TINJAUAN PUSTAKA Padang Rumput Alam Kebar Kebar merupakan salah satu dari 29 kecamatan yang ada di kabupaten Manokwari, yang memiliki padang rumput alam. Padang rumput alam Kebar memiliki luasan sebesar 743,75 ha yang terdiri dari beberapa kampung yaitu Kebar timur, tengah dan barat. Padangan ini memiliki 4 bentuk topografi yaitu: cekungan, datar sampai agak datar, datar agak berombak dan berbukit sampai bergunung. Namun lebih banyak didominasi oleh dataran yang merupakan lembah dengan tingkat kelerengan yang berbeda-beda. Oleh karena potensi hijauannya yang banyak, sehingga padang ini merupakan sumber pakan bagi ternak sapi, babi dan kambing tetapi juga satwa liar seperti rusa. Beberapa studi telah dilakukan di lokasi ini untuk melihat potensi kapasitas tampung (Sraun 1987) dan pendugaan populasi rusa (Macap 1997).
Komposisi Botani Komposisi botani merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai atau mengevaluasi padang penggembalaan dengan menggunakan alat kwadrattitik. Bagi peneliti yang belum berpengalaman maka akan lebih efisien dan kemungkinan „bias‟ kecil apabila dari sejumlah sampel atau cuplikan tertentu analisis komposisi botaninya dilakukan dengan memisahkan tiap spesies dengan tangan dan kemudian menimbangnya (McIllroy 1977). Menurut Reksohadiprodjo (1994), areal padang penggembalaan yang komposisi botaninya terdiri dari campuran rumput dan legum akan jauh lebih baik dibandingkan dengan areal padang penggembalaan yang mono atau
hanya
rumput saja. Legum pada padang penggembalaan berfungsi untuk menyediakan nilai makanan yang lebih baik terutama berupa protein, fosfor (P) dan kalsium (Ca). Sedangkan rumput berfungsi untuk menyediakan bahan kering yang lebih banyak dibanding leguminosa dan energi yang lebih baik pula. Susetyo (1980) menyatakan bahwa komposisi ideal rumput dan leguminosa pada suatu padang penggembalaan adalah 60% : 40%. Selanjutnya komposisi botani dapat diukur dengan beberapa metode antara lain :
6
1. Pemisahan dengan tangan dan penimbangan hijauan makanan ternak yang telah dipotong. 2. Estimasi persentase bobot pada hijauan makanan yang telah dipotong 3. Estimasi persentase bobot “in situ” di kebun atau lapangan 4. Estimasi unit bobot segar dari tiap-tiap spesies yang terdapat di kebun atau di lapangan. Selain itu diperkenalkan juga metoda “rank” atau perbandingan yang memberikan persentase relatif tentang kedudukan masing-masing spesies (relative importance percentages). Metoda ini digunakan untuk menaksir komposisi botani padang rumput atas dasar bahan kering tanpa dilakukan pemotongan dan pemisahan spesies hijauan. Metoda ini disebut dengan “dry weight rank” (Mannetje dan Jones 2000). Dengan demikian penggunaan cuplikan dalam analisa komposisi botani dan produksi hijauan mempunyai peranan yang penting. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan letak petak-petak cuplikan yang biasanya digunakan, antara lain: (1) dengan pengacakan, (2) dengan stratifikasi, dan (3) secara sistematik. Dengan metode-metode ini jika dilakukan secara baik dapat memberikan gambaran yang cukup obyektif.
Padang Penggembalaan Areal padang penggembalaan merupakan sumber penyedia hijauan yang ekonomis dan dapat secara langsung dimanfaatkan oleh ternak yang digembalakan. Areal ini secara tidak langsung harus dapat memenuhi kebutuhan hijauan dari ternak baik secara kuantitas maupun kualitas secara kontinyu. Padang penggembalaan merupakan sumber penyedia hijauan yang lebih ekonomis dan murah serta dapat secara langsung dikonsumsi oleh ternak atau hewan bahkan satwa liar. Padang penggembalaan ternak umumnya terdiri dari rumput seluruhnya atau leguminosa saja, ataupun campuran rumput dan leguminosa (Susetyo 1980). Selanjutnya dinyatakan bahwa suatu padang penggembalaan dapat dikatakan berpotensi jika padang tersebut mampu memproduksi hijauan pakan baik secara kualitas maupun kuantitas. Potensi padang penggembalaan ditentukan
7
oleh lokasi, dimana hijauan pakan tersebut dapat tumbuh dengan baik karena ditunjang oleh kesuburan tanah, iklim, topografi, sumber air dan pengelolaannya. Nilai kuantitas produksi hijauan di areal padang penggembalaan diukur secara mekanis yaitu dengan memotong dan menimbang hijauan yang ada. Tinjauan aspek kuantitas padang penggembalaan diukur berdasarkan kemampuan kapasitas tampung (carryng capasity). Kapasitas Tampung Kapasitas tampung adalah kemampuan suatu padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan pakan yang dibutuhkan oleh sejumlah ekor ternak yang digembalakan dalam luasan satu hektar (Reksohadiprodjo 1985). Kapasitas tampung dinyatakan dalam AU (animal unit) atau satuan/unit ternak (ST/UT). Keadaan stocking rate optimum adalah sangat ideal dalam suatu peternakan karena pertumbuhan ternak dan produksi hijauan pakan berada pada keadaan yang optimum. Menurut Susetyo (1980), kemampuan berbagai padang rumput dalam menampung ternak berbeda-beda karena adanya perbedaan atau variasi dalam hal kesuburan tanah, curah hujan dan penyebarannya, topografi dan hal lainnya. Taksiran atau estimasinya didasarkan pada jumlah hijauan pakan tersedia. Perhitungan estimasi kapasitas tampung didasarkan atas produksi tumbuhan yang tergolong pakan hijauan yang dapat dikonsumsi oleh ternak. Produktivitas hijauan berhubungan erat dengan kapasitas tampung pada suatu areal padang penggembalaan ternak. Makin tinggi produktivitas hijauan maka makin tinggi pula kapasitas tampung yang ditunjukkan dengan banyaknya ternak yang dapat digembalakan (Rekspohadiprodjo 1985). Menurut McIllroy (1977), kapasitas tampung untuk daerah tropika berkisar diantara 2-7 UT/ha/tahun yang pengukurannya didasarkan pada persentase bahan kering hijauan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan proyeksi kapasitas tampung, yaitu : (1) penafsiran kuantitas produksi hijauan, (2) Proper use factor (3) menaksir kebutuhan luas tanah per bulan, (4) menaksir kebutuhan luas tanah per tahun berdasarkan rumus Voisin, dan (5) menentukan kapasitas tampung. Langkah-langkah ini digunakan juga untuk menentukan kapasitas tampung padang rumput alam Kebar dalam penelitian ini.
8
Asosiasi Hijauan Makanan Ternak Kemampuan berasosiasinya suatu jenis tanaman dengan tanaman lain merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam membudidayakan ataupun mengintroduksi suatu jenis tanaman makanan ternak, baik rumput maupun legum. Menurut Sutanto & Soebagyo (1988), suatu padang rumput dibuat dengan tujuan untuk menyediakan hijauan dengan nilai gizi yang tinggi secara kontinyu, mampu menyediakan ransum seimbang dalam hal ini protein, energi dan mineral serta mampu memanfaatkan transfer nitrogen dari leguminosa (khusus untuk padang campuran antara rumput dan legum). Yang perlu diperhatikan yang berhubungan dengan kemampuan berasosiasi adalah sifat tanaman tersebut, kompetisi dalam memanfaatkan hara ataupun sinar matahari, palatabilitasnya baik
dan mampu memberikan respon
positif terhadap
pertumbuhan kembali setelah mengalami defoliasi. Hal ini juga terjadi pada padang rumput alam Kebar Manokwari, dimana rumput kebar mampu berasosiasi dengan alang-alang. Padahal telah diketahui bahwa alang-alang sendiri memiliki sifat allelopatik dimana jika tumbuh bersama spesies lain maka spesies lain tersebut tidak akan mampu bertahan hidup. Namun di sisi lain, kemungkinan ada senyawa lain yang dapat dihasilkan dari akar alang-alang ini sehingga membuatnya dapat hidup berasosiasi dengan rumput kebar. Fenomena inilah yang ingin dijawab melalui penelitian ini.
9
Banondit (Biophytum petersianum Klotzsch) Sistematika Berdasarkan Veldkamp (1976), sistematika banondit adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Ordo
: Geraniales
Famili
: Oxalidaceae
Genus
: Biophytum
Spesies
: Biophytum petersianum Klotzsch
Banondit memiliki ciri sebagai berikut : Pedunkel
: berukuran sangat pendek
Daun
: bentuknya obovate atau umumnya bulat, mengumpul dan berpasangan, pucuk daun berjumlah 3-9 pasang.
Buah
: bakal buah menumpang dan berlekuk atau bersegi lima. Buah kotak atau buni mengandung biji berukuran kecil.
Gambar 1. Banondit (Biophytum petersianum Klotzsch)
Habitat Rumput Kebar dalam bahasa lokalnya disebut ”banondit” (artinya banyak anak) adalah famili Oxalidaceae (belimbing) telah dikenal sejak dulu oleh masyarakat Papua terutama di daerah pegunungan Arfak khususnya Kebar. Kebar merupakan salah satu dari 29 kecamatan di kabupaten Manokwari. Daerah ini
10
memiliki ketinggian ± > 500 meter dpl dengan padang rumput alam seluas 743,5 ha dari 8900 ha padang rumput alam yang ada di Manokwari (Macap 1997; Mulyono 2000). Jenis tumbuhan ini tumbuh secara alami di daerah ini dan endemik. Perbedaan banondit yang ada di Kebar dan Biophytum petersianum Klotzsch yang ada di negara Afrika dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Biophytum petersianum Klotzsch di Afrika (a) Banondit yang ada di Kebar, tumbuh sendiri (b) tumbuh bersama alang-alang (c) Berdasarkan hasil penelitian Imbiri (1997) dan Imbiri et al. (2000), dilaporkan bahwa banondit memiliki kondisi ekologis atau habitat yang spesifik. Biophytum petersianum tersebar di lembah Kebar dengan populasi tertinggi terdapat di daerah Kebar tengah dan Kebar timur. Tumbuhan ini dijumpai berasosiasi dengan Imperata cylindrica dan Paspalum conjugatum (tampak dalam Gambar 3).
Gambar 3. Habitat Biophytum petersianum Klotzsch di Padang Rumput Alam Kebar
11
Selain itu, banondit juga dijumpai tumbuh pada tanah dengan permeabilitas sedang (4,01 cm/jam – 5,17 cm/jam) sebagai penciri utama dari sifat fisik tanah. Biophytum petersianum juga dijumpai tumbuh pada tanah dengan sifat kimia dominan yaitu pH agak asam–masam (4,6-5,6), P tersedia rendah (10,5–13,3 ppm) kandungan sulfur rendah sampai sedang (0,04 – 0,2%). Hasil analisis tanah dapat dilihat pada Tabel 1. Keadaan iklim dengan curah hujan rata-rata 2383 mm/bulan, suhu 26,68oC, kelembaban 82,97% dan intensitas cahaya matahari 64,87 lux yang berada pada ketinggian >500 m dpl sangat menunjang pertumbuhannya. Tabel 1. Hasil analisis tanah lokasi padang rumput alam Kebar Jenis Analisa Tekstur (%)
pH Bahan Organik (%) HCl 25% (mg/100g) Olsen (ppm) Morgan (ppm) Nilai Tukar Kation
KCl 1 N
Uraian Pasir Debu Liat H2O KCl C N C/N P2O5 K2O P2O5 K2O Ca Mg K Na Jumlah KTK KB* Al3+ H+
Kode Sampel I II III 86,00 89,00 70,00 7,00 6,00 21,00 7,00 5,00 9,00 5,40 6,10 5,40 4,40 5,00 4,10 1,33 3,55 1,07 0,11 0,24 0,09 12,00 15,00 12,00 63,00 57,00 19,00 37,00 43,00 16,00 37,00 25,00 11,00 27,00 51,00 47,00 1,92 4,23 1,56 0,57 0,99 0,40 0,05 0,10 0,09 0,00 0,00 0,05 2,54 5,32 2,10 6,52 6,60 12,17 39,00 81,00 17,00 0,32 0,00 1,03 0,20 0,04 0,21
Rataan 81,67 11,33 7,00 5,63 4,50 1,98 0,15 13,00 46,33 32,00 24,33 41,67 2,57 0,65 0,08 0,02 3,32 8,43 45,67 0,45 0,15
Keterangan Tinggi
Agak masam Rendah Rendah Sedang Tinggi Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Sangat rendah
Rendah Sedang
Keterangan: *=>100 terdapat kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar.
Sumber : Laboratorium Pusat Penelitian Tanah Bogor 2007 Komposisi Kimia Berdasarkan hasil penelitian Sadsoeitoeboen (2005), komposisi kimia yang terkandung dalam banondit disajikan pada Tabel 2.
12
Tabel 2. Komposisi Kimia Banondit (Biophytum petersianum Klotzsch) Bahan Penyusun Komposisi (%) 89,06 Bahan kering 7,35 Protein kasar 32,38 BETN* 35,85 Serat kasar 0,72 Lemak kasar 199,30 Vitamin A (IU)* 13,27 Vitamin E (IU)* 12,76 Abu 1,52 Calsium (Ca)* 0,60 Phospor (P)* 0,09 NaCl* Sumber : Sadsoeitoeboen 2005 (* Disempurnakan)
Hasil komposisi di atas menunjukkan bahwa banondit mengandung hampir semua kebutuhan nutrien yang dibutuhkan untuk aktivitas produksi. Selain itu, pada proteinnya juga mengandung 17 asam amino yang sangat dibutuhkan untuk aktivitas produksi dan reproduksi, seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Asam Amino Biophytum petersianum Klotzsch Jenis Asam Amino Komposisi (%) 0,255 Asam Aspartat 0,230 Asam Glutamat 0,198 Serin 0,123 Glisin 0,345 Histidin 0,310 Arginin 0,220 Treonin 0,115 Alanin 0,345 Prolin 0,316 Tirosin 0,252 Valin 0,287 Metionin 0,254 Sistin 0,237 Iso-leusin 0,298 Leusin 0,360 Fenil-alanin 0,259 Lysin Tryptophan * - Sumber : Sadsoeitoeboen 2005. - * Kemungkinan asam amino tryptophan tidak dianalisis.
13
Manfaat Banondit Berdasarkan informasi masyarakat lokal, banondit telah banyak dikonsumsi baik di daerah Papua sendiri maupun di Indonesia secara umum. Informasi yang dihimpun di lapangan dalam penelitian ini, diketahui bahwa banyak pasangan suami isteri yang telah lama belum memiliki keturunan (anak) dengan mengkonsumsi (minum) rebusan atau ekstrak tumbuhan ini dapat memberikan hasil yang memuaskan. Bahkan ada beberapa wanita yang memiliki ovarium kiri dan kanan tinggal separuh akibat kista, tetapi dengan mengkonsumsinya tumbuhan ini masih dapat memiliki keturunan (anak). Selain itu, beberapa wanita juga menyatakan bahwa dengan mengkonsumsi rebusan banondit ini dapat menormalkan siklus menstruasi yakni yang semula 14 hari menjadi 28-30 hari. Sedangkan menurut Veldkamp (1976), banondit telah lama atau secara turun temurun dimanfaatkan sebagai obat kesuburan bagi wanita dan juga untuk ternak babi. Pemupukan Hijauan Makanan Ternak Foth (1988) menyatakan bahwa kesuburan suatu jenis tanaman ditentukan oleh ketersediaan unsur hara dalam tanah. Pupuk merupakan sutau bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Dengan demikian salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara yaitu dengan pemupukan. Ketika tanaman masih muda, tentunya zat hara yang dibutuhkan relatif lebih banyak, sehingga pupuk N, P, dan K yang diberikan harus dalam keadaan yang dapat diserap oleh akar tanaman. Pemberian pupuk N untuk hijauan dianjurkan 1 sampai 2 minggu setelah tanam atau setelah defoliasi. Sedangkan pupuk P dan K diberikan pada saat pengolahan tanah atau setelah defoliasi atau pemotongan. Hal ini berhubungan dengan sifat N yang mudah tercuci. Oleh karena itu pada hijauan potongan, pemupukan nitrogen (N) diberikan setiap 3-4 kali setahun, sedangkan pupuk P dan K lebih lama yaitu 1-2 kali/tahun (Susetyo 1980). Jenis rumput tropis umumnya peka terhadap kekurangan nitrogen. Whitehead (1970) dalam Syafria (1996) menyatakan bahwa rumput berkapasitas sangat tinggi dalam mengabsorpsi nitrogen dan kecepatannya tergantung pada tingkat pertumbuhan dan suplai nitrogen. Menurut Susetyo (1980), jika dilakukan
14
pemupukan nitrogen pada hijauan, maka P dan K juga harus diberikan. Hal ini karena respon pupuk nitrogen akan lebih baik terutama bila dilakukan bersamasama dengan pemupukan P dan K dalam jumlah yang cukup. Dalam penelitian ini hanya digunakan pupuk N sebagai perlakuan dengan asumsi bahwa berdasarkan hasil analisis tanah (Tabel 1), padang rumput alam memiliki kandungan fosfor (P) dan kalium (K) yang tinggi sehingga tidak diberikan lagi. Selanjutnya dilaporkan juga bahwa produksi bahan kering dan protein kasar rumput Brachiaria decumbens yang terbaik pada tanah latosol dihasilkan pada pemupukan 300 kg N/ha, 150 kg P2O5/ha dan 150 kg K2O/ha.
Peranan Nitrogen pada Tanaman Nitrogen (N) merupakan penyusun utama dari semua senyawa protein. Protein merupakan bagian penting dari protoplasma sel-sel tumbuhan. Selain itu, nitrogen terdapat pula dalam klorofil, nukleotida, phospatida, alkaloid, enzim, hormon dan vitamin (Arief 1983). Nitrogen merupakan unsur hara utama yang mempengaruhi produksi tanaman terutama dari golongan rumput-rumputan (Tisdale et al. 1988). Kebutuhan nitrogen rumput sebagian besar tergantung pada sumber di luarnya, yaitu melalui pengikatan non simbiotik atau penambahan pupuk atau gabungan keduanya (Buckman & Brady 1982). Nitrogen diserap oleh tanaman dalam bentuk nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+). Ion nitrat yang diserap segera direduksi menjadi amonium. Ion amonium bersama-sama dengan karbohidrat dalam daun dan bagian tanaman lainnya disintesis menjadi protein dan asam-asam amino. Bertambahnya protein yang dihasilkan menyebabkan tanaman tumbuh lebih besar, sehingga jumlah daun untuk proses fotosintesis bertambah. Pengaruh umum dari pemupukan nitrogen adalah meningkatnya bagian vegetatif tanaman (daun, batang dan akar), produksi bahan kering dan kandungan protein (Sarief 1985). Total nitrogen dalam tubuh tanaman meningkat dengan meningkatnya pemberian nitrogen. Pemberian nitrogen sampai batas tertentu meningkatkan produksi bahan kering, namun dengan level pupuk nitrogen yang lebih tinggi dapat menyebabkan produksi bahan kering menurun (Rhykerd et al. 1969).
15
Pemberian pupuk N dengan dosis tinggi kerapkali dilakukan pada padang penggembalaan tropika jika rumput yang ditanam tanpa tanaman leguminosa (McIlroy 1977). Tanaman yang kurang mendapat nitrogen akan tumbuh kerdil dan mempunyai sistem perakaran yang terbatas. Daun menjadi kuning atau hijau kekuningan dan cenderung mudah gugur (Buckman & Brady 1982; Hardjowigeno 1987). Selain itu rendahnya persediaan nitrogen selama masa pertumbuhan vegetatif rumput akan menurunkan pembentukan anakan atau tunas dan ranting atau bunga. Sebaliknya, jika pupuk N ini diberikan secara berlebihan maka akan mengakibatkan kerusakan pada tanaman. Efek N yang kemungkinan dapat merugikan antara lain:1). dapat menghambat waktu masak, karena peningkatan pertumbuhan vegetatif yang berlebihan melampaui waktu menjadi masak yang normal, 2). dapat melemahkan batang dan meningkatkan kehampaan biji, 3). kualitasnya rendah dan 4). terkadang dapat mengurangi ketahanan terhadap penyakit. Jumlah nitrogen dalam larutan tanah yang dapat diserap oleh tanaman dipengaruhi oleh : 1) sifat perakaran tanaman, 2) kehilangan nitrogen melalui penguapan dan proses yang mempengaruhi proses penguapan, 3) pergerakan vertikal dan pencucian NO2, 4) kelembaban di daerah akar dan 5) ada tidaknya sisa-sisa tanaman yang dapat mengimobilisasi nitrogen (Leiwakabessy 1988). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pemberian pupuk N untuk rumput jenis perennial dapat mencapai 500 kg/ha. Siklus nitrogen disajikan pada Gambar 4.
16
Gambar 4. Siklus Nitrogen
Pengaruh Interval Defoliasi pada Tanaman Defoliasi adalah pemotongan atau pengambilan bagian tanaman yang ada di atas permukaan tanah, baik oleh manusia ataupun oleh renggutan ternak atau hewan itu sendiri pada saat digembalakan (AAK 1983). Frekwensi dan intensitas defoliasi yang tepat menjamin pertumbuhan kembali yang optimal, sehat dan kandungan gizinya tinggi atau baik. Saat tersebut adalah pada akhir fase vegetatif atau menjelang berbunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kembali suatu tanaman makanan ternak adalah adanya ketersediaan bahan makanan (food reserve) berupa karbohidrat di dalam akar dan tunggul yang ditinggalkan setelah defoliasi. Kemudian karbohidrat ini akan dirombak oleh enzim tertentu menjadi energi yang akan digunakan untuk pertumbuhan kembalinya (regrowth). Menurut Soetanto & Subagyo (1988), frekuensi defoliasi adalah berapa kali pemotongan tanaman hijauan dilakukan. Hal ini perlu dipikirkan oleh seorang peternak. Sebab, setelah defoliasi pertumbuhan kembali tanaman memerlukan zatzat nutrisi sumber energi seperti gula dan pati yang memang berkaitan erat dengan N, P dan K. Pada interval pemotongan yang panjang, keadaannya tidak
17
mengkhawatirkan tetapi sebaliknya jika intervalnya pendek atau intensitas pemotongannya tinggi maka karbohidrat dalam akar akan menurun sehingga akan menghambat pertumbuhan kembali karena pembentukan karbohidrat dalam proses fotosinteisis akan terhambat pula. Secara umum, interval ini dapat diatur misalnya dengan melihat musim yaitu musim hujan dan kemarau. Analisa Vegetasi Menurut Surianegara dan Indrawan (2008), analisa vegetasi merupakan cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dalam bidang ilmu kehutanan, analisa vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi yang meliputi: (1) mempelajari tegakan hutan yaitu tingkat pohon dan permudaannya dan (2) mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang dimaksud tumbuhan bawah yaitu suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan, padang rumput/alang-alang dan vegetasi semak belukar. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi tegakan hutan yaitu pohon dan permudaannya antara lain: (1) Cara petak tunggal, (2) Cara petak ganda, (3) Cara jalur atau transek, (4) Cara garis berpetak.
Struktur dan Komposisi Vegetasi Stuktur dan komposisi hutan dapat diketahui dengan menghitung jumlah, distribusi, frekuensi dan dominansi. 1). Banyaknya (Abudance) dan kerapatan (density) Banyaknya individu dari suatu jenis pohon dan tumbuh-tumbuhan lain dapat ditaksir dan dihitung. Pada taraf reconnaisance banyaknya individu suatu jenis ditaksir menurut lima kelas (abundance class) sebagai berikut: (a) Jarang terdapat, (b) Kadang-kadang terdapat, (c) Banyak terdapat, dan (d) Banyak sekali terdapat. Dengan sampling dimungkinkan untuk menghitung banyaknya individu sesuatu jenis pohon dan tumbuh-tumbuhan hutan lainnya. Apabila banyaknya individu dinyatakan per satuan luas, seperti banyaknya (bilangan) per hektar, maka nilai ini disebut kerapatan (density). Untuk menetapkan nilai penting atau dominansi (dominance) sesuatu jenis lain dalam tegakan,
18
seringkali diperlukan nilai kerapatan relatif yaitu persentase jumlah individu dari suatu jenis yang ada. 2. Frekuensi, yaitu perbandingan banyaknya petak yang terisi oleh sesuatu jenis terhadap jumlah petak-petak seluruhnya, yang biasanya dinyatakan dalam persen, adalah ukuran dari ukuran uniformitas atau regularitas terdapatnya jenis itu dalam tegakan. Untuk menghitung nilai penting atau dominansi diperlukan pula besaran frekuensi relatif yaitu persen frekuensi sesuatu jenis terhadap jumlah frekuensi semua jenis. 3. Dominansi Dominansi suatu jenis terhadap jenis-jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan berdasarkan besaran-besaran berikut: (a) Banyaknya individu, (b) Persen penutupan (cover precentage) dan luasnya bidang dasar (basal area), (c) Volume, (d) Biomass, dan (d) Indeks nilai penting (importance value index). Soerianegara dan Indrawan (2008) membedakan masyarakat tumbuhtumbuhan di dalam hutan sebagai berikut : a. Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m. b. Sapling (pancang, sapihan) yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm. c. Pole (tiang) yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10-35 cm. d. Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 35 cm yang diukur 1,3 meter dari permukaan tanah. Dalam ekologi hutan satuan yang diselidiki adalah satuan tegakan yang merupakan asosiasi konkrit, analisis vegetasi yang dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah : 1. Mempelajari tegakan hutan, yaitu tingkat pohon dan permudaannya. 2. Mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang dimaksud tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali padang rumput/alang-alang, dan vegetasi semak belukar (Soerianegara dan Indrawan 1988).
Menurut Kusmana (1997) dan Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa untuk keperluan deskripsi vegetasi ada 3 (tiga) parameter yang penting untuk dianalisis yaitu frekuensi, kerapatan dan dominansi. Indeks Nilai Penting (INP) diperoleh dengan menjumlahkan frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan dominansi relatif.
19
Indeks keanekaragaman (H‟) digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Keanekaragaman Jenis dalam Komunitas Diversitas atau keanekaragaman merupakan suatu keragaman diantara anggota suatu komunitas (Supriatno 2001). Sementara Deshmukh (1992) mengartikan keanekaragaman sebagai gabungan antara jumlah jenis dan jumlah individu masingmasing jenis dalam suatu komunitas atau sering disebut kekayaan jenis. Menurut Resosoedarmo dkk. (1984), keanekaragaman kecil terdapat pada komunitas yang ada di daerah dengan lingkungan yang ekstrim, seperti daerah kering, tanah miskin, dan pegunungan tinggi. Sementara itu keanekaragaman tinggi terdapat di daerah dengan lingkungan optimum. Menurut Odum (1993) ada dua komponen keanekaragaman jenis yaitu kekayaan jenis dan kesamarataan. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas. Keanekaragaman jenis cenderung besar dalam suatu komunitas yang lebih tua. Keanekaragaman jenis cenderung kecil untuk komunitas yang baru dibentuk. Kesamarataan adalah pembagian individu yang merata diantara jenis. Pada kenyataannya setiap spesies itu mempunyai jumlah individu yang tidak sama. Analisis keanekaragaman jenis dapat dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman menurut Shannon. Ngabekti (2003) menyatakan ada dua macam pendekatan yang digunakan untuk menganalisis keanekaragaman jenis,yaitu: a. Perbandingan yang didasarkan pada bentuk, pola atau kurva banyaknya jenis. b. Perbandingan yang didasarkan pada indeks keanekaragaman.