TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi B. tabaci digolongkan ke dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea, dan termasuk kedalam famili Aleyrodidae (Boror et al. 1996). B. tabaci merupakan spesies kutukebul yang memiliki kisaran inang luas. Kalshoven (1981), mengelompokkan tanaman inang dari serangga ini meliputi beberapa famili, yaitu famili Compositae, Cucurbitaceae, Cruciferae, dan Solanaceae. Menurut Hill (1987), tanaman inang utama B. tabaci adalah kapas, tembakau, tomat, ubi jalar, ubi kayu, beberapa jenis gulma, serta tanaman lain yang dapat menjadi inang alternatif. Hal ini menyebabkan banyaknya nama umum B. tabaci yang dikenal luas, diantaranya adalah kutukebul kapas (cotton whitefly), kutukebul tembakau (tobacco whitefly), dan kutukebul ubi jalar (sweetpotato whitefly) (Kalshoven 1981).
0,2 mm Gambar 1 Imago Bemisia tabaci. Menurut Kalshoven (1981), ciri morfologi B. tabaci adalah sebagai berikut: Telur yang baru diletakkan berwarna kekuningan dan biasanya tertutup lilin, warna telur akan berubah setelah 24 jam menjadi berwarna coklat. Nimfa instar satu berbentuk bulat panjang, berwarna hijau cerah dengan panjang tubuh 0,22 mm dan lebar 0,13 mm. Nimfa instar dua berwarna hijau gelap dengan panjang tubuh 0,28 mm dan lebar 0,17 mm, dengan antena sangat pendek dan tungkai yang tereduksi. Pupa berbentuk bulat panjang, dibagian toraks agak melebar dan
cembung dengan abdomen yang tampak jelas. Terdapat satu pasang seta kauda (cauda setae) pada ujung anal. Vasiform orifice terdapat di daerah sebelum ujung posterior puparium, berbentuk segitiga, dan ukurannya lebih panjang dari panjang alur kaudal (caudal furrow). Hampir separuh bagian operkulumnya menutupi bagian vasiform orifice. Imagonya berwarna kuning dengan panjang tubuh 1-1,5 mm dan sayap yang tertutup oleh tepung berwarna putih.
Biologi Imago betina setelah kopulasi akan meletakkan telur tegak lurus pada permukaan daun bagian bawah dengan cara menyisipkan telurnya ke dalam jaringan epidermis daun. Pada umumnya imago betina lebih tertarik meletakkan telur pada
daun yang lebih muda dari pada daun tua. Masa inkubasi telur tergantung pada keadaan lingkungan terutama suhu. Pada suhu 26 oC sampai 32 oC masa inkubasi adalah 4-6 hari dan pada suhu 18 oC sampai 20 oC adalah 10-16 hari (Gameel 1977). Menurut Ditlin Hortikultura (2008), imago betina lebih menyukai daun yang telah terinfeksi virus sebagai tempat untuk meletakkan telurnya daripada daun sehat. Rata-rata banyaknya telur yang diletakkan pada daun yang terserang virus adalah 77 butir, sedangkan pada daun sehat hanya 14 butir, dengan lama stadium telur rata-rata 5,8 hari. Menurut Gameel (1977), nimfa B. tabaci mempunyai tiga instar dan masa nimfa keseluruhan adalah 12-15 hari pada suhu 28 oC sampai 30 oC dan 28-32 hari pada suhu yang lebih rendah. Selain karena pengaruh suhu, siklus hidup B. tabaci juga dipengaruhi keadaan atau kondisi fisik dari tanaman inangnya. Lama siklus hidup pada tanaman sehat rata-rata 24,7 hari, sedangkan pada tanaman terinfeksi virus mosaik kuning hanya 21,7 hari (Ditlin Hortikultura 2008). Waktu yang dibutuhkan imago sejak keluar dari pupa hingga dapat mengembangkan sayapnya adalah 8-15 menit. Setelah mengembangkan sayap, tubuh imago baru akan tertutup lilin. Lama hidup imago bervariasi tergantung faktor lingkungan. Lama hidup imago betina sekitar enam hari, tetapi pada kondisi tertentu mampu mencapai 60 hari dan pada umumnya imago jantan umurnya lebih singkat dibandingkan imago betina, yaitu sekitar 9-17 hari (CABI 2005).
Penyebaran Menurut Kalshoven (1981), B. tabaci memiliki daerah penyebaran yang cukup luas dan terdapat di India, Afrika hingga Amerika. Di Indonesia, serangga ini ditemukan di pulau Jawa dan Sumatra pada berbagai jenis tanaman. B. tabaci umumnya tersebar di daerah tropik dan subtropik, bersifat polifag, dan diketahui berperan sebagai vektor virus pertanaman. Di Sumatara dan Jawa, B. tabaci menularkan penyakit virus mosaik dan daun menggulung pada tanaman tembakau. Pada tahun 1983 dilaporkan penularan penyakit virus yang disebabkan oleh serangga ini pada tanaman tembakau di daerah Deli, Sumatra Utara. Hal tersebut terjadi setelah dilakukan introduksi tumbuhan famili Compositae, seperti Ageratum conyzoides dan Synedrella sp. serta Euphatorium odoratum dari Amerika Selatan sekitar tahun 1930-an. Di India B. tabaci bukan hanya berperan sebagai vektor virus tembakau tetapi juga vektor virus pada Hibiscus sp. dan dapat menyebabkan kerusakan yang amat parah (Kalshoven 1981) yang diikuti munculnya jelaga (warna hitam) akibat pertumbuhan cendawan.
Gejala dan Akibat Serangan Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh imago dan nimfa yang menghisap cairan daun, gejala berupa bintik klorosis pada daun akibat rusaknya sel-sel dan jaringan daun akibat tusukan stilet. Ekskresi kutu kebul menghasilkan madu yang merupakan media yang baik untuk tempat tumbuhnya embun jelaga yang berwarna hitam. Hal ini menyebabkan proses fotosintesis tidak berlangsung normal. Selain kerusakan langsung oleh hisapan imago dan nimfa, kutukebul sangat berbahaya karena dapat bertindak sebagai vektor virus. Penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh virus dapat merusak daun, batang, akar, buah, biji atau bunga, dan mungkin menyebabkan kerugian ekonomis dengan menurunkan hasil dan kualitas produk tumbuhan (Agrios 1996). Menurut Aidawati et al. (2002), satu imago B. tabaci dapat menularkan geminivirus dengan tingkat keberhasilan 50%. Penyakit keriting kuning yang ditularkan B. tabaci misalnya, dapat menyebabkan kehilangan hasil berkisar antara 20% sampai 100 % (Setiawati et al. 2007).
Neraca Kehidupan Neraca kehidupan adalah satu cara untuk mempelajari perkembangan suatu populasi serangga. Di dalam neraca kehidupan terdapat deskripsi yang sistematis tentang mortalitas dan kelangsungan hidup suatu populasi. Informasi tersebut merupakan informasi dasar yang diperlukan dalam menelaah perubahan kepadatan dan laju pertambuhan atau penurunan suatu populasi (Price 1975; Smith 1990). Data dari informasi di atas dapat digunakan untuk menentukan statistik populasi dari suatu organisme. Mengamati perkembangan suatu kelompok individu yang semuanya lahir pada waktu yang sama (kohor) hingga kematian individu terakhir, sambil mencatat kematian individu-individu anggota dan kelahiran keturunannya adalah cara untuk mendapatkan data yang menunjang pembuatan statistik populasi tersebut. Parameter neraca kehidupan yang digunakan untuk melihat hubungan preferensi B. tabaci terhadap tanaman yang diujikan adalah lama stadia pradewasa, lamanya stadia imago, dan keperidian imago betina. Parameter demografi yang dihitung Birch (1948), meliputi: 1.
Laju reproduksi bersih (R0) dihitung dengan rumus: R0 = Σlxmx
2.
Laju pertambahan intrinsik (r) dihitung dengan rumus: r = ln R0/ T
3.
Rataan masa generasi (T) dihitung dengan rumus: T = Σxlxmx/Σlxmx
4.
Populasi berlipat ganda (DT) dihitung dengan rumus: DT = ln(2)/r Keterangan: x
= kelas umur kohor (hari)
lx
= proporsi individu yang hidup pada umur ke-x
mx
= keperidian spesifik individu-individu pada kelas umur ke-x
Peubah biologi yang diamati meliputi: 1) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan sejak telur diletakkan oleh imago betina sampai menetas menjadi nimfa instar satu; 2) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan nimfa instar satu sampai menjadi pupa; 3) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan pupa
sampai menjadi imago; 4) lama hidup imago sejak keluar dari pupa sampai mati; 5) masa sebelum peletakkan telur sampai meletakkan telur pertama kali (prapeneluran); dan 6) jumlah telur yang diletakkan. Menurut Morgan et al. (2001), perbedaan neraca kehidupan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu spesies, inang, kondisi iklim tempat penelitian, dan metode perbanyakan serangga (rearing) yang digunakan. Efek suhu dan kultivar pada neraca kehidupan berpengaruh terhadap kelahiran dan kematian. Penyebaran kutukebul secara geografi dan keragaman strain pada berbagai subspesies juga dapat menyebabkan neraca kehidupan kutukebul berbeda-beda.
Tanaman Inang Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Tomat merupakan sayuran yang bergizi tinggi yang mempunyai banyak manfaat. Dalam ilmu botani, tanaman tomat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiosspermae Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Tubiflorae
Famili
: Solanaceae
Genus
: Lycopersicon
Spesies
: Lycopersicon esculentum Mill.
Menurut Cahyono (2008), tanaman tomat termasuk kedalam tanaman semusim (berumur pendek), karena tanaman hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Tanaman tomat berbentuk perdu yang panjangnya mencapai kurang lebih dua meter. Oleh karena itu, tanaman tomat perlu diberi ajir dari turus bambu atau turus kayu agar tidak roboh di tanah, dan agar tanaman tomat dapat tumbuh secara vertikal keatas. Jenis tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah tanah yang mengandung lempung (pH kisaran 5,5 sampai 6,5) dengan sistem tata air yang baik (air tidak boleh tergenang), karena akar tanaman tomat rentan terhadap kekurangan oksigen. Suhu optimum untuk tanaman tomat antara 20 oC dan 30 oC.
Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) Cabai merupakan suatu komoditas sayuran yang tidak dapat ditinggalkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Prajnanta (1999), berdasarkan asal-usulnya cabai berasal dari Peru. Hal ini dikarenakan bangsa Meksiko sudah menggemari cabai semenjak tahun 7000 SM, jauh sebelum Colombus menemukan benua Amerika tahun 1492. Cabai yang ditemukan Colombus memang tanaman asli Amerika Selatan. Setelah itu, tanaman ini menyebar ke Amerika Tengah menuju Amerika Serikat bagian selatan (Setiadi 2008). Dalam ilmu botani, tanaman cabai diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiosspermae Kelas
: Polemoniales
Ordo
: Tubiflorae
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annuum L.
Cabai merupakan tanaman berumah satu dan dapat menyerbuk sendiri. Tinggi tanaman ini antara 0,65-0,75 m. Secara umum cabai dapat ditanam di areal sawah maupun tegal, di dataran rendah maupun tinggi, dan saat musim kemarau maupun musim penghujan. Namun demikian ada beberapa persyaratan tertentu yang harus diperhatikan agar tanaman cabai dapat memberikan hasil yang baik. Menurut Setiadi (2008), persyaratan tersebut adalah ketinggian tempat dan iklim (menentukan jenis cabai yang akan ditanam), kandungan air dalam tanah (bila di lahan sawah sebaiknya cabai ditanam pada akhir musim hujan tetapi bila di lahan tegal sebaiknya cabai ditanam pada akhir musim kemarau), serta kondisi tanah yang harus subur dan kaya akan bahan organik, dengan pH yang sesuai untuk tanaman cabai yaitu 6,5 dan suhu optimumnya antara 21 oC dan 28 oC. Gulma Babadotan (Ageratum conyzoides L.) Gulma adalah tumbuhan yang kehadirannya tidak diinginkan pada lahan pertanian, karena dapat menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi. Pentingnya suatu gulma ditinjau dari interaksinya dengan tanaman yang dibudidayakan, karena beberapa gulma dapat menjadi inang alternatif dari hama
yang umumnya menyerang tanaman budidaya. Salah satu jenis gulma yang umumnya menjadi inang alternatif adalah A. conyzoides. Dalam ilmu botani, gulma A. conyzoides diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Asterales
Famili
: Asteraceae
Genus
: Ageratum
Spesies
: Ageratum conyzoides L.
Gambar 2 Gulma babadotan, Ageratum conyzoides. A. conyzoides (babadotan) dikenal sebagai gulma yang dapat mengeluarkan alelopati. Batangnya tegak, bulat bercabang, dan berbulu pada buku-bukunya dan pada bagian yang rendah. Daunnya bertangkai cukup panjang, berbentuk bulat telur, bergerigi, dan berbulu. Duduk daun bawahnya berhadapan, sedangkan bagian teratas bertangkai pendek. Bunganya mengelompok berbentuk cawan, setiap bulir terdiri dari 60-75 bunga, berwarna biru muda, putih, atau violet (ungu). Tumbuh pada ketinggian 1-1200 m dpl. dan membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk tumbuh, dengan kisaran suhu optimum antara 16 oC dan 24 oC (Moenandir 1988). Menurut Hendrival (2010), gulma babadotan banyak ditemukan di pertanaman cabai di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY.