EKSTRAK DAUN RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum) SEBAGAI ANTIKAPANG Aspergillus flavus TOKSIGEN DAN ANTIAFLATOKSIN SERTA APLIKASINYA PADA SISTEM PANGAN
MEIKE MEILAN LISANGAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Ekstrak Daun Rumput Kebar (Biophytum petersianum) sebagai Antikapang Aspergillus flavus Toksigen dan Antiaflatoksin serta Aplikasinya pada Sistem Pangan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Meike Meilan Lisangan NIM F261090071
RINGKASAN MEIKE MEILAN LISANGAN. Ekstrak Daun Rumput Kebar (Biophytum petersianum) sebagai Antikapang Aspergillus flavus Toksigen dan Antiaflatoksin serta Aplikasinya pada Sistem Pangan. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, WINIATI P RAHAYU, dan OKKY SETYAWATI DHARMAPUTRA. Beberapa spesies kapang bersifat toksigen, diantaranya Aspergillus flavus yang dapat memproduksi aflatoksin. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari bahan antikapang dan antiaflatoksin yang berasal dari bahan alami seperti tumbuhan. Biophytum petersianum adalah salah satu tumbuhan herbal yang dikenal oleh masyarakat di Papua Barat dengan nama rumput kebar, dimanfaatkan sebagai obat penyubur kandungan dan sejauh ini menunjukkan aktivitas antibakteri dan berpotensi sebagai antikapang. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh jenis ekstrak B. petersianum yang paling efektif sebagai penghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus toksigen dan penghambat produksi aflatoksin serta mengidentifikasi komposisi kimianya. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen, melalui 5 tahap penelitian yang terdiri atas (1) identifikasi fitokimia dan pengujian aktivitas antikapang berbagai jenis ekstrak daun rumput kebar untuk menghambat pertumbuhan A. flavus toksigen, (2) pengujian mekanisme penghambatan ekstrak daun rumput kebar, (3) pengujian antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar pada media model pangan, (4) pengujian aktivitas antikapang dan antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar pada media sistem pangan berbasis jagung dan kacang tanah, dan (5) pengujian sitotoksisitas ekstrak daun rumput kebar terhadap sel Vero secara in-vitro. Daun rumput kebar diekstraksi dengan pelarut heksana, etil asetat, metanol, dan akuades secara tunggal dan bertingkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bertingkat heksana-etil asetat-metanol (HEM) daun rumput kebar pada konsentrasi 20 mg mL-1 di media kaya karbohidrat, media kaya lemak, dan media kaya protein menyebabkan hambatan pertumbuhan A. flavus tertinggi dari pada jenis ekstrak lainnya, yaitu berturut-turut 96.2, 100, dan 96.1%. Konsentrasi hambatan minimum ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap pertumbuhan A. flavus BCCF0219 pada media kaya karbohidrat, kaya lemak, dan kaya protein bertutur-turut sebesar 12 mg mL-1 (97.9%), 14 mg mL-1 (93.5%), dan 14 mg mL-1 (90.8%). Sedangkan konsentrasi hambatan minimum A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, kaya lemak, dan kaya protein berturut-turut sebesar 12 mg mL-1 (93.9%), 16 mg mL-1 (99.4%) and 16 mg mL-1 (93.8%). Pada 3 tingkat konsentrasi MIC yaitu 1 MIC, 1.5 MIC, dan 2 MIC, persentase hambatan pertumbuhan A. flavus BCCF0219 dan BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, lemak, dan protein berkisar antara 90.8 – 100% dan 93.8 – 100%, sedangkan hambatan produksi aflatoksin B1 berkisar antara 70.9 – 100% dan 83.4 – 98.8%. Hasil analisis SEM memperlihatkan bahwa mekanisme yang terlibat dalam penghambatan pertumbuhan kapang oleh ekstrak daun rumput kebar adalah melalui perubahan morfologi hifa yang mengakibatkan kematian sel. Pada media dengan konsentrasi jagung 12.5, 25, 50 dan 100%, persentase hambatan pertumbuhan berturut-turut berkisar pada 50.4 – 81.0, 59.3 – 85.1, 52.9 – 83.0, dan 44.0 – 66.5%. Sedangkan pada media dengan konsentrasi kacang
tanah 12.5, 25, 50 dan 100%, persentase hambatan pertumbuhan berturut-turut berkisar pada 75.9 – 100, 72.3 – 100, 63.7 – 100, 64.9 – 100. Reduksi AFB1 pada media dengan konsentrasi jagung 100% berkisar pada 7.0 – 91.3%, sedangkan pada media dengan konsentrasi kacang tanah 100% berkisar pada 19.3 – 59.4%. Ekstrak HEM daun rumput kebar menghambat proliferasi sel Vero lebih dari 75% pada tingkat konsentrasi ekstrak 12 – 32 mg mL-1, sedangkan nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar adalah 13.41 mg mL-1, jauh lebih besar dari batas yang ditentukan oleh NCI yaitu <20 μg mL-1. Kata kunci: antikapang, antiaflatoksin, Py-GC-MS, rumput kebar, sitotoksisitas
SUMMARY MEIKE MEILAN LISANGAN. Kebar Grass (Biophytum petersianum) Leaf Extract as Antifungal Toxigenic Aspergillus flavus and Antiaflatoxin and Its Application in Food System. Supervised by RIZAL SYARIEF, WINIATI P RAHAYU, and OKKY SETYAWATI DHARMAPUTRA. Some fungal species are toxigenic, among others Aspergillus flavus which can produces aflatoxin. Many efforts have been done to investigate the antifungal and antiaflatoxin agents derived from plants. Biophytum petersianum is one of herbs known by the people of West Papua with the name of kebar grass utilized as fertility drugs and showed antibacterial activity and has potency as antifungal. The purpose of this study was to obtain the type of the most effective extract of B. petersianum as growth inhibitors toxigenic Aspergillus flavus and aflatoxin production inhibitor and identify its chemical composition. The research consisted of 5 research stages i.e. (1) identification of phytochemicals and antifungal activity assay of kebar grass leaf extracts to inhibit the growth of toxigenic Aspergillus flavus, (2) inhibitory mechanism assay of kebar grass leaf extract, (3) antiaflatoxin B1 of kebar grass leaf extract in food model media, (4) antifungal and antiaflatoxin B1 activity of kebar grass leaf extract in maize and peanut based media, and (5) in-vitro cytotoxicity of kebar grass leaf extract on Vero cell. Kebar grass leaf was extracted using hexane, ethyl acetate, methanol, and aquadest in single and successively way. The results showed that kebar grass extract of hexane-ethyl acetate-methanol at concentration of 20 mg mL-1 in carbohydrate-enriched medium, fat-enriched medium, and protein-enriched medium caused higher growth inhibition of A. flavus than the other extracts, i.e. 96.2, 100, and 96.1%, respectevely. Minimum inhibitory concentration (MIC) of kebar grass HEM leaf extract on the growth of A. flavus BCCF0219 on carbohydrate-enriched medium, fatenriched medium, and protein-enriched medium were 12 mg mL-1 (97.9%), 14 mg mL-1 (93.5%), dan 14 mg mL-1 (90.8%), respectevely. Meanwhile, MIC of kebar grass HEM leaf extract on the growth of A. flavus BIO 2236 on carbohydrateenriched medium, fat-enriched medium, and protein-enriched medium were 12 mg mL-1 (93.9%), 16 mg mL-1 (99.4%) and 16 mg mL-1 (93.8%), respectevely. At 3 different levels of MIC i.e. 1 MIC, 1.5 MIC and 2 MIC, the percentage of growth inhibition of A. flavus BCC F0219 and BIO 2236 in carbohydrate, fat and protein-enriched medium ranged between 90.8 - 100 % and 93.8 - 100 %, meanwhile, the inhibitory effect of Aflatoxin B1 production ranged between 70.86 - 100 % and 83.42 - 98.84 %. Based on SEM observation results, it was found that the mechanisms involved in fungal growth inhibitory of KGE were by morphological alterations of hyphal development, even the collapse of the entire hyphae. In maize based media with maize at concentrations of 12.5, 25, 50 and 100%, the growth inhibition ranged between 50.4 - 81.0, 59.3 - 85.1, 52.9 - 83.0, and 44.0 - 66.5%. While in the peanut based media with peanuts at concentrations of 12.5, 25, 50 and 100%, the growth inhibition ranged between 75.9 - 100, 72.3 -
100, 63.7 - 100, 64.9 - 100%. Reduction of AFB1 at 100% maize based media ranged at 7.0 - 91.3%, while the range for peanuts at 19.3 - 59.4%. Kebar grass leaf HEM extract can inhibit Vero cell proliferation more than 75% at concentration of 12 – 32 mg mL-1, while CC50 value of kebar grass leaf HEM extract was 13.41 mg mL-1, more higher than NCI limit of <20 μg mL-1. Keywords: antifungal, antiaflatoxin, cytotoxicity, kebar grass, Py-CMS
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EKSTRAK DAUN RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum) SEBAGAI ANTIKAPANG Aspergillus flavus TOKSIGEN DAN ANTIAFLATOKSIN SERTA APLIKASINYA PADA SISTEM PANGAN
MEIKE MEILAN LISANGAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS Dr. Nur Wulandari, STP, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, DEA Dr. Raphaella Widiastuti, BSc.
Judul Disertasi
Nama NIM
: Ekstrak Daun Rumput Kebar (Biophytum petersianum) sebagai Antikapang Aspergillus flavus Toksigen dan Antiaflatoksin serta Aplikasinya Pada Sistem Pangan : Meike Meilan Lisangan : F261090071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Rizal Syarief Ketua
Prof Dr Winiati P Rahayu Anggota
Prof Dr Okky Setyawati Dharmaputra Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ratih Dewanti-Hariyadi
Dr Dahrul Syah
Tanggal Ujian: 19 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNya sehingga disertasi dengan judul ” Ekstrak Daun Rumput Kebar (Biophytum petersianum) sebagai Antikapang Aspergillus flavus Toksigen dan Antiaflatoksin serta Aplikasinya Pada Sistem Pangan” dapat diselesaikan dengan baik. Bagian dari disertasi ini berupa artikel ilmiah berjudul “Antifungal activity of Kebar grass leaf extracts on the growth of aflatoxigenic flavus in food model media” telah dipresentasikan dalam 1st BIOTROP Conference, Oktober 2013 di IPB Convention Center (ICC) Bogor, dan telah diterima untuk diterbitkan pada International Journal Sciences: Basic and Applied Research Vol. 17 No. 2, 2014. Sebuah artikel berjudul “Effect of kebar grass (Biophytum petersianum) leaf extract on the growth and morphological structure of aflatoxigenic Aspergillus flavus” telah dipresentasikan pada International Symposium on Tropical Fungi, September 2013 dan telah dimasukkan pada International Journal of Food Science and Technology. Artikel lainnya berjudul “Aktivitas antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar (Biophytum petersianum) terhadap Aspergillus flavus” telah diterima untuk dipublikasi pada Jurnal Agritech Vol. 35 No. 1, Februari 2015. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Rizal Syarief, Prof. Dr. Winiati P Rahayu dan Prof. Dr. Okky Setyawati Dharmaputra selaku komisi pembimbing atas curahan waktu, arahan dan bimbingannya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Prof. Dr. Tun Tedja Irawadi dan Dr. Nur Wulandari selaku penguji pada ujian tertutup, Dr. Nancy Dewi Yuliana dan Dr. Raphaella Widiastuti selaku penguji pada ujian terbuka. 3. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Pangan serta seluruh staf pengajar dan karyawan atas ilmu pengetahuan dan bantuan yang telah diberikan selama menempuh pendidikan. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dukungan beasiswa BPPS selama menempuh pendidikan. 5. Rektor Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. 6. Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) atas pendanaan penelitian dalam bentuk BIOTROP PhD Thesis Grant tahun 2012. 7. PEMDA Provinsi Papua Barat yang telah memberi bantuan beasiswa penelitian dan PT Freeport yang telah memberi bantuan dana penelitian melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amugme Komoro (LPMAK) Timika, Papua. 8. Laboratorium Mikrobiologi PAU dan Laboratorium Kimia PAU IPB beserta teknisinya Mbak Ari dan Mas Taufik, yang telah membantu selama proses penelitian.
9.
Teman-teman seperjuangan IPN 2009 (Mbak Mardiah, Bu Aswita, Bu Zita, Bu Siti, Bu Tita, Ai) dan rekan-rekan IMAPA (Ikatan Mahasiswa Papua) Bogor atas suntikan semangatnya. 10. Yang saya hormati dan sayangi kedua orang tua (Bpk. Jaya Taufan Lie dan Ibu Marthina Tan Bonai-Abaa), mertua (Bpk. Welhelmus Talakua dan Ibu Josephine Kayadoe), suami (Richard Talakua), anak-anak yang saya cintai (Hazella Ishera Talakua, Jehefar Dearic Talakua, Ellysia Nathania Talakua, dan Elldora Nathaniela Talakua), serta seluruh keluarga besar atas doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk semua pihak. Bogor, Agustus 2014 Meike Meilan Lisangan
DAFTAR ISI
RINGKASAN SUMMARY HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI 1 PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................. Tujuan Penelitian .......................................................................................... Hipotesis Penelitian....................................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................................ Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. Daftar Pustaka ...............................................................................................
1 2 2 3 3 4
2 ANTIFUNGAL ACTIVITY OF KEBAR GRASS (Biophytum petersianum) LEAF EXTRACTS ON THE GROWTH OF AFLATOXIGENIC Aspergillus flavus IN FOOD MODEL MEDIA Abstract ......................................................................................................... 6 Introduction ................................................................................................... 7 Materials and Methods .................................................................................. 8 Results and Discussion.................................................................................. 10 Conclusion .................................................................................................... 16 References ..................................................................................................... 16 3 EFFECT OF KEBAR GRASS (Biophytum petersianum) LEAF EXTRACT ON THE GROWTH AND MORPHOLOGICAL STRUCTURE OF AFLATOXIGENIC Aspergillus flavus Abstract ......................................................................................................... 19 Introduction ................................................................................................... 19 Materials and Methods .................................................................................. 20 Results and Discussion.................................................................................. 23 Conclusion .................................................................................................... 31 References ..................................................................................................... 32 4 AKTIVITAS ANTIAFLATOKSIN B1 EKSTRAK DAUN RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum) TERHADAP Aspergillus flavus Abstract ......................................................................................................... 35 Pendahuluan .................................................................................................. 36 Metode Penelitian.......................................................................................... 37 Hasil dan Pembahasan................................................................................... 39 Kesimpulan ................................................................................................... 44 Daftar Pustaka ............................................................................................... 45
i
5 ANTIKAPANG DAN ANTIAFLATOKSIN B1 EKSTRAK DAUN RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum) PADA MEDIA BERBASIS JAGUNG DAN KACANG TANAH Abstract ......................................................................................................... 49 Pendahuluan .................................................................................................. 49 Bahan dan Metode......................................................................................... 51 Hasil dan Pembahasan................................................................................... 53 Kesimpulan ................................................................................................... 57 Daftar Pustaka ............................................................................................... 57 6 UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK DAUN RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum Klotzsch) Abstract ......................................................................................................... 60 Pendahuluan .................................................................................................. 60 Bahan dan Metode......................................................................................... 61 Hasil dan Pembahasan................................................................................... 62 Kesimpulan ................................................................................................... 67 Daftar Pustaka ............................................................................................... 67 7 PEMBAHASAN UMUM ................................................................................ 69 Daftar Pustaka .............................................................................................. 73 8 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 75
ii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan kapang pada bahan pangan selama penyimpanan dapat menyebabkan peningkatan kadar air bahan dan kelembaban relatif tempat penyimpanan. Pada kondisi demikian kerusakan terjadi dengan cepat sehingga sumber nitrogen bahan yang diperlukan kapang untuk tumbuh juga berkurang. Apabila persediaan nitrogen telah habis maka kapang mempertahankan hidupnya dengan memanfaatkan karbon yang ada dalam bahan sebagai sumber energi. Keadaan ini berlangsung dengan cara kapang melakukan metabolisme sekunder yang dapat menghasilkan mikotoksin (Syarief et al. 2012). Kontaminasi kapang dan produksi mikotoksinnya menyebabkan kerugian 25 - 40% atau bahkan lebih, terutama di negara berkembang (Murugan et al. 2013). Beberapa jenis mikotoksin utama yang telah diidentifikasi antara lain aflatoksin, okratoksin, patulin, islanditoksin, zearalenon, sterigmatosistin, trikotesen, asam penisilat, sitrinin, sporidesmin, rubratoksin, dan slaframin (Fernández-Cruz et al. 2010). Dari sekian banyak mikotoksin ini, aflatoksin merupakan jenis mikotoksin yang perlu lebih mendapat perhatian. Aflatoksin merupakan toksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang bersifat hepatotoksik, mutagenik, teratogenik, dan karsinogenik bagi manusia dan hewan (Alberts et al. 2006). Aflatoksin B1 merupakan jenis aflatoksin yang paling banyak diproduksi dan memiliki sifat mutagenik, karsinogenik, dan teratogenik yang sangat tinggi, baik terhadap manusia maupun hewan. Kontaminasi aflatoksin yang terjadi di Afrika, Tiongkok, dan Asia Tenggara berkorelasi positif dengan tingkat kejadian kanker hati. Selain berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan berkisar antara US $85 - 100 juta di USA (Alberts et al. 2009). Hingga saat ini, telah banyak upaya yang dilakukan untuk meminimalisir paparan mikotoksin, terutama aflatoksin melalui berbagai macam metode. Diantaranya melalui metode fisik seperti teknik ekstruksi (Syarief et al. 2012) dan pemanasan dengan kombinasi penambahan buffer fosfat (Saalia dan Phillips 2010), metode kimia seperti penggunaan amonia (Dharmaputra dan Ambarwati 1999), dan metode biologi dengan menggunakan Bakteri Asam Laktat (Topcu et al. 2010) juga telah dilakukan. Selain itu beberapa peneliti juga telah mencoba mereduksi aflatoksin dengan menggunakan agen botani seperti ekstrak tumbuhan dari spesies Agave (Sánchez et al. 2005), ekstrak tumbuhan Allium cepa, A. sativum dan A. indica (Reddy et al. 2009), ekstrak tumbuhan Equisetum arvense dan Stevia rebaudiana (Garcia et al. 2011) yang cukup efektif mereduksi pertumbuhan kapang (86 – 100%) dan produksi aflatoksin. Rumput kebar merupakan tumbuhan yang tergolong dalam famili Oxalidaceae yang ditemukan di Distrik Kebar, Papua Barat. Rumput kebar umumnya tumbuh secara alami dan tersebar hampir di seluruh wilayah Distrik Kebar (Santoso et al. 2007). Selain di Distrik Kebar, tumbuhan ini juga ditemukan di daerah Mali dan beberapa wilayah Afrika lainnya. Di Indonesia, tumbuhan ini juga dapat ditemukan di pulau-pulau lainnya kecuali Sumatra, Kalimantan, dan Jawa Barat (Veldkamp, 1976 dalam Imbiri et al. 2000). Masyarakat Mali menggunakan tumbuhan ini untuk pengobatan luka, inflamasi,
luka lambung, malaria, dan demam (Inngjerdingen et al. 2008). Masyarakat Papua sendiri, terutama di Distrik Kebar sering menggunakan tumbuhan ini sebagai obat penyubur kandungan. Berdasarkan pengalaman empiris masyarakat setempat, tumbuhan ini telah terbukti mampu meningkatkan kesuburan wanita sehingga selain digunakan oleh masyarakat setempat, tumbuhan ini bahkan telah diperdagangkan hingga keluar wilayah Papua. Santoso et al. (2007) dan Karamang (2010) mengemukakan bahwa rumput kebar memiliki kandungan alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida. Komponen-komponen tersebut banyak diteliti sebagai komponen bioaktif yang dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikrob. Keberadaan kelompok bioaktif yang cukup lengkap dalam rumput kebar membuat tumbuhan ini berpotensi sebagai antimikrob. Beberapa kajian yang dilakukan memperlihatkan aktivitas antibakteri dari ekstrak daun Rumput kebar terhadap bakteri patogen Gram positif (Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae) dan Gram negatif (Klebsiella pneumonia, Salmonella Typhii, Proteus vulgaris, Escherichia coli) (Natarajan et al. 2010), namun sejauh ini belum ada laporan tentang aktivitas antikapang dari rumput kebar. Jenis substrat merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. flavus aflatoksigen. Substrat dalam bahan pangan dapat terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein, sehingga perlu mengkaji pengaruh ekstrak rumput kebar terhadap pertumbuhan A. flavus aflatoksigen dan produksi aflatoksin B1 (AFB1) pada berbagai jenis substrat bahan pangan. Potensi penggunaan rumput kebar sebagai antikapang diharapkan dapat menghambat pertumbuhan kapang terutama kapang aflatoksigen serta produksi aflatoksin B1 pada bahan pangan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengkaji aktivitas antikapang dan antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar pada media model pangan dan media sistem pangan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menentukan jenis ekstrak rumput kebar yang paling efektif menghambat pertumbuhan kapang A. flavus toksigen dan mengetahui mekanisme kerjanya. 2. Mengetahui potensi rumput kebar sebagai antikapang A. flavus dan antiaflatoksin B1 pada media model pangan dan sistem pangan. 3. Mengetahui sitotoksisitas ekstrak daun rumput kebar terhadap sel Vero secara in vitro Hipotesis Penelitian 1. 2. 3.
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah : Ekstrak rumput kebar memiliki potensi sebagai antikapang A. flavus toksigen pada media model pangan. Ekstrak rumput kebar memiliki potensi sebagai agen penghambat produksi aflatoksin B1 dalam sistem pangan. Ekstrak rumput kebar tidak bersifat toksik bagi sel mamalia.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi baru mengenai komponen aktif yang terdapat pada rumput kebar dan kemampuannya sebagai antikapang A. flavus toksigen dan agen penghambat produksi aflatoksin. Diharapkan rumput kebar dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan yang berfungsi sebagai antikapang A. flavus toksigen dan antiaflatoksin B1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui lima tahapan yaitu: (1) Identifikasi fitokimia dan pengujian aktivitas antikapang berbagai jenis ekstrak daun rumput kebar untuk menghambat pertumbuhan A. flavus toksigen, (2) Pengujian mekanisme penghambatan ekstrak daun rumput kebar, (3) Pengujian antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar pada media model pangan, (4) Pengujian aktivitas antikapang dan antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar pada media sistem pangan berbasis jagung dan kacang tanah, (5) Pengujian sitotoksisitas ekstrak daun rumput kebar terhadap sel Vero secara in vitro. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi menggunakan tiga jenis pelarut yaitu pelarut non-polar, semi-polar dan polar yang masing-masing diwakili oleh n-heksana, etil asetat dan metanol. Isolat yang digunakan merupakan isolat aflatoksigen yaitu isolat BCC F0219 yang dicirikan dengan pertumbuhan yang sangat cepat dan produksi konidium yang berlimpah, dan BIO 2236 yang bercirikan produksi konidium sedikit tetapi produksi aflatoksin B1 tinggi. Bagan alir pelaksanaan penelitian ditampilkan pada Gambar 1.
Rumput Kebar Ekstraksi dengan pelarut organik dan akuades
Ekstraksi Bertingkat
Ekstraksi Tunggal
Ekstrak Heksana
Ekstrak Etil asetat
Ekstrak Metanol
Uji fitokimia kualitatif
Tahap I
Uji Aktivitas antikapang
Jenis ekstrak terpilih
Data fitokimia
Media model pangan
Diameter koloni
Ekstrak HeksanaEtil asetat-Metanol
Ekstrak Heksanaetil asetat
Ekstrak Akuades
Produksi konidium
Media sistem pangan
Mekanisme antikapang
Diameter koloni
Produksi AF
Tahap IV Tahap II
Persentase hambatan pertumbuhan, data MIC
Identifikasi golongan senyawa
Persentase hambatan pertumbuhan, persentase hambatan produksi AF
Py/GCMS
Uji sitotoksisitas
Tahap V
Golongan senyawa
CC50 Diameter koloni
Produksi AF
Tahap III Persentase hambatan pertumbuhan, persentase hambatan produksi AF
Gambar 1 Bagan alir pelaksanaan penelitian Daftar Pustaka Alberts JF, Engelbrecht Y, Steyn PS, Holzapfel WH, van Zyl WH. 2006. Biological degradation of aflatoxin B1 by Rhodococcus erythropolis cultures. Int J Food Microbiology. 109:121 – 126 Alberts JF, Gelderblom WCA, Botha A, van Zyl WH. 2009. Degradation of aflatoxin B1 by fungal laccase enzymes. Int J Food Microbiol. 135:47– 52Fernández-Cruz ML, Mansilla ML, Tadeo JL. 2010. Mycotoxins in fruits and their processed products: Analysis, occurrence and health implications. J Adv Res. 1:113–122 Dharmaputra OS, Ambarwati S. 1999. Detoxification effects of ammonium hydroxide on aflatoxin and total nitroge content of maize. Hayati 6(2):2528. Garcia D, Garcia-Cela E, Ramos AJ, Sanchis V, Marín S. 2011. Mould growth and mycotoxin production as affected by Equisetum arvense and Stevia rebaudiana extracts. Food Control. 22: 1378–1384.
Imbiri ANNH, Wanggai F, Maturbongs RA. 2000. An ecological aspect of Biophytum petersianum Klotzsch in Kebar district, Manokwari, Irian Jaya. Beccariana. 2 (2):44 -47. Inngjerdingen M, Inngjerdingen KT, Patel TR, Allen S, Chen X, Rolstad B, Morris GA, Harding SE, Michaelsen TE, Diallo D, Paulsen BS. 2008. Pectic polysaccharides from Biophytum petersianum Klotzsch, and their activation of macrophages and dendritic cells. Glycobiology. 12:1074–1084. Karamang S. 2010. Studi Morfologi, Agrobiofisik dan Produksi Saponin Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) Asal Papua [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Murugan K, Anandaraj K, Al-Sohaibani S. 2013. Antiaflatoxigenic food additive potential of Murraya koenigii : An in vitro and molecular interaction study. Food Res Int. 52:8 – 16 Natarajan D, Shivakumar MS, Srinivasan R. 2010. Antibacterial activity of leaf extracts of Biophytum sensitivum (L.) DC. J Pharm Sci Res. 11:717-720 Reddy KRN, Reddy CS, Muralidharan K. 2009. Potential of botanicals and biocontrol agents on growth and aflatoxin production by Aspergillus flavus infecting rice grains. Food Control. 20:173–178 Saalia FK, Phillips RD. 2010. Degradation of aflatoxins in aqueous buffer in the presence of nucleophiles. Food Control. 21:1066–1069 Sa´nchez E, Heredia N, Garcia S. 2005. Inhibition of growth and mycotoxin production of Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus by extracts of Agave species. Int J Food Microbiol. 98:271 – 279 Santoso B, Kilmaskossu A, Sambodo P. 2007. Effects of saponin from Biophytum petersianum Klotzsch on ruminal fermentation, microbial protein synthesis and nitrogen utilization in goats. Animal Feed Sci Tech. 137:58–68. Syarief R, La Ega, Nurwitri CC. 2012. Mikotoksin Bahan Pangan Ed.2. Bogor (ID): IPB Pr. Topcu A, Bulat T, Wishah R, Boyac IH. 2010. Detoxification of aflatoxin B1 and patulin by Enterococcus faecium strains. Int J Food Microbiol. 139:202– 205
2 ANTIFUNGAL ACTIVITY OF KEBAR GRASS (Biophytum petersianum) LEAF EXTRACTS ON THE GROWTH OF AFLATOXIGENIC Aspergillus flavus IN FOOD MODEL MEDIA1,2) ABSTRACT Some fungal species are toxigenic, for example Aspergillus flavus which can produces aflatoxin. Various methods have been conducted to reduce aflatoxin contamination in foods, among others using antimicrobial compounds derived from natural plant extract. Kebar grass (Biophytum petersianum) is one of herbs that has potency as antimicrobe. The objective of this study was to investigate the effect of three types of model media i.e. carbohydrate- enriched media, fat-enriched media, and protein- enriched media containing kebar grass leaf extract on the growth of aflatoxigenic A. flavus. Kebar grass leaf extract at concentrations of 5, 10, and 20 mg mL -1 was extracted using various solvents, i.e. hexane, ethyl acetate, methanol, hexane-ethyl acetate, hexane-ethyl acetatemethanol, and aquadest. The extracts were tested on the growth of A. flavus. The result showed that kebar grass leaf extract of hexane-ethyl acetate-methanol at concentration of 20 mg mL-1 in carbohydrate-enriched medium, fat-enriched medium, and protein-enriched medium caused highest growth inhibition of A. flavus compared to extracts, i.e. 96.2, 100, and 96.1%, respectively. The other extracts caused growth inhibition less than 90%. The results showed that kebar grass leaf extract can inhibit the growth of toxigenic A. flavus. Keywords: antifungal activity, aflatoxigenic Aspergillus flavus, Biophytum petersianum, food model media ABSTRAK Beberapa spesies kapang bersifat toksigen, diantaranya Aspergillus flavus yang dapat memproduksi aflatoksin. Berbagai metode telah dilakukan untuk mereduksi kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan, diantaranya menggunakan komponen antimikrob yang berasal dari ekstrak tumbuhan alami. Rumput kebar (Biophytum petersianum) adalah salah satu tumbuhan herbal yang berpotensi sebagai antimikrob. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh tiga jenis media model yaitu media kaya karbohidrat, media kaya lemak, dan media kaya protein yang mengandung ekstrak daun rumput kebar terhadap pertumbuhan A. flavus aflatoksigen. Ekstrak rumput kebar pada konsentrasi 5, 10, dan 20 mg mL-1 yang diekstraksi menggunakan heksana, etil asetat, metanol, heksana-etil asetat, heksana-etil asetat-metanol, dan akuades diuji terhadap pertumbuhan A. flavus. 1) 2)
Has been presented in 1 st BIOTROP International Conference, October 3-4th 2013, Bogor-Indonesia. Has been accepted in International Journal of Sciences: Basic and Applied Research, Vol. 17 No. 2, 2014
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bertingkat heksana-etil asetatmetanol rumput kebar pada konsentrasi 20 mg mL-1 di media kaya karbohidrat, media kaya lemak, dan media kaya protein menyebabkan hambatan pertumbuhan A. flavus tertinggi dibandingkan dengan jenis ekstrak lainnya, yaitu berturut-turut 96.2, 100, dan 96.1%. Jenis ekstrak lainnya menyebabkan hambatan pertumbuhan kurang dari 90%. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini mengindikasikan bahwa ekstrak daun rumput kebar dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan A. flavus toksigen. Kata kunci: aktivitas antikapang, Aspergillus flavus aflatoksigen, Biophytum petersianum, media model pangan 1.
Introduction
Foods are easily spoiled by either bacteria or fungi. During pre and postharvest handling foodstuffs can be infected by fungi. Some fungal species among others Aspergilus flavus can produce toxins (aflatoxins) which can cause liver cancer on human and animal [1]. Many efforts have been done to extend the shelf life of foods and its safety, for example using thermal and non-thermal processing techniques or the use of preservatives such as synthetic or natural antioxidants and antimicrobes. Plant metabolites have been known to have antimicrobial and antioxidant activities and some of them are classified as Generally Recognized as Safe Substances (GRAS) [2,3]. One of the biological material that could be used as antimicrobe is kebar grass (Biophytum petersianum), a plant belong to family Oxalidaceae. In Indonesia, the plant is found in Kebar District, West Papua. The plant grows naturally and spread almost all over Kebar District [4]. Besides in Kebar District, this plant is also found in Southeast Asia and Africa, especially in Mali region. Mali community use this plant for the treatment of wounds, inflammation, ulcers, malaria, and fever [5]. Papuan community, especially in Kebar District often use this plant as a fertility drug. It was reported that kebar grass contains bioactive compounds such as alkaloids, saponins, tannins, phenolic, flavonoids, triterpenoids, steroids and glycosides compounds [4,6]. As kebar grass contains fairly complete bioactive groups, therefore this plant is potential could be used as antimicrobe. [7] reported that the leaf extract of kebar grass has antibacterial activity against Gram-positive bacteria (Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae) and Gram-negative bacteria (Klebsiella pneumonia, Salmonella Typhii, Proteus vulgaris, Escherichia coli), but there are no reports concerning the effect of kebar grass against toxigenic mold. Foodstuff can consist of carbohydrate, fat and protein. Kind of substrates is a factor which will determine the growth and aflatoxin content produced by aflatoxigenic A. flavus. In order to be applied as A. flavus growth inhibitor on food, it is necessary to study the effects of kebar grass leaf extract on the growth of aflatoxigenic A. flavus in food model. The objective of this study was to study the effect of three types of model media i.e. carbohydrate-enriched media, fat-enriched media, and protein-enriched media containing kebar grass extract on the growth of aflatoxigenic A. flavus.
2.
Materials and Methods
2.1 Extraction and Determination of Phytochemicals Content of Kebar Grass Leaf Extracts Kebar grass leaves and aflatoxigenic A. flavus Kebar grass were collected from Kebar district, Manokwari county, West Papua province, in February, 2013. Identification of kebar grass was confirmed by Indonesian Institute of Science (LIPI). Leaves of kebar grass were then air-dried for about 2 weeks until their colour turned into golden brown and they are easily broken. The leaves were then crushed into 40 mesh coarse powder using a blender (Philips). One strain of aflatoxigenic A. flavus BCCF0219 obtained from Indonesian Research Center for Veterinary Science culture collection was used in this study. Chemicals All chemicals were of analytical grade purchased from JT. Baker, USA. Single extraction using organic solvents A method of [8] was used to obtain the extract of kebar grass leaves. Powder of kebar grass leaves was extracted using maceration method and various organic solvents, i.e. a non-polar (n-hexane), semi-polar (ethyl acetate), and polar organic solvent (methanol). The kebar grass powder (200 g) was placed in a glass jar (volume 1000 mL), then 800 mL n-hexane was added. Its mixture was macerated for one hour at room temperature (28 – 30 °C), stirred in a shaker that combined with sonification for 30 minutes, followed by further maceration for one hour then filtered using Whatman No.1 filter paper. The extraction was conducted three times. The extract was collected and dried using a rotary evaporator to form a thick concentrate. The remaining solvent was removed using nitrogen gas. The yield of extract was calculated as the percentage of extract (mg extract/100 g kebar grass powder). Extraction using ethyl acetate and methanol was conducted with the same way. The extraction process was performed in triplicate. The extracts stored at 4°C until used. Extraction using distilled water Kebar grass leaves were extracted in distilled water (60 0C) for one hour. The extract was centrifuged at 5000 xg for 10 minutes, the supernatant was collected and dried using freeze drier to form a powder and the dry weight of extract was determined. The yield of extract was calculated as the percentage of extract (mg extract/100 g kebar grass powder). The extraction process was performed in triplicate. The extract was stored at 4°C until used [9]. Successively extraction by using n-hexane-ethyl acetate-methanol Powdered kebar grass (200 g) was extracted using maceration (1 hr) method combined with sonication (30 min) at room temperature (28 – 30 °C) using three types of organic solvent, i.e. n-hexane, ethyl acetate, and methanol solvents, followed by Whatman No.1 paper filtration. Maceration was repeated for 2 times and the filtrate was collected. The remaining residue of the plant material was dried for 24 hours and extracted using ethyl acetate and methanol solvent
sequentially in a similar manner. The filtrate was collected and dried using a rotary evaporator to form a thick concentrate. The hexane-ethyl acetate-methanol filtrate was called as HEM extract. Residual solvent in HEM extract was removed using nitrogen gas [8]. The extract was then stored at 4 °C until used. Phytochemical test Phytochemical tests were performed on crude organic extract and aqueous extract of kebar grass leaves. The tests were conducted to determine the content of flavonoids, tannins, alkaloids, phenylhydroquinon, triterpenoids, and saponins [10]. 2.2. Antifungal Activity Screening of Kebar Grass Extract in Food Model Media Preparation of agar medium enriched with carbohydrate, fat, and protein Carbohydrate-enriched medium was prepared by the addition of 30% (w/v) glucose on Bacto Agar. The medium was sterilized in an autoclave at 121 °C for 15 minutes [11]. Medium enriched with fat was prepared based on [12]. One hundred grams of grated coconut flesh was homogenized using 300 mL of hot distilled water for five minutes. The mixture was filtered adjusted its pH into 7.0 using NaOH 2M. Agar powder was added (20 g L -1 ), and sterilized in an autoclave at 121°C for 15 minutes. Protein-enriched medium was prepared using the method of [13] with a slight modification on the type of protein source. As much as 30% (w/v) skim milk obtained from Difco Laboratory was added to Bacto Agar medium and sterilized in an autoclave at 121°C for 10 minutes. Preparation of A. flavus conidia The conidia of A. flavus were prepared using the method of [14] with a slight modification. The fungus was cultured in PDA slant and incubated at 28°C for 5 days. The conidia were harvested by adding 10 mL of sterile distilled water and collected aseptically. Conidial suspension was dissolved in Tween 80 (0.5%) and centrifuged (2000xg) at 28 – 30 °C for five minutes. Conidial concentration was calculated using a haemacytometer and adjusted to 106 CFU mL-1. Mycelial Growth Assay The effect of kebar grass extract on mycelial growth of A. flavus was tested using [15] and [16] methods. Each kebar grass extract dissolved in their solvent to reach a concentration of 50 mg mL-1, pipetted aseptically onto the food model media to produce concentration 5, 10, 20, 50 mg mL-1. Ten mililitres model medium containing extract was poured into each Petri dish (9 cm in diameter) and left it until solid. Five microlitres of conidial suspension of A. flavus was inoculated on the surface of each test media, and then incubated at room temperature (28 –30 °C) for 10 days. The growth of mycelia was determined by measuring the diameter of colony (in mm) every 24 hours. As control, the fungus was cultured in food model media without kebar grass extract. Two replicates were
used for each treatment. The percentage of inhibitory growth was determined using the following formula: (dc - dt) Growth Inhibition = X 100%, dc where dc = diameter of fungal colony in medium without kebar grass extract (mm) dt = diameter of fungal colony in medium containing the extract of kebar grass (mm) 2.3. Statistical Analyses The results were analyzed using Microsoft Excel 2007. All the values are expressed as means ± standard deviation (n=2). 3. Results and Discussion 3.1. Yield and Physical Properties of Kebar Grass Extracts Yield and physical properties of kebar grass extracted with single solvent and the combination of various solvents is presented in Table 2.1. Extraction using hexane-ethyl acetate produced the lowest extract yield (1.55%), while a single extraction of methanol produced the highest yield (14.17%). Extract yield of hexane-ethyl acetate was low, because some components were soluble in nonpolar and semipolar solvents, such as steroids were extracted by nonpolar solvent, therefore the less that can be extracted by a semipolar solvent. The yield of a polar extract, either extracted using a single solvent (methanol) or graded solvent (hexane-ethyl acetate-methanol) was high, because of the more polar components were able to be extracted well using polar solvents. Table 2.1 Yield and physical properties of kebar grass extract Physical properties Colour Appearance
Yield (% w/w)
n-Hexane Ethyl acetate extract extract
Greenish brown Viscous, oily
Brown
2.94
6.15
Viscous
Type of extracts Methanol n-Hexane- n-Hexane-ethyl extract ethyl acetate acetateextract methanol extract Dark Greenish Dark brown brown brown Fluid, Viscous Fluid, somewhat somewhat viscous viscous 14.17 1.55 12.05
Aquadest extract
Murky brown Brown powder 3.28
The difference of solvent polarity resulted different phytochemical components of extract. Phytochemical components produced by various organic solvents is presented in Table 2.2. Hexane can extract nonpolar components such as waxes, fats and oils, including essential oils. However, extraction using hexane also resulted in less
flavonoids. Other components that could be extracted using hexane solvent are steroids and triterpenoids. Extraction using ethyl acetate can extract alkaloids, flavonoids, phenylhydroquinon, steroids and triterpenoids, whereas extraction using methanol can extract components such as alkaloids, flavonoids, phenolhydroquinon, steroids, triterpenoids, tannins and saponins. According to [10], alkaloids are components of semipolar alkaline containing one or more nitrogen atoms and are widely used in medicine. Alkaloids are also often used as an antibacterial ingredient that is bactericidal [17,8]. Table 2.2 Phytochemicals of kebar grass extracts
Group Compound
Alkaloids Flavonoids Phenolhydroquinon Steroids Triterpenoids Tannins Saponins
Kebar grass Hexane powder extract
+ +2 +2 + +2 +3 +3
+ +2 + -
Type of extracts Ethyl Methanol Hexaneacetate extract ethyl extract acetate extract + +2 +2 +3 + -
+ +3 +3 + + +2 +2
+2 + +3 + -
Hexane- Aquadest ethyl extract acetatemethanol extract +3 +3 +2 +3 +2 +2 + + + + +3 +2 +
Note : + = weak positive; +2 = positive; +3 = strong positive ; - = not detected
Another class of compounds extracted, either using nonpolar, semipolar or polar solvents are flavonoids and phenolhydroquinon, but more strongly extracted in polar solvents, due to these compounds are polar [18]. As an antioxidant [19], flavonoids and phenolhydroquinon also have antimicrobial properties [18,20]. Steroids strongly extracted by hexane and ethyl acetate solvents. This is because most of the steroid is nonpolar and semipolar, so it can be extracted using nonpolar and semipolar solvents. Triterpenoids extracted using hexane, ethyl acetate, and methanol solvent, can be divided into four groups, namely true triterpene, steroids, saponins and cardiac glycosides [10]. Triterpenoids are non-volatile terpenoid compounds. Terpenoids are the building blocks of essential oils. Besides having biological activity, triterpenoids also have antimicrobial properties [21]. Tannins and saponins are highly polar compounds, they can be extracted only using polar solvents. Both classes of compounds have antimicrobial activity [18]. Saponins are surface active compounds and it is like soap, which can be detected by their ability to form foam and hemolyzed blood cells. Saponin has expectorant action, which is very useful in the management of upper respiratory tract inflammation. Saponins was also reported to have antidiabetic properties [22]. 3.2. Antifungal Activity of Kebar Grass Single Extract Extracted Using Single Solvent Antifungal activity of kebar grass extracts at single extraction solvents (hexane, ethyl acetate, methanol, and distilled water) and at single concentrations (5, 10, 20, and 50 mg mL -1) in three types of media
Growth Inhibition (%)
(carbohydrates-enriched, fat-enriched and protein-enriched medium) is presented in Figure 2.1. 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20
Carbohydrate Fat Protein
Type of Single Extracts
Figure 2.1 Effect of type and concentration of a single extract of kebar grass on growth inhibitory of A.flavus BCC F0219 in three types media models The growth inhibition of A. flavus at concentration 50 mg mL-1 of methanol and ethyl acetate extract in carbohydrate-enriched medium was 100%, while hexane extract at concentration of 50 mg mL -1 caused 89.8% of growth inhibition. At a lower extract concentrations (5, 10, and 20 mg mL -1) all types of extracts caused growth inhibition of less than 50%. At concentration of 20 mg mL-1 ethyl acetate extract caused growth inhibitory higher than n-hexane and methanol extracts. Observation on mycelila growth of A. flavus on carbohydrate-enriched medium after 10x24-hour incubation after being treated with extract is presented in Figure 2.2(a-c).
(a)
(b)
(c)
Figure 2.2 The growth of A. flavus BCC F0219 on carbohydrate-enriched medium treated using 20 mg mL-1 of ethyl acetate extract (a), negative control (b), and solvent control (c) after 10x24 hours of incubation Figure 2.1 showed that on fat-enriched medium, methanol and ethyl acetate extracts at a concentration of 50 mg mL -1 caused growth inhibition of
A. flavus more than 90%, i.e. 100 and 96.3% respectively, while hexane and water distilled extracts caused only 81.3 and 45.4% growth inhibition, respectively. At lower concentrations of 5, 10, and 20 mg mL -1, all types of extracts caused growth inhibition less than 90%. At concentration of 20 mg mL-1 methanol extract caused growth inhibition higher than n-hexane and ethyl acetate extracts. Mycelial growth of A. flavus on fat-enriched medium treated using methanol extract after 10x24-hours of incubation are presented in Figure 2.3(a-c).
(a)
(b)
(c)
Figure 2.3 The growth of A. flavus BCC F0219 on fat-enriched medium treated using 20 mg mL-1 of methanol extract (a), negative control (b), and solvent control (c) after 10x24 hours of incubation Inhibitions of kebar grass extract using methanol, ethyl acetate and hexane at concentration of 50 mg mL-1 each in protein-enriched medium were 100, 98.6, and 100%, respectively, while at a lower concentration of 5, 10, and 20 mg mL-1, all types of extracts caused growth inhibition less than 90%. At concentration of 20 mg mL-1 methanol extract caused growth inhibition higher than n-hexane and ethyl acetate extracts. Mycelial growth of A. flavus after 10x24-hours of incubation and after treated using extract is presented in Figure 2.4(a-d).
(a)
(b)
(c)
Figure 2.4 The growth of A. flavus BCC F0219 on protein-enriched medium treated using 20 mg mL-1 of methanol extract (a), negative control (b), and solvent control (c) after 10x24 hours of incubation Apart from the type of extract, it is assumed that the difference of the pattern of growth inhibition is caused by the different content of active compounds in each kind of extract. In methanol extract, all of antimicrobial active components can be extracted, while in non-polar and semi-polar extracts only specific components were extracted. In methanol extract, flavonoids and phenolhydroquinons were detected in larger amount compared to other kinds of extracts, whereas tannins and saponins were only detected in methanol extract.
Tannins was reported to have physiological astringent properties, which hasten wound healing and ameliorate inflamed mucus membrane, it also has hemostatic properties [22]. Saponin has the property of precipitating and coagulating red blood cells. It is known that saponins can change the membrane permeability leading to the rupture of the cell [23]. 3.3. Antifungal Activity of Kebar Grass Graded Solvent Extract
Growth Inhibitory (%)
In carbohydrate-enriched medium, hexane-ethyl acetate (HE) extract caused growth inhibition of less than 90%, but the percentage of inhibition was higher than other medium models, on the concentration of extract 5, 10, or 20 mg mL-1 (Figure 2.5). Hexane-ethyl acetate-methanol (HEM) extract at concentrations of 10 and 20 mg mL-1 caused growth inhibition 96.4 and 100%, respectively (Figure 2.5 and 2.6). 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20 -30
Carbohydrate Fat Protein
Type of Graded Extracts
Figure 2.5 Effect of type and concentration of kebar grass extract on growth inhibitory of A. flavus BCC F0219 in various media models
(a)
(b)
(c)
Figure 2.6 The growth of A. flavus BCC F0219 on carbohydrate-enriched medium treated using 10 mg mL-1 of n-hexane-ethyl acetate-methanol extract (a), negative control (b), and solvent control (c) after 10x24 hours of incubation
In fat-enriched medium, HE extract did not cause any inhibition on the growth of A. flavus, and tended to stimulate the growth of A. flavus (Figure 2.5). According to [10] steroid compounds belonging to the class of triterpenes, some of which include plant sterols that are only found in low level plants such of yeasts and molds. Ergosterol is a major component of the molds cell wall. The presence of high steroid in hexane-ethyl acetate extract did not inhibit the growth of A. flavus, otherwise a supporter of the A. flavus cell wall synthesis. Hexane-ethyl acetate-methanol (HEM) extract (polar extract) at concentration of 20 mg mL-1 caused 96.2% stunted growth of A. flavus which was higher than the single extract. It is assumed that compounds extracted in graded extraction was more pure and has stronger activity. Mycelial growth of A. flavus on fat-enriched medium after 10x24-hours of incubation and after treated using extract is presented in Figure 2.7.
(a)
(b)
(c)
Figure 2.7 The growth of A. flavus BCC F0219 on fat-enriched medium treated using 20 mg mL-1 of n-hexane-ethyl acetate-methanol extract (a), negative control (b), and solvent control (c) after 10x24 hours of incubation Experiment on the protein-enriched medium showed that the kind of hexane-ethyl acetate extract with a concentration of 20 mg mL-1 caused growth inhibition less than 90%, while the kind of hexane-ethyl acetate-methanol extract caused growth inhibition of 96.1%. The lower concentration of ethyl acetatehexane-methanol extract produces less than 90% inhibition. Mycelial growth of A. flavus on protein-enriched medium after 10x24-hours of incubation and after treated using extract is presented in Figure 2.8.
(a)
(b)
(c)
Figure 2.8 The growth of A. flavus BCC F0219 on protein-enriched medium treated using 20 mg mL-1 of n-hexane-ethyl acetate-methanol extract (a), negative control (b), and solvent control (c) after 10x24 hours of incubation
Extract HEM rich of flavonoids, phenolhydroquinon, steroids, triterpenoids, tannins, and saponins. The antifungal property in this study could be due to flavonoids and tannins contents of the extract. They are known to have appreciable antimicrobial activities [22]. Other while triterpenoids can reduces the synthesis of ergosterol fungal cell membrane component and cause defective cell wall formation and leakage of cellular contents [24]. 4.
Conclusion
Kebar grass leaf extract was able to inhibit the growth of A. flavus in food model media. The most effective extract tested (20 mg mL-1) with growth inhibitory 96.1 – 100% was extract of hexane-ethyl acetate-methanol (HEM). Therefore, the kebar grass leaf could be recommended as antifungal of aflatoxigenic A. flavus. 5.
Acknowledgment
The authors acknowledge the financial support of the Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP). References J.I. Pitt and A.D. Hocking. Fungi and Food Spoilage. New York: Springer, 2009. 2. C. Proestos, N. Chorianopoulos, G.J. Nychas and M. Komaitis. RP-HPLC analysis of the phenolic compounds of plant extracts : Investigation of their antioxidant capacity and antimicrobial activity. J Agri and Food Chem., Vol. 53, 1190–1195, 2005. 3. M. Trigui, A.B. Hsouna, S. Tounsi and S. Jaoua. Chemical composition and evaluation of antioxidant and antimicrobial activities of Tunisian Thymelaea hirsuta with special reference to its mode of action. Indust Crops and Prod., Vol. 41, 150-157, 2013. B. Santoso, A. Kilmaskossu and P. Sambodo. Effects of saponin from 4. Biophytum petersianum Klotzsch on ruminal fermentation, microbial protein synthesis and nitrogen utilization in goats. Animal Feed Sci and Tech., Vol. 137, 58–68, 2007. 5. M. Inngjerdingen, K.T. Inngjerdingen, T.R. Patel, S. Allen, X. Chen, B. Rolstad, G.A. Morris, S.E. Harding, T.E. Michaelsen, D. Diallo and B.S. Paulsen. Pectic polysaccharides from Biophytum petersianum Klotzsch, and their activation of macrophages and dendritic cells. Glycobiol., Vol. 12, 1074–1084, 2008. 6. S. Karamang. Studi morfologi, agrobiofisik dan produksi saponin Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) asal Papua [tesis].Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 2010. 7. D. Natarajan, M.S. Shivakumar and R. Srinivasan. Antibacterial activity of leaf extracts of Biophytum sensitivum (L.) DC. J Pharm Sci and Res., Vol. 11, 717-720, 2010. 8. Y. Deng, Y. Yu, H. Luo, M. Zhang, X. Qin and L. Li. Antimicrobial activity of extract and two alkaloids from traditional Chinese medicinal plant Stephania dielsiana. Food Chem. Vol. 124, 1556–1 560, 2011. 6. 1.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
S.H. Lee, K.S. Chang, M.S. Su, Y.S. Huang and H.D. Jang. Effects of some Chinese medicinal plant extracts on five different fungi. Food Control, Vol. 18, 547–1554, 2007. J.B. Harborne. Metode Fitokimia : Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Terbitan kedua. Bandung: Penerbit ITB, 2006. C.N. Shih and E.H. Marth. Some cultural conditions that control biosynthesis of lipid and aflatoxin by Aspergillus parasiticus. App Microbiol., Vol. 27, 452-456, 1974. A. Riba, N. Boura, S. Mokrane, F. Mathieu, A. Lebrihi and N. Sabaou. Aspergillus section Flavi and aflatoxins in Algerian wheat and derived products. Food and Chem Toxicol., Vol. 48, 2772-2777, 2010. J.E. Mellon and P.J. Cotty. Effects of oilseed storage proteins on aflatoxin production by Aspergillus flavus. JAOCS, Vol. 75, 1085-1089, 1998. G.S. Joseph, G.K. Jayaprakasha, A.T. Selvi, B.S. Jena and K.K. Sakariah. Antiaflatoxigenic and antioxidant activities of Garcinia extracts. Int J Microbiol.,Vol. 101, 153-160, 2005. V.G. de Billerbeck, C.G. Roques, J.M. Bessière, J.L. Fonvieille and R. Dargent. Effects of Cymbopogon nardus (L.) W. Watson essential oil on the growth and morphogenesis of Aspergillus niger. Can J Microbiol. Vol. 47, 9–17, 2001. J. Tian, X. Ban, H. Zeng, J. He, B. Huang and Y. Wang. Chemical composition and antifungal activity of essential oil from Cicuta virosa L. var. latisecta Celak. Int J Food Microbiol., Vol. 145, 464– 470, 2011. D.E. Okwu and M.E. Okwu. Chemical composition of Spondias mombin Linn plant parts. J Sustain Agric Environ., Vol. 6, 140-147, 2004. H. Jaberian, K. Piri and J. Nazari. Phytochemical composition and in vitro antimicrobial and antioxidant activities of some medicinal plants. Food Chem., Vol. 136, 237 –244, 2013. M.B. Sghaier, W. Bhouria, I. Bouhlela, I. Skandrania, J. Boubakera, L. Chekir-Ghediraa and K. Ghediraa. Inhibitory effect of Teucrium ramosissimum extracts on aflatoxin B 1, benzo(a)pyrene, 4 -nitroo-phenylenediamine and sodium azide induced mutagenicity : Corelation with antioxidant activity. South African J Botany, Vol. 77, 73 0- 740, 2011. E.O. Sousa, J.B.T. Rocha, L.M. Barros, A.R.C. Barros and J.G.M. Costa. Phytochemical characterization and in vitro antioxidant properties of Lantana camara L. and Lantana montevidensis Briq. Indust Crops and Prod., Vol. 43, 517–522, 2013. P.J. Houghton, A.Y. Mensah, N. Iessa and L.Y. Hong. Terpenoids in Buddleja: relevance to chemosystematics, chemical ecology and biological activity. Phytochem., Vol. 64, 385–393, 2003. S. Sanni, P.A. Onyeyili and F.S. Sanni. Phytochemical analysis, elemental determination and some in vitro antibacterial activity of Ocimum basilicum L. leaf extracts. Res J Phyto., Vol. 2, 77-83, 2008.
23.
24.
G. Brusotti, S. Tosi, A. Tava, S. Picco, A.M. Grisoli, P.I. Cesari and G. Caccialanza. Antimicrobial and phytochemical properties of stem bark extracts from Piptadeniastrum africanum (Hook f.) Brenan. Indust Crops and Prod, Vol.43, 612–616, 2013. E. Pinto, L. Vale-Silva, C. Cavaleiro and L. Salguerro. Antifungal activity of the clove essential oil from Syzygium aromaticum on Candida, Aspergillus and dermatophyte species. J Med Microbiol., Vol. 58, 14541462, 2009.
3 EFFECT OF KEBAR GRASS (Biophytum petersianum) LEAF EXTRACT ON THE GROWTH AND MORPHOLOGICAL STRUCTURE OF AFLATOXIGENIC Aspergillus flavus3,4) ABSTRACT The objective of this study was to investigate antifungal activity of kebar grass extract (KGE) and its effect on the mycelial growth, conidiation and morphological structure of aflatoxigenic Aspergillus flavus BCCF0219 and A. flavus BIO 2236 in three types of model media, i.e. carbohdyrate-enriched medium, fat-enriched medium and protein-enriched medium. Each type of model medium containing five concentrations of KGE, i.e. 12, 14, 16, 18, and 20 mg mL-1. The best A. flavus BCCF0219 growth inhibition activity of KGE for each media was as followed : 12 mg mL-1 was 97.9% (carbohydrate-enriched medium), 14 mg mL-1 was 93.5% (fat-enriched medium) and 14 mg mL-1 was 90.8% (protein-enriched medium). The percentage of growth inhibition of A. flavus BIO 2236 caused by KGE at a concentration of 12 mg mL-1 was 93.9% (carbohydrateenriched medium), 16 mg mL-1 was 99.4% (fat-enriched medium) and 16 mg mL1 was 93.8% (protein-enriched medium). Based on SEM observation results, it was found that the mechanisms involved in fungal growth inhibitory of KGE were by morphological alterations of hyphal development, even the collapse of the entire hyphae. These findings indicated the potential of KGE as natural anti aflatoxigenic agent. Keywords: aflatoxigenic, Aspergillus flavus, Biophytum petersianum, food model media, kebar grass Introduction Kebar grass (Biophytum petersianum), belonging to the family Oxalidaceae, is a native plant of Kebar District, West Papua, Indonesia. The plant grows naturally and distributed almost all over Kebar District (Santoso et al., 2007). This plant is also found in Southeast Asia and Africa, especially in Mali region. Mali community uses this plant for treatment of wounds, inflammation, ulcers, malaria, and fever (Inngjerdingen et al., 2008). Papuan community, especially in Kebar District, often uses this plant as a fertility drug. Several studies reported that kebar grass has potential as antibacterial, hypoglycemic agent, immunomodulatory agent, chemoprotective agent, hypocholesterolemic agent, apoptosis, anti-inflammatory, antitumor and prostaglandin biosynthesis (Natarajan et al., 2010). Furthermore, the use of methanol extract of kebar grass can affect the expression of COX-2 (Guruvayoorappan and Kuttan 2008) and stimulate immune system cells in mice (Inngjerdingen et al., 2008). Some phenolic components that affect the system COX-1/COX-2 also have been isolated by Bucar et al. (1998). Kebar grass extract also shows the effect of apoptosis on B16F-10 cells and is able to regulate NO production and cytokine-associated macrophages to tumor formation (Guruvayoorappan and Kuttan, 2007). 3) Has been presented in International Symposium on Tropical Fungi, September 10-11th 2013, Bogor-Indonesia 4) Has been submitted to International Journal of Food Science and Technology
During storage fungal growth on foodstuffs can increase the moisture content and humidity of the storage material. In this condition, the damage occurs so fast, consequently nitrogen source materials needed to grow will be reduced and fungi should maintain their life by utilizing the carbon source in the substrate as a source of energy. This situation cause fungi produce secondary metabolite, among others mycotoxins (Syarief et al., 2012). Fungal contamination and their mycotoxin production causes 25 – 40% or even more post-harvest economic losses in developing country. About 4.5 billion people in under developed countries are exposed to mycotoxins (Murugan et al., 2013). Aflatoxins are mycotoxins produced by A. flavus and A. parasiticus that are hepatotoxic, mutagenic, teratogenic, and carcinogenic to humans and animals (Alberts et al., 2006). Besides harmful to human and animal health, aflatoxin contamination in food and feed also resulted in loss of significant economic ranged from U.S. $ 85-100 million in the USA (Alberts et al., 2009), so that contamination of aflatoxigenic fungi received worldwide attention (Sohaibani et al., 2011 ). Type of substrates is a factor which determines aflatoxin content produced by aflatoxigenic A. flavus. Since it is difficult to avoid aflatoxin contamination completely, a technology is needed to reduce aflatoxin contamination without affecting the flavor and nutritional value of food. As foodstuff can consist of carbohydrate, fat and protein, therefore it is necessary to investigate the effects of kebar grass in inhibiting the growth of aflatoxigenic A. flavus in food system model and the mechanism of the growth inhibition itself. Selection on the type of kebar grass extract that caused the highest percentage of inhibition of A. flavus growth has been conducted. In our preliminary study, the fungal growth inhibitory activity of six kebar grass extracts (KGE) has been examined, i.e. four extracts from single solvent extraction using n-hexane, ethyl acetate, methanol, and water. The other two extracts were obtained from successively extracted of n-hexane-EtOAc-MeOH and n-hexaneEtOAc. The result showed that n-hexane-EtOAc-MeOH of KGE caused the highest percentage of inhibition of A.flavus BCCF0219 and A.flavus BIO 2236 growth. In this study, a minimum inhibitory concentration (MIC) of KGE against the growth of aflatoxigenic A. flavus and the mechanism involved were determined. The chemical profile of KGE was also analyzed using pyrolisis GC-MS. Materials and Methods Plant materials Kebar grass leaves was collected from Kebar district, Manokwari county, West Papua province, in February, 2013. Identification of kebar grass was confirmed by Indonesian Institute of Science (LIPI). Chemicals All solvents were analytical grade and purchased from JT. Baker, USA. Plant extracts preparation Kebar grass leaves were air-dried for about 14 days or until the colour turned into golden brown and they were easily broken. The leaves were then
crushed into coarse powder about 40 mesh using a blender. As much as 200 g powdered kebar grass was extracted using maceration (1 hr) method combined with sonication (30 min) at room temperature (28 °C) using three types of organic solvent, i.e. n-hexane, ethyl acetate, and methanol solvents, followed by Whatman No.1 paper filtration. Maceration was repeated 2 times and the filtrate was collected. The remaining residue of the plant material was dried for 24 hours and extracted using ethyl acetate and methanol solvents sequentially in a similar manner. The filtrate was collected and dried using a rotary evaporator. The hexane-ethyl acetate-methanol filtrate was called as HEM extract. Residual solvent in HEM extract was removed using nitrogen gas (Deng et al., 2011). The extract was then stored at 4 °C before being used for chemical composition analysis, antifungal activity and morphological changes of fungal structure. Fungal isolates Isolates of A. flavus BCCF0219 and A. flavus BIO 2236 were obtained from the Research Institute for Veterinary Science (BBLITVET) and SEAMEO BIOTROP Culture Collections, respectively. Preparation of fungal conidia Fungal conidia were prepared using a method by Joseph et al. (2005) with a slight modification. Each fungal isolates was cultured in Potato Dextrose Agar (PDA; Oxoid, England) slant and incubated at 28°C for 5 days. The conidia were harvested by adding 10 mL of sterile distilled water and collected aseptically using a sterile inoculation loop. Conidial suspension was dissolved in Tween 80 (0.5%) and centrifuged (2000xg) at 28°C for 5 minutes. Conidial concentration was calculated using a haemacytometer and adjusted to 106 CFU mL-1. The suspension was used to test the effect of kebar grass extract in inhibiting the growth and morphological changes of A. flavus isolates. Preparation of agar media enriched with carbohydrate, fat, and protein Carbohydrate-enriched medium was prepared by the addition of 30% (w/v) glucose (E Merck, Germany) on Bacto Agar (Difco, USA) (Shih and Marth, 1974). Fat-enriched medium was prepared using a method of Riba et al. (2010). As much as 100 g of grated coconut flesh was homogenized using 300 mL of heat distilled water for five minutes. The mixture was filtered using four layers of cheesecloth. The filter obtained was adjusted its pH into 7.0 using NaOH 2N. Agar powder (Difco, USA) was added (20 g L-1). Both of media were sterilized in an autoclave at 121°C for 15 minutes. Protein-enriched medium was prepared using a method of Mellon and Cotty (1998) with a slight modification. As much as 30% (w/v) skim milk (Difco, USA) was added to Bacto Agar medium and sterilized in an autoclave at 121°C for 10 minutes. Py-GC/MS analyses of kebar grass extract Samples of kebar grass polar extract was pyrolyzed by using a CDS Pyroprobe 2020iS connected on line to a gas chromatograph with a Shimadzu GC–MS mass detector (GCMS-QP2010). Samples were introduced into a quartz capillary tube in each experiment. The capillary was automatically introduced into
the center of a platinum resistor which heats up in an inert atmosphere. The products generated in pyrolysis were rapidly removed from the reaction zone (quartz capillary surrounded by the resistor) using a flow of helium, through a transfer line at the temperature of 280 °C until introduced into the gas chromatograph provided with a mass spectrometry detector for analysis. Pyrolysis temperature was 400 °C. GC analysis was carried out using a Rtx-5MS fused silica capillary column (60 m×0.25 mm×0.25 µm). Column temperature was 50 – 280 °C. Helium was used as a carrier gas at a constant pressure of 100 kPa. Identification of different compounds obtained in this analysis was performed by using the Wiley 7 mass spectral library (Valdés et al., 2013). Mycelial Growth Assay The effect of kebar grass extract on mycelial growth of the two A. flavus isolates was conducted using Tian et al. (2011) methods. The concentrations of kebar grass extract added to food model media were 12, 14, 16, 18, and 20 mg mL-1. Ten milliliters of each test media containing each extract concentration was poured into medium in a Petri dish (9 cm in diameter) and left until it was solid. Five microliters of conidial suspension of each A. flavus isolate was inoculated on the surface of each test media, and incubated at 28 °C for 10 days. The diameter of colony (in millimeter) was observed every 24 hours. Fungal cultured in food model media without kebar grass extract was used as negative control. Two replicates were used for each treatment combination, including the control. The percentage of growth inhibition was calculated using following formula: Growth inhibition = (dc - dt)/dc X 100%, where dc = diameter of control colony (in mm) d t = diameter of fungal colony in treatment set (in mm) The concentration of extract that causing >90% of growth inhibitory activity was expressed as Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and it was used in subsequent test (Manso et al., 2013). Sample preparation for scanning electron microscopy analysis A mycelial disc (2-mm diameter) was taken at the periphery of the colony grown on the cellophane disc placed on the model media with 0, 1, 1.5, 2 MIC with and without kebar grass polar extract after ten days of incubation. It was then dried at 60 °C on a small glass slide (1 cm×1 cm). Samples were fixed in 2.5% glutaraldehyde for 30 min at room temperature. They were rinsed in distilled water (three times, 15 min each). The specimens were then dehydrated in a graded ethanol series (30, 50, 70%, 10 min for each ethanol dilution and 30 min in 100% ethanol). The samples were then coated with gold palladium using an ion sputtercutter (JEOL JFC 1100). The preparations were observed using a SEM Zeiss EVO 50 (Germany) (Billerbeck et al., 2001).
Results Chemical Composition of Methanol Extracts The chemical composition of kebar grass extracts extracted by graded extraction using hexane-ethyl acetate-methanol solvents is presented in Table 3.1. A total of 63 components were identified using pyrolysis/gas chromatography/mass spectrometry (Py/GC/MS), consist of a class of carboxylic acids (6.39%), amines (1.56%), phenolics (26.56%), terpenes (15.60%), alcohols (10.94%), hydrocarbons compounds (20.3 %), benzene derivatives (6.25%), carbohydrate derivatives (4.69%), steroidal saponin (1.56%), haloalkane (1.56%), and sterols (3.13%). A total of 10 components were left unidentified. Table 3.1 Chemical composition of kebar grass HEM extract Compound
Group
%a)
Trimethylamine
Amine
0.29
Izal
Phenol
0.68
1- Menthene
Terpene
0.20
Acetic acid
Carboxylic acid
0.77
l-Limonene
Terpene
2.35
1,3-Cyclopentadien, 5,5-Dimethyl-2-Propyl-
Terpene
0.11
2,6-Dimethylstyrene
Benzene derivatives
0.22
Guaiacol
Phenol
0.81
Beta.-Ocimene-X
Terpene
0.14
3,5,5-Trimethyl-2-cyclohexenone
Benzene derivatives
0.10
1,5,8-p-menthatriene
Terpene
0.07
trans-p-Mentha-1(7),8-dien-2-ol
Terpene
0.07
p-Ethylphenol
Phenol
0.15
2-Methoxy-4-methylphenol
Phenol
0.13
Pyrocatechol
Phenol
2.21
2,3-Dihydro-benzofuran
Benzene derivatives
0.39
4-Cyclopentene-1,3-dione, 4-propyl-
Alicyclic hydrocarbons
0.05
3-Methoxy-pyrocatechol
Phenol
0.14
p-Ethylguaiacol
Phenol
0.30
Hydroquinone
Phenol
0.33
4-methyl catechol
Phenol
0.74
4-ethenyl-2-methoxy-phenol
Phenol
0.17
2,6-Dimethoxyphenol
Phenol
0.41
p-Methoxyacetophenone
Phenol
0.06
1-N-Pentadecyl-Decahydronaphthalene
Alicyclic hydrocarbons
0.12
Tetradecane
Aliphatic hydrocarbons
0.10
3,7,11-Tridecatrienenitrile, 4,8,12-trimethyl-
Terpene
0.30
p-Hydroxyacetophenone
Phenol
0.79
Pentadecane
Aliphatic hydrocarbons
0.20
ar-Curcumene trans-3-Oxabicyclo[5.3.0]decan-2-on, 9Isopropyliden
Terpene
0.07
Alicyclic hydrocarbons
0.08
Table 3.1 Chemical composition of kebar grass HEM extract (continued) Compound
Group
%a)
1,6-Anhydro-beta-D-glucopyranose (Levoglucosan)
Carbohydrate derivatives
1.74
Lauric acid
Carboxylic acid
0.15
2,3,5,8-Tetramethyl-decane 1,2,4-Cyclopentanetrione, 3-methyl-5-(1oxopropyl)-
Aliphatic hydrocarbons
0.40
Alicyclic hydrocarbons
0.14
1,6-Anhydro-beta-D-glucofuranose Cyclopentaneethanol, 2-(hydroxymethyl)-.beta.,3dimethyl-
Carbohydrate derivatives
0.19
Alcohol
0.13
alpha.-Sinensal
Terpene
0.55
Hexahydrofarnesol
Alcohol
0.27
4,8-Dimethyl-1-nonanol
Alcohol
0.31
Myristic acid
Carboxylic acid
0.55
p-Benzylphenol
Phenol
0.65
Neophytadiene Cholestan-3-one, cyclic 1,2-ethanediyl acetal, (5.alpha.)-
Terpene
1.59
Steroidal saponin
1.06
1-Bromo-tetracosane
Haloalkanes
0.53
Vitamin E
Phenol
9.83
Alpha-Tocopherol-acetat
Methylated phenol
9.13
6,10,14-hexadecatrien-1-ol,3,7,11,15,tetramethyl
Alcohol
2.64
Palmitic acid
Carboxylic acid
4.58
n-Nonacosane
Aliphatic hydrocarbons
2.38
n-Triacontane
Aliphatic hydrocarbons
2.11
beta.-Tocopherol
Phenol
3.38
n-Tetratetracontane Cholestan-7-one, cyclic 1,2-ethanediyl acetal, (5.alpha.)-
Aliphatic hydrocarbons
6.42
Benzene derivatives
3.65
Stigmasta-5,22-dien-3-ol, acetate, (3.beta.,22Z)-
Sterol
0.98
Alpha-Tocopheryl-beta-D-mannosid
Carbohydrate derivatives
7.55
Oleat-stigmast-5-en-3-ol
Sterol
6.31
2,10-Dodecadien-1-ol, 3,7,11-trimethyl-, (Z)-
Alcohol
0.46
1,30-Triacontanediol
Alcohol
2.59
Stearaldehyde
Aliphatic hydrocarbons
0.81
Solanesol 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene, 2,6,10,15,19,23hexamethyl-
Alcohol
3.77
Aliphatic hydrocarbons
2.25
2-Hexadecanone
Aliphatic hydrocarbons
0.36
Unknown (10 compounds) Total a)
8.57 100.00
% — percentage of the content of each constituent in total extract
Fungal Growth Inhibition MIC values of kebar grass polar extract against A. flavus BCCF0219 and BIO 2236 are presented in Table 3.2. Inhibition of fungal growth was influenced
by the concentration of extract given. Concentration of kebar grass extract to inhibit the growth of isolates BCCF0219 and BIO 2236 in carbohydrate-enriched media started from 12 mg mL-1 (97.9% and 93.9%, respectively) up to 18 mg mL-1 (100% and 100%, respectively). Inhibition of growth of A. flavus BCCF0219 caused by kebar grass extract in fat-enriched medium started from a concentration of 12 mg mL-1 (89.6%) and reached its maximum at concentration of 20 mg mL-1 (100%); while the maximum concentration of kebar grass extract to inhibit isolate of A. flavus BIO 2236 was 18 mg mL-1 (100%). Meanwhile growth inhibition of the two isolates by kebar grass extract in protein-enriched medium reach maximum concentration at 20 mg mL-1 (100%) and 18 mg mL-1 (100%), respectively. Table 3.2 MIC value of kebar grass polar extract to isolate Aspergillus flavus BCCF0219 and A. flavus BIO 2236 Type of media model Carbohydrate Fat Protein Positive control (ketoconazole)
A. A. A. A. A. A. A. A.
Isolate flavus BCCF0219 flavus BIO 2236 flavus BCCF0219 flavus BIO 2236 flavus BCCF0219 flavus BIO 2236 flavus BCCF0219 flavus BIO 2236
MIC (mg mL-1) ±SD 12.0 ± 3.0 12.0 ± 3.5 14.0 ± 2.9 16.0 ± 0.8 14.0 ± 0.3 16.0 ± 0.7 5.0 ± 0.0 5.0 ± 0.0
The concentration of kebar grass polar extracts of the three food model media affected the delay of fungal growth. The higher concentration of the extract, the longer fungal growth delayed. The longer lag phase of A. flavus BCCF0219 isolate, i.e. up to 2x24 hours, was observed in carbohydrate-enriched medium after being exposured by kebar grass extract, at concentrations 14 and 16 mg mL-1; lag phase was longer by the increase of concentration of the extract. Lag phase of isolate BIO 2236 in carbohydrate-enriched medium after being exposured with kebar grass extract at concentration of 12 mg mL-1 reached 2x24 hours and lag phase was extended by the increase of concentration of the extract. Kebar grass polar extract with concentration of 14 mg mL-1 in fat-enriched medium extended the lag phase of isolates BCCF0219 and BIO 2236 up to 3x24 hours and 1x24 hours, respectively. A slow growth of BIO 2236 isolate was observed after 2x24 hours; and when the concentration of kebar grass extract was increased the lag phase of the isolate was getting longer. The similar pattern was also shown by isolates of BCCF0219 and BIO 2236 in protein-enriched medium with the addition of kebar grass extract. The extract at concentrations of 12 and 14 mg mL-1 extended the lag phase of isolate BCCF0219 up to 1x24 hour, while at extract concentration of 12 mg mL-1 extended the lag phase of BIO 2236 isolate up to 1x24 hour. Again,by increasing the extract concentration, the longer the lag phase of both isolates.
Conidial production and SEM Observation of Fungal Structure MIC values determined in the previous stage were used as the basis for assessing the influence of kebar grass methanol extracts against conidial production and fungal structure. Concentrations of kebar grass extract used for this test were 0, 1, 1.5, 2 MIC. Kebar grass methanol extract at concentration of 1MIC inhibited the production of conidia during 10 days of incubation. On carbohydrate-enriched medium mycelium growth of BCCF0219 isolate was very thin and the conidiation occurred within 7x24 hours incubation with a few conidial production; while on the carbohydrate-enriched medium with kebar grass extract, growth of BCCF0219 isolate did not occur. The growth of BCCF0219 isolate on fat-enriched medium without kebar grass extract was fast, had compact colony and its conidiation occurred at 1x24 hours incubation with abundant conidial production. The growth of A. flavus isolate on media containing kebar grass extract was slow and failed to produce conidia. The growth of BCCF0219 isolate on protein-enriched medium without kebar grass extract was fast and showed a uniform colony, and conidiation occurred after 1x24 hour incubation with abundant conidial production. Moreover, growth of BCCF0219 isolate on protein-enriched medium containing kebar grass extract showed a slow growth and conidiation occurred at 10x24 hours incubation with very few conidial production. Kebar grass methanol extract with a concentration based on MIC values obtained in the previous stage not only inhibited the growth of the two isolates of A. flavus, but also inhibited conidiation. On carbohydrate-enriched medium, the growth of BIO 2236 isolate was fast but with a very thin mycelium and the conidiation occurred within 8x24 hours incubation with abundant conidial production and sclerotium was not formed. On carbohydrate-enriched medium containing kebar grass extract, growth of BIO 2236 isolate was slow and conidiation did not occur. Isolate of BIO 2236 inoculated on fat-enriched medium without kebar grass extract showed a very rapid growth and the conidiation occurred after 1x24 hour incubation with abundant conidial production but its sclerotium was formed at 3x24 hours incubation. Meanwhile, on fat-enriched medium containing extract of kebar grass the fungal growth was slowly and conidiation did not occur. Isolate of BIO 2236 grown on protein-enriched medium without kebar grass extract showed a rapid growth and the conidiation occurred at 2x24 hours incubation and sclerotium formation began at 4x24 hours incubation, whereas in protein-enriched medium containing kebar grass extract, the growth of the isolate was slow and failed to produce conidia. Observation on fungal morphological structure using SEM is shown in Figure 3.1-3.5. Kebar grass extract containing concentration of 1 MIC on carbohydrate-enriched medium resulting growth inhibitory of BCCF0219 isolate up to 97.9%. Hyphal structure of BCCF0219 isolate on fat-enriched medium containing kebar grass extract was thin and its diameter became smaller than the control (Figure 3.1b), whereas the conidia was not produced (Figure 3.1d). On protein-enriched medium, fungal hyphae structure were thinner than control, hyphae was wounded (arrows in Figure 3.2b) and the size of the conidial head was also smaller than the control (Fig. 3.2d).
(a)
(b)
(c)
(d)
Figure 3.1 Structure of A. flavus BCCF0219 on fat-enriched medium; (a) Hyphal structure of control, mag. 1000x, d=22.11 μm, (b) Hyphal structure treated using 1 MIC (14 mg mL-1), mag. 2000x, d=3.23 μm, (c) Conidial head structure of control, mag. 5000x, d=4.3 μm, (d) Conidial head structure treated using 1 MIC (14 mg mL-1), mag. 1500x. (a)
(c)
(b)
(d)
Figure 3.2 Structure of A. flavus BCCF0219 on protein-enriched medium; (a) Hyphal structure of control, mag. 1000x, d=9.72 μm (b) Hyphal structure treated using 1 MIC (14 mg mL-1), mag. 2000x, d=3.21 μm, (c) Conidial head structure of control, mag. 1000x, d=5.2 μm (d) Conidial head structure treated using 1 MIC (14 mg mL-1), mag. 2500x, d= 2.5 μm
(a)
(b)
Figure 3.3 Hyphal structure of A. flavus BIO 2236 on carbohydrate-enriched media (a) Hyphal structure of control, mag. 2000x, d= 8.85 μm and (b) Hyphal structure treated using 1 MIC (12 mg mL-1), mag. 3000x, d= 2.64 μm
(a)
(b)
Figure 3.4 Hyphal structure of A. flavus BIO 2236 on fat-enriched media (a) Hyphal structure of control, mag. 1000x, d=17.95 μm and (b) Hyphal structure treated using 1 MIC (16 mg mL-1), mag. 5000x, d=1.27 μm Morphological changes in the conidiophores of BIO 2236 isolate grown on carbohydrate-enriched media containing kebar grass extract also occurred; folding hyphae was formed and minor injuries occurred on the surface of the hyphae (arrows in Fig. 3.3b) while the conidia was not produced. A. flavus BIO 2236 grown on fat-enriched medium containing kebar grass extract was also suffered damage on its hyphae, such as a wound on its hyphal surfaces, and formed short branches of hyphae (arrow in figure 4b). Its hyphae did not produce any conidia. Isolate BIO 2236 grown on protein-enriched medium containing kebar grass extract also suffered damage on the hyphae. Its hyphal surfaces was rough and wounded (arrows ini Fig. 3.5b), short branches of hyphae were formed, and failed to produce conidia, whereas its vesicles, phialides and metulae were also folded (arrow in Figure 3.5d).
(a)
(c)
(b)
(d)
Figure 3.5 Structure of A. flavus BIO 2236 on protein-enriched media (a) Hyphal structure of control, mag. 1000x, d=8.96 μm, (b) Hyphal structure treated using 1 MIC (16 mg mL-1), mag. 3000x, d=1.86 μm (c) Conidial head structure of control, mag. 5000x, (d) Vesicles, phialides and metulae structure treated using 1 MIC (16 mg mL-1), mag. 5000x. Discussion Kebar grass polar extract inhibited the growth of A. flavus BCCF0219 and BIO 2236 in a dosage response manner. In the present study, the polar extract of kebar grass leaves was reported as a potent inhibitor of A. flavus growth in vitro. The extract showed a fungistatic activity toward the fungus at all concentrations used which was significant for the concentrations ≥12 mg/mL compared to control of all food model media. Some other studies reported the activity of essential oil against conidiation thus this result can be evaluated as the first report. The inhibitory effect of essential oils (EOs) against conidiation of different fungi has been previously reported (Gandomi et al. 2009). Tataoui-Elaraki et al. (1993) studied the effect of three Moroccan EOs on fungal asexual reproduction stages including conidial production and reported that the partial inhibition of conidial production could be attributed to mycelial destruction or inhibition of fungal growth. Mahanta et al. (2007) suggested that the impact of Cymbopogon citrates L. essential oil on conidiation may reflect the effects of volatile compounds emitted by the oil on the surface of developing mycelia, and thus the stage to support conidial production involved in the switch from
vegetative to reproductive development. Reduction of conidial production could limit the spread of pathogens by lowering the conidia load in the storage atmosphere and on surfaces (Tzortzakis and Economakis, 2007). There are few reports on the growth inhibitory potential of kebar grass extract against bacteria and no report on the effect of plant extract on fungi especially against A. flavus growth and its effect on fungal morphological structure. Some researchers reported antibacterial activity of the methanolic extract of whole part of kebar grass against different pathogenic and medically important bacteria (Natarajan et al., 2010). We reported here for the first time the inhibition of fungal growth and conidial production of A. flavus which was exposed to different concentrations of kebar grass extract in relation to morphological alterations in fungal compartments. Based on SEM observations, the hyphae of A. flavus treated with 1MIC of the kebar grass extract was entirely collapsed and folded with the formation of short branches and undifferentiated tips. Morphological structure changes of fungal hyphae have been reported for A. flavus hyphae treated with Cymbopogon citratus oil (Helal et al., 2007) and Matricaria chamomilla L. flower essential oil (Tolouee et al., 2010). An interesting observation in bioassays was the inhibition of conidial production in relation to fungal growth inhibition. It was assumed that marked reduction in A. flavus conidial production caused by kebar grass extract reported in the present study was due to the retardation of vegetative growth development through affecting the normal fungal branching pattern. Kebar grass extract completely squashed and severely collapsed hyphae which results in flattening and ultimately the death of hyphae. The hyphae have been damaged, loss of its cell wall integrity and rigidity, and its cell wall was folded. These observations indicate that the mode of antifungal activity of kebar grass extract is a result of attack of extract on the cell wall. Such modifications induced by kebar grass extract may be related to the interference of extract bioactive components with enzymatic reactions of wall synthesis, which affects fungal morphogenesis and growth. Zambonelli et al. (1996) reported that fungal growth inhibition can be associated with degeneration of fungal hyphae after treatment with Thymus vulgaris essential oil. Our observations are in agreement with the above reports. Selected compounds of kebar grass polar extract including phenolics (26.56%), terpenes (15.60%), alcohols (10.94%), steroidal saponin (1.56%) also reported has antifungal activity (Marei et al., 2012). To the best of author knowledge, this is the first study to establish the chemical composition of leaf extract and antifungal activity of kebar grass. Lin and Wang (2003) reported that kebar grass also have biflavon (cupressuflavone dan amentoflavone), flavonoid (luteolin 7-methyl ether, isoorientin, 3'-methoxyluteolin 7-O-glucoside), 4caffeoylquinic acid and 5-caffeoylquinic acid. Other study reported that there is a relationship between the chemical structures of the most abundant compounds in the tested oil and the antimicrobial activity. Extract rich in phenolic compounds are widely reported to possess high levels of antimicrobial activity (Skočibušić et al., 2006). Since the active antimicrobial compounds of plant extract are phenolics and terpenes, it seems reasonable that their mode of action might be similar to that of other phenolic compounds. Most of the studies on the mechanism of phenolic compounds focused on their effects on cellular membranes, altering its function
and in some instances structure, causing swelling and increasing its permeability. A consistent observation is an increase in K+ and often cytoplasmic content effluxes from cells in response to antimicrobial challenge. These effects may develop as a result of membrane depolarization by altered ion transport or through changes in membrane structure, inhibition of energy (ATP) generation by interference with glucose uptake or inhibition of enzymes involved in oxidative or substrate level phosphorylation. Increases in cytoplasmic membrane permeability appear to be a consequence of the loss of the cellular pH gradient, decreased ATP levels, and loss of the proton motive force, which lead to cell death. Other mechanisms for the antimicrobial activity of simple phenolic compounds have been proposed to include enzyme inhibition by the oxidized compounds, possibly through reaction with sulphydryl groups or through more non-specific interactions with proteins. More complex natural phenolic compounds such as quinones, flavones, flavonoids and flavonols exert their antimicrobial activity by complexing irreversibly with nucleophilic amino acids in proteins leading to inactivation of the protein and loss of function. The most probable targets in microbial cells are surface exposed adhesions, cell wall polypeptides, and membrane-bound enzymes (Samapundo et al., 2007). In addition, aflatoxin inhibitory effect of phenolic compounds through mediation of oxidative stress levels in the fungi is also reported by Kim et al. (2006). Kim et al. (2006) have reported that growth inhibition of A. flavus caused by the phenolics salicylic acid, thymol, vanillyl acetone, vanillin and cinnamic acid is via targeting the mitochondrial oxidative stress defense system. Since the mitochondria are responsible for providing acetyl-CoA, a main precursor for AF biosynthesis, disruption of mitochondrial respiration chain may account in part for the inhibitory effects of antifungal phenolics on aflatoxin production. Hence, these plant extract rich in phenolics compound could be used as markers for the elucidation of antioxidant-based inhibition of aflatoxin biosynthesis. The antimicrobial properties of alcohols were known to increase with molecular weight. It is also evident that terpene alcohols such as trans-p-Mentha-1(7),8-dien2-ol, solanesol, 1-limonene exhibit strong antimicrobial activity, especially pronounced on whole cells, while hydrocarbon derivatives possess lower antifungal properties, as their low water solubility limits their diffusion through the medium (Prakash et al., 2012). Extract rich in saponin compounds has also antimicrobial activity. It is known that saponins change the membrane permeability leading to the rupture of the cell (Brusotti et al., 2013). These observations suggesting that the antifungal effect of kebar grass leaf extract is probably due to the individual or synergistic effect of the secondary metabolites present in the extract. Conclusion A HEM extract of kebar grass possesses fungitoxic activities in inhibiting the growth of aflatoxigenic A. flavus, leading to irreversible deleterious morphological alterations and thus it is worth exploiting for the biomanagement of aflatoxigenic A. flavus. The results of this study suggests the possibility to use HEM extract of kebar grass leaf as natural preservatives, since it possesses strong antifungal activity. Further research related to its application in food system is needed to obtain information regarding on the practical effectiveness of the extract
to prevent the growth of foodborne and spoiling microbes, among others aflatoxigenic A. flavus, under the specific application conditions. Acknowledgements This research was supported by Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) in the form of BIOTROP PhD Thesis Grant 2012. References Alberts, J.F., Engelbrecht, Y., Steyn, P.S., Holzapfel, W.H. & van Zyl, W.H. (2006). Biological degradation of aflatoxin B1 by Rhodococcuserythropolis cultures. International Journal of Food Microbiology, 109, 121 – 126 Alberts, J.F., Gelderblom, W.C.A., Botha, A. & van Zyl, W.H. (2009). Degradation of aflatoxin B1 by fungal laccase enzymes. International Journal of Food Microbiology, 135, 47–52 Brusotti, G., Tosi, S., Tava, A., Picco, A.M., Grisoli, P., Cesari, I. & Caccialanza, G. (2013). Antimicrobial and phytochemical properties of stem bark extracts from Piptadeniastrum africanum (Hook f.) Brenan. Industrial Crops and Products, 43,612–616 Bucar, F., Jachak, S.M., Noreem, Y., Kartnig, T., Perera, P., Bohlin, L. & Schubert-Zsilavecz, M. (1998). Amentoflavone from Biophytum sensitivum and its effect on COX-1/COX-2 catalysed prostaglandin biosynthesis. Planta Medica, 4, 373-374 de Billerbeck, V.G., Roques, C.G., Bessière, J.M., Fonvieille, J.L. & Dargent, R. (2001). Effects of Cymbopogon nardus (L.) W. Watson essential oil on the growth and morphogenesis of Aspergillus niger. Canadian Journal of Microbiology, 47, 9–17. Gandomi, H., Misaghi, A., Basti, A.A., Bokaei, S., Khosravi, A., Abbasifar, A. & Javan, A.J. (2009). Effect of Zataria multiflora Boiss. essential oil on growth and aflatoxin formation by Aspergillus flavus in culture media and cheese. Food and Chemical Toxicology, 47, 2397–2400 Guruvayoorappan, C. & Kuttan, G. (2007). Immunomodulatory and antitumor activity of Biophytum sensitivum extract. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, 8, 27-32 Guruvayoorappan, C. & Kuttan, G. (2008). Methanol extract of Biophytum sensitivum alters the cytokine profile and inhibits iNOS and COX-2 expression in LPS/Con A stimulated macrophages. Drug and Chemical Toxicology, 31, 175-188. Helal, G.A., Sarhan, M.M., Shahla, A.N.K.A. & El-Khair, E.K.A. (2007). Effects of Cymbopogon citratus L. essential oil on the growth, morphogenesis and aflatoxin production of Aspergillus flavus ML2-strain. Journal of Basic Microbiology, 47, 5 – 15. Inngjerdingen, M., Inngjerdingen, K.T., Patel, T.R., Allen, S., Chen, X., Rolstad, B., Morris, G.A., Harding, S.E., Michaelsen, T.E., Diallo, D. & Paulsen, B.S. (2008). Pectic polysaccharides from Biophytum petersianum Klotzsch, and their activation of macrophages and dendritic cells. Glycobiology, 12, 1074–1084.
Joseph, G.S., Jayaprakasha, G.K., Selvi, A.T., Jena, B.S. & Sakariah, K.K. (2005). Antiaflatoxigenic and antioxidant activities of Garcinia extracts. International Journal of Food Microbiology, 101, 153-160 Kim, J.H., Mahoney, N., Chan, K.L., Molyneux, R. & Campbell, B.C. (2006). Controlling food-contaminating fungi by targeting antioxidant stressresponse system with natural phenolic compounds. Applied Microbiology and Biotechnology, 70, 735–739. Lin,Y.L. & Wang, W.Y. (2003). Chemical constituents of Biophytum sensitivum. Zhonghuáyáoxuézázhì, 55, 71-75. Manso, S., Cacho-Nerin, F., Becerril, R. & Nerín, C. (2013). Combined analytical and microbiological tools to study the effect on Aspergillus flavus of cinnamon essential oil contained in food packaging. Food Control, 30, 370378. Marei, G.I.K., Abdel Rasoul, M.A. & Abdelgaleil, S.A.M. (2012). Comparative antifungal activities and biochemical effects of monoterpenes on plant pathogenic fungi. Pesticide Biochemistry and Physiology, 103, 56 – 61 . Mellon, J.E. & Cotty, P.J. (1998). Effects of oilseed storage proteins on aflatoxin production by Aspergillus flavus. JAOCS, 75, 1085-1089. Murugan, K., Anandaraj, K. & Al-Sohaibani, S. (2013). Antiaflatoxigenic food additive potential of Murraya koenigii : An in vitro and molecular interaction study. Food Research International, 52, 8 – 16 Natarajan, D., Shivakumar, M.S. & Srinivasan, R. (2010). Antibacterial activity of leaf extracts of Biophytum sensitivum (L.) DC. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research, 11, 717-720 Prakash, B., Singh, P., Kedia, A. & Dubey, N.K. (2012). Assessment of some essential oils as food preservatives based on antifungal, antiaflatoxin, antioxidant activities and in vivo efficacy in food system. Food Research International, 49, 201–208 Proestos, C., Chorianopoulos, N., Nychas, G.J. & Komaitis, M. (2005). RP-HPLC analysis of the phenolic compounds of plant extracts : Investigation of their antioxidant capacity and antimicrobial activity. Journal of Agriculture and Food Chemistry, 53, 1190–1195. Riba, A., Bouras, N., Mokrane, S., Mathieu, F., Lebrihi, A. & Sabaou, N. (2010). Aspergillus section Flavi and aflatoxins in Algerian wheat and derived products . Food and Chemical Toxicology, 48, 2772-2777 Samapundo, S., De Meulenaer, B., Osei-Nimoh, D., Lamboni, Y., Debevere, J. & Devlieghere, F. (2007). Can phenolic compounds be used for the protection of corn from fungal invasion and mycotoxin contamination during storage? Food Microbiology, 24, 465–473 Santoso, B., Kilmaskossu, A. & Sambodo, P. (2007). Effects of saponin from Biophytum petersianum Klotzsch on ruminal fermentation, microbial protein synthesis and nitrogen utilization in goats. Animal Feed Science and Technology, 137, 58–68. Skočibušić, M., Bezić, N. & Dunkić, V. (2006). Phytochemical composition and antimicrobial activities of the essential oils from Satureja subspicata Vis. growing in Croatia. Food Chemsitry, 96, 20 – 28
Shih, C.N. & Marth, E.H. (1974). Some cultural conditions that control biosynthesis of lipid and aflatoxin by Aspergillus parasiticus. Applied Mycrobiology, 27, 452-456. Sohaibani, S.A., Murugan, K., Lakshimi, G. & Anandraj, K. (2011). Xerophilic aflatoxigenic black tea fungi and their inhibition by Elettaria cardamomum and Syzygium aromaticum extracts. Saudi Journal of Biological Sciences, 18, 387 – 394 Syarief, R., La Ega & Nurwitri, C.C. (2012). Food Mycotoxin (2nd ed.). Bogor: IPB Press. Tataoui-Elaraki, A., Ferhout, H. & Errifi, A. (1993). Inhibition of fungal asexual reproduction stages by three Moroccan essential oils. Journal of Essential Oil Resesearh, 5, 535–545. Tian, J., Ban, X., Zeng, H., He, J., Huang, B. & Wang, Y. (2011). Chemical composition and antifungal activity of essential oil from Cicutavirosa L. var. latisecta Celak. International Journal of Food Microbiology, 145, 464– 470 Tolouee, M., Alinezhad, S., Saberi, R., Eslamifar, A., Zad, S.J., Jaimand, K., Taeb, J., Mohammad-Bagher, R., Kawachi, M., Shams-Ghahfarokhi, M. & Razzaghi-Abyaneh, M. (2010). Effect of Matricaria chamomilla L. flower essential oil on the growth and ultrastructure of Aspergillus niger van Tieghem. International Journal of Food Microbiology, 139, 127–133 Trigui, M., Hsouna, A.B., Tounsi, S. & Jaoua, S. (2013). Chemical composition and evaluation of antioxidant and antimicrobial activities of Tunisian Thymelaea hirsuta with special reference to its mode of action. Industrial Crops and Products, 41, 150-157 Tzortzakis, N.G. & Economakis, C.D. (2007). Antifungal activity of lemongrass (Cympopogoncitrates L.) essential oil against post harvest pathogens. Innovative Food Science Emergency Technology, 8, 253–258. Valdés, F., Catalá, L., Hernández, M.R., García-Quesada, J.C. & Marcilla, A. (2013). Thermogravimetry and Py–GC/MS techniques as fast qualitative methods for comparing the biochemical composition of Nannochloropsis oculata samples obtained under different culture conditions. Bioresource Technology, 131, 86–93 Zambonelli, A., D' Aurelio, A.Z., Bianchi, A. & Albasini, A. (1996). Effects of essential oils on phytopathogenic fungi. Journal of Phytopathology, 144, 491–494.
4 AKTIVITAS ANTIAFLATOKSIN B1 EKSTRAK DAUN RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum) TERHADAP Aspergillus flavus 5) (Antiaflatoxin B1 Activity of Kebar Grass (Biophytum petersianum) Leaf Extract on Aspergillus flavus) ABSTRAK Aflatoksin B1 merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus yang berbahaya bagi kesehatan karena bersifat karsinogenik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari bahan antikapang dan antiaflatoksin yang berasal dari bahan alami seperti tumbuhan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari aktivitas ekstrak daun rumput kebar terhadap pertumbuhan miselium dan produksi aflatoksin B1 dari isolat A. flavus BC F0219 dan A. flavus BIO 2236 pada media model pangan kaya karbohidrat, lemak dan protein. Ekstrak daun rumput kebar diekstraksi secara bertingkat dengan pelarut n-heksana-etil asetat-metanol (HEM). Konsentrasi ekstrak yang diuji untuk isolat A. flavus BCC F0219 dan A. flavus BIO 2236 masing-masing adalah 1, 1.5, dan 2 MIC (Minimum Inhibitory Concentration). Nilai MIC untuk A. flavus BCC F0219 pada media kaya karbohidrat, lemak, dan protein berturut-turut sebesar 12, 14, dan 14 mg/mL. Sedangkan nilai MIC untuk A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, lemak, dan protein berturut-turut sebesar 12, 16, dan 16 mg/mL. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa persentase hambatan pertumbuhan isolat A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, lemak dan protein pada 3 tingkat konsentrasi MIC berkisar antara 90.8 – 100% dan 93.8 – 100%. Hambatan produksi aflatoksin B1 isolat A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, lemak dan protein pada 3 tingkat konsentrasi MIC berkisar antara 70.9 – 100% dan 83.4 – 98.8%. Kata kunci: Aflatoksin B1, anti aflatoksin, Aspergillus flavus, Biophytum petersianum, media model pangan, rumput kebar
ABSTRACT Aflatoxin B1 was a secondary metabolite produced by Aspergillus flavus having negative effect on human health because of its carcinogenic. Many efforts have been done to investigate the antifungal and antiaflatoxin agents derived from plant. The objective of this research was to study the activity of antifungal from kebar grass leaf extract on mycelial growth and aflatoxin B1 production of Aspergillus flavus BCC F0219 and A. flavus BIO 2236 isolates in food model medium i.e. carbohydrate-enriched medium, fat-enriched medium and proteinenriched medium. Kebar grass leaf extracts successively obtained by using n-hexane-ethyl acetate-methanol (HEM). Concentrations of the extract tested on A. flavus BCC F0219 and A. flavus BIO 2236 were 1, 1.5, and 2 MIC.
5)
Telah diterima untuk dipublikasi di Jurnal Nasional Agritech, Universitas Gadjah Mada (Vol. 35 No. 1, Februari 2015)
The MIC for A. flavus BCC F0219 in carbohydrate-enriched medium, fat-enriched medium, and protein-enriched medium were 12, 14, and 14 mg/mL, respectively. Meanwhile, the MIC for A. flavus BIO 2236 in carbohydrate-enriched medium, fat-enriched medium and protein-enriched medium were 12, 16 and 16 mg/mL, respectively. The results showed that the percentage of growth inhibition of A. flavus BCC F0219 and BIO 2236 in carbohydrate, fat and protein-enriched medium at 3 different levels of MIC concentrations ranged between 90.8 - 100 % and 93.8 - 100 %. The inhibitory effect of Aflatoxin B1 production of A. flavus F0219 BCC and BIO 2236 in carbohydrate, fat and protein-enriched medium at 3 different levels of MIC concentration ranged between 70.9 - 100 % and 83.4 98.8 %. Keywords: aflatoxin B1, anti aflatoxin, Aspergillus flavus, Biophytum petersianum, food model medium, kebar grass PENDAHULUAN Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang bersifat hepatotoksik, mutagenik, teratogenik, dan karsinogenik bagi manusia dan hewan (Alberts dkk., 2006). Selain berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan berkisar antara US $85 - 100 juta di USA (Alberts dkk., 2009). Di Indonesia, kerugian di bidang pertanian akibat aflatoksin adalah penolakan produk ekspor Indonesia seperti kakao dan pala, sedangkan di bidang peternakan antara lain penurunan kualitas dan kuantitas produk peternakan karena adanya residu aflatoksin (Rachmawati dkk., 2004). Kontaminasi aflatoksin sulit dihindari sepenuhnya sehingga diperlukan teknologi yang mampu meminimalisir kontaminasi aflatoksin tanpa mempengaruhi citarasa dan nilai nutrisi bahan pangan serta keamanannya (Murugan dkk., 2013). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari bahan antikapang dan antiaflatoksin yang berasal dari bahan alami seperti tumbuhan (Sa´nchez dkk., 2005). Rumput kebar (Biophytum petersianum), merupakan tumbuhan asli dari Kecamatan Kebar, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, yang umumnya tumbuh secara alami dan menyebar di hampir seluruh wilayah Kecamatan Kebar (Santoso dkk., 2007). Rumput kebar diketahui berpotensi sebagai antibakteri, hipoglikemik, imunomodulator, kemoprotektif, hipokolesterolemik, apoptosis, antiinflamasi, antitumor dan biosintesis prostaglandin (Natarajan dkk., 2010), mempengaruhi ekspresi COX-2 (Guruvayoorappan dan Kuttan, 2008), menstimulasi sel-sel sistem kekebalan tubuh (Inngjerdingen dkk., 2008), dan mempengaruhi apoptosis sel-sel B16F-10 dan penghambatan produksi NO dan sitokin yang berperan dalam pembentukan tumor (Guruvayoorappan dan Kuttan, 2007). Penelitian Lisangan dkk. (2014a) menghasilkan jenis ekstrak bertingkat Heksana-Etil asetat-Metanol (HEM) sebagai jenis ekstrak yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang A. flavus. Sedangkan nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yang diperoleh dari penelitian Lisangan dkk. (2014b) untuk A. flavus BCC F0219 pada media kaya karbohidrat, lemak dan
protein berturut-turut sebesar 12, 14, dan 14 mg/mL, dan nilai MIC untuk A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, lemak dan protein berturut-turut sebesar 12, 16, dan 16 mg/mL. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penghambatan dan pola pertumbuhan A. flavus BCC F0219 dan A. flavus BIO 2236 serta produksi aflatoksin B1 oleh ekstrak HEM daun rumput kebar pada media kaya karbohidrat, lemak, dan protein. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan baku utama adalah jenis ekstrak HEM daun rumput kebar yang diperoleh dari penelitian Lisangan dkk. (2014a). Isolat kapang yang digunakan adalah A. flavus BCC F0219 yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLITVET) Bogor dan A. flavus BIO 2236 yang diperoleh dari SEAMEO BIOTROP Culture Collection. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi adalah bahan kimia dengan kualitas Pro Analysis (JT. Baker, USA), sedangkan bahan kimia untuk analisis aflatoksin B1 adalah bahan kimia dengan kualitas HPLC grade (Merck). Media pertumbuhan mikroba adalah PDA (Potato Dextrose Agar, Oxoid), Bacto agar (Difco), santan kelapa, susu skim (Difco), glukosa (Merck). Peralatan yang digunakan adalah seperangkat alat gelas untuk ekstraksi, seperangkat alat HPLC (Agilent 1260 Infinity Isocratic LC), shaker, mikropipet, alat pemanas (hot plate), pengaduk (stirrer), jangka sorong, dan alat-alat gelas. Persiapan Ekstrak Tumbuhan Ekstrak HEM daun rumput kebar yang digunakan adalah jenis ekstrak yang diperoleh dari penelitian sebelumnya (Lisangan dkk., 2014a). Ekstrak diperoleh dengan cara maserasi dan sonifikasi menurut metode Deng dkk. (2011) kemudian dianalisis dengan py/GC-MS. Ekstrak didominasi oleh senyawa fenolik (26.56%) dan terpena (15.60%). Ekstrak kemudian disimpan pada suhu 4 °C sebelum digunakan untuk pengujian aktivitas antikapang (Tian dkk., 2011) dan produksi aflatoksin B1 (AOAC, 2005). Persiapan Konidium Kapang (Joseph dkk., 2005) Isolat kapang ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar, Oxoid, Inggris) miring dan diinkubasi pada suhu 28 °C selama 5 hari. Konidium dipanen dengan menambahkan 10 mL akuades steril dan dikumpulkan secara aseptik. Pada suspensi konidium ditambahkan Tween 80 (0.5%). Suspensi konidium kapang dihitung menggunakan hemasitometer, konsentrasi konidium diatur menjadi 106 CFU/mL. Persiapan Media Model Pangan yang Diperkaya dengan Sumber Karbohidrat (Shih dan Marth, 1974a), Lemak (Riba dkk., 2010), dan Protein (Mellon dan Cotty, 1998) Penyiapan media kaya karbohidrat diwakili oleh penambahan glukosa (30% w/v) pada media bacto agar. Penyiapan media kaya lemak dilakukan dengan menghomogenasi 100 g parutan daging kelapa menggunakan 300 mL akuades panas (60 °C) selama 5 menit. Homogenat disaring menggunakan saringan berukuran 80 mesh dan hasil saringan diatur pH-nya hingga pH 7.0 dengan 2 N NaOH. Selanjutnya ditambahkan Bacto agar (Difco, USA) sebanyak 20 g/L. Kedua media model pangan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 °C selama
15 menit. Media kaya protein dibuat dengan menambahkan 30% (w/ v) susu skim (Difco, USA) pada media bacto agar dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 °C selama 10 menit. Pengujian Penghambatan Pertumbuhan A. flavus (Tian dkk., 2011). Konsentrasi ekstrak rumput kebar yang ditambahkan ke media model pangan adalah 1, 1.5, dan 2 MIC (Lisangan dkk., 2014b). Sebanyak 10 mL media model pangan yang mengandung ekstrak dituang ke dalam cawan Petri (diameter 9 cm) dan dibiarkan memadat. Masing-masing lima mikroliter suspensi konidium A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 diinokulasi pada permukaan setiap media dan diinkubasi pada suhu 28 °C selama 10 hari. Diameter koloni (dalam milimeter) diamati setiap 24 jam selama 10 hari. Sebagai kontrol negatif, kultur kapang ditumbuhkan pada media model pangan tanpa kandungan ekstrak rumput kebar, sedangkan sebagai kontrol positif digunakan media model pangan dengan ketoconazole 5 mg/mL. Perlakuan dirancang dua kali ulangan dengan analisis duplo. Persentase penghambatan pertumbuhan kapang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (dc - dt) Hambatan pertumbuhan =
X 100%...........................................(1) dc
dc = diameter koloni kontrol negatif (mm) dt = diameter koloni perlakuan (mm) Ekstraksi dan Analisis Kandungan Aflatoksin B1 (AOAC, 2005). Sampel berupa media tumbuh dan biomassa kapang yang berasal dari pertumbuhan kapang selama 10 hari ditimbang sebanyak 10 g, ditambahkan 2 g NaCl dan 50 mL metanol 70% kemudian diblender selama 2 menit. Larutan kemudian disaring dengan kertas saring bergalur lalu filtrat sebanyak 6 mL dipindahkan ke labu Erlenmeyer, ditambahkan akuades 12 mL, divorteks, kemudian disaring dengan kertas saring microfiber filter. Filtrat kemudian dipipet sebanyak 6 mL dan dimasukkan ke dalam syringe barrel connection yang dihubungkan dengan immunoaffinity column (VICAM) kemudian didorong dengan air pump dengan kecepatan 2 tetes/detik sampai muncul gelembung pada ujung aflatest (VICAM). Filtrat dielusi dengan 1 mL metanol grade HPLC dengan kecepatan 1 tetes/detik, kemudian ditambahkan dengan 0.5 mL akubides grade HPLC dan divorteks. Sebanyak 20 μL alikuot diinjeksi ke sistem HPLC. Deteksi aflatoksin B1 menggunakan HPLC (Agilent 1260 Infinity Isocratic LC). Kondisi operasi HPLC menggunakan kolom Poroshell 120 SB C18, 4.6x150 mm x 2.7μm, derivatisasi pasca kolom menggunakan Photochemical Reactor Derivatization (PHRED) merk AURA, detektor fluoresensi (Kratos 950), panjang gelombang eksitasi 365 nm dan emisi 465 nm, fase gerak H2O : ACN : MeOH (60:20:20), laju alir 1 mL/menit, sistem elusi isokratik, suhu kolom dan post kolom 40 °C, dengan waktu running 15 menit, limit deteksi (LOD) 0.45 ng/mL sedangkan LOQ 1.5 ng/mL. Perlakuan dirancang dua kali ulangan dengan analisis duplo. Persentase penghambatan produksi aflatoksin B1 ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
(Ac - At) Hambatan produksi AFB1 =
X 100% …………………………(2) Ac
Ac = kandungan AFB1 kontrol (ng/g) At = kandungan AFB1 perlakuan (ng/g) HASIL DAN PEMBAHASAN Hambatan Pertumbuhan Kapang Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa ekstrak HEM daun rumput kebar dengan konsentrasi 1 MIC dapat menghambat pertumbuhan A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 dengan tingkat penghambatan di atas 90%. Pada konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi (1.5 dan 2 MIC) dapat menghambat secara total (100%) pertumbuhan kedua isolat kapang, kecuali A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat dengan persentase hambatan 98.9% pada konsentrasi 1.5 MIC (Tabel 4.1). Ketoconazole dengan konsentrasi 5 mg/mL juga menghambat pertumbuhan kedua isolat kapang tersebut secara total. Tabel 4.1. Pengaruh ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap pertumbuhan A. flavus BCCF0219 dan BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, lemak, dan protein Isolat kapang BCC F0219
Jenis media model pangan Karbohidrat Lemak Protein
BIO 2236
Karbohidrat
Lemak Protein
Kons. ekstrak dlm mg/mL (MIC)
Diameter koloni (mm) ± SD
Penghambatan (%) ± SD
0
71.0 ± 3.5
0.0 ± 0.0
12 (1MIC)
1.9 ± 2.9
97.9 ± 3.0
0
86.4 ± 2.3
0.0 ± 0.0
14 (1MIC)
5.8 ± 0.6
93.5 ± 2.9
0
89.3 ± 0.4
0.0 ± 0.0
14 (1MIC)
7.9 ± 0.3
90.8 ± 0.3
0
90 ± 0.0
0.0 ± 0.0
12 (1MIC)
4.6 ± 2.5
93.9 ± 3.5
18 (1.5MIC)
1.0 ± 1.4
98.9 ± 1.6
0
85.0 ± 6.4
0.0 ± 0.0
16 (1MIC)
0.4 ± 0.9
99.4 ± 0.8
0
89.1 ± 1.2
0.0 ± 0.0
16 (1MIC)
5.6 ± 3.1
93.8 ± 0.7
Penghambatan ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap pertumbuhan A. flavus BCC F0219 relatif lebih tinggi dibandingkan A. flavus BIO 2236 di media kaya karbohidrat. Pemberian ekstrak HEM daun rumput kebar dengan konsentrasi 1 MIC memperpanjang fase adaptasi A. flavus BCC F0219 hingga 5x24 jam (Gambar 4.1a) sedangkan pertumbuhan A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat dapat diperpanjang fase adaptasinya hingga 3x24 jam (Gambar 4.1b). Pada media kaya lemak, penghambatan pertumbuhan oleh ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap A. flavus BCC F0219 lebih rendah dari A. flavus BIO 2236 (Tabel 4.1) dan fase adaptasinya hanya diperpanjang hingga 2x24 jam (Gambar 4.2a) sedangkan fase adaptasi A. flavus BIO 2236 diperpanjang hingga
9x24 jam (Gambar 4.2b). Demikian pula halnya pola pertumbuhan kedua isolat kapang ini pada media kaya protein. Namun fase adaptasi kedua isolat kapang ini sama yaitu dapat diperpanjang hingga 2x24 jam (Gambar 4.3). Secara keseluruhan, pemberian ekstrak HEM daun rumput kebar mampu memperpanjang fase adaptasi kedua isolat A. flavus. Adam dan Moss (1995) mengemukakan bahwa fase adaptasi mikrob dipengaruhi oleh adanya bahan kimia, pemanasan, pendinginan, dan perlakuan fisiko-kimia lainnya. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
1 MIC
Kontrol negatif (Agar+glukosa)
Diameter koloni (mm)
Diameter koloni (mm)
Fase adaptasi
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Fase adaptasi
1MIC 1.5 MIC Kontrol negatif (Agar+glukosa)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Periode inkubasi (x 24 jam)
Periode inkubasi (x 24 jam)
(a)
(b)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Fase adaptasi
1MIC Kontrol negatif (Agar+santan)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Periode inkubasi (x 24 jam)
(a)
9 10
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Fase adaptasi
Diameter koloni (mm)
Diameter koloni (mm)
Gambar 4.1. Pola pertumbuhan A. flavus BCC F0219 (a) dan BIO 2236 (b) pada media kaya karbohidrat
1MIC Kontrol negatif (Agar+santan)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Periode inkubasi (x 24 jam)
(b)
Gambar 4.2. Pola pertumbuhan A. flavus BCC F0219 (a) dan BIO 2236 (b) pada media kaya lemak Perbedaan ketahanan kedua isolat kapang ini pada media yang berbeda diduga karena perbedaan kemampuan kedua isolat dalam memproduksi sklerosium. Isolat BCC F0219 tidak memproduksi sklerosium (Gambar 4.4a) sedangkan isolat BIO 2236 dapat memproduksi sklerosium (Gambar 4.4b). Sklerosium adalah massa kompak jaringan kapang yang biasanya memiliki dinding luar kokoh dan berfungsi sebagai penyimpan bahan makanan bagi kapang. Sklerosium merupakan struktur bertahan dari kapang yang dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan bersifat dorman. Sklerosium sangat berperan dalam produksi miselium dan konidium (Griffin, 1994). Sebanyak 50% isolat A. flavus mampu memproduksi sklerosium (Pitt dan Hocking, 2009). Adanya variasi dalam sensitivitas kapang terhadap ekstrak dapat
juga disebabkan oleh kemampuan kapang dalam memetabolisme komponen aktif dari ekstrak tumbuhan yang mengakibatkan terjadinya detoksifikasi ekstrak oleh kapang (Griffin, 1994).
Diameter koloni (mm)
Fase adaptasi
1 MIC
Kontrol negatif (Agar+susu skim)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Periode inkubasi (x 24 jam)
(a)
9 10
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Fase adaptasi
Diameter koloni (mm)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
1MIC Kontrol negatif (Agar+susu skim)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
Periode inkubasi (x 24 jam)
(b)
Gambar 4.3. Pola pertumbuhan A. flavus BCC F0219 (a) dan BIO 2236 (b) pada media kaya protein
(a)
(b)
Gambar 4.4 Pembentukan konidium oleh (a) A. flavus BCC F0219 dan (b) pembentukan konidium serta sklerosium pada A. flavus BIO 2236 setelah 10x24 jam pada suhu 28 °C Penghambatan pertumbuhan kapang oleh ekstrak HEM daun rumput kebar dikarenakan ekstrak HEM daun rumput kebar mengandung senyawa fenolik seperti flavonoid dan fenolhidrokuinon (Lisangan dkk., 2014a). Penelitian Lisangan, dkk. (2014b) telah mengidentifikasi komponen-komponen mayor yang mendominasi ekstrak HEM daun rumput kebar yaitu dari golongan fenolik, senyawa hidrokarbon, terpena, dan alkohol. Flavonoid dan fenolhidrokuinon telah dilaporkan memiliki sifat antimikrob (Sule dkk., 2011; Jaberian dkk., 2013). Ekstrak HEM juga mengandung triterpenoid, steroid, tanin, dan saponin. Ketiga golongan senyawa ini dilaporkan memiliki aktivitas antikapang (Houghton dkk.,
2003; Onwuliri dan Wonang, 2005; Jaberian dkk., 2013; Marei dkk., 2012; Skočibušić dkk., 2006). Media kaya karbohidrat (glukosa) merupakan jenis media yang disukai A. flavus karena mendukung produksi aflatoksin. Diener dan Davis (1969) mengemukakan bahwa karbohidrat merupakan pendukung utama pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Shih dan Marth (1974a) menambahkan bahwa pada konsentrasi glukosa 5-20% terjadi pertumbuhan kapang yang sangat cepat dan menghasilkan berat kering miselium yang maksimal. Namun sebaliknya, pada konsentrasi 30%, terjadi penurunan berat kering miselium kapang tetapi terjadi pembentukan aflatoksin yang optimal. Peningkatan konsentrasi glukosa lebih dari 30% mengakibatkan penurunan berat kering miselium dan sintesis aflatoksin. Ditambahkan pula bahwa efisiensi pemanfaatan glukosa oleh kapang akan menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi glukosa. Shih dan Marth (1974b) menegaskan bahwa pertumbuhan A. parasiticus pada media tumbuh yang mengandung glukosa terjadi sangat cepat pada 3 hari pertama, selanjutnya mengalami penurunan. Penghambatan kedua isolat pada media kaya karbohidrat dengan konsentrasi 1MIC menyebabkan intervensi ekstrak mengganggu metabolisme glukosa sebagai sumber karbon yang berakibat pada terganggunya pertumbuhan kedua isolat A. flavus. Pertumbuhan kedua isolat A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 pada media kaya lemak (Gambar 4.2) memperlihatkan bahwa konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 lebih tinggi daripada media kaya karbohidrat. Hal ini disebabkan karena lemak dapat menurunkan aktivitas antikapang karena komponen aktif ekstrak tumbuhan yang hidrofobik akan berikatan dengan gugus hidrofilik lemak (da Cruz Cabral dkk., 2013). Yu dkk. (2003) mengemukakan bahwa pengaruh lemak terhadap pertumbuhan kapang telah diteliti oleh beberapa peneliti. Ditambahkan pula bahwa oksidasi ergosterol dapat menginduksi pertumbuhan kapang. Diener dan Davis (1969) menambahkan bahwa selain ergosterol, hidrolisis asam-asam lemak pada santan kelapa juga menghasilkan gliserol yang mendukung pertumbuhan kapang. Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa asam-asam lemak jenuh seperti asam laurat, miristat, palmitat, dan stearat mendukung pertumbuhan kapang sedangkan asam-asam lemak tidak jenuh seperti oleat, linoleat dan linolenat menghambat pertumbuhan kapang (Arseculeratne dkk., 1969; Yong dkk., 2009). Penggunaan santan kelapa sebagai sumber lemak pada media tumbuh dalam penelitian ini mengindikasikan kemungkinan terjadi oksidasi asam-asam lemak pada santan kelapa yang berefek pada pembentukan asam lemak bebas jenuh yang mendukung pertumbuhan kapang. Akibatnya, dibutuhkan ekstrak HEM daun rumput kebar dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghambat pertumbuhan kapang. Pertumbuhan kedua isolat A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 pada media kaya protein (Gambar 4.3) memperlihatkan konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 lebih tinggi daripada yang dibutuhkan pada media kaya karbohidrat. Hal ini disebabkan karena protein dapat menurunkan aktivitas antikapang ekstrak tumbuhan karena berikatan dengan komponen ekstrak (da Cruz Cabral dkk., 2013). Payne dan Hagler (1983) mengemukakan bahwa asamasam amino pada protein sangat berperan sebagai sumber nitrogen bagi
pertumbuhan kapang. Mellon dan Cotty (1998) mengemukakan bahwa pada media yang diberi tambahan protein berupa kolagen, bovine serum albumin, zein (protein jagung), dan cottonseed storage protein memperlihatkan produksi biomassa yang lebih banyak dibanding kontrol. Dalam penelitian ini, sebagai sumber protein digunakan susu skim yang kaya akan asam-asam amino (U.S. Dairy Export Council, 2005). Namun tingginya kandungan asam amino pada susu skim menyebabkan ekstrak HEM daun rumput kebar yang ditambahkan pada media justru berikatan dengan protein pada susu skim sehingga dibutuhkan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi untuk menghambat pertumbuhan kedua isolat kapang. Hambatan Produksi Aflatoksin B1 (AFB1) Pengaruh ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap produksi AFB1 dapat dilihat pada Tabel 4.2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara penghambatan pertumbuhan kapang dengan penghambatan produksi AFB1. Pada media kaya lemak, ekstrak HEM daun rumput kebar dengan konsentrasi 1MIC dapat menghambat produksi AFB1 lebih tinggi (99.2%) daripada menghambat pertumbuhan A. flavus BCC F0219 (93.5%), sedangkan penghambatan produksi AFB1 pada A. flavus BIO 2236 lebih rendah (91.3%) daripada penghambatan pertumbuhannya (99.4%). Pada media kaya protein, ekstrak HEM daun rumput kebar lebih kuat menghambat pertumbuhan kedua isolat dari pada produksi AFB1. Namun terlihat adanya kecenderungan penghambatan pertumbuhan kedua isolat berhubungan dengan penghambatan produksi AFB1. Pada media kaya karbohidrat dan lemak, penghambatan produksi AFB1 A. flavus BCC F0219 mencapai 100 dan 99.2%, sedangkan pada media kaya protein hanya 70.9%. Sebaliknya isolat A. flavus BIO 2236 pada media kaya protein menghasilkan AFB1 yang lebih tinggi dibanding kedua jenis media lainnya, namun persentase penghambatan oleh ekstrak HEM daun rumput kebar juga lebih tinggi. Kumar dkk. (2010) dan Tian dkk. (2011) mengemukakan bahwa ada korelasi langsung antara pertumbuhan kapang dan produksi AFB1. Pertumbuhan miselium berkorelasi dengan sintesis enzim yang berperan dalam produksi AFB1 sehingga pertumbuhan miselium yang lebat pada A. flavus menyebabkan produksi aflatoksinnya juga tinggi. Lebih lanjut dikatakan bahwa kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk pembentukan konidium, sklerosium dan metabolisme sekunder adalah sama (Yu dkk., 2003). Meskipun demikian, penghambatan produksi AFB1 tidak selalu disebabkan oleh pertumbuhan kapang yang tereduksi tetapi dapat disebabkan oleh penghambatan katabolisme karbohidrat A. flavus dengan cara mempengaruhi beberapa enzim kunci yang pada akhirnya menurunkan kemampuan A. flavus untuk memproduksi AFB1 (Tatsadjieu dkk., 2009). Pitt (1993) mengemukakan bahwa penghambatan produksi aflatoksin mungkin disebabkan oleh enzim yang dilepaskan saat terjadi lisis pada miselium kapang. Ditambahkan pula oleh Namazi dkk. (2002) kerusakan miselium dan konidium kapang merupakan salah satu ciri proses deaktivasi aflatoksin.
Tabel 4.2. Penghambatan produksi aflatoksin B1 oleh ekstrak HEM daun rumput kebar pada media model Isolat
Jenis Media
Kons. Ekstrak dalam mg/mL (MIC)
A. flavus BCC F0219
Karbohidrat
Lemak Protein A. flavus
Karbohidrat
BIO 2236 Lemak
Protein
Kadar (ng/g) AFB1 a
Reduksi (%)
AFtotal
AFB1
kontrol (0MIC)
6.74 ± 0.07
15.56
12 (1MIC)
tt
kontrol (0MIC)
tt 1342.89 ± 8.82
1349.14
14 (1MIC)
11.01 ± 0.08
35.04
kontrol (0MIC)
93.18 ± 0.75
325.12
14 (1MIC)
27.16 ± 0.03
27.79
kontrol (0MIC)
33.36 ± 0.04
136.56
12 (1MIC)
5.53 ± 0.07
16.56
kontrol (0MIC)
961.05 ± 0.50
1517.94
16 (1MIC)
112.41
kontrol (0MIC)
83.37 ± 0.12 1188.07 ± 2.12
1628.62
16 (1MIC)
13.78 ± 0.28
37.06
AF total
tt
tt
99.2
97.4
70.9
91.5
83.4
87.9
91.3
92.6
98.8
97.7
a
data adalah rata-rata dari dua ulangan ± standar deviasi tt : tidak terdeteksi Ekstrak HEM daun rumput kebar mengandung senyawa fenolik yang merupakan salah satu penyebab penghambatan produksi AFB1. Kumar dkk. (2010) mengemukakan bahwa adanya komponen fenolik pada minyak atsiri Ocimum sanctum mampu mereduksi pertumbuhan kapang dan produksi AFB1. Penghambatan produksi aflatoksin oleh komponen fenolik juga dikemukakan oleh Kim dkk. (2006) yang menyatakan bahwa mitokondria berperan dalam penyediaan asetil-CoA yang merupakan prekursor utama dalam biosintesis aflatoksin. Kerusakan rantai respirasi mitokondrial yang disebabkan oleh komponen fenolik merupakan bagian dari penghambatan produksi aflatoksin. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak HEM daun rumput kebar tidak hanya mampu menghambat pertumbuhan kedua isolat A. flavus tetapi juga mampu menghambat produksi AFB1. KESIMPULAN Ekstrak HEM daun rumput kebar dapat menghambat pertumbuhan dan produksi AFB1 dari A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, lemak dan protein. Oleh karena itu, ekstrak HEM daun rumput kebar berpotensi untuk digunakan sebagai salah satu bahan alami untuk mengendalikan pertumbuhan kapang A. flavus dan menghambat produksi aflatoksin. Penelitian lanjutan yang perlu dilakukan yaitu aplikasi ekstrak HEM daun rumput kebar pada bahan pangan, keamanannya, dan sifat organoleptiknya.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) yang telah mendanai penelitian ini melalui hibah disertasi doktor DIPA BIOTROP tahun anggaran 2012. DAFTAR PUSTAKA Adam, M.R., dan Moss, M.O. (1995). Food Mirobiology. The Royal Society of Chemistry, Cambridge. Alberts., J.F., Engelbrecht, Y., Steyn, P.S., Holzapfel, W.H., dan van Zyl, W.H. (2006). Biological degradation of aflatoxin B1 by Rhodococcus erythropolis cultures. International Journal of Food Microbiology 109:121-126. Alberts, J.F., Gelderblom, W.C.A., Botha, A., dan van Zyl, W.H. (2009). Degradation of aflatoxin B1 by fungal laccase enzymes. International Journal of Food Microbiology 135:47-52. AOAC. (2005). AOAC, International official methods of analysis, Method, Gaithersburg, MD. 2005.08. Arseculeratne, S.N., de Silva, L.M., Wijesundera, S., dan Bandunatha, C.H.S.R. (1969). Coconut as a medium for the experimental production of aflatoxin. Applied Microbiology 18:88-94. Brusotti, G., Tosi, S., Tava, A., Picco, A.M., Grisoli, P., Cesari, I., dan Caccialanza, G. (2013). Antimicrobial and phytochemical properties of stem bark extracts from Piptadeniastrum africanum (Hook f.) Brenan. Industrial Crops and Products 43:612–616 da Cruz Cabral, L., Pinto, V.F., dan Patriarca, A. (2013). Application of plant derived compounds to control fungal spoilage and mycotoxin production in foods (Review). International Journal of Food Microbiology 166:1-14. Davis, N.D., Iyer, S.K., dan Diener, U.L. (1987). Improved Method of Screening for Aflatoxin with a Coconut Agar Medium. Applied and Environmental Microbiology 53:1593-1595. Deng, Y., Yu, Y., Luo, H., Zhang, M., Qin, X., dan Li, L. (2011). Antimicrobial activity of extract and two alkaloids from traditional Chinese medicinal plant Stephania dielsiana. Food Chemistry 124:15561560. Diener, U.L., dan Davis, N.D. (1969). Aflatoxin formation by Aspergillus flavus. Dalam: Goldblatt, L.A. (ed.). Aflatoxin: Scientific Background, Control, and Implications, hal. 13-39. Academic Press, New York. Garcia, D., Garcia-Cela, E., Ramos, A.J., Sanchis, V., dan Marín, S. (2011). Mould growth and mycotoxin production as affected by Equisetum arvense and Stevia rebaudiana extracts. Food Control 22: 1378-1384. Griffin, G.H. (1994). Fungal Physiology, 2nd edn. Wiley-Liss, New York. Guruvayoorappan, C., dan Kuttan, G. (2007). Immunomodulatory and antitumor activity of Biophytumsensitivum extract. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention 8:27-32 Guruvayoorappan, C., dan Kuttan, G. (2008). Methanol extract of Biophytumsensitivum alters the cytokine profile and inhibits iNOS and
COX-2 expression in LPS/Con A stimulated macrophages. Drug and Chemical Toxicology 31:175-188. Houghton, P.J., dan Raman, A. (2003). Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extracts. London (GB): Chapman and Hall Pr. Inngjerdingen, M., Inngjerdingen, K.T., Patel, T.R., Allen, S., Chen, X., Rolstad, B., Morris, G.A., Harding, S.E., Michaelsen, T.E., Diallo, D., dan Paulsen, B.S. (2008). Pectic polysaccharides from Biophytum petersianum Klotzsch, and their activation of macrophages and dendritic cells. Glycobiology 12:1074–1084. Jaberian, H., Piri, K., dan Nazari, J. (2013). Phytochemical composition and in vitro antimicrobial and antioxidant activities of some medicinal plants. Food Chemistry 136:237-244. Joseph, G.S., Jayaprakasha, G.K., Selvi, A.T., Jena, B.S., dan Sakariah, K.K. (2005). Antiaflatoxigenic and antioxidant activities of Garcinia extracts. International Journal of Food Microbiology 101:153-160. Kim, J.H., Mahoney, N., Chan, K.L., Molyneux, R., dan Campbell, B.C. (2006). Controlling food-contaminating fungi by targeting antioxidant stressresponse system with natural phenolic compounds. Applied Microbiology and Biotechnology 70:735-739. Kumar, A., Shukla, R., Singh, P., dan Dubey, N.K. (2010). Chemical composition, antifungal and antiaflatoxigenic activities of Ocimum sanctum L. essential oil and its safety assessment as plant based antimicrobial. Food and Chemical Toxicology 48:539–543 Lisangan, M.M., Syarief, R., Rahayu, W.P., dan Dharmaputra, O.S. (2014a). Antifungal activity of kebar grass leaf extracts on the growth of aflatoxigenic Aspergillus flavus in food model media. International Journal of Sciences:Basic and Applied Research 17:116-128. Lisangan, M.M., Syarief, R., Rahayu, W.P., dan Dharmaputra, O.S. (2014b). Effect of kebar grass (Biophytum petersianum) leaf extract on the growth and morphological structure of aflatoxigenic Aspergillus flavus (dalam proses publikasi). Marei, G.I.K., Abdel Rasoul, M.A., dan Abdelgaleil, S.A.M. (2012). Comparative antifungal activities and biochemical effects of monoterpenes on plant pathogenic fungi. Pesticide Biochemistry and Physiology 103:56-61. Mellon, J.E., dan Cotty, P.J. (1998). Effects of oilseed stor age proteins on aflatoxin production by Aspergillus flavus. Journal of the American Oil Cchemists Society 75:1085-1089. Murugan, K., Anandaraj, K., dan Al-Sohaibani, S. (2013). Antiaflatoxigenic food additive potential of Murraya koenigii : An in vitro and molecular interaction study. Food Research International 52:8-16. Namazi, M., Allameh, A., Aminshahidi, M., Nohee, A. dan Malekzadeh, F. (2002). Inhibitory effect of ammonia solution on growth and aflatoxin production by Aspergillus parasiticus NRRL-2999. Acta Poloniae Toxicologica 10:65-72. Natarajan, D., Shivakumar, M.S. dan Srinivasan, R. (2010). Antibacterial activity of leaf extracts of Biophytum sensitivum (L.) DC. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research 2:717-720
Onwuliri, F.C., dan Wonang, D.L. (2005). Studies on the combined antibacterial action of Ginger (Zingiber officinale L) and Garlic (Allium sativum L) on some bacteria. Nigerian Journal of Botany 18:224-228. Payne, G.A. dan Hagler Jr., W.M. (1983). Effect of Specific Amino Acids on Growth and Aflatoxin Production by Aspergillus parasiticus and Aspergillus flavus in Defined Media. Applied and Environmental Microbiology 46:805-812. Pitt, R.E. (1993). A descriptive model of mold growth and aflatoxin formation as affected by environmental conditions. Journal of Food Protection 56:139146. Pitt, J.I., dan Hocking, A.D. (2009). Fungi and Food Spoilage, 3rd edn. Springer, New York. Rachmawati, S., Lee, A., Murdiati, T.B., dan Kennedy, I. (2004). Pengembangan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) teknik untuk analisis aflatoksin B1 pada pakan ternak. Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner 133-148. Riba, A., Bouras, N., Mokrane, S., Mathieu, F., Lebrihi, A., dan Sabaou, N. (2010). Aspergillus section Flavi and aflatoxins in Algerian wheat and derived products . Food and Chemical Toxicology 48:2772-2777 Sa´nchez, E., Heredia, N., dan Garcia, S. (2005). Inhibition of growth and mycotoxin production of Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus by extracts of Agave species. International Journal of Food Microbiology 98:271 – 279 Santoso, B., Kilmaskossu, A., dan Sambodo, P. (2007). Effects of saponin from Biophytum petersianum Klotzsch on ruminal fermentation, microbial protein synthesis and nitrogen utilization in goats. Animal Feed Science and Technology 137:58-68. Shih, C.N., dan Marth, E.H. (1974a). Some cultural conditions that control biosynthesis of lipid and aflatoxin by Aspergillus parasiticus. Applied Mycrobiology 27:452-456. Shih, C.N., dan Marth, E.H. (1974b). Aflatoxin formation, lipid synthesis, and glucose metabolism by Aspergillus parasiticus during incubation with and without agitation. Biochimica et Biophysica Acta (BBA). 338:1286-296 Skočibušić, M., Bezić, N., dan Dunkić, V. (2006). Phytochemical composition and antimicrobial activities of the essential oils from Satureja subspicata Vis. growing in Croatia. Food Chemistry 96:20-28 Sule, W.F., Okonko, I.O., Omo-Ogun, S., Nwanze, J.C., Ojezele, M.O., Ojezele, O.J., Alli, J.A., Soyemi, E.T., dan Olaonipekun, T.O. (2011). Phytochemical properties and in vitro antifungal activity of Senna alata Linn. crude stem bark extract. Journal of Medicinal Plants Research 5:176-183. Tatsadjieu, N.L., Dongmo, P.M.J., Ngassoum, M.B., Etoa, F.X., dan Mbofung, C.M.F. (2009). Investigations on the essential oil of Lippia rugosa from Cameroon for its potential use as antifungal agent against Aspergillus flavus Link ex. Fries. Food Control 20:161-166. Tian, J., Ban, X., Zeng, H., He, J., Huang, B., dan Wang, Y. (2011). Chemical composition and antifungal activity of essential oil from Cicuta virosa L. var. latisecta Celak. International Journal of Food Microbiology 145:464– 470
U.S. Dairy Export Council. (2005). Reference Manual for U.S. Milk Powder. Hal. 41. Yong, J.W.H., Ge, L., Ng, Y.F. dan Tan, S.N. (2009). The chemical composition and biological properties of coconut (Cocos nucifera L) water. Molecules 14:5144-5164. Yu, J., Mohawed, S.M., Bhatnagar, D., dan Cleveland, T.E. (2003). Substrateinduced lipase gene expression and aflatoxin production in Aspergillus parasiticus and Aspergillus flavus. Journal of Applied Microbiology 95:1334-1343
5 ANTIKAPANG DAN ANTIAFLATOKSIN B1 EKSTRAK DAUN RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum) PADA MEDIA BERBASIS JAGUNG DAN KACANG TANAH [Antifungal and Antiaflatoxin B1 Kebar Grass (Biophytum petersianum Klotzsch) Leaf Extract on Maize and Peanut Based Media)] ABSTRAK Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan metabolit sekunder dari Aspergillus flavus toksigen yang berifat toksik terhadap manusia dan hewan, dan mengakibatkan kerugian ekonomi. Kontaminasi A. flavus dan AFB1 pada bahan pangan seperti jagung dan kacang tanah menyebabkan bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji aktivitas antikapang dan antiaflatoksin B1 ekstrak bertingkat heksana-etil asetat-metanol (HEM) daun rumput kebar terhadap A. flavus toksigen pada media jagung dan kacang tanah. AFB1 dianalisis menggunakan HPLC. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 1, 1.5 dan 2 MIC. Pada media jagung dengan konsentrasi 12.5, 25, 50 dan 100%, persentase hambatan pertumbuhan berturut-turut berkisar pada 50.4 – 81.0, 59.3 – 85.1, 52.9 – 83.0, dan 44.0 – 66.5%. Sedangkan pada media kacang tanah dengan konsentrasi 12.5, 25, 50 dan 100%, persentase hambatan pertumbuhan berturut-turut berkisar pada 75.9 – 100, 72.3 – 100, 63.7 – 100, 64.9 – 100. Reduksi AFB1 pada konsentrasi jagung 100% berkisar pada 7.0 – 91.3%, sedangkan untuk kacang tanah berkisar pada 19.3 – 59.4%. Kata kunci: Aflatoksin B1, Biophytum petersianum, jagung, kacang tanah. ABSTRACT Aflatoxin B1 (AFB1) was a secondary metabolite of toxigenic Aspergillus flavus which was toxic to humans and animals, and economic losses. A. flavus and AFB1 contamination in foodstuffs such as maize and peanuts cause the food unfit for consumption. The objective of this study was to assess the antifungal activity and antiaflatoxin B1 of hexane-ethyl acetate-methanol (HEM) kebar grass leaf extract against toxigenic A. flavus kebar in maize and peanut based media. AFB1 was analyzed using HPLC. The concentration of extract used were 1, 1.5 and 2 MIC. At corn based media with maize at concentrations 12.5, 25, 50 and 100%, the growth inhibition ranged between 50.4 - 81.0, 59.3 - 85.1, 52.9 - 83.0, and 44.0 66.5%. While in the peanut based media with peanut at concentrations 12.5, 25, 50 and 100%, the growth inhibition ranged between 75.9 - 100, 72.3 - 100, 63.7 100, 64.9 - 100%. Reduction of AFB1 at 100% corn based media ranged at 7.0 91.3%, while the range for peanuts at 19.3 - 59.4%. Keywords: aflatoxin B1, Biophytum petersianum, maize, peanut Pendahuluan Jagung (Zea mays L) selain sebagai sumber karbohidrat, juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu masyarakat Indonesia. Kandungan nutrisi pada jagung seperti karbohidrat, protein, lemak, dan serat, sangat berpotensi digunakan oleh kapang sebagai media pertumbuhan. Aspergillus flavus merupakan salah satu spesies kapang yang paling sering ditemukan pada jagung
(Sa´nchez et al. 2005, Abbas et al. 2006). Sedangkan kacang tanah (Arachis hypogaea L) merupakan tanaman yang sangat penting di seluruh dunia karena nilai nutrisi dan nilai ekonominya tinggi (Murugan et al. 2013). Kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah merupakan masalah utama bagi pertanian di lingkungan tropis. Kacang tanah dapat terserang oleh A. flavus toksigen sebelum dan saat panen, selama proses pengeringan, dan selama penyimpanan (Kumar et al. 2008). Aspergillus flavus toksigen merupakan kontaminan yang sangat penting dalam bahan pangan dan pakan karena dapat memproduksi metabolit sekunder seperti aflatoksin yang diketahui bersifat mutagenik, karsinogenik, teratogenik, hepatotoksik, immunosuppressive, dan juga menghambat beberapa sistem metabolik (Sa´nchez et al. 2005, Alberts et al. 2006). Saat kapang A. flavus toksigenik mengkontaminasi bahan pangan seperti kacang dan jagung sehingga menghasilkan aflatoksin, membuat bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi (Sa´nchez et al. 2005). Dari semua kelompok aflatoksin, aflatoksin B1 (AFB1) yang paling beresiko terhadap kesehatan manusia dan hewan (Joseph et al. 2005). Konsumsi bahan pangan yang terkontaminasi oleh aflatoksin telah dihubungkan dengan beberapa kasus keracunan pada manusia atau mikotoksikosis, bahkan mengakibatkan kematian (Bathnagar and Garcia 2001). Oleh sebab itu, bahan pangan yang terkontaminasi A. flavus toksigen dan kemungkinan kehadiran aflatoksin mendapat perhatian dunia sehingga penting dalam sistem perdagangan pangan internasional (Mishra and Das 2003). Indonesia menetapkan batas maksimum kandungan AFB1 dan aflatoksin total pada jagung, kacang tanah, dan produk olahannya masing-masing sebesar 15 dan 20 ppb (SNI 2009). Sejauh ini telah banyak fungisida sintetis yang digunakan untuk mengatasi masalah aflatoksin, namun keamanannya terhadap bahan pangan masih meragukan (Gopalkrishnan et al. 1997) sehingga penggunaan ekstrak tumbuhan, rempah-rempah, dan komponen aktifnya merupakan alternatif untuk mencegah pertumbuhan kapang dan pembentukan aflatoksin (Joseph et al. 2005). Rumput kebar (Biophytum petersianum) merupakan tumbuhan family Oxalidaceae, genus Biophytum, yang terdiri dari beberapa spesies yaitu B. dendroides, B. reinwarditii, B. microphylum, B. adiantoides, B. fruticosum, dan B. petersianum (Veldkamp 1976 dalam Imbiri et al. 2000). Biophytum petersianum tumbuh di hampir seluruh wilayah Asia Selatan, Afrika dan Madagaskar. Namun selain di ketiga wilayah tersebut, ternyata B. petersianum juga tumbuh secara endemik di Distrik Kebar Kabupaten Manokwari, Papua Barat, sehingga tumbuhan tersebut disebut rumput kebar oleh masyarakat setempat (Santoso et al. 2007). Dalam pengobatan tradisional suku Mali di Afrika, rumput kebar digunakan untuk mengobati luka, sebagai anti-inflamasi, mengatasi gangguan pencernaan, malaria, dan demam (Inngjerdingen et al. 2008). Sejauh ini, secara empiris pemanfaatan rumput kebar oleh masyarakat di Papua terbatas sebagai penyubur kandungan. Santoso et al. (2007) mengemukakan bahwa tumbuhan rumput kebar memiliki kandungan alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida, yang merupakan komponenkomponen bioaktif. Keberadaan kelompok bioaktif yang cukup lengkap dalam rumput kebar membuat tumbuhan ini berpotensi sebagai antimikrob. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji aktivitas antikapang dan antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar terhadap A. flavus toksigen pada media sistem pangan.
Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan baku utama adalah jenis ekstrak HEM daun rumput kebar yang diperoleh dari penelitian Lisangan et al. (2014a). Isolat kapang yang digunakan adalah A. flavus BIO 2236 yang diperoleh dari SEAMEO BIOTROP Culture Collection. Jagung varietas Bima (kadar air 13%)diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Palawija DIY Yogyakarta, kacang tanah varietas Kidang (kadar air 9%) diperoleh dari BIOGEN Bogor. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi adalah bahan kimia dengan kualitas Pro Analysis (JT. Baker, USA), sedangkan bahan kimia untuk analisis aflatoksin B1 adalah bahan kimia dengan kualitas HPLC grade (Merck). Media pertumbuhan mikroba adalah PDA (Potato Dextrose Agar, Oxoid), Bacto agar (Difco). Peralatan yang digunakan adalah seperangkat alat gelas untuk ekstraksi, seperangkat alat HPLC (Agilent 1260 Infinity Isocratic LC), shaker, mikropipet, alat pemanas (hot plate), pengaduk (stirrer), jangka sorong, dan alat-alat gelas. Persiapan Ekstrak Tumbuhan Ekstrak HEM (n-heksana-etil asetat-metanol) daun rumput kebar yang digunakan diperoleh dari penelitian sebelumnya (Lisangan et al. 2014a). Ekstrak diperoleh dengan cara maserasi dan sonifikasi (Deng et al. 2011) kemudian dianalisis dengan py/GC-MS. Ekstrak didominasi oleh senyawa fenolik (26.56%) dan terpena (15.60%). Ekstrak kemudian disimpan pada suhu 4 °C sebelum digunakan untuk pengujian aktivitas antikapang (Tian et al. 2011) dan produksi aflatoksin B1 (AOAC 2005). Persiapan Konidium Kapang (Joseph et al. 2005) Isolat kapang ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar, Oxoid, Inggris) miring dan diinkubasi pada suhu 28 °C selama 5 hari. Konidium dipanen dengan menambahkan 10 mL akuades steril dan dikumpulkan secara aseptik. Pada suspensi konidium ditambahkan Tween 80 (0.5%) kemudian dihitung dengan menggunakan hemasitometer, konsentrasi konidium diatur menjadi 106 CFU/mL. Penyiapan Media Agar-Agar Jagung Pembuatan media agar-agar jagung dilakukan menggunakan metode Joseph et al. (2005) yang dimodifikasi. Jagung varietas Bima yang telah dikeringkan dengan bantuan sinar matahari hingga kadar air sekitar 13-14% dipipil secara manual dan digiling menggunakan blender (Philips), lalu diayak dengan saringan berukuran 50-60 mesh. Media agar-agar jagung disiapkan dengan cara bubuk jagung ditimbang untuk mencapai konsentrasi 12,5; 25; 50; dan 100% lalu ditempatkan di dalam cawan Petri (diameter 9 cm) dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Sebagai pengikat digunakan media agar-agar (Bacto Agar) yang dibuat dengan cara Bacto Agar sebanyak 20 g/L akuades disterilisasi di dalam otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Penyiapan Media Agar-Agar Kacang Tanah Pembuatan media agar-agar kacang tanah dilakukan menggunakan metode Joseph et al. (2005) yang dimodifikasi. Kacang tanah varietas Kidang dikeringkan dengan oven pengering hingga kadar air sekitar 8-9% kemudian dikupas kulit
polongnya secara manual dan dihancurkan menggunakan blender (Philips), kemudian diayak dengan saringan berukuran 70-80 mesh. Media agar-agar kacang tanah disiapkan dengan cara bubuk kacang tanah ditimbang untuk mencapai konsentrasi 12,5; 25; 50; dan 100% kemudian ditempatkan di dalam cawan petri (diameter 9 cm) dan disterilisasi dalam otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Sebagai pengikat digunakan media agar-agar (Bacto Agar) yang dibuat dengan cara Bacto Agar sebanyak 20 g/L akuades disterilisasi di dalam otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Pengujian Penghambatan Pertumbuhan A. flavus (Tian et al. 2011). Konsentrasi ekstrak rumput kebar yang ditambahkan ke media pangan adalah 1, 1.5, dan 2 MIC. Nilai MIC diperoleh dari penelitian Lisangan et al. (2014a). Media agar-agar sebanyak 10 mL yang mengandung ekstrak HEM daun rumput kebar hingga mencapai konsentrasi ekstrak 1, 1.5 dan 2 MIC dituang ke dalam masing-masing cawan petri (diameter 9 cm) berisi media pangan dan dibiarkan memadat. Lima mikroliter suspensi konidium A. flavus BIO 2236 diinokulasi pada permukaan dan di tengah setiap media dan diinkubasi pada suhu 28 °C selama 10 hari. Diameter koloni (dalam milimeter) diamati setiap 24 jam selama 10x24 jam. Sebagai kontrol negatif, kultur kapang ditumbuhkan pada media model pangan tanpa kandungan ekstrak rumput kebar, sedangkan sebagai kontrol positif digunakan media pangan dengan ketoconazole 5 mg mL-1. Setiap perlakuan dibuat dua ulangan dengan analisis duplo. Persentase penghambatan pertumbuhan kapang ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (dc - dt) Hambatan pertumbuhan =
X 100% dc
dc = diameter koloni kontrol negatif (mm) dt = diameter koloni perlakuan (mm) Ekstraksi dan Analisis Kandungan Aflatoksin B1 (AOAC 2005). Sampel dari pertumbuhan kapang selama 10 hari ditimbang sebanyak 10 g, ditambahkan 2 g NaCl dan 50 mL metanol 70% kemudian diblender selama 2 menit. Larutan kemudian disaring dengan kertas saring bergalur lalu filtrat sebanyak 6 mL dipindahkan ke labu Erlenmeyer, ditambahkan akuades 12 mL, divorteks, kemudian disaring dengan kertas saring microfiber filter. Filtrat kemudian dipipet sebanyak 6 mL dan dimasukkan ke dalam syringe barrel connection yang dihubungkan dengan immunoaffinity column (VICAM) kemudian didorong dengan air pump dengan kecepatan 2 tetes/detik sampai muncul gelembung pada ujung aflatest (VICAM). Filtrat dielusi dengan 1 mL metanol grade HPLC dengan kecepatan 1 tetes/detik, kemudian ditambahkan dengan 0.5 mL akubides grade HPLC dan divorteks. Sebanyak 20 μL alikuot diinjeksi ke sistem HPLC. Deteksi aflatoksin B1 menggunakan HPLC (Agilent 1260 Infinity Isocratic LC). Kondisi operasional alat: kolom Poroshell 120 SB C18, 4.6x150 mm x 2.7μm, derivatisasi menggunakan post kolom Photochemical Reactor Derivatization (PHRED) merk AURA, detektor fluoresensi (Kratos 950), panjang gelombang eksitasi 365 nm dan emisi 465 nm, fase gerak H2O : ACN : MeOH (60:20:20), laju alir 1 mL/menit, sistem elusi isokratik, suhu kolom dan
post kolom 40 °C, dengan waktu running 15 menit, limit deteksi (LOD) 0.45 ng/mL sedangkan LOQ 1.5 ng mL-1. Perlakuan dirancang dua kali ulangan dengan analisis duplo. Persentase penghambatan produksi aflatoksin B1 dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (Ac - At) Hambatan produksi AFB1 =
X 100% Ac
Ac = kandungan AFB1 kontrol negatif (ng/g) At = kandungan AFB1 perlakuan (ng/g) Analisis Statistik Hasil pengamatan dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007. Semua nilai dinyatakan sebagai rataan ± standard deviasi (n=2). Hasil dan Pembahasan Penghambatan Pertumbuhan A. flavus Pada Media Jagung dan Kacang Tanah Aktivitas penghambatan ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2236 pada media jagung dan kacang tanah ditampilkan pada Tabel 5.1 dan 5.2. Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bubuk jagung dan ekstrak HEM daun rumput kebar, semakin kecil diameter miselium kapang. Hambatan pertumbuhan A. flavus BIO 2236 pada media kacang tanah memperlihatkan pola yang sama dengan hambatan pertumbuhan pada media jagung, yaitu semakin tinggi konsentrasi media kacang tanah dan ekstrak HEM daun rumput kebar semakin kecil diameter miselium kapang. Pada media kacang tanah, konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar pada tingkat konsentrasi 2 MIC dapat menghambat pertumbuhan kapang secara total (100%). Kondisi ini disebabkan oleh karena dalam pembuatan media jagung dan kacang tanah digunakan bacto agar sebagai pengikat, yang diduga mempengaruhi kadar air dan aw (aktivitas air) media jagung dan kacang tanah. Kadar air bubuk jagung yang digunakan sebagai media tumbuh adalah 13-14% sedangkan kadar air kacang tanah adalah 8 – 9%. Penambahan bacto agar yang mengandung air akan menambah kadar air media jagung dan kacang tanah. Pada konsentrasi media jagung dan kacang tanah yang rendah, bacto agar yang terserap oleh media jagung dan kacang tanah lebih banyak, sedangkan pada konsentrasi jagung dan kacang tanah yang semakin tinggi, bacto agar yang terserap oleh media semakin sedikit sehingga mempengaruhi kadar air dan aw media jagung dan kacang tanah. Griffin (1994) mengemukakan bahwa kapang membutuhkan air untuk mendukung pertumbuhannya. Semakin lembab kondisi suatu media tumbuh, semakin mudah kapang untuk bertumbuh. Menurut Cuero et al. (1988), pada suhu antara 25-27 °C dan aw antara 0.90-0.98 mikrob mampu tumbuh pada bahan dengan kadar air 13-18%. Hal ini yang diduga mempengaruhi tingginya persentase hambatan pertumbuhan kapang pada media kacang tanah dibandingkan media jagung.
Tabel 5.1 Pengaruh ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2236 pada media jagung Kons. Media (%) 12.5
Kons. Ekstrak dalam mg mL-1 (MIC) 0 (12)1 MIC (18) 1.5 MIC (24) 2 MIC Ketoconazole (5)
Diameter koloni (mm) Penghambatan (%) ± SD ± SD 85.8 ± 6.0 0.0 ± 0.0 42.5 ± 2.8 50.4 ± 0.2 22.3 ± 0.4 74.0 ± 1.4 16.0 ± 7.8 81.0 ± 10.4 20.3 ± 1.1 76.3 ± 2.9
25
0 (12)1 MIC (18) 1.5 MIC (24) 2 MIC Ketoconazole (5)
81.3 ± 3.2 33.0 ± 1.4 24.0 ± 2.1 12.1 ± 1.9 26.5 ± 0.0
0.0 ± 0.0 59.3 ± 3.3 70.4 ± 3.8 85.1 ± 1.8 67.4 ± 1.3
50
0 (12)1 MIC (18) 1.5 MIC (24) 2 MIC Ketoconazole (5)
68.8 ± 5.3 32.3 ± 1.1 22.6 ± 4.1 11.5 ± 3.5 31.5 ± 1.4
0.0 ± 0.0 52.9 ± 5.2 67.2 ± 3.4 83.0 ± 6.5 54.0 ± 5.6
100
0 (12)1 MIC (18)1.5 MIC (24) 2 MIC Ketoconazole (5)
51.4 ± 1.9 28.8 ± 1.1 23.8 ± 0.4 17.3 ± 1.8 34.9 ± 1.6
0.0 ± 0.0 44.0 ± 0.1 53.7 ± 2.4 66.5 ± 2.2 32.1 ± 0.5
Pertumbuhan A. flavus BIO 2236 (Tabel 5.1 dan 5.2) dipengaruhi juga oleh konsentrasi ekstrak, yaitu pada konsentrasi ekstrak yang semakin tinggi diameter miselium A. flavus BIO 2236 semakin kecil dan hambatan pertumbuhan A. flavus BIO 2236 semakin tinggi. Sa´nchez et al. (2005) melaporkan hambatan pertumbuhan A. flavus oleh ekstrak bunga Agave asperima pada jagung yang disimpan berkisar pada konsentrasi 33 – 40 mg mL-1. Nilai ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar. Penghambatan Produksi Aflatoksin B1 Pada Media Jagung dan Kacang Tanah Aktivitas penghambatan ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap produksi AFB1 isolat A. flavus BIO 2236 pada media jagung dan kacang tanah ditampilkan pada Tabel 5.3 dan 5.4. Pada konsentrasi ekstrak 2 MIC, reduksi AFB1 dan AF total lebih dari 90% pada media jagung (Tabel 5.3), sedangkan pada media kacang
tanah konsentrasi ekstrak 2 MIC menghambat secara total pertumbuhan dan produksi AFB1 dan AF total. Tabel 5.2 Pengaruh ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2236 pada media kacang tanah Kons. Media (%) 12.5
Kons. Ekstrak dalam mg mL-1 (MIC) 0 (16)1 MIC (24) 1.5 MIC (32) 2 MIC Ketoconazole (5)
Diameter koloni (mm) Penghambatan (%) ± SD ± SD 89.3 ± 1.1 0.0 ± 0.0 21.5 ± 4.2 75.9 ± 5.0 9.6 ± 1.6 89.2 ± 1.9 0.0 ± 0.0 100.0 ± 0.0 41.5 ± 5.7 53.5 ± 6.9
25
0 (16) 1 MIC (24) 1.5 MIC (32) 2 MIC Ketoconazole (5)
85.5 ± 6.4 23.5 ± 3.5 5.9 ± 8.3 0.0 ± 0.0 53.1 ± 4.8
0.0 ± 0.0 72.3 ± 6.2 92.7 ± 10.3 100.0 ± 0.0 37.5 ± 10.2
50
0 (16) 1 MIC (24) 1.5 MIC (32) 2 MIC Ketoconazole (5)
85.5 ± 2.1 31.1 ± 6.5 17.0 ± 7.1 0.0 ± 0.0 54.0 ± 3.5
0.0 ± 0.0 63.7 ± 6.7 80.2 ± 7.8 100.0 ± 0.0 36.8 ± 5.7
100
0 (16) 1 MIC (24) 1.5 MIC (32) 2 MIC Ketoconazole (5)
82.0 ± 0.7 28.8 ± 2.5 14.8 ± 0.7 0.0 ± 0.0 45.6 ± 2.3
0.0 ± 0.0 64.9 ± 3.3 82.0 ± 0.7 100.0 ± 0.0 44.3 ± 3.3
Penghambatan produksi AFB1 dan AF total ekstrak HEM daun rumput kebar lebih tinggi dari pada terhadap pertumbuhan miselium kapang. Pola ini mirip dengan ekstrak Garcinia indica yang pada konsentrasi 0.5 dan 1 mg mL-1 menghambat produksi aflatoksin lebih tinggi dari pada penghambatan pertumbuhan A. flavus (Selvi et al. 2003). Efek reduksi ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap AFB1 dan AF total mengindikasikan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar tidak hanya menghambat pertumbuhan miselium kapang tetapi juga kemampuan miselium kapang untuk memproduksi aflatoksin berkurang (Gandomi et al. 2009). Rendahnya produksi aflatoksin pada media jagung dan kacang tanah disebabkan oleh kecilnya diameter miselium kapang yang mengindikasikan adanya pertumbuhan yang terhambat.
Pertumbuhan yang terhambat akan mempengaruhi produksi aflatoksin karena meskipun aflatoksin merupakan metabolit sekunder namun produksinya sangat terkait dengan berbagai enzim yang ikut terhambat saat pertumbuhan terhambat. Hal yang sama dilaporkan juga oleh Kumar et al. (2008; 2010) dan Tian et al. (2011). Tabel 5.3 Reduksi aflatoksin B1 oleh ekstrak HEM daun rumput kebar pada media jagung Kons. Media
-1
(%)
dalam mg mL (MIC) 100
a
Kons. Ekstrak
Kandungan (ng g-1) AFB1
a
Reduksi (%)
AF-total
AFB1
AF total
kontrol (0MIC)
13 544.60 ± 139.34
13 594.21
12 (1 MIC)
12 599.24 ± 169.81
12 637.30
7.0
7.0
18 (1.5 MIC)
10 984.96 ± 488.31
11 045.63
18.9
18.7
24 (2 MIC)
1 179.20 ± 235.28
1 202.93
91.3
91.2
data adalah rata-rata dari dua ulangan ± standar deviasi
Tabel 5.4 Reduksi aflatoksin B1 oleh ekstrak HEM daun rumput kebar pada media kacang tanah Kons. Media (%) 100
Kons. Ekstrak dalam mg mL -1 (MIC)
Kandungan (ng g-1) AFB1 a
Reduksi (%)
AF-total
AFB1
AF total
kontrol (0 MIC)
651.79 ± 150.65
748.50
16 (1 MIC)
526.03 ± 24.77
625.73
19.3
16.4
24 (1.5 MIC)
264.87 ± 19.98
389.86
59.4
47.9
(32) 2 MIC
-
-
-
-
a
data adalah rata-rata dari dua ulangan ± standar deviasi - : tidak dianalisis karena tidak terjadi pertumbuhan kapang Kandungan karbohidrat pada jagung mempengaruhi produksi AFB1 A. flavus BIO 2236. Pada penelitian sebelumnya yang menggunakan media buatan yang kaya akan karbohidrat, pada konsentrasi ekstrak 1 MIC diperoleh persentase reduksi AFB1 dan aflatoksin total kurang dari 90% (Lisangan et al. 2014b), namun pada penelitian ini, persentase reduksi AFB1 dan aflatoksin total hanya mencapai 7%. Jagung varietas Bima yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan karbohidrat sebesar 52.87% (Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros). Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa jagung memiliki peluang yang cukup besar sebagai sumber karbon (C) bagi pertumbuhan mikrob. Ketersediaan sumber karbon yang cukup ini juga akan menunjang pembentukan aflatoksin, karena karbohidrat dapat dengan mudah dipecah menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu berupa gula sederhana dibandingkan dengan serat atau lemak. Terdapat 17 jenis karbon yang digunakan oleh A. flavus untuk memproduksi aflatoksin yang diantaranya bisa diperoleh dari sukrosa, fruktosa, glukosa, xilosa, ribosa dan gliserol (Mateles dan Adye 1965; Pitt and Hocking 2009). Diener dan Davis (1969) mengemukakan bahwa karbohidrat merupakan pendukung utama pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Oleh karenanya, penghambatan katabolisme karbohidrat A. flavus
dapat menurunkan kemampuan A. flavus untuk memproduksi AFB1 (Tatsadjieu et al. 2009). Hal yang sama terjadi pada media kacang tanah. Produksi AFB1 A. flavus BIO 2236 pada media kacang tanah dipengaruhi oleh kandungan lemaknya. Kacang tanah varietas Kidang yang digunakan pada penelitian ini mengandung lemak sebesar 49% (Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros). Pada penelitian sebelumnya yang menggunakan media yang kaya akan lemak, pada konsentrasi ekstrak 1 MIC diperoleh persentase reduksi AFB1 dan aflatoksin total lebih dari 90% (Lisangan et al. 2014b), namun pada penelitian ini, persentase reduksi AFB1 dan aflatoksin total hanya mencapai 19.3 dan 16.4%. Hal ini disebabkan karena lemak dapat menurunkan aktivitas antikapang karena komponen aktif ekstrak tumbuhan yang hidrofobik akan berikatan dengan gugus hidrofilik lemak (da Cruz Cabral et al. 2013). Hal ini berarti dibutuhkan konsentrasi ekstrak yang jauh lebih tinggi untuk mencapai persentase reduksi AFB1 dan aflatoksin total di atas 90% pada media pangan. Tian et al. (2011) mengemukakan bahwa kondisi nutrisi dan kelembaban di bahan pangan lebih baik dan sangat mendukung pertumbuhan mikrob sehingga dibutuhkan konsentrasi antimikrob yang lebih tinggi dalam bahan pangan dari pada dalam media laboratorium. Bagamboula et al. (2004) dan Gandomi et al. (2009) menambahkan bahwa dibutuhkan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi untuk menghambat pertumbuhan kapang pada bahan pangan daripada di media tumbuh. Faktor lain yang mempengaruhi produksi AFB1 pada kacang tanah adalah kandungan asam lemak tidak jenuh yang terdapat pada kacang tanah. Kacang tanah kaya akan asam lemak tidak jenuh. Dikemukakan oleh Yu et al. (2003) bahwa asam-asam lemak tidak jenuh dapat menghambat pertumbuhan kapang sedangkan asam-asam lemak jenuh mendukung pertumbuhan kapang yang secara langsung mempengaruhi produksi AFB1 oleh kapang. Kesimpulan Ekstrak HEM daun rumput kebar dapat menghambat pertumbuhan dan produksi AFB1 dari A. flavus BIO 2236 pada media jagung dan kacang tanah. Ke depannya perlu dikaji lebih lanjut aplikasi pada pangan olahan berbasis jagung dan kacang tanah, sifat organoleptiknya dan tingkat keamanan ekstrak secara in vitro dan in vivo. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amugme-Komoro, Timika yang telah mendanai penelitian ini melalui bantuan penelitian mahasiswa asal Papua. Daftar Pustaka Abbas HK, Cartwright RD, Xie W, Shier WT. 2006. Aflatoxin and fumonisin contamination of corn (maize, Zea mays) hybrids in Arkansas. Crop Prot. 25:1–9
Alberts JF, Engelbrecht Y, Steyn PS, Holzapfel WH, van Zyl WH. 2006. Biological degradation of aflatoxin B1 by Rhodococcus erythropolis cultures. Int J Food Microbiol 109:121-126. AOAC. 2005. AOAC, International official methods of analysis, Method, Gaithersburg, MD. 2005.08. Bagamboula CF, Uyttendaele M, Debevere J. 2004. Inhibitory effect of thyme and basil essential oils, carvacrol, thymol, estragol, linalool and p-cymene towards Shigella sonnei and S. Flexneri. Food Microbiol 21:33–42 Bathnagar D, Garcia S. 2001. Aspergillus. In: Labbe´, R.G., Garcia, S. (Eds.), Guide to Foodborne Pathogens. John Wiley and Sons, New York, pp. 35– 49. Cuero R, Smith JF, Lacey J. 1988. Mycotoxin formation by Aspergillus flavus and Fusarium graminearum in irradiated maize grains in the presence of other fungi. J Food Prot. 51:452-456. Deng Y, Yu Y, Luo H, Zhang M, Qin X, Li L. 2011. Antimicrobial activity of extract and two alkaloids from traditional Chinese medicinal plant Stephania dielsiana. Food Chem 124:1556-1560. Diener UL, Davis ND. 1969. Aflatoxin formation by Aspergillus flavus. Dalam: Goldblatt, L.A. (ed.). Aflatoxin: Scientific Background, Control, and Implications, p.13-39. Academic Press, New York. Gandomi H, Misaghi A, Basti AA, Bokaei S, Khosravi A, Abbasifar A, Javan AJ. 2009. Effect of Zataria multiflora Boiss. essential oil on growth and aflatoxin formation by Aspergillus flavus in culture media and cheese. Food and Chem Toxicol 47:2397–2400 Gopalkrishnan G, Banumathi B, Suresh G. 1997. Evaluation of the antifungal activity of natural xanthones from Garcinia mangostana and their synthetic derivative. J Nat Prod 60:519-524. Imbiri ANNH, Wanggai F, Maturbongs RA. 2000. An ecological aspect of Biophytum petersianum Klotzsch in Kebar district, Manokwari, Irian Jaya. Beccariana 2 (2):44 -47. Inngjerdingen M, Inngjerdingen KT, Patel TR, Allen S, Chen X, Rolstad B, Morris GA, Harding SE, Michaelsen TE, Diallo D, Paulsen BS. 2008. Pectic polysaccharides from Biophytum petersianum Klotzsch, and their activation of macrophages and dendritic cells. Glycobiology 12:1074–1084. Joseph GS, Jayaprakasha GK, Selvi AT, Jena BS, Sakariah KK. 2005. Antiaflatoxigenic and antioxidant activities of Garcinia extracts. Int J Food Microbiol 101:153-160. Kumar V, Basu MS, Rajendran TP. 2008. A review: Mycotoxin research and mycoflora in some commercially important agricultural commodities. Crop Prot 27:891-905. Kumar A, Shukla R, Singh P, Dubey NK. 2010. Chemical composition, antifungal and antiaflatoxigenic activities of Ocimum sanctum L. essential oil and its safety assessment as plant based antimicrobial. Food and Chem Toxicol 48:539–543 Lisangan MM, Syarief R, Rahayu WP, Dharmaputra O.S. 2014a. Antifungal activity of kebar grass leaf extracts on the growth of aflatoxigenic Aspergillus flavus in food model media. Int J Sci:Basic and App Res 17:116-128.
Lisangan MM, Syarief R, Rahayu WP, Dharmaputra OS. 2014b. Aktivitas antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar (Biophytum petersianum) terhadap Aspergillus flavus. Agritech, siap terbit. Mateles RI, Adye C. 1965. Production of aflatoxin in submerged culture. Appl. Microbiol. 13:208-221. Mishra HN, Das C. 2003. A review on biological control and metabolism of aflatoxin. Food Sci Nutr 43:245-264. Murugan K, Anandaraj K, Al-Sohaibani S. 2013. Antiaflatoxigenic food additive potential of Murraya koenigii : An in vitro and molecular interaction study. Food Res Int 52:8 – 16 Pitt JI, Hocking AD. 2009. Fungi and Food Spoilage, 3rd edn. Springer, New York. Sa´nchez E, Heredia N, Garcia S. 2005. Inhibition of growth and mycotoxin production of Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus by extracts of Agave species. Int J Food Microbiol 98:271 – 279 Santoso B, Kilmaskossu A, Sambodo P. 2007. Effects of saponin from Biophytum petersianum Klotzsch on ruminal fermentation, microbial protein synthesis and nitrogen utilization in goats. Animal Feed Sci and Tech 137:58–68. Selvi AT, Joseph GS, Jayaprakasha GK. 2003. Inhibition of growth and aflatoxin production in Aspergillus flavus by Garcinia indica extract and its antioxidant activity. Food Microbiol 20:455-460. Tatsadjieu NL, Dongmo PMJ, Ngassoum MB, Etoa FX, Mbofung CMF. 2009. Investigations on the essential oil of Lippia rugosa from Cameroon for its potential use as antifungal agent against Aspergillus flavus Link ex. Fries. Food Control 20:161-166. Tian J, Ban X, Zeng H, He J, Huang B, Wang Y. 2011. Chemical composition and antifungal activity of essential oil from Cicuta virosa L. var. latisecta Celak. Int J Food Microbiol 145:464–470
6 UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK DAUN RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum) [Cytotoxicity Assay of Kebar Grass Extract (Biophytum petersianum)] ABSTRAK Rumput kebar adalah tumbuhan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat di Papua Barat sebagai obat penyubur kandungan. Masyarakat di Afrika memanfaatkan rumput kebar sebagai pengobat luka dan malaria. Rumput kebar juga memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antikapang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat toksisitas ekstrak daun rumput kebar terhadap sel normal sel Vero. Aktivitas sitotoksik ekstrak HEM daun rumput kebar diuji menggunakan metode MTT assay. Hasil penelitian diketahui bahwa ekstrak HEM daun rumput kebar menghambat proliferasi sel Vero lebih dari 75% pada tingkat konsentrasi ekstrak 12 – 32 mg mL-1, sedangkan nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar adalah 13.41 mg mL-1. Hasil ini mengindikasikan bahwa ekstrak daun rumput kebar berpotensi untuk digunakan sebagai bahan antikapang pada bahan pangan. Kata kunci: CC50, MTT assay, rumput kebar, sitotoksisitas, sel Vero. ABSTRACT Kebar grass was a plant which utilized by people in West Papua as uterus fertilizer. People in Africa used kebar grass to healing wound and malaria. Kebar grass also had antibacterial and antifungal activities. The objective of this research was to study toxicity level of kebar grass leaf HEM extract on Vero cell line. Cytotoxicity activity of kebar grass leaf extract tested by using MTT assay method. The result suggested that kebar grass leaf HEM extract can inhibit Vero cell proliferation more than 75% at concentration of 12 – 32 mg mL-1, while CC50 value of kebar grass leaf HEM extract was 13.41 mg mL-1. This results indicated that kebar grass leaf extract had potency to be used as antifungal agent in foodtuffs. Keywords: CC50, cytotoxicity, kebar grass, MTT assay, Vero cell. Pendahuluan Mikotoksin merupakan metabolit sekunder kapang yang memiliki efek negative terhadap manusia, hewan, tanaman, dan bahkan mengakibatkan penyakit, kematian, dan kerugian ekonomi (Zain 2011). Beberapa jenis kapang mampu memproduksi lebih dari satu jenis mikotoksin dan beberapa jenis mikotoksin dapat diproduksi oleh lebih dari satu jenis kapang. Bahkan lebih dari satu jenis mikotoksin dapat ditemukan pada bahan pangan yang terkontaminasi. Hingga saat ini, lebih dari 300 jenis mikotoksin telah diketahui (Zain 2011). Bahan pangan dapat terkontaminasi mikotoksin di berbagai tahapan dalam rantai bahan pangan, mulai dari lapangan hingga proses pengolahan dan distribusi, dan diantara berbagai jenis kapang mikotoksigenik, Aspergillus flavus merupakan salah satu jenis kapang mikotoksigenik yang perlu mendapat perhatian (Bennet
and Klich 2003). Metabolit sekunder yang dihasilkan A. flavus adalah aflatoksin B1 (AFB1) yang bersifat hepatokarsinogenik (Zain 2011). Kontaminasi aflatoksin berhubungan dengan peningkatan kematian hewan ternak dan secara signifikan menurunkan nilai biji-bijian sebagai pakan ternak dan komoditas ekspor (Van Egmond 2002). Oleh karenanya, dikembangkan berbagai upaya untuk meminimalisasi efek negatif dan kerugian akibat kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan maupun pakan ternak. Salah satunya adalah dengan penggunaan bahan antikapang alami yang berasal dari tumbuhan. Dalam upaya untuk mengembangkan potensi tumbuhan sebagai sumber bahan antimikrob, beberapa peneliti telah meneliti aktivitas antimikrob dari beberapa jenis tumbuhan obat (Srinivasan et al. 2001; Kumarasamy et al. 2002; Masika and Afolayan 2002; Hamill et al. 2003). Rumput Kebar sebagai salah satu tumbuhan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat di wilayah Afrika, Asia, hingga New Guinea sebagai tumbuhan obat, berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan antimikrob. Selain digunakan untuk mengobati luka (Inngjerdingen et al. 2006; Diallo et al. 2002), mengobati malaria dan sakit perut (Inngjerdingen et al. 2006), mengobati racun ular dan kalajengking (GrØnhaug 2008), juga sebagai antibakteri (Natarajan et al. 2010). Rumput kebar dilaporkan mengandung alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida (Santoso et al. 2007; Lisangan et al. 2014) yang berperan dalam aktivitas sebagai antimikrob. Dalam upaya pemanfaatan rumput kebar sebagai bahan antikapang dalam bahan pangan, ekstrak rumput kebar yang digunakan harus aman dikonsumsi. Dalam penelitian ini, akan dikaji tingkat toksisitas ekstrak daun rumput kebar secara in vitro terhadap sel Vero. Bahan dan Metode Bahan Bahan baku utama adalah jenis ekstrak HEM daun rumput kebar yang diperoleh dari penelitian Lisangan et al. (2014). Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi adalah bahan kimia dengan kualitas Pro Analysis (JT. Baker, USA). Peralatan yang digunakan adalah seperangkat alat gelas untuk ekstraksi, shaker, mikropipet, inkubator suhu 37 °C, plat 96 sumur, tabung Falcon, botol pereaksi, ELISA plate reader (Thermo), mikroskop fase kontras, dan alat-alat gelas. Persiapan Ekstrak Tumbuhan Ekstrak HEM (n-heksana-etil asetat-metanol) daun rumput kebar yang digunakan diperoleh dari penelitian sebelumnya (Lisangan et al. 2014). Ekstrak diperoleh dengan cara maserasi dan sonifikasi (Deng et al. 2011) kemudian dianalisis dengan py/GC-MS. Ekstrak didominasi oleh senyawa fenolik (26.56%) dan terpena (15.60%). Ekstrak kemudian disimpan pada suhu 4 °C sebelum digunakan untuk pengujian sitotoksisitas sel. Uji Sitotoksisitas Sel (Mattana et al. 2012) Kultur Sel Vero dan Kondisi Pertumbuhan Pengujian sitotoksisitas menggunakan kultur sel epitelial ginjal monyet hijau Afrika (sel Vero, ATCC CCL-81) yang diperoleh dari Pusat Studi Satwa
Primata, Institut Pertanian Bogor. Sel Vero ditumbuhkan pada media EMEM (Eagle’s Minimal Essential Medium; Dulbeccos MEM; Invitrogen) yang diperkaya dengan 2% Fetal Bovine Serum (FBS; Gibco; USA), 100 U mL-1 fungizone dan 100 μg mL-1 gentamisin pada suhu 37 °C dalam 5% CO2, 95% O2 dan disub-kultur setiap 3-4 hari. Untuk percobaan, sel Vero disuspensikan dalam media DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium) yang diperkaya dengan 10% FBS, 100 U mL-1 Penisilin dan 100 μg mL-1 streptomisin. Uji Sitotoksisitas in-Vitro Sel Vero dikulturkan dalam 100 μL media tumbuh pada plat 96 sumur hingga mencapai konsentrasi 5 x 104 sel/sumur dan diinkubasi pada 5% CO2 selama 24 jam sampai sel mencapai konfluen 50%. Setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC, sel dipapar dengan ekstrak HEM rumput kebar pada konsentrasi 1, 1.5, dan 2 MIC dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 ºC dan 5% CO2. Sel monolayer yang diinkubasi dengan DMEM digunakan sebagai kontrol negatif, sedangkan sebagai kontrol positif sel monolayer diinkubasi dengan antikapang ketoconazole. Konsentrasi ekstrak yang toksik ditentukan dengan metode MTT. Monolayer yang telah diinkubasi selama 48 jam selanjutnya diinkubasi dengan 5 mg mL-1 MTT sebanyak 10 μL per sumur kemudian diinkubasi selama 4 jam pada suhu 37 ºC. Setelah inkubasi, media yang mengandung MTT dibuang. Kristal formazan yang dibentuk oleh sel viable (hidup) dilarutkan dalam etanol (Merck) dan divorteks selama 15 menit. Absorbansi dibaca menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) reader pada panjang gelombang 595 nm. Persentase penghambatan proliferasi sel dalam kultur ditentukan sebagai berikut : OD kontrol – OD perlakuan Persen penghambatan (%) =
x 100 OD kontrol
Pengaruh ekstrak dinyatakan dengan nilai CC50 yaitu konsentrasi yang dibutuhkan untuk mereduksi viabilitas sel 50% (Abid et al. 2012). Analisis Morfologi Pengamatan morfologi sel Vero dilakukan untuk menentukan perubahan morfologi yang diinduksi oleh ekstrak. Pengamatan perubahan morfologi sel Vero dilakukan dengan mikroskop fase kontras (Vijayarathna dan Sasidharan 2012). Analisis Statistik Hasil pengamatan dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007. Semua nilai dinyatakan sebagai rataan ± standard deviasi (n=3). Nilai CC50 dihitung menggunakan analisis regresi linier. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Ekstrak Terhadap Proliferasi Sel Vero Pencarian sumber-sumber antikapang dan antiaflatoksin yang aman diharapkan kelak dapat diaplikasikan pada bahan pangan sehingga meningkatkan keamanan pangan bagi konsumen. Dalam upaya penentuan status keamanan suatu
sumber antikapang, pengujian sitotoksisitas sel merupakan tahap yang krusial dalam pengembangan antikapang. Sitotoksisitas merupakan kematian sel oleh komponen-komponen kimia atau mediator sel (sel T sitotoksik). Sitotoksisitas biasa digunakan sebagai pedoman di dalam laboratorium untuk mendeteksi kematian sel, tanpa melihat mekanismenya (Wyllie 2010). Salah satu contoh sitotoksisitas adalah cell-mediated cytotoxicity. Sel imunosistem seperti sel T sitotoksik, natural killer (NK), dan lymphokine activated dapat mengenali dan menghancurkan sel target. Walaupun mesin pengenalan yang digunakan setiap sel berbeda, mekanisme penghancuran sel target mungkin relatif sama (Wyllie 2010). Pengujian sitotoksisitas dapat diukur melalui perkiraan kerusakan sel yang terjadi. Tiga parameter dasar yang digunakan dalam pengukuran uji sitotoksisitas ini adalah pengukuran aktivitas metabolisme selular, pengukuran integritas membran, dan pengukuran fluorescent dye yang secara normal dikeluarkan oleh sel. Ketiga prinsip pengukuran sitotoksisitas ini menghitung secara langsung jumlah sel dalam media kultur (Wyllie 2010). Dalam beberapa tahun terakhir, pengujian sitotoksisitas secara in-vitro telah dikembangkan dan divalidasi dalam upaya untuk mengganti metode pengujian menggunakan hewan (Zuzarte et al. 2012). Tabel 6.1 Pengaruh ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap viabilitas sel Vero Rataan sel viable a
CC50 (mg mL-1)
Konsentrasi (mg mL-1)
Rataan OD a
Rataan % penghambatan a
Sel kontrol (Sel Vero)
0
0.80 ± 0.00
0.00 ± 0.00
Ekstrak HEM
1
0.04 ± 0.01
82.5 ± 2.82
100.00 ± 0.00 17.46 ± 2.82
-
2
0.07 ± 0.02
71.6 ± 9.27
28.41 ± 9.27
-
4
0.08 ± 0.02
65.1 ± 6.92
34.93 ± 6.92
-
5
0.08 ± 0.01
66.6 ± 2.30
33.36 ± 2.30
-
Jenis Ekstrak
6
0.07 ± 0.01
70.0 ± 2.41
30.00 ± 2.41
8
0.08 ± 0.02
67.4 ± 6.70
32.63 ± 6.70
-
9
0.08 ± 0.01
65.5 ± 2.78
34.49 ± 2.78
-
10
0.11 ± 0.02
54.6 ± 8.57
45.44 ± 8.57
-
12
0.10 ± 0.01
86.9 ± 1.29
13.09 ± 1.29
14
0.09 ± 0.01
88.2 ± 1.04
11.75 ± 1.04
13.41
16
0.09 ± 0.01
88.7 ± 0.62
11.29 ± 0.62
-
18
0.09 ± 0.01
88.4 ± 0.90
11.62 ± 0.90
-
21
0.10 ± 0.01
88.0 ± 1.16
12.04 ± 1.16
24
0.10 ± 0.00
87.1 ± 0.18
12.92 ± 0.18
-
28
0.13 ± 0.01
84.3 ± 1.15
15.69 ± 1.15
-
32 0.19 ± 0.02 75.9 ± 2.18 Kontrol positif (Ketoconazole) 5 0.37 ± 0.04 53.2 ± 4.77 a data adalah rata-rata dari tiga ulangan ± standar deviasi OD = Opical density
24.14 ± 2.18
-
47.01 ± 4.74
-
Pengujian sitotoksisitas ekstrak HEM daun rumput kebar dilakukan menggunakan sel Vero dengan metode MTT. Uji MTT ini didasarkan pada aktivitas enzim mitochondria succinate dehydrogenase pada sel hidup untuk
% Inhibisi sel
mereduksi substrat larut air berwarna kuning 3-(4, 5-dimethyl thiazol-2-yl)-2, 5diphenyl tetrazolium bromide (MTT) menjadi kristal formazan yang diukur secara spektrofotometri. Reduksi MTT hanya dapat terjadi pada sel aktif sehingga aktivitas reduksinya diukur sebagai viabilitas sel (Patel et al. 2009). Hasil ditampilkan pada Tabel 6.1 dan Gambar 6.1. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap sel Vero adalah sebesar 13.41 mg mL-1 (Tabel 6.1 dan Gambar 6.1). Konsentrasi sitotoksik 50% (CC50) adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk mereduksi viabilitas sel 50% (Abid et al. 2012). Berdasarkan U.S. National Cancer Institute (NCI), kriteria sitotoksisitas untuk ekstrak kasar (crude extract) adalah CC50 <20 µg mL-1 (Vijayarathna dan Sasidharan 2012). Bila merujuk kepada kriteria sitotoksisitas, konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar yang digunakan dalam pengujian sitotoksisitas sel Vero sangat tinggi, hampir 1000x lipat dari kriteria NCI. Konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar yang digunakan merujuk kepada nilai MIC yang diperoleh dari penelitian sebelumnya (Lisangan et al. 2014).
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = 1,2285x + 66,479 R² = 0,2771
1 2 4 5 6 8 9 10 12 14 16 18 21 24 28 32 Konsentrasi (mg mL-1)
Gambar 1 Sitotoksisitas ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap sel Vero Beberapa kajian mengenai sitotoksisitas sel telah dilakukan, namun konsentrasi ekstrak yang digunakan relatif lebih kecil dari konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar yang diuji pada penelitian ini. Patel et al. (2009) melaporkan CC50 ekstrak etanol Solanum nigrum terhadap sel Vero sebesar 6.862 mg mL-1, CC50 ekstrak etanol Rosa damascena dan Verbascum sinaiticum sebesar 0.454 dan 0.367 mg mL-1 sedangkan CC50 ekstrak etanol Ononis hirta sebesar 0.072 mg mL-1 (Talib and Mahasneh 2010). Moghe et al. (2011) melaporkan CC50 ekstrak air Bryonia laciniosa terhadap sel Vero adalah sebesar 0.085 mg mL-1, sedangkan Vijayarathna and Sasidharan (2012) melaporkan nilai CC50 ekstrak metanol Elaeis guineensis sebesar 0.022 mg mL-1. Bila dibandingkan pula dengan kontrol positif ketocenazole 5 mg mL-1 yang dalam penelitian ini memiliki persentase hambatan sel sebesar 53.2%, konsentrasi ekstrak HEM daun rumput kebar mungkin tidak bersifat toksik terhadap sel mamalia. Namun untuk memastikan keamanan ekstrak HEM daun rumput kebar pada tingkat konsentrasi 1, 1.5, dan 2 MIC, perlu dikaji lebih lanjut menggunakan uji in vivo.
Efek penghambatan ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap proliferasi sel Vero diduga disebabkan oleh senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak tersebut. Senyawa-senyawa tersebut bisa berupa peptida, lemak, senyawa fenol tertentu ataupun senyawa lain yang tidak dianalisa dalam penelitian ini. Toksisitas terhadap sel biasa terjadi dengan cara menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dengan menghambat pembelahan sel yang proliferasinya cepat (Gan dan Nafrialdi 1989). Sel yang sedang berada pada tahap proliferasi lebih peka terhadap senyawa kimia toksik daripada sel yang tidak berproliferasi. Drewinko et al. (1981) melaporkan bahwa senyawa toksik methotrexate yang menghambat sintesis DNA tidak toksik terhadap sel yang berada pada fase diam tetapi toksik terhadap sel yang sedang berproliferasi. Sel Vero secara in-vitro mungkin berproliferasi dengan cepat sehingga peka terhadap senyawa toksik dari ekstrak daun rumput kebar. Walaupun demikian, kemungkinan ekstrak daun rumput kebar tidak bersifat toksik terhadap sel normal dalam tubuh, karena menurut Walum et al. (1990), umumnya sel-sel in-vivo berada dalam keadaan tidak berproliferasi. Pengaruh Ekstrak Terhadap Perubahan Morfologi Sel Vero Perubahan morfologi sel Vero yang diinduksi oleh ekstrak HEM daun rumput kebar ditampilkan pada Gambar 6.2. Perubahan morfologi sel Vero diamati menggunakan mikroskop fase kontras. Jumlah sel yang mati mengalami fluktuasi meskipun polanya cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak. Sel yang normal memiliki bentuk poligonal dan berdinding halus, sedangkan sel yang mati memperlihatkan membran yang mengkerut, membran ganda, dan pembentukan struktur mirip vakuola di bagian tengah sel. Ada dua kemungkinan mekanisme sitotoksik yang terjadi pada cellmediated cytotoxicity. Pertama adalah mekanisme apoptosis yang mengakibatkan sel memicu reaksi berantai di dalam sel target dan fragmen DNA sebelum sel lisis. Mekanisme yang kedua adalah mekanisme lisis yang mengakibatkan terjadinya lisis molekul, khususnya perforin. Molekul ini disekresikan oleh efektor sel ke bagian intraseluler sel dan berpolimerasi membentuk pori di dalam membran sel target yang memicu terjadinya lisis. Kedua mekanisme ini saling melengkapi dan sangat mungkin terjadi (Wyllie 2010). Perubahan morfologi seluler bisa disebabkan oleh apoptosis yang terjadi pada sel. Mekanisme apoptosis ini sering digunakan untuk menjelaskan mekanisme antikanker yang ditimbulkan oleh berbagai senyawa obat. Sel vero yang mengalami inhibisi karena diinduksi oleh ekstrak daun rumput kebar ini mungkin mengalami mekanisme apoptosis yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada morfologi selnya. Perubahan morfologi seluler akibat mekanisme apoptosis ini dapat terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu penyusutan densitas sel, kondensasi dan fragmentasi kromatin sel, serta fragmentasi inti sel (Wyllie 2010).
Gambar 6.2
Pengaruh ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap morfologi sel Vero pada (a) kontrol sel Vero, (b) kontrol positif Ketoconazole 5 mg mL-1, (c) 12 mg mL-1 (1MIC A. flavus BCCF0219 dan A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat), (d) 14 mg mL-1 (1MIC A. flavus BCCF0219 pada media kaya lemak dan protein), (e) 16 mg mL-1 (1MIC A. flavus BIO 2236 pada media kaya lemak dan protein), (f) 18 mg mL -1 (1.5MIC A. flavus BCCF0219 dan A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat), -1 (g) 21 mg mL (1.5MIC A. flavus BCCF0219 pada media kaya lemak dan protein), (h) 24 mg mL-1 (1.5MIC A. flavus BIO 2236 pada media kaya lemak dan protein, 2MIC A. flavus BCCF0219 dan A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat), (i) 28 mg mL-1 (2MIC A. flavus BCCF0219 pada media kaya lemak dan protein), (j) 32 mg mL-1 (2MIC A. flavus BIO 2236 pada media kaya lemak dan protein); sel normal ( ); sel abnormal ( ); Perbesaran 400x
Kesimpulan Nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap sel Vero adalah sebesar 13.41 mg mL-1. Nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar jauh lebih tinggi daripada kriteria sitotoksisitas yang ditetapkan NCI yaitu kurang dari 20 μg mL-1. Namun perlu kajian lebih lanjut tentang keamanan ekstrak HEM daun rumput kebar melalui uji in vivo. Daftar Pustaka Abid NBS, Rouis Z, Lassoued MA, Sfar S, Aouni M. 2012. Assessment of the cytotoxic effect and in vitro evaluation of the anti-enteroviral activities of plants rich in flavonoids. J of App. Pharm. Sci. 02:74-78. Bennet JW, Klich M. 2003. Mycotoxins. Clin.Microbiol.Rev. 16:497-516. Deng Y, Yu Y, Luo H, Zhang M, Qin X, Li L. 2011. Antimicrobial activity of extract and two alkaloids from traditional Chinese medicinal plant Stephania dielsiana. Food Chem 124:1556-1560. Diallo D, Sogn C, Samake FB, Paulsen BS, Michaelsen TE, Keita A. 2002. Wound healing plants in Mali, the Bamako region. An ethnobotanical survey and complement fixation of water extracts from selected plants. Pharm.Biol. 40:117-128. Drewinko B, Patchen M, Yang LY, Barlogie D. 1981. Differential killing efficacy of twenty antitumor drugs on proliferation and non-proliferating human tumor cells. Didalam Understanding Cell Toxicology. Wallum E, Stenberg K, Jenssen D, (eds), hal. 101. Ellis horwood, New York. Gun S dan Nafrialdi. 1989. Antikanker dan imunosupresan. Didalam Farmakologi dan Terapi. S Gan (ed), hal. 686-701. FK UI, Jakarta. GrØnhaug TE, Glaeserud S, Skogsrud M, Ballo N, Bah S, Diallo D dan Paulsen BS. 2008. Ethnopharmacological survey of six medicinal plants from Mali, West-Africa. J of Ethnobiol and Ethnomed 4:26 Hamill FA, Apio S, Mubiru NK, Bukenya-Ziraba R, Mosango M, Maganyi OW, Soejarto DD. 2003. Traditional herbal drugs of Southern Uganda, II: literature analysis and antimicrobial assays. J. Ethnopharm. 84:57-78. Inngjerdingen KT, Coulibaly A, Diallo D, Michaelsen TE, Smestad PB. 2006. A complement fixing polysaccharide from Biophytum petersianum Klotzsch, a medicinal plant from Mali, West Africa. Biomacromolecules 7:48-53. Kumarasamy Y, Cox P, Jaspars M, Nahar L, Sarker S. 2002. Screening seeds of Scottish plants for antibacterial activity. J. Ethnopharm. 83:73-77. Lisangan MM, Syarief R, Rahayu WP, Dharmaputra O.S. 2014. Antifungal activity of kebar grass leaf extracts on the growth of aflatoxigenic Aspergillus flavus in food model media (in publication progres). Masika PJ, Afolayan AJ. 2002. Antimicrobial activity of some plants used for the treatment of livestock disease in the Eastern Cape, South Africa. J. Ethnopharm. 83:129–134. Mattana CM, Satorres SE, Escobar F, Sabini C, Sabini L, Fusco M and Alcaráz LE. 2012. Antibacterial and cytotoxic activities of Acacia aroma extracts. Emir J Food Agric.24:308-313.
Moghe AS, Gangal SG, Shilkar PR. 2011. In vitro cytotoxicity of Bryonia laciniosa (Linn.) Naud. on human cancer cell lines. Indian J. of Nat.Prod.and Resoources. 2:322-329. Natarajan D, Shivakumar MS, Srinivasan R. 2010. Antibacterial activity of leaf extracts of Biophytum sensitivum (L.) DC. J of Pharm. Sci. and Res. 2:717-720 Patel S, Gheewala N, Suthar A, Shah A. 2009. In vitro cytotoxicity activity of Solanum nigrum extract against HeLa cell line and Vero cell line. Int. J. of Pharmaceu and Pharm. Sci. 1:38-46. Santoso B, Kilmaskossu A, Sambodo P. 2007. Effects of saponin from Biophytum petersianum Klotzsch on ruminal fermentation, microbial protein synthesis and nitrogen utilization in goats. Animal Feed Sci and Tech 137:58–68. Srinivasan D, Nathan S, Suresh T, Perumalsamy O. 2001. Antimicrobial activity of certain Indian medicinal plants used in folkloric medicine. J. Ethnopharm. 74:217-220. Talib WH, Mahasneh AM. 2010. Antimicrobial, cytotoxicity and phytochemical screening of Jordanian plants used in traditional medicine. Molecules 15:1811-1824. Van Egmond, HP. 2002. Worldwide regulations for mycotoxins. Adv.Exp.Med.Biol. 504:257-269. Vijayarathna S, Sasidharan S. 2012. Cytotoxicity of methanol extracts of Elaeis guineensis on MCF-7 and Vero cell lines. Asian Pacific J. of Trop.Biomed. 2:826-829. Wallum E, Stenberg K, Jenssen D. 1990. Understanding Cell Toxicology. Ellis horwood, New York. Wyllie AH. 2010. Apoptosis, Cell Death, and Cell Proliferation. 3rd Roche Applied Science. Zain ME. 2011. Impact of mucotoxins on humans and animals. J.of Saudi Chem.Society. 15:129-144. Zuzarte M, Gonçalves MJ, Cruz MT, Cavaleiro C, Canhoto J, Vaz S, Pinto E, Salgueiro L. 2012. Lavandula luisieri essential oil as a source of antifungal drugs. Food Chem. 135:1505-1510.
7 PEMBAHASAN UMUM Tujuan umum penelitian adalah mengkaji aktivitas antikapang dan antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar pada media model pangan dan media sistem pangan serta mengetahui komposisi fitokimia dan toksisitasnya pada sel Vero. Tabel 2.1 memperlihatkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi diperoleh dari ekstrak tunggal metanol dan ekstrak bertingkat heksana-etil asetat-metanol. Hal ini juga menunjukkan bahwa senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak daun rumput kebar didominasi oleh senyawa polar karena banyak terekstrak oleh pelarut polar. Berdasarkan kekuatan pelarut, metanol merupakan pelarut dengan kekuatan paling tinggi dibandingkan pelarut heksana dan etil asetat (Houghton dan Raman 1998). Berbagai aktivitas biologi suatu tumbuhan dipengaruhi oleh senyawa fitokimia yang terkandung di dalamnya. Perbedaan jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi memberikan hasil yang berbeda terhadap senyawa fitokimia yang terekstrak. Berdasarkan hasil uji fitokimia pada Tabel 2.2 terlihat bahwa senyawa-senyawa yang bersifat non-polar cenderung terekstrak ke dalam pelarut non-polar dan demikian juga sebaliknya. Skrining terhadap jenis-jenis ekstrak daun rumput kebar yang diekstraksi dengan beberapa jenis pelarut secara tunggal yaitu ekstrak heksana, ekstrak etil asetat, ekstrak metanol, maupun ekstraksi secara bertingkat yaitu ekstrak heksanaetil asetat (HE) dan ekstrak heksana-etil asetat-metanol (HEM), menghasilkan jenis ekstrak bertingkat HEM sebagai jenis ekstrak yang paling efektif menghambat pertumbuhan dua isolat kapang A. flavus toksigen. Besarnya daya hambat terhadap A. flavus BCCF0219 pada media kaya karbohidrat, kaya lemak dan kaya protein berturut-turut sebesar 97.9% pada MIC 12 mg mL-1, 93.5% pada MIC 14 mg mL-1, dan 90.8% pada MIC 14 mg mL-1. Berbeda dengan A. flavus BIO 2236, besarnya daya hambat pada media kaya karbohidrat, kaya lemak dan kaya protein berturut-turut sebesar 93.9% pada MIC 12 mg mL-1, 99.4% pada MIC 16 mg mL-1 dan 93.8% pada MIC 16 mg mL-1. Berdasarkan nilai MIC, kemampuan ekstrak daun rumput kebar sebagai antikapang dapat dikategorikan moderat karena nilai-nilai MIC ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai MIC ekstrak Equisetum arvense yang sebesar 30 mg mL-1 (Garcia et al. 2011), namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekstrak heksana dan kloroform dari Garcinia cowa yang sebesar 3 mg mL-1 (Joseph et al. 2005). Perbedaan ketahanan kedua isolat kapang ini pada media yang berbeda disebabkan karena perbedaan kemampuan kedua isolat dalam memproduksi sklerosium. Isolat BCC F0219 tidak memproduksi sklerosium sedangkan isolat BIO 2236 dapat memproduksi sklerosium. Sklerosium merupakan struktur bertahan dari kapang, berupa massa kompak dari miselium yang terbentuk saat kapang berada dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Kemampuan isolat BIO 2236 untuk memproduksi skleroium mengakibatkan isolat BIO 2236 jauh lebih tahan terhadap ekstrak daun rumput kebar yang diberikan. Akibatnya, dibutuhkan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi untuk menghambat pertumbuhan isolat BIO 2236 dibandingkan isolat BCC F0219. Sklerosium sangat berperan dalam produksi miselium dan konidium (Griffin, 1994). Sebanyak 50% isolat A. flavus mampu memproduksi sklerosium (Pitt dan Hocking, 2009). Adanya variasi dalam sensitivitas kapang terhadap ekstrak dapat juga disebabkan
oleh kemampuan kapang dalam memetabolisme komponen aktif dari ekstrak tumbuhan yang mengakibatkan terjadinya detoksifikasi ekstrak oleh kapang (Griffin, 1994). Dalam upaya pencarian antikapang untuk diaplikasikan pada bahan pangan, salah satu hal penting yang perlu dikaji adalah aktivitasnya pada sistem pangan. Meskipun skrining pada media laboratorium merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi tumbuhan yang berpotensi sebagai antikapang, konfirmasi lebih lanjut pada sistem pangan penting karena matriks pangan dapat berinteraksi dengan komponen aktif dan menurunkan aktivitasnya. Secara umum, untuk memperoleh hasil yang sama pada bahan pangan sebagaimana yang diperoleh menggunakan media laboratorium, dibutuhkan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena ketika terjadi kontak antara ekstrak tumbuhan dengan permukaan bahan pangan, bahan aktif yang sangat hidrofobik akan berikatan dengan komponen bahan pangan seperti karbohidrat, lemak, dan protein sehingga dapat menurunkan aktivitasnya. Pengujian lebih lanjut pada media sistem pangan memperlihatkan bahwa persentase hambatan pertumbuhan kapang dan produksi AFB1 pada media sistem pangan jauh lebih rendah dibandingkan pada media model pangan. Pada media dengan konsentrasi jagung 12.5, 25, 50 dan 100%, persentase hambatan pertumbuhan berturut-turut berkisar pada 50.4 – 81.0, 59.3 – 85.1, 52.9 – 83.0, dan 44.0 – 66.5%, sedangkan pada media dengan konsentrasi kacang tanah 12.5, 25, 50 dan 100%, persentase hambatan pertumbuhan berturut-turut berkisar pada 75.9 – 100, 72.3 – 100, 63.7 – 100, 64.9 – 100%. Tingginya konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk diaplikasikan pada media sistem pangan disebabkan karena lemak pada jagung dan kacang tanah dapat membentuk lapisan di sekitar kapang dan melindungi kapang dari bahan antimikrob. Lebih jauh lagi, rendahnya kadar air di bahan pangan daripada media tumbuh di laboratorium dapat memperlambat transfer molekul antimikrob ke sisi aktif sel mikrob (da Cruz Cabral 2013). Selain efektif menghambat pertumbuhan kapang, jenis ekstrak HEM juga efektif menghambat produksi aflatoksin B1 (AFB1) pada media model pangan maupun pada media sistem pangan berbasis jagung dan kacang tanah. Aflatoksin merupakan toksin hasil metabolisme sekunder dari kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus (Fernández-Cruz et al. 2010). Aflatoksin terdiri dari empat jenis utama yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Dari keempat jenis aflatoksin tersebut, aflatoksin B1 (AFB1) merupakan jenis aflatoksin yang paling toksik (Shephard 2008). Penghambatan produksi AFB1 pada media model pangan bervariasi, yaitu hambatan produksi aflatoksin B1 A. flavus BCC F0219 pada media kaya karbohidrat, lemak dan protein berturut-turut pada tingkat konsentrasi 1 MIC (12,14, 14 mg mL-1) berkisar antara 70.86 – 100%. Hambatan produksi aflatoksin B1 A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, lemak dan protein pada berturut-turut pada tingkat konsentrasi 1 MIC (12, 16, 16 mg mL-1) berkisar antara 83.42 – 98.84%. Hasil analisis AFB1 pada sistem pangan memperlihatkan bahwa reduksi AFB1 pada konsentrasi jagung 100% berkisar pada 7.0 – 91.3%, sedangkan untuk kacang tanah berkisar pada 19.3 – 59.4%. Reduksi AFB1 dan AF total pada jagung sebesar hampir 100% (91.3 dan 91.2%) ini bermakna ekstrak HEM daun rumput kebar sangat potensial untuk dijadikan senyawa antiaflatoksin.
Perbedaan kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh kedua kapang pada media model pangan dipengaruhi oleh strain kapang. Moss (1991) mengemukakan bahwa variasi strain yang terjadi dalam satu spesies kapang akan mempengaruhi produksi mikotoksin dalam model yang bervariasi. Salah satu variasi strain dalam satu spesies kapang adalah kemampuan memproduksi sklerosium. Riba et al. (2010) mengemukakan bahwa ukuran dan pembentukan sklerosium berkorelasi dengan kemampuan isolat membentuk aflatoksin. Sejauh ini diketahui bahwa semua strain tipe-S dengan sklerosium kecil (diameter <400 µm) bersifat aflatoksigen, sedangkan strain tipe-L dengan ukuran diameter sklerosium besar (diameter >400 µm) umumnya bersifat aflatoksigen dan nonaflatoksigen. Pendapat ini diperkuat dengan data dari penelitian ini, dimana dari hasil penelitian tahap 2, Gambar 3.1 – 3.5 memperlihatkan ukuran diameter sklerosium isolat yang digunakan dalam penelitian ini berukuran <400 µm. Aktivitas antimikrob suatu ekstrak tumbuhan umumnya berhubungan dengan struktur kimia komponennya, konsentrasi, dan interaksinya, yang mempengaruhi sifat bioaktifnya. Ekstrak tumbuhan juga diketahui mengandung berbagai komponen antioksidan seperti polifenol, fenol, dan flavonoid, yang diduga merupakan basis dari sifat antimikrob suatu ekstrak tumbuhan (da Cruz Cabral et al. 2013). Secara kualitatif, ekstrak HEM mengandung flavonoid, fenolhidrokuinon, steroid, triterpenoid, tannin, dan saponin. Komponen yang terdeteksi kuat adalah dari flavonoid dan fenolhidrokuinon (+3) (Tabel 2.2). Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa komponen aktif yang berasal dari golongan fenolik memiliki aktivitas antimikrob. Selain sebagai antioksidan, flavonoid dan fenolhidrokuinon juga memiliki sifat antimikrob (Jaberian et al. 2013; Sousa et al. 2013). Analisis GCMS memperlihatkan ekstrak HEM daun rumput kebar mengandung komponen dari golongan senyawa asam karboksilat (7.81%), amina (1.56%), fenolik (26.56%), terpena (15.60%), alkohol (10.94%), hidrokarbon (20.3 %), turunan benzena (6.25%), turunan karbohdirat (4.69%), steroidal saponin (1.56%), haloalkana (1.56%), dan sterol (3.13%). Senyawa-senyawa ini diketahui berperan dalam penghambatan pertumbuhan kapang. Golongan senyawa terpena diketahui memiliki aktivitas sebagai antimikrob yang tinggi (Zwenger dan Basu 2008). Senyawa terpena memiliki aktivitas antibakteri dan antikapang karena mampu menghambat sintesis ergosterol pada dinding sel kapang dan mengakibatkan kegagalan pembentukan dinding sel dan keluarnya komponen seluler dari dalam sel (Pinto et al. 2009). Senyawa terpena juga meningkatkan permeabilitas sel bakteri dan mamalia dengan cara masuk ke dalam lapisan lemak membran sel sehingga mempengaruhi permeabilitas selektif sel terhadap benda asing (Boligon et al. 2014). Golongan lain yang terdeteksi pada ekstrak daun rumput kebar adalah dari golongan fenol. Beberapa komponen fenolik dan asam fenolat yg diisolasi dari kultur endofit juga memperlihatkan adanya aktivitas antimikrob (Yu et al. 2010). Siranidou et al. (2002) melaporkan bahwa pada kultivar gandum yang memperlihatkan ketahanan terbesar terhadap infeksi kapang secara signifikan memiliki kadar komponen fenolik dalam jumlah tinggi. Secara umum, aktivitas sitotoksik suatu ekstrak tumbuhan terhadap sel tumor dan kanker juga disebabkan oleh adanya komponen fenolik (Bakkali et al. 2008). Golongan carboxylic acid (asam lemak) juga merupakan golongan senyawa mayor yang terdeteksi pada ekstrak daun rumput kebar. Asam linoleat yang
terdapat dalam ekstrak daun rumput kebar merupakan asam lemak tidak jenuh yang dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan kapang (Yong 2009). Komponen lainnya yang terdeteksi pada ekstrak daun rumput kebar berasal dari golongan senyawa alifatik hidrokarbon. Senyawa alifatik sering terdeteksi pada kultur endofit dan memperlihatkan aktivitas biologis sebagai antikapang (Yu et al. 2010). Senyawa alkohol merupakan komponen minor yang juga ditemukan pada ekstrak daun rumput kebar. Senyawa alcohol dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan khamir dan kapang (Sacchetti et al. 2005). Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa ada korelasi langsung antara pertumbuhan kapang dengan produksi AFB1. Sejauh ini mekanisme degradasi atau pengikatan belum dapat digambarkan dengan pasti, namun diduga bahwa pertumbuhan miselium berkorelasi dengan sintesis enzim yang berperan dalam produksi AFB1. Bila pertumbuhan miselium terhambat, produksi AFB1 juga terhambat. Namun anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Tatsadjieu et al. (2009) mengemukakan bahwa penghambatan produksi AFB1 tidak selalu disebabkan oleh pertumbuhan kapang yang tereduksi tetapi dapat disebabkan oleh penghambatan katabolisme karbohidrat A. flavus dengan cara mempengaruhi beberapa enzim kunci yang pada akhirnya menurunkan kemampuan A. flavus untuk memproduksi AFB1. Ditambahkan oleh Pitt (1993) bahwa kerusakan aflatoksin dapat terjadi pula akibat enzim-enzim yang dilepaskan selama lisis miselium yang berakibat pada penurunan produksi aflatoksin. Sejauh ini, mekanisme penghambatan ekstrak tumbuhan terhadap pertumbuhan kapang belum secara lengkap dipahami. Dugaan mekanisme penghambatan yang terjadi disebabkan oleh beberapa aspek, antara lain (1) kehadiran gugus hidroksil yang dapat membentuk ikatan hidrogen yang akhirnya dapat mempengaruhi enzim-enzim pertumbuhan, dan memodifikasi berbagai fungsi intraseluler; (2) perubahan morfologi kapang yang disebabkan oleh interaksi ekstrak dengan enzim-enzim pada membran sel yang mengakibatkan hilangnya ketegaran sel dan integritas dinding sel kapang; (3) perubahan permeabilitas membran sel, granulasi sitoplasma, dan pecahnya membran sitoplasmik (da Cruz Cabral 2013). Sifat hidrofobisitas dari komponenkomponen aktif tersebut menyebabkan komponen-komponen tersebut mampu menyeberangi membran sel dan berinteraksi dengan komponen-komponen sel sehingga dapat mempengaruhi baik enzim-enzim di membran sel maupun intraseluler. Dugaan bahwa beberapa komponen hidrofobik yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan dapat merubah permeabilitas membran mikrob dan menyebabkan perubahan aliran proton, memodifikasi pH sel dan mempengaruhi komposisi kimia sel dan aktivitasnya. Kemampuan komponen hidrofobik untuk larut dalam fase lemak membran sitoplasma merupakan kunci aktivitas penghambatannya, namun kelarutan yang tinggi tidak selalu menghasilkan aksi antimikrob yang tinggi (Samapundo et al. 2007). Pengamatan dengan SEM (Scanning Electron Microscopy) memperlihatkan bahwa hifa kedua isolat kapang mengalami kerusakan, dinding sel kehilangan integritas dan ketegaran sel, dan dinding sel terlipat. Hasil ini mendukung dugaan bahwa mekanisme penghambatan pertumbuhan oleh ekstrak HEM daun rumput kebar merupakan hasil intervensi komponen aktif ekstrak dengan reaksi enzimatik sintesis dinding sel yang akhirnya mempengaruhi morfogenesis dan pertumbuhan kapang.
Pencarian antikapang alternatif merupakan salah satu hal yang mendapat perhatian penting di bidang industri pangan, terutama karena kerugian akibat kontaminasi kapang. Selain itu, bahaya yang mengintai di balik perkembangan kapang di bahan pangan adalah produksi mikotoksin oleh kapang toksigen. Kemungkinan penggunaan komponen yang diekstrak dari tumbuhan untuk mengendalikan kontaminasi mikotoksin merupakan alternatif yang menjanjikan dan perlu dipelajari lebih jauh. Meskipun ekstrak tumbuhan digunakan sebagai bumbu atau rempah, ada kemungkinan aplikasi ekstrak ke bahan pangan harus ditambahkan dengan konsentrasi yang tinggi. Oleh karenanya harus diketahui toksisitasnya terhadap manusia dan hewan. Dalam uji sitotoksisitas ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap sel Vero secara in vitro diperoleh nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap sel Vero adalah sebesar 13.41 mg mL-1. Hasil ini mengindikasikan bahwa ekstrak HEM daun rumput kebar aman untuk digunakan sebagai bahan antikapang alami. Daftar Pustaka Bakkali F, Averbeck S, Averbeck D, Idaomar M. 2008. Biological effects of essential oils – A review. Food and Chem Toxicol 46:446–475 Boligon AA, Achwanz TG, Froeder ALF, Athayde ML. 2014. GC-MS analysis of dichloromethane fractions of Scutia buxifolia Reissek leaves and stem bark. Res J of Phytochem 8:16-20. da Cruz Cabral L, Pinto VF, Patriarca A. 2013. Application of plant derived compounds to control fungal spoilage and mycotoxin production in foods (Review). Int. J. of Food Microbiol. 166:1-14. de Lau LML, Bornebroek M, Witteman JCM, Hofman A, Koudstaal PJ, Breteler MMB. 2005. Dietary fatty acids and the risk of Parkinson disease. Neurology. 64:2040-2045. Fernández-Cruz ML, Mansilla ML, Tadeo JL. 2010. Mycotoxins in fruits and their processed products: Analysis, occurrence and health implications. J of Adv Research 1:113–122 Griffin GH. 1994. Fungal Physiology, 2 nd edn. Wiley-Liss, New York. Houghton PJ and Raman A. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extracts. London: Chapman and Hall. Jaberian H, Piri K, Nazari J. 2013. Phytochemical composition and in vitro antimicrobial and antioxidant activities of some medicinal plants. Food Chem. 136:237 –244. Moss MO. 1991. The environmental factors controlling mycotoxin formation. In: Smith JE, Anderson RA (Eds), Mycotoxins and Animal Foods. CRC Press, Boca Raton, FL, 37-56. Pinto E, Vale-Silva L, Cavaleiro C, Salgueiro L. 2009. Antifungal activity of the clove essential oil from Syzygium aromaticum on Candida, Aspergillus and dermatophyte species. J Med Microbiol. 58:1454-1462. Pitt RE. 1993. A descriptive model of mold growth and aflatoxin formation as affected by environmental conditions. J Food Protect. 56:139-146. Pitt JI, Hocking AD. 2009. Fungi and Food Spoilage, 3rd edn. Springer, New York.
Riba A, Bouras N, Mokrane S, Mathieu F, Lebrihi A, Sabaou N. 2010. Aspergillus section Flavi and aflatoxins in Algerian wheat and derived products . Food and Chem Toxicol. 48:2772-2777 Sacchetti G, Maietti S, Muzzoli M, Scaglianti M, Manfredini S, Radice M, Bruni R. 2005. Comparative evaluation of 11 essential oils of different origin as functional antioxidants, antiradicals and antimicrobials in foods. Food Chem. 91:621-632. Samapundo S, De Meulenaer B, Osei-Nimoh D, Lamboni Y, Debevere J, Devlieghere F. 2007. Can phenolic compounds be used for the protection of corn from fungal invasion and mycotoxin contamination during storage? Food Microbiol. 24:465–473 Shephard GS. 2008. Impact of mycotoxins on human health in developing countries. Food Addict Contam. 25(2):146–51. Siranidou E, Kang Z, Buchenauer H. 2002. Studies on symptom development, phenolic compounds and morphological defence responses in wheat cultivars differing in resistance to Fusarium head blight. J Phytopathol. 150:200-208. Sousa EO, Rocha JBT, Barros LM, Barros ARC, Costa JGM. 2013. Phytochemical characterization and in vitro antioxidant properties of Lantana camara L. and Lantana montevidensis Briq. Indust. Crops and Prod. 43:517–522 Tatsadjieu NL, Dongmo PMJ, Ngassoum MB, Etoa FX, Mbofung CMF. 2009. Investigations on the essential oil of Lippia rugosa from Cameroon for its potential use as antifungal agent against Aspergillus flavus Link ex. Fries. Food Control 20:161-166. Yong JWH, Ge L, Ng YF, Tan SN. 2009. The chemical composition and biological properties of coconut (Cocos nucifera L) water. Molecules 14:5144-5164. Yu H, Zhang L, Li L, Zheng C, Guo L, Li W, Sun P, Qin L. 2010. Recent developments and future prospects of antimicrobial metabolites produced by endophytes. Microbiol Res 165:437-449 Zwenger S, Basu C. 2008. Plant terpenoids: applications and future potentials. Biotech and Mol Biol Rev 3: 001-007.
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
4.
Ekstrak daun rumput kebar dapat menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus aflatoksigen pada media model pangan. Jenis eksrak yang paling efektif adalah ekstrak bertingkat heksana -etil asetat-metanol (HEM) dengan tingkat aktivitas antikapang moderat. Ekstrak bertingkat heksana-etil asetat-metanol (HEM) daun rumput kebar memiliki aktivitas antikapang terhadap pertumbuhan A. flavus aflatoksigen yang mengakibatkan perubahan morfologi hifa kapang. Ekstrak HEM daun rumput kebar dapat menghambat pertumbuhan dan produksi AFB1 dari A. flavus BCC F0219 dan BIO 2236 baik pada media model pangan yaitu media kaya karbohidrat, lemak dan protein, maupun pada media sistem pangan yaitu media jagung dan kacang tanah. Persentase hambatan pertumbuhan A. flavus BCC F0219 pada media kaya karbohidrat, lemak dan protein berturut-turut sebesar 97.9, 93.5, dan 90.8%, sedangkan persentase hambatan produksi AFB1 berturut-turut sebesar 100, 99.2, dan 70.9%. Persentase hambatan pertumbuhan A. flavus BIO 2236 pada media kaya karbohidrat, lemak dan protein berturut-turut sebesar 93.9, 99.4, dan 93.8%, sedangkan persentase hambatan produksi AFB1 berturut-turut sebesar 83.4, 91.3, dan 98.8%. Persentase hambatan pertumbuhan A. flavus BIO 2236 di media dengan konsentrasi jagung 100% pada 1MIC (12 mg mL-1), 1.5MIC (18 mg mL-1) dan 2MIC (24 mg mL-1) berturut-turut sebesar 44.0, 53.7, dan 66.5%, sedangkan persentase hambatan produksi AFB1 berturut-turut sebesar 7.0, 18.9, dan 91.3%. Persentase hambatan pertumbuhan A. flavus BIO 2236 di media dengan konsentrasi kacang tanah 100% pada 1MIC (16 mg mL-1), 1.5MIC (24 mg mL-1) dan 2MIC (32 mg mL-1) berturut-turut sebesar 64.9, 82.0, dan 100.0%, sedangkan persentase hambatan produksi AFB1 berturut-turut sebesar 19.3, 59.4, dan 100%. Nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar terhadap sel Vero adalah sebesar 13.41 mg mL-1. Nilai CC50 ekstrak HEM daun rumput kebar jauh lebih tinggi daripada kriteria sitotoksisitas yang ditetapkan NCI yaitu kurang dari 20 μg mL-1. Saran
Secara umum, aktivitas antikapang dan antiaflatoksin yang dihasilkan oleh ekstrak tumbuhan disebabkan oleh adanya efek sinergisme antara beberapa komponen aktif yang terkandung dalam ekstrak tumbuhan. Ekstrak tumbuhan tersusun atas berbagai komponen kimia sehingga sulit untuk memastikan hubungan antara satu komponen dengan target tunggal pada sel. Berdasarkan hasil penelitian, hal-hal yang perlu dilakukan lebih lanjut antara lain : 1. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti apakah konsentrasi minimum yang dapat menghambat pertumbuhan kapang bersifat fungistatik atau fungisidal. 2. Menguji stabilitas ekstrak terhadap pengaruh lingkungan.
3.
4. 5. 6. 7.
Identifikasi komponen apa yang berperan terhadap penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin baik pada media model pangan maupun pada media sistem pangan. Mengisolasi dan mengidentifikasi komponen tunggal yang memiliki aktivitas antikapang dan antiaflatoksin. Metode aplikasi yang tepat dan pengaruhnya terhadap nilai sensori bahan pangan. Jenis pelarut yang sesuai untuk diaplikasikan pada pangan. Selanjutnya perlu dianalisis keamanan ekstrak melalui uji in vivo dan aplikasinya secara luas di bidang pangan.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serui pada tanggal 20 Mei 1978. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dalam keluarga bapak Jaya Taufan Lie dan ibu Marthina Tan Bonai-Abaa. Penulis menempuh pendidikan Strata 1 pada tahun 1996 di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian-Universitas Cenderawasih dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Strata 2 pada Program Studi Teknologi Pasca Panen, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2005. Tahun 2009 penulis kembali diberi kesempatan melanjutkan pendidikan Strata 3 pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca Sarjana IPB melalui program beasiswa BPPS. Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian (Fapertek), Universitas Negeri Papua (UNIPA), Manokwari, Provinsi Papua Barat sejak tahun 2001 sampai sekarang. Bidang penelitian yang ditekuni sejak menjadi dosen mencakup kajian pasca panen dan antimikrob dari bahan pangan lokal antara lain buah merah (Pandanus conoideus) dan kayu akway. Penulis aktif melakukan penelitian dan memperoleh pendanaan dari DIKTI (Hibah Bersaing 2008/2009 dan 2012/2013) bersama tim peneliti di Fapertek UNIPA. Selama menempuh pendidikan S3, penulis mendapatkan bantuan dana penelitian berupa PhD Thesis Grant dari Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) tahun 2012/2013. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi ini telah diajukan sebagai artikel ilmiah pada beberapa jurnal, yaitu: 1) “Antifungal activity of Kebar grass leaf extracts on the growth of aflatoxigenic Aspergillus flavus in food model media” telah dipresentasikan dalam 1st BIOTROP Conference, Oktober 2013 di IPB Convention Center (ICC) Bogor, dan telah diterima untuk diterbitkan pada International Journal Sciences: Basic and Applied Research Vol. 17 No. 2, 2014; 2) artikel “Effect of kebar grass (Biophytum petersianum) leaf extract on the growth and morphological structure of aflatoxigenic Aspergillus flavus” telah dipresentasikan pada International Symposium on Tropical Fungi, September 2013 dan telah dimasukkan pada International Journal of Food Science and Technology, dan 3) artikel “Aktivitas antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar (Biophytum petersianum) terhadap Aspergillus flavus” telah diterima untuk dipublikasi pada Jurnal Agritech Vol. 35 No. 1, Februari 2015.