TINJAUAN PUSTAKA Biologi Macaca fascicularis Macaca fascicularis disebut juga Long-tailed macaque atau dalam Bahasa Indonesia monyet ekor panjang (MEP).
Sinonim lain dari Macaca
fascicularis adalah monyet cynomolgus, Macaca irus, monyet pemakan kepiting (crab eating monkey), dan monyet jawa (Soehartono dan Mardiastuti 2002). Hewan ini memiliki warna rambut yang bervariasi, mulai dari abu-abu sampai coklat kemerahan, dengan warna pada tubuh bagian bawah lebih muda, dan rambut di daerah mahkota tumbuh ke belakang seperti krista atau jambul. Pada individu jantan terdapat jambang dan kumis, sedangkan betinanya berjenggot. Bayi yang baru lahir memiliki rambut hitam yang kemudian berubah menjadi keabu-abuan ketika dewasa. Panjang tubuh betina dewasa mencapai 385-503 mm, sedangkan pada jantan dewasanya dapat mencapai 412-648 mm. Panjang ekor betina dewasa bervariasi antara 400-550 mm, sementara pada jantan dewasa antara 435-655 mm (Rowe 1996). Monyet ekor panjang memiliki bobot tubuh pada individu betina dewasa berkisar 2,5-7 kg, sedang jantan dewasa antara 4,7-8,3 kg, dengan berat otak hewan dewasanya kurang-lebih 69,2 g. Periode bayi berlangsung antara umur 612 bulan, masa sapih antara umur 12-24 bulan, dan masa puber berlangsung pada umur 42-54 bulan. Dewasa kelamin untuk betina dicapai pada umur 51,6 bulan, sedangkan pada jantan umur 50,4 bulan. Hewan ini memiliki panjang siklus estrus 28 hari, dengan lama kebunt ingan antara 160-170 hari. Interval dari bunting ke-bunting berikutnya berkisar antara 12-24 bulan, tetapi rata-rata berlangsung selama 13 bulan (Rowe 1996). Sejak tahun 1977 MEP masuk dalam Appendix II pada Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yang berarti bahwa spesies ini dapat dimanfaatkan dan diperdagangkan sejauh merupakan hasil penangkaran, karena populasinya masih cukup banyak (Soehartono dan Mardiastuti 2002).
7
Taksonomi MEP menurut Whitney et al. (1995) adalah sebagai berikut: Filum
:
Chordata
Kelas
:
Mammalia
Ordo
:
Primata
Sub ordo
:
Anthropoidea
Infra ordo
:
Catarrhini
Super famili
:
Cercopithecoidea
Famili
:
Cercopithecidae
Subfamili
:
Cercopithecinae
Genus
:
Macaca
Species
Macaca fascic ularis
Satwa primata merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, khususnya sebagai hewan model dalam penelitian biomedis, karena secara anatomis dan fisiologis memiliki banyak kemiripan dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya. Nilai ilmiah satwa primata untuk penelitian biomedis diperoleh dari kemiripan anatomis dan fisiologisnya dengan manusia karena adanya kedekatan filogenetik (Vandeberg 1995). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2002), sampai saat ini spesies primata non manusia yang paling banyak digunakan untuk hewan riset adalah monyet Rhesus (Macaca mullata), MEP (Macaca fascicularis),
babun
savana
(Papio cynocephalus), dan monyet vervet
(Cercopithecus aethiops). Anatomi dan fungsi otak Sistem syaraf adalah sistem dalam tubuh yang memiliki kemampuan untuk menerima rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar tubuh, mengintregasikan, kemudian menyeleksi serta mengkoordinir rangsangan tersebut, dan meneruskannya ke target organ untuk ditanggapi. Sistem syaraf sendiri dikelompokkan menjadi sistem syaraf pusat yang terdiri dari otak dan medula spinalis, serta sistem syaraf perifer yang terdiri dari serabut syaraf dan ganglion. Otak merupakan komponen terbesar dalam sistem syaraf. Dalam menjalankan fungsinya, sistem syaraf memiliki sel-sel syaraf yang disebut
8
neuron, yang merupakan
unit anatomis dan fungsional terkecil, dengan
didukung oleh neuroglia sebagai sel penunjang. Secara anatomis, neuron terdiri atas satu badan sel, satu akson, serta satu atau beberapa dendrit (Carola et al. 1990; Banks 1993). Dendrit merupakan prosesus sitoplasma yang berfungsi menerima impuls masuk ke badan sel, sedangkan akson berfungsi untuk meneruskan impuls menuju organ target atau neuron lain (Shepherd 1983). Akson dan dendrit saling bersinapsis di daerah antar sel yang disebut dengan neurofil. Badan sel sendiri berfungsi sebagai tempat untuk mengolah, menyeleksi, dan mengintegrasikan impuls, tersusun atas inti sel beserta sitoplasma di sekitar inti. Kumpulan badan-badan sel tersebut yang terdapat pada sistem syaraf pusat disebut dengan nukleus, sedangkan pada sistem syaraf perifer disebut ganglion (Carola et al. 1990). Neuron memiliki tiga zona fungsional, yaitu zona dendritik, aksonik, dan telodendritik. Zona dendritik adalah zona yang peka terhadap stimulus, baik yang bersifat eksitatorik maupun inhibitorik, terdiri dari dendrit, badan sel, dan segmen awal akson, sedang zona aksonik terdiri dari akson yang dimulai dari segmen awal sampai di dekat terminal akson, berfungsi untuk meneruskan atau menghambat impuls. Zona telondendritik merupakan daerah terminal akson yang sudah mengalami modifikasi untuk mentransfer informasi ke elemen selanjutnya. Terminal akson berhubungan dengan neuron lain atau sel efektor di daerah transmisi elektrokimiawi yang disebut dengan sinaps (Banks 1993). Menurut fungsinya, neuron dibagi menjadi dua, yaitu neuron transmisi dan neuron neurosekretoris. neuron,
Neuron transmisi, yang merupakan mayoritas
menyalurkan sekretanya berupa neurotransmiter melalui akson dan
melepaskannya pada daerah sinaps, sedangkan neuron neurosekretoris mensintesa substansi neurosekretorik yang dilepas ke dalam darah
(Banks
1993). Neuron juga dikelompokkan berdasarkan arah penyaluran impulsnya menjadi neuron sensoris, motoris, dan interneuron.
Neuron sensoris
menyalurkan impuls dari reseptor menuju ke sistem syaraf pusat, sedangkan neuron motoris menyalurkan impuls keluar dari sistem syaraf pusat menunju ke efektor yaitu kelenjar atau otot yang menjadi tempat
terjadinya respon.
9
Interneuron yang sering disebut juga dengan istilah neuron asosiasi, neuron konektor atau neuron internusial, mempunyai fungsi untuk membawa impuls dari neuron sensoris ke neuron motoris (Carola et al. 1990). Ujung dendrit pada neuron sensoris sangat peka terhadap stimulasi baik dari eksternal maupun internal, karena memiliki reseptor, atau berhubungan dengan reseptor sensoris (Banks 1993). Berdasarkan jumlah prosesus sitoplasmanya, neuron pada sistem syaraf dapat dibagi menjadi neuron multipolar, bipolar, unipolar, unipolar semu dan neuron an-aksonik. Sebagian besar neuron di otak dan medula spinalis adalah neuron multipolar, yakni neuron yang memiliki beberapa dendrit. Neuron bipolar memiliki satu dendrit yang letaknya berlawanan arah dengan akson. Neuron berbentuk bipolar ini lebih banyak dijumpai pada masa perkembangan karena merupakan bentuk perantara sebelum menjadi neuron dewasa. Seperti halnya neuron bipolar, neuron unipolar yang hanya memiliki sebuah akson hanya ditemukan selama periode perkembangan saja. Neuron unipolar semu adalah neuron yang memiliki sebuah akson serta sebuah dendrit dan kedua prosesus sitoplasma tersebut seperti bergabung namun sebenarnya saling terpisah. Neuron unipolar semu sebagian besar merupakan penyusun neuron sensoris pada sistem syaraf perifer. Kelompok terakhir adalah neuron an-aksonik, yaitu neuron yang tidak memiliki akson yang merupakan kelompok terkecil pada sistem syaraf, seperti neuron amakrin pada retina mata (Carola et al. 1990; Banks 1993). Pada otak terdapat beberapa macam neuroglia sebagai sel penunjang agar neuron dapat berfungsi dengan baik, seperti astrosit berprotoplasma, astrosit fibrosa, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependima.
Astrosit
berprotoplasma berbentuk seperti bintang, memiliki prosesus sitoplasma yang menjulur ke kapiler dan menjadi salah satu komponen dalam blood brain barrier. Astrosit fibrosa berbentuk mirip laba-laba, prosesus sitoplasmanya panjang tetapi jumlahnya tidak sebanyak as trosit berprotoplasma. Ujung-ujung prosesus sitoplasma tersebut menempel pada ruang perivaskuler, dan apabila terjadi luka atau gangguan pada otak, astrosit berprotoplasma akan mengalami proliferasi membentuk jaringan parut yang sering disebut dengan istilah ’gliosis’.
10
Oligodendrosit berukuran lebih kecil dengan prosesus sitoplasma yang lebih sedikit dibanding astrosit, memiliki fungsi untuk menghasilkan mielin.
Mikroglia
dari segi ukuran juga kecil, berbentuk oval dengan sedikit prosesus sitoplasma, dapat bergerak dan merupakan komponen pertahanan di otak karena kemampuannya memfagositosis zat asing. Sel ependima memiliki bentuk pipih sampai kuboid dan merupakan sel pelapis permukaan otak yang berbatasan dengan ventrikel (Jenkins 1978). Otak sebagai komponen terbesar sistem syaraf dilindungi oleh tulang tengkorak serta tiga lapisan selaput pembungkus yang kuat. Dari luar ke dalam, lapisan pembungkus otak meliputi duramater, arakhnoidea dan piamater. Duramater tersusun atas jaringan ikat kolagen padat, sedang arahnoidea terdiri atas jaringan ikat kolagen yang tersusun membentuk rongga-rongga seperti jala dan terisi cairan serebrospinal, sehingga otak selalu diliputi oleh cairan tersebut. Selain itu, arahnoidea juga merupakan area perlintasan pembuluh darah di otak. Piamater letaknya paling dalam, merupakan lapisan jaringan ikat longgar yang tipis dan langsung berbatasan dengan otak.
Arakhnoidea kaya akan kapiler
yang bertugas memberi suplai darah pada otak (Banks 1993). Sebagai komponen terbesar sistem syaraf, otak dibagi menjadi forebrain (otak depan), midbrain (otak tengah), dan hindbrain (otak belakang) (Gambar 1). Otak depan terdiri dari telensefalon dan diensefalon, otak tengah dibentuk oleh mesensefalon, dan otak belakang terdiri atas metensefalon dan mielensefalon (Carola et al. 1990). Telensefalon merupakan bagian otak depan yang memiliki sepasang hemisferium
serebri,
berfungsi
untuk
menerima
impuls
sensorik
dan
mengkoordinasikan aktivitas motorik, kognisi, kerja syaraf otonom, sistem endokrin, mengendalikan emosi, dan menyimpan memori. Diensefalon terdiri dari talamus dan hipotalamus. Talamus berperan menyalurkan hampir semua informasi sensorik ke korteks serebri dan mengatur tingkat kesadaran dan beberapa aspek emosional berdasarkan pengalaman sensoris, sedangkan
11
Gambar 1. Potongan di bidang median otak manusia (Sumber: Porter 2006).
hipotalamus berfungsi untuk mengatur aktivitas syaraf otonom dan sekresi hormon oleh kelenjar pituitari (Carola et al. 1990). Mesensefalon terdiri atas korpora kuadrigemina yang penting sebagai tempat melintasnya jalur pendengaran dan penglihatan.
Lebih dari itu,
mesensefalon juga berperan dalam mengendalikan gerakan mata dan otot skelet. Di kaudal mesensefalon dijumpai metensefalon yang terbentuk dari pons di bagian ventral dan serebelum di bagian dorsal. Serebelum berfungsi untuk menerima input somatosensorik dari medula spinalis, menerima informasi motoris dari korteks serebri dan informasi keseimbangan dari organ vestibular di telinga bagian dalam, serta menyatukan informasi dan mengkoordinasikan rencana, waktu, dan pola kontraksi otot selama individu bergerak.
Pons
bersama dengan medula oblongata (mielensefalon) berfungsi mengontrol tekanan darah dan respirasi, serta berperan dalam pengaturan proses muntah, batuk, dan menelan (Carola et al. 1990).
12
Perkembangan otak Pada embrio mamalia yang sedang berkembang, lapisan ektodermal di bb tahap selanjutnya, sel-sel di zona ventrikularis ini berkembang menjadi dua macam sel, yaitu sel prekursor neuron dan sel prekursor glia, sehingga zona ventrikularis ini sering disebut juga zona germinalis. Sel prekursor neuron (neuroblas) pada proses neurogenesis kemudian bermigrasi menuju tempat
krista neural
Gambar 2. Perkembangan sistem syaraf manusia pada bulan pertama kebuntingan (Digambar ulang dari: SFN 2003).
perkembangan akhir untuk berdiferensiasi menjadi sel yang memiliki struktur, fungsi, dan penjuluran spesifik, serta
mengalami mielinasi (Shepherd 1983;
Insel 2000; Morilak et al. 2000). Menurut Velle dan La Velle 1970 (disitasi dari Lorke et al. 2003), dalam sitodiferensiasi secara umum terjadi tiga tahap perkembangan morfologi neuron, yaitu tahap perkembangan awal, neuron bersifat apolar, berbentuk bulat tanpa prosesus sitoplasma.
Pada tahap
perkembangan menengah, neuron berbentuk bipolar, memiliki satu atau dua prosesus sitoplasma yang masih pendek.
Tahap perkembangan akhir ditandai
dengan bentuk neuron yang telah mencapai bentuk definitifnya, yaitu bentuk neuron multipolar yang memiliki beberapa dendrit, dan bentuk neuron bipolar yang hanya memiliki sebuah dendrit, dengan prosesus sitoplasma yang sudah mencapai tempat inervasinya. Daerah di antara buluh neural dengan lapisan epidermis selanjutnya berkembang menjadi krista neural.
Neuroblas di krista neural kemudian
bermigrasi menuju jaringan perifer menjadi ganglia radiks dorsal, ganglia dalam
13
sistem syaraf otonom, neuron bipolar pada alat pendengaran, dan sel kromafin di medula kelenjar adrenal. Krista neural tersebut, bersama dengan buluh neural selanjutnya membentuk selaput arakhnoidea dan piamater yang membungkus otak, serta neuroglia yang lain seperti mikroglia dan sel Schwann (Shepherd 1983).
Gambar 3 menunjukkan gambaran skematis perkembangan sel
prekursor sistem syaraf, mulai dari buluh neural, pembentukan neuron, neuroglia, serta jaringan pembungkus otak dan medula spinalis. Otak yang berasal dari bagian rostral buluh neural kemudian berdilatasi, dari anterior ke posterior berturut-turut dinamai prosensefalon atau otak bagian depan, mesensefalon atau otak bagian tengah, dan rombensefalon atau otak bagian belakang.
Prosensefalon berdiferensiasi menjadi telensefalon dan
diensefalon. Mesensefalon tidak berdilatasi tetapi mengalami pelangsingan di bagian belakangnya, sedang rombensefalon tumbuh menjadi dua bagian yaitu metensefalon di bagian depan dan mielensefalon di bagian belakang (Jenkins 1978; Carola et al. 1990; UNAM 2003).
Secara umum buluh neural terdiri atas
lamina alaris yang terletak di bagian dorsal dan lamina basalis yang terletak di bagian ventral rombensefalon. Selama masa perkembangan kanalis neuralis, bagian dorsal rombensefalon mengalami perluasan ke samping membentuk ventrikel IV, sehingga lamina alaris menjadi terletak di sebelah dorsolateral lamina basalis seperti (Gambar 4). Dalam perkembangan selanjutnya, lamina alaris akan menjadi neuron yang bersifat sensorik, sedang lamina basalis menjadi neuron yang bersifat motorik. Kedua lamina tersebut dipisahkan oleh celah yang disebut sulkus limitan (Jenkins 1978). Untuk merunut asal-usul neuron dapat dilakukan dengan cara melabel DNA-nya menggunakan isotop H 3 thymidine. Dengan teknik ini dapat diketahui waktu terjadinya mitosis terakhir pada neuron tersebut. Teknik ini dinamakan teknik autoradiografi dengan menggunakan H3 thymidine. Secara ringkas teknik tersebut dilakukan dengan pemberian H3 thymidine pada berbagai variasi umur, mulai periode awal sampai akhir perkembangan, kemudian sayatan otak hewan
14
N
Gambar 3. Skema perkembangan neuron dan neuroglia di buluh neural dan krista neural (Sumber: Shepherd 1983).
15
yang bersangkutan diamati pada usia menjelang dewasa. Pada pengamatan tersebut akan teramati distribusi neuron yang terjadi pada umur ketika hewan diberi perlakuan H 3 thymidine, sekaligus waktu mitosis terakhir yang terjadi (Levitt dan Rakic 1982; Insel 2000; Morilak et al. 2000). Neuron-neuron yang berukuran besar umumnya diproduksi lebih awal dibanding neuron yang berukuran kecil, sehingga neuron motorik akan terbentuk mendahului neuron sensorik (Insel 2000). Proses pergerakan migrasi neuron di medula oblongata terjadi secara amuboid, yang dimungkinkan dengan adanya prosesus yang ujungnya memiliki growth cone (Shepherd 1983). Dalam bermigrasi, neuroblas akan menggantung pada sel glia radial agar sampai ke tempat akhir. Sel-sel glia radial biasanya hanya terdapat pada periode tertentu dalam masa perkembangan, yang berperan memandu neuron untuk bermigrasi menuju tempat akhir. Sebelum mulai bermigrasi, neuron di zona intermedia akan bergerak menyesuaikan orientasinya menuju ke arah tujuan migrasi (Shepherd 1983; Insel 2000; Morilak et al. 2000). Secara umum proses diferensiasi sel, yang diartikan sebagai keseluruhan proses pembentukan neuroblas sampai ke bentuk akhir neuron (Shepherd 1983), dapat berlangsung sebelum, pada saat, maupun sesudah sel bermigrasi (Morilak 2000). Setelah neuron mencapai tempat tujuan akhir, mereka akan mengalami proses diferensiasi untuk membentuk konektivitas. Diduga kuat, arah perkembangan akson yang dimulai dari ujung pertumbuhan akson (axonal growth cone) menuju ke sel target berlangsung karena adanya sekresi neuronal growth factors (NGF) oleh sel target yang akan diinervasinya (Shepherd 1983; Insel 2000; Morilak et al. 2000). Beberapa NGF yang sudah diketahui selama ini adalah brain-derived neurothrophic factors, neurotrophin-3, 4 dan 5. Substansi tersebut menyebar di daerah target kemudian diambil oleh terminal akson melalui reseptor yang ada pada bagian tersebut dan dibawa secara retrograde menuju ke badan sel, yang kemudian berperan dalam memacu proses pertumbuhan, diferensiasi, dan pertahanan akson.
Ujung-ujung akson
selanjutnya akan memanjang, kemudian serabut-serabut akson yang searah dan
16
X
A
B Gambar 4. Skema perkembangan otak. A. Sayatan memanjang bakal otak yang membentuk tiga vesikel: otak depan, otak tengah, dan otak belakang. Sayatan koronal AP ditunjukkan oleh garis X. B. Sayatan melintang (Sumber: Barleby.com 2000).
17
berdekatan saling bergabung membentuk untaian jalur akson.
Terbentuknya
untaian jalur akson itu sendiri terjadi karena akson mengeluarkan molekul protein adesi di permukaan serabut akson, sehingga memungkinkan permukaan serabut akson tersebut saling berikatan satu sama lain (Morilak et al. 2000). Setelah diferensiasi, proses akan berlanjut ke tahap akhir maturasi neuron, yang merupakan saat perkembangan lanjutan prosesus sitoplasma, yang ditandai dengan adanya konektivitas serabut yang sempurna dan membentuk sinaps.
Pada tipe neuron bermielin, maturasi neuron ditandai
dengan terbentuknya mielin (Shepherd 1983; Morilak et al. 2000). Neurotransmiter Komunikasi antar bagian otak, maupun otak dengan organ target umumnya terjadi melalui penghantaran stimuli melalui sinaps, baik secara elektrik maupun kimia. Penghantaran stimuli secara kimia dapat berlangsung karena adanya zat pembawa yang disebut neurotransmiter, yaitu molekul kecil yang dilepaskan oleh bagian pres inaptik neuron ke dalam celah sinaptik, sehingga menimbulkan perubahan potensial pada membran post-sinaptik neuron atau organ target. Neurotransmiter tersebut disintesa di badan sel, dibungkus dalam vesikel, untuk kemudian dibawa menuju daerah synaptic buttons di terminal akson yang berdekatan dengan daerah sinaps (Carola et al. 1990; Erlandsen 2002). Neurotransmiter adalah bahan kimia yang disintesa oleh sel syaraf dan disimpan di dalam kantong sekresi. Pada saat ion kalsium yang berasal dari celah sinaptik membanjiri kantong sekresi, menyebabkan bergeraknya kantong sekresi tersebut menuju ke membran presinaptik. sekresi dengan
Bergabungnya kantong
membran presinaptik menyebabkan terbukanya membran
presinaptik, sehingga neurotransmiter yang disimpan dalam kantung sekresi dilepaskan ke celah sinaptik menuju ke membran postsinaptik.
Adanya
neurotransmiter
respon
pada
membran
postsinaptik
menyebabkan
perangsangan ataupun penghambatan. Respon ini reseptor
yang
dipicu
oleh
neurotransmiter.
merupakan kemampuan Sebagai
contoh
adalah
neurotransmiter asetilkolin yang menyebabkan respon perangsangan pada motor-end
plate
otot
bergaris
melintang,
tetapi
menyebabkan
respon
penghambatan pada otot jantung (Carola et al. 1990).
18
NEUROTRANSMITER
asetilkolin
asam amino
monoamin
indoleamin
serotonin
neuropeptida
katekolamin
dopamin
noradrenalin
adrenalin
Gambar 5. Klasifikasi neurotransmiter (Sumber: Carola et al. 1990). Neurotransmiter pada garis besarnya digolongkan menjadi golongan asetilkolin, monoamin, asam amino, dan peptida (Gambar 5).
Golongan
monoamin dibagi menjadi kelompok katekolamin dan indoleamin. Kelompok katekolamin meliputi tiga macam neurotransmiter yaitu dopamin, noradrenalin, dan adrenalin, sedang kelompok indoleamin adalah serotonin. Neuron yang mensintesa katekolamin disebut neuron katekolaminergik (neuron KA) (Reiner 1994 ; Smeets dan Reiner 1994).
Katekolamin Katekolamin merupakan neurotransmiter yang tersusun atas sebuah cincin benzena dengan dua gugus hidroksil yang berdekatan dan sebuah rantai amin yang letaknya berlawanan.
Dua gugus hidroksil tersebut merupakan
bagian katekol pada katekolamin (Angevine dan Cotman 1981; Reiner 1994). Katekolamin disintesis dengan perubahan secara serial dari satu katekolamin ke katekolamin
lain (Gambar 6) dimulai
prekursor,
yang
dihydroxyphenylalanine
selanjutnya (L-DOPA)
dari diubah
dengan
asam amino tirosin sebagai menjadi penambahan
catecholamine sebuah
gugus
hidroksil pada cincin katekol oleh enzim TH (Reiner 1994; Erlandsen 2002).
19
Gambar 6. Sintesis berbagai jenis katekolamin yang ditemukan pada jaringan syaraf serta enzim yang terlibat dalam seri perubahannya (Sumber: Erlandsen 2002).
Enzim pertama pada sintesis katekolamin adalah TH, yang merubah tirosin menjadi L-DOPA. Melalui proses dekarboksilasi pada kelompok amin, L-DOPA kemudian diubah menjadi dopamin oleh enzim DOPA decarboxylase. Karena enzim DOPA decarboxylase juga bekerja pada substrat asam amino aromatik lain, maka enzim ini disebut juga AADC. Dopamin merupakan salah satu
produk pada sintesis katekolamin yang selain aktif secara biologis,
berperan
juga
sebagai
prekursor
untuk
sintesis
noradrenalin
dengan
menambahkan gugus hidroksil ke kelompok karbon yang berada di dekat cincin katekol oleh enzim DBH. Di tempat tertentu pada sistem syaraf pusat dan sistem syaraf perifer, noradrenalin diubah menjadi adrenalin dengan cara metilasi kelompok amin terakhir oleh enzim PNMT (Reiner 1994; Erlandsen 2002). Gambar 7 menunjukkan proses metabolisme KA oleh enzim catechol Omethyl transferase (COMT), yang mengubah katekolamin menjadi dua kelompok metoksiamin
yaitu
normetanephrine (NMN) dan metanephrine
(MN).
20
Katekolamin juga dimetabolisir oleh enzim monoamine oxidase (MAO), yang bekerja dengan menghilangkan gugus amin pada katekolamin dan metoksiamin, menjadi vanilmandelic acid (VMA) (Reiner 1994; Erlandsen 2002).
MN
Gambar 7. Metabolisme katekolamin oleh enzim catechol Omethyl transferase (COMT) dan monoamine oxidase (MAO). NMN = normetanephrine VMA = vanilmandelic acid MN = metanephrine (Sumber: Erlandsen 2002).
Identifikasi katekolamin Ada beberapa cara untuk mengidentifikasi katekolamin di jaringan, antara lain dengan mendeteksi katekolamin itu sendiri, enzim yang mensintesis maupun memetabolisir, ataupun pada kompleks uptake. Salah satu cara identifikasi yang baik adalah dengan teknik imunohistokimia. Teknik ini bekerja dengan cara mendeteksi neuron yang mengandung enzim katekolamin khusus menggunakan antisera terhadap enzim tersebut. Dengan teknik imunohistokimia, neuron DA akan memberikan reaksi positif terhadap TH dan AADC tetapi tidak terhadap DBH dan PNMT, atau terlabel dopamin tetapi tidak terlabel noradrenalin dan adrenalin, sedang neuron NA akan memberikan reaksi positif terhadap TH, AADC dan DBH. Dengan teknik imunohistokimia akan diperoleh hasil yang baik
21
untuk pendekatan anatomis. Selain jelas dan mudah terbaca, hasilnya juga lebih pasti karena reaksi yang muncul merupakan ikatan antara antigen-antibodi (Reiner 1994; Smeets dan Reiner 1994). Dengan identifikasi imunohistokimia di atas tampak bahwa TH merupakan penanda spesifik untuk neuron KA, karena memberikan reaksi positif baik pada DA maupun NA (Sawaguchi et al. 2003; Verney 2003). Neuron katekolaminergik Neuron yang mengandung katekolamin disebut neuron KA.
Distribusi
neuron KA pada mamalia pertama kali diteliti pada otak tikus oleh Dahlström dan Fuxe (1964), dan dinamai secara alfabet numerik untuk mengidentifikasi kelompok neuron KA pada lokasi yang berbeda. Penamaan kelompok neuron tersebut dimulai dari kaudal ke rostral berturut-turut adalah A1, A2, dan seterusnya sampai A12.
Pada perkembangannya, penamaan ini kemudian
diterapkan juga pada mamalia lain termasuk manusia (Pearson et al. 1983; Kitahama et al. 1994; Smeets dan Reiner 1994). Berdasarkan lokasinya, neuron KA di otak mamalia dibagi menjadi enam kelompok utama yaitu: 1) kelompok neuron KA yang terdistribusi pada kaudal rombensefalon, terdiri dari neuron noradrenergik Grup A1, A2, A3, serta neuron adrenergik yaitu Grup C1, C2, C3; 2) kelompok neuron di rostral rombensefalon, terdiri dari neuron noradrenergik Grup A4, A5, A6, A7; 3) kelompok neuron di mesensefalon bagian ventral, yaitu neuron dopaminergik yang termasuk dalam Grup A8, A9, A10 ; 4) Kelompok neuron pada diensefalon, yakni neuron dopaminergik Grup
A11,
A12,
A13,
A14,
A15 ; 5) kelompok neuron
dopaminergik pada bulbus olfaktorius yaitu Grup A16 ; dan 6) kelompok neuron pada retina, terdiri dari neuron dopaminergik Grup A17 (Smeets dan Reiner 1994; Kitahama et al. 1994; Tillet 1994). Hingga kini telah diketahui adanya neuron dopaminergik pada telensefalon manusia dan satwa primata, tetapi tidak dijumpai pada tikus, kecuali pada masa perkembangan (Dubach 1994). Neuron
KA Grup A1 dan A2, yang merupakan kelompok neuron
noradrenergik, ditemukan pada monyet Rhesus dan squirrel monkey (Felten dan Sladek 1983), serta monyet Jepang (Kitahama et al. 1994), di bagian kaudal
22
rombensefalon yang berdekatan dengan AP, sedang kelompok A3 hanya ditemukan pada tikus (Dahlström dan Fuxe (1964). Pada monyet, neuron KA Grup A1 memiliki diameter 15-30 µm, dengan sebagian besar sel berbentuk multipolar dan hanya sebagian kecil yang berbentuk bipolar. Neuron ini ditemukan terutama di bagian lateral, dorsal, dan dorsomedial nukleus retikular lateral, memanjang ke arah kaudal mulai dari decusatio pyramidum menuju ke rostral sampai ke daerah yang setara letaknya dengan nukleus olivarius kaudalis. Neuron kelompok A2 berdiameter 20-30 µm, merupakan neuron bipolar, dengan badan sel berbentuk oval dan terdistribusi di bagian sentral nukleus motor dorsalis dari nervus vagus, di bagian medial dan ventromedial nukleus traktus solitarius dorsal, serta di bagian dorsal nukleus hipoglosus.
Sebagian kecil
neuron Grup A2, yang terdistribusi di bagian lateral, berbentuk multipolar (Felten dan Sladek 1983). Selain Grup A1 dan A2, di medula oblongata juga dijumpai adanya neuron adrenergik Grup C1 di area retikularis lateralis, ventral nukleus ambigus, dan Grup C2 yang terdistribusi di subtansia gelatinosa nukleus traktus solitarius (Kitahama et al. 1994). Akson katekolamin pada medula oblongata pada perkembangannya kemudian membentuk jalur akson yang disebut dengan ventral ascending catecholamine pathway (acpv ) (Felten dan Sladek 1983), yang oleh Angevine dan Cotman (1981) disebut dengan sistem tegmental lateral. Jalur
akson
tersebut menuju ke hipotalamus, trunkus ensefalikus, dan bagian basal telensefalon. Secara umum, neuron katekolamin berperan dalam fungsi neuroendokrin dan sistem syaraf otonom (Carlsson 1987).
Neuron DA pada otak primata
berperan dalam beberapa fungsi otak dan perilaku, mulai dari kemampuan kognisi tertinggi sampai ke kontrol motorik, sehingga disfungsi pada neuron DA ini diduga kuat dapat mengakibatkan gangguan neurologis pada beberapa penyakit seperti Parkinson, depresi, dan schizophrenia (Angevine dan Cotman 1981; Zecevic dan Verney 1995), sedang neuron NA lebih berperan dalam menghadapi cekaman, kecemasan (Carlsson 1987), dan kontrol area vegetatif homeostasis sistem syaraf berupa pengaturan sekresi ACTH, gonadotropin, dan hormon pertumbuhan (Angevine dan Cotman 1981).
Pada masa prenatal,
23
katekolamin sangat penting bagi perkembangan fetus, sedangkan pada periode postnatal berperan besar dalam mempertahankan daya hidup (Zhou et al. 1995; Thomas et al. 1995). Pada monyet Rhesus, neuron kelompok monoaminergik (katekolamin dan indoleamin) muncul pertama kali di batang otak pada embrio umur 27–36 hari, dan mencapai puncaknya di daerah medula oblongata ketika embrio berumur 38-40 hari, dengan gradien perkembangan rostrokaudal (Levitt dan Rakic 1982). Pada manusia, neuron KA dapat dijumpai di prosomer, mesomer, dan rombomer saat embrio berumur 4,5 minggu (Verney 2003), sedang pada mencit pertama kali dapat diamati di otak pada umur kebuntingan 10 hari (Zhou et al. 1995). Banyaknya neuron pada embrio muda ini diduga terjadi karena neuron katekolaminergik mengekspresikan TH, segera setelah meninggalkan zona ventrikularis yang merupakan tempat pembentukan neuron tersebut. Neuron yang sedang berkembang ini didistribusikan dengan pola dorsoventral pada lamina basalis dan lamina alaris. Menurut Verney (2003), calon neuron KA di kaudal rombensefalon terdistribusi pada rombomer ke-6 dan -7 di bagian basal plate (Grup A1 dan C1) dan bagian alar plate (Grup A2 dan C2). Ketika embrio manusia berumur enam minggu, neuron katekolaminergik (Grup A1 dan C1) semakin banyak tersebar di nukleus ambigus dan sekitarnya, serta di nuklues motor dorsalis dari nervus vagus dan sekitarnya (Grup A2 dan C2), hingga mencapai rombomer ke-7 dan -8. Pada embrio yang berumur empat bulan, neuron noradrenergik dan adrenergik sudah memiliki dendrit, dan di area postrema mulai dapat diamati adanya neuron noradrenergik dan adrenergik berukuran kecil (Verney 1999). Faktor transkripsi AP-2 berperan penting selama masa perkembangan karena diperlukan dalam proses morfogenik selama pembentukan buluh neural. Faktor transkripsi AP-2 terdapat pada neuron NA dan A tetapi tidak ada pada neuron DA. Pada neuron NA, faktor transkripsi AP-2 ini diduga berperan dalam mengatur ekspresi gen TH dan DBH yang menjaga fenotip neurotransmiter noradrenalin, sehingga fenotip antara neuron DA dengan neuron NA dapat dibedakan (Kim et al. 2001).
24
Area postrema Area postrema (AP) merupakan penonjolan bagian dorsal medula oblongata ke arah ventrikel IV, dan berbentuk agak bulat (Miller dan Leslie, 1994), terletak di sebelah rostral nukleus grasilis dan dorsal terhadap nukleus traktus solitarius (Oertel 1969). Gambar 8 memperlihatkan lokasi AP di medula oblongata monyet Rhesus. Armstrong et al. (1982) membagi AP tersebut menjadi daerah dorsal, sentral, dan ventrolateral (Gambar 9). Bagian dorsal AP berbatasan dengan ventrikel IV, sedangkan bagian ventrolateral berbatasan dengan nukleus traktus solitarius. Permukaan vetrikuler AP yang disebut dengan lapisan ependima dilapisi oleh sel-sel ependima yang bentuknya bervariasi dari kolumner sampai pipih.
Gambar 8. Potongan batang otak pada bidang frontal (kiri) dan bidang sagital (kanan) pada monyet Rhesus . Area postrema (warna merah) terletak di sebelah dorsal nukleus traktus solitarius (warna hijau tua). Nukleus hipoglosus (warna biru), nukleus motor dorsalis nervus vagus (warna coklat), formasio retikularis sentralis (warna kuning), nukleus ambigus (warna hijau muda), nukleus retikularis lateralis (warna ungu) ( Sumber: Oertel 1969).
Neuron KA pada AP berukuran kecil, berbentuk bulat atau oval. Pada tikus, badan sel neuron KA dapat ditemukan pada permukaan ventrikel maupun di bagian dalam AP. Komponen utama prosesus sitoplasma neuron KA pada AP adalah dendrit (83%), sedangkan akson dan akson terminal hanya sedikit (11%)
25
(Armstrong et al. 1982). Pada kelinci, kucing, dan monyet, neuron KA lebih banyak didistribusikan di bawah lapisan ependima, sementara pada marmut lebih dominan di bagian tengah (Fuxe dan Owman 1965). ditemukan pada AP sebagian
Neuroglia yang
besar adalah astrosit protoplasmik (Klara dan
Brizzee 1975).
Gambar 9. Potongan koronal AP tikus dengan pewarnaan imunositokimia terhadap TH. Tanda kepala panah membatasi daerah AP dengan jaringan di bawahnya. ap = area postrema d = dorsal c = central vl = ventrolateral NTS = nukleus traktus solitarius (Sumber: Armstrong et al. 1982).
Area postrema merupakan salah satu CVO, yaitu organ-organ yang letaknya berbatasan dengan ventrikel III dan IV, berukuran kecil, tidak dibatasi oleh blood brain
barrier, dan pembuluh darahnya berfenestrasi sehingga
memiliki permeabilitas tinggi terhadap darah (Ganong 2000; Buller 2001). Selain AP, yang termasuk dalam CVO adalah organ vaskulosum lamina terminalis,
26
eminensia mediana, neurohipofisis, dan organ subfornikal (Ganong 2000; Lechan 2004). Dengan satu sisi AP menghadap ventrikel IV dan sisi yang lain menghadap parenkim otak, memungkinkan AP dapat mendeteksi bahan kimia emetik, baik yang ada di dalam darah maupun cairan serebrospinal (Miller dan Leslie 1994), sehingga memiliki fungsi sebagai CTZ dalam proses muntah, meskipun mekanisme pastinya belum diketahui (Rosen 2002). Proses muntah diduga terjadi karena reseptor dopamin D2 yang ada di area postrema peka terhadap bahan kimia emetik (Lang dan Marvig 1989, Takeda et al. 2001). Pada AP terdapat neurotransmiter katekolamin (Armstrong et al. 1982; Miceli et al. 1987; Hermann et al. 2005) yaitu dopamin (Kalia et al. 1985; Maqbool et al. 1993) dan noradrenalin (Armstrong et al. 1981; Beleslin et al. 1989), serta neurotransmiter yang lain, yaitu enkefalin (Armstrong et al. 1981) dan serotonin (Miceli et al. 1987, Hay 2000).
Area postrema juga mendapat input adrenalin
(Armstrong et al. 1981), serta serotonin (Pickel dan Armstrong 1984; Hay 2001; Farber et al. 2004), asetilkolin (Beleslin et al. 1989), L-glutamat (Hay 2001), substansi P (Armstrong et al. 1981) dan beberapa peptida seperti arginine vasopressin (AVP), angiotensin (Ang II), dan sitokin (Buller 2001). Area postrema bersama dengan Grup A2, A5, A1, dan A6 merupakan sumber input katekolaminergik untuk nukleus traktus solitarius (Hermann et al. 2005). Di AP ini neuron-neuron memproyeksikan aksonnya ke nukleus traktus solitarius, nukleus motor dorsalis dari nervus vagus, dan nukleus parabrakhialis, yang berperan dalam mengendalikan sistem kardiovaskuler (Hay 2001). Akson dari neuron katekolaminergik di area postrema kemudian bersinaps di nukleus traktus solitarius, dan diduga berkaitan dengan pengaturan refleks gastrium dan kardiovaskuler yang berhubungan dengan respon peptida di sirkulasi (Kachidian dan Pickel 1993). Bersama dengan nukleus traktus solitarius dan nukleus motor dorsalis dari nervus vagus, AP membentuk dorsal vagal complex (DVC) yang merupakan bagian terminal serabut aferen nervus vagus (Miller dan Leslie 1994).
Dorsal
vagal complex tersebut bersama dengan nukleus hipoglosus dan nukleus ambigus berfungsi untuk mengontrol respirasi (Gozal dan Gaultier 2001).
27
Tabel 1. Data keberadaan neuron katekolaminergik di area postrema pada beberapa spesies mamalia dari fetus sampai dewasa Spesies
Fetus AP (+) pada umur 14,5-25 minggu (Verney 1999; Lorke et al. 2003)
Manusia
Monyet (Rhesus, MEP) Tikus
Kucing Kelinci Anjing Marmut
Anak
Dewasa AP (-)
Belum ada data
(Pearson et al. 1983; Arango et al. 1988; Kitahama et al. 1994)
Belum ada data
Belum ada data
AP (+) (Schreihofer et al. 1997)
Belum ada data
Belum ada data
AP (+) (Armstrong et al. 1982; Miceli et al. 1987)
Belum ada data
Belum ada data
AP (+) (Beleslin et al. 1989; Maqhood et al. 1993)
Belum ada data
Belum ada data
AP (+) (Fuxe dan Owman 1965)
Pada AP mamalia dewasa seperti tikus (Armstrong et al. 1982; Kalia et al. 1985; Miceli et al. 1987), kucing (Beleslin et al. 1989; Ma qbool et al. 1993), anjing, kelinci, marmut (Fuxe dan Owman 1965), monyet Rhesus dan MEP (Schreihofer et al. 1997) dijumpai adanya neuron katekolaminergik (Tabel 1). Tetapi pada manusia, neuron KA di AP hanya ditemukan selama masa prenatal (Lorke et al. 2003), karena tidak ada pada individu dewasa (Pearson et al. 1983; Arango et al. 1988; Kitahama et al. 1994). Neuron KA pada area postrema tikus terdiri dari neuron DA (Kalia et al. 1985) dan neuron NA (Armstrong et al. 1981), sedangkan pada kucing hanya neuron DA saja (Maqbool et al. 1993). Penelitian pada anak babi menunjukkan bahwa AP merupakan kemoreseptor yang memberikan respon terhadap cekaman Adanya
gangguan
perkembangan
neuron
KA
di
AP
hiperkapnia.
tersebut
dapat
mengakibatkan hilangnya kontrol fungsi refleks sistem kardiopulmonaris, yang diduga menjadi penyebab terjadinya SIDS (Ruggiero et al. 1999).
Namun
28
demikian, penyebab pasti terjadinya SIDS sampai saat ini masih belum jelas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cekaman lingkungan selama periode prenatal, seperti asap yang mengandung nikotin dan inhalasi CO dari ibu hamil
yang
merokok, akan mengakibatkan gangguan maturasi neuron dan
pembentukan sirkuitnya, yang dapat menyebabkan abnormalitas terhadap respon hipoksia pada bayi (Gozal dan Gaultier 2001).
Pada kontrol sistem
respirasi dan kardiovaskuler, PNMT berperan untuk mengaktifkan formasio retikularis dalam kondisi tidur, sehingga penurunan kadar PNMT dapat menyebabkan hipoksia kronis yang berakibat terjadinya SIDS (Manahan 2005).
29