TINJAUAN PUSTAKA Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) Bahasa lokal tanaman katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dikenal dengan nama katuk (Sunda, Melayu), babing atau katukan (Jawa), simanis (Minangkabau), kerakur (Madura) (Subekti, 2007).
Gambar 1. Tanaman Katuk
Menurut Yuliani dan Marwati (1997), daun katuk dikenal sebagai sumber vitamin A dalam bentuk karoten (provitamin A). Karoten yang telah banyak diketahui adalah alfa, beta, dan gama karoten. Karoten yang paling penting untuk manusia adalah beta karoten karena memiliki aktivitas provitamin A yang terbesar. Azis dan Muktiningsih (2006), menyatakan bahwa kandungan zat makanan katuk per 100 gram mengandung kalori 59 kal, protein 6,4 g, lemak 1 g, hidrat arang 9,9 g, serat 1,5 g, abu 1,7 g, kalsium 233 mg, phosphor 98 mg, besi 3,5 mg, karoten 10.020 µg, vitamin B dan C 164 mg, air 81 g. Daun katuk mengandung zat-zat antinutrisi seperti tanin, saponin, alkaloid, dan flavonoid. Level tanin yang optimum perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya respon pertumbuhan yang buruk. Saponin dalam katuk dapat menurunkan permeabilitas membran sel mukosa sehingga mempengaruhi transpor aktif nutrien. Saponin mengakibatkan enzim-enzim yang terdapat dalam membran sel mukosa usus kehilangan aktivitasnya dalam membantu uptake komponen nutrien ke dalam usus. Pada kondisi tertentu flavonoid bersama dengan asam askorbat dapat memiliki aktivitas fungsional yang mendukung pertumbuhan, namun keracunan flavonoid secara farmakologis pada sisi yang lain juga dapat menurunkan penampilan ternak (Suprayogi, 1995). 3
Menurut Prayogo dan Santa (1997), taksonomi daun katuk adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermathophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonea
Sub-Kelas
: Monochlamydeae
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Sauropus
Spesies
: Sauropus androgynus (L.) Merr
Ciri makroskopis morfologi daun katuk yang dapat membedakan dengan jenis katuk lainnya adalah (a) daun tunggal menyerupai majemuk dengan filotaksis tersebar, (b) stipule persisten, (c) berbau aromatik lemah, (d) helai daunnya bulat telur sampai lonjong, (e) bagian atas berwarna hijau tua bercak putih, (f) bagian bawah hijau muda, (g) ujung dan pangkal daun meruncing serta (h) tulang daun menyirip (Prayogo dan Santa, 1997). Menurut Sudiarto et al. (1997), budidaya tanaman katuk untuk komoditas komersial telah dilakukan oleh petani di desa Cilebut, Cibadak, dan Kecana, Kecamatan Semplak, Kabupaten Bogor. Budidaya tersebut dilakukan dengan bahan tanam stek berukuran 1520 cm pada bedengan selebar 2 m. Jarak tanam yang digunakan adalah 4-5 cm x 20 cm. Pemanenan pertama dapat dilakukan 2,5-3 bulan setelah penanaman dan panen selanjutnya berselang 40-50 hari sekali. Hal tersebut dilakukan dengan pemangkasan bagian tanaman menggunakan ketam mulai pada ketinggian 30-80 cm dari tanah. Pada panen pertama biasanya diperoleh hasil sebesar 4 juta ton/ha dan selanjutnya pada tahun pertama, yaitu setelah 6-7 kali panen dapat mencapai 21-30 ton/ha. Umur produktif tanaman katuk umumnya 5-7 tahun dan maksimal 11-12 tahun. Suprayogi (2000) melaporkan bahwa dengan menggunakan alat GCMS daun katuk diperkirakan mengandung 7 senyawa aktif utama yang berperan penting dalam memunculkan daya khasiatnya. Ketujuh senyawa tersebut adalah (a) octadecanoic-acid, (b)
9-eicosine,
(c)
5,8,11-heptadecatrienoic
acid
methyl
ester,
(d)
9,12,15-
octadecatrienoic acid ethyl ester, (e) 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester, (f) androstan-17-one, 3-ethyl-3hydroxy-5-alpha, dan (g) 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-34
enylacetatic acid, monomethyl succinate, phenylmalonic acid, cyclopentanol, 2-methylacetate, dan methylpyroglutamate terdapat di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia maupun monogastrik, dari ketujuh senyawa tersebut yang dapat meningkatkan fungsi hormon reproduksi adalah senyawa androstan-17-one, 3-ethyl3hydroxy-5-alpha. Piliang (2002) melaporkan bahwa kandungan tepung daun katuk berbeda dengan serbuk ekstraksi daun katuk. Tepung daun katuk memiliki kandungan gizi yang lebih baik dibandingkan dengan serbuk ekstrak daun katuk kering. Daun katuk memiliki kandungan karotenoid dan provitamin A yang paling tinggi dibandingkan sayuran lain di Indonesia.
Murbei (Morus sp.) Daun murbei merupakan produk dari tanaman murbei yang banyak dimanfaatkan dalam proses pengembangbiakan ulat sutera. Tanaman murbei dapat tumbuh mulai dari daerah dingin hingga daerah yang panas. Tanaman murbei sangat cocok ditanam pada lahan terbuka karena membutuhkan banyak cahaya untuk dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Murbei mempunyai banyak nama lokal yaitu kerta, kitau (Sumatera), murbai, besaran (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali), gertu (Sulawesi), kitaoc (Sumatera Selatan). Tanaman murbei diklasifikasikan sebagai berikut (Samsijah, 1992) : Divisi
: Spermathophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonea
Ordo
: Urticales
Famili
: Moraceae
Genus
: Morus
Spesies
: Morus sp
Tanaman murbei termasuk semak atau pohon berukuran kecil sampai sedang dengan tinggi tanaman mencapai 15 m dan diameter batang mencapai 60 cm. Tanaman murbei dapat tumbuh di daerah temperit sampai ke daerah tropik yang kering. Tanaman ini toleran tumbuh pada suhu lingkungan 5,9 sampai 27,50 C dan pH tanah dari 4,9 5
sampai 8,0. Di India dilaporkan bahwa tanaman murbei dapat tumbuh pada daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 3300 m dpl. Tanaman murbei dapat diperbanyak dengan biji, stek atau okulasi. Perbanyakan dengan biji relatif lebih mahal, tetapi menghasilkan tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan perbanyakan melalui stek. Perbanyakan tanaman dengan stek membutuhkan 75000 sampai 120000 stek/ha, sedangkan perbanyakan dengan okulasi membutuhkan 4000 tanaman/ha. Teknik perbanyakan tanaman dengan okulasi secara eksklusif dilakukan di Jepang (Machii et al., 2002).
Gambar 2. Tanaman Murbei Tanaman murbei mencapai ketinggian 1,3 m pada umur 10 minggu. Pemanenan pertama daun dilakukan pada umur 12 minggu setelah penanaman. Pemanenan dapat dilakukan sebanyak 10 kali/tahun untuk daerah yang beririgasi, sedangkan pada daerah tadah hujan dapat dilakukan pemanenan sebanyak 6 sampai 7 kali. Tanaman murbei dapat berproduksi dengan baik sampai berumur 15 tahun. Setelah itu, tanaman harus diremajakan. Tanaman murbei mempunyai potensi sebagai bahan pakan yang berkualitas karena potensi produksi, kandungan nutrien dan daya adaptasi tumbuhnya yang baik (Singh dan Makkar, 2002). Produksi daun murbei sangat bervariasi, tergantung pada varietas, lahan, ketersediaan air dan pemupukan. Martin et al. (2002) melaporkan produksi biomassa murbei dengan interval defoliasi 90 hari akan mencapai 25 ton BK/ha/thn dan produksi daun murbei sebesar 16 ton BK/ha/thn, sedangkan Boschini (2002) melaporkan bahwa produksi daun murbei sebesar 19 ton BK/ha/tahun. 6
Daun murbei kaya akan sulfur (Saddul et al., 2005). Daun murbei mengandung protein 15,71 – 22,59 %, lemak 3,70 – 6,15 %, dan serat kasar 8 – 16,8 % (Ekastuti et al., 1996). Daun murbei mengandung ekdisteron, inkosteron, lupeol, β-sitosterol, ritin, morakatein, isoquersetin, skopoletin, skopolin, α-heksenal, β-heksenal, cis-β-heksenol, cis-heksanol, benzaldehid, eugenol, linanol, benzil alkohol, butilamin, trigonelin, cholin, adenin, asam amino, vitamin A, vitamin B, vitamin C, karoten, asam fumarat, asam folat, asam formiltetrahidrofili, mionositol, logam, seng, dan tembaga (LIPI, 2009). Karakteristik Puyuh Jepang Semua jenis puyuh berasal dari jenis yang sama yaitu Coturnix coturnix, unggas liar yang berpindah-pindah yang berasal dari Eropa, Asia, dan Afrika (Thear, 2005). Coturnix Japonica berasal dari daerah Rusia, Asia Timur, dan India yang telah didomestikasi sejak abad ke-13 (Pappas, 2002). Puyuh (Cortunix cortunix japonica) atau japanese quail telah tersebar luas di Eropa dan Asia. Puyuh dapat dibedakan jenis kelaminnya pada umur 3 minggu berdasarkan warna kulitnya. Puyuh jantan memiliki warna bulu coklat pada bagian leher dan dada serta mencapai dewasa kelamin pada umur 5-6 minggu dengan bobot badan 100-140 gram. Puyuh betina dapat diidentifikasi dengan melihat bulu pada bagian leher dan dada yang warnanya lebih cerah. Puyuh betina mulai bertelur pada umur 35 hari pada kondisi yang baik dan memproduksi sekitar 200-300 telur per tahun (Varghese, 2007). Puyuh memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sifat reproduksinya cepat, dalam satu tahun mampu menghasilkan 3-4 generasi. Bobot badan puyuh betina dewasa mencapai 143 g/ekor. Bobot telur yang dihasilkan puyuh 10 gram per butir (Randall dan Bolla, 2008). Puyuh merupakan hewan yang memiliki saluran pencernaan yang dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan. Gizzard dan usus halus puyuh memberikan respons yang fleksibel terhadap ransum dengan kandungan serat kasar yang tinggi (Starck dan Rahmaan, 2003). Burung puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh
7
relatif kecil, berkaki pendek, dan dapat diadu. Adapun klasifikasi zoologi burung puyuh menurut Pappas (2002) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Class
: Aves
Family
: Phasianidae
Sub family
: Phasianidae
Genus
: Cortunix
Species
: Cortunix cortunix japonica Beberapa keunggulan burung puyuh diantaranya produksi telur dan dagingnya
yang mempunyai nilai gizi serta rasanya yang lezat, bulunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan aneka kerajinan atau perabot rumah tangga lainnya, termasuk kotorannya yang dapat digunakan sebagai pupuk kandang atau kompos untuk pupuk tanaman (Helsing, 2000). Puyuh akan menghasilkan telur jika kandungan kolesterol di dalam darah tinggi yang kemudian akan diubah dengan bantuan enzim spesifik menjadi hormon progesteron untuk pembentukan telur dalam jumlah yang banyak.
Kolesterol Kolesterol berasal dari kata cholesterine yang berasal dari bahasa Yunani, chole berarti empedu dan stereos berarti padat. Hal ini disebabkan pada saat pertama kali ditemukan dengan mengisolasinya dari batu empedu. Kolesterol merupakan kelompok sterol yang khas pada hewan. Kolesterol disintesis seperti umumnya asam lemak, yaitu dari asetil-KoA yang mengandung dua buah karbon dan terkondensasi melalui beberapa jalur yang sedikit berbeda. Asetil-KoA merupakan prekursor kecil bagi umumnya asam lemak dalam tubuh (Gurr et al., 2001). Selain sebagai bagian dari membran sel, kolesterol juga merupakan perantara metabolis yang penting sebagai (a) Substrat bagi proses pembentukan empedu (asam dan garamnya), (b) Prekursor hormon-hormon steroid seperti glukokortikoid, aldosteron, estrogen, progesteron, dan androgen dan (c) Bentuk teresterifikasi lanjutan seperti vitamin D3 (Gurr et al., 2001). Sebagai bagian dari 8
membran sel, kolesterol tidak dibutuhkan secara kontinyu dan terjadinya
siklus
pergantian membran, tetapi dibutuhkan dalam jumlah yang mencukupi untuk menghasilkan empedu di hati. Keseimbangan kolesterol dalam sel dipengaruhi oleh (a) Uptake lipoprotein langsung melalui reseptor, (b) Uptake kolesterol bebas dari lipoprotein melalui transfer lemak, (c) Sintesis kolesterol, (d) Metabolisme kolesterol, (e) Siklus perubahan kontinyu kolesterol, (f) esterifikasi kolesterol enzim asil-CoA : kolesterol asiltransferase, dan (g) pemecahan ester kolesterol oleh enzim neutral-chole esterase (Gurr et al., 2001). Kolesterol adalah zat menyerupai lemak yang secara alami terdapat di seluruh tubuh. Kolesterol terdapat pada dinding dan membran setiap sel, termasuk otak, saraf, otot, kulit, hati, usus, dan jantung. Tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa kolesterol (Laurencio, 2002). Kolesterol merupakan sterol utama dalam lipida hewan dan dapat menghasilkan sejumlah produk oksidasi dibawah kondisi tertentu. Sejumlah kecil produk oksidasi tersebut terdapat pada daging mentah dan yang telah mengalami pemasakan.
Gambar 3. Mekanisme Sintesis Kolesterol (King, 2008) 9
Kolesterol merupakan bahan perantara untuk pembentukan sejumlah senyawa penting, seperti vitamin D (untuk membentuk dan mempertahankan tulang yang sehat), hormon seks (contohnya estrogen dan testosteron), dan asam empedu untuk fungsi pencernaan (Smaolin dan Grosvenor, 1997). Selain untuk proses metabolisme, kolesterol berguna untuk membungkus jaringan saraf (mielin), melapisi selaput sel, dan sebagai pelarut vitamin (Dalimartha, 2005). Menurut Frandson (1993), jumlah kolesterol dalam darah tergantung pada sebagian besar makanan, umur, dan jenis kelamin. Selain itu, juga dipengaruhi oleh konsumsi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Lemak jenuh dalam makanan meningkatkan terbentuknya kolesterol dalam hati sedangkan lemak tidak jenuh menekan tingkat kolesterol darah dalam mekanisme yang belum diketahui. Semua jaringan tubuh mempunyai kemampuan untuk mensintesis kolesterol, namun yang paling aktif adalah hati. Kolesterol dalam makanan akan mempengaruhi biosintesis kolesterol dalam tubuh. Jika jumlah kolesterol dalam makanan kurang, sintesis kolesterol dalam hati dan usus meningkat untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan organ lain. Sebaliknya jika jumlah kolesterol dalam makanan meningkat, sintesis kolesterol dalam hati dan usus akan menurun (Piliang dan Djojosoebagio, 2000).
Hormon Progesteron Progesteron merupakan hormon steroid yang memiliki struktur kimia yang mirip dengan kolesterol dan sebagian besar tipe ini berasal dari kolesterol. Progestogen adalah nama umum untuk sekelompok steroid yang terdiri atas 21 rantai atom karbon (Guyton dan Hall, 1997). Progesteron merupakan hormon steroid (tidak bisa disimpan dalam tubuh) yang berasal dari kolesterol. Progesteron merupakan zat penting dalam biosintesis steroid pada semua jaringan yang mensekresi hormon steroid (Ganong, 2001). Biosintesis progesteron dimulai dengan asetat dari kolesterol dan produk akhir yang utama dari degradasi progesteron adalah pregnanediol (Guyton dan Hall, 1997). Progesteron tidak disimpan di dalam tubuh, progesteron dipakai secara cepat atau diekskresikan, sehingga di dalam jaringan tubuh hanya terdapat dalam kadar yang
10
rendah. Progesteron dibawa dalam darah dalam wujud berikatan dengan albumin plasma, walaupun ada sejumlah kecil yang juga berikatan dengan globulin khusus yang mengikat progesteron (Guyton dan Hall, 1997). Progesteron dimetabolisme menjadi pregnanediol, terutama pada hati dengan cara dioksidasi, reduksi, dan hidroksilasi.
Gambar 4. Mekanisme Sintesis Hormon Progesteron (Baulieu, 1997) Menurut Reeves (1987), fungsi progesteron adalah mempersiapkan lingkungan estrus untuk implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi dari glandula endometrium serta menghambat motilitas miometrium uterus. Progesteron bekerja secara sinergis dengan estrogen untuk menginduksi tingkah laku birahi, merangsang sekresi kelenjar alveoli dan pertumbuhan glandula mamae. Progesteron dalam tingkat tinggi akan menghambat birahi dan ovulasi karena progesteron dapat menekan pelepasan FSH dan LH karena mempengaruhi daya kerja umpan balik negatif terhadap FSH dan LH. Konsentrasi progesteron diperkirakan tergantung pada kematangan seksual yang bisa menimbulkan peningkatan hormon gonadotropin dari kelenjar hipofisa kemudian hormon gonadotropin bisa menstimulasi sintesis progesteron dari folikel ovarium terbesar yang memiliki feedback positif terhadap hipothalamus.
11
Konsentrasi hormon progesteron meningkat sejalan dengan pertumbuhan folikel. Pada sistem reproduksi, progesteron memacu LH praovulasi sehingga proses ovulasi bisa terjadi, selain itu progesteron bersama estrogen diperlukan juga dalam pembentukan albumin pada saluran reproduksi (Baskt dan Bahr, 1993). Progesteron sendiri dibentuk dalam ovarium melalui mekanisme kerja : cholesterol – pregnolone – progesterone dan proses metabolisme progesteron terjadi di hati (Guyton dan Hall, 1997). Konsentrasi progesteron dalam plasma darah turun naik selama siklus ovulasi, apabila distimulasi progesteron yang melepaskan LH dari lobus anterior pituitary maka, akan menyebabkan ovulasi oleh aktivitas saraf pusat yang melibatkan susunan saraf pusat hipothalamus. Konsentrasi hormon progesteron meningkat 4-7 jam sebelum ovulasi (Cunningham dan Senior, 1973).
Fitosterol Dewanti (2006), fitosterol merupakan sterol yang secara alami didapatkan dari tanaman. Secara kimiawi, fitosterol mirip dengan kolesterol yang didapat dari hewan. Sterol terdiri dari tiga gabungan cincin sikloheksan dengan berbagai macam sterol (lebih dari 40 fitosterol). Fitosterol tanaman merupakan komponen alami dari minyak tumbuhan seperti minyak biji bunga matahari dan beberapa konstituen alami dalam makanan manusia. Menurut Silalahi (2006), fitosterol adalah steroida (sterol) yang terdapat di dalam tanaman. Kedua senyawa ini mempunyai struktur yang mirip dengan kolesterol, tetapi fitosterol mengandung gugus etil (-CH2-CH3) pada rantai cabang. Sebagaimana pentingnya fungsi kolesterol dalam membran sel tubuh manusia dan hewan, demikian juga fitosterol di dalam tanaman. Pada tanaman terdapat lebih dari 40 senyawa sterol yang didominasi oleh beberapa senyawa dari kelompok fitosterol. Fitosterol terdapat dalam bahan makanan nabati, seperti minyak, serealia, buah-buahan, dan sayur-sayuran dalam jumlah yang hanya sedikit. Oleh kerena itu senyawa fitosterol harus diisolasi dengan jumlah yang efektif untuk menurunkan kolesterol darah. Sterol utama dalam hewani adalah kolesterol, yang jika banyak dikonsumsi dapat menaikkan kolesterol darah. Sebaliknya, sterol nabati (fitosterol) hanya sedikit diabsorpsi 12
(5%) dan akan menurunkan kadar kolesterol darah. Konsumsi fitosterol per hari adalah 150-140 mg. Fitosterol utama dalam diet adalah Beta-sitosterol, kampesterol, dan stigmasterol. Fitosterol menghambat absorpsi kolesterol dari usus, meningkatkan ekskresi garam-garam empedu, atau menghindarkan esterifikasi kolesterol dalam mukosa intestinal. Fitosterol dapat menghambat sintesis kolesterol dengan memodifikasi aktivitas enzim hepatic acetyl-coa carboxylase dan cholesterol 7 – hydroxylase (Silalahi, 2006).
13