KERAGAMAN GENETIK DAN MIKROEVOLUSI Pyricularia grisea ASAL RUMPUT
SRI LISTIYOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Keragaman Genetik dan Mikroevolusi Pyricularia grisea Asal Rumput” adalah karya bersama saya dengan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini Bogor, Februari 2012 Sri Listiyowati G361030011
ABSTRACT SRI LISTIYOWATI. Genetic Diversity and Microevolution of Pyricularia grisea from Grasses. Supervised by UTUT WIDYASTUTI, GAYUH RAHAYU, and ALEX HARTANA. Pyricularia is the fungus caused rice and grasses blast disease. They are morphologically indistinguishable, therefore their specific epithet is often based on host. The concept of Pyricularia species using nucleotide sequences of current molecular approach is still on controversy, especially those infected weed grasses (Pyricularia grisea) and rice (Pyricularia oryzae). Yet genetic change caused by host alteration has not been explored. Therefore, this researchs were aimed to (i) study the populations diversity of Pyricularia from various grasses (Cynodon dactylon, Digitaria ciliaris, Eleusine indica, and Panicum repens) using five markers that consist of three kinds of sequence characterized amplified region (SCAR), i.e Cut1, PWL2 and Erg2 and two markers, magB and magC, repectively; (ii) to analyze genetic diversity of the basal samples of Pyricularia from Digitaria ciliaris and its microevolution of Pyricularia d4 from D. ciliaris following cross infection to rice and Panicum repens by adding markers of amplified fragment length polymorphism (AFLP), PCR of repetitive Pot2 (repPot2), pathotype, and sequences of ITS and 5.8S rDNA nucleus; (iii) study phylogenetic relationship of Pyricularia all of from D. ciliaris (d4), P. repens (pr10.a.S4), and from rice pathogen (ok6, ou6.S4) based sequences of ITS and 5.8S rDNA. This study used Pyricularia from grasses and rice from West Java that occurs in the same field as a model. The result showed DNA size of all markers of Cut1, PWL2 and Erg2, magB, and magC of Pyricularia from grasses were similar to that of rice origin. The frequency of those SCAR markers, i.e. Cut1, PWL2, and Erg2 were 78.1%, 54.1% and 95.1%, respectively. Based on present SCAR markers, they could be classified into five phenotypes (011, 101, 111, 001, 010) out of the eight possible groups. Cross infection of Pyricularia d4 from D. ciliaris grass to rice could induce genetic variation in their Cut1 and PWL2 markers, AFLP and rep-Pot2 phenotypes, as well as pathotype. On the other hand, no new variation revealed their ITS sequences. Moreover, the cross infection to another grass in different genus (P. repens) also caused genetic variation in AFLP and rep-Pot2 phenotypes, and ITS sequences. These results indicated that the cross infection might induce microevolution of Pyricularia d4. Sequences of ITS and 5.8S rDNA of Pyricularia all of from D. ciliaris (d4), and from rice pathogen (ok6, ou6.S4) were similar. Whereas those of Pyricularia from P. repens (pr10.a.S4) had only one nucleotide different in their 5.8S rDNA sequences to those of Pyricularia d4. BLAST analysis of ITS and 5.8S rDNA sequences from five isolates showed 99% identical to Magnaporthe oryzae pathogen of rice, cereals and cultivated grasses. The ITS sequences of the non-rice isolates were similar with isolates of the rice blast disease, so there might be gene flow among the pathogen on grasses and rice. Based on nomenclatural priority, the specific name for Pyricularia from D. ciliaris, P. repens, and rice were Pyricularia grisea as the anamorphic of Magnaporthe grisea. Key word: Pyricularia grisea, Digitaria ciliaris, rice, Panicum repens, SCAR, AFLP, Pot2, pathotype, ITS.
RINGKASAN SRI LISTIYOWATI. Keragaman Genetik dan Mikroevolusi Pyricularia grisea Asal Rumput. Dibimbing oleh UTUT WIDYASTUTI, GAYUH RAHAYU, dan ALEX HARTANA. Rumput yang tumbuh di sekitar pertanaman padi telah dilaporkan sebagai inang Pyricularia. Pyricularia penginfeksi rumput memiliki keragaman genetik berbeda terhadap Pyricularia yang menginfeksi padi. Sampai saat ini analisis keragaman genetik Pyricularia dari rumput yang mengalami pergantian inang pada genus berbeda belum pernah dilaporkan. Pergantian inang atau perubahan patogenisitas diduga dapat menjadi faktor pendorong mikroevolusi pada Pyricularia. Mikroevolusi merupakan perubahan yang dapat tampak dalam waktu relatif pendek (beberapa hari atau minggu) pada mikrob. Mikroevolusi Pyricularia yang mengalami pergantian genus inang juga belum pernah diteliti. Spesies epitet grisea dari rumput dan oryzae dari padi ditetapkan berdasarkan inang. Kedua spesies tidak berbeda morfologinya. Berkembangnya berbagai pendekatan spesies, menyebabkan konsep spesies Pyricularia belum disetujui bersama. Couch dan Kohn pada tahun 2002 menempatkan Pyricularia yang patogen pada Digitaria sanguinalis sebagai Pyricularia grisea, yaitu sama seperti prinsip penamaan sebelumnya. Isolat-isolat Pyricularia dari rumput dan padi yang diperoleh dari ladang dan sawah di Jawa Barat menjadi model pada penelitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam bentuk informasi pada manajemen penyakit blas pada padi di Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan menganalisis (i) keragaman populasi Pyricularia dari rumput (Cydonon dactylon, Eleusine indica, Digitaria ciliaris, dan Panicum repens) berdasarkan lima penanda yang terdiri atas tiga penanda (Cut1, PWL2 dan Erg2) sequence characterized ampllified region (SCAR), dan dua penanda berupa magB, dan magC, (ii) keragaman genetik sampel basal Pyricularia dari rumput Digitaria ciliaris dan mikroevolusi Pyricularia d4 yang berasal dari Digitaria ciliaris sebagai hasil induksi pergantian inang ke padi dan ke rumput Panicum repens berdasarkan lima penanda, yaitu SCAR, amplified fragment length polymorphism (AFLP), PCR pada repetitive Pot2 (rep-Pot2), dan hubungannya dengan ras fisiologi, serta sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus yang dihasilkan melalui amplifikasi dengan primer universal berupa its1 dan its4; (iii) hubungan filogenetik Pyricularia dari rumput dan padi berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus. Sekuen tersebut juga dihasilkan melalui amplifikasi dengan primer universal (its1 dan its4). Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan peran pergantian inang pada perubahan genetik yang merupakan bagian dari mikroevolusi Pyricularia, dan hubungan filogenetik antara Pyricularia yang menginfeksi rumput dan padi. Ukuran fragmen DNA hasil amplifikasi ketiga penanda SCAR pada 41 sampel Pyricularia dari empat spesies rumput ialah sama, begitu juga ukuran fragmen DNA penanda magB dan magCnya juga sama. Ukuran fragmen Cut1, PWL2, dan Erg2 berturut-turut ± 1700 pb, 900 pb dan 1400 pb. Sedangkan magB dan magC masing-masing ± 1330 pb dan 1550 pb. Ukuran fragmen ketiga penanda SCAR dan mag tersebut sama seperti pada 22 isolat Pyricularia dari padi. Fenotipe SCAR Pyricularia yang diperoleh dari satu bercak blas pada rumput bervariasi pada Cut1 dan PWL2. Populasi Pyricularia dari empat spesies
rumput hanya memiliki lima fenotipe SCAR berdasarkan delapan kemungkinan fenotipe SCAR yang terdiri atas Cut1, PWL2 dan Erg2. Kelima fenotipe SCAR memiliki frekuensi yang berbeda, yaitu 19.5% berfenotipe 011, 41.5% berfenotipe 101, 31.7% berfenotipe 111, 2.5% berfenotipe 001, dan 4.9% berfenotipe 010. Populasi Pyricularia dari rumput memiliki 78.1% Cut1, 54.1% PWL2 dan 95.1% memiliki Erg2. Riwayat perubahan genetik Pyricularia d4 yang mengalami pergantian inang digunakan sebagai model pada analisis mikroevolusinya. Sumber inokulum (suspensi konidium 104 - 105 mL-1) diinjeksikan ke pelepah daun inang pengganti tahap ke-1 (tiga varietas padi, rumput Cynodon dactylon, Digitaria sp., Ottochloa nodosa, dan Panicum repens). Pada inokulasi tahap ke-2, hanya turunan d4 hasil infeksi ke padi tahap ke-1 yang diinokulasikan silang ke varietas padi yang berbeda. Isolat d4 hanya mampu berganti inang ke padi var. Kencana bali, Cisokan, dan rumput P. repens. Isolat d4 yang berganti inang ke Kencana bali dan Cisokan mengalami perubahan fenotipe SCAR (Cut1 dan PWL2), AFLP dan repPot2, serta ras fisiologinya, tetapi tidak mengalami perubahan sekuen ITS. Sebaliknya d4 berganti inang ke P. repens tidak mengalami perubahan Cut1, PWL2, dan ras fisiologinya, tetapi mengalami perubahan fenotipe AFLP dan repPot2, serta mutasi transisi dua nukleotida ITS. Selain itu, d4 yang berganti inang ke P. repens mengalami tingkat perubahan fenotipe AFLP lebih besar dan perubahan fenotipe rep-Pot2 juga berbeda daripada d4 yang berganti inang ke Kencana bali dan Cisokan. Fenotipe rep-Pot2 dari d4 pada Kencana bali maupun Cisokan adalah sama. Sebaliknya, isolat d4 yang berganti inang ke Kencana bali memiliki tingkat perubahan fenotipe AFLP yang lebih tinggi, namun tingkat perubahan ras fisiologinya (023) dapat lebih rendah daripada d4 yang berganti inang ke Cisokan. Ras fisiologi d4 pada Cisokan dapat berubah menjadi 373, tetapi turunannya juga dapat tidak mengalami perubahan (000), masih seperti ras fisiologi inokulumnya (d4). Isolat d4 yang telah berganti inang ke padi tidak mengalami perubahan fenotipe SCAR, AFLP, rep-Pot2, dan sekuen ITS setelah berganti inang ke varietas padi yang sama. Sebaliknya, d4 yang telah berganti inang ke padi Cisokan mengalami perubahan fenotipe AFLP yang lebih tinggi ketika kemudian berganti inang ke padi Kencana bali. Pyricularia dari D. ciliaris (d4), dan padi (ok6 dan ou6.S4) memiliki kesamaan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Sedangkan Pyricularia dari P. repens (pr10.a.S4) memiliki perbedaan satu nukleotida terhadap d4, ok6, atau ou6.S4. Hasil BLAST sekuen ITS beserta 5.8S rDNA dari d4 atau pr10.a.S4 menunjukkan sangat identik (99%) dengan Magnaporthe oryzae dari padi. Selain itu, sekuen ITS beserta 5.8S rDNA dari keempat isolat pada penelitian ini menunjukkan hubungan filogenetik sangat dekat dengan M. oryzae dari serealia lain. Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA tidak mampu memisahkan isolat Pyricularia dari rumput dan padi. Walaupun demikian, berdasarkan azas prioritas maka Pyricularia dari rumput (d4 dan pr10.a.S4) lebih tepat dinamakan Pyricularia grisea dengan Magnaporthe grisea sebagai teleomorfnya. Sedangkan Pyricularia dari padi (ok6 dan ou6.S4) berdasarkan prinsip prioritas juga dapat sebagai P. grisea. Kata kunci: Pyricularia grisea, Digitaria ciliaris, padi, Panicum repens, SCAR, AFLP, Pot2, ras fisiologi, ITS.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KERAGAMAN GENETIK DAN MIKROEVOLUSI Pyricularia grisea ASAL RUMPUT
SRI LISTIYOWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Iman Hidayat Dr.Ir. Rika Raffiudin, MSi. Penguji pada Ujian Terbuka : Dra. Wellyzar Sjamsuridzal M.Sc., Ph.D Dr. Suwarno
Judul Disertasi : Keragaman Genetik dan Mikroevolusi Pyricularia grisea Asal Rumput Nama : Sri Listiyowati NIM : G361030011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Utut Widyastuti, M.Si. Ketua
Dr.Ir. Gayuh Rahayu, M.S.
Prof.Dr.Ir. Alex Hartana, M.Sc.
Anggota
Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Biologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA.
Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 27 Januari 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillahirobbil alamin, penulis lafadkan atas segala rahmat dan karunia dari ALLAH SWT yang telah diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian hingga penyelesaian penulisan disertasi ini. Disertasi yang berjudul Keragaman Genetik dan Mikroevolusi Pyricularia grisea Asal Rumput memuat hasil penelitian tentang keragaman cendawan blas pada beberapa spesies rumput yang tumbuh di sekitar pertanaman padi, dan perubahan genetik cendawan blas yang mengalami pergantian inang secara buatan. serta hubungan filogenetik antara cendawan blas pada rumput Digitaria ciliaris, Panicum repens, dan padi. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat berkontribusi informasi pada manajemen penyakit blas pada padi di Jawa Barat. Bagian dari disertasi ini telah disajikan pada Seminar Sains III di Bogor pada bulan November 2010 yang diselenggarakan oleh FMIPA IPB dengan MIPAnet, dengan judul Keragaman Genetik Hasil Pergantian Inang Pyricularia grisea Asal Rumput Digitaria ciliaris. Selain itu sebuah artikel telah dipublikasikan di Jurnal Microbiology Indonesia 2011 berjudul Diversity of SCAR Markers of Pyricularia grisea Isolated from Digitaria ciliaris Following Cross Infection to Rice, 5(1):1-8. Melalui tulisan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Utut Widyastuti, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing, Dr.Ir. Gayuh Rahayu, MS., Prof.Dr.Ir. Alex Hartana, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing, atas segala curahan waktu, pikiran, nasihat dan arahan selama penelitian dan penulisan hasil disertasi. Terimakasih kepada bapak Dr.Ir. Muhammad Jusuf (Alm) atas bimbingan serta nasihat kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh jajaran pimpinan Institut Pertanian Bogor, yaitu Rektor yang telah mengizinkan penulis melanjutkan studi program doktor. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dr.Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA selaku Ketua Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana, Ketua Departemen Biologi FMIPA, dan Direktur Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) yang telah memfasilitasi studi S3 ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah membiayai pendidikan S3 melalui Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB yang telah memberikan dana penelitian dosen muda IPB pada tahun 2005 dengan judul, Cendawan Pyricularia grisea pada Padi dan Rumput di Sawah Sukabumi, dan pada tahun 2008 membiayai penelitian strategis dengan judul, Hubungan Kemampuan Pergantian Inang dengan Plastisitas Genetik pada Cendawan Blas Padi (SPK/Kontrak No 08/13.24.4/SPK/BG/2008). Penelitian ini juga dibiayai oleh Hibah Penelitian Mahasiswa Program Doktor IPB dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia tahun 2009, serta sebagian proyek IMHERE IPB atas nama Dr.Ir. Utut Widyastuti, M.Si. Penulis menyampaikan terima kasih atas koreksi, masukan dan saran dari Dr.Ir. Rika Raffiudin, M.Si (Dept. Biologi FMIPA IPB) dan Dr. Iman Hidayat (Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor) sebagai penguji pada ujian tertutup pada 12 Desember 2011, serta Dra. Wellyzar Sjamsuridzal M.Sc., Ph.D (Dept. Biologi FMIPA UI) dan Dr. Suwarno (Balai Besar Penelitian Tanaman padi Bogor)
sebagai penguji pada ujian terbuka pada 27 Januari 2012. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Dra. Anggiani Nasution (Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Bogor) yang telah menganalisis ras fisiologi isolat hasil pergantian inang 2. Dra. Alex Sumadijaya (Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor) yang telah membantu mengidentifikasi rumput 3. Syarifin Firdaus, M.Si; Muhammad Bahrelfi Belafif, M.Si.; Rida Oktorida M.Si.; Dr. Yaya Rukayadi M.Si; atas bantuan jurnal-jurnal yang diperlukan pada penelitian ini 4. Ika Atifah Zahroh S.Si; Ika Madona Pandia S.Si; Pepi Elvavina; Dwi Ambarwati S.Si dan Moch Rachmad Hidayat S.Si yang telah membantu pada penelitian ini; kepada Iqbal Kusnandarsyah S.Si yang membantu secara teknis pada kelengkapan penulisan disertasi 5. Rekan sejawat bagian Mikologi, yaitu Ir. Agustin W. Gunawan, MS.; Prof. Dr. Okky S. Dharmaputra, Dr.Ir. Lisdar M. Sudirman, Dr.Ir. Nampiah Sukarno yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis selama masa studi 6. Rekan sejawat Dept. Biologi FMIPA IPB, yaitu Taruni Sri Prawasti, M.Si. atas dukungan moril dalam suka dan duka penulis, Dr.Ir. Miftahudin, Dr.Ir. Achmad Farajallah, M.Si., Dr.Ir. R.R Dyah Perwitasari, dan semua rekan staf pengajar Departemen Biologi FMIPA IPB atas segala bantuan, diskusi, dan dukungannya 7. Teman-teman seperjuangan: Dr Muzuni, MSi, Dr Dewi Indriyani MSi, Saleha Hannum, MSi, Yohana C Sulistianingsih, MSi; Ulung Anggito, M.Si, serta kepada para teknisi ibu Dewi, pak Edi Djaenudin, pak Mulya, pak Kusnadi, pak Adi, pak Yanto. Penulis sampaikan terima kasih yang tulus ikhlas kepada suami atas segala pengertian, kesabaran, dan dukungannya sehingga penulis mampu melewati semuanya sampai selesai. Penulis menyampaikan permohonan maaf sebesarbesarnya kepada putriku dan suami atas segala waktu, tenaga dan pikiran yang banyak tersita untuk penelitian dan penyelesaian studi S3 ini. Kepada kedua orang tua dan adik-adik, penulis mengucapkan terima kasih atas do’a yang senantiasa dipanjatkan untuk kesehatan dan keberhasilan penulis. Akhirnya penulis berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan biologi di Indonesia. Bogor, Februari 2012
Sri Listiyowati
RIWAYAT HIDUP Peneliti dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 14 Juli 1964 sebagai anak sulung dari pasangan Gilang Mahrodi dan Sriatun. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB dan meraih gelar sarjana pada tahun 1988. Penulis menjadi staf pengajar di Jurusan Biologi FMIPA IPB mulai tahun 1991, dan melanjutkan pendidikan Magister di Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana IPB tahun 1994 dengan mendapat gelar Magister Sains tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003 melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Ditjen Pendidikan Tinggi (DIKTI). Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Himpunan Mikrobiologi Indonesia. Karya ilmiah berjudul ”Keragaman Genetik Hasil Pergantian Inang Pyricularia grisea Asal Rumput Digitaria ciliaris” telah disajikan pada Seminar Sains III di Bogor pada bulan November 2010 yang diselenggarakan oleh FMIPA IPB dengan MIPAnet. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul ”Diversity of SCAR Markers of Pyricularia grisea Isolated from Digitaria ciliaris Following Cross Infection to Rice” pada jurnal Microbiology Indonesia, 2011, 5(1):1-8. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Sampai saat ini penulis merupakan staf pengajar di Departemen Biologi, FMIPA IPB. Pada tahun 2006 turut serta dalam penulisan buku yang berjudul Cendawan dalam Praktik Laboratorium yang diterbitkan oleh Bagian Mikologi, Dept. Biologi FMIPA IPB, IPB Press. Penulis menikah dengan Sidhi Prastowo dan dikaruniai seorang putri Everin Yasinta Sidhiwati (20 tahun).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………… xiv xv DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………… xvii I PENDAHULUAN Latar belakang………………………………………………… Tujuan………………………………………………………… Hipotesis………………………………………………………. Manfaat………………………………………………………..
1 8 8 8
II RUANG LINGKUP PENELITIAN Waktu dan Tempat……………………………………………. Alur Penelitian .....……………………………………….........
11 12
III KERAGAMAN Pyricularia ASAL RUMPUT BERDASARKAN PENANDA SCAR DAN MAG Abstrak………………………………………………………... Pendahuluan………………………………………………....... Bahan dan Metode …..…………………………….................. Hasil………………………………………………………....... Pembahasan…………………………………............................ Simpulan………………………………....................................
15 15 18 23 29 33
IV KERAGAMAN TURUNAN HASIL INFEKSI SILANG Pyricularia ASAL Digitaria ciliaris Abstrak………………………………………………………... Pendahuluan………………………………………………....... Bahan dan Metode ……………………………........................ Hasil…………………………………....……........................... Pembahasan…………………………………………………… Simpulan………………………………………………………
35 35 39 50 65 78
V HUBUNGAN FILOGENETIK Pyricularia PADA RUMPUT DAN PADI Abstrak………………………………………………………... Pendahuluan………………………………………………....... Bahan dan Metode ……...……………………………………. Hasil………………………………………………………....... Pembahasan………………………………………………….... Simpulan…………………………………………………….... VI PEMBAHASAN UMUM………………………………..….…...... VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan……………………………………..….…................. Saran…....…………………………………………………......
81 81 84 86 90 93 95
DAFTAR PUSTAKA……..…….....................................................
103 104 105
LAMPIRAN……………………………………………………......
117
DAFTAR TABEL Halaman 1 Isolat Pyricularia dari satu bercak blas pada beberapa rumput dari tiga lokasi di Jawa Barat, dari padi di Lampung dan pada empat lokasi di Jawa Barat.............................................................................
19
2 Ragam fenotipe berdasarkan tiga penanda SCAR...............................
22
3 Keragaman penanda SCAR dan mag pada Pyricularia dari beberapa rumput dan padi…............................………………………….....…..
26
4 Skor dan gejala blas menurut IRRI (1996)........................................
48
5 Contoh pemberian nomor ras Pyricularia asal padi (Mogi et al. 1991)....................................................................................................
49
6 Hasil inokulasi Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan o173 asal padi ke padi var. Kencana bali, Cisokan, IR64, dan ke rumput P. repens, C. dactylon, Digitaria sp., O. nodosa; beserta penanda SCAR pada turunan hasil pergantian inang tahap ke-1...........................................
52
7 Hasil inokulasi Pyricularia d~k dan d~c ke padi var. Kencana bali dan Cisokan, beserta penanda SCAR pada turunan hasil pergantian inang tahap ke-2..................................................................................
53
8 Kultur yang dianalisis dengan metode AFLP dan disekuen ITS beserta 5.8S rDNAnya ……………………........................................
54
9 Jarak genetik antara isolat klonal Pyricularia asal D. ciliaris dan padi dari lokasi dan waktu yang sama, serta jarak genetiknya terhadap turunan Pyricularia d4 asal D. ciliaris dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2.....................................
56
10 Jarak genetik antara Pyricularia o173 asal padi dan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi...................................………………..
56
11 Jarak genetik Pyricularia d4 asal D. ciliaris terhadap turunannya dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, serta ke rumput P. repens tahap ke-1................................................................
57
12 Strain yang dianalisis melalui amplifikasi repetitive dari Pot2.…......
63
13 Reaksi Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1, dan ke rumput P. repens terhadap tujuh varietas diferensial Indonesia…..................................
64
14 Jarak genetik beserta penandanya pada penelusuran riwayat Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan o173 asal padi yang mengalami pergantian inang .................................................................................
69
15 Hasil BLAST sekuen ITS beserta 5.8S rDNA (hasil amplifikasi primer universal its1 dan its4) Pyricularia d4 asal D. ciliaris............
88
16 Karakterisasi Pyricularia asal rumput (d4) dan padi (ok6 dan ou6.S4).................................................................................................
96
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram alir penelitian………………………………………............
12
2 Fenotipe bercak blas pada daun rumput Digitaria ciliaris (a) dan daun padi (b)........................................................................................
20
3 Konidiofor cendawan blas pada rumput D. ciliaris.............................
23
4 Susunan konidium pada konidiofor cendawan dari bercak blas pada rumput D. ciliaris................................................................................
23
5 Konidium cendawan dari bercak blas pada daun rumput D. ciliaris..
24
6 Tabung kecambah dan apresorium cendawan dari bercak blas pada rumput D. ciliaris................................................................................
24
7 Penanda Cut1 pada Pyricularia dari rumput dan padi........................
25
8 Penanda PWL2 pada Pyricularia dari rumput dan padi....................
25
9 Penanda Erg2 pada Pyricularia dari rumput dan padi........................
25
10 Penanda magB (a) dan magC (b) pada Pyricularia dari rumput dan padi......................................................................................................
26
11 Pengelompokan fenotipe penanda SCAR pada Pyricularia dari rumput (I), dan gabungan Pyricularia dari rumput dan padi (II)........
30
12 Daerah target amplifikasi DNA dengan primer universal its1 dan its4.......................................................................................................
49
13 Bercak blas hasil infeksi Pyricularia d4 asal D. ciliaris ke padi di hari ke-9 setelah inokulasi, beserta bercak blas hasil infeksi o173 asal padi (kontrol) ke padi di hari ke-7 setelah inokulasi ...................
50
14 Konidium Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1, beserta konidium o173 asal padi (kontrol).......................................................................................
51
15 Bercak blas pada padi var. Kencana bali dan Cisokan hasil infeksi Pyricularia d~k4.3 (a, b) dan d~c1.2 (c, d) di hari ke-7 setelah inokulasi..............................................................................................
51
16 Penanda SCAR Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi pada tahap ke-1 dan ke-2, ke P. repens, beserta o173 dari padi (kontrol) dengan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi..............……………….......................
53
17 Filogenetik berdasarkan 3 penanda AFLP………..............................
58
18 Pengelompokan melalui UPGMA berdasarkan 3 penanda AFLP......
59
19 Filogenetik dan pengelompokan melalui UPGMA berdasarkan 3 penanda AFLP pada Pyricularia o173 asal padi (kontrol) dan turunannya dari pergantian inang ke padi...................………............
62
20 Fenotipe rep-Pot2 Pyricularia sampel basal asal D. ciliaris, turunan isolat basal (Pyricularia d4) dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, ke P. repens; beserta o173 asal padi dengan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi, dan Pyricularia asal padi dari lokasi dan waktu yang sama dengan Pyricularia d4 asal D. ciliaris.............................................................................................
63
21 Sekuen nukleotida bagian hilir 18S rDNA, daerah ITS beserta 5.8S rDNA, dan bagian hulu 26S rDNA pada Pyricularia d4 dan turunannya dari pergantian inang ke P. repens (d~p1.1)…................
66
22 Penelusuran riwayat Pyricularia d4 asal D. ciliaris yang mengalami pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, dan ke P. repens berdasarkan 3 penanda AFLP, SCAR, rep-Pot2, dan ras fisiologi, serta sekuen ITS beserta 5.8S rDNA...................................................
68
23 Filogenetik berdasarkan 3 penanda AFLP pada sampel basal Pyricularia asal D. ciliaris dan turunan isolat basal (Pyricularia d4) dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, ke P. repens; beserta Pyricularia o173 asal padi dengan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi, dan Pyricularia asal padi dari lokasi dan waktu yang sama dengan Pyricularia d4 asal D. ciliaris...........
77
24 Sekuen nukleotida bagian hilir 18S rDNA, daerah ITS beserta 5.8S rDNA, dan bagian hulu 26S rDNA pada Pyricularia dari D. ciliaris (d4), P. repens (pr10.a.S4) dan padi (ok6, ou6.S4)................. ...........
87
25 Filogenetik berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA pada cendawan blas asal rumput dan padi yang tumbuh berdekatan pada dua lokasi di Jawa Barat terhadap data GeneBank ………….............
90
26 Mikroevolusi Pyricularia d4 asal D. ciliaris pada pergantian inang ke padi dan rumput P. repens berdasarkan penanda AFLP, SCAR, rep-Pot2, dan ras fisiologi, serta sekuen ITS beserta 5.8S rDNA ......
101
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Spesies rumput yang memiliki bercak seperti penyakit blas pada padi: a. Cynodon dactylon, b. Digitaria ciliaris, c. Eleusine indica, d. Panicum repens..............................................................................
119
2 Hasil elektroforesis AFLP pada primer M48, M51, dan M53...........
120
3 Bagian dari disertasi yang telah dipublikasi.......................................
121
1 BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Bercak serupa penyakit blas padi dapat ditemukan pada beberapa spesies rumput yang tumbuh di areal penanaman padi di sawah Sukabumi. Areal persawahan ini termasuk wilayah endemik blas (Sobrizal et al. 2010). Sedangkan di Jasinga, Bogor, pada tahun 2005 beberapa galur padi percobaan di ladang terserang penyakit blas. Padi Kencana bali yang sedang diikutsertakan pada percobaan tersebut juga terserang penyakit blas. Areal tempat percobaan tersebut juga termasuk daerah endemik blas (Purwoko 2005), meskipun areal ini bukan lahan produksi padi dan tidak tampak areal persawahan di sekitarnya. Rumput Digitaria ciliaris dan Panicum repens di rumah kaca Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB juga memiliki bercak penyakit blas. Morfologi Pyricularia yang diperoleh dari rumput dan padi ialah serupa (Rosman et al. 1990, Couch dan Kohn 2002). Nama Pyricularia grisea Sacc. muncul lebih awal sebagai spesies yang patogen pada Digitaria sanguinalis. Selanjutnya, Pyricularia oryzae Cav. muncul sebagai spesies patogen pada padi yang kemudian dikenal sebagai penyebab penyakit blas. Kedua spesies tersebut memiliki teleomorf yang sama pada awalnya, yaitu Magnaporthe grisea (Hebert) Barr (Ou 1985). Rosman et al. (1990) menempatkan P. oryzae sebagai sinonim dari P. grisea. Pyricularia dari 14 spesies rumput di sekitar pertanaman padi dan padi di Filipina merupakan grup monofiletik berdasarkan hasil hibridisasi dengan probe rDNA (Borromeo et al. 1993). Monofiletisme juga tampak pada Pyricularia dari 23 spesies inang (padi dan selain padi, termasuk rumput) berdasarkan sekuen nukleotida internal transcribed spacer (ITS) dari rDNA, actin, β-tubulin, dan calmodulin (Hirata et al. 2007). Hubungan filogenetik berdasarkan 10 lokus, mengindikasikan bahwa awal Pyricularia patogen padi terjadi di Cina, dan berasal dari Pyricularia yang patogen ke Setaria viridis dan Setaria faberi, selanjutnya meluas ke rumput Leersia hexandra dan Panicum repens dengan tidak dapat diketahui asal lokasi penyebarannya, karena keterbatasan sampel dari area geografi (Couch et al. 2005).
2 Pyricularia pada rumput di sekitar pertanaman padi di Filipina tidak menjadi sumber inokulum penyakit blas di padi (Borromeo et al. 1993), begitu pula di India, tidak ada aliran genetik Pyricularia patogen padi dan patogen selain padi (Rathour et al. 2006). Asosiasi spesifitas inang tampak dipertahankan melalui perbedaan pada patogenisitas di antara Pyricularia dari inang berbeda. Pyricularia dari inang selain padi tidak patogen atau kurang patogen ke padi (Couch et al. 2005). Menurut Hamer et al (1989), seleksi inang untuk genotipe patogen yang spesifik terjadi selama pemuliaan dan budidaya padi. Pyricularia dari Digitaria ciliaris dan Eragrostis sp. di Filipina memiliki karakteristik berbeda terhadap Pyricularia dari padi berdasarkan situs enzim restriksi DNA mitokondria (mtDNA) dan hasil hibridisasi dengan enam jenis probe (PGR613, PGR612, PGR46, PGR6G, PGR106, dan MGR586) dari elemen repetitive (Borromeo et al. 1993). Pyricularia dari rumput juga membentuk kluster yang terpisah dari tanaman penting secara agronomi berdasarkan restriction fragment length polymorphism (RFLP) dari rDNA dan sekuen ITS2 (Kusaba et al. 1999). Sampai saat ini analisis keragaman genetik Pyricularia yang mengalami pergantian inang dari genus yang berbeda belum pernah dilaporkan. Di Indonesia, sejak lama rumput yang tumbuh di sekitar pertanaman padi telah menjadi perhatian sehubungan dengan perkembangan penyakit blas, seperti dilaporkan oleh Rusli (1987), namun belum banyak informasi yang dapat diperoleh dari rumput-rumput di Indonesia. Di Indonesia, rumput Echinochloa crusgalli (Cikampek), Leersia hexandra (Cilacap), Panicum maximum (Bali), dan Panicum repens (Subang) dilaporkan sebagai inang Pyricularia (DBPT Deptan 1992). Sedangkan rumput di sekitar pertanaman padi di Filipina sebagai inang Pyricularia ialah Brachiaria mutica, Brachiaria distachya, Dactyloctenium aegyptium, Digitaria ciliaris, Echinochloa colona, Eleusine indica, L. hexandra, P. repens, Pennisetum purpureum, dan Rottboellia exaltata (Mackill & Bonman 1986), Cenchrus echinatus, Cynodon dactylon, Cyperus brevifolius, Cyperus rotundus, Eragrostis sp., Leptochloa chinensis, dan Paspalum distichum (Borromeo et al. 1993). Rumput di sekitar pertanaman padi juga dilaporkan menjadi inang Pyricularia, seperti di India (Singh & Singh 1988), dan Ghana (Nutsugah et al. 2008).
3 Menurut Couch dan Kohn (2002), Pyricularia pada rumput liar dan padi merupakan spesies terpisah. Pyricularia grisea merupakan spesies yang patogen pada Digitaria spp. (Digitaria horizontalis dari Brazil, Digitaria smutzi dari Jepang, dan Digitaria sp. dari USA dan Cina), dengan teleomorfnya ialah M. grisea, sedangkan P. oryzae merupakan spesies yang patogen pada padi dan berbagai anggota Graminae (serealia dan rumput) yang dibudidayakan. Teleomorf P. oryzae, yaitu Magnaporthe oryzae B. Couch. Magnaporthe oryzae ditempatkan sebagai anggota M. grisea spesies kompleks. Serealia dan rumput budidaya tersebut adalah Eleusine coracana (finger millet), Eleusine indica, Eragrostis curvula, Lolium perenne, Setaria sp. Selanjutnya, M. grisea kompleks digunakan sebagai nama cendawan penyebab blas pada padi dan beberapa anggota Graminae lain (Zellerhoff & Schaffrath 2006, Khang et al. 2008, Motallebi et al. 2009a). Penyakit blas pada padi merupakan salah satu penyakit penting, karena menyebabkan banyak kehilangan hasil panen hingga 50% (Babujee & Gnanamanickam 2000). Pada tahun 1963, penyakit blas dilaporkan telah menyerang tanaman padi di 60 negara, dan pada tahun 1925 dilaporkan keberadaan penyakit blas pada padi di pulau Jawa (Parthasarathy & Ou 1963). Penyakit blas merupakan penyakit penting pada padi gogo (di lahan kering) di Indonesia. Penyakit tersebut telah menyebar luas, menyebabkan kerusakan padi sawah (Amir & Nasution 1993). Tingkat kerusakannya lebih besar pada padi di dataran tinggi. Pada tahun 1987-1988, frekuensi serangan penyakit blas di dataran rendah mencapai sekitar 56%, dan tahun 1990/1991 persawahan di Indramayu kehilangan produksi padi lebih dari 50% akibat serangan penyakit blas (DBPT Deptan 1992). Serangan penyakit tersebut cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 2006, luas serangan penyakit blas paling tinggi terjadi di Lampung (1,923 ha) dan Jawa Barat (1853 ha). Sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 berturut-turut luas serangannya paling tinggi di Jawa Barat (2864 ha dan 3205 ha) dan Sulawesi Selatan (2123 ha dan 2078 ha) (Deptan 2009). Ketahanan padi terhadap penyakit blas sangat dipengaruhi oleh dominasi ras patogen, sehingga penggunaan varietas tahan blas sangat dibatasi oleh waktu dan tempat. Ras atau patotipe cendawan blas sangat cepat berkembang (DTPH
4 2000). Padi var. Kencana bali merupakan salah satu anggota padi diferensial di Indonesia yang digunakan untuk uji patotipe (ras fisiologi). Padi tersebut rentan terhadap semua (27) ras Pyricularia patogen padi yang ada di Indonesia. Padi diferensial lainnya, di antaranya berupa padi var. Cisokan yang bersifat moderat resisten, yaitu resisten terhadap delapan ras atau dengan kata lain rentan terhadap serangan 21 ras Pyricularia patogen padi yang ada di Indonesia (DBPT Deptan 1992). Isolat-isolat cendawan blas padi cenderung tidak stabil penampakan koloninya, fertilitas, dan patogenisitasnya selama disubkultur berulang-ulang di laboratorium (Valent & Chumley 1991). Pada penelitian pendahuluan juga tampak, umumnya cendawan blas yang berasal dari rumput memiliki warna koloni yang cepat berubah dari gelap menjadi putih selama disubkultur berulangulang di laboratorium. Selain itu, jumlah konidium cendawan blas yang berasal dari rumput sejak awal hasil isolasi lebih sedikit dibandingkan dengan cendawan blas yang diperoleh dari padi. Sporulasi Pyricularia dari rumput budidaya lebih baik daripada isolat dari rumput liar, kemungkinan karena perbedaan genetik sporulasinya (Rao et al. 1972). Pyricularia asal padi yang mengalami gangguan magB menghasilkan mutan dengan efek pleotropi, yaitu mereduksi pertumbuhan somatik, konidiasi, pembentukan apresorium, dan patogenisitas. Mutasi magB pada Pyricularia patogen padi yang dihasilkan melalui transformasi (pembentukan rekombinan homolog untuk menggantikan gen target) menghasilkan mutan yang mengalami penurunan kemampuannya untuk menginfeksi dan mengkolonisasi daun padi yang rentan, serta gagal membentuk peritesium (perkembangan fase seksual). Sedangkan mutan magA dan magC yang diperoleh melalui transformasi tidak menghasilkan askus dewasa (Liu & Dean 1997). Pyricularia patogen padi yang mengalami mutasi gen magB dan magC akan mereduksi konidiasi, patogenisitas, dan juga berhubungan dengan perkawinan. Delesi gen magA tidak memiliki efek pada pertumbuhan somatik, konidiasi, ataupun pembentukan apresorium (Liu & Dean 1997). Hal tersebut di atas mungkin dapat juga terjadi pada Pyricularia di lapang dari berbagai rumput, sehingga menghasilkan keragaman, seperti tingkat konidiasi. Selain itu, tidak semua Pyricularia dari rumput patogen ke varietas padi ataupun anggota
5 Graminae lainnya (Ou 1985), dan Pyricularia dari berbagai inang bervariasi fertilitasnya (Zeigler 1998). Oleh karena itu, keragaman cendawan blas dari rumput dapat berdasarkan penanda molekuler pada lokus magB dan magC dari cendawan blas yang patogen pada padi. Banyak penanda molekuler lain yang juga dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik. Sebagai contoh, sebanyak 14 pasang primer sequence characterized amplified region marker (SCAR) telah digunakan untuk memonitor rekombinasi dan migrasi populasi Pyricularia patogen padi dari benua Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, dan Eropa (Soubabere et al. 2000). Begitu juga di Indonesia, sebanyak tiga pasang primer SCAR telah digunakan untuk menunjukkan keragaman genetik Pyricularia patogen padi dari beberapa daerah endemik blas (Reflinur et al. 2005). Sampai saat ini belum diperoleh informasi keragaman penanda SCAR pada Pyricularia dari rumput di sekitar pertanaman padi, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan analisis keragaman Pyricularia dari beberapa spesies rumput menggunakan tiga penanda SCAR, yaitu Cut1, PWL2, dan Erg2. Pada daur penyakit, hubungan inang utama dan inang alternatif untuk mempertahankan propagul yang dapat menginfeksi sangat penting. Beberapa Pyricularia dari rumput hanya dapat menginfeksi padi yang rentan (Mackill & Bonman 1986; Singh & Singh 1988; DBPT Deptan 1992), dan beberapa rumput lain (DBPT Deptan 1992). Hasil uji di rumah kaca menunjukkan, Pyricularia yang bukan berasal dari padi umumnya avirulen atau lemah virulensinya terhadap padi (Couch et al. 2005). Kemampuan infeksi silang Pyricularia yang dilakukan oleh para peneliti tersebut di atas tidak didasarkan pada riwayat inokulan spora tunggal. Oleh sebab itu, analisis genetik sampel basal (isolat-isolat satu klonal dengan inokulan) sangat diperlukan untuk menduga tingkat mikroevolusi yang muncul akibat pergantian inang. Mikroevolusi pada mikroba merupakan perubahan berpola evolusi yang dapat tampak selama waktu relatif pendek (King & Stansfiled 1990, Mettler et al. 1988) pada beberapa hari atau minggu (Morschhäuser et al. 2000) dan dapat diamati secara langsung di alam atau pada percobaan laboratorium (Mettler et al. 1988). Peristiwa mikroevolusi dapat bersifat kembali lagi (reversible) dan
6 berulang (repeatable) (Mettler et al. 1988). Mutasi titik, penyusunan kembali gen (genetic rearrangements), dan transfer gen merupakan proses yang menyumbang terjadi evolusi pada organisme, termasuk evolusi mikroba. Contoh mikroevolusi Cochliobolus carbonatum pada jagung di alam yang mengalami insersi transposon pada gen resistensinya (Multani et al. 1998). Contoh lainnya ialah keragaman Fusarium oxysporum f. sp. albedinis penyebab layu pada palm berdasarkan keserasian vegetatif (vegetative compatibility=VCG), RFLP mtDNA, dan random amplified polymorphic DNA (RAPD) (Fernandez et al. 1997). Proses mikroevolusi pada jangka waktu lama menghasilkan perkembangan spesies baru atau subspesies dan disebut dengan istilah makroevolusi (Morschhäuser et al. 2000). Sampai saat ini belum diperoleh laporan tentang mikroevolusi Pyricularia yang mengalami pergantian genus inang. Hal yang menarik ialah injeksi konidium patogen blas padi ke kultivar padi yang panikelnya resisten penyakit blas menghasilkan isolat turunan (asal bercak blas pada spikeletnya) dengan sifat-sifat patogenisitas dan genetik yang bervariasi (Namai & Iwade 2002, Namai 2011). Fenomena yang sama mungkin dapat terjadi juga pada cendawan blas asal rumput, pergantian inang kemungkinan dapat menimbulkan variasi patogenisitas dan genetiknya. Perubahan genetik ini diduga dapat bersifat stabil dan perubahan ini dapat diamati dengan menggunakan penanda molekuler. Penanda molekuler lainnya yang dapat digunakan untuk mengamati keragaman genetik di antaranya metode amplified fragment lenght polymorphism (AFLP). AFLP telah digunakan untuk membedakan Pyricularia asal padi indica dan japonica (Thuan et al. 2000). AFLP juga dipakai oleh Tredway et al. (2005) untuk menunjukkan keragaman genetika Pyricularia asal rumput industri, padi, dan gandum. AFLP tidak digunakan untuk analisis filogenetik pada tingkat di atas spesies (Robinson & Harris 1999). AFLP memiliki potensi sebagai sumber informasi filogenetik sistematika molekuler pada takson yang berkerabat sangat dekat, sangat baik untuk mempelajari hubungan filogenetik ketika sekuen internal transcribed spacer (ITS) bersifat terkonservasi (Koopman 2005). Selain AFLP, sekuen ITS (Hirata et al. 2007) dan pola fragmen DNA melalui amplifikasi bagian elemen repetitive Pot2 (rep-Pot2) (Filippi et al. 2002)
7 juga dapat digunakan untuk menganalisis keragaman isolat Pyricularia patogen padi. Daerah ITS rDNA nukleus paling cepat mengalami variasi diantara populasi (White et al. 1990). Sekuen ITS yang banyak bervariasi dapat disejajarkan (aligned) dengan tingkat kepercayaan hanya antara taksa yang sangat berkerabat dekat (Guarro et al. 1999). Oleh sebab itu identitas, keragaman genetik sampel basal, dan stabilitas genetik cendawan blas asal rumput yang mengalami pergantian inang dipelajari secara molekuler dengan bantuan teknik SCAR, AFLP, rep-Pot2 dan hubungannya dengan ras fisiologi, serta sekuen ITS. Di seluruh dunia, cendawan blas yang dominan di lapang ialah anamorfnya (Kato et al. 2000). Teleomorf tidak pernah ditemukan di lapang, meskipun terdapat indikasi keberadaan siklus seksual di lapang berdasarkan penanda molekuler repeat-induced point mutation (RIP) (Ikeda et al. 2002). Teleomorf hanya dihasilkan di laboratorium dari penyilangan dua isolat yang membawa jenis mating type berbeda, dan salah satu isolat tersebut bersifat hermaprodit (Zeigler 1998). Oleh karena itu spesies epitet seringkali berdasarkan inang. Perkembangan pendekatan spesies mempengaruhi identitas Pyricularia, sehingga koreksi penamaan masih berlangsung. Lokus actin, β-tubulin, calmodulin, dan ITS rDNA telah menjadi objek penelitian untuk memecahkan masalah penamaan dan hubungan filogenetik antara isolat. Lokus tersebut juga digunakan untuk menganalisis variasi genetik populasi Pyricularia. Oleh sebab itu karakterisasi cendawan blas pada rumput dan padi sangat diperlukan untuk menetapkan nama yang tepat terutama kaitannya dengan mikroevolusinya akibat pergantian inang. Daerah ITS dapat digunakan untuk membedakan spesies Trichophyton dan Microsporum yang menunjukkan pola mikroevolusi (Gräser et al. 1999). Daerah ITS pada ribosomal DNA (rDNA) telah digunakan untuk membatasi lingkup spesies cendawan (Kusaba et al. 1999, Hirata et al. 2007). Daerah ITS dan intergenic spacer (IGS) rRNA nukleus merupakan unit berulang, terlibat paling cepat mengalami variasi diantara spesies pada genus (White et al. 1990).
8 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk (i) Menganalisis keragaman populasi Pyricularia dari beberapa rumput yang tumbuh berdekatan dengan padi berdasarkan penanda SCAR yang terdiri atas Cut1, PWL2 dan Erg2; serta penanda magB, dan magC (ii) Menganalisis keragaman genetik sampel basal Pyricularia dari rumput D. ciliaris dan mikroevolusi hasil induksi pergantian genus inangnya berdasarkan lima penanda, yaitu penanda SCAR, AFLP, PCR repetitive Pot2 (rep-Pot2), dan hubungannya dengan ras fisiologi (patotipe), serta sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus (iii) Menganalisis hubungan filogenetik berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus antara Pyricularia dari rumput dan padi yang diperoleh dari lokasi dan waktu yang sama. Hipotesis : 1) Lokus SCAR yaitu Cut1, PWL2, Erg2, magB, dan magC dapat digunakan sebagai dasar analisis tingkat keragaman Pyricularia patogen rumput 2) Isolat-isolat Pyricularia hasil pertumbuhan konidium tunggal dari satu bercak blas membentuk karakter sampel basal dengan heterogenisitas terbatas dan perubahan genotipe inang memicu keragaman genetik dari sampel basal Pyricularia 3) Terdapat hubungan filogenetik yang sangat dekat antara Pyricularia pada rumput yang tumbuh di sekitar padi dengan Pyricularia yang berada pada padi, sehingga keduanya merupakan spesies yang sama, yaitu sebagai Pyricularia grisea Manfaat Keragaman penanda SCAR (Cut1, PWL2, Erg2), magB dan magC pada Pyricularia dari beberapa spesies rumput yang tumbuh berdekatan dengan padi di sawah Sukabumi dan ladang Jasinga, Bogor untuk menduga tingkat variasi Pyricularia patogen rumput di Jawa Barat. Sedangkan data genetik hasil pergantian inang Pyricularia diharapkan dapat menjadi dasar pendugaan sumber variasi keragaman Pyricularia di lapang, dan menjelaskan hubungan filogenetik antara Pyricularia patogen padi dan rumput yang tumbuh liar di sekitarnya
9 berdasarkan penanda molekuler yang digunakan pada penelitian ini. Hubungan filogenetik tersebut untuk menduga aliran genetik Pyricularia pada padi sebagai inang utama dan rumput sebagai inang alternatifnya, sehingga dapat sebagai landasan rekomendasi penyiangan. Data-data yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai informasi dasar manajemen penyakit blas pada padi di Jawa Barat.
11 BAB II RUANG LINGKUP PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Oktober 2005 – Oktober 2007 dan September 2008 - Januari 2010, bertempat di Laboratorium Genetika Cendawan, Laboratorium Biotechnology Research Indonesia –Netherland (BIORIN), dan Rumah Kaca Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Alur Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan (Gambar 1). Pada tahap ke1, variasi genetik Pyricularia dari beberapa spesies rumput seperti Cydonon dactylon, Digitaria ciliaris, Eleusine indica, dan Panicum repens diamati pola penanda SCAR, penanda magB dan magC melalui hasil amplifikasi dengan PCR. Pola keragamannya dibandingkan juga dengan Pyricularia dari padi. Pada tahap selanjutnya (ke-2), menganalisis keragaman sampel basal Pyricularia dari D. ciliaris (d) dan pengamatan mikroevolusi Pyricularia d4 dari D. ciliaris yang mengalami pergantian genus inang ke padi var. Kencana bali tahap ke-1 (d~k) dan tahap ke-2 (d~k~k); ke padi var. Cisokan tahap ke-1 (d~c) dan ke-2 (d~c~c); ke padi var. Kencana bali tahap ke-1 dan ke padi var. Cisokan tahap ke-2 (d~k~c); sebaliknya ke padi var. Cisokan tahap ke-1 dan ke padi var. Kencana bali tahap ke-2 (d~c~k); ke Panicum repens (d~p). Pengamatan mikroevolusinya berupa perubahan penanda SCAR, pola AFLP, pola repetitive Pot2 (rep-Pot2) dan ras fisiologinya, serta sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus. Pada tahap ke-3 menganalisis hubungan filogenetik berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus pada Pyricularia dari rumput (D. ciliaris dan P. repens) dan padi yang diperoleh pada lokasi dan waktu yang sama. Sekuen tersebut dicari kesamaannya dengan sekuen nukleotida di GeneBank menggunakan program basic local alignment search tool (BLAST) yang ada di http://blast.ncbi.nlm.nih.gov.
12 Alur Penelitian I. Analisis keragaman genetik Pyricularia dari beberapa spesies rumput Isolasi dan identifikasi cendawan bercak blas pada rumput Perbanyakan biomassa dan isolasi DNA PCR Penanda SCAR (Cut1, PWL2, dan Erg2)
Penanda magB dan magC
II. Analisis keragaman genetik Pyricularia dari Digitaria ciliaris dan mikroevolusinya akibat pergantian inang Perbanyakan inokulan Pyricularia d4 Inokulasi d4 terhadap satu serial inang pengganti Reisolasi turunan d4 dari inang-inang pengganti dan perbanyakan biomassa Isolasi DNA dan karakterisasi Penanda SCAR
Penanda AFLP
Penanda repetitive Pot2 dan patotipe (ras fisiologi)
Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus
III. Hubungan filogenetik Pyricularia dari rumput dan padi Amplifikasi ITS beserta 5.8S rDNA nukleus pada 5 isolat hasil tahap ke-1 Sekuensing ITS beserta 5.8S rDNA Gambar 1 Diagram alir penelitian.
13 Program yang digunakan untuk menganalisis data hasil penelitian ini adalah Phylogenetic Analysis Using Parsimony (PAUP*) version 4.0b10 for 32bit Microsoft Windows (Swofford 2002) dan NTSYS Spc version 2 (Rohlf 1998). PAUP* digunakan untuk menganalisis pengelompokan keragaman penanda SCAR dari beberapa spesies rumput melalui distance dengan UPGMA. Program ini juga digunakan untuk menganalisis data AFLP dari hasil pergantian inang, yaitu mengkonstruksi filogram melalui distance (Robinson & Harris 1999) dengan heuristic. Pada analisis tersebut, tingkat perubahan pola AFLP dari Pyricularia d4 setelah berada pada inang pengganti ditunjukkan oleh jarak genetiknya. Data AFLP juga dianalisis dengan pengelompokan (clustering) dalam bentuk dendrogram pada program NTSYS Spc version 2 (Rohlf 1998). Selain itu, PAUP* juga digunakan untuk mengkonsruksi filogram dalam menganalisis hubungan filogenetik cendawan blas asal rumput dan padi dari lokasi dan waktu yang sama berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Filogram dikonstruksi melalui distance dengan neighbour joining.
15 BAB III KERAGAMAN Pyricularia ASAL RUMPUT BERDASARKAN PENANDA SCAR DAN MAG Abstrak Karakterisasi penanda sequence characterized amplified region (SCAR), magB, dan magC pada populasi Pyricularia dari rumput yang tumbuh liar disekitar tanaman padi belum dilaporkan. Oleh karena itu dilakukan karakterisasi tiga penanda SCAR (Cut1, PWL2, Erg2), dan dua penanda lainnya berupa magB dan magC pada Pyricularia dari beberapa spesies rumput yang tumbuh berdekatan dengan padi untuk menduga tingkat variasi Pyricularia di Jawa Barat. Sebanyak 41 isolat Pyricularia dari Cydonon dactylon, Eleusine indica, Digitaria ciliaris, dan Panicum repens menunjukkan semuanya memiliki kesamaan ukuran fragmen DNA hasil amplifikasi kelima penanda. Ukuran fragmen Cut1, PWL2, dan Erg2 berturut-turut ± 1700 pb, 900 pb dan 1400 pb. Sedangkan ukuran fragmen magB dan magC masing-masing ± 1330 pb dan 1550 pb. Ukuran fragmen Cut1, PWL2, Erg2, magB, dan magC tersebut juga sama dengan ukuran fragmen 22 isolat Pyricularia dari padi. Sampel Pyricularia dari empat spesies rumput memiliki lima fenotipe SCAR yang dikonstruksi berdasarkan hasil amplifikasi dengan urutan Cut1, PWL2, dan Erg2. Kelima pola fenotipe ini menunjukkan frekuensi yang berbeda, yaitu 19.5% berfenotipe 011 (A), 41.5% berfenotipe 101 (B), 31.7% berfenotipe 111 (C), 2.5% berfenotipe 001 (D), dan 4.9% berfenotipe 010 (E). Fenotipe SCAR Pyricularia dari satu bercak blas rumput kebanyakan terdiri atas dua fenotipe SCAR, dengan variasi fenotipe terutama pada Cut1 dan PWL2. Frekuensi gen penanda SCAR juga bervariasi, yaitu sebanyak 78.1% Pyricularia dari rumput memiliki Cut1, hanya 54.1% yang memiliki PWL2, dan 95.1% memiliki Erg2. Hanya satu isolat Pyricularia yang tidak menghasilkan amplikon magC, sehingga magB dan magC tidak dapat menunjukkan keragaman genetik Pyricularia dari rumput. Kata kunci: Pyricularia, Cydonon dactylon, Eleusine indica, Digitaria ciliaris, Panicum repens, padi, SCAR, magB, magC Pendahuluan Beberapa spesies rumput yang tumbuh di sekitar pertanaman padi telah dilaporkan sebagai inang Pyricularia. Di Indonesia, rumput seperti Echinochloa crusgalli (Cikampek), Leersia hexandra (Cilacap), Panicum repens (Subang), dan Panicum maximum (Bali) sebagai inang cendawan blas (Deptan DBPT 1992). Leersia hexandra dan P. repens juga menjadi inang cendawan blas di Filipina, selain itu bercak blas juga ditemukan pada Brachiaria distachya, Brachiaria mutica, Dactyloctenium aegyptium, Digitaria ciliaris, Echinochloa colona, Eleusine indica, Pennisetum purpureum, dan Rottboellia exaltata (Mackill & Bonman 1986). Di India, cendawan blas pada L. hexandra, Cyperus compressus,
16 Cyperus iria, dan Cyperus rotundus (Singh & Singh 1988), serta Pennisetum purpureum di Ghana (Nutsugah et al. 2008). Pada penelitian pendahuluan tampak bahwa cendawan blas yang berasal dari rumput memiliki warna koloni yang cepat berubah dari gelap menjadi putih selama disubkultur berulang-ulang di laboratorium. Selain itu, jumlah konidium cendawan blas yang berasal dari rumput sejak awal hasil isolasi lebih sedikit dibandingkan dengan cendawan blas yang diperoleh dari padi. Sporulasi Pyricularia dari rumput budidaya lebih baik daripada isolat dari rumput liar, kemungkinan karena perbedaan genetik sporulasinya (Rao et al. 1972). Pyricularia dari padi yang mengalami gangguan magB menghasilkan mutan dengan efek pleotropi, yaitu mereduksi pertumbuhan somatik, konidiasi, pembentukan apresorium, dan patogenisitas. Isolat-isolat cendawan blas padi dilaporkan cenderung tidak stabil dalam penampakan koloni, fertilitas, dan patogenisitasnya selama disubkultur di laboratorium (Valent & Chumley 1991). Pembentukan apresorium pada mutan nul magB dapat dipulihkan melalui penambahan cAMP (Liu & Dean 1997). Mutasi dominan magB menyebabkan autolisis koloni yang telah tua, pembentukan melanin tertunda, reduksi reproduksi seksual dan aseksual. Selanjutnya, mutan dominan magB mampu menghasilkan apresorium pada permukaan hidrofobik dan hidrofilik, meskipun perkembangan pada permukaan hidrofilik tertunda. Mutan dari tipe mutasi magB lainnya adalah tidak menyebabkan perubahan fenotipe yang drastis, hanya meningkatkan sensitivitas terhadap penghambatan konidiasi melalui tekanan osmotik (Fang & Dean 2000). Sedangkan delesi pada magC menyebabkan mutannya mengalami reduksi konidiasi, tetapi tidak mempunyai efek pada pertumbuhan miselium atau pembentukan apresorium. Sebaliknya delesi magA tidak memiliki efek pada pertumbuhan somatik, konidiasi, ataupun pembentukan apresorium (Liu & Dean 1997). Gen magB dan magC beserta magA berada pada kromosom yang terpisah dan hanya satu salinan (copy) dalam genom Pyricularia dari padi (Dean 1997). Pyricularia
dari
berbagai
inang
bervariasi
fertilitasnya,
yaitu
kemampuannya sebagai jantan fertil untuk menginduksi pembentukan peritesium, dan sebagai betina fertil untuk menghasilkan pembentukan peritesium (Zeigler
17 1998). Sebagai contoh, 78 sampel dari populasi Pyricularia dari Stenotaphrum secundatum didominasi oleh gen kawin tipe Mat1-1 dan bersifat steril, hanya satu sampel yang jantan fertil dengan gen kawin tipe Mat1-2, tidak ditemukan betina yang fertil, meskipun ditemukan dua macam gen tipe kawin. Contoh lainnya 87 sampel populasi Pyricularia dari inang Festuca arundinaceae juga memiliki gen kawin tipe Mat1-1, dengan betina fertilnya berjumlah 47. Sebanyak 47 sampel betina fertil tersebut yang meghasilkan peritesium kosong ialah 19 sampel. Frekuensi gen tipe kawin lawan jenisnya dari populasi Pyricularia pada kedua inang sangat rendah (0-5.7%) (Tredway et al. 2003). Hal tersebut di atas mungkin berhubungan dengan subunit α dari protein G yang disandikan oleh tiga gen, yaitu magA, magB, dan magC (Dean 1997). Gen subunit α dari protein G mengontrol pertumbuhan, perkembangan, patogenisitas, dan diperlukan untuk perkawinan Pyricularia dari padi (Liu & Dean 1997). Oleh karena itu penanda magB dan magC dapat digunakan sebagai dasar keragaman pada Pyricularia untuk mendapatkan informasi keberadaan kedua penanda tersebut sehubungan dengan pemisahan spesies dan aliran genetik antara Pyricularia pada inang rumput dan padi. Isolat yang tidak berasal dari padi umumnya tidak patogen terhadap padi, ataupun hanya memberikan reaksi patogen lemah (Singh dan Singh 1988, Couch et al. 2005). Demikian halnya di Indonesia, semua isolat Pyricularia dari Leersia hexandra, Panicum maximum, Panicum repens, dan Echinochloa crusgalli hanya patogen terhadap padi var. Kencana bali. Sedangkan isolat dari L. hexandra hanya patogen terhadap P. repens, tidak terjadi saling infeksi silang dari isolat lainnya (DBPT Deptan 1992). Sebaliknya, Pyricularia NBG-A8401 dari padi mampu menginfeksi lima spesies gulma yang berupa rumput (Brachiaria distachya, Echinochloa colona, L. hexandra, Leptochloa chinensis, dan Rottboellia exaltata), dan dua strain lainnya dari Pyricularia asal padi (2017 dan 43) hanya mampu menginfeksi L. chinensis (Mackill & Bonman 1986). Berbagai metode molekuler telah digunakan untuk mengetahui keragaman cendawan. Haplotipe Pyricularia dengan inang padi (68 strain) dari benua Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, dan Eropa membentuk lima grup berdasarkan hasil amplifikasi 14 pasang primer sequence characterized
18 amplified region marker (SCAR). Haplotipe Pyricularia padi dari Asia memiliki keragaman tinggi, sehingga berada di semua grup. Sebaliknya haplotipe Pyricularia padi dari Eropa tidak menyebar, berada dalam satu grup dengan Pyricularia padi dari Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Asia (Soubabere et al. 2000). Sebanyak 16 jenis primer penanda SCAR yang dikembangkan oleh Soubabere et al. (2001) untuk memonitor rekombinasi dan migrasi populasi Pyricularia padi. Sebanyak tiga jenis (Cut1, PWL2, dan Erg2) penanda SCAR dari ke 16 jenis tersebut dapat menunjukkan keragaman genetik (haplotipe) Pyricularia dari padi daerah endemik blas, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Barat, Lampung, Sukabumi, dan Bogor (Reflinur et al. 2005). Sampai saat ini belum diperoleh informasi keragaman penanda SCAR dan mag pada Pyricularia penginfeksi rumput yang tumbuh liar di sekitar tanaman padi. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan menganalisis keragaman Pyricularia dari beberapa spesies rumput yang tumbuh di sekitar tanaman padi berdasarkan lima macam penanda molekuler, yaitu tiga penanda SCAR (Cut1, PWL2, Erg2), dan dua penanda lainnya berupa magB, dan magC. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menduga tingkat variasi Pyricularia di Jawa Barat. Bahan dan Metode Tempat. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Cendawan dan Biorin di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Bahan. Bercak blas pada helaian daun spesies rumput dari tiga lokasi berbeda, yaitu dari empat spesies rumput di sekitar pertanaman padi pada sawah di Sukabumi dengan waktu pengambilan berbeda, satu spesies rumput di sekitar pertanaman padi pada ladang di Jasinga Bogor, dan satu spesies rumput di rumah kaca PPSHB IPB, Kampus Dermaga (Tabel 1). Sebagai pembanding, bercak blas dari helaian daun padi diambil dari lokasi dan waktu yang sama dengan pengambilan sampel dari rumput. Selain itu, sebagai kontrol digunakan Pyricularia dari beberapa varietas padi hasil koleksi Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi Bogor). Spesies rumput diidentifikasi oleh Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor.
19 Tabel 1 Isolat Pyricularia dari satu bercak blas pada beberapa rumput dari tiga lokasi di Jawa Barat, dan dari padi di Lampung dan pada empat lokasi di Jawa Barat Jenis inang pembawa bercak blas Cynodon dactylon
Asal lokasi (pengambilan ke) Sawah Sukabumi (I)
Jumlah Kode isolat pada setiap isolat bercak 3 6
C. dactylon Sawah Sukabumi (II)
5
Eleusine indica Digitaria ciliaris
Sawah Sukabumi (III)
Panicum repens -1*
5 4
Sawah Sukabumi (IV) Panicum repens -2*
D. ciliaris D. ciliaris
10
Ladang Jasinga Bogor Rumah kaca PPSHB IPB, Darmaga
Padi**
5 3 3
Padi **
Sawah Sukabumi (I)
Padi var. IR64 Padi **
4 1
Sawah Sukabumi (IV)
4
Padi var. Kencana bali Ladang Jasinga Bogor
5
Padi***
Lampung Indramayu Indramayu Kuningan Sukabumi
1 1 1 1 1
cd7.S1, cd9.S1, cd13.S1 cd2.S2, cd3.S2, cd6.S2, cd7.S2, cd9.S2, cd10.S2 ei2.S2, ei4.S2, ei5.S2, ei8.S2, ei9.S2 dc1.S3, dc2.S3, dc3.S3, dc4.S3, dc6.S3 pr3.a.S4, pr6.a.S4, pr8.a.S4, pr10.a.S4 pr2.b.S4, pr3.b.S4, pr4.b.S4, pr5.b.S4, pr7.b.S4, pr8.b.S4, pr9.b.S4, pr12.b.S4, pr14.b.S4, pr15.b.S4 d2, d4, d10, d15, d16 dc7.G, dc10.G, dc11.G ou3.a.S1, ou4.a.S1, ou9.a.S1 ou2.b.S1, ou3.b.S1, ou4.b.S1, ou8.b.S1 oir64.S1 ou3.S4, ou4.S4, ou5.S4, ou6.S4 ok1, ok3, ok6, ok10, ok16 o173 oir64.041.I oir64.073.I oir64.001.K ocr.033.S
*: bercak blas berdampingan berada pada satu daun, **: varietas tidak diketahui ***: koleksi Kebun Percobaan Muara, BB Padi Bogor
Isolasi Konidium Tunggal dan Identifikasi Cendawan. Satu bercak blas (Gambar 2) dicuci dengan air mengalir dan dilembapkan semalam, kemudian sejumlah konidium tunggal diisolasi dengan bantuan mikroskop (modifikasi dari Bonman et al. 1987). Konidium tunggal dikecambahkan pada medium agar-agar (Bacto) air 4% (w/v) yang mengandung antibiotik kloramfenikol (250 mg L-1).
20 Isolat hasil perkecambahan ditumbuhkan pada medium cawan Potato Dextrose Agar (PDA, Difco) dan disimpan pada agar-agar miring PDA.
b
a bercak blas
Gambar 2 Fenotipe bercak blas pada daun rumput dan padi: a. Digitaria ciliaris, dan b. padi. Kultur cendawan dari konidium tunggal yang diperoleh dari hasil isolasi diidentifikasi dengan bantuan mikroskop dan menggunakan buku acuan Ou (1985). Kultur cendawan terlebih dahulu ditumbuhkan pada medium sporulasi, yaitu medium oatmeal (30 g oatmeal L-1, 20 g agar-agar L-1, 5 g sukrosa L-1, modifikasi Tsurushima et al. 2005). Hifa aerial kultur cendawan berumur 7-8 hari dihilangkan secara aseptik dengan bantuan kaca objek dan akuades steril. Selanjutnya kultur ditutup dengan plastik transparan dan diberi lubang untuk aerasi serta disinari n-UV terus menerus selama 4-5 hari untuk menginduksi pembentukan konidium. Isolasi dan Amplifikasi DNA. DNA genom cendawan diisolasi dari miselium yang ditumbuhkan pada 25 mL medium cair (5 g L-1 sukrosa, 2 g L-1 ekstrak khamir, dan 2 g L-1 pepton, modifikasi Crawford et al. 1986) selama enam hari pada mesin pengocok. Miselium dipanen dan diisolasi genomnya menurut prosedur yang dijelaskan oleh Raeder dan Broda (1985) dengan volume lebih besar dan sedikit modifikasi. Miselium digerus dalam mortar steril sampai terbentuk pasta. Pasta disuspensikan dalam 4 mL larutan penyangga ekstrak (200 mM Tris HCl pH 8.5; 250 mM NaCl; 25 mM EDTA; 0.5% SDS). Sebanyak 2.8 mL fenol dan 1.2 mL campuran kloroform dan isoamil alkohol (CIA=24:1) ditambahkan ke dalam suspensi dan suspensi dibolak-balik secara perlahan. Suspensi disentrifugasi selama 30 menit pada 4,000 rpm dengan suhu 6 °C. Fase cairan bagian atas segera dipindahkan ke tabung baru dan dipresipitasi dengan menambahkan 1x volume isopropanol dingin. Hasil presipitasi disentrifugasi
21 selama 20 menit pada 4,000 rpm dengan suhu 6 °C. Endapan dibilas dengan etanol dingin konsentrasi 70% dan disentrifugasi kembali selama 10 menit. Endapan dikeringkan dengan pompa vakum selama 15 menit, dan dilarutkan dalam 100 uL TE 1x (10 mm Tris HCl pH 8, 1 mmol EDTA), serta ditambahkan 0.2x volume RNAse 20 mg mL-1. Larutan diinkubasi semalam pada 37 °C, kemudian ditambahkan 900 uL TE 1x dan larutan diekstrak kembali dengan menambahkan 1xvolume CIA, dan disentrifugasi selama 10 menit pada 4,000 rpm dengan suhu 6 °C. Cairan bagian atas dipresipitasikan kembali dengan menambahkan isopropanol dingin seperti tahapan sebelumnya sampai diperoleh endapan yang dilarutkan dalam 100 uL TE 1x. DNA yang dianalisis memiliki tingkat kemurnian (A260/A280) 1.6-1.9. DNA cendawan hasil isolasi diamplifikasi melalui PCR dengan menggunakan lima penanda molekuler. Kelima penanda tersebut terdiri atas tiga jenis penanda SCAR (Cut1, PWL2, Erg2) yang merupakan bagian dari 16 penanda SCAR yang dihasilkan oleh Soubabere et al. (2001). Sedangkan dua penanda lainnya, yaitu magB, dan magC masing-masing dikonstruksi berdasarkan sekuen nomor akses AF011341 dan AF011342 (Liu & Dean 1997). Primer forward dan reverse magB masing-masing terletak pada nukleotida nomor 841861 dan 2154- 2174. Sedangkan primer forward dan reverse magC masingmasing terletak pada nukleotida nomor 808-828 dan 2334-2354. Susunan nukleotida (primer) kelima penanda sebagai berikut: Cut1 (F:5’TATAGCGTTGACCTTGTGGA-3’), Cut1 (R:5-TATAGCATCTCAGACCGAACC-3’) PWL2 (F:5’-TCCGCCACTTTTCTCATTCC-3’) PWL2 (R: 5’-GCCCTCTTCTCGCTGTTCAC-3’) Erg2 (F:5’-GCAGGGCTCATTCTTTTCTA-3’) Erg2 (R:5’-CCGACTGGAAGGTTTCTTTA-3’) magB (F:5’CAATCGGCCACAATGGGTTGC-3”) magB (R:5’TAGCGGGCACTGATTTTAGAT-3”) magC (F:5’CCCTCTGGCAAGATGTGCTTC-3”) magC (R:5’ACCGCCGGAGTAGCACTCACA-3”)
22 Total reaksi PCR sebanyak 20 μL, mengandung sekitar 100 ng DNA genom cetakan; 10 μL 2x PCR master mix (0.05 unit μL-1 Taq DNA polymerase, 4 mM MgCl, 0.4 mM masing-masing dNTP), dan 0.6 ρmol masing-masing primer. Program PCR meliputi pradenaturasi pada suhu 95 °C selama 15 menit, dilanjutkan 35 siklus pada suhu 94 °C selama 1 menit, suhu pelekatan (annealing) primer Cut1, PWL2, dan Erg2 adalah 60 °C selama 45 detik, sedangkan suhu pelekatan primer magB dan magC adalah 56 °C, juga selama 45 detik. Program selanjutnya adalah pemanjangan (elongation) pada suhu 72 °C selama 2 menit. Tahap akhir proses PCR pada suhu 72 °C selama 15 menit. Produk PCR di visualisasi melalui elektroforesis pada gel agarosa 1% (w/v) dalam TAE 1x (0.04 M Tris-asetat dan 0.001 M EDTA), dan perendaman gel dalam 0.5 μg mL-1 etidium bromida. Pengamatan dilakukan terhadap keberadaan pita DNA pada gel agarosa yang diletakkan pada UV transluminator (Labquip) yang dilengkapi kamera digital (Olymphus). Data molekuler diperoleh melalui dua kali ulangan. Analisis data. Amplikon pada isolat dari rumput dinyatakan ada (=1) bila terdapat fragmen DNA hasil amplifikasi. Sebaliknya jika tidak tampak fragmen DNA hasil amplifikasi dari suatu penanda diberi nilai 0. Analisis terhadap keragaman fenotipe penanda SCAR, magB, dan magC hanya dilakukan pada isolat-isolat dalam satu klon. Fenotipe SCAR berdasarkan kombinasi keberadaan Cut1, PWL2, dan Erg2 seperti yang dilakukan oleh Reflinur et al. (2005), tetapi dimodifikasi urutannya (Tabel 2). Fenotipe SCAR Pyricularia dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui tipe pengelompokannya. Pada analisis ini juga dilakukan penggabungan fenotipe SCAR Pyricularia dari rumput dan padi Dendogram dikonstruksi melalui distance dengan UPGMA pada program Phylogenetic Analysis Using Parsimony (PAUP), version 4.0b10 for 32-bit Microsoft Windows (Swofford 2002). Tabel 2 Ragam fenotipe berdasarkan tiga penanda SCAR Penanda SCAR Fenotipe Cut1 Pwl2 A 0 1 B 1 0 C 1 1 D 0 0 E 1 1
Erg2 1 1 1 1 0
23 Hasil Isolasi Konidium Tunggal dan Identifikasi Cendawan. Identifikasi hanya dilakukan terhadap beberapa isolat dari rumput D. ciliaris (d) dan padi Kencana bali (ok). Kultur lainnya tidak diidentifikasi, melainkan diamati morfologinya melalui bentuk konidium. Cendawan memiliki basal konidiofor membesar (Gambar 3a) dan konidiofor gelap (Gambar 3b), pertumbuhan konidiofor simpodial (Gambar 3c), dan satu konidiofor menghasilkan lebih dari satu
konidium
dengan
letak
sendiri-sendiri,
konidium
tidak
tersusun
menggerombol (Gambar 4).
c
b a
10 µm
20µm
10 µm
basal konidiofor Gambar 3 Konidiofor cendawan blas pada rumput D. ciliaris: a. basal membesar, b. basal gelap, c. simpodial.
10 µm
Gambar 4 Susunan konidium pada konidiofor cendawan dari bercak blas pada rumput D. ciliaris. Konidium piriform sampai obklavate, hialin sampai agak gelap, memiliki dua sekat (terdiri atas tiga sel), bagian basal konidium lebih menggelembung dan terdapat embelan kecil, dan bagian atas konidium agak mengecil dan sekat atasnya sering menggenting (Gambar 5). Ukuran konidium-konidium dari bercak blas daun pada rumput D. ciliaris ialah (19.3-25.9) μm x (8.4-9.6) μm, sedangkan dari daun padi (15.1-23.7) μm x (8.1-9.6) μm, serta rataan ukuran konidium Pyricularia asal padi ras fisiologi 173 ialah 36.7 μm x 8.9 μm (Pandia 2008).
24
c
b a 10 µm
Gambar 5
Konidium cendawan dari bercak blas pada daun rumput D. ciliaris: a. sekat, b. embelan pada basal, c. bagian menggenting.
Tabung kecambah spora telah tampak pada tiga jam setelah diletakkan pada kaca objek. Pada umumnya, tabung kecambah dapat tumbuh dari sel bagian ujung, sel bagian basal, ataupun dari keduanya (Gambar 6), tidak diketemukan tabung kecambah yang tumbuh dari sel bagian tengah spora. Apresorium dibentuk pada bagian sel ujung maupun sel basal dari tabung kecambah (Gambar 6).
a b a
b c
d
c
20 µm 20 µm
Gambar 6 Tabung kecambah dan apresorium cendawan dari bercak blas pada rumput D. ciliaris: a. tabung kecambah pada ujung konidium, b. tabung kecambah pada basal konidium, c. tabung kecambah pada ujung dan basal konidium, d. apresorium pada tabung kecambah basal konidium. Pada penelitian ini, isolat yang dianalisis adalah Pyricularia yang diperoleh dari bercak blas pada rumput yang tumbuh liar di sekitar pertanaman padi. Isolat dari padi hanya digunakan sebagai pembanding. Oleh karena itu
25 jumlah isolat dari padi yang dianalisis lebih sedikit dari jumlah isolat dari bercak blas pada rumput. Sebagai kontrol digunakan Pyricularia dari padi yang telah diketahui tipe ras fisiologinya (patotipe), koleksi BB Padi Bogor. Amplikon Penanda Molekuler. Ukuran amplikon ketiga penanda SCAR pada 41 Pyricularia dari rumput sama dengan amplikon 22 Pyricularia dari padi. Ukuran amplikon ketiga penanda SCAR tersebut, yaitu Cut1, PWL2, dan Erg2 berturut-turut ± 1700 pb (Gambar 7), ± 900 pb (Gambar 8), dan ± 1400 pb (Gambar 9). Keberadaan amplikon ini sangat bervariasi bergantung asal inang dan lokasi asal bercak (Tabel 1). Ukuran amplikon penanda magB dan magC pada Pyricularia dari rumput sama seperti amplikon Pyricularia dari padi, yaitu berurut-turut ± 1330 pb (Gambar 10a) dan 1550 bp (Gambar 10b). M
2000 pb
1
2
3
k
4
5
6 ±1700 pb
1000 pb
Gambar 7 Penanda Cut1 pada Pyricularia dari rumput dan padi: M. DNA standar, 1. cd9.S2, 2. dc2.S3, 3. d4, k. kontrol negatif, 4. ei2.S2, 5. pr3.a.S4, 6. ouir64.S1; (ket. nama isolat mengacu pada Tabel 1).
1000 pb
M
1
k
2
3
4
5
6 ± 900 pb
850 pb 650 pb
Gambar 8 Penanda PWL2 pada Pyricularia dari rumput dan padi: M. DNA standar, 1. cd9.S2, k. kontrol negatif, 2. dc2.S3, 3. ei2.S2, 4. pr3.a.S4, 5. ou3.a.S1, 6. ouir64.S1; (ket. nama isolat mengacu pada Tabel 1). 2000 pb 1650 pb 1000 pb 850 pb
M
1
2
3
4
k
5
6
7
8
9
10 ±1400 pb
Gambar 9 Penanda Erg2 pada Pyricularia dari rumput dan padi: M. DNA standar, 1. cd9.S2, 2. dc2.S3, 3. d2, 4. ei2.S2, k. kontrol negatif, 5. pr3.a.S4, 6. pr2.b.S4, 7. ou3.a.S1, 8. ouir64.S1, 9. ok1, 10. ocr.033; (ket. nama isolat mengacu pada Tabel 1).
26 M
a
1
2
3
4
5
6
7
8
9
k 2000 bp 1650 bp
±1330 bp
1000 bp
k
b
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
M
2000 pb 1650 pb
±1550 pb
1000 pb
Gambar 10 Penanda magB (a) dan magC (b) pada Pyricularia dari rumput dan padi: M. DNA standar, 1. cd9.S2, 2. dc2.S3, 3. d2, 4. ei2.S2, 5. pr3.a.S4, 6. pr2.b.S4, 7. ou3.a.S1, 8. ouir64.S1, 9. ok1, 10. ocr.033; k. kontrol negatif (ket. nama isolat mengacu pada Tabel 1). Keberadaan penanda Cut1, PWL2, dan Erg2 sangat bervariasi. Berdasarkan keragaman tersebut, Pyricularia dari rumput terdiri atas lima fenotipe SCAR, yaitu A, B, C, D, dan E (Tabel 3). Pada satu bercak Pyricularia umumnya ditemukan dua fenotipe SCAR, kecuali Pyricularia dari P. repens memiliki tiga fenotipe SCAR dan Pyricularia pada D. ciliaris dari rumah kaca PPSHB IPB hanya memiliki satu fenotipe SCAR, yaitu A (Tabel 3), sebaliknya, fenotipe SCAR Pyricularia dari padi lebih homogen. Hampir semua Pyricularia dari padi ber fenotipe SCAR tipe A, kecuali Pyricularia dari padi IR64 berfenotipe berbeda (C). Tabel 3 Keragaman penanda SCAR dan mag pada Pyricularia dari beberapa rumput dan padi SCAR Mag Kode Isolat Cut1 PWL2 Erg2 Fenotipe B C cd7.S1 cd9.S1 cd13.S1 cd2.S2 cd3.S2 cd6. S2 cd7.S2 cd9.S2 cd10.S2 dc1.S3 dc2.S3 dc3.S3
0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0
Rumput 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
A B B B B B B C C A C A
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
27 Tabel 3 Keragaman penanda SCAR dan mag pada Pyricularia dari beberapa rumput dan padi (Lanjutan) SCAR Mag Kode Isolat Cut1 PWL2 Erg2 Fenotipe B C dc4.S3 dc6.S3 d2 d4 d10 d15 d16 dc7.G dc10.G dc11.G ei2.S2 ei4.S2 ei5.S2 ei8.S2 ei9.S2 pr3.a.S4 pr6.a.S4 pr8.a.S4 pr10.a.S4 pr2.b.S4 pr3.b.S4 pr4.b.S4 pr5.b.S4 pr7.b.S4 pr8.b.S4 pr9.b.S4 pr12.b.S4 pr14.b.S4 pr15.b.S4
0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1
ou3.a.S1 ou4.a.S1 ou9.a.S1 ou2.b.S1 ou3.b.S1 ou4.b.S1 ou8.b.S1 oir64.S1 ou3.S4 ou4.S4 ou5.S4
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1
A A B B B D B A A A C C C B C C B C C B B B E C B C B E C
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk tk
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
A A A A A A A C A A A
1 1 1 1 1 1 1 1 tk tk tk
1 1 1 1 1 1 1 1 tk tk tk
Padi
28 Tabel 3 Keragaman penanda SCAR dan mag pada Pyricularia dari beberapa rumput dan padi (Lanjutan) Kode Isolat
SCAR Cut1 PWL2 Erg2 Fenotipe ou6.S4 0 1 1 A ok1 0 1 1 A ok3 0 1 1 A ok6 0 1 1 A ok10 0 1 1 A ok16 0 1 1 A oir64.001.K 0 1 1 A ocr.033.S 0 1 1 A oir64.041.I 0 1 1 A oir64.073.I 0 1 1 A o173 0 1 1 A 1= ada, 0= tidak ada, tk = tidak dikarakterisasi; (ket. nama isolat merujuk pada Tabel 1)
Mag B C tk tk 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Jenis rumput menentukan variasi fenotipe SCAR. Pada bercak-bercak blas di C. dactylon terdapat tiga fenotipe yaitu A, B, dan C, dengan B sebagai fenotipe dominan. Sedangkan pada D. ciliaris terdapat empat fenotipe yaitu A, B, C, dan D dengan fenotipe A yang dominan. Pada E. indica terdapat dua fenotipe yaitu C dan B, C sebagai fenotipe dominan. Pada P. repens terdapat tiga fenotipe, yaitu C, B, dan E, dengan fenotipe E paling jarang ditemukan. Pada lokasi berbeda, fenotipe SCAR Pyricularia rumput juga berbeda, tetapi tidak demikian dengan fenotipe SCAR Pyricularia padi. Pyricularia pada D. ciliaris
dari Sukabumi memiliki fenotipe SCAR A dan C, sedangkan
Pyricularia pada D. ciliaris dari Jasinga memiliki fenotipe SCAR B dan D, serta fenotipe SCAR Pyricularia pada D. ciliaris dari rumah kaca hanya memiliki tipe A. Fenotipe SCAR Pyricularia dari Sukabumi didominasi oleh fenotipe B dan C, keduanya bernilai sama. Hanya fenotipe SCAR B yang dominan di Jasinga, dan di Jasinga tidak memiliki fenotipe SCAR C. Sebaliknya, fenotipe SCAR Pyricularia padi tidak beragam, semua berfenotipe SCAR A, kecuali Pyricularia dari padi var. IR64 berfenotipe SCAR C, seperti kebanyakan Pyricularia dari E. indica. Di antara kelima fenotipe SCAR Pyricularia dari rumput, frekuensi fenotipe SCAR B paling besar, yaitu 41.5% dan diikuti berturut-turut oleh C (31.7%), A (19.5%), E (4.9%), dan D (2.5%). Sebaliknya Pyricularia pada padi memiliki frekuensi fenoipe SCAR tipe A sebesar 95.5% dan C sebesar 4.6%.
29 Frekuensi penanda SCAR juga bervariasi. Sebanyak 78.1% Pyricularia dari rumput memiliki Cut1, hanya 54.1% yang memiliki PWL2 dan 95.1% memiliki Erg2 (hanya 4.9% yang tidak memiliki Erg2). Sebaliknya, hanya satu Pyricularia dari padi (IR64 dari Sukabumi) yang memiliki Cut1, dan 100% sampel Pyricularia dari padi memiliki PWL2, lebih tinggi daripada Pyricularia dari rumput. Semua Pyricularia dari padi menunjukkan hasil amplifikasi penanda SCAR Erg2. Begitu juga semua Pyricularia dari rumput dan padi memiliki penanda magB. Hanya satu Pyricularia dari jenis rumput D. ciliaris (d15), dan dua Pyricularia dari padi var. Kencana bali (ok6 dan ok10) yang tidak menunjukkan amplikon magC. Ketiga Pyricularia ini diperoleh dari bercak blas di ladang Jasinga Bogor (Tabel 1).
Penanda mag tidak dapat menunjukkan
keragaman Pyricularia dari rumput dan padi. Tidak semua sampel dikarakterisasi penanda magB dan magCnya. Variasi penanda magB dan magC pada sampel Pyricularia dari rumput maupun padi yang
dianalisis
cenderung
tidak
bervariasi,
oleh
karena
itu
analisis
pengelompokan hanya berdasarkan penanda SCAR. Fenotipe berdasarkan SCAR mengelompok menjadi lima (Gambar 11.I). Pyricularia pr5.b.S4 dan pr14.b.S4 yang diperoleh dari sumber bercak yang sama membentuk kelompok sendiri, begitu juga d15 dari rumput D. ciliaris dari Jasinga. Pada dendogram, Pyricularia dari rumput berfenotipe SCAR A membentuk satu kelompok dengan Pyricularia dari padi yang juga berfenotipe SCAR A, kecuali satu isolat oir64.S1 yang berfenotipe SCAR C mengelompok dengan Pyricularia dari rumput yang juga berfenotipe C (Gambar 11.II). Pembahasan Penanda Cut1 merupakan penanda SCAR yang gennya paling sering teramplifikasi pada Pyricularia
dari rumput ((78.1%), hanya 4.6% pada
Pyricularia dari padi yang menunjukkan fragmen ini. Sedangkan frekuensi PWL2 pada Pyricularia dari rumput ialah 54.1%, sebaliknya, semua Pyricularia dari padi 100% memiliki PWL2. Penanda Cut1 bukan merupakan bagian gen yang penting pada Pyricularia untuk menginfeksi inang. Begitu juga PWL2 bagi Pyricularia, kecuali terhadap inang Eragrostis curvula.
Enzim kutinase
Pyricularia padi yang disandikan oleh gen cut1 tidak mempengaruhi patogenisitas
30 II. Asal inang rumput dan padi
I. Asal inang rumput
(Fenotipe 011)
A
A
(Fenotipe 011) E
(Fenotipe 111)
C
(Fenotipe 001)
(Fenotipe 110)
(Fenotipe 111)
C
D
0.1
B
(Fenotipe 101)
(Fenotipe 101)
B
E (Fenotipe 110) Gambar 11 Pengelompokan fenotipe penanda SCAR pada Pyricularia dari rumput (I), dan gabungan Pyricularia dari rumput dan padi (II): : Pyricularia asal padi, (ket. nama isolat merujuk pada Tabel 1, dan fenotipe SCAR merujuk pada Tabel 2).
31 dan kecepatan konidiasi (Sweigard et al. 1992b), tetapi gen cut2 yang diperlukan untuk menginfeksi tanaman (Skamnioti & Gurr 2007). Sebanyak delapan gen diperkirakan menyandikan enzim kutinase Pyricularia dari padi (Dean et al. 2005). PWL2 merupakan salah satu gen avirulen Pyricularia 70-15 dari padi (Dean et al. 2005). Kehadiran gen PWL2 pada Pyricularia dari padi mencegah cendawan ini menginfeksi inang alternatifnya, yaitu Eragrostis curvula, dan tetap patogen terhadap padi dan barley. Keragaman fenotipe Cut1 dan PWL2 mungkin disebabkan oleh mutasi, yaitu dengan keberadaan aktivitas semacam elemen transposon. Mutasi dan rekombinasi merupakan sumber utama bagi cendawan patogen tumbuhan dalam menghasilkan variasi genetik, seperti halnya pada kebanyakan organisme (Burdon & Silk 1997). Begitu juga penanda Erg2, hanya satu isolat yang tidak menunjukkan hasil amplifikasinya. Sampai saat ini belum diperoleh informasi penyebab mutasi dari gen erg2. Peluang penanda SCAR (Erg2) yang dikembangkan oleh Soubabere et al. (2001) adalah null. Penanda tersebut merupakan bagian dari gen sterol isomerase, yaitu enzim yang mengkatalisis isomerasi posisi ikatan rangkap Δ8 ke posisi Δ7 pada senyawa perantara (intermediate) biosintesis ergosterol. Mutan erg2 tumbuh lebih lambat dan menunjukkan percabangan miselium abnormal daripada transforman dari tipe liar yang mengandung gen erg2 fungsional. Selain itu, mutan erg2 yang tidak mengandung gen ergosterol fungsional mengalami akumulasi Δ8 (Keon et al. 1994). Isolat yang tidak menunjukkan hasil amplifikasi penanda Erg2 mungkin tidak sensitif terhadap fungisida morpholine, jenis fungisida yang menghambat biosintesis kelompok sterol pada membran (www.frac.info 2008). Fenotipe SCAR Pyricularia pada D. ciliaris dari rumah kaca maupun Pyricularia pada padi tidak menunjukkan variasi, yaitu hanya tipe A. Hal sebaliknya ditunjukkan oleh Pyricularia dari rumput selain D. ciliaris
yang
tumbuh di rumah kaca. Hal ini mengindikasikan bahwa sampel alami pada rumput liar memiliki keragaman penanda SCAR yang relatif tinggi, kemudian mengalami perubahan (mikroevolusi) ketika beradaptasi dengan padi atau dengan inang yang relatif lebih homogen. Homogenisitas penanda SCAR Pyricularia pada D. ciliaris di rumah kaca disebabkan oleh infeksi konidium yang homogen, yaitu sumber
32 inokulumnya berupa Pyricularia yang sedang dipergunakan pada penelitian (o173 yang memiliki fenotipe A). Sedangkan homogenisitas fenotipe SCAR pada sampel Pyricularia dari padi di lapangan mungkin disebabkan oleh jumlah isolat yang dianalisis terlalu sedikit, sehingga tidak dapat menggambarkan keragaman yang sebenarnya. Populasi Pyricularia dari daerah endemik blas di Sukabumi memiliki keragaman haplotipe penanda SCAR Cut1, PWL2, dan Erg2 (Reflinur et al. 2005). Diantara semua penyebab perubahan genetik, penelitian tentang pengaruh pergantian inang pada perubahan genetik Pyricularia patogen perlu dilakukan (dijelaskan pada bab IV). Ukuran fragmen DNA hasil amplifikasi sesuai dengan hasil design primer yang dikonstruksi berdasarkan sekuen DNA gen magB dan magC dari Pyricularia dari padi. Kedua gen tersebut merupakan bagian gen penyandi subunit α protein G. Gen subunit α dari protein G mengontrol pertumbuhan, perkembangan, patogenisitas, dan diperlukan untuk perkawinan Pyricularia dari padi (Liu & Dean 1997). Hanya satu dari 41 isolat dari rumput yang tidak menunjukkan hasil amplifikasi penanda magC, sehingga magB dan magC tidak dapat digunakan untuk menunjukkan keragaman Pyricularia ataupun membedakan isolat dari rumput dan padi. Menurut Borromeo et al. (1993) dan Hirata et al. (2007) bahwa Pyricularia dari rumput dan padi adalah monofiletik. Namun Couch dan Kohn (2002) menemukan spesiasi pada Pyricularia dari rumput dan padi serta serelia lainnya berdasarkan bagian dari gen actin, ß-tubulin, dan calmodulin. Penanda magB dan magC yang dianalisis pada penelitian ini mungkin tidak terlibat dalam proses spesiasi Pyricularia. Sampel Pyricularia dari padi tidak menyebar, melainkan mengelompok bersama sampel berfenotipe SCAR A dari Pyricularia rumput, kecuali satu isolat, yaitu oir64.001.K dari padi yang mengelompok dengan fenotipe C dari Pyricularia dari rumput. Hal ini mungkin karena jumlah sampel isolat dari padi yang sedikit, sehingga frekuensi kehadiran penanda SCAR Cut1 sangat rendah. Sebaliknya, penelitian Reflinur et al. (2005) menunjukkan frekuensi penanda Cut1 yang tinggi pada Pyricularia dari padi, baik di Sukabumi, Lampung, ataupun daerah lainnya. Selain itu Reflinur et al. (2005) juga melaporkan bahwa Pyricularia dari padi tersebut memiliki frekuensi ketidakhadiran Erg2 yang relatif
33 besar. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, selain akibat jumlah sampel isolat dari padi yang terlalu sedikit, mungkin juga akibat keragaman populasi cendawan blas yang bersifat dinamis, seperti halnya dilaporkan oleh Prabhu et al. (2002) ataupun Kumar et al. (1999). Secara umum fenotipe SCAR (Cut1, PWL2, dan Erg2) isolat pada satu bercak blas dari rumput terdiri atas dua macam fenotipe. Sebaliknya pada bercak blas dari inang padi, hanya tampak satu fenotipe SCAR. Perbedaan keragaman tersebut mungkin sebagai indikasi bahwa Pyricularia patogen rumput memiliki keragaman genetik yang lebih tinggi daripada isolat yang berasal dari padi. Variasi fenotipe SCAR dalam satu bercak dapat sebagai hasil perubahan dalam beradaptasi ketika patogen mengkolonisasi inang barunya ataupun penginfeksinya lebih dari satu sumber inokulum dengan fenotipe SCAR berbeda. Kemungkinan lainnya adalah jumlah spesies rumput yang tumbuh disekitar padi lebih banyak daripada jumlah varietas padi yang ditanam di satu area pada satu musim tanam karena berbagai spesies rumput berada sepanjang waktu di suatu area pertanaman padi. Sedangkan varietas padi yang ditanam berubah-ubah pada musim tanam. Oleh karena itu patogen pada rumput akan lebih heterogen dibandingkan dengan patogen pada padi. Heterogenisitas fenotipe pada rumput mungkin juga dapat diakibatkan oleh Pyricularia dari satu spesies rumput dapat menginfeksi lebih dari satu spesies inang seperti dilaporkan oleh Mackill dan Bonman (1986), yaitu cendawan blas dari rumput Eleusine indica mampu menginfeksi rumput Eleusine coracana dan Leptochloa chinensis. Sebaliknya, Pyricularia dari 14 spesies rumput berbeda tidak mampu menginfeksi kultivar padi diferensial Jepang. Tidak ada aliran genetik patogen blas dari rumput ke padi, tetapi terjadi aliran genetik patogen di selain padi (Kato et al. (2000). Kemungkinan aliran genetik cendawan blas ke rumput lebih tinggi daripada ke padi. Simpulan Ukuran penanda SCAR (Cut1, PWL2, dan Erg2), dan dua penanda lainnya berupa magB dan magC pada Pyricularia dari rumput dan padi ialah serupa. Ukuran DNA tersebut masing-masing ± 1700 pb, 900 pb, dan 1400 pb untuk penanda Cut1, PWL2, dan Erg2, serta ± 1330 pb dan 1550 bp untuk penanda magB dan magC.
34 Sampel Pyricularia dari empat spesies rumput, yaitu C. dactylon, Eleusine indica, D. ciliaris, dan P. repens memiliki lima fenotipe penanda SCAR. Kelima fenotipe ini menunjukkan frekuensi yang berbeda, yaitu fenotipe SCAR A sebesar 19.5%, 41.5% berfenotipe B, 31.7% berfenotipe C, 2.5% berfenotipe D, dan 4.9% berfenotipe E. Frekuensi gen penanda SCAR juga bervariasi. Sebanyak 78.1%
Pyricularia dari rumput memiliki Cut1, hanya 54.8% yang memiliki
PWL2 dan hampir keseluruhan (95.1%) memiliki Erg2. Isolat dari satu bercak blas rumput kebanyakan terdiri atas dua fenotipe SCAR dengan variasi utama pada Cut1 dan PWL2. Penanda magB dan magC tidak dapat digunakan untuk menunjukkan keragaman Pyricularia dari rumput. Hanya satu dari 41 isolat Pyricularia dari rumput yang tidak menunjukkan hasil amplifikasi penanda magC.
35 BAB IV KERAGAMAN TURUNAN HASIL INFEKSI SILANG Pyricularia ASAL Digitaria ciliaris Abstrak Variasi genetik dapat muncul dari proses adaptasi mikrob terhadap lingkungannya. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pergantian inang terhadap keragaman genetik Pyricularia d4 yang diperoleh dari rumput Digitaria ciliaris. Riwayat genetik d4 yang mengalami pergantian inang ditelusuri melalui lima penanda, yaitu SCAR (Cut1, PWL2, Erg2), AFLP, rep-Pot2, ras fisiologi, dan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Hasil uji infeksi silang menunjukkan d4 hanya mampu berganti inang ke padi var. Kencana bali, Cisokan, dan rumput Panicum repens. Perubahan d4 ketika pada Kencana bali dan Cisokan meliputi fenotipe SCAR berupa Cut1 dan PWL2, AFLP, rep-Pot2, dan ras fisiologinya, tetapi sekuen ITSnya tidak berubah. Sebaliknya, d4 pada P. repens selain perubahan fenotipe AFLP dan rep-Pot2, juga terjadi mutasi transisi dua nukleotida ITS. Tingkat perubahan fenotipe AFLP d4 pada P. repens lebih besar dan perubahan tipe fenotipe rep-Pot2 d4 juga berbeda daripada d4 pada Kencana bali dan Cisokan. Tipe fenotipe rep-Pot2 d4 pada Kencana bali maupun Cisokan adalah sama. Namun d4 pada Kencana bali memiliki tingkat perubahan fenotipe AFLP lebih tinggi daripada di Cisokan. Perubahan ras fisiologi d4 pada Kencana bali (023) berbeda dengan ketika d4 pada Cisokan, yaitu dapat lebih tinggi (373), tetapi dapat juga tidak mengalami perubahan (000), masih seperti ras fisiologi d4 (inokulumnya). Penanda turunan d4 dari padi tidak berubah ketika diinfeksikan kembali pada varietas padi yang sama. Namun, turunan d4 dari padi Cisokan yang diinfeksikan ke Kencana bali lebih besar perubahan fenotipe AFLPnya. Inang yang rentan penyakit blas menginduksi kemunculan keragaman genetik lebih besar. Pergantian genus inang d4 menghasilkan peristiwa mikroevolusi. Kata kunci: Pyricularia, Digitaria ciliaris, padi, Panicum repens, SCAR, AFLP, Pot2, ras fisiologi, ITS. Pendahuluan Penularan penyakit ke inang berbeda telah dilaporkan pada banyak cendawan patogen. Perpindahan inang merupakan salah satu strategi hidup cendawan patogen untuk mempertahankan propagulnya. Pyricularia patogen padi diduga dapat memiliki inang berupa rumput yang tumbuh di sekitar pertanaman padi (Couch et al. 2005), tetapi tidak ada indikasi perpindahan berikutnya dari rumput ke padi kembali (Ebbole 2007). Hal serupa dinyatakan oleh Kato et al. (2000) dan Rathour et al. (2006), tidak ada aliran genetik antara cendawan blas pada padi dan non-padi, termasuk D. sanguinalis. Namun Sirithunya et al. (2008) berpendapat bahwa cendawan penyebab penyakit blas mungkin memiliki peluang migrasi antara inang yang berupa gulma dan padi.
36 Anggota serealia dan gulma padi berupa rumput dapat menjadi inang Pyricularia patogen padi (Ou, 1985). Pyricularia yang patogen ke rumput tidak semuanya patogen ke padi (Mackill & Bonman 1986, Singh & Singh 1988, DBPT 1992) ataupun ke Graminae lain (Tredway et al. 2005). Isolat dari rumput Echinochloa colona,
Leersia hexandra dan
Rottboellia
exaltata dapat
menghasilkan gejala penyakit blas pada padi yang rentan, begitu juga sebaliknya (Mackill & Bonman 1986). Di Filipina, subpopulasi cendawan blas yang menginfeksi padi di sawah, berbeda secara genetik dengan subpopulasi yang menginfeksi gulma yang tumbuh berdekatan (Borromeo et al. 1993). Studi molekuler tersebut tidak melibatkan spesimen cendawan penyebab blas dari rumput Indonesia, khususnya rumput D. ciliaris yang tumbuh di sekitar tanaman padi yang sedang terserang penyakit blas dari Jawa Barat. Pergantian inang mungkin dapat menyebabkan keragaman Pyricularia, dan akan menghasilkan populasi yang memiliki keragaman genetik. Hal yang menarik tentang satu isolat Pyricularia patogen padi yang diinfeksikan ke padi yang sesuai, menghasilkan dua isolat turunan yang memiliki kariotipe berbeda dari isolat asalnya, meskipun patotipe (ras fisiologi) dan pola fragmen penanda MGR tetap. Isolat awal sebelum diinfeksikan ke padi mengalami subkultur berulang-ulang (Talbot et al. 1993). Fenotipe dan genotipe Pyricularia asal padi bersifat stabil setelah mengalami 10 kali subkultur secara serial, namun beberapa isolat telah kehilangan potongan DNA sebesar 8 kb karena subkultur secara serial ini. Fragmen yang hilang tersebut adalah telomer helikase. Selain itu, satu isolat yang berasal dari basal konidium dari serial subkultur ke-8 memperlihatkan polimorfisme pada pola fragmen DNA hasil AFLP. Fragmen DNA polimorf tersebut adalah elemen transposon LTR berukuran 38 pb yang banyak tersebar dalam genom Pyricularia asal padi. Sebaliknya, isolat yang diinfeksikan 10 kali secara serial ke spesies inang yang sama juga memiliki fenotipe dan genotipe stabil (Park et al. 2010). Jenis rumput Echinochloa crusgalli, Leersia hexandra, Panicum repens, dan Panicum maximum
yang tumbuh disekitar tanaman padi dilaporkan
merupakan inang Pyricularia di Indonesia (DBPT Deptan 1992). Pada tahun 2005, bercak seperti penyakit blas ditemukan pada Digitaria ciliaris, Digitaria
37 sp., dan Ottochloa nodosa pada ladang percobaan padi yang berlokasi di Jasinga Bogor. Pada waktu ditemukan bercak blas pada rumput, padi percobaan sedang terserang penyakit blas secara alami. Bercak seperti penyakit blas juga ditemukan pada rumput Cynodon dactylon dan Panicum repens pada pematang sawah di Sukabumi. Sawah di Sukabumi ini dilaporkan sebagai daerah endemik penyakit blas (Bustaman & Mahrup 2004, Sobrizal et al. 2010). Berbagai penanda molekuler telah dikembangkan untuk menganalisis struktur genetik dan dinamika populasi Pyricularia patogen padi, salah satu diantaranya sequence characterized amplified region marker (SCAR). SCAR dihasilkan melalui proses PCR, sehingga hasilnya lebih reproducible daripada metode DNA fingerprinting. Sebanyak 22 primer SCAR dapat digunakan untuk memonitor rekombinasi dan migrasi pada populasi Pyricularia asal padi (Soubabere et al. 2001). Sebanyak tiga primer dari penanda SCAR, yaitu Cut1, PWL2, dan Erg2 mampu menghasilkan keragaman haplotipe Pyricularia dari padi yang diperoleh dari beberapa daerah endemik blas (Reflinur et al. 2005). Selain SCAR,
amplified fragment length polymorphism (AFLP)
merupakan metode yang sesuai untuk mempelajari genetika populasi dan pemuliaan tanaman, tidak digunakan untuk analisis filogenetik pada tingkat di atas spesies (Robinson & Harris 1999). AFLP juga memiliki potensi sebagai sumber informasi filogenetik sistematika molekuler pada takson yang berkerabat sangat dekat (infra spesies), sangat baik untuk mempelajari hubungan filogenetik ketika sekuen internal transcribed spacer dan intergenic spacer (ITS) rDNA nukleus bersifat terkonservasi (Koopman 2005). AFLP pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis filogenetik Pyricularia dari rumput yang diinfeksikan ke inang pengganti. Daerah ITS rDNA pada nukleus merupakan unit berulang yang terlibat paling cepat berubah dan dapat bervariasi diantara spesies dalam genus atau diantara populasi (White et al. 1990). Perbedaan satu nukleotida pada daerah ITS2 diantara spesies Aspergillus terreus, Aspergillus niger (Hinrikson et al. 2005), dan perbedaan beberapa nukleotida pada ITS1 spesies khamir (Chen et al. 2001, Korabecná et al. 2003) telah dilaporkan.
38 Pola fragmen DNA hasil amplifikasi bagian elemen repetitive Pot2 (repPot2) dapat digunakan untuk menganalisis keragaman Pyricularia asal padi (Filippi et al. 2002). Analisis populasi Pyricularia asal padi melalui teknik repPot2 pada kondisi waktu ekstensi PCR yang panjang (10 menit), menunjukkan hubungan yang dekat dengan pengelompokan isolat berdasarkan RFLP MGR586. Selain itu rep-Pot2 merupakan penanda yang efisien untuk memonitor dinamika populasi patogen blas. Pada populasi skala besar, rep-Pot2 mendukung untuk mengetahui pengaruh genotipe inang pada evolusi patogen (George et al. 1998). MGR586 telah banyak digunakan sebagai probe pada analisis populasi Pyricularia asal padi (Hamer et al. 1989, Levy et al. 1991, Borromeo et al. 1993). Teknik molekuler banyak dimanfaatkan para peneliti untuk mengetahui perubahan dalam skala sangat kecil. Mikroevolusi ras pada cendawan patogen dihipotesiskan terjadi dalam model yang bertahap, yaitu klon mengalami mutasi tingkat virulen yang berakumulasi secara beturut-turut, sehingga menghasilkan ras yang mampu menanggulangi beberapa gen resisten pada tanaman inang, atau beberapa kultivar resisten (Jimenez-Gasco et al. 2004). Contoh mikroevolusi ditemukan pada empat genotipe 29 isolat Candida dubliniensis melalui sekuen ITS gen rRNA secara in vitro dan in vivo (Gee et al. 2002). Contoh lainnya, keberadaan variasi minor yang berupa elemen repetitive pada beberapa isolat dari populasi C. albicans yang dideteksi pada fingerprint melalui Southern blot (Lockhart et al. 1995). Selain itu, fingerprint DNA yang dikombinasikan dengan sekuen DNA repetitive dapat menunjukkan pola bertahap yang sederhana dari mikroevolusi ras Fusarium oxysporum f. sp. ciceris. Pyricularia penyebab blas padi memiliki keragaman ras fisiologi tinggi. Jumlah ras fisiologi meningkat di beberapa negara (Ou 1980). Banyak varietas baru yang resisten terhadap penyakit blas hanya bertahan selama beberapa tahun saja, menjadi rentan terhadap strain Pyricularia dengan virulen baru. Sejumlah ras berada di lapangan sebagai hasil perubahan terus menerus dalam patogenisitas dan jumlah konidium yang sangat banyak (Ou 1980, Namai 2011). Sebaliknya frekuensi ras fisiologi cendawan blas pada padi relatif stabil di Korea dan Filipina. Resistensi padi secara kuantitatif terhadap penyakit blas bukan akibat ketidakstabilan cendawan patogen yang ekstrim (Bonman et al. 1987).
39 Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pergantian inang terhadap keragaman genetik Pyricularia d4 asal rumput Digitaria ciliaris. Riwayat genetik isolat cendawan yang mengalami pergantian inang akan ditelusuri melalui lima penanda, yaitu SCAR (Cut1, PWL2, Erg2), AFLP, rep-Pot2, ras fisiologi, dan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Pada penelitian ini diharapkan mendapatkan pengetahuan pengaruh pergantian genus inang Pyricularia. Informasi yang diperoleh akan memperkaya pengetahuan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan struktur genetik Pyricularia, dan juga dapat digunakan sebagai rekomendasi managemen penyakit blas di Indonesia. Bahan dan Metode Tempat. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Cendawan dan Biorin di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Kultur Cendawan. Semua isolat yang dianalisis merupakan hasil isolasi konidium tunggal dari penelitian sebelumnya (Bab 3), terdiri atas: (i) Pyricularia d2, d4, d10, d15, dan d19 yang diperoleh dari satu bercak blas pada daun rumput D. ciliaris. Rumput tersebut tumbuh di sekitar percobaan tanaman padi yang terserang penyakit blas secara alami pada ladang di Jasinga, Bogor pada tahun 2005, (ii) Isolat ok3, ok6, dan ok10 diperoleh dari satu bercak pada daun padi var. Kencana bali, diambil dari lokasi dan waktu yang sama dengan bercak blas pada rumput D. ciliaris (Jasinga, Bogor), (iii) isolat kontrol berupa Pyricularia ras 173 (o173) yang diperoleh dari padi var. Ciherang yang tumbuh di Lampung, koleksi Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Bogor. Tanaman Uji Infeksi Silang. Jenis tanaman yang akan digunakan untuk uji pergantian inang meliputi tiga benih padi diferensial Indonesia, yaitu var. Kencana Bali, Cisokan, dan IR64 yang berturut-turut bersifat rentan, moderat, dan resisten terhadap penyakit blas ras 173 yang diinokulasi melalui injeksi (Kurnianingsih 2008), rumput-rumput sehat yang berupa Panicum repens dan Cynodon dactylon (diperoleh dari daerah endemik blas, sawah di Sukabumi), Digitaria sp. dan Otthochloa nodosa dari ladang Jasinga Bogor (lokasi pengambilan bercak blas pada rumput D. ciliaris yang isolatnya dipakai pada penelitian ini).
40 Metode yang digunakan untuk mendapatkan isolat hasil infeksi silang Pyricularia d4 (turunan hasil pergantian inang Pyricularia d4) meliputi pembuatan inokulum, mempersiapkan tanaman inang uji, inokulasi terhadap serangkaian tanaman inang uji, dan dilanjutkan isolasi konidium tunggal hasil infeksi silang,
isolasi DNA genom, dan karakterisasi turunan d4 dari hasil
pergantian inang. Produksi Inokulum. Potongan miselium Pyricularia d4 diinokulasikan pada medium oatmeal (30 g oatmeal L-1, 20 g agar-agar L-1, 5 g sukrosa L-1, modifikasi Tsurushima et al. 2005), dan diinkubasi selama 7-8 hari pada suhu ruang, kemudian miselium aerial dihilangkan secara aseptik menggunakan bantuan kaca objek dan akuades steril. Setelah itu, kultur ditutup plastik transparan dan diberi lubang untuk aerasi serta disinari n-UV terus menerus selama kurang lebih enam hari untuk menginduksi pembentukan konidium. Selanjutnya, sebanyak 1-3 mL air steril yang mengandung 0.025% (v/v) Tween 20 disiramkan pada permukaan koloni cendawan. Permukaan koloni cendawan diusap-usap menggunakan bantuan kaca objek steril untuk melepaskan konidium dari konidiofor. Konidium dari jenis isolat yang sama dipanen dan dikumpulkan hingga diperoleh suspensi 104 - 105 konidium mL-1 (Chao & Ellingboe 1997). Uji Infeksi melalui Injeksi. Untuk mendapatkan turunan modifikasi Pyricularia d4 yang mengalami pergantian inang, dilakukan dua kali uji infeksi. Tahap ke-1, sebanyak 1 mL suspensi konidium (104-105 konidium mL-1) Pyricularia d4 disuntikkan menggunakan syringe ke bagian pelepah daun keempat atau kelima tanaman uji. Metode infeksi pada penelitian ini merupakan modifikasi infeksi Punch (Ono et al. 2001). Tanaman uji terdiri atas tiga varietas padi dan empat spesies rumput berumur 16 hari setelah tanam. Tanaman uji yang akan diinokulasi ditanam pada pot berisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Tanah yang
digunakan telah disterilkan terlebih
dahulu. Sebagai kontrol negatif, tanaman uji diinokulasi akuades dengan metode yang sama. Semua tanaman yang telah diinokulasi diinkubasi pada kondisi gelap dan sangat lembap selama 2x24 jam. Ruang yang digunakan untuk menginkubasi tanaman tersebut adalah ruang kecil dengan air mengalir terus menerus untuk membasahi karung goni sebagai alas pot berisi tanaman dan membasahi dinding
41 ruangan. Dinding ruangan berupa plastik berwarna hitam. Selanjutnya, tanaman dipindahkan ke ruang terang pada suhu 25 °C-30 °C dan kelembapan 70-80% (Silue et al. 1992). Pengamatan kemampuan infeksi terhadap inang berupa kemunculan bercak, dilakukan setiap hari yang dimulai pada hari ke-4 sampai ke9 setelah inokulasi. Kemampuan infeksi silang ditentukan secara kualitatif (Tanabe et al. 2006) melalui modifikasi kriteria infeksi. Infeksi dinyatakan positif bila inokulasi menghasilkan bercak blas pada daun dan bercak tersebut bersporulasi ketika dilembapkan semalam dalam cawan petri steril, bercak dicuci dahulu pada air mengalir sebelum dilembapkan. Sebaliknya, infeksi dinyatakan negatif bila infeksi melalui injeksi tidak menghasilkan bercak pada daun. Konidium tunggal dari bercak yang dilembapkan diisolasi ulang. Isolat yang diperoleh dari hasil infeksi tahap ke-1 ini diberi kode d~inang1. Nama inang1 hanya berupa inisial saja. Inang1 ialah tanaman hasil infeksi ke-1 yang bercaknya sebagai sumber konidium tunggal dari isolat tersebut. Tahap kedua, hanya isolat d~inang1 yang berasal dari padi saja yang digunakan sebagai sumber inokulum uji infeksi, dan hanya diinfeksikan ke padi saja. Bercak hasil uji infeksi ke-2 ini digunakan sebagai sumber isolat konidium tunggal dengan metode yang sama seperti sebelumnya. Isolat yang diperoleh diberi kode d~inang1~inang2. Setiap isolat yang diinfeksikan silang diulang tiga kali. Metode inokulasi yang sama juga dilakukan pada o173 ke semua tanaman uji, seperti memperlakukan Pyricularia d4. Perwakilan isolat yang diperoleh dari infeksi tahap ke-1 dan ke-2, serta inokulumnya (isolat awal), yaitu Pyricularia d4 dari rumput D. ciliaris digunakan sebagai sumber DNA. Isolasi dan Pemeliharaan Kultur Cendawan. Untuk memperoleh isolat konidium tunggal hasil pergantian inang (hasil infeksi silang) dari Pyricularia d4 maka satu bercak blas yang dihasilkan dari infeksi silang dicuci menggunakan air mengalir dan dilembapkan semalam, kemudian sejumlah konidium tunggal diisolasi menggunakan bantuan mikroskop (modifikasi Bonman et al. 1986). Konidium tunggal dikecambahkan pada medium agar-agar (Bacto) air 4% (w/v) yang mengandung antibiotik kloramfenikol (250 mg L-1). Isolat hasil perkecambahan ditumbuhkan pada medium cawan Potato Dextrose Agar (PDA, Difco) dan disimpan pada agar-agar miring PDA.
42 Isolat cendawan dari konidium tunggal yang disolasi dari hasil infeksi silang diamati morfologi konidiumnya menggunakan bantuan mikroskop. Isolat terlebih dahulu ditumbuhkan pada medium sporulasi, yaitu medium oatmeal (30 g oatmeal L-1, 20 g agar-agar L-1, 5 g sukrosa L-1, modifikasi Tsurushima et al. 2005). Hifa aerial kultur cendawan berumur 7-8 hari dihilangkan secara aseptik menggunakan bantuan kaca objek dan akuades steril. Selanjutnya kultur ditutup plastik transparan dan diberi lubang untuk aerasi serta disinari n-UV terus menerus selama 4-5 hari untuk menginduksi pembentukan konidium. Isolasi DNA. DNA genom cendawan diisolasi dari miselium yang ditumbuhkan pada 25 mL medium cair (5 g L-1 sukrosa, 2 g L-1 ekstrak khamir, dan 2 g L-1 pepton, modifikasi Crawford et al. 1986) selama enam hari pada mesin pengocok. Miselium dipanen dan diisolasi genomnya menurut prosedur yang dijelaskan oleh Raeder dan Broda (1985) pada volume lebih besar dan sedikit modifikasi. Miselium digerus dalam mortar steril sampai berbentuk pasta. Pasta disuspensikan dalam 4 mL larutan penyangga ekstrak (200 mM Tris HCl pH 8.5; 250 mM NaCl; 25 mM EDTA; 0.5% SDS). Sebanyak 2.8 mL fenol dan 1.2 mL campuran kloroform dan isoamil alkohol (CIA=24:1) ditambahkan ke dalam suspensi dan suspensi dibolak-balik secara perlahan. Suspensi disentrifugasi selama 30 menit pada 4,000 rpm dengan suhu 6 °C. Fase cairan bagian atas segera dipindahkan ke tabung baru dan dipresipitasi dengan menambahkan 1x volume isopropanol dingin. Hasil presipitasi disentrifugasi selama 20 menit pada 4,000 rpm dengan suhu 6 °C. Endapan dibilas menggunakan etanol dingin konsentrasi 70% dan disentrifugasi kembali selama 10 menit. Endapan dikeringkan menggunakan pompa vakum selama 15 menit, dan dilarutkan dalam 100 uL TE 1x (10 mm Tris HCl pH 8, 1 mmol EDTA), serta ditambahkan 0.2x volume RNAse 20 mg mL-1. Larutan diinkubasi semalam pada 37 °C, kemudian ditambahkan 900 uL TE 1x dan larutan diekstrak kembali melalui penambahan 1 x volume CIA, dan disentrifugasi selama 10 menit pada 4,000 rpm dengan suhu 6 °C. Cairan bagian atas dipresipitasikan kembali melalui penambahan isopropanol dingin seperti tahapan sebelumnya sampai diperoleh endapan yang dilarutkan dalam 100 uL TE 1x. DNA yang dianalisis memiliki tingkat kemurnian (A260/A280) 1.6-1.9.
43 Selanjutnya riwayat genetik turunan d4 dari hasil pergantian inang ditelusuri melalui lima jenis penanda yang terdiri atas tiga penanda SCAR (Cut1, PWL2, Erg2), AFLP, rep-PCR Pot2 dan ras fisiologi, dan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Penanda SCAR. DNA cendawan hasil isolasi diamplifikasi melalui PCR dengan sepasang primer Cut1, PWL2, dan Erg2 yang merupakan bagian dari 16 penanda SCAR yang dihasilkan oleh Soubabere et al. (2001). Susunan nukleotida ketiga pasang primer sebagai berikut: Cut1(F:5’TATAGCGTTGACCTTGTGGA-3’), Cut1(R:5-TATAGCATCTCAGACCGAACC-3’) PWL2(F:5’-TCCGCCACTTTTCTCATTCC-3’) PWL2(R: 5’-GCCCTCTTCTCGCTGTTCAC-3’) Erg2 (F:5’-GCAGGGCTCATTCTTTTCTA-3’) Erg2 (R:5’-CCGACTGGAAGGTTTCTTTA-3’) Total reaksi PCR sebanyak 20 μL, mengandung sekitar 100 ng DNA genom; 10 μL 2x PCR master mix (0.05 unit μL-1 Taq DNA polymerase, 4 mM MgCl, 0.4 mM masing-masing dNTP), dan 0.6 ρmol masing-masing primer. Program PCR meliputi predenaturasi pada suhu 95 °C selama 15 menit, dilanjutkan 35 siklus pada suhu 94 °C selama 1 menit, suhu pelekatan (annealing) primer Cut1, PWL2, dan Erg2 adalah 60 °C selama 45 detik. Program selanjutnya adalah pemanjangan (elongation) pada suhu 72 °C selama 2 menit. Tahap akhir proses PCR pada suhu 72 °C selama 15 menit. Produk PCR di visualisasi melalui elektroforesis pada gel agarosa 1% (w/v) dalam TAE 1x (0.04 M Tris-asetat dan 0.001 M EDTA), dan dilanjutkan perendaman gel dalam 0.5 μg mL-1 etidium bromida. Pengamatan dilakukan terhadap keberadaan pita DNA pada gel agarosa yang diletakkan pada
UV transluminator Geldoc (Labquip) yang dilengkapi
kamera digital (Olymphus). Data molekuler diperoleh melalui dua kali ulangan. Penanda AFLP.
Tahapan AFLP meliputi restriksi dan ligasi, pre-
amplifikasi, amplifikasi selektif, dan visualisasi, mengikuti metode Vos et al. (1995) sebagai berikut:
44 a. Restriksi DNA genom dan ligasi adaptor (R/L). Restriksi genom menggunakan kombinasi dua macam enzim restriksi, yaitu Pst1 dan Mse1, sedangkan ligasinya adalah menggabungkan dua jenis adaptor yang sesuai dengan enzim restriksinya. Volume pereaksi untuk 1x reaksi restriksi dan ligasi adaptor adalah 20 µL, dengan komposisi sebagai berikut: 2.5 µL buffer R/L 10x (TrisHCl 50 mM pH 7.5, Mg-asetat 5 mM, K-asetat 250 mM 0.125 µL enzim restriksi Pst I (20 unit µL-1), 0.25 µL enzim restriksi Mse I (10 unit µL-1), 0.5 µL Pst I adaptor (5 pMol µL-1), 0.5 µl Mse I adaptor (50 pMol µL-1), 0.5 µL ATP 10 mM, 0.16 µL T4 ligase (3 unit µL-1) dan 15.465 µL ddH2O. Untuk memudahkan pembuatan bahan reaksi tersebut, setiap bahan diambil untuk 16x reaksi. Volume DNA genom yang dipergunakan dalam reaksi restriksi dan ligasi adaptor adalah 5 µL (250-500 ng µL-1), sehingga total volume campuran 25 µL. Campuran diinkubasi semalam pada suhu 37°C. Susunan nukleotida adaptor yang digunakan adalah sebagai berikut: Adaptor Pst I: 5’CTCGTAGACTGCGTACATGCA3’ 3’CATCTGACGCATGT5’ Adaptor Mse I: 5’GACGATGAGTCCTGAG3’ 3’TACTCAGGACTCAT5’ b. Pre-amplifikasi menggunakan sepasang primer yang komplemen terhadap sekuen adaptornya, yaitu primer P00 (5’GACTGCGTACATGCAG3’) dan M02 (5’GATGAGTCCTGAGTAAC3’). Sebanyak 5 µL hasil R/L dicampur 0.6 µL primer P00 30 ng µL-1, 0.6 µL primer M02 30 ng µL-1, 0.4 µL dNTP 10 mM, 2 µL PCR buffer 10x, 0.08 µL super Taq 5 unit µL-1 dan 11.32 µL ddH2O, sehingga total volume campuran menjadi 20 µL. Semua campuran tersebut di pre-amplifikasi menggunakan alat PCR PTC-100TM JM. PCR dilakukan sebanyak 24 siklus pada 94 °C selama 30 detik (denaturasi), 56 °C selama 60 detik (penempelan primer), 72 °C selama 60 detik (ekstensi). Hasil dari proses ini disebut dilute pre-amp atau template sekunder. Untuk mengetahui hasil proses preamplifikasi dilakukan elektroforesis. Preamplifikasi yang baik akan menghasilkan fragmen DNA smear (apusan). c. Amplifikasi selektif melalui sepasang primer, dengan salah satu primernya berlabel IRDye®-700 (P11-IRDye®-700). Pada penelitian ini digunakan tiga macam pasangan primer, yaitu P11/M48, P11/M51, P11/M53. Sekuen P11
45 seperti primer P00, hanya mendapatkan tambahan dua nukleotida selektif AA, sehingga sekuennya berupa 5’GACTGAGTACATGCAGAA3’. Susunan nukleotida primer lainnya sebagai berikut: M48: 5’GATGAGTCCTGAGTAAACAC3’ M51: 5’GATGAGTCCTGAGTAAACCA3’ M53: 5’GATGAGTCCTGAGTAAACCG3’ Produk preamplifikasi diencerkan 10x untuk digunakan sebagai template dalam amplifikasi selektif. Sebanyak 10 µL dilute pre-amp dicampur 0.6 µL primer M51 atau M53 atau M55 (50 ng µL-1), 1 µL primer P11-IRDye®-700 (1 pmol µL-1), 0.4 µL dNTP 10 mM, 2 µL super buffer 10x, 5.92 µL ddH2O, 0.08 µl Taq DNA polymerase (5 unit µL-1), sehingga total volume campuran 20 µL. Campuran bahan-bahan tersebut diamplifikasi pada program PCR LICOR. PCR LI-COR diawali 13 siklus dengan kondisi: siklus ke-1 proses denaturasi pada suhu 95 °C selama 30 detik, proses penempelan primer pada suhu 65 °C selama 30 detik, proses ekstensi 72 °C selama 60 detik. Siklus ke2 sampai ke-13, suhu denaturasi dan ekstensi tetap, namun suhu penempelan primer mengalami penurunan 0.7 °C tiap siklus. Proses dilanjutkan 24 siklus pada 94 °C selama 30 detik (denaturasi), 56 °C selama 30 detik (penempelan primer) dan 72 °C selama 60 detik (ekstensi). d. Visualisasi fragmen hasil amplifikasi primer selektif melalui elektroforesis pada LI-COR DNA Analyzer. Gel elektroforesis merupakan campuran 20 mL KB plus 6.5% gel matrix, 15 µL TEMED dan 150 µl ammonium persulfat 10% (b/v). Campuran tersebut dimasukkan pada plat kaca dan didiamkan selama kurang lebih satu jam hingga gel terpolimerasi atau membeku. Plat kaca berisi gel dimasukkan ke wadah elektroforesis, kemudian pada bagian atas ditambah bufer TBE 1x (TBE 10x: Tris-HCl 1M pH 8.3, asam boraks 0.83 M, EDTA 10 mM). Pre-elektroforesis dilakukan selama 20 menit pada daya 20 Watt untuk menaikkan suhu hingga 50 °C. Produk amplifikasi selektif dicampur (1:1) dengan loading buffer [loading bufer mengandung formamid 2x: formamid 98% (b/v), EDTA 10 mM, bromofenol biru 0.025% (b/v), silen sianol 0.025% (b/v)]. Campuran divortex dan dipanaskan selama 5 menit pada suhu 94 °C pada hotblock denaturasi, lalu didinginkan di dalam es selama kurang lebih
46 satu jam. Selanjutnya, sebanyak 1.5 µL masing-masing sampel yang telah dicampur dengan loading buffer dimasukkan pada sumur gel. Sumur gel paling kiri dan paling kanan, masing-masing diisi 1.5 µL DNA standar (1 µL DNA ladder 100 pb, 19 µL H2O, dan 20 µL loading bufer formamid 2x). Gel dielektroforesis selama kurang lebih tiga jam, daya 40 Watt dan tegangan 1500 Volt. Hasil elektroforesis langsung divisualisasikan melalui layar komputer yang dihubungkan ke mesin LI-COR 4300 DNA Analyzer. Analisis AFLP diulang sebanyak dua kali. Analisis Data AFLP. LI-COR 4300 analyzer menghasilkan file gambar gel elektroforesis AFLP (Lampiran 2). Pola fragmen DNA yang dianalisis pada kisaran 50-700 bp (ukuran DNA standar). Fragmen-fragmen dideteksi menggunakan bantuan piranti lunak SAGA Automated AFLP Generation 2 (http://www.licor.com). Setiap fragmen DNA mewakili satu karakter, diberi nilai + (positif) bila ada fragmen, dan - (negatif) bila tidak ada fragmen pada ukuran fragmen yang sama. Selanjutnya nilai + dan - ditransformasi menjadi data biner, 1 dan 0. Koefisien simple match merupakan perhitungan yang sesuai untuk analisis data AFLP pada spesies haploid (Kosman & Leonars 2005). Analisis koefisien simple match dilakukan pada program Numerical Taxonomy System (NTSYS) melalui piranti lunak NTSYSpc version 2.0 pada menu pilihan Simqual dan metode pengelompokan (clustering) SAHN, UPGMA. Hasil analisis NTSYSpc tidak dapat menggambarkan filogenetik (Rohlf 1998). Oleh karena itu analisis data untuk menggambarkan riwayat takson. juga dilakukan pada program seperti Phylogenetic Analysis Using Parsimony (PAUP) version 4.0b10 for 32-bit Microsoft Windows (Swofford 2002) menggunakan pendekatan Maximum Parsimony. Pada program ini kemiripan antara sampel yang dibandingkan selalu dihitung melalui koefisien Nei dan Li (Swofford 2002). Di sisi lain, koefisien Nei dan Lie tidak selalu sesuai untuk menginterpretasikan profil sidik DNA (Kosman & Leonars 2005). Koefisien Nei dan Li dihitung menggunakan formula sebagai berikut: h= (2a+b+c)/2; a=jumlah fragmen DNA yang dimiliki oleh kedua individu ke-1 dan ke-2, b=jumlah fragmen DNA yang dimiliki oleh individu ke-1 tetapi tidak dimiliki oleh individu ke-2; c=jumlah fragmen DNA yang dimiliki oleh individu ke-2 tetapi tidak dimiliki oleh individu ke-1, jumlah a dan b
47 merupakan jumlah fragmen DNA untuk individu ke-1, jumlah a dan c merupakan jumlah fragmen DNA untuk individu ke-2 (Nei & Li 1979). Analisis dua macam koefisien diharapkan dapat menginterpretasikan hasil secara baik. Filogram dikonstruksi melalui distance (Robinson & Harris 1999) pada metode heuristic pada program Phylogenetic Analysis Using Parsimony (PAUP). Tingkat perbedaan pola pita DNA (tingkat perubahan genetik) pada riwayat inokulum setelah berada pada inang pengganti ditunjukkan oleh koefisien perbedaan karakter pola pita hasil amplifikasi oleh primer spesifik. Koefisien tersebut dipadankan sebagai jarak genetiknya. Untuk mengetahui tingkat kepercayaan setiap percabangan dalam kladogram dilakukan bootstrap 1000 kali. Rep-Pot2. DNA cendawan hasil isolasi diamplifikasi menggunakan sepasang primer: Pot2-1:CGGAAGCCCTAAAGCTGTTT dan Pot2-2:CCCTCATTCGTCACACGTTC menurut prosedur yang dijelaskan oleh Filippi et al. (2002) dengan sedikit modifikasi pada bahan PCR. Total reaksi PCR sebanyak 20 μL, mengandung sekitar 100 ng DNA genom; 10 μL 2xPCR master mix (0.05 unit μL-1 Taq DNA polymerase, 4 mM MgCl, 0.4 mM masing-masing dNTP), dan 0.6 ρmol masing-masing primer. Program PCR meliputi pradenaturasi pada suhu 95 °C selama 5 menit, dilanjutkan 40 siklus pada suhu 95 °C selama 15 detik, suhu pelekatan (annealing) primer 35 °C selama 30 detik, pemanjangan (elongation) pada suhu 72 °C selama 1 menit. Tahap akhir proses PCR pada suhu 72 °C selama 5 menit, dan pendinginan 20 °C selama 10 menit. Hasil PCR divisualisasi melalui elektroforesis pada gel agarosa 1% (w/v) dalam TAE 1x, dan dilanjutkan perendaman gel dalam 0.5 μg mL etidium bromida. Pengamatan dilakukan terhadap pola pita DNA pada gel agarosa yang diletakkan pada UV transluminator Geldoc (Labquip) yang dilengkapi kamera digital (Olymphus). Data molekuler diperoleh melalui dua kali ulangan. Uji Ras Fisiologi. Strain yang diidentifikasi tipe ras fisiologinya adalah d4 dan turunannya dari hasil pergantian inang satu tahap pada Kencana bali (d~k4.3), Cisokan (d~c1.2 dan d~c1.3), dan Panicum repens (d~p1.1 dan d~p1.3). Uji dilakukan oleh Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Bogor. Kultur ditumbuhkan pada PDA selama 5 hari, kemudian ditumbuhkan ke medium oatmeal (30 g oatmeal L-1, 20 g agar-agar L-1, 5 g sukrosa L-1) selama 12
48 hari untuk sporulasi. Pada hari kesepuluh permukaan koloni digosok untuk membersihkan miselium aerial menggunakan air steril yang mengandung Streptomycin 100 ppm. Penggosokan miselium menggunakan kwas gambar no. 10 yang sudah disterilkan. Koloni yang telah digosok diinkubasi dalam inkubator bercahaya lampu neon 20 Watt selama 2x24 jam pada jarak 50 cm dari sumber cahaya. Konidium dipanen sebagai berikut: air steril yang mengandung 0,02% Tween 20 dituang ke permukaan koloni dan permukaan koloni digosok memakai kwas gambar no. 10. Konidium dikumpulkan dan dibuat suspensi pada konsentrasi 2x105 konidium mL-1 untuk digunakan sebagai inokulan. Inokulan disemprotkan pada tanaman uji (tujuh varietas padi diferensial Indonesia). Setelah diinokulasi, tanaman uji disimpan dalam kamar lembap selama 2x24 jam, selanjutnya tanaman dipindahkan ke rumah kaca pada kelembapan di atas 90%. Intensitas serangan blas diamati pada tujuh hari setelah inokulasi menggunakan standar evaluasi IRRI (1996) yang disajikan pada Tabel 4. Tipe bercak skala 5-9 digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kerentanan inang. Nomor ras diberikan berdasarkan pola reaksi varietas padi diferensial Indonesia terhadap hasil inokulasi (Tabel 5, Mogi, et al. 1991). Tabel 4 Skor dan gejala blas menurut IRRI (1996) Skor 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Deskripsi gejala Tidak ada gejala serangan; Terdapat bercak-bercak sebesar ujung jarum Bercak lebih besar dari ujung jarum Bercak nekrotik keabu-abuan, berbentuk bundar dan agak lonjong, panjang 12 mm dengan tepi coklat Bercak khas blas, panjang 1-2 mm, luas daun terserang kurang dari 2% luas daun Bercak khas blas luas daun terserang 2-10% Bercak khas blas luas daun terserang 10-25% Bercak khas blas luas daun terserang 26-50% Bercak khas blas luas daun terserang 51-75% Bercak khas blas luas daun terserang 76-100% Analisis Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Strain yang akan disekuen
masing-masing hanya satu sebagai perwakilan turunan d4, dan turunan o173. DNA cendawan hasil isolasi diamplifikasi melalui PCR menggunakan sepasang primer universal, yaitu its1 dan its4 (White et al. 1990). Susunan nukleotida primer sebagai berikut: its1: F:5’TCCGTAGGTGAACCTGCGG 3’
49 Tabel 5 Contoh pemberian nomor ras ,Pyricularia asal padi (Mogi et al. 1991) Varietas padi diferensial Asahan Cisokan IR 64 Krueng aceh Cisadane Cisanggarung Kencana bali
No kode 001 200 100 040 020 010 002 001
003
No ras 011 053 R
153
221 R
R R R
R R
R R
R
R R R
R R R
R
R: rentan, kosong: tahan
its4: R:5 TCCTCCGCTTATTGATATGC 3’. Organisasi ITS berdasarkan data GeneBank pada nomor akses AB026819 (Sone et al. 2000) disajikan pada Gambar 12. Primer its1 menempel di ujung 3’ gen 18S rDNA pada nukleotida posisi 2162-2180 dan primer its4 menempel pada ujung 5’ gen 26S rDNA pada nukleotida posisi 2685-2704.
Gambar 12 Daerah target amplifikasi DNA dengan primer universal its1 dan its4. Total reaksi PCR sebanyak 40 μL, mengandung sekitar 200 ng DNA genom; 20 μL 2x PCR master mix (0.05 unit μL-1 Taq DNA polymerase, 4 mM MgCl, 0.4 mM masing-masing dNTP), dan 1.2 ρmol masing-masing primer. Program PCR meliputi pradenaturasi pada suhu 95 °C selama 5 menit, dilanjutkan 30 siklus pada suhu 95 °C selama 30 detik, suhu pelekatan (annealing) primer 52 °C selama 1 menit. Progam selanjutnya adalah pemanjangan (elongation) pada suhu 72 °C selama 2 menit. Tahap akhir proses PCR pada suhu 72 °C selama 5 menit, dan pendinginan 20°C selama 10 menit. Untuk mengetahui keberhasilan proses PCR maka produk PCR divisualisasi melalui elektroforesis pada gel agarosa 1% (w/v) dalam TAE 1x, dan dilanjutkan perendaman gel dalam 0.5 μg mL-1 etidium bromida. Selanjutnya gel diletakkan pada
UV transluminator
Geldoc (Labquip) yang dilengkapi kamera digital (Olymphus). Produk PCR dikirim ke PT Genetika Science Indonesia sebagai institusi penerima jasa layanan sekunsing. Sekuen nukleotida berdasarkan primer its1 dan primer its4 disejajarkan
50 kemudian diedit menggunakan piranti lunak Bioedit dengan mengacu pada kromatogramnya. Hasil Kemampuan Infeksi. Hasil uji infeksi ke-1 melalui metode injeksi bahwa isolat Pyricularia d4 dari rumput D. ciliaris mampu menginfeksi padi var. Kencana bali (Gambar 13a), Cisokan (Gambar 13b), dan P. repens (Gambar 13c), dan tidak mampu menginfeksi padi var. IR-64, C. dactylon, Digitaria sp., dan O. nodosa. Begitu juga isolat kontrol, Pyricularia o173 yang berasal dari padi Ciherang hanya mampu
menginfeksi padi var.
Kencana bali dan Cisokan
(Gambar 13d dan 13e). Pengamatan mikroskopi terhadap konidium isolat d~k (hasil reisolasi dari bercak blas hasil infeksi ke-1 pada padi var. Kencana bali yang diinokulasi dengan Pyricularia d4), maupun isolat d~c (hasil reisolasi dari bercak blas hasil infeksi ke-1 pada padi var. Cisokan yang diinokulasi dengan Pyricularia d4), menunjukkan bentuk konidium seperti morfologi konidium d4 (Gambar 14). Konidium hialin, seperti buah pir dengan dua sekat, dan mempunyai embelan. Sebagai kontrol maka diamati bentuk konidium Pyricularia o173. Bentuk konidium Pyricularia d4, o173, d~k, dan d~c tampak bertutur-turut pada Gambar 14a-d. Hasil uji infeksi ke-2 menunjukkan, bahwa d~k4.3 (turunan d4 dari padi Kencana bali hasil infeksi tahap ke-1) maupun d~c1.2 (turunan d4 dari padi Cisokan hasil infeksi tahap ke-1) mampu menginfeksi padi Kencana bali dan Cisokan (Gambar 15). 0.5 cm
a
0.5 cm
0.5 cm
b
d
0.5 cm
0.5 cm
c
e
Gambar 13 Bercak blas hasil infeksi Pyricularia d4 asal D. ciliaris ke padi di hari ke-9 setelah inokulasi (a, b, dan c), beserta bercak blas hasil infeksi o173 asal padi (kontrol) ke padi di hari ke-7 setelah inokulasi (d dan e): a dan d. daun padi var. Kencana bali, b dan e. daun padi var. Cisokan, dan c. daun rumput P. repens.
51
c c
b
a
d
10 μm
Gambar 14 Konidium Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1, beserta konidium o173 asal padi (kontrol): a. d4 dari rumput D. ciliaris, b dan c. turunan d4 dari padi var. Kencana bali (d ~k) dan Cisokan (d~c) hasil infeksi silang tahap ke-1, d. o173 dari padi Ciherang. 1 mm
a
1 mm
b
2 mm
c
1 mm
d
Gambar 15 Bercak blas pada padi var. Kencana bali dan Cisokan hasil infeksi Pyricularia d~k4.3 (a, b) dan d~c1.2 (c, d) di hari ke-7 setelah inokulasi: a dan c. daun padi var. Kencana bali, b dan d. daun padi var. Cisokan. Penanda SCAR. Hasil amplifikasi genom dengan primer SCAR melalui PCR disajikan pada Tabel 6 dan 7. Pyricularia d4 memiliki penanda Cut1 dan Erg2, dan tidak memiliki penanda PWL2. Penanda Cut1 dan Erg2 berukuran sekitar 1700 pb dan 1400 pb (Gambar 16). Isolat turunan d4 dari padi Kencana bali maupun Cisokan hasil infeksi ke-1, yaitu d~k maupun d~c tidak memiliki penanda Cut1, tetapi memiliki penanda PWL2 dan Erg2. Ukuran penanda PWL2 dan Erg2 ialah ± 900 pb dan 1400 pb. Pyricularia d4 tidak dapat menginfeksi padi var. IR64 dan tiga rumput lainnya, sehingga tidak diperoleh turunan d4 dari tanaman tersebut. Penanda SCAR pada turunan d4 dari P. repens (d~p) tidak mengalami perubahan fenotipe. Begitu juga, tidak ada perubahan fenotipe ketika Pyricularia d~k4.3 diinokulasikan silang ke padi Cisokan, dan sebaliknya, yaitu d~c1.2 diinokulasikan ke Kencana bali. Strain d~k~k, d~k~c, d~c~c, dan d~c~k tidak mengalami perubahan fenotipe SCAR.
52
Inokulum (inang) d4 (D. ciliaris) Kencana bali d~k
-
d~c
x
+ P. repens tidak berbercak x
+
x x
x
x x C. dactylon tidak berbercak x
x
x x
x
x x Digitaria sp. tidak berbercak x
x
x x
x
x x O. nodosa tidak berbercak x
x
bercak -
o~c
x
x x
O. nodosa tidak berbercak x
o~k
-
x x
+ + x + + x Kencana bali Cisokan IR64 tidak bercak bercak berbercak x
x
-
+ +
+
-
+ +
+ o173 (padi Ciherang)
+ +
Tanaman uji tahap infeksi silang ke-1 Cisokan IR64 P. repens C. dactylon Digitaria sp. tidak tidak tidak bercak bercak berbercak berbercak berbercak x d~p x x
Tabel 6 Hasil inokulasi Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan o173 asal padi ke padi var. Kencana bali, Cisokan, IR64, dan ke rumput P. repens, C. dactylon, Digitaria sp., O. nodosa; beserta penanda SCAR pada turunan hasil pergantian inang tahap ke-1
Hasil inokulasi re-isolat ke-1 Penanda SCAR: Cut1 PWL2 Erg2 Hasil inokulasi re-isolat ke-1 Penanda SCAR: Cut1 PWL2 Erg2
+: penanda teramplifikasi; -: penanda tidak teramplifikasi; x: tidak dapat dianalisis
53 Tabel 7 Hasil inokulasi Pyricularia d~k dan d~c ke padi var. Kencana bali dan Cisokan, beserta penanda SCAR pada turunan hasil pergantian inang tahap ke-2 Hasil
Inokulum Pyricularia d~k
Hasil inokulasi re-isolat ke-2 Penanda SCAR: Cut1 PWL2 Erg2
+ + Pyricularia d~c
Hasil inokulasi re-isolat ke-2 SCAR markers: Cut1 PWL2 Erg2
+ +
Tanaman uji tahap infeksi silang ke-2 Kencana bali Cisokan bercak bercak d~k~k d~k~c + + + + Tanaman uji tahap infeksi silang ke-2 Kencana bali Cisokan bercak bercak d~c~k d~c~c + + + +
+: penanda teramplifikasi; -: penanda tidak teramplifikasi
2000 bp
Cut1, 1700 bp
1650 bp 1000 bp 850 bp
Erg2, 1400 bp Pwl2, 900 bp M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
Gambar 16 Penanda SCAR Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi pada tahap ke-1 dan ke-2, ke P. repens, beserta o173 dari padi (kontrol) dengan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi: 1. d4 asal D. ciliaris; 2-4. d~k, d~c, dan d~p; 5-6. d~k~k dan d~k~c; 7-8 . d~c~k dan d~c~c; 9. o173 asal padi Ciherang; 10-11. 173~k dan 173~c (ket. nama strain merujuk pada Tabel 6 dan 7). Pyricularia o173 yang diinokulasikan ke padi var. Kencana bali ataupun Cisokan tidak mengalami perubahan fenotipe SCAR. Pyricularia o173 tidak mampu menginfeksi padi IR64 dan tiga genus rumput yang digunakan pada penelitian ini, sehingga tidak ada turunan o173 dari IR64 maupun tiga genus rumput uji. Pyricularia o173 maupun turunannya dari padi Kencana bali ataupun Cisokan mempunyai penanda SCAR yang berupa PWL2 dan Erg2, dan tidak memilki Cut1. AFLP. Kultur yang dianalisis dengan AFLP hanya terdiri atas 1-4 strain, sebagai perwakilan turunan d4 dari hasil pergantian inang (Tabel 8). Keragaman
54 basal Pyricularia asal D. ciliaris sebelum mengalami pergantian inang ialah empat isolat (d2, d10. d15, dan d19) klonal dengan d4 (isolat dari bercak yang sama dengan penghasil d4). Selanjutnya keempat isolat tersebut sebagai sampel basal. Sebanyak tiga isolat (ok3, ok6, dan ok10) dari bercak blas padi var. Kencana bali yang diambil dari lokasi dan waktu yang sama dengan pengambilan bercak blas penghasil sampel basal digunakan sebagai pembanding keragaman genetik sampel basal. Tabel 8 Kultur yang dianalisis dengan metode AFLP dan disekuen ITS beserta 5.8S rDNAnya Inokulum Alami
d4 d~k4.3
d~c1.2
o173
Isolat (jenis inangnya) d4*, d2a, d10a, d15a, ok3, ok6, ok10 d19a (D. ciliaris) (padi Kencana bali)
o173 (padi Ciherang)
Strain dari hasil pergantian inang (jenis inang penggantinya) d~k4.3* d~c1.2* d~p1.1*, d~p1.3, (padi Kencana bali) d~c5.1 d~p2.3 (P. repens) (padi Cisokan) d~k~k2.1 d~k~c2.1* d~k~c2.2 d~k~k2.2 d~k~c2.3 d~k~k2.3* (padi Kencana bali) (padi Cisokan) d~c~c1.1 d~c~c1.3 d~c~c2.1 d~c~c2.4* (padi Cisokan) o~k1.1 o~k1.2 o~k1.3 (padi Kencana bali)
d~c~k1.2 d~c~k1.3 d~c~k1.4 d~c~k1.8* (padi Kencana bali) o~c3 o~c4 (padi Cisokan) a
* : kultur yang disekuen ITS beserta 5.8S rDNA; : sampel basal
Sepasang primer AFLP berjenis P11-700/M48 menghasilkan 5-87 fragmen DNA amplikon pada d4, sampel basal Pyricularia dari D. ciliaris, turunan d4 dari inang pengganti, dan tiga isolat klonal dari padi Kencana bali yang diambil pada waktu dan lokasi yang sama dengan sampel basal. Sedangkan jenis primer P11700/M51 menghasilkan 2-61 fragmen DNA amplikon pada semua kultur tersebut di atas. Sebaliknya, primer P11-700/M53 menghasilkan DNA amplikon lebih banyak (51-106 DNA amplikon) pada semua kultur tersebut di atas. Ketiga jenis primer tersebut di atas menghasilkan berturut-turut 21-111 DNA amplikon, 15-80
55 DNA amplikon, dan 63-138 DNA amplikon pada strain kontrol, yaitu Pyricularia o173 dan turunannya dari inang pengganti. Fragmen DNA amplikon AFLP yang diamati pada ukuran 50-697 pb, karena DNA standar yang digunakan berukuran 50-700 pb. Fragmen DNA
diluar kisaran ukuran DNA standar tidak
diperhitungkan. Setiap fragmen DNA dianggap sebagai satu karakter isolat. Ulangan AFLP pada sampel yang sama menghasilkan kesamaan 99.1% (data tidak ditunjukkan). AFLP dari sampel basal (isolat klonal dari d4, yaitu d2, d10. d15, dan d19 dengan sumber inokulumnya dari alam) memiliki variasi antara isolat, yaitu jarak genetik antara isolat berkisar 5.7-14% (Tabel 9). Jarak genetik antara isolat sampel basal tersebut menunjukkan tingkat keragaman
genetik
sampel basal sebelum mengalami pergantian inang. Tingkat keragaman genetik pembanding, yaitu Pyricularia dari padi yang tumbuh berdekatan dengan sumber d4 pada waktu yang sama (isolat klonal ok3, ok6, dan ok10 dari padi Kencana bali dengan sumber inokulumnya juga dari alam) lebih besar (9.1-16.1%) dari sampel basal. Begitu juga variasi antara isolat dalam klonal hasil pergantian inang Pyricularia o173 pada spesies yang sama (10.7-14.3%) juga sedikit lebih besar (Tabel 10) dari sampel basal. Sedangkan variasi antara isolat dalam klonal hasil pergantian inang Pyricularia d4 ke padi atau rumput P. repens pada penelitian ini sangat besar, yaitu 2.6-22.5% (Tabel 11). Riwayat fenotipe d4 setelah mengalami pergantian inang ditunjukkan dalam bentuk filogenetik (Gambar 17) dan pengelompokan (Gambar 18). Pergantian inang d4 tahap ke-1 menghasilkan perubahan fenotipe AFLP. Tingkat perubahannya ditunjukkan oleh jarak genetiknya terhadap inokulumnya (d4). Jarak genetik d4 terhadap turunannya dari padi kurang (lebih kecil) dari jarak genetik d4 terhadap turunannya dari rumput (Gambar 17a). Hal ini membuktikan pergantian inang dari rumput ke rumput pada genus berbeda berpengaruh sangat besar pada kemunculan variasi-variasi baru dibandingkan dengan pergantian inang dari rumput ke padi. Infeksi d4 ke padi Cisokan menghasilkan strain dengan variasi genetik lebih besar (13.3-15.6%, Tabel 11) daripada tingkat variasi genetik sampel basal 5.7-14% (Tabel 9). Jarak genetik d4 akan semakin besar (42.4%) ketika diinfeksikan ke padi Kencana bali. Jarak genetik paling besar terjadi ketika d4 diinfeksikan ke P. repens (45.5-49.4%, Tabel 11).
56 Tabel 9
isolat d4 d2 d10 d15 d19 ok3 ok6 strain d~c1.2 d~c5.1 d~c~c1.1 d~c~c1.3 d~c~c2.1 d~c~c2.4 d~k4.3 d~k~k2.1 d~k~k2.2 d~k~k2.3 d~k~c2.1 d~k~c2.2 d~k~c2.3 d~c~k1.2 d~c~k1.3 d~c~k1.4 d~c~k1.8
Jarak genetik antara isolat klonal Pyricularia asal D. ciliaris dan padi dari lokasi dan waktu yang sama, serta jarak genetiknya terhadap turunan Pyricularia d4 asal D. ciliaris dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2
d2 7.4 -
13.6 11.8 17.1 14.3 12.7 20.7 41.5 40.8 34.7 39.7 40.0 39.7 40.5 37.8 40.9 35.4 38.9
Jarak genetik (%) inang D. ciliaris inang padi var. Kencana bali d10 d15 d19 ok3 ok6 ok10 12.4 6.3 6.1 18.6 13.6 14.4 9.8 5.7 9.3 17.4 12.7 13.3 8.4 14.0 20.4 15.7 13.4 7.0 17.4 11.0 12.7 18.4 13.4 17.1 12.1 16.1 9.1 15.1 11.7 16.1 16.1 16.6 15.4 38.8 38.1 31.7 37.0 37.2 37.2 37.8 35.3 38.2 34.1 36.2
12.4 15.6 16.0 13.4 12.4 21.5 41.8 41.1 36.1 39.9 40.2 3.9 40.8 38.7 41.2 37.4 39.2
16.8 16.6 17.1 13.6 15.4 26.0 44.8 44.1 39.7 43.2 43.5 42.9 43.8 42.2 44.2 40.4 42.5
15.0 15.55 16.55 17.12 14.69 27.82 43.80 43.37 40.09 41.94 42.23 42.23 43.65 41.51 43.80 37.66 41.80
12.8 12.0 10.7 8.4 8.3 23.1 44.2 43.5 38.8 42.1 42.7 42.4 43.5 41.7 43.7 39.8 41.7
14.6 11.4 12.7 11.3 8.0 20.0 39.4 38.7 32.5 37.8 37.8 37.5 38.1 36.0 38.5 33.8 36.5
ket. nama isolat/strain merujuk pada Tabel 8
Tabel 10 Jarak genetik antara Pyricularia o173 asal padi dan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi Inokulum Strain hasil pergantian Jarak genetik strain dari (%) (inangnya) inang (inang pengganti) Inang Isolat dalam Antara pengganti klonal ulangan o173 Padi var. Kencana bali (padi (o~k1.1) 46.5 10.7* Ciherang) (o~k1.2) 44.4 13.8 ** (o~k1.3) 53.5 14.3*** Padi var. Cisokan 42.8 ( o~c3) 8.7 (o~c4) 46.4 *terhadap o~k1.2, ** terhadap o~k1.3, *** terhadap o~k1.1
d~c1.2 (Cisokan)
d~k4.3 (Kencana bali)
d4 (D. ciliaris)
Inokulum (inang)
d~c~k1.2 (Kencana bali) d~c~k1.3 (Kencana bali) d~c~k1.4 (Kencana bali) d~c~k1.8 (Kencana bali)
d~c~c1.1 (Cisokan) d~c~c1.3 (Cisokan) -----------------------d~c~c2.1 (Cisokan) d~c~c2.4 (Cisokan)
d~k~c2.1 (Cisokan) d~k~c2.2 (Cisokan) d~k~c2.3 (Cisokan)
d~k~k2.1 (Kencana bali) d~k~k2.2 (Kencana bali) d~k~k2.3 (Kencana bali)
klonal ulangan ke-1
---------------klonal ulangan ke-2
klonal ulangan ke-1
klonal ulangan k-2
klonal ulangan ke-2
35.7 38.8 34.1 36.8
13.6 13.3 ------11.4 19.1
2.4 2.4 2.1
1.9 8.9 3.0
49.4 48.2 ------45.5
klonal ulangan ke-1
d~p1.1 (P. repens) d~p1.3 (P. repens) -----------------------d~p2.3 (P. repens) ---------------ulangan ke-2gan
15.6 ------13.3
42.9
Inokulum
ulangan ke-1 ---------------ulangan ke-2
Keterangan
d~c1.2 (Cisokan) ---------------------d~c5.1 (Cisokan)
d~k4.3 (var. Kencana bali)
Kultur hasil pergantian inang (inang pengganti)
18.6 11.7 -----11.6 23.8 39.5 42.1 38.0 40.4
41.7 41.1 41.7
3.4; 14.1; 4.9; 15.8; 2.6; dan 13.8
12.3 ------22.5
2.6; 4.0; dan 3.4
9.0; 2.0; dan 8.4
8.6
13.6; 22.4; 7.0; dan 20.4
14.1 dan 11.8
6.0
Jarak genetik (%) terhadap Isolat dalam klonal antara ulangan
41.9 37.0 41.1
d4
Tabel 11 Jarak genetik Pyricularia d4 asal D. ciliaris terhadap turunannya dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, serta ke rumput P. repens tahap ke-1
57
58
72
89
89
100 91 93
100
98
98
a
100
100
I
91
100
100
73
0.01 substitusi
basal
100
outgroup
100
III
II
II
III
100
72
91
100
74
99 100
I
b
100
100
100
74
0.01 substitusi
100
basal
89
100
outgroup
100
82
89
95
Gambar 17 Filogenetik berdasarkan 3 penanda AFLP: a. sampel basal Pyricularia asal D. ciliaris dan turunan isolat basal (Pyricularia d4) dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, dan ke P. repens; b. gabungan antara isolat pada filogram a dengan Pyricularia asal padi dari lokasi dan waktu yang sama dengan Pyricularia d4 asal D. ciliaris (b); SI: sumber inokulum untuk menghasilkan isolat yang mengalami pergantian inang turunan d4 tahap ke-1 dan ke-2; nilai (%) hasil bootstrap 1000x ditunjukkan disekitar percabangan (ket. nama strain merujuk pada Tabel 8).
0.55
0.60
0.65
0.75
0.80
Koefisien kemiripan
0.70
0.85
0.90
0.95
1.00
d2 d15 d4_SI d19 I d10 d~5.1 d~1.2_SI d~c~c1.3 d~c~c2.1 d~c~c1.1 d~c~c2.4 d~c~k1.2 d~c~k1.3 d~k4.3_SI d~k~c2.3 d~k~k2.1 III d~k~k2.3 d~c~k1.8 d~k~c2.1 d~k~c2.2 d~k~k2.2 d~c~k1.4 d~p1.3 d~p1.1 II d~p2.3
b
Gambar 18 Pengelompokan melalui UPGMA berdasarkan 3 penanda AFLP: a. sampel basal Pyricularia asal D. ciliaris dan turunan isolat basal (Pyricularia d4) dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, dan ke P. repens; b. gabungan antara isolat pada dendogram a dengan Pyricularia asal padi dari lokasi dan waktu yang sama dengan Pyricularia d4 asal D. ciliaris; SI: sumber inokulum untuk menghasilkan isolat yang mengalami pergantian inang turunan d4 tahap ke-1 dan ke-2; (ket. nama strain merujuk pada Tabel 8).
0.50
a
59
60 Penyebaran turunan Pyricularia d4 pada inang yang sama (padi) pada periode tanam yang berbeda, menstabilkan turunan-turunan yang terbentuk, misalnya turunan d4 dari padi Cisokan hasil infeksi ke-1 (d~c) memiliki perbedaan fenotipe AFLP sekitar 13.3-15.6% terhadap d4, ketika diinfeksikan kembali ke padi var. Cisokan maka turunannya (d~c~c) memiliki perbedaan fenotipe AFLP terhadap d4 yang relatif tetap, yaitu sekitar 11.3-23.8% (Tabel 11). Jarak sebesar 23.8% masih dianggap sebagai kisaran perubahan yang relatif tetap karena nilai tersebut masih dekat dengan variasi perbedaan fenotipe AFLP antara ulangannya sebesar 22.5%. Pemantapan turunan ini dapat dilihat pada posisi clade pada filogram (Gambar 17a) maupun dendrogram yang menggambarkan pengelompokan (clustering) (Gambar 18a). Turunan d4 dari padi Cisokan hasil infeksi ke-1 (d~c) berada pada satu kelompok dengan strain-strain turunan d4 dari hasil pergantian inang ke padi Cisokan infeksi tahap ke-2 (d~c~c), dengan tingkat kemiripan 80%. Contoh lainnya adalah turunan d4 dari padi Kencana bali hasil infeksi ke-1 (d~k4.3). Strain d~k4.3 memiliki perbedaan fenotipe AFLP 42.9% terhadap d4. Ketika d~k4.3 diinfeksikan ke padi var. Kencana bali lagi, perbedaan fenotipe AFLPnya terhadap d4 juga relatif tetap, yaitu berkisar 37.0-41.9%. Pada penelitian ini, jenis inang padi Kencana bali sebagai pengganti inang merangsang perubahan genetik yang lebih besar dibadingkan dengan padi Cisokan. Infeksi d4 ke Cisokan hanya menghasilkan isolat dengan variasi 13.3-15.6%, namun setelah dilanjutkan infeksinya ke var. Kencana bali menghasilkan isolat dengan variasi (jarak genetiknya) lebih besar, yaitu 38.0-42.1% (Tabel 11 dan Gambar 17a). Oleh karena itu semua turunan d4 dari inang Kencana bali membentuk kelompok yang terpisah terhadap semua turunan d4 yang hanya dari inang var. Cisokan (Gambar 18a). Tingkat kemiripan semua turunan d4 dari padi Kencana bali ialah 85%. Jarak genetik isolat dalam sampel basal (d2, d10. d15, dan d19) terhadap isolat dalam klonal dari var. Kencana bali (ok3, ok6, dan ok10) yang juga sumber inokulumnya berasal dari alam adalah 11.0-20.4 (Tabel 9). Jarak genetik tersebut masih berada pada kisaran variasi isolat yang muncul ketika d4 diinfeksikan ke Cisokan (11.7-23.8%). Oleh karena itu posisi isolat klonal dari var. Kencana bali (ok3, ok6, dan ok10) yang yang sumber inokulumnya berasal dari alam ini
61 berdekatan dengan turunan d4 ketika diinfeksikan ke var. Cisokan (Gambar 17b). Tingkat kemiripan isolat klonal dari var. Kencana bali (ok3, ok6, dan ok10) terhadap turunan d4 dari var. Cisokan maupun terhadap isolat sampel basal (isolat klonal d4 dari D. cilaris) sekitar 79% (Gambar 18b). Sebagai kontrol, o173 dari padi Ciherang yang diinfeksikan ke Cisokan menghasilkan isolat dengan variasi (jarak genetik) antara 8.7%-46.4% (Tabel 10). Perubahan genetiknya (44.4-53.5%) lebih besar ketika o173 menginfeksi padi Kencana bali (Gambar 19a). Pyricularia o173 dari padi Ciherang memunculkan variasi sangat besar ketika menginfeksi padi Cisokan, sehingga mengelompok dengan turunan o173 ketika menginfeksi var. Kencana bali, dengan tingkat kemiripan sekitar 82% (Gambar 19b). Padi Kencana bali merupakan padi diferensial Indonesia yang paling rentan penyakit blas. Keragaman rep-Pot2. Strain yang dianalisis dengan metode ini hanya perwakilan saja dari setiap pergantian inang dengan disertai strain awalnya (inokulum) yang digunakan untuk mendapatkan isolat hasil pergantian inang, baik tahap ke-1 maupun ke-2 (Tabel 12). Amplifikasi menggunakan primer repetitive Pot2 menghasilkan pola fragmen DNA dengan ukuran ± 600-2500 pb. Fragmen DNA berukuran ±600 dan 1500 selalu teramplifikasi pada semua strain, baik yang berasal dari rumput maupun padi. Pyricularia d4 dari rumput mengalami perubahan pola fragmen DNA rep-Pot2 setelah berpindah ke inang dari genus berbeda. Pola fragmen DNA rep-Pot2 Pyricularia d4 dianggap sebagai P1 dan berubah menjadi P2 setelah berada di padi var. Kencana bali atau var. Cisokan, dan menjadi P3 setelah menginfeksi P. repens. Pola fragmen DNA rep-Pot2 tipe P2 itu sama dengan tipe pola rep-Pot2 cendawan blas padi o173 ataupun turunannya pada inang pengganti yang berupa padi juga. Pola fragmen DNA rep-Pot2 tipe P2 juga tampak pada ok3, ok6, dan ok10 yang diperoleh dari bercak blas padi pada lokasi dan waktu yang sama dengan pengambilan bercak penghasil d4. Pola fragmen DNA rep-Pot2 pada o173 yang telah beradaptasi di padi var. Ciherang tidak mengalami perubahan setelah berada pada padi var. Kencana bali ataupun Cisokan (Gambar 20).
62
0.1 perbedaan
a 100
o~k1.3 o~k1.1 o~k1.2 o~c4 o~c3 o173_SI 0.91
b
0.88 0.85 0.82 0.79 0.76 0.73 0.70 0.67 0.64 0.60 0.57 Koefisien kemiripan
0.54
Gambar 19 Filogenetik dan pengelompokan melalui UPGMA berdasarkan 3 penanda AFLP pada Pyricularia o173 asal padi (kontrol) dan turunannya dari pergantian inang ke padi: o173. Pyricularia ras 173 dari padi Ciherang; o~k dan o~c: turunan o173 dari inang pengganti berupa padi Kencana bali dan Cisokan; SI: sumber inokulum yang digunakan untuk menghasilkan isolat yang mengalami pergantian inang; angka disekitar percabangan adalah nilai (%) hasil bootstrap 1000x.
63 Tabel 12 Strain yang dianalisis melalui amplifikasi repetitive dari Pot2 Inokulum
Isolat (inang)
Alami
d2, d4, d10 ok3, ok6 , ok10 o173 (D. ciliaris) (padi Kencana bali) (padi Ciherang) Strain dari hasil pergantian inang (inang penggantinya)
d4
d~k4.3 (padi Kencana bali)
d~c1.2 (padi Cisokan)
d~k4.3
d~k~k2.3 (padi Kencana bali)
d~k~c2.1 (padi Cisokan)
d~c1.2
d~c~c2.4 (padi Cisokan) o~k1.1, o~k1.2, o~k1.3 (padi Kencana bali)
d~c~k1.8 (padi Kencana bali) o~c1.1, o~c2.1 (padi Cisokan)
o173
Isolat asal D. ciliaris dari lapang
(bp) M 1 a
2 a
3 a
d4setelah pindah inang ke genus berbeda 4
5
6
7
8
d~p1.1, d~p1.3 , d~p2.3 (P. repens)
o173 dan turunannya
Isolat asal Kencana bali dari lapang
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 b B b c c c d D e e e
3000 2000 1500 1000 750 500
Tipe P1 Gambar 20
Tipe P2
Tipe P3
Tipe P2
Fenotipe rep-Pot2 Pyricularia sampel basal asal D. ciliaris, turunan isolat basal (Pyricularia d4) dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, ke P. repens; beserta o173 asal padi dengan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi, dan Pyricularia asal padi dari lokasi dan waktu yang sama dengan Pyricularia d4 asal D. ciliaris: M. DNA standar, 1. d4; 2-3. d2 dan d10; 4-5. d~k4.3 dan d~k~k2.3; 6. d~k~c2.1; 7-8. d~c1.2 dan d~c~c2.4; 9. d~c~k1.8; 10-12. d~p1.3, d~p2.3, dan d~p1.1; 13. o173; 14-16. o~k 1.1, o~k1.2 dan o~k1.3; 1718. o~c1.1 dan o~c2.1; 19-21. ok3, ok6, dan ok10; Abjad kecil yang sama menunjukkan isolat dalam klonal, dan Abjad kapital menunjukkan macam isolat hasil ulangan uji pergantian inang; (ket. nama strain merujuk pada Tabel 12).
64 Ras Fisiologi. Pyricularia d4 dari rumput D. ciliaris dan turunananya dari genus inang pengganti diidentifikasi pola reaksinya terhadap tujuh varietas diferensial Indonesia. Sebanyak dua strain turunan d4 yang diperoleh dari padi Cisokan memiliki tipe ras fisiologi berbeda, yaitu d~c1.2 bertipe ras 373 dan d~c1.3 bertipe ras 000. Tipe ras fisiologi tipe 373 merupakan tingkat ras fisiologi paling tinggi di Indonesia, mampu menginfeksi semua (7) macam padi diferensial. Sedangkan turunan d4 dari padi Kencana bali hanya mampu menginfeksi tiga macam padi diferensial (Krueng aceh, Cisanggarung, dan Kencana bali), sebagai ras fisiologi tipe 023. Isolat d4 dan turunannya dari P. repens tidak mampu menginfeksi semua macam padi diferensial Indonesia sehingga dikategorikan ras 000 (Tabel 13). Tanaman dikaterogikan rentan bila memiliki tipe bercak mulai skala lima sampai sembilan, dan bercak blas pada tanaman dengan skala lebih rendah dari lima dikategorikan tanaman yang tahan. Kelompok ras ditentukan dengan merujuk pada Tabel 5, dengan masing-masing varietas padi diferensial memiliki nilai. Kelompok ras merupakan penjumlahan dari setiap varietas padi diferensial yang menunjukkan rentan terhadap hasil inokulasi dari strain yang diinokulasikan. Tabel 13
Reaksi Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1, dan ke rumput P. repens terhadap tujuh varietas diferensial Indonesia
Kode strain d4 d~k4.3 d~c1.2 d~c1.3 d~p1.1
Reaksi terhadap padi varietas 1 2 3 4 5 6 7 T T T T T T T T T T R T R R R R R R R R R T T T T T T T T T T T T T T
Kelompok ras* 000 023 373 000 000
T: tahan, R: rentan, 1. var Asahan, 2. var Cisokan, 3. var IR64, 4. var Krueng Aceh, 5. var Cisadane, 6. var Cisanggarung, dan 7. var Kencana bali *: ditentukan dengan merujuk pada Tabel 5 (Mogi, et al. 1991).
Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Sekuen nukleotida ITS beserta 5.8S rDNA dari d4, dan isolat hasil pergantian inang tahap ke-1 (d4 diinfeksikan ke padi Kencana bali dan Cisokan) maupun hasil pergantian inang tahap ke-2 (turunan d4 dari padi Kencana bali diinfeksikan ke varietas yang sama dan berbeda, yaitu Cisokan, dan sebaliknya turunan d4 dari padi Cisokan diinfeksikan
65 ke varietas yang sama dan berbeda, yaitu Kencana bali) ialah sama, dan berukuran 543 pb. Berbeda dengan sekuen nukleotida pada isolat yang berpindah dari rumput ke padi, d4 yang diinfeksikan ke P. repens mengalami mutasi transisi pirimidina pada daerah ITS. Mutasi transisi tersebut adalah nukleotida sitosina berganti timina pada daerah pada ITS1, dan nukleotida timina berganti menjadi sitosina pada ITS2 (Gambar 21). Pembahasan Berdasarkan bercak, Pyricularia d4 kurang virulen dibandingkan o173 yang berasal dari padi. Pada hari ke-8 setelah inokulasi Pyricularia d4, ukuran bercak hasil infeksinya ke padi Kencana bali dan Cisokan lebih kecil dibandingkan ukuran bercak pada tanaman sama yang diinokulasi dengan o173. Tipe bercak merupakan hasil interaksi antara inang resisten dan virulensi patogen (Ou 1980). Pyricularia dengan virulensi lemah yang diinokulasikan ke gandum menghasilkan luasan bercak yang terbatas, ukuran bercak 1-2 mm tampak di Poa pratensis pada hari ke-7 setelah diinokulasi dengan isolat virulen lemah (Tredway et al. 2005). Pyricularia d4 memiliki tipe ras fisiologi 000 berdasarkan hasil uji ras fisiologi oleh Kebun Percobaan Muara, Balitpa Bogor. Kemampuan infeksi Pyricularia dari rumput ke padi bukan merupakan laporan yang pertama. Fenomena seperti ini dilaporkan oleh Singh dan Singh (1988) dan (DBPT Deptan 1992). Pada penelitian ini d4 tidak mampu menginfeksi padi IR64. Padi IR64 dapat dikategorikan moderat resisten yang setara dengan padi Cisokan berdasarkan tingkatan resistensi padi diferensial Indonesia yang digunakan untuk menentukan ras fisiologi Pyricularia asal padi (Moggi et al. 1991). Padi Kencana bali bersifat rentan terhadap penyakit blas. Pyricularia d4 juga tidak mampu menginfeksi inang asal. Ketidakmampuan d4 untuk menginfeksi inang asalnya maupun padi IR64 mungkin karena penurunan patogenisitasnya selama subkultur di laboratorium. Pyricularia o173 yang memiliki tipe ras fisiologi 173 ini juga tidak mampu menginfeksi padi IR64 melalui metode injeksi (Kurnianingsih 2008). Ras fisiologi 173 merupakan ras yang patogen pada semua padi diferensial Indonesia, kecuali Asahan (DBPT Deptan 1992). Patogenisitas isolat-isolat cendawan blas padi cenderung tidak
66 stabil selama disubkultur berulang-ulang di laboratorium (Valent & Chumley 1991).
1 55 d4 tccgtaggtgaacctgcggAGGGATCATTACTGAGTTGAAAAACTCCAACCCCTG d~p1.1 tccgtaggtgaacctgcggAGGGATCATTACTGAGTTGAAAAACTCCAACCCCTG primer its1 56 110 d4 TGAACATAACCTCTGTCGTTGCTTCGGCGGGCACGCCCGCCGGAGGTTCAAAACT d~p1.1 TGAACATAACCTCTGTCGTTGCTTCGGCGGGCACGCCCGCCGGAGGTTCAAAACT 111 165 d4 CTTATTTTTTCCAGTATCTCTGAGCCTGAAAGACAAATAATCAAAACTTTCAACA d~p1.1 CTTATTTTTTTCAGTATCTCTGAGCCTAAAAGACAAATAATCAAAACTTTCAACA 166 220 d4 ACGGATCTCTTGGTTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGTAAT d~p1.1 ACGGATCTCTTGGTTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGTAAT
d4 p1.1
221 275 GTGAATTGCAGAATTCAGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATTGCGCCCGCC GTGAATTGCAGAATTCAGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATTGCGCCCGCC
276 330 d4 GGTATTCCGGCGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCATTTCAACCCTCAAGCCTCGGCT d~p1.1 GGTATTCCGGCGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCATTTCAACCCTCAAGCCTCGGCT 331 385 d4 TGGTGTTGGGGCGCCCGGGCCCTCCGCGGCCCGGGGCCCCCAAGTTCATCGGCGG d~p1.1 TGGTGTTGGGGCGCCCGGGCCCTCCGCGGCCCGGGGCCCCCAAGTTCATCGGCGG 386 440 d4 GCTCGTCGGTACACTGAGCGCAGTAAAACGCGGTAAAACGCGAACCTCGTTCGGA d~p1.1 GCTCGTCGGTACACTGAGCGCAGTAAAACGCGGTAAAACGCGAACCTCGTTCGGA
441 495 165 TCGTCCCGGCGTGCTCCAGCCGCTAAACCCCCAATTTTTTAAAGGTTGACCTCGG d4 TCGTCCCGGCGTGCTCCAGCCGCTAAACCCCCAATTCTTTAAAGGTTGACCTCGG d~p1.1 496 543 d4 ATCAGGTAGGAATACCCGCTGAACTTAAgcatatcaataagcggagga d~p1.1 ATCAGGTAGGAATACCCGCTGAACTTAAgcatatcaataagcggagga primer its4
Ket: __: bagian hilir 18S rDNA, italik: bagian hulu 26S rDNA,
: ITS1, merah: 5.8S rDNA,
: ITS2,
: perubahan nukleotida
Gambar 21 Sekuen nukleotida bagian hilir 18S rDNA, daerah ITS beserta 5.8S rDNA, dan bagian hulu 26S rDNA pada Pyricularia d4 dan turunannya dari pergantian inang ke P. repens (d~p1.1).
67 Pergantian inang secara buatan pada penelitian ini ditelusuri dengan beberapa penanda molekuler (Gambar 22 dan Tabel 14). Penanda PWL2 yang merupakan bagian dari penanda SCAR bersifat stabil pada pergantian inang Pyricularia d4 yang berasal dari rumput D. ciliaris ke rumput P. repens, maupun ke padi rentan penyakit blas (Kencana bali). Begitu juga Pyricularia yang mengalami pergantian inang pada spesies yang sama, contoh penanda SCAR dari Pyricularia d~k4.3 (d4 yang telah berganti inang pada padi var. Kencana bali) ataupun Pyricularia d~c1.2 (d4 yang telah berganti inang pada padi var. Cisokan) yang diinfeksikan kembali ke padi Kencana bali ataupun Cisokan tidak mengalami perubahan. Contoh lainnya Pyricularia o173 yang digunakan sebagai kontrol, bahwa pergantian inang pada spesies yang sama (padi) juga tidak menghasilkan perubahan penanda PWL2. Park et al. (2010) juga melaporkan bahwa Pyricularia dari padi yang diinfeksikan secara serial 10 kali ke padi rentan, maupun perlakuan subkultur secara serial 10 kali ke medium buatan tidak mengalami
perubahan
penanda
PWL2.
Subkultur
berulang-ulang
tidak
menurunkan kemampuan gen PWL2, tetapi mungkin menurunkan kemampuan gen lainnya yang juga digunakan untuk patogenisitas. Gen PWL2 merupakan gen avirulen (gen spesifitas inang) terhadap Eragrostis curvula (Valent & Chumley 1994). Panicum repens kemungkinan juga merupakan inang yang sangat rentan terhadap penyakit blas, karena bercak-bercak blas selalu dapat ditemukan sepanjang tahun pada rumput P. repens tersebut di pematang sawah di Sukabumi. Lokasi sawah tersebut di desa Bojong Kecamatan Cikembar Sukabumi, merupakan daerah endemik penyakit blas (Bustaman & Mahrup 2004). Meskipun inokulasi di rumah kaca menunjukkan bahwa isolat Pyricularia dari padi tidak mampu menginfeksi P. repens (Kato et al. 2000, Mackill & Bonman 1986), begitu juga sebaliknya (Mackill & Bonman 1986). Kemampuan infeksi dapat dipengaruhi oleh jenis isolat Pyricularia dan ekotipe rumput (Mackill & Bonman 1986). Menurut Kato et al. (2000) dan Eto et al. (2001) bahwa Pyricularia dari P. repens memiliki kemiripan dengan Pyricularia dari padi, yaitu berada dalam subkluster isolat dari padi dalam pohon filogenetik berdasarkan penanda molekuler. Sebaliknya, menurut Borromeo et al. (1993) bahwa Pyricularia dari
68
91 93
89 72
89 100 98
98
100
100
100
73
100
91
100
100
III
ITS-rDNA: tipe d4 mengalami transisi 1 nukleotida pada ITS1 dan ITS2
SCAR: 011; ITS-rDNA: tipe d4; Pot2:P2; ras 023
SCAR: 011; Pot2:P2 SCAR: 011; Pot2: P2 SCAR: 011 SCAR: 011; Pot2: P2 SCAR: 011 SCAR: 011 SCAR: 101; SCAR: 101; Pot2: P3 II SCAR: 101; Pot2: P3; ras 000; SCAR: 101; Pot2: P3
SCAR: 011 SCAR: 011 SCAR: 011 SCAR: 011; ITS-rDNA: tipe d4; Pot2: P2; ras 373
SCAR: 011; Pot2: P2
100
0.01 substitusi
I SCAR: 101; Pot2: P1 SCAR: 101; Pot2: P1 SCAR: 001
Gambar 22 Penelusuran riwayat Pyricularia d4 dari rumput D. ciliaris yang mengalami pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, dan ke rumput P. repens berdasarkan 3 penanda AFLP, SCAR, rep-Pot2, dan ras fisiologi, serta sekuen ITS beserta 5.8S rDNA: SCAR terdiri atas urutan Cut1, PWL2, Erg2 (1: teramplifikasi, 0: tidak teramplifikasi); P1-P3 tipe pola rep-Pot2; nilai hasil bootstrap 1000x yang lebih besar dari 70% ditunjukkan dekat percabangan. (ket. nama strain merujuk pada Tabel 8).
SCAR: 101; ITS-rDNA: 99% identik P. grisea dari padi; Pot2: P1; ras 000
basal
8)
5)
1)
dan
41.9 37.0 41.1 41.7 41.1 41.7
1.6 8.9 3.0 2.4 2.4 2.1
-----45.5
49.4 48.2
-----13.3
15.6
42.9
2.6 6); 4.0 7); 3.4 8)
9.0 3); 2.0 4); 8.4 5)
8.6
14.1 1) dan 11.8 2)
6.0
Jarak genetik (%) terhadap InoIsolat antara d4 kulum satu klon ulangan
: jarak genetik d~k~k2.1 terhadap d~k~k2.2 dan d~k~k2.3 : jarak genetik d~k~c2.1 terhadap d~k~c2.2 dan d~k~c2.3 6)-7)
3)-4)
klonal ulangan ke-2
klonal ulangan ke-2
klonal ulangan ke-1 -----------ulangan ke-2
- d~p1.1 (P. repens); SCAR: 101; ITS rDNA: mengalami transisi 2 nukleotida; Pot2: P3; ras 000 - d~p1.3 (P. repens); SCAR: 101; Pot2: P3 -------------------------------------------------------------------------d~p2.3 (P. repens); SCAR: 101; Pot2: P3
d~k~k2.1 (Kencana bali) d~k~k2.2 (Kencana bali); SCAR: 011; Pot2: P2 d~k~k2.3 (Kencana bali); SCAR: 011; ITS rDNA: tipe d4; Pot2: P2 d~k~c2.1 (Cisokan); SCAR: 011; ITS rDNA: tipe d4 d~k~c2.2 (Cisokan); SCAR: 011; Pot2: P2 d~k~c2.3 (Cisokan); SCAR: 011
ulangan ke-1 -----------ulangan ke-2
Ket
d~c1.2 (Cisokan); SCAR: 011; ITS rDNA: tipe d4; Pot2: P2; ras 373 ------------------------------d~c5.1 (Cisokan); SCAR: 011
d~k4.3 (cv. Kencana bali); SCAR: 011; ITS rDNA: tipe d4; Pot2: P2; ras 043
Isolat hasil inokulasi pada inang pengganti dan penandanya
: jarak genetik d~p1.1 dan d~p.3 terhadap d~p1.3 : jarak genetik d~k~k2.2 terhadap d~k~k2.3 : jarak genetik d~k~c2.2 terhadap d~k~c2.3
2)
d~k4.3 (Kencana bali) SCAR: 011; ITS rDNA: tipe d4; Pot2: P2; ras 043
d4 (D. ciliaris) SCAR: 101; ITS rDNA: 99% identik P.grisea dari padi; Pot2: P1; ras 000
Inokulum (inang) dan penandanya
Tabel 14 Jarak genetik beserta penandanya pada penelusuran riwayat Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan o173 asal padi yang mengalami pergantian inang
69
70
10)
Isolat hasil inokulasi pada inang pengganti dan hasil karakterisasinya
Ket
Inokulum
42.8
13.6 9); 22.4 10); 7.0 11); 20.4 12)
Jarak genetik (%) terhadap Isolat antara satu klon ulangan
d4
12.3 ------22.5
10.7 19) 13.8 20) 14.3 21)
18.6 11.7 ------11.6 23.8
13.6 13.3 -----11.4 19.1
46.5 44.4 53.5
klonal
klonal
8.7 -----46.4
39.5 42.1 38.0 40.4
ulangan ke-1 -----------ulangan ke-2
35.7 38.8 34.1 36.8
klonal ulangan ke-1 ------------klonal ulangan ke-2
d~c~k1.2 (Kencana bali); SCAR: 011 d~c~k1.3 (Kencana bali); d~c~k1.4 (Kencana bali); SCAR: 011 d~c~k1.8 (Kencana bali); SCAR: 011; ITS rDNA: tipe d4; Pot2: P2 o~k1.1 (Kencana bali); SCAR: 011; Pot2: 2 o~k1.2 (Kencana bali); SCAR: 011; Pot2: 2 o~k1.3 (Kencana bali); SCAR: 011; Pot2: 2 o~c3 (Cisokan) ; SCAR: 011; Pot2: 2 ---------------------------------------------o~c4 (Cisokan) ; SCAR: 011; Pot2: 2
: jarak genetik d~c~c1.1 terhadap d~c~c2.1 dan d~c~c2.4
18) : jarak genetik d~c~k1.4 terhadap d~c~k1.8 19)-20) : jarak genetik ok~1.1 terhadap o~k1.2 dan o~k1.3 : jarak genetik o~k1.2 terhadap o~k1.3 21)
3.4 13); 14.1 14); 4.9 15); 15.8 16); 2.6 17); 13.8 18)
d~c~c1.1 (Cisokan); SCAR: 011; Pot2: P2 d~c~c1.3 (Cisokan) -----------------------d~c~c2.1 (Cisokan); SCAR: 011 d~c~c2.4 (Cisokan); SCAR: 011; ITS rDNA: tipe d4
Tabel 14 Jarak genetik beserta penandanya pada penelusuran riwayat Pyricularia d4 asal D. ciliaris dan o173 asal padi yang mengalami pergantian inang (Lanjutan) Inokulum (inang) dan penandanya
d~c1.2 (Cisokan); SCAR:011; ITS rDNA: tipe d4; Pot2: 2; ras 373
dan
o173 ( padi kultivar Ciherang) SCAR: 011; Pot2: 2
9)
11) d12) dan : jarak genetik d~c~c1.3 terhadap d~c~c2.1 dan d~c~c2.4 13)-15) : jarak genetik d~c~k1.2 terhadap d~c~k1.3, d~c~k1.4, dan d~c~k1.8 : jarak genetik d~c~k1.3 terhadap d~c~k1.4, dan d~c~k1.8 16)-17)
71 P. repens dapat dibedakan melalui penanda molekuler dengan Pyricularia dari padi yang tumbuh berdekatan, walaupun keduanya memiliki tipe mtDNA yang sama. Pergantian d4 ke inang padi Cisokan menghasilkan perubahan penanda PWL2 dan Cut1, yaitu memunculkan penanda PWL2 dan tidak memunculkan penanda Cut1. Padi Cisokan dapat dikategorikan memiliki moderat resistensi terhadap penyakit blas berdasarkan tingkatan resistensi padi diferensial Indonesia (DBPT Deptan 1992). Perubahan Cut1 dan PWL2 terdeteksi pada turunan d4 yang mengalami perubahan fenotipe AFLP paling kecil. Perubahan Cut1 dan PWL2 tidak terdeteksi pada turunan d4 yang mengalami perubahan fenotipe AFLP lebih besar. Pyricularia d4 mengalami perubahan fenotipe AFLP yang lebih besar pada padi Kencana bali maupun P. repens. Hal sebaliknya pada d4 di padi Cisokan, perubahan fenotipe AFLPnya lebih kecil. Perubahan fenotipe d4 yang lebih besar di inang rentan mungkin tidak pada situs penempelan primer Cut1. Jumlah gen Cut1 pada genom Pyricularia asal padi hanya satu (Sweigard et al. 1992a). Hasil analisis terhadap situs penempelan primer Cut1 dengan merujuk pada data GeneBank nomor akses X61500, menunjukkan berada dibagian intron (sekuen no 50-69 dan 1759-1778). Intron merupakan
daerah
yang relatif mudah mengalami perubahan
nukleotidanya. Isolat d4 yang berasal dari D. ciliaris mungkin mengalami perubahan pada situs penempelan primer setelah berada pada inang pengganti yang berupa padi (Kencana bali maupun Cisokan), sehingga primer tidak dapat menempel dengan sempurna pada suhu 60 °C, menyebabkan tidak terjadi proses amplifikasi. Intron merupakan sekuen DNA yang tidak menyandikan protein (Higgs & Attwood 2005). Organisme multiseluler (tumbuhan dan hewan) mempunyai banyak intron dengan daerah intergenic yang panjang, dan daerah sekuen non-coding yang bervariasi ini tampak mengalami evolusi yang tidak terbatas (Koonin & Wolf 2010). Intron terlibat dalam substitusi yang lebih cepat daripada situs gen penyandi protein (Avise 1994). Bagaimanapun dalam genom dapat ditemukan intron yang bersifat konservatif, yaitu gen penyandi enzim 4dimethyl allyltryptophan synthases pada genus Claviceps, Penicillium, dan Aspergillus memiliki intron yang bersifat konservatif (Schimek 2011).
72 Kemungkinan hal yang sama terjadi pada situs penempelan primer PWL2. PWL2 merupakan salah satu gen avirulen terhadap Eragrostis curvula (gen spesifitas inang) yang tidak stabil (Valent & Chumley 1994). Situs penempelan salah satu primer PWL2 juga berada pada intron (sekuen no 79-98) dengan merujuk ke data GeneBank dengan nomor akses U26313. Lokus PWL2 sangat polimorfik di antara Pyricularia yang patogen ke padi dari beragam area geografi (Sweigard et al. 1995). Variasi isolat (perbedaan jarak genetik terhadap inokulumnya) hasil pergantian genus inang Pyricularia d4 pada penelitian ini sedikit lebih rendah (37.0-43.0% dan 45.5-49.4%) dibandingkan kemunculan variasi isolat dari o173 yang diinfeksikan ke spesies yang sama, yaitu pada Kencana bali sebesar 44.453.5% (Tabel 11). Pyricularia o173 diperoleh dari padi Ciherang. Strain o173 yang diinfeksikan ke Cisokan menghasilkan tingkat variasi isolat sangat berbeda, yaitu menghasilkan tingkat perubahan besar (46.4%) dan jauh lebih kecil (8.7%). Namun tampak suatu pola bahwa variasi isolat yang dihasilkan oleh d4 lebih besar ketika berada pada padi Kencana bali (42.9% tingkat variasi hasil infeksi ke-1, dan 37.0-42.0% tingkat variasi hasil infeksi ke-2), dan P. repens (45.5-49.4%) daripada ke Cisokan (13.3-15.6% tingkat variasi hasil infeksi ke-1 dan 11.623.8% tingkat variasi hasil infeksi ke-2). Selain itu, tingkat variasi turunan d4 meningkat ketika turunan d4 dari Cisokan diinfeksikan silang ke Kencana bali, yaitu tingkat variasi awalnya hanya berkisar 13.3-15.6% maka menjadi 38.042.1% (Tabel 11). Tingkat variasi turunan d4 yang hanya di Cisokan paling tinggi 23.8%. Sebaliknya, turunan d4 dari Kencana bali tidak memunculkan tingkat variasi yang lebih besar lagi ketika diinfeksikan ke Cisokan. Tingkat variasi turunan d4 pada padi Kencana bali ialah 42.9%, dan setelah isolat turunan ini diinfeksikan silang ke Cisokan menghasilkan turunan dengan tingkat variasi hampir sama, yaitu 41.1-41.7% (Tabel 11). Sampai saat ini belum diperoleh informasi bentuk cekaman yang berhubungan dengan inang yang rentan. Pendugaan yang dapat diajukan adalah tingkat perubahan patogen untuk beradaptasi di dalam inang yang memiliki gen ketahanan parsial lebih rendah dibandingkan di dalam inang rentan, karena tingkat perubahannya dibatasi oleh pertahanan yang dimiliki inang. Sebaliknya, tanaman rentan tidak mempunyai
73 gen ketahanan terhadap patogen ini, sehingga tingkat perubahan patogen dapat lebih tinggi untuk beradaptasi. Padi Cisokan merupakan contoh inang yang memiliki gen ketahanan parsial. Gen-gen tersebut dapat memperlambat perkembangan penyakit, sehingga akan menampakkan ukuran bercak yang lebih kecil. Sebaliknya, padi Kencana bali merupakan contoh inang yang paling rentan terhadap penyakit blas, sehingga kemungkinan padi Kencana bali tidak memiliki gen ketahanan menghadapi serangan cendawan blas. Oleh karena itu, patogen di dalam inang rentan dapat mengalami variasi genetik yang lebih besar. Variasi genetik tersebut pada penelitian ini diamati melalui perubahan fenotipe AFLP yang ditunjukkan oleh perbedaan fenotipe AFLP (jarak genetik) yang lebih besar terhadap inokulumnya. Keragaman genetik populasi cendawan penyebab penyakit blas pada padi dibentuk oleh elemen semacam transposon (Ebbole 2007). Transposon dapat menyumbang kisaran variasi genetik yang lebar, khususnya pada cendawan yang tidak mempunyai fase seksual (Favaro et al. 2005). Cendawan blas yang dominan di lapang adalah fase aseksualnya. Populasi patogen tanaman umumnya bersifat dinamis dan variasi komponen populasi memiliki frekuensi kecil jika tidak ada perubahan lingkungan. Kisaran kompetisi yang sempit dapat mempertahankan jumlah strain pada tingkat minimum. Populasi Puccinia recondita f.sp. tritici bersifat stabil pada pertumbuhan var. gandum yang rentan (Watson 1970). Padi var. Kencana bali merupakan salah satu anggota padi diferensial di Indonesia yang digunakan untuk uji patotipe (ras fisiologi). Padi tersebut rentan terhadap semua (27) ras Pyricularia asal padi yang ada di Indonesia. Sedangkan padi Cisokan moderat resisten, yaitu resisten terhadap delapan ras atau dengan kata lain rentan terhadap serangan 21 ras Pyricularia asal padi yang ada di Indonesia (DBPT Deptan 1992). Perubahan pola fragmen DNA rep-Pot2 terjadi pada d4 yang mengalami pergantian genus inang berbeda. Sebaliknya, pergantian inang pada jenis yang sama meskipun berbeda varietas tidak menyebabkan perubahan pola fragmen DNA rep-Pot2. Fenotipe Pot2 dari isolat yang diperoleh pada bercak di daun padi bersifat stabil setelah berkembang di lapang dengan dideteksi melalui isolat yang diisolasi dari spikelet padi (Namai 2011).
74 Pola perubahan rep-Pot2 yang berbeda tampak pada turunan d4 yang mengalami pergantian genus inang yang berbeda. Turunan d4 dari hasil pergantian inang ke P. repens memiliki rep-Pot2 tipe P3. Sebaliknya, pola perubahan rep-Pot2 yang berbeda dari tipe P3, yaitu dikategorikan sebagai tipe P2. Tipe P2 tampak pada turunan d4 yang hanya mengalami perubahan fenotipe AFLP, tetapi tidak mengalami perubahan sekuen ITS. Pola rep-Pot2 tipe P2 juga tampak pada tiga cendawan blas yang yang diperoleh dari padi Kencana bali (ok3, ok6, dan ok10), sumber inokulumnya dari alam dan secara bersamaan berada pada lokasi dan waktu yang sama dengan Pyricularia d4 dari rumput D. ciliaris yang digunakan sebagai model dalam pergantian inang pada penelitian ini. Begitu juga pola rep-Pot2 tipe P2 tampak dimiliki oleh o173 dan turunannya yang digunakan sebagai kontrol. Pyricularia o173 diisolasi dari bercak blas padi var. Ciherang dari Lampung, sehingga telah beradaptasi pada genotipe padi sebagai inangnya. Turunan o173 dihasilkan melalui infeksi secara buatan ke padi Kencana bali maupun Cisokan. Park et al. (2010) juga melaporkan bahwa tidak tampak perbedaan pola fragmen hasil hibridisasi dengan probe berbagai elemen transposon seperti MGR586, MAGGY, Pot2, LINE,
dan MG-SINE pada
Pyricularia dari padi yang diinfeksikan secara serial hingga 10 kali ke inang padi varietas rentan. Selain itu juga dilaporkan bahwa subkultur secara serial 10 kali pada medium buatan juga tidak menghasilkan perbedaan atau gen ini bersifat stabil. Induksi peningkatan ras fisiologi d4 yang mengalami pergantian inang ke Cisokan dan Kencana bali tidak berhubungan terhadap perubahan fenotipe AFLP, SCAR, sekuen ITS-rDNA, maupun pola rep-Pot2. Peningkatan tingkat patogenisitas (ras fisiologi) pada d4 yang menginfeksi padi Cisokan sangat tinggi (ras 373), sedangkan induksi ras fisiologi oleh Kencana bali hanya kecil (023). Contoh, turunan d4 dari P. repens, yaitu d~p1.1 memiliki jarak genetik paling besar terhadap inokulumnya, dan mengalami perubahan sekuen ITS-rDNA, serta mengalami perubahan pola rep-Pot2 (tipe P3), namun memiliki ras fisiologi 000. Sedangkan turunan d4 yaitu d~k4.3 yang memiliki jarak genetik menengah terhadap inokulumnya (d4), dan mengalami perubahan fenotipe SCAR, serta repPot2 (tipe P2), hanya menghasilkan perubahan ras menjadi 023 (hanya dapat
75 menginfeksi padi Krueng aceh, Cisanggarung, dan Kencana bali). Sebaliknya, turunan d4, yaitu d~c1.2 yang mempunyai jarak genetik paling kecil terhadap inokulumnya (d4), juga mengalami perubahan fenotipe SCAR, serta rep-Pot2 yang bertipe P2, mempunyai perubahan ras sangat tinggi, menjadi 373 (dapat menginfeksi semua padi diferensial Indonesia yang berjumlah tujuh varietas), tetapi dapat juga tidak mengalami peningkatan ras fisiologi (ras 000), yaitu d~c1.3 masih seperti ras inokulumnya. Perbedaan tipe ras fisiologi pada dua turunan d4 dari padi Cisokan (d~c1.2 dan d~c1.3) mungkin disebabkan oleh mutasi, seperti yang dilaporkan oleh Namai (2011), sehingga bersifat acak. Tingkat virulensi berbeda pada isolat dalam klon Pyricularia juga dilaporkan oleh Ou (1980). Genotipe dan patotipe (ras fisiologi) pada struktur populasi cendawan blas mengalami perubahan dari agrosistem irigasi menjadi agrosistem tanah kering (padi gogo) di Madagaskar. Perubahan ini diperkirakan sebagai bentuk adaptasi yang bersifat lokal. Kisaran virulensi isolat-isolat dari agrosistem irigasi lebih sempit dari isolat dari agrosistem tanah kering (Andriantsimialona & Tharreau 2008). Penyisipan transposon Pot3 secara buatan pada bagian promotor gen avirulen AVR-Pita dapat menghasilkan virulensi (Kang et al. 2001). Mutasi memiliki kontribusi yang efektif dalam keragaman populasi. Perubahan besar dalam virulensi juga dapat diakibatkan oleh peristiwa mutasi (Burdon & Silk 1997). Mutasi cendawan penyebab blas padi mungkin akibat jumlah kandungan elemen-elemen semacam transposon yang banyak. Jumlahnya lebih dari 30 jenis seperti grh, MAGGY, MGLR-3, Pot2, Pot3, (Kito et al., 2002). Rekombinasi akan meningkatkan berbagai faktor virulensi dalam populasi patogen yang besar, maka akhirnya menghasilkan genotipe super parasit (Crow & Kimura 1970). Berbagai aspek penelitian patogen penyebab blas pada padi telah banyak diteliti, hingga keseluruhan sekuen genomnya hampir telah dipublikasi (YongHwan 2002),
namun belum banyak diperoleh informasi tentang penyebab
cendawan tersebut memiliki keragaman genetika yang tinggi, selain mutasi. Peningkatan ras fisiologi mungkin dapat dianalogkan pada mutasi gen PWL2 dari penanda SCAR. Kehadiran gen PWL2 pada Pyricularia dari padi mencegah cendawan ini menginfeksi inang alternatifnya (gen avirulen), yaitu Eragrostis
76 curvula, dan tetap patogen terhadap padi dan barley. Alel gen PWL2, yaitu pwl2-2 membuat patogen pada E. curvula, dan dilaporkan sebagai hasil mutan spontan yang patogen. Alel pwl2-2 berbeda dengan PWL2 melalui substitusi sepasang nukleotida. Substitusi nukleotida ini pwl2-2 menjadi tidak berfungsi (Sweigard et al. 1995). Data fingerprinting dan genetik molekuler menunjukkan Pyricularia mempunyai kemampuan dasar untuk patogen pada inang dalam kisaran lebar terhadap kultivar padi ataupun rumput. Namun kemampuannya tersebut terutama dibatasi oleh spesifitas gen-gen inang. Jika terjadi mutasi pada gen kemampuan dasar untuk patogen
inang, maka kemungkinan dapat terjadi peningkatan
patogenisitasnya (Leong et al. 1994). Perubahan dua nukleotida sekuen ITS pada satu strain turunan d4 dari hasil pergantian inang ke P. repens (d~p1.1) diperoleh dari analisis satu sekuensing.
Oleh karena itu penemuan perubahan tersebut masih perlu
diverifikasi dengan menganalisis amplikon lainnya, yaitu pada strain yang sama (d~p1.1) ataupun amplikon dari strain lain dari turunan d4 dari hasil pergantian inang ke P. repens. Verifikasi perlu dilakukan untuk menghindari kontribusi kesalahan oleh Taq polymerase ataupun mesin sekuensing (sequencer). Selain itu verifikasi juga perlu dilakukan untuk mengetahui sekuen copy ITS dari gen rDNA pada lokus lainnya. Gen rDNA mempunyai unit berulang (copy number) banyak. Sekuen ITS merupakan daerah yang tidak konservatif, sering mengalami perubahan (White et al. 1990). Perubahan dua nukleotida pada sekuen ITS merupakan mutasi titik. Turunan d4 dari P. repens mengalami perubahan dua nukleotida ITS dan fenotipe AFLPnya. Tingkat perubahannya (45.5-49.4%) lebih besar daripada di padi, sehingga tampak memisah paling jauh dari sampel basal (Gambar 22). Tingkat perubahan yang besar pada fenotipe AFLP turunan d4 dari P. repens masih lebih kecil dari perubahan genetik pada o173 yang diinfeksikan secara buatan ke Kencana bali (44.4-53.5%). Turunan d4 dari pergantian genus inang ke P. repens, ataupun turunan o173 dari pergantian varietas inang ke Kencana bali maupun ke Cisokan berada pada clade yang sama (Gambar 23). Hal tersebut menunjukkan tingkat perubahan genetiknya setara. Berdasarkan data ini bahwa
77
72 74 0.01 substitusi
III 88 100 100 96 100
85
100
87
II
100 100
100 85
I
100 100 100
91 94
basal outgroup
Gambar 23 Filogenetik berdasarkan 3 penanda AFLP pada sampel basal Pyricularia asal D. ciliaris dan turunan isolat basal (Pyricularia d4) dari hasil pergantian inang ke padi tahap ke-1 dan ke-2, ke P. repens; beserta Pyricularia o173 asal padi dengan turunannya dari hasil pergantian inang ke padi, dan Pyricularia asal padi dari lokasi dan waktu yang sama dengan Pyricularia d4 asal D. ciliaris; SI: sumber inokulum untuk menghasilkan isolat yang mengalami pergantian; nilai bootstrap 1000x yang lebih besar dari 70% di sekitar percabangan (ket. nama strain merujuk pada Tabel 8).
78 pergantian inang memberikan peluang pada cendawan blas, yaitu Pyricularia asal rumput ataupun asal padi mengalami perubahan genetiknya. Perubahan genetik semakin besar pada inang yang rentan.
Mikroevolusi tidak tampak pada
pergantian inang Pyricularia pada spesies sama yang diamati melalui penanda SCAR, sekuen ITS-rDNA, rep-PCR Pot2. Beberapa peristiwa perubahan tingkat DNA dapat dideteksi pada Pyricularia d4 yang menginfeksi rumput D. ciliaris ketika diinfeksikan secara buatan ke genus inang berbeda (Gambar 22). Perubahan ini pada tingkat mikro (sangat kecil), sehingga masing-masing perubahan tidak tampak saling korelasinya. Bagaimanapun analisis lebih lanjut masih diperlukan, misalnya penyisipan gen fluoresen untuk melacak tingkat perubahan tersebut, atau dilakukan pengamatan kariotipe mini kromosom melalui pulsed-field gel electrophoresis (PFGE). PFGE banyak digunakan untuk pengamatan kariotipe mikrob uniseluler hingga multiseluler (Mills & McCluskey 1990). Pengamatan PFGE
yang dikombinasikan dengan hibridisasi Southern
menunjukkan, Pyricularia yang patogen ke padi dan anggota Graminae selain padi, memiliki kromosom A berjumlah 5-6 berukuran 2.000-10.000 kb, dan kromosom B (mini kromosom) berjumlah 1-4 berukuran 500-200 kb (Orbach et al. 1996). Pyricularia asal berbagai Graminae (Digitaria, Eleusine coracana, Eragrostis curvula, Pennisetum, Rhynchelitrium roseum, Triticum aestivum dan Triticale) dari beberapa negara memiliki kariotipe yang relatif seragam, dan beberapa strain tampak memiliki “kromosom mini” yang mengakibatkan jumlah kromosomnya bervariasi (Orbach et al. 1996). Selain itu perlu menganalisis sampel dalam jumlah yang lebih banyak untuk dapat menggambarkan peristiwa yang lebih representatif. Simpulan Pyricularia d4 yang berganti inang ke padi Kencana bali dan Cisokan mengalami perubahan fenotipe Cut1 dan PWL2 dari SCAR, fenotipe AFLP, repPot2, dan ras fisiologinya, tetapi tidak mengalami perubahan sekuen ITS. Sebaliknya d4 berganti inang ke rumput P. repens tidak mengalami perubahan fenotipe Cut1 dan PWL2, dan ras fisiologi, tetapi mengalami mutasi transisi 2
79 nukleotida ITS, yaitu satu nukleotida sitosina menjadi timina pada ITS1, dan sebaliknya pada ITS2, yaitu satu nukleotida timina menjadi sitosina. Selain itu, tingkat perubahan fenotipe AFLP pada d4 yang berada di P. repens lebih besar daripada di Kencana bali dan Cisokan. Perubahan tipe fenotipe rep-Pot2 dari d4 yang berada di P. repens juga berbeda pada Kencana bali dan Cisokan. Perubahan tipe fenotipe rep-Pot2 dari d4 pada Kencana bali maupun Cisokan adalah sama. Namun d4 mengalami tingkat perubahan fenotipe AFLP yang lebih tinggi ketika berganti inang ke Kencana bali daripada di Cisokan. Pyricularia d4 yang berganti inang ke Kencana bali juga mengalami perubahan ras fisiologinya (023). Tingkat perubahan ras fisiologi tersebut lebih rendah dibandingkan d4 yang berganti inang ke Cisokan (373). Turunan d4 dari Cisokan juga ada yang tidak mengalami perubahan ras fisiologi (000), masih sama seperti inokulumnya (d4). Turunan d4 yang diperoleh dari inang padi tidak mengalami perubahan fenotipe SCAR, AFLP, rep-Pot2, dan sekuen ITS setelah berganti inang pada varietas padi yang sama. Sebaliknya, turunan d4 yang diperoleh dari Cisokan mengalami perubahan fenotipe AFLP yang lebih tinggi ketika berganti inang ke Kencana bali.
81 BAB V HUBUNGAN FILOGENETIK Pyricularia PADA RUMPUT DAN PADI Abstrak Pyricularia grisea Sacc. [anamorf Magnaporthe grisea (Hebert) Barr] sebagai penyebab penyakit blas pada rumput Digitaria spp. dipisahkan dari Pyricularia oryzae Cav. (anamorf dari Magnaporthe oryzae B. Couch) penyebab blas pada padi dan anggota serealia lainnya melalui pendekatan molekuler. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan filogenetik Pyricularia dari rumput (d4 dari Digitaria ciliaris dan pr10.a.S4 dari Panicum repens) dengan Pyricularia dari padi (ok6 dan ou6.S4) berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Hasil amplifikasi daerah ITS beserta 5.8S rDNA berukuran 543 pb pada d4, pr10.a.S4, ok6, dan ou6.S4. Pyricularia d4, ok6, dan ou6.S4 memiliki kesamaan sekuen 100%. Sebaliknya, pr10.a.S4 terhadap ketiga isolat tersebut di atas berbeda satu nukleotida pada 5.8S rDNA dan lima nukleotida pada bagian hulu 26S rDNA. Isolat d4 dan pr10.a.S4 berasal dari rumput memiliki hubungan filogenetik sangat dekat dengan P. oryzae dari padi, baik dengan ok6 maupun ou6.S4. Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA tidak dapat digunakan untuk memisahkan semua Pyricularia yang dianalisis dalam penelitian ini. Berdasarkan prioritas maka d4 dan pr10.a.S4 sebagai P. grisea. Sedangkan ok6 dan ou6.S4 berdasarkan kesamaan sekuen ITS beserta 5.8S rDNAnya sementara juga dinamakan P. grisea. Kata kunci: Pyricularia grisea, Digitaria ciliaris, Panicum repens, padi, ITS, 5.8S rDNA. Pendahuluan Pyricularia merupakan cendawan penyebab penyakit blas pada padi dan anggota Graminae lainnya dengan kisaran inangnya sekitar 50 spesies (Ou 1985). Pyricularia grisea memiliki morfologi yang serupa, tidak dapat dibedakan dengan Pyricularia oryzae yang telah dikenal sebagai penyebab penyakit blas pada padi (Yaegashi & Udagawa 1978; Rossman et al. 1990, Couch dan Kohn 2002). Pyricularia grisea adalah penyebab penyakit blas pada rumput Digitaria sanguinalis (Ou 1985), Digitaria horizontalis dari Brazil, Digitaria smutzi dari Jepang, Digitaria sp. dari USA dan Cina dengan Magnaporthe grisea sebagai teleomorfnya (Couch dan Kohn 2002). Peritesium M. grisea dapat dibentuk oleh dua isolat anamorf serasi yang diperoleh dari sumber bercak blas yang sama pada padi (Hayashi et al. 1997). Teleomorf ini hanya dibentuk di laboratorium, sedangkan persilangan anamorf dari padi dengan anamorf dari D. sanguinalis tidak menghasilkan peritesium. Anamorf-anamorf ini secara reproduksi saling terisolasi sehingga Hebert (1971)
82 menempatkan spesies ini sebagai nama spesies yang berbeda. Teleomorf P. oryzae adalah Magnaporthe oryzae B. Couch dan M. oryzae ditempatkan sebagai anggota spesies M. grisea spesies kompleks (Couch & Kohn 2002). Peritesium dapat dibentuk secara in vitro dan in planta pada persilangan antara anamorf dari padi, tetapi tidak pernah ditemukan di lapang (Silue & Notteghem 1990, Hayashi et al. 1997). Pengenalan spesies filogenetik (phylogenetic species recognition=PSR, Taylor et al. 2000) berdasarkan pendekatan molekuler dapat memisahkan spesimen cendawan blas dari padi dengan spesimen cendawan blas dari Digitaria ciliaris di Filipina (Borromeo et al. 1993) atau dari D. sanguinalis (Couch & Kohn 2002). Masing-masing spesimen berturut-turut diidentifikasi sebagai P. oryzae dan P. grisea. PSR memperjelas taksonomi genus dan merupakan alat kuat untuk pembatasan spesies cendawan (Balajee et al. 2009). Pendekatan molekuler multilokus
(ITS-rDNA, actin, β-tubulin, dan
calmodulin) menunjukkan bahwa P. grisea adalah spesies cryptic, dan berkembang melalui spesiasi yang terus menerus (Hirata et al. 2007). Pemisahan secara molekuler didukung oleh penelitian tentang kisaran inang. Di Filipina, isolat-isolat Pyricularia bersifat spesifik inang, isolat dari padi tidak mampu menginfeksi D. ciliaris (Mackill & Bonman 1986), begitu juga tidak terjadi infeksi silang oleh isolat dari padi ke D. sanguinalis atau sebaliknya (Kato et al. 2000). Kebanyakan spesimen Pyricularia dari padi selalu berbeda dari Pyricularia dari rumput yang tumbuh di dekat padi maupun dari populasi isolat dari rumput di tempat berbeda (Borromeo et al. 1993). Sebaliknya, pendekatan molekuler multilokus (ITS-rDNA, actin, β-tubulin, dan calmodulin) menunjukkan bahwa P. grisea dan P. oryzae adalah kelompok monofiletik (Hirata et al. 2007). Gen rRNA merupakan kandidat yang baik untuk studi hubungan filogenetik (Guarro et al. 1999), karena merupakan gen penyandi non-protein yang mempunyai banyak salinan dalam genom (White et al. 1990, Guarro et al. 1999), dan membuat homogen melalui evolusi dan hampir selalu diperlakukan sebagai gen dengan lokus tunggal (Guarro et al. 1999). Bagian molekul yang sangat konservatif ini menyediakan sebagai referensi studi perbedaan evolusioner (Guarro et al. 1999). Diantara gen yang konservatif tersebut terdapat internal
83 transcribed spacer (ITS) yang tidak konservatif, dapat bervariasi (White et al. 1990, Guarro et al. 1999). Analisis filogenetik interspesies atau tingkat takson yang lebih tinggi umumnya menggunakan sekuen gen rRNA, termasuk daerah ITS1 dan ITS2, intergenic spacer (IGS), 5.8S rRNA, 18S rRNA, dan 26S rRNA. Gen rRNA sangat konservatif dalam satu spesies, tetapi dapat juga sangat bervariasi di antara spesies (Summerbel et al. 2005). Variasi situs enzim restriksi juga ditemukan dalam anggota populasi, seperti mutasi yang berulang-ulang pada situs enzim restriksi EcoRI dalam IGS dari rDNA (Capossela et al. 1992). Studi sekuen rDNA memiliki dampak sistematik paling besar sampai saat ini, yaitu dapat membedakan sampai tingkat strain, dan untuk mengelompokkan organisme yang morfologinya hanya memberikan sedikit informasi, misalnya organisme uniseluler (Hillis & Dixon 1991). Beberapa metode molekuler telah digunakan untuk mengetahui hubungan evolusioner, namun sekuen nukleotida paling banyak digunakan daripada metode molekuler lainnya, karena perbedaan atau tingkat kesamaannya dapat dinyatakan dengan tepat. Selain itu, data yang diperoleh juga akan membentuk database untuk rujukan berikutnya (Summerbel et al. 2005). Pada penelitian ini, Pyricularia dapat ditemukan pada rumput D. ciliaris di sekitar percobaan padi yang sedang terserang penyakit blas secara alami. Pyricularia juga selalu ditemukan sepanjang waktu pada Panicum repens di sawah Sukabumi yang merupakan daerah endemik blas (Bustaman & Mahrup 2004). Hubungan filogenetik antara Pyricularia dari kedua inang yang berada di Jawa Barat belum diketahui. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan filogenetik antara cendawan blas dari rumput D. ciliaris dan Panicum repens terhadap cendawan blas dari padi yang tumbuh berdekatan melalui sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Penelitian ini diharapkan mendapatkan informasi khususnya hubungan filogenetik antara Pyricularia dari rumput D. ciliaris dengan tanaman padi yang secara tiba-tiba terserang penyakit blas di ladang percobaan dan kaitannya dengan penamaan spesies patogennya, serta hubungan filogenetik Pyricularia dari Panicum repens dan padi di sawah Sukabumi yang merupakan daerah endemik blas.
84 Bahan dan Metode Tempat. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Cendawan dan Biorin di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Kultur Cendawan. Semua isolat yang dianalisis berasal dari kultur konidium tunggal hasil penelitian sebelumnya (Bab 3), terdiri atas lima isolat cendawan blas, yaitu Pyricularia d4 dan ok6, masing-masing berasal dari daun rumput D. ciliaris. dan daun padi var. Kencana bali yang berada pada lokasi (ladang di Jasinga Bogor) dan waktu yang sama (September 2005). Isolat lainnya adalah Pyricularia pr10.a.S4 dan ou6.S4, masing-masing berasal dari daun rumput Panicum repens dan daun padi (varietas tidak diketahui) yang diperoleh dari lokasi (sawah di Sukabumi) dan waktu yang sama (Mei 2008). Semua isolat disimpan pada medium Potato Dextrosa Agar (Difco). Isolasi DNA. DNA genom cendawan diisolasi dari miselium yang ditumbuhkan pada 25 mL medium cair (5 g L-1 sukrosa, 2 g L-1 ekstrak khamir, dan 2 g L-1 pepton, modifikasi Crawford et al. 1986) selama enam hari pada mesin pengocok. Miselium dipanen dan diisolasi genomnya menurut prosedur yang dijelaskan oleh Raeder dan Broda (1985) pada volume lebih besar dan sedikit modifikasi. Miselium digerus dalam mortar steril sampai berbentuk pasta. Pasta disuspensikan dalam 4 mL larutan penyangga ekstrak (200 mM Tris HCl pH 8.5; 250 mM NaCl; 25 mM EDTA; 0.5% SDS). Sebanyak 2.8 mL fenol dan 1.2 mL campuran kloroform dan isoamil alkohol (CIA=24:1) ditambahkan ke dalam suspensi dan suspensi dibolak-balik secara perlahan. Suspensi disentrifugasi selama 30 menit pada 4,000 rpm dengan suhu 6 °C. Fase cairan bagian atas segera dipindahkan ke tabung baru dan dipresipitasi dengan menambahkan 1x volume isopropanol dingin. Hasil presipitasi disentrifugasi selama 20 menit pada 4,000 rpm dengan suhu 6 °C. Endapan dibilas menggunakan etanol dingin konsentrasi 70% dan disentrifugasi kembali selama 10 menit. Endapan dikeringkan menggunakan pompa vakum selama 15 menit, dan dilarutkan dalam 100 uL TE 1x (10 mm Tris HCl pH 8, 1 mmol EDTA), serta ditambahkan 0.2x volume RNAse 20 mg mL-1. Larutan diinkubasi semalam pada 37 °C, kemudian ditambahkan 900 uL TE 1x dan larutan diekstrak kembali melalui penambahan 1x
85 volume CIA, dan disentrifugasi selama 10 menit pada 4,000 rpm dengan suhu 6 °C. Cairan bagian atas dipresipitasikan kembali melalui penambahan isopropanol dingin seperti tahapan sebelumnya sampai diperoleh endapan yang dilarutkan dalam 100 uL TE 1x. DNA yang dianalisis memiliki tingkat kemurnian (A260/A280) 1.6-1.9. DNA cendawan hasil isolasi diamplifikasi melalui PCR dengan menggunakan sepasang primer yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya (Bab 4), yaitu its1 dan its4 (White et al. 1990), dengan susunan nukleotida sebagai berikut: its1: F:5’TCCGTAGGTGAACCTGCGG 3’ its4: R:5 TCCTCCGCTTATTGATATGC 3’ Organisasi ITS berdasarkan data GeneBank dengan nomor akses AB026819 (Sone et al. 2000) disajikan pada Gambar 12. Primer its1 menempel di ujung 3’ gen 18S rDNA pada nukleotida posisi 2162-2180 dan primer its4 menempel pada ujung 5’ gen 26S rDNA pada nukleotida posisi 2685-2704. Total reaksi PCR sebanyak 40 μL, mengandung sekitar 200 ng DNA genom cetakan; 20 μL 2xPCR master mix (0.05 unit μL-1 Taq DNA polymerase, 4 mM MgCl, 0.4 mM masing-masing dNTP), dan 1.2 ρmol masing-masing primer. Program PCR meliputi pradenaturasi pada suhu 95 °C selama lima menit, dilanjutkan 30 siklus pada suhu 95 °C selama 30 detik, suhu pelekatan (annealing) primer 52 °C selama satu menit. Progam selanjutnya adalah pemanjangan (elongation) pada suhu 72 °C selama dua menit. Tahap akhir proses PCR pada suhu 72 °C selama lima menit, dan pendinginan 20°C selama 10 menit. Untuk mengetahui keberhasilan proses PCR maka produk PCR divisualisasi melalui elektroforesis pada gel agarosa 1% (w/v) dalam TAE 1x, dan dilanjutkan perendaman gel dalam 0.5 μg mL-1 etidium bromida. Produk PCR dikirim ke PT Genetika Science Indonesia sebagai institusi penerima jasa layanan sequencing. Konstruksi pohon filogenetik Sekuen nukleotida berdasarkan primer its1 dan primer its4 disejajarkan kemudian diedit menggunakan piranti lunak Bioedit dengan mengacu pada kromatogramnya. Selanjunya keseluruhan sekuen nukleotida d4 sebagai perwakilan sampel dianalisis lebih lanjut dengan mencari kesamaannya menggunakan program basic local alignment search tool (BLAST) di
86 http://blast.ncbi.nlm.nih.gov. Sekuen hasil BLAST dipilih hanya pada nomor akses yang telah dipublikasi. Sekuen yang digunakan untuk mengkonstruksi filogram dibatasi, yaitu hanya sekuen ITS1, 5.8S rDNA, dan ITS2. Filogram dibuat dengan bantuan piranti lunak ClustalX dan program Phylogenetic Analysis Using Parsimony (PAUP) version 4.0b10 for 32-bit Microsoft Windows (Swofford 2002). Filogram dikonstruksi melalui distance pada metode heuristic. Untuk mengetahui tingkat kepercayaan setiap percabangan dilakukan bootstrap 1000 kali. Hasil Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer its1 dan its4 pada 4 isolat (d4, pr10.a.S4, ok6, dan ou6.S4) diperoleh sekuen DNA berukuran 543 pb. Sekuen tersebut terdiri atas bagian hilir 18S rDNA berukuran 30 pb, bagian ITS1 berukuran 123 pb, bagian 5.8S rDNA berukuran 158 pb, bagian ITS2 berukuran 172 pb, dan bagian hulu 26S rDNA berukuran 60 pb (Gambar 24). Sekuen ITS1 dan 5.8S rDNA pada tiga isolat (d4, ok6, dan ou6.S4) ialah sama. Sebaliknya sekuen pr10.a.S4 berbeda enam nukleotida terhadap d4, atau ok6, atau ou6.S4. Perbedaan tersebut berada pada bagian 5.8S rDNA sebanyak satu nukleotida dan pada bagian hulu 26S rDNA sebanyak lima nukleotida (Gambar 24). Hasil BLAST keseluruhan sekuen hasil amplifikasi primer its1 dan its4 dari Pyricularia d4 (sekuen sama dengan ok6, ataupun ou6.S4) umumnya memiliki kesamaan 99% (e-value 0 dan query coverage 100%) dengan cendawan penyebab penyakit blas pada padi, Eleusine coracana, Setaria italica, Stenotaphrum secundatum, dan Festuca arundinacea. Cendawan pada masingmasing inang tersebut di data GeneBank memiliki nama M. oryzae dan M. grisea. Berdasarkan Couch dan Kohn (2002) maka beberapa nomor akses yang bernama M. grisea dinyatakan sebagai M. oryzae. Pyricularia d4 memiliki kesamaan 100% (e-value 0 dan query coverage 100%) dengan M. oryzae Ken54-20 (AB274418, Hirata et al. 2007) pada padi dari Jepang (Tabel 15). Sedangkan tingkat kesamaan d4 dengan cendawan blas asal padi Indonesia (AB274421, Hirata et al. 2007) sebesar 99% (e-value 0 dan query coverage 100%). Tingkat kesamaan dari keseluruhan sekuen d4 (hasil amplifikasi primer its1 dan its4) terhadap cendawan penyebab penyakit blas pada rumput D.
271 360 CCGCCGGTATTCCGGCGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCATTTCAACCCTCAAGCCTCGGCTTGGTGTTGGGGCGCCCGGGCCCTCCGCGGC CCGCCGGTATTCCGGCGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCATTTCAACCCTCAAGCCTCGGCTTGGTGTTGGGGCGCCCGGGCCCTCCGCGGC
361 450 CCGGGGCCCCCAAGTTCATCGGCGGGCTCGTCGGTACACTGAGCGCAGTAAAACGCGGTAAAACGCGAACCTCGTTCGGATCGTCCCGGC CCGGGGCCCCCAAGTTCATCGGCGGGCTCGTCGGTACACTGAGCGCAGTAAAACGCGGTAAAACGCGAACCTCGTTCGGATCGTCCCGGC
d4=ok6=ou6.S4 pr10.a.S4
d4=ok6=ou6.S4 pr10.a.S4
: ITS1, merah: 5.8S rDNA,
: ITS2, italik: bagian hulu 26S rDNA,
Gambar 24 Sekuen nukleotida bagian hilir 18S rDNA, daerah ITS beserta 5.8S rDNA, dan bagian hulu 26S rDNA pada Pyricularia dari D. ciliaris (d4), P. repens (pr10.a.S4) dan padi (ok6, ou6.S4).
: variasi nukleotida
Ket: __: bagian hilir 18S rDNA,
451 543 GTGCTCCAGCCGCTAAACCCCCAATTTTTTAAAGGTTGACCTCGGATCAGGTAGGAATACCCGCTGAACTTAAgcatatcaataagcggagga GTGCTCCAGCCGCTAAACCCCCAATTTTTTAAAGGTTGACATCGGATCAAGTAAGAATACCCGCGAAACTTAAgcatatcaataagcggagga primer its4
181 270 CTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAATTCAGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATTGCGC CTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAATTCAGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCAGATTGCGC
d4=ok6=ou6.S4 pr10.a.S4
d4=ok6=ou6.S4 pr10.a.S4
91 180 CCCGCCGGAGGTTCAAAACTCTTATTTTTTCCAGTATCTCTGAGCCTGAAAGACAAATAATCAAAACTTTCAACAACGGATCTCTTGGTT CCCGCCGGAGGTTCAAAACTCTTATTTTTTCCAGTATCTCTGAGCCTGAAAGACAAATAATCAAAACTTTCAACAACGGATCTCTTGGTT
1 90 tccgtaggtgaacctgcggAGGGATCATTACTGAGTTGAAAAACTCCAACCCCTGTGAACATAACCTCTGTCGTTGCTTCGGCGGGCACG tccgtaggtgaacctgcggAGGGATCATTACTGAGTTGAAAAACTCCAACCCCTGTGAACATAACCTCTGTCGTTGCTTCGGCGGGCACG primer its1
d4=ok6=ou6.S4 pr10.a.S4
d4=ok6=ou6.S4 pr10.a.S4
87
88 sanguinalis hanya 95%, (e-value 0 dan query coverage 97%), dan pada D. horizontalis sebesar 93% (e-value 0 dan query coverage 97%). Tabel 15 Hasil BLAST sekuen ITS beserta 5.8S rDNA (hasil amplifikasi primer universal its1 dan its4) Pyricularia d4 asal rumput Digitaria ciliaris No akses
Isolat
AB274418
M. oryzae Ken54-20 M. oryzae PO02-7306 M. oryzae Ken54-04 *M. oryzae 70-15 clone 61J04 *M. oryzae Ina168 M. oryzae GFSI1-7-2 M. oryzae Ina72 Pyricularia sp. MC1
AB274421 AB274419 DQ493955 AB026819 AB274422 AB274420 AY265323
U17328
*M. oryzae 2690
AB476613
U17329 JF414841
M. oryzae MZ5-1-6 M. oryzae G10-1 *M. oryzae 2692 *M. oryzae M61
JF414840
*M. oryzae M60
JF414839 AB476612
*M. oryzae M25 M. oryzae UG77-15-1-1 M. oryzae SZEC1-1-1 M. oryzae Br58
AB274423
AB274425 AB274424 AB274426. JF719830 AB512785 AY265322 AB274427 AB274429
Pyricularia sp. NI919 P. angulata BRIP:53746 Pyricularia sp. MAFF 306672 P. angulata NBRC9625 Pyricularia sp. NI981 M. grisea NI907
evalue
837
Query coverage (%) 100
0.0
Max ident (%) 100
832
832
100
0.0
99
Padi, Jepang
832
832
100
0.0
99
Padi
832
2496
100
0.0
99
Padi, Jepang
832
832
100
0.0
99
Setaria italic
826
826
100
0.0
99
Padi, Jepang Stenotaphrum secundatum, New Zealand -
826 . 832
826 832
100 100
0.0 0.0
99 99
.826
826
100
0.0
99
Eleusine coracana, Jepang E. coracana, Jepang Padi Festuca arundinacea, New Jersey F. arundinacea, New Jersey Padi E. coracana, Uganda E. coracana, Jepang Avena sativa, Brazil Leersia oryzoides, Jepang pisang Cavendish, Australia Panicum maximum, Jepang Musa sapientum, Jepang Cenchrus ciliaris, Jepang Digitaria sangunalis, Jepang
821
821
100
0.0
99
821
821
100
0.0
99
821 813
821 813
100 100
0.0 0.0
99 99
813
813
100
0.0
99
813 809
813 809
100 100
0.0 0.0
99 99
809
809
100
0.0
99
809
809
100
0.0
97
765
765
100
0.0
97
763
763
100
0.0
97
761
761
98
0.0
97
745
745
97
0.0
97
728
728
99
0.0
96
701
701
97
0.0
95
Max score
Total score
Padi, Jepang
837
Padi, Indonesia
Inang
89 Tabel 15 Hasil BLAST sekuen ITS beserta 5.8S rDNA (hasil amplifikasi primer universal its1 dan its4) Pyricularia d4 asal rumput Digitaria ciliaris (Lanjutan) No akses
Isolat
AY265324
Pyricularia sp. MC2
AB274428
M. grisea Dig41
AB274430
M. grisea Br33
Inang Digitaria sangunalis, New Zealand D. sangunalis, Jepang Digitaria horizontalis, Brazil
Max score
Total score
697
697
Query coverage (%) 97
0.0
Max ident (%) 95
695
695
97
0.0
95
660
660
97
0.0
93
evalue
*: nama spesies merujuk Couch dan Kohn (2002), pada nomor akses di National Center for Biotechnology Information (NCBI) tertulis sebagai M. grisea
Hubungan filogenetik keempat isolat pada penelitian ini (d4, ok6, pr10.a.S4, dan ou6.S4) serta sekuen dari beberapa nomor akses hasil BLAST terpilih (hanya pada nomor akses yang telah dipublikasi) ditampilkan sebagai filogram. Pyricularia angulata digunakan sebagai outgroup pada filogram (Gambar 25). Keempat isolat tersebut berada pada clade P. oryzae. Spesies Pyricularia dari inang padi, Eleusine coracana, Setaria italica, Stenotaphrum secundatum, dan Festuca arundinacea adalah kelompok monofiletik, dan membentuk sister clade dengan spesies Pyricularia pada jenis inang D. sanguinalis dan D. horizontalis yang bernama P. grisea. Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA dari Pyricularia asal rumput (d4 dan pr10.a.S4) pada penelitian ini tidak mampu memisahkannya dengan Pyricularia asal padi (ok6 dan ou6.S4) dari dua lokasi di Jawa Barat. Pada dua lokasi tersebut tampak terjadi infeksi silang antara Pyricularia asal rumput dan padi. Sebaliknya, secara filogenetik bahwa sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus pada Pyricularia asal Digitaria sanguinalis dan Digitaria horizontalis mampu memisahkannya terhadap Pyricularia asal padi dan Graminae yang bernilai ekonomi. Pemisahan antara P. grisea dan P. oryzae yang membentuk sister clade tersebut sangat kuat karena nilai bootstrapnya 97%. Berdasarkan prioritas dalam hukum tata nama bahwa P. oryzae adalah sinonim P. grisea. Oleh karena itu khususnya Pyricularia yang berasal dari D. ciliaris ditempatkan sebagai P. grisea dengan teleomorfnya adalah M. grisea. Hal yang sama juga diterapkan pada pr10.a.S4, yaitu sebagai P. grisea, meskipun secara filogenetik isolat tersebut menempati clade P. oryzae.
90
87 65
10-3 perbedaan 60
55
54
97
56 95 81 88 100 97 99 100
Gambar 25
99
Filogenetik berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA pada cendawan blas asal rumput dan padi yang tumbuh berdekatan pada dua lokasi di Jawa Barat terhadap data GeneBank. Nilai bootstrap 1000x yang lebih kecil dari 50% tidak ditunjukkan; * nama spesies merujuk Couch dan Kohn (2002), pada nomor akses di National Center for Biotechnology Information (NCBI) tertulis sebagai M. Grisea; : isolat pada penelitian ini. Pembahasan Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA dari d4 dan ok6 memiliki kesamaan
100%, sehingga posisinya pada clade yang sama, yaitu pada P. oryzae. Kedua sampel diperoleh pada lokasi dan waktu yang sama. Pada lokasi tersebut kemungkinan terjadi aliran genetik Pyricularia, namun tidak diketahui arah alirannya antara cendawan blas pada rumput D. ciliaris dan padi. Lokasi tersebut bukan area produksi padi, dan di sekitarnya tidak tampak area penanaman padi. Sebelum bulan September 2005 pada lokasi yang sama pernah digunakan sebagai
91 tempat
percobaan
padi
yang
tidak
berkaitan
dengan
penyakit
blas
(Trikoesoemaningtyas 2011, komunikasi pribadi). Diperkirakan bahwa inokulum awal pada lokasi kemungkinan terbawa benih padi yang ditanaman sebelum Agustus 2005. Inokulum kemudian mampu menginfeksi rumput tertentu di sekitar tanaman padi. Pada waktu ladang tidak sedang digunakan sebagai tempat percobaan, maka patogen blas bertahan di rumput-rumput sebagai inang alternatifnya. Selanjutnya patogen menginfeksi inang utamanya, yaitu padi rentan penyakit blas yang ditanam pada bulan Agustus 2005. Salah satu padi rentan tersebut adalah varietas Kencana bali. Aliran genetik cendawan blas pada P. repens dan padi juga tampak pada sawah di Sukabumi yang merupakan daerah endemik blas. Meskipun cendawan blas pada P. repens (pr10.a.S4) memiliki perbedaan lima nukleotida pada hilir 26S rDNAnya, dan satu nukleotida pada 5.8S rDNA dengan cendawan blas dari padi (ou6.S4) yang berada di sekitarnya. Keduanya tidak memiliki perbedaan pada daerah ITS. Variasi pada sekuen ITS dapat ditemukan pada anggota populasi cendawan (White et al. 1990). Hal ini menunjukkan bahwa dalam spesies sama dapat memiliki variasi sekuen ITS, sehingga perbedaan beberapa nukleotida pada isolat-isolat dari rumput maupun padi dari lokasi berbeda masih dalam kisaran spesies yang sama. Variasi nukleotida tersebut karena ITS pada rDNA nukleus merupakan unit berulang (high copy number), sehingga kemungkinan terdapat variasi sekuen ITS pada lokus yang berbeda, dan sekuen ITS tidak konservatif, paling cepat berubah (White et al. 1990). Sebaliknya pada anggota populasi cendawan lain dapat ditemukan sangat sedikit (satu nukleotida) variasi sekuen ITS (Chen et al. 2001, Korabecná et al. 2003, Hinrikson et al. 2005). Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA tidak dapat memisahkan semua sampel, baik berasal dari rumput maupun padi yang digunakan pada penelitian ini. Oleh karena itu, data tersebut dapat digunakan untuk menyatakan bahwa P. grisea juga dapat digunakan sebagai nama Pyricularia pada padi untuk sementara waktu sampai data sekuen lokus actin, ß-tubulin, dan calmodulin diperoleh. Selain itu juga perlu menganalisis persilangan antara strain tersebut dengan isolat fertil yang hermaprodit asal padi untuk mendukung konsep spesies Biologi.
92 Hubungan filogenetik yang sangat dekat pada semua sampel pada penelitian ini menunjukkan bahwa ada aliran genetik Pyricularia antara pada rumput dan padi, baik pada lokasi yang sama maupun berbeda. Sedangkan aliran genetik Pyricularia pada D. ciliaris (d4) terhadap ok6 pada lokasi dan waktu yang sama dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Arah penularannya tidak dapat ditentukan antara kedua inang itu. Kemampuan d4 asal D. ciliaris untuk berganti inang ke padi melalui injeksi pada penelitian sebelumnya (Bab 4) tidak dapat
menggambarkan kemampuan infeksi di alam. Inokulasi melalui
injeksi merupakan modifikasi dari metode Punch (Ono et al. 2001). Sebelumnya dilaporkan bahwa cendawan blas pada rumput yang tumbuh di sekitar pertanaman padi di Filipina tidak menjadi sumber inokulum penyakit blas padi (Borromeo et al. 1993). Kato et al. (2000) juga tidak menemukan penularan Pyricularia antara pada padi dengan Digitaria sanguinalis, Digitaria horizontalis, dan Digitaria smutsii di agrosistem alami. Berdasarkan data GeneBank yang disertakan dalam filogram, satu lokus, yaitu sekuen ITS rDNA dapat memisahkan spesies Pyricularia yang berada pada D. sanguinalis, dan D. horizontalis terhadap Pyricularia pada padi (memisah dengan nilai bootstrap 97%). Sebaliknya menurut Hirata et al. (2007), analisis satu lokus maupun 4 lokus (sekuen ITS rDNA, actin, ß-tubulin, dan calmodulin) tidak dapat menyelesaikan kontroversi spesiasi antara P. grisea dan P. oryzae. Monofiletik juga ditemukan pada Pyricularia dari 14 jenis gulma padi, termasuk D. ciliaris dan padi di Filipina, yaitu memiliki kemiripan hasil hibridisasi dengan probe rDNA (Borromeo et al. 1993). Monofiletisme pada kedua spesies Pyricularia juga ditemukan oleh Couch dan Kohn (2002). Hanya pada saat itu Couch dan Kohn (2002) mengesampingkan penemuannya pada Pyricularia asal Digitaria yang memiliki sekuen seperti P. oryzae. Mereka menganggap terdapat kesalahan pelabelan ataupun suatu kejadian yang jarang. Inang selain padi yang dilaporkan sebagai inang P. oryzae adalah Eleusine coracana (finger millet), Eleusine indica, Eragrostis curvula, Lolium perenne, Setaria sp. Pemisahan P. grisea dengan P. oryzae berdasarkan substitusi beberapa nukleotida pada actin, ß-tubulin, dan calmodulin. Hasil analisis lainnya, diperkirakan Pyricularia dari padi menyebar ke
93 L. hexandra dan P. repens. Sedangkan Pyricularia dari padi berasal dari Setaria millet (Couch et al. 2005). Oleh karena itu Pyricularia pr10.a.S4 pada penelitian ini juga dapat ditempatkan sebagai P. oryzae. Disisi lain yang perlu mendapat perhatian dengan berkembangnya pendekatan spesies, yaitu kemungkinan perubahan genetik yang terjadi pada waktu patogen melakukan infeksi silang ke spesies yang berbeda. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pergantian inang dapat menginduksi keragaman genetik (Bab 4). Pergantian inang d4 ke P. repens menghasilkan mutasi transisi dua nukleotida pada ITS. Selain itu juga menghasilkan perubahan genetik yang dideteksi melalui AFLP, dan rep-Pot2. Inang rentan juga dapat menginduksi keragaman genetik inokulum, yaitu genotipe Cut1, PWL, AFLP, dan rep-Pot2. Tingkat perubahan genotipe AFLP dari d4 setelah menginfeksi Panicum repens, dan padi Kencana bali sangat berbeda dibandingkan d4 setelah menginfeksi padi Cisokan. Padi Kencana bali sangat rentan terhadap penyakit blas. Sedangkan padi Cisokan bersifat moderat resisten terhadap penyakit blas jika dilihat berdasarkan tingkatan nilai padi diferensial Indonesia untuk menentukan ras fisiologi P. oryzae (Mogi et al. 1991) . Simpulan Hasil amplifikasi menggunakan primer its1 dan its4 pada empat isolat Pyricularia dari rumput dan padi (d4, pr10.a.S4, ok6, dan ou6.S4) diperoleh sekuen DNA berukuran 543 pb. Sekuen tersebut terdiri atas bagian hilir 18S rDNA, ITS1, 5.8S rDNA, ITS2, dan bagian hulu 26S rDNA. Isolat d4 dari rumput D. ciliaris dan ok6 dari padi var. Kencana bali dari lokasi dan waktu yang sama, serta ou6.S4 asal padi dari lokasi dan waktu berbeda memiliki sekuen yang sama. Sebaliknya sekuen pr10.a.S4 berbeda beberapa nukleotida terhadap d4, ok6, atau ou6.S4. Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA tidak dapat memisahkan d4 dan pr10.a.S4 yang berasal dari rumput terhadap
ok6 dan ou6.S4 yang berasal dari padi.
Kesemuanya memiliki hubungan filogenetik sangat dekat dengan P. oryzae dari padi. Berdasarkan prioritas maka d4 dan pr10.a.S4 sebagai P. grisea. Sedangkan ok6 dan ou6.S4 masih dapat juga disebut sebagai P. grisea berdasarkan kesamaan sekuen ITS dan 5.8S rDNAnya.
95 BAB VI PEMBAHASAN UMUM Anamorf
cendawan blas
yang umumnya
ditemukan di lapang.
Teleomorfnya tidak pernah ditemukan di lapang (Ou 1985). Kedudukan teleomorf pada semua cendawan lebih tinggi daripada anamorf dalam tata namanya. Penggunaan nama anamorf telah diusulkan untuk mempunyai kedudukan yang sama dengan teleomorfnya pada semua cendawan. Proposal telah diselesaikan oleh kepanitiaan kecil, dan akan dipresentasikan pada Konggres International Code of Botanical Nomenclatur (ICBN). Usulan penggunaan nama anamorf secara resmi akan dipergunakan selama enam tahun atau 12 tahun sejak 2011 (Rossman & Samuels 2005). Banyak spesies rumput yang dapat menjadi inang Pyricularia. Pyricularia mempunyai ± 50 jenis inang (Ou 1985). Pyricularia pada masing-masing genotipe inang kemungkinan mempunyai keragaman genetik yang berbeda walaupun dalam spesies inang yang sama. Sebagai contoh, sampel Pyricularia pada dua rumput Cyperus rotundus memiliki tipe RFLP rDNA dan mtDNA berbeda (Borromeo et al. 1993). Keragaman tersebut mungkin sebagai bentuk adaptasi pada inang atau mungkin juga dua spesies rumput yang sama diinfeksi oleh Pyricularia dari spesies rumput yang berbeda. Seperti dilaporkan oleh Kato et al. (2000) dan Mackill dan Bonman (1986), bahwa Pyricularia penginfeksi satu spesies rumput dapat menginfeksi silang lebih dari satu spesies inang lainnya. Pyricularia dari rumput dapat memiliki heterogenisitas lebih tinggi daripada Pyricularia dari padi, karena spesies-spesies rumput yang dapat menjadi inang alternatif Pyricularia berada sepanjang waktu di suatu area pertanaman padi, sehingga keberadaan variasi genotipe inang yang berupa rumput lebih besar daripada variasi genotipe padi. Sebaliknya, variasi genotipe (varietas) padi yang dapat menjadi inang Pyricularia lebih rendah dari rumput, dan varietas padi yang ditanam berubah-ubah pada musim tanam. Selain itu, isolat yang tidak berasal dari padi umumnya tidak patogen terhadap padi, ataupun hanya memberikan reaksi patogen lemah, yaitu hasil infeksinya tidak berkembang (Singh dan Singh 1988, Couch et al. 2005). Kemungkinan aliran genetik cendawan blas ke rumput lebih tinggi daripada ke padi. Heterogenisitas isolat-isolat pada satu bercak blas dari
96 rumput teramati dengan penanda SCAR (Cut1, PWL2, dan Erg2) yang terdiri atas dua macam fenotipe SCAR. Sebaliknya pada bercak blas dari inang padi, hanya tampak satu fenotipe penanda SCAR. Kemiripan ukuran hasil amplifikasi penanda SCAR dan mag pada Pyricularia asal rumput dan padi menunjukkan kedua penanda ini masih dipertahankan sejalan dengan terjadi proses spesiasi pada Pyricularia versi Couch dan Kohn (2002). Perjalanan spesiasi berupa perubahan yang sangat kecil, sehingga hanya dapat diamati melalui analisis molekuler. Pengenalan spesies melalui pendekatan molekuler kadang-kadang akan menghasilkan kontroversi atau menimbulkan semacam gairah seperti istilah "spesies" untuk mikologis (Balajee et al. 2009). Hal ini ditunjukkan pada hubungan filogenetik antara Pyricularia dari rumput D. ciliaris (d4) dan dari P. repens (pr10.a.S4) dengan Pyricularia dari padi (ok6 dan ou6.S4). Keempat isolat secara filogenetik berada dalam clade P. oryzae. Sedangkan Couch dan Kohn (2002) menempatkan bahwa Pyricularia dari Digitaria sebagai P. grisea. Perbedaan tersebut berdasarkan substitusi beberapa nukleotida pada lokus actin, ß-tubulin, dan calmodulin. Pada hasil penelitian ini juga terdapat perbedaan karakter molekuler pada d4, ok6, dan ou6.S4, yaitu pada fenotipe SCAR, AFLP, dan rep-Pot2 (Tabel 16). Tabel 16 Karakterisasi Pyricularia asal rumput (d4) dan padi (ok6 dan ou6.S4) Ragam karakter Inang Fenotipe SCAR (Cut1, PWL2, Erg2) Fenotipe AFLP Sekuen ITS1, 5.8S rDNA, dan ITS2 Fenotipe rep-Pot2
d4 D. ciliaris 101 Basal P1
Isolat ok6 ou.6.S4 padi padi 011 011 I tidak dianalisis Sama P2 tidak dianalisis
Perbedaan dapat muncul sebagai bentuk adaptasi ke inang pada waktu mengalami pergantian jenis inang. Pergantian genus inang d4 dapat menginduksi perubahan fenotipe yang dideteksi melalui SCAR, AFLP,
rep-Pot2, dan ras
fisiologi, serta sekuen ITS rDNA. Sebaliknya pergantian inang pada spesies sama menstabilkan perubahan tersebut. Teknik AFLP sangat sensitif menghasilkan profil fragmen DNA, dapat membedakan isolat klonal (isolat-isolat konidium tunggal yang diperoleh dari satu bercak). AFLP juga dapat membedakan berbagai
97 galur khamir (Zarzosoa et al. 2010). AFLP dinyatakan reproducible (Vos et al. 1995), mungkin tidak selalu benar karena Krauss dan Peakall (1998) atau Winfield et al. (1998) menemukan pola fragmen DNA berbeda ketika sampel dianalisis ulang. Metode yang dipakai pada waktu penyiapan genom dapat mempengaruhi pola fragmen DNA, misal terjadi pemotongan parsial akibat kualitas DNA tidak baik, atau konsentrasi enzim restriksi yang digunakan untuk memotong genom tidak mencukupi (Lin & Kuo 1995). Variasi isolat yang yang terdeteksi melalui AFLP pada penelitian ini mungkin juga berhubungan dengan pembelahan mitosis Pyricularia yang sering aneuploid, seperti pada dua strain Pyricularia patogen padi (Row et al. 1985). Kemungkinan lainnya minikromosom Pyricularia asal padi mengalami delesi dan duplikasi, minikromosomnya banyak mengandung elemen transposon (Chuma et al. 2003), ataupun gen telomer helikase I (TLH I) yang bersifat tidak stabil akibat subkultur berulangkali (Park et al. 2010). Kemungkinan inang rentan dapat memberikan peluang lebih besar pada perubahan genetik patogen yang sedang menginfeksinya. Peristiwa ini ditunjukkan pada d4 yang diinfeksikan ke padi Kencana bali ataupun P. repens. Begitu juga o173 yang digunakan sebagai pembanding, yaitu mengalami perubahan yang lebih besar pada waktu diinfeksikan ke varietas padi yang lebih rentan. Strain d~c1.2 (turunan d4 dari padi Cisokan) mengalami perubahan yang lebih tinggi ketika diinfeksikan ke Kencana bali daripada ke varietas yang sama. Cisokan merupakan padi dengan tingkatan moderat resisten terhadap penyakit blas jika merujuk pada tingkatan padi diferensial Indonesia. Kemungkinan perubahan beberapa basa yang terdeteksi melalui penanda molekuler tertentu merupakan akumulasi hasil adaptasi terhadap genotipe inang. Akumulasi perubahan akan menghasilkan keragaman genetik dalam populasi patogen, dan akhirnya dapat berdampak pada spesiasi, khususnya spesiasi pada mikroba. Menurut Hamer et al. (1989), seleksi inang untuk genotipe patogen yang spesifik terjadi selama pemuliaan dan budidaya padi. Perubahan nukleotida dapat juga akibat penataan kembali gen ataupun oleh jenis mutasi lain (substitusi, insersi, delesi, transversi, transisi). Kromosom IIIb Pyricularia asal padi merupakan lokasi rDNA yang mudah mengalami mutasi
98 kariotipik, dengan kecepatan 12.5% melalui pemanenan konidium. Mutasi ini berupa kehilangan 1 Mb, tidak berpengaruh pada fingerprint DNA, ras fisiologi, ataupun kemampuan kawinnya (Sone et al. 2000). Penyusunan ulang (rearragement) kromosom akibat transposon dilaporkan bersifat netral secara genetik, tetapi dapat menghasilkan kombinasi penting untuk beradaptasi terhadap lingkungan baru. Perubahan ini mempunyai potensi berpengaruh pada banyak aspek dari evolusi genom cendawan dan memberikan fleksibilitas terhadap populasi untuk beradaptasi ke lingkungan baru (Favaro et al. 2005). Penyebab lainnya pada perubahan sekuen nukleotida adalah pembentukan heterokarion. Pada bercak blas padi yang diperoleh dari alam, terjadi anastomosis secara alami di bagian epidermis bawah daun dan di dalam jaringan pembuluh daun yang terdapat bercak tahap awal (Chen & Wu 1977). Singh et al. (1983) melaporkan bahwa ditemukan sifat cendawan blas padi yang tidak stabil, anastomosis hifa terjadi dalam kultur tersebut, dapat ditemukan sel hifa binukleat, nukleolus besar yang menunjukkan kemungkinan terjadi paraseksual, tetapi pengamatan sitologi tidak menemukan kejadian fusi nukleus, sehingga menghasilkan heterodiploid. Heterokariosis pada Pyricularia asal padi terjadi pada satu strain yang sama, tidak antara strain yang berbeda, dan heterokariosis diperlukan untuk membentuk prototrof (Genovesi & Magill 1976). Sebaliknya, menurut Fatemi dan Nelson (1977), heterokariosis dapat terjadi pada intra isolat, ataupun inter isolat, meskipun tidak semua pasangan intra isolat maupun inter isolat membentuk heterokarion (Fatemi & Nelson 1978). Heterokariosis merupakan mekanisme untuk menghasilkan variasi dan adaptasi (Tinline & MacNeill 1969). Kejadian diploid heterozigot pada sel somatik cendawan filamen hampir merupakan peristiwa genetik yang eksklusif. Semua cendawan berfilamen yang diteliti oleh Glass dan Kuldau (1992) memiliki sistem regulasi membentuk heterokarion. Pada kultur cendawan blas rumput maupun padi juga ditemukan kejadian aneuploid pada waktu mitosis, keragaman yang ditimbulkannya mungkin memberikan dampak terhadap variasi patogenisitasnya (Row et al. 1985). Data fingerprinting dan genetik molekuler, menunjukkan Pyricularia mempunyai kemampuan dasar untuk patogen pada inang pada kisaran lebar
99 terhadap kultivar padi ataupun rumput. Namun kemampuannya tersebut terutama dibatasi oleh spesifitas gen-gen inang. Jika terjadi mutasi pada gen kemampuan dasar untuk patogen
inang, maka kemungkinan dapat terjadi peningkatan
patogenisitasnya (Leong et al. 1994). Mikroevolusi ras pada cendawan patogen dihipotesiskan terjadi dalam model yang bertahap, yaitu klon mengalami mutasi tingkat virulen yang berakumulasi secara berturut-turut, sehingga menghasilkan ras yang mampu menanggulangi beberapa gen resisten pada tanaman inang, atau beberapa kultivar resisten (Jimenez-Gasco et al. 2004). Istilah mikroevolusi sering digunakan sebagai proses spesiasi atau sebuah populasi mengalami perubahan seiring dengan waktu. Proses yang menghasilkan mikroevolusi adalah mutasi, hanyutan genetik (genetic drift), seleksi alam, dan aliran gen. Mutasi merupakan sumber utama variasi genetik pada mikrob, seperti pada cendawan yang somatiknya adalah haploid (Moore-Landecker 1996). Sebelum genetika molekuler berkembang, mutasi diidentifikasi melalui efek pada fenotipe. Sampai saat ini, mutasi DNA yang paling kecil adalah sebuah perubahan sekuen DNA yang dikenal sebagai mutasi titik. Mutasi titik yang berupa satu nukleotida diakibatkan oleh substitusi, delesi, atau insersi (Hufbauer & Roderick 2005). Hirata et al. (20007) mengasumsikan bahwa spesies Pyricularia melalui proses spesiasi yang terus menerus. Menurut Taylor et al. (2000), perbedaan antara spesies dapat ditinjau secara teori (species concept) dan operasional (species recognition). Konsep spesies yang diterapkan pada kelompok Pyricularia berubah-ubah dengan semakin berkembangnya metode molekuler. Pada awalnya, konsep spesies yang dipakai untuk mengenali cendawan adalah berdasarkan morfologi (Giraud et al. 2000). Oleh karena itu pada awalnya para peneliti menyebut cendawan blas sebagai P. grisea, bersinonim dengan P. oyzae dan M. grisea sebagai teleomorfnya. Keduanya mempunyai morfologi serupa. Namun analisis filogenetik cendawan pada konsep spesies evolusi berdasarkan karakter nukleotida dianggap lebih konsisten. Oleh karena itu pengenalan spesies secara filogenetik (phylogenetic species recognition=PSR) melalui silsilah lebih sesuai untuk cendawan, dan sepertinya banyak digunakan oleh para mikologis. PSR ini biasanya didekati melalui analisis variasi gen tunggal. Kriteria spesies ini telah
100 diperluas dengan pendekatan multilokus yang tidak bertautan, dikenal sebagai genealogical concordance phylogenetic species recognition (GCPSR, Taylor et al. 2000). Penggunaan satu lokus seringkali belum menghasilkan batasan spesies yang tegas. Oleh karena itu, penentuan spesies berdasarkan GCPSR menggunakan beberapa lokus yang tegas, maka keragaman sekuen dalam spesies diketahui. Berdasarkan pengetahuan ini, perbandingan analisis sekuen dari lokus tunggal dapat digunakan untuk identifikasi spesies secara cepat. Jalan pintas penggunaan skor keidentikan pada keragaman genetik di dalam dan di antara sibling spesies dapat dibuktikan (Summerbel et al. 2005). Mikroevolusi tidak terdeteksi pada pergantian inang Pyricularia pada spesies sama yang diamati melalui penanda SCAR, sekuen ITS-rDNA, rep-Pot2 (Gambar 26). Park et al. (2010) melaporkan bahwa tidak tampak perbedaan pola fingerprint DNA berbagai jenis elemen transposon, yaitu Pot2, MGR586, MAGGY, LINE, dan Mg-SINE pada cendawan blas dari padi yang diinfeksikan berulang-ulang pada inang padi. Selain itu juga dilaporkan bahwa subkultur pada medium buatan yang berulang kali tidak menghasilkan perbedaan, bersifat stabil. Pyricularia oryzae dikenal sebagai patogen pada bagian aerial tanaman. Dufresne dan Osbourn (2001) melaporkan P. oryzae memiliki kemampuan untuk menginfeksi akar dan dapat mengkolonisasi sampai bagian pucuk tanaman. Inokulasi P. oryzae pada akar tanaman serealia dapat menyebabkan bercak di bagian aerial, dan pada permukaan akar dihasilkan mikrosklerotia yang berupa struktur bulat coklat (Sesma & Osbourn 2004). Kemampuan P. oryzae dapat menginfeksi akar mungkin juga merupakan bagian dari mikroevolusinya, sehingga P. oryzae dapat dikelompokkan sebagai patogen tular tanah. Peristiwa mikroevolusi P. oryzae juga dilaporkan oleh Andriantsimialona dan Tharreau (2008), yaitu genotipe dan patotipe pada struktur populasi M. grisea
di
Madagaskar mengalami perubahan dari agrosistem irigasi menjadi agrosistem tanah kering (upland). Contoh lainnya seperti kemunculan keragaman genetik P. oryzae yang dilaporkan oleh Namai dan Iwade (2002); Namai (2011); AvilaAdame dan Koller (2003); Zhou et al. (2007) ataupun variasi sifat patogenisitasnya (Ou 1980, Prabhu et al. 2002).
I P2 tk
III P2 tk P2 023
+ + stabil I P2 373
+ +
P. grisea d4 sebagai inokulum dan penandanya Cut1 :+ PWL2 :Erg2 : + Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA: P. oryzae asal padi di GeneBank Pola AFLP : basal Pola rep-PCR Pot2: P1 (awal) Ras fisiologi : 000
transisi pirimidina 1 nukleotida pada ITS1 dan 1 nukleotida pada ITS2 II P3 000 Panicum repens
+ +
III P2 000
+ + stabil
tahap ke-1 Kencana bali d~k4.3
III P2 tk
+ + stabil
III P2 tk
+ + stabil
tahap ke-2 Kencana bali Cisokan d~k~k2.3 d~k~c2.1
Gambar 26 Mikroevolusi Pyricularia d4 asal D. ciliaris pada pergantian inang ke padi dan rumput P. repens berdasarkan penanda AFLP, SCAR, rep-Pot2, dan ras fisiologi, serta sekuen ITS beserta 5.8S rDNA.
tk: tidak dikarakterisasi
+ + stabil
+ + stabil
tahap ke-2 tahap ke-1 Kencana bali Cisokan Cisokan d~c~k1.8 d~c~c2.4 d~c1.3 d~c1.2
Cut1 PWL2 Erg2 Sekuen ITS1, ITS2, dan 5.8S rDNA Pola AFLP Pola rep Pot2 Ras fisiologi
101
102
103 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penanda SCAR (Cut1, PWL2, dan Erg2), magB dan magC untuk Pyricularia yang diperoleh dari rumput Cynodon dactylon, Eleusine indica, Digitaria ciliaris, dan Panicum repens memiliki ukuran serupa seperti yang dimiliki oleh Pyricularia dari padi, yaitu ± 1700 pb (Cut1), 900 pb (PWL2), dan 1400 pb (Erg2), 1330 pb (magB) dan 1550 bp (magC). Sedangkan frekuensi penanda SCARnya adalah 78.1% (Cut1), 54.8% (PWL2), dan 95.1% (Erg2). Semua Pyricularia dari rumput memiliki magB (100%), dan 97.6% memiliki magC. Selain itu penanda SCAR pada 41 sampel Pyricularia dari empat spesies rumput yang diamati menghasilkan fenotipe A (011) sebesar 19.5%, B (101 41.5%, C (111) 31.7%, D (001) 2.5%, dan E (010) 4.9%. Pergantian inang Pyricularia d4 yang berasal dari rumput D. ciliaris ke padi menghasilkan perubahan fenotipe Cut1, PWL2, AFLP, rep-Pot2, dan ras fisiologinya, tetapi tidak mengalami perubahan sekuen ITS. Sebaliknya
d4
berganti inang ke rumput lain (P. repens) mengalami perubahan fenotipe AFLP, rep-Pot2, dan mutasi transisi 2 nukleotida ITS, tetapi tidak merubah fenotipe Cut1 dan PWL2, serta ras fisiologinya. Turunan d4 yang diperoleh dari inang padi tidak mengalami perubahan fenotipe SCAR, AFLP, rep-Pot2, dan sekuen ITS setelah berganti inang pada varietas padi yang sama. Sebaliknya, turunan d4 yang diperoleh dari padi var. Cisokan mengalami perubahan fenotipe AFLP yang lebih besar ketika berganti inang ke padi var. Kencana bali. Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA pada Pyricularia d4 dari rumput D. ciliaris memiliki kesamaan dengan Pyricularia ok6 maupun ou6.S4 dari padi (Jasinga Bogor dan Sukabumi). Sebaliknya pr10.a.S4 dari P. repens dan o173 (pembanding) masing-masing sekuennya berbeda enam nukleotida pada hulu 26S rDNA dan satu nukleotida pada 5.8S rDNA terhadap d4, ok6, atau ou6.S4. Berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA, Pyricularia asal rumput dan padi menunjukkan hasil filogeni yang dekat, tidak memisah, berada pada satu clade dengan Pyricularia oryzae, sehingga berdasarkan azas prioritas maka dapat disebut sebagai Pyricularia grisea.
104 Saran Kualitas sampel DNA yang akan dianalisis melalui AFLP sebaiknya memiliki kualitas tinggi (tingkat kemurnian >1.9, dan tidak banyak yang terdegradasi, DNA banyak dalam keadaan utuh)
sehingga dapat mengurangi
kegagalan pemotongan enzim restriksi dan amplifikasi yang akan berdampak pada jumlah fragmen DNA pada hasil AFLP. Analisis pergantian inang Pyricularia dari beberapa rumput lainnya perlu dilanjutkan untuk mengetahui peran genotipe inang dalam menghasilkan keragaman genetik patogen. Sampel dari daerah endemik blas diharapkan akan mewakili berbagai spesies rumput yang dapat menjadi inang alternatif Pyricularia.
105 DAFTAR PUSTAKA
Amir, Nasution. 1993. Status dan pengendalian blas di Indonesia. Di dalam: Syam M, Hermanto, Arif M, Sunihardi, editor. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III; Bogor, 23-25 Agu 1993. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian; 1995. hlm 583592. Andriantsimialona RD, Tharreau D. 2008. Evolution of Magnaporthe grisea populations and adaptation to upland rice in the Vakinankaratra region of Madagascar. Di dalam: ENDURE International Conference: Diversifying crop protection; La Grande-Motte, 12-15 Okt 2008. Avila-Adame C, Koller W. 2003. Characterization of spontaneous mutants of Magnaporthe grisea. Curr Genet 42:332–338. Avise JC. 1994. Molecular Markers, Natural History and Evolution. New York: Chapman & Hall Inc. Babujee L, Gnanamanickam SS. 2000. Molecular tools for characterization of rice blast pathogen (Maganaporthe grisea) population and molecular markerassisted breeding for disease resistance. Curr Sci India 3:248-257. Balajee SA, Borman AM, Brandt ME, Cano J, Estrella MC, Dannaoui E, Guarro J, Haase G, Kibbler CC, Meyer W, O’Donnell K, Petti CA, RodriguezTudela JL, Sutton D, Velegraki A, Wickes BL. 2009. Sequence-based identification of Aspergillus, Fusarium, and Mucorales species in the Clinical Mycology Laboratory: Where are We and where should we go from here. J Clin Microbiol 47:877-884. Borromeo ES, Nelson RJ, Bonman JM, Leung H. 1993. Genetic differentiation among isolates of Pyricularia infecting rice and weed host. Phytopathology 83:393-399. Burdon JJ, Silk J. 1997. Sources and patterns of diversity in plant-pathogenic fungi. Phytopathology 87:664-669. Bustaman M, Mahrup. 2004. Penyimpanan Cendawan Blas Pyricularia grisea untuk Jangka Panjang. Bogor: Balai Besar dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Capossela A, Silander JA, Jansen RK, Bergen B, Talbot DR. 1992. Nuclear Ribosomal DNA variation among ramets and genets of white clover. Evolution 46:1240-1247. Chao CT, Ellingboe AH. 1997. Genetic analysis of avirulence/virulence of on isolate of Magnaporthe grisea from a rice field in Texas. Phytopathology 87:71-76. Chen JT, Wu HK. 1977. Hyphal anastomosis in Pyricularia oryzae Cav. Protoplasma 92:281-287.
106
Chen YC, Eisner JD, Kattar MM, Rassoulian-Barrett SL, Lafe K, Bui U, Limaye AP, Cookson BD. 2001. Polymorphic internal transcribed spacer region 1 DNA sequences identify medically important yeasts. J Clinic Microbiol 39:4042–4051. Chuma I, Tosa Y, Taga M, Nakayashiki, Mayama S. 2003. Meiotic behavior of a supernumerary chromosome in Magnaporthe oryzae. Curr Genet 43:191198. Couch BC, Fudal I, Lebrun MH, Tharreau D, Valent B, van Kim P, Notteghem JL, Kohn LM. 2005. Origins of host-specific populations of the blast pathogen Magnaporthe oryzae in crop domestication with subsequent expansion of pandemic clones on rice and weeds of rice. Genetics 170:613-630. Couch BC, Kohn LM. 2002. A multilocus gene genealogy concordant with host preference indicates segregation of a new species, Magnaporthe oryzae, from M. grisea. Mycologia 94:683–693. Crawford MS, Chumley FG, Weaver CG, Valent B. 1986. Characterization of the heterokaryotic and vegetative diploid phases of Magnaporthe grisea. Genetics 114:1111-1129. Crow JF, Kimura M. 1970. An Introduction to Population Genetics Theory. New York: Harper & Row. [DBPT Deptan] Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Departemen Pertanian. 1992. Penyakit Padi [Laporan Akhir]. Jakarta: Kerjasama Teknis Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162), BPT Deptan. Dean et al. 2005.The genome sequence of the rice blast fungus Magnaporthe grisea. Nature 434:980-986. Dean RA. 1997. Signal pathways and appresorium morphogenesis. Annu Rev Phytopathol 35:211-234. [Deptan] Departemen Pertanian, Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2009. Seri Data Agribisnis: Statistik Organisme Pengganggu Tanaman dan Bencana Alam. Jakarta: Deptan. [DTPH] Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2000. Perkembangan Serangan OPT Padi Selama 5 tahun (1994-1998). Jakarta: Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Dufresne M, Osbourn AE. 2001. Definition of tissue-specific and general requirements for plant infection in a phytopathogenic fungus. Mol Plant Microbe Interact 14:300-3007. Ebbole DJ. 2007. Magnaporthe as a model for understanding host-pathogen interactions. Annu Rev Phytopathol 45:437-456.
107
Eto Y, Ikeda K, Chuma I, Kataoka T, Kuroda S, Kikuchi N, Don LD, Kusaba M, Nakayashiki H, Tosa Y, Mayama S. 2001. Comparative analyses of the distribution of various transposable elements in Pyricularia and their activity during and after the sexual cycle. Mol Gen Genet 264:565-577. Fang EGC, Dean RA. 2000. Site-directed mutagenesis of the magB gene affects growth and development in Magnaporthe grisea. Mol Plant Microbe Interact 13:1214-1227. Fatemi J, Nelson RR. 1977. Intra-Isolate Heterokaryosis in Pyricularia oryzae. Phytopathology 67:1523-1525. Fatemi J, Nelson RR. 1978. Inter-Isolate Heterokaryosis in Pyricularia oryzae. Phytopathology 68:1791-1794. Favaro LC de L, Araujo WL de, Azevedo JL de, Paccola-Meirelles LD. 2005. The biology and potential for genetic research of transposable elements in filamentous fungi. Gen Mol Biol 28:804-813. Fernandez D, Ouinten M, Tantaoui A, Geiger JP. 1997. Molecular records of micro-evolution within the Algerian population of Fusarium oxysporum f. sp. albedinis during its spread to new oases. Eur J Plan Pathol 103:485-490. Filippi MC, Prabh AS, de Araujo LG, Faria JC de. 2002. Genetic diversity and virulence pattern in field populations of Pyricularia grisea from rice cultivar Metica-1. Pesqui Agropecu Bras 37:1681-1688. [FRACT] Fungicide Resistance Action Committee. 2008. List of plant pathogenic organisms resistant to disease control agents. [terhubung berkala]. http://www.frac.info. [31 Okt 2011]. Gee SF, Joly S, Soll DR, Meis JFGM, Verweij PE, Polacheck I, Sullivan DJ, Coleman DC. 2002. Identification of four distinct genotypes of Candida dubliniensis and detection of microevolution in vitro and in vivo. J Clin Microbiol 40:556–574. Genovesi AD, Magill CW. 1976. Heterokaryosis and parasexuality in Pyricularia oryzae Cavara. Can J Microbiol 22:531-536. George MLC, Nelson RJ, Zeigler RS, Leung H. 1998. Rapid population analysis of Magnaporthe grisea by using rep-PCR and endogenous repetitive DNA sequence. Phytophatology 88:223-228. Giraud T, Gladieux P, Gavrilets S. 2010. Linking the emergence of fungal plant diseases with ecological speciation. Trends Ecol Evol 25:387-395. Glass NL, Kuldau GA. 1992. Mating type and vegetative incompatibility in filamentous Ascomycetes. Annu Rev Phytopathol 30:201-224. Graser Y, Fari M El, Vilgalys R, Kuijipers AFA, de Hoog GS, Presber W, Tietz HJ. 1999. Phylogeny and taxonomy of the family Arthrodermataceae (Dermatophytes) using sequence analysis of the ribosomal ITS region. Med Mycol 37:105-114.
108
Guarro J, Gene J, Stchigel AM. 1999. Developments in fungal taxonomy. Clin Microbiol Rev 12:454-500. Hamer JE, Farrall L, Orbach MJ, Vallent B, Chumley FG. 1989. Host speciesspecific conservation of a family of repeated DNA sequences in the genome of a fungal plant pathogen. Proc Natl Acad Sci USA 86:99819985. Hayashi N, Li CY, Li JL. 1997. In vitro production on rice plants of perithecia of Magnaporthe grisea from Yunnan, China. Mycol Res 101:1308-1310. Hebert TT. 1971. The perfect stage of Pyricularia. Phytopathology 61:83-87. Higgs PG, Attwood TK. 2005. Bioinformatics and Molecular Evolution. Malden: Blackwell Science. Hillis DM, Dixon MT. 1991. Ribosomal DNA: molecular evolution and phylogenetic inference. Q Rev Biol 66:411-453. Hinrikson HP, Hurst SF, Aguirre L de, Morrison CJ. 2005. Molecular methods for the identification of Aspergillus species. Med Mycol Supl 43:S129-S137. Hirata K, Kusaba M, Chuma I, Osue J, Nakayashiki H, Mayama S, Tosa Y. 2007. Speciation in Pyricularia inferred from multilocus phylogenetic analysis. Mycol Res 111: 799–808. Hufbauer RA, Roderick GK. 2005. Microevolution in biological control: mechanisms, patterns, and processes. Biol Control 35:227–239. Ikeda KI, Nakayashiki H, Kataoka T, Tamba H, Hashimoto Y, Tosa Y, Mayama S. 2002. Repeat-induced point mutation (RIP) in Magnaporthe grisea: Implication on its sexual cycle in the natural field context. Mol Microbiol 45:1355–1364. [IRRI] International Rice Research Institute. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Ed ke-4. Manila: IRRI, hlm 52. Jimenez-Gasco MM de, Milgroom MG, Jimenez-Diaz R. 2004. Stepwise evolution od races in Fusarium oxysporum f.sp. ciceris inferred from fingerprinting with repetitive DNA sequence. Phytopathology 94:228235. Kang S, Lebrun MH, Farrall L, Valent B. 2001. Gain of virulence caused by insertion of a Pot3 transposon in a Magnaporthe grisea avirulence gene. Mol Plant Microbe Interact 14:671-674. Kato H, Yamamoto M, Yamaguchi-Ozaki T, Kadouchi H, Iwamoto Y, Nakayashiki H, Tosa Y, Mayama S, Mori N. 2000. Pathogenicity, mating ability and DNA restriction fragment length polymorphisms of Pyicularia population isolated from Gramineae, Bambusideae, and Zingiberaceae plants. J Gen Plant Pathol 66:30-47.
109
Keon JP, CS James, S. Court. 1994. Isolation of Erg2 gene, encoding sterol Δ8 → Δ7 isomerase, from the rice blast fungus Magnaporthe grisea and its expression in the maize smut pathogen Ustilago maydis. Cur Genet 25:531-537. Khang CH, Zhou SY, Lee YH, Valent B, Kang S. 2008. Genome organization and evolution of the AVR-Pita avirulence gene family in the Magnaporthe grisea species complex. Mol Plant Microbe Interact 21:658-670. King RC, Stansfield WD. 1990. A Dictionary of Genetics. Ed ke-4. New York: Oxford University Pr. Kito H, Sato J, Takahashi Y, Fukiya S, Sone T, Tomita F. 2002. Occan, a new transposon-like sequence in Magnaporthe grisea [abstrak]. Di dalam: Abstracts 3rd International Rice Blast Conference; Ibaraki, 11-14 Sept 2002. Japan: Tsukuba International Congress Center-Epochal TsukubaTsukuba Science City. Abstr no 29. hlm 15. Koonin EV, Wolf YI. 2010. Constraints, plasticity, and universal patterns in genome and phenome evolution. Di dalam: Pontarotti P, editor. Evolutionary Biology–Concepts, Molecular and Morphological Evolution. Berlin: Springer-Verlag. hlm 19-48. Koopman WJM. 2005. Phylogenetic signal in AFLP data sets. Syst Biol 54:197217. Korabecná M, Liska V, Fajfrlík K. 2003. Primers ITS1, ITS2 and ITS4 detect the intraspecies variability in the internal transcribed spacers and 5.8S rRNA gene region in clinical isolates of fungi. Folia Microbiol (Praha) 48:233238. Kosman E, Leonard KJ. 2005. Similarity coefficients for molecular marker in studies of genetic relationship between individuals for haploid, diploid, and polyploid species. Mol Ecol 14:415-424. Krauss SL, Peakall R. 1998. An evaluation of the AFLP fingerprinting technique for the analysis of paternity in natural populations of Persoonia mollis (Proteaceae). Aust J Bot 46:533-546. Kumar J, Nelson RJ, Zeigler RS. 1999. Population structure and dynamics of Magnaporthe grisea in the Indian Himalayas. Genetics 152:971–984. Kurnianingsih R. 2008. Ekspresi gen PR1 dan PBZ1 yang terlihat dalam sistem toleransi tanaman padi indica terhadap penyakit blas (isolat 173). [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kusaba M, Eto Y, Don Le D, Nishimoto N, Tosa Y, Nakayashiki H, Mayama S. 1999. Genetic diversity in Pyricularia isolates from various hosts revealed by polymorphisms of nuclear ribosomal DNA and the distribution of MAGGY retrotransposon. Ann Phytopathol Soc 65:588596.
110
Lee YH. 2002. Pathogenomics approaches in rice- Magnaporthe grisea interactions [abstrak]. Di dalam: Abstracts 3rd International Rice Blast Conference; Ibaraki, 11-14 Sep 2002. Japan: Tsukuba International Congress Center-Epochal Tsukuba-Tsukuba Science City. Abstr no 4. hlm 3. Leong SA, Farman M, Smith J, Budde A, Tosa Y, Nitta N. 1994. Molecular genetic approach to the study of cultivar specificity in the rice blast fungus. Di dalam Zeigler RS, Leong SA, Teng PS, editor. Rice Blast Disease. Manila: CAB Int, IRRI. hlm 87-110. Levy M, Romao J, Marchetti MA, Hamer JE. 1991. DNA fingerprinting with a dispersed repeated sequence resolves pathotype diversity in the rice blast fungus. Plant Cell 3:95-102. Lin JJ, Kuo J. 1995. AFLP, a novel PCR-based assay for plant and bacterial DNA fingerprinting. Focus 17:66-70. Liu S, Dean RA. 1997. G protein a subunit genes control growth, development, and pathogenicity of Magnaporthe grisea. Mol Plant Microbe Interact 10:1075-1086. Lockhart SR, Fritch JJ, Meier AS, Schroppel K, Srikantha T, Galask R, Soll DR. 1995. Colonizing populations of Candida albicans are clonal in origin but undergo microevolution through C1 fragment reorganization as demonstrated by DNA fingerprinting and C1 sequencing. J Clin Microbiol 33:1501–1509. Mackill AO, Bonman JM. 1986. New hosts of Pyricularia oryzae. Plant Dis 70:125-127. Mettler LE, Gregg TG, Schaffer HE. 1988. Population Genetics and Evolution. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hill Englewood Cliffs. Mills D, McCluskey K. 1990. Electrophoretic karyotypes of fungi: the new cytology. Mol Plant Microb Interact 3:351-357. Mogi, Shizuo, Zaenuddin S, Wibowo BS, Ros E, Irwan C. 1991. Establishment of the Differential Variety Series for Pathogenic Race Identification of Rrice Blast Fungus and the Distribution of Race Based on the New Differentials in Indonesia. Jatisari: Rice Disease Study Group, Deptan. Moore-Landecker E. 1996. Fundamentals of the Fungi. Ed ke-4. New Jersey: Prentice Hall. Morschhäuser J, Köhler G, Ziebuhr W, Blum–Oehler G, Dobrindt U, Hacker J. 2000. Evolution of microbial pathogens. Trans R Soc Lond 355:695-704. Motallebi P, Javan-Nikkhah M, Okhovvat M, Fotouhifar KB, Mosahebi GH. 2009a. Differentiation of Magnaporthe species complex by rep-PCR genomic fingerprinting [abstrak]. Commun Agric Appl Biol Sci 74:821-9.
111
Multani DS, Meeley RB, Paterson AH, Gray J, Briggs SP, Johal GS. 1998. Plant– pathogen microevolution: Molecular basis for the origin of a fungal disease in maize. Proc Natl Acad Sci USA 95:1686–1691. Namai T. 2011. Race differentiation of the rice blast fungus, Pyricularia oryzae, and environmentally friendly control of rice blast disease. J General Plant Pathol: doi: 10.1007/s10327-011-0328-8. Namai T, Iwade Y. 2002. Rice blast fungus induced its pathogenic variation and its gene diversity during proliferation on the resistant rice cultivars [abstrak]. Di dalam: Abstracts 3rd International Rice Blast Conference; Ibaraki, 11-14. Sep 2002. Japan: Tsukuba International Congress CenterEpochal Tsukuba-Tsukuba Science City. Abstr no 28. hlm 15. Nutsugah SK, Twumasi JK, Chipili J, Sere Y, Sreenivasaprasad S. 2008. Diversity of the rice blast pathogen population in Ghana and strategies for resistance management. Plant Pathol J 7:1. Ono E, Wong HL, Kawasaki T, Hasegawa M, Kodama O, Shimamoto Ko. 2001. Essential role of small GTPase rac in disease. Annu Rev Phytopatol 18:167-187. Orbach MJ, Chumley FG, Valent B. 1996. Electrophoretic karyotypes of Magnaporthe grisea pathogens of diverse grasses. Mol Plant Microbe Interact 9:261-271. Ou SH. 1980. Pathogen variability and host resistance in rice blast disease. Ann Rev Phytopathol 18:167-187. Ou SH. 1985. Rice Diseases. Ed ke-2. Manila: CAB. Pandia IM. 2008. Uji pergantian antar spesies inang Pyricularia grisea asal rumput Digitaria ciliaris. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Park SY, Chi MH, Milgroom MG, Kim H, Han SS, Kang S, Lee YH. 2010. Genetic stability of Magnaporthe oryzae during successive passages through rice plants and on artificial medium. Plant Pathol J 26:313-320. Parthasarathy N, Ou SH. 1963. Opening address: International approach to the problem of blast. Di dalam: The Rice Blast Disease. Proceedings of a Symposium at the International Rice Research Institute; Manila, Jul 1963. Maryland: The Johns Hopkins Pr. hlm 1-5. Prabhu AS, Araujo LG, Silva GB, Trindade MG. 2007. Virulence and rep-PCR analysis of Pyricularia grisea isolates from two Brazilian upland rice cultivars. Fitopatol Bras 32:013-020. Prabhu AS, Filippi MC, Araujo LG, Faria JS. 2002. Genetic and phenotypic characterization od isolates of Pyricularia grisea from the rice cultivars epagri 108 and 109 in the state of Tocantins. Fitopatol Bras 27:566-573. Purwoko SP. 2005. Perakitan padi gogo toleran alumunium haploid ganda hasil kultur antera. Laporan Penelitian Riset Unggulan IPB [terhubung berkala]. http://lppm.ipb.ac.id [29 Jun 2010].
112
Raeder U, Broda P. 1985. Rapid preparation of DNA from filamentous fungi. Lett Appl Microbiol 1:17-20. Rao NA, Manibhushanrao K, Suryanarayanan S. 1972. Sporulation of Pyricularia spp. in culture effect of some aromatic compounds. Proc Plant Sciences 75:105-110. Rathour R, Sharma R, Sharma V. 2006. Genetic differentiation of rice and nonrice populations of Magnaporthe grisea from North-Western Himalayas using native protein and isozyme polymorphisms. Phytopathology 154:641 – 647. Reflinur, Bustamam M, Widyastuti U, Aswidinnoor H. 2005. Keragaman genetik cendawan Pyricularia oryzae berdasarkan primer spesifik gen virulensi J Biotek Pert. 10:55-60. Robinson JP, Harris SA. 1999. Amplified fragment length polymorphisms and microsatellites: a phylogenetic perspective. Di dalam: Gilled EM, editor. Chapter 12 in: Which DNA Marker for Which Purpose? Compendium of the Research Project Development, optimisation and validation of molecular tools for assessment of biodiversity in forest trees in the European Union DGXII Biotechnology FW IV Research Programme Molecular Tools for Biodiversity. European Union. [terhubung berkala] http://webdoc.sub.gwdg.de/ebook/y/1999/whichmarker/index.htm. Rohlf FJ. 1998. NTSYSpc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis system version 2.0. User Guide. New York: Applied Biostatistic. Rossman AY, Howard RJ, Valent B. 1990. Pyricularia grisea, the correct name for the rice blast disease fungus. Mycologia 82:509. Rossman AY, Samuel GJ. 2005. Towards a single scientific name for species of fungi. Inoculum 56(3):5-6. Row KVSRK, Aist JR, Cril JP. 1985. Mitosis in the rice blast fungus and its possible implications for pathogenic variability. Can J Bot 63:11291134. Rusli I. 1987. Beberapa faktor yang berpeluang pada perkembangan penyakit blas di Sitiung. Di dalam: Machmud M, Jumanto H, editor. Gatra Penelitian Penyakit dalam Pengendalian Secara Terpadu. Risalah Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia; Jakarta, 29-31 Okt 1985. Jakarta: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 59-62. Sesma A, Osbourn AE. 2004. The rice leaf blast pathogen undergoes developmental processes typical of root-infecting fungi. Nature 431:582586. Sirithunya P, Sreewongchai T, Sriprakhon S, Toojinda T, Pimpisithavorn S, Kosawang C, Smitamana P. 2008. Assessment of genetic diversity in Thai isolates of Pyricularia grisea by random amplification of polymorphic DNA. J Phytopathol 156:196-204.
113
Silue D, Notteghem D. 1990. Production of perithecia of Magnaporthe grisea on rice plants. Mycol Res 94:1151-1152. Silue D, Notteghem JL, Tharreau D. 1992. Evidence of a gene-for-gene relationship in the Oryza sativa-Magnaporthe grisea pathosystem. Phytopathology 82:577-80. Singh NI, Singh KU. 1988. Unrecorded weed host for Pyricularia oryzae Cav. in India. Int Rice Res Newslet 13:31-32. Singh RA, Row KVSRK, Nuque FL, Crill JP. 1983. Morphological and cytologic studies of two isolates of Pyricularia oryzae in relation to their pathogenic variability on rice. Disease 67:603-605. Skamnioti P, Gurr SJ. 2007. Magnaporthe grisea cutinase2 mediates appressorium diffferentation and host penetration and is required for full virulance. Plant Cell 19:2674-2689. Sobrizal, Bustamam M, Carkum, Warsun A, Human S, Fukuta Y. 2010. Identification of major quantitative trait locus conferring rice blast resistance using recombinant inbred lines. Indones J Agric Sci 11:1-10. Sone T, Fukiya S, Kodama M, Tomita F. 2000. Molecular structure of rDNA repeat unit in Magnaporthe grisea. Biosci Biotechnol Biochem 65:17331736. Soubabere Q, Jorge V, Notteghem JL, Lebrun MH, Tharreau D. 2001. Sequence characterized amplified region marker for the rice blast fungus, Magnaphorthe grisea. Mol Ecol Notes 1:19-21. Soubabere Q, Tharreau D, Dioh W, Lebrun MH, Notteghem JL. 2000. Comparative continental variation in the rice blast fungus using sequence characterized amplified region marker. Di dalam: Tharreau et al, editor. Advances in Rice Blast Research. Netherlands: Kluwer Academic Pub. hlm 209-213. Summerbell RC, Levesque CA, Seifert KA, Bovers M, Fell JW, Diaz MR, Boekhout T, de Hoog GS, Stalpers J, Crous PW. 2005. Microcoding: the second step in DNA barcoding. Phil Trans R Soc B 360:1897-1903. Sweigard JA, Carrol AM, Kang S, Farrall L, Chumley FG, Valent B. 1995. Identification, cloning, and characterization of pwl2, a gene for host species-specificity in the rice blast fungus. Plant Cell 7:1221-1233. Sweigard JA, Chumley FG, Valent B. 1992a. Cloning and analysis of cut1, a cutinase gene from Magnaporthe grisea. Mol Gen Genet 232:174-182. Sweigard JA, Chumley FG, Valent B. 1992b. Disrupttion of a Magnaporthe grisea cutinase gene. Mol Gen Genet 232:183-190. Swofford DL. 2002. PAUP* Phylogenetic Analysis Using Parsimony (*and Other Methods) Version 4. Massachusetts: Sinauer Assoc.
114
Talbot NJ, Salch YP, Ma M, Hamer JE. 1993. Karyotypic variation within clonal lineages of the rice blast fungus, Magnaporthe grisea. Appl Environ Microbiol 59:585-593. Tanabe S. Okada M, Jikumaru Y, Yamane H, Kaku H, Shibuya N, Minami E. 2006. Induction of resistance against rice blast fungus in rice plants treated with a poten elicitor, N-Acetylchitooligosaccharide. Biosci Biotechnol Biochem 70:1599-1605. Taylor JW, Jacobson DJ, Kroken S, Kasuga T, Geiser DM, Hibbett DS, Fiher MC. 2000. Phylogenetic species recognition and species concepts in fungi. Fungal Genet Biol 31:21–32. Thuan NTN, Bigirimana J, Roumen Ed, Straeten DVD, Höfte M. 2000. Molecular and Pathotype Analysis of the Rice Blast Fungus in North Vietnam. Eur J Plant Pathol 114: 381-396. . Tinline RD, MacNeill BH. 1969. Parasexuality in plant pathogenic fungi. Annu Rev Phytopathology 7:147-168. Tredway LP, Stevenson KL, Burpee LL. 2005. Genetic structure of Magnaporthe grisea populations associated with St. Augustinegrass and Tall Fescue in Georgia. Phytopathology 95:463-471. Tsurushima T, Don LH, Kawashima K, Murakami J, Nakayashiki H, Tosa Y, Mayama S. 2005. Pyrichalasin H production and pathogenicity of Digitaria-specific isolates of Pyricularia grisea. Mol Plant Pathol 6:605–613. Valent B, Chumley FG. 1991. Molecular genetic analysis of the rice blast fungus, Magnaporthe grisea. Annu Rev Phytopathol 29:443-467. Valent B, Chumley FG. 1994. Avirulence genes and mechanisms of genetic instability in the rice blast fungus. Di dalam: Zeigler RS, Leong SA, Teng PS, editor. Rice Blast Disease. Manila: CAB-IRRI. Viji G, Uddin W. 2002. Distribution of mating type alleles and fertility status of Magnaporthe grisea causing gray leaf spot of perennial ryegrass and St. Augustinegrass turf. Plant Dis 86:827-832. Vos P, Hogers R, Bleeker M, Reijans M, Lee T van de, Hornes M, Frijters A, Pot J, Peleman J, Kuiper M, Zabeau M. 1995. AFLP: A new technique for DNA fingerprinting. Nucleic Acids Res 23:4407-4414. Watson A. 1970. Changes in virulence and population shifts in plant pathogens. Annu Rev Phytophatol 8:209-230. White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetic. Di dalam: Innis MA, Gelfand DH, Sninsky JJ, White TJ, editor. PCR protocols: a guide to methods and applications. New York: Academic Pr. hlm 315–322.
115
Winfield MO, Arnold GM, Cooper F, Le Ray M, White J, Karp A, Edwards KJ. 1998. A study of genetic diversity in Populus nigra subsp. betulifolia in the Upper Severn area of the UK using AFLP markers. Mol Ecol 7:3-10. Yaegashi, Udagawa. 1978. The taxonomical identity of the perfect state of Pyricularia grisea and its allies. Can J Bot 56:180-183. Zarzosoa BE, Hierroa N, Masa A, Guillamóna JM. 2010. A new simplified AFLP method for wine yeast strain typing. LWT- Food Sci Technol 43:14801484. doi:10.1016/j.lwt.2010.05.016. Zeigler RS. 1998. Recombination in Magnaporthe grisea. Annu Rev Phytopathol 26:249-275. Zellerhoff N, Schaffrath U. 2006. Report on the annual meeting of the working group host-parasite interactions: characterisation of non-host resistance in the barley/Magnaporthe interaction. J Plant Dis Protect 113:S.135– 142. Zhou E, Jia Y, Singh P, Correll JM, Lee FN. 2007. Instability of the Magnaporthe oryzae avirulence gene AVR-Pita alters virulence. Fungal Genet Biol 44:1024–1034.
117
LAMPIRAN
118
119 Lampiran 1. Jenis rumput yang memiliki bercak seperti penyakit blas padi: a. Cynodon dactylon, b. Digitaria ciliaris, c. Eleusine indica, d. Panicum repens
a
c
b
d
120 Lampiran 2. Hasil elektroforesis AFLP dengan menggunakan primer M48, M51 dan M53 M
M48
M51
Ket. M: DNA standar berukuran 50-700 pb
M53
M
I
N
D
O
N
E
S
I
A
ISSN 1978-3477, eISSN 2087-8575 Vol 5, No 1, March 2011, p 1-8
Available online at: http://www.permi.or.id/journal/index.php/mionline DOI: 10.5454/mi.5.1.1
Diversity of SCAR Markers of Pyricularia grisea Isolated from Digitaria ciliaris Following Cross Infection to Rice SRI LISTIYOWATI1,2, UTUT WIDYASTUTI1,2*, GAYUH RAHAYU1, ALEX HARTANA1, AND MUHAMMAD JUSUF1,2& 1
Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Science, Institut Pertanian Bogor, 2 Darmaga Campus, Bogor 16680, Indonesia; Research Center of Bioresources and Biotechnology, Institut Pertanian Bogor, Darmaga Campus, Bogor 16680, Indonesia Cross infection of Pyricularia grisea from grass to rice and vice versa has been reported, but genetic changes are not known yet. This research aimed at estimating the possibility of the genotype alteration in P. grisea dc4 isolated from Digitaria ciliaris, following cross infection to either rice cv. Kencana bali, Cisokan, and IR64 or Panicum repens, Cynodon dactylon, Digitaria sp. , and Ottochloa nodosa. The genotypes were analyzed by employing three SCAR markers, Cut1; PWL2; and Erg2. The results indicated that the dc4 was only able to infect Kencana bali, Cisokan, and P. repens. The dc4 had only two out of three SCAR markers, Cut1 and Erg2. Host shift was followed by genotype alteration in two loci of SCAR. Isolates derived from lesions on Kencana bali (dc4-kb) and Cisokan (dc4-c) of the dc4 infection, both lost their Cut1 and gained PWL2. On the contrary, there was no genotype alteration from dc4 to isolate derived from P. repens of dc4 infection (dc4-pr). Neither the isolate dc4-kb that was cross-inoculated to Cisokan nor the dc4-c that was cross-inoculated to Kencana bali showed SCAR marker change. In comparison, race 173 isolate and those derived from Kencana bali and Cisokan did not show genotype alteration. All had two out of three SCAR markers, PWL2 and Erg2. The isolate 173 was adapted to rice. This indicated that genotype diversity of the dc4 might arise following host shift from grass to rice. Key words: Pyricularia grisea, Digitaria ciliaris, rice, Panicum repens, SCAR markers Pyricularia grisea merupakan cendawan blas yang telah diketahui memiliki kisaran inang luas selain pada padi. Infeksi silang cendawan blas pada rumput ke padi dan sebaliknya telah dilaporkan, tetapi perubahan genetiknya belum dilaporkan. Tujuan penelitian ini menganalisis kemampuan infeksi silang dan perubahan genotipe P. grisea dc4 asal Digitaria ciliaris dalam perpindahannya ke padi cv. Kencana bali, Cisokan, dan IR64 atau rumput Panicum repens, Cynodon dactylon, Digitaria sp. dan Ottochloa nodosa. Genotipe P. grisea dianalisis melalui tiga marka SCAR, yaitu Cut1; PWL2; dan Erg2. Isolat dc4 memiliki 2 marka SCAR, yaitu Cut1 dan Erg2; tidak memiliki PWL2. Isolat dc4 hanya mampu menginfeksi silang Kencana bali, Cisokan, dan P. repens. Turunan isolat dc4 sebagai hasil infeksi silang ke Kencana bali (dc4-kb) dan Cisokan (dc4-c) menunjukkan perubahan genotipenya, yaitu Cut1 tidak teramplifikasi pada keduanya; PWL2 teramplifikasi;, serta Erg2 tetap teramplifikasi. Sebaliknya, turunan isolat dc4 sebagai hasil infeksi silang ke P. repens (dc4-pr) tidak mengalami perubahan genotipe. Turunan isolat dc4-kb sebagai hasil infeksi silang ke Cisokan, maupun turunan isolat dc4-c dari Kencana bali, juga tidak menunjukkan perubahan genotipe, yaitu tetap menunjukkan keberadaan PWL2 dan Erg2. Sebagai pembanding digunakan isolat ras 173 yang diisolasi dari padi. Genotipe isolat tersebut maupun turunannya, sebagai hasil infeksi silang ke Kencana bali dan Cisokan, tidak menunjukkan perubahan. Perubahan genotipe dc4 terjadi mengikuti pergantian inang dari rumput ke padi. Kata kunci: Pyricularia grisea, Digitaria ciliaris, padi, Panicum repens, marka SCAR
Pyricularia grisea (teleomorph Magnaporthe grisea is known as a rice blast causal agent (Rossman et al. 1990). Grasses and cereals can serve as hosts to P. grisea, even though not all isolates of P. oryzae are pathogenic to rice cultivars (Mackill and Bonman 1986; Singh and Singh 1988; DBPT 1992) or other Graminae (Tredway et al. 2005). Transmission to different hosts has been reported to occur in many fungal pathogens. This needs the capability to adapt to new environment. Therefore, host shift might cause diversity in P. grisea and determine the genetic structure of that population. Various weed grasses, such as Echinochloa crusgalli, Leersia hexandra, Panicum repens, and P. *Corresponding author: Phone/Fax: +62-251-8622833, E-mail:
[email protected]
maximum, which grew surrounding the rice field, have been reported to host P. grisea in Indonesia (DBPT 1992). In 2005, the blast lesions were found on Digitaria ciliaris, Digitaria sp., and Ottochloa nodosa in experimental rice fields in Jasinga, Bogor, as well as on Cynodon dactylon and P. repens in Sukabumi. The isolates from grasses of Echinochloa colona, L. potentially hexandra, and Rottboellia exaltata produced blast symptoms on blast-susceptible rice cultivars and vice versa (Mackill and Bonman 1986). Various fingerprinting molecular markers have been developed to analyze the genetic structure and population dynamics of P. grisea. New developed markers that are commonly used to analyze the diversity of P. grisea are the sequenced characterized amplified region (SCAR) markers. The SCAR technique is a simple PCR-based method. Thus, SCAR
2
LISTIYOWATI ET AL.
markers are more reproducible than fingerprinting molecular markers. Sixteen SCAR markers have been used to survey the genetic diversity within P. grisea population (Soubabere et al. 2001). Three SCAR markers, i.e. Cut1; PWL2; and Erg2; were able to determine the haplotype variability of rice blast pathogen originated from endemic areas of blast disease (Reflinur et al. 2005). The objective of this research was to study the effect of host shift on the genotypic diversity of P. grisea originated from D. ciliaris, and to obtain information on the relationship between P. grisea from D. ciliaris and rice. Thus, this information will broaden the understanding on factors affecting genetic structure changes in P. grisea, and will be used as the basis to set up recommendation on blast disease management. MATERIALS AND METHODS Fungal Strains. Mono-conidial isolate dc4 was obtained from the blast symptom on D. ciliaris that grew in experimental rice fields in Jasinga, Bogor in 2005. P. grisea race 173 was isolated from an unknown rice cultivar by Anggiani Nasution, Balitpa Bogor. This strain was used as a comparative isolate. Plants for Cross-Infection Test . Three differential rice cultivars of P. grisea race 173 (cv. Kencana bali, Cisokan, and IR64), healthy grasses Panicum repens and Cynodon dactylon (collected from blast endemic area in Sukabumi) and Digitaria sp., and Ottochloa nodosa (obtained from Jasinga, Bogor, where Digitaria ciliaris showed blast symptoms) were used as plant materials. Isolation and Culture Maintenance. To obtain mono-conidial culture of P. grisea dc4 and from each step of the cross-infection test, single lesions on a leaf were first cut off, washed under running water, and then put in moistened sterilized Petri dish overnight at room temperature. The lesion was observed under a microscope, and the conidia on the lesion were streaked onto a thin layer of water agar 4% (w/v). Individual conidia were isolated using method of Bonman et al. (1986) and aseptically transferred and cultured. All cultures were maintained in Potato DextroseAgar slants (Difco). Inoculum Preparation. Conidia were used as a source of inoculum. The isolates were grown on -1 -1 -1 oatmeal agar (oat 30 g L , agar 20 g L , sucrose 5 g L ) in Petri dishes and incubated at room temperature for 7 d until the entire agar surface was covered with mycelial growth. The culture was then aseptically washed to remove the aerial hyphae. The culture was continually exposed under n-UV rays for 4-5 d. About
Microbiol Indones
3 mL of sterilized water containing 0.025% (v/v) Tween 20 was poured onto the fungal colony. The colony surface was rubbed with a sterile object glass to collect the conidia. The suspension was filtered through a cheesecloth, and the concentration of conidia was estimated with a hemacytometer, then adjusted to 4 5 -1 10 -10 conidia mL (Luo et al. 2004) with some modifications, i.e. medium composition, Tween concentration, and conidial suspension filter. Cross-Infection Test with Artificial Inoculation. In order to obtain P. grisea isolate that had gone through host shift, two steps of artificial infection were conducted. The method for leaf blade infection refers to Tanabe et al. (2006). In the first step, 1 mL 4 5 suspension of P. grisea dc4 conidia (10 -10 conidia -1 th th mL ) was inoculated by syringe on the 4 or 5 sheath of the 3 cultivars of rice (16 d old seedling) and 4 grasses (16 d old after replanting). They were placed in plastic pots containing 1 kg of soil fertilized with compost (1:1). All of the treated plants were incubated in a humid and dark condition for 2 x 24 h, and then transferred out into a light room for 6 d at 25-30 °C and 70-80% humidity (Silue et al. 1992). Observation on blast lesions was made at 4 to 9 d after inoculation. Cross infection was determined qualitatively (Tanabe et al. 2006) with modification of infected criteria. The infection was positive when the infection produced blast lesion on the leaf blade and the sporulation had to be detected on that lesion after keeping it in moistened sterilized Petri dish overnight at room temperature. On the contrary, it was negative when artificial infection did not produce blast lesion on the leaf blade. A single conidium from the moistened lesions was re-isolated. The culture was designated as dc4-host1, and the code of host varies depending on the host used. The second step, conidia of dc4-host1 culture was used as a source inoculum for further artificial inoculation to a range of host. Re-isolation was done with a similar method and the culture was designated as dc4-host1host2. The artificial inoculation was also done for P. grisea race 173 to a series of rice cultivars and grasses, but no further artificial inoculation to rice cultivars. As negative control, rice plants and 4 grasses were inoculated with aquadest. Three repetitions were prepared for each isolate. All cultures were obtained from the first and second steps of artificial infection and the original culture was used as a source of DNA. SCAR Analysis . Molecular analysis was performed on one of three mono-conidial cultures obtained from a single lesion of P. grisea. Genomic DNA was extracted from mycelia grown in 25 mL
Volume 5, 2011
Microbiol Indones -1
-1
3
Cut1; PWL2; and; Erg2. The nucleotide sequences of the three primers are as follows: Cut1(F:5'-TATAGCGTTGACCTTGTGGA-3') Cut1(R:5'-TAAGCATCTCAGACCGAACC-3') PWL2(F:5'-TCCGCCACTTTTCTCATTCC-3') PWL2(R: 5'-GCCCTCTTCTCGCTGTTCAC-3') Erg2 (F:5'-GCAGGGCTCATTCTTTTCTA-3') Erg2 (R:5'-CCGACTGGAAGGTTTCTTTA-3') The total PCR reaction of 20 μL contained around 100 ηg genomic DNA template, 10 μL of 2xPCR -1 master mix (0.05 unit μL Taq DNA polymerase, 4 mM MgCl, 0.4 mM from each dNTP), and 0.6 ρmol from each primer. The PCR program consisted of predenaturation at 95 °C for 15 min, followed by 35 cycles at 94 °C for 15 sec, at 60 °C for 30 sec, and at 72 °C for 1 min. The last step was at 72 °C for 7 min. PCR results were visualized through electrophoresis on agarose gel 1% (w/v) in TAE 1x, and continued with gel immersion in ethidium bromide (0.5 μg mL-1). Evaluation was conducted based on the presence of DNA bands on the agarose gel.
liquid medium (sucrose 5 g L , yeast extract 2 g L , and -1 peptone 2 g L ) for 6 d on a shaker. The mycelia were harvested by filtering using filter paper. DNA isolation was conducted using the method described by Raeder and Broda (1985) with modifications, i.e. cultural liquid-medium type and centrifugation speed. Mycelia were ground in a sterile mortar, and then suspended in 4 mL of extraction buffer solution (200 mM Tris HCl pH 8.5, 250 mM NaCl, 25 mM EDTA, 0.5% SDS). A solution of 2.8 mL phenol and 1.2 mL CIA (chloroform:isoamil alcohol = 24:1) was added to the suspension and then mixed by gently shaking it back and forth. The suspension was centrifuged at 4000 rpm and 6 °C for 30 min. The upper aqueous phase was transferred right away into a new tube and precipitated by adding 1 vol cold isopropanol. Next it was centrifuged at 4000 rpm and 6 °C for 20 min. The precipitation was rinsed with cold ethanol 70% and then re-centrifuged for 10 min.After that, the pellet was vacuum-dried for 15 min, and dissolved in 100 m L TE 1x (10 mm Tris HCl pH 8, 1 mmol EDTA), and then 0.2 -1 vol RNAse 20 mg mL was added. The solution was incubated overnight at 37 °C, then 900 m L TE 1x was added, and the solution was again extracted by adding 1 vol CIA, and centrifuged at 4000 rpm and 6 °C for 10 min. The upper liquid was precipitated again by adding cold isopropanol as in previous steps. The isolated DNA, after quantified and diluted, would then be amplified through PCR using three primers developed by Soubabere et al. (2001), i.e.
RESULTS Cross Infection Ability. Pyricularia grisea dc4 was able to infect Kencana bali (Fig 1a), Cisokan (Fig 1b), and P. repens (Fig 1c), but was unable to infect IR64, C. dactylon, Digitaria sp., and O. nodosa (Table 1). Strain dc4-kb of Kencana bali might infect Cisokan, and dc4-c of Cisokan was able to infect Kencana bali as well. Strain dc4-kb might also infect
0.5 cm
0.5 cm 0.5 cm
a
b
c 0.5 cm
0.5 cm
d
e
Fig 1 Blast lesions on leaves of rice cultivars. a, Kencana bali; b, Cisokan; c, Panicum repens on day 9 after was inoculated isolate Pyricularia grisea dc4 from Digitaria ciliaris; d, blast lesions on rice leaves of Kencana bali; and e, Cisokan on day 7 after was inoculated P. grisea race 173 from rice.
4
LISTIYOWATI ET AL.
Microbiol Indones
Table 1 Inoculation results of isolate Pyricularia grisea dc4 from Digitaria ciliaris and race 173 from rice on Kencana bali, Cisokan, IR64, Panicum repens, Cynodon dactylon, Digitaria sp., and Ottochloa nodosa; as well as SCAR markers of isolates P. grisea dc4 and the first cross infection
+: molecular marker was amplified; -: molecular marker was not amplified.
Table 2 Inoculation results of P. grisea dc4-kb and dc4-c on Kencana bali, Cisokan, and P. repens; as well as SCAR markers of the second infection
Plants of cross infection test
Strain isolates of inoculum P. grisea dc4-kb
Kencana bali
Cisokan
P. repens
lesion
lesion
lesion
dc4-kb-kb
dc4-kb-c
NI
-
-
-
P WL 2
+
+
+
Erg2
+
+
+
Inoculation results Re - isolates SCAR markers: Cut1
P. grisea dc4-c
Kencana bali
Cisokan
P. repens
lesion
lesion
dc4-c-kb
dc4-c-c
-
-
-
P WL 2
+
+
+
Erg2
+
+
+
Inoculation results re -isolates SCAR markers: Cut1
+, molecular marker was amplified; -, molecular marker was not amplified; NI, no identified.
no lesion
Volume 5, 2011
Microbiol Indones
5
Fig 2 SCAR markers of P. grisea were amplified using specific primers. M. marker, 1. isolate P. grisea dc4 originated from D. ciliaris, 2-4. the derived isolate of P. grisea dc4 on Kencana bali (dc4-kb), Cisokan (dc4-c) rice cultivar, and P. repens (dc4-pr) grass, 5-6. the derived isolate of P. grisea dc4 of Kencana bali on Kencana bali (dc4-kb-kb), Cisokan (dc4-kb-c) rice cultivar, 7-8. the derived isolate of P. grisea dc4 of Cisokan on Kencana bali (dc4-ckb), Cisokan (dc4-c-c) rice cultivar, 9-11. P. grisea race 173 originated from rice, and the its derived isolate on Kencana bali (173-kb), Cisokan (173-c) rice cultivar.
P. repens, while dc4-c might not infect it (Table 2). On the other hand, P. grisea race 173 was able to infect Kencana bali and Cisokan (Fig 1d and 1e), but was unable to infect IR64, P. repens, C. dactylon, Digitaria sp., and O. nodosa. The size of lesions on the leaf blade of Kencana bali and Cisokan, due to P. grisea dc4 infection, was generally smaller than those of P. grisea race 173. SCAR Diversity. Genome amplification has shown that P. grisea dc4 had two out of three SCAR markers, i.e. Cut1 and Erg2, but did not have PWL2 (Fig 2). Their sizes were around 1700 bp and 1400 bp, respectively. Strains derived from inoculated rice (dc4-kb and dc4-c) did not indicate the presence of Cut1 marker, but had PWL2 and Erg2 markers. Their sizes were around 900 bp and 1400 bp, respectively. As P. grisea dc4 could not infect cv. IR-64 and the other three grasses, their SCAR genotype could not be explored. No genotype alternation was detected when P. grisea dc4 was inoculated to P. repens. When P. grisea dc4-kb was cross inoculated to O. sativa cv. Cisokan or vice versa, no changes of SCAR marker could be detected. Genotype alteration was shown neither on P. grisea d4-c-kb nor dc4-kb-c. Unlike P. grisea dc4, P. grisea race 173 also had two out of three SCAR markers but it had PWL2 instead of Cut1 (Fig 2). The sizes of PWL2 and Erg2 were around 900 bp and 1400 bp, respectively. Inoculation of P. grisea race 173 to rice cv. Kencana bali and Cisokan did not change the genotype of SCAR. This race was unable infect to infect IR64, P. repens, C. dactylon, Digitaria sp., and O. nodosa, so their SCAR genotype could not be explored. DISCUSSION Cross-Infection Ability. Pyricularia grisea dc4 had a type race of 000 (unpublished) as a result of a physiological race assessment by Balitpa Bogor. The
infection method in this experiment was modification of punch infection (Ono et al. 2001). Based on the lesion formed, P. grisea dc4 was less virulent compared to race 173). Eight days after P. grisea dc4 inoculation, lesions on O. sativa Kencana bali and Cisokan appeared, but their sizes were smaller compared to the lesions on the same plants that were inoculated with P. grisea race 173. Ou (1980) stated that the lesion types are the result of an interaction between resistant rice cultivar and virulent pathogen. Furthermore, Tredway et al. (2005) stated that a weak virulent P. grisea inoculated to wheat induced limited expansion of lesions, while lesions observed on Poa pratensis were 1-2 mm in length 7 d after inoculation with low virulence isolates. In this study it was also found that P. grisea from grass (D. ciliaris) might infect cv. Kencana bali and Cisokan. This is not the first report on the ability of P. grisea from grass to infect rice. This phenomenon was reported by Singh and Singh (1988) and DBPT (1992). Transmission of M. grisea (teleomorph of P. grisea) occurs in natural agroecosystems (Kato et al. 2000). Neither P. grisea dc4 nor race 173 was able to infect the persistent cv. IR64. P. grisea dc4 did not infect its original host as well. Their incapability to infect these plants might be due to decreasing in their pathogenicity during in vitro culturing. The same isolate of race 173 did not infect cv. IR64 (Kurnianingsih 2008). Actually, P. grisea race 173 was considered as a highly pathogenic race towards all differential rice cultivar series, except toAsahan (DBPT 1992). There are a lot of inoculation methods. This experiment and also that of Mackill and Bonman (1986) used injection inoculation procedure. According to Guochang et al. (1989), inoculation by injection produced higher disease index than spraying. On the contrary, no infection was found when other rice cultivars were inoculated by spraying of conidial
6
LISTIYOWATI ET AL.
suspension. The inoculation using fragmented mycelial spraying onto the 3- to 4-leaf stage of 2 rice cultivars induced the formation of lesions (Singh and Singh 1988). In this experiment, the inoculation method by syringe in order to put conidial suspension of P. grisea dc4-c onto the sheath of P. repens did not cause the formation of symptoms. In contrast, a blast lesion was formed when mycelial suspension of P. grisea dc4-c was directly injected into the stem of P. repens (unpublished data). The symptoms formed in the inoculation using fragmented mycelial suspension might be caused by the fungus that grew directly in the host tissue; this did not need infective structure to penetrate host epidermis. Melanin-deficient M. grisea with spraying inoculation failed to infect leaf tissues, but were successfully infected by the wounded leaf (Chumley and Valent 1990). They grow intra- and inter-cellular on susceptible host tissue (Ebbole 2007). In the natural infection, the conidia on the leaf surface will produce germ tubes and swell to form appressorium prior to penetration to host tissue. Panicum repens was susceptible to strain from L. hexandra, but was resistant to strain from P. maximum and E. crusgalli (DBPT 1992). Panicum repens was also resistant to 3 blast isolates from rice and to 11 isolates from grass species (Mackill and Bonman 1986). SCAR Diversity. Using SCAR markers, this research may reveal diversity of P. grisea. Three SCAR markers used in this study were chosen on the basis of their ability to detect the genotype variation in blast fungus. Prior to this study, those markers were used to indicate haplotype variability of 114 isolates of rice blast pathogen from Lampung as well as 82 isolates from Sukabumi. About 54.4 and 70.7% of those isolates respectively, had all three markers (Reflinur et al. 2005). Fourteen SCAR primers that had been used in the study of P. grisea population (64 isolates) pathogenic to rice were collected from rice worldwide (Soubabere et al. 2000). The Cut1 marker has three alleles with a size range of null, 800-1730 bp (null allele frequency is 0.66). The PWL2 has three alleles with a size range of null, 800-900 bp (null allele frequency is 0.21). The Erg2 has two alleles with a size range of null, 1440 bp (null allele frequency is 0.47) (Soubabere et al. 2001). This study found that host shift might induce diversity in SCAR markers of P. grisea. This was shown when P. grisea dc4 from grass was transmitted to rice cultivars. However, SCAR markers did not alter when P. grisea was transmitted from one rice cultivar to another or from grass to grass. Thus, only host shift
Microbiol Indones
from grass to rice induced SCAR genotypic diversity. Pyricularia grisea dc4 from grass (D. ciliaris) might infect cv. Kencana bali and Cisokan. According to Kurnianingsih (2008), cv. Kencana bali was susceptible, and Cisokan was a moderate resistant cultivar against race 173 by injection syringe inoculation. Re-isolation of rice blast-causing fungus that had been inoculated to a resistant rice host produced variation not only in its pathogenicity but also in its genetic diversity (Namai and Iwade 2002). The genetic alteration induced by host shift may involve transposon. Pyricularia grisea genome containing various transposon has been reported many times. The activity of transposon can alter the genotype. The changes caused by transposon can supply wide genetic variation, especially species that do not have a sexual phase. Stress can stimulate activity of transposable elements (Favaro et al. 2005). DNA transposon Pot3 has transposed and provided evidence that its transposon has changed the virulence spectrum of M. grisea (Kang et al. 2001). Therefore, three SCAR markers used in this study to indicate the genotypic diversity following cross infection need to be reevaluated by using more samples. The SCAR marker did not depict its pathogenicity. The cutinase which is encoded by cut1 gene of M. grisea was neither related to pathogenicity nor affected by sporulation rate (Sweigard et al. 1992b) but cut2 gene was required for plant infection (Skamnioti and Gurr 2007). The cut1 and cut2 genes have different DNA sequence. Eight genes of M. grisea were putativelly encoded cutinase (Dean et al. 2005). The Cut1 of P. grisea contains two introns of 115 bp and 147 bp in length and only one copy in its genome. The cut1 gene is e xpressed when cutin is the sole carbon source (Sweigard et al. 1992a). PWL2 is a gene out of four avirulent genes of M. grisea strain 70-15 (Dean et al. 2005). The existence of PWL2 gene in M. grisea from rice prevented this fungus from infecting a second grass host, Eragrostis curvula, but remained pathogenic to rice and barley. The allele of the PWL2 gene, pwl2-2, was pathogenic to that host, and has been reported as spontaneous pathogenic mutants. The pwl2-2 is different from PWL2 by a single base pair substitution. With its substitution, pwl2-2 had become a nonfunctional. The PWL2 locus is highly polymorphic among blast-causing rice pathogens from diverse geographic locations (Sweigard et al. 1995). The presence of PWL2 homologs had no correlation with its pathogenicty on Eragrostis curvula (Kang et al. 1995). This study also found that the Erg2 marker was a stable locus as this was always detected in the result of
Volume 5, 2011
Microbiol Indones
cross-inoculation experiments. The erg2 gene was stable as this gene is part of an important gene for the 8 7 cell. This gene in M. Grisea encodes Δ -Δ sterol isomerase (Keon et al. 1994). Sterol is an important component of all eukaryotic cells, and has a role in stabilizing the membrane under stress, and it is related to morphogenetic processes in mycelia of most pathogenic fungi (Mysyakina and Funtikova 2007). Pyricularia grisea dc4 obtained from D. ciliaris had the posibility of a genotype change due to a host shift to rice cv. Kencana bali and Cisokan, but not to P. repens. The genotype change was detected in Cut1 and PWL2, but not in Erg2. Once P grisea infected rice, the SCAR genotype was apparently stable. ACKNOWLEDGEMENTS This research was financially supported by Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB (SPK/Kontrak No. 08/13.24.4/SPK/BG/2008), and partly by the IMHERE project to Utut Widyastuti. We appreciate it very much and we would like to thank the Research Center for Bioresources and Biotechnology of IPB in providing research facilities, and our thanks also go to Ika Madona Pandia and Alex Sumadijaya for helping us with this research. REFERENCES Bonman JM, Dios TIV de, Khin MM.1986. Physiologic specialization of Pyricularia oryzae in the Philippines . Plant Dis.70(8):767-769. Chumley FG, Valent B. 1990. Genetic analysis of melanin-deficient, nonpathogenic mutants of Magnaporthe grisea. Mol Plant-Microbe Interact. 3(3):135-143. [DBPT] Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 1992. Penyakit padi. Laporan akhir kerjasama teknis Indonesia-Jepang bidang perlindungan tanaman pangan (ATA-162) [Rice disease. Indonesia-Japan joint programme on food crop protection project (ATA-162). final report]. Jakarta (ID): Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Dean RA,Talbot NJ, Ebbole DJ, Farman ML, Mitchell TK, Orbach MJ, Thon M, Kulkarni R, Xu JR, Pan H, Read ND, Lee YH, Carbone I, Brown D, Oh YY, Donofrio N, Jeong JS, Soanes DM, Djonovic S, Kolomiets E, Rehmeyer C, Li W, Harding M, Kim S, Lebrun MH, Bohnert H, Coughlan S, Butler J, Calvo S, Ma LJ, Nicol R, Purcell S, Nusbaum C, Galagan JE, Birren BW. 2005 Apr 21. The genome sequence of the rice blast fungus Magnaporthe grisea. Nature. 434(7036):980-986. Ebbole DJ. 2007 May 9. Magnaporthe as a model for understanding hostpathogen interactions. Annu Rev Phytopathol. 45:437-456.doi:10. 1146/annurev.phyto.45.062806.094346. Favaro LC de L, Araujo WL de, Azevedo JL de, Paccola-Meirelles LD. 2005. The biology and potential for genetic research of transposable elements in filamentous fungi. Gen Mol Biol. 28(4):804-813. Guochang S, Shuyuan S, Hangzhou , Zongtan S. 1989. A new inoculation technique for rice blast (BI). IRRN. 14(2):15. Kang S, Lebrun MH, Farrall L, Valent B. 2001. Gain of virulence caused by insertion of a Pot3 transposon in a Magnaporthe grisea avirulence gene. MPMI. 14(5):671-674.
7
Kang S, Sweigard JA, Valent B. 1995. The pwl host specificity gene family in the blast fungus Magnaporthe grisea. Mol Plant-Microbe Interact. 8(6):939-948. Kato H, Yamamoto M, Ozaki TY, Kadouchi H, Iwamoto Y, Nakayashiki H, Tosa Y, Mayama S, Mori N. 2000. Pathogenicity, mating ability and DNA restriction fragment length polymorphisms of Pyricularia populations isolated from Gramineae, Bambusideae and Zingiberaceae plants. J Gen Plant Pathol. 66(1):30-47. Keon JPR, James CS, Court S, Daintree CB, Bailey AM, Burden RS, Bard 8 M, Hargreaves JA. 1994. Isolation of the erg2 gene, encoding sterol Δ Δ7 isomerase, from the rice blast fungus Magnaporthe grisea and its expression in the maize smut pathogen Ustilago maydis. Curr Genet. 25(6):531-537. doi:10.1007/BF00351674. Kurnianingsih R. 2008. Ekspresi gen PR1 dan PBZ1 yang terlibat dalam sistem toleransi tanaman padi indica terhadap penyakit blas (isolat 173) [Expression of PR1 and PBZ1 genes which involved in the tolerance system of rice to blast disease; race 173] [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Luo CX, Fujita Y, Yasuda N, Hirayae K, Nakajima T, Hayashi N, Kusaba M, Yaegashi H. 2004. Identification of Magnaporthe oryzae avirulence genes to three rice blast resistance genes. Plant Dis. 88(3):265-270. Mackill AO, Bonman JM. 1986. New host of Pyricularia oryzae. Plant Dis. 70(2):125-127. Mysyakina S, Funtikova NS . 2007. The role of sterols in morphogenetic processes and dimorphism in fungi. Microbiology. 76(1):1-13. Namai T, Iwade Y. 2002. Rice blast fungus induced its pathogenic variation and its gene diversity during proliferation on the resistant rice rd cultivars. [abstract]. In: Abstracts 3 International Rice Blast Conference; 2002 Sept 11-14; Ibaraki (JP). Ibaraki : Tsukuba International Congress Center-Epochal Tsukuba-Tsukuba Science City. p 15. abstr no 28. Ono E, Wong HL, Kawasaki T, Hasegawa M, Kodama O, Shimamoto K. 2001. Essential role of the small GTPase Rac in disease resistance of rice. PNAS. 98(2):759-764. Ou SH. 1980. Pathogen variability and host resistance in rice blast disease. Annu Rev Phytopahol. 18:167-187. doi:10.1146/annurev.py.18. 090180.001123. Raeder U, Broda P. 1985. Rapid preparation of DNA from filamentous fungi. Lett Appl Microbiol. 1(1):17-20. doi:10.1111/j.1472765X.1985.tb01479.x.| Reflinur, Bustamam M, Widyastuti U, Aswidinnoor H. 2005. Keragaman genetik cendawan Pyricularia oryzae berdasarkan primer spesifik gen virulensi [Genetic variability of the rice blast fungus Pyricularia oryzae based on sequence-specific primers linked to pathogen virulence genes]. J Bioteknol Pert. 10(2):55-60. Rossman AY, Howard RJ, Valent B. 1990. Pyricularia grisea, the correct name for the rice blast disease fungus. Mycologia. 82(4):509-512. Silue D, Notteghem JL, Tharreau D. 1992. Evidence of a gene-for-gene relationship in the Oryza sativa-Magnaporthe grisea pathosystem. Phytopathology. 82(5):577-580. Singh NI, Singh Kh U. 1988. Unrecorded weed host for Pyricularia oryzae Cav. in India. IRRN. 13(4):31-32. Skamnioti P, Gurr SJ. 2007 Aug. Magnaporthe grisea cutinase2 mediates appressorium differentiation and host penetration and is required for full virulence. Plant Cell. 19:2674-2689. doi:10.1105/tpc.107.051219 Soubabere Q, Jorge V, Notteghem JL, Lebrun MH, Tharreau D. 2001. Sequence characterized amplified region marker for the rice blast fungus, Magnaphorthe grisea. Mol Ecol Notes. 1:19-23. Soubabere O, Tharreau D, Dioh W, Lebrun MH, Notteghem JL. 2000. Comparative continental variation in the rice blast fungus using sequence characterized amplified region markers. In: Tharreau D, Lebrun MH, Talbot NJ, Notteghem JL, editors. Advances in Rice Blast Research. Dordrecht (kode negara): Kluwer Academic Publ. p 209-213. doi:10.1046/j.1471-8278.2000.00008.x.
8
LISTIYOWATI ET AL.
Sweigard JA, CarrolAM, Kang S, Farrall L, Chumley FG, Valent B. 1995Aug. Identification, cloning, and characterization of pwl2, a gene for host species-specificity in the rice blast fungus. Plant Cell. 7:1221-1233. doi:10.1105/tpc.7.8.1221. Sweigard JA, Chumley FG, Valent B. 1992a. Cloning and analysis of cut1, a cutinase gene from Magnaporthe grisea. Mol Gen Genet. 232(2): 174-182. doi:10.1007/BF00279994. Sweigard JA, Chumley FG, Valent B. 1992b. Disruption of a Magnaporthe grisea cutinasegene.MolGenGenet.232(2):183-190. doi:10.1007/BF00279995.
Microbiol Indones Tanabe S, Okada M, Jikumaru Y, Yamane H, Kaku H, Shibuya N, Minami E. 2006. Induction of resistance against rice blast fungus in rice plants treated with a potent elicitor, NAcetylchitooligosaccharide. Biosci Biotechnol Biochem. 70(7): 1599-1605. Tredway LP, Stevenson KL, Burpee LL. 2005. Genetic structure of Magnaporthe grisea populations associated with St. Augustinegrass and tall fescue in Georgia . Phytopathology. 95(5): 463-471.