2 Tinjauan Pustaka 2.1
Stiren
Stiren atau vinyl benzen merupakan senyawa organik yang dapat disintesis dari benzena dan etena. Stiren merupakan monomer yang paling banyak digunakan karena memiliki kestabilan termal tinggi dan pada proses selanjutnya dapat dilakukan proses sulfonasi pada cincin aromatik yang dimilikinya. Struktur stiren dapat dilihat pada Gambar 2. 1. Proses produksi stiren banyak dilakukan karena pentingnya kegunaan stiren sebagai monomer untuk pembuatan plastik. Salah satu plastik yang dapat dibuat dari stiren sebagai monomernya adalah polistiren [Billmeyer, 1962].
Gambar 2. 1 Struktur stiren
2.2
Polistiren (PS)
Polistiren adalah polimer linier yang tersusun dari monomer stiren. Polistiren memiliki rantai hidrokarbon panjang dengan gugus fenil terikat pada salah satu gugus karbon dari setiap monomernya, seperti terlihat pada Gambar 2. 2 . Polistiren murni berbentuk padatan tidak berwarna. Polistiren komersil umumnya bersifat ataktik dan amorf [Billmeyer, 1962]. Pada temperatur ruangan, polistiren umummnya merupakan suatu termoplastik yang berwujud padat, tetapi dapat meleleh pada temperatur tinggi (240oC) untuk dicetak dan kemudian dibentuk menjadi padatan kembali. Polistiren merupakan plastik keras dengan kelenturan terbatas.
Polistiren banyak diproduksi untuk aplikasi barang kebutuhan sehari-hari karena proses sintesisnya yang mudah dan murah. Kegunaan polistiren diantaranya adalah untuk bahan pembungkus, peralatan rumah tangga, peralatan kendaraan bermotor, dan aneka macam bahan lainnya.
Gambar 2. 2 Struktur polistiren Sintesis polistiren yang dilakukan merupakan polimerisasi adisi dengan stiren sebagai monomer dan benzoil peroksida sebagai inisiator. Polimerisasi adisi merupakan polimerisasi berantai karena monomer memiliki ikatan rangkap. Terdapat tiga tahap reaksi polimerisasi adisi yaitu tahap inisiasi, propagasi, dan terminasi. 1. Pada tahap inisiasi inisiator mengalami dekomposisi menjadi sumber radikal. Radikal kemudian bereaksi dengan monomer sebagai awal pertumbuhan rantai. I
2R*
R*+M
RM*
2. Saat propagasi terjadi adisi kontinu monomer sehingga meningkatkan panjang rantai. reaksi yang terjadi yaitu : RM*+M
RM2*
RM2*+M
RM3*
3. Pada tahap terminasi dua rantai polimer radikal yang bertumbukan bereaksi menjadi produk polimer dengan reaksi : RMm*+RMn*
RMm+nR
Reaksi polimerisasi stiren menjadi polistiren dapat dilihat pada Gambar 2. 3.
Gambar 2. 3 Polimerisasi stiren
5
2.3
Polistiren Tersulfonasi (PSS)
Polistiren tersulfonasi dalam bentuk polimer murni, campuran, ataupun komposit polimer telah banyak dipelajari pada aplikasi PEM. Membran PSS memiliki konduktivitas proton tinggi, biaya pembuatan yang cukup murah, serta bersifat lebih fleksibel dibandingkan membran Nafion®. Namun, polistiren tersulfonasi memiliki batasan derajat sulfonasi karena polimer dapat larut dalam air pada derajat sulfonasi yang tinggi [Won et al., 2003]. Interaksi ikatan hidrogen cukup kuat dapat terjadi antara molekul air dengan gugus asam sulfonat (SO3H) pada membran. Interaksi ini dapat mempengaruhi transport air dan proton melalui membran.
2.3.1
Sulfonasi Polistiren
Sulfonasi dapat memberikan konduktivitas proton polimer secara simultan sebaik sifat hidrofil alami. Polimer tersulfonasi dapat memiliki gugus asam bebas (-SO3H), garam (contoh : -SO3-Na+) atau ester (-SO3R) [Smitha et al., 2003]. Derajat sulfonasi dapat dikontrol sesuai keinginan dengan mengatur lama waktu polimerisasi dan jumlah agen sulfonasi yang ditambahkan. Proses sulfonasi dapat dilakukan pada tahap awal sintesis polimer yang akan disulfonasi atau pada polimer yang telah dihasilkan. Pada homopolimer apapun yang memiliki cincin aromatik atau ikatan ganda dapat dilakukan proses sulfonasi.
2.3.2
Agen Sulfonasi
Asam sulfat, asetil sulfat, dan asam klorosulfat, merupakan beberapa contoh agen pada proses sulfonasi. Kriteria pemilihan agen sulfonasi berdasarkan kompatibilitas dengan polimer, sifat pembentukan film , dan kekuatan mekanik dari polimer tersulfonasi yang diinginkan [Smitha et al., 2003]. 1. Asam sulfat 98% : Walaupun jumlah asam yang ditambahkan sedikit, namun polimer yang dihasilkan larut dalam air karena tingginya derajat sulfonasi yang dihasilkan. Pada penggunaan asam sulfat sebagai agen sulfonasi, derajat sulfonasi tidak dapat dikontrol. 2. Asetil sulfat
: Polistiren yang disulfonasi menggunakan reagen asetil sulfat akan
menghasilkan distribusi gugus asam sulfonat yang homogen. Namun, polikarbonat terlalu reaktif terhadap asetil sulfat serta polifenilen oksida dan polisulfon tidak dapat disulfonasi menggunakan agen ini karena tidak memiliki kompatibilitas dengan reagen.
6
2.4
Kitin
Kitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan molekul polimer berantai lurus dengan dari unit ulang 2-acetamide-2-deoxy-β-(1,4)-dglucopyranose. [Morimoto, 2002]. Stuktur kitin ditunjukkan pada Gambar 2. 4. Kitin merupakan zat padat dengan struktur amorf. Kitin tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, serta pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam mineral pekat. Umumnya, kitin memiliki beberapa sifat kimia bervariasi seperti massa molekul, bergantung metode yang digunakan untuk pemisahannya. Hasil turunan kitin yang bersifat aplikatif yaitu kitosan. Reaksi deasetilasi kitin dengan alkali berkonsentrasi tinggi dapat menghasilkan kitosan.
Gambar 2. 4 Struktur kitin
2.5
Kitosan
Kitosan ialah hasil reaksi N-deasetilasi kitin. Kitosan terkandung dalam kulit krustasea seperti kepiting dan udang. Kitosan terdiri dari unit ulang 2-amino-2-deoxy-β-(1,4)-dglucopyranose [Morimoto, 2002]. Umumnya, karena proses deasetilasi kitin menjadi kitosan tidak sempurna 100%, sehingga kitosan terdiri dari β-(1,4)-d-N-acetylglucosamine dan β(1,4)-d-glucosamine. Struktur kitosan ditunjukkan pada Gambar 2. 5. Kitosan larut pada pH rendah (pH < 6,5) dan tidak larut dalam kondisi asam kuat atau basa kuat. Polisakarida yang memiliki struktur rantai utama yang kaku dan gugus samping ionik telah banyak digunakan dan menghasilkan performa membran yang baik. Polisakarida biasanya memiliki afinitas tinggi terhadap air dan dalam keadaan padat makromolekul memiliki disorientasi struktur sehingga dapat terhidrasi dengan mudah. Sifat hidrasi bergantung pada struktur utama makromolekular. Kitosan ialah salah satu polisakarida yang memiliki cincin segi enam sebagai struktur rantai utama dan amino sebagai gugus samping. Pada kondisi asam, gugus amino kitosan dapat terprotonasi dan polimer berlaku seperti polielektrolit kationik. Dalam keadaan terhidrasi kitosan dapat menghasilkan konduktivitas. Kitosan memiliki sifat biokompatibilitas, nontoksik, biodegrabilitas, stabilitas kimia dan termal yang baik sehingga dalam beberapa tahun terakhir kitosan merupakan material
7
menarik untuk pembuatan membran hidrofilik, farmasi, dan aplikasi biomedis. Kitosan memiliki banyak gugus reaktif seperti hidroksil dan amino, sehingga dapat dimodifikasi dengan variasi reaksi kimia. Adanya gugus hidroksil dan amino membuat hidrofilisitas kitosan bertambah, dan hal itu baik untuk aplikasi sebagai PEMFC.
Gambar 2. 5 Struktur kitosan
2.6
Membran Polyblend
Membran polyblend merupakan membran yang tersusun dari campuran fisis dari dua atau lebih jenis polimer. Tujuan polyblend yaitu untuk menghasilkan material dengan pengoptimalan sifat kimia, struktur, mekanik, morfologi, dan biologis. Terdapat dua metode pembuatan polyblend [Rahmawati, 2007] yaitu : 1. Metode pelarutan Dalam metode pelarutan, polimer-polimer dilarutkan dalam pelarut yang cocok. Setelah polyblend larut, dilakukan penguapan pelarut sehingga dihasilkan suatu film membran. 2. Metode pelelehan Dalam metode pelarutan, polimer-polimer dicampurkan kemudian dilelehkan pada suhu diatas suhu transisi gelasnya (Tg). Dari kedua metode tersebut dapat dihasilkan polyblend yang bersifat miscible (homogen) atau immiscible (tidak homogen).
2.7
Fuel Cell
Fuel cell atau sel bahan bakar merupakan salah satu alternatif sumber energi murah dan ramah lingkungan yang telah banyak dikembangkan. Fuel cell menggunakan bahan kimia sebagai bahan bakar. Energi kimia tersebut kemudian dikonversi menjadi energi listrik dengan efektivitas yang tinggi, rendah emisi, serta tidak menimbulkan polusi. Proses konversi hidrogen dan oksigen menghasilkan energi listrik, serta air dan panas sebagai produk residu.
8
Fuel cell memberikan tegangan arus searah yang dapat dimanfaatkan untuk kendaraan, telepon selular, dan peralatan perumahan.
2.7.1
Jenis Fuel Cell
Fuel cell umumnya diklasifikasikan berdasar suhu operasi dan tipe elektrolit yang digunakan. Terdapat beberapa tipe fuel cell, yang masing-masing menggunakan bahan kimia berbeda dan memiliki aplikasi berbeda, diantaranya [http://howstuffworks.com , 2000]: 1. Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) Jenis fuel cell ini sesuai untuk generator skala besar yang dapat menghasilkan energi listrik untuk pabrik atau suatu kota. SOFC beroperasi pada suhu sangat tinggi (700-1000oC). Suhu operasi yang sangat tinggi membuat bagian-bagian fuel cell dapat rusak setelah pengulangan siklus on-off. Namun, SOFC sangat stabil pada penggunaan secara kontinu. SOFC memiliki waktu operasi terlama dibandingkan dengan fuel cell jenis lain dengan keadaan pengoperasian yang sama. Tingginya suhu operasi memiliki beberapa keuntungan dari uap panas yang dihasilkan untuk dapat dihubungkan dengan turbin sehingga dapat menghasilkan lebih banyak energi listrik. 2. Alkaline Fuel Cell (AFC) AFC merupakan jenis fuel cell yang telah digunakan yaitu sejak tahun 1960. AFC sangat rentan terhadap kontaminasi sehingga membutuhkan hidrogen dan oksigen murni. Hal ini membuat harga pemakaian AFC cukup mahal dan kurang komersial. 3. Molten-Carbonate Fuel Cell (MCFC) Seperti SOFC, MCFC sesuai untuk pemakaian generator energi tinggi. MCFC dioperasikan pada suhu 600oC dan dapat menghasilkan uap panas yang dapat digunakan untuk menghasilkan lebih banyak energi. Karena MCFC beroperasi pada suhu lebih rendah dari SOFC, pada MCFC tidak diperlukan material khusus tahan panas tinggi sehingga pemakaian MCFC lebih murah dibanding SOFC. 4. Phosphoric-Acid Fuel Cell (PAFC) PAFC memiliki potensi untuk penggunaan pada sistem generator energi rendah. PAFC beroperasi pada suhu yang lebih tinggi dibanding PEMFC sehingga membutuhkan waktu pemanasan lebih lama sehingga tidak sesuai untuk aplikasi pada kendaraan bermotor.
9
5. Direct-Methanol Fuel Cell (DMFC) DMFC memiliki suhu operasi mendekati suhu operasi PEMFC namun memiliki efisiensi lebih rendah dibanding PEMFC. DMFC membutuhkan platinum dalam jumlah besar sebagai katalis, sehingga pemakaian DMFC mahal. 6. Polymer Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC) PEMFC merupakan sumber energi ramah lingkungan dan efisien, kerapatan energi tinggi, dan dapat dioperasikan pada suhu relatif rendah (60o-80oC). Suhu operasi yang rendah membuat fuel cell lebih cepat mencapai suhu optimumnya dan menghasilkan energi listrik. PEMFC menggunakan salah satu reaksi paling sederhana dari fuel cell. Komponen vital PEMFC ialah membran penukar proton yang merupakan pemisah fisik antara anoda dan katoda dan berfungsi mentransport proton. Dalam beberapa dekade yang lalu, studi membran penukar proton untuk PEMFC terfokus pada membran asam perflorosulfonat seperti Nafion® (Dupont). Hal ini disebabkan karena membran komersil tersebut memiliki konduktivitas ion, kekuatan mekanik, dan kestabilan termal tinggi serta derajat swelling relatif rendah terhadap air. Namun karena tingginya harga, tingginya laju methanol cross-over pada material ini, dan bahaya limbah pada lingkungan, pemakaian membran komersil tersebut tidak diinginkan untuk aplikasi fuel cell. Methanol cross-over terjadi saat bahan bakar metanol melewati membran secara silang (menuju anoda) sehingga menurunkan potensial katoda dan efisiensi energi [Fu, 2008]. Membran fuel cell ideal memiliki harga terjangkau, memiliki kondutivitas proton tinggi, kestabilan kimia tinggi, dan tetap memiliki integritas mekanik dalam air panas [Chen, 2004]. Dari keunggulan sifat yang dimiliki, PEMFC paling banyak diaplikasikan untuk sumber energi kendaraan bermotor.
2.7.2
Bagian-bagian PEMFC
Pada PEMFC terdapat empat bagian dasar [http://howstuffworks.com, 2000]:
1. Anoda Anoda pada PEMFC memiliki suatu channel sehingga gas hidrogen terdispersi menuju permukaan katalis. Pada anoda terjadi reaksi oksidasi hidrogen menjadi elektron dan ion H+, dengan bantuan katalis. Elektron yang dihasilkan dari molekul hidrogen mengalir pada
10
sirkuit eksternal sehingga menghasilkan arus listrik.
2. Katoda Katoda pada PEMFC merupakan elektroda positif yang memiliki suatu channel sehingga oksigen dapat terdistribusi menuju katalis. Katoda menghantarkan elektron dari sirkuit eksternal balik menuju katalis, sehingga dapat terjadi reaksi antara ion hidrogen dan oksigen menjadi air.
3. Elektrolit Pada PEMFC, elektrolit merupakan membran penukar proton yang dapat menghantarkan ion bermuatan. Untuk mendapatkan fungsi penukar proton membran membutuhkan keadaan terhidrasi.
4. Katalis Katalis dalam PEMFC dapat mempercepat reaksi redoks hidrogen dan oksigen. Katalis umumnya dibuat dari nanopartikel platinum sangat tipis pada kertas karbon. Katalis memiliki pori dan permukaan kasar sehingga luas permukaan platinum maksimum dapat terekspos terhadap hidrogen atau oksigen. Sisi katalis yang terlapisi platinum berada berhadapan dengan membran penukar proton.
2.7.3
Reaksi yang terjadi pada PEMFC
Gambar 2. 6 menunjukkan mekanisme yang terjadi pada PEMFC. Gas hidrogen yang telah diberi tekanan memasuki fuel cell melalui anoda. Gas H2 dialirkan melalui katalis dengan tekanan yang diberikan. Saat molekul H2 menempel pada platinum yang terkandung dalam katalis, ikatan H2 terputus menjadi ion H+ dan dua elektron (e-). Elektron dihantarkan menuju anoda dimana elektron bergerak melalui sirkuit luar dan kembali menuju katoda fuel cell. Sementara, pada sisi katoda fuel cell, gas oksigen dialirkan menuju katalis, dimana akan terbentuk dua atom oksigen bermuatan negatif. Muatan negatif ini membuat ion H+ bereaksi dengan atom oksigen dan dua elektron dari sirkuit eksternal untuk membentuk molekul air (H2O).
11
Gambar 2. 6 Mekanisme fuel cell Bahan bakar hidrogen dialirkan menuju anoda dan terjadi reaksi oksidasi menghasilkan H+ dan e-. pada katoda, H+, e-, dan O2 bereaksi menghasilkan air.
Reaksi yang terjadi pada anoda, katoda, dan secara keseluruhan ditunjukkan pada
persamaan reaksi 1). Reaksi fuel cell tunggal hanya menghasilkan 0,7 Volts. Untuk mendapatkan tegangan yang diinginkan, dapat digunakan beberapa fuel cell dan dikombinasikan membentuk fuel-cell stack.
2.7.4
Anoda
: 2H2
4H+ + 4e-
Katoda
: O2 + 4H+ + 4e-
2H2O
Reaksi keseluruhan
: 2H2 + O2
2H2O
1)
Hambatan Fuel Cell
Fuel cell dapat menjawab beberapa masalah yang terjadi, namun ada beberapa kendala yang harus ditanggulanggi dan dicari solusinya. 1.
Biaya
Untuk PEMFC, pemakaian membran penukar proton, katalis logam (biasanya digunakan platinum), dan bipolar plates membutuhkan 70% dari biaya total. Namun ilmuwan nanoscale menyarankan pemakaian logam mulia (emas) sebagai katalis. Emas merupakan logam non-reakif dan saat dibuat pada ukuran nanometer partikel emas dapat bekerja seefektif kerja platinum [http://howstuffworks.com, 2000].
12
2.
Ketahanan
Membran PEMFC harus dikembangkan sehingga mencapai sifat ketahanan yang tinggi, dapat beroperasi diatas suhu 100oC. Ketahanan sampai suhu 100oC diperlukan untuk bisa mentoleransi ketidakmurnian bahan bakar. 3.
Hidrasi
Karena membran PEMFC harus terhidrasi supaya dapat mentransfer proton hidrogen, peneliti harus mengembangkan sistem fuel cell dengan lingkungan kelembaban rendah, dan suhu operasi tinggi. Disekitar suhu 80oC hidrasi menghilang tanpa adanya sistem hidrasi tekanan tinggi.
2.8
Karakterisasi
Karakterisasi sampel bertujuan untuk mengetahui sifat fisik maupun kimia dari suatu sampel. Karakterisasi yang umum dilakukan untuk aplikasi membran elektrolit fuel cell yaitu analisis gugus fungsi menggunakan alat Fourier Transform Infrared (FTIR), analisis termal menggunakan alat Thermo Gravimetry Analysis (TGA), analisis mekanik menggunakan Autograph, analisis swelling, Ion Exchange Capacity (IEC) dan konduktivitas.
2.8.1
Penentuan Massa Molekul Polimer
Massa molekul polimer merupakan parameter penting polimer karena dapat digunakan untuk menentukan sifat dan aplikasi polimer, indikator sintesis polimer, serta mempelajari kinetika reaksi polimer. [Radiman, 2004]. Salah satu metode penentuan massa molekul polimer yaitu viskometri. Terdapat dua jenis viskometer yang umum digunakan untuk mengukur viskositas larutan yaitu Ostwald-Fenske dan Ubbelohde. Untuk menentukan massa molekul rata-rata viskositas (Mv), dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan empiris Mark-Houwink seperti dalam persamaan 2). [η] = K x Mv a
2)
Mv
= massa molekul relatif rata-rata viskositas
K&a
= tetapan untuk pasangan polimer-pelarut tertentu yang nilainya tergantung pada
temperatur
13
2.8.2
Penentuan Derajat Sulfonasi Polimer
Derajat sulfonasi ialah persentase jumlah mol sulfonat dalam polimer tersulfonasi [Martins et al., 2003]. Penentuan derajat sulfonasi dilakukan untuk mengetahui berapa banyak jumlah gugus sulfonat yang telah berikatan dengan polimer tersulfonasi. Derajat sulfonasi polistiren dapat ditentukan dengan titrasi oleh larutan NaOH dalam metanol, dengan rumus perhitungan pada persamaan 3). % DS =
2.8.3
x 100%
3)
Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan
Kitosan merupakan produk dari proses deasetilasi kitin. Umumnya, produk deasetilasi kitin menghasilkan kitosan pada nilai derajat deasetilasi lebih besar dari 60%. Penentuan derajat deasetilasi kitosan dilakukan untuk mengetahui berapa persen proses deasetilasi yang telah terjadi pada kitosan. Penentuan derajat deasetilasi dapat dilakukan dengan metode Domszy & Roberts [Khan et al., 2002] melalui kurva IR kitosan. Dari kurva IR kitosan (Gambar 2. 7) dan persamaan 4) dapat ditentukan nilai derajat deasetilasi kitosan.
4)
14
2
1
1 6 6 2 .6 4 1 6 3 5 .6 4
40
8 9 4 .9 7 1 1 5 1 .5 0 1 0 9 1 .7 1 1 0 2 8 .0 6
E
C
45
1 4 2 1 .5 4 1 3 7 9 .1 0 1 3 4 4 .3 8 1 3 2 3 .1 7 1 2 5 1 .8 0
50
6 6 5 .4 4 6 5 1 .9 4 5 9 9 .8 6
%T
7 7 5 .3 8
F
55
35
30 3 4 4 8 .7 2
B
25
A 20 4500 4000 Khitosan
3500
D 3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 2. 7 Penentuan derajat deasetilasi kitosan
2.8.4
Analisis Gugus Fungsi
Analisis gugus fungsi dalam suatu sampel dapat dilakukan dengan spektroskopi infra merah, dengan menggunakan alat Fourier Transform Infra Red (FTIR). Spektroskopi infra merah ialah suatu teknik untuk menentukan adanya suatu gugus fungsi dalam sampel dengan menganalisis ikatan kovalen yang terdapat dalam molekul. Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen akan mengalami getaran (vibrasi) atau osilasi. Bila molekul tersebut menyerap radiasi inframerah, maka energi yang diserap tersebut akan menyebabkan kenaikan dalam amplitudo getaran atom-atom yang terikat. Pada keadaan ini molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi. Panjang gelombang dari absorpsi oleh suatu tipe ikatan tertentu bergantung pada macam getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan akan menyerap radiasi infra merah pada panjang gelombang yang berlainan [Fessenden et al., 1986]. Terdapat dua jenis vibrasi molekul, yaitu vibrasi ulur (stretching) dan vibrasi tekuk (bending). Gerak vibrasi ulur merupakan gerakan sepanjang sumbu ikatan sehingga akan
15
terjadi perubahan jarak antara keduanya. Vibrasi ulur ada dua macam, yaitu vibrasi ulur simetris dan vibrasi ulur asimetris. Vibrasi tekuk terjadi karena adanya perubahan sudut ikatan antar atom. Vibrasi tekuk terbagi menjadi empat, yaitu vibrasi goyang (rocking), vibrasi gunting (scissoring), vibrasi kibasan (wagging), dan vibrasi pelintiran (twisting) [Rahmawati, 2007]. Sampel untuk analisa dengan FTIR dapat berupa gas, cairan murni, larutan, dan padatan. Sampel yang berupan cairan murni dapat dilakukan dengan cara menyuntikkan sampel pada sel NaCl. Jika sampel tersebut berupa padatan, dapat disiapkan dengan cara nujol mull dan pelet KBr. Dengan membandingkan nilai absorpsi spektrum yang didapat dari hasil eksperimen dengan nilai absorpsi gugus fungsi yang terdapat pada literatur, dapat ditentukan gugus fungsi yang terdapat dalam sampel.
2.8.5
Analisis Termal
Analisis termal suatu polimer dapat dilakukan dengan Thermal Gravimetry Analysis (TGA). TGA merupakan analisa untuk menentukan kekuatan termal suatu sampel. Dengan TGA dapat ditentukan nilai perubahan massa sebagai fungsi waktu, atau sebagai fungsi kenaikan temperatur. Jangkauan temperatur TGA berkisar dari suhu 25oC-900oC, dan temperatur maksimum mencapai 1000oC. Sampel berupa logam, polimer dan plastik, keramik, kaca, komposit dan material anorganik dapat dianalisa menggunakan TGA. Sampel dapat dianalisa dalam bentuk serbuk atau serpihan kecil. [http://andersonmaterials.com] Aplikasi termogravimetri banyak digunakan untuk analisis kuantitatif komposisi sampel karena dengan TGA dapat ditentukan suhu dan perubahan massa dari reaksi dekomposisi yang terjadi.
2.8.6
Analisis Mekanik
Analisis mekanik bertujuan untuk mengetahui kekuatan mekanik dari suatu sampel. Dengan mengetahui nilai tegangan, regangan, dan Modulus Young saat putus dapat diperkirakan kekuatan mekanik dari suatu sampel. Autograph merupakan alat untuk menentukan nilai perubahan panjang dan gaya untuk memutuskan suatu sampel. Nilai gaya dan perubahan panjang ini kemudian dapat dihitung dengan menggunakan persamaan, sehingga diketahui nilai tegangan dan regangan.
16
Tegangan (tensile strength) ialah gaya reaksi atau gaya yang diperlukan saat suatu bahan putus, persatuan luas seluruh permukaan. Nilai tegangan dapat ditentukan dengan persamaan 5). 5) S
= Tegangan saat putus (MPa),
F
= Gaya saat sampel putus (Kgf),
A
= Luas penampang sampel (mm2).
Regangan (elongation) ialah tingkat deformasi, atau merupakan perubahan pada ukuran benda dibandingkan dengan ukuran semula. Nilai regangan dapat ditentukan dengan persamaan 6). 6) ε
= Regangan (%)
l
= Panjang akhir sampel(cm)
lo
= Panjang awal sampel(cm).
Modulus Young (modulus elastisitas), merupakan perbandingan tegangan terhadap regangan dan dapat menyatakan sifat kekakuan dari suatu sampel. Nilai Modulus Young (E) dapat ditentukan dengan persamaan 7). 7)
2.8.7
Analisis Swelling
Analisis swelling (penggembungan) bertujuan untuk mengetahui kemampuan swelling sampel di dalam air. Saat polimer dimasukkan dalam suatu cairan dapat terjadi suatu pelarutan dan swelling
(penggembungan). Saat terjadi swelling, molekul kecil cairan
berdifusi ke dalam polimer dan menyebabkan penggembungan. Swelling merupakan bagian dari proses pelarutan. Saat swelling polimer hanya memiliki kemampuan kelarutan terbatas dalam cairan tersebut. Pelarutan polimer dalam suatu cairan merupakan proses kelanjutan dari swelling. Secara umum, peningkatan massa molekul dan derajat kristalinitas, serta penurunan temperatur dapat menurunkan kemampuan swelling dan pelarutan suatu polimer. Kemampuan swelling berkaitan dengan transport proton dan kestabilan membran dalam air. Pada aplikasi fuel cell, membran penghantar proton membutuhkan sejumlah air untuk berkoordinasi dengan proton (membran berada dalam keadaan terhidrasi) [Cui, 2007]. Akan tetapi membran dengan kemampuan mengangkut air (water uptake) yang berlebihan akan
17
tidak diinginkan karena dapat merubah dimensi membran, menurunkan sifat mekanik, dan kemampuan menghantar proton. Penentuan derajat swelling dihitung dengan persamaan 8). 8) mt
= massa membran setelah 24 jam perendaman (g)
mo
= massa awal membran kering (g)
2.8.8
Analisis Konduktivitas
Analisis konduktivitas bertujuan untuk mengetahui kemampuan membran dalam menghantarkan proton. Aliran proton yang dihantarkan oleh membran penghantar proton sebanding dengan aliran elektron yang melalui sirkuit luar sehingga dapat menghasilkan suatu energi listrik. Penentuan nilai konduktivitas dilakukan sesuai dengan persamaan 9) dan akan menghasilkan nilai hantaran jenis dengan satuan S/cm [Cui, 2007]. 9) σ
= Hantaran jenis (S/cm)
L
= Tebal membran (cm)
R
= Hambatan (Ω)
A
= Luas permukaan elektroda (cm2)
2.8.9
Analisis Ion Exchange Capacity (IEC)
Nilai Ion Exchange Capacity (IEC) menyatakan jumlah ion H+ yang terdapat dalam 1 gram sampel membran, dan dapat ditentukan dengan teknik titrasi asam-basa [Zubir, 2007]. IEC merupakan pendekatan tidak langsung untuk mengetahui kemampuan konduktivitas proton suatu membran. Nilai IEC dapat ditentukan dengan persamaan 10), yaitu dengan menentukan jumlah mol HCl dalam membran per massa membran. 10)
18