2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Biologi Macaca fascicularis Sistematika monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Species
: Animalia : Chordata : Mamalia : Primata : Cercopithecidae : Macaca : Macaca fascicularis.
Secara umum Macaca fascicularis memiliki warna tubuh bervariasi mulai dari abu-abu sampai kecoklatan. Bagian punggungnya berwarna lebih gelap dibandingkan dada dan perut. Rambut di kepala dan sekeliling wajahnya membentuk jambang yang lebat. Ekornya yang panjang ditutupi rambut yang pendek dan halus (Gambar 1) (Napier & Napier 1967).
Gambar 1. Macaca fascicularis (Anonim1 2010) Pada umumnya, habitat asli Macaca fascicularis selalu berada di sepanjang lembah yang berbatasan dengan air, baik di daratan terbuka maupun pinggiran sungai ataupun hutan. Sehingga Macaca fascicularis ini dapat menyesuaikan diri pada semua peringkat ekologi (ecologically diverse). Macaca fascicularis hidupnya berkelompok dengan jumlah kelompok sekitar 20 – 50 ekor dan selalu berpindah-pindah mengikuti ketersediaan pakan. Dengan mengamati habitat aslinya, kemungkinan suhu yang cukup baik bagi kehidupan Macaca
fascicularis berkisar diantara 25 - 27°C. Namun, perubahan suhu yang tidak menentu sekarang ini menyebabkan kondisi lingkungan bagi Macaca fascicularis tidaklah nyaman serta pakan yang diperoleh di alam juga semakin menipis akibat dari kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggungjawab. Macaca fascicularis hidup pada hutan primer dan sekunder mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Pada dataran tinggi, jenis monyet ini biasanya dijumpai di daerah pertumbuhan sekunder atau pada daerah-daerah perkebunan penduduk. Seringkali juga ditemukan di hutan bakau sampai ke hutan di dekat perkampungan (Hendras & Supriatna 2000). Macaca
fascicularis
merupakan
pemakan
segala
jenis
makanan
(omnivora) namun komposisinya mengandung lebih banyak buah-buahan (60%), selebihnya berupa bunga, daun muda, biji dan umbi. Macaca fascicularis yang hidup di rawa-rawa kadang-kadang turun ke tanah pada saat air surut dan berjalan menyusuri sungai mencari serangga. Monyet yang hidup di daerah bakau atau pesisir, sering dijumpai memakan kepiting atau jenis moluska lainnya, sehingga sering monyet ini disebut crabs eating macaque (Hendras & Supriatna 2000). Informasi mengenai keadaan fisiologi setiap hewan laboratorium sangat penting. Hal ini diperlukan sebagai acuan untuk mengetahui status kesehatan hewan. Informasi semacam ini diperlukan karena dapat mempengaruhi ketepatan suatu hasil pengujian. Berikut ini adalah penjelasan mengenai keadaan biologi umum dari Macaca fascicularis yang sering digunakan sebagai hewan laboratorium (Tabel 1).
Tabel 1. Biologi Umum Macaca fascicularis (Smith & Mangkoewidjojo 1988) Data Biologis
Hewan
Lama hidup
25-30 tahun
Lama bunting
150-180 hari (rata-rata 167 hari)
Berat lahir
420-600 g
Berat dewasa
4,3-10,6 Kg betina 5,5-10,9 Kg jantan
Umur dewasa
4,5-5,5 tahun
Umur dikawinkan
36-48 bulan
Siklus estrus
26-32 hari (rata-rata 31 hari)
Suhu (rektal)
38-39,5 °C
Pernafasan
30-54/ menit
Denyut jantung
165-240/ menit
Jumlah anak
Jarang sekali 2
aktivitas
Diurnal
2.2 Monyet Ekor Panjang Sebagai Hewan Laboratorium Pada saat ini spesies primata yang sering digunakan dalam penelitian biomedis adalah monyet rhesus (Macaca mullata), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), babon savanna (Papio cynocephalus), dan monyet vervet (Cercopithecus aethiops) (Crockett et al. 1996). Monyet telah banyak digunakan sebagai hewan laboratorium untuk menguji berbagai jenis obat-obatan dan menciptakan serum/vaksin bagi kesehatan manusia. Hal ini dilatarbelakangi bahwa primata hampir menyerupai manusia dan populasi mereka berlimpah di dunia (Mardiastuti & Soehartono 2003). Macaca fascicularis sering dimanfaatkan sebagai hewan percobaan di laboratorium untuk suatu penelitian. Hal ini disebabkan karena secara anatomis dan fisiologis, Macaca fascicularis memiliki kemiripan lebih banyak dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1993). Kondisi ini juga diperkuat dengan adanya persamaan ciri anatomi dan fisiologis karena kedekatan hubungan filogenetik dan perbedaan evolusi yang pendek (Bennett et
al. 1995). Pemanfaatan Macaca fascicularis sebagai hewan percobaan digunakan dalam beberapa penelitian biomedis yang tercantum dalam Tabel 2.
Tabel 2. Infomasi pemanfaatan Macaca fascicularis pada berbagai penelitian biomedis Penelitian
Sumber
1. Gambaran Elektrokardiogram 9 Spesies Primata Gonder et al. 1980 yang Disedasi Menggunakan Ketamine 2. Reaktivitas Denyut Jantung yang Diinduksi Secara Manuck et al. 1983 Perilaku
dan
Arterosklerosis
pada
Macaca
fascicularis 3. Nilai Tekanan Darah Macaca fascicularis
Hartley et al. 1984
4. Perbedaan Serum Biokimia Tertentu dan Nilai EKG Kapeghian et al. 1984 Macaca fascicularis pada Berbagai Umur 5. Nilai Lipid Darah, Tekanan Darah, Frekuensi Ungerer et al. 1997 Jantung, dan Respirasi pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) tersedasi.
Dalam penggunaannya sebagai hewan laboratorium, Macaca fascicularis harus digunakan kandang untuk tempat hidupnya baik proses perawatan maupun pengamatan laboratorium. Kandang monyet harus mempertimbangkan keperluan tingkah laku, emosi, dan sosial. Macaca fascicularis tidak boleh dikandangkan sendirian dan terpencil karena akan menimbulkan suatu bentuk cekaman yang mengganggu proses tingkah laku dan fisiologi normal. Satwa primata harus dikandangkan di ruang atau daerah sejauh mungkin dari kandang hewan lain. Syarat ini untuk mengurangi resiko penularan penyakit dan keamanan dalam memelihara (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Sajuthi (1984) menyatakan kandang monyet harus dibuat dengan konstruksi yang kuat. Hal ini untuk mencegah terjadinya kerusakan yang disebabkan dari monyet itu sendiri. Jenis kandang kelompok yang terbuat dari ram kawat perlu dilengkapi tempat peristirahatan yang agak tinggi dan bentuknya harus memadai. Kandang individu harus dilengkapi dinding belakang geser
(kandang jepit), sehingga monyet dapat didorong ke bagian depan kandang. Fungsi kandang tersebut untuk mempermudah dalam melakukan pemeriksaan, pemberian obat atau penyuntikan dan penanganan lain yang harus dilakukan terhadap monyet tersebut. Setiap jenis kandang baik kandang kelompok maupun kandang individu harus dilengkapi dengan tempat makan dan minum yang memadai dan cukup kuat.
2.3 Fisiologi Kardiorespirasi dan Temperatur Tubuh 2.3.1 Fisiologis Kardiovaskular Berdasarkan struktur anatomi, jantung hewan mamalia terbagi menjadi 4 ruang yaitu 2 atrium kiri dan kanan, dan 2 ventrikel kiri dan kanan. Serta memiliki 4 katup yaitu 2 katup atrio ventrikular (AV) dan 2 katup semilunar. Jantung juga memiliki sistem sirkulasi sistemik yaitu berupa arteri dan arteriole. Sedangkan sistem sirkulasi pulmonik terdiri dari vena dan venula (Cunningham 2002). Guyton (2008) menyatakan, jantung terdiri atas dua pompa yang terpisah, yaitu jantung kanan yang memompakan darah ke paru-paru, dan jantung kiri yang memompakan darah ke organ-organ perifer. Selanjutnya, setiap bagian jantung yang terpisah ini merupakan dua ruang pompa yang dapat berdenyut, yang terdiri atas satu atrium dan satu ventrikel. Setiap atrium adalah suatu pompa pendahulu yang lemah bagi ventrikel, yang membantu mengalirkan darah masuk ke dalam ventrikel. Ventrikel lalu menyediakan tenaga pompa utama yang mendorong darah (1) ke sirkulasi pulmonal melalui ventrikel kanan atau (2) ke sirkulasi perifer melalui ventrikel kiri. Jantung berdenyut setiap detik dan menghasilkan suatu frekuensi denyut jantung yang teratur. Frekuensi denyut jantung merupakan penjumlahan beberapa kali jantung berdenyut dalam satu menit dan disebut juga frekuensi jantung. Frekuensi denyut jantung menggambarkan kualitas fungsi dari kardiovaskular. Faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung adalah jenis hewan, ukuran tubuh, umur dan jenis kelamin, sedangkan kondisi fisiologis yang dapat meningkatkan frekuensi jantung yaitu laktasi, shock, pergerakan atau exercise, posisi hewan, saat makan, dan pengaruh lingkungan seperti suhu. Kelainankelainan yang dapat ditemukan pada jantung yaitu takikardia, bradikardia, angina
pektoris, aritmia jantung, atrial fibrilasi dan sebagainya. Pengukuran frekuensi jantung dan kelainan-kelainan pada jantung dapat dilakukan dengan menggunakan elektrokardiogram (Cunningham 2002 & Gavahan 2003). Jantung pada berbagai hewan dapat berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada rangsangan dari luar. Jantung mamalia sensitif terhadap pasokan oksigen dan temperatur (Kay 1998). Menurut Ville et al. (1988) laju pompa jantung dipengaruhi oleh aktivitas dari mamalia atau manusia itu sendiri. Otot jantung tidak membutuhkan stimulasi saraf karena memiliki kemampuan intrinsik untuk membangkitkan potensial kerja secara ritmik. Meskipun demikian, otot jantung diinervasi oleh sistem syaraf simpatis dan parasimpatis yang fungsinya terbatas pada pengaturan kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi. Serabut-serabut syaraf simpatis mencapai jantung dari dua syaraf vagus (Frandson 1992). Kekuatan kontraksi jantung, kecepatan denyut jantung serta aliran darah dipengaruhi dan dikontrol oleh syaraf otonom yang berpusat pada medulla oblongata. Stimulasi syaraf-syaraf vagus cenderung untuk menghambat kerja jantung dengan menurunkan daya kontraksi dari otot jantung, kecepatan kontraksi dan kecepatan konduksi impuls dalam jantung sehingga arus darah melalui arteri koroner akan berkurang. Rangsangan syaraf simpatis akan bekerja sebaliknya, yaitu meningkatkan aktivitas jantung dan naiknya daya/tenaga kontraksi, kecepatan kontraksi, kecepatan konduksi impuls dan arus darah koroner (Frandson 1992). Macaca fascicularis merupakan satwa primata yang memiliki kemiripan dengan manusia baik secara anatomis maupun fisiologis, karena adanya kedekatan filogenetik dan perbedaan evolusi yang lebih pendek. Berkaitan dengan banyaknya peran Macaca fascicularis dalam penelitian biomedis, maka perlu didukung oleh data-data dasar dari hewan ini salah satunya nilai fisiologis kardiovaskuler pada satwa primata khususnya pada monyet ekor panjang. Nilai fisiologis kardiovaskuler Macaca fascicularis terdapat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Normal Fisiologis Kardiovaskuler Macaca fascicularis Macaca fascicularis Parameter
Mikroklimat Luar Indonesia
Mikroklimat Indonesia
Denyut Jantung (kali/menit)
2401 1432 172,213 1694
88-1315
Tekanan Darah Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) MAP (mmHg)
1251 751 844
89-1115 48-655 62-935
Volume Darah (ml/Kg)
50-961
-
Keterangan : MAP = Mean Arterial Pressure Sumber : 1 = Wolfhensohn & Lloyd 1998 2 = Kapeghian et al. 1984 3 = Hartley et al. 1984 4 = Takagi et al. 2003 5 = Ungerer et al. 1997
2.3.2 Elektrokardiogram (EKG) Elektrokardiogram (EKG) atau disebut juga Electrocardiogram (ECG) merupakan suatu grafik hasil catatan potensial listrik untuk menganalisa aktivitas jantung. Aktivitas jantung ini dianalisa berdasarkan data hasil keluaran sinyal EKG yang terbentuk dari sinyal - sinyal listrik pada tubuh si penderita yang dihubungkan dengan kabel yang ditempelkan ke tubuh pasien. Hasil keluaran dari sinyal EKG ini sangat bergantung pada kualitas perangkatnya untuk mendapatkan hasil yang akurat karena kesalahan sedikit saja dapat mempengaruhi hasil kesimpulan tentang kondisi penyakit yang dialami oleh penderita (Anonim2 2009). Menurut Boswood (2008), menyatakan bahwa manfaat penggunaan elektrokardiogram yaitu untuk mendeteksi kelainan-kelainan irama dan frekuensi jantung, mendeteksi adanya hipertropi jantung, mendeteksi kemungkinan adanya gangguan metabolisme, gangguan elektrolit pengobatan dari masalah irama jantung.
dan membantu diagnosa serta
2.3.2.1 Konfigurasi Elektrokardiogram
Gelombang P Secara umum, pada elektrokardiogram terdiri dari gelombang P, interval PR, Kompleks QRS dan gelombang T. Gelombang P pada elektrokardiogram mewakili aktivasi listrik pada atria miokardium sewaktu mengadakan depolarisasi. Setengah bagian pertama gelombang P mewakili depolarisasi atrium kanan dan setengah bagian yang lain mewakili depolarisasi atrium kiri. Gelombang P yang normal dapat berupa defleksi positif, difasik, dan defleksi negatif. Kepentingan gelombang P yaitu untuk menandakan adanya aktivitas atria, menunjukan arah aktivitas atria, dan menunjukan tanda-tanda hipertropi atria (Gavahan 2003).
Gelombang Q Gelombang Q adalah defleksi negatif yang ditimbulkan oleh arus depolarisasi yang berjalan menjauhi sadapan yang bersangkutan. Dengan kata lain gelombang Q menggambarkan awal dari fase depolarisasi ventrikel. Kepentingan gelombang Q yaitu menunjukan adanya infark otot jantung. Gelombang Q yang normal harus memenuhi kriteria yaitu berupa defleksi negatif (Martin 2007).
Gelombang R Gelombang R adalah defleksi positif pertama dari kompleks QRS. Menggambarkan fase depolarisasi ventrikel. Kepentingan gelombang R untuk menandakan adanya pembesaran ventrikel kiri dan
hambatan pada
serabut
jantung kiri atau left bundle branch block (Martin 2007).
Gelombang S Gelombang S adalah defleksi negatif sesudah gelombang R. Gelombang S menggambarkan fase depolarisasi ventrikel kanan. Kepentingan gelombang S yaitu untuk mengetahui adanya pembesaran ventrikel kanan dan hambatan pada serabut jantung kanan atau right bundle branch block. Gelombang S yang normal berupa defleksi negatif dan diikuti gelombang R (Martin 2007).
Gelombang T Gelombang T merupakan gambaran fase repolarisasi ventrikel, gelombang ini muncul sesaat sesudah berakhirnya segmen. Arah normal gelombang T sesuai dengan arah gelombang utama kompleks. Kepentingan gelombang T yaitu untuk mengetahui adanya infark jantung dan gangguan elektrolit (Gavahan 2003 dan Schwartz 2002).
Kompleks QRS Kompleks QRS menggambarkan seluruh fase depolarisasi ventrikel atau penyebaran impuls di seluruh ventrikel. Secara klinis memiliki arti yang sangat penting dari seluruh gambaran EKG. Terdapat tiga komponen yang membentuk kompleks QRS yaitu gelombang Q, gelombang R dan gelombang S. Bentuk kompleks QRS ditentukan oleh arah dan besarnya arus depolarisasi ventrikel terhadap sadapan EKG dari waktu ke waktu, sehingga setiap sandapan EKG akan merekam gambaran kompleks QRS yang berbeda (Gavahan 2003).
Interval PR Interval PR adalah arah antara permulaan gelombang P sampai dengan permulaan kompleks QRS. Interval P mewakili waktu yang dibutuhkan oleh impuls dari nodus SA berjalan melewati nodus AV sampai ke berkas His. Gangguan konduksi sepanjang jalur ini akan menyebabkan perubahan interval (Gavahan 2003).
Interval QT Interval QT adalah jarak antara permulaan gelombang Q sampai dengan akhir gelombang T. Jadi menggambarkan lamanya aktivitas depolarisasi dan repolarisasi ventrikel (Widjaja 1990).
Gambar 2. Gelombang EKG (Anonim3 2010) Keterangan: 1. 2. 3. 4.
Durasi Gelombang P Interval PR Durasi QRS Interval QT
Gambaran nilai EKG Macaca fascicularis penting diketahui mengingat banyaknya monyet ini digunakan sebagai hewan laboratorium terutama bila terkait langsung dengan penelitian kardiovaskular atau anastetik pembedahan. Fungsi EKG adalah salah satu alat diagnosa untuk memastikan adanya gangguan jantung, dari serangkaian pemeriksaan biasa yang dilakukan oleh dokter hewan dalam menentukan penyakit pasiennya (Battaglia 2007). Sehingga, ketersediaan nilai normal gambaran EKG Macaca fascicularis dari berbagai sumber dapat membantu mendiagnosa adanya gangguan jantung bila terjadi kelainan. Nilai normal gambaran EKG Macaca fascicularis terdapat dalam Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Normal Gambaran EKG Macaca fascicularis menurut berbagai sumber Mikroklimat Luar Indonesia
Mikroklimat Indonesia
Gonder et al. 1980
Kapeghian et al. 1984
Azwar 1990
203 ± 29
146 ± 28.5
176.19 ± 33.09
Amplitudo (milivolt)
0.16 ± 0.05
0.065 ± 0.002
0.12 ± 0.03
Durasi (detik)
0.03 ± 0.01
0.3 ± 15.9
0.027 ± 0.005
0.09 ± 0.01
-
0.052 ± 0.06
0.8 ± 0.3
-
0.50 ± 0.08
-
0.369 ± 0.12
-
0.04 ± 0.01
0.34 ± 4.3
-
0.20 ± 0.02
2.21 ± 13.3
0.148 ± 0.019
65 ± 22
-
Parameter
Denyut Jantung (kali/menit) Gelombang P
Interval PR Durasi (detik) Gelombang R Amplitudo (milivolt) Kompleks QRS Amplitudo (milivolt) Durasi (detik) Interval QT Durasi (detik) MEA (derajat)
Keterangan: MEA = Mean Electrical Axis
2.3.3 Fisiologis Pernapasan Frekuensi napas Macaca fascicularis berkisar antara 30-54 kali/menit menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988). Pendapat lain menyebutkan dari hasil penelitian, Ungerer et al. (1997) menyatakan frekuensi napas normal monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang tersedasi berkisar 23-36 kali/menit. Pernapasan mencakup dua proses : pernapasan luar (eksterna), yaitu penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 dari tubuh secara keseluruhan; serta pernapasan dalam (interna), yaitu penggunaan O2 dan pembentukan CO2 oleh sel-sel serta pertukaran gas antara sel-sel tubuh dengan media cair sekitarnya (Ganong 2003).
Sistem pernapasan memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai penyedia oksigen bagi darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Fungsifungsi yang bersifat sekunder, meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraselular dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan fonasi (pembentukan suara). Sistem pernapasan terdiri dari paru-paru dan saluransaluran yang memungkinkan udara dapat mencapai atau meninggalkan paru-paru (Frandson 1992). Salah satu proses respirasi adalah ventilasi paru yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu gerakan turun dan naik dari diafragma untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada dan depresi atau elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior rongga dada (Guyton 1994). Pusat pernafasan adalah sekelompok neuron yang tersebar luas dan terletak bilateral medulla oblongata dan pons. Pusat pernafasan terbagi menjadi tiga kelompok neuron utama, yaitu; 1. Kelompok pernafasan dorsal, terletak pada bagian dorsal medulla yang menyebabkan inspirasi, 2. Kelompok pernafasan ventral, terletak di ventrolateral medulla, meyebabkan ekspirasi atau inspirasi tergantung kelompok neuron yang dirangsang, 3. Pusat pneumotaksik, terletak di bagian superior belakang pons, yang membantu kecepatan dan pola pernafasan (Guyton 1994). Ganong (2003) menyatakan, terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernapasan. Satu mekanisme berperan pada kendali pernapasan volunter, sedangkan yang lainnya mengendalikan pernapasan otomatis. Pusat volunter terletak di korteks serebri dan impuls dikirmkan ke neuron motorik otot pernapasan melalui jaras kortikospinal. Pusat pernapasan otomatis terletak di pons dan medula oblongata, dan keluaran eferen dari sistem ini terletak di rami alba medula spinalis, di antara bagian lateral dan ventral jaras kortikospinal.
2.3.4 Termoregulasi : Suhu Tubuh Suhu tubuh adalah suhu bagian dalam (suhu inti), bukan suhu permukaan yang merupakan suhu kulit atau jaringan bawah kulit. Suhu inti relatif konstan
kecuali bila terjadi demam, sedangkan suhu permukaan lebih dipengaruhi lingkungan (Guyton 2008). Panas dalam tubuh merupakan hasil metabolisme dan harus terus-menerus dilepaskan ke lingkungan. Ketika kecepatan pembentukan panas sama dengan kecepatan kehilangan panas, maka dapat dikatakan individu dalam keseimbangan panas (Guyton 2008). Pengaturan suhu tubuh merupakan keseimbangan antara pelepasan panas dan produksi panas. Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persyarafan umpan balik dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada hipothalamus sehingga disebut hipothalamik (Kelly 1974). Sistem
termostat
menggunakan
tiga
mekanisme
penting
untuk
menurunkan panas tubuh ketika suhu menjadi sangat tinggi, yaitu vasodilatasi pembuluh darah yang akan meningkatkan kecepatan pemindahan panas ke kulit, pengeluaran keringat, penurunan pembentukan panas dengan menghambat mekanisme penyebab pembentukan panas seperti menggigil dan termogenesis kimia. Sedangkan ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan suhu mengadakan prosedur yang sangat berlawanan, yaitu 1. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh oleh rangsangan pusat simpatis hipothalamus posterior, 2. Piliereksi untuk membentuk lapisan tebal “isolator udara” di dekat kulit sehingga pemindahan panas ke lingkungan lebih ditekan, 3. Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme dengan cara menggigil, rangsangan simpatis pembentukan panas dan sekreksi tiroksin. Rangsangan simpatis dengan pelepasan norepinephrine dan epinephrine akan meningkatkan kecepatan metabolisme jaringan dan meningkatkan aktivitas selular terutama pada jenis jaringan lemak coklat yang meningkatkan pembentukan panas (Guyton 2008). Ditinjau dari pengaruh suhu pada lingkungan, hewan dibagi menjadi dua golongan, yaitu poikilotermis dan homoitermis. Pada poikilotermis suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar. Hewan seperti ini juga disebut hewan berdarah dingin. Hewan homoiterm sering disebut hewan berdarah panas. Pada hewan berdarah
panas suhunya lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hewan berdarah panas dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuh. Hewan dalam kelompok ini mempunyai variasi suhu normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam, faktor makanan yang dikonsumsi dan faktor jenuh pencernaan air (Swenson 1997). Contoh hewan berdarah panas adalah bangsa burung dan mamalia. Macaca fascicularis termasuk hewan berdarah panas atau homoiterrmis. Suhu normal pada Macaca fascicularis adalah berkisar 37 - 40 ºC (Wolfhensohn & Lloyd 1998).
2.4 Fisiologi Adaptasi 2.4.1 Mikroklimat Lingkungan Mempengaruhi Kondisi Fisiologis Tubuh 2.4.1.1 Suhu dan Kelembapan Lingkungan Secara harfiah, lingkungan dapat dipisahkan kedalam beberapa faktor yakni, fisik, sosial, dan panas. Faktor fisik antara lain, ruang, tekanan, dan peralatan
(perkandangan). Faktor sosial antara lain, jumlah ternak yang di
pelihara dalam kandang dan tingkah lakunya. Sedangkan faktor panas antara lain, temperatur udara, kelembaban relatif, perpindahan udara, dan radiasi (Esmay 1982). Lingkungan dapat diklasifikasikan dalam dua komponen, yaitu : 1. Abiotik : semua faktor fisik dan kimia. 2. Biotik : semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi sosial dan seksual. Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stres fisiologis (Yousef 1984). Komponen lingkungan abiotik utama yang berpengaruh nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban (Yuosef 1984) ; (Chantalakhana & Skunmum 2002), curah hujan (Chantalakhana & Skunmum, 2002), angin dan radiasi matahari (Yousef 1984 ; Cole & Brander 1986). Apabila dihadapkan pada cekaman panas, prioritas tingkah laku hewan akan berubah dalam hal kegiatan mengkonsumsi makanan untuk menghindari kondisi yang tidak menyenangkan. Konsekuensi yang cepat adalah mengurangi
konsumsi pakan dan energi metabolis yang tersedia. Gangguan lain terhadap keseimbangan energi berasal dari perubahan fisiologis, sistem endokrin dan pencernaan yang selanjutnya menurunkan energi yang tersedia, dan sebagai konsekuensinya menurunkan produksi ternak (Wodzicka et al. 1993). Kulit sangat berperan dalam mempertahankan keseimbangan panas. Kulit tidak hanya memiliki sensor panas berkerapatan tinggi tetapi juga diperlukan untuk mengatur suhu kulit dan kecepatan aliran panas dari tubuh melalui mekanisme vasomotor tepi. Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari hewan. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan (Chantalakhana & Skunmun 2002). Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity = RH) dalam persentase yaitu ratio dari mol persen fraksi uap air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara pada temperatur dan tekanan yang sama (Yousef 1984). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal hewan (Chantalakhana & Skunmun 2002).
2.4.1.2 Stres Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari hewan yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan eksternal. Sedangkan stresor adalah kejadian, situasi, hewan atau suatu obyek yang dilihat sebagai unsur yang menimbulkan stress dan menyebabkan reaksi stres sebagai hasilnya. Stresor sangat bervariasi bentuk dan macamnya, mulai dari sumber-sumber psikososial dan perilaku seperti frustrasi, cemas dan kelebihan sumber-sumber bioekologi dan fisik seperti bising, polusi, temperatur dan gizi (Michal 1991). Hewan dapat mengalami stres secara psikologis maupun secara fisik (Grandin 1997). Monyet telah dilaporkan cukup peka terhadap berbagai jenis stres yang pada akhirnya akan merubah perilaku dan hormonal terutama kadar hormon kortikosteroid (Norcross & Newman 1999). Menurut Ockenfels et al (1995)
primata menunjukkan kadar kortisol plasma yang meningkat sebanding dengan peningkatan level stress. Perilaku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam tubuh maupun faktor luar. Tingkah laku tersebut perlu diamati agar dapat diketahui bagaimana hewan bereaksi atas suatu perubahan atau tekanan dari lingkungan (Bennet et al. 1995). Hewan akan selalu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya. Adaptasi lingkungan ini tergantung pada ciri fungsional, struktural atau behavioral yang mendukung daya tahan hidup ternak maupun proses reproduksinya pada suatu lingkungan. Apabila terjadi perubahan lingkungan yang tidak nyaman maka ternak akan mengalami stres (Curtis 1999). Stres adalah respon fisiologi, biokimia dan tingkah laku ternak terhadap variasi faktor fisik, kimia dan biologis lingkungan (Yousef 1984). Dengan kata lain, stres terjadi apabila terjadi perubahan lingkungan yang ekstrim, seperti peningkatan temperatur lingkungan atau ketika toleransi hewan terhadap lingkungan menjadi rendah (Curtis 1999).
2.4.1.3 Pengaruh Lingkungan Terhadap Fisiologis Tubuh Temperatur tubuh monyet ekor panjang dikontrol pada level konstan. Hal itu dilakukan dengan termoregulasi. Kondisi khusus ini disebut homoitermis, untuk memelihara proses fisiologis tubuh agar tetap optimum (Sturkie 1981). Homoitermis dapat terjaga dikarenakan keseimbangan sensitif di antara produksi panas (Heat Production = HP) dan kehilangan panas (Heat Loss = HL). Kondisi ini terdapat dalam skema Gambar 3. Sistem kontrol termoregulasi terdiri dari suatu seri elemen yang fungsinya berhubungan. Informasi termal diperoleh melalui periferal atau sensor temperatur tubuh dalam. Keluaran dari sensor ini dibawa oleh saraf aferen ke pusat kontrol termoregulasi dalam hipotalamus. Aktivasi efektor akan bervariasi tergantung kecepatan produksi panas atau kehilangan panas. Umpan balik ke sistem kontrol oleh sistem saraf atau aliran darah, terjadi dengan adanya modifikasi masukan reseptor (Sturkie 1981).
Menurut Curtis (1999), kontrol termoregulasi terdiri atas tiga jenis yaitu kontrol termoregulasi fisik, kontrol termoregulasi kimia dan kontrol termoregulasi tingkah laku.
Dipengaruhi oleh : Luas permukaan tubuh Perlindungan tubuh Pertukaran air Aliran darah Lingkungan : Temperatur, angin, kelembapan, dll
Pendinginan non evaporasi : Radiasi Konveksi Konduksi
Pendinginan evaporasi : Respirasi Kulit
Dipengaruhi Oleh : Hormon Produksi Aktivitas otot pemeliharaan
KEHILANGAN PANAS
HIPOTERMI
Sumber : Makanan / cadangan tubuh Fermentasi rumen / sekum lingkungan
PENAMBAHAN PANAS
N O R M A L
HIPERTERMI
Gambar 3. Skema keseimbangan HP dan HL menurut Yousef (1984)
Zona nyaman atau kondisi fisiologis normal adalah kondisi yang dapat dirasakan nyaman oleh seekor hewan untuk dapat menjalankan aktivitas hidupnya secara normal tanpa rasa takut atau cemas (White 2009). Keberadaan zona nyaman atau kondisi fisiologis normal ini dipengaruhi oleh lingkungan dan perilaku hewan tersebut. Kondisi ini di antaranya meliputi temperatur dan
kelembaban lingkungan. Keberadaan zona nyaman atau kondisi fisiologis normal dapat mempengaruhi tingkat metabolik dan produksi hewan. Zona temperatur netral atau zona termonetral (ZTN) adalah zona yang relatif terbatas dari temperatur lingkungan yang efektif dalam memproduksi panas minimal dari hewan (Curtis 1999). Pada zona ini, tidak ada perubahan dalam produksi panas dan temperatur tubuh dapat dikontrol oleh adanya perubahan kecil dalam konduksi hewan melalui variasi tubuh, aliran darah dari pusat ke periferi atau peningkatan keringat (Sturkie 1981). Pada temperatur di bawah ZTN, hewan akan meminimalkan semua jalur pengeluaran panas dan meningkatkan produksi panas. Pada temperatur di atas ZTN hewan akan memaksimalkan pengeluaran panas (Yousef 1984).
2.5 Pengaruh Anestesi dan Sedasi Terhadap Fisiologis Tubuh Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu an- yang berarti tidak atau tanpa dan aesthetos yang berarti persepsi atau kemampuan untuk merasa sesuatu. Secara umum anestesi dapat diartikan sebagai suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anastesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr. pada tahun 1846. Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi dalam 2 kelompok, yaitu analgesia dan anestesi. Analgesia adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. Seseorang yang mengkonsumsi analgesia tetap berada dalam keadaan sadar. Analgesia merupakan obat yang tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi bersifat meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar (Suryanto 1998). Sedasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan agen-agen farmakologik untuk
menghasilkan
depresi
tingkat
kesadaran
secara
cukup
sehingga
menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal (Anonim4 2010). Berikut adalah pengertian sedasi menurut tingkatannya:
Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien berespon normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, tetapi fungsi kardiovaskuler dan respirasi tidak dipengaruhi. Sedasi sedang (sedasi sadar) adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat dimana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah diikuti oleh rangsangan taktil cahaya. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga. Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran setelah terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan berulang atau rangsangan sakit. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi respirasi dapat terganggu. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga. Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam dimana kontak verbal dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan dengan anestesi umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan tingkat keahlian yang lebih tinggi untuk penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk menjaga jalan napas paten sendiri merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang atau sedasi sadar, tetapi pada tingkat sedasi ini tidak dapat dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat anestesi dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat sedative dapat menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar (Anonim4 2010). Anestesi dan sedasi pada monyet sering digunakan pada pengujian obat ataupun pemeriksaan klinis. Monyet harus direstrain atau dibius supaya tidak membahayakan pemeriksa (Sajuthi et al. 1997). Penggunaan obat bius dan sedatif untuk restrain telah banyak dilakukan pada hewan terutama yang liar dan sulit dikendalikan (Blackshaw & Allan 1988). Keberhasilan anestesi dan sedasi sangat tergantung dari kondisi fisiologis hewan. kondisi fisiologis hewan (monyet) sangat tergantung dari beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, bobot badan, perilaku, faktor lingkungan (suhu & kelembaban) dan lain-lain. Faktor lingkungan misalnya seperti perbedaan mikroklimat (suhu & kelembaban) dapat mempengaruhi kondisi fisiologis hewan
saat teranestesi maupun tersedasi. Hewan pada saat kondisi mikroklimat berada pada zona nyaman maka tingkat metabolisme fisiologis tubuhnya akan optimal dibandingkan dengan kondisi mikroklimat berada pada Heat stress atau Cold stress, sehingga hal ini sangat mempengaruhi kondisi fisiologis monyet saat teranestesi maupun tersedasi. Salah satu jenis zat anestesi maupun sedasi yang sering digunakan untuk pembiusan pada primata yaitu ketamin. Ketamin merupakan salah satu jenis anestesi non barbiturat yang sering digunakan dalam terapi bedah pada hewan kucing dan anjing. Ketamin merupakan zat yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman (batas keamanan lebar): sifat anelgesiknya sangat kuat untuk sistem somatis, tetapi lemah untuk sistem visceral yang tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadangkadang tonusnya tinggi (Ganiswarna 1995). Pemberian
ketamin
dapat
menyebabkan
halusinasi,
hipersalivasi,
hipertensi dan tidak adanya relaksasi otot, namun efek tersebut dapat diatasi dengan pemberian premedikasi (Hall & Clark 1983). Dosis ketamin untuk semua hewan kecil termasuk satwa liar (monyet ekor panjang) melalui injeksi intravena adalah 5-10 mg/kg BB, sedangkan dosis untuk injeksi intramuskular adalah 10-40 mg/kg BB. Lama anastesi sekitar 15 – 20 menit dan recovery kira-kira selama 30 sampai 60 menit. Ketamin merupakan analgesik kuat, bekerja pada sistem saraf pusat melalui saraf simpatomimetik dan parasimpatolitik dengan efek transquiliser (Hellyer
1996).
Ketamin
merangsang
proses
metabolisme
dan
kerja
kardiovaskuler, juga meningkatkan salivasi (Haskins et al. 1985 ; Hellyer 1996) meningkatkan suhu tubuh, detak jantung, dan tekanan arteri (Haskins et al. 1985).