i
STRUKTUR DEMOGRAFI POPULASI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG MANTIS (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI KUALA TUNGKAL, KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI
NOVI ARIYANTI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Novi Ariyanti C24061970
ii
iii
RINGKASAN Novi Ariyanti. C24061970. Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Dibawah bimbingan Yusli Wardiatno dan Ali Mashar Udang mantis lebih dikenal dengan nama udang ronggeng, udang ketak, udang kipas, udang nenek, atau udang belalang, merupakan komoditas ekspor dan menjadi komoditas andalan sektor perikanan bagi Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Salah satu daerah penghasil udang mantis terbesar adalah Kuala Tungkal. Dari tahun 2003 hingga 2009 produksi udang mantis mengalami peningkatan dari 1.312.905 ekor/tahun menjadi 2.430.530 ekor/tahun. Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, nelayan di daerah ini menangkap udang mulai yang berukuran kecil hingga udang besar, termasuk udang yang sedang bertelur. Jika kondisi ini terus berlangsung dikhawatirkan dapat mengganggu kelestarian udang ini di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur demografi udang mantis di alam dan mengkaji pertumbuhan udang mantis berdasarkan hubungan panjang berat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dalam pengelolaan udang mantis sehingga kelestariannya tetap terjaga. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 hingga Juli 2010 di pantai berlumpur, Kuala Tungkal, Jambi. Penentuan lokasi dilakukan secara acak dimana setiap stasiun yang dipilih berdasarkan keterwakilan daerah, stasiun 1 dan 2 berada di sebelah kiri Muara Sungai Pangabuan dan stasiun 3 berada di sebelah kanan Muara Sungai Pangabuan, sedangkan pemilihan contoh udang juga dilakukan secara acak. Alat dan bahan yang digunakan antara lain timbangan digital dengan ketelitian 0,5 gram dan 0,05 gram, penggaris dan kaliper berketelitian 0,5 cm dan 0,05 cm, kamera digital, sondong, es dan wadah. Parameter yang diamati meliputi panjang dan bobot udang mantis. Analisis data mengenai biomasa menggunakan metode Brower et al., sedangkan kelompok umur dilakukan dengan metode battacharya dengan software FISAT II. Selama penelitian jumlah udang mantis yang ditemukan sebanyak 586 ekor, terdiri dari 333 ekor adalah udang betina dan 253 ekor adalah udang jantan. Selama pengamatan ditemukan 4 kelompok umur udang mantis artinya terdapat 4 generasi udang mantis. Ukuran udang yang ditemukan tergolong kecil yaitu 2,75 cm - 23,1 cm, hal ini mengindikasikan bahwa udang yang tertangkap merupakan udang muda. Biomassa stok udang mantis berkisar antara 118,7 g/km2 - 1336,9 g/km2. Biomassa stok terbesar terdapat pada stasiun 3, hal ini diduga karena pada stasiun tersebut dekat dengan mangrove sehingga terdapat banyak sumber makanan bagi udang. Rata-rata biomasa stok yang diperoleh sebesar 488,1 g/km2, luas total wilayah pengamatan adalah 19,15 km2 sehingga diperoleh nilai biomasa stok total adalah 9349,29 g/area penelitian. Nilai biomassa yang diperoleh termasuk kecil dan sebagian besar udang yang diperoleh merupakan udang yang berukuran kecil, kondisi ini menggambarkan bahwa lokasi pengambilan contoh merupakan tempat mencari makan dan pembesaran udang mantis. Berdasarkan hasil penelitian, udang mantis betina dan jantan memiliki persamaan hubungan panjang bobot berturut-turut iii
iv adalah W=0,009L2,933 (n=329; α=0,05) dan W= 0,008L3,009 (n=250; α=0,05). Nilai koefisien pertumbuhan udang mantis betina dan jantan masing-masing adalah 2,933 dan 3,009. Setelah dilakukan uji lanjut dengan α=0,05 diperoleh nilai p > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhan udang mantis adalah isometrik. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh maka rencana pengelolaan yang dapat disarankan antara lain adalah pengaturan upaya penangkapan meliputi pengaturan ukuran mata jaring dan pengaturan ukuran penangkapan. Selain itu, dapat dilakukan perlindungan daerah pembesaran dan mencari makan dengan konsep supply side ecology di daerah sekitar mangrove karena udang yang ditemukan berukuran kecil, serta diperlukan pemantauan secara berkala terhadap kondisi stok dan kualitas lingkungan perairan sebagai habitat udang mantis. Kata Kunci : Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea), Struktur Demografi Populasi, Pola Pertumbuhan.
iv
v
STRUKTUR DEMOGRAFI POPULASI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG MANTIS (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI KUALA TUNGKAL, KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI
NOVI ARIYANTI C24061970
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 v
vi
PENGESAHAN SKRIPSI Judul
: Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Nama Mahasiswa
: Novi Ariyanti
NIM
: C24061970
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002
Ali Mashar, S.Pi. NIP 19750118 200701 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus : 20 Agustus 2010 vi
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang berkat izin dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul ” Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi ” disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada Juni 2010 hingga Juli 2010, dan merupakan salah satu syarat untuk lulus dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing dan komisi pendidikan S1 serta semua pihak yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
vii
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing skripsi dan pembimbing akademik dan Ali Mashar S.Pi. selaku anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. selaku penguji tamu, Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil. selaku ketua komisi pendidikan program S1 dan Ir. Zairion, M.Sc. atas saran, nasehat, dan perbaikan yang diberikan. 3. Bapak H. Ibrahim selaku pemilik penampungan udang mantis di Kuala Tungkal yang telah banyak membantu selama proses pengambilan data di lapang. 4. Para staf Tata Usaha MSP yang sangat saya banggakan, terutama Mba Widar dan Mba Yani. 5. Keluarga tercinta, Ayah, Mama’, Adinda Irma Hardini dan Sumara Widiyanti serta Harriansyah Hasibuan yang selalu memberikan semangat, doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasinya. 6. Tim mantis (Elin, Damora, dan Wahyu) atas suka duka, perjuangan, kekompakan, kerjasama, dan semangatnya. 7. Teman-teman MSP 43 (Widya, Chika, Yuli, Friska, Frida, Dian, Dya) dan Rumah Ijo (Nirmaladewi, Noni Puspita, dan Silviana Novita Sari) atas motivasi dan dukungan serta kasih sayang serta semangatnya. 8. Rekan-rekan MSP’41, MSP’42 (Nayla dan Mumpuni), dan MSP’44 atas doa dan dukungannya.
viii
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematang Sapat, pada tanggal 9 November 1988 dari pasangan Bapak Abdul Wahab Hsb dan Ibu Riati. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di TK Harapan Pertiwi Pematang Sapat-Rimbo (1994), SD N 81/II Muara Bungo (2000), SLTP N 1 Muara Bungo (2003), dan SMA N 1 Muara Bungo, Jambi (2006). Penulis masuk Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dan masuk di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2007. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan penulis berkesempatan untuk menjadi asisten Mata Kuliah Metode Statistika (2008/2009 dan 2009/2010), Metode Penarikan Contoh (2009/2010), dan Oseanografi Umum (2009/2010) serta aktif sebagai Ketua Departemen Social And Environment (SAE) Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada tahun 2008/2009. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.
ix
x
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xiv
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 1.3. Tujuan ................................................................................................. 1.4. Manfaat ............................................................................................... 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi .................................................................... 2.1.1. Klasifikasi .................................................................................. 2.1.2. Morfologi ................................................................................... 2.1.3. Distribusi dan habitat ................................................................. 2.2. Struktur Demografi Populasi ............................................................... 2.3. Pertumbuhan ........................................................................................ 2.4. Distribusi Frekuensi Panjang. ............................................................... 2.5. Hubungan Panjang dan Bobot Total ....................................................
4 4 5 7 8 9 11 12
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 3.2. Penentuan Lokasi Penangkapan Contoh Udang .................................. 3.3. Metode Kerja ....................................................................................... 3.3.1. Pengumpulan dan penanganan udang contoh ............................ 3.3.2. Pengukuran panjang dan bobot .................................................. 3.3.3. Struktur demografi ..................................................................... 3.4. Analisis Data ........................................................................................ 3.4. 1. Struktur demografi .................................................................... a. Struktur umur ........................................................................ b Biomassa stok . ...................................................................... 3.4.2. Hubungan panjang dengan bobot total .......................................
14 15 15 15 15 16 16 16 16 18 18
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ..................................................................................................... 4.1.1. Kondisi umum Kabupaten Tanjung Jabung Barat ..................... 4.1.2. Struktur demografi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) .... 4.1.3. Biomassa stok udang mantis ...................................................... 4.1.4. Sebaran frekuensi panjang udang mantis ................................... 4.1.5. Hubungan panjang bobot udang mantis .................................... 4.2. Pembahasan .......................................................................................... 4.3. Implementasi Hasil Penelitian Terhadap Pengelolaan .........................
20 20 21 24 24 25 27 33
x
1 2 3 3
xi 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 5.2. Saran ....................................................................................................
37 37
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
38
LAMPIRAN ....................................................................................................
41
xi
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Posisi lintang dan bujur stasiun pengamatan ...............................................
15
2. Hasil analisis kelompok ukuran udang mantis stasiun 1, 2, 3, dan total......
22
3. Hasil perhitungan biomasa stok udang mantis di alam ................................
24
4. Hasil perhitungan nilai b krustasea lain .......................................................
26
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) .....................................................
4
2. Morfologi Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) ....................................
5
3. Pertumbuhan diskontinyu pada krustasea Carcarinus maenas, dari tingkat postlarva hingga tingkat instar VII (Dimodifiasi dari Klein Breteler in Hartnoll 1982). .........................................................................................
11
4. Peta lokasi penelitian ..................................................................................
14
5. Kelompok ukuran udang mantis (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, (c) stasiun 3, (d) total .........................................................................................................
23
6. Kurva sebaran frekuensi panjang udang mantis jantan dan betina ..............
25
7. Kurva hubungan panjang bobot udang mantis (a) betina, (b) jantan ...........
26
xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Wilayah Fishing Ground II .........................................................................
42
2. Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea)......................................................
43
3. Gambar alat tangkap sondong ......................................................................
45
4. Hasil analisis kelompok umur dengan FISAT II ..........................................
46
5. Perhitungan biomassa stok udang mantis.....................................................
47
6. Analisis regresi panjang bobot udang mantis betina ....................................
48
7. Analisis regresi panjang bobot udang mantis jantan ....................................
49
xiv
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditi perikanan yang menjadi sumber devisa bagi negara dan merupakan sumber protein hewani bagi masyarakat. Saat ini, udang yang banyak digemari adalah udang dari kelas malacostraca. Udang dari kelas ini memiliki ukuran yang besar dan harga yang mahal. Permintaan udang ini terus meningkat sehingga mendorong nelayan untuk terus meningkatkan upaya penangkapannya. Hal ini juga terjadi pada perikanan udang mantis (Harpiosquilla raphidea) di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar), Jambi. Udang mantis (H. raphidea) merupakan salah satu komoditi andalan dari Kuala Tungkal, yang mana produksinya mencapai sekitar 10% dari total produksi perikanan. Udang mantis dikenal dengan beberapa nama lokal antara lain udang ronggeng, udang nenek, udang belalang, atau udang ketak. Udang mantis merupakan komoditas ekspor, yang diekspor ke beberapa negara Asia antara lain Hongkong dan Taiwan. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanjabar hasil tangkapan udang mantis dari tahun 2003 hingga 2009 mengalami peningkatan dari 1.312.905 ekor/tahun menjadi 2.430.530 ekor/tahun. Berdasarkan informasi dari nelayan diketahui bahwa ukuran udang mantis yang biasa dijual oleh nelayan antara lain ukuran A (9 – 11 inchi), ukuran B (8,5 – 9 inchi), ukuran C (8 – 8,5 inchi), dan KK ( < 8 inchi). Penangkapan udang ini biasa dilakukan nelayan pada daerah fishing groud II yang merupakan wilayah perikanan Kabupaten Tanjabar (Lampiran 1). Dalam upaya untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan menangkap udang mantis dengan segala ukuran mulai dari yang berukuran kecil hingga besar. Penangkapan udang mantis dewasa atau sedang matang gonad dan berukuran kecil yang terus dilakukan nelayan dapat mengganggu kelestarian dan kondisi stok udang mantis di alam. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi pengelolaan yang tepat. Salah satu cara agar pengelolaan udang mantis dapat dilakukan dengan tepat adalah dengan mengatur penangkapan berdasarkan data dan informasi struktur demografi dan pola pertumbuhannya.
1
2 1.2. Perumusan Masalah Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) merupakan salah satu sumberdaya perikanan penting di Provinsi Jambi. Permintaan udang ini terus meningkat menyebabkan intensitas penangkapan udang ini juga meningkat. Udang mantis yang tertangkap oleh nelayan memiliki ukuran yang beragam. Selain menangkap induk udang, nelayan juga menangkap udang berukuran kecil bahkan juvenil udang juga ikut tertangkap. Hal ini disebabkan karena nelayan juga menangkap udang dengan menggunakan alat tangkap mini trawl dan sondong yang tidak selektif dan bersifat menyapu perairan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan populasi dari udang mantis tersebut. Jika hal ini masih berlanjut dikhawatirkan dapat menyebabkan terganggunya kelestarian udang mantis di alam sehingga diperlukan suatu pengelolaan dalam penangkapan udang mantis. Dalam pengelolaan udang mantis dibutuhkan informasi biologi seperti struktur demografi populasi dan pola pertumbuhan udang mantis yang ada di alam. Pola pertumbuhan udang mantis dapat diamati dengan melihat pertambahan panjang total dari udang mantis. Secara umum pengukuran panjang total dari udang mantis merupakan salah satu parameter untuk melihat pertumbuhan udang. Dilihat dari hasil tangkapan udang yang semakin menurun maka diduga pola pemanfaatan dari udang ini masih kurang baik. Nelayan di Kuala Tungkal tetap menangkap udang yang berukuran kecil untuk memenuhi permintaan konsumen. Selain itu, menurut nelayan setempat saat ini udang yang ditangkap memiliki ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya penangkapan berlebih. Informasi mengenai aspek biologi antara lain struktur demografi populasi dan pola pertumbuhan dari udang mantis (H. raphidea) Kuala Tungkal, Jambi hingga saat ini belum tersedia. Untuk menjaga kelestarian, maka perlu adanya strategi pengelolaan yang tepat berdasarkan karakteristik biologi populasi udang tersebut.
2
3 1.3. Tujuan Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai berikut: 1. Mengetahui struktur demografi populasi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) meliputi struktur umur dan biomassa stok. 2. Mengetahui pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang berat udang mantis (H. raphidea).
1.4. Manfaat Studi struktur demografi populasi dan pola pertumbuhan udang mantis (H. raphidea) ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya pengelolaan berkelanjutan udang mantis di alam di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.
3
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi 2.1.1. Klasifikasi Menurut Fabricius (1798) in Manning (1969), kedudukan taksonomi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) adalah: Filum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Sub Kelas
: Hoplocarida
Ordo
: Stomatopoda
Sub Ordo
: Unipeltata
Super famili
: Squilloidea
Famili
: Harpiosquillidae
Genus
: Harpiosquilla
Spesies
: Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798 (Gambar 1, Lampiran 2)
Nama Umum : Mantis shrimp (Inggris) Nama lokal
: Udang ketak, ronggeng, belalang, kipas atau udang nenek
5 cm
Gambar 1. Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea)
4
5 2.1.2. Morfologi Menurut Aziz et al. (2001), morfologi tubuh udang mantis menyerupai krustasea yang lain. Udang ini memiliki tubuh yang terbagi atas tiga bagian utama yaitu thorax, abdomen, dan telson. Namun, udang ini memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan spesies lain yaitu memiliki kaki yang dapat berubah fungsinya sebagai senjata yang terdapat pada bagian thorax udang ini (Gambar 2).
Antenulla
Antena Mata
Kepala Maxiliped II
Karapas
Pereiopod 5 6 7
Thoracic Somites
8 1 2 3
Abdomen Abdominal Somites
4
Uropod
5 6
Ekor
Telson
Gambar 2. Morfologi Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea)
Sumber: Wardiatno et al. (2009)
5
6 Kepala dan dada menyatu yang disebut dengan cephalothorax. Tubuh dari udang ini bersegmen-segmen, dengan karapas yang menutupi sebagian dari cephalothorax, memiliki mandibula dan 2 pasang antenna. Selain itu, udang ini juga memiliki 8 pasang alat gerak di dada, karapasnya pendek, tidak menutupi seluruh ruas dada sehingga yang terlihat adalah segmen ke 5, 6 dan 7 dari dada terdepan. Menurut Wardiatno et al. (2009), maksiliped I berfungsi untuk menipu mangsanya. Maksiliped II atau yang dikenal dengan lengan penyerang atau lengan predator atau cakar dengan ukuran sangat besar, memiliki duri-duri tajam pada dactylus yang dapat digunakan untuk memotong atau menyobek mangsanya. Pada udang mantis terdapat 8 duri tajam pada dactylus. Maksiliped III, IV, dan V adalah kaki kecil yang berakhir dalam suatu bagian yang berbentuk oval pipih dan tajam yang disebut chelone. Pasangan pertama dari alat gerak dada adalah sub chelat. Udang mantis memiliki sepasang antena pertama atau sering disebut dengan antennulla yang tumbuh dan melekat pada labrum. Antennulla ini bercabang tiga pada ujungnya. Organ ini berfungsi sebagai organ sensori. Antena kedua atau sering disebut antenna, tidak memiliki cabang pada ujungnya, juga berfungsi sebagai organ sensori (Wardiatno et al. 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halomoan (1999), diketahui bahwa udang mantis memiliki garis hitam pada bagian belakang antara antena dan ophthalmic somite. Udang jantan memiliki alat kelamin yang terdapat di pangkal kaki jalan ketiga berupa tonjolan kecil yang disebut petasma sedangkan udang betina dapat diketahui dengan melihat bagian pangkal kaki jalan yang berbentuk datar yang disebut thelicum (Manning 1969). Stomatopoda memiliki mata yang unik dan menarik dikarenakan mata yang bertangkai dan dapat bergerak naik turun secara fleksibel serta memiliki kemampuan yang melebihi mata manusia dan hewan lainnya (Cohen 2001 in Azmarina 2007). Pada bagian ekor udang ini terdapat uropod dan telson yang berfungsi sebagai organ pelindung dan kemudi pada saat berenang. Udang ini memiliki warna tubuh yang bervariasi dan cerah mulai dari kecoklatan hingga warna terang seperti hijau, tergantung pada habitat hidupnya (Wardiatno et al. 2009).
6
7 2.1.3. Distribusi dan habitat Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) adalah udang yang dapat ditemukan pada perairan dangkal dengan substrat dasar berupa lumpur (Manning 1969). Udang mantis memiliki wilayah penyebaran yang hampir sama dengan udang penaeid. Di Indonesia udang ini terdapat di perairan Selat Malaka, bagian timur dan barat Sumatera, Laut Jawa, serta bagian selatan Jawa (Dwiponggo dan Badrudin in Sumiono dan Priyono 1998). Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halomoan (1999), Azmarina (2007), dan Ahyong dan Moosa (2004) diketahui bahwa udang ini juga terdapat di perairan Teluk Banten, Perairan Bagansiapiapi, dan Kepulauan Anambas, sedangkan di perairan Sulawesi Utara ditemukan spesies baru udang mantis, yaitu Lysiosquilloides mapia (Erdmann dan Boyer 2003 in Wardiatno et al. 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahyong et al. (2007), udang mantis jenis Gonodactylus juga ditemukan di daerah Sulawesi. Selain di Indonesia, Harpiosquilla juga memiliki daerah penyebaran di sekitar perairan Indo-Pasifik Barat mulai dari Jepang, Australia sampai ke Pasifik meliputi Laut Merah, Afrika Selatan, dan Samudera Hindia. Wilayah penyebarannya meliputi Jepang (Teluk Suruga dan Teluk Tanabe), Taiwan (Tungkang), Queensland (Semenanjung Flattery dan Teluk Tin Can), New South Wales (Teluk Jerusalem, Muara Sungai Hawk), Thailand (Tachalom dan Teluk Siam), Sri Langka (Teluk Palk), Madagaskar (Teluk Ambaro), Ethiopia (Teluk Arehico), Afrika Selatan (Teluk Richards), Laut Merah, dan Teluk Oman, sedangkan di Indonesia terdapat di Laut Jawa sampai Singapura (Manning 1969). Udang mantis yang tersebar di daerah Indo-Pasifik terdiri dari enam genera, yaitu Squilla, Pseudosquilla, Lysiosquilla, Coronida, Odontodactylus, dan Gonodactylus. Di antara keenam
genera tersebut, genera Squilla atau saat ini
berubah menjadi Harpiosquilla adalah yang paling banyak dijumpai di perairan Indonesia (Haswell 1982 in Sumiono dan Priyono 1998). Menurut Manning (1969), udang mantis biasa ditemukan pada perairan dengan dasar berupa pasir, batu, dan lumpur. Genus Harpiosquilla bisa hidup pada kedalaman 2 hingga 93 meter di daerah sublitoral Selat Malaka. Udang mantis merupakan organisme yang hidup di perairan laut dan merupakan hewan karnivora yang memakan organisme yang berukuran lebih kecil
7
8 dan hidup pada substrat berlumpur. Menurut Caldwell (1991) in Wortham-Neal (2002) berdasarkan bentuk morfologi dan fungsi capitnya, udang mantis dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu kelompok yang hidup pada substrat keras dan memakan kerang, serta bersifat agonistik, kelompok ini dinamakan smasher. Kelompok kedua yaitu spearers, kelompok ini hidup pada substrat pasir atau tanah liat dan hidup dengan membuat liang sendiri. Kelompok ini memakan dan memangsa bagian lunak dari mangsanya dan biasanya kelompok ini bersifat kurang agresif dibandingkan kelompok smasher (Caldwell dan Dingle in Wortham-Neal 2002). Pada umumnya udang mantis betina bersifat parental care dan menjaga telurnya dengan menggunakan Maksiliped untuk membersihkan embrio yang dijaga dan untuk sirkulasi air diantara embrio yang dijaga. Di daerah Kuala Tungkal, udang mantis hidup pada habitat berlumpur dengan kedalaman lumpur mencapai 2 meter. Udang ini hidup meliang dalam lubang. Lubang yang merupakan rumah udang mantis dicirikan dengan adanya dua mulut lubang yang berfungsi sebagai lubang masuk dan keluar, dan air yang ada di atas mulut lubang berwarna jernih.
2.2. Struktur Demografi Populasi Menurut Odum (1971) menyatakan populasi didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme-organisme dari spesies yang sama yang menduduki suatu ruang tertentu, selain itu kelompok ini juga memiliki ciri atau sifat yang unik. Beberapa sifat atau ciri unik itu adalah kepadatan, natalitas (laju kelahiran), mortalitas (laju kematian), penyebaran umur, potensi biotik, dispersi dan bentuk pertumbuhan. Dalam menganalisis populasi di perairan tidak akan terlepas dari perairan itu sendiri sebagai ekosistem dengan komponen-komponennya yang membentuk ekosistem itu yang terdiri dari unit biologi dan unit benda mati di sekelilingnya. Menurut Krebs in Effendie (1997) kepadatan diberi batasan sebagai jumlah per unit area. Kepadatan populasi pada suatu habitat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu imigrasi dan natalitas yang akan menambah jumlah populasi, emigrasi dan mortalitas yang akan mengurangi jumlah populasi. Setiap populasi mempunyai struktur populasi atau penyusunan individu yang dikenal dengan pola distribusi. Di alam terdapat tiga pola distribusi individu yaitu 8
9 acak, seragam, dan mengelompok. Di alam penyebaran acak relatif jarang terjadi, sedangkan penyebaran seragam dapat terjadi jika terdapat persaingan yang keras diantara individu dan terdapat antagonisme positif yang mendorong pembagian ruang yang sama (Odum 1971). Distribusi individu yang terjadi di alam merupakan hasil dari seluruh jawaban tingkah laku individu-individu di dalam populasi terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Suatu populasi cenderung akan mengelompok bila kondisi yang terjadi di alam fluktuatif (Effendie 1997). Proses natalitas dan mortalitas yang terjadi pada suatu populasi di alam akan menghasilkan satu set kelompok umur, dimana antar kelompok umur akan memiliki jumlah yang berbeda. Struktur umur suatu populasi yang ada di alam dipengaruhi oleh mortalitas masing-masing kohort. Pada suatu kondisi yang stabil proporsi setiap kelompok umur pada suatu saat adalah sama dengan proporsi masing-masing yang menunjukan umur dalam kehidupan kohort (Effendie 1997).
2.3. Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan peningkatan panjang, volume, dan bobot terhadap perubahan waktu. Pertumbuhan populasi adalah penambahan jumlah individu dalam suatu populasi per satuan waktu. Krustasea merupakan hewan yang memiliki pertumbuhan yang tidak kontinyu. Hal ini dikarenakan rangka luar tubuh udang. Perubahan ukuran pada udang terjadi sangat lambat pada saat waktu antar moulting (pergantian kulit) disebabkan kulitnya yang keras. Setelah moulting pertumbuhan akan sangat cepat sampai kulit baru mengeras (Hartnoll 1982). Bagi hewan krustasea, proses ganti cangkang merupakan satu-satunya cara untuk melakukan pertumbuhan (Passano 1960). Dalam siklus hidupnya pergantian cangkang terjadi secara periodik dan kontinyu (Lavina 1980 in Barnes 1982). Para ahli fisiologi membagi siklus ganti cangkang menjadi empat tingkatan, yaitu pra lepas cangkang (pre molt), lepas cangkang (molt), pasca lepas cangkang (pastmolt), dan antar ganti cangkang (intermolt) (Barnes 1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan krustasea (Hartnoll 1982) adalah: 1. Faktor dalam, yaitu jenis kelamin, tingkat kedewasaan, dan anggota tubuh yang hilang. 9
10 2. Faktor luar, yaitu ketersediaan makanan, cahaya, salinitas, suhu, dan parasit. Ukuran panjang total udang ronggeng (Harpiosquilla harpax) dari perairan Teluk Banten berkisar antara dari 8,4 cm hingga 20,3 cm untuk udang mantis jantan dan 6,3 cm hingga 24,5 cm untuk udang mantis betina (Halomoan 1999). Penelitian Pak Poon in Manning (1969) di Thailand, didapatkan hasil panjang maksimum udang mantis (Harpiosquilla raphidea) 25 cm untuk udang mantis betina dan 31 cm untuk udang mantis jantan. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan seperti suhu air, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktorfaktor lainnya seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makanan, umur, serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan (Effendie 1997). Faktorfaktor dalam yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan adalah umur, ukuran udang serta kematangan gonad (Effendie 1997). Menurut Effendie (1997), laju pertumbuhan organisme perairan bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan yang merupakan tempat bagi organisme untuk hidup serta ketersediaan makanan yang dapat dimanfaatkan dalam menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Berdasarkan kondisi individu, maka pola pertumbuhan individu terbagi atas dua, yaitu pola pertumbuhan isometrik yaitu pertumbuhan panjang dan bobot seimbang dan pola pertumbuhan allometrik yaitu pertumbuhan panjang dan bobot tidak seimbang. Di dalam manajemen perikanan, mempelajari laju pertumbuhan sangat penting, karena laju pertumbuhan dapat mempengaruhi tingkat kematangan gonad pertama, komposisi umur dalam suatu stok biota, dan mortalitas (Anggraini 1991). Selain itu, analisis pertumbuhan digunakan untuk meramalkan ukuran rata-rata biota di suatu populasi pada waktu tertentu, dan untuk membandingkan kondisi biota di daerah perikanan yang berbeda atau pada daerah yang sama dengan strategi manajemen yang berbeda. Dengan mempelajari pertumbuhan, maka akan dapat dilakukan studi perbandingan tentang kesuburan antar perairan serta akan mempengaruhi strategi manajemen yang diterapkan (Anggraini 1991). Pada organisme yang tidak mempunyai kerangka luar, ukuran panjang berubah secara kontinyu, tetapi pada krustesea yang memiliki kerangka luar, pertumbuhan menjadi
10
11 suatu proses yang diskontinyu (Gambar 3). Pada fase pertumbuhan krustasea terdapat beberapa kondisi dimana terjadi rangkaian lepas cangkang yang dipisahkan oleh rangkaian antar ganti cangkang. Cangkang akan menjadi lebih keras dan pertumbuhan udang menjadi terbatas pada fase antar ganti cangkang. Namun pertumbuhan udang akan menjadi lebih cepat dalam periode waktu yang lebih singkat pada fase lepas cangkang, pertumbuhan akan berlangsung sebelum cangkang menjadi keras kembali dengan waktu yang relatif lebih pendek (Hartnoll 1982).
25
Pertumbuhan (mm)
20
15
10
5
0 0
50
100
150
200
250
Usia (hari)
Gambar 3. Pertumbuhan diskontinyu pada krustasea Carcinus maenas, dari tingkat postlarva hingga tingkat instar VII (Dimodifikasi dari Klein Breteler in Hartnoll 1982).
2.4. Distribusi Frekuensi Panjang Pada umumnya dalam suatu perairan semua ukuran organisme tidak terdapat dalam satu tempat. Hal ini disebabkan karena organisme cenderung melakukan pergerakan, sehingga sulit untuk menentukan ukuran organisme yang terkecil dan terbesar berada pada satu tempat (Anggraeni 2001). Pergerakan udang pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah daur hidup udang. Menurut Naamin 1984 in Anggraeni 2001, udang penaeid memiliki daur hidup yang khas, dimana udang yang dewasa hidup di perairan lepas pantai untuk memijah sedangkan larva udang bergerak ke arah pantai 11
12 dan berkembang di sana sampai menjelang dewasa dan bergerak lagi ke perairan yang lebih dalam untuk memijah. Selain itu, pergerakan udang yang terjadi di alam juga dipengaruhi oleh siklus pemijahan, tingkat kedewasaan, perubahan iklim dan densitas makanan (Racek in Suwandi 1978). Beberapa jenis udang terdapat bersama-sama di dalam suatu daerah dari semua ukuran dan kelas umur kecuali pada musim pemijahan. Termasuk dalam golongan ini adalah Penaeus plebejus dan P. esculentus. Racek in Suwandi (1978) memasukkan udang jenis ini ke dalam golongan konsisten, yang penyebarannya mulai dari muara sungai sampai daerah laut terbuka (outtherlitoral). Golongan konsisten sangat dipengaruhi oleh keadaan ekologi dan perubahan iklim, dan mempunyai sifat mengelompok yang kuat, Penaeus merguensis dan Metapenaeus macleayi juga termasuk ke dalam golongan ini. Berbeda dengan golongan konsisten, golongan tidak konsisten selalu bergerak dan ada perbedaan kelas umur. Kelompok yang besar bisa ditemukan di suatu perairan dalam waktu tertentu dan mungkin pada musim berikutnya tidak ditemukan lagi pada daerah yang sama.
2.5. Hubungan Panjang dan Bobot Total Maksud dari hasil perhitungan hubungan panjang dan bobot adalah untuk memberikan pernyataan yang sistematis mengenai hubungan panjang dan bobot. Hal ini berfungsi untuk memudahkan dalam pengkonversian dari panjang ke bobot atau sebaliknya serta petunjuk mengenai indeks kemontokan dan tingkat perkembangan gonadnya. Analisis hubungan panjang karapas dan bobot individu udang untuk setiap spesies menggunakan teknik hubungan eksponensial dan hubungan linear (Pauly 1983 in Kartini 1998). Menurut Kartini (1998), perbedaan hubungan panjang bobot yang diperoleh dari berbagai perairan tersebut disebabkan oleh perbedaan kecepatan pertumbuhan dan kisaran panjang udang yang dianalisis. Menurut Hartnoll (1982), dalam manajemen perikanan terkadang dibutuhkan usaha pengkonversian antara panjang total (L) terhadap bobot tubuh (B). Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik, sehingga nilai b jarang sekali proposional terhadap pangkat tiga dari panjang total (L3). Krustasea biasanya mengalami perubahan bentuk tubuh selama tumbuh, yang mana hal tersebut dikatakan sebagai pertumbuhan relatif atau 12
13 allometrik. Pada dasarnya, pertumbuhan relatif tidak hanya merupakan karakteristik dari hewan krustasea namun cangkang krustasea yang relatif keras, memudahkan dilakukannya ketepatan dalam pengukuran. Selain itu, terdapat perbedaan pertumbuhan antara udang jantan dan udang betina serta udang dewasa dan udang kecil. Hal ini merupakan salah satu faktor menarik dalam pengamatan studi allometrik. Hasil dari kajian morfometrik dapat digunakan sebagai salah satu perangkat manajemen sumberdaya biota di alam, menjadikan kajian morfometrik ini cukup banyak dipelajari oleh para ahli perikanan (Anggraini 1991).
13
14
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang diteliti merupakan udang yang diperoleh dari hasil tangkapan peneliti dan udang hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di penampungan. Pengambilan contoh udang dilakukan dengan metode pengambilan contoh acak. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada tiga lokasi berdasarkan keterwakilan daerah. Waktu pengambilan contoh dilakukan selama tiga hari yaitu pada tanggal 20 Juni 2010, 21 Juni 2010, dan 22 Juni 2010. Pengamatan contoh udang kecil dilakukan di Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.
Kampung Nelayan St. Pengambilan Contoh Daratan Mangrove
Laut KARTOGRAFER: NOVI ARIYANTI C24061970
SKALA 1 : 35.500
TAHUN PEMBUATAN 2010
SUMBER PETA GOOGLE EARTH TAHUN 2009 SURVEY LAPANG TAHUN 2009-2010
Gambar 4. Peta lokasi penelitian
14
15 3.2. Penentuan Lokasi Penangkapan Contoh Udang Lokasi pengambilan contoh dilakukan dengan cara membagi wilayah menjadi tiga stasiun ke arah laut berdasarkan keterwakilan daerah. Lokasi yang diambil sepanjang garis pantai untuk melihat struktur populasi udang mantis (Harpiosquilla raphidea). Lokasi stasiun 1 dan 2 berada di sebelah kiri Muara Sungai Pangabuan, hal ini dikarenakan wilayahnya yang luas. Stasiun 3 berada di sebelah kanan Muara Sungai Pangabuan dan lebih dekat ke arah mangrove. Posisi stasiun diketahui dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Selain itu, contoh udang juga diperoleh dari nelayan penangkap udang mantis (H. raphidea). Posisi koordinat masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Posisi Lintang dan Bujur Stasiun Pengamatan Stasiun
Koordinat Lintang o
Bujur
o
o
1
00 45’51.7”LU-00 46’54.3”LU
103 29’30.1”BT-103o30’00.5”BT
2
00o44’43.6”LU-00o45’19.9”LU
103o30’05.5”BT-103o31’33.8”BT
3
00o47’44.9”LU-00o47’27.9”LU
103o32’27.7”BT-103o30’28.7”BT
3.3. Metode Kerja 3.3.1. Pengumpulan dan penanganan udang contoh Pengumpulan contoh udang dilakukan melalui dua cara yaitu melakukan penangkapan sendiri pada lokasi penelitian dengan menggunakan sondong yang merupakan alat tangkap dasar yang biasa digunakan oleh nelayan (Lampiran 3), dan mengumpulkan udang hasil tangkapan yang didaratkan oleh nelayan. Udang yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah yang diberi es untuk menjaga kesegaran udang, kemudian dilakukan pengukuran panjang tubuh dan bobot tubuh. Udang yang berukuran kecil, dimasukkan ke dalam botol film yang di dalamnya terdapat formalin dengan konsentrasi 10 % untuk dianalisis di laboratorium.
15
16 3.3.2. Pengukuran panjang dan bobot Udang contoh yang tertangkap diseleksi berdasarkan jenis udang (spesies) dan jenis kelamin. Setelah itu, udang diukur panjang total dengan menggunakan penggaris dan kaliper dengan ketelitian masing-masing adalah 0,5 cm dan 0,05 cm dan ditimbang bobot tubuhnya dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,5 g dan 0,05 g. Panjang total udang diukur dari ujung mata sampai bagian belakang tubuh udang. Perhitungan panjang udang digunakan untuk melihat pertumbuhan individu udang mantis.
3.3.3. Struktur demografi Untuk melihat distribusi ukuran panjang udang mantis (Harpiosquilla raphidea) dilakukan dengan menghitung panjang total udang, kemudian dibuat selang kelas ukuran panjang dari udang jantan dan udang betina. Ukuran panjang udang mantis diperoleh dengan bantuan software FISAT II. Dengan demikian akan diketahui selang ukuran kelas panjang yang banyak terdapat di alam. Kemudian dapat diketahui kondisi stok udang yang masih banyak di alam sehingga dapat dilakukan pengelolaan. Kelompok ukuran yang dibentuk dapat digunakan untuk melihat pertumbuhan populasi udang mantis pada masing-masing stasiun.
3.4. Analisis Data 3.4.1. Struktur demografi a. Struktur umur Struktur umur udang mantis (Harpiosquilla raphidea) dapat diperoleh dengan menggunakan data panjang total dikelompokkan ke dalam kelas yang berbeda-beda kemudian ditentukan frekuensi dari masing-masing kelas. Dari tabel sebaran frekuensi panjang tersebut dibuat grafik distribusi frekuensi panjang total dalam bentuk grafik poligon dan kurva normal. Grafik poligon memiliki beberapa kelemahan, misalnya bila data yang didapat tidak menyebar normal, maka tidak bisa menduga kenormalan data karena grafik ini hanya menggambarkan data mentah saja. Untuk itu, diperlukan kurva normal untuk menduga sebaran normalnya.
16
17 Kurva normal dibuat dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
F ( x)
1
e
1 X 2
2
,
2 Keterangan :
e
X
= Rata-rata panjang total = Standar deviasi panjang total = 2,71 dan = 3,14
Langkah-langkah dalam menentukan distribusi frekuensi panjang udang mantis (H. raphidea) menurut Walpole (1995) adalah sebagai berikut : 1. Menentukan banyaknya selang kelas yang diperlukan (K).
K 1 3,32.log( N ) ........................................................................................ N = Banyaknya data.
1
2. Menentukan wilayah data yang diperoleh dari pengurangan data terbesar (X max) dengan data terkecil (X min).
W
X max X min ......................................................................................
2
3. Menentukan lebar selang kelas (r) dengan cara membagi wilayah data dengan banyaknya kelas. r
W ................................................................................................................. K
3
4. Menentukan limit bawah kelas terendah dan tertinggi dan menambahkan lebar kelas pada batas bawah kelas untuk mendapatkan batas atas kelasnya. 5. Mendaftarkan seluruh limit kelas dan batas kelas dengan menambahkan lebar kelas pada limit dan batas selang sebelumnya. 6. Menentukan titik tengah kelas pada masing-masing selang dengan merata-ratakan limit kelas atau batas kelasnya. 7. Menentukan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan data pada selang kelas yang telah ditentukan. 8. Menjumlahkan kolom frekuensi untuk membuktikan banyaknya total data.
17
18 b. Biomassa stok Perhitungan biomassa stok udang mantis dilakukan dengan menghitung kepadatan udang dan luasan daerah per stasiun. Luasan daerah diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan jarak koordinat pada masing-masing stasiun. Dalam menghitung biomassa stok tidak digunakan koefisien alat tangkap. Nilai biomassa sering digunakan untuk mengetahui nilai stok biomassa populasi (Brower et al. 1990). Perhitungan biomassa adalah sebagai berikut:
n
W B
i 1
D
n
= Biomassa (g/km2) W = Jumlah berat individu contoh (g) D = Kepadatan (individu/km2) n = jumlah individu contoh (individu)
Keterangan : B
3.4.2. Hubungan panjang dengan bobot total Melalui hubungan panjang dengan bobot total dapat diketahui pengaruh panjang terhadap bobot. Dalam menghitung hubungan panjang dan bobot, udang mantis jantan maupun betina yang sedang molting (berganti kulit) tidak diikutkan dalam perhitungan karena akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Rumus yang digunakan untuk melihat hubungan panjang dengan bobot total menurut Rousefell dan Everhart in Effendie (1997) yaitu: W = a Lb LogW
Loga
LogW
( LogL ) Nx
b Keterangan
Loga b.LogL 2
LogLx
( LogW ) 2
LogLxLogW LogL
LogW ( NxLoga) LogL
: W = Bobot Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) (gram) N = Jumlah Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) (ekor) L = Panjang Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) (cm) 18
19
Untuk menguji nilai b digunakan uji t, dengan hipotesis: H0 : b = 3, hubungan panjang-bobot udang mantis adalah isometrik H1 : b ≠ 3, hubungan panjang-bobot udang mantis adalah allometrik, yaitu: Allometrik positif (b>3), pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. Allometrik negatif (b<3), pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobot. t hitung = Keterangan:
b1 b0 Sb1
b1 = nilai b (dari hubungan panjang-bobot) b0 = 3 Sb1 = simpangan koefisien b
Kemudian, bandingkan antara nilai thitung dengan nilai ttabel dengan menggunakan selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhannya, kaidah keputusan yang diambil adalah sebagai berikut: thitung > ttabel : tolak hipotesis nol (H0) thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis nol (H0)
19
20
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum Kabupaten Tanjung Jabung Barat Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar) merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jambi dan terletak 125 km dari pusat kota Jambi. Luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah 5.009,82 km2 (BPS 2008). Menurut BPS (2008), kabupaten ini memiliki 13 kecamatan meliputi Kecamatan Tungkal Ulu, Merlung, Batang Asam, Tebing Tinggi, Renah Mendaluh, Muara Papalik, Pengabuan, Senyerang, Tungkal Ilir, Bram Itam, Seberang Kota, Betara, dan Kecamatan Kuala Betara. Daerah ini memiliki ketinggian berkisar 10 m hingga 500 m di atas permukaan laut. Kabupaten Tanjung Jabung Barat terletak di Pantai Timur Provinsi Jambi, tepatnya pada koordinat antara 0o53’-01o41’ LS dan antara 103o23’-104o21’BT. Berdasarkan letak geografisnya, batas-batas administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah sebagai berikut: 1). Bagian Utara berbatasan dengan Provinsi Riau 2). Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Batanghari 3). Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tebo 4). Bagian Timur berbatasan dengan Selat Berhala dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tungkal Ilir, yang beribukota di Kuala Tungkal. Jarak dari kecamatan menuju ibukota kecamatan sekitar 5 km. Kuala Tungkal merupakan wilayah kabupaten yang berhubungan langsung dengan laut. Di daerah ini mengalir satu sungai besar, yaitu Sungai Pangabuan yang bermuara di Selat Berhala. Kecamatan Tungkal Ilir berada 3 m di atas permukaaan laut dan memiliki luas sebesar 56,2550 Ha. Sebesar 25,5900 Ha tanahnya memiliki tekstur tanah yang halus dan 30,6650 Ha berupa tanah Gambut. Daerah ini mengandalkan sektor perikanan sebagai sumber pendapatannya, sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan (BPS 2008). Kabupaten ini beriklim tropis dangan rata-rata temperatur sebesar 26,9oC, suhu minimum daerah ini adalah 21,9oC dan suhu maksimum 32oC. Curah hujan rata-rata antara 2000-3500 mm/tahun dengan hari hujan berkisar antara 11-13 20
21 hari/bulan. Puncak musim basah daerah ini adalah November-Januari dan bulan kering adalah Juni-Agustus. Frekuensi pasang surut terjadi pada setiap 12 jam dengan amplitudo antara 2-3 meter, bahkan pada saat pasang besar (spring tide) dapat lebih tinggi (BPS 2008). Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (2003), dikarenakan perairan laut Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan bagian dari Laut Cina Selatan, maka perhitungan potensi perikanan laut tidak terbatas pada potensi laut kewenangan kabupaten, tetapi meliputi juga potensi pemanfaatan pada perairan lepas pantai Wilayah Fishing Ground II (Lampiran 1). Potensi perikanan laut meliputi laut kabupaten sebesar 22.856 ton/tahun, laut provinsi 77.575 ton/tahun, dan ZEEI Laut Cina Selatan sebesar 1 juta ton/tahun.
4.1.2. Struktur demografi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) Struktur demografi merupakan gambaran mengenai kelompok ukuran umur udang yang terdapat di alam. Kelompok umur dapat menggambarkan kondisi udang mantis yang ada di alam. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tiga stasiun diketahui bahwa udang mantis di daerah Kuala Tungkal memiliki kelompok ukuran umur berkisar antara 3-4 kelompok umur. Tiga stasiun yang diamati masing-masing mewakili kondisi jumlah intensitas penangkapan, dimana stasiun 1 mewakili daerah dengan intensitas penangkapan tinggi, stasiun 2 mewakili intensitas penangkapan sedang, dan stasiun 3 mewakili intensitas penangkapan rendah. Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa stasiun 1 memiliki 3 kelompok umur, hal ini dapat dilihat dengan adanya 3 puncak pada Gambar 5 (a). pada stasiun 2 dan 3 masing-masing memiliki 4 kelompok umur (Gambar 5 (b) dan (c), Lampiran 4). Secara keseluruhan diketahui bahwa di semua stasiun yang diamati diperoleh 4 kelompok umur, yang artinya terdapat empat umur udang mantis yang berbeda. Untuk mempertegas perbedaan kelompok umur pada masing-masing stasiun dapat digunakan nilai indeks separasi (SI). Dalam pemisahan kelompok ukuran ikan dengan menggunakan metode Bhattacharya indeks separasi (separation index, SI) sangat penting untuk diperhatikan. Menurut Hasselblad (1969), McNew dan Summerflat (1978), dan Clark (1981) in Sparre dan Venema (1999), jika nilai I<2 21
22 maka pemisahan kelompok ukuran tidak mungkin dilakukan karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran ikan. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa stasiun 1 memiliki nilai SI berkisar antara 4,72-5,47. Nilai SI stasiun 2 dan 3 masing masing berkisar antara 2,05-4,89 dan 2,13-3,77 (Tabel 2). Berdasarkan hasil analisis dengan mengunakan metode Bhattacharya, diketahui bahwa secara keseluruhan terdapat 4 kelompok ukuran udang mantis yang terdapat pada Muara Sungai Pangabuan, Kuala Tungkal dengan nilai indeks separasi berkisar antara 2,92-4,59 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi udang mantis yang terdapat pada stasiun pengamatan hanya memiliki 4 kelompok umur yang berbeda. Tabel 2. Hasil analisis kelompok ukuran udang mantis stasiun 1, 2, 3, dan total Stasiun
1
2
3
Total
Lrata-rata
Standar Deviasi (SD)
Populasi
Indeks Separasi (SI)
6.75
0.67
5
n.a.
10.52
1.01
45
4.49
14.75
0.94
15
4.34
9.43
1.24
59
n.a.
14.18
0.81
22
4.63
17.06
1.08
20
3.05
21.75
0.84
4
4.89
9.27
1.73
254
n.a.
14.82
0.71
36
4.55
17.4
1.29
14
2.58
21.36
1.14
5
3.26
8.75
1.6
364
n.a.
12.56
1.01
111
2.92
15.97
1.19
47
3.1
21.25
1.11
14
4.59
22
23
n = 88
(a) n = 128
(b) n = 370
(c)
n = 586
(d) Gambar 5. Kelompok ukuran udang mantis (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, (c) stasiun 3, (d) total
23
24 4.1.3. Biomassa stok udang mantis Perhitungan mengenai biomassa stok dilakukan untuk mengetahui kondisi stok udang mantis yang terdapat di alam. Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa rata-rata biomassa stok terbesar terdapat pada stasiun 3 yaitu 990,2 g/km2. Rata-rata biomassa stok terkecil terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 213,9 g/km2. Nilai biomassa stok terbesar terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 804,8 g/km2 (Lampiran 5). Kondisi biomassa stok sangat dipengaruhi oleh kondisi kepadatan individu. Nilai biomassa stok berkorelasi positif dengan nilai kepadatan udang mantis. Setiap perhitungan biomassa stok dilakukan ulangan sebanyak tiga kali. Tabel 3. Hasil perhitungan biomassa stok udang mantis di alam St
1
2
3
1
Kepadatan (ind/km2) 16,547
Jumlah Berat Individu (g) 409,7
Jumlah contoh individu (ind) 30
Biomassa (g/km2) 226,0
2
22,614
790
41
435,7
3
9,377
215,2
17
118,7
1
9,496
579
29
189,6
2
11,788
724
36
237,1
3
20,629
657
63
215,1
1
78,879
1550,9
152
804,8
2
77,841
1597,45
150
829,0
3
35,288
2576,25
68
1336,9
Ulangan
Rata-rata
SD
260,1
161,25
213,9
23,76
990,2
300,47
4.1.4. Sebaran frekuensi panjang udang mantis Jumlah udang mantis yang diamati selama penelitian adalah sebanyak 586 ekor yang terdiri dari 333 ekor udang mantis betina dan 253 ekor udang mantis jantan. Selama pengamatan diketahui bahwa panjang minimum dan maksimum udang mantis betina yang ditemukan berturut-turut adalah 2,75 cm dan 23,3 cm (Gambar 5). Ukuran panjang minimum udang mantis jantan yang ditemukan adalah 5,2 cm dan panjang maksimum sebesar 22,8 cm. Selama pengamatan udang mantis jantan dan betina yang paling banyak ditemukan pada kisaran panjang 8,36 cm 10,22 cm masing-masing sebesar 90 ekor dan 123 ekor. Selama pengamatan yang dilakukan jumlah udang mantis betina paling sedikit ditemukan pada selang ukuran panjang 19,58 cm - 21,44 cm sebanyak 2 ekor. Jumlah udang mantis jantan paling sedikit ditemukan pada selang ukuran 21,45 cm 24
25 23,31 cm sebanyak 2 ekor, dan pada selang 2,75 cm - 4,61 cm tidak ditemukan adanya udang mantis jantan (Gambar 6).
Junlah Udang (ekor)
140
n betina = 333 ekor n jantan = 253 ekor
120 100 80 60 40
Udang Jantan
20
Udang Betina
2, 75 -4 4, ,61 62 -6 6, ,48 49 8, -8,3 36 5 10 -10, ,2 22 31 12 2,0 9 ,1 13 -13, ,9 96 715 15,8 ,8 3 17 4- 17 ,7 1 ,7 19 - 19 ,5 ,57 8 21 - 21 ,4 ,44 523 ,31
0
S elang Kelas (cm)
Gambar 6. Kurva sebaran frekuensi panjang udang mantis jantan dan betina
4.1.5. Hubungan panjang bobot udang mantis Pada perhitungan mengenai hubungan panjang bobot udang mantis dilakukan pemisahan terhadap udang jantan dan udang betina. Hal ini dikarenakan biasanya terdapat perbedaan pertumbuhan antara udang mantis jantan dan udang mantis betina. Nilai koefisien pertumbuhan udang mantis betina adalah sebesar 2,933. Untuk udang mantis jantan diperoleh nilai koefisien pertumbuhan sebesar 3,009 (Gambar 7). Nilai koefisien determinasi yang diperoleh berkisar antara 0,939-0,965. Menurut hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan panjang berat pada udang mantis memiliki korelasi yang sangat erat, hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi yang mendekati satu. Udang mantis betina memiliki persamaan hubungan panjang berat W=0,009L2,933 (n=329; α=0,05) (Gambar 7, Lampiran 6). Persamaan hubungan panjang berat udang mantis jantan adalah W= 0,008L3,009 (n=250; α=0,05) (Gambar 7, Lampiran 7).
Jika dibandingkan dengan krustasea jenis lain dapat
diketahui bahwa pertumbuhan betina lebih lambat dibandingkan dengan jantan, hal ini dapat terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2001), Nates dan Felder (1999), dan Muna (2009). Hal berbeda diperoleh oleh Halomoan (1999), dimana pertumbuhan betina lebih cepat dibandingkan jantan (Tabel 4).
25
26 Faktor-faktor penyebab berbedanya nilai koefisien pertumbuhan antara lain adalah perbedaan spesies, selain itu perbedaan juga dapat disebabkan faktor lingkungan, berbedanya stok ikan dalam spesies yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, bahkan perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut. Menurut Harttnoll (1982), perbedaan pertumbuhan krustasea juga dapat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, cahaya, salinitas, suhu, dan parasit. Setelah dilakukan uji lanjutan pada selang kepercayaan 95%, diperoleh nila p > 0,05 untuk kedua jenis kelamin artinya pola pertumbuhan udang mantis betina dan udang mantis jantan juga memiliki kondisi isometrik, yang artinya pertumbuhan bobot dan pertumbuhan panjangnya seimbang. Tabel 4. Hasil perhitungan nilai b krustasea lain Jenis Krustasea Udang api-api Udang mantis (Harpiosquilla harpax) Udang hantu (Lepidophthalmus sinuensis) Scylla oceanica Scylla serrata
Jenis Kelamin Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan
Lokasi Penelitian
b
Sumber
Angke Kapuk
2,63 2,64 2,15 1,78 2,48 3,09
Anggraeni (2001)
Betina Jantan Betina Jantan
Sumatera
3,11 3,71 2,02 3,07
Muna (2009)
Teluk Banten Estuari Cispata, Kolombia
Jawa
26
Halomoan (1999) Nates and Felder (1999)
Muna (2009)
27
120 W = 0,009L2,933 R² = 0,939 n = 329
Berat (gram)
100 80 60 40 20 0 0
5
10
15
20
25
Panjang (cm)
(a) 120 W = 0,008L3,009 R² = 0,965 n = 250
Berat (gram)
100 80 60 40 20 0 0
5
10
15
20
25
Panjang (cm)
(b) Gambar 7. Kurva hubungan panjang bobot udang mantis (a) betina, (b) jantan ( Udang mantis yang moulting tidak diikutkan)
4.2. Pembahasan Berdasarkan seluruh data panjang yang diperoleh selama pengamatan, maka frekuensi ukuran panjang dibagi ke dalam 21 kelompok ukuran panjang, dengan interval 1,0 cm. Berdasarkan Gambar 5 (a), (b), (c), dan (d) diketahui bahwa udang mantis pada selang < 4,745 cm dan selang kelas >21,745 cm memiliki jumlah yang sedikit, sedangkan pada selang kelas diantara 7,745 cm - 21,745 cm memiliki jumlah yang banyak. Menurut Ravero dan Sprocati (1997), bentuk distribusi 27
28 frekuensi panjang tersebut disebabkan oleh lebih tingginya laju kematian pada selang kecil dan selang besar, dan laju pertumbuhan yang lebih cepat pada selang kelas antara. laju kematian yang terjadi pada selang kelas kecil berkaitan dengan tingkat kelangsungan hidup, meliputi kondisi perairan. Selain itu, udang muda sangat sensitif terhadap tekanan lingkungan. Pada udang mantis yang berukuran besar kematian cenderung lebih disebabkan oleh penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Adanya suatu kelompok ukuran menandakan adanya suatu generasi yang dihasilkan. Pada dasarnya suatu kelompok ukuran menggambarkan adanya sekelompok individu pada umur atau ukuran yang sama menempati ruang yang sama, tumbuh, dan berkembang dalam kurun waktu tertentu yang sama. Adanya 4 kelompok ukuran pada populasi udang mantis menandakan populasi tersebut terdiri dari 4 generasi. Pada stasiun 1 terlihat bahwa udang yang tertangkap didominasi oleh panjang total 8,75 cm - 13,75 cm. Udang pada stasiun 1 dan 3 tidak sama, dimana terjadi kecenderungan bahwa semakin kecil jumlah udang yang tertangkap ukurannya semakin besar. Rata-rata ukuran panjang udang mantis yang terdapat di stasiun 1 adalah 11,87 cm dengan jumlah udang sebanyak 88 ekor dan pada stasiun 3 adalah 10,09 cm dengan jumlah udang sebanyak 370 ekor. Pada stasiun 2 dan 3 ditemukan udang yang berukuran besar. Hal ini menggambarkan bahwa pertumbuhan udang pada kedua stasiun cukup baik. Hal ini dapat disebabkan kurangnya intensitas penangkapan pada daerah tersebut. Ukuran udang yang tertangkap ini termasuk kecil dan diduga merupakan udang muda. Selain ukuran yang kecil, tingkat kematangan gonad udang yang diperoleh menunjukan bahwa udang di sekitar Muara Sungai Pangabuan merupakan udang-udang muda. Seluruh udang yang tertangkap merupakan udang betina yang belum matang gonad. Menurut Yusuda in Suwandi (1978) keadaan tersebut disebabkan oleh pergerakan udang untuk beruaya yang disebabkan tingkat kedewasaan. Udang muda terdapat di daerah payau dekat pantai sedangkan udang dewasa terdapat pada perairan yang lebih jauh dari pantai dengan kadar garam yang lebih tinggi untuk memijah. Hal ini diperjelas oleh Racek in Suwandi (1978), pergerakan udang yang terjadi di alam juga dipengaruhi oleh siklus pemijahan, tingkat kedewasaan,
28
29 perubahan iklim dan densitas makanan. Menurut Naamin (1984) in Anggraeni (2001), udang penaeid memiliki daur hidup yang khas, dimana udang yang dewasa hidup diperairan lepas pantai untuk memijah sedangkan larva udang bergerak ke arah pantai dan berkembang di sana sampai menjelang dewasa dan bergerak lagi ke peraian yang lebih dalam untuk memijah. Dari pengamatan diketahui bahwa pada stasiun 2 dan stasiun 3 terdapat 4 kelompok umur udang mantis, sedangkan pada stasiun 1 terdapat 3 kelompok umur. Tingginya intensitas penangkapan pada stasiun 1 menyebabkan struktur umur yang ditemukan lebih sedikit. Selain itu, udang dengan ukuran besar dijumpai dalam jumlah yang sedikit, hal ini dikarenakan udang tersebut telah banyak ditangkap oleh nelayan. Stasiun 2 dan stasiun 3 memiliki kelompok ukuran yang lebih banyak diduga karena pada stasiun tersebut belum terjadi penangkapan. Pada stasiun 1 merupakan daerah yang dekat dari darat sehingga banyak nelayan yang telah melakukan penangkapan di sekitar daerah tersebut. Pada stasiun 3 lebih banyak ditemukan udang yang berukuran muda, hal ini menggambarkan bahwa stasiun 3 merupakan wilayah yang cocok untuk daerah mencari makan dan pembesaran udang mantis muda. Stasiun 1 dan stasiun 2 ukuran udang yang ditemukan lebih besar sehingga daerah ini cocok untuk daerah penangkapan. Stasiun 3 diduga merupakan daerah supply udang mantis. Banyaknya udang muda yang ditemukan pada stasiun ini juga dapat disebabkan migrasinya udang yang sudah mulai dewasa untuk mencari daerah yang lebih mendukung kehidupan udang dewasa. Kondisi kelompok ukuran panjang yang diperoleh menggambarkan bahwa kondisi udang mantis di alam sudah tidak stabil, hal ini dikarenakan proporsi masing-masing individu pada setiap kelompok umur berbeda. Menurut Effendi (1997), pada suatu kondisi yang stabil proporsi setiap kelompok umur pada suatu saat adalah sama dengan proporsi masing-masing yang menunjukkan umur dalam kehidupan kohort. Biomassa stok populasi dapat diduga dengan mengalikan data kepadatan dengan berat rata-rata contoh udang yang terdapat pada stasiun tersebut, dimana semakin tinggi kepadatan suatu populasi maka semakin tinggi pula biomassa stok populasi yang terdapat di daerah tersebut. Biomassa stok populasi ini menggambarkan potensi penangkapan pada suatu area penangkapan. Biomassa stok populasi udang mantis tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 804,8 g/km2 -
29
30 1336,9 g/km2 dan biomassa stok populasi terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 189,6 g/km2 - 237,1 g/km2. Rata-rata biomassa stok yang diperoleh sebesar 488,1 g/km2, luas total wilayah pengamatan adalah 19,15 km2 sehingga diperoleh nilai biomassa stok total adalah 9349,29 g/area penelitian. Kondisi biomasa individu dalam suatu lingkungan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan diantaranya adalah oksigen terlarut dan kondisi musim angin yang berpengaruh terhadap lingkungan perairan (Karen et al. 2006). Jika dilihat potensi penangkapan yang diperoleh tergolong rendah. Namun, jika dilihat luas daerah penangkapan yang terdapat di daerah Kuala Tungkal maka potensi yang dapat dihasilkan cukup besar. Potensi terbesar terdapat pada stasiun 3, hal ini diduga karena stasiun 3 merupakan daerah yang masih memiliki intensitas penangkapan yang masih rendah sehingga kondisi udang mantis masih baik. Selain itu, stasiun 3 berada dekat mangrove sehingga ketersediaan makanan besar. Hal ini menyebabkan banyak udang yang terdapat pada lokasi tersebut yang berpengaruh terhadap kepadatan dan meningkatkan nilai biomassa stok. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa stasiun 3 merupakan kawasan yang sebaiknya dipertahankan untuk menjaga kondisi stok udang mantis di alam. Biomassa stok dapat dipengaruhi oleh jumlah kelompok umur udang mantis yang terdapat pada masing-masing stasiun pengamatan. Pada stasiun 3 terdapat empat kelompok ukuran udang mantis dan jumlah udang yang paling besar sehingga biomassa stok yang diperoleh juga besar. Pada stasiun 2 ditemukan empat kelompok ukuran umur, namun didominasi oleh udang yang berukuran kecil sehingga biomassa stoknya juga kecil. Pada stasiun 1 ditemukan tiga kelompok ukuran panjang udang mantis dengan rata-rata ukuran udang yang ditemukan relatif lebih besar sehingga meningkatkan nilai biomassa stok udang mantis. Secara umum berdasarkan pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa jumlah udang mantis betina yang ditemukan lebih besar dibandingkan udang mantis jantan. Udang betina yang ditemukan sebanyak 333 ekor dan udang mantis jantan sebanyak 253 ekor. Berdasarkan Gambar 6, ukuran udang mantis jantan dan betina yang paling banyak tertangkap pada ukuran 8,36 cm - 10,22 cm masing-masing sebanyak 90 ekor dan 123 ekor. Ukuran udang mantis jantan dan betina yang tertangkap tidak sama, hal ini menggambarkan kondisi yang tidak seimbang. Rata-
30
31 rata ukuran udang mantis betina yang tertangkap adalah 10,34 cm dan rata-rata udang mantis jantan yang tertangkap adalah 10,84 cm. Berdasarkan data terlihat kecenderungan dimana semakin banyak udang yang tertangkap maka ukurannya akan semakin kecil. Udang mantis jantan yang tertangkap lebih sedikit jumlahnya namun ukuran yang diperoleh lebih besar. Hal ini berkaitan dengan adanya kompetisi dalam perebutan ruang dan makanan. Ukuran panjang minimum dan maksimum udang mantis betina yang ditemukan adalah 2,75 cm - 23,31 cm, sedangkan ukuran panjang minimum dan maksimum udang jantan yang ditemukan adalah 4,62 cm - 23,31 cm. Ukuran udang yang tertangkap berkisar antara 2,75 cm - 23,1 cm. Rata-rata ukuran udang mantis jantan dan betina yang diperoleh selama pengamatan masing-masing adalah 10,85 cm dan 10,34 cm dengan berat rata-rata adalah 14,38 g dan 12,78 g. Panjang ratarata udang mantis yang didaratkan di tempat penampungan adalah 24,56 cm dengan berat 136,56 gram untuk udang betina dan 24,48 cm dan 134,52 g untuk udang jantan. Hal ini menggambarkan bahwa udang yang ditangkap memiliki ukuran panjang dan bobot yang lebih kecil dibandingkan udang yang didaratkan di tempat penampungan. Hal ini menggambarkan bahwa udang yang tertangkap di lokasi penelitian masih belum mencapai ukuran maksimum, dan masih banyak udang kecil. Udang mantis yang tertangkap selama pengamatan berukuran kecil, hal ini didukung oleh penelitian Pak Poon in Manning (1969) di Thailand, untuk udang mantis (Harpiosqilla raphidea) betina dapat mencapai panjang maksimum 25 cm, sedangkan untuk udang mantis jantan dapat memiliki panjang maksimum 31 cm. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Halomoan (1999) di Teluk Banten, diketahui bahwa udang mantis betina dan jantan dapat yang diperoleh memiliki ukuran panjang masing-masing berkisar antara 8,4 cm - 20,3 cm dan 6,3 cm - 24,5 cm. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ohtomi et al. (1994), untuk udang mantis jenis Oratosquilla oratoria ukuran tubuhnya sebesar 10,54 cm. Perbedaan pertumbuhan ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat udang mantis hidup dan jenis spesies dari udang mantis (Hartnoll 1982). Alat tangkap yang digunakan dalam penelitian ini juga menjadi faktor penting. Alat tangkap yang digunakan adalah sondong dengan ukuran mata jaring berlapis mulai dari 0,5 inchi hingga 3 inchi pada bagian ujungnya. Alat ini bersifat menyapu
31
32 dasar dan tidak selektif sehingga udang-udang yang berukuran kecil pun dapat tertangkap dengan ukuran yang beragam. Ukuran udang jantan yang tertangkap membentuk suatu sebaran normal dengan puncak pada ukuran 8,36 cm - 10,22 cm. Hal ini memperlihatkan bahwa udang jantan yang diperoleh merupakan satu ukuran panjang. Pada ukuran 10,23 cm - 12,09 cm jumlah udang jantan dan udang betina yang diperoleh hampir sama, hal ini memperlihatkan bahwa pada ukuran tersebut kondisi udang seimbang. Udang yang berukuran besar yang tertangkap memiliki jumlah yang sedikit, hal ini dikarenakan pengambilan contoh dilakukan di daerah sekitar mangrove yang diduga merupakan daerah mencari makanan dan pembesaran udang. Menurut Naamin 1984 in Anggraeni 2001, udang memiliki daur hidup yang khas, dimana udang yang dewasa hidup di perairan lepas pantai untuk memijah sedangkan larva udang bergerak ke arah pantai dan berkembang di sana sampai menjelang dewasa dan bergerak lagi ke perairan yang lebih dalam untuk memijah. Pertumbuhan udang mantis dapat diketahui melalui pengkajian mengenai hubungan panjang bobot udang mantis. Pertumbuhan udang jantan dan betina dipisahkan, hal ini dikarenakan dugaan adanya perbedaan pertumbuhan antara udang mantis jantan dan betina. Menurut Hartnoll (1982) salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah jenis kelamin. Panjang udang betina
yang
tertangkap berkisar antara 2,75 cm - 23,1 cm dengan bobot berkisar antara 0,1 g – 106 g. Pada udang betina persamaan hubungan panjang-bobot yang diperoleh adalah W=0,009L2,933. Berdasarkan persamaan tersebut, nilai b sebesar 2,933. Setelah dilakukan uji t,pada selang kepercayaan 95 %, maka diperoleh bahwa p > 0,05 artinya nilai b = 3. Hal ini menggambarkan bahwa pola pertumbuhan udang mantis betina berdasarkan hubungan panjang-bobot adalah isometrik. Koefisien determinasi yang diperoleh sebesar 0,939 yang artinya variasi panjang dapat diantisipasi bobot dan model ini dapat mewakili kondisi sebenarnya sebesar 93,9 %, sedangkan nilai koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0,97 artinya bobot memiliki hubungan yang sangat erat terhadap panjang. Menurut Walpole (1995), nilai koefisien korelasi yang mendekati 1 menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antar variabel. Ukuran panjang dan bobot udang mantis jantan berkisar antara 4,26 cm - 23,1 cm dan 0,45 g - 103 g. Udang mantis jantan memiliki persamaan hubungan panjang-
32
33 bobot W= 0,008L3,009, nilai b yang diperoleh adalah 3,009. Untuk menentukan pola pertumbuhan udang mantis jantan dilakukan uji t, dimana pada selang kepercaya 95% hasil yang diperoleh p > 0,05 artinya nilai b = 3. Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa nilai tersebut menggambarkan pola pertumbuhan udang mantis jantan isometrik dikarenakan nilai b yang sama dengan 3. Persamaan ini memiliki koefisien determinasi sebesar 0,965 artinya variasi nilai panjang dapat diantisipasi bobot dan model ini dapat menggambarkan kondisi sebenarnya di alam sebesar 96,5%. Pola pertumbuhan udang mantis jantan dan betina yang diperoleh adalah isometrik, artinya pertumbuhan bobot dan panjang udang mantis seimbang. Hal ini berbeda dengan pernyataan Hartnoll (1982), bahwa krustasea biasanya mengalami perubahan bentuk tubuh selama tumbuh, yang mana hal tersebut dikatakan sebagai pertumbuhan relatif atau allometrik. Pada dasarnya, pertumbuhan relatif tidak hanya merupakan karakeristik dari hewan krustasea namun cangkang krustasea yang relatif keras, memudahkan dilakukannya ketepatan dalam pengukuran. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan pertumbuhan pada masing-masing jenis, ketersediaan makanan, dan tekanan penangkapan. Berdasarkan nilai b pada hubungan panjang bobot udang mantis betina dan udang mantis jantan diketahui bahwa udang jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan udang mantis betina. Menurut Hartnoll (1982), pertumbuhan udang betina dan jantan akan mengalami perbedaan. Hal ini dikarenakan energi yang berasal dari makanan yang diperoleh oleh udang mantis betina lebih digunakan untuk pemeliharaan tubuh, pergerakan, dan reproduksi daripada untuk pertumbuhan dalam bentuk penambahan ukuran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2001) di Angke Kapuk pada spesies udang api-api, Nates dan Felder (1999) dengan spesies udang hantu, dan Muna (2009) dengan spesies Scylla serrata dan Scylla oceanica dimana koefisien pertumbuhan udang jantan lebih besar dibandingkan dengan udang betina. Namun berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halomoan (1999) udang mantis (Harpiosquilla harpax) di Teluk Banten pada bulan Februari hingga Agustus (1998), dimana koefisien pertumbuhan udang betina lebih besar dibandingkan udang jantan, perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan kualitas lingkungan perairan yang menjadi habitat udang dan perbedaan spesies. Hal ini dipertegas oleh Hartnoll
33
34 (1982), dimana pertumbuhan udang dipengaruhi oleh faktor luar meliputi kualitas lingkungan dan faktor dalam meliputi jenis spesies dan genetik. Selain itu, menurut Kartini (1998), perbedaan hubungan panjang bobot yang diperoleh dari berbagai perairan tersebut disebabkan oleh perbedaan kecepatan pertumbuhan dan kisaran panjang udang yang dianalisis.
4.3. Implementasi Hasil Penelitian Terhadap Pengelolaan Menurut Widodo (2002), pengelolaan perikanan dimaksudkan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan sehinggga kelestarian sumberdaya ikan terjamin. Berdasarkan Undang-Undang Perikanan No 45 tahun 2009, tujuan utama dari pengelolaan yaitu untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan, terutama melalui berbagai tindakan pengaturan dan pengkayaan yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan. Pada saat ini, permintaan pasar terhadap udang mantis terus meningkat, baik permintaan konsumen lokal maupun sebagai komoditas ekspor. Hal ini cukup mengkhawatirkan dikarenakan pemenuhan permintaan pasar tersebut masih mengandalkan tangkapan dari alam yang akan mengakibatkan penurunan populasi udang mantis di alam dan ukuran tangkapan udang mantis yang semakin kecil. Selain itu, penangkapan yang dilakukan oleh nelayan terhadap juvenil udang mantis untuk kegiatan budidaya di negara lain dapat mengganggu proses rekruitmen dari populasi udang mantis. Oleh karena itu, untuk menghindari rusaknya sumberdaya udang mantis dan agar pemanfaatannya dapat optimal, diperlukan suatu rencana pengelolaan secara rasional dan bijaksana yang berpedoman pada kaidah-kaidah pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.
Sehingga, dengan menerapkan
perencanaan tersebut diharapkan dapat menjaga kelangsungan hidup dan kelestarian sumberdaya udang mantis. Berdasarkan analisis yang telah diperoleh diketahui bahwa pola pertumbuhan udang mantis isometrik yang menggambarkan bahwa kondisi lingkungan yang masih baik untuk habitat hidupnya. Selain itu, selama pengamatan ukuran udang yang diperoleh masih kecil dan termasuk udang muda. Jika penangkapan udang ini terus dilakukan maka jumlah udang kecil yang ada di alam akan berkurang. 34
35 Meskipun kondisi lingkungan masih mampu menopang kehidupan udang mantis, namun diperlukan suatu monitoring kualitas perairan di perairan. Hal ini dikarenakan udang mantis merupakan hewan bentik yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Untuk mengatasi penangkapan udang muda oleh nelayan diperlukan adanya suatu pengaturan upaya penangkapan berupa pengaturan ukuran mata jaring yang digunakan oleh nelayan dan pengaturan ukuran tangkap. Dalam pengelolaan perikanan pengaturan dan perubahan terhadap kondisi yang telah ada sangat sulit dilakukan sehingga diperlukan suatu sosialisasi kepada nelayan. Tangkapan udang kecil yang diperoleh oleh nelayan sebaiknya dikembalikan ke alam, sehingga udang tersebut dapat tumbuh dan bereproduksi untuk menghasilkan individu-individu baru. Hal penting lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan perikanan adalah perlunya suatu monitoring dan pendataan secara sistematis terhadap produksi udang baik yang bernilai jual, dan konsumsi serta yang terbuang. Hal ini sangat penting untuk dilakukan untuk memperoleh data yang akurat sebagai bahan dasar dalam membuat perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan udang mantis. Berdasarkan analisis mengenai biomassa stok, dan struktur demografi udang mantis diketahui bahwa dari semua lokasi pengamatan udang yang ditemukan merupakan udang dengan ukuran rata-rata terkecil. Hal ini menggambarkan bahwa lokasi pengamatan sangat cocok sebagai tempat untuk pemijahan dan pembesaran udang mantis. Lokasi ini juga dapat berfungsi sebagai supplier bagi daerah sekitarnya sehingga diperlukan pengaturan pengelolaan berupa pengadaan perlindungan habitat pembesaran dan mencari makan di sekitar daerah mangrove dengan konsep supply side ecology. Pengaturan ini perlu dilakukan untuk menjaga stok dan kelestarian udang mantis. Suatu pengelolaan perikanan tidak akan berjalan baik tanpa adanya kepedulian dari semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antar semua pihak yang berkepentingan meliputi pemerintah, masyarakat, nelayan, dan peneliti. Pemerintah berperan sebagai instansi yang memiliki wewenang untuk menetapkan peraturan pengelolaan demi menjaga kelestarian udang mantis. Peraturan pengelolaan
yang diambil sebaiknya berdasarkan kondisi lapangan yang
diinformasikan oleh peneliti agar keputusan pengelolaan yang diambil sesuai dengan
35
36 kondisi yang ada di alam. Peran serta masyarakat dan nelayan Kuala Tungkal sangat dibutuhkan untuk mengawasi jalannya suatu pengaturan pengelolaan perikanan udang mantis. Dengan adanya partisipasi semua pihak dalam pengelolaan perikanan udang mantis dapat berjalan dengan baik.
36
37
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa struktur umur udang mantis (Harpiosquilla raphidea) yang diperoleh sebanyak empat kelompok umur artinya terdapat empat generasi udang mantis di alam. Biomassa stok udang mantis berbeda pada setiap stasiun. Biomassa stok udang mantis terbesar terdapat pada stasiun 3, yang mengindikasikan bahwa stasiun 3 merupakan lokasi yang tepat untuk mencari makan dan pembesaran udang mantis. Pola pertumbuhan udang mantis jantan dan betina di Kuala Tungkal, Jambi adalah isometrik artinya pertumbuhan bobot dan pertumbuhan panjang udang mantis seimbang. Hal ini menggambarkan bahwa lingkungan masih dapat menopang kehidupan udang mantis.
5.2. Saran Pada penelitian selanjutnya diperlukan adanya pengkajian mengenai siklus hidup dan kebiasaan makanan udang mantis untuk mengatahui pola hidup dan makanan yang dikonsumsi oleh udang mantis.
37
38
DAFTAR PUSTAKA
Ahyong ST & Moosa MK. 2004. Stomapod crustacea from Anambas and Natuna Islands, South China Sea, Indonesia. The Raffles Bulletin of Zoology 11:6166. Ahyong ST & Erdmann MV. 2007. Two new spesicies of Gonodactylellus from the Western Pacific (Gonodactylidae : Stomatopoda). The Raffles Bulletin of Zoology. National University of Singapore 55(1):85-95. Anggraini E. 1991. Regenerasi alat gerak, pertambahan bobot tubuh pasca lepas cangkang, dan kajian morfometrik kepiting bakau Scylla serrata (Forskal) di rawa payau muara Sungai Cikaso, Kabupaten Sukabumi [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anggraeni D. 2001. Studi beberapa aspek biologi udang api-api (Metapenaeus monoceros Fabr.) di perairan sekitar hutan lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aziz KA, Boer M, Widodo J, Djamali A, Gofar A, & Rahmawati R. 2001. Perikanan udang di Perairan Indonesia. Pusat Kajian sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Azmarina. 2007. Karakteristik morfometrik udang mantis, Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798) di perairan Bagansiapiapi [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau. Pekanbaru. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2008. Tanjung Jabung Barat dalam angka. Tanjung Jabung Barat, Jambi. Barnes R. 1982. Invertebrate zoology. 4 th Edition. Holt Saunders International Edition, Tokyo. pp.1089. Brower JE, Zar JH, & Von Ende CN. 1990. Field and laboratory method for general ecology, third edition. WmC. Brown Publisher. USA. [DKP] Dinas Kelautan & Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2003. Laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun 2002. Tanjung Jabung Barat. Jambi.
38
39 Effendie MI. 1997. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Halomoan M. 1999. Beberapa aspek biologi reproduksi udang ronggeng (Squilla harpax de Haan) di perairan Teluk Banten, Serang, Jawa Barat [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hartnoll RG. 1982. Growth. : D.E. Bliss (ed.-in-chief) dan L.G.Abele (ed.). The Biology of crustacea, Embryology, Morphology and Genetic. Academic Press, New York. II:111-195. Karen KYL, Jasmine SS, & Kenneth MYL. 2006. Spatiol-temporal variation in the diversity and abundance of commercially important Decapoda and Stomatopoda in subtropical Hong Kong water. Science direct. The Swire Institute of Marine Science 72:635-647. Kartini D. 1998. Parameter populasi udang api-api (Metapenaeus monoceros Fabricius) yang ditangkap di perairan Muara Angke, Teluk Jakarta [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Manning RB. 1969. A review of the genus Harpiosquilla (Crustacea, Stomatopoda) with description of three new species. Smithsonian Contribution of zoology. Smithsonian Institution Press. City of Washington. Muna NF. 2009. Keragaan reproduksi kepiting bakau (Scylla spp) di Perairan Indonesia [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nates SF & Felder DL. 1999. Growth and maturation of the ghost shrimp Lepidophthalmus sinuensis Lemaitre and Rodrigues, 1991 (Crustacea, Decapoda, Callianassidae), a burrowing pest in penaeid shrimp culture ponds. Fish.Bull. 97:526-541. Odum PE. 1971. Fundamentals of ecology, third edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia. pp. 255-260. Ohtomi J & Shizumi M. 1994. Theoretical growth during the recruitment period and estimation of growth parameters of the Japanese Mantis shrimp Oratosquilla oratoria in Tokyo Bay. University of Tokyo 58(1):21-27. Passano LM. 1960. Molting and its control. Dalam : T.H. Waterman (ed.). The physiology of crustacean. Vol.I, Metabolism and growth. Academic Press, New York. pp. 473-535. 39
40 Ravero & Sprocati AR. 1997. Population dynamics, production, assimilation and respiration of two fresh water mussels. Uniomanus, zhadin, and anadonta cyignea lam. http://www.iii.to.cnr.it/publicaz/mem55/56_08.pdf. Sparre P & Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-i manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan BangsaBangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Sumiono B & Priyono BE. 1998. Sumberdaya udang penaeid dan krustasea lainnya dalam Widodo J, Azis KA, Priyono BE, Tampubolon GH, Naamin N, & Djamali A, eds. Potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut dan P2OLIPI. Jakarta Suwandi E. 1978. Beberapa aspek bilogi udang Penaeid yang tertangkap oleh trawl di laut Arafura, Irian Jaya, dan Teluk Carpentaria, Australia [tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hlm. Walpole RE. 1995. Pengantar statistika. Edisi ke-3. PT.Garmedia Pustaka Utama. Jakarta. Wardiatno Y, Fajarillah A, & Mashar A. 2009. Kajian aspek reproduksi dan genetika udang mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricus, 1798) di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi sebagai upaya lanjutan domestifikasi udang mantis. Institut pertanian Bogor. Bogor. Widodo J. 2002. Pengantar pengkajian stok ikan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 16 hlm. Wortham-Neal JL. 2002. Reproductive morphology and biology of male and female mantis shirmp (Stomatopoda: Squillidae). Journal of Crustacean Biology. 22(4):728-741.
40
41
LAMPIRAN
41
42 Lampiran 1. Wilayah Fishing Ground II
42
43
Lampiran 2. Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea)
43
44
Lampiran 3. Gambar Alat tangkap Sondong
44
45
Lampiran 4. Hasil analisis kelompok umur dengan FISAT II
Stasiun 1
Stasiun 2
45
46
Stasiun 3
Total
46
47
Lampiran 5. Perhitungan biomassa stok udang mantis
Stasiun
Ulangan 1
2
3
Stasiun
Jumlah
Luas
Kepadatan
Rata-rata Panjang udang (cm)
1
30
1.813
17
10.61
3.50
2
41
1.813
23
12.47
3.99
3
17
1.813
9
12.66
3.96
1
29
3.054
9
11.77
4.39
2
36
3.054
12
12.65
3.72
3
63
3.054
21
10.43
3.93
1
152
1.927
79
9.70
3.19
2
150
1.927
78
10.18
2.54
3
68
1.927
35
10.76
3.57
Ulangan 1
2
3
Kepadatan
Jumlah Berat Individu
Jumlah contoh individu
Biomassa
409.7
30
226.0
1
17
2
23
790
41
435.7
3
9
215.2
17
118.7
1
9
579
29
189.6
2
12
724
36
237.1
3
21
657
63
215.1
1
79
1550.9
152
804.8
2
78
1597.45
150
829.0
3
35
2576.25
68
1336.9
Kepadatan udang mantis : D
X m
152 individu 1,972 km2
79 ind / km2
Biomassa stok udang mantis: B
D
SD
W n
79ind / km2
1550,9 gram 152ind
47
804,8 gram / km2
48
Lampiran 6. Analisis regresi panjang bobot udang mantis betina
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.9691796 R Square 0.939309 Adjusted R Square 0.9391234 Standard Error 0.1063356 Observations 329 ANOVA Df 1 327 328
SS 57.22551 3.697475 60.92299
MS 57.22551 0.011307
F 5060.952
Significance F 5E-201
Coefficients -2.007161 2.9338996
Standard Error 0.041308 0.041241
t Stat -48.5899 71.14037
P-value 1.2E-151 5E-201
Lower 95% -2.08842 2.852768
Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
t hitung =
Upper 95% -1.9259 3.015031
3 2.9340 =1,6028, ttabel = t0,05(0,05,327)=1,9672→Gagal Tolak Ho, Isometrik 0,0412
48
Lower 95.0% -2.08842 2.852768
Upper 95.0% -1.9259 3.015031
49
Lampiran 7. Analisis regresi panjang bobot udang mantis jantan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.9828098 R Square 0.9659152 Adjusted R Square 0.9657777 Standard Error 0.0691777 Observations 250 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
1 248 249
SS 33.6327 1.186818 34.81952
MS 33.6327 0.004786
F 7027.961
Significance F 5.6E-184
Coefficients -2.0788373 3.0090908
Standard Error 0.036792 0.035894
t Stat -56.502 83.83294
P-value 1.2E-143 5.6E-184
Lower 95% -2.1513 2.938395
t hitung =
Upper 95% -2.00637 3.079787
Lower 95.0% -2.1513 2.938395
3,0091 3 =0,2533, ttabel = t0,05(0,05,248)=1,9696→Gagal Tolak Ho, Isometrik 0,0359
49
Upper 95.0% -2.00637 3.079787