43
Pengaruh salinitas media terhadap lama waktu inkubasi ... (Yogi Himawan)
PENGARUH SALINITAS MEDIA TERHADAP LAMA WAKTU INKUBASI DAN DAYA TETAS TELUR UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) Yogi Himawan dan Ikhsan Khasani Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Jl. Raya Sukamandi No.2, Subang 41256 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap lama waktu pengeraman dan daya tetas telur udang galah, sebagai dasar perbaikan sistem penyediaan larva udang galah. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan level salinitas media penetasan, dan tiga ulangan, terdiri atas 0‰ (kontrol), 5‰, 10‰. Induk udang galah dengan bobot rata-rata 20 g yang sedang mengerami telur selama 5 hari pasca pembuahan ditempatkan dalam media uji. Wadah yang digunakan berupa corong fiber volume 50 L yang dilengkapi aerasi dan eceng gondok sebagai pelindung (shelter). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa media bersalinitas 10‰ memberikan hasil terbaik dengan lama inkubasi dan daya tetas 6,6±0,57 hari; 85%, diikuti perlakuan 5‰ sebesar 10±0,0 hari; 85%, dan 0‰ sebesar 11,3±1,15; 88%. Keragaan larva yang diperoleh pada media penetasan 0‰ dan 10‰ menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan Larval Stage Index (LSI) dan sintasan larva berturut-turut 10,8; 40% dan 10,9; 39%.
KATA KUNCI:
salinitas, udang galah, waktu inkubasi, daya tetas
PENDAHULUAN Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan salah satu komoditas unggulan dalam dunia perikanan di Indonesia terutama perikanan air tawar (Budiman, 2004), dan di beberapa Negara Asia dan Afrika (New & Valenti, 2000). Kegiatan budidaya dilakukan baik pada tahap pembenihan, pendederan, dan pembesaran, yang dikerjakan di kolam air tawar maupun payau. Guna mendukung program peningkatan produksi perikanan nasional, maka penyediaan benih unggul dalam jumlah memadai dan tepat waktu merupakan keharusan sehingga potensi lahan budidaya udang galah dapat termanfaaatkan secara maksimal. Pembenihan udang galah diawali dengan seleksi induk yang sehat dan normal sehingga larva yang didapat memiliki keunggulan dalam karakter pertumbuhan dan daya tahan (fitness) yang tinggi (Moran, 1992). Selain karakter morfologi dan morfometrik, faktor fekunditas harus pula diperhatikan untuk mendapatkan larva yang sehat dalam jumlah besar. Pada umumnya untuk mendapatkan larva, terlebih dahulu dilakukan pemijahan secara komunal di bak dalam hatcheri maupun di kolam outdoor. Setelah masa pemijahan, dilakukan seleksi induk yang sedang mengerami telur berwarna abuabu tua. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih ditemukan kendala, di antaranya tingginya variasi stadia telur sehingga pemeliharaan larva tidak dapat serempak. Kondisi tersebut akan menyulitkan dalam kegiatan pembenihan untuk mendapatkan larva dengan umur dan ukuran yang relatif seragam. Secara umum masa inkubasi telur udang galah dalam air tawar berkisar 20 hari dari masa pembuahan. Selama masa inkubasi tersebut sering juga terjadi kematian induk akibat penyakit dan fluktuasi kualitas air pemeliharaan. Kondisi tersebut tentu berakibat pada jumlah induk yang mengerami telur dan pada akhirnya jumlah larva yang didapat juga relatif sedikit. Selain jumlah induk dan larva yang tereduksi, masa inkubasi yang relatif lama juga menyebabkan biaya pemeliharaan meningkat dan siklus produksi menjadi relatif lebih lama, kondisi tersebut tentu kurang menguntungkan bagi pembudidaya udang galah. Salah satu cara untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah dengan berupaya mempersingkat masa inkubasi telur yang sedang dierami induknya. Berdasarkan pada daur hidupnya udang galah mengalami pergantian habitat. yang secara spesifik berkenaan dengan kadar garam atau salinitas air. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa media bersalinitas berpengaruh terhadap tingkat kematangan gonad, pembuahan, lama pengeraman, dan daya tetas telur udang (Jayalakshmy et al.,1996).
44
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Salinitas merupakan salah satu parameter penting bagi organisme estuarine dan berperan dalam mekanisme fisiologi (Kinne, 1971). Secara alami, udang galah termasuk binatang yang beruaya ke perairan payau untuk memijah dan menetaskan telur. Setelah telur menetas, larva akan mengalami metamorfosis hingga mencapai stadia post larva dan akan kembali beruaya ke air tawar hingga dewasa (Hadie et al., 2006.) Berdasarkan daur hidupnya, dapat dikatakan bahwa udang galah memijah dan menetaskan telurnya di perairan payau. Dapat pula dikatakan bahwa keragaan reproduksi udang galah akan optimum pada perairan payau sesuai dengan daur hidupnya. Penelitian Gilles & Pequeux (1983) menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh pada reproduksi dan perkembangan embrio. Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa salinitas media penetasan yang optimal akan memberikan dampak terhadap perkembangan embrio udang galah hingga menetas, yang berimplikasi pada lama waktu telur menetas, daya tetas telur, serta kualitas larva yang dihasilkan. Berdasarkan uraian tersebut di atas telah dilakukan kajian mengenai pengaruh salinitas media inkubasi yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh salinitas media penetasan terhadap lama waktu inkubasi telur yang sedang dierami induk udang galah. BAHAN DAN METODE Induk udang galah betina dengan bobot rata-rata 25 g dipijahkan secara komunal di kolam. Sebanyak 9 ekor induk yang sedang mengerami telur, kurang lebih 5 hari dari pembuahan, diambil dan dikumpulkan. Wadah yang digunakan untuk pengujian berupa corong fiber volume 60 L sebanyak 9 buah dilengkapi instalasi aerasi. Corong fiber disiapkan dan diisi 30 L air bersalinitas 0‰, 5‰, dan 10‰ sebagai perlakuan, masing-masing 3 ulangan. Eceng gondok ditempatkan pada tiap corong sebagai tempat naungan udang sehingga tidak mudah stres. Pengamatan lama waktu inkubasi dilakukan setiap hari hingga larva menetas dan dilakukan penghitungan larva melalui metode sampling. Pengamatan kualitas air dilakukan setiap 3 hari. Larva yang dihasilkan dari penetasan mengggunakan media bersalinitas 10‰ dan media air tawar (0‰) dipelihara dengan sistem air jernih dengan pakan berupa naupli Artemia dan pakan buatan (egg custard). Pengamatan keragaan larva meliputi Larval Stage Index (LSI) dan tingkat sintasan hingga larva bermetamorfosis menjadi stadia pasca larva (PL). HASIL DAN BAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lama waktu rata-rata inkubasi paling singkat antar perlakuan terdapat pada media pemeliharaan bersalinitas 10‰ diikuti perlakuan 5‰ dan 0‰, masingmasing sebesar 6,60±0,57 hari; 10±0 hari; dan 11,31±1,54 hari. data lama waktu inkubasi ditampilkan pada Gambar 1.
Lama inkubasi (hari)
12 10 8 6 4 2 0 0
5
10
Salinitas (o/oo)
Gambar 1. Lama waktu inkubasi telur udang galah pada media bersalinitas berbeda
45
Pengaruh salinitas media terhadap lama waktu inkubasi ... (Yogi Himawan)
Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 10‰ lama waktu inkubasi telur relatif lebih cepat dibanding perlakuan, namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Namun demikian, informasi tersebut dapat dimanfaatkan dalam rangka mempercepat siklus reproduksi induk udang galah. Penelitian yang dilakukan Jayalakshmy et al., (1996) pada Macrobrachium. idella menunjukkan bahwa salinitas merupakan komponen penting yang mempengaruhi lama waktu inkubasi telur. Hal tersebut dapat dipahami karena memang udang galah merupakan spesies yang daur hidupnya melalui lingkungan berair payau dan bersifat euryhaline. Di alam, udang galah dewasa bermigrasi ke air payau untuk melakukan proses pemijahan (Samuel et al., 1997). Namun terdapat perbedaan dalam lama waktu inkubasi telur antara lingkungan bersalinitas dan air tawar, meskipun telur udang galah dapat pula menetas pada salinitas 0,5‰ (Rao, 1986). Hal tersebut dipengaruhi oleh salinitas media pada saat induk udang galah mengerami telurnya. Media bersalinitas berpengaruh pada kecepatan absorpsi kuning telur dan organogenesis sehingga telur yang dierami pada media bersalinitas relatif lebih cepat menetas dibanding pada air tawar, meskipun larva yang dihasilkan ukurannya relatif lebih kecil (Luna, 2003).
Daya tetas (%)
Pengamatan daya tetas (hatching rate) telur diamati dengan melakukan penghitungan langsung larva yang telah menetas pada hari pertama. Hasil pengamatan daya tetas telur masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa daya tetas tertinggi rata-rata diperoleh pada media salinitas 0‰ sebesar 88±1,73, sedangkan antar perlakuan 5‰ dan 10‰ relatif sama yaitu berturut-turut sebesar 85±2,64 dan 85±2,00. Daya tetas pada masing-masing perlakuan ditampilkan pada Gambar 2.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 1
2
3
Salinitas (o/oo)
Gambar 2. Daya tetas rata-rata telur udang galah pada salinitas media berbeda Berdasarkan hasil analisis ANOVA, ternyata antar perlakuan tidak berbeda nyata meskipun telur yang diinkubasi pada salinitas 0‰ menghasilkan daya tetas telur lebih tinggi dibanding perlakuan 50‰ dan 10‰. Pada salinitas 0‰ telur udang galah tidak mengalami cekaman lingkungan sehingga tidak terjadi stres pada embrio. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Soundarapandian (2009) yang menghasilkan daya tetas telur udang galah tertinggi pada salinitas 0‰. Setelah telur pada masing-masing perlakuan menetas, dilakukan pengamatan keragaan larva hasil inkubasi pada salinitas 0‰ dan 10‰ sebagai data dukung. Parameter yang diamati meliputi Larva Stage Index (LSI) dan sintasan larva. Larval Stage Index (LSI) sesuai Maddox Manzi dalam Aquacop (1983), sedangkan sintasan sesuai dengan Zonneveld et al. (1991). Pengamatan keragaan larva dilakukan untuk mengetahui normalitas larva hasil inkubasi pada salinitas minimum dan maksimum perlakuan. LSI pada salinitas 0‰ dan 10‰ ditampilkan pada Gambar 3. Secara umum LSI larva hasil inkubasi pada salinitas 0‰ dan 10‰ menunjukkan perkembangan yang normal dan tidak berbeda nyata pada masing-masing perlakuan. Larva hasil inkubasi pada
46
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Larval stage indeks (LSI)
13
0 ppt 10 ppt
10 7 4 1 0
3
6
9
12
15
18
21
Hari
Gambar 3. Larval Stage Index (LSI) larva hasil inkubasi pada salinitas 0‰ dan 10‰ salinitas media 0‰ bermetamorfosis menjadi pasca larva (PL) pertama kali terjadi pada hari ke-21 masa pemeliharaan dan berubah seluruhnya menjadi PL setelah pemeliharaan selama 32 hari. Sedangkan pada larva hasil inkubasi 10‰, metamorfosis pertama kali menjadi PL terjadi pada hari ke-19 dan berubah seluruhnya menjadi PL pada hari ke-29. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keragaan larva hasil inkubasi pada 0‰ dengan 10‰ tidak menunjukkan perbedaan. Sintasan larva hasil inkubasi pada salinitas media 0‰ mencapai rata-rata 40%, sedangkan hasil inkubasi pada 10‰ sebesar 39%. Sintasan larva pada salinitas 0‰ relatif lebih tinggi dibanding larva asal salinitas 10‰, yaitu berturut-turut sebesar 40% dan 39%, namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 4). Kondisi tersebut mengindikasikan antara larva hasil penetasan di salinitas 0‰ dengan 10‰. tidak berbeda dalam daya tahan (fitness) sehingga didapat sintasan yang masih dalam kisaran normal. Larva hasil inkubasi dari salinitas 0‰–12‰ tidak berbeda nyata dalam sintasan, tetapi larva hasil inkubasi pada salinitas 15‰–20‰ mengalami stres dan berbeda dalam sintasan (Soundarapandian, 2009).
60
Sintasan (%)
50 40 30 20 10 0
10 Asal salinitas (permil)
Grafik 4.
Sintasan selama pemeliharaan larva asal salinitas 0‰ dan 10‰
47
Pengaruh salinitas media terhadap lama waktu inkubasi ... (Yogi Himawan)
Selama masa inkubasi dan pemeliharaan larva dilakukan pengamatan parameter kualitas air meliputi oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO), pH, suhu, amonia, nitrit, dan nitrat yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter kualitas air media inkubasi dan pemeliharaan larva Parameter DO (mg/L) Suhu (°C) pH Amonia (mg/L) Nitrit (mg/L) Nitrat (mg/L)
Inkubasi (‰)
Pemeliharaan Larva (‰)
0
5
10
0
10
3,4–4,5 29–31 8,3–8,5 0,02 0,01 0,02
3,7–4,2 29–31 8,2–8,6 0,02 0,01 0,02
3,5–4,7 29–31 8,3–8,6 0,02 0,01 0,02
2,7–3,5 30–32 7,9–8,4 0,1 0,2 0,2
2,4–3,2 30–32 7,9–8,5 0,1 0,2 0,2
Secara keseluruhan, kualitas air media inkubasi dan pemeliharaan larva relatif normal baik untuk inkubasi telur maupun pemeliharaan larva. Parameter kualitas air selama 3 hari pemeliharaan larva pada setiap perlakuan berada pada kisaran yang layak untuk kehidupan udang galah. Kisaran parameter kualitas air yang ideal untuk pemeliharaan udang galah adalah temperatur (28°C–32°C), pH (7,2–8,5), salinitas (10‰–15‰), oksigen terlarut (>3 mg/L), total alkalinitas untuk larva (100–200 mg/L), total ammonia (<1,0 mg/L), nitrit (<0,1 mg/L) (Cheyada et al., 1999; Boyd & Zimmerman, 2000). Salah satu parameter yang perlu mendapat perhatian adalah suhu pada waktu inkubasi telur. Dalam penelitian ini tidak digunakan water heater untuk menstabilkan suhu. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui dinamika suhu karena memang pada umumnya penetasan telur di hatcheri tanpa dilengkapi heater. Namun demikian, dalam pemeliharaan larvanya dilengkapi aerasi dan heater serta pelaksanaannya disesuaikan dengan prosedur. KESIMPULAN Lama waktu inkubasi paling singkat diperoleh pada perlakuan 10‰ yaitu 6,6±0,57 hari dengan daya tetas telur 85%, diikuti perlakuan 5‰ sebesar 10±0,0 hari; 85%, dan perlakuan 0‰ sebesar 11,3±1,15 hari; 88%. Perkembangan larva hasil inkubasi pada salinitas 0‰ dan 10‰ tidak berbeda nyata, dengan nilai LSI dan sintasan sebesar 10,8; 40% dan 10,9; 39%. DAFTAR ACUAN Aquacop. 1985. Intensive larval rearing in clean water of Macrobrachium rosenbergii (De Man Anuenue stock) at the Center Oceanologique du Pasifique, Tahiti. In: CRC Handbook of Mariculture. Crustacean Aquaculture, 1: 179–187. Boyd, C.E. & Zimmermann, S. 2001. Grow-out Systems-Water Quality and Soil Management. dalam New, M.B. & Valenti, W.C. 2000. Freshwater prawn culture: The farming of Macrobrachium rosenbergii. Blackwell Science, Oxford: xix + 435 pp. Cheyada, D., Chitmon, C., & Orachunwong, C. 2001. Hatchery of giant freshwater prawn in Thailand. Charoen Pokphand Foods Ltd., Bangkok. Internal Extension Paper. 9 pp. Budiman, A.A. 2004. Perkembangan udang GIMacro di Indonesia. Prosiding Temu Nasional Udang Galah GIMacro, Yogyakarta, 22–23 Juni 2004: 11 hlm. Gilles, R., Pequeux, A. 1983. Interactions of chemical and osmotic regulationwith the environment. In : Vernberg, F.J. & Vernberg, W.B. (Eds.) Environmental adaptations. The biology of Crustacea, Academic Press, New York, 8: 109–177. Hadie, L.E., Hadie, W., Murniyati, & Priono, B. 2006. Efek Salinitas Terhadap Reproduksi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Seminar Nasional Tahunan III Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 27 Juli 2006.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
48
Jayalakshmy, B. & Natarajan, P. 1996. Influence of salinity on fertilization and hatching of Macrobrachium idella under laboratory condition. J. Aqua. Trop., 11: 33–38. Samuel, J.M., Soundarapandian, P., & Kannupandi, T. 1997. In Vitro embryo culture and effect of salinity on the embryonic development of the cultivable freshwater prawn Macrobrachium malcomsonii (H. Milne Edwards). Curr. Sci., 73(3): 294–297. Kinne, O. 1971. Salinity : Animals: Invertebrates. In : Kinne, O. (Ed.) Marine Ecology, Environmental factors, Wiley-Interscience, Chicester, 1(2): 821–995. Luna, Z.O. 2003. Effect of salinity on egg hatching, yolk absorption and growth of Orange-Spotted Grouper (Epinephelus coioides). Information Description. Southern Luzon Polyttechnic College, Quezon. Moran, N.A. 1992. The Evolutionary maintenance of alternative phenotypes American Naturalist, 139: 971–989. New, M.B. & Valenti, W.C. 2000. Freshwater prawn culture: The farming of Macrobrachium rosenbergii . Blackwell Science, Oxford: xix + 435 pp. Rao, K.J. 1986. Life history and behavior of Macrobrachium malcomsonii. Bull.Cent, Inland Fish, Rest. Inst.Barrackpore, 47: 60–64. Soundarapandian,P., Prakash, K.S., Dinakaran, G.K., 2009. Simple technology for the hatchery seed production of giant palaemonid prawn Macrobrachium rosenbergii (De Man). Centre of Advanced Study in Marine Biology, Annamalai University, India. International Journal of Animal and Veterinary Advances, 1(2): 49–53. Zonneveld, N., Huisman, E.A., & Boon, J.H. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 317 pp.