TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Rumput Kebar Rumput kebar bukan tumbuhan rumput-rumputan (Graminae) tetapi merupakan tanaman perdu yang termasuk kelas Dycotiledoneae, family Oxalidaceae, genus Biophytum, species Biophytum petersianum Klotzsch (Veldkamp 1976). Ciri-ciri tumbuhan ini yaitu penducle berukuran pendek, daun berbentuk obovate/umumnya bulat, mengumpul dan berpasangan, pucuk daun 3 – 9 pasang. Di bagian tengah, daun berbentuk rosette, berwarna kuning, jingga atau merah. Bakal buah menumpang dan berlekuk/bersegi lima. Buah kotak atau buni mengandung biji berukuran kecil. Tumbuhan ini berumah satu yaitu bunga jantan dan betina berada pada satu tumbuhan. Rumput kebar (Gambar 1) tumbuh pada ketinggian 500 – 600 m diatas permukaan laut. Tumbuhan ini biasanya tumbuh bersama dengan Paspalum konyugatum dan Imperata cylindrica. Rumput kebar tumbuh pada permeabilitas tanah sedang (4,01 cm/jam – 5,17 cm/jam), pH tanah agak masam sampai masam (5,6 – 4,6), kandungan sulfur tanah 0,04% - 0,2%. Tumbuhan ini banyak ditemukan di daerah iklim basah dengan curah hujan rata-rata 2383 mm/tahun, suhu 26,680C, kelembaban 82,97% dan intensitas cahaya matahari 64,87 lux (Imbiri 1997).
Gambar 1 Rumput kebar
Komposisi Kimia Rumput Kebar Hasil analisis komposisi kimia rumput kebar menunjukkan kandungan protein kasar, serat kasar, lemak kasar, Beta-N, mineral-mineral dan vitaminvitamin yang cukup baik (Tabel 1). Walaupun kandungan protein kasar dan lemak tidak begitu tinggi namun kandungan kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin E nya cukup tinggi. Tabel 1 Komposisi kimia rumput kebar (Sadsoeitoeboen 2005). No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bahan Penyusun Bahan kering Abu Protein kasar Serat kasar Lemak kasar Beta-N Calsium (Ca) Posfor (P) NaCl Vitamin A (IU) Vitamin E (IU)
Jumlah (%) 89,06 12,76 7,35 35,85 0,72 32,38 1,52 0,60 0,09 199,30 13,27
Hasil analisis komposisi kimia yang terdapat pada rumput kebar terlihat bahwa rumput kebar mengandung hampir semua kebutuhan nutrisi untuk aktivitas reproduksi. Menurut hasil penelitian Sadsoeitoboen (2005) ekstrak rumput kebar memiliki empat jenis protein dengan Berat Molekul (BM) masing-masing 14.648,731, 17.556,583, 49.730,176 dan 52.033,136 dalton. Berdasarkan hasil analisis elektroforesis, rumput kebar memiliki dua jenis protein yang BM-nya hampir sama dengan BM hormon Pregnant Mare Serum Gonadothropin (PMSG), yaitu pada BM 17.556,583 dan 52.033,136 dalton. Telah diketahui bahwa PMSG mengandung Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Partodiharjo (1992) menyatakan bahwa FSH dan LH memiliki BM yang berkisar antara 30.000 sampai 67.000 dalton. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis secara rinci pada protein dengan BM tersebut diatas mengikuti komposisi asam aminonya dan jenis protein secara khusus. Selain itu, rumput kebar juga mengandung asam-asam amino yang dibutuhkan untuk aktivitas reproduksi (Tabel 2).
Tabel 2 Komposisi asam amino rumput kebar (Sadsoeitoeboen 2005). No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Jenis Asam Amino Asam Aspartat Asam Glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Metionin Sistin Isoleusin Leusin Fenilalanin Lysin
Jumlah (%) 0,255 0,230 0,198 0,123 0,345 0,310 0,220 0,115 0,345 0,316 0,252 0,287 0,254 0,237 0.298 0.360 0.259
Fungsi Biologis Ekstrak Rumput Kebar Pemberian ekstrak rumpur kebar melalui air minum dapat meningkatkan berat ovarium, menstimulir perkembangan folikel, daya tetas telur serta meningkatkan motilitas spermatozoa pada ayam buras (Wajo 2005). Pasaribu & Indyastuti (2004) melaporkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan kandungan 17 β-estradiol pada serum darah mencit, sehingga meningkatkan penampilan reproduksi mencit putih betina.
Secara umum,
estrogen dalam tubuh terdapat dalam beberapa bentuk yaitu 17 β-estradiol, estron dan estriol (Hafez et al. 2000). Kolesterol adalah prekursor hormon estrogen. Jalur biosintesis estrogen melibatkan pembentukan dari androgen, juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion didalam sirkulasi darah. Aromatase adalah enzim yang mengkatalis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol (Gambar 2). Sel-sel Leydig interna memiliki banyak reseptor LH, dan LH bekerja melalui Adenosin Mono Phospat (cAMP) untuk meningkatkan
perubahan
kolesterol
menjadi
androstenedion.
Sebagian
androstenedion diubah menjadi estradiol, yang masuk kedalam sirkulasi darah. Sel Leydig interna juga memberikan androstenedion pada sel Sertoli. Sel Sertoli memberikan estradiol bila mendapat androgen. Sel Sertoli memiliki banyak reseptor FSH, dan FSH meningkatkan sekresi estradiol dari sel Sertoli dan bekerja melalui AMP siklik untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel Sertoli juga memiliki reseptor LH, dan LH juga merangsang pembentukan estradiol (Ganong 2003). Estrogen adalah hormon steroid yang dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel ovarium, corpus luteum, plasenta dan dalam jumlah sedikit oleh korteks adrenal dan testis (Gadjahnata 1989). Menurut Guyton (1996) fungsi utama estrogen adalah menimbulkan proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organorgan kelamin serta jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi. Pada hewan jantan Interstisial Cell Stimulating Hormon (ICSH) dari hipofisis merupakan bahan yang sama dengan hormon LH yang berfungsi mensekresikan testosteron dan pengembangan sifat kelamin sekunder (Pearce 1991). Borax Borax (Na2B4O7.10H2O) adalah bahan pengawet berupa serbuk kristal putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, pH: 9,5. Penggunaan
borax dipakai sebagai pengawet kayu, anti septik kayu dan
pengontrol kecoa. Bahaya borax terhadap kesehatan karena dapat meracuni sel. Bahan ini diserap melalui usus, kulit yang rusak dan selaput lendir ( http://www.disnakkeswan-lampung.go.id ). Borax merupakan bahan kimia beracun. Bahan kimia dinyatakan toksik apabila memiliki efek berbahaya bagi mahluk hidup. Menurut Loomis (1995) sifat toksik zat kimia (obat) dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan fungsional, biokimiawi atau perubahan struktural. Perubahan tersebut biasanya dimulai dengan gejala atau simptom yang dapat dilihat pada fungsi badan (Koeman 1987).
Gambar 2 Biosintesis steroid pada reproduksi jantan (Johnson dan Everitt 1984)
Menurut Loomis (1995) faktor penting yang mempengarui potensi aman atau tidaknya suatu zat kimia adalah hubungan antara kadar zat (dosis) dengan efek yang ditimbulkannya. Koeman (1987) menyatakan disamping dosis, faktor waktu juga penting dalam penentuan potensi tersebut karena kerja toksik selalu merupakan fungsi dosis dan lamanya pendedahan. Darmansjah (1987) menyebutkan cara pemberian merupakan faktor yang cukup penting. Toksisitas zat kimia yang diberikan secara oral dapat berubah-ubah tergantung frekuensi pemberian dan berbagai kondisi yang ada pada saat pemberian, seperti kondisi lambung dalam keadaan kosong atau terisi sehingga zat kimia tersebut tercampur dengan isi lambung Menurut
Subiyakto
(1991)
dalam
kadar
tertentu
borax
akan
mengakibatkan rasa pening, mual, muntah-muntah dan demam. Gejala yang cepat dan hebat baru akan terjadi apabila borax dikonsumsi dalam jumlah yang besar. Pemasukan borax secara terus menerus dalam tubuh akan disimpan dalam ginjal. Borax diekskresikan secara lambat di dalam ginjal (Thienes 1972). Penggunaan yang secara terus menerus dapat menyebabkan timbunan racun borax (Anonim 2009). Adiwisastra (1987) menyebutkan bahwa keracunan borax dapat menyebabkan degenerasi pada hati dan ginjal. Pada hewan jantan, borax dapat menyebabkan lesio pada testis yang ditandai dengan penghambatan spermiosis yang diikuti oleh atropi testis, jika diperlakukan pada dosis tinggi (Chapin & Ku 1994; Ku et al.1993). Atropi testis adalah pengecilan testis dari ukuran normal, diduga sebagai akibat dari gangguan hormonal yang disebabkan oleh toksikan yang masuk melalui kelenjar-kelenjar endokrin di testis. Borax juga berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa, hal ini karena spermatozoa mudah terpengaruh oleh zat yang bersifat toksis seperti borax (Kaspul 2004). Biologi Umum Tikus Tikus merupakan salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan sebagai model dalam penelitian. Tikus putih (Rattus norvegicus) atau tikus albino merupakan tikus hasil breeding secara selektif sehingga memiliki karakter yang stabil. Ada beberapa galur atau varietas tikus antara lain: galur Sprague-dawley
memiliki kepala kecil dan ekor lebih panjang dari badannya, galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek, serta galur Long evans memiliki ukuran tubuh lebih kecil dengan kepala dan tubuh bagian depan berwarna hitam (Baker 1980). Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksi menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis 2,5–3 tahun, lama kebuntingan berkisar 21–23 hari, umur sapih 21 hari, umur puberitas 50 – 60 hari, angka kelahiran 6–12 ekor per kelahiran, memiliki siklus estrus yang pendek 4–5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9 – 12 jam, interval antar generasi relatif pendek dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam mengkonsumsi pakan (10 gr/100 gr bb) (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Berat badan tikus betina dewasa sekitar 250 – 300 g dan berat badan tikus jantan dewasa 450 – 520 g, mulai dikawinkan umur 65–110 hari karena jika dikawinkan terlalu muda atau terlalu tua (lebih dari 10 minggu) akan mengurangi fertilitas. Tikus yang baru lahir memiliki berat lahir antara 5 – 6 g (Malole & Pranomo 1989).
Spermatozoa Spermatozoa adalah sel kelamin jantan yang memegang peranan penting dalam proses pembuahan. Cikal bakal spermatozoa sudah ada sejak embrio berupa sel-sel gonosit yang sudah aktif mengadakan pembelahan pada bagian tengah dari bagian gonad primitif, sehingga menghasilkan spermatogenia. Pada masa pubertas, spermatogenia akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi spermatosit I yang kemudian memasuki meiosis, dan membentuk spermatid yang mempunyai jumlah kromosom separuh dari jumlah kromosom sebelumnya (haploid). Spermatid kemudian akan mengalami perubahan bentuk melalui tahapan-tahapan panjang yang disebut spermatogenesis dan akan dihasilkan spermatozoa (Soeharso 1985). Spermatogenesis atau produksi sel-sel sperma dewasa adalah proses yang terus-menerus pada individu jantan yang sudah dewasa. Struktur sel sperma (Gambar 3) pada bagian kepala mengandung nukleus haploid ditudungi oleh bahan khusus, yaitu akrosom, yang mengandung enzim yang membantu sperma
menembus sel telur.
Bagian tengah sel sperma mengandung sejumlah besar
mitokondria (atau sebuah mitokondria yang besar pada beberapa spesies) yang menyediakan Adenisin Tri Posphat (ATP) untuk pergerakan ekor yang berupa sebuah flagel (Campbell 2004).
Gambar 3 Morfologi Spermatozoa (Campbell 2004).
Testis Anatomi Testis Testis adalah organ kelamin laki-laki untuk perkembangbiakan, tempat pembentukan spermatozoa dan penghasil hormon testosteron. Testis berkembang di dalam rongga abdomen sewaktu janin dan turun melalui saluran inguinal kanan dan kiri masuk kedalam scrotum menjelang akhir kehamilan. Testis ini terletak oblik (lonjong kesamping) menggantung pada urat-urat spermatik di dalam scrotum (Pearce 1991). Scrotum bereaksi terhadap rangsangan seksual dengan cara vasokongesti dan kontraksi serabut-serabut otot polos dari tunika dartos, sehingga menyebabkan scrotum menjadi tebal dan mengencang (Effendi 1981). Bidang luar testis berbentuk convex dan licin. Testis terbungkus oleh tunica vaginalis propina yang didalamnya terdapat ductus epididymis dan ductus deferens (Gambar 4). Di bagian propundal tunika ini terdapat tunika albuginea yaitu suatu jaringan ikat padat berwarna putih yang mengandung serabut fibreus
dan serabut-serabut otot licin. Tunica albugenia berhubungan dengan suatu jaringan ikat yang membagi testis menjadi lobuli testis yang disebut septula testis. Septula testis akan menuju ke mediastinum testis yang terletak disentral. Lobuli testis mengandung tubuli seminiferi contorti yaitu suatu saluran yang dibentuk oleh sel-sel spermatogonia dan sel-sel sertoli. Sel-sel spermatogenia merupakan sel-sel yang akan menjadi spermatozoa dan sel-sel sertoli adalah sel-sel yang berfungsi memberi nutrisi pada spermatogenia. Diantara tubuli ini terdapat sel-sel Leydig yang menghasilkan hormon kelamin jantan yaitu testosteron. Tubuli seminiferi contorti dari satu lobus akan berjalan menuju ke tubulus seminiferus rectus yang akan membentuk rete testis. Rete testis terletak di dalam mediastinum testis, berfungsi menyalurkan spermatozoa ke ductus epididymis (Sigit 1980) (Gambar 5). Bagian testis yang terletak diujung proksimal disebut ekstremitas capitata yang berhadapan dengan caput epididymis. Ekstremitas caudata berhadapan dengan cauda epididymis disebut margo epididymis. Bagian yang bebas dari testis disebut margo liber (Sigit 1980). Fungsi Testis Testis mempunyai dua fungsi utama yaitu menghasilkan sel mani oleh tubuli seminiferi dan sekresi hormon testosteron oleh sel-sel Leydig (Effendi 1981). Secara fungsional testis merupakan kelenjar ganda karena bersifat eksokrin dan endokrin. Bersifat eksokrin karena menghasilkan sel kelamin (sel benih) dan bersifat endokrin karena menghasilkan sekresi internal berupa hormon yang dilepaskan oleh sel-sel khusus (Tambayong & Sugito 1996). Testis sebagai organ kelamin primer mempunyai fungsi menghasilkan spermatozoa dan mensekresikan hormon testosteron. Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli seminiferi atas pengaruh FSH. Hormon testosteron dihasilkan oleh sel interstial. Produksi testosteron tergantung pada rangsangan Luteinizing Hormon (LH) dari lobus anterior hipofisis. Organ sasarannya adalah sel-sel interstisial maka LH sering disebut sebagai Interstisial Cell Stimulating Hormon (ICSH).
Gambar 4 Organ genital tikus dewasa (Turner dan Bagnara 1980).
Gambar 5 Tubulus seminiferus testis (Hafez et al.2000). Testosteron selain berpengaruh terhadap spermatogenesis juga mengatur sifat-sifat seks sekunder, merangsang seks dan perkembangan serta pemeliharaan saluran kelamin dan kelenjar kelamin tambahan (Tambayong & Sugito 1996).
Pengeluaran testosteron bertambah dengan nyata pada masa pubertas untuk perkembangan sifat kelamin sekunder (Pearce 1991). Beberapa fungsi hormon endokrin adalah penggiat folikel FSH dari lobus anterior hipofisis merangsang spermatogenesis. FSH mempengaruhi sel sertoli untuk merangsang sintesis reseptor yaitu protein pengikat androgen (Androgen Binding Protein), yang berikatan dengan testosteron dan disekresikan ke dalam lumen tubulus seminiferus. Keberadaan testosteron di dalam ruang abdominal dibutuhkan untuk memelihara spermatogenesis. Sel Sertoli juga mensintesis hormon testis yang lain yaitu inhibin yang masuk ke dalam aliran darah serta akan menghambat sekresi FSH oleh hipofisis lobus anterior (Tambayong & Sugito 1996) (Gambar 6). Sel Sertoli terletak di sepanjang membran basal dan dapat dibedakan dengan sel kelamin, karena berbentuk torak, inti oval, nukleoplasmanya homogen dan anak intinya jelas. Sel ini sangat resisten terhadap zat-zat yang merusak sel kelamin (Austin & Short 1982). Sel sertoli mempunyai fungsi yang erat kaitannya dengan kelangsungan hidup sel kelamin, antara lain: 1.
Menghasilkan protein pengikat (Androgen Binding Protein/ABP) yang berperan sebagai alat transit androgen ke sel-sel kelamin dan ke caput epididymis serta sebagai sumber sekresi cairan untuk transfer spermatozoa meninggalkan testis (Hafez et al. 2000).
2. Menghasilkan nutrisi untuk menjamin berlangsungnya fungsi spermatogenik (Gamer & Hafez 1987). 3.
Bersifat sebagai fagositositas terhadap sel-sel kelamin yang mengalami degenerasi atau rusak dan sisa protoplasma sperma dewasa (residual bodies) yang banyak terdapat dalam tubuli seminiferi (Gamer & Hafez 1987).
4. Berfungsi sebagai penghalang darah masuk dalam testis (blood- testis barier) karena cabang sitoplasma sel sertoli yang berdekatan akan saling bertaut erat sehingga akan menghambat keluar masuknya zat asing pada tubuli seminiferi, terutama ditujukan bagi darah di luar tubuli agar tidak masuk. Pertautan cabang sel-sel Sertoli yang berdekatan disebut ”sertoli cell Junction” (Gamer & Hafez 1987).
Gambar 6 Endokrin testis (Hafez et al.2000) Selain testis, terdapat pula kelenjar kelamin tambahan yang mempunyai tugas untuk membuat plasma semen, yang merupakan medium yang memungkinkan spermatozoa yang diproduksi oleh testis, bergerak dengan aktif dan hidup untuk waktu tertentu. Kelenjar kelamin tambahan ini terdiri dari kelenjar bulbourethralis (kelenjar cowper), kelenjar prostat, epididimis, vas defferens dan vesika seminalis. Cairan plasma semen disusun oleh hasil sekresi kelenjar kelamin tambahan yang dimulai dari sekresi kelenjar cowper, kelenjar prostat, sekret epididimis dan vas defferens yang kaya dengan spermatozoa dan terakhir sekret dari vesika seminalis. Poerwodihardjo (1985) menjelaskan saluran epididimis menghubungkan kelenjar testis dengan vas defferens. Epididimis berfungsi untuk pematangan spermatozoa disamping itu epididimis berfungsi pula untuk menyimpan spermatozoa yang sudah matang. Epididimis dan vas defferens juga berfungsi sebagai saluran spermatozoa.
Spermatogenesis Spermatogenesis adalah proses perkembangan sel induk spermatogenia dari epitel tubuli seminiferus yang mengadakan proliferasi dan diferensiasi, sehingga terbentuk spermatozoa yang normal dan bebas. Proses spermatogenesis dapat dibedakan menjadi tiga tahap. 1. Tahap pertama, terjadi proses pembelahan mitosis dari sel spermatogonia sehingga menghasilkan spermatosit dan sel spermatogonia yang baru. Pembaharuan sel induk spermatogonia yang baru dimaksudkan untuk mempertahankan kehadirannya dalam tubuli seminiferi. 2. Tahap kedua, terjadi pembelahan miosis sel spermatosit primer dan sekunder yang menghasilkan spermatid berkromosom haploid. Kedua tahap diatas tersebut disebut dengan Spermatogenesis. 3. Tahap ketiga, terjadi proses perkembangan spermatid menjadi spermatozoa melalui proses metamorfosa yang panjang dan komplek, hal ini disebut spermiogenesis (Garmen dan Hafez 1987). Ada dua model teori proses proliferasi dan pembaharuan sel induk spermatogenia mamalia (Austin dan Short 1982). Adapun kedua teori tersebut adalah: 1. Menurut teori yang diajukan oleh Clermont dan Bustos-Obregon pada tahun 1968, bahwa proses proliferasi sel induk spermatogenia Ao secara mitosis yang pada awalnya menjadi satu spermatogenia Ao cadangan dan satu lagi menjadi spermatogenia A1 yang kemudian membelah lagi menjadi spermatogenia A2, A3 dan A4. Sehingga satu spermatogenia A1 menjadi 4 spermatogenia A4 dan satu diantara spermatogenia A4 akan menjadi bakal spermatogenia
A1,
untuk
spermatogenesis
berikutnya.
Sedangkan
spermatogenia Ao sebagai cadangan dan akan memacu pembelahan bila terjadi situasi yang tidak menguntungkan bagi spermatogenia A1, A2, A3 dan A4 untuk bertahan hidup lagi misalnya terkena radiasi sinar X dan bahan kimia lainnya. 2. Menurut teori Huckins dan Oacberg pada tahun 1978, yaitu sel induk spermatogenia As (sama dengan Ao) selalu melakukan pembelahan secara bertahap dan tidak terkoordinasi sehingga membelah menjadi spermatogenia
A1, A2, A3 dan A4. Spermatogenia A4 tidak ada yang menjadi bakal sel induk spermatogenia A1 dalam spermatogenesis berikutnya. Menurut Clermont dan Bustos-Obregon, jumlah spermatozoa yang terbentuk dari satu spermatogenia A1 adalah 12 spermatogenia, karena satu diantara spermatogenia A4 akan menjadi spermatogenia A1 kembali. Sedangkan menurut Huckins dan Oacberg, jumlah spermatogenia A4 yang akan terbentuk dari satu spermatogenia A1 akan menjadi 16 spermatogenia. Sel spermatogenia mempunyai inti yang oval dan mengandung granula kromatin. Berdasarkan sebaran bentuk kromatin dalam inti, spermatogenia dapat dibedakan menjadi spermatogenia A dan spermatogenia B. Sebaran kromatin spermatogenia A umumnya halus dan homogen sedangkan spermatogenia B kromatinnya agak kasar, lebih gelap dan sebagian kromatinnya melekat pada inti. Perkembangan spermatogenia B akan mengalami beberapa fase pembelahan mitosis dan miosis, sehingga mengalami transformasi bentuk dan akhirnya menjadi spermatozoa (Gambar 7).
Gambar 7 Perkembangan sel kelamin tikus jantan selama spermatogenesis (Clermont 1962)