591
Pengaruh tipe persilangan terhadap sintasan dan pertumbuhan ... (Imron)
PENGARUH TIPE PERSILANGAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN POPULASI BENIH UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) Imron*), Harry Wuwungan**), Dinar Soelistyawati**), dan Komar Sumantadinata**) *)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi Jl.Raya Sukamandi No.2, Subang 41256 email:
[email protected] **) Jurusan Budidaya Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
ABSTRAK Variasi tipe persilangan pada kegiatan breeding program dapat berimplikasi pada perbedaan tingkat inbreeding dari populasi hasil persilangan. Tingkat inbreeding populasi dapat berdampak pada keragaan populasi tersebut dalam kegiatan budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevalusi pengaruh perbedaan tipe persilangan pada populasi tetua terhadap keragaan benih udang galah pada fase pendederan. Tiga tipe persilangan, yaitu inbreeding, outbreeding, dan crossbreeding dilakukan untuk menghasilkan tiga populasi uji berupa pasca larva (PL) umur 1 bulan. Keragaan pendederan dari ketiga populasi diuji melalui pemeliharaan dalam hapa di kolam secara outdoor selama satu bulan. Parameter yang diamati adalah sintasan dan pertumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada karakter sintasan, keragaan terbaik ditunjukkan oleh populasi hasil outbreeding (74,96±21,54%) diikuti oleh populasi hasil crossbreeding (57,75±28,10%) dan populasi inbreeding (25,38±7,40%). Pada karakter pertumbuhan, keragaan terbaik ditunjukkan oleh populasi hasil crossbreeding (24,30±1,17 mm) diikuti oleh populasi hasil outbreeding (21,78±1,14 mm) dan populasi inbreeding (21,78±1,14 mm). Hasil ini menunjukkan bahwa tipe persilangan harus didesain dengan tepat sehingga tingkat inbreeding dapat dikendalikan dan keragaan budidaya dapat dioptimalkan.
KATA KUNCI:
inbreeding, outbreeding, crossbreeding, keragaan pendederan
PENDAHULUAN Keragaan populasi dalam proses budidaya merupakan hasil kombinasi dari faktor genetis, lingkungan dan interaksi antara genetik dan lingkungan (Tave, 1986; Tave, 1999). Bersama dengan optimasi faktor lingkungan, manipulasi terhadap faktor genetis sering dilakukan untuk mendapatkan peningkatan produktivitas budidaya. Komposisi genetik populasi yang dipercaya dapat mempengaruhi beberapa parameter keragaan dalam budidaya seperti sintasan, pertumbuhan, ketahanan terhadap penyakit dan cekaman lingkungan adalah tingkat homozigositas atau heterozigositas populasi. Populasi dengan tingkat homozigositas yang tinggi sering dikaitkan dengan keragaan budidaya yang rendah, sedangkan populasi dengan tingkat heterozigositas yang tinggi sering diasosiasikan dengan keragaan budidaya yang tinggi (Frankham et al., 2002). Di dalam budidaya, perbedaan tingkat homozigositas atau heterozigositas antar populasi terutama disebabkan oleh perbedaan dalam sistem perkawinan induk; Inbreeding, outbreeding, dan crossbreeding. Faktor utama yang membedakan ketiga sistem perkawinan tersebut adalah tingkat kedekatan hubungan kekerabatan antara induk-induk yang dikawinkan.
Inbreeding adalah sistem perkawinan antara induk jantan dan betina yang memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat. Populasi yang dihasilkan dari sistem perkawinan ini memiliki tingkat homozigositas yang tinggi. Outbreeding adalah sistem perkawinan antar individu-individu yang memiliki hubungan kekerabatan lebih jauh dari sistem inbreeding tetapi lebih dekat dari pada sistem perkawinan crossbreeding. Pada sistem perkawinan crossbreeding, individu-individu yang dikawinkan memiliki hubungan kekerabatan paling jauh dibandingkan dengan dua sistem terdahulu karena induk-induk umumnya berasal dari kelompok genetik, misalnya strain, populasi, atau spesies yang berbeda. Terdapat kepercayaan umum bahwa keragaan budidaya dari populasi yang dihasilkan dari ketiga sistem perkawinan tersebut berbeda. Populasi hasil inbreeding sering dikaitkan dengan keragaan yang rendah sedangkan populasi hasil crossbreeding sering dianggap memiliki keragaan yang tinggi.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
592
Beberapa penelitian terdahulu mendukung anggapan umum tersebut. Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan variasi khususnya dalam hal waktu atau stadia. Pada penelitian terdahulu, (Imron, 2008) mendapatkan bahwa keragaan populasi hasil inbreeding pada fase larva lebih rendah dari keragaan populasi kontrol yang merupakan hasil perkawinan secara outbreeding. Namun belum diketahui apakah pola keragaan ini juga akan berlanjut pada fase kehidupan selanjutnya (fase tokolan dan dewasa). Demikian pula, belum diketahui bagaimana pola keragaan budidaya dari populasi dengan komposisi genetik yang berbeda, seperti hasil crossbreeding, dibandingkan dengan populasi hasil inbreeding dan outbreeding. Penelitian ini merupakan lanjutan dan perluasan dari penelitian terdahulu (Imron, 2008) dengan menambahkan satu populasi dan memperluas pengamatan hingga fase yuwana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek perbedaan komposisi genetik populasi yang disebabkan oleh perbedaan sistem perkawinan terhadap keragaan budidaya pada fase pemeliharaan larva dan tokolan, dan mengevaluasi konsistensi pola keragaan antara fase larva dan fase pendederan pertama dari populasi yang secara genetik berbeda. BAHAN DAN METODE Pembentukan Populasi Uji Populasi benih dengan komposisi genetik yang berbeda, yaitu populasi hasil inbreeding, outbreeding, dan crossbreeding dibentuk dengan cara melakukan perkawinan induk-induk secara terencana seperti diuraikan dalam paparan berikut. Populasi inbreeding dihasilkan dengan cara mengawinkan induk jantan dan betina yang berasal dari tetua yang sama (perkawinan sesama saudara kandung). Populasi hasil outbreeding diperoleh dengan cara mengawinkan induk jantan dan betina yang berbeda tetapi masih berasal dari populasi atau strain yang sama. Dalam penelitian ini, populasi hasil inbreeding dan hasil outbreeding menggunakan strain udang galah GIMacro. Populasi hasil crossbreeding dihasilkan dengan cara mengawinkan induk jantan dan betina yang berasal dari strain atau populasi yang berbeda, yaitu strain Barito dan GIMacro. Tiap kelompok genetik merupakan turunan dari perkawinan empat pasang induk. Pemeliharaan Populasi Uji Populasi larva yang diperoleh dari sistem perkawinan seperti dijelaskan di atas, dipelihara dalam dua tahap pemeliharaan, tahap pemeliharaan larva, dan tahap pendederan pertama. Tahap pemeliharan larva berlangsung sejak telur menetas sampai menjadi pasca larva (PL). Tahap pendederan pertama berlangsung mulai dari PL umur 7 hari (PL-7) sampai PL-30. Pemeliharaan larva dilakukan di dalam wadah-wadah berbentuk corong terbuat dari fiber volume 50 L dengan kepadatan 50 ekor/L. Tiap corong dilengkapi dengan heater untuk menstabilkan suhu lingkungan. Pengelolaan selama pemeliharaan larva yang meliputi pemberian pakan dan pengelolaan kualitas Pemeliharaan tokolan dilakukan di waring-waring berukuran 2 m x 2 m x 1 m yang ditempatkan di kolam outdoor. Umur PL pada saat tebar adalah tujuh hari (PL-7) dengan padat tebar 25 ekor/m2 . Selama pemeliharaan, tokolan diberi pakan buatan berupa pelet UG_581 sebanyak 20%/hari yang diberikan pada pagi dan sore hari. Pemeliharaan tokolan berlangsung selama 3 minggu. Pengamatan dan Pengukuran Parameter Parameter yang diamati meliputi sintasan PL, kecepatan perkembangan larva, sintasan tokolan, pertumbuhan tokolan, dan data kualitas air. Sintasan PL dihitung pada akhir masa pemeliharaan larva dengan formula
SR = di mana: N0 = jumlah larva pada saat tebar Nt = jumlah PL pada saat panen
Nt x 100% No
593
Pengaruh tipe persilangan terhadap sintasan dan pertumbuhan ... (Imron)
Kecepatan perkembangan larva (Larval stage Index, LSI) diukur dengan interval 3 hari dengam mengambil secara acak 30 ekor sampel dan mengamatinya di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer. Penentuan stadia dan nilai LSI mengikuti prosedur yang diterapkan oleh Rahman et al. (2004). Pertumbuhan tokolan diamati setiap minggu dengan mengambil 30 ekor sampel secara acak dan mengukur panjang totalnya, sedangkan sintasan dihitung pada akhir pemeliharaan tokolan. Pengukuran parameter kualitas air (suhu, pH, dan salinitas) dilakukan setiap tiga hari. Kadar amonia dan nitrat diukur pada awal sebelum pemeliharaan selanjutnya dilakukan setiap minggu menggunakan spektrofotometri. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif dilakukan melalui penyajian secara grafis sedangkan analisis kuantitatif dilakukan melalui analisis sidik ragam. HASIL DAN BAHASAN Hasil Perbedaan Breeding Sistem dan Keragaan Sintasan dalam Budidaya Pada akhir masa pemeliharaan larva, ketika semua larva telah bermetamorfosis menjadi pasca larva (PL), sintasan populasi hasil outbreeding adalah paling tinggi dan berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan populasi hasil crossbreeding dan inbreeding, dengan sintasan sekitar 47%, sintasan populasi hasil perkawinan outbreeding lebih tinggi 10% dan 13% masing-masing dari populasi hasil perkawinan secara crossbreeding dan inbreeding. Sintasan antara populasi hasil inbreeding dan populsi hasil crossbreeding relatif setara (Gambar 1) 47.34
60
Sintasan (%)
50
37.41
34.31
40 30 20 10 0
Inbreeding
Outbreeding
Crossbreeding
Populasi udang galah
Gambar 1. Profil sintasan PL dari populasi hasil perkawinan induk secara inbreeding, outbreeding, dan crossbreeding Fenomena keunggulan populasi hasil outbreeding pada karakter sintasan tetap terlihat pada pemeliharaan lanjutan (tokolan). Pada akhir pemeliharaan tokolan, 75% dari populasi hasil perkawinan secara outbreeding berhasil menjadi tokolan. Profil sintasan ini lebih tinggi masing-masing sekitar 18% dan 50% dibandingkan dengan sintasan yang dicapai oleh populasi hasil perkawinan secara crossbreeding dan inbreeding (Gambar 2). Perbedaan Breeding Sistem dan Keragaan Pertumbuhan dalam Budidaya Seperti pada karakter sintasan, populasi hasil perkawinan secara outbreeding juga menunjukkan keragaan yang baik pada karakter pertumbuhan. Pada fase pemeliharaan larva, kecepatan
594
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
120 74.96
Sintasan (%)
100
57.75
80 60
25.38
40 20 0
Inbreeding
Outbreeding
Crossbreeding
Populasi udang galah
Gambar 2. Profil sintasan tokolan dari populasi hasil perkawinan induk secara inbreeding, outbreeding, dan crossbreeding perkembangan dari stadia larva hingga mencapai PL pada populasi hasil outbreeding, sama dengan populasi hasil perkawinan secara crossbreeding, adalah 20 hari. Lebih cepat 3 hari dibandingkan dengan populasi hasil perkawinan secara inbreeding (Tabel 1). Namun, pola ini tidak berlanjut hingga ke fase pendederan. Pada fase pendederan, keragaan pertumbuhan terbaik ditunjukkan oleh populasi hasil crossbreeding diikuti oleh populasi hasil perkawinan secara outbreeding dan inbreeding (Gambar 3). Tabel 1. Kecepatan perkembangan larva, dinyatakan dalam waktu (hari) yang perlukan untuk proses metamorfosis dari dari larva menjadi PL, pada populasi udang galah hasil perkawinan secara inbreeding, outbreeding, dan crossbreeding Perlakuan
Inbreeding Outbreeding Crossbreeding
Ulangan (hari) 1
2
3
4
23 20 20
23 20 20
23 20 20
23 20 20
Rataan 23 20 20
Profil parameter kualitas air pada masing-masing populasi selama penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa secara umum, kondisi kualitas air antar masing-masing kelompok relatif seragam dan masih berada pada kisaran yang direkomendasikan. Ini dapat memberikan gambaran bahwa adanya perbedaan keragaan antara satu kelompok genetik yang satu dengan yang lain bukan bersumber dari faktor lingkungan, melainkan mencerminkan adanya perbedaan potensi yang dimiliki oleh masingmasing kelompok genetik. Bahasan Data yang diperoleh dalam penelitian ini menggambarkan beberapa hal penting, yaitu 1) adanya korelasi antara komposisi genetik populasi dengan keragaan dalam budidaya, 2) konfirmasi inferioritas keragaan populasi hasil inbreeding, dan 3) adanya fenomena variasi keragaan antara populasi hasil crossbreeding dan outbreeding. Pendapat bahwa keragaan fenotip populasi merupakan resultan dari kombinasi faktor genetik, lingkungan serta interaksinya (Tave, 1986; Tave, 1999) terbukti dalam penelitian ini. Pengaruh atau
595
Pengaruh tipe persilangan terhadap sintasan dan pertumbuhan ... (Imron)
Panjang total (m m )
30 25 20
Hasil inbreeding
15
Hasil outbreeding Hasil crossbreeding
10 5 0 19
26
33
40
47
Hari ke-
Gambar 3. Profil pertumbuhan populasi tokolan udang galah hasil perkawinan induk secara inbreeding, outbreeding, dan crossbreeding Tabel 2. Profil parameter kualitas air pada pemeliharaan populasi hasil inbreeding, outbreeding , dan crossbreeding dan parameter kualitas air yang direkomendasikan Parameter
Populasi hasil persilangan
Referensi
Inbreeding
Outbreeding
Crossbreeding
pH
7,5–8,4
7,5–8,3
7,5–8,13
7,0–8,5
Suhu (°C)
27,6–32
29,5–31,5
30,1–31,1
29–31
10
10
10
10–13
4,35–5,54
4,31–5,39
4,16–5,28
>5
Amonia (mg/L)
0,0023–0,3756
0,0023–0,3608
0,0023–0,348
<0,1
Nitrit (mg/L)
0,0115–0,5956
0,0115–0,2042
0,0115–0,398
<0,1
Salinitas (g/L) DO (mg/L)
*)
*) Sumber: New, 2002
korelasi antara faktor genetik dengan keragaan terlihat jelas pada populasi hasil inbreeding, populasi yang secara genetis memiliki tingkat homozigositas gen paling tinggi dibandingkan dengan dua populasi lainnya. Korelasi antara populasi hasil outbreeding. Di antara tiga kelompok genetik udang galah yang diamati dalam penelitian ini, kelompok genetik hasil inbreeding memperlihatkan keragaan yang lebih rendah dalam hal sintasan maupun pertumbuhan dibandingkan dengan kelompok hasil outbreeding dan crossbreeding. Inferioritas keragaan populasi ini terlihat bukan hanya pada fase larva tetapi berlanjut sampai fase selanjutnya (tokolan). Data ini menunjukkan bahwa populasi tersebut telah mengalami tekanan inbreeding (inbreeding depression). Tingginya tingkat homozigositas pada pada alel-alel lethal maupun bersifat deterioratif menyebabkan keragaan pada populasi ini rendah. Hal ini mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya pada spesies yang sama (Imron, 2009 in press), maupun pada spesis-spesies yang lain seperti guppy (Nakadate et al., 2003) abalone (Deng et al., 2005), ikan salmon (Wang et al., 2001), dan pada ikan budidaya lainnya (Kincaid, 1983). Berbeda dengan populasi hasil inbreeding, di mana tingkat inbreedingnya positif, populasi hasil outbreeding dan crossbreeding memiliki nilai koefisien inbreeding yang kurang lebih sama, yaitu nol. Kedua populasi berbeda dalam hal tingkat heterozigositasnya. Populasi hasil crossbreeding dianggap memiliki nilai heterozigositas lebih tinggi dibandingkan dengan populasi hasil outbreeding. Dengan anggapan adanya korelasi antara tingkat heterozigositas dengan keragaan, keragaan populasi hasil crossbreeding diharapkan lebih superior (Frankham et al., 2002). Namun, harapan bahwa populasi
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
596
hasil crossbreeding akan menunjukkan keragaan yang terbaik tidak terbukti dalam penelitian ini. Ini menunjukkan bahwa efek heterosis yang diharapkan dari sebagian besar upaya persilangan tidak muncul. Ketiadaan efek heterosis menunjukkan bahwa konfigurasi alel tepat bagi terbentuknya hibrid vigor pada karakter sintasan dan pertumbuhan tidak terwujud pada persilangan antara strain GIMacro dengan strain Barito. Kondisi ini tampak berbeda dengan populasi hasil outbreeding. Populasi hasil outbreeding memiliki keragaan terbaik pada karakter sintasan dan pertumbuhan pada fase larva. Pada fase pendereran populasi hasil outbreeding memiliki keragaan terbaik pada karakter sintasan dan setara dengan populasi hasil crossbreeding pada karakter pertumbuhan. KESIMPULAN DAN SARAN Tipe-tipe persilangan induk yang berimplikasi pada perbedaan komposisi genetik populasi turunannya, berpengaruh terhadap keragaan budidaya. Keragaan sintasan dan pertumbuhan populasi hasil inbreeding pada fase larva dan pendederan secara konsisten lebih rendah dari hasil outbreeding dan crossbreeding. Kecuali pada karakter pertumbuhan di pendederan, populasi outbreeding memiliki keragaan terbaik dibandingkan dengan sistem persilangan lainnya. Kecuali untuk tujuan breeding program yang terencana, (misalnya crossbreeding), persilangan inbreeding dalam produksi benih sebaiknya dihindari. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada tim riset komoditas udang atas bantuan dan kerja samanya sehingga kegiatan ini dapat dilaksanakan. DAFTAR ACUAN Deng, Y., Liu, X., Zhang, G., & Guo, X. 2005. Inbreeding depression and maternal effects on early performance of Pacific abalone. North American J. of Aquaculture, 67: 231–236. Frankham, R., Ballou, J.D., & Briscoe, D.A. 2002. Introduction to conservation genetics Cambridge University Press, Cambridge. Imron. 2008. Effect of Inbreeding on the Early Performance of Freshwater Prawn, Macrobrachium rosenbergii. Indonesian Aquaculture Journal, submitted. Kincaid, H.L. 1983. Inbreeding in fish populations used for aquaculture. Aquaculture, 33: 215–227. Nakadate, M., Shikano, T., & Taniguchi, N. 2003. Inbreeding depression and heterosis in various quantitative traits of the guppy, Poecilia reticulata. Aquaculture, 220: 219–226. New, M.B. 2002. Farming freshwater prawns A manual for the culture of the giant river prawn (Macrobrachium rosenbergii). FAO Fisheries Technical Paper. Rahman, M.M., Wille, M., Cavalli, R.O., Sorgeloos, P., & Clegg, J.S. 2004. Induced thermotolerance and stress resistance in larvae of the freshwater prawn, Macrobrachium rosenbergii (de Man, 1879). Aquaculture, 230: 569–579. Tave, D. 1986. Genetic for fish hatchery managers. 2 ed. The AVI Publishing Company, New York. Tave, D. 1999. Inbreeding and broodstock management, pp. 122 Fisheries technical paper No.392, 392 ed. FAO, Rome. Wang, S., J.J. Hard, and F. Utter. 2001. Salmonid inbreeding: a review. Reviews in Fish Biology and Fisheries, 11: 301–319.