5
2 TINJAUAN PUSTAKA Biologi durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan tanaman buah tropika yang berasal dari Asia Tenggara, meliputi Semenanjung Malaya dan Indonesia. Buah durian mempunyai cita rasa yang khas dan nilai ekonomi yang tinggi sehingga dijuluki raja buah-buahan tropika (King of tropical fruits). Nama „Durio ‟ diambil dari bahasa melayu „duri‟ dan „zibethinus‟ diambil dari bahasa italia „zibetto‟ yang berarti berbau tajam (Nakasone dan Paul 1998). Dewasa ini pertanaman durian telah menyebar ke daerah lain, diantaranya Madagaskar, Kongo, Queensland, Australia bagian utara, Florida dan Hawaii (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001). Durian termasuk dalam Kingdom Plantae, Subkingdom Viridaeplantae, Infrakingdom Streptophyta, Divisi Tracheophyta, Subdivisi Spermatophytina, Infradivisi Angiospermae, Kelas Magnoliopsida, Superordo Rosanae, Ordo Malvales, Family Malvaceae, Genus Durio, Spesies Durio zibethinus Murray (ITIS 2013). Walaupun demikian dalam beberapa literatur disebutkan durian termasuk Famili Bombacaceae, subfamili Helicteroideae, tribe Durioneae (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001; USDA 2013). Terdapat 28 spesies dalam genus Durio, 19 spesies diantaranya terdapat di Pulau Kalimantan. Dari 28 spesies tersebut hanya 8 spesies yang menghasilkan buah yang layak dimakan, yaitu Durian (Durio zibethinus Murr.), Lai (D. kutejensis (Hassk.) Becc.), Keratogan (D. oxleyanus Griffith.), Tabelak (D. graveolens Becc.), Lahong (D. Dulcis Becc.), durian kura-kura (D. testudinarum Becc.), durian monyet (D. grandiflorus (Mast.) Kosterm.) dan chaarian (D. lowianus Scort.). Hanya D. zibethinus yang dikembangkan secara komersial karena mempunyai kualitas buah dan nilai ekonomi paling tinggi. Terdapat banyak varietas D. zibethinus yang dikembangkan, diantaranya Mon Thong, Chanee, Kradum Thong dan sebagainya di Thailand; D2, D10, D24, D99, D123, MDUR78, MDUR88, dan sebagainya di Malaysia; Matahari, Petruk, Sunan, Simas, Kalapet, Aspar, Raja Mabah, dan sebagainya di Indonesia (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001). Durian merupakan tanaman tahunan berbentuk pohon yang dapat berumur sampai dengan 150 tahun. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 meter atau lebih, dengan diameter batang dapat mencapai 50 sampai 120 cm. Cabang utama tumbuh dari batang utama ke segala arah. Bentuk tajuk adalah kerucut atau kubah (columnar), tergantung genotipe dan cara perbanyakan. Daun durian berupa daun tunggal, tersusun berseling, berbulu, menjuntai, bentuk oval atau elip, panjang 8 sampai 12 cm dan lebar 4 sampai 6 cm. warna permukaan atas daun adalah hijau muda sampai hijau tua, sementara permukaan bawah coklat keperakan (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001). Bunga durian muncul pada cabang utama, kadang-kadang juga pada batang utama dan cabang sekunder atau tersier yang cukup besar. Inisiasi perbungaan terjadi setelah mengalami musim kering yang cukup. Etephon, NAA, dan diaminozide tidak dapat menginduksi pembungaan, sementara GA3 menunda pembungaan (Nakasone dan Paul 1998). Bunga mekar pada sore sampai malam hari sehingga penyerbukan terjadi pada malam hari. Penyerbukan diduga terjadi dengan bantuan kelelawar. Durian merupakan tanaman yang secara alami
6 menyerbuk silang, bahkan terdapat klon yang menunjukkan gejala ketakserasian sendiri (self incompatibility) sehingga memerlukan serbuk sari dari varietas lain untuk pembentukan buah yang normal (George et al. 1994; Nanthachay 1994). Penyerbukan yang tidak sempurna dapat menyebabkan adanya ruang buah (loculus) kosong yang berakibat bentuk buah tidak simetris dan menurunkan kualitas buah (Nanthachay dan Sapii 1994). Buah durian berbentuk bulat sampai lonjong, ukuran bervariasi antar varietas, diameter melintang 13 sampai 16 cm dan diameter membujur 15 sampai 25 cm. Tangkai buah cukup panjang, 5 sampai 6 cm berdiameter 1 sampai 1.2 cm. Kulit buah tebal, tertutup oleh duri-duri berbentuk piramid yang runcing, keras dan tajam. Di dalam buah biasanya terdapat 5 ruang, kadang-kadang ada yang 6. Dalam tiap ruang terdapat 7 sampai 9 bakal biji. Perkembangan buah sejak penyerbukan sampai buah masak memerlukan waktu 90 sampai 115 hari (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001). Selama perkembangan buah tersebut terdapat hubungan yang erat antara diameter tangkai buah dengan bobot kering seluruh bagian buah (Ogawa et al. 2007). Dengan demikian ukuran tangkai buah dapat dijadikan penanda tingkat perkembangan buah durian. Buah durian mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi, walaupun terdapat variasi yang tinggi antara buah dari pohon yang berlainan (Tabel 2). Selain itu, daging buah durian juga mengandung senyawa volatil yang mencakup 22 jenis ester, 9 jenis alkana mengandung belerang, 3 jenis tioasetal, 2 jenis tioester, 2 jenis tiolana dan 1 jenis alkohol (Chin et al. 2007). Tabel 2 Komposisi nutrisi daging buah durian (per 100 g) Komponen Air (g) Kalori (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Pospor (mg) Besi (mg) Vit, A (IU) Tiamina (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Asam askorbat (mg)
a
b
c
d
e
f
59.9 147 2.0 1.2 36.1 1.9 0.8 18 56 1.1 0.32 0.28 1.1 44
58.0 2.8 3.9 34.1 10 50 0.1 20
65 134 2.5 3.0 28.9 7.4 44 1.3 0.10 53
70.9 3.3 4.3 19.3 1.2 49 27 2.0 890 1.08 0.11 1.0 62
68.0 15.0 23
66.8 2.5 1.6 28.3 1.4 20 63 0.9 0.27 0.29 57
Sumber: a–e Nanthachay (1994); f. Subhadrabandhu dan Ketsa (2001).
Lingkungan optimum untuk pertumbuhan dan produksi durian adalah suhu 27 sampai 30 oC dan kelembaban udara 75% sampai 80%. Walaupun demikian durian relatif tahan suhu tinggi (sampai 40 oC) dan suhu rendah (sampai 22 oC) (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001). Pengaruh suhu rendah (≤9 oC) pada tanaman durian adalah pengguguran daun yang hebat dan kematian bibit (Zappala dan
7 Zappala 1994). Curah hujan optimum 1500 sampai 2500 mm per tahun yang tersebar merata sepanjang tahun, dan akan lebih baik pada daerah dengan curah hujan diatas 3000 mm per tahun. Ketinggian tempat (altitude) yang optimum untuk durian adalah 50 sampai 500 meter dari permukaan laut. Jenis tanah yang ideal adalah tanah yang subur, lapisan tanahnya dalam dengan drainase yang baik dan pH 4.5 sampai 6.5. Topografi datar sampai berlereng dengan kemiringan sedang dibawah 35 o (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001).
Kultur Jaringan Kultur jaringan tanaman adalah suatu metode perbanyakan vegetatif yang dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman (protoplas, sel, jaringan, organ) dan menumbuhkannya dalam wadah yang kondisinya terkontrol agar bagian tanaman tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman lengkap (Hartmann et al. 1990). Istilah kultur jaringan berlaku umum, walau yang dikulturkan sebenarnya adalah sel, protoplas, jaringan, atau organ. Kultur jaringan tanaman telah berkembang dari percobaan untuk pembuktian teori totipotensi menjadi metode perbanyakan tanaman yang mempunyai banyak keunggulan. Keuntungan perbanyakan tanaman menggunakan teknik kultur jaringan antara lain dapat dilakukan kapan saja, bahan perbanyakan tidak harus banyak sehingga tidak merusak tanaman induk, kecepatan perbanyakan tinggi, bibit yang dihasilkan seragam dan bebas patogen (cendawan, bakteri, bisa juga virus), dan dapat memperbanyak tanaman yang perbanyakannya secara alami sulit contohnya anggrek. Penerapan teknik kultur jaringan tanaman telah berkembang lebih luas lagi yakni untuk perbanyakan massal tanaman yang unik, perakitan tanaman transgenik, sebagai sistem model dalam fisiologi sel tanaman, penyelamatan tanaman langka, dan rekayasa metabolisme senyawa kimia tertentu (Loyola-Vargas dan Vázquez-Flota 2006). Dewasa ini kultur jaringan tanaman sudah menjadi salah satu bidang ilmu dalam bioteknologi tanaman, bersama dua bidang ilmu lain yaitu rekayasa genetika dan marka (penanda) molekuler tanaman (Aladele et al. 2012). Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan tanaman, antara lain komposisi nutrisi dalam media, ZPT, eksplan, dan kondisi lingkungan. Media kultur jaringan mengandung beberapa komponen, antara lain: Unsur hara makro dan mikro dalam bentuk garam. meliputi unsur N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Cu, Zn, Co, B, dan Mo; sumber karbon dan sumber energi terutama sukrosa dan atau glukosa; mio inositol dan vitamin terutama tiamina, asam nikotinat dan piridoksina; asam-asam amino sebagai sumber N-organik, dan bahan pemadat jika diperlukan. Sekarang telah dikembangkan banyak macam media dasar kultur jaringan yang dirancang untuk komoditas tertentu atau tujuan tertentu (Saad dan Elshahed 2012, Tabel 3).
8 Tabel 3 Komposisi berbagai media dasar kultur jaringan Komposisi media (ppm) Unsur makro Ca3(PO4)2 NH4NO3 KNO3 CaCl2.2H2O MgSO4.7H2O KH2PO4 (NH4)2SO4 NaH2PO4.H2O CaNO3.4H2O Na2SO4 KCl K2SO4 Unsur mikro KI H3BO3 MnSO4.4H2O MnSO4.H2O ZnSO4.7H2O Na2MoO4.2H2O CuSO4.5H2O CoCl2.6H2O Co(NO3)2.6H2O Na2EDTA FeSO4.7H2O MnCl2 Fe(C4H4O6)3.2H2O Vitamin dan suplemen Inositol Glisina Tiamina HCl Piridoksina HCl Asam nikotinat Ca-pantotenat Sisteina HCl Riboflavin Biotin Asam folat
MS
B5
W
LM
VW
Km
M
NN
1650 1900 440 370 170 -
2500 150 250 134 150 -
80 720 16.5 300 200 65 -
400 96 370 170 556 990
200 525 250 250 500 -
180 250 150 100 200 -
180 250 150 100 200 -
720 950 166 185 68 -
0.83 6.2 22.3 8.6 0.25 25 25 37.3 27.8 -
0.75 3 10 2 0.25 25 25 37.3 27.8 -
0.75 1.5 7 2.6 -
6.2 29.43 8.6 0.25 0.25 37.3 27.8 -
0.75 28
80 6.2 75 0.25 25 25 74.6 25 3.9 -
3 0.6 5 5 5 37.3 27.8 0.4 -
10 25 10 0.25 25 37.3 27.8 -
100 2 0.1 0.5 0.5 -
100 2 10 -
3 0.1 0.1 0.5 1 1 -
100 2 1 0.5 0.5 -
-
0.3 0.3 0.3 -
0.3 0.3 1.25 5 5 0.3
100 2 0.5 0.5 5 5 0.5
Sumber: Saad dan Elshahed. (2012). Media: MS Murashige and Skoog; B5: Gamborg ; W: White; LM: Lloyd and McCown; VW: Vacin and Went; Km:Kudson modified; M: Mitra; NN: Nitsch and Nitsch.
9 Hormon tanaman adalah sekelompok senyawa organik alami yang mempengaruhi proses-proses fisiologi tanaman dalam konsentrasi rendah (Arteca 1996; Davies 2004), sedangkan zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa kimia sintetis yang mempunyai karakteristik yang sama dengan hormon tanaman atau senyawa kimia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Ada 5 kelompok ZPT dan hormon yang telah dikenal dalam mempengaruhi dan mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat dan etilen. Perkembangan terbaru telah memasukkan brassinosteroid, asam salisilat, dan jasmonat ke dalam kelompok hormon tanaman (Davies 2004). ZPT kelompok auksin berperan merangsang pemanjangan sel, terutama di daerah meristem, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif. Senyawasenyawa yang termasuk dalam kelompok auksin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan antara lain α-naphtalenacetic acid (NAA), indole-3-acetic acid (IAA), 2,4-diclorophenoxyacetid acid (2,4-D), dan 4-amino-3,4,5, trichloropicolinic acid (pikloram). Senyawa lain yang termasuk auksin adalah 2,4,5triclorophenoxyacetid acid (2,4,5-T), indole-3-butyric acid (IBA) dan ρchloropenoxyacetid acid (4-CPA) (Arteca 1996). Sitokinin merupakan ZPT yang berperan meningkatkan pembelahan sel serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di dalam kultur jaringan, sitokinin berperan dalam proliferasi dan morfogenesis pucuk. Senyawa kelompok sitokinin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, benziladenin atau benzilaminopurin (BA/BAP), zeatin dan 2-isopenteniladenina (2-iP). Selain itu air kelapa juga banyak dipakai sebagai sumber sitokinin alamiah dalam kultur jaringan. Kombinasi auksin dan sitokinin dalam media akan memberikan pengaruh terhadap morfogenesis eksplan dalam kultur. Rasio auksin terhadap sitokinin yang tinggi umumnya menginduksi akar, embriogenesis dan pembentukan kalus, sementara rasio auksin yang rendah umumnya menginduksi proliferasi tunas adventif dan tunas aksilar (Van Staden et al. 2008). Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur jaringan antara lain genotipe, jenis eksplan, dan kondisi lingkungan kultur yang meliputi suhu, kelembaban, cahaya, keasaman media (pH), dan kondisi aerasi kultur.
Embriogenesis Somatik Embriogenesis somatik merupakan suatu proses berkembangnya sel somatik membentuk individu baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Tahap-tahap perkembangan embrio somatik tersebut mirip dengan embrio zigotik hasil fusi gamet, pada kelas tanaman dikotil melalui tahap globular, torpedo, hati dan tahap kotiledon dan akhirnya berkecambah membentuk individu baru. Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu embriogenesis somatik langsung dan embriogenesis somatik tidak langsung. Embriogenesis somatik langsung terjadi jika embrio terbentuk langsung pada eksplan yang dikulturkan sedangkan embriogenesis somatik secara tidak langsung adalah jika pembentukan embrio somatik didahului oleh fase kalus (Purnamaningsih 2002). Dari kedua jalur ini, embriogenesis somatik tidak langsung lebih sering diterapkan (Rose et al. 2010).
10 Proses pembentukan embrio somatik dari sel non embriogenik dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap induksi dan tahap ekspresi. Selama tahap induksi, sel-sel yang telah terdiferensiasi mengalami perubahan arah pertumbuhan dan perkembangan sehingga mendapatkan kemampuan embriogenik dan memperbanyak diri sebagai sel embriogenik. Selanjutnya pada tahap ekspresi selsel embriogenik menampilkan kemampuan embriogeniknya membentuk embrio somatik (Namasivayam 2007). Tahap induksi pada umumnya memerlukan auksin, yang paling banyak digunakan adalah 2,4-D. Keberadaan cekaman seperti cekaman pelukaan, cekaman ZPT, kelaparan nitrogen dan karbohidrat, dan cekaman suhu juga merupakan faktor kunci dalam menginduksi embrio somatik. Hormon/ZPT dan cekaman bersama-sama menginduksi dedifferensiasi sel dan menginisiasi embriogenesis pada genotipe yang responsif (Gambar 1, Rose et al. 2010). Perkembangan embrio somatik umumnya memerlukan penghilangan auksin berangsur-angsur atau penurunan konsentrasinya Eksplan + cekaman + ZPT Redeterminasi arah pertumbuhan/perkembangan Program perkembangan embrionik Gambar 1 Konsep hubungan komponen utama pada induksi embriogenesis somatik Faktor-faktor yang mempengaruhi embriogenesis somatik antara lain eksplan, genotipe, zat pengatur tumbuh (ZPT), sumber nitrogen, polyamine, kandungan oksigen terlarut, stimulasi elektrik, dan subkultur selektif (Bhojwani dan Razdan 1996). Faktor lain, seperti kandungan kalsium tinggi, antibiotik cefotaxim, inhibitor etilen, dicamba dan sebagainya telah dilaporkan dapat menginduksi embriogenesis somatik pada jenis tanaman tertentu. Embrio zigotik muda merupakan eksplan terbaik untuk jenis tanaman yang termasuk kategori rekalsitran secara in vitro seperti serealia, biji-bijian legum dan tanaman hutan berkayu. Sejalan dengan itu, Neumann et al. (2009) menyatakan urutan eksplan dalam hal kemudahan induksi embrio somatik adalah embrio zigotik, hipokotil, tangkai daun, helaian daun, dan akar. Terdapat perbedaan respon terhadap induksi embriogenesis somatik antar genotipe (varietas, kultivar atau klon) dalam satu spesies yang sama, dan karakter ini diwariskan. ZPT yang paling umum digunakan dalam induksi embriogenesis somatik pada kebanyakan tanaman adalah 2,4-D. Kandungan nitrogen yang cukup dalam bentuk NH4+ dalam media lebih bersifat induktif, sementara media yang hanya mengandung NO3 kurang atau tidak bersifat induktif. Keberadaan polyamine diperlukan dalam embriogenesis somatik maupun embriogenesis zigotik. Subkultur selektif yaitu hanya kalus yang bersifat embriogenik saja yang dipilih untuk dilanjutkan pada tiap tahap subkultur dapat meningkatkan keberhasilan regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik (Bhojwani dan Razdan 1996). Embriogenesis somatik tanaman berkayu telah dilaporkan berhasil pada beberapa spesies. Beberapa ringkasan protokol propagasi in vitro melalui embriogenesis somatik tanaman berkayu adalah sebagai berikut:
11 1. Kakao (Maximova et al. 2005) Protokol regenerasi kakao dengan jalur embriogenesis somatik menggunakan eksplan pangkal petal dan staminodium. Eksplan ditanam pada media PCG (primary callus growth, Tabel 4) selama 2 minggu dalam keadaan gelap. Selanjutnya dipindahkan ke media SCG (secondary callus growth, Tabel 4) selama 2 minggu. Setelah dua minggu dalam media SCG kalus mulai berkembang, selanjutnya eksplan dipindahkan ke media ED (embryo development, Tabel 4). Dua minggu setelah ditanam dalam media ED eksplan akan membengkak dan akan dijumpai dua tipe kalus. Tipe kalus pertama terdiri atas sel-sel yang memanjang dan berwarna putih. Kalus tipe pertama ini hampir tidak pernah menghasilkan embrio somatik. Tipe kalus kedua berstruktur remah, terdiri atas sel-sel berbentuk bulat, berwarna coklat muda sampai coklat tua. Kalus tipe kedua ini sering menghasilkan embrio somatik. Subkultur eksplan ke media ED yang baru dilakukan tiap 2 minggu. Embrio somatik banyak dihasilkan selama kultur pada media ED. Embrio somatik yang didapatkan tetap disubkultur pada media ED sampai tahap kotiledon dewasa berukuran ± 2 cm. Tabel 4 Daftar komposisi media pada kultur kakao Tahap Kultur PCG SCG ED PEC
RD
Komposisi Media DKW + 250 ppm glutamina + 2 ppm 2,4-D + 0.005 ppm TDZ + 20 g/l glukosa + 2 g/l fitagel WPM + 2 ppm 2,4-D + 0.05 ppm BA + 20 g/l glukosa + 2.2 g/l fitagel DKW + 1 g/l glukosa + 30 g/l sukrosa + 2 g/l fitagel DKW + 20 g/l glukosa + 10 g/l sukrosa +0.435 ppm arginin + 0.328 ppm leusina + 0.456 ppm lisina + 0.511 ppm triptofan + 300 ppm KNO3+ 1.75 g/l fitagel ½ DKW tanpa vitamin + 300 ppm KNO3 +10 g/l glukosa + 5 g/l sukrosa+ 1.75 g/l fitagel
Keterangan : PCG: primary callus growth; SCG: secondary callus growth; ED: embryo development; PEC: primary embryo conversion; RD: root development.
Embrio somatik dewasa disubkultur ke media PEC (primary embryo conversion, Tabel 4) dengan posisi tegak. Embrio somatik disubkultur ke media PEC yang baru tiap 30 hari sampai berkecambah mengeluarkan 1 atau 2 daun. Kecambah embrio somatik normal berukuran minimal 1 cm yang telah mempunyai akar utama dipindahkan ke media RD (root development, Tabel 4). Kecambah disubkultur ke media RD yang baru tiap 2 bulan hingga mempunyai akar sempurna dan 4 sampai 5 daun untuk aklimatisasi. 2. Nangka (Roy dan Debnath 2005) Perbanyakan nangka dengan embriogenesis somatik menggunakan eksplan epikotil dan kotiledon dari kecambah in vitro. Biji segar dari buah masak disterilkan dengan alkohol dan klorok, kemudian dibuang bagian kulit biji (exine) dan ditanam dalam media MS tanpa ZPT dalam kondisi gelap selama 2 mingu. Setelah epikotil berukuran 4 sampai 5 cm, epikotil dan kotiledon dipotong-potong
12 dengan ukuran 0.5 sampai 0.7 cm untuk ditanam pada media induksi kalus (callus induction medium - CIM, Tabel 5). Kultur dipelihara dalam kondisi terang dengan suhu 24 oC selama 9 minggu dengan subkultur tiap 3 minggu. Dalam kultur ini akan dihasilkan kalus remah dan embrio somatik sampai tahap globular. Embrio globular selanjutnya disubkultur ke media perkembangan embrio (embryo development medium – EDM, Tabel 5) dan disubkultur pada media yang sama setiap 3 minggu hingga membentuk embrio somatik tahap kotiledon matang. Embrio tahap kotiledon selanjutnya disubkultur ke media perkecambahan embrio (embryo germination medium – EGM, Tabel 5). Tabel 5 Daftar komposisi media pada kultur nangka Tahapan CIM EDM EGM
Komposisi media MS + 2.5 ppm 2,4-D + 30 g/l sukrosa + 30 g/l sukrosa + 0.7% agar bakto MS + 30 ppm glutamina + 3 ppm BA + 1 ppm IBA + 30 g/l sukrosa + 0.7% agar bakto MS + 10% air kelapa + 1 ppm GA3 + 30 g/l sukrosa + 0.7% agar bakto
Keterangan : CIM: callus induction medium; EDM: embryo development medium; EGM: embryo germination medium.
3. Kopi (Etienne 2005) Perbanyakan tanaman kopi dengan jalur embriogenesis somatik in vitro menggunakan eksplan daun muda. Daun muda disterilkan dengan kalsium hipoklorit dan dibilas dengan air steril. Selanjutnya daun ddipotong-potong berukuran 1 cm2 dan ditanam pada media induksi kalus (C, Tabel 6) dengan posisi terbalik (daun bagian atas menyentuh media). Kultur dipelihara dalam kondisi gelap dengan suhu 26 oC selama satu bulan hingga muncul kalus primer berwarna putih pada bekas luka dan tulang daun utama. Selanjutnya eksplan disubkultur ke media produksi kalus embriogenik (ECP, Tabel 6). Setelah 4 minggu dalam media ECP, kalus dan eksplan berangsur mencoklat. Setelah 13-16 minggu dalam media yang sama, terbentuk kalus kuning remah embriogenik yang berkembang selama 3 sampai 4 minggu. Kalus embriogenik dapat diperbanyak dengan disubkultur ke media cair untuk proliferasi kalus (CP, Tabel 6) dalam bioreaktor untuk produksi massal bibit kopi.
13 Tabel 6 Daftar komposisi media pada kultur kopi (satuan dalam ppm) Komponen Media dasar Tiamina Asam nikotinat Piridoksina Mioinositol Glisina Sisteina Adenin sulfat Kasein hidrolisat Ekstrak malt 2,4-D IBA 2IP BA Kinetin Sukrosa Fitagel pH
C
ECP
CP
M
½ MS 10 1 1 100 1 100 400 0.5 1 2 30000 2500 5.6
½ MS 20 200 20 40 60 200 800 1 4 30000 2500 5.6
½ MS 5 0.5 0.5 50 10
MS 10 100 0.3 40000 5.6
100 200 1 1 15000 5.6
Keterangan : C: callus induction medium; ECP: embriogenic callus production medium; CP: callus proliferation medium; M: embryo maturation medium.
Kalus embriogenik tersebut akan berkembang menjadi embrio somatik jika disubkultur ke media pendewasaan (M, Tabel 6). Setelah embrio mencapai tahap kotiledonari matang yang ditandai dengan terbukanya kotiledon dan adanya aksis embrio yang berwarna hijau, embrio disemai pada campuran tanah, pasir dan pulp kopi yang telah disterilkan hingga berkembang menjadi planlet. 4. Jambu monyet (Nadgauda dan Gogate 2005) Propagasi jambu monyet in vitro dengan jalur embriogenesis somatik dapat dilakukan dengan eksplan embrio zigotik muda. Eksplan ditanam pada media induksi (M1, Tabel 7). Embrio somatik muncul langsung dari ujung radikula eksplan pada 3 sampai 5 minggu setelah tanam (MST). Embrio somatik berkembang normal pada media yang sama sampai tahap kotiledonari. Pematangan embrio somatik dilakukan dengan subkultur embrio somatik tahap kotiledonari tersebut ke media pematangan (M2, Tabel 7) dan diinkubasi selama 3 sampai 4 minggu. Selanjutnya embrio somatik disubkultur ke media perkecambahan (M3, Tabel 7) hingga berkecambah. Efisiensi regenerasi jambu monyet dengan protokol ini masih rendah.
14 Tabel 7 Daftar komposisi media pada kultur jambu monyet Bahan Media dasar 2,4-D (ppm) GA3 (ppm) BA (ppm) ABA (ppm) Sukrosa (%) Maltosa (%) Agar (%) Gelrit (%) Arang Aktif(%)
M1
M2
M3
MS 1.1 1.04 1.13 3 6 0.5
MS 5.28 3 0.2 -
MS 3 0.2 0.5
Keterangan : M1: media induksi embrio somatik; M2: media pematangan embrio somatik; M3: media perkecambahan embrio somatik.
5. Mangga (Ara et al. 2005) Eksplan yang digunakan untuk perbanyakan mangga secara in vitro melalui jalur embriogenesis somatik adalah nuselus. Buah mangga muda diambil pada 2 sampai 3 minggu setelah antesis. Setelah disterilkan, buah muda dibelah secara aseptik kemudian ambil bagian ovul, embrio zigotik dibuang, belahan ovul ditanam sedemikian sehingga jaringan nuselus menyentuh media induksi (A, Tabel 8) atau diambil jaringan nuselus saja dari belahan ovul untuk dikulturkan pada media induksi. Jika digunakan belahan ovul maka pada minggu pertama dilakukan subkultur ke media baru setiap satu atau dua hari dan minggu selanjutnya subkultur dilakukan setiap 7 sampai 10 hari. Jika digunakan jaringan nuselus maka subkultur ke media baru dilakukan setiap 7 sampai 10 hari. Kalus mulai muncul setelah 3 sampai 5 minggu eksplan dikulturkan pada media induksi. Kalus yang muncul pada mulanya basah berwarna coklat tua atau hitam. Kalus proembriogenik berwarna kuning pucat muncul hanya pada kalus basah yang berstruktur remah. Proliferasi kalus proembriogenik mangga dilakukan dengan memindahkan eksplan yang membentuk kalus proembriogenik ke media proliferasi kalus proembriogenik (B, Tabel 8) 8 minggu setelah dikulturkan pada media induksi. Kalus dipelihara dalam kondisi gelap pada suhu 25 oC selama 3 minggu. Untuk perkembangan embrio somatik, kalus proembriogenik tersebut dipindahkan ke media perkembangan embrio somatik (C, Tabel 8) dalam kondisi gelap dengan suhu 25 oC selama 4 minggu. Kalus proembriogenik akan berkembang menjadi embrio somatik sampai tahap globular atau tahap bentuk hati. Selanjutnya embrio somatik tahap globular sampai tahap bentuk hati tersebut dipindahkan ke media pematangan (D, Tabel 8) dalam kondisi gelap dengan suhu 25 oC. Setelah 3 minggu, yaitu setelah kotiledon embrio somatik menjadi berwarna putih kusam, kultur dipindahkan ke kondisi terang 16 jam dan gelap 8 jam per hari.