TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Rami (Boehmeria nivea L. Gaud) Tanaman rami adalah tanaman berumpun tahunan yang menghasilkan serat dari kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina ini, secara botanis dikenal dengan nama Boehmeria nivea (L) Gaudish. Berikut ini adalah taksonomi tanaman rami: Kingdom
: Plantae – Plants
Subkingdom : Tracheobionta – Vascular plants Superdivision : Spermatophyta – Seed plants Division
: Magnoliophyta – Flowering plants
Class
: Magnoliopsida – Dicotyledons
Subclass
: Hamamelidideae
Order
: Urticales
Family
: Urticaceae – Nettle family
Genus
: Boehmeria Jacq. – false nettle
Species
: Boehmeria nivea (L.) Gaudich. – Chinese grass (Kartesz, 2011)
Berikut ini adalah gambar tanaman rami (Gambar 1.)
Gambar 1. Tanaman Rami (Balittas, 2009)
Daun rami sangat khas dengan letak daunnya yang berselang-seling. Selain itu, daunnya ada yang berbentuk jantung hingga bulat atau oval dengan panjang daun (lamina) sebesar 7,5-20 cm, lebar 5-15 cm, serta cenderung berkerut. Kasar dan halusnya kerutan daun tergantung dari klonnya. Permukaan daun bagian atas berbulu halus hingga kasar, berwarna hijau muda sampai hijau tua, sedangkan daun bagian bawah berwarna putih keperakan. Pinggir daun bergerigi lancip hingga tumpul berwarna seperti warna laminanya (Budi et al., 2005). Tulang daun berwarna hijau muda sampai hijau tua atau merah muda hingga merah tua. Tangkai daun (petiole) berwarna hijau muda hingga hijau tua serta merah muda hingga merah tua. Panjang petiole sekitar 3-12 cm, ada yang lebih pendek dari panjang daun, tetapi ada yang hampir sama dengan panjang daun, tergantung dari macam klonnya. Sudut daun (daun-daun bagian atas) berkisar antara 50°-120° (agak tegak s.d. terkulai). Tanaman rami memiliki sistem perakaran dimorphic, karena di samping untuk menyerap nutrisi, di bagian akar juga terdapat rhizoma (rimpang) sebagai alat untuk memperbanyak diri, dan umbi sebagai simpanan cadangan makanan. Rami bisa diperbanyak dengan tiga cara yakni dengan rhizoma, biji, dan stek batang. Namun, umumnya tanaman rami lebih mudah diperbanyak dengan rhizoma, sedangkan perbanyakan dengan biji jarang dilakukan kecuali untuk penelitian (Budi, et al., 2005).
Potensi Produksi dan Kandungan Nutrien Daun Rami Populasi tanaman rami cukup bervariasi (dapat mencapai 40.000 rumpun/ha). Pada setiap kali pemotongan atau panen, hampir 44% dari total biomassa yang dihasilkan adalah daun. Hasil analisis di Balai Penelitian Ternak (2003), kandungan protein kasar daun rami cukup tinggi, berkisar 22-24%. Kandungan nutrien dan anti nutrien daun rami diperlihatkan pada Tabel 1. Tanaman ini merupakan tanaman yang memiliki potensi tinggi. Daunnya merupakan bahan kompos dan pakan ternak yang bergizi tinggi, kayunya baik untuk bahan bakar. Serat rami merupakan bahan yang dapat diolah untuk kain bahan tekstil berkualitas tinggi dan bahan pembuatan selulosa berkualitas tinggi (Purwati, 2010).
Tabel 1. Kandungan Nutrien dan Anti Nutrien Daun Rami (dalam % BK) Komponen
Kandungan Nutrien (%) Despal & Permana (2008)
Duarte et al. (1997)
Protein kasar
16,35
21
Lemak kasar
6,36
4
Serat kasar
13,61
20
Bahan
44,18
46
16,15
9
Ca
-
5,74
P
-
0,16
Oksalat (%)
-
1
Phytat (mg/%)
-
16
Nitrat (mg/%)
-
480
ekstrak
tanpa N Bahan kering
Sumber : Despal & Permana (2008), Duarte et al. (1997).
Daun bagian atas memiliki serat yang rendah, kaya protein, mineral, lisin dan karoten.
Tanaman
rami
dapat
hidup
sampai
14
tahun
dan
menghasilkan sebanyak 300 ton bahan segar (42 ton bahan kering) per hektar setiap tahunnya. Tanaman rami ini cocok untuk semua jenis ternak. Pada unggas, daun rami dapat digunakan sebagai sumber karotenoid dan riboflavin (Franck, 2005). Tanaman rami selain mengandung nutrien yang berguna bagi ternak, juga mengandung beberapa anti nutrien, seperti: asam oksalat, phytat, dan nitrat. Komposisi nitrat dalam daun rami seperti yang dilaporkan Duarte et al. (1997) lebih besar dari ketiga anti nutrien lainnya, yaitu sebesar 480 mg atau jika dilarutkan dalam 1liter air akan setara dengan 480 ppm. Nitrat yang melebihi batas aman dapat menyebabkan keracunan pada ternak. Kandungan nitrat yang aman pada pakan dan air minum ternak sekitar 0-1000ppm (Cassel & Barao, 2000). Oleh karena itu, jumlah nitrat sebesar 480 ppm dalam daun rami ini masih dalam batas aman untuk kandungan nitrat dalam pakan dan air minum ternak. Selain itu juga,
pengolahan bahan pakan hijauan (misalnya: dijadikan silase) dapat mengurangi kandungan nitrat pada hijauan tersebut sekitar 30%-70% (Weiss & Shockey, 2000). Pemanfaatan Daun Rami sebagai Pakan Ternak Penggunaan daun rami sebagai pakan ternak sudah banyak diteliti. Despal (2007) melaporkan bahwa daun rami hingga 50% dalam ransum ternak domba yang disertai dengan suplemen Cu, P, dan metionin dapat mencukupi kebutuhan ternak domba dengan rataan bobot badan 16, 5 Kg. Namun demikian pada ternak tikus (monogastrik), penggunaan daun rami lebih dari 20% dalam ransum dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan serat kasar (SK) dan zat anti nutrien dalam tanaman rami (Duarte et al., 1997). Berbeda
dengan
ternak
monogastrik,
ternak
ruminansia
dapat
memanfaatkan serat dan senyawa fenolik dalam jumlah yang lebih besar. Permasalahan penggunaan daun rami dalam jumlah besar pada ransum ternak ruminansia diduga adalah ketidakseimbangan kandungan Ca/P, defisiensi mineral Cu dan asam amino metionin dalam ransum. Suplementasi nutrien defisien seperti Cu, P dan metionin diharapkan dapat meningkatkan penggunaannya (Despal, 2007).
Rumput Gajah ( Pennisetum purpureum) Rumput gajah (Pennisetum purpureum ) adalah tanaman yang dapat tumbuh di daerah marginal (Gambar 2). Tanaman ini juga dapat hidup pada tanah kritis dimana tanaman lain relatif tidak dapat tumbuh dengan baik (Sanderson and Paul, 2008). Produktivitas rumput gajah adalah 40 ton per hektar berat kering pada daerah beriklim subtropis dan 80 ton per hektar pada daerah beriklim tropis (Woodard and Prine, 1993). Rumput gajah dipilih sebagai pakan ternak karena memiliki produktifitas yang tinggi dan memiliki sifat memperbaiki kondisi tanah. Hal ini
karena akar rumput gajah dapat meningkatkan porositas, yang
menyebabkan terjadi aerasi yang lebih baik terhadap lahan yang ditanami oleh rumput-rumputan (Handayani, 2002). Berikut adalah klasifikasi dari Pennisetum purpureum : Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas
: Commelinidae
Ordo
: Cyperales
Famili
: Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
: Pennisetum Rich.
Spesies
: Pennisetum purpureum (USDA, 2011).
Gambar 2. Pennisetum purpureum
Rumput ini biasanya diberikan langsung (cut and carry) sebagai pakan hijauan atau dapat juga dijadikan persediaan pakan melalui proses pengawetan pakan hijauan. Kandungan nutrisi rumput gajah disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Nutrien Rumput Gajah (dalam % BK) Kandungan Nutrien (%) Komponen
Hartadi et al. (1993)
Sutardi (1981)*
Abu
10, 1
12,0
Protein Kasar
10, 1
8,69
Lemak Kasar
2, 5
2,71
BETN
46, 1
43,7
Serat Kasar
31, 2
32,3
TDN
59, 0
52,4
Sumber: Hartadi et al. (1993); Sutardi (1981)*; Keterangan: *) revisi 2010
Silase Teknologi fermentasi merupakan salah satu cara mengawetkan bahan organik dengan kadar air yang tinggi (Sofyan & Febrisiantosa, 2007). Kadar bahan kering yang paling baik untuk hijauan yang akan dibuat silase adalah sekitar 3045% (Weiss, 1992). Teknologi ini melalui proses ensilase yang akan menghasilkan produk silase. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang. Pembuatan silase tidak tergantung musim (Jennings, 2006). Prinsip dasar pembuatan silase adalah memacu terjadinya kondisi anaerob dan asam dalam waktu singkat. Ada 3 hal paling penting agar diperoleh kondisi tersebut yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen kedalam silo dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan (Jennings, 2006). Fermentasi silase dimulai saat oksigen telah habis digunakan oleh sel tanaman. Bakteri menggunakan karbohidrat mudah larut untuk menghasilkan asam laktat dalam menurunkan pH silase. Penurunan pH yang cepat membatasi pemecahan protein dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme anaerob merugikan seperti enterobacteria dan clostridia. Produksi asam laktat yang berlanjut akan menurunkan pH yang dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri (Jennings, 2006). Secara garis besar proses pembuatan silase terdiri dari empat fase (Bolsen & Sapienza, 1983), yaitu : (1) Fase Aerob,fase ini dimulai sejak bahan dimasukkan ke dalam silo. Cara untuk menghindari dampak negatif dari fase aerob ini, maka pengisian dan penutupan silo harus dilakukan dalam waktu singkat dan cepat, (2) Fase Fermentatif, fase ini merupakan masa aktif pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat. Bakteri tersebut akan memfermentasi gula menjadi asam laktat disertai produksi asam asetat, etanol, karbondioksida, dan lain-lain. Masa fermentatif aktif berlangsung selama 1 minggu sampai dengan 1 bulan. Fermentasi gula yang cepat oleh bakteri penghasil asam laktat disebabkan oleh rendahnya pH akan menghentikan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, (3) Fase Stabil, fase ini terjadi setelah masa aktif pertumbuhan bakteri asam laktat berakhir. Faktor utama yang berpengaruh pada kualitas silase selama fase ini adalah
permeabilitas silo terhadap oksien. Tingkat kehilangan bahan kering dapat diminimalkan, jika silo ditutup dan disegel dengan baik sehingga hanya sedikit sekali aktivitas mikroba yang dapat terjadi pada fase ini, (4) Fase Pengeluaran Silase, fase ini dimulai pada saat silo dibuka, kemudian silase diberikan kepada ternak. Pada fase ini, kontak oksigen dengan silase menjadi sangat tinggi.
Silase Ransum Komplit (Silase Komplit) Silase ransum komplit adalah silase yang tersusun dari beberapa macam bahan pakan yang telah diformulasikan sesuai kebutuhan ternak, sehingga dalam pemberiannya kepada ternak tidak perlu dicampur dengan bahan lainnya lagi. Menurut Xu et al., (2007); Sofyan & Febrisiantosa (2007) apabila bahan pakan berkadar air tinggi diensilase dengan bahan pakan berkadar air rendah menjadi ransum komplit, risiko terbentuknya effluent (cairan yang dihasilkan selama proses ensilase) akan dapat diminimalkan dan waktu untuk mencampur pakan sebelum diberikan kepada ternak akan dapat dihilangkan. Selain itu, aroma dan palatabilitas pakan akan menjadi lebih baik apabila dijadikan sebagai silase ransum komplit Pembuatan silase komplit dapat dijadikan salah satu cara untuk mengatasi kekurangan pakan di musim kemarau sekaligus memperbaiki kualitas gizi pakan ternak. Pada kondisi hijauan melimpah di musim penghujan, teknologi yang paling tepat untuk menjaga ketersediaannya di musim kemarau adalah dengan menggunakan teknologi pengawetan melalui proses fermentasi (tidak tergantung oleh sinar matahri). Selain itu juga hijauan yang akan diawetkan dapat dicampur dengan bahan konsentrat,kemudian disimpan selama 4-8 bulan. Persediaan pakan ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ternak musim kemarau (Sofyan & Febrisiantosa, 2007).
Teknik Pembuatan Silase Ransum Komplit Prinsip pembuatan pakan komplit dalam bentuk silase ini seperti proses fermentasi pada umumnya. Silase ransum komplit dibuat sesuai dengan standar kebutuhan ternak. Campuran hijauan terlebih dahulu dipotong-potong sepanjang 23cm menggunakan chopper sebelum dicampur dan diaduk merata dengan bahan
konsentrat lainnya. Bahan pakan konsentrat ini, selain untuk memperbaiki kandungan nutrisi dari pakan yang dihasilkan juga berfungsi sebagai substrat penopang proses fermentasi (ensilase) (Sofyan & Febrisiantosa, 2007). Campuran ransum komplit selanjutnya dimasukkan ke dalam silo, dipadatkan, dan ditutup rapat (anaerob) selama tiga minggu, dan produknya kemudian dinamakan “Silase Ransum Komplit” (Ramli & Ridla, 2008).
Kualitas Silase Kriteria silase yang baik menurut Deptan (1980) dapat dilihat pada Tabel 3. Saun & Heinrichs (2008) menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik, akan berwarna seperti bahan asalnya. Warna silase juga menunjukkan permasalahan yang terjadi selama ensilase.
Tabel 3. Kriteria Penilaian Silase Penilaian
Kriteria Baik Sekali
Baik
Sedang
Buruk
Jamur
Tidak ada
Sedikit
Lebih banyak
Banyak
Bau
Asam
Asam
Kurang asam
Busuk
pH
3,2 – 4,5
4,2 – 4,5
4,5 – 4,8
> 4,8
Kadar N-NH3 (%)
< 10%
10 – 15%
< 20%
> 20%
Sumber : Deptan (1980).
Zat Aditif Silase Kualitas fermentasi silase ditentukan oleh bahan aditif yang digunakan (Lattemae & Tamm, 2005). Zat aditif silase meliputi bahan pakan, urea, amonia, dan inokulan. Fungsi utama zat tersebut adalah untuk meningkatkan nilai gizi silase atau meningkatkan fermentasi sehingga tingkat kerugian selama penyimpanan berkurang. Respon untuk aditif silase tergantung pada bahan utama silase. Selain itu walau bagaimanapun terdapat manfaat yang diperoleh dari penggunaan aditif silase
untuk menghasilkan silase yang berkualitas baik, namun aditif silase tidak akan menggantikan manajemen pembuatan silase yang baik (Weiss, 1992). Keputusan untuk menggunakan aditif harus didasarkan pada jenis dan bahan kering dari hijauan, dan jenis hewan yang menjadi target pemberian pakan. Urea dan amonia biasanya bermanfaat untuk silase jagung dengan ekonomi meningkatkan kandungan protein kasar. Penambahan tanaman biji-bijian untuk silase jerami basah akan mengurangi rembesan (effluent) dan membantu proses pengeluaran silase. Tetes dapat meningkatkan fermentasi silase jerami tanaman. Inokulan silase memiliki pengaruh yang sangat sedikit pada silase jagung, tetapi dapat meningkatkan laju fermentasi silase jerami untuk tanaman (Weiss, 1992). Beberapa contoh zat aditif yang biasa digunakan antara lain: jagung halus, pollard, onggok, dan dedak padi. Bahan-bahan ini selain berfungsi sebagai zat aditif, juga dapat menyerap kelebihan air dari hijauan. Kemampuan daya serap karbohidrat ditentukan oleh luas permukaan serap atau ukuran partikelnya, dan keberadaan coating, seperti serat dan lemak (yang dapat menurunkan daya serap air bahan) (Despal et al., 2008).
Jagung Jagung adalah sumber dari NFC (Non Fiber Carbohydrate) dan dapat digunakan sebagai bahan tambahan hijauan dalam proses ensiling serta mempercepat penurunan pH selama fermentasi (Sibanda et al., 1997). Di samping itu jagung dapat menyediakan karbohidrat mudah fermentasi. Ukuran partikel tepung jagung yang baik dapat mengurangi kebocoran massa silase dan fermentasi anaerobik (Despal et al., 2011). Kandungan nutrien jagung, dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Nutrien Jagung Kandungan Nutrien (%)
Komponen
Tatra
DBTNR
Sutardi*
Kadar Air (%)
13,52
11,73
12,20
Abu (%)
1,68
1,21
3,50
Protein kasar (%)
10,88
7,83
10,00
Lemak (%)
-
3,68
7,78
Serat kasar (%)
-
3,28
4,5
3,41
-
-
WSC (%)
Sumber : Tatra, 2009; Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, 2010; Sutardi, 1981 Keterangan: *) revisi 2010
Dedak Padi Dedak padi merupakan sisa penumbukan atau penggilingan padi. Kualitas dedak padi dipengaruhi oleh banyaknya kulit gabah yang tercampur di dalamnya (Parakkasi, 1986). Penggunaan dedak padi sebagai zat aditif silase dengan kandungan WSC (karbohidrat terlalut dalam air sebesar 5,42%) dapat menghasilkan silase berkualitas cukup baik (berdasarkan nilai fleigh) (Despal et al., 2011). Kandungan nutrien dedak padi diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan Nutrien Dedak Padi Komponen
Kandungan Nutrien (%) Tatra
DBTNR
Sutardi*
Kadar Air (%)
14,33
10,56
12,3
Abu (%)
11,6
7,37
13,6
Protein (%)
11,22
11,86
13,0
Lemak kasar (%)
-
15,24
8,64
Serat kasar (%)
-
8,63
13,9
WSC (%)
5,43
-
-
Sumber : Tatra, 2009; Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, 2010; Sutardi, 1981 Keterangan: *) revisi 2010
Pollard
Pollard merupakan hasil sampingan penggilingan gandum dan mengandung kulit ari gandum yang halus. Pollard yang dihasilkan dari penggilingan gandum berkisar 25 - 26% dari bahan baku (Sofyan, 2000). Pollard merupakan pakan yang populer karena mempunyai kualitas dan palatabilitas yang tinggi sehingga baik diberikan pada ternak yang baru atau setelah lahir dan ternak dara. Menurut Phang (2001), pollard dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan serat dalam pakan. Dari segi kandungan nutrien, pollard adalah bahan pakan sumber energi dengan kandungan serat dan protein yang cukup tinggi, pollard kaya akan phospor (P), ferrum (Fe) tetapi miskin akan kalsium (Ca). Pollard mengandung 1,29% P, tetapi hanya mengandung 0,13% Ca. Bagian terbesar dari P ada dalam bentuk phitin phospor. Pollard tidak mengandung vitamin A atau vitamin lainnya, tetapi kaya akan niacin dan thiamin (Sofyan, 2000). Kandungan nutrien pollard dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan Nutrien Pollard Kandungan Nutrien (%) Komponen
Lukito &
Tatra
sutardi
Praguyo Kadar Air (%)
13,74
12,09
11,5
Abu (%)
5,16
4,07
5,9
Protein (%)
15,53
14,75
18,50
Lemak kasar (%)
-
4,17
3,68
Serat kasar (%)
-
7,55
9,8
12,53
-
-
WSC (%)
Sumber : Tatra, 2009; Lukito A. & Prayugo S. 2007; Sutardi, 1981 Keterangan: *) revisi 2010
Pollard memiliki kandungan pati yang tinggi artinya pollard memiliki water soluble carbohydrate yang tinggi pula (Despal et al., 2011) yang bisa memacu pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi berlangsung sehingga akan menghasilkan silase yang baik. Despal et al. (2011) menambahkan bahwa kandugan
WSC
(karbohidrat
terlarut
dalam
air)
sebesar
12,52%
dan
penggunaannya sebagai zat aditif silase dapat menghasilkan silase yang berkualitas baik (berdasarkan nilai fleigh).
Bungkil Kelapa Bungkil kelapa digolongkan ke dalam bahan pakan sumber protein. Kandungan nutrien bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 7. Bungkil kelapa ini adalah hasil dari sisa pembuatan dan ekstraksi minyak kelapa yang didapat dari daging kelapa yang telah dikeringkan terlebih dahulu. Bungkil kelapa yang baik mengandung protein kasar yang cukup tinggi, sekitar 18% dan serat kasar sekitar 14% (SNI, 1996). Selain mengandung beberapa nutrisi yang memadai, bungkil kelapa mudah diperoleh dipasaran dan harganya relatif murah (Rasyaf, 2007).
Tabel 7. Kandungan Nutrien Bungkil Kelapa Komponen
Kandungan Nutrien (%) Tatra
DBTNR
Sutardi*
Kadar Air (%)
13,35
5,87
11,4
Abu (%)
5,92
5,77
8,2
Protein (%)
17,09
19,44
21,30
Lemak kasar (%)
9,44
15,97
10,90
Serat kasar (%)
30,40
11,38
14,2
-
-
-
WSC (%)
Sumber : Tatra, 2009; Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, 2010; Sutardi, 1981 Keterangan: *) revisi 2010
Bungkil Kedelai Bungkil kedelai adalah produk hasil ikutan penggilingan biji kedelai setelah ekstraksi minyaknya secara mekanis (expeller) atau secara kimia (solvent). Bungkil kedelai memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga digolongkan ke dalam bahan pakan sumber protein. Walaupun bungkil kedelai tidak mengandung asam amino selengkap tepung ikan, namun bungkil ini relatif lebih baik dari pada sumber protein nabati lainnya. Asam amino pembatas pada tepung bungkil kedelai
adalah metionin dan lisin. Kandungan protein bungkil kedelai yang baik adalah ≥ 46% dan mempunyai kandungan serat kasar sekitar 6,5% (SNI, 1996). Kandungan nutrien bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kandungan Nutrien Bungkil Kedelai Komponen
Kandungan Nutrien (%) Tatra
ditjennak
Sutardi
Kadar Air (%)
8,4
8,79
11,9
Abu (%)
5,4
7,06
8,2
Protein (%)
39,6
44,37
46,90
Lemak kasar (%)
14,3
1,90
2,66
Serat kasar (%)
2,8
3,39
5,9
Sumber : Tatra, 2009; Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, 2010; Sutardi, 1981 Keterangan: *) revisi 2010
Silo Silo merupakan tempat penyimpanan bahan pakan (misalnya: silase). Ada beberapa jenis silo yang dapat digunakan untuk menyimpan silase, antara lain concrete bunker silos, concrete trench silos, trench silos without concrete frame, plastic stack silo, paper tuber silo, small round-baled wrapped silo, silage in black plastic bag, dan silage in jumbo bag (Poathong & Phaikaew, 2001). Setiap jenis silo memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, sehingga perlu langkah antisipatif agar silase yang dihasilkan berkualitas baik. Pemilihan silo perlu disesuaikan dengan skala usaha dan kebutuhan peternak, misalnya pada usaha peternakan sapi perah rakyat, diperlukan silo yang biaya penyediaannya yang relatif murah dan membutuhkan sedikit peralatan selama penggunaannya, serta mudah untuk digunakan ketika memasukkan silase dan mengeluarkannya dari silo (Poathong & Phaikaew, 2001).
Trench Silo Trench silo merupakan silo yang berbentuk seperti parit dan memiliki sedikit kemiringan pada bagian dasar. Trench silo memiliki kontur permukaan
(bagian atas) yang tidak rata. Dinding silo terdiri atas batu bata dan semen (FAO, 2011). FAO (2011) menambahkan bahwa, silo ini termasuk silo permanen yang dipakai untuk produksi silase skala kecil dan menengah. Kelebihan dalam menggunakan silo ini adalah kemudahan dalam memasukkan dan mengeluarkan silase dari silo. Namun, penggunaan trench silo memerlukan alat tambahan, seperti plastik yang akan digunakan untuk melapisi bagian dasar silo dan untuk menutup silase pada silo. Selain itu, dikarenakan silo ini tidak memiliki penutup khusus, sehingga perlu diperhatikan langkah pencegahan masuknya air ke dalam silo.
Plastic Container (Silo Drum) Silo drum (drum plastik berpelat) ini berfungsi sebagai silo bergerak. Silo bergerak ini berguna sebagai alat kemas kedap udara yang dapat digunakan untuk memindahkan silase dari suatu tempat ke tempat lainnya. Selain itu, dengan menggunakan kemasan drum plastik ini penyediaan hijauan untuk musim kemarau tidak lagi menjadi masalah (Erowati, 2007). Silo drum ini memiliki kelebihan pada sisi praktis di lapangan, terutama bagi peternak/pembuat silase mula. Selain itu, peternak/pembuat silase dapat memperoleh drum silo dengan mudah melalui keanggotaanya di koperasi (dengan sistem isi ulang) (Erowati, 2007). Selain itu, silo ini memiliki penutup dan cincin penutup khusus, sehingga mendukung keadaan anaerob yang ideal dan dapat menghasilkan silase berkualitas baik. Namun, silo ini memiliki kapasitas yang lebih kecil daripada silo lainnya dengan perkiraan biaya pengadaan yang hampir sama. Berikut ini adalah bentuk Gambar 3 dan 4.
trench silo dan silo drum ditunjukkan pada
Gambar 3. Silo Trench
Gambar 4. Silo Drum
Konsentrasi VFA VFA pada ternak ruminasia merupakan produk akhir dari fermentasi karbohidrat dan sumber energi utama (Parakkasi, 1999). VFA merupakan hasil akhir dari fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme. Banyaknya VFA yang ada di dalam rumen dapat menggambarkan aktivitas mikroba (Church, 1971). Sedangkan banyaknya VFA pada silase menggambarkan indikator perombakan bahan organik (Ørskov dan Ryle, 1990). Proporsi VFA juga dapat menggambarkan perkembangan mikroba selama ensilase. Proporsi asetat yang tinggi menunjukkan dominasi bakteri asam asetat sedangkan proporsi butirat yang tinggi menunjukkan
dominasi bakteri Clostridia tyrobutyricum dalam silase (Elferink dan Driehuis, 2000). Menurut McDonald et al. (2002) pakan yang masuk kedalam rumen difermentasi untuk menghasilkan produk utama berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Konsentrasi VFA tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi. Menurut Sutardi (1979) konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mikroba rumen adalah 80-160 mM.
Amonia Protein yang masuk ke dalam rumen akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptide, kemudian dihidrolisis menjadi asam amino dan secara cepat akan dideaminasi menjadi amonia. Asam amino dan amonia akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Proporsi protein yang didegradasi dalam rumen pada umumnya sekitar 70-80% dan untuk protein yang sulit dicerna sekitar 30-40%. Kandungan protein ransum yang tinggi dan mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 didalam rumen. Jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka amonia akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Amonia optimum dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Konsentrasi amonia dalam silase merupakan salah satu indikator kerusakan pada silase. Hal ini dikarenakan amonia dapat meningkatkan pH silase dan dapat mencerminkan kerusakan protein bahan (Woolford, 1984).