPB5, OPA2 tersebut menunjukkan tidak selalu setiap primer memperoleh pita dengan intensitas yang sama. Perbedaan intensitas setiap
pita tidak dapat digunakan untuk menduga jumlah kopi pasang basa pada setiap pita RAPD. Intensitas pita sangat dipengaruhi oleh kemurnian reaksi yaitu masih adanya
senyawa polisakarida dan fenolik serta konsentrasi DNA cetakan yang
terlalu kecil. Berdasarkan data pada Tabel 10 diketahui bahwa pita polimorfik yang dihasilkan melalui amplifikasi DNA dengan 5 primer sebanyak 52 pita atau 92.8%. Hasil ini lebih rendah dari hasil analisis RAPD terhadap populasi P. palmivora yang berasosiasi dengan penyakit gugur buah kelapa yang menggunakan sembilan primer, tiga diantaranya sama dengan primer yang digunakan dalam penelitian ini . Pita polimorfik yang dihasilkan mencapai 95.4% (Motulo et al. 2004). Umaya 2004 melakukan analisis RAPD pada isolat P. palmivora yang berasosiasi dengan penyakit busuk buah kakao menggunakan lima primer yang berbeda dengan penelitian ini, menghasilkan pita polimorfis sebesar 40%. Perbedaan persentase hasil amplifikasi pita polimorfisme karena primer yang digunakan dalam penelitian Umaya 2004 berbeda dengan primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu OPH-19, OPH-12, OPB-11, OPN-06, dan OPN-10. Pemilihan primer pada analisis RAPD berpengaruh terhadap polimorfisme pita yang dihasilkan, karena setiap primer memiliki situs penempelan tersendiri. Akibatnya pita DNA polimorfik yang dihasilkan setiap primer menjadi berbeda, baik dalam ukuran maupun jumlah pita DNA. Secara umum hasil uji patogenisitas dan virulensi dari isolat P. palmivora asal kelapa dan kakao menunjukkan isolat P. palmivora asal kelapa tidak virulen terhadap kakao. Isolat P. palmivora asal kakao menunjukkan tingkat virulensi yang berbeda pada buah kelapa. Meskipun ke 22 isolat P. palmivora diisolasi dari buah kelapa yang terserang penyakit gugur buah
dan telah diidentifikasi sebagai
patogen P. palmivora akan tetapi setelah diuji patogenisitas terhadap buah kelapa dan kakao ternyata tingkat virulensi P. palmivora asal kelapa lebih tinggi pada tanaman kelapa GKN dibandingkan dengan tanaman kelapa GSK. Pada populasi kelapa yang tergolong tahan (GSK) umumnya isolat P. palmivora asal kakao menunjukkan tidak virulen dan virulensi rendah, sedangkan pada populasi kelapa yang rentan (GKN) menunjukkan tingkat virulensi sedang dan ada juga yang tidak virulen.
Sebagian besar isolat
P. palmivora
asal kelapa lebih virulen bila
diinokulasikan pada buah kelapa itu sendiri, demikian juga isolat P. palmivora asal kakao lebih virulen bila diinokulasikan pada buah kakao. Beberapa isolat P.
palmivora bisa terjadi inokulasi silang namun tingkat virulensinya lebih rendah bahkan tidak virulen. Dilihat dari karakter morfologi ternyata setiap isolat mempunyai bentuk, ukuran panjang dan lebar sporangium, diameter koloni yang berbeda. Namun secara umum pengamatan berdasarkan karakter morfologi sulit dibedakan P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao. Sedangkan identifikasi P. palmivora asal kelapa dengan asal kakao berdasarkan karakter molekuler melalui perunutan ruas ITS-DNA diketahui bahwa isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao. Selanjutnya
analisis virulensi
diperoleh hasil
bahwa isolat P. palmivora asal kelapa lebih virulen pada tanaman kelapa sendiri dibandingkan pada tanaman yang bukan inangnya. Hal yang sama juga terjadi pada isolat P. palmivora asal kakao yang lebih virulen pada tanaman kakao. Berdasarkan data yang dikemukakan di atas, menjadi pertanyaan mana yang lebih dulu dibudidayakan dan terserang P. palmivora di Indonesia, kelapa atau kakao? Berdasarkan sejarah keberadaan penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao yang disebabkan oleh patogen yang sama yaitu P. palmivora, maka menjadi tidak penting tanaman mana yang lebih dulu dibudidayakan dan terserang P. palmivora di Indonesia. Kedua penyakit tersebut ada di Indonesia dan epidemik penyakit terjadi pada tanaman kelapa atau kakao terutama setelah masuknya kultivar-kultivar hibrida dari tanaman kelapa maupun tanaman kakao yang diintroduksi dari luar. Walaupun laporan mengenai penyakit busuk buah kakao sudah ada sejak tahun 1971, tetapi laporan tentang penyakit busuk pucuk dan gugur buah kelapa baru ada 14 tahun kemudian, yaitu setelah masuknya kultivar kelapa Hibrida PB 121. Hasil pengujian berdasarkan morfologi, molekuler, dan virulensi dari isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao umumnya mengungkapan bahwa isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao. Semua data yang dihimpun dalam penelitian ini menunjukkan
adanya keragaman di dalam
spesies P. palmivora. Keragaman dari isolat P. palmivora yang tinggi membuktikan telah terjadi perubahan mutasi pada populasi P. plamivora baik isolat asal kelapa maupun isolat asal kakao. Laju perubahan mutasi pada isolat P. palmivora asal kelapa dan kakao belum diketahui. Tipe kawin A1 yang ditemukan pada isolat P. palmivora asal kakao menjadi salah satu penyebab terjadinya mutasi.
Selain itu fusi antara dua inti yang berbeda dalam miselium (heterokariosis) dapat terjadi pada P. palmivora yang dapat menyebabkan perubahan genetik. Terjadinya epidemik penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao juga dipengaruhi oleh adanya aliran gen. P. palmivora memiliki propagul asexual dalam bentuk sporangium, zoospora, dan klamidospora. Propagul asexual ini merupakan suatu mata rantai dari gen-gen yang sudah beradaptasi dan terseleksi kebugarannya pada lingkungan pertumbuhan tanaman. Penanaman tanaman kelapa atau kakao yang tahan terhadap patogen P. palmivora yang ditanam dalam areal yang luas serta penggunaan bahan kimiawi untuk pengendalian penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao memicu terjadinya tekanan genetik dalam populasi P. palmivora, sehingga menyebabkan perubahan genetik P. palmivora dari avirulen menjadi virulen. Pengalaman telah membuktikan bahwa di Sulawesi Utara, penyakit gugur buah dan busuk pucuk telah menyerang tanaman kelapa Dalam Lokal yang sebelumnya tahan terhadap patogen P. palmivora. Penyebabnya adalah adanya tekanan genetik pada populasi P. palmivora sehingga populasi menjadi berkurang. Tekanan genetik ini terjadi karena populasi kelapa Hibrida yang rentan terhadap P. palmivora sebagian besar sudah mati dan petani menggantikannya dengan kelapa Dalam Lokal yang tahan terhadap P. palmivora. Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun patogen P. palmivora tidak tersedia makanan, sehingga menyebabkan populasi patogen menurun. Populasi P. palmivora yang tersisa berusaha mempertahankan hidup dari masa ”kelaparan” tersebut sehingga akhirnya menimbulkan mematahkan gen tahan dari populasi kelapa Dalam dan menimbulkan epidemik busuk pucuk. Penanaman tanaman kakao di bawah kelapa dapat menyebabkan terjadinya epidemik penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao. Karena adanya kedua penyakit yang disebabkan oleh patogen yang sama P. palmivora pada pertanaman kelapa dan kakao dapat meningkatkan jumlah populasi patogen menjadi tinggi. Patogen dengan ukuran populasi yang besar lebih berpotensi untuk terjadi evolusi karena tersedia lebih banyak alel mutan. Jadi pemilihan tanaman kakao di bawah tanaman kelapa tidak dianjurkan. Namun pada
lokasi-lokasi perkebunan yang
telah melakukan pola tanam tumpangsari kelapa-kakao dianjurkan untuk menjaga kelembaban kebun
melalui pemangkasan dan pembersihan ranting tanaman
kakao, pembersihan bahan-bahan organik yang ada pada ketiak daun kelapa,
melakukan pengendalian dengan agen hayati, menggunakan pestisida sekecil mungkin dan melakukan monitoring secara periodik.
Bila ingin melakukan
tumpangsari di bawah tanaman kelapa, sebaiknya memilih tanaman yang tidak mempunyai penyakit yang disebabkan oleh patogen P. palmivora. .
VI. SIMPULAN DAN SARAN
Karakter morfologi yang dapat membedakan isolat
P. palmivora
asal
kelapa dengan asal kakao adalah ukuran panjang dan lebar sporangium serta diameter koloni, karakter morfologi lain tidak dapat digunakan untuk membedakan P. palmivora asal kelapa atau asal kakao. Sporangium isolat P. palmivora asal kelapa lebih panjang dan lebih lebar dari sporangium P. palmivora asal kakao. Diameter koloni isolat P. palmivora asal kelapa lebih panjang dari P. palmivora asal kakao. Dua puluh dua isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao memiliki pedikel pendek, bentuk papila yang menonjol,
anteridium amphigynous,
oogonium globose, percabangan sporangium simpel simpodium, dan sporangium bersifat mudah lepas dari tangkai sporangium. Isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao memiliki tipe kawin A1 dan A2. Berdasarkan fragmen DNA isolat P. palmivora asal kelapa maupun isolat asal kakao berukuran sama yaitu, sebesar 900 bp. Sedangkan berdasarkan perunutan fragmen ITS-DNA isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao. Berdasarkan hasil analisis filogenetik bahwa isolat P. palmivora dari Jawa Timur dan Sulawesi Utara (Indonesia) berbeda dengan isolat P. palmivora asal Thailand, Taiwan, Korea, Puerto Rico, Ghana, dan Cameron. Isolat P. palmivora asal kelapa dapat dibedakan dengan isolat P. palmivora asal kakao berdasarkan morfologi sporangium, diameter koloni, dan runutan ruas ITS-DNA. Kemiripan genetik isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao dengan menggunakan
lima primer OPA2, OPA-11, OPA16, OPB-1, OPB-5 adalah
rendah yaitu 54% dan 56%. Jumlah pita polimorfik isolat asal kakao dan asal kelapa yaitu sebesar 52 dari 56 pita atau 92.8%. Artinya isolat P. palmivora asal kelapa maupun asal kakao memiliki keragaman yang tinggi. Keparahan penyakit, periode laten, laju perkembangan penyakit dan luas bercak setiap isolat P. palmivora
sangat beragam, berarti virulensi isolat P.
palmivora sangat beragam. Isolat P. palmivora asal kelapa lebih virulen pada tanaman kelapa dibandingkan pada tanaman kakao dan isolat P. palmivora asal kakao lebih virulen pada tanaman kakao dibandingkan pada tanaman kelapa.
Inokulasi silang bisa terjadi antara isolat P. palmivora asal kelapa pada buah kakao dan sebaliknya. Namun tingkat virulensi isolat P. palmivora asal kelapa ke buah kakao tergolong avirulen sampai virulensi rendah dan juga tingkat virulensi isolat P. palmivora asal kakao ke buah kelapa tergolong avirulen sampai viulensi sedang. Tipe kawin A1 isolat P. palmivora asal kakao telah ditemukan pada lokasi perkebunan kakao Sepanjang Lor (Jawa Timur) dan Pungkol (Sulawsei Utara) serta kebun petani Desa Mopuya (Sulawesi Utara). Oleh karena itu kepada Perusahaan Perkebunan ataupun petani kelapa dan kakao yang telah menerapkan pola tanam tumpangsari kelapa-kakao sebaiknya melakukan monitoring kejadian penyakit dan keparahan penyakit secara periodik
untuk mengetahui jika terjadi
perubahan genetik pada isolat asal kelapa ke buah kakao atau sebaliknya. Bila ingin melakukan diversifikasi lahan di bawah tanaman kelapa sebaiknya memilih tanaman yang tidak mempunyai penyakit yang disebabkan oleh patogen yang sama yaitu, P. palmivora.
DAFTAR PUSTAKA Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc. Abu-El Samen FM, Secor GA, Gudmestad NC. 2002. Variability in virulence among asexual progenies of Phytophthora infestans. Phytopathology 93 : 293-304. Anonimous. 1995. Management of Phytophthora Diseases in Durian: Project Information. ACIAR. www.gebhardt.com.au/durian/idm.html (10 Oktober 2007). Anonimous. 1996. Bibliography of Black Pod Diseases Phytophthora palmivora, Phytophthora megakarya, Phytophthora capsici. http://www.oardc.ohiostate.edu/cocoa/blackpod.htm. (1 Oktober 2007). Anonimous. 2006. Identification of Plant Pathogenic Phytophthora Species by ITS Fingerprinting. www.phytid.org/identify.asp (11 Mei 2006). Anonimous. 2007a. Developing sustainable cocoa production systems: Cocoa and Chocolate. CABI-Commodities (www.cabi-commodities.org) (20 Juni 2007). Anonimous. 2007b. Phytophthora palmivora. http://en.wikipedia.org/wiki/ Phytophthora palmivora. (1 Oktober 2007). Appiah AA, Bridge PD, Flood J, Archer SA. 1999. Variability, pathogenicity and resistance to Phytophthora species causing black pod disease of cocoa. Proceedings of the 5 International Conference on Plant Protection in the Tropics, 15-18 March 1999, Kuala Lumpur Malaysia. Hlm 301-306. Appiah AA, Flood J, Bridge PD, Archer SA. 2003. Inter and intraspesific morphometric variation and characterization of Phytophthora isolate from cocoa. Plant Pathology 52: 168-180. Bailey JA, Nash C, Morgan LW, O’Connell RJ, TeBeest DO. 1996. Molecular taxonomy of Colletotrichum species causing anthracnose on the Malvaceae. Phytopathology 86: 1076-1083. Barnicki-Garcia S, Wang MC. 1983. Biochemical aspects of morphogenesis in Phytophthora.. Di dalam Erwin DC, Bartnicki-Garcia S, Tsao PH, editor Phytophthora : Its Biology, Taxonomy, Ecology, and Pathology. St. Paul Minn : American Phytopatological Society. hlm 121-137. Bennett CPA, Sitepu G, Roboth O. 1985. Aspects of the control of premature nutfall disease of coconut, Cocos nucifera L., caused by Phytophthora palmivora (Butler). Butl. Coconut Plant Protection Seminar, Bogor 8-10 Mei 1985. Bennet CPA, Roboth O, Sitepu G, Lolong A. 1986. Pathogenicity of Phytophthora palmivora (Butl.) causing premature nutfall disease of coconut (Cocos nucifera L.). Indonesian Journal of Crop Science 2:59-70.
Bennet DM, Hoffmann AA. 1998. Effect of size and fluctuating asymmetry on field fitness of parasitoid Trichogramma carverae (Hymenoptera : Trichogrammatidae). Annu Ecol 67:580-591. Brasier CM, Griffin MJ. 1979. Taxonomy of Phytophthora palmivora fungi on cocoa. Trans. Br. Mycol. Soc. 72 (1) : 111-143. Brasier CM, Griffin MJ, Madison AC. 1981. The cocoa black pod phytophthoras. Commonw. Mycol. Ins. Phytopathol. Paper No. 25 hal 18-30. Bruns TD, Vilgays R, Borns SM, Gonzales D, Hibbert DS, Lane DJ, Simon L, Strickel S, Szaro TM, Weisburg WG, Sogin ML. 1992. Evolutionery relationships within fungi : analysis of nuclear small subunit rRNA sequences. Mol. Phytogenet Evol 1: 231-241. Butler. 1907. An account of the genus Pythium and some Christidiaceae. Mem. Dep. Agric. India. Bot. Seri I : 82-84. Di dalam Tucker CM. 1933. Distribution of the genus Phytophthora. Univ. Mo. Agric. Exp. Stn. Res. Bull. 184. Butler. 1919. Fungi and Diseases in Plant. 330 Thacker Spink Co. Calcutta. Di dalam Tucker CM. 1933. Distribution of the genus Phytophthora. Univ. Mo. Agric. Exp. Stn. Res. Bull. 184. Caten CE. 1971. Single zoospore variation in Phytophthora infestans and attenuation of strains in culture. Brit. Mycol. Soc. Trans. 56:1-7. Campello AMFL, Luz EDMN. 1981. Etiologia de podridao-parda do cacaueiro, nos Estados da Bahia e espirito Santo, Brasil. Fitopatologia Brasileira 6:313-321. Chang TT, Yang WW, Wang WY. 1996. Use of RAPD markers for the detection of genetic variation in Phytophthora cinnamomi in Taiwan. Bot. Bull. Acad. Sin. 37 : 165-171. Chowdappa P, ChandraMohanan R. 1996. Occurrence of Phytophthora citrophthora on cocoa in India. Tropical Agriculture (Trinidad) 73:158160. Concibido E. 2004. Phytophthora diseases of coconut in the Philippines. Di dalam: Drenth A dan Guest DI, editor. Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph No.114. hlm 116-123. Cook DEL, Kennedy DM, Guy DC, Russell J, Unkle SE, Duncan JM. 1996. Relatedness of group I species of Phytophthora as assed by random amplified polymorphic DNA (RAPDs) and sequences of ribosomal DNA. Mycological Research 100 : 297-303. Darmono TW, Jamil I, Santosa DA. 2006. Pengembangan penanda molekuler untuk deteksi Phytophthora palmivora pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 74(2):87-96. Darmono TW, Purwantara A. 2001. Practical work on detection of Phytophthora. Training Course on Early Detection of Woody Plant Diseases With Latent Infection. Bogor Indonesia. Biotecnology Research Unit for Estate Crops. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006a. Data series kelapa Tahun 1970 – 2009. http://ditjenbun.deptan.go.id/web/images/stories/testing/kelapa.pdf. (1 Oktober 2007). Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006b. Data series kakao Tahun 1967 – 2009. http://ditjenbun.deptan.go.id/web/images/stories/testing/kakao.pdf. (1 Oktober 2007).
Elliot CG. 1983. Physiology of sexual reproduction in Phytophthora.. Di dalam Erwin DC, Bartnicki-Garcia S, Tsao PH (ed) Phytophthora : Its Biology, Taxonomy, Ecology, and Pathology. St. Paul Minn : American Phytopatologycal Society. hlm 71-80. Erwin DC, Ribeiro OK. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. St Paul Minnesota, APS Press. Hlm 97-144. Foster LM, Kozak KR, Loftus MG, Stevens JJ, Ross IK. 1993. The polymerase chain reaction and its applications to filamentous fungi. Mycological Res. 97: 769-781. Förster H, Kinscherf TG, Leong SA, Maxwell DP. 1987. Molecular analysis of the mitochondrial genome of Phytophthora. Current Genetic 12: 215-218. Förster H, Cumming MP, Coffey MD. 2000. Phylogenetic relationship of Phytophthora species based on ribosomal ITS1 DNA sequence analysis with emphasis on Waterhouse group V and VI. Mycol. Res. 104 (9): 10551061. Franquevielle H, Kouassi A. 1992 Development of an inoculation test with Phytophthora katsurae, a cause of immature nutfall in Ivory Coast. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 October 1992. Fry WE, Goodwin SB, Dyer AT, Matuszak JM, Drenth A, Tooley PW, Sujkowski LS, Koh YJ, Cohen BA, Spielman LJ, Deahl KL, Inglis DA, Sandlan KP. 1993. Historical and recent migrations of Phytophthora infestans; Chronology, pathways, and implications. Plant Dis. 77:653-661. Garcia CO, Blaha G. 1992. Rapid specific identification of coconut and cocoa Phytophthora strains through PGI and MDH isoenzymatic banding patterns Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 October 1992. Gisi U, Cohen Y. 1995. Resistance to phenilalamide fungicide : A case study of Phytophthora infestans involving mating type and race structure. Annu. Rev. Phytopathol. 34 : 549-572. Goodwin SB. 1997. The population genetics of Phytophthora. Phytopathology 87(4):462-473. Goodwin SB, Drenth A, Fry WE. 1992. Cloning and genetic analysis of two highly polymorphic, moderately repetitive nuclear DNA’s from Phytophthora infestans. Current Genetic 22: 107-115. Goodwin SB, Fry WE. 1994. Genetic analysis of interspesific hybrids between Phytophthora infestans and Phytophthora mirabilis. Exp. Mycol. 18:20-32. Goodwin SB, Cohen BA, Deahl KL, Fry WE. 1994. Migration from northern Mexico as the probable cause of recent genetic changes in populations of Phytophthora infestans in the United State and Canada. Phytopathology 84: 553-558. Goodwin SB, Sujkowski LS, Fry WE. 1995. Rapid Evoluation of pathogenicity within clonal lineages of the potato late blight disease fungus. Phytopathology 85:669-676. Gomes AA, Gomes KA. 1983. Multiple Cropping in the Humid Tropic of Asia. International Development Research Centre. Ottawa, Canada. Gotoh K, Akino S, Maeda A, Kondo N, Naito S, Kato M, Ogoshi A. 2005. Characterization of some Asian isolates of Phytophthora infestans. Plant Pathology 54: 733-739.
Griffin MJ. 1977. Cocoa Phytophthora Workshop, Rothamstead. Experimental Station, England 24-26 May 1976. PANS 23:107-110 Halden HC, Hansen M, Nilsson NO, Hjerdin A. 1996. Competition as a source of errors in RAPD analysis. Theor Appl Genet 93:1185-1192. Hall G, Warokka JS. 1992. Species of Phytophthora implicated in bud rot and nutfall of coconut in Ivory Coast and Indonesia. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992. Hlm 69-70. Hefler V, Powelson MR, Johnson KB. 2002. Oomycetes. The Plant Health Instructor. www.apsnet.org/education/LabExercises/oomycetes/Top.html (29 Januari 2008). Henson JM, French R. 1993. The polymerase chain reaction and plant disease diagnosis. Annual Rev. of Phytopathology 31: 81-109. Hicks PG. 1975. Phytophthora palmivora pod rot of cacao in Papua New Guinea: investigations 1962-1971. J. Papua New Guinea Agric. 26:10-16. Holderness, M. 1992. Biology and control of Phytophthora diseases of cocoa in Papua New Guinea. Di dalam: Keanne PJ dan Putter CA, editor. Cocoa Pest and Disease management in Southeast Asia and Australia, Rome, Italy. FAO Plant Production and Protection Paper. No. 112 Holliday P. 1980. Fungus Diseases of Tropical Crops. Cambridge UK : University Press. Ilyas J. 2005. Analisis Sekuen Daerah ITS DNA Ribosom (rDNA) dan Desain Primer Untuk Mendeteksi Phytophthora palmivora Butl. Pada Kakao, (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Irish,B., Goenage,R., Park,S. and Kang,S. Unpublished. First Report of Phytophthora palmivora, Causal Agent of Black Pod, on Cacao (Theobroma cacao L.) in Puerto Rico. (www.ncbi.nlm.nih). (13 February 2007) Ivors KL, Hayden KJ, Bonants PJM, Rizzo DM, Garbelotto M. 2004. AFLP and phylogenetic analyses of North American and European populations of Phytophthora ramorum. Mycol. Res. 108 (Pt 4), 378-392. Keanne PJ. 1992. Disease of pests and cocoa: an overview. Di dalam: Keanne PJ dan Putter CA, editor. Cocoa Pest and Disease management in Southeast Asia and Australia, Rome, Italy. FAO Plant Production and Protection Paper. No. 112. Kellam MK, Zentmyer GA. 1981. Isolation of Phytophthora citrophthora from cocoa in Brasil. Phytopathology 71:230. Kharie S, Thevenin JM, Motulo HFJ. 1992. Assesing coconut Phytophthora diseases tolerance in Indonesia : development of an inoculation method and first tests. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992. Kreisel H. 1969. Grunzuge eines naturlichen system der pilze. Di dalam : Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc. Lee SB, Taylor JW. 1992. Phylogenie of five fungus like prototistan Phytophthora species inferred from the internal transcribed spacers of ribosomal DNA. Molecular Biology and Evolution 9: 636-653.
Legard DE, Lee TY, Fry WE. 1995. Pathogenic specialization in Phytophthora infestans : Aggresiveness on tomato. Phytopathology 85: 1356-1361. Mangindaan HF, Thevenin JM, Kharie S, Motulo HFJ. 1992. The susceptibility of coconut varieties to Phytophthora in Indonesia : the effect of environmental factors. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992. Masago H, Yoshikawa M, Fukada M., Nakanishi N. 1977. Selective inhibition of Pythium spp. On a medium for direct isolation of Phytophthora spp. from soil and plants. Phytopathology 67: 425-428. Massee G. 1899. Cacao disease in Trinidad. Kew Bull. Hal. 1-6 McGregor AJ, Moxon JE. 1985. Potential for biological control of tent building species of ants associated with Phytophthora palmivora pod rot of cocoa in Papua New Guinea. Ann. Appl. Biol. 107:271-277. Mchau GRA, Coffey MD. 1994. Isozyme diversity in Phytophthora palmivora : Evidence for Southeast Asia Centre of origin. Mycol. Res. 98 : 1269-1299. Miller PM. 1955. V8-Juice agar as general purpose medium for fungi and bacteria. Phytopathology 45:461-462. Mitchel JI, Roberts PJ, Moss ST. 1995. Sequence or structure? A short review on the application of nucleic acid sequence information to fungal taxonomy. Mycologist 9: 67-75. Motulo HFJ, Suradji-Sinaga M, Mandang S, Tjahyoleksono A. 2004. Keragaman genetik beberapa isolat Phytophthora palmivora penyebab penyakit gugur buah pada kelapa berdasarkan penanda RAPD. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10(4): 154-158. Opeke LK, Gorenz AM. 1974. Phytophthora pod rot ; symptoms and and economic importance Di dalam: Gregory PH, editor. Phytophthora disease of cocoa. New York Longman. Orellana RG. 1959. Variation in Phytophthora palmivora isolated from cacao and rubber. Phytopathology 49: 210-213. Osei-Bonsu K, Opoku-Amayaw K, Amoah F, Oppong F. 2002. Cacao-coconut intercropping in Ghana: agronomic and economic perspectives. Agroverestry System 55(1):1-8. Panabieres F, Marais A, Trentin F, Bonnet P, Ricci P. 1989. Repetitive DNA polimorphism analysis as a tool for identifying Phytophthora species. Phytopathology 79 : 1105-1109. Papavizas GC, Bowers JH, Johnston SA. 1981. Selective isolation of Phytophthora capsici from soils. Phytopathology 71:129-133. Parnata Y. 1983. The role of Phytophthora palmivora in the cocoa cultivation in North Sumatera. Konferensi Coklat Nasional II. Medan Oktober 1983. Patterson DJ, Sogin ML. 1992. Eukaryote origins and Protistan diversity. Di dalam Hartman H dan Matsuno K, editor. The Origin and evolution of the cell. Word Scientific, Singapore. Pongpisutta R, Sangchote S. 2004. Morphological and host range variability in Phytophthora palmivora from durian in Thailand. Di dalam: Drenth A dan Guest DI, editor. Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph No.114. hlm 53-58.
Prawoto AA, Fauzan A, Suhartoyo. 2001. Kajian agronomis dan ekonomis penggunaan kelapa sebagai penaung tanaman kakao yang dipanen nira dan buah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. Pringsheim N. 1858. Beitrage zur Morphologie und Systematik der Algen. Di dalam : Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka. Quillec G, Renard JL. 1984. Phytophthora rot of coconut. Oléagineux 39 (3): 143147. Quillec G, Renard JL, Chesquire G. 1984. Phytophthora heveae of coconut . Role in bud rot and nutfall. Oléagineux 39: 477-485. Reinking, OA. 1923. Comparative study of Phytophthora palmivora on coconut and cacao in the Philipine Island. J. Agric. Res. 25:267-284. Di dalam Erwin dan Ribeiro. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. APS Press. Renard JL. 1992. Introduction to coconut Phytophthora diseases. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992. Renard JL, Darwis SN. 1992. Report on the coconut Phytophthora disease seminar. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992. Reyne A. 1948. Kelapa. Semangun H dan Lahiya AA, penerjemah. Yogyakarta : Lembaga Pendidikan Perkebunan. Terjemahan dari : De Cocopalm. Ristaino JB, Madritch M, Trout CI, Parra G. 1998. PCR amplification of ribosomal DNA for species identification in the plant pathogen genus Phytophthora. Applied and Environmental Microbiology 64: 948-954. Rochas HM. 1965. Cacao varities resistant to Phytophthora palmivora (Butler): a literature review. Cacao (10): 1-9. Rossman AY, Palm ME. 2006. Why are Phytophthora and other Oomycota not true fungi. USDA Agriculture Research Service, USDA Animal and Plant Health Inspection Service, Systematic Botany & Micology Laboratory, Beltsville, Maryland 20705. www.apsnet.org/education/IntroPlantPath/PathogenGroup/oomycetes/defau lt.htm (29 Januari 2008). Runtunuwu SD, Sinaga MS, Hartana A. 1999. Seleksi ketahanan tanaman kelapa terhadap gugur buah (Phytophthora palmivora BUTLER). Bul. Hama dan Penyakit Tumbuhan 11(1):14-19. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning : A Laboratory Manual. Ed.2. Cold Spring Harbor Laboratory Press, Cold Spring Harbor, NY. Sansome E, Brasier CM, Griffin MJ. 1975. Chromosome size differences in Phytophthora palmivora, a pathogen of cocoa. Nature (London) 255: 704705. Schlick A, Kuhls K, Meyer W, Lieckfeld E, Borner T, Messner K. 1994. Fingerprinting reveals gamma-ray induces mutation in fungal DNA, implications for the identification of patent strains of Trichoderma harzianum. Current Genetics 26: 74-78.
Shaffer RL. 1975. The major group of Basidiomycetes. Mycologia 67:1-18. Di dalam : Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc. Sherriff C, Whelan MJ, Arnold GM, Lafay JF, Brygoo Y, Bailey JA. 1994. Ribosomal DNA sequence analysis reveals new species groupings in the genus Colletotrichum. Experimental Mycology 18: 121-138. Silvar C, Merino F, Diaz J. 2006. Diversity of Phytophthora capsici in North Spain : Analysis of virulence, metalaxyl response and molecular characterization. Plant Disease 90:1135-1142. Sreenivasaprasad S, Brown AE, Mills PR. 1992. DNA Sequence variation and inter-relationship among Colletotrichum spesies causing strawberry antracnose. Physiological and Molecular Plant Pathology 41:265-281. Stamp DJ. 1985. Phytophthora palmivora. Commonw. Mycol. Inst. Descriptions of Pathogenic Fungi and Bacteria No. 831. Stamp DJ, Waterhouse GM, Newhook FJ and Hall GS. 1990. Revised tabular key to the species of Phytophthora. Common. Agric. Bur. Int. Mycol. Inst. Mycol. Pap. 162. 28 hlm. Steer J, Coates-Beckford PL. 1990. Role of Phytophthora katsurae, P. palmivora, Thielaviopsis paradoxa and Enterobacter sp. in bud rot disease of coconut uin Jamaica. Oléagineux 45: 539-545. Tan MK, Timmer LW, Broadbent P, Priest M, Cain P. 1996. Differentiation by molecular analysis of Elsinoe spp. causing scab diseases of citrus and its epidemiological implications. Phytopathology 86:1039-1044. Thevenin JM. 1992. Coconut Phytophthora diseases in Indonesia etiological aspects. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992. Thevenin JM, Motulo HFJ, Kharie S. Mangindaan H, Warokka JS. 1992. Epidemiological Studies on Phytophthora diseases of coconut in North Sulawesi province in Indonesia. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992. Thevenin JM. 1994. Studies of coconut Phytophthora diseases, characterization of implicated species, epidemiology-control strategies. (Report of Activities 1990-1994). Coconut Research Institute-Centre Manado dan De Cooperation Internationale en Recherche Agronomique Pour le Development Monpellier. Thompsom, A 1929. Phytophthora species in Malaya. Malay. Agric. J. 17:53-100 di dalam Erwin dan Ribeiro. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. APS Press. Thorold CA. 1974. History up to 1930 of black pod disease and other cocoa diseases caused by Phytophthora palmivora. Di dalam: Gregory PH, editor. Phytophthora Diseases of Cocoa. Longman, London. Hlm 13-20. Tooley PW, Sweigard JA, Fry WE. 1986. Fitness and virulence of Phytophthora infestans isolates from sexual and asexual populations. Phytopathology 76:1209-1212. Tooley PW, Therrien CD, Ritch DL. 1989. Matyng type, race compotition, nuclear DNA content and isozym analysis of Peruvian isolates of Phytophthora infestans. Phytopathology 79 : 925-927.
Tsao PH, Guy SO. 1977. Inhibition of Mortierella and Pythium in a Phytophthora isolation medium containing hymexazol. Phytopathology 67: 796-801. Tsao PH, Alizadeh A. 1988. Recent advances in the taxonomy and nomenclatur of the so-called ’Phytophthora palmivora’ MF4 occurring in cocoa and other tropical crops. 10th Int. Cocoa Res. Conf. Proc. Santo Domingo 17-23 Mei 1987. Hal. 441-445. Trout CL, Ristaino JB, Madritch M, Wangsomboonde T. 1997. Rapid detection of Phytophthora infestans in late blight potatoes and tomatoes using PCR. Plant Dis.81:1042-1048. Turner PD. 1960. Strains of Phytophthora palmivora (Butler) from Theobroma cacao L. I. Isolate from West Africa. Trans. Br. Myco. Soc. 43: 665-672. Uchida JY, Aragaki M. 1992 Phytophthora fruit and heart rot of coconut in Hawaii. Plant Dis. 76: 925-927. Umaya A. 2004. Keragaman Genetik P. palmivora pada Kakao di Indonesia Berdasarkan Pendekatan Molekuler. (Disertasi). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Unterstenhıfer G. 1976. The Basic Principles of Crop Protection Field Trials. Pflazenschutz-Nachricten Bayer 29 : 84-180. Voot D, Voot JG, Pratt CW. 1999. Fundamental of Bichemistry. New York. Improvement of Cocoa. hlm 9-18. Wangsomboondee T, Trout-Groves C, Shoemaker PB, Cubeta MA, Ristaino JB. 2002. Phytophthora infestans populations from tomato and potato in North Carolina differ in genetic diversity and structure. Phytopathology 92 : 1189-1195. Warokka JS, Thevenin JM. 1992. Phytophthora in Indonesia coconut plantation: population involved. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 2630 Oktober 1992. Warokka JS, Jones P, Dickinson MJ. 2006. Detection of phytoplasmas associated with Kalimantan wilt disease of coconut by polymerase chain reaction. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 12 (4): 154-160. Waterhouse GM. 1963. Key to the species of Phytophthora de Bary. Mycol. Pap. 92. Commonw. Mycol. Inst. Kew, UK. Waterhouse GM. 1970. Taxonomy in Phytophthora. Phytopatholgy 60 : 11411143. Waterhouse GM. 1974. Phytophthora palmivora and some related species. Di dalam : Gregory, PH editor. Phytophthora Diseases of Cocoa. Longman London. Waterhouse GM, Newhook FJ, Stamp DJ. 1983. Present criteria for classification of Phytophthora. Di dalam: Erwin DC, Bartnicki-Garcia S, Tsao PH, editor. Phytophthora: Its Biology, Taxonomy, Ecology, and Pathology. St Paul Minnesota, APS hlm: 139-147. Whissom SC, Drenth A, Maclean DJ, Irwin JAG. 1994. Evidence for outcrossing in Phytophthora sojae and linkage of a DNA marker two avirulence genes. Current Genetic 27:77-82. White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor JW. 1990. Amplification and direct sequenzing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics.p.315-322. Di dalam : Innis MA, Gelfand DH, Sninsky JJ, White TJ, editor. PCR Protocol: A Guide to Methods and Applications, Academic Pr. Inc. New York.
Willem A, Man in’t V, Wil J, Veenbaas R, Elena I, Arthur WAM, de Cock, Peter JM, Bonants, Rob P. 1998. Natural hybrids of Phytophthora nicotianae and Phytophthora cactorum demonstrated by isozyme analysis and Random Amplified Polymorphic DNA. Phytopathology 88:922-929. Zadoks JC, Schein RD. 1980. Epidemiology and plant diseases management, the known and the needed. Di dalam Palti J, Kranz J, editor. Comparative Epidemiology, A Tool for Better Diseases Management. Centre for Agric. Publ. And Doc. Wageningen, The Netherlands. Zentmyer GA. 1987. Taxonomic relationships and distribution of species of Phytophthora causing black pod of cacao. Proc. Tenth Int. Cocoa Res. Conf. Santo Domingo, Dominician Republic. 17-23 May 1987. Cocoa Prod. Alliance , London hlm:391-395. Zentmyer GA, Mircetish SM, Mitchell DM. 1968. Tests for resistance of cacao to Phytophthora palmivora. Plant. Dis. Rep 52: 790-791. Zentmyer GA, Kaosiri T, Idosu G. 1977. Taxonomic variants in the Phytophthora palmivora complex. Trans. Br. Mycol. Soc. 69:329-332 Zyskind JW and Berstein SI. 1992. Recombinant DNA Laboratory Manual. Ed.rev. San Diego Academic Press.