Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK SAPI MADURA DIDI BUDI WIJONO1 dan BAMBANG SETIADI2 1
Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan 67184 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
2
ABSTRAK Sapi Madura adalah sapi potong tipe kecil merupakan salah satu plasma nutfah sapi potong indigenus dan suseptable pada lingkungan agroekosistem kering dan berkembang baik di pulau Madura. issue menunjukkan terjadinya penurunan produktivitasakibat seleksi negatif yaitu pemotongan sapi produktif/tampilan yang baik, faktor inbreeding yang disebabkan selama ini pulau Madura merupakan wilayah tertutup untuk sapi potong lain. Upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kemampuan produktivitas komoditas sapi Madura yang telah tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan lahan kering, relatih tahan terhadap penyakit dan kesuaian selera masyarakat. Keragaman genotip sapi Madura cukup beragam dan memiliki kisaran berat badan 300 kg dan pada pemeliharaan kondisi baik untuk perlombaan mampu mencapai > 500 kg, dan memiliki persentase karkas sampai 60 %, efsiensi reproduksi cukup rendah, disamping itu sapi Madura memiliki nilai sosiobudaya digunakan atau dilombakan sebagai sapi Kerapan dan sapi Sonok (pajangan). Sapi Kerapan dan Sonok adalah sapi yang memiliki performan terpilih dan kondisinya sangat baik. Perbaikan mutu sapi Madura untuk mendukung peningkatan produktivitas dapat dilaksankan seleksi in-situ dan yang telah cocok lingkungannya dengan alternatif lain melalui grading up yaitu mengkombinasikan genotip dengan perkawinan silang yang diharapkan mampu meningkatan produktivitas secara cepat dalam waktu relatif pendek. Pelestarian sebagai plasma nutfah Indonesia dan kebanggan memiliki genotip sapi potong yang perlu dipertimbangkan secara hati-hati dan bijaksana guna menghindari kerusakan genotip yang telah memiliki kemapanan homogenitasnya sebagai bangsa dan penyesalan dikemudian hari. Demikian pula penghargaan terhadap PP perlindungan ternak yang masih berlaku dan diperlukan penegasan dan peninjauan kembali terhadap kebijakan lain. Dengan demikian penanganan sapi Madura sebagai plasma nutfah ditindak lajuti secara bijaksana. Kata kunci: Sapi Madura, performans, pelestarian, genotip
PENDAHULUAN Sapi potong merupakan komoditas strategis yang perkembangannya sangat mendukung perkembangan ekonomi masyarakat, dikarenakan sebagian besar dipelihara dan dikembangkan oleh petani sehingga gejolak dollar tidak memberikan efek yang berarti. Pengembangan komoditas sapi potong paling tidak sebagai upaya yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri dari sapi potong lokal atau mengurangi secara betahap kebutuhan produk ternak melalui import. Sapi Madura merupakan salah satu plasma nutfah sapi potong indigenus dan suseptable pada lingkungan agroekosistem kering dan berkembang baik di pulau Madura. Sebagaimana sapi potong lain menunjukkan terjadinya penurunan produktivitasnya yang dapat diakibatkan oleh seleksi negatif yaitu
42
pemotongan sapi produktif/tampilan yang baik, faktor inbreeding akibat pulau Madura merupakan wilayah tertutup untuk sapi potong lain. Kontribusi sapi Madura sebagai sapi potong yang berkembang dengan baik di Jawa Timur khususnya di pulau Madura mempunyai kontribusi yang cukup besar sampai 24 % dari kebutuhan suply sapi potong yang bersalaj dari Jawa Timur. Perubahan lingkungan global secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi lingkungan ternak antara lain akibat pembangunan fisik yang berkembang dengan pesat, perkembangan pengetahuan/pendidikan akan merubah sosiobudaya masyarakat, pada akhirnya dapat terjadi penurunan SDA, ketidak seimbangan antara ketersediaan sumber pakan dengan populasi (“over crowded ?”). Salah satu upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
komoditas sapi potong melalui peningkatan kemampuan produktivitas ternak local yang telah tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan lahan kering dan terdapat kesuaian selera masyarakat madura. Perbaikan mutu sapi Madura untuk mendukung peningkatan produktivitas dapat dilaksankan seleksi pada komunitas in-situ yang telah cocok lingkungannya, dengan alternatif lain melalui grading up yaitu upaya mengkombinasikan genotip dengan perkawinan silang yang diharakan mampu meningkatan produktivitas secara cepat dalam waktu relatif pendek. Pengembangan ternak potong secara croosbreeding dengan perkawinan silang sapi potong temperet yang memiliki mutu genetik unggul dan produktivitas yang tinggi mengakibatkan perubahan perilaku ternak sehingga perlu diimbangi dengan perbaikan pemberian pakan dan pengendalian penyakit. Sebagaimana diketahui bahwa pengaruh lingkungan terhadap produktivitas ternak mencapai 70% dibandingkan dengan pengaruh faktor genetik sebesar 30% dan pengaruh perlakuan pakan sendiri dapat mencapai 60% dari pengaruh lingkungan. Dengan demikian perbaikan mutu sapi Madura dapat dilakukan dengan seleksi dan atau perkawinan silang (crossbreeding) melalui grading up untuk dapat menghimpun genotipik unggul pada keturunan yang memiliki kemampuan produksi lebih tinggi dan diimbangi penyesuaian pengaruh lingkungan terhadap tatalaksana pemeliharaan terutama pemenuhan kebutuhan pakan dan pencegahan penyakit. Penyediaan keturunan murni sebagai cikal bakal atau komunitas atau populasai dasar pembentukan bibit “baru” dengan program sistem pemuliabiakan yang mapan. Akan tetapi upaya perkawinan silang (crossbreeding) perlu ditindak lanjuti dengan strategi pemuliabiakan yang terkendali dan berkelanjutan dalam upaya menekan efek samping crossbreeding yang mengarah perubahan mutu ternak kearah perkembangan negatif POTENSI SAPI MADURA Morfologi Sapi potong lokal (indigenus) yang berkembang di Indonesia cukup banyak
ragamnya salah satunya adalah sapi Madura, dan termasuk sapi potong type kecil. Sapi Madura dalam perjalanan perkembangannya merupakan hasil pembauran berbagai bangsa type sapi potong yaitu antara sapi Bali (Bos sondaicus) dengan Zebu (Bos indicus). Pejantan yang pernah dimasukkan ke pulau Madura termasu bangsa Bos taurus antara lain Red Denis, Santa Gestrudis dan pejantan persilangan antara Shorthorn dengan Brahman yang kesemuanya memiliki warna merahcoklat; Komunitas yang dihasilkan melalui isolasi dan seleksi alamiah yang ketat menghasilkan sapi yang relatif memberikan keseragaman genotip yang mantap dan berkembang sebagai sapi Madura sekarang ini. Bahkan sapi potong Limousin juga diperkenalkan sebagai pejantan unggul dalam upaya meningkatkan produktivitas sapi Madura (SOEHADJI, 1993 dan SOERJOATMODJO, 2002). Strategi pemasukan genotipe baru tidak jelas kelanjutannya dan merupakan tindakan langkah-langkah jangka pendek atau produksi sesaat, tidak mempunyai arah, sasaran dan target yang jelas yang ingin dicapai maupun permasalahan yang akan timbul dari akibat perkawinan silang. Komformasi sapi Madura pada bagian kepala bertanduk yang mengarah dorsolateral, beradasar tanduk besar dan pada sapi jantan memiliki gumba (punuk) sedangkan yang betina tidak tampak adanya punuk (kecil). Warna bulu merah bata–merah coklat, warna sapi jantan dan betina sama sejak lahir sampai dewasa; garis punggung (linea spinosum) kehitaman-coklat tua masih ditemukan, warna keputih2an pada daerah bawah kaki (metacarpus–phalanx) dan twist/sekitar pantat (ANONIMUS, 2001). Populasi sapi Madura di pulau Madura dari tahun ketahun relatif statis dengan kisaran 600.000–700.000 ekor dan populasi tertinggi terjadi pada tahun 1932 sebanyak 735.922 ekor. Populasi sapi Madura di Indonesia hingga tahun 1991 dilaporkan sebanyak 1.279.000 ekor atau sekitar 12% dari populasi sapi potong di Indonesia, sebanyak 691.092 ekor (54%) terdapat di Pulau Madura dengan tingkat pertumbuhan mencapai 1,7% pertahun (SOEHADJI, 1992). Penyebarannya hampir di seluruh Nusantara, ditemukan mencapai sekitar18 propinsi yaitu di Sumatra, Kalimantan,
43
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Sulawesi, NTT dan NTB. Pengembangannya di luar pulau Madura, tidak menunjukkan adanya perkembangan yang signifikans walaupun wilayahnya memiliki kondisi lingkungan yang hampir sama. Dengan demikian perlu dilakukan pengamatan terhadap faktor kendala dan permasalahan yang timbul pada saat pengembangan di luar pulau Madura/Jawa Timur. Produktivitas sapi Madura Sapi Madura termasuk sapi potong yang memiliki kemampuan daya adaptasi yang baik terhadap stress pada lingkungan tropis, keadaan pakan yang kurang baik mampu hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik; serta tahan terhadap infestasi caplak. Sapi Madura sebagai sapi potong tipe kecil memiliki variasi berat badan sekitar 300 kg dan pemeliharaan yang baik dengan pemenuhan kebutuhan pakan dengan pakan yang baik mampu mencapai berat badan ≥ 500 kg, ditemukan pada sapi Madura yang menang kontes (SOEHAJI, 2001). Pengaruh nilai sosiobudaya masyarakat Madura terhadap ternak sapi Madura memiliki nilai tersendiri terutama terhadap tradisi sapi betina pajangan yang dikenal sebagai sapi Sonok dan lomba sapi jantan yang dikenal sebagai Kerapan. Sapi yang dilombakan merupakan sapi pilihan yang memiliki tampilan performans yang sangat baik. Selain itu peranan pemeliharaan sapi Madura seperti pemeliharaan sapi potong lainnya yaitu sebagai sumber penghasil daging, tenaga kerja, dan kebutuhan ekonomi. Pola pemeliharaan sapi Madura jantan dari hasil pengamatan WAHYONO dan YUSRAN (1992) sebanyak 94% dimanfaatkan sebagai tabungan yang diharapkan mampu mendukung kebutuhan ekonomi dan nilai jual cepat atau pemeliharaan rearing (pembesaraan) sampai rataan 25,5 bulan. Performans Produksi 1. Berat badan Informasi performans laju pertumbuhan atau besar tubuh berperanan penting sebagai salah satu faktor yang dapat diukur didalam
44
pelaksanaan seleksi dan memiliki nilai heritabilitas tinggi yaitu antara 0,40–0,70 (WARWICK et al., 1983). Performans berat badan sapi Madura mempunyai keragaman yang cukup luas, didapatkan berat badan yang tinggi (± 500 kg) dan didominasi oleh berat badan yang cukup rendah (± 300 kg). Pencapaian performans berat badan cukup beragam yang diakibatkan oleh keragaman tatalaksana pemeliharaan. Tampilan performans dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, termasuk lingkungan pakan dan kesehatan. Keragaman berat badan dari ahsil pengamtan sebelumnya juga menunjukkan adanya variai yang cukup lebar. DJATI dan KARNAEN (1993) melakukan pengamatan terhadap respon status fisiologis dengan memanfaatkan sapi Madura yang memiliki berat badan antara 125−290 kg. Rataan berat badan pada pola pembibitan peternakan rakyat yang berumur sekitar 1,5−2 tahun 209 kg dan 3−3,5 tahun mencapai berat badan 239 kg (AINUR RASYID dan UMIYASIH, 1993); dengan tinggi badan masing-masing 105 cm dan 115 cm, dan berat badan jantan muda s/d 2 tahun rataan 209 ± 24,1 (177−281) kg (WIJONO, SASMITO (1993) 1998). MUHAMAD menginformasikan berat badan 125−150 kg;195−220 kg dan 265−290 kg, demikian pula sapi Madura dara yang diamati UMAR dan RISZQINa (1993) mendapatkan berat badan pada umur Io sekitar115−207 kg dan I2 sekitar134−275 kg. Data yang didapat dari hail pengamatan menunjukkan variasi umur muda sampai dewasa mempunyai kemampuan pencapaian berat badan kurang dari 300 kg. Walaupun demikian dari hasil penelitian lain memberikan respon yang berbeda yaitu sapi Madura yang dipelihara dengan baik dan biasanya sapi yang d diperuntukkan untuk lomba keindahan yang dikenal sapi sapi Sonok memiliki kisran berat badan dengan umur I1–I2 adalah 178,75– 236,64 kg dan I3–I4 sekitar 311,33–335,72 kg dengan tinggi badan masing-masing adalah 118,42–127,76 cm dan 130,58–132,42 cm; demikian pula sapi Madura yang diperbaiki pola pakannya pada sapi yang dikerjakan berat badannya mencapai 436–449 kg (BAKRI et al., 1993).
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Berat badan tertinggi yang dilaporkan SUHADJI (1993) dari hasil pengamatan performans sapi Maduta yang dilombakan mencapai berat badan 521 kg. Sedangkan sapi pejantan yang digunakan sebagai sumber semen beku yang dipelihara di BIB Singosari memiliki barat badan sekitar 367–483 kg (HEDAH, 1993). Informasi ini merupakan peluang yang cukup tinggi bagi sapi Madura untuk diperbaiki mutu genetiknya untuk mendapatkan performans produksi yang lebih tinggi, baik dari factor laju pertumbuhan baik berat badan dan pertambahan berat badan hariannya. Sebagaimana ungkapan hasil penelitian MUSOFIE et al. (1993), pada dasarnya dengan pemberian pakan yang baik mampu meningkatkan berat badan harian sebesar > 0,8 kg/ekor/hari. Sapi madura memiliki respon pertumbuhan yang positif terhadap perbaikan pakan. Demikian pula MOORE (1994) bahwa angka pertambahan berat badan harian yang dicapai sapi-sapi lokal di Indonesia berkisar antara 0,5–0,8 kg/ekor/hari dan sebagian besar peternakan rakyat lebih rendah. Sedangkan HARMADJI (1993) mendapatkan pertambahan berat badan harian pola pemeliharaan peternakan rakyat yang mampu dicapai sekitar 0,23–0,47 kg/ekor/hari, dan KOMARUDIN-MA’SUM (1993) menginformasikan pengaruh ketinggian tempat terhadap pertambahan berat badan harian yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi pakan mampu meningkatkan pertamabahan berat badan lebih tinggi masing-2 untuk daerah tinggi dan temperatur rendah dengan daerah rendah dan temperatur tinggi sebesar 0,45 dan 0,641−0,727 kg/ekor/hari dan konsumsi pakannya lebih tinggi pada daerah dataran tinggi. Kemampuan laju pertumbuhan sapi Madura mempunyai peluang untuk ditingkatkan dengan peningkatan potensi genetik yang dimiliki secara optimal. 2. Karkas Sapi madura memiliki persentase karkas yang cukup baik, mampu mencapai 60% yang didapatkan pada ternak yang dilakukan dengan pengelolaan dan kecukupan pakan yang mempengaruhi kondisi ternak.
KOMARUDIN-MA’SUM (1993) mendapatkan persentase karkas pada sapi Madura dengan kisarana umur Io–I1 antara 50,96–51,72% dengan kisaran berat badan 211,7–241,5 kg, dengan bertambahnya umur akan meningkatkan persentase karkas akan tetapi peningkatannya tidak signifikans. Sedangkan HAKIM (1993) mensiter sebesar 48%; dan HARMADJI 1993 melaporkan persentase karkas jantan dan betina masing-masing sebesar 48,9 dan 52,7% (50,9%); demikian pula yang disiter SUHADJI (1993) pencapaian karkas sebesar 55% (THAYIB, 1953) dan 50% (AMINUDIN, 1972) yaitu hasil pengamatan tahun 1953 dan 1972. Tampaknya terjadi degradasi persentase karkas yang semakin menurun dan adanya keragaman yang cukup tinggi. Performans reproduksi Aktivitas reproduksi sangat mempengaruhi peningkatan populasi yang perlu diperhitungkan walaupun dari segi pemuliabiakan didalam seleksi lebih ditekankan kepada performans yang dapat diukur dan menggambarkan genotype ternak (KINGHORN dan SIMM, 1999). Data reproduksi yang baru mengenai sapi Madura sangat kurang. SIREGAR (1985) melaporkan bahwa sapi Madura beranak pada umur antara 28–41 bulan, sedangkan HARMADJI (1992) melaporkan bahwa sapi Madura beranak pertama pada umur 37 bulan dengan S/C 1,7–2,0. Siklus birahi sapi Madura adalah selama 21 hari dengan lama estrus 36 jam. Penyapihan pedet sapi Madura umumnya pada umur 5 bulan. Data angka kelahiran pernah dilaporkan oleh KNAP (1934) dengan rata-rata 45,9% dari tahun 1923 sampai dengan 1929. Tahun 1988 dilaporkan bahwa angka kelahiran masih berkisar 40% dan pada tahun 1992 angka kelahiran dilaporkan 46,96%. HARDJOSUBROTO et al. (1993) mendapatkan umur pertama dikawinkan 2,6 tahun, jantan dan betina 2,1 tahun, SC baik kawin alam maupun IB adalah 3,3 ± 0,6; jarak beranak 14,9 bulan, angka kelahiran 46,96 ± 14,96, kematian pedet 2,22 dan muda-dewasa 1,87, umumnya akibat penyakit gangguan pencernaan atau pakan yang jelek yaitu tympani (kembung). Faktor tatalaksana, pakan dan kesehatan perlu diperhatikan karena sebesar 95% gangguan aktivitas reproduksi tergantung pada faktor ini (TOELIHERe, 1983).
45
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Penyebaran sapi Madura juga pernah dilakukan di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur namun data yang menggambarkan secara kuantitatif sifat reproduksi dan produksinya masih belum banyak dilaporkan. Penyebaran sapi Madura di mulai tahun 1989 di Kec. Tanjung Palas dan Malinau, angka kelahiran sapi hingga bulan Agustus 1992 dilaporkan 27,72% di Kec. Tanjung Palas dan 30,46% di Kec. Malinau (DINAS PETERNAKAN TARAKAN, 1992). Pengembangan sapi Madura di lahan kering di daerah transmigrasi Sumatera Selatan menunjukkan nilai produksi dan reproduksi rata-rata masih dibawah sapi Ongole maupun sapi Bali (KUSNADI et al., 1992); akan tetapi memiliki sifat keindukan (mathering ability) yang baik. Pemberian pakan yang jelek yang mengakibatkan kondisi badannya sangat jelek (score kondisi Badan 3) masih mampu mempertahankan aktivitas reproduksinya dan lebih baik dari sapi PO maupun Bali (score Kondisi Badan 4) (WIJONO et al., 1992); demikian pula sapi Madura yang dipelihara sangat baik dengan nilai skor kondisi badan > 7–9 mempengaruhi respon aktivitas reproduksi estrus post partum dengan fertilitas mencapai 95,59% dan infertilitas terjadi pada sapi yang mempunyai skor kondisi badan 8−9 sebesar 4,47 % (WIJONO dan AFFANDHY, 1996). Penurunan kondisi badan dan berat badan yang ekstrim merupakan salah satu faktor yang menyebabkan gangguan terhadap perkembangan dan aktivitas reproduksi, juga terhadap kondisi badan yang terlalu gemuk terjadi infertilitas sementara (TOELIHERE, 1980). 3. Kesehatan Sapi Madura pada dasarnya relatif lebih tahan terhadap lingkungan kekurangan pakan maupun infeksi penyakit, walaupun demikian penyakit yang mampu menyerang ternak pernah terjangkit juga pada sapi Madura (DARMONO et al., 1993). Kasus penyakit yang pernah terjangkit pada sapi Madura adalah penyakit Surra, ngorok, ingusan, distomatosis, scabies dan gangguan reproduksi dan defisiensi nutrisi. Pengamatan terhadap penyakit menular yang pernah dilakukan terhadap sapi Madura yaitu SUDANA et al. (1983) melaporkan dari hasil uji penyakit
46
ngorok dengan sampel dari RPH Surabaya didapatkan isolat yang menunjukkan positif sebanyak 1% dari 758 sampel), sedangkan SUKAMTO et al. (1988) menemukan kasus penyakit surra sebanyak 1,3 % dari 130 sampel yang diamati pada saat terjadinya wabah surra pada tahun 1988. SOESETYA (1993) melakukan pengamatan terhadap prevalensi Faciolasis terahap sapi Madura didapatkan sebesar 2,63%, masih jauh lebih rendah dibanding kejadian pada sapi lain. Kejadian penyakit yang terjadi didaerah pengembangan di luar pulau Madura dilaporkan adanya penyakit parasiter internal, hepatitis, enteritis dan paru-paru yang ditemukan pada kejadian kematian ternak; disamping itu didapatkan juga penghambat perkembangan sapi Madura yang diakibatkan adanya penyakit gangguan akrivitas reproduksi terutama disfungsi ovarium (ANONIMUS, 1993). Kasus penyakit insidental yang umum terjadi adalah akibat gangguan pencernaan antara lain kembung , diare, dll. PERBAIKAN MUTU GENETIK SAPI MADURA Sapi Madura berkembang secara murni di pulau Madura dan dilindungi keberadaannya dari tahun ketahun, mutasi keluar pulau terjadi untuk memenuhi kebutuhan daging cukup besar mencapai 24% kebutuhan supply dari Jawa Timur. Secara berangsur terdapat kecenderungan penurunan kualitasnya sebagaimana sapi potong lain. Peranan sosiobudaya masyarakat Madura terhadap keberadaan sapi Madura disamping pemanfaatan sebagai tenaga kerja, kebutuhan ekonomi yang mampu mendukung perbaikan mutu genetic ternak adalah aspek budaya pemeliharaan secara khusus pada sapi yang terpilih untuk diperlombakan, pajangan dan memberikan kebanggan tersendiri serta memiliki nilai ekonomis tinggi (harga jual tinggi). Sapi betina dipelihara secara baik yang disiapkan untuk dilombakan sebagai sapi pajangan yang dikenal sebagai sapi Sonok, sedangkan sapi jantan digunakan untuk pacuan sebagai sapi Karapan. Penggunaan pejantan milik peternak yang digunakan sebagi pemacek pelayanannya rata-
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
rata sekitar 12 kali perbulan, tanpa memperhitungkan mutu pejantan yang digunakan dan pada prinsipnya mampu menghasilkan keturunan; hal ini juga sebagai salah satu faktor penyebab penurunan genotipe sapi Maduran. Disamping ketersediaan pejantan berkualitas yang terbatas, pemotongan betina produktif dan penyediaan perbibitan sapi Madura belum tersedia yang diharapkan mampu bertindak sebagai replacement stock. Tampaknya peluang pejantan yang berkualitas untuk digunakan sebagai pejantan sangat terbatas, pejantan yang dipelihara dengan baik dimanfaatkan hanya sekedar hoby atau kebanggan untuk kerapan (kesenangan 3%). Sayangnya sapi jantan yang dipelihara sebagai sapi karapan tidak digunakan sebagai pejantan pemacek, walau kondisi performans sangat baik. Hal ini dilakukan untuk menghindari karakter sapi pejantan berubah bertemperamen tinggi (liar, ganas) yang sulit dikendalikan, sehingga perbaikan mutu melalui Inseminasi buatan memiliki peluang yang cukup besar untuk mendukung meningkatkan perbaikan mutu sapi Madura. Perkawinan sapi dengan cara Inseminasi Buatan (IB) telah dikenalkan sejak tahun 1983. Namun perkembangan program perkawinan secara IB ini pun di kalangan petani ternak di Madura sangat lambat. Demikian pula ketersediaan pejantan unggul hasil seleksi di BIB terbatas adanya, tidak mencukupi/kurang. Perbaikan mutu genetik sapi Madura melalui strategi pemulia biakan ternak yang dituangkan dalam arah dan tujuan yang ingin dicapai dari perbaikan mutu genetik itu sendiri ditinjau dari segala aspek baik aspek produksi, reproduksi maupun aspek sosiobudaya. Keberhasilan perbaikan mutu genetik ternak secara garis besar dapat diukur dengan pengamatan parameter fenotipik atau sifat-sifat karakteristik berupa daya hidup (survival), laju pertumbuhan, efisiensi reproduksi dan persentase karkas. Seleksi (pemurnian) Perbaikan mutu genetik sapi Madura melalui program seleksi guna mendapatkan sumber bibit pejantan unggul dan merupakan pilihan yang paling memungkinkan dengan
memanfaatkan populasi dan keunggulan sapi lokal yang adaptif pada lingkungan kering dan kondisi sumber pakan yang jelek. Pengembangan sapi Madura pada kondisi lingkungan yang sesuai pada habitat asli, merupakan peluang keberhasilan tanpa harus melakukan manipulasi penyesuaian lingkungan; untuk itu pengambangannnya dibutuhkan program pemulaibiakan sapi Madura yang jelas, terarah, terkontrol dan monitoring berkelanjutan. Aspek sosiobudaya masyarakat Madura yang mengembangkan hoby, kesenangan memelihara sapi yang baik untuk dilombakan, merupakan faktor pendukung didalam upaya perbaikan mutu ternak. Pemanfaatan tradisi budidaya masyarakat ini, merupakan bahan pertimbangan yang perlu diperhatikan didalam pelaksanaan seleksi yang memiliki performan yang sesuai dengan selera masyarakat. Perbaikan mutu genetik dengan pola Peternakan Inti Terbuka (Open Nucleus Breeding Plan) yang mempunyai kebaikan selalu memasukkan gen baru didalam kelompok pembibitan, sehingga dapat mengurangi depresi silang dalam (inbreeding) MARTOYO (1991). Pembentukan pembibitan melalui seleksi/ penjaringan sapi Madura jantan dan betina dari populasi umum yaitu populasi sapi Madura yang dikembangkan oleh peternakan rakyat. Hasil penjaringan dipersiapkan sebagai kelompok pembibitan untuk menghasilkan pejantan berkualitas sebagai sumber genetik dan dikembangkan sebagai kelompok “elite”. Seleksi sapi jantan dilakukan terhadap keturunan kelompok pembibitan pada setiap generasi dan diikuti penyisihan (culling) sapi jantan dan betina yang menunjukkan performans yang jelek. Pejantan per generasi hasil seleksi (unggul) dikembalikan ke populasi umum yaitu peternakan rakyat untuk mengawini sapi betina. Sapi jantan di populasi umum yang tidak terseleksi dikeluarkan dari populasi sebagi terminal sire sehingga memutus genotype keturunan yang tidak diharapkan. Kelompok pembibitan “elite” yang pada dasarnya tidak menguntungkan dan pengembalian modal jangka panjang, sehingga kelompok atau pusat pembibitan penghasil pejantan unggul dikelola oleh pemerintah atau bekejasama dengan pemodal (swasta). Pola
47
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Dinas Peternakan atau UPT
Di Pedesaan
Pusat pembibitan untuk menghasilkan pejantan (Pemeliharaan intensif
Seleksi jantan dan betina
Generasi 1
Populasi umum
X Populasi umum betina
Generasi 1
X Populasi umum betina
Generasi 1
X Populasi umum betina
Generasi 4
X Populasi umum betina
Gambar 1. Bagan perbaikan mutu genetik sapi Madura melalui perkawinan pejantan unggul pergenerasi
Sumber: HAKIM (1993) pernaikan mutu ini dilakukan berkelanjutan sampai diperoleh populasi umum dengan mutu genetic semakin meningkat. Perkawinan silang/grading up Perkawinan silang merupakan cara perkawinan antara individu yang tidak memiliki hubungan keluarga dekat yang bertujuan perbaikan mutu ternak secara cepat dan hasilnya nyata dengan memanfaatkan hybride vigour (heterosis), apabila heterosis menunjukkan dampak positif dibanding tetuanya. Menurut HARDJOSUBROTO (2002) dan KINGHORN dan SIMM (1999) bahwa perkawinan silang dua bangsa hanya dilakukan dan akan memberikan manfaat yang baik apabila efek heterosis tampak lebih baik. Faktor heterosis dimanfaatkan yang penekanannya diarahkan kepada peningkatan produktivitas, sedangkan arah untuk mendapatkan bangsa baru merupakan hal yang tidak mungkin karena diperlukan waktu panjang, materi, dan keragaman faktor genetik cukup besar.
48
Pengalaman hasil pemuliabiakan perkawanan silang untuk mendapatkan bangsa baru dengan produktivitas optimal terjadi setelah perkawainan silang dengan ratio darah 3/8 lokal + 5/8 exotic. Sedangkan faktor heterosis dari generasi kegenerasi akan selalu semakin menurun 100%, 75%, 50%, 25% dan pada akhirnya heterosis negative, akan terjadi perubahan produktivitas. Produktivitas yang paling optimal dari grading up dengan pemanfaatan heterosis adalah ratio darah 50%, F1 dikembangkan sebagai terminal breed. Kebijakan Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur melalui Semiloka dalam rangka pemberdayaan dan grading up sapi Madura guna mendukung program intan sejati Jawa Timur, dengan arah pengembangan sapi Madura melalui pemberdayaan, pelestarian dan peningkatan produktivitas sapi Madura dengan grading up melalui perkawinan silang (exotic breed). Kelanjutan grading up sapi Madura melalui persilangan rotasi dengan pemanfaatan pejantan hasil perkawinan silang (F1) akan merubah struktur ratio darah turunan pergenerasi. Ratio darah lokal (sapi Madura
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
semakin menurun dan akan diikuti perubahan gen keunggulan sapi lokal yang memiliki kemampuan adaptasi lingkungan. Perlu adanya evaluasi/identifikasi/analisis dampak pascacrossing pada lokasi/wilayah pengembngan persilangan (crossing) untuk memprediksikan strategi perkawinan silang berikutnya yang sesuai dengan kendala teknis maupun sosiobudaya masyarakat., prediksi yang kurang tepat penyebab terjadinya kehancuran suatu bangsa. Perkawinan silang yang terkendali, pengawasan tidak ketat program tidak jelas kelanjutannya yang selama ini selalu terjadi
didalam pelaksanaan program perkawinan silang (program ongolisasi misalnya) ,dapat terjadi kekacauan genetik yang pada akhirnya tidak memberikan dampak posisitif, demikian pula maraknya program IB bangsa sapi temperate sampai sekarang belum banyak data tentang hasil dan pengaruh perkawinan silang yang akurat. Perkawinan silang terhadap sapi Madura dibutuhkan perwilayahan yang seyogyanya tidak mengganggu perkembangan sapi murni yang memiliki kompetensi dan keunggulan tersendiri sebagai indigenus breed.
Dinas Peternakan atau UPT Pejantan unggul import
Di Pedesaan
Kelompok betina terseleksi dari populasi umum
F-1 jantan dan betina (50 % import : 50% lokal
Interse mating untuk menghasilkan pejantan persilangan (F-1)
Interse mating untuk menghasilkan pejantan persilangan (F-1)
Interse mating untuk menghasilkan pejantan persilangan (F-1)
X
Populasi umum betina
X
75% lokal 25% impor (betina)
X
X
62% lokal 38% impor (betina)
56% lokal 44% impor (betina)
Perkawinan secara kontinyu dengan diikutiseleksi
Gambar 2. Bagan grading up sapi Madura dengan pejantan persilangan
49
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
PELESTARIAN PLASMA NUTFAH SAPI MADURA Penyebaran sapi Maduran diluar pulau Madura tidak menunjukkan perkembangan yang siknifikans sehingga dalam upaya pelestariannya lebih memungkinkan dilaksanakan di pulau Madura, yang selama ini masih dilindungi atau diatur oleh perundangan. Sapi Madura sebagai plasma nutfah sapi potong indigenus merupakan salah satu kebanggaan secara nasional yang perlu dipertahankan keberadaannya. Layaknya sapi Bali, sapi Madura juga merupakan sapi potong yang dilindungi keberadaannya di pulau Madura. Mengacu kepada Lembaran Negara (Staadblad) No.226 tahun 1923, No.1465 tahun 1925, No. 368 tahun 1927, No. 57 tahun 1934 dan No. 115 tahun 1937; serta tersirat didalam UU Nomor 6 tahun 1967 tentang pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Peraturan-peraturan tersebut menybutkan antara lain ditetapkan bahwa pulau Madura dan Bali sebagai tempat pengembangan murni (pure breed) masingmasing untuk sapi Madura dan sapi Bali; pelarangan keluar dan masuknya jenis sapi lain dari pulau, pengeluaran dapat dilakukan dengan syarat khususnya diberikan bagi sapi yang tidak produktif atau bukan sebagai bibit. Kebijakan untuk kepentingan yang khusus maka pengeculian hanya dapat diberikan oleh Mentri Pertanian dengan pengawasan yang ketat dan terjamin tidak akan terjadi pencemaran kemurnian sapi di lingkungannya (DARMADJA, 1990). Konsistensi penerapan peraturan tersebut sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan kemajuan atau kemerosotan sumberdaya genetik sapi Madura di habitat aslinya pulau Madura, Jangka panjangnya kemungkinan untuk mendapatkan sapi yang baik, murni, dengan produktivitas tinggi justru “berada diluar” pulau Madura. Kebijakan Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur dalam rangka pemberdayaan, pelestarian dan grading up sapi Madura dengan sapi bangsa Bos taurus yang berwarna merah dengan syarat antara lain minat masyarakat dan wilayah yang berkecukupan pakan atau peternak mampu. Sedangkan untuk pemurnian
50
diprediksikan akan dikembangkan di kepulauan sekitar Pulau Madura, akan tetapi seberapa jauh dampak pemuliabiakan dengan wilayah pengembangan yang relatif kecil baik wilayah dan populasinya. Pada akhirnya akan memberikan dampak yang lebih mengenaskan bagi sapi Madura sebagai sapi indigenus kebanggan bangsa. Namun demikian perlu adanya jaminan tidak akan terjadi pencemaran terhadap “bangsa” ternak murni (BUDIMAN, 1991). Sebagai pengimbang paling tidak dilakukan atau ditentukan peluasan area pembibitan di wilayah lain yang mampu mengisolasi komunitas yang cukup besar dan diikuti program seleksi pemurnian sapi Madura untuk meningkatkan produktivitas yang diissuekan cenderung semakin menurun. Dukungan kebijakan yang konsisten, peninjauan dan penegasan kembali peraturan pemerintah yang ada, guna tindak lanjut dalam pelaksanaan pelindungan, pemanfaatan dan pengembangan sapi Madura yang lebih nyata. Seyogyanya pemanfaatan sapi madura murni di pulau Madura sebagai populasi dasar yang memungkinkan dikembangkan sebagai bahan dasar untuk membentuk bangsa baru yang unggul dan adaptif untuk daerah tropis, untuk itu program pembibitan kearah pembentukan bangsa baru dilaksanakan diluar Pulau Madura. KESIMPULAN 1. Perlu dilakukan pelestarian sapi Madura sebagai bangsa sapi indigenus Indonesia dan dibutuhkan penyiapan bibit pejantan berkualitas (unggul) melalui pembibitan dan performans test. 2. Produktivitasnya beragam berpeluang ditingkatkan dengan pemanfaatan potensi kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang berat dan tahan penyakit. 3. Seleksi dan atau grading up dapat dilakukan dengan pertimbangan pelestarian, perwilayahan pengembangan dan monitoring berkelanjutan terhadap genotipe. 4. Keterbatasan populasi pada wilayah pembibitan dapat sebagai faktor percepatan inbreeding.
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2001. Penetapan standard bibit ternak regional Jawa Timur. Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Sumenep. ANONIMUS. 1993. Pengembangan sapi Madura di
kabupaten Bulungan Kalimantan Timur. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. hlm. 35–44. BAKRI, B., KOMARUDIN-MA’SUM dan E. TELENI. 1993. Peningkatan kemampuan kerja sapi Madura melalui perbaikan kondisi fisik sebelum masa kerja. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. hlm. 211–215. BUDIMAN, S. 1991. Peraturan dan kebijakan pemuliaan di Indonesia serat permasalahannya. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Makalah pada seminar sehari Bersama pemuliaan Ternak. Fak Peternakan. IPB. Bogor. 26 September 1991. DARMONO, N. GINTING dan SUDARISMAN. 1993. Penyakit pada sapi Madura dan peneltian penyakit yang telah dilakukan. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. hlm. 55−58. DJATI, M.S. dan KARNAEN. 1993. Evaluasi kemampuan sapi Madura untk mengolah lahan pertanian lahan kering. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. hlm. 221−230. HARDJOSUBROTO, W., ENDANG. B. dan SIDQI-ZAUD. 1993. Kapasitas suplai sapi Madura dari pulau Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. hlm. 198−210. HEDAH, J. 1993. Peranan Balai inseminasi Buatan Singosari dalm meningkatkan mutu sapi Madura melalui inseminasi buatan. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep.Hal :92−100. KINGHORN, B.P. and G. SIMM. 1999. The genetics of cattle. Ed. R Fries and A. Ruvinsky. Cabi Publishing 577−603.
KOMARUDIN-MA’Sum.
1993. Hasil-hasil penelitian sapi Madura di Sub Balai Penelitian Ternak Grati, Pasuruan. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan
Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. hlm. 45–54. Hakim, L. 1993. Program pemuliaan sapi Madura dalam rangka meningkatkan performans produksinya. Pros. Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Bibit Sapi Madura Guna meningkatkan Mutu Sapi Madura. Malang. Sub Balitnak Grati. Hal : 49 – 58. Martoyo, H. 1991. Program pemuliaan dalam usaha pembibitan ternak sapi pedaging dan permasalahannya. Makalah pada seminar sehari Bersama pemuliaan Ternak. Fak Peternakan. IPB. Bogor. 26 September 1991. Siregar, A. R. 1995. Potensi dan karakteristik sapi Madura. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. IV. No. 2. Rasyid, A. dan U. Umiyasih, 1993. Study tentang prestasi berat badan dan ukuran tubuh sapi sonok. Proc. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. Hal. 236-240. Soehadji. 1993. Kebijakan pengembangan ternak potong di Indonesia tinjauan khusus sapi Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah HasilPenelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sumenep. Hal.1-12. Soerjoatmodjo, M. 2002. Tinjauan potensi sapi Madura dan kajian program grading up menuju tercapainya kecukupan daging tahun 2005. Semiloka dalam rangka pemberdayaan dan grading up guna mendukung program intan sejati Jawa Timur. Dispet Prop. Jatim. Sumenep. Soesetya, R. H. B. 1993. Prevalensi fasciolasis pada sapi Madura yang disembelih di wilayah pembantu Gubernur Jawa Timur di Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. Hal.257-261. Sudana, I.G. S., S. Witono, Soeharsono, D. N., Darma dan I. N. Suendra. 1993. Survei situasi penyakit ngorok (haemirrhagic septichaemi) di Pulau Madura. Dalam Pros. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia., periode 1981/1982 : 51-57. Sukanto, I. P., R. C. Payne dan R. Graydon. 1988. Trypanosomiasis di Madura. Survei parasitologi. Penyakit Hewan 20 (36) : 85-87. Susilawati, T. 2002. Strategi dan peran inseminasi buatan dalam grading up sapi Madura. Semiloka dalam rangka pemberdayaan dan grading up guna mendukung program intan
51
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
sejati Jawa Timur. Dispet Prop. Jatim. Sumenep.
Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. Hal.106-109.
Umar, M. dan Riszqina. 1993. Perbandingan antara pemakaian formula berat hidup dan berat ditimbang pada sapi Madura dara. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. Hal.252-256.
Wijono D. B.. 1998. Peran bobot badan dan ukuran testes sapi potong pejantan terhadap kemampuan produksi dan tingkat kualitas semen. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Puslitbangnak. Bogor. Hal. 228-232.
Warwck, E. J. Astutik, dan W. Hardjosubroro. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta.
Wijono, D. B. dan Apffandhy, L.1996. Peranan skor kondisi badan induk dalam pemanfaatan potensi g netik sapi Madura. Pros. Temu Ilmiah Hasil-hasil Penelitian Peternakan. Puslitbangnak. Ciawi-Bogor. Hal : 223 -228.
Wijono D. B. dan Lukman Affandhy. 1993. Tampilan reproduksi sapi “Sonok” di Kabupaten Sumenep, Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan
52