TINJAUAN PUSTAKA Singkong (Manihot esculenta Crantz) Ubi kayu biasa disebut juga ketela pohon atau singkong. Singkong memiliki nama botani Manihot esculenta Crantz tetapi lebih dikenal dengan nama lain Manihot utilissima. Ubi kayu termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae,
kelas
Dicotyledonae,
family
Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Rukmana 2002).
Gambar 1 Singkong Sumber : www.badanpusatstatistik.co.id
Pada masa pertumbuhan, kandungan karbohidrat umbi singkong semakin meningkat dan mencapai titik optimal saat umbi siap dipanen. Apabila sampai berumur 12 bulan belum dipanen, singkong tidak bertambah besar, dan kualitasnya akan menurun. Bahkan, apabila pada umur 13 bulan singkong belum dipanen juga, kadar air umbi akan meningkat, sedangkan kadar protein, tepung, dan HCN menurun (Suprapti 2005). Umbi ketela umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 6-12 bulan setelah tanam. Umbi ketela segar tidak dapat disimpan lama. Masa simpan umbi ketela segar hanyalah berkisar antara 4-5 hari. Umbi ketela yang disimpan lebih dari masa simpan segarnya akan berubah warna menjadi hitam atau biru (Soetanto 2008). Berikut adalah Tabel komposisi kimia singkong. Tabel 1 Komposisi kimia singkong (per 100 g bahan) No. Komponen 1 Kalori (kkal) 2 Protein (g) 3 Lemak (g) 4 Karbohidrat (g) 5 Air (g) 6 Kalsium (mg) 7 Fosfor (mg) 8 Besi (mg) 9 Asam askorbat (mg) 10 Thiamin (mg) 11 Vitamin A (IU) 12 Bagian yang dapat dimakan (%) Sumber : Departemen Kesehatan (2005)
Singkong 146,00 0,80 0,30 4,70 62,50 33,00 40,00 0,70 30,00 0,06 0,00 75,00
Singkong Kuning 157,00 0,80 0,30 37,90 60,00 33,00 40,00 0,70 30,00 0,06 385,00 75,00
7
Perbedaan antara komposisi kimia ubi kayu putih dan ubi kayu kuning terletak pada kandungan protein dan vitamin A nya. Ubi kayu kuning mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi. Warna ubi kayu kuning berasal dari kandungan vitamin A yaitu pigmen karoten yang tinggi (Syarif 1977 dalam Yuliawati 1999). Karbohidrat yang terdapat pada ubi kayu yaitu 99% pati yang terdiri dari 17-20% amilosa dan selebihnya adalah amilopektin. Gula bebas yang terkandung dalam ubi kayu antara lain glukosa, fruktosa, sukrosa, dan manosa. Menurut Soetanto (2008), ubi kayu umumnya diolah menjadi olahan pangan dan olahan non-pangan. Umbi singkong selain dikukus, direbus atau digoreng untuk dikonsumsi dapat digunakan sebagai bahan baku industri pangan, kimia, farmasi, dan tekstil. Selain umbi, batang dan daun singkong juga dapat dimanfaatkan. Daunnya yang masih muda banyak mengandung vitamin A sehingga baik untuk hidangan sayur, sedangkan batangnya dapat dipakai untuk bahan bakar atau sebagai stek tanaman baru dan pagar rumah. Hampir seluruh bagian dari tanaman singkong dapat dimanfaatkan. Namun, hingga saat ini tanaman ini masih jarang dikonsumsi masyarakat. Kelemahan utama yang menyebabkan singkong kurang diterima secara menyeluruh dan hanya dimanfaatkan sebagai makanan pokok di daerah pedesaan disebabkan karena kandungan racun glikosida sianogenik (linamarin). Glikosida tersebut tidak bersifat racun, tetapi asam sianida (HCN) yang dibebaskan oleh enzim linamerase secara hidrolisis yang bersifat racun (Tjokroadikoesoemo 1985). Menurut Astawan (2004), walaupun ubi kayu mengandung racun yang membahayakan, namun ubi kayu telah dikonsumsi secara umum tanpa adanya efek keracunan yang berarti. Hal ini dikarenakan metode pengolahan secara tradisional mampu mengurangi kandungan sianida umbi hingga batas yang tidak membahayakan kesehatan. Proses pengolahan yang mampu mereduksi kandungan sianida dalam
ubi kayu adalah perendaman,
pengeringan,
perebusan, fermentasi, dan kombinasi dari proses-proses tersebut. Perendaman yang diikuti dengan perebusan dapat menghilangkan seluruh sianida bebas karena proses pencucian dalam air mengalir dan pemanasan yang cukup ampuh untuk mencegah terbentuknya HCN yang beracun. Menurut Soetanto (2008), beberapa kelebihan tanaman singkong diantaranya sangat mudah didapat, karena singkong sangat mudah ditanam di Indonesia. Produktivitas singkong juga cukup tinggi yaitu 12,2 ton/ha, sedangkan
8
padi 3,8 ton/ha dan gandum 1,8 ton/ha. Selain itu, data dari BPS 2006 menunjukkan tingkat produksi singkong yang terus meningkat sejak tahun 20012006, seperti yang terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Data produksi singkong Indonesia tahun 2002-2005 (dalam ton) Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber : Badan Pusat Statistik 2006
Produksi 16.913.104 18.523.810 19.424.707 19.321.183 19.907.304
Pada beberapa daerah di Indonesia, melimpahnya singkong di pasaran diatasi dengan cara pengawetan melalui metode pengeringan. Di pulau Jawa dikenal dengan nama gaplek. Gaplek adalah umbi akar ketela pohon terkupas yang telah dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari (dijemur) atau buatan. Produk ini ditumbuk halus menjadi tepung dan diproses halus, antara lain sebagai pengganti nasi. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur produk ini popular dengan nama tiwul (Soetanto 2008). Karbohidrat Karbohidrat adalah kelompok nutrien yang penting dalam susunan makanan sebagai sumber energi. Senyawa ini mengandung unsur karbon, hidrogen,
oksigen
dan
dihasilkan
tanaman
melalui
proses
fotosintesis
(Sherrington & Gaman 1992). Karbohidrat banyak terdapat dalam berbagai bahan makanan yang dikonsumsi, terutama pada bahan pangan yang banyak mengandung zat tepung atau pati dan gula. Bahan pangan yang umumnya dikonsumsi masyarakat Indonesia mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, yaitu sekitar 70% sampai 80%, terutama pada serealia (padi-padian) dan umbiumbian (Kartasapoetra & Marsetyo 2008). Menurut Waspadji et al. (2003), karbohidrat merupakan gugusan yang terdiri dari 2 unsur yaitu karbon dan hidrogen. Berdasarkan jumlah molekul gula sederhana pembentuknya, karbohidrat digolongkan menjadi monosakarida, disakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Sedangkan gula sederhana umum pembentuk karbohidrat adalah glukosa, galaktosa, dan fruktosa. Secara tradisional karbohidrat digolongkan menurut struktur kimianya (sederhana dan kompleks). Bentuk karbohidrat sederhana dan kompleks tidak menjelaskan secara memadai bagaimana prosesnya di dalam tubuh. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan (karbohidrat) ini cepat dan
9
tinggi. Artinya, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki IG rendah (slow release carbohydrate) sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat (Rimbawan & Siagian 2004). Tiwul Tiwul adalah makanan dari gaplek singkong yang ditumbuk atau dihaluskan
kemudian
dikukus.
Berdasarkan
sejarah,
singkong
(Manihot
esculenta), yang umbinya menjadi bahan dasar pembuatan tiwul, didatangkan dari Amerika Latin oleh Belanda untuk mengatasi kelaparan besar pada masa tanam paksa. Hal ini menyebabkan tiwul selalu dikaitkan dengan kelaparan. Pada tahun 1968, Indonesia pernah menjadi negara penghasil singkong terbesar kelima di dunia (Rukmana 2002). Tiwul adalah suatu bentuk olahan tradisional di daerah Jawa yang biasa dibuat masyarakat sebagai upaya pengamanan ubi kayu (singkong). Di beberapa daerah di Indonesia khususnya penduduk Jawa mengenal tiwul sebagai pengganti nasi pada masa paceklik, manakala persediaan beras mulai menipis atau habis. Tiwul dibuat dari ubi kayu yang terlebih dahulu dibuat tepung gaplek, kemudian tepung gaplek tersebut dikukus dengan ditambahkan garam atau gula dan diberi sedikit air sehingga rasa tiwul tersebut ada yang asin dan ada yang manis serta seringkali setelah matang tiwul disajikan dengan ditaburi parutan kelapa (Yuliawati 1999). Proses pembuatan tiwul dimulai dengan mengupas kulit singkong, kemudian singkong dicuci bersih dan direndam. Singkong yang telah melalui proses pencucian dan perendaman kemudian dijemur selama lima hingga tujuh hari. Penjemuran singkong secara tradisional dapat dilakukan dengan cara menyebar singkong diatas atap, dijemur diatas tanah, tikar bambu, pinggirpinggir jalan, digantung dipagar, tali atau beranda. Setelah kering menghasilkan produk yang biasa disebut gaplek yang kemudian biasa disimpan oleh rumah tangga sebelum diolah menjadi tiwul. Penyimpanan gaplek di rumah tangga biasanya digunakan sebagai cadangan untuk persediaan pangan sampai musim berikutnya yaitu sekitar 10 bulan (Sundari 1993). Proses selanjutnya adalah gaplek digiling kemudian diayak dengan ayakan tepung sehingga menghasilkan produk yang kemudian disebut tepung gaplek. Mutu tepung gaplek yang dihasilkan tidak lepas dari gaplek yang dijadikan tepung, sehingga untuk memperoleh mutu tepung gaplek yang baik
10
setiap
tahap
pengolahan
singkong
menjadi
gaplek
perlu
diperhatikan.
Komponen-komponen yang menentukan mutu tepung gaplek adalah kadar air, kadar pati, faktor kenampakan (kebersihan, jamur, benda asing), serat kasar, kadar abu, dan kadar HCN. Sebelum dikonsumsi, tepung gaplek diletakan dalam nampan/tampah lalu diberi air sedikit demi sedikit sambil nampannya diputar sehingga akan diperoleh gumpalan-gumpalan tepung gaplek. Tepung gaplek tersebut dikukus hingga berwarna coklat kekuningan, inilah yang biasa disebut tiwul (Retno 1994). Tiwul perlu dikaji lebih lanjut karena tiwul merupakan pangan lokal dan pangan tradisional yang harganya murah tetapi merupakan sumber karbohidrat, kalsium dan fosfor yang tinggi. Kandungan gizi tiwul dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi gizi tepung gaplek (per 100 g tepung) Zat Gizi Kalori (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (IU) Vitamin B (mg) Vitamin C Air Sumber : Depkes RI 1995
Tepung Gaplek 363,00 1,10 0,50 88,20 84,00 125,00 1,00 0,00 0,04 0,00 9,10
Kadar Glukosa Darah Pencernaan karbohidrat dalam usus halus dihidrolisis oleh amilase yang dikeluarkan dari bagian eksokrin pankreas menjadi disakarida, dengan bantuan enzim usus halus menjadi monosakarida, yang kemudian diabsorsi di usus halus dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah, sehingga menentukan konsentrasi glukosa dalam darah (Waspadji et al. 2003). Kadar glukosa darah pada orang normal biasanya konstan, karena memiliki pengaturan metabolisme yang baik. Pada keadaan puasa, kadar glukosa darah berkisar antara 60-80mg/dL. Setelah mengkonsumsi karbohidrat, glukosa darah meningkat menjadi 120-130 mg/dL. Kadar glukosa darah akan kembali menurun setelah 2 jam makan kira-kira 80-100 mg/dL. Keadaan dimana konsentrasi gula darah menurun disebut
hipoglikemia,
sedangkan bila
konsentrasi gula darah meninggi dinamakan hiperglikemia. Selain itu, beberapa enzim dan hormon mempunyai pengaruh terhadap glukosa darah (Waspadji et al. 2003).
11
Tes Fungsi Hati Hati merupakan organ padat terbesar yang letaknya di rongga perut bagian kanan atas. Organ ini mempunyai peran penting karena merupakan regulator dari semua metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hati merupakan tempat sintesa dari berbagai komponen protein, pembekuan darah, kolesterol, ureum dan zat-zat lain yang sangat vital. Selain itu, hati juga merupakan tempat
pembentukan dan penyaluran asam
empedu serta
pusat detoksifikasi racun dan penghancuran (degradasi) hormon-hormon steroid seperti estrogen. Pada jaringan hati terdapat sel-sel kupfer yang sangat penting dalam eliminasi organisme asing baik bakteri maupun virus, karena itu untuk mengetahui adanya gangguan faal hati, terdapat satu deretan tes yang dapat dilakukan untuk menilai faal hati tersebut (Kee 2007). Tes laboratorium sering digunakan untuk memastikan diagnosis serta untuk memantau penyakit dan pengobatan. Beberapa tes laboratorium dilakukan untuk mengukur kadar enzim, karena bila terdapat jaringan rusak, sel mati dan enzim dilepas ke dalam darah. Sistem organ yang serumit hati akan sering dinilai dengan menggunakan beberapa tes. Hal ini dikarenakan lebih dari satu sistem dapat melepaskan enzim yang sama bila jaringan rusak. Oleh karena itu, untuk menentukan bagaimana hati bekerja, dan hal-hal yang mungkin menyebabkan masalah, ada beberapa tes yang dapat dilakukan bersama dan secara kolektif yang disebut tes fungsi hati (Kee 2007). Pemeriksaan SGOT dan SGPT Tes
fungsi
hati
yang
umum
dilakukan
adalah
AST
(aspartate
transaminase), yang di Indonesia lebih sering disebut sebagai SGOT (serum glutamic-oxaloacetic transaminase), dan ALT (alanine transaminase) yang biasanya
di
Indonesia
disebut
sebagai
SGPT
(serum
glutamic-pyruvic
transaminase). SGOT merupakan enzim yang secara normal berada di sel hati dan organ lain. Sedangkan SGPT adalah enzim yang banyak ditemukan pada sel hati secara efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal, dan otot rangka. SGOT dan SGPT menunjukkan kerusakan atau radang pada jaringan hati. SGPT lebih spesifik terhadap kerusakan hati dibanding SGOT (Widodo 2010). SGOT/AST dikeluarkan kedalam darah ketika hati rusak. Level SGOT/AST darah kemudian dihubungkan dengan kerusakan sel hati, seperti serangan virus hepatitis. Pada umumnya nilai tes SGPT/ALT lebih tinggi
12
daripada SGOT/ALT pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses kronik didapat sebaliknya. SGOT/AST terdapat di hampir seluruh tubuh, berbeda dengan SGPT/ALT yang spesifik pada hati. Dalam uji SGOT/AST dan SGPT/ALT, hati dapat dikatakan rusak bila jumlah enzim tersebut dalam plasma lebih besar dari kadar normalnya (Widodo 2010). Nilai normal untuk SGPT/ALT adalah 0-50 U/L untuk laki-laki dan 0-35 U/L untuk perempuan (Kee 2007). Pemeriksaan Bilirubin Bilirubin juga digunakan untuk menilai fungsi hati. Bilirubin bukanlah enzim. Senyawa ini adalah hasil penguraian sel darah merah oleh hati. Kadar bilirubin dapat meningkat jika hati tidak berfungsi atau ada kelebihan sel darah merah yang dihancurkan. Kadarnya juga dapat meningkat jika ada sumbatan pada saluran yang mengalirkan cairan empedu dari hati (Kee 2007). Bilirubin adalah suatu pigmen kuning dengan struktur tetrapirol yang tidak larut dalam air, berasal dari destruksi sel darah merah (75%), katabolisme protein hem (22%) dan inaktivasi eritropoesis sum-sum tulang (3%). Bilirubin yang tidak terkonyugasi, di hati akan mengalami konyugasi dengan enzim glukoronil transferase. Selanjutnya bilirubin terkonyugasi akan dikonversi menjadi urobilinogen di colon dan sebagian direabsorpsi dan diekskresikan ginjal dalam bentuk urobilinogen dan dikeluarkan bersama dengan feses sebagai sterkobilin (Kee 2007). Pemeriksaan bilirubin ini dapat dengan menggunakan metode van den Bergh assay, dimana dapat ditentukan tingkat bilirubin total dalam serum dan jumlah bilirubin terkonyugasi ataupun tak terkonyugasi. Pada sirosis hati akan dijumpai peningkatan produksi bilirubin. a. Bilirubin terkonjugasi /direk Bilirubin terkonjugasi /direk adalah bilirubin bebas yang bersifat larut dalam air sehingga dalam pemeriksaan mudah bereaksi. Bilirubin terkonjugasi (bilirubin glukoronida atau hepatobilirubin ) masuk ke saluran empedu dan diekskresikan ke usus. Selanjutnya flora usus akan mengubahnya menjadi urobilinogen. Bilirubin terkonjugasi bereaksi cepat dengan asam sulfanilat yang terdiazotasi membentuk azobilirubin. Peningkatan kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi dapat disebabkan oleh gangguan ekskresi bilirubin intrahepatik antara lain Sindroma Dubin Johson dan Rotor, Recurrent (benign) intrahepatic cholestasis, Nekrosis hepatoseluler, Obstruksi saluran empedu.
13
b. Bilirubin tak terkonjugasi/ indirek Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) merupakan bilirubin bebas yang terikat albumin, bilirubin yang sukar larut dalam air sehingga untuk memudahkan bereaksi dalam pemeriksaan harus lebih dulu dicampur dengan alkohol, kafein atau pelarut lain sebelum dapat bereaksi, karena itu dinamakan bilirubin indirek. Peningkatan kadar bilirubin indirek mempunyai arti dalam diagnosis penyakit bilirubinemia karena lemah jantung akibat gangguan dari transportasi bilirubin ke dalam peredaran darah. Tes Kreatinin untuk Fungsi Ginjal Tes fungsi ginjal dapat dilakukan dengan sampel berupa air seni dan darah. Kreatinin adalah salah satu uji laboratorium yang digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal melalui sampel darah. Tes ini mengukur tingkat kreatinin dalam darah. Karena tingkat kreatinin hanya sedikit dipengaruhi oleh fungsi hati, tingkat kreatinin yang tinggi dalam darah lebih khusus menandai penurunan pada fungsi ginjal (Yayasan Spiritia 2010). Ginjal merupakan sistem penyaringan alami dalam tubuh yang melakukan banyak fungsi penting. Ginjal berfungsi untuk menghilangkan bahan sisa metabolisme dari aliran darah, mengatur keseimbangan tingkat air dalam tubuh, dan menahan pH (tingkat asam-basa) pada cairan tubuh. Kurang lebih 1,5 liter darah dialirkan melalui ginjal setiap menit. Tes fungsi ginjal membantu menentukan apakah ginjal menjalankan fungsinya dengan baik. Banyak masalah yang dapat mempengaruhi kemampuan ginjal dalam melakukan fungsinya. Beberapa dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara cepat (akut) dan juga dapat menyebabkan penurunan fungsi secara kronis. Tes fungsi ginjal dapat dilakukan untuk memantau ginjal dan melihat kerusakan yang terjadi pada ginjal (Yayasan Spiritia 2010). Indeks Glikemik Indeks glikemik pertama-tama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkis (Profesor Gizi Universitas Toronto, Kanada) untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penyandang diabetes. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat, pada kuantitas yang sama akan menghasilkan pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004). Indeks Glikemik (IG) merupakan respon kadar gula darah setelah makan (postprandial). Nilai indeks glikemik dikembangkan untuk membantu mengatur
14
kadar glukosa darah penyandang diabetes (Jenskin et al. 2002 dalam Rimabawan & Siagian 2004). Indeks glikemik adalah tingkatan makanan menurut potensinya untuk meningkatkan glukosa darah relatif terhadap standar seperti glukosa murni atau roti putih (Sizer & Whitney 2008). Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), indeks glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. IG merupakan suatu cara untuk penatalaksanaan diet bagi penyandang diabetes, orang yang sedang berupaya menurunkan berat badan, dan olahragawan. Indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang sehat, penyandang diabetes, atlet, dan penderita obesitas (kelebihan berat tubuh). FAO/WHO (1998) merekomendasikan peningkatan asupan pangan yang memiliki IG rendah terutama bagi penyandang diabetes dan orang yang tidak toleran terhadap glukosa. Berdasarkan laporan WHO (FAO/WHO 2003), hubungan diet pangan yang memiliki IG rendah dalam mencegah obesitas dan diabetes sangatlah mungkin. Studi klinis banyak membuktikan hubungan positif antara asupan pangan yang memiliki IG rendah dengan resistensi insulin dan prevalensi sindrom metabolit (Miller 2007, Jenkins 2007, Mckeown et al 2004). Nilai IG ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva respon glikemik pangan uji dengan luas area dibawah kurva respon glikemik pangan acuan. Kurva respon glikemik pangan diperoleh dari data pengukuran kadar glukosa darah subjek setelah makan dengan interval 30 menit. Kurva akan menggambarkan efek glikemik dari pangan, yaitu ukuran seberapa cepat dan seberapa tinggi kadar glukosa darah naik, dan seberapa cepat tubuh merespon dengan membuat kadar glukosa darah kembali normal setelah makan (Whitney et al. 1990 dalam Waspadji et al. 2003). Indeks glikemik pangan menggunakan indeks glikemik glukosa murni sebagai pangan acuan (IG glukosa murni adalah 100). Menurut Miller et al. dalam Rimbawan dan Siagian (2004), berdasarkan pengaruh glikemiknya, pangan dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu kategori pangan IG rendah (IG<55), IG sedang (IG = 55-70), dan IG tinggi (IG>70). Menurut Poet (2008) dalam Syadiah (2010), menyebutkan bahwa pangan yang memiliki IG rendah berada pada kebanyakan buah-buahan dan sayuran (kecuali kentang, semangka), roti, pasta, polong-polongan, susu, produk sangat rendah karbohidrat (ikan, telur, daging, kacang-kacangan, minyak). Pangan yang memiliki IG sedang berada pada seluruh produk gandum, beras lunak, jeruk, ubi
15
jalar, nasi putih. Pangan yang memiliki IG tinggi berada pada corn flakes, baked potato, croissant, semangka, roti putih, glukosa (100). Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber karbohidrat disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber karbohidrat Peneliti Marsono Waspadji et al. Amalia Amalia Amalia Syadiah Syadiah Syadiah Rasdiyanti Rasdiyanti Rasdiyanti Rasdiyanti Karimah Karimah Karimah Karimah
Jenis Produk Olahan Singkong kukus Singkong rebus Jagung manis rebus Jagung manis tumis Jagung manis bakar Lontong (beras varietas Ciherang) Ketupat (beras varietas Ciherang) Nasi (beras varietas Ciherang Sukun goreng Sukun kukus Sukun rebus Kukis sukun Bubur pati singkong Bubur pati resisten singkong 1 siklus Bubur pati resisten singkong 3 siklus Bubur formula tepung emulsi
Nilai Indeks Glikemik 73,00 94,46 41,93 23,13 58,54 89,00 87,00 94,00 82,00 89,00 85,00 80,00 97,74 93, 69 106,09 93,96
Tahun 2002 2003 2010 2010 2010 2010 2010 2010 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan Pangan dengan jenis yang sama dapat memiliki IG berbeda bila diolah atau dimasak dengan cara yang berbeda. Faktor-faktor yang mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan & Siagian 2004). Menurut Waspadji et al. (2002), beberapa penelitian menunjukkan bahwa cara memasak jenis tepung, kandungan serat, dan efek anti enzim pencernaan mempengaruhi respon glikemik suatu makanan, artinya setiap makanan yang disantap akan menimbulkan peningkatan kadar glukosa darah yang berbedabeda. Lemak dan protein juga mempengaruhi pencernaan hingga respon peningkatan kadar glukosa akan berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis makanan akan menimbulkan respon yang berbeda meskipun mengandung karbohidrat dalam jumlah yang sama. Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabakan terjadinya proses gelatinisasi pada pati sehingga pati akan lebih mudah dicerna karena enzim pencernaan pada usus mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Berdasarkan hal inilah, proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan indeks glikemik pangan. Ukuran partikel juga mempangaruhi
16
indeks glikemik. Semakin kecil ukuran partikel menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik dengan cepat (Rimbawan & Siagian 2004). Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan pengaruh insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Makanan yang tinggi kandungan amilopektin dan rendah amilosa pada zat tepungnya memiliki IG tinggi, karena molekul amilopektin lebih besar, mudah terbuka, mudah tergelatinisasi, dan mudah dicerna. Makanan dengan rasio perbandingan amilosa lebih tinggi dari amilopektin memiliki indeks glikemik rendah karena lebih sulit tergelatinisasi dan dicerna (Rusilanti 2008). Pengaruh serat pada IG pangan tergantung pada jenis seratnya. Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan
sehingga
memperlambat
lewatnya
makanan
pada
saluran
pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Hal ini mengakibatkan proses pencernaan menjadi lambat sehingga respon gula darah lebih rendah. Keberadaan serat pada pangan ternyata sangat memberikan pengaruh pada kenaikan kadar gula dalam darah (Fernandes et al. 2005). Serat dapat memperlambat terjadinya proses pencernaan di dalam tubuh sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah respon glukosa darah akan lebih rendah (Brennan 2005). Pangan dengan kadar lemak dan protein yang tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itulah pangan dengan kandungan lemak tinggi cenderung memiliki IG lebih rendah dibandingkan dengan jenis pangan yang sejenis berkadar lemak rendah. Sedangkan keberadaan zat anti-gizi pada pangan akan menghambat terjadinya proses pencernaan sehingga dapat menyebabkan respon gula darah menjadi lambat (Colagiuri 1990 dalam Riany 2006). Menurut Waspadji et al. (2003), perbedaan cara memasak dan mengolah bahan makanan akan menyebabkan respon glukosa yang berbeda. Beras, jagung, dan kentang yang diproses secara modern, mengakibatkan tingginya respon glukosa darah bila dibandingkan dengan bahan makanan yang diproses secara sederhana. Semakin tinggi suhu dan tekanan yang diberikan terhadap
17
suatu bahan makanan semakin mudah karbohidrat untuk dicerna dan menyebabkan tingginya respon glukosa darah. Indeks Glikemik Singkong Singkong merupakan salah satu bahan makanan sumber karbohidrat, selain beras dan jagung. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, singkong tidak hanya dipakai sebagai bahan makanan saja tetapi juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, terutama industri pellet pakan ternak dan industri pengolahan tepung seperti tepung kasava, tapioka dan gaplek. Rendemen yang diperoleh untuk tapioka adalah 20-30% dan gaplek sekitar 10%. Di beberapa daerah, singkong dijadikan sebagai bahan makanan pokok pengganti nasi seperti tiwul dan gatot (Soetanto 2008). Menurut Waspadji et al. (2003) singkong rebus memiliki IG 96,46. Hasil penelitian Marsono (2002), menunjukkan bahwa singkong kukus memiliki IG 73. Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa singkong termasuk dalam kategori pangan yang memiliki IG tinggi (IG >70).