ANALISIS KERAGAMAN GENETIK IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DI KEPULAUAN SERIBU BERDASARKAN DNA MIKROSATELIT
DINAR PUTRALAKSANA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Keragaman Genetik Ikan Napoleon (Cheillinus undulatus) Di Kepulauan Seribu Berdasarkan DNA Mikrosatelit adalah benar karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang terdapat dalam skripsi ini dalam bentuk karya tulis penulis lain telah dicantumkan dalam bagian Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014 Dinar Putralaksana NIM C54100050
ABSTRAK DINAR PUTRALAKSANA. Analisis Keragaman Genetik Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) di Kepulauan Seribu berdasarkan DNA Mikrosatelit. Dibimbing oleh HAWIS H MADDUPPA dan ADRIANI SUNUDDIN. Ikan Napoleon merupakan salah ikan Highly commercial yang juga merupakan spesies kunci pemangsa yang memainkan peranan penting bagi proses ekologi dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat keragaman genetik ikan napoleon berdasarkan DNA Mikrosatelit di Kepulauan Seribu, serta mengetahui status konservasi dan perdagangannya. Ekstraksi sampel menggunakan metode DNeasy blood and tissue kit produksi Qiagen. Amplifikasi gen lokus mikrosatelit dengan proses PCR (Polymerase Chain Reaction) menggunakan primer lokus A3, A65, T63. Tahapan annealing atau proses pemanasan untuk penempelan primer dilakukan pada suhu 57 °C untuk primer (A65), 58 °C (T63), dan 56 °C (A3), selama 30 detik dan 30x siklus. Hasil keragaman genetik menunjukan nilai Heterozigositas observasi (Hobs) rata-rata 0.608 dari tiga lokus yang digunakan. Nilai PIC (Polymorphic information content) tertinggi terdapat pada primer lokus T63 dengan nilai PIC sebesar 0.588 dan jumlah alel yang teramplifikasi sebanyak tujuh alel. Ikan napoleon termasuk kedalam status konservasi IUCN kategori terancam. Status perdagangan ikan napoleon berdasarkan CITES adalah Appendix II. Kata kunci: keragaman genetik, DNA mikrosatelit, status konservasi, status perdagangan
ABSTRACT DINAR PUTRALAKSANA. Genetic Diversity Analysis of Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) in Kepulauan Seribu, based on Microsatellite DNA. Supervised by HAWIS H MADDUPPA and ADRIANI SUNUDDIN. Napoleon wrasse is one of many fish that belongs to highly commercial category on Fishing Industry. In addition, napoleon wrasse is well known as one of the key predator species which play an important role for the ecology and sustainability of coral reef ecosystems. The purpose of this study was to analyze genetic diversity level of napoleon wrasse at Kepulauan Seribu, and recognize the conservation and trading status of napoleon wrasse. Sample extraction using DNeasy blood and tissue kit by Qiagen. Amplification of microsatellite loci gene by PCR using primer of A3, A65, and T63 loci. Stages of annealing was carried out at 57 °C on A65 primer, 58 °C on T63 primer, and 56 °C on A3 primer, for 30 seconds and 30x cycle. Genetic diversity result showing that the average values of Hobs from 3 loci that being used is 0.608. The highest PIC value was found on T63 loci primer, with 0.588 PIC value and 7 numbers of alleles were amplified. Based on IUCN, Napoleon wrasse was listed on endangered status and listed on Appendix II of trading status by CITES. Keywords: Genetic diversity, microsatellite DNA, conservation status, trade status
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DI KEPULAUAN SERIBU BERDASARKAN DNA MIKROSATELIT
DINAR PUTRALAKSANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Keragaman Genetik Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) di Kepulauan Seribu Berdasarkan DNA Mikrosatelit Nama : Dinar Putralaksana NIM : C54100050
Disetujui oleh
Dr. Hawis H Madduppa, S.Pi, M.Si Pembimbing I
Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa, sang penguasa kehidupan dan akhirat ini, karena berkat rahmat, ridho, dan petunjukNya lah, kegiatan penelitian yang berjudul “Analisis Keragaman Genetik Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) di Kepulauan Seribu berdasarkan DNA Mikrosatelit” dapat terselesaikan. Skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan baik berupa materil dan moril dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih pada Bapak Dr. Hawis H. Madduppa S.Pi, M.Si dan Ibu Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua beserta adik tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tulus kepada penulis, peneliti dan staff Indonesian Biodiversity Research Center (IBRC) Bali atas fasilitas juga bimbingannya, teman-teman seperjuangan Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB angkatan 47 serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kita selalu mendapatkan berkat dari-Nya.
Bogor, November 2014 Dinar Putralaksana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
METODE
2
Lokasi Penelitian
2
Prosedur Penelitian
2
Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Karakteristik Mikrosatelit
6
Keragaman Genetik
8
SIMPULAN DAN SARAN
10
Simpulan
10
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
11
LAMPIRAN
15
RIWAYAT HIDUP
16
DAFTAR TABEL 1 Informasi primer mikrosatelit lokus A65, T63, dan A3 2 Nilai karakteristik mikrosatelit dari tiga lokus mikrosatelit ikan napoleon (Cheilinus undulatus) di Kepulauan Seribu 3 Nilai heterozigositas yang diobservasi (Hobs) dan heterozigositas yang diperkirakan (Hexp) dari tiga lokus mikrosatelit ikan napoleon (Cheilinus undulatus) di Kepulauan Seribu 4 Impor (dalam kg) ikan napoleon di China, Hongkong SAR
4 6
8 10
DAFTAR GAMBAR 1. Diagram alir prosedur analisis laboratorium
3
DAFTAR LAMPIRAN 1. Ukuran rata-rata panjang Napoleon
15
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan Napoleon, Cheilinus undulatus (Rüppell, 1835 dalam Wiadyna 2011), adalah salah satu ikan terumbu besar yang hidup pada daerah tropis. Ikan napoleon termasuk kedalam kategori ikan Highly Commercial dalam perikanan tangkap (Wiadyna, 2011). Selain dikenal sebagai komoditas bernilai tinggi, Ikan Napoleon diketahui merupakan salah satu species pemangsa kunci yang memainkan peranan penting bagi proses ekologi dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Ikan Napoleon dilaporkan memangsa bintang laut berduri (Crown of Thorns starfish) yang diketahui merupakan pemangsa organisme pembangun terumbu karang (Sadovy et al., 2003). Kajian menunjukkan bahwa hilangnya ikan Napoleon dari ekosistem terumbu karang akan mendorong meledaknya populasi bintang laut berduri yang pada gilirannya memangsa organisme pembangun terumbu secara besar-besaran (CRC Reef Research Centre, 2003). Dewasa ini, ikan napoleon dikultur untuk menjadi persediaan dari permintaan ikan konsumsi pada skala internasional yang terus meningkat (Soemodinoto et al., 2013). Selain itu, ada juga pengembangan pasar ekspor untuk juwana dari ikan napoleon yang diperdagangkan untuk perdagangan akuarium laut. Oleh karena itu ikan napoleon atau Cheilinus undulatus dianggap sebagai ikan yang terancam di dunia (Donaldson dan Sadovy, 2001 dalam Dorenbosch, 2006). Berdasarkan hal tersebut perlu diadakan pelestarian dan penelitian lebih lanjut mengenai biodiversitas dari ikan napoleon, khususnya di perairan sekitar Indonesia, baik antar individu pada satu populasi maupun antar populasi yang berjauhan. Struktur genetik pada suatu populasi berperan penting dalam penyusunan strategi konservasi. Struktur genetik populasi penting untuk diketahui agar dapat ditentukan apakah suatu populasi dikelola sebagai unit manajemen berbeda atau tidak, karena apabila hal ini tidak dilakukan dapat menimbulkan dampak yang kurang baik pada populasi tersebut (Wandia et al., 2009 dalam Lumban Gaol et al., 2013). Struktur genetik dapat diungkap dengan materi genetik berupa protein dan DNA. Pada tingkat DNA struktur genetik dapat diungkap dengan mikrosatelit. Analisis marka mikrosatelit merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam penelusuran lebih lanjut informasi suatu spesies, baik dalam rangka pelestarian maupun tambahan ilmu bagi dunia pengetahuan. Berbeda halnya dengan marka mitokondria, mikrosatelit merupakan segmen langsung dari genom inti sehingga variasi genetik yang ditemukan merupakan pencerminan variasi genetik yang sebenarnya. Variasi genetik mikrosatelit yang tinggi merupakan marka molekuler yang baik untuk kajian genetika populasi (Smith et al., 2000 dalam Lumban Gaol et al., 2013). Mikrosatelit sebagai penanda molekuler telah digunakan secara luas di berbagai studi genetika populasi (Rogers, 2005 dalam Lumban Gaol et al., 2013) karena keunggulan yang dimilikinya seperti kelimpahannya yang tinggi dalam genom eukariot, variasi genetiknya tinggi akibat mutasi, dan amplifikasinya mudah secara in vitro melalui Polymerase Chain Reaction (PCR).
2 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis tingkat keragaman genetik antar individu yang terdapat di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta berdasarkan DNA Mikrosatelit 2. Mengetahui status konservasi dari ikan napoleon berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature) serta status perdagangan berdasarkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species).
METODE Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan pada bulan April - Juli 2014. Pengambilan sampel ikan napoleon dilakukan di Nusa Keramba, Kepulauan Seribu pada keramba jaring apung ikan napoleon. Analisis laboratorium bertempat di Indonesian Biodiversity Research Center (IBRC), Sesetan – Bali, dan Laboratorium Biodiversitas dan Biosistematika Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Prosedur Penelitian Metode Perolehan Data Sampel Sampel ikan napoleon (Cheilinus undulatus) yang diambil merupakan hasil sitaan dari nelayan di sekitar perairan Kepulauan Seribu. Napoleon yang terdapat di keramba jaring apung merupakan kumpulan dari populasi napoleon yang berbeda karena berasal dari perairan yang berbeda. Sampel ikan napoleon diambil sedikit pada bagian sirip kaudal. Jumlah sampel ikan napoleon yang diambil adalah 56 sampel. Sampel dimasukkan dalam tube yang berisi etanol 96% dan diberi label. Selain itu, dilakukan juga pengukuran data panjang ikan napoleon menggunakan penggaris serta dokumentasi ikan yang dijadikan sampel. Kisaran panjang ikan napoleon yang dijadikan sampel adalah 23 - 30.5 cm. Analisis Laboratorium Analisis laboratorium dilakukan dalam tiga tahap, yaitu Ekstraksi DNA, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Elektroforesis. Sampel sirip ikan napoleon (Cheilinus undulatus) yang digunakan untuk dianalisis berjumlah 39 sampel dari 56 sampel yang diambil pada keramba jaring apung di Nusa Keramba, Kepulauan Seribu. Gambar 1 merupakan diagram alir prosedur analisis laboratorium:
3 Mulai
Ekstraksi DNA sampel napoleon
Polymerase Chain Reaction (PCR)
DNA Negatif
Elektroforesis
DNA Positif
Pengiriman Hasil DNA Positif Ke Sequencing Facility UC, Barkeley
Analisa Data Mikrosatelit oleh Software Genemarker V.1.85 (Demo Version) dan Cervus 3.0
Selesai
Gambar 1 Diagram alir prosedur analisis laboratorium
4 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA bertujuan untuk menghancurkan jaringan daging sampel dan memisahkan DNA dari jaringannya. Ekstraksi DNA dapat dilakukan dalam beberapa metode. Metode yang digunakan dalam ekstraksi DNA ikan napoleon ini adalah dengan menggunakan Dneasy blood and tissue kit produksi Qiagen. Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR bertujuan untuk mengamplifikasi gen lokus mikrosatelit. Komponen yang digunakan pada tahap ini adalah template DNA, enzim Taq DNA polymerase Gold, dNTPs, buffer PCR, MgCl2, primer sequence (5’-3”) forward dan reverse dari Lokus A65;T63;A3 (Peng et al., 2013) sertaair deionase (ddH2O). Komposisi dalam satu tube proses PCR antara lain ddH2O 15µl, 10x PCR Buffer (Gold) 2.5 µl, dNTPs 1 µl, MgCl23 µl, primer forward 1 µl, primer reverse 1 µl, PE Amplitaq 0.1 µl, template DNA sebanyak 4 µl. PCR dilakukan dalam satu siklus pada suhu 95°C selama 5 menit, lalu diikuti dengan 30 siklus denaturasi pada 94°C untuk 30 detik, lalu 30 detik annealing pada temperatur pada Tabel 1, lalu tahap ekstensi pada 72°C untuk 30 detik, dan ekstensi yang terakhir pada 72°C untuk 5 menit. Tabel 1 Informasi primer mikrosatelit lokus A65, T63, dan A3 Lokus
Dye
A65
VIC (Red)
T63
A3
Primer Sekuens (5'-3")
F: AACCGACCACAGGAAGAGGAT
Repeat Motif
Suhu Annealing (°C)
(CA)13
57
(CT)6
58
(AC)7C2(AC)5
56
R: GGAGGAGGTAAGTGAAGTAACGC
PET (Green)
F: GGTCAAGGAGGCGGGTTT
PET (Green)
F: GTTCTCAGCAGCCATCCT
R: TGTCTGCACCAGGGTCAGC
R: CGATTAGACCCAAACCCT
Sumber :Peng et al. (2012)
Elektroforesis Tahapan elektroforesis merupakan tahapan lanjutan untuk melihat DNA yang positif atau negatif dari produk PCR yang dihasilkan. Tahap awal yang dilakukan adalah pembuatan Gel Agarosa 10% dengan mencampurkan 0.75 gram bubuk agarosa dengan 75 mL TBE 0.5x dalam tabung Erlenmeyer. Panaskan pada microwave selama 1 menit hingga agarose terlihat larut. Kemudian tuangkan dalam cetakan agarosa dan pasangkan sisir kemudian tunggu selama 15-25 menit hingga gel terbentuk (Pratiwi, 2001). Masukan sampel hasil PCR dengan menggunakan micropipet dengan terlebih dahulu campurkan dengan loading dye sebagai pewarna. Tahap pencampuran dilakukan menggunakan micropipet. Setelah itu masukkan kedalam
5 cetakan gel tersebut. Jalankan mesin elektroforesis pada 200 V dan arus 400 mA. Setelah selesai, rendam hasil cetakan gel pada wadah berisi EtBr, tunggu hingga 15 menit, lalu bilas pada air TBE dan lihat hasilnya dengan menggunakan lampu UV pada panjang gelombang 254 nm kemudian hasil gambar difoto dengan menggunakan kamera. Fragment Analysis Fragment analysis adalah istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan analisis eksperimen penanda genetik, yang bergantung pada pendeteksian perubahan panjang sekuens DNA yang spesifik untuk menentukan presensi atau absensi dari penanda genetik (Olga, 2013). Fragment analysis adalah teknik genetik umum yang hasil sekuens dari suatu gen tidak dianalisis secara langsung dari urutan basanya, melainkan keberadaan dari suatu alel atau versi mutasi dari alel yang ada, dan ditujukan oleh keberadaan atau mutasi alel pada sekuens DNA yang terhubung yang nantinya dijadikan penanda dari alelnya. Hal ini menyebabkan penggunaan data fragment analysis tepat digunakan dalam analisis mikrosatelit untuk melihat keragaman genetik dari spesies yang diteliti. Cara mendapatkan data fragment analysis adalah dengan mengamplifikasi sampel yang sudah diekstraksi dengan metode PCR. Proses fragment analysis dikirim ke Berkeley Sequencing Facility yang terdapat di Amerika (Sanger et al., 1997).
Analisis Data Karakteristik Mikrosatelit Parameter dari karakteristik mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jumlah alel per lokus, jumlah sampel yang dianalisis, nilai PIC (Polymorphic information content) serta Hardy-Weinberg principle (HWP). Jumlah alel tiap lokus dan frekuensi alel dikalkulasikan atau dihitung menggunakan perangkat lunak Genemarker V 1.8 dan CERVUS 3.0 (Marshall et al., 1998). Keragaman Genetik Dua parameter dari keragaman genetik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu nilai Heterozigositas observasi (Hobs) dan Heterozigositas yang diperkirakan (Hexp). Heterozigositas observasi (Hobs) merupakan nilai heterozigositas yang diperoleh dari sampel pengamatan, sedangkan heterozigositas yang diperkirakan (Hexp) merupakan nilai heterozigositas yang diharapkan berdasarkan Hardy-weinberg Principle. Menezes (2005) berpendapat bahwa suatu penanda lokus dianggap sangat baik ketika nilai Hobs rata rata yang didapat lebih tinggi dari 0.7, dan kurang baik apabila nilainya dibawah 0.5. Jumlah heterozigositas yang diamati dan heterozigositas didapatkan (Nei, 1973) dikalkulasikan atau dihitung menggunakan perangkat lunak CERVUS 3.0 (Marshall et al., 1998).
6 Status Konservasi dan Perdagangan Status konservasi napoleon dilihat dari situs IUCN (International Union of Conservation Nation) yaitu www.iucnredlist.org dan status perdagangan napoleon dilihat dari situs CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species) cites.org/eng/app/appendices.php.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Mikrosatelit Mikrosatelit atau biasa disebut simple sequence repeat merupakan kelas dari polimorfik genetik yang biasa digunakan dalam pemetaan genetik (phylogeography) dan analisis kekerabatan serta untuk merekam jejak pola keturunan. Setelah dilakukan analisis mikrosatelit terhadap sampel napoleon didapatkan hasil pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai karakteristik mikrosatelit Jumlah alel (Na), jumlah sampel (N), polymorphic information content (PIC). Tanda asterisk (*) menunjukan deviasi signifikan dari Hardy-Weinberg principle (HWP) dengan menggunakan koreksi Bonferroni (P<0.01) dari tiga lokus mikrosatelit ikan napoleon (Cheilinus undulatus) di Kepulauan Seribu Locus A65
N 39
Na 5
PIC 0.506
HWP *
T63
39
7
0.588
*
A3
38
3
0.177
ND
Berdasarkan hasil analisis mikrosatelit, dua dari tiga lokus mikrosatelit yang digunakan menunjukan adanya penyimpangan signifikan dari persamaan Hardy-Weinberg yang diindikasikan dengan tanda asterisk (*) pada keterangan lokus mikrosatelit (Tabel 2). Hardy-Weinberg Principle (HWP) menyatakan bahwa alel dan frekuensi genotip pada suatu populasi akan tetap konstan dari generasi ke generasi berikutnya, dikarenakan tidak adanya pengaruh dari evolusi lainnya. Pengaruh evolusi yang terjadi adalah pemilihan pasangan, mutasi, seleksi alam, penyimpangan genetik, aliran gen, dan laju meiotik. Cara mengetahui penyimpangan dari HWP biasanya dilakukan oleh perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis data. Analisis tersebut menggunakan dasar Pearson’s chi-squeared test dengan acuan frekuensi genotip yang diobservasi dari data dan frekuensi genotip yang diperkirakan menggunakan HWP. Secara teori, pelanggaran dari asumsi Hardy-Weinberg dapat membuat penyimpangan dari data yang telah dianalisis. Penyimpangan dari HWP yang terjadi pada lokus yang digunakan, menunjukan bahwa keadaan populasi ikan napoleon yang diamati
7 termasuk kedalam populasi dengan keadaan normal, karena kesetimbangan Hardy-weinberg mustahil secara nyata terjadi di alam. Parameter jumlah alel (Na) dari nilai karakteristik mikrosatelit (Tabel 2) memperlihatkan hasil yang beragam dari ketiga lokus yaitu berkisar antara 3-7 alel. Jumlah alel paling banyak ditemukan pada lokus T63 yaitu sebanyak 7 alel. Nilai Polymorphism Informative Content (PIC) berkisar antara 0.177 - 0.588 dengan rataan 0.423, yang berarti lokus ini dapat mendeteksi polymorphisme dalam suatu populasi sebesar 18-59%. Dari hasil rataan PIC yang didapat, lokus yang digunakan termasuk dalam kategori penciri yang tingkat informatifnya sedang. Menurut Hildebrand et al. (1992) suatu lokus dapat dikategorikan sebagai penciri yang sangat baik, apabila menunjukan nilai PIC lebih besar dari 0.7. Sedangkan nilai PIC yang berkisar antara 0.4 – 0.5 dikategorikan sebagai penciri yang nilai informatifnya sedang. Lokus mikrosatelit T63 merupakan lokus paling efektif dibandingkan lokus lainnya dengan jumlah alel yang teramplifikasi tertinggi yaitu tujuh alel dan nilai PIC=0.588. Pada lokus A65 alel yang teramplifikasi berjumlah lima alel dengan nilai PIC=0.506, lokus A3 alel yang teramplifikasi berjumlah tiga alel dengan nilai PIC=0.177. Nilai PIC yang tinggi menggambarkan bahwa tingkat informasi penciri atau lokus yang digunakan sangat informatif sebagai penciri. PIC mengacu pada nilai suatu penanda untuk mendeteksi polymorphisme di dalam suatu populasi. PIC tergantung pada banyak ditemukannya alel dan distribusi dari frekuensi alelnya (Anderson et al., 1993). Penelitian serupa dilakukan oleh Peng et al. (2012) yang mengamati karakteristik mikrosatelit dari ikan napoleon (humphead wrasse) yang berasal dari Laut Cina Selatan. Pada penelitiannya digunakan 13 lokus, tiga lokus diantaranya adalah lokus A65, T63 dan A3 yang digunakan dalam penelitian ini. Terdapat beberapa perbedaan hasil dari parameter karakteristik mikrosatelit dan keanekaragaman genetik (Tabel 3) yang didapatkan antara penelitian ini dengan penelitian oleh Peng et al. (2012). Jumlah alel ikan napoleon (Cheilinus undulatus) (Tabel 2) yang ditemukan berkisar antara 3-7 alel. Nilai alel yang didapatkan untuk lokus A3 pada sampel ikan Napoleon di Kepulauan Seribu ini sama dengan jumlah alel yang ditemukan pada ikan napoleon di Laut Cina Selatan oleh Peng et al (2012) yaitu sebanyak tiga alel. Jumlah alel pada lokus A65 dan T63, jumlah yang didapatkan adalah lima alel pada lokus A65 dan tujuh alel pada lokus T63, jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan jumlah alel yang didapatkan pada jurnal penelitian yang dilakukan Peng et al (2012), yaitu dua alel pada masing-masing lokus A65 dan lokus T63. Perbedaan jumlah alel antara ikan Napoleon di Kepulauan Seribu dengan ikan Napoleon di Laut Cina Selatan ini disebabkan oleh perubahan frekuensi atau jumlah alel relatif yang biasa disebut genetic drift. Genetic drift adalah suatu proses saat frekuensi alel dalam suatu populasi mengalami perubahan secara kebetulan, yang disebabkan oleh kesalahan sampling dari generasi ke generasi. Genetic drift dapat menyebabkan kenaikan atau penurunan jumlah alel secara kebetulan dari waktu ke waktu, tergantung efek yang dari genetic drift yang terbentuk. Dalam hal ini, efek yang terjadi adalah founder effect. Founder effect merupakan fenomena terjadinya variasi genetik saat terbentuknya populasi baru oleh beberapa individu dari populasi yang lebih besar (Barkeley Edu, 2014). Kemungkinan lain yang dapat menyebabkan perbedaan
8 jumlah alel yang didapatkan adalah bahwa alel tersebut merupakan produk mutasi terkini sehingga belum tersebar pada populasi lainnya (Dewi et al., 2013). Keragaman Genetik Keragaman genetik merupakan variasi gen dalam satu spesies baik diantara populasi – populasi yang terpisah secara geografis maupun di antara individu – individu dalam satu populasi (Indrawan et al., 2007). Keragaman genetik dalam sebuah populasi organisme terutama dihasilkan oleh tiga mekanisme yaitu mutasi, perpasangan alel secara bebas atau rekombinasi dan migrasi gen dari satu tempat ketempat lain (Suryanto, 2003). Tabel 3 Nilai Heterozigositas yang diobservasi (Hobs) dan heterozigositas yang diperkirakan (Hexp) dari tiga lokus mikrosatelit ikan napoleon (Cheilinus undulatus) di Kepulauan Seribu Lokus A65 T63 A3 Rata-rata
Hobs 0.795 0.846 0.184 0.608
Hexp 0.579 0.629 0.193 0.469
Nilai heterozigositas yang diperkirakan menunjukan kisaran nilai 0.1930.629. Nilai heterozigositas yang diperkirakan untuk tiap lokus yang diamati yaitu sebesar 0.579 untuk lokus A65 dan lokus T63 sebesar 0.629. Nilai lokus A3 sebesar 0.184 dengan 38 sampel yang dianalisis. Keragaman genetik dalam suatu populasi diukur dengan rata-rata heterozigositas (Ĥ) jika lokus yang diamati lebih dari satu lokus (Nei dan Kumar, 2000). Hasil analisis menunjukan bahwa rata-rata nilai heterozigositas yang diobservasi (Hobs) dan heterozigositas yang diperkirakan (Hexp) dari lokus yang digunakan, menunjukan nilai Hobs = 0.608 dan Hexp = 0.4699. Menezes (2005) berpendapat bahwa suatu penanda lokus dianggap sangat baik ketika nilai Hobs rata rata yang didapat lebih tinggi dari 0.7, dan kurang baik apabila nilainya dibawah 0.5. Untuk itu lokus yang digunakan pada penelitian ini dapat dikategorikan cukup baik dalam digunakan sebagai penanda dalam analisis keragaman genetik. Nilai heterozigositas yang ditemukan pada penelitian ini temasuk tinggi dibandingkan dengan nilai heterozigositas yang didapatkan oleh Peng et al (2012) pada penelitiannya mengenai karakteristik lokus mikrosatelit ikan napoleon di laut cina selatan yang rata-rata Hobsnya menunjukan nilai 0.4733. Nilai heterozigositas pada lokus A3 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang didapatkan pada penelitian serupa mengenai karakteristik lokus mikrosatelit ikan Napoleon di Laut Cina Selatan yang dilakukan oleh Peng et al.(2012) dengan nilai heterozigositas yang didapatkan sebesar 0.226. Pada lokus A65 dan T63, nilai heterozigositas yang didapat lebih besar dibandingkan dengan nilai heterozigositas yang didapatkan pada penelitian Peng et al. (2012) yaitu sebesar 0.375 untuk lokus A65, dan 0.374 pada lokus T63. Nilai heterozigositas (h) merupakan cara yang paling akurat untuk mengukur variasi genetik (Nei, 1987 dalam Sumantri et al., 2008). Nilai heterozigositas merupakan nilai yang
9 menunjukan jumlah rata-rata individu dengan lokus yang polimorfik. Lokus dapat dikatakan bersifat polimorfik apabila memiliki variasi alel dalam suatu populasi. Heterozigositas observasi (Hobs) merupakan nilai heterozigositas yang diperoleh dari sampel pengamatan, sedangkan heterozigositas yang diperkirakan (Hexp) merupakan nilai heterozigositas yang diharapkan berdasarkan Hardy-weinberg Principle. Besarnya keragaman genetik dapat mencerminkan sumber genetik yang juga diperlukan untuk mendukung adaptasi ekologi suatu jenis spesies dalam jangka pendek dan evolusi dalam jangka panjang (Lande and Shannon, 1996). Hasil nilai heterozigositas genetik menunjukan bahwa ikan napoleon yang berada di Nusa Keramba, Kepulauan Seribu, memiliki nilai heterozigositas yang lebih tinggi pada lokus yang diamati yaitu A65, A3, dan T63 dari ikan napoleon di Laut Cina Selatan oleh Peng et al. (2012). Hal ini menunjukan keragaman genetik yang tinggi dimiliki oleh ikan napoleon di Kepulauan Seribu. Untuk itu, kita perlu mempertahankan keragaman genetik yang ada, guna menjaga kemungkinan alel yang baik dari perubahan. Kenchington et al. (2003) mengusulkan beberapa bentuk aksi dalam pencegahan hilangnya keragaman diversitas pada biota laut, yaitu mempertahankan jumlah dan ukuran relative dari populasi, mempertahankan kelimpahan besar dari populasi individual, dan meminimalisasi seleksi yang disebabkan oleh perdagangan perikanan (Madduppa et al., 2012). Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) merupakan ikan yang memiliki bagian penting dalam perdagangan internasional ikan karang hidup konsumsi, dan menjadi salah satu dari bagian spesies dengan nilai unit yang tertinggi. Ancaman utama dari perdagangan ikan karang hidup adalah hilangnya keberlanjutan spesies yang disebabkan oleh penangkapan ikan yang berlebihan, serta efek penangkapan ikan yang memungkinkan rusaknya spesies sasaran, dan spesies non-target serta lingkungan terumbu (Gillet, 2010). Ikan napoleon (Cheilinus undulatus) termasuk dalam kategori terancam dalam status konservasi IUCN. Kategori terancam berarti spesies napoleon memiliki resiko yang sangat tinggi akan adanya kepunahan dalam waktu dekat (IUCN, 2013). Manfaat utama ikan napoleon digunakan sebagai bahan konsumsi. Ikan napoleon banyak diminati oleh masyarakat lokal dan mancanegara. Negara Indonesia banyak mengekspor napoleon ke berbagai negara karena memiliki nilai jual yang tinggi. Akibat maraknya penangkapan dan perdagangan napoleon, CITES menetapkan status perdagangannya dalam kategori Apendix II. Semua spesies yang termasuk dalam kategori Appendix II adalah spesies yang pada saat ini tidak termasuk dalam kategori terancam punah namun memiliki kemungkinan untuk terancam punah jika perdagangannya tidak diatur. Perdagangan terhadap jenis yang masuk kategori ini dapat diperbolehkan selama Management Authority dari negara pengekspor mengeluarkan ijin ekspor berdasarkan saran Scientific Authority yang telah mengadakan kajian yang menyimpulkan bahwa perdagangan jenis satwa atau tumbuhan tersebut tidak akan membahayakan kelestariannya di alam (CITES, 2013).Perdagangan napoleon di Indonesia paling banyak dilakukan dalam kegiatan ekspor. Negara yang paling banyak menerima atau melakukan impor ikan napoleon dari Indonesia antara lain Hongkong dan Cina. Berikut merupakan data Impor Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) di China, Hongkong.
10 Tabel 4 Impor (dalam Kg) ikan napoleon di China, Hongkong SAR Asal Negara Australia Cambodia Singapore Papua New Guinea Indonesia Philippines Malaysia Thailand Vietnam
2000 0 1497 0 0 875 5055 4503 30483 4
2001 2651 0 0 0 499 5343 3438 0 360
2002 49 0 0 0 5344 20752 2497 0 0
2003 0 0 0 0 4203 9514 2541 0 16
2004 0 0 0 0 544 5889 2221 509 89
2005 0 0 12450 4516 4919 212 0 0 0
2006 Rata-rata 0 386 0 214 6270 2674 4330 1264 1270 2522 0 6681 0 2171 0 4427 0 67
Sumber :FAO, 2010
Permintaan terhadap napoleon semakin bertambah setiap tahunnya meski harga jual napoleon sangat tinggi. Harga satu kg napoleon di Indonesia berkisar antara Rp 1.000.000,00 - Rp 1.500.000, 00. (Firdaus dan Hafsaridewi, 2012) Namun kini perdagangan napoleon di Indonesia telah dibatasi sejak adanya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: 37/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon dan menyebabkan permintaan napoleon sedikit menurun. Penangkapan napoleon diizinkan apabila dilakukan oleh peneliti dengan izin meneliti untuk tujuan ilmiah dan pengembangan budidaya kelautan, lalu berat ikan napoleon yang diizinkan untuk ditangkap adalah satu sampai tiga kg (ikan dengan berat kurang dari satu kg dan lebih dari tiga kg, harus digunakan sebagai budidaya kelautan atau dibebaskan ke alam), metode penangkapan yang diizinkan adalah menggunakan hook and line, perangkap, dan jarring insang. Indonesia juga memiliki program Marine Protected Area (MPA) yang ditujukan untuk mengatur atau mengelola perikanan laut (Mous et al., 2005). Program MPA dapat menjadi alat efektif untuk melakukan perlindungan keanekaragaman genetik yang menawarkan keuntungan untuk konservasi kekayaan alel dan melestarikan alel yang langka (Perez-Ruzafa et al., 2006).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keragaman mikrosatelit tertinggi terdapat pada primer lokus T63 dengan jumlah alel yang teramplifikasi sebanyak tujuh alel dengan nilai PIC sebesar 0.588 yang berarti lokus ini memiliki kemampuan untuk mendeteksi suatu polymorphisme sebesar 59%. Nilai heterozigositas menunjukan nilai rata-rata 0.608 yang berarti jumlah rata-rata individu dengan dengan lokus yang polimorfik memiliki kisaran 60.8 % dari 39 spesies yang diamati. Status konservasi ikan Napoleon tergolong dalam kategori Endangered yang berarti bahwa spesies ini memiliki resiko yang sangat tinggi akan adanya kepunahan di waktu dekat. Status perdagangan ikan Napoleon adalah Appendix II yang berarti spesies yang tidak
11 terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Saran Perlu adanya penelitian serupa mengenai karakteristik mikrosatelit ikan napoleon dengan menggunakan lokus yang lebih beragam, agar meningkatkan informasi dari nilai PIC yang didapat sehingga didapatkan acuan yang lebih baik dalam mendeteksi polimorfisme yang terjadi pada suatu populasi ikan napoleon.
DAFTAR PUSTAKA Anderson JA, Churchill GA, Autrique JE, Tanksley SD, Sorrells ME. 1993.Optimizing parental selection for genetic linkage maps. Genome, 36: 181-186 Barber CE, VR Pratt. 1997. Sullied Seas : Strategies for combating cyanide fishing in SE Asia and beyond. 57p. World Resources Inst, Washington, DC and the International Marine Life Alliance, Manila. Berkeley Education. Bottlenecks and Founder Effect. Understanding Evolution [www.evolution.berkeley.edu/evosite/evo101/IIID3Bottlenecks.shtml][25 Oktober 2014] Bryant D, L Burke, JW McManus, M Spalding. 1998. Reefs at Risk : A MapBased indicator of threats to the world’s coral reefs. Hal 56.World Resources Institute, Washington : USA. [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2004. Amendments to Appendices I and II of CITES [proposal]. Convention on the International Trade in Endangered Species, 13th Meeting of the Conference of the Parties. [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2013. Appendices I, II and III. CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora [www.cites.org]. [5 Juli 2014]; Versi 2013 : Switzerland. CRC Reef Research Centre (2003). Crown-of-Thorns starfish in the Great Barrier Reef – Current state of knowledge. Townsville: CRC Reef Research Centre, 6 hal. Dewi KE, Soma IG, Wandia IN. 2013. Diversitas genetik populasi monyet ekor panjang di Mekori menggunakan marka molekul mikrosatelit D3S1768.Indonesian Medicus Veterinus 2(1) : 43-57 Dorenbosch M, MGG Grol, I Nagelkerken, G van der Velde. 2006. Seagrass beds and mangroves as potential nurseries for the threatened Indo-Pacific napoleon wrasse, Cheilinus undulatus and Caribbean rainbow parrotfish, Scarus guacamaia. Biological Conservation, 129: 277-282. Donaldson TJ, Y Sadovy. 2001. Threatened fishes of the world: Cheilinus undulatus Ruppell, 1935 (Labridae). Environmental Biology of Fishes, 62: 428.
12 Firdaus M, Hafsaridewi R. 2012. Nilai ekonomi pemanfaatan ikan napoleon (Cheilinus undulatus) di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan 7(1):1-6. Froese R, KKleisner, D Zeller, DPauly. 2011. Worrisome trends in global stock status continue unabated: a response to a comment by R.M. Cook on "What catch data can tell us about the status of global fisheries”.Marine Biology Gillett R. 2010. Monitoring and management of the napoleon wrasse, Cheilinus undulates. FAO Fisheries and Aquaculture Circular. No 1048. Rome(ITA): FAO 62p. Heidi C, Carrie D, Maggie K, Sarah C, Angelia S, Robin S. 2014. The genetic variation in a population is caused by multiple factors. Nature Science (Ed 5.4) [Internet] [diunduh pada 7 Juli 2014].Tersedia pada http://http://www.nature.com/scitable/topicpage/the-genetic-variation-in-apopulation-is-6526354. Hildebrand CE, Torney David C, Wagner PR.1992. Informativeness of Polymorphic DNA Markers. Los Alamos Science. 20:100-102. Indrawan M, RB Primack, J Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta(ID): Yayasan Obor Indonesia. [IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2013. IUCN Red List of Threatened Species. IUCN International Union Conservation for Nature [Internet]. (26 Mei 2014 [26 May 2014]); Version 2013(2):Switzerland.Jones R.J. and O. Hoegh-Guldberg. 1999. The effect of cyanide on coral photosynthesis : implication for identifying the cause of coral bleaching and for assessing the environmental effect of cynide fishing. Marine Ecology Progress Series 177:83-91 Kenchington E, Mikko H, Nielsen EE. 2003. Managing marine genetic diversity:time for action?. Marine Science 60:1172-1176. Lande,R.C. and S. Shannon. 1996. The role of genetic variation in adaptation and population persistence in a changing environment. Evolution 50:434-437 Lumban Gaol AD, Suatha IK, Wandia IN. 2013. Struktur genetika populasi monyet ekor panjang di Alas Kedaton menggunakan marka molekul mikrosatelit DI8S536. Indonesia Medicus Veterinus2(1) : 32-42. Madduppa HH, Timm J, Kochzius M. 2012. Fishery-induced loss of genetic diversity in clown anemonefish (Amphiprion ocellaris) island populations of the Spermonde Archipelago, Indonesia [disertasi].Bremen(DE): University of Bremen. Mahfudz. 2013. Hubungan antara keragaman dengan isoenzim dan pertumbuhan Merbau. Balai Penelitian Kehutanan Manado. 3:103-112. Marshall TC, Slate J, Kruuk LEB, Pemberton JM. 1998. Statistical confidence for likelihood-based paternity inference in natural populations. Molecular Ecology 7:639-655. Menezes M.P.C. 2005. Variabilidade e relações genéticas entre raças caprinas nativas brasileiras. Ibéricas e canárias. Tese de Doutorado Integrado em Zootecnia, Universidade Federal da Paraíba, Universidade Federal Rural de Pernambuco e Universidade Federal do Ceará, Areia, CE. 110p. Mous PJ, Pet JS, Arifin Z, Djohani R, Erdmann MV, Halim A, Knight M, Pet Soede L,Wiadnya G. 2005. Policy needs to improve marine capture fisheries
13 management andto define a role for marine protected areas in Indonesia.Fisheries Management and Ecology 12:259-268 Myers RF. 1991. Micronesian Reef Fishes.Ed-2. 298p. Guam(US) : Coral graphics. Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York(US) : Columbia University Press. Nei M, S Kumar.2000 Molecular Evolution and Phylogenetics. New York(US) : Oxford University Press.Inc. Olga S. 2013. Fragment analysis. University of Delaware Sequencing and Genotyping Center [www.udel.edu/dnasequence/Site/Fragment_Analysis.html] 7 Juli 2014 [7 Juli 2014] Peng Yanhui, Luo Jian, Yin S, Zhu X, Hu J, Liu Z. 2012. Screening and Applicability of humphead wrasse microsatellite molecular markers. Marine Sciences Vol.36(5):109-116. Pérez-Ruzafa Á, González-Wangüemert M, Lenfant P, Marcos C, García-Charton JA. 2006. Effects of fishing protection on the genetic structure of fish populations. Biol Conserv 129:244–255 Pratiwi R. 2001. Mengenal Metode Elektroforesis. Puslitbang Oseanologi- LIPI. 26(1) : 25-31. Sadovy Y, MKulbicki, PLabrosse, YLetoumeur, P Lokani, TJ Donaldson.2003. The napoleon wrasse, Cheilinus undulatus : synopsis of a threatened and poorly known giant coral reef fish. Reviews in Fish Biology and Fisheries. 13:327-364 Sanger F, Nicklen S, Coulson AR. 1997. DNA sequencing with chain terminating inhibitors.P Nat Acad Sci. 74: 5463-5467. Soemodinoto A, Djunaidi A, Nur MJ. 2013. Budidaya Ikan Napoleon oleh Masyarakat di Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau: Evolusi Kegiatan, Jejaring Pembudidaya dan Kelayakan Usaha. The Nature Conservation. Jakarta.26 hal Suryanto D. 2003.Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa Teknik Genetika Molekuler. USU digital library Wiadnya, DGR. 2011. Bio-Ekologi Ikan Napoleon, Cheilinus undulatus dan Terumbu Karang. Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang.
14
LAMPIRAN
15 Lampiran 1. Ukuran rata-rata panjang Napoleon ID Tag P.SRB-NAP01 P.SRB-NAP02 P.SRB-NAP03 P.SRB-NAP04 P.SRB-NAP05 P.SRB-NAP06 P.SRB-NAP07 P.SRB-NAP08 P.SRB-NAP09 P.SRB-NAP10 P.SRB-NAP11 P.SRB-NAP12 P.SRB-NAP13 P.SRB-NAP14 P.SRB-NAP15 P.SRB-NAP16 P.SRB-NAP17 P.SRB-NAP18 P.SRB-NAP19 P.SRB-NAP20 P.SRB-NAP21 P.SRB-NAP22 P.SRB-NAP23 P.SRB-NAP24 P.SRB-NAP25 P.SRB-NAP26 P.SRB-NAP27 P.SRB-NAP28 P.SRB-NAP29 P.SRB-NAP30 P.SRB-NAP31 P.SRB-NAP32 P.SRB-NAP33 P.SRB-NAP34 P.SRB-NAP35 P.SRB-NAP36 P.SRB-NAP37 P.SRB-NAP38 P.SRB-NAP39
ID Penelitian MBB-01-01-01 MBB-01-01-02 MBB-01-01-03 MBB-01-01-04 MBB-01-01-05 MBB-01-01-06 MBB-01-01-07 MBB-01-01-08 MBB-01-01-09 MBB-01-01-10 MBB-01-01-11 MBB-01-01-12 MBB-01-01-13 MBB-01-01-14 MBB-01-01-15 MBB-01-01-16 MBB-01-01-17 MBB-01-01-18 MBB-01-01-19 MBB-01-01-20 MBB-01-01-21 MBB-01-01-22 MBB-01-01-23 MBB-01-01-24 MBB-01-01-25 MBB-01-01-26 MBB-01-01-27 MBB-01-01-28 MBB-01-01-29 MBB-01-01-30 MBB-01-01-31 MBB-01-01-32 MBB-01-01-33 MBB-01-01-34 MBB-01-01-35 MBB-01-01-36 MBB-01-01-37 MBB-01-01-38 MBB-01-01-39
Panjang Total (cm) 26.5 23 26.5 27.5 25 26 29.5 27.5 28 28 27 27.5 23.5 26 26.5 29 29 30.5 29 29 24.5 26 29 28 25 27 26 29 25 29 25 30 26 30 29 29 23 29 29
Dokumentasi Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
16 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 31 Juli 1992 dari ayah yang bernama Dadi Gumilar dan ibu Sinar Agustine. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5 Bogor pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Selam Ilmiah pada periode 2012-2013. Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai anggota divisi Kewirausahaan periode 2012-2013. Penulis aktif dalam kepanitiaan fieldtrip mata kuliah Oseanografi Umum, Oseanografi Kimia, Iktiologi, Oseanografi Fisika, Akustik Kelautan, Ekologi Laut Tropis, Biologi Hewan Laut, dan Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut. Pada Januari 2013 penulis magang di Indonesian Biodiversity Research Center di Bali dan pada Juni-Juli 2013 penulis melakukan praktek kerja lapang di LIPI Lombok. Penulis juga aktif mengikuti pelatihan Marine Biodiversity and Biomolecular yang diadakan oleh Departemen ITK – IPB, pelatihan Marine Biodiversity and Taxonomy oleh ITK-IPB, dan sertifikasi selam tingkat A1 oleh POSSI pada tahun 2013. Sebagai salah satu syarat kelulusan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Keragaman Genetik Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) di Kepulauan Seribu Berdasarkan DNA Mikrosatelit”.