TINJAUAN PUSTAKA Gel Kitosan Proses gelasi atau pembentukan gel merupakan fenomena yang menarik dan sangat kompleks. Jika terjadi ikatan silang pada polimer yang terdiri atas molekul rantai panjang dalam jumlah yang cukup, maka akan terbentuk bangunan tiga dimensi yang berkelanjutan sehingga molekul pelarut akan terjebak diantaranya, terjadi immobilisasi molekul pelarut, dan terbentuk struktur yang kaku dan tegar yang tahan terhadap gaya maupun tekanan tertentu (Fardiaz 1989). Gel yang dapat menahan air di dalam strukturnya disebut hidrogel (Wang et al. 2004). Air yang terdapat dalam gel ini merupakan tipe air imbibisi, yaitu air yang masuk ke dalam suatu bahan dan akan menyebabkan pengembangan volume, tetapi air ini bukan komponen penyusun bahan tersebut (Winarno 1997). Hidrogel dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan proses pembentukannya, yaitu hidrogel kimia dan fisika. Hidrogel kimia dibentuk dari reaksi tidak dapat balik karena melibatkan pembentukan ikatan silang secara kovalen, sedangkan hidrogel fisika dibentuk dari reaksi dapat balik dengan pembentukan ikatan silang secara ionik (Stevens 2001, Berger et al. 2004). Saat ini, penggunaan hidrogel banyak dikembangkan dalam berbagai bidang, antara lain farmasi, industri, dan makanan. Hidrogel ini dibentuk dari berbagai macam bahan polimer alam maupun polimer sintetik, salah satunya adalah polimer alam kitosan. Kitosan merupakan biopolimer polikationik linear dengan unit berulang 2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa yang terhubung oleh ikatan β-(1→4) (Thatte 2004). Struktur kimia kitosan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kitosan
Kitosan memiliki rumus molekul (C6H11NO4)n dan merupakan salah satu dari sedikit polimer alam yang berbentuk polielektrolit kationik dalam larutan asam organik (Jamaludin 1994). Kitosan larut dalam pelarut organik, HCl encer, HNO3 encer, dan H3PO4 0,5%, tetapi tidak larut dalam basa kuat dan H2SO4. Sifat kelarutan kitosan ini dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi. Bobot molekul kitosan beragam, bergantung pada degradasi yang terjadi selama proses deasetilasi (Sugita 1992). Parameter mutu kitosan biasanya dilihat dari nilai derajat deasetilasi, kadar air, kadar abu, bobot molekul, dan viskositas. Kitosan niaga memiliki bobot molekul sekitar 1 × 105–1.2 × 106 g/mol. Viskositas kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti derajat deasetilasi, bobot molekul, konsentrasi pelarut, dan suhu. Parameter mutu kitosan niaga dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Parameter mutu kitosan niaga* Parameter Ciri Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk Kadar air ≤ 10% Kadar abu ≤ 2% Derajat deasetilasi ≥ 70% Warna larutan tidak berwarna Viskositas (cps): < 200 Rendah 200–799 Medium 800–2000 Tinggi Sangat tinggi >2000 * Sumber: Anonim (1987) dalam Jamaludin (1994)
Gel kitosan terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi antara molekul kitosan yang terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan menangkap sejumlah air di dalamnya. Sifat jaringan serta interaksi molekul yang mengikat keseluruhan gel menentukan kekuatan, stabilitas, dan tekstur gel. Untuk memperkuat jaringan di dalam gel biasanya digunakan molekul lain yang berperan sebagai pembentuk ikatan silang. Ikatan silang kovalen dalam hidrogel kitosan dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu ikatan silang kitosan-kitosan, jaringan polimer hibrida, dan semi- atau fullinterpenetrating network (IPN) (Gambar 2a, b, c). Ikatan silang kitosan-kitosan terjadi antara dua unit struktural pada rantai polimer kitosan yang sama, sementara pada jaringan polimer hibrida, reaksi pengikatan silang terjadi antara satu unit dari
struktur rantai kitosan dan unit lain dari struktur polimer tambahan. Berbeda dengan jaringan polimer hibrida, semi- atau full-IPN terjadi jika ditambahkan polimer lain yang tidak bereaksi dengan larutan kitosan sebelum terjadi ikatan silang. Pada semi-IPN, polimer yang ditambahkan ini hanya melilit, sementara pada full-IPN, ditambahkan dua senyawa pengikat silang yang terlibat dalam jaringan (Berger et al. 2004).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2 Struktur hidrogel kitosan (a) ikatan silang kitosan-kitosan, (b) jaringan polimer hibrida, (c) jaringan semi IPN (Berger et al. 2004)
Kitosan menunjukkan sifat-sifat polimer biomedis seperti non-toksik, biokompatibel, dan biodegradabel. Struktur kitosan yang mirip dengan selulosa dan kemampuannya membentuk gel dalam suasana asam, membuat kitosan memiliki sifat-sifat sebagai matriks dalam sistem pengantaran obat (Sutriyo et al. 2005). Kitosan biasa dipakai sebagai penghantar obat berdasarkan kekuatan mekanik dan keteruraian hayatinya yang lambat. Kitosan berbentuk gel atau lembaran telah digunakan sebagai pengantar obat yang merupakan zat antikanker (Dhanikula et al. 2004). Kitosan juga dapat memperbaiki sistem pengantaran ketoprofen dan indometasin yang merupakan obat anti-peradangan dengan cara menyalut obat dalam mikrokapsul (Yamada et al. 2001, Tiyaboonchai et al. 2003). Beberapa penelitian kitosan yang termodifikasi dengan gom guar telah digunakan sebagai matriks penghantaran obat dalam tubuh diantaranya obat anti peradangan ketoprofen (Amelia 2007) dan obat anti-peradangan indometasin (Mubarok 2007). Hal ini sesuai dengan Nata (2007) yang melaporkan bahwa melalui uji difusi secara in vitro, proses pembengkakan membran kitosan-gom
guar akibat matriks yang bersentuhan dengan cairan sangat baik digunakan untuk sistem penghantaran obat.
Nanopartikel Kitosan Pengertian dan Perkembangan Nanopartikel Nanopartikel didefinisikan sebagai partikel yang berbentuk padat dengan ukuran sekitar 10–1000 nm (Mohanraj 2006). Pembuatan teknologi nanopartikel ini sangat bergantung pada metode preparasi yang dilakukan, baik itu dalam bentuk nanopartikel, nanosphere, atau nanokapsul. Dalam sistem pengantaran obat, nanopartikel berperan sebagai pembawa (carrier) dengan cara melarutkan, menjebak, mengenkapsulasi, atau menempelkan obat di dalam matriksnya. Baru-baru ini, nanopartikel yang berasal dari bahan polimer digunakan sebagai
sistem
pengantaran
obat
yang
potensial
karena
kemampuan
penyebarannya di dalam organ tubuh selama waktu tertentu, dan kemampuannya untuk mengantarkan protein atau peptida (Mohanraj 2006). Nanopartikel dari bahan polimer yang biodegradabel dan kompatibel merupakan salah satu perkembangan baik untuk pembawa obat karena nanopartikel diduga terjerap secara utuh di dalam sistem pencernaan setelah masuk ke dalam tubuh (Wu et al. 2005). Tujuan utama dalam melakukan rancangan nanopartikel sebagai sistem pengantaran obat adalah untuk mengatur ukuran partikel, sifat-sifat permukaan, dan pelepasan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh sebagai sasaran pengobatan. Kelebihan menggunakan nanopartikel sebagai sistem pengantaran obat antara lain (1) ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat dengan mudah dimanipulasi sesuai dengan target pengobatan; (2) nanopartikel mengatur dan memperpanjang pelepasan obat selama proses transpor obat ke sasaran; (3) obat dapat dimasukan ke dalam sistem nanopartikel tanpa reaksi kimia; dan (4) sistem nanopartikel dapat diterapkan untuk berbagai sasaran pengobatan, karena nanopartikel masuk ke dalam sistem peredaran darah dan di bawa oleh darah menuju target pengobatan (Mohanraj 2006). Beberapa hasil penelitian menjelaskan bahwa jumlah nanopartikel yang melewati epitelium usus lebih besar daripada mikrosfer (> 1 µm) (Wu et al. 2005). Saat ini penelitian
mengenai nanopartikel telah banyak dikembangkan, salah satunya adalah nanopartikel kitosan. Studi nanopartikel kitosan banyak difokuskan pada preparasi, modifikasi, perilaku berbagai macam obat dan sifat-sifat fisiknya, seperti nanopartikel kitosan tersalut PLGA (poly-D,L-lactide-co-glycolide), nanopartikel berisi insulin, asam deoksiribonukleat (DNA), dan obat antikanker. Janes (2001) melaporkan bahwa bobot molekul kitosan memainkan peran penting dalam sistem penghantaran protein atau peptida oleh nanopartikel kitosan (Xu 2003). Selain itu, Jang et al. (2002) mempelajari karakteristik dari nanopartikel kitosan yang termodifikasi dengan gugus-gugus hidrofobik (kolesterol) dan hidrofilik (polietilen glikol). Hasilnya, semakin banyaknya jumlah gugus hidrofobik maka ukuran partikel akan semakin kecil, dan diperoleh nanopartikel berukuran 30–150 nm. Wu et al. (2005) mempelajari karakteristik nanopartikel kitosan terisi amonium glycyrrhizinate (sebagai obat anti-hepatitis) dengan menggunakan proses gelasi ionik. Hasilnya, nanopartikel yang diperoleh berukuran 20–80 nm dan melalui uji difusi secara in vitro dapat digunakan sebagai sistem penghantaran amonium glycyrrhizinate dengan pelepasan amonium glycyrrhizinate pada 1 jam pertama
sekitar
22,5%
kemudian
diikuti
dengan
pelepasan
amonium
glycyrrhizinate yang sangat lambat hingga mencapai 16 jam, yaitu 37,5%. Joseph (2007) melakukan preparasi dan karakterisasi nanopartikel kitosan untuk mengantarkan sitarabin (sebagai zat kemoterapi) untuk terapi penyakit kanker. Hasilnya, pelepasan sitarabin dari nanopartikel kitosan melalui uji difusi secara in vitro pada 1 jam pertama cukup cepat, yaitu 30,5% kemudian diikuti dengan pelepasan sitarabin yang sangat lambat hingga mencapai 16 jam, yaitu 63,1%.
Metode Pembuatan Nanopartikel Menurut Mohanraj (2006), kebanyakan nanopartikel dibuat dengan tiga metode, yaitu dispersi polimer, polimerisasi monomer, dan proses gelasi ionik. Dispersi polimer merupakan teknik umum yang digunakan untuk membuat nanopartikel biodegradabel dari PLA (poly-lactic acid), PLG (poly-D,Lglycolide), PLGA (poly-D,L-lactide-co-glycolide), dan PCA (poly-cyanoacrylate). Teknik dispersi polimer ini dapat digunakan dalam berbagai cara, antara lain
metode evaporasi pelarut dan metode difusi pelarut. Dalam metode evaporasi pelarut, polimer dan obat masing-masing dilarutkan dalam pelarut organik. Campuran larutan polimer dan obat tersebut kemudian di emulsifikasi dalam larutan yang mengandung surfaktan untuk membentuk emulsi minyak dalam air (o/w). Setelah emulsi yang terbentuk stabil, pelarut kemudian diuapkan. Untuk metode polimerisasi, monomer di polimerisasi untuk membentuk nanopartikel dalam larutan berair. Suspensi nanopartikel selanjutnya dipisahkan dari penstabil dan surfaktan yang digunakan dengan ultrasentrifugasi dan partikel disuspensikan kembali dalam medium yang isotonis. Metode yang paling umum pembuatan nanopartikel menurut Mohanraj (2006) adalah melalui proses gelasi ionik. Banyak penelitian difokuskan untuk membuat nanopartikel dari polimer yang biodegradabel seperti kitosan, gelatin, dan sodium alginat. Salah satu contoh metode gelasi ionik ini adalah mencampurkan polimer kitosan dengan polianion sodium tripolifosfat yang menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dengan muatan negatif tripolifosfat. Menurut Haskell (2005), nanopartikel dapat dibuat dengan 4 metode, yaitu (1) emulsifikasi; (2) pemecahan; (3) pengendapan; dan (4) difusi emulsi (Gambar 3). Metode emulsifikasi menggunakan bahan dasar cairan/larutan dan energi mekanik atau ultrasonik diberikan untuk mengurangi ukuran partikel (umumnya < 300 nm). Metode ini memiliki keuntungan, yaitu menggunakan peralatan yang umum (seperti homogenizer), sedangkan kelemahan metode ini antara lain pengisian obat ke dalam nanopartikel rendah, serta memerlukan energi tinggi untuk dekomposisi kimia. Metode pemecahan menggunakan bahan dasar padatan yang dipecah dengan cara menggiling butiran-butiran padatan. Metode ini memiliki kelebihan antara lain cocok untuk senyawa yang kelarutannya rendah, sedangkan kekurangan metode ini antara lain pemecahan partikel padatan memerlukan energi dan waktu yang lebih besar daripada bahan cairan/larutan, dapat menghasilkan panas, kondisi proses berbeda-beda dari satu obat ke obat lainnya, dan ukuran partikel yang dihasilkan terbatas, yaitu lebih besar dari 100 nm.
Metode pengendapan dilakukan dengan mengendalikan kelarutan bahan di dalam larutan melalui perubahan pH, suhu, atau pelarut. Endapan yang dihasilkan dari kondisi sangat jenuh memiliki banyak partikel berukuran kecil. Metode ini memiliki kelebihan antara lain dapat menghasilkan partikel lebih kecil dari 100 nm dan pemakaian energi sangat rendah. Akan tetapi, kekurangan metode ini adalah pengisian obat ke dalam nanopartikel rendah dan memerlukan penguapan banyak pelarut. Metode yang terakhir adalah difusi emulsi yang merupakan gabungan dari metode emulsifikasi dan pengendapan. Dalam metode ini, emulsi yang mengandung obat dihasilkan terlebih dahulu melalui penggunaan pelarut dengan volatilitas yang tinggi. Setelah preparasi, fase yang mengandung obat dihilangkan melalui evaporasi, yang berlanjut pada pengendapan obat dalam droplet emulsi. Tidak seperti metode pengendapan langsung yang pembentukan partikel terjadi di seluruh larutan, dalam metode ini pengendapan terbatas pada fase yang mengandung obat sehingga droplet berperan sebagai cetakan (templat) untuk pembentukan nanopartikel. Metode difusi emulsi memiliki kelebihan antara lain proses pengendapan dapat dikendalikan secara merata sehingga lebih efektif menghasilkan nanopartikel, sedangkan kekurangan metode ini adalah prosesnya lebih rumit karena banyak tahapan yang dilakukan, biaya lebih besar, serta memerlukan kemampuan khusus untuk pemilihan pelarut yang sesuai. Energi Larutan Larutan
Difusi
Energi
Padatan
Pengendapan
Energi
Gambar 3 Pembuatan nanopartikel (Haskell 2005)
Sonokimia Sonic atau suara dengan frekuensi sangat tinggi disebut ultrasonik. Ahli kimia pertama yang memperkenalkan efek gelombang suara yang kemudian disebut sebagai sonokimia adalah Alfred L. Loomis pada tahun 1927. Sejak tahun 1980-an efek dari ultrasonik telah banyak dipergunakan oleh para ilmuwan di berbagai sektor, karena ultrasonik memiliki dampak yang signifikan secara fisika dan kimia terhadap suatu zat (Wahid et al. 2001). Ultrasonik memiliki frekuensi melebihi batas pendengaran manusia, yaitu di atas 20 kHz. Frekuensi yang lebih tinggi memiliki panjang gelombang yang lebih pendek. Gelombang suara ultrasonik dapat didengar dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh pendengaran beberapa jenis binatang, seperti anjing, kelelawar, dan lumba-lumba (Kencana 2009). Iradiasi ultrasonik sangat berkaitan erat dengan kavitasi, yaitu pembentukan, pertumbuhan, dan pengempisan gelembung di dalam cairan. Ultrasonik intensitas tinggi dapat memberikan efek pada perubahan fisika dan kimia yang cukup luas karena memiliki energi yang cukup tinggi yang dapat diberikan pada zat lain dalam waktu yang cukup singkat dengan tekanan yang tinggi. Tekanan inilah yang akan menimbulkan kavitasi. Efek fisika dari ultrasonik intensitas tinggi salah satunya adalah emulsifikasi (Wahid et al. 2001). Suara ultrasonik yang menjalar di dalam medium cair memiliki kemampuan terus menerus membangkitkan semacam gelembung atau rongga (cavity) di dalam medium tersebut yang kemudian secepat kilat meletus. Fenomena ini lebih dikenal dengan
nama
kavitasi.
Gelembung-gelembung
yang
meletus
tadi
bisa
menghasilkan energi kinetik luar biasa besar yang berubah menjadi energi panas. Penciptaan dan luruhnya gelembung yang cepat memberikan efek transfer energi panas yang juga cepat. Gelembung-gelembung tadi bisa mencapai suhu 5000 K, bertekanan 1000 atm, dan memiliki kecepatan pemanasan-pendinginan 1010 K/s. Selama terjadinya gelembung-gelembung, kondisi fisika-kimia suatu reaksi bisa berubah drastis namun suhu medium yang teramati tetaplah dingin karena proses terbentuk dan pecahnya gelembung tadi terjadi dalam skala mikroskopik. Sejumlah teori dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana radiasi ultrasonik 20 kHz dapat memecahkan ikatan kimia. Semua teori sepakat bahwa
kejadian utama dalam sonokimia adalah pembentukan, pertumbuhan, dan pemecahan gelembung yang terbentuk di dalam cairan. Masalah selanjutnya adalah bagaimana gelembung dapat terbentuk, mengingat fakta bahwa daya yang diperlukan untuk memisahkan molekul-molekul air pada jarak 2 kali ikatan Van der Waals nya adalah sebesar 105 W/cm2, sedangkan dalam bath sonikasi dengan daya 0.3 W/cm2 sudah berhasil mengubah air menjadi hidrogen peroksida. Banyak penjelasan berbeda yang diajukan untuk menjelaskan fenomena ini, tetapi semuanya berdasarkan pada keberadaan partikel tertentu atau gelembunggelembung gas yang menurunkan gaya antarmolekul sehingga memungkinkan terbentuknya gelembung. Tahap kedua adalah pertumbuhan gelembung yang terjadi melalui difusi uap zat terlarut (solut) pada gelembung, dan tahap ketiga adalah pecahnya gelembung yang terjadi ketika ukuran gelembung mencapai nilai maksimumnya. Berdasarkan mekanisme hot-spot, ledakan gelembung tersebut menaikkan temperatur lokal hingga 5000 K dan tekanan 1000 atm. Kondisi ekstrem tersebut menyebabkan pemutusan ikatan kimia. Gelombang ultrasonik tidak secara langsung berinteraksi dengan molekulmolekul untuk menginduksi suatu perubahan kimia. Interaksi gelombang ultrasonik dengan molekul-molekul terjadi melalui media perantara berupa cairan. Gelombang yang dihasilkan oleh tenaga listrik diteruskan oleh media cair ke medan yang dituju melalui fenomena kavitasi yang akan menyebabkan terjadinya temperatur dan tekanan lokal ekstrem di dalam cairan dimana reaksi terjadi (Kencana 2009). Peralatan komersial untuk penelitian efek ultrasonik telah banyak tersedia. Sebuah alat yang berbentuk probe, yang dapat menghasilkan gelombang ultrasonik berintensitas tinggi (50–500 W/cm2) merupakan tipe yang paling akurat dan efektif untuk skala laboratorium serta memberikan kemudahan dalam mengontrolnya pada suhu ruang dan tekanan atmosfer. Sedangkan ultrasonik cleaning bath hanya memiliki intensitas rendah (~ 1 W/cm2) (Wahid et al. 2001). Oleh karena itu, kebanyakan pembuatan nanopartikel dilakukan dengan menggunakan peralatan ultrasonik berbentuk probe.