2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rekayasa Kansei Rekayasa Kansei (Kansei Engineering) diperkenalkan oleh Prof. Mitsuo Nagamachi pada tahun 1970.
Rekayasa Kansei adalah suatu teknologi yang
menyatukan Kansei (perasaan dan emosi) dengan disiplin ilmu teknik (rekayasa). Rekayasa Kansei digunakan dalam pengembangan produk untuk memperoleh kepuasan konsumen, yaitu dengan menganalisa perasaan dan emosi manusia dan menghubungkan perasaan dan emosi tersebut menjadi desain produk (Nagamachi & Lokman 2011). Menurut Nagamachi dan Lokman (2011), dalam definisi psikologi, Kansei mengacu pada pikiran yang ada, dimana pengetahuan, emosi dan keinginan berjalan harmonis. Menurut Schütte dan Eklund (2003), Kansei merupakan perasaan psikologis yang mencakup semua perasaan yang ditimbulkan dari alat indra manusia yaitu melihat, mendengar, merasakan dan mencium. Kansei dipengaruhi oleh tingkah laku, sikap, pengetahuan dan perasaan manusia. Secara ringkas prinsip kata Kansei oleh Schütte dan Eklund (2003) disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Prinsip Kansei (Schütte & Eklund 2003). Pengertian Kansei dalam rekayasa Kansei mengacu kepada ungkapan terhadap produk atau lingkungan, dimana emosi dan citra terhadap produk tersebut telah tersimpan di dalam pikiran. Sebagai contoh, ungkapan “produk itu mewah” atau “produk itu bergaya muda” merupakan kesan Kansei terhadap produk. Umumnya Kansei yang digunakan dalam rekayasa Kansei berbentuk kata sifat, walaupun dapat pula berbentuk kata benda (Nagamachi & Lokman 2011).
8
Rekayasa Kansei dikembangkan sebagai teknologi yang berorientasi konsumen untuk pengembangan produk baru. Rekayasa Kansei menerjemahkan Kansei konsumen secara psikologis, dan selanjutnya menganalisa Kansei dengan menggunakan metode-metode yang dapat menerjemahkan Kansei yang telah dianalisa ke dalam bentuk elemen desain. Prinsip dari Kansei Engineering disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Proses sistem rekayasa Kansei (Nagamachi 1995). Nagamachi (2002b) menyatakan rekayasa Kansei didefinisikan sebagai teknologi yang menerjemahkan perasaan (Kansei) konsumen terhadap suatu produk menjadi elemen desain produk tersebut. Terdapat empat hal penting dalam teknologi ini, yaitu; (1) bagaimana memahami perasaan (Kansei) konsumen terhadap suatu produk, (2) bagaimana mengidentifikasi karakteristik rancangan produk dari Kansei
konsumen, (3) bagaimana membangun rekayasa Kansei
sebagai teknologi, (4) bagaimana produk disesuaikan dengan trend yang selalu berubah. Nagamachi dan Lokman (2011)
menyatakan produk-produk yang
dikembangkan menggunakan rekayasa Kansei atau yang disebut dengan produk Kansei tidak harus mahal atau mempunyai teknologi tinggi.
Produk Kansei
merupakan produk yang mampu mengaktualisasikan kebutuhan dan emosi konsumen, sehingga konsumen ingin membeli produk tersebut. Keinginan dan emosi konsumen tersebut keinginan konsumen diterjemahkan baik dalam bentuk fungsi dan bentuk produk. Terdapat enam tipe Kansei Engineering yang dikembangkan, seperti dijelaskan di bawah ini (Nagamachi & Lokman 2011):
9
• Rekayasa Kansei tipe I – Klasifikasi kategori Rekayasa Kansei tipe I atau disebut klasifikasi kategori. Dalam tipe ini, Kansei konsumen terhadap suatu produk dihubungkan dengan sifat produk secara manual dengan menggunakan struktur pohon. Langkah tipe ini yaitu dengan memecahkan konsep dari target produk menjadi subkonsep-subkonsep dan selanjutnya diterjemahkan menjadi karakteristik fisik produk. Secara ringkas langkah tipe ini disajikan pada Gambar 3. Langkah-langkah dalam rekayasa Kansei tipe I yaitu, melakukan identifikasi target produk, menentukan konsep produk, atau yang diistilahkan sebagai konsep Kansei ordo-0. Selanjutnya konsep tersebut dipecah menjadi subkonsep (konsep Kansei ordo ke-1). Jika subkonsep ini belum dapat diterjemahkan dalam bentuk karakteristik fisik, maka selanjutnya dipecah lagi menjadi konsep Kansei ordo ke2, dan seterusnya sehingga diperoleh karakteristik desain yang sesuai.
Konsep Kansei Ordo ke-0
Konsep Kansei Ordo ke-1
Konsep Kansei Ordo ke-2
Konsep Kansei Ordo ke-3
Fisik desain
Konsep 1-1
Konsep 1-1-1
A
Konsep 1-2-1
B
Konsep 1-2-2
C
Konsep 3-2-1
P
Konsep 3-2-2
Q
Konsep 1 Konsep 1-2 Konsep 2-1 Konsep Produk
Konsep 2
Konsep 2-2 Konsep 2-3 Konsep 3-1
Konsep 3 Konsep 3-2
Ket : A, B, C, …,Q = contoh fisik desain Gambar 3 Konsep rekayasa Kansei tipe I (Nagamachi & Lokman 2011).
10
Contoh penggunaan rekayasa tipe I ini dilakukan untuk produk mobil sport (Nagamachi 1995; Nagamachi & Lokman 2011),
Guerin (2004) juga
menggunakan rekayasa Kansei tipe I untuk melakukan pengembangan desain interior pesawat. •Kansei Engineering tipe II - Kansei Engineering System Tipe ini merupakan teknik menerjemahkan Kansei konsumen terhadap produk dan menerjemahkannya menjadi elemen desain produk (Gambar 4). Metode ini menggunakan basis data Kansei konsumen dan menggunakan komputer dan kecerdasan buatan (artificial intelligent) untuk menghubungkan antara Kansei dan elemen desain (Ishihara et al. 1995; Ishihara et al. 1997; Ishihara et al. 2002; Mastur & Hadi 2005).
Gambar 4 Proses penerjemahan rekayasa Kansei tipe II (Nagamachi & Lokman 2011). • Rekayasa Kansei Tipe III Tipe ini sama dengan tipe kedua, tapi tipe ini menggunakan model matematika untuk menghubungkan antara Kansei konsumen dan elemen desain. Nagamachi dan Lokman (2011) menggunakan rekayasa Kansei tipe ini untuk menghubungkan artikulasi suara dari suatu kata dan kesan yang ditangkap dari kata tersebut.
11
• Hybrid Kansei Engineering Terdiri dari dua metode yaitu forward dan backward Kansei engineering. Forward Kansei engineering adalah suatu metode dimana konsumen memilih produk yang sesuai dengan Kansei-nya, selanjutnya dengan bantuan komputer akan menerjemahkan menjadi desain yang sesuai, sedangkan backward Kansei engineering rancangan desain diunduh kedalam komputer dan selanjutnya komputer akan menyediakan kata Kansei yang sesuai. Sistem yang menggunakan kedua metode diatas disebut dengan hybrid Kansei engineering, dimana konsumen dapat memasukkan kata Kansei untuk memperoleh rancangan desain, atau desainer dapat memasukkan gambar atau sketsa untuk mengetahui kata Kansei yang sesuai (Nagamachi & Lokman 2011). • Kansei Engineering Tipe V Virtual Kansei Engineering Tipe ini menggunakan teknik virtual reality untuk pengumpulan data. Tipe ini digunakan oleh Electric Works dan University Hiroshima untuk merancang dapur ruang makan (Nagamachi & Lokman 2011). Hariguchi (1995) melakukan penelitian untuk mengembangkan sistem kendaraan dengan pendekatan simulator menggunakan rekayasa Kansei . • Kansei Engineering Tipe VI - Collaborative Kansei Engineering Designing Pada rekayasa Kansei tipe ini menggunakan bantuan Web, dimana desainer dari lokasi yang berbeda dapat bekerja sama dalam pembuatan suatu desain produk. Pembuatan desain dilakukan dengan menggunakan basis data Kansei (Schütte 2002; Nagamachi et al. 2006). Secara umum, Schutte (2002) mengajukan tahapan prosedur pada rekayasa Kansei, sebagai berikut: Pemilihan domain (choosing the domain) Pada tahap ini dilakukan penetapan tipe produk, segmen pasar dan target grup . Pengumpulan ruang semantik (spanning the semantic space) Pada tahap ini, dilakukan pengumpulan kata-kata Kansei dari majalah, brosur, internet dan lain-lain, dan selanjutnya melakukan identifikasi struktur Kansei. Identifikasi dapat dilakukan secara manual seperti affinity diagram maupun secara statistik seperti PCA dan analisis faktor.
12
Pengumpulan ruang atribut (spanning the space of properties) Mengumpulkan berbagai produk sejenis yang ada di pasaran. Menurut Keim et al. (2008) penilaian secara visual akan meningkatkan persepsi dan kemampuan kognitif manusia, dan dengan bantuan teknik analisis membantu untuk memperoleh pemahaman lebih jauh. Sintesis Pada tahap ini ruang semantik dan ruang atribut dihubungkan. Teknik yang dapat digunakan pada tahap ini yaitu; secara manual (Kansei engineering type I- category classification), menggunakan metode statistik (analisis regresi, Quantification theory type I) dan menggunakan metode peringkat (fuzzy set theory, genetic algorithm, neural network, rough set theory).
Kansei merupakan sesuatu hal yang abstrak atau tidak dapat dipegang, sehingga pengukuran yang dilakukan berupa ekspresi yang dikeluarkan oleh manusia. Pengukuran Kansei manusia dapat dilakukan melalui: perilaku dan tindakan manusia, kata-kata yang diucapkan, mimik muka dan bahasa tubuh, dan pengukuran secara fisik seperti; detak jantung, EMG, EEG. Dalam rekayasa Kansei, konsumen diminta untuk mengungkapkan Kanseinya saat melihat suatu produk. Ungkapan tersebut disebut kata Kansei. Untuk memahami Kansei konsumen dapat digunakan semantic differensial (SD) yang dikembangkan oleh Osgood (Schütte 2002). SD digunakan sebagai teknik utama dalam memahami Kansei konsumen. Osgood menggunakan skala untuk mengkuantifikasi kata, yaitu dengan membandingkan kata dan lawan katanya, seperti ringan – berat, panas – dingin. Menurut Nagamachi dan Lokman (2011), dalam rekayasa Kansei penggunaan lawan kata seperti cantik – jelek tidak tepat, karena tidak ada desain yang jelek, sehingga padanan kata yang digunakan adalah cantik – tidak cantik, mewah – tidak mewah.
2.2 Tahapan Pengembangan Produk Produk merupakan sesuatu yang dijual oleh perusahaan kepada pembeli. Suatu produk mempunyai sifat kompleks yang dapat diraba, termasuk kemasan,
13
warna, harga, prestasi perusahaan dan pengecer yang diterima oleh pembelian untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pembeli (Shane 2008). Keberhasilan produk yang dikembangkan tergantung dari respon konsumen, produk hasil pengembangan dikatakan sukses bila mendapat respon positif dari konsumen yang diikuti dengan keinginan dan tindakan untuk membeli produk. Mengidentifikasi kebutuhan konsumen merupakan fase yang paling awal dalam mengembangkan produk, karena tahap ini menentukan arah pengembangan produk (Ulrich & Eppinger 2008). Menurut Schiffman dan Kanuk (2000) proses pengambilan keputusan konsumen dalam membeli suatu produk terdiri dari tiga tahap yang saling berhubungan, yaitu tahap masukan (input), tahap proses dan tahap keluaran (output). Pada tahap masukan berupa pengenalan konsumen terhadap kebutuhan atas produk yang berasal dari usaha pemasaran produk tersebut dan pengaruh sosial dari eksternal konsumen, seperti keluarga, teman, tetangga dan sumber informal lainnya.
Informasi yang diperoleh merupakan masukan yang
mempengaruhi apa yang akan dibeli oleh konsumen. Tahap proses merupakan suatu tahapan dimana konsumen mengambil keputusan. Berbagai faktor psikologis mempengaruhi setiap individu. Pengalaman yang diperoleh melalui evaluasi berbagai alternatif akan mempengaruhi psikologis konsumen yang ada. Tahap keluaran dalam pengambilan keputusan terdiri dari dua kegiatan yaitu perilaku membeli dan evaluasi setelah membeli. Adanya pembelian ulang menandakan bahwa produk tersebut dapat diterima oleh konsumen (Schiffman & Kanuk 2000). Perancangan dan pengembangan produk merupakan serangkaian aktivitas yang dimulai dari analisa persepsi dan peluang pasar, kemudian diakhiri dengan tahap produksi, penjualan dan pengiriman produk (Ulrich & Eppinger 2008). Ulrich dan Eppinger (2008) menambahkan bahwa tahapan pengembangan produk terbagi menjadi enam tahap, yaitu tahap perencanaan, pengembangan konsep, desain tingkat sistem, desain detail, pengujian dan perbaikan, dan tahap terakhir adalah berjalannya produksi. Proses pengembangan produk diawali dengan tahap perencanaan, yang menghubungkan penelitian lebih lanjut dan kegiatan pengembangan teknologi. Keluaran tahap perencanaan ini adalah pernyataan misi
14
dari proyek, yang merupakan masukan yang dibutuhkan untuk memulai tahap pengembangan konsep dan menjadi sebuah panduan bagi tim pengembangan. Hasil dari proses pengembangan produk adalah pada saat produk diluncurkan dan tersedia di pasaran. Karakter dalam pengembangan produk terbagi menjadi lima tipe (Ulrich & Eppinger 2008). Karakter tersebut disesuaikan dengan kemampuan dan tujuan perusahaan, tipe ini yaitu sebagai berikut: a. Tipe generic (market pull), pada tipe ini perusahaan mengawali dengan peluang pasar kemudian mendapatkan teknologi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Contoh penerapan tipe ini yaitu pada barang-barang untuk keperluan olahraga, furnitur, dan alat bantu kerja. b. Tipe technology push, pada tipe ini perusahaan mengawali dengan suatu teknologi baru, kemudian mendapatkan pasar yang sesuai. Perbedaan dengan tipe market pull yaitu pada tahap perencanaan melibatkan kesesuaian antara teknologi dan kebutuhan pasar. Pengembangan konsep mengasumsikan bahwa teknologinya telah tersedia. c. Produk platform, pada tipe ini perusahaan mengasumsikan bahwa produk baru akan dibuat berdasarkan sub-sistem teknologi yang telah ada. Peralatan elektronik, komputer dan printer adalah beberapa contoh yang dikembangkan dengan karakter ini. d. Process intensive, pada tipe ini karakteristik produk sangat dibatasi oleh proses produksi. Pada tipe ini proses dan produk harus dikembangkan bersama-sama dari awal atau proses produksi harus dispesifikasikan sejak awal. Contoh process intensive adalah pengembangan makanan ringan, bahan kimia, semikonduktor. e. Costumized, pada tipe ini produk baru memungkinkan sedikit variasi dari model yang telah ada. Tipe ini diterapkan pada pengembangan produk saklar, motor, baterai dan kontainer.
Atribut produk merupakan unsur-unsur produk yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan dasar keputusan pembelian suatu produk. Menurut Kotler dan Armstrong (2008) atribut produk tersebut meliputi mutu, fitur, serta gaya dan
15
desain produk. Dijelaskan dalam Kotler dan Armstrong (2008), mutu produk berhubungan erat dengan nilai dan kepuasan konsumen. Mutu mempunyai dua dimensi, yaitu tingkat dan konsistensi. Pada umumnya perusahaan memilih tingkat mutu yang sesuai dengan kebutuhan pasar sasaran dan tingkat mutu produk pesaing. Konsisten disini dalam arti bahwa mutu roduk mempunyai tingkat mutu yang ditargetkan dan diharapkan konsumen secara konsisten. Fitur produk merupakan sarana kompetitif untuk membedakan produk terhadap produk sejenis yang menjadi pesaing. Menjadi produsen awal yang mengenalkan fitur baru yang dibutuhkan dan dianggap bernilai menjadi salah satu cara yang efektif untuk bersaing (Kotler & Armstrong 2008) Gaya dan desain merupakan cara lain untuk menambahkan nilai bagi konsumen adalah melalui gaya dan desain produk yang khas. Desain merupakan hasil kreatifitas manusia yang diwujudkan dalam bentuk produk untuk memenuhi kebutuhan manusia. Penilaian suatu nilai desain produk didasarkan pada tiga unsur, yaitu fungsional, estetika dan ekonomi (Wardani 2003). Crawford dan Di Benedetto (2000) mengklasifikasikannya menjadi fungsi, ergonomi dan image atau estetika. Selanjutnya unsur dapat dibagi menjadi tiga faktor desain yaitu konten (isi), bentuk dan substansi. Faktor konten berupa tujuan, penggunaan, fungsi dan arti dari produk. Faktor bentuk berupa ukuran, warna dan tekstur, dan faktor substansi yaitu bahan material yang digunakan dan proses produksinya (Choi & Jun 2007). 2.3 Rotan Rotan merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang terdapat di Indonesia. Kata rotan dalam bahasa Melayu diturunkan dari kata raut yang berarti meraut, mengupas, melicinkan dengan bantuan benda tajam seperi pisau atau parang (Rachman & Jasni 2008). Rotan merupakan salah satu sumber hayati Indonesia, penghasil devisa negara yang cukup besar. Sebagai negara penghasil rotan terbesar, Indonesia telah memberikan sumbangan sebesar 80% kebutuhan rotan dunia. Dari jumlah tersebut 90% rotan dihasilkan dari hutan alam yang terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sekitar 10% dihasilkan dari budidaya rotan (Kalima, 1996).
16
Pusat penyebaran tumbuhan rotan adalah Asia, terutama Asia Tenggara. Di daerah ini ditemui 10 genera yang meliputi 85% dari seluruh jenis rotan yang tumbuh di dunia. Dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara paling kaya akan jenis sumber daya rotan. Secara nasional tercatat 312 spesies rotan yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, Sulawesi dan Jawa (Rachman & Jasni 2008; Kalima 1996). Rotan merupakan palem berduri yang memanjat dan hasil hutan bukan kayu yang terpenting di Indonesia (MacKinnon 1998). Rotan dapat berbatang tunggal (soliter) atau berumpun. Rotan yang tumbuh soliter hanya dipanen sekali dan tidak beregenerasi dari tunggul yang terpotong, sedangkan rotan yang tumbuh berumpun dapat dipanen terus-menerus. Rumpun terbentuk oleh berkembangnya tunas-tunas yang dihasilkan dari kuncup ketiak pada bagian bawah batang. Kuncup-kuncup tersebut berkembang sebagai rimpang pendek yang kemudian tumbuh menjadi batang di atas permukaan tanah (Dransfield & Manokaran 1996). Batang rotan berbentuk silindris dan mempunyai diameter batang berkisar antara 6 – 50 mm, tergantung kepada jenisnya. Bentuk batang rotan terdiri dari ruas-ruas yang panjangnya berkisar antara 10 sampai 50 cm. Ruas satu dengan yang lain dibatasi dengan buku, namun buku ini hanya terdapat di bagian luar batang, tidak membentuk sekat seperti bambu (Rachman & Jasni 2008). Walaupun mirip dengan bambu, rotan dapat dibedakan dari bambu dimana rotan mempunyai batang yang padat, sedangkan pada batang bambu terdapat rongga ditengahnya. Rotan memiliki batang yang fleksibel dan panjang, dan harus ditopang, sedangkan bambu memiliki batang yang kaku dan panjang. Secara garis besar komponen kimia penyusun rotan adalah selulosa, lignin dan zat ekstraktif (Jasni et al. 2000; Rachman & Jasni 2008). Jumlah selulosa dalam rotan 38 - 58 persen. Selulosa pada rotan berbentuk rantai panjang dan tersusun pada dinding sel rotan. Orientasi rantai selulosa ini pada satu bagian tersusun rapat (daerah kristalit) dan pada bagian lain tersusun tidak teratur (daerah amorf). Daerah amorf ini yang mudah dimasuki atau mengeluarkan air sehingga rotan bisa mengembang atau mengerut (Rachman & Jasni 2008). Lignin merupakan komponen terbesar kedua pada rotan. Komponen lignin pada rotan berkisar 18 – 27 persen (Rachman & Jasni 2008). Lignin berfungsi
17
memberikan kekuatan pada batang, makin tinggi kadar lignin dalam rotan makin kuat rotan karena ikatan antar serat juga makin kuat (Jasni et al. 2000). Menurut Rachman dan Jasni (2008) zat ekstraktif pada rotan lebih kurang 13 persen. Zat ekstraktif pada rotan antara lain gula-gula yang dapat menjadi bahan makanan jamur dan serangga, lilin dan getah, zat warna dan silika. Menurut Rachman dan Jasni (2008) sifat fisis dan mekanis adalah indikator penting untuk menentukan perilaku penampakan, kekuatan dan mutu rotan. Sifat fisis mekanis rotan ditentukan oleh susunan dan orientasi sel penyusun dan komposisi kimia rotan. Sifat fisis mekanis rotan mencakup kadar air, berat jenis dan kekuatan lentur statik. Kekuatan lentur statik adalah ukuran kemampuan rotan menahan beban lentur yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk. Secara taksonomi, rotan mempunyai banyak jenis. Penyebutan nama rotan menunjuk kepada beberapa tanaman yang berasal dari berbagai genus dan spesies yang secara umum disebut rotan karena mempunyai persamaan ciri-ciri umum dan tempat hidup.
Rotan yang dibudidayakan dan memiliki prospek
pengembangan adalah palasan (Calamus merrillii Beccari), rotan batang (C. zollingeri), rotan batu (C. subinermis), rotan buku hitam (C. palustris Griffth), rotan gunung (C. exilis Griffth), rotan irit (C. trachycoleus), rotan kesup (C. ornatus), rotan lilin (C. javensis), rotan manau (C. manan), rotan manau tikus (C. tumidus), rotan semambu (C. scipionum), rotan taman (C. optimus), rotan tumalim (C. mindorensis), rotan tut (C. pogonacanthus), dan rotan udang (Korthalsia echinometra) (Januminro 2000). Di Indonesia terdapat delapan marga rotan yang terdiri atas kurang lebih 306 jenis, hanya 51 jenis yang sudah dimanfaatkan. Hal ini berarti pemanfaatan jenis rotan masih rendah dan terbatas pada jenis-jenis yang sudah diketahui manfaatnya dan laku di pasaran. Ada beberapa jenis rotan batang asalan yang sering digunakan untuk menjadi rotan batang poles, yaitu a. Manao : Rotan tersebut merupakan rotan yang paling baik untuk dijadikan batang poles karena kelenturannya dan kekuatannya. Ciricirinya: ruas/ buku sama datar, warnanya kuning gading/ cerah, tidak berumpun dan panjangnya mencapai 100 meter. Biasanya dipakai untuk membuat kursi, sofa dan meja.
18
b. Mandola : Rotan ini paling sering digunakan oleh para pengrajin rotan, karena harganya yang ekonomis dari rotan manau. Biasanya digunakan untuk membuat kursi dan rak c. Tohiti : Rotan ini memiliki kualitas yang kurang baik dibandingkan rotan manao dan mandola, biasanya digunakan pengrajin sebagai palang silang kaki kursi. d. Blunuk : Rotan tersebut basanyanya dipakai oleh pengrajin yang menjual produknya dengan harga dan kualitas yang rendah, sebab rotan ini memiliki kualitas yang rendah. e. Suti : Rotan tersebut memiliki ciri-ciri: ukurannya lebih pendek dan diameter rotan tidak rata atau tidak proporsional. f. Semambu: rotan tersebut memiliki ciri-ciri: ruasnya lebih panjang dan berbuku rata, warna hijau kekuning-kuningan, seratnya/ pori besar sehingga mudah patah. Biasanya digunakan untuk membuat kursi dan meja. g. Manu : rotan tersebut terbilang jenis baru yang diproses menjadi batang poles, tetapi memiliki kualitas yang sama dengan rotan mandola. Rotan mempunyai sifat yang unik, yaitu walaupun mempunyai diameter sebesar ibu jari, namun panjangnya dapat mencapai 100 meter. Bahan rotan bersifat keras, namun cukup elastis untuk dapat dilengkungkan. Batang polos rotan dimanfaatkan secara komersial untuk furnitur dan anyaman rotan karena kekuatan, kelenturan dan keseragamannya. Diperkirakan 20% spesies rotan digunakan secara komersial baik dalam bentuk utuh maupun dalam belahan. Kulit rotan dapat dimanfaatkan untuk tikar dan keranjang. Di daerah pedesaan banyak spesies rotan telah digunakan untuk berbagai tujuan seperti tali-temali, konstruksi, keranjang, atap dan tikar (Dransfield & Manokaran 1996). Setiap bagian dari rotan dapat dimanfaatkan. Batang rotan yang sudah tua banyak dimanfaatkan untuk bahan baku kerajinan dan perabot rumah tangga. Batang yang muda digunakan untuk sayuran, akar dan buahnya untuk bahan obat tradisional. Getah rotan dapat digunakan untuk bahan baku pewarnaan pada industri keramik dan farmasi. Pohon industri rotan disajikan pada Gambar 5.
19
Batang rotan dapat dibuat bermacam-macam bentuk perabot rumah tangga atau hiasan-hiasan lainnya. Misalnya furnitur, kursi, rak, penyekat ruangan, keranjang, tempat tidur, lemari, lampit, sofa, baki, pot bunga, dan sebagainya. Selain itu, batang rotan juga dapat digunakan untuk pembuatan barang-barang anyaman untuk dekorasi, tas tangan, kipas, bola takraw, karpet, dan sebagainya (Januminro 2000). Rotan merupakan salah satu bahan baku furnitur yang paling diminati oleh masyarakat nasional maupun internasional. Salah satu keunggulan rotan sebagai bahan baku furnitur adalah bentuknya silindris dan lurus sehingga dapat digunakan sebagai kerangka furnitur berbagai macam bentuk (Krisdianto et al. 2007). Selain itu keunikan rotan terletak pada kemampuannya yang khas dalam menampilkan rasa artistik yang alami, dan secara fisik perabot rotan jika dibandingkan dengan dengan barang lain dengan fungsi yang sama lebih ringan sehingga mudah dipindahkan letak maupun posisinya (Rachman & Jasni 2008). Keunikan rotan dibandingkan dengan material furnitur lainnya yaitu dengan bantuan pemanasan, rotan mudah dilengkungkan, sehingga komponen furnitur dapat dibuat dalam bentuk lengkung agar memiliki nilai artistik yang tinggi (Rachman dan Karnasudirdja, 1978, Hartono, 1998). Komponen dalam bentuk lengkung selain menambah nilai artisik, juga menambah ciri khas produk furnitur rotan.
2.4 Pengolahan Rotan Pengolahan rotan menurut Jasni (2000) merupakan proses pengolahan bahan baku rotan asalan yang telah dipungut dari kebun atau hutan menjadi bahan baku rotan setengah jadi dan barang jadi atau siap pakai atau dijual. Pengolahan rotan terdiri dari pengolahan rotan berdiameter kecil (<18 mm) dan rotan berdiameter besar (>18 mm).
20
Gambar 5 Pohon industri rotan (Kemenperin 2007).
21
Tujuan pengolahan rotan asalan sebelum menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi, antara lain untuk menghilangkan kotoran dan selaput silika yang masih melekat pada batang rotan, mendapatkan bahan baku rotan yang tahan terhadap hama dan penyakit, menghasilkan bahan baku rotan bulat (amplas dan serut), kulit dan hati rotan yang diinginkan sesuai dengan tujuan penggunaannya dan meningkatkan nilai tambah, keindahan, serta hasil guna bahan baku rotan. Secara umum terdapat tiga aliran pengolahan rotan sebagai bahan baku. Industri pengolahan rotan dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat pengolahan dan hasil produksinya, seperti dijelaskan di bawah ini: 1. Industri yang menghasilkan rotan bulat W&S (Washed and Sulphurized). Kelompok ini merupakan usaha pengawetan rotan bulat sebagai bahan baku. 2. Industri yang menghasilkan bahan baku siap pakai atau barang-barang setengah jadi. Kelompok ini mengolah rotan bulat menjadi bentuk barang-barang setengah jadi yang disesuaikan dengan sifat dan keperluannya (rattan polished dan peel/bark core) 3. Industri yang menghasilkan barang-barang jadi dan barang-barang kerajinan. Kelompok ini mengolah bahan baku siap pakai atau barang setengah jadi menjadi barang jadi dan barang-barang kerajinan (furnitur/ alat-alat rumah tangga, lampit, anyaman, kap lampu, keranjang dan lain lain). Menurut Jasni et al. (2000), rotan yang berdiameter kecil seperti rotan seel (Daemonorop melanochaetes Becc.) yang telah dipanen dan dibersihkan daun dan duri serta anggota batang dan dilakukan penggosokan menggunakan serbuk gergaji atau sabut kelapa. Selanjunya rotan dipotong sesuai standar dan dibawa ke tempat penumpukan rotan dan dijemur dan pengasapan sampai kering. Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi belerang (gas SO2) agar warna rotan kuning merata dan tahan terhadap serangan jamur.
Proses pengolahan
sampai tahap ini disebut rotan WS (Washed and Sulphurized). Rotan yang sudah kering, dilakukan pembelahan (rotan dibelah).
Kulit rotan digunakan untk
pengikat atau dibuat lampit. Hati rotan kecil disebut fitrit. Tahapan pengolahan rotan asalan sebelum menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, antara lain:
22
pemotongan rotan, perendaman dalam air, pencucian dan penggosokan, peruntian, pengikisan, penjemuran/ pengeringan, pelurusan, pengawetan, pemutihan, pengasapan, dan sortasi mutu.
Ketika rotan asalan telah mengalami proses
pengolahan untuk menjadi barang setengah jadi rotan asalan akan mengalami proses pengolahan kulit, hati rotan dan pitrit. Proses pengolahan rotan asalan menjadi barang jadi sangat tergantung pada fungsi dan tujuan akhir dari barang akan dibuat. Proses pembuatan barang jadi merupakan gabungan proses mekanik (pemotongan dan pengolahan rotan) dan pengerjaan seni tradisional (pembentukan produk jadi secara manual). Pengusahaan barang jadi rotan merupakan usaha padat karya atau menyerap banyak tenaga kerja manusia yang memiliki keterampilan (Januminro 2000). Proses pembuatan barang jadi rotan (furnitur) secara umum terdiri dari beberapa tahap, antara lain persiapan bahan baku, pembentukan dan pembuatan tipe furnitur, perakitan, prefinishing, pengeringan dan seleksi. 2.5 Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas Saaty pada tahun 1971. AHP adalah suatu metode pengambilan keputusan untuk memecahkan suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam beberapa komponen dalam susunan yang memiliki hirarki (Saaty 1980). Ditambahkan, bahwa dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis yang digunakan dalam proses hirarki analitik, terdapat tiga prinsip yang harus ditempuh yaitu penyusunan hirarki, penetapan prioritas dan konsistensi logis (Saaty 1980). Saaty (1980) menyatakan bahwa penyelesaian persoalan dengan AHP diawali dengan penyusunan hirarki persoalan. Pada tahap ini, persoalan yang kompleks distrukturkan secara grafis. Agar dapat dibandingkan, maka setiap alternatif keputusan harus dapat dinilai dengan kriteria-kriteria yang dapat dirinci menjadi sub kriteria. Selanjutnya sub kriteria dirinci lagi menjadi sub-sub kriteria dan seterusnya. Melalui penyusunan kriteria, sub kriteria, sub sub kriteria dan seterusnya dalam suatu hirarki, maka alternatif keputusan yang akan diambil dapat di-rangking. Dalam hirarki, masing-masing komponen akan diberikan nilai serta
23
tingkat kepentingan melalui proses pembandingan berpasangan (pair-wise comparison). AHP merupakan algoritma yang membantu untuk memecahkan masalah keputusan seperti Multiple Choice Decision Analysis (MCDA) (Saaty 1980). Ada banyak MCDA metode yang telah dikembangkan seperti ELECTRE, TOPSIS, dll tetapi metode ini tidak mempertimbangkan saling ketergantungan antara kriteria dan alternatif (Lin et al. 2008). Analisis AHP merupakan suatu metode penyelesaian persoalan secara terorganisir sehingga dapat mengambil keputusan efektif. Menurut Saaty (1980), metode AHP memilah-milah suatu situasi kompleks, tidak teratur ke dalam variabel-variabel, kemudian disusun secara hirarki. Proses penilaian dalam metode ini adalah dengan memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif setiap variabel. Kemudian melakukan sintesis pertimbangan-pertimbangan agar dapat menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi. Prinsip kerja AHP menurut Marimin (2004), terdiri dari empat pokok yaitu penyusunan hirarki, penilaian kinerja, penentuan priotitas, dan konsistensi logis. Penjelasannya sebagai berikut : a. Penyusunan hirarki merupakan suatu gambaran persoalan yang dibentuk dalam diagram atau gambar berbentuk hirarki, yang dimulai dari tujuan (goal), kriteria, kemudian alternatif. Kriteria disini dapat berupa faktor, aktor, dan tujuan. Kriteria juga dapat diimprovisasi. b. Penilaian
kriteria
dan
alternatif
dilakukan
melalui
perbandingan
berpasangan (pairwise comparison) dengan skala satu sampai sembilan. c. Penentuan prioritas setiap kriteria dan alternatif diperoleh dengan mempertimbangkan nilai-nilai pengolahan matematis dan statistik hasil perbandingan berpasangan. d. Konsistensi logis, yaitu semua alternatif dikelompokkan secara logis dan diperingatkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
Tahapan yang terpenting di dalam AHP adalah penilaian alternatif dengan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dalam suatu hirarki. Penilaian dilakukan dengan memberi bobot numerik dan membandingkan antara
24
satu alternatif dengan alternatif lainnya sesuai dengan skala penilaian dan selanjutnya disintesa untuk menentukan alternatif yang memiliki prioritas tertinggi dan terendah. Contoh bagan penilaian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1, bagian kotak yang diarsir tidak diisi, tetapi yang tidak diarsir diberikan penilaian sesuai kriteria. Bagian yang diarsir akan mempunyai nilai yang terbalik dengan nilai yang diberikan pada bagian yang tidak diarsir, sehingga tidak perlu diisi. Dalam bagan tersebut, setiap alternatif dinilai dan melalui penilaian perbandingan berpasangan akan dihasilkan alternatif prioritas. Konsep bagan ini berlaku bagi setiap hirarki persoalan dalam metode AHP.
Tabel 1 Tabel isian untuk perbandingan berpasangan Fokus S1 S2 S3 S4
S1 1
S2
S3
S4
1 1 1
Sumber: Marimin (2004).
Metode AHP menyediakan struktur matematika untuk membandingkan antar alternatif dengan metode perbandingan berpasangan, sehingga pada akhirnya akan diperoleh tingkat kepentingan atau bobot dari alternatif tersebut. Misalkan pada n alternatif, S1, S2,…,Sn merupakan alternatif yang akan dibandingkan. Nilai hasil perbandingan tingkat kepentingan alternatif ke-i dibagi dengan tingkat kepentingan ke-j dinotasikan sebagai aij , dan diformulasikan:
aij
ai aj
(1)
Nilai aij yang diberikan berbentuk skala dari 1 sampai 9. Angka ‘1’ menunjukkan bahwa alternatif mempunyai tingkat kepentingan yang sama, sedangkan angka ‘9’ menunjukkan bahwa alternatif ke-i mutlak lebih penting daripada alternatif ke-j. Nilai-nilai untuk perbandingan disajikan pada Tabel 2.
25
Tabel 2 Skala penilaian kriteria dalam AHP Nilai Keterangan 1 Alternatif ke-i sama penting dengan alternatif ke-j 3 Alternatif ke-i lebih penting dari ke-j 5 Alternatif ke-i jelas lebih penting dari ke-j 7 Alternatif ke-i sangat jelas lebih penting dari ke-j 9 Alternatif ke-i mutlak lebih penting dari ke-j 2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai alternatif yang berdekatan Sumber: Marimin (2004).
Dari hasil perbandingan berpasangan akan diperoleh sebuah matriks n x n yang dinotasikan sebagai matriks A. Nilai diagonal dari matriks tersebut adalah 1 (aii = 1), sehingga penilaian dari Tabel 1 diatas dapat dinotasikan:
s1
sn
s2
a12 1 A 1/ a12 1 1/ a1n 1/ a 2 n
an S 1 a 2n S 2 1 Sn
(2)
Tsai dan Hsiao (2004) menyatakan untuk memperoleh nilai hasil eigenvalue pada AHP, maka suatu set bobot w (w1,w2,…,wn) sebagai eigenvector diperoleh dari eigenvalue , dimana
Aw w
(3)
Karena penilaian dan penentuan tingkat kepentingan dilakukan secara subjektif, maka pengambilan keputusan menggunakan AHP akan menghadapi persoalan konsistensi. Saaty (1980) mengemukakan metode untuk mengukur tingkat konsistensi melalui perhitungan Consistency Index (CI). Dari nilai Consistency Index (CI) selanjutnya ditentukan Consistency Ratio (CR). Pada tahap akhir dilakukan uji konsistensi hirarki lebih kecil atau sama dengan 10 persen, maka hasil penilaian hirarki secara keseluruhan dapat diterima. Berikut ini merupakan persamaan untuk penghitungan CI dan CR. Persamaan perhitungan CI: CI
max n n 1
(4)
26
Persamaan perhitungan CR: CR
CI RI
(5)
Keterangan: RI adalah Indeks Acak (Random Index) Nilai indeks acak bervariasi sesuai dengan orde matriksnya. Nilai rasio konsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0,1 merupakan nilai yang memiliki tingkat konsistensi baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut menjadikan nilai CR ini menjadi tolak ukur bagi konsistensi hasil komparasi berpasangan suatu matriks pendapat. 2.6 Association Rules Mining (Penambangan Kaidah Asosiatif) Association rules mining merupakan salah satu teknik di dalam data mining. Menurut Tan et al. (2006) data mining adalah suatu proses penemuan informasi yang berguna secara otomatis pada penyimpanan data yang besar. Teknik data mining diterapkan untuk menemukan pola-pola yang bisa digali dari suatu basis data. Ditambahkan oleh Susanto dan Suryadi (2010), data mining juga disebut sebagai knowledge discovery atau pattern recognition, yaitu untuk memperoleh pengetahuan yang masih tersembunyi dalam bongkahan data. Agrawal et al. (1994) menemukan association rules sangat penting dalam masalah data mining. Association rules umumnya digunakan untuk hubungan antara item atau fitur yang keluar secara serentak pada basis data. Ditambahkan oleh Tan et al. (2006) association rules berguna untuk menemukan hubungan yang tersembunyi pada suatu set data.
Association rules digunakan untuk
menentukan hubungan antar item suatu data set (sekumpulan data) yang ada. Melalui penggunaan association rule mining maka dapat ditemukan asosiasi yang menarik atau korelasi antara antar item data. Fungsi association rules seringkali disebut dengan analisis keranjang belanja (Market Basket Analysis). Menurut Olson (2008) analisis keranjang belanja mengacu pada metodologi yang mempelajari komposisi keranjang belanja konsumen, yaitu produk-produk apa saja yang dibeli konsumen pada satu kejadian belanja. Tujuannya adalah untuk menentukan produk-produk (jasa) apa saja yang paling sering dibeli atau digunakan secara bersamaan oleh konsumen.
27
Istilah analisis keranjang belanja datang dari kejadian yang sudah sangat umum terjadi di dalam supermarket. Sebuah supermarket yang menjual berbagai jenis produk dapat mencari hubungan asosiatif dari konsumen yang memasukan berbagai produk yang mereka beli ke dalam keranjang (market basket). Walaupun penggunaannya dimulai untuk pemasaran, namun penggunaan association rules sekarang semakin luas, seperti pada rekam data medis, data kejahatan dan lainlain (Bramer 2007). Menurut Bramer (2007), jika pada suatu basis data supermarket terdapat n transaksi, dalam hal ini, satu transaksi berarti satu pembelian yang dilakukan oleh konsumen. Produk yang dibeli pada satu transaksi itu adalah roti, susu, keju, maka roti, susu dan keju disebut sebagai item dan himpunan pembelian {roti, susu, keju} disebut sebagai itemset (I). Penggunaan association rules digunakan untuk memperoleh rule atau kaidah dari pembelian konsumen, sebagai contoh adalah jika membeli roti dan susu, maka konsumen juga membeli keju. Kaidah atau rule yang diperoleh harus memenuhi kriteria tertentu untuk dapat dijadikan sebagai rule yang kuat. Susanto dan Suryadi (2010) menyatakan bahwa aturan asosiasi berbentuk “if… then…” atau “jika… maka…” merupakan pengetahuan yang dihasilkan dari fungsi aturan asosiasi. Menurut Bramer (2007) rule yang dihasilkan dari hubungan asosiatif dinotasikan Y X, bagian kiri (Y) disebut sebagai antecendent dan bagian kanan (X) disebut consequent. Hubungan tersebut merupakan hubungan implikasi, bukan hubungan sebab akibat. Penting tidaknya suatu aturan asosiatif dapat diketahui dengan dua parameter, support yaitu persentase kombinasi atribut tersebut dalam basis data dan confidence yaitu kuatnya hubungan antar atribut dalam aturan asosiatif. Contoh penggunaan association rules (Tan et al. 2006): Dalam suatu basis data terdapat lima transaksi, dimana Transaksi 1, item yang dibeli adalah {roti, susu} Transaksi 2, item yang dibeli adalah {roti, popok, bir, telur} Transaksi 3, item yang dibeli adalah {susu, popok, bir, cola} Transaksi 4, item yang dibeli {roti, susu, popok, bir} Transaksi 5, item yang dibeli {roti, susu, popok, cola}
28
Contoh rule dari transaksi diatas : susu, popok bir, artinya banyak konsumen yang membeli susu dan popok juga membeli bir. Support count () adalah frekuensi terjadinya sebuah itemset dalam dataset {susu, popok, bir} = 2, Support (S) adalah perbandingan terjadinya sebuah itemset terhadap seluruh itemset yang ada S {roti, susu, popok} = 2/5 = 0,4 Nilai confidence (c) menunjukkan kekerapan munculnya item-item dalam Y pada transaksi yang mengandung X c {susu, popok, bir} =
{susu, popok , bir} 2 = 0,67 {susu, popok} 3
Secara umum proses association rule terdiri dari dua tahap: 1. Mencari semua itemset yang sering muncul; itemset tersebut memenuhi minimum support 2. Menghasilkan association rule yang strong, rule ini harus memenuhi minimal support dan minimal confidence.
2.7 Quality Function Deployment (QFD) Quality Function Deployment (QFD) pertama kali dikembangkan di Jepang pada akhir tahun 1960-an oleh Profesor Shigeru Mizuno dan Yoji Akao. Tahun 1972 Kobe Shipyards of Mitsubishi Heavy Industri memperkenalkan diagram kualitas /quality chart yang merupakan pusat dari QFD. QFD didefinisikan sebagai suatu metode pengembangan rancangan kualitas yang bertujuan untuk mendapatkan kepuasan konsumen dan kemudian menterjemahkan keinginan konsumen ke dalam target rancangan dan poin-poin jaminan kualitas yang akan digunakan dalam produksi (Akao & Mazur 2003). Menurut Gaspersz (2001), QFD didefinisikan sebagai suatu proses atau mekanisme
terstruktur
untuk
menentukan
kebutuhan
konsumen
dan
menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan itu kedalam kebutuhan teknis yang relevan, dimana masing-masing area fungsional dan level organisasi dapat mengerti dan bertindak.
29
Menurut Kwong dan Bai (2002) QFD merupakan alat manajemen yang menyediakan proses koneksi secara visual untuk membantu tim focus terhadap persyaratan konsumen melalui perancangan produk secara total dan daur pengembangan. Konsep dasar dari QFD adalah untuk menerjemahkan kenginan konsumen terhadap rancangan produk yang sesuai atau karakteristik teknik dan seterusnya karakteristik bagian, rencana proses dan kebutuhan produksi. House of Quality merupakan bentuk yang paling dikenal dari QFD (Griffin 1992).
Matriks House of Quality (HOQ) merupakan quality tables yang
dimodifikasi dengan menambahkan atap yang berbentuk segitiga. Kekuatan yang utama dari matriks ini adalah kemampuannya untuk beradaptasi sesuai kebutuhan dari suatu permasalahan (Lowe et al. 2000). Struktur HOQ dapat dilihat sebagai bingkai kerja sebuah rumah, seperti digambarkan pada Gambar 6. Komponen House of Quality dapat dijelaskan sebagai berikut ini: 1. Dinding luar dari rumah adalah kebutuhan pelanggan. -
Pada dinding sebelah kiri terdiri dari daftar suara pelanggan, atau apa yang menjadi harapan pelanggan dari sebuah produk (WHATs ).
-
Pada dinding sebelah kanan adalah prioritas kebutuhan pelanggan (tingkat kepentingan kebutuhan pelanggan), atau matriks perencanaan (Planning Matrix). Matrix perencanaan bisa berupa patok duga oleh pelanggan, tingkat kepentingan menurut pelanggan, nilai target, scale of factor, sales point.
2. Langit-langit rumah (plafon) atau lantai ke-2 dari rumah berisikan deskripsi teknis (HOWs), konsistensi produk yang diberikan lewat karakteristik teknis, batasan dan parameter desain. 3. Dinding dalam (interior) rumah adalah hubungan antara kebutuhan pelanggan (WHATs) dengan deskripsi teknis (HOWs). 4. Atap rumah adalah timbal balik atau korelasi antar masing-masing deskripsi teknis (HOWs). 5. Bagian dasar atau fondasi rumah adalah prioritas deskripsi teknis (urutan tingkat kepentingan). Prioritas deskripsi teknis tersebut dapat berupa patok duga teknis, tingkat kesulitan teknis, nilai target.
30
E. Hubungan Teknis
C. Tanggapan Teknis A Kebutuhan Konsumen
D. Hubungan Keterkaitan (tanggapan atas kebutuhan konsumen)
B. Prioritas Kebutuhan Konsumen
F. Matriks Teknis (prioritas tanggapan teknis, target teknis, benchmarking)
Gambar 6 Ilustrasi matriks rumah mutu. Tahapan pembuatan matriks HOQ adalah sebagai berikut (Marimin 2004) : a.
Identifikasi harapan konsumen Tahap ini merupakan tahap untuk mendefinisikan harapan konsumen terhadap produk. Data untuk tahap ini diperoleh dari hasil pengetahuan yang diperoleh sebelumnya.
b.
Elemen desain produk
c.
Sasaran proyek
d.
Parameter teknis
e.
Matriks interaksi/hubungan keterkaitan
f.
Trade off Beberapa aktivitas proses memiliki proses keterkaitan antara satu dengan lainnya. Pemberian tindakan pada aktivitas proses dapat mengakibatkan perubahan pada aktivitas proses yang terkait lainnya, baik perubahan searah (positif) maupun perubahan berlawanan arah (negatif). Penentuan hubungan keterkaitan dalam penelitian ini dilakukan secara brainstorming dengan
31
bagian yang terkait dengan proses produksi dan pemasaran produk serta pakar. Matriks yang terbentuk dari hubungan keterkaitan ini disebut matriks korelasi dan pada matriks house of quality (HOQ) terletak pada bagian atas yang disebut roof. Hubungan keterkaitan yang ada dan lambang yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Hubungan kuat positif (++) Hubungan kuat positif merupakan hubungan searah yang kuat, dimana bila salah satu aktivitas proses mengalami peningkatan akan berdampak kuat pada peningkatan aktivitas proses yang lainnya yang terkait. 2. Hubungan positif (+) Hubungan positif merupakan hubungan searah, meskipun dampak yang dihasilkan tidaklah sekuat hubungan pada poin pertama. 3. Hubungan negatif (-) Hubungan negatif merupakan hubungan tidak searah, yaitu apabila salah satu aktivitas proses mengalami penurunan, maka aktivitas yang lain akan mengalami peningkatan. Hal ini dapat berlaku sebaliknya. 4. Hubungan kuat negatif (--) Hubungan kuat negatif merupakan hubungan tidak searah yang kuat dan dampak yang dihasilkan lebih kuat dari hubungan poin ketiga.
2.8 Beberapa Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian ini sebagai berikut. Mulyadi (2001) melakukan penelitian mengenai rancang bangun strategi terpadu agroindustri rotan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa desain produk merupakan kompetensi inti dalam sistem agroindustri rotan, oleh karena itu perlu dilakukan aliansi strategis dengan industri setengah jadi yang memiliki hubungan dengan sumber bahan baku dan aliansi dengan perusahaan di luar negeri (buyer) yang menguasai pasar dan distribusi barang jadi rotan. Han et al. (2000) melakukan evaluasi produk elektronik berdasarkan kegunaan (usability). Evaluasi berdasarkan kegunaan pada studi ini dilakukan
32
untuk kinerja produk dan citra (image) produk secara subjektif, dengan pertimbangan kedua hal tersebut sangat penting dalam mendesain suatu produk. Kwahk dan Han (2002) mengajukan suatu metodologi untuk melakukan evaluasi berdasarkan kegunaan produk. Metodologi tersebut terbagi atas tiga komponen, yaitu fitur antarmuka, evaluasi dan pengukuran kegunaan (usability). Lo dan Chuang (2003) menggunakan rekayasa Kansei untuk mengevaluasi tekstur produk hub devices yang mempunyai lapisan pernis. Penelitian tersebut menggunakan 12 pasang kata sebagai kata Kansei dan 25 contoh produk yang terbagi menjadi tiga faktor, yaitu warna, lapisan pernis (lacquer) dan kilap (glossy). Terdapat dua jenis penilaian yang dilakukan oleh responden, yaitu dengan hanya melihat saja dan dengan melihat dan meraba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik penilaian melalui melihat, maupun melihat dan meraba, faktor lapisan pernis merupakan faktor yang sangat mempengaruhi Kansei konsumen. Lanzotti dan Tarantino (2008) mengintegrasikan pendekatan rekayasa Kansei dengan Kano analisis untuk melakukan inovasi secara terus menerus (continuous innovation) dengan contoh studi kasus pada interior kereta api. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi elemen mutu yang memuaskan baik secara fungsi maupun emosi pengguna. Achiche dan Ahmed (2008) mengembangkan suatu set fuzzy if/then rules untuk memetakan hubungan antar fuzzy input yaitu informasi produk secara geometris dan output. Zhai, et al. (2009) membuat suatu pendekatan pendukung keputusan menggunakan metode rough set untuk meningkatkan kepuasan afektif konsumen dalam desain produk. Rucitra (2010) melakukan penelitian mengenai pengembangan produk kursi makan rotan pada UKM dengan metode Green Quality Function Deployment (Green QFD II). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa produk UKM rotan perlu dikembangkan. Selanjutnya diterangkan bahwa kebutuhan konsumen terhadap kursi makan lebih memprioritaskan mutu kursi dibandingkan dengan faktor lingkungan dan faktor biaya. Hsu et al. (2000) melakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan persepsi terhadap bentuk produk antara desainer dan konsumen. Penelitian
33
dilakukan menggunakan metode semantic differential (SD) untuk menilai hubungan antara evaluasi subjektif dari contoh telefon dan bentuk elemen desain. Pada studi kasus ini digunakan 24 sampel telefon dan 40 responden (20 orang desainer dan 20 kosumen). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat banyak perbedaan persepsi antara desainer dan konsumen terhadap objek yang sama dan interpretasi mereka terhadap gambar-kata yang sama. Konsumen tidak mengerti terhadap pengertian arti gambar-kata, tetapi mereka lebih memperhatikan jika telefon itu terlihat baru. Para desainer lebih menilai sampel telefon yang mempunyai desain elegan, sedangkan konsumen lebih memilih desain yang modern dan desain yang licin. Kata Kansei, mature, delicate mempengaruhi kesukaan desainer, sedangkan konsumen dipengaruhi kehalusan gambar. Jiao et al. (2006) mengembangkan Kansei mining system, yaitu sistem pendukung keputusan untuk memperbaiki proses pemetaan Kansei dengan menggunakan catatan penjualan masa lampau dan spesifikasi produk. Sistem yang dikembangkan menggunakan metode association rules dan analisis conjoint. Ishihara et al. (2010) menggunakan pendekatan Kansei dan kontrol untuk mengembangkan model mesin cuci. Terdapat tiga model mesin cuci yang dibandingkan, yaitu mesin cuci dengan drum miring (slanted drum), mesin cuci tipe drum-horizontal (pintu bukaan di bagian bawah) dan mesin cuci dengan drum-vertikal (pintu bukaan di bagian atas). Pengukuran Kansei dilakukan dengan memperhatikan postur tubuh konsumen saat menggunakan mesin cuci, baik saat memasukkan dan mengeluarkan pakaian dari mesin cuci, maupun saat mengatur tombol kontrol mesin cuci.
Hasil penelitian menunjukkan pada pengukuran
postur kerja tubuh konsumen, mesin cuci dengan desain drum miring (pintu bukaan miring) lebih baik dibandingkan model lainnya. Peranginangin et al. (2011) melakukan penelitian membedakan Kansei antara jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan pada kebutuhan dan keinginan dan pilihan untuk desain produk. Pilihan maskulin dan feminim digunakan karena terdapat dimensi pada kultur nasional. Survey dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan menggunakan skala semantic differensial. Sampel yang digunakan sampel telefon genggam.
34
Smith dan Fu (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara head-up display (HUD) pada dashboard mobil dengan Kansei pengemudi. Desain HUD dibagi menjadi enam faktor, yaitu bentuk konten utama, bentuk konten non utama, jumlah informasi yang ditampilkan, lokasi, huruf dan warna. Pada
umumnya,
penelitian
menggunakan
rekayasa
Kansei
lebih
menekankan untuk pengembangan produk baru (Febriono et al. 2009; Nandiroh & Tontowi 2007), penggunaan metode statistik (Lanzotti & Tarantino 2008). Untuk produk pertanian, penelitian dengan menggunakan pendekatan rekayasa Kansei masih sedikit. Penelitian menggunakan rekayasa Kansei untuk produk pertanian antara lain dilakukan oleh Ikeda (2004), Endo (2007), dan Ushada dan Murase (2009). Penelitian untuk menghubungkan kata Kansei dengan menggunakan metode association rules dilakukan oleh Jiao (2006). Berdasarkan penelitian diatas, maka pemetaan kata Kansei dan elemen desain produk belum banyak dilakukan. Pada penelitian ini, penggunaan metode rekayasa Kansei dengan AHP, association rules dan QFD dilakukan untuk memperoleh pemetaan keinginan konsumen, khususnya untuk produk yang berbahan baku pertanian. Posisi penelitian yang dilakukan dibandingkan dengan berbagai penelitian terdahulu disajikan pada Tabel 3.
35
Tabel 3 Posisi penelitian yang dilakukan terhadap penelitian terdahulu Jenis produk dan lingkup 1 2
Metode yang digunakan
1 2 3 Han et al. (2000) Mulyadi (2001) Lo dan Chuang (2003) Bouchard et al. (2003) Ikeda et al. (2004) Schűtte dan Eklund (2005) Jiao et al. (2006) Endo et al. (2007) Jie et al. (2007) Choi dan Jun (2007) Lokman (2009) Zhai et al. (2009) Rucitra (2010) Yang dan Shieh (2010) De Felice dan Petrillo (2010) Kabeil (2010) Ishihara et al.(2010) Xia dan Wang (2010) Ushada dan Murase (2011) Smith dan Fu (2011) Chu et al. (2011) Yang (2011) Qin dan Ye (2012) Penelitian yang dilakukan Keterangan : Jenis produk dan lingkup: 1. Produk pertanian, 2. Produk non pertanian Metode yang digunakan: 1. Rekayasa Kansei, 2. AHP, 3. Association rules, 4. QFD
4