1
EVALUASI KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN STRAIN SULAWESI, JAWA, DAN JENERIK PADA MEDIA ASAM
PHYTO ARDI RAHMAWATI
SKRIPSI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
EVALUASI KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN STRAIN SULAWESI, JAWA, DAN JENERIK PADA MEDIA ASAM adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2009
PHYTO ARDI RAHMAWATI C14104040
RINGKASAN PHYTO ARDI RAHMAWATI. Evaluasi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah Macrobrachium rosenbergii De Man Strain Sulawesi, Jawa, dan Jenerik pada Media Asam. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan YUNI PUJI HASTUTI.
Ditengah tuntutan untuk meningkatkan produktivitasnya, sektor akuakultur menghadapi tantangan semakin sempitnya lahan di darat dan ancaman hujan asam yang meningkat akibat perindustrian dan perubahan iklim global. Tetapi sektor akuakultur juga mendapatkan peluang untuk ekstensifikasi dengan adanya lahan gambut yang luas dan belum banyak dimanfaatkan dan juga harapan untuk mengembangkan udang galah di air asam dengan adanya pemuliaan udang galah yang sedang dilakukan. Sebagai informasi, udang galah merupakan krustasea air tawar yang mempunyai harga mahal dan permintaan yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelangsungan hidup dan pertumbuhan 3 strain udang galah yaitu Sulawesi, Jawa dan Jenerik yang dipelihara di pH asam. Penelitian ini dilakukan selama 30 hari, dengan menggunakan udang galah tokolan strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik dengan bobot awal berturutturut 0,45±0,26 gram, 0,23±0,15 gram, 0,18±0,04 gram dan panjang awal berturut-turut 3,77±0,6 cm, 3,05±0,64 cm, 2,88±0,24 cm. Udang yang digunakan pada masing-masing strain adalah 6 individu x 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan media pemeliharaan asam (memiliki nilai pH 5) dan normal (memiliki nilai pH 7). Udang dipelihara pada akuarium yang berukuran 20 x 20 cm2 dengan volume air 4 liter. Masing-masing individu udang dipelihara pada lubang shelter yang terbuat dari pipa PVC yang disusun seperti sarang lebah. Air pemeliharaan asam dibuat dengan menambahkan 25 gram daun ketapang kering yang telah disimpan selama 1 bulan dan dipotong dengan ukuran 2 cm kedalam 4 liter air dengan tetap memberikan aerasi dan didiamkan selama 4 hari sebelum penelitian. Selama pemeliharaan, udang diberi pakan 10% dari biomassa setiap hari. Sifon dilakukan 3 hari sekali dan ganti air dilakukan setiap 10 hari. Kelangsungan hidup diamati setiap hari, bobot dan panjang udang setiap 15 hari dan kualitas air setiap 10 hari. Persentase kelangsungan hidup udang galah pada semua strain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada pemeliharaan pH 5 dan 7 selama pemeliharaan 10 hari. Sedangkan pada udang galah strain Jawa berlanjut sampai akhir penelitian (30 hari pemeliharaan). Laju pertumbuhan udang galah strain Jawa dan Jenerik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata baik bobot maupun panjangnya selama 30 hari pemeliharaan, sedangkan udang galah strain Sulawesi yang dipelihara di media asam memiliki nilai laju pertumbuhan bobot yang lebih rendah daripada yang dipelihara pada air pemeliharaan normal. Udang galah strain Jawa memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap media asam dibandingkan dengan udang galah strain Jenerik dan Sulawesi
2
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Evaluasi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah Macrobrachium rosenbergii De Man Strain Sulawesi, Jawa, dan Jenerik pada Media Asam
Nama
: Phyto Ardi Rahmawati.
Nomor Pokok
: C14104040
Disetujui
Pembimbing l
Pembimbing ll
Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc. NIP. 196302121989031003
Yuni Puji Hastuti S.Pi NIP. 198106042007012001
Diketahui
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 196104101986011002
Tanggal Lulus : .......................
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta
Kelangsungan
hidayah-Nya, Hidup
dan
sehingga
skripsi
Pertumbuhan
yang
Udang
berjudul
Galah
“Evaluasi
Macrobrachium
rosenbergii de Man Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik pada Media Asam” dapat diselesaikan. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Ucapan terimakasih disampaikan kepada: 1. Orang tua, Adik, Kakek dan Nenek yang sangat berjasa. 2. Bapak Dr. Eddy Supriono, M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan juga tema penelitian. 3. Ibu Yuni Puji Hastuti, S. Pi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan. 4. Ibu Yani Hadiroseyani sebagai dosen Pembimbing Akademik 5. Bapak Dr. Fauzan Ali yang telah banyak memberikan masukan 6. Pak Jajang, Bang Abe, Pak Mar, Mbak Yuli, Kang Asep atas bantuannya 7. Emawati Nugraheni Putri, S. Pi., M. Faisol Riza Ghozali, S. Pi dan temanteman BDP ’41 yang telah banyak memberikan bantuan 8. Vamdi, BDP ‘42, ’43 dan ‘44 yang banyak memberikan dukungan
Semoga skripsi ini mendapat ridho dari Allah SWT, serta dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Juli 2009
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lumajang, pada tanggal 7 April 1987, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ir. Mu’ashol dan Ir. Hanawati. Pendidikan formal yang dilalui penulis yaitu SDN Wonokerto I, SLTPN I Lumajang dan SMUN 2 Lumajang. Pada tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan memilih Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan penulis pernah melakukan Praktik Lapang di Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Oseanografi Umum semester genap 2007/2008 dan 2008/2009 , Dasardasar Akuakultur Semester Genap 2007/2008, Rekayasa Wadah Akuakultur tahun ajaran 2007/2008 dan 2008/2009, Fisika Kimia Perairan semester genap 2007/2008 dan Pendidikan Agama Islam semester genap 2007/2008. Penulis juga pernah aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM TPB) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (MPM KM) IPB periode 2004-2005, Lembaga Penerbitan Pers Mahasiswa (LPPM) biRU dari tahun 2005-2008, Himpunan Mahasiswa
Akuakultur
(HIMAKUA) dari tahun 2005-2008, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) 2004-2009 dan Aquatechnopreneurship dari tahun 2006-2009. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi yang berjudul ”Evaluasi Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Udang Galah Macrobrachium rosenbergii de Man Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik pada Media Asam”.
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iii DAFTAR TABEL................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR...............................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................vii I. PENDAHULUAN................................................................................................ 1 1.1 Latar belakang............................................................................................. 1 1.2 Tujuan.......................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 3 2.1 Udang Galah ............................................................................................... 3 2.1.1 Biologi Udang Galah............................................................................. 3 2.1.2 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup............................................... 5 2.1.3 Pergantian Kulit (Molting) ..................................................................... 5 2.2 Strain ........................................................................................................... 7 2.2.1 Strain dan Ketahanannya Terhadap Lingkungan ................................. 7 2.2.2 Karakter dan Morfometrik Udang Galah Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik ........................................................................................................... 8 2.3 Keasaman ................................................................................................... 9 2.3.1 Derajat Keasaman (pH)........................................................................ 9 2.3.2 Gambut............................................................................................... 10 2.3.3 Hujan Asam ........................................................................................ 11 2.4 Daun Ketapang (Terminalia cattapa)......................................................... 11 2.5 Kualitas air................................................................................................. 12 2.5.1 Oksigen Terlarut ................................................................................. 12 2.5.2 Karbondioksida................................................................................... 12 2.5.3 Suhu ................................................................................................... 13 2.5.4 Alkalinitas ........................................................................................... 13 2.5.5 Kesadahan ......................................................................................... 14 2.5.6 Total Amonia Nitrogen (TAN) ............................................................. 15 2.5.7 Nitrit (NO2) .......................................................................................... 16 2.5.8 Kecerahan .......................................................................................... 16 2.5.9 Warna ................................................................................................. 16 2.5.10 Kekeruhan ........................................................................................ 17 III. METODOLOGI ............................................................................................... 18
iv
3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................... 18 3.2 Media dan Biota......................................................................................... 18 3.2.1 Udang Uji............................................................................................ 18 3.2.2 Air Pemeliharaan ................................................................................ 18 3.2.3 Pakan ................................................................................................. 19 3.2.4 Wadah dan peralatan lain................................................................... 19 3.3 Metode penelitian ...................................................................................... 19 3.3.1 Penelitian pendahuluan ...................................................................... 19 3.3.2 Pelaksanaan penelitian ...................................................................... 21 3.3.3 Parameter penelitian .......................................................................... 22 3.3.5 Analisis data: ...................................................................................... 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................... 25 4.1 Hasil........................................................................................................... 25 4.1.1 Fisika kimia air .................................................................................... 25 4.1.2 Derajat Kelangsungan Hidup.............................................................. 26 4.1.3 Laju Pertumbuhan Harian (LPH) ........................................................ 28 4.1.4 Frekuensi molting ............................................................................... 34 4.2 Pembahasan ............................................................................................. 34 4.2.1 Fisika Kimia Air ................................................................................... 34 4.2.2 Kelangsungan Hidup, Laju Pertumbuhan Harian (LPH) serta Frekuensi Molting ......................................................................................................... 37 V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 41 5.1 Kesimpulan................................................................................................ 41 5.2 Saran ......................................................................................................... 41 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 42 LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jadwal Pakan ......................................................................................... 4 Tabel 2. Karakter morfometrik induk udang galah strain Sulawesi, Jawa (Rosellia et al. 2008 dan Jenerik (Putri 2009)....................................................... 8 Tabel 3. Deskripsi suhu harian media pemeliharaan (ºC) .................................. 26 Tabel 4. Data kualitas air media pemeliharaan .................................................. 26 Tabel 5. Frekuensi dan periode molting pada udang strain Jawa, Sulawesi dan Jenerik ................................................................................................. 34
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Nilai harian pH pada media pemeliharaan udang galah Macrobrachium rosenbergii selama 30 hari pada strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik...................................................................................... 25 Gambar 2. Gambaran derajat kelangsungan hidup harian udang galah strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik selama 30 hari pemeliharaan ............... 27 Gambar 3. Keterangan kematian strain Sulawesi (a), Jawa (b) dan Jenerik (c) pada 10 hari pertama di pH 5 ................................................................. 27 Gambar 4. Keterangan kematian strain Sulawesi (a), Jawa (b) dan Jenerik (c) pada 10 hari pertama di pH 7 ................................................................. 28 Gambar 5. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Jawa: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian ................................................................. 29 Gambar 6. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Jawa: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian ................................................................. 30 Gambar 7. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Jenerik: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian ................................................................. 31 Gambar 8. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Jenerik: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian ................................................................. 32 Gambar 9. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Sulawesi: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian ................................................................. 33 Gambar 10. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Sulawesi: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian .................................. 34
vii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Morfologi Udang Galah................................................................... 45 Lampiran 2. Daun Ketapang, Shelter dan Desain penelitian.............................. 46 Lampiran 3. Data Pengamatan Harian pH pada Media Pemeliharaan .............. 47 Lampiran 4. Data Pengamatan Suhu ................................................................. 49 Lampiran 5. Data Bobot dan Panjang Udang Galah Selama Penelitian ............ 50 Lampiran 6. Anova Kelangsungan Hidup ........................................................... 53 Lampiran 7. Anova Laju Pertumbuhan Harian ................................................... 55 Lampiran 8. Keterangan Kematian Selama Penelitian....................................... 60
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Budidaya perikanan merupakan sektor yang masih terus berkembang sampai saat ini. Menurut Anonimous (2007b), luas usaha perikanan budidaya di kolam air tawar meningkat secara nyata yaitu 99.740 Ha pada tahun 2004 menjadi 107.785 Ha pada tahun 2005. Sektor ini mengemban tugas yang berat untuk tetap mempertahankan dan atau meningkatkan produktivitasnya ditengah kondisi yang semakin sulit untuk melakukan ekstensifikasi. Hal tersebut terjadi karena lahan budidaya perikanan di daratan semakin sempit akibat berkompetisi dengan manusia dan bahan pangan lainnya. Sebenarnya masih terdapat potensi untuk melakukan ekstensifikasi budidaya perikanan di daratan diantaranya adalah dengan memanfaatkan lahan gambut. Lahan gambut di Indonesia diperkirakan mempunyai luas 20 juta Ha yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia, yaitu pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan kepulauan Maluku (Soekardi dan Hidayat 1988 dalam Noor 2001). Lahan gambut tersebut belum banyak dimanfaatkan untuk perikanan dikarenakan memiliki sifat yang khas diantaranya adalah keasaman yang tinggi, warna airnya hitam dan kandungan oksigennya rendah. Kendala yang paling utama dalam pengembangan usaha perikanan dikawasan tersebut adalah keasaman airnya. Selain permasalahan sempitnya lahan, sektor budidaya perikanan juga menghadapi ancaman perairan asam yang dikhawatirkan semakin meningkat akibat dari hujan asam dan juga perubahan iklim global (global climate change) (Wikipedia 2009). Berbagai daerah dilaporkan sudah mengalami hujan asam, diantaranya di Taiwan, hujan asam yang melanda perkotaan mempunyai kisaran pH 4,06-4,57 dan di pedesaan adalah 4,5-5,24 (Chen dan Chen 2002). Dalam upaya pemanfaatan perairan asam dari lahan gambut maupun upaya antisipasi perairan yang memiliki pH rendah karena hujan asam, maka dunia perikanan terutama budidaya perikanan perlu melakukan studi untuk mengkaji spesies ataupun strain-strain komoditas yang tahan terhadap kondisi asam. Indonesia memiliki spesies budidaya perikanan yang potensial untuk dipelihara pada perairan asam. Salah satu dari spesies tersebut adalah udang galah dimana berdasarkan penelitian Chen dan Chen (2002) udang galah
2
memiliki nilai LC50 pada pH 4,08 dalam waktu 96 jam. Sehingga dengan demikian diharapkan udang galah mampu menjadi komoditas yang dapat dikembangkan di perairan asam. Perbedaan strain pada satu spesies mempunyai hubungan dengan ketahanan pada lingkungan hidupnya (Wanasuria 2008). Saat ini berbagai strain udang galah di Indonesia sedang dikaji dan dikembangkan keunggulannya. Sebagai contoh, strain Jawa dari sungai Citarik dikenali sebagai udang galah yang mempunyai tingkat kelangsungan hidup larva yang tinggi, atau strain Sulawesi dari sungai Jeneberang yang dikenali sebagai udang galah yang tingkat pertumbuhannya rendah (Ali 2009). Dengan dimilikinya berbagai strain udang galah di Indonesia, maka diharapkan peluang untuk menjadikannya komoditas unggulan di perairan asam menjadi lebih besar. Selain potensinya untuk dipelihara di perairan asam, udang galah juga merupakan komoditas unggulan. Udang galah menjadi udang air tawar utama pada skala kecil maupun skala besar karena kecepatan tumbuh, ukuran yang besar, kualitas daging yang baik dan pola makan yang omnivora (pemakan segala). Budidaya udang galah banyak ditemukan di China, India, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Malaysia dan Taiwan. Juga ditemukan di Ekuador (Nandlal dan Pickering 2005). Menurut Anonimous (2005) untuk industri pembekuan, udang galah diperoleh dari impor senilai 47,304 miliar rupiah dan dari pasar dalam negeri senilai 246,161 miliar rupiah.
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan
tersebut
diatas
maka
perlu
dilakukan penelitian yang dapat mengevaluasi daya tahan berbagai strain unggul yang dapat dibudidayakan di perairan asam.
1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang galah strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik yang hidup pada perairan asam.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Udang Galah 2.1.1 Biologi Udang Galah Kingdom
: Animalia
Filum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Famili
: Palaemoidae
Genus
: Macrobrachium
Spesies
: Macrobrachium rosenbergii
Udang galah Macrobrachium rosenbergii (Lampiran 1) adalah udang air tawar yang pertama dipelajari secara intensif dan dibudidayakan secara komersial. Udang ini ditemukan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Laut Utara dan juga Kepulauan Pasifik sebelah selatan (Nandlal dan Pickering 2005). Nandlal dan Pickering (2005) juga menyatakan bahwa udang galah yang dewasa banyak ditemukan di perairan tawar. Udang galah termasuk dalam kelompok udang Pelaemonid yang hidup di air tawar. Dalam kehidupannya, udang galah menempati dua habitat. Pada saat dewasa dan menetas sampai larva, udang galah senang hidup di air payau. Tetapi setelah menjadi juvenil sampai usia dewasa, udang galah lebih senang hidup dalam air tawar (Murtidjo 1992). Udang galah selalu berganti cangkang, karena kulitnya tidak elastis. Setiap mengalami perkembangan tubuh, udang harus melepas cangkangnya dan menggantinya dengan cangkang baru. Semakin tua, udang galah semakin jarang berganti cangkang karena pertumbuhan tubuhnya semakin lambat. Udang galah menjadi udang air tawar utama pada skala kecil maupun skala besar karena kecepatan tumbuh, ukuran yang besar, kualitas daging yang baik dan pola makan yang omnivora. Budidaya udang galah banyak ditemukan di China, India, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Malaysia dan Taiwan. Juga ditemukan di ekuador (Nandlal dan Pickering 2005). Pada usia juvenil, udang galah berganti kulit setiap 10 hari sekali, mendekati usia dewasa 30 hari sekali dan pada usia dewasa 60 hari sekali. Pendederan udang galah dilakukan pada udang berumur 21-35 hari (pascalarva)
4
selama 40 sampai 60 hari untuk mencapai bobot sekitar 1 gram (Hadie dan Hadie 2001). Udang galah aktif mencari makanan pada malam hari. Udang galah dewasa dapat memakan udang yang lebih kecil atau udang dewasa yang sedang berganti kulit jika makanannya tidak mencukupi (Murtidjo 1992). Menurut Nandlal dan Pickering (2005), udang galah pada masa benih dan dewasa merupakan hewan omnivora yang biasanya memakan moluska kecil, krustacea kecil, ikan kecil, kacang, biji, buah, alga, daun dan batang dari tanaman air. Mereka memilih mengkonsumsi hewan, dan kadang-kadang juga berperilaku kanibal. Udang galah juga mengkonsumsi cangkangnya sehabis molting. Dimulai dari stadia pascalarva, udang galah sudah dapat memakan daging cumi, udangudang kecil dan pakan yang berbentuk pellet. Berikut ini patokan pakan buatan yang diberikan selama pemeliharaan udang galah (Jain 2002). Tabel 1. Jadwal Pakan Lama Budidaya Rata-rata bobot tubuh
Tingkat pakan %
Frekuensi pakan
01-10
0.01–1.00
10.0–8.0
2
10-20
1.00–1.50
8.0–7.0
2
20-40
1.50–3.00
7.0–6.0
4
40-60
3.50–5.00
6.0–5.0
3
60-80
5.00–10.0
6.0–5.0
4
80–100
10.0–15.0
5.0–4.0
4
100-120
15.0–22.0
4.0–3.0
4
120–140
22.0–30.0
3.0–2.5
4
140–160
30.0–40.0
3.0–2.5
4
160–180
40.0–55.0
2.5–2.0
4
180–200
55.0 ke atas
2.0–1.0
4
Krustasea dapat hidup pada kisaran kondisi lingkungan yang lebar, dengan kata lain dapat hidup disemua habitat atau mayoritas dari krustasea mempunyai toleransi terhadap temperatur yang lebar (Cameron dan Mangum 1983). Menurut New (1995) dalam Chen dan Lee (1997) menyatakan bahwa temperatur dan pH optimal untuk udang galah adalah 29-31 ºC dan 7,0-8,5. Penelitian Satyani et al. (1992), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada pemeliharaan udang galah tanpa dan dengan pelindung. Pada pemeliharaan udang tanpa pelindung, terdapat kematian yang besar karena peluang interaksi antara udang lebih besar, sehingga peluang udang untuk saling
5
menyerang dan memangsa tinggi. Pasca larva yang ganti kulit dengan mudah akan diserang oleh udang lainnya (Segal dan Roe 1975 dalam Satyani et al. 1992).
2.1.2 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pertumbuhan dapat dikatakan sebagai pertambahan panjang, volume, berat basah maupun kering seiring dengan pertambahan waktu. Pola pertumbuhan pada udang tidak kontinyu karena dibatasi oleh eksoskeleton (Nandlal dan Pickering 2005). Dengan demikian, pertumbuhan akan terjadi setelah terjadinya pergantian kulit udang. Pertumbuhan udang pada saat pascalarva relatif cepat, tetapi biasanya menghasilkan hasil yang beragam (Nandlal dan Pickering 2005). Hasil penelitian Said (1989) menyatakan bahwa udang galah pascalarva yang berasal dari satu induk dalam periode produksi yang sama dan tempat pemeliharaan yang relatif homogen menunjukkan pertumbuhan yang bervariasi, semakin lama masa pemeliharaan, perbedaan semakin besar. Variasi pertumbuhan yang terjadi cenderung dikarenakan oleh faktor genetik. Menurut Anonimous (2009) udang galah jantan mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan udang galah betina. Tingkat kelangsungan hidup suatu populasi ikan merupakan nilai persentasi jumlah ikan yang berpeluang untuk hidup selama masa pemeliharaan tertentu dalam suatu wadah budidaya. Tingkat kelangsungan hidup sangat menentukan hasil dari produksi budidaya (Effendi 2004).
2.1.3 Pergantian Kulit (Molting) Pada
udang
galah,
frekuensi
molting
merupakan
pertumbuhan udang (Nandlal dan Pickering 2005).
indikator
dari
Menurut Passano (1960)
terdapat 2 hal yang penting dalam molting, yaitu pelembutan lapisan dalam dari lapisan kutikula yang sudah tua yang membebaskannya dari epidermis dan pertumbuhan kutikula baru yang tipis dan elastis yang mengikuti pertambahan tubuh dari udang. Molting
merupakan
proses
melepaskan
cangkang
udang
dan
demineralisasi. Saat lepas cangkang, ukuran udang meningkat secara linear. Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi molting, yaitu faktor eksternal yang terdiri dari stressor, nutrisi, fotoperiod dan temperatur serta faktor internalnya adalah hormon ekdisteroid dan molt inhibiting hormon (Quackenbush 1986; Fingerman,
6
Wagabhusanah,
Thompson
1997
dalam
Azis
2008).
Passano
(1960)
menyatakan bahwa dalam pembentukan kulit udang sangat diperlukan kalsium. Kalsium dan mineral lainnya dapat diperoleh dari media hidupnya dan dari pakan (Dall 1965; Dennel 1960; Sedwick 1979 dalam Edy 1990). Rendahnya ketersediaan kalsium pada lingkungan hidup udang secara potensial akan menghambat proses ganti kulit, karena terhambatnya kalsifikasi (Passano 1960). Sebagian besar endapan kalsium di kulit berada dalam bentuk CaCO3 (Wickins 2002). Ling (1961) dalam Hadie dan Hadie (2001) menyatakan bahwa udang galah yang akan molting ditandai dengan nafsu makan yang menurun, pergerakan lambat, otot daging berwarna putih susu, mata suram dan terdapat bayangan kulit baru dibawah kulit lama. Secara rinci Lockwood (1967) dalam Edy (1990) mengemukakan tahapan ganti kulit, yaitu: Tahap A. Pasca ganti kulit, udang tidak makan. Eksoskeleton udang sangat lunak sehingga udang tidak mampu menyangga tubuhnya sendiri. Bobot tubuh meningkat karena terjadi penyerapan air. Setelah itu mulai dilakukan mineralisasi kutikula sampai udang mampu berdiri. Tahap B. Periode kalsifikasi kutikula. Pada periode ini sekresi kalsium ke cangkang terus berlangsung. Tahap C. Kutikula sudah ada meskipun kalsifikasi tetap berlangsung, udang sudah mulai makan. Pada saat ini, jaringan udang tumbuh pesat kemudian kutikula anggota badan menjadi elastis sampai integumen menjadi kaku dan kalsifikasi terjadi pada samping maupun depan karapas. Setelah itu berlangsung masa antar ganti kulit (intermolt). Tahap D. Persiapan untuk ganti kulit. Terjadi penyerapan kalsium dari lapisan kutikula kedalam hepatopankreas. Pada saat ini udang berhenti makan
dan
aktifitasnya
menurun.
Penyerapan
kalsium
ini
menyebabkan celah pada kutikula yang memungkinkan pelepasan cangkang dari tubuh udang. Selain itu juga terjadi pelepasan kalsium ke lingkungan melalui insang (Wheatly 1996 dalam Azis 2008). Tahap E. Eksoskeleton lama terlepas. Air media diserap oleh udang sehingga berat udang meningkat drastis. Malley (1980) dalam Edy (1990) menyatakan bahwa pengambilan kalsium oleh udang air tawar sangat dipengaruhi oleh pH. Pengambilan kalsium
7
terhambat jika air media mempunyai pH kurang dari 5,75. Jika pH air rendah maka HCO3- dan Ca2+ akan berkurang sehingga mempengaruhi pertukaran ion H+ pada udang dengan Ca2+ pada media pemeliharaan. Penelitian Chen dan Chen (2002) juga menunjukkan bahwa terdapat frekuensi molting yang lebih kecil pada udang galah yang dipelihara di air berpH rendah. Sedangkan Mills dan Lake (1976) dalam Edy (1990) mengemukakan bahwa rendahnya kalsium diperairan tawar untuk kebutuhan udang dikompensasikan dengan mereduksi mineral eksoskeletonnya. Sehingga udang yang hidup di perairan asam cenderung memiliki karapas yang tipis (France 1981 dalam Edy 1990). Brown et al (1991) dalam Chen dan Chen (2002) mengamati bahwa intermolt (fase keras) pada udang dapat lebih singkat pada kesadahan lebih dari 53 mg/L CaCO3 meskipun tumbuhnya lebih lambat daripada udang yang hidup pada kesadahan yang lebih rendah.
2.2 Strain 2.2.1 Strain dan Ketahanannya Terhadap Lingkungan Strain adalah ras, keturunan, keluarga (Anonimous 2008). Ketahanan hidup larva dan pascalarva dipengaruhi oleh latarbelakang kehidupan induknya, disamping kondisi lingkungan dimana larva dan pascalarva itu hidup (Sarver et al 1980 dalam Satyani 1988). Penelitian Newkirk, Freeman dan Dicckie (1980) dalam Satyani (1988) dengan remis menunjukkan bahwa produksi juwana di pembenihan dan populasi yang ditanam pada berbagai tempat mempunyai laju pertumbuhan yang berbeda sesuai dengan asal induknya. Hasil penelitian Satyani (1988) juga menunjukkan bahwa laju pertumbuhan larva udang galah dari induk alami lebih cepat daripada larva udang galah dari induk hasil budidaya. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kelangsungan hidup pascalarva yang berasal dari induk alami lebih rendah daripada pascalarva dari induk budidaya. Perbaikan strain secara genetik dengan persilangan dapat berpengaruh pada ketahanan tubuh ikan atau udang terhadap faktor lingkungannya. Hal ini dapat terjadi karena induk yang dikawinsilangkan mempunyai sifat unggul masing-masing yang dapat diturunkan, sehingga hasil keturunannya hanya dipilih yang mempunyai sifat-sifat unggul induknya. Misalnya ikan nila gift hasil persilangan induk-induk dari beberapa negara, menghasilkan ikan nila yang mempunyai daya tahan tubuh yang lebih baik, lebih toleran terhadap kisaran nilai
8
salinitas air yang tinggi hingga 29 gr/L dan lebih tahan terhadap serangan penyakit (Wanasuria 2008). 2.2.2 Karakter dan Morfometrik Udang Galah Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik Ali (2009) mengemukakan bahwa udang galah strain Jenerik memiliki laju pertumbuhan yang cepat dimana larva sampai pascalarva dicapai dalam waktu 22 hari sedangkan udang galah normal memerlukan waktu 30-45 hari. Hal tersebut dikarenakan sifat unggul dari induk betinanya yang berasal dari sungai Citarik (strain Jawa). Fase larva strain Jawa ditempuh selama 28 hari dan mempunyai tingkat kelangsungan hidup / Survival Rate (SR) yang tinggi yaitu 16,9% dimana normalnya SR udang galah memiliki kisaran 10-15 % dan pada saat mencapai tokolan ukuran 5 cm nilai SR udang galah strain Jawa mampu mencapai nilai 89,3%. Tabel 2. Karakter morfometrik induk udang galah strain Sulawesi, Jawa (Rosellia et al. 2008 dan Jenerik (Putri 2009) Karakteristik Panjang Total Tubuh (cm) Panjang Baku Tubuh (cm) Panjang Rostrum (cm) Panjang Karapas (cm) Lebar Karapas (cm) Panjang Total Abdomen (cm) Panjang Telson (cm) Bobot Total (gr)
Sulawesi Jantan 13,77±0 ,92 10,56±0 ,68 4,76±0, 48 3,75±0, 49 2,60±0, 44 6,97±0, 41 1,54±0, 15 31,49±4 ,81
Betina 12,95±0 ,82 10,10±0 ,48 4,45±0, 36 3,55±0, 36 2,05±0, 28 6,60±0, 32 1,55±0, 28 24,47±3 ,23
Jawa Jantan 13,69±2, 47 9,64±2,0 4 4,94±0,7 6 4,16±0,5 6 2,71±0,5 6 6,55±0,9 4 1,69±0,2 3 34,45±20 ,69
Betina 13,08±1 ,13 8,54±0, 84 4,28±0, 38 3,42±0, 23 2,09±0, 14 6,62±0, 23 1,65±0, 13 21,44±3 ,64
Jenerik Jantan 15,63±2, 46 12,76±2, 16 5,44±0,8 8 2,24±0,3 8 2,60±0,4 4 7,90±1,1 9 1,92±0,2 6 57,06±22 ,23
Betina 12,84±0 ,58 10,42±0 ,24 4,33±0, 24 1,82±0, 19 2,13±0, 16 6,81±0, 37 1,66±0, 08 28,46±2 ,78
Induk jantan udang Jenerik berasal dari sungai Jeneberang (strain Sulawesi). Pertumbuhan larva strain Sulawesi ini membutuhkan waktu 35 hari dan memiliki SR larva yang lebih rendah, 14,9%. Pada saat mencapai tokolan, tingkat kelulusan hidupnya mencapai 83,3%. Dibandingkan strain Jawa ukuran tokolan strain Sulawesi lebih tidak seragam tetapi saat dikawinkan sifat unggul induk Sulawesi muncul, terbukti dengan SR larva Jenerik yang mencapai 46,2% dan pada fase tokolan SR mencapai 86,7%. Keunggulan Jenerik tetap muncul meskipun antara jantan dan betinanya saling ditukar antara strain Jawa dan strain Jenerik.
9
2.3 Keasaman 2.3.1 Derajat Keasaman (pH) Menurut Boyd (1982), tingkat keasaman (pH) merupakan negatif logaritma dari konsentrasi ion hidrogen. Kebanyakan perairan alami mempunyai nilai pH 6,5 – 9, titik lethal asam dan basa untuk ikan adalah pH 4 dan 11. Jika perairan lebih asam dari pH 6,5 atau lebih basa dari pH 9,5 dalam waktu lama, pertumbuhan dan reproduksi organisme aquatik akan terhambat (Swingle 1961: Mount 1973 dalam Boyd 1982). Penelitian Chen dan Chen (2002) menyatakan bahwa udang galah mempunyai LC50 pada pH 4,08 dalam waktu 96 jam. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa bobot dan panjang total udang galah ukuran awal 0,13±0,101 yang dipelihara selama 42 hari di pH 5,6 lebih rendah (p<0,05) daripada yang dipelihara di pH 8,2. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat frekuensi molting yang rendah pada pH 6,8 dibandingkan pH 8,2, 7,4, 6,2 dan 5,6. Sedangkan menurut Godfrey (1988), ikan dapat hidup pada kisaran pH 5,0-9,0, produksi ikan optimal pada pH 6,5 sampai 8,5, kisaran pH dibawah 4,0 ikan mengalami kematian dan ikan tidak dapat memijah pada kisaran pH 2,0 – 5,0.
Nilai pH dapat turun karena konsentrasi CO2 yang
meningkat (Boyd 1982). Fluktuasi pH air sangat ditentukan oleh alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi maka air tersebut akan mudah mengembalikan pH-nya ke nilai semula, dari setiap gangguan terhadap pengubahan pH. Dengan demikian kunci dari penurunan pH terletak pada penanganan alkalinitas dan tingkat kesadahan air (Anonimous 2007a). Menurut Anonimous (2007a), untuk menurunkan pH dapat dilakukan dengan melalukan air melewati gambut (peat), bisa juga dilakukan dengan mengganti sebagian air dengan air yang berkesadahan rendah, air hujan atau air yang direbus, air bebas ion, atau air suling (air destilata). Selain itu bisa juga dapat dilakukan dengan menambahkan bogwood kedalam akuairum. Bogwood adalah semacam kayu yang memliki kemampuan menjerap kesadahan. Bogwood berfungsi sama seperti daun ketapang, pohon asam dan sejenisnya. Menaikkan pH dapat dilakukan dengan memberikan aerasi yang intensif, melewatkan air melewati pecahan koral, pecahan kulit kerang atau potongan batu kapur. Cara lain dengan dengan menambahkan dekorasi berbahan dasar kapur seperti tufa, atau pasir koral. Penggantian air juga dapat dilakukan untuk menaikkan pH (Anonimous 2007a).
10
Nilai pH pada perairan dipengaruhi oleh CO2 yang terlarut dari atmosfir atau yang dihasilkan oleh metabolisme ikan, asam-asam mineral dan polusi, asam-asam organik yang terjadi secara alamiah dari deposit humus atau hidrolisis garam-garam dari deposit mineral yang tercuci ke dalam suplai air (Boyd 1992). Udang galah optimal hidup pada pH 7 sampai 8,5 (New 1995 dalam Chen dan Lee 1997). Haines (1981) dalam Chen dan Lee (1997) menyatakan bahwa pada air yang asam, krustasea dan ikan bisa mengalami kelainan
pertumbuhan
dan
perubahan
tulang.
Keberadaan
kandungan
karbondioksida di perairan dipengaruhi oleh pH dan suhu. Menurut Effendi (2003) bahwa nilai pH 4,3 di perairan banyak terdapat CO2, H2CO3, sedangkan pada pH 8,3 diperairan CO2 dan H2CO3 digantikan oleh HCO3-. 2.3.2 Gambut Menurut Noor (2001) gambut adalah material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau sedikit mengalami perombakan. Menurut Rachman (1996) dalam Noor (2001), luas lahan gambut di Indonesia sebesar 20 juta Ha. Soekardi dan Hidayat (1988) dalam Noor (2001) menyebutkan bahwa lahan gambut tersebar di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Kepulauan Maluku. Berdasarkan iklim, gambut di Indonesia dikategorikan sebagai gambut tropika. Gambut tropika biasanya bersifat masam dengan kisaran pH sebesar 4 sampai 5 (Noor 2001) dan menurut Andriesse (2003) pada gambut tropika sebagian besar mengandung kapur hanya sebesar 0,3%. Pada tanah gambut, sumber keasamannya adalah dari pirit (senyawa sulfur) dan asam-asam organik. Tanah gambut mempunyai asam-asam organik yang terdiri atas asam humat, asam fulvat, dan humin. Asam humus merupakan campuran kompleks dari bahan yang telah terdekomposisi. Tannin, lignin dan asam fulvat adalah subkelas dari asam humus yang dapat mengubah air menjadi kuning. Asam humus mengandung sulfur, nitrogen dan fosfor dalam jumlah yang berbeda-beda. Asam humus juga mengandung logam seperti Ca, Mg, Cu dan Zn yang bisa membentuk chelat dengan cara yang belum diketahui. Semakin sadah air, asam humus semakin tidak efektif (Yew 2004).
11
2.3.3 Hujan Asam Asam dapat terbentuk dari saat nitrogen oksida dan sulfur dioksida dihasilkan oleh mobil, minyak, industri dan pembakaran batubara. Pada saat hujan, bahan-bahan tersebut dimunculkan dalam bentuk asam nitrit dan asam sulfur. Menurut Godfrey (1988) hujan asam terjadi pada awal abad ke 19, meningkat secara drastis pada tahun 1950 dan mencapai level off pada 1980. Nilai pH rata-rata air hujan di Massacusetts adalah 4,2 dan mengandung hidrogen, sulfat serta nitrat yg menimbulkan asam. Fakta menyebutkan bahwa dari 18 anak sungai di Massacusetts yang mempunyai ikan-ikan sehat diawal, setelah hujan asam 2 anak sungainya kehilangan seluruh ikan dan 8 anak sungai lainnya tersisa satu ekor ikan serta hanya 8 anak sungai sisanya dapat mempertahankan eksistensinya. Dilaporkan juga oleh Chen dan Chen (2002) bahwa di Taiwan, hujan asam yang melanda perkotaan mempunyai kisaran pH 4,06-4,57 dan di pedesaan adalah 4,5-5,24. Beamish et al (1975) dalam Boyd (1982) menyatakan bahwa terjadi bencana terhadap populasi ikan di beberapa kota penting di Eropa dan Amerika utara akibat dari presipitasi asam yang lama terhadap sungai dan danau.
2.4 Daun Ketapang (Terminalia cattapa) Banyak ikan-ikan tropis yang mempunyai habitat alami pada air hitam. Air hitam mempunyai warna coklat teh dan mengandung banyak bahan-bahan organik terlarut. Ketapang (Lampiran 2) yang mempunyai nama lain Tropical Almond, Badamier, Java Almond, Amandier de Cayenne, Wild Almond, Indian Almond, Myrobalan, Malabar Almond, Singapore Almond, Huu Kwang, Sea Almond, Kobateishi mempunyai daun yang mengeluarkan cairan yang mampu membunuh parasit. Daun kering Ketapang yang jatuh ke air akan menimbulkan warna coklat di air. Cairan tersebut penuh dengan asam-asam organik seperti asam humus dan tannin yang dapat menurunkan pH dan menyerap bahanbahan kimia lain (Yew 2004). Menurut Lemmens (1992), Ketapang mengandung berbagai macam bahan, pada kulit kayu yang berwarna kuning kecoklatan dikandung 11-23 % tannin, daging berisi 75% air dan 5% protein, biji yang kering matahari mengandung asam lemak seperti asam palmitat (55,5%), asam oleat (23,3%), asam linoleat (7,6%), asam stearat (6,3%) dan asam miristat (1,6%), dan daunnya mengandung 12 hidrolisa tanin, asam gallat, asam ellagat, corilagin, dan asam bervitofin karboksilat.
12
Pohon Ketapang sangat baik hidup di tanah maritim subtropis dan iklim tropis dengan hujan dalam kisaran 1000-3500 per tahun, yang merata sepanjang tahun. Pohon ini tumbuh pada kisaran suhu 23-32 ºC. Pohon ini bertumbuh baik pada daerah yang menerima sinar matahari penuh. Pohon ini juga dapat mentoleransi kekeringan selama 6 bulan. Banyak manfaat dari pohon ketapang, baik itu daun, pohon dan buahnya. Tannin diproduksi dari kulit kayu, daun, akar dan cangkang buah. Daun ketapang dapat digunakan sebagai obat seperti diaphoretik, anti-indigesti dan anti disentri (Anonimous 2006).
2.5 Kualitas air 2.5.1 Disolved Oxygen (DO) Disolved Oxygen (DO), yaitu banyaknya kandungan oksigen yang terlarut di dalam suatu perairan yang dinyatakan dalam mg/liter. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi suhu air, salinitas, agitasi dan tekanan. Menurut Boyd (1982), kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan kelarutan gas dalam air menurun dengan meningkatnya salinitas. Pengaruh tekanan udara terhadap oksigen terlarut yaitu mempercepat proses kelarutan dan pelepasan oksigen. Berkurangnya oksigen terlarut dalam air, tentu saja akan mempengaruhi fisiologi repirasi ikan. Biological Oxygen Demand (BOD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik sedangkan Chemical Oxygen Demand (COD) adalah menyatakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik yang terdapat di perairan. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai bahan organik di perairan (Effendi 2003).
2.5.2 Karbondioksida Karbondioksia berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan hijau dan fitoplankton di perairan. Karbondioksida dalam perairan berasal dari hasil respirasi hewan, tumbuhan dalam air, difusi CO2 dari udara dan hasil dekomposisi bahan organik (Effendi 2003). Karbondioksida yang dimanfaatkan dalam
proses
fotosintesis
terutama
karbondioksida
bebas.
Kandungan
karbondioksida bebas yang sangat tinggi dapat meracuni kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Keracunan karbondioksida terjadi karena daya serap hemoglobin terhadap oksigen terganggu. Menurut Ropiah dan Mahyuddin (2000)
13
dalam Darussalam (2005) di dalam perairan terdapat tiga bentuk karbondioksida, yaitu : 1. Karbondioksida bebas (CO2) 2. Karbondioksida setengah terikat dalam bentuk bikarbonat seperti Ca(HCO3)2 dan Mg(HCO3)2 3. Karbondioksida terikat dalam monokarbonat seperti CaCO3 dan MgCO3. Karbondioksida bersenyawa dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3) yang akan menghasilkan kondisi asam diperairan melalui disosiasi ion H+ dan HCO3-. Semakin tinggi konsentrasi CO2 diperairan, maka semakin banyak H2CO3 yang terbentuk sehingga kondisi perairan menjadi semakin asam. Boyd (1982) menyatakan seiring dengan tingginya suhu, maka CO2 menurun. Perairan yang diperuntukkan bagi perikanan sebaiknya memiliki kadar CO2 bebas <5 mg/L. Sebagian organisme aquatik masih dapat bertahan hidup hingga kadar karbondioksida bebas mencapai 60 mg/L (Hart 1944 dalam Boyd 1982).
2.5.3 Suhu Suhu juga mempengaruhi kelarutan gas-gas dalam air termasuk oksigen, semakin tinggi suhu maka semakin kecil kelarutan oksigen dalam air dan proses biologi serta kimia akan meningkat, sehingga konsumsi oksigen akan meningkat pula (Haris 1988 dalam Darusalam 2005). Pada saat suhu meningkat, presentasi amoniak yang tidak terionisasi terhadap total amoniak akan meningkat (Boyd 1982) Ikan dan krustasea adalah organisme yang bersifat poikilothermal atau berdarah dingin, sehingga suhu tubuhnya selalu mengikuti kondisi suhu air disekitarnya. Suhu air mengalami perubahan secara harian maupun musiman sehingga suhu tubuh ikan dan crustacea akan berubah dari waktu ke waktu (Boyd 1982). Udang galah dapat dipelihara pada suhu diantara 14 sampai 35 ºC, tetapi yang optimal adalah 29-31 ºC (New 1995 dalam Chen dan Lee 1997).
2.5.4 Alkalinitas Alkalinitas adalah kriteria yang penting untuk mendefinisikan efek dan konsentrasi dari kriteria kualitas air dan juga merupakan ketentuan umum untuk kehidupan ikan dan udang (Departement of Water Affairs and Forestry 1996 dalam Andhikari et al 2007). Alkalinitas di perairan disebabkan oleh ion-ion yang
14
bermuatan negatif seperti ion karbonat (CO3-), ion bikarbonat (HCO3-) dan ion OH- (Effendi 2003). Secara umum, alkalinitas menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang mampu menetralisir keasaman dalam air. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/L) kalsium karbonat (CaCO3). Moyle (1945); Mairs (1966) dalam Boyd (1982) menyatakan bahwa air alami yang memiliki alkalinitas 40 mg/L atau lebih CaCO3 akan lebih produktif daripada yang alkalinitasnya dibawah nilai tersebut. Menurut Departement of Water Affairs and Forestry (1996) dalam Andhikari et al (2007), ikan air tawar pada alkalinitas 100-150 mg/L CaCO3 memerlukan sedikit energi untuk osmoregulasi dan menghasilkan pertumbuhan yang baik. Sedangkan Effendi (2003) menyatakan bahwa alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mg/L CaCO3. 2.5.5 Kesadahan Kesadahan merupakan kandungan Ca+, Fe2+, Mg2+ dan Al3+. Kesadahan dapat melindungi ikan dari absorbsi darah ikan terhadap logam seperti arsenik, dan cadmium. Amonia dan fenol terlihat lebih toksik pada softwater. Kalsium dan Magnesium sangat penting untuk memelihara eksoskeleton udang tetap kuat. Hasil penelitian dari Andhikari et al. (2007) pada udang yang mempunyai bobot 0,045±0,007 g, dalam pemeliharaan selama 25 hari menghasilkan derajat kelangsungan hidup yang paling rendah pada 384 mg/L CaCO3 dan yang tertinggi pada 92 mg/L CaCO3. Laju pertumbuhan yang tinggi pada 132, 92 dan 192 mg/L CaCO3 dan menurun secara nyata pada 228 dan 384 mg/L CaCO3. New dan Singholka (1985) dalam Andhikari et al. (2007) menyatakan bahwa kesadahan yang cocok untuk udang galah adalah 40 sampai 100 mg/L CaCO3. Menurut Wetzel (2001) dalam Andhikari et al. (2007), kisaran kesadahan air yang ideal antara 50 sampai 200 mg/L CaCO3 untuk pertumbuhan optimum dari udang galah. Kesadahan sekitar 940 dan 1060 mg/L CaCO3 tidak berpengaruh pada pertumbuhan asalkan airnya mempunyai alkalinitas yang rendah antara 58 and 86 mg/L CaCO3 (Bartlett and Enkerlin 1983 dalam Andhikari et al. 2007). Howlader dan Turjoman (1984) dalam Andhikari et al. (2007)juga melaporkan bahwa pertumbuhan menurun pada kesadahan dari 688 sampai 987 mg/L CaCO3. Penelitian Andhikari et al. (2007) ini mengungkapkan bahwa kesadahan dan alkalinitas memainkan peran penting dalam pertumbuhan dari udang galah.
15
Hadie dan Hadie (1993) menyatakan bahwa penelitian terkini menyebutkan bahwa derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan M. rosenbergii mempunyai hubungan erat dengan kesadahan dan alkalinitas. Saat kesadahan terlalu rendah, udang akan memerlukan waktu lebih lama setelah molting dalam pembentukan eksoskeleton. Udang saat fase lembut akan sangat mudah dibunuh oleh predator. Udang yang dipapar pada air lunak lebih rawan terkena penyakit pada kondisi kualitas air yang lain. Kesadahan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan masalah bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Menurut Sawyer dan Mc Carty (1967) dalam Boyd (1982) jenis air terbagi berdasarkan kesadahannya dalam mg/L CaCO3 sebagai berikut: Kesadahan
Nilai (mg/CaCO3)
0-75
lunak
75-150
sadah moderat
150-300
sadah
>300
sangat sadah
2.5.6 Total Amonia Nitrogen (TAN) Amonia yang terkandung di perairan berasal dari perombakan bahan organik dan pengeluaran hasil metabolisme ikan maupun biota akuatik lainnya melalui ginjal dan jaringan insang. Di samping itu, amonia di kolam maupun tambak berasal dari proses dekomposisi protein yang berasal dari sisa pakan dan organisme yang mati. Kadar Total Amonia Nitrogen (TAN) dalam bentuk NH3 maupun NH4+ di dalam suatu perairan dipengaruhi juga oleh pH dari perairan tersebut. Pada pH 7 atau kurang, nilai TAN diperairan lebih banyak dalam bentuk ionisasi yang bersifat kurang toksik. Sebaliknya pada pH lebih dari 7, TAN lebih banyak dalam bentuk tak terionisasi (bebas) yang bersifat toksik. Selain pH, suhu perairan juga akan mempengaruhi besarnya kadar amonia (NH3). Dengan meningkatnya suhu maka akan dapat meningkatkan kadar amonia di dalam perairan. Pada pH 7,0; 7,2 dan 7,4 pada suhu 26 ºC presentase amonia bebas terhadap amonia total adalah berturut-turut adalah 0,6%, 0,95% dan 1,50% (Effendi, 2003). Amonia yang terlalu tinggi akan mempengaruhi permeabilitas ikan terhadap air dan menurunkan konsentrasi ion dalam tubuhnya sehingga akan mempengaruhi tekanan osmotik tubuhnya, dengan demikian ikan akan meningkatkan tingkat konsumsi oksigen pada jaringan insang serta mengurangi
16
kemampuan darah dalam mengedarkan oksigen. Kadar amonia (NH3) yang dapat ditoleransi oleh ikan adalah 0,0125 ppm (Boyd 1982). Menurut The European Inland Fisheries Advisory Commision (1973) dalam Boyd (1982), konsentrasi ammonia yang bersifat toksik pada paparan singkat untuk semua spesies adalah 0,6-2 mg/L NH3-N untuk semua spesies.
2.5.7 Nitrit (NO2) Nitrit (NO2) merupakan produk hasil proses nitrifikasi dan reduksi nitrat atau merupakan produk pertengahan dari konversi amonia pada proses nitrifikasi (Eddy dan Williams 1987 dalam Chen dan Lee 1997). Daya racun nitrit dihasilkan dalam proses reduksi hemoglobin atau dalam fungsi darah. Keracunan nitrit sering
disebut
methemoglobinemia
(HbNO2).
Darah
yang
mengandung
methemoglobin dalam jumlah yang banyak akan berwarna coklat, sehingga umumnya keracunan nitrit disebut brown blood disease. Hal ini disebabkan karena disaat NO2 dalam perairan tinggi Hb cenderung lebih berikatan dengan NO2 daripada dengan O2 sehingga terbentuk HbNO2. Krustasea mengandung hemosianin yang bersenyawa dengan tembaga dalam heme sebagai pengganti besi. Reaksi nitrit dengan hemosianin masih kurang dipahami, tetapi nitrit dapat beracun bagi krustacea (Boyd 1990). Penelitian Amstrong et al. (1976) dalam Chen dan Lee (1997) menyatakan bahwa LC50 larva udang galah selama 10-14 hari yang dipelihara di salinitas 12 ppt adalah 8,6 mg/L NO2. 2.5.8 Kecerahan Kecerahan merupakan gambaran intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kemampuan daya tembus sinar matahari sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus (Wardoyo 1975 dalam Maraswati 1998 dalam Antara 2006 ). Kecerahan merupakan ukuran transparasi perairan, yang ditentukan secara visual menggunakan secchi disk (Effendi 2003).
2.5.9 Warna Warna air biasanya disebabkan oleh keberadaan ion-ion metal atau logam seperti besi, mangan, humus, plankton, serta bahan-bahan terlarut dan tersuspensi. Adanya oksida besi menyebabkan air bersifat kemerahan,
17
sedangkan oksida mangan menyebabkan air berwarna kecokelatan atau kehitaman. Bahan-bahan organik misalnya tannin, lignin dan asam humus yang berasal dari dekomposisi tumbuhan yang mati menimbulkan warna kecoklatan. Warna air terbagi dua yaitu warna asli dan warna tampak. Warna asli ditentukan setelah air difiltrasi atau disentrifus, sehingga warna air hanya disebabkan oleh bahan-bahan terlarut. Warna tampak ditentukan langsung pada air yang tidak mengalami perlakuan, sehingga warna air tersebut disebabkan oleh semua bahan yang terlarut dan tersuspensi (Effendi 2003).
2.5.10 Kekeruhan Kekeruhan adalah gambaran sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya yang dipancarkan) dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air tersebut. Kekeruhan terutama dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi seperti: lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, plankton serta organisme mikroskopik lainnya. Secara langsung kekeruhan dapat mengganggu proses pernafasan organisme perairan seperti menutupi insang ikan. Kekeruhan juga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke perairan. Kekeruhan diukur dengan turbiditimeter dengan satuan JTU (Jackson Turbidit Unit), FTU ( Formazin Turbidity Unit) atau NTU (Nephelometric Turbidity Unit), tergantung pada alat yang digunakan. Peningkatan kekeruhan sebesar 5 NTU di danau dan di sungai dapat mengurangi produktivitas primer berturut-turut sebesar 75% dan 3%-13%. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik (Effendi 2003).
18
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium lingkungan Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Pada bulan Maret sampai Agustus 2008 dilaksanakan persiapan dan pendahuluan penelitian dan pada bulan Agustus sampai dengan November 2008 dilakukan penelitian inti.
3.2 Biota dan Media 3.2.1 Udang Uji Udang uji didatangkan dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI
di Bogor.
Udang yang dipakai sebanyak 3 strain yaitu Sulawesi, Jawa dan persilangan antara Sulawesi dan Jawa (Jenerik) dengan bobot awal berturut-turut 0,45±0,26 gram, 0,23±0,15 gram, 0,18±0,04 dan panjang awal berturut-turut 3,77±0,6 cm, 3,05±0,64 cm, 2,88±0,24 cm. Setiap strain diperlukan sebanyak 36 ekor dan mempunyai cadangan udang berjumlah 90 ekor udang masing-masing strain. Udang tersebut diuji pada saat pascalarva (PL) 35.
3.2.2 Air Pemeliharaan Nilai pH 5 ditetapkan sebagai tingkat keasaman air untuk pemeliharaan udang
galah
dengan
air
asam.
Cara
memperolehnya
adalah
dengan
menambahkan air sebanyak 4 liter yang sudah diaerasi selama 3 hari dengan 25 gr potongan (±2 cm) daun ketapang. Daun ketapang yang digunakan adalah daun ketapang kering yang sudah jatuh ke tanah dan dikeringkan lagi selama 3 hari, daun tersebut kemudian disimpan selama 1 bulan di dalam plastik tertutup. Air yang bercampur daun tersebut kemudian ditunggu selama 4 hari untuk mendapatkan pH 5. Sedangkan pH 7 ditetapkan menjadi nilai keasaman air pemeliharaan yang memiliki pH normal yang digunakan sebagai kontrol. Air tersebut diperoleh dengan mengaerasi air tandon sebanyak 4 liter selama minimal 2 hari. Untuk adaptasi, digunakan air yang memiliki pH 6, yang diperoleh dengan cara mencampurkan air yang memiliki pH 5 dan yang memiliki pH 7 dengan perbandingan 1:1. Air pemeliharaan asam maupun normal tersebut tetap diaerasi mulai dari pembuatan sampai akhir pemeliharaan udang
19
3.2.3 Pakan Udang galah diberi pakan komersial berbentuk pellet ukuran P1 dengan kandungan protein kasar 42 %. Pakan diperoleh dari penjual pakan di Kedung Halang, Bogor.
3.2.4 Wadah dan peralatan lain Wadah yang digunakan pada penelitian ini adalah 18 buah akuarium uji dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm. Sedangkan peralatannya adalah shelter, selang aerasi, batu aerasi, alat saring, baskom, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 yang bermerek Helen, jangka sorong, pH pen yang bermerek Hanna, dan peralatan pengukur karbondioksida bebas (CO2), Disolved Oxygen (DO), Total Amonia Nitrogen (TAN), dan alkalinitas. Shelter (pemisah antar individu biota) (Lampiran 2) dibuat dari pipa PVC ukuran 2 inchi sepanjang 6 cm. Salah satu sisi dari pipa persebut ditutup dengan kain strimin plastik yang diikat menggunakan karet gelang. Pipa yang sudah tertutup strimin tersebut direkatkan satu sama lain sampai membentuk sarang lebah yang berjumlah 7 lubang menggunakan lem silikon. Shelter yang terbentuk kemudian diberi lubang pada kedua sisi atas untuk tempat pengait yang berbahan kawat. Pada pemeliharaan di air asam, shelter yang sudah jadi direndam dalam air asam (ekstrak ketapang) selama 15 hari dan untuk tempat udang di pH normal, sarang direndam di air biasa selama 15 hari.
3.3 Metode penelitian 3.3.1 Penelitian pendahuluan Uji pendahuluan yang dilakukan adalah menentukan metode untuk membuat media uji yang mempunyai pH stabil dan tidak membuat udang galah mati, menggunakan metode trial and error sebagai berikut: Tahap I. Dengan meneteskan HCl ke air media uji sampai ber pH 3 dan 5 dengan tetap memberikan aerasi pada air tersebut. Setelah udang ditebar, pH yang diperoleh tidak stabil dan kemudian terjadi kematian pada seluruh udang Tahap II. Dengan mencampurkan media uji dengan HCl yang sudah diencerkan secara gradual. Udang ditebar dari awal pada saat pH air masih normal kemudian air media uji diturunkan pHnya sebesar 1 digit perhari
sampai pH 5 dengan tetap memberikan aerasi dan
20
kemudian didapatkan nilai pH yang tidak stabil dan terjadi kematian udang Tahap III. Dengan meneteskan CH3COOH ke air media uji sampai ber pH 3, 5 dan 7 dengan tetap memberikan aerasi pada air tersebut. Setelah udang ditebar, pH yang diperoleh tidak stabil dan kemudian terjadi kematian pada seluruh udang Tahap IV. Dengan mencampurkan media uji dengan CH3COOH yang sudah diencerkan secara gradual. Udang ditebar dari awal pada saat pH air masih normal kemudian air media uji diturunkan pHnya sebesar 0,2 digit per 2 jam sampai pH 5 dengan tetap memberikan aerasi dan kemudian didapatkan nilai pH yang tidak stabil dan terjadi kematian udang Tahap V. Dengan membuat air ekstrak daun ketapang yang sudah diblender terlebih dahulu. Ekstrak daun ketapang diperoleh dari LIPI yang sudah disimpan selama lebih dari 1 bulan. Air 15 liter ditambahkan dengan 100 gr ekstrak daun ketapang kering dan dihasilkan pH 4,2. Air tersebut kemudian dicampur dengan air biasa sehingga pada hari ke-2 menghasilkan pH 5. tetapi saat media uji diberi udang, dalam waktu 1 hari terjadi kematian pada seluruh udang uji. DO yang diukur mengindikasikan DO yang sangat kecil yaitu < 2 ppm. Tahap VI. Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun ketapang kering dengan tetap memberikan aerasi, hari ke-3 setelah perlakuan sampai hari ke-8 didapatkan pH 5 yang stabil dan kemudian media tersebut ditebar dengan udang. Sampai hari ke 8 tersebut, udang yang ditebar masih hidup. Tahap VII a). Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun ketapang
dan ditambahkan dengan CH3COOH dengan tetap
memberikan aerasi, pada hari dilakukannya perlakuan telah didapatkan pH 5 yang stabil sampai hari ke-8. pada hari ke-1, media tersebut ditebar dengan udang. Sampai hari ke-8 pemeliharaan, udang yang ditebar masih hidup. b). Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun ketapang dan ditambahkan dengan CH3COOH dan tanah dengan tetap memberikan aerasi, pada hari dilakukannya perlakuan telah
21
didapatkan pH 5 yang stabil sampai hari ke-8. pada hari ke-1, media tersebut ditebar dengan udang. Sampai hari ke-8 pemeliharaan, udang yang ditebar masih hidup. c). Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun ketapang
dan
ditambahkan
dengan
tanah
dengan
tetap
memberikan aerasi, pada hari ke-3 dilakukannya perlakuan telah didapatkan pH 5 yang stabil sampai hari ke-8. pada hari ke-3, media tersebut ditebar dengan udang. Sampai hari ke-5 pemeliharaan, udang yang ditebar masih hidup. Tahap VIII. Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun ketapang yang dipotong-potong 2 cm dengan tetap memberikan aerasi, pada hari ke-4 dilakukannya perlakuan telah didapatkan pH 5 yang stabil sampai hari ke-8. Pada hari ke-4, media tersebut ditebar dengan udang. Sampai hari ke-8 tersebut, udang yang ditebar masih hidup. Tahap IX. Menentukan bahwa proses di tahap VIII untuk perlakuan dipilih. Bobot daun di ukur dan diketahui bahwa daun yang digunakan adalah kurang lebih 25 gram untuk 4 liter air.
3.3.2 Pelaksanaan penelitian 3.3.2.1 Media pemeliharaan Air media disiapkan pada akuarium uji dengan komposisi 9 akuarium memiliki nilai pH 5 dan 9 akuarium sisanya memiliki nilai pH 7.
3.3.2.2 Adaptasi dan Penebaran udang Aklimatisasi dilakukan terhadap udang di akuarium penampungan udang. Setelah diadaptasi selama 2 hari pada akuarium tersebut, sebagian udang kemudian dipindahkan ke akuarium yang sudah berisi air berkisaran pH 6 yang sudah diaerasi. Setelah 2 hari udang diukur dan dicatat panjang dan bobotnya kemudian ditebar pada shelter dengan masing masing lubang di isi 1 ekor udang. Udang yang sudah diadaptasi pada pH 6 ditebar pada air pemeliharaan yang memiliki nilai pH 5 dan udang yang hidup diair normal ditebar pada air pemeliharaan yang memiliki nilai pH 7,
22
3.3.2.3 Pemeliharaan Udang diberi pakan dengan tingkat pakan 10% dari bobot tubuh dan frekuensi pakan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Aerasi ditempatkan pada bagian dasar akuarium (berada pada posisi di bawah shelter). Pada air pemeliharaan normal, dilakukan sifon setiap 3 hari sekali. Dan pada air yang asam, dilakukan pembersihan kain strimin dan batu aerasi dari sisa pakan dan kotoran lain setiap 3 hari sekali atau sesuai kebutuhan. Air pemeliharaan diganti setiap 10 hari sekali. Dan setiap air baru, sebelumnya dilakukan cek kualitas air terlebih dahulu untuk menjamin bahwa kualitas air sesuai dengan kisaran kehidupan udang. Air pemeliharaan yang berumur 10 hari (akan diganti) juga dilakukan pengecekan kualitas air. Adapun kualitas air yang diukur kualitasnya adalah: pH, suhu, kecerahan, kekeruhan, kandungan oksigen terlarut (DO), karbondioksida bebas (CO2), alkalinitas, kesadahan, total amoniak nitrogen (TAN), nitrit, dan warna.
3.3.3 Parameter penelitian 3.3.3.1 Derajat kelangsungan hidup Data kelangsungan hidup didapatkan dengan pengamatan harian. Udang yang hidup dihitung (Nt) dan Jumlah udang pada awal tebar dicatat. Kelangsungan hidup merupakan presentase udang yang hidup dengan formula sebagai berikut (Effendie, 1997) :
SR =
Nt x100% N0
Keterangan: SR =
tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt =
jumlah individu pada akhir perlakuan (hari ke-t)
N0 =
jumlah individu pada awal perlakuan (hari ke-0)
3.3.3.2 Laju Pertumbuhan Harian Bobot dan Panjang Bobot dan panjang udang diukur pada awal perlakuan, tengah (hari ke15), dan akhir perlakuan. Kemudian dengan formulasi sebagai berikut dihitung α / Laju pertumbuhan harian (LPH). Formulanya adalah (Effendie, 1997):
23
Bobot
α = (t
wt − 1) x100% w0
Ketarangan: α =
Laju pertumbuhan harian bobot (%)
wt =
bobot rata-rata pada akhir perlakuan (hari ke-t)
w0 =
bobot rata-rata pada awal perlakuan (hari ke-0)
Panjang
α = (t
lt − 1) x100% l0
Keterangan α =
Laju pertumbuhan harian panjang (%)
wt =
panjang rata-rata pada akhir perlakuan (hari ke-t)
w0 =
panjang rata-rata pada awal perlakuan (hari ke-0)
3.3.3.3 Frekuensi dan Periode Molting Frekuensi molting merupakan nilai yang merepresentasikan tingkat keseringan molting pada udang selama pemeliharaan sedangkan periode molting merupakan lama waktu rata-rata yang diperlukan untuk molting. Nilai perode diperoleh dari lama pemeliharaan dibagi dengan frekuensi molting.
Frekuensi =
n1 + n 2 + .. + ni i
Periode =
30 Frekuensi
Keterangan: n =
jumlah mollting perindividu selama pemeliharaan
i =
jumlah individu
3.3.4 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 kali ulangan setiap perlakuan.
24
Rancangan perlakuannya adalah sebagai berikut: 1. Perlakuan menggunakan udang Sulawesi dengan kisaran pH 5 2. Perlakuan menggunakan udang Jawa dengan kisaran pH 5 3. Perlakuan menggunakan udang Jenerik dengan kisaran pH 5 4. Perlakuan menggunakan udang Sulawesi dengan kisaran pH 7 5. Perlakuan menggunakan udang Jawa dengan kisaran pH 7 6. Perlakuan menggunakan udang Jenerik dengan kisaran pH 7 Model percobaan sesuai dengan Matjik dan Sumertajaya (2002), yaitu:
Yij = μ + τ + εij Keterangan: Yij =
Data hasil pengamat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
=
Nilai tengah umum
τ
= Pengaruh perlakuan ke-I = 1, 2, 3,….,n
εij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-1 dan ulangan ke-j
3.3.5 Analisis data: Data
yang
diperoleh
ditabulasikan
dan
dianalisis
statistik
dengan
menggunakan Microsoft Excel 2003, yang meliputi: 1. Analisis keragaman dengan one way anova pada microsoft excel 2003 dengan selang kepercayaan 95%, digunakan untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan terhadap derajat kelangsungan hidup. 2. Untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap laju pertumbuhan harian, diambil data individu sebagai ulangan dengan bobot dan panjang awal yang seragam. 3. Analisis
deskripsi
yang
digunakan
untuk
melihat
kelayakan
air
pemeliharaan, membaca keterangan kematian pada udang serta frekuensi dan periode molting, yang disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 4.1.1 Media Pemeliharaan 4.1.1.1 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman menjadi perlakuan di dalam percobaan ini, dengan memelihara udang di pH 5 dan sebagai kontrol adalah pH normal air yaitu pH 7. Nilai air berpH 5 yang didapatkan pada strain Sulawesi adalah pada kisaran 5,2±0,13, pada strain Jawa adalah 5,3±0,09 dan pada strain Jenerik adalah 5,4±0,11. Untuk air berpH 7 didapatkan nilai kisaran 7,1±0,11 ; 7,1±0,09 ; 7,0±0,13 pada strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik berturut-turut. Nilai harian pH dapat terlihat pada Gambar 1.
8
Nilai pH
7 6
Sulawesi 5
5
Jawa 5 Jenerik 5
4
Sulawesi 7
3
Jawa 7
2
Jenerik 7
1 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
Hari ke-
Gambar
1.
Nilai harian pH pada media pemeliharaan udang galah Macrobrachium rosenbergii selama 30 hari pada strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik
4.1.1.2 Fisika dan Kimia Parameter fisika dan kimia yang diamati pada percobaan ini adalah suhu, oksigen terlarut (DO), alkalinitas, kesadahan, karbondioksida bebas, ammonia, nitrit, kekeruhan, kecerahan dan deskripsi warna air yang dilakukan 10 hari sekali, yaitu pada air baru dan air sebelum diganti. Hasil pengamatan parameterparameter tersebut disajikan dalam bentuk tabel pada Tabel 3 dan Tabel 4.
26
Tabel 3. Deskripsi suhu harian media pemeliharaan (ºC) Deskripsi suhu harian (ºC) Rata-rata Nilai maksimal Nilai minimal
26 26,5 26
Tabel 4. Data kualitas air media pemeliharaan Air baru Parameter pH 5 pH 7 Oksigen terlarut (mg/L) 5,24 6,76 Alkalinitas (mg/L) 38,15 60,74 Kesadahan (mg/L) 188,76 243,35 CO2 (mg/L) 69,77 4,29 Nitrit (mg/L) 1,04 0,12 TAN (mg/L) 0,68 0,07 Kekeruhan (NTU) 9,07 0,86 Kecerahan (%) 73,75 100,00 Kuning Warna Tidak berwarna kecoklatan
Air sebelum diganti pH 5 pH 7 5,32 6,15 40,95 63,63 302,41 390,50 39,21 17,61 1,43 0,28 0,90 0,28 8,76 1,85 30,00 100,00 coklat Tidak kemerahan berwarna
4.1.2 Derajat Kelangsungan Hidup Grafik rekapitulasi derajat kelangsungan hidup strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik selama 30 hari dapat dilihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa pada 10 hari pertama tidak terdapat perbedaan nyata dengan taraf kepercayaan 95% pada kelangsungan hidup semua strain antara yang dipelihara pada air asam (memiliki nilai pH 5) dan pada air normal (memiliki nilai pH 7) (Lampiran 6). Nilai kelangsungan hidup selama 10 hari yang didapatkan adalah 83,33% pada air pemeliharaan asam dan 100,00% pada air normal untuk udang galah strain Sulawesi. Sedangkan pada strain Jawa di dapatkan nilai kelangsungan hidup 94,44% pada air pemeliharaan asam dan 94,44% juga pada air normal. Strain Jenerik yang dipelihara di air asam memiliki nilai kelangsungan hidup 94,44% dan yang dipelihara pada air normal memiliki nilai 88,89%. Kelangsungan hidup udang galah strain Sulawesi dan Jenerik yang dipelihara di air asam mengalami penurunan tajam mulai hari ke-11 dan sampai akhir penelitian didapatkan nilai kelangsungan hidup sebesar 5,56% untuk udang strain Sulawesi dan 50% untuk strain Jenerik. Nilai kelangsungan hidup sebesar 77,78% dan 83,33% didapatkan oleh strain Sulawesi dan Jenerik yang dipelihara pada air normal sampai akhir penelitian. Sedangkan pada udang galah strain Jawa yang dipelihara pada air asam kelangsungan hidupnya sampai akhir
27
penelitian mencapai nilai 83,33 % sama dengan udang Jawa yang dipelihara pada air normal yang bernillai 83,33%.
Derajat Kelangsungan Hidup (%)
120 100 Sulawesi 5
80
Jawa 5 Jenerik 5
60
Sulawesi 7 Jawa 7
40
Jenerik 7
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
0
Hari ke-
Gambar 2. Gambaran derajat kelangsungan hidup harian udang galah strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik selama 30 hari pemeliharaan 0,00
5,56
11,11
5,56
0,00
5,56
83,33
a. Strain Sulawesi
94,44
b. Strain Jawa
94,44
c. Strain Jenerik
Mati pada saat molting Mati tidak pada saat molting Hidup
Gambar 3. Keterangan kematian strain Sulawesi (a), Jawa (b) dan Jenerik (c) pada 10 hari pertama di pH 5 Kematian udang yang diamati dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kematian yang terjadi pada saat molting dan kematian yang terjadi bukan pada saat molting. Pengamatan yang dilakukan pada 10 hari pertama menunjukkan hasil seperti pada Gambar 3 dan 4. Pada udang galah yang dipelihara di air berpH 5 didapatkan nilai kematian pada saat molting paling tinggi terjadi pada udang strain Sulawesi dengan nilai 11,11% diikuti oleh strain Jawa dengan nilai 5,56%
28
dan yang paling rendah adalah strain Jenerik dengan nilai 0,00%. Sedangkan pada udang galah yang dipelihara pada air berpH 7, didapatkan nilai kematian pada saat molting paling tinggi terjadi pada udang Sulawesi dengan nilai 5,56% dan yang paling rendah terjadi pada udang Jawa dan Jenerik dengan nilai masing-masing 0,00%.
0,00
0,00
5,56
5,56
88,89
a. Strain Sulawesi
5,56
5,56
94,44
b. Strain Jawa
94,44
c. Strain Jenerik Mati pada saat molting Mati tidak pada saat molting Hidup
Gambar 4. Keterangan kematian strain Sulawesi (a), Jawa (b) dan Jenerik (c) pada 10 hari pertama di pH 7 Sedangkan sampai 30 hari penelitian (Lampiran 8), pada udang galah yang dipelihara di air berpH 5 didapatkan nilai kematian pada saat molting udang strain Sulawesi adalah 22,22%, strain Jawa adalah 5,56% dan strain Jenerik adalah 11,11%. Sedangkan pada udang galah yang dipelihara pada air berpH 7, didapatkan nilai kematian pada udang Sulawesi adalah 5,56%, pada udang Jawa adalah 5,56% serta pada udang Jenerik adalah 0%.
4.1.3 Laju Pertumbuhan Harian (LPH) Kinerja pertumbuhan bobot dan panjang di representasikan oleh besarnya slope / kemiringan grafik perbedaan bobot dan panjang udang pada masing-masing sampling. Dan besarnya slope tersebut merupakan laju pertumbuhan harian yang lebih jelas disajikan dalam bentuk grafik batang. Dalam menganalisis LPH, individu udang dijadikan ulangan dan dilakukan analisis terhadap data udang galah yang bobot dan panjang awalnya 0,11±0,01 gr dan 2,506±0,083 cm untuk strain Jawa dan 0,16±0,01 gr dan 2,818±0,022 cm untuk strain Jenerik serta untuk strain Sulawesi bobot dan panjang awalnya
29
adalah 0,31±0,05 gr dan 3,527±0,274 cm untuk strain. Hasil pada gambar 5, 6 dan 7 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dengan taraf kepercayaan 95% pada LPH bobot dan panjang strain Jawa dan Jenerik masing-masing pada sampling ke-1 yang maupun ke-2 antara yang dipelihara di pH 5 dan pH 7. Sedangkan untuk strain Sulawesi terjadi perbedaan yang nyata pada bobot udang yang dipelihara di pH 5 dengan yang dipelihara dipH 7 pada sampling ke-
Bobot Udang (gr)
1 (Lampiran 7). 0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
pH 5 pH 7
0
5
10
15
20
25
30
Hari ke-
(a) Pertumbuhan Harian Bobot
Laju Pertumbuhan Bobot Harian (%)
1,800 1,600
1,593
1,581
1,400 1,200
pH 5
1,000 0,732
0,800 0,600 0,400
a
a
pH 7 0,455
a
a
0,200 0,000 1
2
Sampling ke-
(b) Laju Pertumbuhan Harian Bobot Gambar 5. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Jawa: (a) Pertumbuhan. (b) Laju Pertumbuhan Harian
30
Panjang Udang (cm)
3,5 3 2,5 2
pH 5
1,5
pH 7
1 0,5 0 0
5
10
15
20
25
30
Hari ke-
Laju Pertumbuhan Panjang Harian (%)
(a). Pertumbuhan Panjang 0,900 0,800 0,700
0,811
a
0,645
0,590
0,600
a
a
pH 5
0,500 0,338
0,400
pH 7
a
0,300 0,200 0,100 0,000 1
2
Sampling ke-
(b). Laju Pertumbuhan Harian Panjang Gambar 6. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Jawa: (a) Pertumbuhan. (b) Laju Pertumbuhan Harian
Bobot Udang (gr)
0,25 0,2 0,15
pH 5 pH 7
0,1 0,05 0 0
5
10
15
20
Hari ke-
(a). Pertumbuhan Bobot
25
30
Laju Pertumbuhan Bobot Harian (%)
31
1,200
1,074
1,000 0,752
0,800
0,648 0,575
0,600
pH 5
a
a
0,400
a
a
pH 7
0,200 0,000 1
2
Sampling ke-
(b). Laju Pertumbuhan Harian Bobot Gambar 7. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Jenerik: (a) Pertumbuhan. (b) Laju Pertumbuhan Harian
Panjang Udang (cm)
3,3 3,2 3,1
pH 5
3
pH 7
2,9 2,8 2,7 0
5
10
15
20
Hari ke-
(a). Pertumbuhan Panjang
25
30
Laju Pertumbuhan Panjang Harian (%)
32
a
1,200
a
a
a
0,970
1,000 0,800 0,623
pH 5
0,600
pH 7
0,400 0,200
0,128 0,051
0,000 1
2
Sampling ke-
(b). Laju Pertumbuhan Harian Panjang Gambar 8. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Jenerik: (a) Pertumbuhan. (b) Laju Pertumbuhan Harian
0,38 0,37
Bobot Udang (gr)
0,36 0,35
pH 5
0,34
pH 7
0,33 0,32 0,31 0,3 0
5
10
15
20
Hari ke-
(a). Pertumbuhan Bobot
25
30
33
0,900 0,820
Laju Pertumbuhan Bobot Harian (%)
0,800 0,700 0,600 0,500
pH 5
a
0,400
b
pH 7
0,353
0,300 0,193
0,200 0,100
0,063
0,000 1
2
Sampling ke-
(b). Laju Pertumbuhan Harian Bobot Gambar 9. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Sulawesi: (a) Pertumbuhan. (b) Laju Pertumbuhan Harian
3,9
Panjang Udang (cm)
3,7 3,5 3,3
pH 5 pH 7
3,1 2,9 2,7 2,5 0
5
10
15
20
Hari ke-
(a). Pertumbuhan Panjang
25
30
34
Laju Pertumbuhan Panjang Harian (%)
0,350 0,296
0,300
0,264 0,250
0,200
a
a
pH 5 pH 7
0,150 0,121 0,100
0,050 0,018 0,000 1
2
Sampling ke-
(b). Laju Pertumbuhan Harian Panjang Gambar 10. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Sulawesi: (a) Pertumbuhan. (b) Laju Pertumbuhan Harian 4.1.4 Frekuensi molting Frekuensi molting merupakan nilai yang merepresentasikan tingkat keseringan molting pada udang selama pemeliharaan. Frekuensi molting pada udang galah strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Frekuensi dan periode molting pada udang strain Jawa, Sulawesi dan Jenerik Frekuensi molting (kali) Strain pH 5 pH 7 Jawa 2 1,73 Jenerik 1,44 1,13 Sulawesi Mati 1,07 4.2 Pembahasan 4.2.1 Fisika Kimia Air Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan tingkat keasaman sebuah media. Nilai pH 5 yang didapatkan pada strain Sulawesi adalah pada kisaran 5,2±0,13, pada strain Jawa adalah 5,3±0,09 dan pada strain Jenerik adalah 5,4±0,11. Untuk pH 7 didapatkan nilai kisaran 7,1±0,11 ; 7,1±0,09 ; 7,0±0,13 pada strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik berturut-turut. Nilai pH asam yang ditetapkan merupakan nilai pH yang nilainya tidak lebih rendah dari nilai pH LC50 pada udang galah yang dilaporkan Chen dan Chen (2002) yang bernilai 4,06. Suhu harian yang didapatkan adalah rata-rata 26,5 ºC dengan suhu minimal 26
35
ºC. Suhu yang didapatkan masih merupakan kisaran toleransi udang galah untuk hidup yaitu 18-34 ºC (New 1995 dalam Chen dan Lee 1997). Kualitas air yang diukur pada pH 5 (air asam) dan pH 7 (air normal), air baru maupun air yang sudah berumur 10 hari (air sebelum diganti). Untuk DO, alkalinitas dan kesadahan pada air asam 5 mempunyai nilai yang lebih rendah daripada pada air yang memiliki nilai pH 7. Nilai DO pada pH 5 yang memiliki nilai 5,24 mg/L pada air baru dan 5,32 mg/L pada air yang sudah berumur 10 hari (sebelum diganti) lebih rendah diduga karena keperluan oksigen untuk metabolisme (BOD) dan oksidasi bahan nonbiologi (COD) di air tersebut lebih tinggi daripada di air yang memiliki pH 7 yang berkisar 6,76 pada air baru dan 6,15 pada air sebelum diganti. DO pada air baru yang berkisar lebih tinggi daripada DO di air yang sudah berumur 10 hari. Hal ini diduga karena DO air sebelum diganti sudah terpakai juga oleh osidasi bahan biologi dan non-biologi serta respirasi udang. Didapatkan nilai alkalinitas (mg/L CaCO3) sebesar 38,15 dan 40,95 untuk air baru dan air sebelum diganti pada air asam, sedangkan pada air pemeliharaan normal didapatkan nilai 60,74 untuk air baru dan 63,63 untuk air sebelum diganti. Untuk kesadahan (mg/L CaCO3), didapatkan nilai 188,76 untuk air baru yang memiliki nilai pH 5 dan 302, 41 untuk air sebelum diganti pada pH tersebut. Pada air normal, didapatkan nilai kesadahan 243,35 untuk air baru dan 390,50 untuk air yang berumur 10 hari. Untuk nilai kesadahan dan alkalinitas di pH 5, hal ini sesuai dengan sifat black water seperti menurut Yew (2004) bahwa asam organik seperti asam humus dan tannin dapat menurunkan pH dan menyerap bahan-bahan kimia lain dan menurut Anonimous (2007a) bahwa untuk menurunkan pH, terlebih dulu air dilewatkan terhadap tanah gambut yang mengandung asam organik untuk menurunkan alkalinitasnya terlebih dahulu. Secara umum, alkalinitas menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang mampu menetralisir keasaman dalam air (Boyd, 1982). Alkalinitas dan kesadahan air asam dan normal masing-masing lebih rendah pada air baru daripada pada air yang berumur 10 hari (sebelum diganti). Pelarutan pakan dan proses molting (demineralisasi) pada udang yang menjadi salah satu penyebab dari naiknya nilai-nilai tersebut pada air sebelum diganti. Kedua proses tersebut secara langsung menambahkan bahan lain terhadap media pemeliharaan. Wetzel (2001) dalam Andhikari et al. (2007) merekomendasikan kisaran kesadahan air yang optimum untuk udang galah adalah antara 50 sampai 200
36
mg/L CaCO3. Hal ini berarti bahwa, nilai kesadahan air asam yang baru dengan nilai 188,76 mg/L CaCO3 yang memiliki nilai sesuai rekomendasi dan kesadahan di media pemeliharaan asam yang sebelum diganti serta pada air normal nilainya lebih tinggi dari rekomendasi. Akan tetapi menurut (Bartlett and Enkerlin 1983 dalam Andhikari et al. 2007), kesadahan sekitar 940 dan 1060 mg/L CaCO3 tidak berpengaruh pada pertumbuhan pertumbuhan asalkan airnya mempunyai alkalinitas yang rendah antara 58 and 86 mg/L CaCO3. Jadi nilai kesadahan yang tinggi pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan karena memiliki nilai alkalinitas yang rendah. Nilai alkalinitas yang didapatkan memiliki nilai kisaran alkalinitas yang baik seperti yang dikemukakan Effendi (2003) yaitu 30-500 mg/L CaCO3 meskipun pada air yang memiliki pH 5 yang baru nilai alkalinitasnya 38,15 mg/L CaCO3 dimana menurut Moyle (1945); Mairs (1966) dalam Boyd (1982) dinyatakan bahwa air alami yang memiliki alkalinitas 40 mg/L atau lebih CaCO3 akan lebih produktif daripada yang alkalinitasnya dibawah nilai tersebut. Sedangkan untuk Total Amonia Nitrogren (TAN), CO2 bebas dan Nitrit pada pH 5 diketahui lebih tinggi. TAN yang didapatkan pada air asam 5 yang baru berkisar 0,68 mg/L dan pada air sebelum diganti adalah 0,9 mg/L, sedangkan pada air normal nilai TAN yang diperoleh adalah 0,07 mg/L pada air baru dan 0,28 mg/L pada air sebelum diganti. Nilai TAN pada pH asam tidak berbentuk amonia bebas sehingga sifatnya tidak terlalu toksik. Pada pH 7,2 dengan suhu 26 ºC, maka kadar amonia bebas pada air baru adalah 0,0007 mg/L dan pada air sebelum diganti adalah 0,003 mg/L. Kedua kadar amonia bebas pada pH 7,2 tersebut masih dapat ditoleransi oleh udang sesuai The European Inland Fisheries Advisory Commision (1973) dalam Boyd (1982) yang menyatakan bahwa konsentrasi ammonia yang bersifat toksik pada paparan singkat untuk semua spesies adalah 0,6-2 mg/L NH3-N untuk semua spesies. Nilai CO2 bebas yang didapatkan adalah berkisar 69,77 mg/L untuk air baru yang memiliki pH 5 dan 39,25 mg/L untuk air yang berumur 10 hari, sedangkan pada pH 7, nilai CO2 bebasnya berkisar 4,29 mg/L untuk air baru dan 17,61 mg/L untuk air sebelum diganti. Asalkan disertai dengan oksigen yang cukup, sebagian organisme akuatik masih dapat bertahan hidup hingga kadar CO2 bebas mencapai 60 mg/L (Hart 1944 dalam Boyd 1982). Air asam yang baru memiliki kadar CO2 bebas yang tinggi, hal ini disebabkan karena dekomposisi bahan organik menghasilkan banyak CO2 (Effendi 2003).
37
Nilai nitrit pada air asam yang baru adalah 1,04 mg/L dan pada air sebelum diganti adalah 1,43 mg/L, sedangkan pada air yang normal, nilai nitritnya berkisar 0,12 mg/L untuk air baru dan 0,28 mg/L untuk air sebelum diganti. Chen dan Lee (1997) menyatakan bahwa LC50 larva udang galah selama 10-14 hari yang dipelihara di salinitas 12 ppt adalah 8,6 mg/L, sehingga nilai nitrit yang terjadi pada media pemeliharaan masih dapat ditoleransi oleh udang. Nilai kecerahan yang didapatkan pada air asam yang baru adalah 73,75% dan yang lama adalah 30%. Nilai kecerahan pada air asam berhubungan dengan warna dan kekeruhannya, dimana warna airnya kuning sampai coklat dan kekeruhannya juga tinggi karena tercampur dengan serasah daun ketapang. Pada air yang normal, nilai kecerahannya 100% pada air baru maupun air sebelum diganti, hal ini karena warna airnya tidak berwarna dan kekeruhannya juga kecil. Nilai kekeruhan yang diperoleh adalah 9,07 NTU untuk air baru dan 8,76 NTU untuk air yang berumur 10 hari pada air asam. Sedangkan pada air normal, didapatkan nilai kekeruhan sebesar 0,86 NTU untuk air baru dan 1,85 NTU untuk air sebelum diganti. Nilai kekeruhan pada air asam mempunyai nilai yang tinggi. Sedangkan Effendi (2003) menyatakan bahwa peningkatan kekeruhan sebesar 5 NTU di danau dan di sungai dapat mengurangi produktivitas primer berturut-turut sebesar 75% dan 3%-13%. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik. Warna yang didapatkan adalah kuning kecoklatan di awal perlakuan dan merah kehitaman sesudah air berumur 10 hari. Hal ini sesuai dengan sifat tannin dan asam humus, yang bisa membuat air menjadi kuning (Lemmens, 1992) atau kecoklatan (Effendi, 2003) dan juga sesuai dengan warna daun air ketapang yang disebut sebagai black water (Yew, 2004).
4.2.2 Kelangsungan Hidup, Laju Pertumbuhan Harian (LPH) serta Frekuensi Molting Selama 10 hari, data kelangsungan hidup untuk udang galah strain Sulawesi pada pH 5 yang bernilai 83,33% dan 100,00% pada pH 7 adalah tidak berbeda nyata. Udang galah strain Jawa mempunyai nilai kelangsungan hidup yang sama antara yang dipelihara di pH 5 dengan nilai 94,44% dan yang dipelihara di pH 7 dengan nilai
94,44%. Strain Jenerik juga memiliki nilai
38
kelangsungan hidup yang tidak berbeda nyata pula dengan nilai 94,44% pada air yang memiliki pH 5 dan 88,89% pada air yang memiliki pH 7. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa sampai 10 hari ketiga strain udang ini mampu hidup pada pH 5. Untuk pemeliharaan sampai akhir penelitian (30 hari), udang jawa memiliki kelangsungan hidup pada pH 5 sebesar 83,33% sama dengan yang dipelihara pada pH 7 yang bernillai 83,33%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa udang galah strain Jawa jika dipelihara pada lingkungan asam memiliki nilai kelangsungan hidup yang sama peluang dengan ketika dipelihara pada lingkungan normal dengan pH 7.0-8,5 (New 1995 dalam Chen dan Lee 1997). Udang galah strain Sulawesi dan Jenerik banyak mengalami kematian pada udang yang dipelihara dalam air asam, kematian paling banyak adalah pada H11, yaitu sehari setelah ganti air. Sampai akhir penelitian didapatkan nilai kelangsungan hidup sebesar 5,56% untuk udang strain Sulawesi dan 50% untuk strain Jenerik. Nilai kelangsungan hidup sebesar 77,78% dan 83,33% didapatkan oleh strain Sulawesi dan Jenerik yang dipelihara di pH 7 sampai akhir penelitian. Hal tersebut diduga karena udang galah strain Sulawesi tidak tahan terhadap tingkat strees yang tinggi akibat berbagai parameter pada air asam, seperti pH rendah, CO2 serta kekeruhan yang tinggi dan juga tidak tahan terhadap ganti air. Perbedaan ketahanan antar strain udang galah tersebut selaras dengan Ali (2009) yang mengemukakan bahwa terdapat nilai kelangsungan hidup yang berbeda pada strain Jawa, Sulawesi dan Jenerik. Pada saat mencapai tokolan ukuran 5 cm nilai kelangsungan hidup udang galah strain Jawa mampu mencapai nilai 89,3% sedangkan strain Sulawesi 83,3% serta Jenerik 86%. Hal tersebut sesuai juga dengan (Sarver et al.
1980 dalam Satyani 1988) yang
menyatakan bahwa ketahanan hidup larva dan pascalarva dipengaruhi oleh latarbelakang kehidupan induknya, disamping kondisi lingkungan dimana larva dan pascalarva itu hidup. Kematian udang yang diamati dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kematian yang terjadi pada saat molting dan kematian yang terjadi bukan pada saat molting. Pada udang galah yang dipelihara di air asam didapatkan nilai kematian pada saat molting paling tinggi terjadi pada udang strain Sulawesi dengan nilai 11,11% diikuti oleh strain Jawa dengan nilai 5,56% dan yang paling rendah adalah strain Jenerik dengan nilai 0,00%. Sedangkan pada udang galah yang dipelihara pada air berpH 7, didapatkan nilai kematian pada saat molting paling
39
tinggi terjadi pada udang Sulawesi dengan nilai 5,56% dan yang paling rendah terjadi pada udang Jawa dan Jenerik dengan nilai masing-masing 0,00%. Tingkat kematian pada saat molting udang galah strain Jenerik lebih rendah daripada strain udang yang lain. Diduga udang Jenerik memiliki ketahanan yang lebih terhadap rendahnya alkalinitas yang terjadi pada air dilingkungannya. Alkalinitas pada air asam menunjukkan nilai rata-rata 38,15 sampai 40,95 mg/l CaCO3. Boyd (1982) menyatakan bahwa air alami yang memiliki alkalinitas 40 mg/l atau lebih CaCO3 akan lebih produktif daripada yang alkalinitasnya dibawah nilai tersebut. Laju pertumbuhan harian (LPH) bobot dan panjang udang pada strain Jawa tidak menunjukkan perbedaan pada taraf nyata (p<0,05) antara yang dipelihara pada pH 5 dan pada pH 7 baik itu pada sampling ke-1 yang bernilai 1,581% untuk bobot dan 0,811% untuk panjang pada pemeliharaan di pH 5 dan 1,593% untuk bobot dan 0,590% untuk panjang pada pH 7 maupun pada sampling ke-2 yang bernilai 0,732% untuk bobot dan 0,338% untuk panjang pada pH 5 dan 0,455% untuk bobot dan 0,645% untuk panjang pada pH 7. Pada udang Jenerik, LPHnya juga tidak menunjukkan perbedaan pada taraf nyata, dengan nilai 0,575% untuk bobot dan 0,623% untuk panjang pada pemeliharaan di pH 5 dan 1,074% untuk bobot dan 0,970% untuk panjang pada pH 7 maupun pada sampling ke-2 yang bernilai 0,752% untuk bobot dan 0,051% untuk panjang pada pH 5 dan 0,648% untuk bobot dan 0,128% untuk panjang pada pH 7. Hal ini menunjukkan bahwa udang Jawa maupun Jenerik, dapat mempertahankan LPH di pH asam setara pada pH 7. Pada udang Sulawesi, terdapat perbedaan nyata pada LPH bobot udang yang dipelihara pada 15 hari pertama (sampling ke-1) yang bernilai 0,063% pada air asam dan 0,820% pada air pemeliharaan normal. LPH udang Sulawesi tidak berbeda nyata pada panjangnya, yaitu 0,296% pada pH 5 dan 0,264% pada pH 7. Hal tersebut menunjukkan bahwa strain Sulawesi tidak mampu mempertahankan LPH pada pH 5 sebaik pada PH 7 di 15 hari pertama. Frekuensi molting merupakan nilai yang merepresentasikan tingkat keseringan molting pada udang selama pemeliharaan. Pada LPH yang tidak berbeda nyata antara udang galah yang dipelihara di media yang memiliki pH 5 dan 7, didapatkan nilai frekuensi molting yang berbeda, yaitu pada udang galah didapatkan frekuensi molting yang lebih tinggi pada pH 5 daripada di pH 7 (tabel 6.), hal ini berbeda dengan penelitian Chen dan Chen (2002) yang menyatakan
40
bahwa frekuensi molting udang galah di pH yang lebih rendah adalah lebih kecil. Hal ini diduga karena perbedaan kesadahan air, pada penelitian Chen, air yang berpH 8,2 (air sebelum diasamkan) adalah 135 mg/L CaCO3, sedangkan pada penelitian ini, kesadahan air yang tidak diasamkan adalah 302,41 mg/L dan yang baru diasamkan adalah 188,76 mg/L. Menurut Wetzel (2001) dalam Andhikari (2007), kisaran kesadahan air yang ideal antara 50 sampai 200 mg/L CaCO3. Jadi, udang galah pada pH 5 dalam penelitian ini mendapatkan kesadahan air yang ideal untuk kehidupannya, termasuk pada fase molting seperti menurut Hadie dan Hadie (1993) yang menyatakan bahwa CaCO3 merupakan faktor yang penting pada molting. Idealnya kesadahan dan stress perubahan lingkungan pada udang yang dipelihara di pH 5 memungkinkan udang untuk molting lebih sering. Brown et al (1991) dalam Chen dan Chen (2002) mengamati bahwa intermolt (fase keras) pada udang dapat lebih singkat pada kesadahan lebih dari 53 mg/L CaCO3 meskipun tumbuhnya lebih lambat daripada udang yang hidup pada kesadahan yang lebih rendah. Pada penelitian ini didapatkan bahwa frekuensi molting tidak selalu berbanding lurus dengan laju pertumbuhan. Pola frekuensi molting yang didapatkan pada pH 5 adalah pada strain Jawa didapatkan frekuensi molting yang lebih tinggi dengan 2 kali molting diikuti oleh strain Jenerik dengan 1,44 kali molting dan pada pH 7 adalah frekuensi molting pada strain Jawa yang bernilai 1,73 kali molting lebih tinggi dari strain Jenerik dengan 1,13 kali molting dan paling rendah adalah strain Sulawesi dengan 1,07 kali molting. Perbedaan frekuensi molting diduga karena perbedaan sifat bawaan antar strain, karena perbedaan asal induk mempengaruhi sifat-sifatnya, termasuk kelangsungan hidup dan pertumbuhannya (Sarver et al. 1980 dalam Satyani 1988).
41
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Persentase kelangsungan hidup udang galah pada semua strain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada pemeliharaan pH 5 dan 7 selama pemeliharaan 10 hari. Sedangkan pada udang galah strain Jawa berlanjut sampai akhir penelitian (30 hari pemeilharaan). Laju pertumbuhan udang galah strain Jawa dan Jenerik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata baik bobot maupun panjangnya selama 30 hari pemeliharaan, sedangkan udang galah strai Sulawesi yang dipelihara di media asam memiliki nilai laju pertumbuhan bobot yang lebih rendah daripada yang dipelihara pada air pemeliharaan normal. Udang galah strain Jawa memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap media berpH asam dibandingkan dengan udang galah strain Jenerik dan Sulawesi
5.2 Saran Diperlukan penelitian ekplorasi sejenis pada seluruh strain udang galah yang ada di Indonesia.
42
DAFTAR PUSTAKA
Ali
F.
2009. Mereka Siap Menggebrak. family.com/Trubus_No.470. [31 Januari 2009].
http://www.syas-
Andhikari S, Chaurasia VS, Naqvi AA dan Pillai BR. 2007. Survival and Growth of Macrobrachium rosenbergii (de Man) Juvenile in Relation to Calcium Hardness and Bicarbonate Alkalinity. Central Fisheries Research Institute (CFRI) Trabzon, Turkey and Japan International Cooperation Agency (JICA): Trabzon. Andriesse JP. 1988. Ekologi dan Pengelolaan Tanah Gambut Tropika. Cahyo Wibowo dan Istomo, penerjemah. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Terjemahan dari Nature and Management of Tropical Peat Soils. Anonimous. 2005. Statistik Industri Besar dan Sedang Bagian II. Badan Pusat Statistik Indonesia: Jakarta. Anonimous. 2006. Species Profiles for Pacific www.traditionaltree.org. [16 Mei 2009]
Island
Agroforestry.
Anonimous. 2007a. Kemasaman Air. http://o-fish.com/Air/Kemasaman.php. [28 April 2009] Anonimous. 2007b. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia: Jakarta. Anonimous. 2008. Definisi strain. http://kamus.landak.com/cari/strain. [12 Mei 2009] Anonimous. 2009. Cultured Aquatic Species Information Programme Macrobrachium rosenbergii de Man. www.fao.org/fishery/culturedspecies/Macrobrachium_rosenbergii/en. [ 24 Agustus 2009] Antara KL. 2007. Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii Strain Maumere dan Strain Sacol, serta Euhema denticulatum di Perairan Desa Musi, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Azis. 2008. Perangsangan Molting Pascalarva Lobster Air Tawar jenis Capit merah (Cherax quadricarinatus, Von Martens) dengan Perlakuan Suhu. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Boyd. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Amsterdam. Elsevier Scientific Publishing Company: New York Cameron dan Mangum. 1983. Environmental Adaptations. Di dalam: Bliss et al (Editor). The Biology of Crustacea Vol 8. Academic Press: New York
43
Chen JC dan Lee Y. 1997. Effects of Nitrite Exposure on Acid-Base Balance, respiratory Protein, and Ion Concentrations of Giant Freshwater Prawn Macrobrachium rosenbergii at Low pH. Archives of Environtmental Contaminant and Toxicology. 33. 290-297: New York Chen SM dan Chen JC. 2002. Effect of pH on Survival, Growth, Molting, and Feeding of Giant Freshwater Prawns Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture (218): 613-623 Darusalam AY. 2005. Kondisi Kualitas Air Tambak Udang Windu (Penaeus monodon Farb.) dengan Pemanfaatan Larutan Nutrien. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan , Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Edy MH. 1990. Peranan Kalsit Air pada Perangsangan Ganti Kulit Udang windu (Penaeus monodon Fabr.) dengan Bungkil Biji teh. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius: Yogyakarta. Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya: Jakarta. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama: Yogyakarta Godfrey PJ. 1988. Acid Rain in Massacusetts: the Massacusetts Acid Rain Programe in Action. Water Resources Research Center. University of Massacusetts at Amherst. Hadie W dan Hadie LE. 2001. Tinjauan tingkah laku reproduksi udang galah. Prosiding; Workshop Hasil Penelitian Budidaya Udang Galah. Pusat Riset Perikanan Budidaya. P: 56-63 Hadie W dan Hadie LE. 1993. Pembenihan Udang Galah Usaha Industri Rumah Tangga. Kanisius: Yogyakarta Jain KL, Gupta RK dan Singh B. 2002. Specific growth rate and proximate carcass composition of fresh-water prawn cultured in different salinity conditions in fresh water ponds of Haryana. Department of Zoology and Aquaculture, CCS Haryana Agricultural University, Hisar. Lemmens RHMJ. 1992. Dye and Tannin-Producing Plants. Di dalam: Wulijarni dan Soetjipto (Editor). Plant Resources of South East Asia. Vol 3. Bogor Indonesia. Hlm 120-122 Mattjik AA dan Sumertajaya IM. 2002. Rancangan Percobaan: dengan aplikasi SAS dan minitab. IPB Press Murtidjo BA. 1992. Budidaya Udang Galah Sistem Monokultur. Kanisius: Yogyakarta Nandlal S dan Pickering T. 2005. Freshwater Prawn Macrobrachium rosenbergii Farming in Pasific Island Countries. Volume 1. Hatchery Operation.
44
Secretariat of Pasific Comunity dan The University of The South Pasific. Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kanisius: Yogyakarta Passano LM. 1960. Metabolism and Growth. Di dalam: Watermen (Editor). The Physiology of Crustacean Vol I. Academic Press: New York Putri EN. 2009. Derajat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Udang Galah Macrobrachium rosenbergii de Man Strain Jenerik dan Strain sulawesi pada Media Pemeliharaan ber-pH Asam. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rosellia A, Rohmana D. Adi CH, Nendih dan Bunga. 2008. Keragaman Morfologi dan Genetik Calon Induk Dasar Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii De Man). Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, Sukabumi. (tidak dipublikasikan) Said DS. 1989. Genetik: Variasi pertumbuhan pada Macrobrachium rosenbergii (De Man). Balitbang Biologi Perairan LIPI, Bogor. Satyani D. 1988. Pemgaruh Asal Induk terhadap Kelangsungan Hidup Larva dan Beberapa Respon Fisiologis Postlarva Udang Galah Macrobrachium rosenbergii (De Man). Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Satyani D, Hadie LE, dan Dahlan NM. 1992. Pengaruh berbagai macam pelindung dan kepadatan terhadap kelangsungan hidup pasca larva udang galah dalam penampungan. Buletin Penelitian Perikanan darat Vol 11 no 2 hal 38-43. Balitkanwar, Bogor. Wanasuria. 2008. Nila Gifts (Tilapias). http://suharjawanasuria.tripod.com/species this week nila gift.htm. [12 Mei 2009] Wibowo SS. 1986. Pemeliharaan Udang Galah di Kolam Air Tawar. PT Waca Utama Parmesti: Jakarta. Wickins JF dan Lee DO. 2002. Crustacean Farming: Ranching and Culture-2 nd ed-. Blackwell Science: London. Wikipedia.
2009. Ocean Acidification. www.en.wikipedia.org/wiki/Effects_of_Global_Warming#Acidification. [24 Mei 2009]
Yew
2004. Ketapang Leaves and Black Water Extract. http://bettysplendens.com.articles/page.imp?articleid=898. [23 April 2009]
C.
45
LAMPIRAN
Lampiran 1. Morfologi Udang Galah Strain Jenerik
Jantan
Betina Strain Sulawesi
Strain Jawa
46
Lampiran 2. Daun Ketapang, Shelter dan Desain penelitian Daun Ketapang
Shelter
Tampak depan
Tampak atas Desain penelitian
Media pemeliharaan asam
Media pemeliharaan asam
Pemeliharaan udang galah di akuarium tampak depan
47
Lampiran 3. Data Pengamatan Harian pH pada Media Pemeliharaan H KE-
PH 5 Sulawesi
PH 7
Jawa
Jenerik
Sulawesi
Jawa
Jenerik
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
5,1
5,3
5,3
5,3
5,2
5,3
5,0
5,3
4,9
6,9
6,9
6,9
7,1
7,1
7,1
7,2
7,2
7,2
2
5,3
5,3
5,4
5,3
5,2
5,4
5,3
5,4
5,5
6,9
6,9
6,9
7,1
7,1
7,1
7,2
7,2
7,2
3
5,2
5,2
5,3
5,2
5,2
5,3
5,2
5,3
5,4
7,3
7,3
7,3
7,1
7,1
7,1
7,2
7,2
7,2
4
5,2
5,2
5,3
5,3
5,3
5,5
5,4
5,3
5,4
7,0
7,0
7,0
7,1
7,1
7,1
7,2
7,2
7,2
5
5,3
5,4
5,4
5,3
5,3
5,3
5,5
5,4
5,5
7,3
7,3
7,3
7,1
7,1
7,1
7,2
7,2
7,2
6
5,3
5,4
5,3
5,1
5,2
5,1
5,5
5,4
5,5
7,3
7,3
7,3
7,1
7,1
7,1
7,2
7,2
7,2
7
5,3
5,3
5,2
5,3
5,4
5,3
5,3
5,4
5,4
7,3
7,3
7,3
7,1
7,1
7,1
7,2
7,2
7,2
8
5,3
5,3
5,4
5,1
5,3
5,1
5,3
5,3
5,3
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
9
5,2
5,2
5,3
5,5
5,4
5,2
5,1
5,1
5,2
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
10
5,3
5,3
5,4
5,3
5,4
5,3
5,4
5,3
5,3
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
5,3
5,3
5,3
7,1
7,1
7,2
11
5,3
5,3
5,5
5,5
5,4
5,0
5,5
5,5
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
6,9
6,9
7,0
12
5,2
5,0
5,0
5,2
5,3
5,3
5,4
5,4
7,1
7,1
7,1
7,3
7,2
7,2
6,9
6,9
7,0
13
5,2
5,0
5,0
5,0
5,4
5,5
5,4
5,4
7,1
7,1
7,1
7,3
7,2
7,2
7,0
7,0
7,0
14
5,2
5,1
5,1
5,3
5,4
5,3
5,6
5,6
7,1
7,1
7,1
7,2
7,2
7,2
7,0
7,0
7,0
15
5,1
5,2
5,1
5,4
5,5
5,4
5,4
5,4
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,0
7,0
7,0
16
5,3
5,4
5,2
5,3
5,6
5,2
5,3
5,4
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,0
7,0
7,0
17
5,2
5,3
5,2
5,2
5,4
5,2
5,3
5,4
7,3
7,3
7,2
6,9
6,9
6,9
7,3
7,3
7,2
18
5,2
5,2
5,4
5,4
5,5
5,4
5,3
5,4
7,3
7,3
7,2
7,0
7,0
7,0
7,1
7,0
7,0
19
5,3
5,4
4,8
5,5
5,5
5,5
5,3
5,4
7,2
7,2
7,2
7,0
7,0
7,0
7,1
7,0
7,0
20
5,3
5,7
5,7
5,3
5,4
7,1
7,1
7,1
7,0
7,0
7,0
6,9
6,9
6,9
5,3
5,7
5,2
5,4
5,4
7,1
7,1
7,0
21
5,3
5,4
5,7
5,8
5,4
5,4
5,4
7,1
7,1
7,1
7,0
7,0
7,0
6,9
6,9
6,9
22
5,3
5,4
5,3
5,4
5,3
5,4
5,4
7,0
7,0
7,0
7,0
7,0
7,0
6,9
6,9
6,9
23
5,3
5,3
5,7
5,8
4,9
5,3
5,4
7,0
7,0
7,0
7,3
7,3
7,3
6,9
6,9
6,9
24
5,2
5,2
5,3
5,2
5,3
5,4
7,0
7,0
7,0
7,3
7,0
7,0
6,9
6,9
6,9
25
5,3
5,2
5,3
5,2
5,3
5,4
7,0
7,0
7,0
7,1
7,1
7,1
6,9
6,9
6,9
26
5,4
5,2
5,4
5,2
5,6
5,6
7,0
7,0
7,0
7,1
7,1
7,1
6,9
6,9
6,9
27
5,2
5,2
5,5
5,4
5,4
5,4
7,3
7,3
7,3
6,9
6,9
6,9
6,9
6,9
6,9
28
4,9
5,4
5,3
5,6
5,8
5,3
7,1
7,1
7,1
7,0
7,0
7,0
6,9
6,9
6,9
29
5,2
5,2
5,2
5,2
5,3
7,1
7,1
7,1
7,0
7,0
7,0
6,9
6,9
6,9
30
4,9
5,2
5,4
5,2
5,5
7,1
7,1
7,1
7,0
7,0
7,0
6,9
6,9
6,9
5,5
5,2
5,3
5,4
7,1
7,1
6,9
5,2±0,13
5,3±0,09
5,4±0,11
7,1±0,11
7,1±0,09
7,0±0,13
49
Lampiran 4. Data Pengamatan Suhu Perlakuan (Ulangan) Suhu
Jawa
Sulawesi
Jenerik
Jawa
Sulawesi
Jenerik
Jawa
Sulawesi
Jenerik
Jawa
Sulawesi
Jenerik
awal pH 7 (air baru) I II III pH 7 (air baru) I II III pH 7 (air baru) I II III pH 7 (air sebelum gnt air) I II III pH 7 (air sebelum gnt air) I II III pH 7 (air sebelum gnt air) I II III pH 5 (air baru) I II III pH 5 (air baru) I II III pH 5 (air baru) I II III pH 5 (air sebelum gnt air) I II III pH 5 (air sebelum gnt air) I II III pH 5 (air sebelum gnt air) I II III
Contoh ke2 3 akhir
Rata-rata
26 26 26 26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26 26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26 26 26 26
26,5 26,5 26,5
26,17 26,17 26,17
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26,5 26,5 26,5
26,17 26,17 26,17
26 26 26 26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26 26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26 26 26 26
26,5 26,5 26,5
26,17 26,17 26,17
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26 26 26
26,5 26,5 26,5
26,17 26,17 26,17
50
Lampiran 5. Data Bobot dan Panjang Udang Galah Selama Penelitian Sulawesi pH 5 Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-1 Individu 4 Individu 5 Individu 6
Ulangan 1 Bobot Panjang 0,35 3,65 0,38 3,59 0,2 2,9 0,2 3,1 0,23 3,2 0,3 3,4
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-2 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,34
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-3 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,35
pH 7 Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-1 Individu 4 Individu 5 Individu 6
Ulangan 2 Bobot Panjang 0,35 3,57 0,32 3,37 0,45 3,92 0,23 3,17 0,34 3,55 0,18 2,99
Ulangan 3 Bobot Panjang 0,41 3,7 0,38 3,58 0,25 3,16 0,36 3,7 0,53 4,2 0,57 4,2
3,79 0,46
3,88
0,36
3,74
0,25
3,3
3,8
Ulangan 1 Bobot Panjang 0,38 3,89 0,54 4,1 0,29 3,03 0,45 3,9 0,47 4 0,48 3,93
Ulangan 2 Bobot Panjang 0,98 5,1 0,81 4,55 0,93 4,9 0,7 4,33 0,57 4,25 0,92 4,74
Ulangan 3 Bobot Panjang 0,41 3,7 1,19 5,14 0,3 3,66 0,25 3,25 0,23 3,2 0,19 3,13
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-2 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,42 0,57 0,3 0,5 0,47
3,95 4,33 3,58 4,5 4,07
1,04 0,8 0,99 0,68 0,68
5,26 4,25 5,3 4,5 4,6
0,41 1,25 0,35 0,28 0,22 0,23
3,9 5,63 3,88 3,4 3,3 3,17
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-3 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,41
4,1
0,29 0,52
3,65 4,24
1,11 0,82 1,01 0,72 0,69
5,3 4,6 5,17 4,77 4,55
0,44 1,32 0,41 0,28 0,27 0,24
4,05 5,72 3,89 3,45 3,37 3,31
51
Jawa pH 5 Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-1 Individu 4 Individu 5 Individu 6
Ulangan 1 Bobot Panjang 0,36 3,77 0,07 2,02 0,15 2,74 0,07 2,35 0,19 2,89 0,11 2,52
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-2 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,38 0,1 0,17 0,21 0,14
3,13 2,73
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-3 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,37 0,09 0,19
5,21 2,33 3,05
0,22 0,15
3,16 2,97
pH 7 Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-1 Individu 4 Individu 5 Individu 6
4 2,29 2,29
Ulangan 1 Bobot Panjang 0,43 3,99 0,28 3,49 0,11 2,57 0,44 3,94 0,35 3,53 0,49 3,85
Ulangan 2 Bobot Panjang 0,19 3,03 0,25 3,34 0,56 4,25 0,11 2,5 0,46 3,95 0,14 2,7 0,34 0,27
3,1 3,49
0,15 0,49 0,14
3,05 4,2 2,77
0,36 0,32
3,35 3,77
0,16 0,52 0,16
3,03 4,15 2,9
Ulangan 2 Bobot Panjang 0,11 2,5 0,1 2,44 0,1 2,6 0,18 2,9 0,15 2,81 0,1 2,5
Ulangan 3 Bobot Panjang 0,26 3,26 0,2 3 0,15 2,57 0,2 2,99 0,12
2,39
0,3 0,23 0,16 0,23
3,3 3,19 2,64 3,19
0,14
2,6
0,33 0,23 0,19 0,25
3,54 3,26 3 3,22
0,17
2,8
Ulangan 3 Bobot Panjang 0,13 2,62 0,43 3,95 0,43 4 0,08 2,3 0,25 3,21 0,35 3,77
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-2 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,5 0,33 0,14 0,46
4,3 3,52 2,77 4,13
0,12 0,13 0,13 0,17
2,65 2,75 2,75 3,1
0,16 0,43 0,43
2,81 4 4,2
0,6
4,1
0,13
2,6
0,37
3,99
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-3 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,54 0,35 0,14 0,49
4,33 3,7 3,22 4,25
0,1 0,15 0,15 0,17
2,81 2,91 2,86 3
0,17 0,48 0,47
3,05 4,3 4,09
0,65
4,39
0,15
2,92
0,38
4,1
52
Jenerik pH 5 Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-1 Individu 4 Individu 5 Individu 6
Ulangan 1 Bobot Panjang 0,16 2,85 0,15 2,85 0,22 3,2 0,15 2,85 0,24 2,85 0,15 2,84
Ulangan 2 Bobot Panjang 0,13 2,6 0,26 3,25 0,23 3,08 0,1 2,47 0,13 2,68 0,18 2,89
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-2 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,17 0,17
3,09 3,09
0,13 0,3
2,66 3,55
0,17
3,08
0,16
3,33
0,09 0,13 0,19
2,5 2,7 3,09
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-3 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,18 0,17
3,02 3,02
0,17 0,28
3,07 3,53
0,19
3,17
0,18
3,42
0,12 0,13 0,25
2,72 2,68 3,18
pH 7 Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-1 Individu 4 Individu 5 Individu 6
Ulangan 1 Bobot Panjang 0,2 3,14 0,18 2,88 0,16 2,8 0,14 2,64 0,16 2,69 0,15 2,79
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-2 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,25 0,23 0,18 0,19 0,22 0,23
3,29 3,36 3,39 3,06 3,19 3,11
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Sampling ke-3 Individu 4 Individu 5 Individu 6
0,29 0,27 0,18
3,75 3,5 3,1
0,24 0,23
3,55 3,3
Ulangan 2 Bobot Panjang 0,17 2,9 0,17 2,76 0,15 2,75 0,16 2,78 0,16 2,87 0,21 3 0,21
3,2
0,15 0,18
2,94 2,93
0,22
3,35
0,23
3,27
0,18 0,19
3,05 2,99
0,24
3,49
Ulangan 3 Bobot Panjang 0,13 2,7 0,15 2,68 0,13 2,53 0,15 2,72 0,22 3,13 0,13 2,58
Ulangan 3 Bobot Panjang 0,27 3,35 0,16 2,78 0,23 3,3 0,24 3,3 0,18 2,7 0,25 3,35 0,33 0,18 0,28 0,24 0,18 0,3
3,75 3,2 3,6 3,68 2,99 3,55
0,33 0,19 0,31 0,23 0,2 0,35
3,8 3,2 3,65 3,82 3,15 3,89
53
Lampiran 6. Anova Kelangsungan Hidup Jenerik 10 hari Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count As 3 Nr 3
Sum 283,333333 300
Average 94,444444 100
Variance 92,592593 0
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
46,2963 185,1852
1 46,296296 4 46,296296
Total
231,4815
5
SS
df
MS
F
P-value
F crit
1 0,373901 7,70864742
Sulawesi 10 hari Anova: Single Factor SUL 10 SUMMARY Groups Count As 3 Nr 3
Sum 250 266,666667
Average 83,333333 88,888889
Variance 277,77778 370,37037
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
46,2963 1296,296
1 46,296296 0,1428571 0,724659 7,70864742 4 324,07407
Total
1342,593
5
SS
df
MS
F
Jawa 30 Hari Anova: Single Factor SUMMARY Groups As Nr
Count 3 3
Sum 250 233,3333
Average 83,33333 77,77778
Variance 0 92,59259
P-value
F crit
54
Lanjutan Lampiran 7 ANOVA Source of Variation Between Groups
SS
Within Groups
46,2963 185,185 2
Total
231,481 5
df 1 4 5
MS 46,296 3 46,296 3
F 1
P-value 0,37390 1
F crit 7,70864 7
55
Lampiran 7. Anova Laju Pertumbuhan Harian Jawa Bobot (sampling ke-1) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Bbt 15 As Bbt 15 Nr ANOVA Source of Variatio n Betwee n Groups Within Groups Total
Count 3 3
SS
df
0,00021 8
1
0,63003
4
0,63024 8
5
Sum 4,742935245 4,779109887
Average 1,580978415 1,593036629
Variance 0,280104262 0,034910553
MS
F
P-value
F crit
0,00021810 1 0,15750740 8
0,00138470 2
0,97209 9
7,70864 7
Bobot (sampling ke-2) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Bbt 30 As Bbt 30 Nr
Count 3 3
ANOVA Source of Variatio n Betwee n Groups Within Groups
0,11521 3 0,95283 2
Total
1,06804 4
SS
df 1 4 5
Sum 2,194982326 1,363552754
Average 0,731660775 0,454517585
Variance 0,244861049 0,231554809
MS
F
P-value
F crit
0,11521252 2 0,23820792 9
0,48366367 5
0,525056
7,70864 7
56
Panjang(sampling ke-1) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Pjg 15 As 3 2,432576 0,810859 0,205845 Pjg 15 Nr 3 1,769225 0,589742 0,0336 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0,07333 9 0,47888 9
Total
0,55222 8
df 1 4
MS 0,07333 9 0,11972 2
F 0,61257 7
P-value 0,47756 1
F crit 7,70864 7
P-value 0,31825 9
F crit 7,70864 7
5
Panjang(sampling ke-2) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Pjg 30 As Pjg 30 Nr ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
Count Sum Average Variance 3 1,014742 0,338247 0,110656 3 1,934215 0,644738 0,106541
SS 0,14090 5 0,43439 5
df
0,5753
1 4
MS 0,14090 5 0,10859 9
F 1,29748 5
5
Jenerik Bobot (sampling ke-1) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Bbt 15 As Bbt 15 Nr ANOVA
Count 5 5
Sum 2,873088 5,369919
Average 0,574618 1,073984
Variance 0,058397 0,698572
57
Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0,62341 6 3,02787 5
Total
3,65129 1
df 1 8
MS 0,62341 6 0,37848 4
F 1,64713 9
P-value 0,23527 5
F crit 5,31765 5
P-value 0,79227 6
F crit 5,31765 5
P-value 0,09245 8
F crit 5,31765 5
9
Bobot (sampling ke-2) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Bbt 30 As 5 3,760773 0,752155 0,475424 Bbt 30 Nr 5 3,240439 0,648088 0,254792 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0,02707 5 2,92086 1
Total
2,94793 6
df 1 8
MS 0,02707 5 0,36510 8
F 0,07415 6
9
Panjang (sampling ke-1) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Pjg 15 As Pjg 15 Nr ANOVA Source of Variation Between Groups
Count 5 5
Sum 3,113549 4,847677
SS
Average 0,62271 0,969535
df
MS
Within Groups
0,30072 0,65910 4
1 8
Total
0,95982 4
9
0,30072 0,08238 8
Variance 0,063092 0,101684
F 3,65004 8
58
Panjang (sampling ke-2) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Pjg 30 As 5 0,256438 0,051288 0,03469 Pjg 30 Nr 5 0,638677 0,127735 0,229477 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0,01461 1 1,05666 6
Total
1,07127 6
df 1 8
MS 0,01461 1 0,13208 3
F 0,11061 7
P-value 0,7479 9
F crit 5,31765 5
9
Sulawesi Bobot (sampling ke-1) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Bbt 15 As 3 Bbt 15 Nr 3
Sum 0,188719 2,46081
Average 0,062906 0,82027
Variance 0,08558 0,035908
SS
df
MS
F
P-value
F crit
0,860399 0,060744
14,16431
0,019714
7,708647
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
0,860399 0,242977
1 4
Total
1,103376
5
Panjang (sampling ke-1) Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Pjg 15 As 3 Pjg 15 Nr 3
Sum 0,888853 0,793256
Average 0,296284 0,264419
Variance 0,002385 0,021726
59
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
0,001523 0,048223
1 4
Total
0,049746
5
SS
df
MS
F
P-value
F crit
0,001523 0,012056
0,126342
0,740207
7,708647
60
Lampiran 8. Keterangan Kematian Selama Penelitian Keterangan Kematian Strain Jawa pada pH 5 (% )
5,56 11,11
Mati Pada Saat Molting Mati Tidak Pada Saat Molting Hidup
83,33
Keterangan Kematian Strain Jenerik pada pH 5 (% )
11,11
Mati Pada Saat Molting 50,00
Mati Tidak Pada Saat Molting 38,89
Hidup
9 Keterangan Kematian Strain Sulawesi pada pH 5 (% )
5,56 22,22
Mati Pada Saat Molting Mati Tidak Pada Saat Molting Hidup
72,22
61
Keterangan Kematian Strain Jawa pada pH 7 (% )
5,56 11,11
Mati Pada Saat Molting Mati Tidak Pada Saat Molting Hidup
83,33
Keterangan Kematian Strain Jenerik pada pH 7 (% )
0,00
16,67
Mati Pada Saat Molting Mati Tidak Pada Saat Molting Hidup
83,33
Keterangan Kematian Strain Sulawesi pada pH 7 (% )
5,56 16,66 Mati Pada Saat Molting Mati Tidak Pada Saat Molting Hidup
77,78