2 Tinjauan Pustaka 2.1.
Pati
2.1.1.
Pengertian dan karakteristiknya
Pati merupakan salah satu polisakarida yang berperan penting dalam sistem biologis. Sebagian besar monomer penyusun pati terdiri atas D-glukosa (Gambar 2.1) (Robyt, 1998). Semua tanaman hijau menyintesis pati. Pati berfungsi sebagai tempat penyimpan cadangan makanan. Di daun, pati dibuat di plastid dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan selama proses respirasi gelap. Di akar dan biji, pati dibuat di amiloplast dan berfungsi sebagai penyimpan cadangan makanan untuk jangka panjang (van der Maarel et al., 2002). Butiran pati memiliki struktur poli kristalin yang tidak larut dalam air dan memiliki kerapatan yang tinggi. Struktur pati yang rapat memungkinkan penyimpanan karbohidrat dalam jumlah besar dengan volume yang relatif kecil. Bentuk butiran pati bermacam-macam, misalnya butiran oval didapati pada pati kentang dan kana, bola pada pati gandum, polihedral pada pati beras dan jagung. Beberapa bentuk lainnya sesuai dengan jenis tanaman serta lingkungan tempat tanaman tumbuh (Hidayat, 2006). CHO H
C
OH
OH
C
H
H
C
OH
H
C
OH
CH2OH
Gambar 2.1 Struktur D-Glukosa Selain bentuk, ukuran butiran pati juga berbeda untuk setiap jenis tanaman. Adanya perbedaan ukuran butiran juga dapat mempengaruhi bagaimana proses hidrolisis yang dilakukan oleh enzim pada pati-pati tersebut. Semakin kecil ukuran pati, maka persentase pati terhidrolisis oleh
enzim α-amilase akan semakin besar. Menurut Helbert et al. (1996) dalam Tester (2006), proses hidrolisis granul pati mentah oleh α-amilase meliputi empat tahap, yaitu (i) difusi α-amilase secara acak pada permukaan granul, (ii) dimulainya proses hidrolisis, (iii) proses hidrolisis secara sentripetal sehingga menghasilkan pori-pori yang mengarah pada inti granul, (iv) αamilase ‘terjebak’ dalam granul dan mulai melakukan hidrolisis secara merata di daerah inti granul. Beberapa contoh pati dari berbagai sumber dengan ukuran dan bentuknya dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 Tabel 2.1 Karakteristik granul pati dari berbagai sumber (Tester, 2006) Jenis pati
Diameter (µm)
Volume (µm3)b
Luas permukaan (µm2)a
LP : Vc
2-5 (granul B)
12,6-78,5
4,2-65,4
1,2-3,0:1
15-25 (granul A)
707-1964
1767-8181
0,2-0,4-1
Maizena
122-30
12,6-2827
4,2-14137
0,2-3,0:1
Beras
3-8 (tunggal)
28,3-201
14,1-268
0,8-2,0:1
150 (senyawa)
706086
1767146
0,04:1
Tapioka
5–35
78,5–3849
65,4–22449
0,17-1,2:1
Gandum
2–10 (jenis B)
12,6–314
4,2–524
0,6-3,0
15–35 (jenis A)
707–3849
1767–22449
0,17-0,4:1
Padi
4–12
50,3–452
33,5–905
0,5-1,5:1
Kentang
5–100
78,5–31416
65,4–523599
0,06-1,2:1
Kacang polong
5–10
78,5–314
65,4–524
0,6-1,2:1
Gandum hitam
5-10 (granul B)
78,5-314
65,4-524
0,6-1,2:1
10-40 (granul A)
314-5027
524-33510
0,15-0,6:1
Barley
a Dari 4πr2, dimana r adalah diameter granul pat; b Dari 4/3πr3; c Rasio luas permukaan : volume
Tabel 2.2 Ukuran dan distribusi granul pati (Tester, 2006) Jenis pati
Tipe
Bentuk
Distribusi
Maizena
Sereal
Polihedral/ bola
Unimodal
Amilomaizena
Sereal
Tidak beraturan
Unimodal
Gandum
Sereal
Lentikular (tipe A)
Bimodal
Bola (tipe B) Kentang
Tuber
Lentikular
Unimodal
Beras
Sereal
Polihedral
Unimodal
Sagu
Sereal
Oval
Unimodal
Tapioka
Akar
Bola/ lentikular
Unimodal
4
Karakteristik pati tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Menurut penelitian, suhu lingkungan yang semakin meningkat dapat menyebabkan menurunnya jumlah pati yang dapat disintesis, ukuran granul pati menjadi lebih kecil dibandingkan ukuran granul pati pada umumnya, meningkatnya jumlah lipid pada pati sereal, serta meningkatnya suhu dan entalpi pada proses gelatinisasi pati (Tester, 2006) Secara umum, struktur pati terdiri dari daerah amorf dan kristalin (Gambar 2.2). Daerah amorf tersusun atas amilosa, sedangkan daerah kristalin tersusun atas amilopektin. Banyaknya daerah kristalin pada granul pati merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan proses hidrolisis.
Gambar 2.2 Daerah amorf dan kristalin pada pati
Berdasarkan kristalinitasnya, granul pati dibedakan atas empat tipe, yaitu tipe A, B, C, dan V (Tester, 2006; Robyt, 1998) (Gambar 2.3). Granul pati tipe A tersusun atas pati double helices yang tersusun secara monoclinic array. Pati yang memiliki granul tipe ini adalah sereal dan gandum. Granul pati tipe B lebih banyak mengandung air dan terdiri atas double helices yang tersusun secara hexagonal array (Parker et al., 2001). Granul pati tipe B dan C lebih resistan terhadap proses hidrolisis secara enzimatik dibandingkan granul pati tipe A (Tester, 2006).
5
Gambar 2.3 Pola difraksi sinar X granul pati dan kompleks amilosa (Robyt, 1998)
Amilosa merupakan suatu polimer dimana unit ulangnya tersusun atas ikatan rantai lurus α-1,4glikosidik (Gambar 2.4A). Amilosa tersusun atas unit-unit glukosa yang jumlahnya bisa mencapai 6000 unit. Persentase amilosa dalam pati dapat mempengaruhi karakteristik pati tersebut (Tabel 2.3). Amilosa tidak larut dalam air. Ketika proses pemanasan pati, amilosa akan ’keluar’ dari granul pati dan menyebabkan viskositas campuran semakin tinggi (van der Maarel et al., 2002).
Gambar 2.4 Struktur amilosa (Robyt, 1998) A: struktur linear amilosa yang menunjukkan ikatan α-1,4-glikosidik; B: struktur amilosa di dalam larutan; C: kompleks amilosa iodin-iodida
6
Di dalam larutan, stabilitas dari struktur linear amilosa cukup rendah dan molekul amilosa cenderung terlipat membentuk suatu struktur heliks untai tunggal yang kaku akibat adanya ikatan hidrogen intramolekul. Ikatan hidrogen ini dapat menyebabkan retrogradasi membentuk suatu struktur kristalin hidrofobik yang memiliki ikatan hidrogen inter dan intramolekuler sehingga memiliki kelarutan yang rendah di dalam air. Amilosa dapat membentuk kompleks berwarna biru gelap dengan iodin. Afinitas amilosa terhadap iodin adalah sebesar 19-20 % (http://www.lsbu.ac.uk/water/hysta.html). Tabel 2.3 Pengaruh kandungan amilosa pada karakteristik granul pati (Oates, 1997) Pati
Kandungan Amilosa
Karakteristik Pati
(%) Maizena waxy
0-1
Gelatinnya bersifat resistan terhadap proses sineresis, elastis
Maizena
27
Amilomaizena
50-70
Firm gel, strukturnya padat Granul tidak mudah mengalami swelling, gelatinisasi terjadi pada suhu tinggi, strukturnya padat
Amilopektin adalah polimer yang unit ulangnya tersusun atas ikatan α -1,4-glikosidik dan ikatan α -1,6-glikosidik, yang merupakan ikatan rantai cabang (Gambar 2.5).
Dalam satu rantai
polimer lurus yang menyusun amilopektin, biasanya tersusun atas 10-60 unit glukosa. Sedangkan pada rantai bercabangnya biasanya tersusun atas 15-45 unit glukosa. Satu molekul amilopektin yang utuh bisa tersusun atas 2 juta unit glukosa. Kandungan amilopektin dalam pati sekitar 70-80 % (van der Maarel et al., 2002).
7
Gambar 2.5 Struktur amilopektin (Robyt, 1998) A: struktur linear yang menunjukkan ikatan α-1,4-glikosidik dan α-1,6 glikosidik; B: struktur cluster secara detail
Proses pengolahan pati diawal dengan gelatinisasi. Pada proses ini, butiran-butiran dipanaskan. Ketika proses ini terjadi, butiran-butiran pati akan mengembang (swelling) dan amilosa memisah dari butiran pati sehingga menyebabkan viskositas cairan meningkat (Gambar 2.6). Peningkatan suhu lebih lanjut menyebabkan terjadinya swelling secara total dan viskositas cairan yang semakin meningkat. Butiran pati kemudian hancur menghasilkan koloid terdispersi encer. Pendinginan koloid terdispersi ini menyebabkan terjadinya pembentukkan gel elastis. Proses gelatinisasi biasanya dilakukan pada suhu ≈ 100 °C sehingga industri-industri pengolahan pati biasanya menggunakan enzim α-amilase yang bersifat termostabil. Hal ini bertujuan agar industri tidak perlu lagi menurunkan suhu alat untuk menjaga kestabilan aktivitas enzim yang digunakan. Penurunan suhu pada pengolahan pati dapat menyebabkan terjadinya retrogradasi pati (Gambar 2.6). Ketika terjadi retrogradasi pati, amilopektin akan mulai mengkristal kembali dan dapat menyebabkan pati menjadi sangat rapuh dan tidak bisa digunakan untuk proses berikutnya (Parker et al., 2001). Struktur pati yang dapat mengalami swelling menyebabkan pati banyak digunakan dalam proses pembuatan makanan untuk menghasilkan tekstur tertentu pada makanan yang dibuat. Salah satu contohnya adalah pati ditambahkan pada ayam kalkun untuk mengurangi hilangnya nutrisi 8
selama proses memasak dan membuat dagingnya menjadi lebih lembut. Selain itu, pati juga digunakan pada proses pembuatan senyawa pengemulsi daging, sehingga dapat membuat daging menjadi lebih padat (Yune Li et al., 2003).
Gambar 2.6 Proses swelling dan gelatinisasi butiran pati dalam air Secara garis besar, ada tiga pendekatan utama yang dilakukan untuk memodifikasi pati. Pendekatan yang paling umum digunakan adalah dengan melakukan penambahan senyawa kimia. Dengan melakukan metode ini, dapat dimungkinkan terjadinya perubahan susunan glukosa yang menyusun pati sehingga dapat menjadikan sifat pati yang telah dimodifikasi ini dapat digunakan untuk industri yang bersesuaian. Pendekatan yang kedua adalah dengan melakukan proses fisik, misalnya dengan pemanasan. Pendekatan yang ketiga adalah dengan menggunakan enzim. Penambahan enzim pada pati dapat menyebabkan terjadinya pengaturan ulang secara molekular glukosa-glukosa yang menyusun pati (http://www.ifr.ac.uk).
2.1.2.
Biosintesis pati di tumbuhan
Reaksi gelap akan menghasilkan senyawa D-fruktosa-6-fosfat. Senyawa ini kemudian diisomerisasi menjadi D-6-glukosa-6-fosfat dengan bantuan D-fruktosa-6-fosfat isomerase. D-6glukosa-6-fosfat kemudian diisomerisasi lebih lanjut menjadi α-D-glukopiranosil-1-fosfat oleh fosfoglukomutase. α-D-glukosa-1-fosfat kemudian bereaksi dengan uridin triofosfat (UTP) dan menghasilkan uridine difosfo-D-glukosa (UDPG). Reaksi ini merupakan reaksi pirofosfat anorganik yang dikatalisis oleh UTP/glukosa-1-fosfat pirofosforilase. Senyawa pirofosfat ini 9
kemudian dihidrolisis oleh pirofosfatase dan menghasilkan dua senyawa fosfatase anorganik. Kedua senyawa organik ini juga akan membantu dalam proses pembentukan senyawa D-glukosa yang memiliki energi tinggi (UDPG). UDPG ini kemudian akan bereaksi dengan β-Dfruktofuranosa-6-fosfat dengan bantuan sukrosa sintase dan menghasilkan sukrosa-6’-fosfat dan UDP. Sukrosa-6’-fosfat akan membantu proses transport gula di tanaman. Pada tanaman kentang dan maizena, sukrosa-6’-fosfat ditransfer ke bagian benih dan akan bereaksi dengan UTP sehingga menghasilkan UDPG dan D-fruktosa-6-fosfat. D-fruktosa-6fosfat kemudian akan diubah menjadi D-glukosa-6-fosfat yang kemudian akan diubah lagi menjadi α-D-glukosa-1-fosfat yang akan bereaksi dengan UTP menghasilkan UDPG. D-glukosa dari UDPG kemudian akan ditransfer pada ujung non-pereduksi pada rantai utama pati sehingga akan terbentuk ikatan α-1,4-glikosidik, dan inilah yang disebut dengan amilosa. Ketika rantai amilosa telah cukup panjang (40-50 residu glukosa), dua rantai amilosa akan bereaksi dengan enzim starch branching. Ikatan α-1,4-glikosidik pada salah satu rantai amilosa akan diputus oleh enzim dan gugus hidroksil (-OH) pada C6 rantai amilosa yang lain akan melakukan serangan nukleofilik ke C-1 dari unit D-glukosa yang diputuskan tadi, dan membentuk ikatan cabang α-1,6. Reaksi ini terjadi beberapa kali sehingga akhirnya terbentuklah rantai amilopektin. Enzim starch branching adalah α-1,4/α-1,6 glukanosil transferase yang mengkatalisis reaksi transfer suatu segmen rantai amilosa ke C-6 dari unit D-glukosa rantai amilosa yang lain (Robyt, 1998).
2.1.3.
Kebutuhan dunia akan pati
Kebutuhan dunia akan pati sangatlah besar. Hal ini terbukti bahwa kebutuhan dunia akan pati pada tahun 2000 mencapai 48,5 ton. Kebutuhan akan pati ini tidak hanya terbatas pada pati mentah, tetapi juga pati yang telah mengalami proses lebih lanjut seperti sirup, glukosa, isoglukosa, dan hidrolisat pati. Kebutuhan dunia akan pati ini diperkirakan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia yang tentunya juga akan menyebakan meningkatnya kebutuhan akan sumber bahan makanan. Secara keseluruhan, kebutuhan pati akan pati adalah 4,1% per tahun di Amerika Serikat, 4,3% per tahun di Eropa, dan sekitar 4% per tahun di negara-negara lainnya. Dengan demikian, diperkirakan bahwa kenaikan kebutuhan dunia terhadap pati akan meningkat sekitar 4% setiap tahunnya.
10
2.2.
Enzim pendegradasi pati
Pada dasarnya, ada empat kelompok enzim pendegradasi pati, yaitu (van der Maarel et al., 2002): i.
Kelompok enzim yang menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik bagian dalam (endo) pada pati sehingga menghasilkan produk dengan struktur α-anomerik; α-amilase (EC 3.2.1.1).
ii.
Kelompok enzim yang menghidrolisis ikatan α-1,6-glikosidik; isoamilase (EC 3.2.1.68) atau pululanase tipe I (EC 3.2.1.41).
iii.
Kelompok enzim yang melakukan transglikosilasi membentuk ikatan α-1,4-glikosidik yang baru; amilomaltase (EC 2.4.1.25)
iv.
Kelompok enzim yang melakukan transgkilosilasi membentuk ikatan α-1,6-glikosidik yang baru; branching enzyme (EC 2.4.1.18)
2.2.1.
Ciri khas keluarga α-amilase
Karakter spesifik yang dimiliki oleh keluarga α –amilase yaitu bereaksi pada ikatan α-glikosida, menyerang ikatan α-glikosida untuk menghasilkan produk mono-α-anomerik atau oligosakarida dengan menghidrolisis atau membentuk ikatan glikosida dengan transglikosilasi, memiliki empat buah daerah lestari pada struktur primernya yang masing-masing berfungsi dalam proses katalitik maupun proses pengikatan substrat (Tabel 2.4), dan memiliki residu Asp, Glu, Asp sebagai residu lestari (Nielsen et al., 2001). Daerah lestari α-amilase terletak pada C-terminal dari β-strand domain A pada struktur tiga dimensi α–amilase. Keempat daerah lestari α-amilase tersebut adalah (van der Maarel et al., 2002): i.
Ujung C-terminal dari strand β3 yang memiliki residu histidin. Daerah ini akan berinteraksi dengan residu glukosa dari substrat.
ii.
Strand β4 yang memiliki residu aspartat yang berfungsi sebagai nukleofil selama proses katalisis.
iii.
Strand β5 yang memiliki residu asam glutamat. Daerah ini akan berperan sebagai akseptor atau donor proton.
11
iv.
Strand β7 yang memiliki residu histidin dan aspartat. Daerah ini akan membentuk ikatan hidrogen dengan residu glukosa dari substrat.
Tabel 2.4 Daerah lestari asam amino pada keluarga α-amilase
Struktur tiga dimensi α-amilase yang diidentifikasi pertama kali menggunakan kristalografi Xray adalah Taka- α -amilase. Struktur dasar domain utama α -amilase adalah (β/α)8 barrel dengan sebuah β-sandwich anti- pararel. Dari penelitian-penelitian selanjutnya, didapatkan keterangan bahwa struktur α -amilase terdiri atas domain A, B, dan C. Domain A merupakan domain katalitik. Domain A memiliki karakteristik yang khas, yaitu lipatannya membentuk TIM- barrel. Domain A disisipi oleh β-domain (domain B) secara acak diantara β-strand ketiga dan α-helix ketiga dari domain A. Domain B memiliki peranan penting di dalam mengontrol afinitas atau pengikatan substrat pada enzim, katalisis, dan sensitivitas terhadap inhibitor atau terhadap kestabilan (Declerk et al., 2000). Domain B juga berfungsi untuk mengontrol pengikatan ion Ca2+ pada enzim (van der Maarel et al., 2002) dan mengontrol kespesifikan produk yang dihasilkan dari reaksi antara enzim dengan substrat (Declerk et al., 2000). Domain B ini biasanya tersusun dari 44 hingga 133 residu asam amino (van der Maarel et al., 2002). Domain C berbentuk Greek key yang letaknya berlawanan dengan TIM-barrel (Nielsen et al., 2001). Sebenarnya, fungsi dari domain C ini belum dapat diketahui dengan pasti. Akan tetapi adanya mutasi domain C pada α -amilase dari Bacillus stearothermophilus menunjukkan bahwa domain ini juga berperan dalam aktivitas α-amilase (van der Maarel et al., 2002). Struktur α amilase dapat dilihat pada Gambar 2.7.
12
Gambar 2.7 Struktur α-amilase dari Bacillus licheniformis (Nazmi et al., 2006) Domain A berwarna merah, domain B berwarna biru, dan domain C berwarna hijau. Ion kalsium (Ca2+) ditunjukkan dengan warna emas. Ion natrium (Na+) ditunjukkan dengan warna biru
2.2.2.
Mekanisme katalitik α -amilase
α-Amilase memiliki tiga asam amino residu, yaitu Glu-230, Asp-206, dan Asp-297 yang diidentifikasi sebagai sisi katalitik enzim. Reaksi hidrolisis yang dikatalisis oleh enzim α-amilase merupakan reaksi substitusi nukleofilik, dalam hal ini karbon anomerik (C-1) α-amilase akan diserang oleh sebuah nukleofil. Reaksi substitusi nukleofilik yang terjadi merupakan reaksi SN1. Mekanisme katalitik ini sesuai dengan hasil percobaan yang telah dilakukan selama ini. Mekanisme katalitik ini juga dapat menjelaskan stereoselektivitas enzim penahan (retaining) dan enzim pembalik (inverting). α-Amilase yang digunakan untuk mengetahui mekanisme katalitik ini adalah Taka-α-amilase (Kaneko et al., 1998). Sebelum mengikat subsratnya (maltoheptaosa), Glu230 tak terionisasi membentuk ikatan hidrogen dengan proton Asp297 (Gambar 2.8a). Pada daerah ini banyak terdapat molekul air. Ketika telah terbentuk ikatan dengan substrat, akan dilepaskan molekul air dan putusnya ikatan hidrogen tersebut (Gambar 2.8b). Oksigen pada glukosidik terletak dekat Asp297, sedangkan H-1 letaknya berdekatan dengan Asp206. Hal ini menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen yang baru dan terjadinya interaksi hidrofobik antara substrat dengan daerah pengikatan substrat. 13
Terbentuknya ikatan hidrogen yang baru ini akan menyebabkan melemahnya ikatan hidrogen antara Glu230 dengan Asp297. Dengan demikian, Glu230 akan lebih mudah melepaskan proton. Proton ini kemudian akan menyerang oksigen pada glukosidik sehingga ikatan glikosidik akan putus, dan ujung pereduksi akan dilepaskan dari cleft (Gambar 2.8c) (Kaneko et al., 1998). Asp206 yang terletak pada bagian bawah cleft akan membantu terjadinya pembentukan ion karbonium sebagai senyawa intermediet. Terjadinya ionisasi Glu230 akan menyebabkan terbentuknya gaya tolak elektrostatik antara Glu230 dengan Asp297. Setelah itu, molekul air akan menyerang dan menyebakan melemahnya gaya tolakan karena terbentuknya ikatan hidrogen antara dua sisi katalitik (Gambar 2.8d). Glu230 akan menarik proton dari molekul air dan menghasilkan ion hidroksil teraktivasi. Ion hidroksil ini akan menyerang ion karbonium secara nukleofilik untuk mengakhiri reaksi katalitik ini (Gambar 2.8e) (Kaneko et al., 1998).
Gambar 2.8 Mekanisme katalitik Taka-α-amilase berdasarkan prediksi struktur tiga dimensi kompleks enzim-substrat (Kaneko et al., 1998)
2.2.3.
Sumber dan sifat α-amilase
α-Amilase disekresikan oleh hampir semua organisme, mulai dari organisme tingkat rendah hingga organisme tingkat tinggi (Kandra, 2003). Karakteristik α–amilase yang disekresikan oleh suatu organisme akan berbeda dari organisme lainnya. Karakteristik α–amilase yang 14
disekresikan ini biasanya juga bergantung dari lingkungan dimana organisme tersebut tumbuh dan berkembang (Sivaramakrishnan, et al., 2006). Diversitas α–amilase yang tinggi ini mendorong para peneliti untuk terus menemukan isolat baru, sehingga dapat menemukan α– amilase jenis baru. Beberapa contoh karakteristik α–amilase dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Karakteristik α-amilase dari berbagai sumber Sumber B. subtilis Bacillus sp. IMD 435 Aspergillus niger B. subtilis X-23 B. subtilis IFO3108
BM (kDa)
pH optimum
Suhu optimum (oC)
Mendegradasi pati mentah
Literatur
48.0
6,5
50
Tidak dilaporkan
Robyt et al, 1963
63
6,0
65
+
Hamilton et al., 1999
80
4,0
50
+
Zorov et al., 2006
5,5
65
6,0
65
67 47 64 45
+ + -
Ohdan et al, 2000 Mitsuiki et al, 2005
Aspergillus awamori
80
5,0
50
+
Zorov et al., 2006
B. subtilis AX20
149
5,0 - 9,0
60
+
Najafi et al, 2005a
2.3.
Bakteri laut sebagai penghasil enzim bernilai ekonomis
Laut merupakan tempat yang kaya akan biodiversitas. Di dalam laut terdapat sekitar 40000 spesies bakteri, 1500000 spesies fungi, dan 3000000 spesies invertebrata. Adanya keragaman spesies dalam laut menyebabkan laut merupakan tempat yang sangat potensial untuk mengisolasi spesies-spesies baru yang dapat mensekresikan enzim yang penting bagi dunia industri. Enzim yang disekresikan oleh bakteri bersifat lebih ekonomis dibandingkan enzim yang disekresikan oleh hewan ataupun tumbuhan. Salah satu keuntungan mengisolasi enzim dari bakteri adalah waktu isolasinya yang relatif lebih cepat. Selain itu, enzim dari bakteri bersifat lebih stabil dibandingkan enzim yang disekresikan oleh tanaman atau hewan. Enzim dari bakteri juga memiliki rentang aktivitas yang cukup luas dan dapat diproduksi menggunakan medium 15
ekonomis. Adanya rentang aktivitas yang cukup tinggi menyebabkan enzim dari bakteri cukup banyak diaplikasikan di dunia industri (Chandrasekaran, 1997). Sama seperti bakteri pada umumnya, bakteri laut juga dapat mensekresikan enzim dengan rentang aktivitas yang sangat tinggi dan mampu mengkatalisis berbagai reaksi biokimia. Bakteri laut
yang
hidup
secara
aerobik
diketahui
mampu
mensekresikan
enzim
amilase,
deoksiribonuklease, lipase, dan protease. Beberapa strain bakteri laut juga diketahui dapat mensekresikan enzim alginat liase, kitinase, glukanase, glutaminase, dan DNA polimerase dalam jumlah besar (Chandrasekaran, 1997). Jika ditumbuhkan dalam medium pertumbuhan, bakteri laut biasanya memerlukan kondisi pertumbuhan yang kurang lebih sama dengan kondisi pertumbuhannya di laut bebas. Misalnya saja untuk bakteri-bakteri yang hidup pada laut yang sangat biasanya memerlukan kondisi pertumbuhan dengan tekanan hidrostatik yang cukup besar agar dapat mensekresikan enzim dalam jumlah maksimal (Chandrasekaran, 1997).
2.4.
Vibrio sp.
2.4.1.
Karakteristik Vibrio sp.
Vibrio sp. merupakan kelompok bakteri gram negatif yang berbentuk batang dan hidup secara fakultatif anaerob. Pada umumnya, bakteri ini hidup di air asin. Hampir semua bakteri yang termasuk dalam kelompok Vibrio sp. adalah motile dan monotrikus (memiliki single polar flagellum) (Madigan et al., 2005). Klasifikasi ilmiah dari Vibrio sp. adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Bakteri
Filum
: Proteobakteria
Kelas
: Gamma Proteobakteria
Ordo
: Vibrionales
Famili
: Vibrionaceae
Genus
: Vibrio
16
Kelompok Vibrio sp. juga diketahui menghasilkan beberapa protein secara ekstraselular, misalnya amilase, protease, DNAase, dan hemaglutinin (Ichige, 1988). Selain itu, kelompok bakteri laut Vibrio sp. diketahui juga dapat menghasilkan aseton jika dikultur pada media yang mengandung L-Leusin.
2.4.2.
α-Amilase Vibrio sp.
α-Amilase merupakan enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme, tanaman, dan organisme tingkat tinggi dan berperan dalam proses metabolisme (Kandra, 2003). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kelompok Vibrio sp. juga dapat menghasilkan α-Amilase. Akan tetapi, penelitian terhadap α-Amilase yang dihasilkan oleh kelompok Vibrio sp. masih sedikit. Oleh karena itu, penelitian mengenai karakteristik Karakteristik α-Amilase dari Vibrio sp. merupakan peluang yang sangat besar. Salah satu penelitian mengenai α-amilase yang dihasilkan oleh Vibrio sp. dilakukan oleh Najafi et al., (2005). Pada penelitiannya, Najafi et al. menggunakan bakteri yang diisolasi dari daerah laut di Pune, India. Bakteri ini ditumbuhkan dalam medium PSK yang mengandung 1% (b/v) bakto pepton, 0,3% (b/v) K2HPO4, dan dilarutkan dalam air laut. Penumbuhan bakteri dilakukan dengan melakukan inkubasi media PSK yang telah mengandung bakteri pada 37 °C selama 24 jam. Berdasarkan hasil profil sekresi α-amilase oleh bakteri laut Vibrio sp., disimpulkan bahwa bakteri ini mensekresikan α-amilase pada setiap fasa pertumbuhan. Aktivitas α-amilase yang disekresikan mencapai nilai maksimum pada fasa eksponensial, yaitu 8,5 U/mL. Pemurnian αamilase dilakukan dengan metode afinitas terhadap pati. Hasil identifikasi berat molekul menunjukkan bahwa α-amilase yang disekresikan memiliki berat molekul 52,48 kDa. Aktivitas α-amilase ini optimum pada suhu 60 °C dan pH 6. Aktivitas α-amilase dapat dihambat oleh adanya EDTA, EGTA, Hg2+, Ag+, dan Cu2+ (Najafi et al., 2005).
2.5.
Fraksinasi amonium sulfat
Amonium sulfat telah banyak digunakan dalam proses salting out yang bertujuan untuk memekatkan enzim atau pemurnian enzim dari komponen-komponen media pertumbuhan. Garam ini banyak digunakan karena tingkat toksisitasnya yang rendah, murah, kelarutannya dalam air tinggi, dan dalam kasus tertentu memiliki efek penstabil enzim (Wiseman, 1986). 17
Dalam larutan bufer, protein bersifat sangat hidrat atau dengan kata lain, gugus ionik pada permukaan protein akan menarik dan mengikat molekul air di sekitarnya dengan sangat kuat (Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Protein dalam larutan bufer Ketika (NH4)2SO4 dengan konsentrasi tinggi ke dalam larutan protein, maka protein akan mengendap tanpa mengalami denaturasi (jika dilakukan pada suhu dingin). Hal ini disebabkan ion-ion dari (NH4)2SO4 akan menarik molekul-molekul air di sekitar molekul protein. Ion-ion dari (NH4)2SO4 dapat menarik molekul air karena ion-ion tersebut memiliki muatan yang lebih besar dibandingkan protein. Sehingga pada akhirnya molekul protein akan bereaksi secara intermolekuler dan membentuk suatu agregat (Gambar 2.10). Keadaan inilah yang disebut dengan salting out. Proses fraksinasi ini biasanya dilakukan untuk memisahkan protein dari komponen-komponen media.
Gambar 2.10 Protein dalam (NH4)2SO4 Proses fraksinasi biasanya dilanjutkan dengan dialisis. Proses dialisis ini dilakukan untuk menghilangkan kelebihan garam yang terikat pada protein. Proses dialisis dilakukan dengan menempatkan protein dalam membran dialisis. Membran berisi protein ini kemudian ditempatkan pada wadah berisi bufer dalam jumlah yang banyak. Bufer ini kemudian diaduk selama beberapa jam. Bufer ini harus diganti tiap 1-2 jam agar proses dialisis lebih efektif. 18
Pengecekan kadar garam dalam protein dapat dilakukan dengan mengambil alikuot bufer jam tertentu dan ditambahkan BaCl2 dan HCl. Banyak endapan putih menunjukkan banyak kadar garam yang masih terikat pada protein. Proses yang terjadi selama dialisis dapat dilihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Proses dialisis protein dalam bufer
2.6.
Elektroforesis SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis)
Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) merupakan suatu metode umum untuk mengidentifikasi protein dan hasil pemurnian protein berdasarkan pemisahan berat molekul protein. Prinsip dasar SDS-PAGE adalah elektroforesis yaitu suatu proses yang melibatkan pergerakan partikel bermuatan dalam suatu medan listrik. Dimana, partikel bermuatan positif akan bergerak ke arah katoda, sedangkan partikel bermuatan negatif akan bergerak ke arah anoda. Pada pemisahan protein, yang dimaksud dengan partikel adalah protein itu sendiri. Kecepatan migrasi tiap protein dalam suatu gel akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini bergantung dari kuatnya medan listrik dan muatan dari protein itu sendiri. Semakin besar ukuran suatu protein, maka kecepatan migrasinya akan semakin lambat. Pemisahan elektroforesis pada SDS-PAGE berlangsung pada medium gel poliakrilamid yang tipis, terbentang secara vertikal sehingga molekul dapat bergerak dari atas ke bawah. Gel poliakrilamid
terbentuk
dari
hasil
polimerisasi
akrilamid
dan
ikatan
silang
oleh
19
metilenbisakrilamid (Berg et al., 2002). Gel ini dipilih karena sifatnya yang inert dan mudah terbentuk. Protein dapat bergerak ke arah suatu kutub apabila dilingkupi oleh muatan listrik yang sama. Oleh karena itu, dilakukan pendenaturasian protein terlebih dahulu oleh detergen SDS (Sodium Dodecyl Sulphate) yang bermuatan negatif sebelum memasuki matriks gel. SDS mampu membuka struktur protein dengan memutuskan ikatan nonkovalen pada protein sehingga protein berada dalam keadaan rantai tunggal saja. Pendenaturasian protein dibantu pula oleh merkaptoetanol yang dapat memutuskan ikatan sulfida. Anion dari SDS akan berikatan dengan rantai tunggal protein dengan rasio perbandingan satu SDS mengikat dua residu asam amino. Komplek SDS dengan denaturan protein yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah anoda pada proses elektroforesis. Setelah proses elektroforesis selesai, gel diwarnai oleh metode pewarnaan menggunakan perak. Sistem pewarnaan ini lebih sensitif dibandingkan dengan sistem pewarnaan dengan reagen pewarna seperti Commassie blue. Batas deteksi protein menggunakan Commassie blue adalah ~0,1 μg sedangkan menggunakan Ag adalah ~0,02 μg (Berg et al., 2002). Selain batas deteksinya yang rendah, pewarnaan dengan perak juga dapat dikerjakan dalam waktu yang lebih singkat, yaitu sekitar 2 jam. Pewarnaan menggunakan metode perak meliputi beberapa tahap yaitu: 1) Fiksasi yang berfungsi untuk mengeluarkan ion pengganggu dan detergen dari gel dan juga membantu pencegahan protein keluar dari matrik gel; 2) Pengoksidasian, berfungsi untuk meningkatkan kepekaan dan kekontrasan pada pewarnaan; 3) Pencucian, berfungsi untuk mengeluarkan sisa zat pengoksidasi dan rehidrasi gel untuk tahap berikutnya; 4) Pewarnaan, berfungsi untuk mengikatkan ion Ag+ ke protein dan membentuk bakal gambar; 5) Pencucian kembali untuk mengeluarkan kelebihan pewarna; 6) Pengembangan, berfungsi untuk mereduksi ion perak menjadi perak sehingga menimbulkan warna metalik pada pita protein; dan 7) Pemberhentian, berfungsi untuk mengkomplekskan perak bebas dengan EDTA sehingga mencegah reduksi lanjutan.
20