II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Udang Galah Udang galah Macrobrachium rosenbergii atau dikenal juga sebagai Giant Freshwater Shrimp merupakan salah satu jenis Crustacea, dari famili Palaemonidae yang mempunyai ukuran terbesar dibandingkan dengan udang air tawar lainnya. Klasifikasi udang galah menurut Holithuis (1950) dalam Hadie dan Hadie (1993) adalah sebagai berikut : Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Ordo
: Decapoda
Famili
: Palaemonidae
Sub Famili : Palaemoninae Genus
: Macrobrachium
Spesies
: Macrobrachium rosenbergii
Tubuh udang galah terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala dan dada (cephalothorax), tubuh (abdomen), dan ekor (uropoda). Udang galah mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan udang tawarnya lainnya. Ciri-cirinya yaitu (1) kedua kakinya tumbuh dominan, (2) mempunyai rosrtum panjang, langsing dan berbentuk seperti pedang, (3) pada carapas (cangkang) udang muda terdapat garis secara horizontal dan pada badan terdapat bintik hitam, dan (4) tubuh udang galah berwarna biru kehijauan (Suhendra dan Paryono, 2004).
Gambar 1 Udang galah Macrobrachium rosenbergii (Hadie dan Hadie, 1993)
Udang galah mempunyai dua habitat di dalam kehidupannya. Pada stadia larva hidup di air payau, sedangkan setelah menjadi dewasa hidup di air tawar. Daur hidup udang galah dimulai dari telur-telur yang sudah dibuahi dan dierami oleh induknya selama 19–21 hari dan menetas menjadi larva (Ling, 1969 dalam Roslani, 2007). Larva yang baru menetas ini memerlukan air payau sebagai tempat kehidupannya. Apabila larva tidak berada di lingkungan air payau selama 3-5 hari semenjak menetas, maka larva tersebut akan mati (Mulyo, 1987 dalam Roslani, 2007). Apabila larva yang baru menetas itu menemukan lingkungan hidup yang cocok, maka larva akan dapat tumbuh menjadi pasca larva (benih). Untuk mencapai tingkatan pasca larva, larva tersebut harus memenuhi 11 tahap perkembangan larva dan pada setiap tahap terjadi pergantian kulit (moulting) dengan perubahan struktur morfologinya (metamorfosa) (Roslani, 2007). Frekuensi pergantian kulit pada udang galah galah berbeda-beda tergantung pada umur, jumlah dan kualitas pakan serta lingkungan hidupnya. Biasanya pergantian kulit terjadi setiap 20-40 hari sekali. Udang galah muda pertumbuhannya lebih pesat, sehingga proses pergantian kulitnya juga lebih cepat dibanding udang dewasa (Suhendra dan Paryono, 2004). Pada waktu terjadi pergantian kulit (moulting), udang galah bersifat kanibal atau memangsa sesamanya. Udang yang moulting kondisi tubuhnya lemah sehingga menjadi mangsa udang lainnya yang tidak sedang moulting (Suhendra dan Paryono, 2004).
2.2 Surfaktan Detergen Deterjen adalah suatu bahan kimia organik sintesis yang dapat bereaksi dengan air dan menyebabkan pembentukan busa dan pengaruh lainnya yang memungkinkan untuk membersihkan atau mencuci baik dalam industri maupun untuk tujuan rumah tangga. Detergen umumnya mengandung bahan-bahan yang dapat dikelompokkan menjadi surface-active agents atau surfaktan, builders atau zat pembangun, dan additive substances atau bahan tambahan (Connel dan Miller, 1995). Surfaktan, khususnya rantai alkyl C12-C18 mempunyai rantai molekul yang panjang dimana salah satu ujungnya yaitu kepala berupa polar radikal yang larut dalam air atau hidrofolik, sedangkan ujung lainnya yaitu ekor berupa non polar
hidrokarbon yang tidak larut dalam air atau hidrofobik tetapi larut lemak atau lipofilik. Molekul ini terkonsentrasi pada permukaan yang berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan untuk memungkinkan partikel pada bahanbahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau terlarut dalam air (Effendi, 2003). Zat pembangun (builders) sebagian besar berupa garam inorganik atau katalis yaitu fosfat dan sodium tripolifosfat yang berfungsi untuk mengefektifkan daya kerja surfaktan, sedangkan bahan tambahan berupa silikat, sodium sulfat, sodium perborat, enzim dan lain-lain (Anonimous, 2008a) Karakteristik surfaktan adalah adanya dua grup yang memiliki struktur yang tidak serupa dalam satu molekul. Dua grup yang berlawananan dalam surfaktan yaitu hidrofobik (tidak suka air) dan hidrofilik (suka air), lipofobik (tidak suka lemak), dan lipofilik (suka lemak), aleofobik (tidak suka minyak) dan aleofilik (suka minyak), serta lyofobik (tidak suka pelarut) dan lipofylik (suka pelarut). Terminal polar dan non polar digunakan untuk menandakan grup yang terlarut dan tidak terlarut dalam air (Lynn dan Borry, 1997 dalam Berlianti, 2005). Secara umum surfaktan dikelompokkan berdasarkan pembentukan ionnya dalam air (Swern, 1997 dalam Sufriyani, 2006) yaitu : (1) Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya bermuatan negatif (anion), misalnya ester sulfonat dan alkohol sulfate. (2) Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang memiliki gugus hidrofilik berupa ion bermuatan positif (kation), misalnya senyawa amonium kuaterner. (3) Surfaktan nonanionik, merupakan surfaktan yang tidak memiliki muatan pada gugus hidrofiliknya, misalnya alkohol etoksilat dan ester asam lemak-karbohidrat.(4) Surfaktan amfoterik merupakan surfaktan yang memiliki muatan positif sekaligus muatan negatif pada molekul yang sama, seperti pada asam amino.
2.3 Alkyl Sulfate (AS) Pada kebanyakkan surfaktan anionik, kepala polar yang larut dalam air dapat berupa carboxylate, sulfate, sulfonate, atau phosphate (Linn dan Borry, 1997 dalam Berlianti, 2005). Alkyl sulfate merupakan surfaktan anionik yang umumnya dipakai dalam industri pembuatan shampoo, pasta gigi, obat, kosmetik, dan bahan-bahan keperluan mencuci dan mandi. Alkyl sulfate yang biasa
digunakan dalam produk-produk pasar tersebut biasanya mempunyai rantai alkyl yang panjang, yaitu C12-C18 (Permatasari, 2000). Penggunaan utama AS yang terdaftar pada HSDB adalah sebagai surfaktan untuk pengemulsi, prosesing logam, detergen dan shampoo, pembius, krim penghilang noda, lotion, obat-obatan, pasta gigi, whipping, dan surfaktan makanan (Nicnas, 2003 dalam Berlianti, 2005). Contoh spesifik lainnya dalam penggunaan AS dilaporkan adalah dalam preparasi sampel darah dalam perhitungan sel darah, elektrophoresis dan pendugaan berat molekul protein, preparasi sampel kandungan serat fibre dalam makanan, karakterisasi kandungan ammonium, industri electroplating (nikel dan zinc), komestik pembersih, food additive adjuvant dalam insektisida, bahan penghapus varnish dan cat, contoh surfaktan dalam tes tokditologi pada hewan akuatik dan mamalia (NICAS, 2003 dalam Berlianti, 2005). Surfaktan AS memiliki banyak struktur dengan nama-nama seperti sodium lauryl sulfate (SLS), sodium dedocyl sulfate (SDS), sulfuric acid , monodedocyl ester, sodium salt, lauryl sadium sulfate, sodium N-dedocyl sulfate, lauryl sulfate sodium salt, dan lain-lain sampai mencapai lebih 100 sinonim (NICAS, 2003 dalam Berlianti, 2005). Prat dan Giruad (1961) dalam Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa molekul surfaktan pada batas antar fase udara air dapat mencegah perpindahan oksigen, pengaruh ini bertambah dengan bertambahnya panjang rantai alkyl. Pada gugus alkyl, jenis strukturnya banyak yang berbeda dan terdapat sejumlah informasi yang tersedia mengenai pengaruh jenis struktur ini terhadap biodegradasi sebaiknya gugus alkyl yang berantai lurus relatif mudah didegradasi. AS pada mamalia seperti tikus, kelinci, dan manusia dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, saluran gastro-intestinal, dan saluran pernafasan. Dalam laporan NICAS (2003) dalam Berlianti (2005) AS tidak bersifat karsinogenik dan genotoksik, tetapi berpengaruh negatif terhadap reproduksi. Sebuah laporan Anonimus (1995) dalam Berlianti (2005) menyatakan bahwa SLS (sodium lauryl sulfate) dapat menyebabkan efek mutagenik, dan dapat masuk ke tubuh melaui saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan kulit.
Pada tikus nilai letal dosis (LD50) SLS adalah 0,8-110 g/Kg. Bahan-bahan dengan formula yang mengandung 15 % SLS dapat menyebabkan depresi, stress respirasi, diarrhea, dan kematian pada hewan uji. Pada tes akut akular, 10 % SLS menyebabkan kerusakan kornea pada mata kelinci yang disebabkan adanya iritasi. Sedangkan tes akut iritasi kulit, 0,5-10% SLS menyebabkan iritasi kulit, 10-30% SLS menyebabkan iritasi dan korosif pada kulit. Pada manusia, konsentrasi 0,110% SLS dapat menyebabkan iritasi kulit. Sebuah riset menunjukkan bahwa SLS dapat memasuki dan meninggalkan residu di jantung, hati, paru-paru, dan otak melalui kontak dari kulit. Selain itu, SLS juga dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh terutama didaerah sekitar kulit karena adanya denaturasi protein (Journal of The American College of Toxycology, 1983 dalam NHIC, 2003 dalam Berlianti, 2005). Pada mamalia, masuknya SLS ke dalam tubuh dapat mengganggu kestabilan hormon estrogen yang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti menopausal symptoms
dan menurunnya fertilitas.
SLES (Sodium Laureh Sulfate) memiliki daya iritasi yang lebih rendah dibandingkan SLS, namun SLES tidak dapat dinetralkan dihati sehingga menimbulkan efek yang lebih lama (NHIC, 2003b dalam Berlianti, 2005).
2.4 Pengaruh Surfaktan Detergen terhadap Organisme Perairan. Pencermaran menyebabkan makhluk hidup melakukan berbagai reaksi, mulai dari pengaruh yang sangat kecil seperti perubahan tingkah laku sampai berkurangnya pertumbuhan dan kematian (Connel dan Miller, 1995). Dengan banyaknya zat pencermar yang ada di dalam air limbah, maka akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut di dalam air limbah. Dengan demikian akan menyebabkan terganggunya kehidupan biota di dalam air yang
membutuhkan
oksigen,
yang
dalam
hal
ini
akan
mengurangi
perkembangannya bahkan dapat menyebabkan kematian. Penelitian Abel (1974) dalam Darmono (2003), terhadap ikan zebra (Branchydanio rerio) mendapatkan bahwa pada kondisi normal (tanpa detergen) ikan lebih cepat mengkonsumsi makanan yang diberikan, sedangkan pada kondisi perlakuan (diberi detergen) lebih lambat mengkonsumsi makanan yang diberikan, dikarenakan syaraf penerima rangsangan makanan/kemoreseptor menjadi rusak.
Pengaruh kronis surfaktan detergen pada ikan adalah hilangnya nafsu makan,
menganggu
respirasi,
menghambat
pertumbuhan,
menghambat
perkembangan telur, dan daya hidup larva rendah. Akibat detergen pada kondisi tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi pernafasan dua sampai tiga kali dari keadaan normal kemudian terjadi kerusakan sistem respirasi, yaitu pada ephitelium insang. Ikan akan kehilangan keseimbangan dan sulit untuk bernafas (Metelev et al., dalam Berlianti, 2005). Surfaktan dapat memecahkan sel dan dapat berinteraksi dengan protein dan memasuki membran permeabel (Suriyono et al., 1998 dalam Berlianti, 2005) sifat permeabel sel yang terganggu akan menyebabkan proses osmoregulasi dan pertukaran gas juga terganggu (Effendi, 2003). Surfaktan dalam konsentrasi tertentu dapat mendenaturasi protein sehingga akan merusak beberapa sistem enzim dan hormon (Abel, 1974 dalam Berlianti, 2005).
2.5 Perbedaan Strain dan Ketahanannya Strain adalah ras, keturunan, keluarga (Anonim, 2008b). Pembedaan antar spesies dapat ditentukan dari ciri morfologi. Morfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk luar dari suatu organisme. Variasi dapat dipertimbangkan sebagai indikator perbedaan genetik antar spesies, strain, jenis kelamin ataupun populasi (Hadie el al., 2002). Penentuan
strain
baru
dapat
dibedakan
berdasrkan
lokasi
asal
ditemukannya dan hasil persilangan. Berdasarkan asal lokasi, Indonesia mempunyai kekayaan hayati yang bernilai untuk strain udang galah, mulai dari perairan di Sumatera, Kalimantan, Jawa sampai Sulawesi (Ali dan Gunawan, 2008 dalam Putri, 2009). Berdasarkan hasil persilangan, strain diperoleh dari mengawin silangkan antar strain asal lokasi tersebut. Misalnya udang galah GIMacro (Genetics Improvement of Macrobrachium rosenbergii) merupakan hasil perbaikan genetik dari persilangan antara tiga populasi udang galah yang berasal dari Kali Pucang, Tanjung Kait dan Sungai Musi (Trobos, 2006). Setiap
strain
akan
mempunyai
respon
yang
berbeda
terhadap
lingkungannya. Misalnya pada pH asam, udang galah strain Sulawesi lebih dapat bertahan hidup dan tumbuh dibandingkan udang galah strain jenerik (Putri, 2009).
Contoh lain adalah ikan lele sangkuriang mempunyai keunggulan yang lebih baik daripada lele dumbo. Lele sangkuriang memiliki fekunditas 33,33 % lebih tinggi dibandingkan lele dumbo dan umur pertama matang gonad yang lebih tua. Pertumbuhan benih lele sangkuriang pada pemeliharaan umur 5-26 hari menghasilkan laju pertumbuhan harian 43,57 % lebih tinggi sedangkan pada pemeliharaan umur 26-40 hari 14,61 % lebih tinggi (Sunarma, 2007).
2.6 Histopatologi Histologi merupakan ilmu yang mempelajari susunan sel, jaringan atau organ yang menyusun suatu makhluk hidup. Perubahan pada histologi hewan sebenernya dapat menunjukan suatu kejadian atau peristiwa yang sedang atau telah dialami oleh suatu makhluk hidup. Sedangkan Anonim (2000) menjelaskan bahwa histologi adalah badang biologi yang mempelajari tentang struktur jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sedian jaringan yang dipotong tipis. Sedangkan histopatologi adalah ilmu yang mempelajari pengamatan sel, jaringan atau organ makhluk hidup (hewan) di bawah mikroskop untuk melihat diagnosa suatu penyakit. Bidang biologi ini berguna untuk keakuratan diagnosis tumor dan berbagai penyakit lain yang sampelnya memerlukan pemeriksaan histologis. Sinderman (1879) dalam Permana (2009) mengungkapkan bahwa histologi juga dapat digunakan untuk melacak keberadaan bahan toksik dalam perairan. Berkaitan dengan adaptasi terhadap perubahan kondisi perairan akan menyebabkan perubahan pada histologinya. Perubahan tersebut dapat berupa: a. Agnesis, pada kondisi ini jaringan/organ tidak terbentuk/absent. Contoh: salah satu ginjal tidak terbentuk saat lahir. b. Aplasia, ditemukan pada jaringan/organ yang telah terbentuk, tetapi mempunyai ukuran yang terlalu kecil dengan normalnya. Contoh: tidak terbentuknya lumen dari usus. Penyebabnya dapat karena faktor hereditas, kematian sel pada stadium embrional atau keracunan obat atau bahan toksik dalam air. c. Hipoplasia (pertumbuhan yang tidak sempurna): keadaan yang ditemukan pada organ atau bagian terentu dari tubuh yang gagal untuk berkembang sampai mencapai ukuran/struktur normalnya. Penyebabnya hampir sama
dengan Aplasia dan dapat pula disebabkan oleh gangguan aliran darah ke jaringan yang terkena. d. Atrofi, suatu penurunan dalam jumlah/ukuran dari jaringan tertentu yang telah mencapai pertumbuhan dan ukurannya yang normal. Penyebab: gangguan pemberian makanan ke daerah yang terserang. Gangguan inervasi syaraf/pembuluh darah, nekrosis, dan adanya tekanan dalam tubuh. e. Hipertropi, merupakan adanya peningkatan pada komponen sel dalam jaringan atau sel. Ini biasanya terjadi pada sel-sel yang tidak dapat membelah. f. Hyperplasia, merupakan penambahan jumlah sel dalam jaringan dan ini terjadi pada jaringan atau organ yang tidak pernah normal. g. Nekrosis, merupakan jenis kematian sel irevesibel yang terjadi ketika terdapat luka berat atau lama hingga suatu saat sel tidak dapat beradaptasi atau memperbaiki diri.
2.7 Kualitas Air Kualitas air didefinisikan sebagai kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan
organisme akuatik yang nilainya
dinyatakan dalam kisaran tertentu (Boyd, 1982). Adapun beberapa parameter kualitas air yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan antara lain suhu, oksigen terlarut, nilai pH, kesadahan, alkanitas, dan amonia. 2.7.1 Suhu Suhu air merupakan variabel lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi, dan kelarutan gas-gas pada lingkungan perairan. Suhu juga berpengaruh terhadap nafsu makan organisme perairan (Wardoyo, 1975 dalam Mukti, 2006). Umumnya meningkatnya
toksisitas
suhu.
bahan
Menurut
pencemar
Effendi
(2003),
akan
bertambah
peningkatan
suhu
dengan akan
mempercepat reaksi kimia yang terjadi di dalam air. Swedmark et al., (1971) dalam Darmono (2003) menyatakan bahwa toksisitas LAS terhadap Gadus
marrhua dan beberapa invertebrata laut lebih besar pada suhu 15-170C daripada suhu 6-80C pada LC50-96 jam. Kecepatan respirasi dan metabolisme organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan 100C suhu peraiaran dapat meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 2-3 kali lipat. Peningkatan suhu ini diikuti dengan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam perairan, sehingga keberadaan oksigen di perairan kadangkala tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen untuk organisme akuatik dalam hal ini melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003). Menurut Hadie (1985) suhu optimal bagi perkembangan hidup udang galah adalah berkisar 29-310C. Pada kisaran tersebut konsumsi aksigen cukup tinggi sehingga nafsu makan udang tinggi dan pada suhu dibawah 20 0C nafsu makan udang menurun (Wardoyo, 1997 dalam Mukti,2006). 2.7.2 Oksigen Terlarut Oksigen adalah salah satu gas yang ditemukan larut dalam air. Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan dari atmosfir. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketingian dan berkurangnya tekanan atmosfir. Kadar oksigen terlarut di perairan untuk pertumbuhan yang normal bagi udang yaitu berada pada kisaran 4-7 mg/l (Saprillah, 2000 dalam Mukti, 2006). Lebih lanjut dinyatakan bahwa udang telah memperlihatkan gejala abnormal, dengan berenang kepermukaan pada kadar oksigen terlarut 2,1 mg/l pada suhu 300C, dan pada kadar 3 mg/l walaupun tidak memperlihatkan gejala abnormal tetapi masih dibawah kondisi optimum, sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi laju pertumbuhan udang. Boyd (1982) menyatakan bahwa, kandungan oksigen terlarut yang dapat menunjang kehidupan udang secara normal dan baik untuk pertumbuhan adalah 5 mg/l sampai konsentrasi jenuh. Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk kandungan oksigen terlarut yang kurang dari 1 mg/l dapat menyebabkan kematian jika berlangsung selama beberapa jam dan untuk kisaran oksigen terlarut antara 1-5 mg/l akan menganggu pertumbuhan jika berlansung secara terus-menerus. Menurut Hynes (1974) dalam Mukti (2006) menyatakan bahwa pada perairan yang mengandung detergen, suplai oksigen
secara difusi dari udara sangat lambat sehingga kadar oksigen di dalam perairan menurun. 2.7.3 Nilai pH Perairan dengan kandungan pH sebesar 5-9 dapat menunjang kehidupan organisme perairan secara normal (Boyd, 1982). Perubahan nilai pH berpengaruh terhadap laju reaksi kimia serta tekanan osmosis yang terjadi diperairan dan tubuh udang (Wardoyo, 1997 dalam Mukti, 2006). Menurut Wardoyo (1997) dalam Mukti (2006), nilai pH yang ideal untuk udang berkisar 6,8-9, sedangkan pH air dengan kisaran antara 4,5-6 dan 9,8-11 dapat menyebabkan terganggunya metabolisme udang. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa pada pH < 4,0 dan >11,0 dapat menyebabkan kematian pada udang. Kandungan nilai pH juga berkaitan dengan karbondioksida dan alkalinitas (Effendi, 2003). 2.7.4 Kesadahan Kesadahan adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua) (Effendi, 2003). Swingle (1968) dalam Mukti (2006) menyatakan bahwa kesadahan yang kurang dari 15 mg/l CaCO3 equivalen, akan menyebabkan pertumbuhan organisme perairan menjadi lambat dan bahkan akan menyebabkan kematian. Kesadahan yang berkisar antara 20-150 mg/l CaCO3 ekuivalen dalam perairan merupakan yang baik untuk menunjang kehidupan organisme perairan (Lelono, 1986 dalam Mukti, 2006). Daya racun ABS akan meningkat pada periaran yang memiliki kesadahan yang tinggi, sedangkan sodium lauryl sulfate akan meningkat pada kesadahan yang rendah (Henderson et al., dalam Abel, 1974 dalam Mukti, 2006). 2.7.5 Alkalinitas Alkalinitas adalah konsentrasi total dari unsur basa-basa yang terkandung dalam air dan biasa dinyatakan dalam mg/l atau setara dengan kalsium karbonat (CaCO3) (Kordi dan Tancung, 2007 dalam Putri, 2009). Konsentrasi total alkalinitas erat hubungannya dengan total kesadahan air. Karena kesadahan atau konsentrasi ion-ion logam bervalensi 2 seperti Ca2+ dan Mg2+ dipasok dari lapisan tanah dengan HCO3- dan CO32- yang merupakan unsur pembentuk total alkalinitas. Menurut Zaidi (2007) dalam Putri (2009), total alkalinitas tidak boleh lebih dari 180 mg/l CaCO3.
2.7.6. Amonia Amonia-nitrogen di dalam perairan terdapat dalam bentuk terionisasi dan tidak terionisasi (anionik) (Boyd, 1982). Amonia anionik adalah toksik bagi ikan dan daya toksiknya meningkat sejalan dengan menurunnya kadar oksigen terlarut. Spotte (1970) dalam Mukti (2006) menyatakan bahwa selain oksigen terlarut, pH air juga mempengaruhi daya racun amonia nitrogen (NH3-N) terhadap ikan, yaitu toksisitas NH3-N meningkat sejalan dengan meningkatnya pH air. Dalam pemeliharaan udang galah, menurut New (2002) dalam Putri, 2009 total amonia tak terionisasi (NH3-N) tidak boleh melebihi 0,3 mg/l. Pengaruh langsung dari kadar amonia tinggi yang belum mematikan ialah rusaknya jaringan insang, yaitu lempeng insang membengkak sehingga fungsinya sebagai alat pernapasan akan terganggu selanjutnya dalam keadaan kronis ikan dan udang tidak lagi hidup normal (Kordi dan Tancung, 2007 dalam Putri, 2009).