5. ANALISIS STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI ASAL SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Genetic structure analysis of Southeast Sulawesi teak populations based on microsatellite markers) Abstract
Using 10 microsatellite DNA loci, genetic variation was analyzed within and between teak population collected at three locations in Southeast Sulawesi was analyzed. A total of 42 alleles were detected, with six the highest number allele at AAG10 and AG16 loci. The mean value of polymorphic information content (PIC) of the 10 loci ranged from 0.442 to 0.580. While the heterozigosity Ha and He were high (for Dolok population were 0.630 and 0.645 respectively) and the value of He was much higher than Ha. Genetic differentiation FST was 0.112 (11.2% of total genetic variation among population) and showed less deviation from Hardy-Weinberg expectation (Wright’s inbreeding coefficient FIS = 0.009). However, genetic differentiation using AMOVA showed 14% of total variation among population, the remaining 86% occured within populations. Cluster analysis calculating by Nei’s Distance showed that Dolok and Warangga population were in the same cluster. Keywords:
Tectona grandis, genetic structure, microsatellite
Abstrak
Sepuluh lokus DNA mikrosatelit, dilakukan analisis keragaman di dalam populasi dan keragaman antar populasi dari tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara. Total alel yang berhasil dideteksi adalah 42, dengan jumlah alel tertinggi sebanyak enam alel untuk lokus AAG10 dan AG16. Nilai rata-rata PIC berkisar 0.442 sampai 0.580. Nilai heterozigositas Ha dan He mempunyai nilai yang tinggi (tertinggi untuk Dolok adalah 0.630 dan 0.645) dengan nilai He selalu lebih besar daripada Ha. Nilai diferensiasi genetik FST adalah 0.112 atau 11.2% dari total keragaman genetik di antara populasi dan memperlihatkan sedikit penyimpangan dari keseimbangan Hardy-Weinberg harapan (Wright’s inbreeding coefficient FIS=0.009). Akan tetapi diferensiasi genetik yang dihitung dengan AMOVA memperlihatkan 14% terjadi keragaman di antara populasi dan sisanya sekitar 86% terjadi dalam populasi. Analisis cluster yang dihitung menggunakan jarak genetik Nei menunjukan bahwa populasi Dolok dan Warangga berada pada satu cluster. Kata kunci:
Tectona grandis, struktur genetik, mikrosatelit
37 Pendahuluan
Pengetahuan tentang variasi genetik dalam kaitannya dengan heterogenitas menurut ruang dan waktu adalah sangat penting dalam permasalahan genetik hutan.
Untuk itu diperlukan cakupan yang lebih luas dari hanya sekedar
pengamatan terhadap satu tanaman tunggal dan turunannya, ke pengamatan terhadap dinamika dari struktur genetik ditingkat kelompok individu-individu baik yang berkerabat atau tidak (Finkeldey, 2005). Dasar pendekatan yang dilakukan adalah populasi yaitu sekumpulan dari tanaman dari spesies yang sama dimana setiap individu dalam kumpulan tersebut punya peluang yang sama untuk dapat saling bertukar gamet. Informasi genetik dari suatu organisme tidak mengalami perubahan sepanjang hayatnya namun tidak dapat dipertahankan karena masa hidup suatu organisme tersebut sangat terbatas.
Namun demikian setiap organisme
mempunyai potensi untuk menurunkan informasi genetik yang dimilikinya keketurunannya melalui pertukaran gamet dan ini akan menghasilkan rekombinasi baru.
Dengan demikian dinamika dari struktur genetik tidak dapat diamati
ditingkat organisme tunggal, tetapi diamati ditingkat populasi dimana setiap anggota dari populasi tersebut saling bertukar gamet. Dinamika struktur genetik ditentukan dari komposisi gen berupa frekuensi alel dan frekuensi genotipe yang menyusun populasi tersebut.
Penyebaran
frekuensi dari genotipe-genotipe dalam populasi disebut sebagai genotipic
structure dan penyebaran frekuensi dari alel-alel dalam satu populasi disebut allelic structure.
Struktur genetik ini bersifat dinamik yaitu dalam kondisi
kesetimbangan atau mengalami perubahan atau berevolutif bila terdapat kekuatan yang dapat merubah kesetimbangan seperti adanya mutasi, aliran gen (migrasi), penghanyutan genetik (genetic drift), seleksi dan model dari sistem perkawinan. Jati (Tectona grandis Linn.f) merupakan hutan tanaman yang ditanam dalam areal yang luas. Namun kemudian dapat menjadi hutan yang terpisah-pisah (forest fragmentation) misal akibat adanya penebangan liar serta alih fungsi lahan sehingga terjadi isolasi berupa jarak atau geografis yang dapat menghambat pertukaran gamet di antara tanaman sehingga tidak terjadi aliran informasi genetik.
38 Dengan mempelajari struktur genetik suatu populasi tanaman dapat diketahui sistem genetik yang dimiliki tanaman yang merupakan alat yang komplek yang dipergunakan oleh suatu populasi untuk menjamin eksistensinya secara terus menerus. Sistem genetik bersifat adaptif, menentukan organisasi dan perpindahan informasi genetik, jenis dan jumlah kombinasi genetik yang dihasilkan oleh suatu populasi. Studi tentang struktur genetik suatu populasi tanaman sudah banyak dilakukan menggunakan penanda genetik seperti yang dilakukan pada populasi genetik kakao dan padi (Goran, 2000 dan Gao, 2002). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari struktur genetik tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara yang mempunyai level kerusakan akibat aktivitas manusia. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel daun dan benih jati diperoleh dari hutan jati di Kabupaten Muna dan Buton, Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai Mei 2003 sampai September 2006. Bahan Tanaman
Material tanaman jati berupa daun diperoleh dari dua kabupaten di Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan Kabupaten Buton (Sampolawa), yaitu lokasi-lokasi yang mempunyai level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia, untuk masing-masing lokasi diambil secara sensus dalam suatu areal (tidak dilakukan pengacakan) sebanyak 100 individual tanaman, kemudian pohon yang disampel dipetakan posisi struktur spatial penyebarannya (lihat lampiran 1 sampai 3). Analisis Data
Struktur populasi genetik digambarkan oleh frekuensi alel dan frekuensi genotipe yang menyusun populasi tersebut.
Populasi yang setimbang akan
mempunyai frekuensi alel yang tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut hukum kesetimbangan Hardy-Weinberg, frekuensi genotipe suatu
39 populasi berkawin acak akan dipertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya, selama tidak ada kekuatan luar yang dapat merusak kesetimbangan tersebut. Kekuatan tersebut adalah seleksi, migrasi, mutasi, dan erosi genetik secara acak. Kemudian dilakukan pula analisis untuk melihat keragaman genetik di dalam dan antar populasi, sebagai berikut: Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel
Untuk populasi satu lokus dengan dua alel, misal alel A dan alel a, maka genotipenya adalah AA, Aa dan aa. Bila hasil observasi banyaknya masingmasing genotipe adalah NAA, NAa, dan Naa, dimana NAA + NAa + Naa = N., maka frekuensi genotipe adalah: frekuensi genotipe AA = p ( AA) = N AA / N = D frekuensi genotipe Aa = p ( Aa) = N Aa / N = H frekuensi genotipe aa = p(aa) = N aa / N = R dan frekuensi alel adalah: frekuensi alel A = p( A) = p = D + 12 H frekuensi alel a = p (a) = q = R + 12 H
dan akan diperoleh D + H + R = 1 dan p + q = 1. Untuk populasi satu lokus dengan k buah alel (misal alel A1, A2, A3, … Ak) sehingga terdapat genotipe A1A1, A1A2, A1A3, … AkAk. Bila hasil observasi banyaknya masing-masing genotipe adalah N11, N12, N13, … Nkk, dimana N11 + N12 + N13 + … + Nkk = N, maka frekuensi genotipe masing-masing adalah:
frekuensi genotipe A1A1 = p ( A1 A1 ) = N11 / N frekuensi genotipe A1A 2 = p ( A1 A2 ) = N12 / N frekuensi genotipe A1A 3 = p ( A1 A3 ) = N13 / N # frekuensi genotipe A k A k = p ( Ak Ak ) = N kk / N dan frekuensi alel adalah: frekuensi alel A1 = p ( A1 ) = p1 = ( N11 + 1k ( N12 + N13 + " + N1k )) / N frekuensi alel A 2 = p ( A2 ) = p2 = ( N 22 + 1k ( N12 + N 23 + " + N 2 k )) / N frekuensi alel A 3 = p ( A3 ) = p3 = ( N 33 + 1k ( N13 + N 23 + " + N 3k )) / N # frekuensi alel A k = p ( Ak ) = pk = ( N kk + 1k ( N1k + N 2 k + " + N ( k −1) k )) / N
40 dan akan diperoleh: p ( A1 A1 ) + p ( A1 A2 ) + p ( A1 A3 ) + " + p ( Ak Ak ) = 1 dan p1 + p2 + p3 + … + pk = 1.
Analisis Kesetimbangan Populasi Kesetimbangan populasi dapat dianalisis menggunakan uji khi-kuadrat, dimana dalam analisis akan dibandingkan apakah frekuensi genotipe hasil pengamatan sesuai dengan frekuensi genotipe pada populasi setimbang HardyWeinberg. Misal populasi tersusun oleh satu lokus dengan dua alel yaitu A dan a, maka pengujiannya adalah:
χ2 =
( N AA − p 2 N ) ( N Aa − 2 pqN ) ( N aa − q 2 N ) + + p2 N q2 N 2 pqN
Karena dalam analisis kita dua kali melakukan pendugaan, yaitu pendugaan frekuensi alel dan pendugaan frekuensi genotipe. Jadi derajat bebas pengujian adalah k - 2, dan dalam kasus ini k – 2 = 1. Adapun kriteria uji adalah bila
2 χ 2 ≤ χ tabel ,α
maka populasi dalam keadaan setimbang, sebaliknya bila
2 χ 2 > χ tabel ,α maka populasi tidak setimbang.
Keragaman Genetik di Dalam Populasi Keragaman genetik umumnya digunakan untuk mengambarkan adanya variasi yang dijumpai dalam turunannya dan dapat diukur pada level individu, populasi dan spesies. Misal pada lokus, maka keragaman pada level individu dapat dilihat dengan adanya individu homozigot dan heterozigot. Pada level populasi, keragaman disebabkan tersekatnya individu-individu dalam populasi, sedangkan pada level spesies, keragaman disebabkan tersekatnya populasipopulasi dari satu spesies. Keragaman ditunjukan dengan adanya polimorfism pada lokus. Proporsi heterozigotitas dan derajat polimorfism pada level individu, populasi, dan spesies merupakan dua parameter yang dapat digunakan untuk menjelaskan adanya keragaman genetik. Keragaman mengandung dua pengertian
41 yaitu menyangkut kelimpahan (kekayaan) dan menyangkut bagaimana variasi tersebut tersebar (kejadian).
Dalam pengertian kekayaan berkaitan dengan
banyaknya lokus polimorfik yang muncul atau banyaknya alel pada suatu lokus. Sendangkan dalam pengertian kejadian berkaitan dengan jumlah rata-rata alel pada suatu lokus dalam suatu populasi atau spesies, dan digunakan untuk mengakses keragaman. Keragaman alelik adalah keragaman genetik yang diukur atau diduga dari keragaman aleliknya, yaitu banyaknya alel per lokus dan banyaknya lokus polimorfik. Adapun parameter yang dapat dihitung adalah:
Jumlah Rata-rata Alel per Lokus, A. Jumlah rata-rata alel per lokus adalah porporsi jumlah total alel pada semua lokus terhadap jumlah lokus monomorfik dan polimorfik, sebagai berikut: A=
jumlah total alel pada semua lokus jumlah lokus monomorfik dan polimorfik
Persentase Lokus Polimorfik, P.
Persentase lokus polimorfik adalah
proporsi jumlah lokus polimorfik terhadap jumlah lokus monomorfik dan polimorfik, sebagai berikut: P=
jumlah lokus polimorfik jumlah lokus monomorfik dan polimorfik
Jumlah Rata-rata Alel per Lokus Polimorfik, AP. Jumlah rata-rata alel per lokus polimorfik adalah proporsi dari jumlah total alel pada semua lokus terhadap jumlah lokus polimorfik, sebagai berikut:
AP =
jumlah total alel pada semua lokus jumlah lokus polimorfik
Rata-rata Heterozigot Observasi, Ho.
Rata-rata heterozigot observasi
adalah rata-rata proporsi dari genotipe heterozigot aktual untuk masing-masing lokus pada semua populasi, sebagai berikut: k
HO =
∑ i =1
N Aa N
k
dimana N Aa = banyaknya genotipe heterozigot; N = total semua genotipe; dan k = banyaknya populasi
42 Rata-rata Heterozigot Harapan, HE.
Rata-rata heterozigot harapan
adalah rata-rata proporsi dari genotipe heterozigot harapan untuk masing-masing lokus untuk semua populasi, sebagai berikut: k
HE =
∑2p q
i i
i =1
k
Nei’s Gene Diversity Statistics.
Total gene diversity, HT adalah
keragaman gen total yang didefinisikan sebagai: k
H T = 1 − ∑ pi2 i =1
dimana p adalah frekuensi rata-rata alel i sampai alel k dari semua populasi yang diamati. Keragaman Genetik Antar Populasi Jarak Genetik dan Kesamaan Genetik. Jarak genetik digunakan untuk
menghitung sejauh mana perbedaan secara genetik antara dua populasi. Ukuran jarak genetik berkisar antara 0 - 1. Nilai 0 dicapai jika struktur genetik dua populasi sama. Sebaliknya nilai jarak genetik 1 dicapai jika kedua populasi tidak membagi tipe genetik yang sama. Jarak genetik diformulasikan sebagai berikut J = 1 − HT
Sedangkan kesamaan genetik dari dua populasi X dan Y adalah:
Ij =
J XY J X JY
Keragaman Genotipik, DG. Keragaman genotipik (Genotypic diversity)
atau Simpson’s index sering digunakan sebagai suatu ukuran keragaman, dan mempunyai nilai maksimum mendekati 1 dan minimum 0, bila kedua sample indentik, formulanya adalah ⎡ ni (n j − 1) ⎤ DG = 1 − ∑ ⎢ ⎥ ⎣ N ( N − 1) ⎦ dimana ni adalah banyaknya individu dari genotipe i dalam suatu populasi berukuran N.
43 Shannon’s Index Diversity.
Nilai keragaman lainnya sama seperti
Simpson’s index yaitu Shannon’s index bernilai dari 0 sampai tak terhingga, tergantung dari banyaknya lokus yang diamati.
H = −∑ pi ln( pi ) Diferensiasi Genetik. Diferensiasi genetik atau disebut juga koefisien
diferensiasi genetik merupakan parameter gen diversity yang menghitung sejauh mana suatu populasi berbeda dengan populasi lainya. Nilainya berupa Nei’s GST, Wright’s F-statistics Nei’s GST.
Total gene diversity (HT) dapat dipecah terutama untuk
menentukan proporsi gene diversity dari suatu spesies yang muncul di dalam populasi (HS) dan antar populasi (DST), sebagai berikut: H T = DST + H S dimana HS adalah rata-rata heterozigositas harapan dalam setiap populasi, dihitung sebagai berikut: H S = 1 − ∑ i =1 p 2 i=K
dimana p adalah rata-rata frekuensi dari alel ke-i pada lokus ke-k dalam setiap populasi dan nilainya dirata dari semua populasi. Indek diversity HT, HS, dan DST dapat digunakan untuk mengukur diferensiasi genetik (GST) atau disebut juga koefisien gen diferensiasi merupakan parameter gen diversity yang menghitung sejauh mana suatu populasi berbeda dengan populasi lainya, sebagai berikut:
GST =
DST HT
Nilai GST berkisar antara 0 dan 1. Nilai GST = 0, terjadi bila HT = HS, yang berarti frekuensi allel untuk keseluruhan populasi adalah sama. Sebaliknya bila GST = 1, berarti HS = 0 yang berarti tidak ada variasi di dalam populasi Wright’s F-statistics. Menggunakan nilai-nilai dari HT, HS, dan parameter
baru turunannya, rata-rata heterozigot observasi per individu, HI, maka struktur genetik
populasi
dapat
dianalisis
menggunakan
F-statistics.
Wright
mengambarkan HT, HS sebagai total heterozigot harapan dari total populasi dan rata-rata heterozigositas harapan di dalam populasi (asumsi populasi seimbang
44 Hardy-Weinberg).
Definisi HT dan HS berbeda walaupun keduanya punya
sinonim dan punya dasar matematika yang sama (Lowe et al., 2004). FST equivalent dengan GST walaupun FST dikembangkan untuk lokus yang dialel dan untuk kasus multialelik digunakan pendekatan dari GST. Berdasarkan keragaman dari tipe level yaitu individu, populasi dan total populasi maka pendekatan Wright’s dibedakan untuk 3 level struktur populasi yaitu: Koefisien Inbreeding, FIS mengambarkan perbedaan heterozygositas
pengamatan dari heterozigositas harapannya di dalam populasi panmixia:
FIS =
HS − HI HS
Index Fiksasi, FST menggambarkan penurunan heterozigositas di dalam
populasi relatif terhadap total populasi yang dikaitkan dengan seleksi dan penghanyutan (drift). FST =
HT − H S HT
Koefisien Inbreeding Keseluruhan, FIT mengambarkan penurunan
heterozigositas dalam individu relatif terhadap total populasi yang kawin tidak acak di dalam populasi (FIS) dan population subdivision (FST). Relasi dari ketiga F-statistik tersebut adalah 1 − FIT = (1 − FIS )(1 − FST ) AMOVA (Analysis of Molecular Variance).
Asumsi yang mendasari
analisis ini seperti lokus saling bebas tidak terpaut, tidak ada variasi yang disebabkan migrasi dan penghanyutan genetik.
Dasar perhitungan AMOVA
adalah jarak genetik (jenis perhitungan dapat dipilih dari tipe-tipe data yang digunakan), analisis ini dapat menghitung keragaman di dalam dan antar group populasi.
Level singnifikansi dari AMOVA dihitung dengan metode
nonparametrik permutasi data yang diset dengan 1000 permutasi (Excoffier, 1992).
45 Hasil
Berikut ini disajikan contoh genotiping salah satu lokus mikrosatelit yaitu AC01 (Gambar 5.1) dimana pada gambar tersebut terdiri atas lima alel dimana
sebagai contoh genotipe homozigot pada Gambar tersebut adalah line 01, 03 sampai 05 dengan genotipe 33 dan yang heterozigot misal line 02, 06, dan 07 dengan genotipe 23. Sedangkan genotipe lainnya dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Contoh profil pola pita lokus AC01 pada tanaman jati Tabel 5.1
memperlihatkan
hasil pengukuran terhadap parameter
variabilitas genetik populasi jati asal Sulawesi Tenggara menggunakan 10 lokus mikrosatelit (AG04, AG16, AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS) menghasilkan total 46 alel dengan rata-rata banyaknya alel per lokus 4.03 dengan kisaran alel mulai dari tiga (AG04, AGT10 dan CPIMS) sampai enam alel (AG16 dan AAG10). Tingkat polimorfisme tertinggi pada lokus AG16 (0.767), rata-rata untuk semua lokus adalah 0.522. Sedangkan informasi untuk masing-masing populasi jati asal Buton (Sampolawa) dan asal Muna (Dolok dan Warangga) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.1.
46 Tabel 5.1.
Lokus AG04 AG16 AGT10 AC44 AC01 AG14 ATC02 AC28 AAG10 CPIMS Rata-rata Keterangan:
Jumlah alel dan tingkat polimorfisme 10 lokus mikrosatelit pada tanaman jati asal Sulawesi Tenggara Sampolawa Alel PIC 0.341 3 0.429 4 0.373 3 0.518 4 0.265 4 0.752 5 0.440 4 0.426 3 0.354 6 0.518 3
Dolok
Alel PIC 0.281 3 0.767 6 0.439 3 0.526 5 0.584 4 0.629 5 0.596 4 0.575 3 0.514 4 0.540 3 3.9 0.442 4.0 0.545 PIC = Polymorphic information content
Warangga Alel PIC 0.572 4 0.688 6 0.387 3 0.635 5 0.570 4 0.722 5 0.573 4 0.488 3 0.602 5 0.567 3
4.2
0.580
Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa frekuensi alel untuk alel dari lokus yang sama pada setiap populasi sangat bervariasi, sebagai contoh lokus AG04 pada populasi Sampolawa dan Dolok hanya memiliki tiga alel, sedangkan populasi Warangga memiliki empat alel dengan alel ke 4 memiliki frekuensi di atas 5%. Pada semua lokus yang diamati ditemukan alel jarang yaitu AG04, AG16, dan AAG10. Tabel 5.2 juga memperlihkan dalam frekuensi kecil adanya privat alel
untuk Sampolawa (S) pada lokus AAG10 alel 7 dengan frekuensi alel 0.13; untuk populasi Dolok privat alel pada lokus ATC02 dengan frekuensi alel sebesat 0.009; untuk populasi Warangga dengan privat alel pada lokus AG04 dengan frekuensi 0.052.
47 Tabel 5.2.
Lokus AG04
AG16
AGT10 AC44
AC01
AG14
ATC02
AC28 AAG10
CPIMS
Frekuensi alel 10 lokus mikrosatelit pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara Alel 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 1 2 3 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 2 3 4 5 6 7 1 2 3
Sampolawa 0.765 0.173 0.062 0.000 0.000 0.475 0.025 0.000 0.013 0.487 0.381 0.611 0.008 0.007 0.393 0.120 0.000 0.480 0.071 0.048 0.845 0.036 0.283 0.217 0.181 0.196 0.123 0.292 0.630 0.071 0.006 0.000 0.078 0.267 0.656 0.006 0.063 0.082 0.785 0.051 0.013 0.399 0.129 0.472
Dolok 0.796 0.010 0.194 0.000 0.098 0.054 0.196 0.205 0.295 0.152 0.056 0.569 0.375 0.083 0.119 0.077 0.077 0.643 0.114 0.228 0.535 0.123 0.469 0.056 0.037 0.210 0.228 0.353 0.362 0.276 0.000 0.009 0.363 0.405 0.232 0.000 0.137 0.578 0.265 0.020 0.000 0.529 0.257 0.214
Warangga 0.453 0.127 0.368 0.052 0.051 0.140 0.017 0.112 0.303 0.376 0.045 0.682 0.273 0.135 0.088 0.115 0.142 0.520 0.283 0.187 0.500 0.030 0.329 0.200 0.052 0.200 0.219 0.160 0.415 0.396 0.028 0.000 0.225 0.612 0.163 0.011 0.275 0.324 0.385 0.005 0.000 0.214 0.351 0.435
48 Keragaman genetik yang ditunjukan oleh nilai heterosigositas aktual dan harapan (Ha dan He) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata heteozigositas aktual (Ha) selalu lebih kecil dari nilai heterozigositas harapan (He) pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg. Tabel 5.3. Lokus
Keragaman genetik jati berdasarkan nilai heterosigositas dan nilai FIS Ha
Sampolawa, S He FIS
0.469 0.646 0.524 0.480 0.262 0.739 0.623 0.522 0.418 0.798 0.548 Keterangan : AG04 AG16 AGT10 AC44 AC01 AG14 ATC02 AC28 AAG10 CPIMS Rataan
Ha
Dolok, T He
FIS
Ha
Warangga, W He FIS
0.383 -0.227 0.286 0.332 0.141 0.708 0.644 -0.100 0.540 -0.197 0.750 0.804 0.068 0.652 0.735 0.114 0.485 -0.080 0.425 0.536 0.208 0.455 0.469 0.032 0.604 0.207 0.536 0.557 0.038 0.635 0.675 0.059 0.280 0.066 0.439 0.639 0.316 0.590 0.638 0.075 0.792 0.068 0.605 0.683 0.116 0.743 0.765 0.029 0.516 -0.210 0.741 0.674 -0.102 0.717 0.650 -0.104 0.496 -0.054 0.663 0.654 -0.015 0.551 0.551 0.001 0.373 -0.121 0.431 0.582 0.261 0.681 0.675 -0.009 0.605 -0.321 0.686 0.613 -0.120 0.571 0.646 0.116 0.507 -0.081 0.556 0.607 0.085 0.630 0.645 0.023 Heterozigositas aktual, Ha; heterozigositas harapan pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg, He; dan indeks fisasi di dalam populasi, FIS.
Dari nilai indek fiksasi antar tanaman dalam populasi FIS untuk populasi Dolok dan Warangga bernilai positif, sedangkan nilai negatif terdapat pada lokasi Sampolawa (Tabel 5.3) Tabel 5.4.
Nilai F-statistik populasi jati asal Sulawesi Tenggara
Lokus AG04 AG16 AGT10 AC44 AC01 AG14 ATC02 AC28 AAG10 CPIMS Rata-rata Keterangan :
FIT FST FIS 0.044 0.131 -0.100 0.160 0.148 0.014 0.216 0.147 0.082 0.155 0.062 0.099 0.229 0.081 0.161 0.090 0.027 0.065 -0.044 0.084 -0.140 0.154 0.171 -0.021 0.225 0.201 0.030 -0.028 0.077 -0.114 0.120 0.112 0.009 Indeks fiksasi total, FIT; indek antar populasi, FST; dan indeks fisasi di dalam populasi, FIS
49 Tabel 5.4 mempelihatkan nilai rata-rata indeks fiksasi FST (indek fiksasi antar populasi), FIS (indek fiksasi dalam populasi) dan FIT (indek fiksasi total populasi) jati asal Sulawesi Tenggara semua bernilai positif. Keragaman genetik di dalam populasi dan antar populasi menggunakan analisis AMOVA (Analysis of Molecular Variance) memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan keragaman secara statistik antar group, antar populasi dalam group dan antar individu dalam populasi namun demikian persentase keragaman tertinggi terdapat antar individu dalam populasi sebesar 86.35% dengan indeks fiksasi sebesar 0.136. Sedangkan diferensiasi genetik antar populasi dan antar group (Muna dan Buton) hanya terjadi keragaman genetik berturut-turut sekitar 5% dan 9%. Tabel 5.5.
AMOVA populasi jati asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 lokus mikrosatelit
Sumber Keragaman Antar group
Dalam populasi
Jumlah Kuadrat 1 87.562 1 27.124 627 1313.242
Komponen Ragam 0.29823 0.17030 2.96518
Total
629
3.43372
Antar populasi dalam group
db
1427.927
Persentase Ragam 8.69 4.96 86.35
P
< 0.01 < 0.01 < 0.01
Jarak genetik Nei yang dihitung dari frekuensi alel untuk 10 lokus mikrosatelit, menunjukan bahwa populasi Dolok dan Warangga mempunyai jarak genetik yang sangat dekat sehingga mengelompok menjadi satu cluster dengan jarak sebesar 0.0248.
Perbedaan genetik antara kluster jati dari Buton
(Sampolawa) dan Muna (Dolok dan Warangga) sebesar 0.1061 (lihat Gambar 5.2).
50
Sampolawa
Dolok
Warangga
0.00
0.05
0.10 0.15 Nei's Distance
0.20
0.25
Gambar 5.2. Dendrogram jarak genetik antar populasi jati berdasarkan jarak genetik Nei Pembahasan
Struktur populasi genetik berupa frekuensi alel ke 10 lokus mikrosatelit untuk populasi asal jati asal Sampolawa, Dolok dan Warangga (Tabel 5.2) memperlihatkan bahwa semua lokus mikrosatelit yang digunakan bersifat polimorfisme.
Frekuensi alel untuk alel dari lokus yang sama pada setiap
populasi ternyata tidak sama, dengan demikian ketiga populasi jati tersebut akan mempunyai struktur genotipe yang berbeda pula, dimana penyebaran frekuensi dari genotipe-genotipe yang terdapat dalam satu populasi akan berbeda untuk ketiga populasi tersebut. Pada semua lokus yang diamati ditemukan alel jarang (rare alleles) yaitu alel yang memiliki proporsi kurang dari 1% (AG04, AG16, dan AAG10). Keberadaan alel jarang dan privat alel dapat sangat bermanfaat bagi
deteksi tingkat aliran gen antar populasi jenis-jenis pohon tropis yang terpisah sampai beberapa kilometer (Barton dan Slatkin, 1986). Keragaman genetik dapat pula ditunjukan dari nilai heterosigositas aktual dan harapan (Ha dan He).
Pada Tabel 5.3 terlihat bahwa nilai rata-rata
heteozigositas aktual (Ha) selalu lebih kecil dari nilai heterozigositas harapan (He) pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg, hal ini berarti pada setiap populasi cenderung terjadi defisit heterozigositas, sehingga stuktur genotipe akan mengarah pada peningkatan homozigositas. Keragaman genetik dari nilai He berkisar 0.507
51 sampai 0.645 memberikan nilai yang lebih besar dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kertadikara dan Prat (1995) pada provenan jati dari Indonesia, India, Thailand dan Afrika menggunakan marka isoenzim sebesar 0.347. Perbedaan nilai ini disebabkan perbedaan marka genetik yang digunakan, mikrosatelit pada penelitian ini memberikan polimorfisme yang tinggi (0.44 sampai0.58) dengan satu lokus terdiri atas banyak alel bisa sampai tujuh alel, sedangkan pada isoenzim seperti yang dilakukian oleh Dewi (2003) hanya mempunyai dua alel. Dari nilai indek fiksasi antar tanaman dalam populasi, nilai rata-rata FIS untuk populasi Dolok dan Warangga bernilai positif hal ini berarti terjadi defisit heterozigositas, nilai negatif ditemukan pada lokus CPIMS, AGT10, dan AC44 hal ini berarti pada lokus tersebut ditemukan kelimpahan heterozigot. Nilai FIS yang positif disebabkan terjadinya silang dalam atau anggota populasi yang berkawin tidak beragam dari sisi genotipenya. Nilai FIS diperoleh untuk populasi Dolok dan Warangga sekitar 8% namun pada Sampolawa terjadi kelimpahan heterozigositas (Tabel 5.4), nilainya hampir sama dengan yang diteliti pada jenis pohon tropis mencapai 10.9%.
Namun nilai tersebut masih berada dalam kisaran sedang
sampai tinggi bila dibandingkan dengan keragaman jenis pohon yang penyerbukannya dibantu oleh hewan (zoochorous) sebesar 5% (Loveless, 1992 dalam Finkeldey, 2005). Nilai rata-rata indeks fiksasi FST (indek fiksasi antar populasi), FIS (indek fiksasi dalam populasi) dan FIT (indek fiksasi total populasi) jati asal Sulawesi Tenggara semua bernilai positif yang memberi informasi terjadi defisit heterozigositas. Defisit heterozigositas dalam suatu populasi dapat terjadi karena adanya hambatan aliran gen dalam keseluruhan populasi dan meningkatnya hubungan kekerabatan antar individu pohon yang bertetangga (Gregorius dan Namkoong, 1983 dalam Kertadikara dan Prat, 1995). Secara genetik dengan meningkatnya homozigositas dalam jangka panjang, akan menimbulkan terjadinya deperesi inbreeding yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jati secara ekonomis.
52 Secara genetik dengan meningkatnya homozigositas dalam jangka panjang, akan menimbulkan terjadinya deperesi inbreeding yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jati secara ekonomis. Terdapat keragaman genetik di antara individu dalam populasi, antar populasi dan antar group yang dianalisis menggunakan AMOVA (Analysis of Molecular Variance). Keragaman genetik yang tinggi terjadi di antara individu dalam populasi sekitar 86%, sedangkan sisanya adalah keragaman antara populasi dalam group dan keragaman dalam group sekitar 5% dan 9%. Keragaman genetik ini dapat terjadi karena terjadinya aliran informasi genetik yang tinggi karena terjadi perkawinan silang di antara tanaman, keragaman antar populasi di dalam group masih dianggap kecil bila dindingkan hasil yang diperoleh dari hasil penelitian jati menggunakan isoenzim (Dewi, 2003) dapat mencapai 13%. Populasi Dolok dan Warangga berada dalam satu kluster sedangkan Sampolawa terpisah hal ini dapat dimengerti karena Sampolawa secara geografis dipisahkan oleh lautan, sedangkan Dolok dan Warangga merupakan lokasi yang berjarak kurang lebih 45 km namun merupakan suatu area yang kontinu, kemungkinan aliran informasi genetik masih terjadi Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: •
Semua lokus bersifat polimorfisme, dengan rata-rata alel per lokus sebesar 4.03 serta tingkat polimorfisme 0.767.
•
Keragaman genetik individu dalam populasi menghasilkan nilai yang tinggi untuk populasi Dolok (He=0.804) dan keragaman antar populasi diperoleh nilai FST=11% dan terjadi fenomena defisit heterozigot.
•
Keragaman dalam populasi lebih tinggi dari keragaman antar populasi.
•
Jarak genetik populasi jati Muna (Dolok dan Warangga) sebesar 0.0248 dan perbedaan jarak genetik antara jati Muna dengan Buton (Sampolawa) sebesar 0.1061. Daftar Pustaka
Barton NH, Slatkin, 1986. A quasi-equilibrium theory of the distribution of rare alleles in a subdivided population. Heredity 56:409-415.
53 Dewi SP. 2003. Pendugaan keragaman genetik serta sistem perkawinan (mating system) di kebun benih klon jati (Tectona grandis Linn.f.). Thesis Program Pascasarjana IPB Excoffier L, Smouse PE, Quattro J.M. 1992. Analysis of molecular variance inferred from metric distances among DNA haplotypes: application to human mitochondrial DNA restriction data. Genetics 131:179–191. Finkeldey R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Gao L, Schaal BA, Zhang C, Jia J, Dong Y. 2002. Assessment of population genetic structure in commond wild rice Oryza rufipogon Griff, using microsatellite and allozyme markers. Theor Appl Genet 106:173-180 Goran JAKN, Laurent V, Risterucci AM, Lanaud C. 2000. The genetic structure of cocoa populations (Theobroma cacao L.) revealed by RFLP analysis. Euphytica 115:83-90. Kertadikara AWS, Prat D. 1995. Genetic structure and mating system in teak (Tectona grandis) provenances. Silvae Genetica 44, 2-3: 104-110. Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological genetics: design,analysis, and application. Blackwell Publishing. UK. Nei M, Li WH. 1979. Mathematical modes for studying genetic variation in terms of restriction endonucleases. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 76: 5269–5273.
6. ANALISIS ALIRAN INFORMASI GENETIK VIA SERBUK SARI DAN PENYEBARAN BENIH TANAMAN JATI ASAL SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Gene flow via pollen and seed dispersal analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) Abstract
Parentage analysis of three teak populations from Southeast Sulawesi, successfully detected candidate male parent 30% for Sampolawa, 81% for Dolok, and 87% for Warangga. Analysis parentage on juvenile tree successfully detected 76% pairs candidate male and female parents. The gene flow through pollen dispersal showed that pollens spread out to all directions by the distance average of 30.23-39.43 m and furthermost more than 80 m. Whereas, the genetic migration through seed dispersal showed that juvenile tree from their expected parents occurred by the distance average of 34.27 m and the furthermost 68.73 m. Keywords: Tectona grandis, gene flow, microsatellite, pollen, seed dispersal
Abstrak
Analisis tetua yang dilakukan pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara berhasil mendeteksi kandidat tetua sebagai sumber serbuk sari pada progeni sebanyak 30% untuk Sampolawa, 81% untuk Dolok dan 87% untuk Warangga. Analisis untuk mendeteksi pasangan tetua pada tanaman juvenil di lapang berhasil mendeteksi sebanyak 76%. Analisis lebih lanjut menunjukkan aliran informasi genetik via serbuk sari penyerbukannya terjadi dari segala arah dibantu oleh serangga. Penyerbukan yang terjadi terutama dari sumber serbuk sari dari tetangga terdekat (30%). Rata-rata sumber serbuk sari dapat menyerbuki 30.23-39.43 m dan terjauh lebih dari 80 m. Sedangkan tansportasi via penyebaran benih (tanaman juvenil) diperkirakan dibantu oleh angin dan kemudian oleh air dengan jarak migrasi dari pohon induk benih rata-rata 34.27 m dan terjauh dapat mencapat 68.73 m Kata kunci: Tectona grandis, aliran gen, mikrosatelit, serbuk sari, penyebaran benih
55 Pendahuluan
Aliran gen (gene flow) adalah proses transportasi informasi genetik melalui transportasi serbuk sari (penyebaran gamet jantan) dan transportasi melalui benih (migration). Aliran gen lewat serbuk sari berhubungan erat dengan proses perkawinan tanaman, dimana serbuk sari yang bergerak bila sampai ke kepala putik akan terjadi peristiwa pembuahan. Untuk tanaman menyerbuk sendiri (autogami), pergerakan serbuk sari dapat sangat minimal misal untuk tanaman cleistogami (serbuk sari berasal dari bunga yang sama, fertilisasi terjadi saat bunga mekar), dan beberapa meter untuk geitonogami (serbuk sari berasal dari bunga yang berbeda pada tanaman yang
sama),. Sedangkan untuk tanaman menyerbuk silang, pergerakan serbuk sari dapat beberapa meter bahkan beberapa kilometer, pembuahan terjadi bila serbuk sari dari satu tanaman sampai ke kepala putik yang receptive (siap dibuahi) dari tanaman lain dari jenis yang sama (xenogami). Pergerakan gamet jantan (serbuk sari) memerlukan vektor berupa angin (anemophily) atau hewan (zoophily) Aliran informasi genetik melalui benih dapat juga disebut proses migrasi, dan tidak mempengaruhi secara langsung terhadap sistem perkawinan, namun penyebaran benih ini penting untuk pembentukan populasi sekitar. Vektor penyebaran benih pohon terdiri atas vektor abiotik seperti oleh angin (anemochory), air (hydrochory), berat (barochory) dan vektor biotik yaitu dibantu oleh hewan (zoochory) yang meliputi endozoochorous (setelah melalui pencernaan) atau exozoochorous (tanpa melalui pencernaan). Efisiensi aliran gen baik itu melalui sebuk sari atau benih sangat penting bila dikaitkan dengan ukuran populasi yang berproduksi secara efektif, terutama menyangkut pola spatial variasi genetik. Aliran gen yang rendah dan tidak efisien dapat
menghasilkan
diferensiasi
genetik
antar
sub-populasi
dan
dapat
menyebabkan terbentuknya struktur famili. Sedangkan aliran gen yang tinggi dan efisien dapat berguna untuk menghindari terjadinya silang dalam yang kuat yang mungkin sangat merugikan dilihat dari sisi pemuliaan. Aliran informasi genetik dapat dipelajari dengan mengamati pergerakan serbuk sari secara fisik dari tingkah laku serangga menggunakan pewarna
56 fluoresence kemudian penyebaran fluoresence tersebut dianalisa, namun metode ini sangat sulit dilakukan karena transportasi serbuk sari pada pohon terjadi sebagian besar di kanopi atau bagian atas tajuk sehingga tidak dapat dilihat secara langsung. Metode lain yaitu menggunakan penanda genetik seperti, gen lokus isoenzim dan penanda gen mikrosatelit yang sangat berguna untuk menduga pergerakan serbuk sari yang efektif secara genetik di antara tanaman. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mempelajari aliran gen menggunakan penanda genetik isozim seperti pada populasi tanaman Hopea odorata (Ihara et al., 1986 dalam Finkeldey, 2005), Pinus merkusii (Siregar dan Hattemer, 2000);
sedangkan Dawson et al. (1997) menggunakan penanda gen mikrosatelit untuk mengetahui aliran gen melalui serbuk sari pada pohon neotropis Gliricidia sepium, pada populasi tanaman Eugenia dysentrica (Zucchi et al., 2003) dan Eterpe edulis (Gaiotto et al., 2003).
Aliran informasi lewat penyebaran benih telah dipelajari pula seperti pada tanaman Jacaranda copaia (Jones et al., 2005). Namun demikian penelitian aliran gen pada populasi tanaman jati masih belum banyak dilakukan terutama menggunakan penanda genetik mikrosatelit. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari sistem aliran informasi genetik melalui serbuk sari dan benih pada tiga buah populasi tanaman jati di Sulawesi Tenggara. Bahan dan Metode Material Populasi dan Ekstrasi DNA
Tiga populasi jati yang memiliki level kerusakan atau gangguan terhadap tegakan jati tersebut akibat adanya aktivitas manusia. Untuk itu dipilih tiga lokasi populasi tegakan jati di Sulawesi Tenggara dengan berbagai level gangguan yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan satu populasi dari Kabupaten Buton (Sampolawa). Untuk masing-masing lokasi dipanen buah jati secara terpisah (famili half-sib) yang berasal dari 13-19 pohon induk benih yang kemudian dikecambahkan (lihat Lampiran 11). Selain itu juga dikoleksi secara sensus tanaman jati yang dapat diidentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari bagi pohon induk benih pada areal 4 – 6 ha atau 60 – 100 tanaman dewasa.
57 Tabel 6.1.
Koleksi progeni famili half-sib jati dari 13-19 pohon induk benih serta semua tanaman jati yang diindentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit
Asal Dolok, Muna
Populasi Pohon sebagai sumber serbuk sari Pohon induk benih Bibit yang ditanam di rumah kaca Tanaman juvenil dari lapang Pohon sebagai sumber serbuk sari Pohon induk benih Bibit yang ditanam di rumah kaca Pohon sebagai sumber serbuk sari Pohon induk benih Bibit yang ditanam di rumah kaca
Jumlah Tanaman 105 17 62 25 111 Warangga, Muna 13 132 Sampolawa, Buton 99 19 119 Total 702 tanaman Keterangan : Bibit yang ditanam dirumah kaca merupakan famili half-sib dari pohon induk benih yang ditanam secara terpisah
DNA total diisolasi dari daun kecambah, daun muda progeni half-sib dari 13-19 pohon induk benih berserta induknya dan semua daun muda dari tanaman jati sekitar yang berpotensi sebagai sumber serbuk sari hasil sensus (Tabel 6.1). Untuk semua lokasi pengambilan sampel maka dilakukan pemetaan posisi relatif (spatial) setiap individu (Lampiran 1, 2 dan 3).
Ekstraksi DNA dilakukan
menggunakan procedure CTAB selengkapnya disajikan pada Bab 3 dan Lampiran 8. Analisis Marka Mikrosatelit
Amplifikasi product PCR menggunakan 10 primer mikrosatelit (Tabel 3.2) menggunakan profil PCR (Lampiran 8), sedangkan visualisasi dilakukan menggunakan prosedur elektroforesis polyacrylamide (Lampiran 9). Analisis Data
Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk menduga gene flow, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung.
Secara langsung diduga
berdasarkan pada distribusi keragaman genetik di antara populasi. Secara tidak
58 langsung gene flow diduga berdasarkan hasil pengamatan dari perpindahan serbuk sari dan benih. Pendugaan secara tidak langsung diduga dari nilai FST untuk menghitung banyaknya imigran efektif per generasi (Nem) sebagai berikut (Hamrick dan Nason (2000): Nem =
1 − FST 4 FST
dimana Ne adalah banyaknya individu-individu efektif dalam populasi dan m adalah laju imigrasi. Pengukuran gene flow secara langsung dapat diduga dari perbedaan frekuensi alel antara tetua dan generasi biji. Jika m adalah laju migrasi gene flow ke dalam populasi (misal proporsi alel-alel yang berimigrasi), dan (1-m)
adalah proporsi alel-alel yang tidak berimigrasi, qt adalah frekuensi alel pada generasi ke-t, dan q
adalah rata-rata frekuensi alel dari populasi yang
mengelilingi populasi penerima (populasi donor). Hubungan antara gene flow dengan perubahan frekuensi adalah sebagai berikut: qt = qt −1 (1 − m) + qm
nilai qt , qt −1 , dan q
dapat diduga secara langsung dari pengamatan, nilai-nilai
tersebut dapat digunakan untuk menduga m, sebagai berikut: m=
qt −1 − qt qt −1 − q
Analisis hubungan tetua dengan turunannya dilakukan menggunakan program komputer CERVUS 2.0 (Marshall, 2001). Hasil
Berikut ini disajikan salah satu genotiping lokus AG16 (Gambar 6.1), memperlihatkan lokus tersebut terdiri atas enam alel dimana sebagai contoh genotipe homozigot pada Gambar tersebut adalah line 47 sampai 51 dengan genotipe 22 dan yang heterozigot misal line 52 sampai 54 dengan genotipe 26, sedangkan genotipe lainnya dapat dilihat pada Gambar 6.1.
59
Gambar 6.1. Contoh profil pola pita lokus AG16 pada tanaman jati Dari analisis tetua yang dilakukan berhasil mendeteksi kandidat tetua sebagai sumber serbuk sari pada progeni sebanyak 30% untuk Sampolawa, 81% untuk Dolok dan 87% untuk Warangga (Lampiran 4 sampai Lampiran 6). Sedangkan analisis terhadap tanaman semai untuk mendeteksi kedua tetua berhasil mendeteksi sebanyak 76% (Lampiran 7). Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah (Gambar 6.2). Rata-rata jarak sumber serbuk sari terhadap pohon induk benih berjarak 34.27 m dengan range 30.23 m untuk Sampolawa dan 39.43 m (Warangga). Sedangkan banyaknya sumber serbuk sari benih terdekat (0-10 m) kurang dari 10% dan (10-20 m) antara 13-26% dan sumber serbuk sari yang terjauh dapat mencapai di atas 80 m terjadi pada populasi Warangga (Gambar 6.3).
Gambar 6.2. Perpindahan informasi genetik (gene flow) via serbuk sari
60 30
28.44 24.77
Persentase jumlah sumber polen
25
20 15.60
15.60 15
10
8.26 4.59
5
2.75
0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
0.00
0.00
0.00
0.00
70-80
80-90
90-100
>100
0.00
0.00
0.00
0.00
70-80
80-90
90-100
>100
Jarak tetua jantan ke tetua betina (m) 30 26.00
Persentase jumlah sumber polen
25 22.00 20
18.00 16.00
15 10.00
10
5
4.00
4.00
0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
Jarak tetua jantan ke tetua betina (m) 30
Persentase jumlah sumber polen
25
20 17.39 15.65 13.91
15
13.91 12.17
10
8.70
7.83
7.83
5 1.74
0.87
0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
80-90
90-100
0.00 >100
Jarak tetua jantan ke tetua betina (m)
Gambar 6.3. Jarak dan sumber serbuk sari untuk lokasi Sampolawa (atas), Dolok (tengah) dan Warangga (bawah)
61 Aliran informasi genetik via penyebaran benih menunjukan benih penyebarannya dibantu oleh angin (anemochory), tanaman juvenil yang terbentuk berada cukup jauh dari kedua tetuanya rata-rata 36.05 m sampai 37.11 m (jarak terdekat 7.17 m dan jarak terjauh 70.06 m). Kosekuensi genetik aliran informasi melalui serbuk sari lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh. Karena tidak efisiennya transportasi via benih maka biasanya akan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara genetik. Sedangkan jarak yang jauh dari serbuk sari dapat menghindari terjadinya silang dalam. Dari hasil penelitian memperlihatkan tanaman juvenil berada cukup jauh dari kedua tetuanya 30-40 m (jarak terdekat 7.05 m dan terjauh sampai 68.73 m), sedangkan jarak kedua kandidat tetuanya antara 0–60 m (Gambar 6.3 dan 6.4).
Gambar 6.4. Perpindahan informasi genetik melalui benih Persentase tanaman juvenil tumbuh di dekat tetuannya dengan jarak 0-20 m sebesar 31%, namun persentase jarak tetua yang berhasil menjadi tanaman juvenil dilapang dengan persentase mencapai 47.34 terjadi pada jarak 50-70 m (Gambar 6.5).
62 35
Persentase banyaknya seedling
30
25 21.05
21.05
20 15.79 15 10.53
10.53
10.53
10 5.26
5.26
5 0
0
0
80-90
90-100
>100
0
0
0
70-80
80-90
90-100
>100
0.00
0
0
0
70-80
80-90
90-100
>100
0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
Jarak antara seedling ke tetua 1
35 31.58
Pesentase banyaknya seedling
30
25 20 15.79
15.79
15.79
15 10.53 10 5.26
5.26
5 0
0.00 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
Jarak antara seedling ke tetua 2 35 31.58
Persentase banyaknya seedling
30
25 20 15.79
15.79
15.79
15 10.53 10 5.26
5.26
5 0 <10
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
Jarak antara tetua 1 dengan tetua 2
Gambar 6.5. Analisis tetua (parentage analysis) via benih untuk populasi Dolok
63 Pembahasan
Analisis tetua pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tetua sebagai sumber serbuk sari untuk analisis gene flow via serbuk sari dan pasangan tetua untuk migrasi via benih, sehingga proses transportasi informasi genetik dapat dipelajari.
Persentase
progeni yang berhasil dideteksi memperoleh sumber serbuk sari dari kandidat tetua menurun dengan meningkatnya jumlah tanaman per hektar di lapangan (kerapatan populasi). Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah, hal ini menunjukan transportasi serbuk sari dibantu oleh vektor serangga (zoophily). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Finkeldey (2005) menyatakan bahwa bunga jati banyak didatangi oleh serangga, keculi kumbang dan kemungkinan lalat adalah penyerbuk utamanya. Hasil penelitian terhadap sistem perkawinan menunjukan bahwa jata merupakan tanaman yang menyerbuk silang dengan persentase di atas 95% (Bab 7) Kebanyakan serbuk sari diangkut ke pohon tetangga saja mencapai 30% yaitu pada jarak 0-20 m, hasil ini sejalan dengan penelitian sistem perkawinan (Bab 7) yang menyatakan terjadinya biparental inbreeding yang disebabkan perkawinan dari tetangga terdekat.
Sedangkan hasil penelitian Finkeldey
menggunakan lokus gen isoenzim hanya mencapai 20% saja. Hasil penelitian menunjukan pula semakin rapat populasi maka persentase serbuk sari dibawa ke tetangga terdekat semakin besar pula, namun secara rata-rata 34.64 m dan jarak terjauh mencapai di atas 80 m, namun dengan persentase yang relatif kecil. Kecilnya persentase transportasi serbuk sari yang menyebar jauh dibawa oleh polinator sampai ratusan meter namun demikian mungkin viabilitas serbuk sari tersebut sudah hilang. Kosekuensi genetik aliran informasi melalui serbuk sari lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh. Karena tidak efisiennya transportasi via benih maka biasanya akan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara
64 genetik. Sedangkan jarak yang jauh dari serbuk sari dapat menghindari terjadinya silang dalam. Proses perpindahan informasi genetik melalui benih lebih cenderung dikatagorikan sebagai suatu migrasi genetik. Proses ini sangat penting dalam proses pembentukan populasi jati sekitarnya.
Finkeldey (2005) menyebutkan
dilihat dari bentuk dan bobot buah, jati tidak mempunyai penyesuaian khusus untuk menjamin penyebaran benihnya, diduga buah yang masak diangkut oleh angin beberapa meter ketika mulai jatuh, tidak satupun hewan yang diketahui menyebarkan benih jati.
Dari hasil penelitian ini (Gambar 6.4 dan 6.5)
memperlihatkan tanaman juvenil berada cukup jauh dari kedua tetuanya 30-40 m. Jauhnya jarak tanaman juvenil dari kandidat tetuanya diduga oleh angin dimana biji akan jatuh dan terbawa angin beberapa meter dari pohon induknya, kemudian tumbuh menjadi tanaman juvenil atau terbawa aliran air hujan sehingga jaraknya semakin jauh dari pohon induknya sehingga tanaman juvenil yang tumbuh akan berada jauh dari kandidat parentnya sampai puluhan meter (Gambar.6.4). Informasi jarak kedua kandidat parent pada studi seed dispersal sebenarnya menunjukan jarak pergerakan informasi genetik melalui serbuk sari, dengan demikian jarak pergerakan serbuk sari baik pada studi pollen dispersal atau seed dispersal memberi hasil yang relatif sama, yaitu 0 – 60 m. Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: •
Serbuk sari menyebar ke segala arah yang mengindikasikan bahwa penyerbukan dibantu oleh vektor serangga. Penyerbukan dapat terjadi sampai sejauh 80 m, namun penyerbukan sebagian besar terjadi dengan rata-rata 34.47 m.
•
Tanaman juvenil (penyebaran via benih) diidetifikasi jauh dari kedua kandidat tetuanya 30-40 m dan terjauh mencapai 68.73 m.
65 Daftar Pustaka
Dawson I.K, Waugh R, Simons A.J, Powell W. 1997. Simple sequence repeats provide a direct estimate of pollen-mediated gene dispersal in the tropical tree Gliricidia sepium. Molecular Ecology 6:179-183 Finkeldey, R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Gaiotto FA, Grattapaglia D, Vencovsky R. 2003. Genetic Structure, Mating System, and Long-Distance Gene Flow in Heart of Palm (Euterpe edulis Mart.). Journal of Heredity 94(5):399–406 Hamrick JL, Nason JD. 2000. Gene flow in forest tree. Di dalam: Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia. Jones FA, Chen J, Weng GJ, Hubbell SP. 2005. A Genetic Evaluation of Seed Dispersal in the Neotropical Tree Jacaranda copaia (Bignoniaceae). The American Naturalist 166(5):000-000 Marshall TC. 2001. Cervus Ver. 2.0. University of Edinburgh, UK. Siregar IZ, Hattemer HH. 2000. Gene flow and mating system in a seedling seed orchard and natural stand of Pinus merkusii Jungh. et de Vriese in Indonesia. Part 3: Genetic resources, reproduction, management Zucchi MI et al. 2003. Genetic structure and gene flow in Eugenia dysenterica DC in the Brazilian Cerrado utilizing SSR markers. Genetics and Molecular Biology, 26, 4, 449-457