POTENSI EKSTRAK RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum Klotzsch) PADA FUNGSI REPRODUKSI TIKUS JANTAN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK
ADRIEN JEMS AKILES UNITLY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Potensi Ekstrak Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) pada Fungsi Reproduksi Tikus Jantan yang Terpapar Asap Rokok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013 Adrien Jems Akiles Unitly NRP B161080031
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN ADRIEN JEMS AKILES UNITLY. Potensi Ekstrak Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) pada Fungsi Reproduksi Tikus Jantan yang Terpapar Asap Rokok. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI, SRIHADI AGUNGPRIYONO, ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS, dan ARIEF BOEDIONO. Salah satu penyebab gangguan reproduksi yang mengakibatkan penurunan fungsi reproduksi adalah asap rokok. Di Papua, rumput kebar yang dalam bahasa lokalnya disebut “banondit” (artinya banyak anak) biasa digunakan oleh penduduk setempat sebagai obat-obatan untuk mengatasi masalah reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak rumput kebar pada fungsi reproduksi tikus jantan yang terpapar asap rokok. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah pembuatan hewan model penurunan fungsi reproduksi tikus jantan dengan pemaparan asap rokok. Parameter yang diamati adalah analisis mikroskopis paru-paru, gambaran darah, analisis mikroskopis testis, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat peningkatan partikel hitam pada sitoplasma alveoli paruparu yang diduga adalah tar pada perlakuan 40 hari dan 60 hari, peningkatan nilai PCV, penurunan bobot testis, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa yang tidak kembali ke kondisi normal setelah pemberhentian pemaparan. Hal ini menguatkan bahwa hewan yang dipapar asap rokok dapat dijadikan sebagai hewan model penurunan fungsi reproduksi jantan. Tahap kedua bertujuan mempelajari potensi ekstrak rumput kebar pada gambaran darah tikus jantan yang telah terpapar asap rokok. Parameter yang diamati adalah gambaran darah meliputi jumlah butir darah merah/BDM (eritrosit), kadar hemoglobin (Hb), nilai hematokrit (PCV), indeks eritrosit dan jumlah butir darah putih/BDP (leukosit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar 0.0945 mg/gr bobot badan/hari dapat menyebabkan penurunan jumlah BDM pada tikus yang terpapar asap rokok. Tahap ketiga bertujuan mempelajari potensi ekstrak rumput kebar pada testis, hormon testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa pada tikus yang terpapar asap rokok. Parameter yang diamati adalah analisis testis, analisis testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar 0.0945 mg/gr bobot badan/hari dapat meningkatkan bobot testis, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa pada tikus yang terpapar asap rokok. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar dosis 0.0945 mg/gr bobot badan/hari dapat meningkatkan fungsi reproduksi tikus jantan yang terpapar asap rokok. Kata Kunci: Asap rokok, ekstrak rumput kebar, spermatogenik, spermatozoa
SUMMARY ADRIEN JEMS AKILES UNITLY. The Potential of Extract Kebar‟s Grass (Biophytum petersianum Klotzsch) on Reproductive Function in Male Rat that Exposure with Cigarette Smoke. Supervised by NASTITI KUSUMORINI, SRIHADI AGUNGPRIYONO, ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS, and ARIEF BOEDIONO. One of the causes reproduction disorder that effect of decreasing reproductive function is cigarette smoke. In Papua, kebar„s grass which in local language called "banondit" (meaning many children) are commonly used by locals as a herbal medicine to overcome reproductive problem. This research aims to create an animal model of decreased reproductive function of male rats with cigarette smoke exposure and to determine the potential of extract kebar‟s grass on reproductive function of male rats exposed to cigarette smoke. The research was conducted in three stages. The first stage was designed to learn the animal model of decreasing reproductive function in male rat exposure with cigarette smoke. The parameters were analysis of microscopic lung, blood profile, analysis of microscopic testes, spermatogenic cells count and spermatozoa quality. The results showed a black particles of cytoplasm alveoli of lung which is predicted as tar in 40d and 60d, increased PCV, decreased testes weight, spermatogenic cells count and spermatozoa quality which did not return to normal conditions after stopping the exposured appropriate time. This confirmed that the animals were exposed to cigarette smoke can be used as an animal model of male reproductive function decline. The second stage was designed to learn the potential of extract kebar‟s grass on blood profile in male rat exposed with cigarettes smoke. The parameters was blood profile is erythrocyte, hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit and Leukosit. The results showed that extract kebar‟s grass 0.0945 mg/gr body weight/day can increased eritrosit in male rat exposed with cigarettes smoke. The third stage was designed to learn the potential of extract kebar‟s grass on testes, testosterone levels, spermatogenic cells count and spermatozoa quality in male rat exposed with cigarettes smoke. The parameters were analysis of testes, analysis of testosterone, spermatogenic cells count and spermatozoa quality. The results showed that extract kebar‟s grass 0.0945 mg/gr body weight/day increased testes weight, amount spermatogenic cells and spermatozoa quality in male rat exposed with cigarettes smoke. From this research could be conclude that giving of extract kebar‟s grass 0.0945 mg/gr body weight/day could increased reproductive function of male rat that exposured by cigarette smoke. Keywords: Cigarettes smoke, extract kebar‟s grass, spermatogenic, spermatozoa
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
POTENSI EKSTRAK RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum Klotzsch) PADA FUNGSI REPRODUKSI TIKUS JANTAN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK
ADRIEN JEMS AKILES UNITLY
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. drh. Koekoeh Santoso Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SP.MP, M.Sc
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt.,M.Sc Drh. Yulvian Sani, Ph.D
Judul Disertasi : Potensi Ekstrak Rumput Kebar (Biophytum Petersianum Klotzsch) pada Fungsi Reproduksi Tikus Jantan yang Terpapar Asap Rokok. Nama : Adrien Jems Akiles Unitly NRP : B161080031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr dra Nastiti Kusumorini, AIF Ketua
drh Srihadi Agungpriyono, Ph.D.PAVet (K) Anggota
Dr drh Aryani S. Satyaningtijas, MSc, AIF Anggota
Prof drh Arief Boediono, Ph.D.PAVet (K) Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi/Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO)
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc, AIF
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 29 Agustus 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu memberikan Berkat dan AnugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Potensi Ekstrak Rumput Kebar (Biophytum Petersianum Klotzsch) pada Fungsi Reproduksi Tikus Jantan yang Terpapar Asap Rokok”, yang dilaksanakan sejak Januari 2011 sampai April 2012. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. dra. Nastiti Kusumorini, AIF, drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D.PAVet (K), Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc, AIF dan Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D.PAVet (K) selaku komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Koekoeh Santoso dan Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SP.MP, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup, drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D,APVet sebagai pimpinan sidang pada ujian tertutup, Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt.,M.Sc dan drh. Yulvian Sani, Ph.D selaku penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka dan drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D.PAVet (K) sebagai pimpinan sidang pada ujian terbuka. Ucapan terima kasih disampaikan kepada BPPS Dikti yang telah memberikan biaya untuk studi, Pemda Provinsi Maluku, Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM), Yayasan Satyabhakti Widya, dan Yayasan Supersemar yang telah membantu dalam pemberian dana dalam penelitian dan penulisan disertasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO) IPB Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc, AIF dan seluruh staf pengajar, pegawai dan laboran (Ibu Ida, Ibu Sri, Pak Edi dan Pak Wawan) pada bagian Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB, staf laboran Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor, staf laboran BALITRO, teman-teman mahasiswa Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO), Sisters Voice (Cerria Inara, Wunuhalono HED Dahoklory, Hearty Salatnaya dan Stylia Johannes), Gita Swara Pascasarjana (GSP) IPB (Alfred O.M Dima, Marleen Pieter, Sarah Nila, Silvia Puspitasari, Yuang Dinni, Sarah Boru Saragih, Adeleyda M.Lumingkewas, Lady D. Tetelepta, Intan Herwindra, Vida, Flandrianto, Fred, Wahid, Daniel, Putra, dll), Keluarga Besar POUKADS, temanteman PERMAMA, Persekutuan Mahasiswa Oikumene, IMAPPA, PERMASUT, GAMANUSRATIM, mantan pengurus DEMA PASCASARJANA IPB 20102011, alumni muda GMNI Sulawesi Utara, serta sahabat penulis Dra Suprihatin, M.Si dan Dr. Safrida, S.Pd, M.Si yang selalu memberikan motivasi dan dukungannya. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Papa dan Mama, Kakak Joice serta kedua adik Jane dan Kristo, juga keluarga besar UnitlySilahooy, Tutupoly dan Oraplean atas dukungan Doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Bogor, Agustus 2013 Adrien Jems Akiles Unitly
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ---------------------------------------------------------------------DAFTAR GAMBAR ------------------------------------------------------------------DAFTAR LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------
ii iii iii
1 PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------Latar Belakang ----------------------------------------------------------------Tujuan Penelitian --------------------------------------------------------------Hipotesis -----------------------------------------------------------------------Manfaat Penelitian ------------------------------------------------------------Kebaruan (Novelty) -----------------------------------------------------------Kerangka Pemikiran -----------------------------------------------------------
1 1 3 3 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ------------------------------------------------------------ 6 Taksonomi, Ekologi dan Komposisi Rumput Kebar ---------------------- 6 Pengaturan Hormon Reproduksi Jantan ------------------------------------ 8 Spermatogenesis ---------------------------------------------------------------- 9 Gangguan Reproduksi Jantan ------------------------------------------------- 10 Pengaruh Asap Rokok Pada Tubuh ------------------------------------------ 11 3 PEMBUATAN HEWAN MODEL PENURUNAN FUNGSI REPRODUKSI TIKUS JANTAN DENGAN PEMAPARAN ASAP ROKOK-------------------------------------------------------------------------------Pendahuluan -------------------------------------------------------------------Bahan dan Metode -----------------------------------------------------------Hasil dan Pembahasan -------------------------------------------------------Simpulan -------------------------------------------------------------------------
13 14 15 17 27
4 KAJIAN PEMBERIAN EKSTRAK RUMPUT KEBAR TERHADAP GAMBARAN DARAH TIKUS JANTAN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK-------------------------------------------------------------------------------Pendahuluan -------------------------------------------------------------------Bahan dan Metode -----------------------------------------------------------Hasil dan Pembahasan -------------------------------------------------------Simpulan -------------------------------------------------------------------------
28 29 30 32 36
5 KAJIAN PEMBERIAN EKSTRAK RUMPUT KEBAR PADA FUNGSI REPRODUKSI TIKUS JANTAN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK ------------------------------------------------------------------------------Pendahuluan -------------------------------------------------------------------Bahan dan Metode -----------------------------------------------------------Hasil dan Pembahasan -------------------------------------------------------Simpulan -------------------------------------------------------------------------
37 38 38 41 47
6 PEMBAHASAN UMUM ---------------------------------------------------------- 48 7 SIMPULAN DAN SARAN -------------------------------------------------------- 51 DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------ 52 LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------------------- 56 RIWAYAT HIDUP --------------------------------------------------------------------- 65
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
6 7 8 9
10
11
12
13
14
15
16
17
15.
Komposisi kimia rumput kebar (Sadsoeitoeboen 2005) --------------------Komposisi asam amino rumput kebar (Sadsoeitoeboen 2005) -------------Hasil uji kualitatif fitokimia rumput kebar (Azlina 2009) ------------------Rataan bobot basah paru-paru tikus jantan setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan ----------------------------------Rataan jumlah butir darah merah (eritrosit)/RBC (juta/mm3), Kadar Hemoglobin (Hb) (gr %) dan Hematokrit/PCV (%) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan ----------------------------Rataan indeks eritrosit setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan --------------------------------------------------------Rataan jumlah butir darah putih (Juta/mm3) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan ---------------------------------Rataan bobot testis setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan --------------------------------------------------------Rataan jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan --------------------------------------------------------Rataan kualitas spermatozoa (konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan ----------------------------------Rataan jumlah BDM (juta/mm3), Kadar Hb (gr %) dan Nilai PCV (%) setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar --------------------Rataan indeks eritrosit setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar --------------------------------------------------------------------Rataan jumlah BDP (Juta/mm3) setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar --------------------------------------------------------------Rataan bobot testis, konsentrasi DNA dan RNA testis tikus setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar ------------------------------Rataan kadar hormon testosteron setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar --------------------------------------------------------------Rataan jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar --------------------------------------------------------------------Rataan kualitas spermatozoa (konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa) setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar ------------------------------------------------Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis (Laurence dan Bacharah 1964) --------------------------------------------
7 7 8 18
20 21 22 23
25
26
32
35
36
41
43
44
46 61
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Bagan kerangka pemikiran ------------------------------------------------------Tahapan penelitian ----------------------------------------------------------------Rumput kebar --------------------------------------------------------------------Rumput kebar dari Papua --------------------------------------------------------Pengaturan hormon reproduksi jantan -----------------------------------------Proses spermatogenesis -----------------------------------------------------------Bagan alur penelitian -------------------------------------------------------------Fotomikrograf paru-paru setelah pemaparan asap rokok menunjukkan peningkatan partikel berwarna coklat tua atau hitam-------------------------Fotomikrograf paru-paru menunjukkan peningkatan sel-sel radang pada alveoli paru-paru ------------------------------------------------------------Fotomikrograf menunjukkan struktur tubulus seminiferus setelah pemaparan asap rokok -----------------------------------------------------------Bagan alur penelitian--------------------------------------------------------------Bagan alur penelitian--------------------------------------------------------------Smoking chamber ------------------------------------------------------------------Testis tikus ------------------------------------------------------------------------
4 5 6 6 8 10 17 19 19 24 31 40 56 58
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Tata cara pemaparan asap rokok -----------------------------------------------Analisis mikroskopis paru-paru ------------------------------------------------Pengukuran gambaran darah ----------------------------------------------------Analisis mikroskopis testis dan jumlah sel-sel spermatogenik -------------Kualitas spermatozoa -------------------------------------------------------------Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis (Laurence dan Bacharah 1964) -------------------------------------------7 Pembuatan ekstrak rumput kebar------------------------------------------------8 Kandungan rumput kebar --------------------------------------------------------9 Analisis DNA dan RNA testis tikus --------------------------------------------10 Analisis hormon testosteron ------------------------------------------------------
54 54 55 56 57 58 58 60 60 61
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Fungsi reproduksi jantan dipengaruhi oleh testis yang berfungsi menghasilkan spermatozoa dan hormon androgen, yaitu testosteron. Lapisan luar testis adalah tunika albugenia (membran putih tipis) yang merupakan jaringan yang elastis. Pembuluh kapiler darah banyak terdapat di bawah tunika albugenia. Lapisan di bawah tunika albugenia adalah lapisan parenkim yang merupakan lapisan fungsional testis. Di dalam segmen-segmen jaringan parenkim terdapat tubulus seminiferus yang merupakan tempat produksi spermatozoa. Tubulus seminiferus merupakan pembuluh seks primer, mengandung sel-sel germinal (spermatogonia) dan sel Sertoli. Sel-sel tersebut terhubung dengan membran basalis yang membentuk blood testis barrier. Stimulasi oleh follicle stimulating hormone (FSH) menyebabkan sel-sel Sertoli memproduksi androgen binding protein (ABP) dan inhibidin. Di bawah pengaruh FSH, sel Sertoli memicu sel-sel germinal melakukan proses awal spermatogenesis dan menyediakan kebutuhan nutrisi dan perkembangan spermatogonia. Sel-sel Leydig terdapat di dalam jaringan parenkim di antara saluran-saluran tubulus seminiferus. Stimulasi oleh lutenising hormone (LH) menyebabkan sel-sel Leydig memproduksi testosteron yang salah satu fungsinya untuk mengatur proses spermatogenesis. Testosteron diperlukan dalam produksi spermatozoa dan mengembangkan seks sekunder (Bearden et al. 2004). Penurunan fungsi reproduksi dapat terjadi secara genetik dan non genetik seperti terpapar bahan kimia dan penggunaan obat-obatan. Asap rokok mengandung senyawa-senyawa kimia yang bersifat toksik dan akan terbawa oleh darah ke seluruh organ tubuh termasuk organ reproduksi sehingga dapat menurunkan fungsi reproduksi. Beberapa penelitian mengenai efek bahan kimia rokok terhadap sistem reproduksi oleh Rajpurkar et al. (2000) menunjukkan dampak terburuk dari asap rokok adalah rusaknya jaringan pada testis tikus yang akan mengakibatkan gangguan spermatogenesis sehingga terjadi abnormal spermatozoa. Hal ini sejalan dengan Ahmadnia et al. (2007) yang menunjukkan bahwa asap rokok dapat memberikan efek toksik sehingga menurunkan proses spermatogenesis pada tikus. Senyawa toksik asap rokok yang masuk secara inhalasi ke dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan pada paru-paru dan akhirnya terjadi iritasi pada hati sehingga hati tidak sanggup melakukan detoksifikasi secara sempurna. Hal ini dapat menyebabkan munculnya metabolit sekunder yang dapat bertindak sebagai radikal bebas yang ikut dalam peredaran darah menuju ke seluruh bagian tubuh termasuk testis. Hasil survei dari Survey Global Youth Tobacco tahun 2000 memperlihatkan bahwa 88% perokok di Indonesia lebih menyukai rokok kretek dan 12% menyukai rokok putih. Kadar tar dan nikotin pada rokok kretek lebih tinggi dibandingkan dengan rokok putih (rokok tanpa cengkeh). Secara umum, rokok kretek yang dijual di Indonesia mengandung 1,9-2,76 mg nikotin dan 34-65 mg tar per batang, sedangkan rokok putih mengandung 0,05-1,4 mg nikotin dan 0,5-24 mg tar per batang. Rokok kretek berpotensi menghasilkan asap yang lebih banyak dibandingkan dengan rokok putih (Susanna et al. 2003). Dalam proses merokok terjadi dua reaksi yaitu reaksi pembakaran dan reaksi pirolisa. Reaksi pembakaran adalah suatu runutan reaksi kimia antara bahan bakar dan oksidan,
2
disertai dengan produksi panas yang kadang disertai cahaya dalam bentuk pendar atau api. Reaksi pembakaran dengan oksigen akan membentuk senyawa CO2, H2O2, NO, SO, dan CO. Reaksi pirolisa adalah dekomposisi kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen atau reagen lainnya. Material mentah akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas. Reaksi pirolisa menyebabkan pemecahan struktur kimia rokok menjadi berbagai senyawa kimia (Bindar 2000). Senyawa kimia tersebut bersifat toksik seperti bahan karsinogen, tar, nikotin, nitrosamin, karbon monoksida, senyawa PAH (Polynuclear Aromatic Hydrogen), fenol, karbonil, klorin dioksin, dan furan (Fowles dan Bates 2000). Saat merokok, ada dua aliran asap yang dihasilkan, yakni asap arus utama dan asap arus samping. Asap arus utama dihasilkan dari pembakaran sempurna, hanya 15 % yang dihisap oleh perokok aktif, sedangkan arus samping dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna sebanyak 85 % mengandung zat karsinogen yang dapat mencemari lingkungan. Susanna et al. (2003) menyatakan bahwa asap rokok arus samping mengandung nikotin lebih banyak dari pada dalam arus utama. Dengan kata lain bahwa kadar nikotin yang dilepaskan ke lingkungan lebih banyak dari pada nikotin yang dihisap oleh perokok. Perbandingan jumlah nikotin dalam asap arus samping lebih banyak 4 – 6 kali dari pada yang terdapat dalam asap arus utama. Indonesia merupakan negara kepulauan tropis terbesar di dunia dan memiliki keragaman tumbuhan yang sangat tinggi setelah Brazil. Salah satunya adalah tanaman obat yang jumlahnya mencapai 7500 spesies [Humas Kementan RI 2012]. Hasil Kajian yang telah dilakukan sampai tahun 2000 ditemukan sebanyak 1.845 jenis tumbuhan obat yang tersebar di berbagai bentuk ekologi hutan dan ekosistem alam lainnya. Keanekaragaman hayati tumbuhan obat Indonesia belum banyak dimanfaatkan karena belum diketahui jenis dan manfaatnya, namun sebagian telah dimanfaatkan secara turun temurun sebagai obat tradisional. Salah satu tumbuhan obat yang memiliki potensi medis untuk reproduksi adalah rumput kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) yang belum banyak diketahui di Indonesia, ditemukan di Kecamatan Kebar, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Rumput kebar yang termasuk famili Oxalidaceae (belimbing) telah dikenal sejak dulu oleh masyarakat Papua terutama di daerah pegunungan Arfak khususnya Kecamatan Kebar dan merupakan tumbuhan endemik alami daerah ini. Di Papua, rumput kebar yang dalam bahasa lokalnya disebut “banondit” (artinya banyak anak) biasa digunakan oleh penduduk setempat sebagai obat-obatan untuk mengatasi masalah reproduksi. Biophytum petersianum Klotzsch digunakan sebagai tumbuhan obat tradisional di berbagai negara di Afrika untuk mengobati malaria, dermatitis, meningkatkan stamina, demam, nyeri pada tulang, obat pencahar atau diare pada anak-anak. Di negara Afrika lainnya tumbuhan ini digunakan sebagai obat luka karena sengatan dan gigitan ular, serta sebagai obat sakit perut (Inngjerdingen et al. 2004; 2006; 2008). Rumput kebar mengandung zat-zat seperti flavonoid, vitamin E dan vitamin A adalah antioksidan yang dapat menetralisir toksik, mencegah kerusakan yang ditimbulkan toksik dan mempertahankan kesehatan spermatozoa. Vitamin E dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat vitamin E radikal menjadi vitamin E bebas yang berfungsi kembali sebagai antioksidan (Pavlovic et al. 2005). Adanya za-zat aktif seperti zat-zat antioksidan, zat-zat nutrisi dan asam
3
amino yang terkandung dalam rumput kebar, diharapkan dapat memperbaiki fungsi reproduksi tikus jantan, sehingga perlu diteliti potensi rumput kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) terhadap fungsi reproduksi tikus jantan yang telah terpapar asap rokok. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji kandungan rumput kebar yang diduga memiliki potensi untuk memperbaiki fungsi reproduksi yang telah menurun. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk : 1. Membuat hewan model penurunan fungsi reproduksi tikus jantan yang diberi pemaparan asap rokok. 2. Mengkaji pemberian ekstrak rumput kebar terhadap perubahan gambaran darah tikus jantan yang terpapar asap rokok. 3. Mengkaji pemberian ekstrak rumput kebar terhadap kualitas testis, kadar testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa tikus jantan yang terpapar asap rokok. Hipotesis Pemberian ekstrak rumput kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) dapat memperbaiki fungsi reproduksi tikus jantan yang terpapar asap rokok. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi pengetahuan dalam penggunaan ekstrak rumput kebar untuk perbaikan kualitas testis, kadar hormon testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa pada fungsi reproduksi yang menurun sehingga dapat diterapkan dalam pengembangan pengobatan pada pasangan yang mengalami gangguan infertilitas khususnya pada pria. Data ini dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan dalam Ilmu Kedokteran, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan dalam bidang farmasi. Kebaruan (Novelty) Sejauh ini, penggunaan rumput kebar yang diberikan dengan cara direbus dapat memperbaiki bobot testis dan kualitas spermatozoa. Belum pernah dilaporkan tentang pemberian ekstrak rumput kebar dengan parameter yang dilihat adalah analisis mikroskopis testis, hormon testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa terhadap tikus jantan yang telah terpapar asap rokok. Kerangka Pemikiran Gangguan reproduksi dapat disebabkan karena turunnya fungsi reproduksi. Penurunan fungsi reproduksi dapat terjadi akibat terkena bahan-bahan berbahaya seperti zat-zat kimia dan asap rokok. Asap rokok mengandung tiga golongan
4
bahan kimia yang berbahaya antara lain nikotin, karbon monoksida, tar, dan khusus rokok kretek mengandung eugenol. Saat terpapar asap rokok, tar yang merupakan zat karsinogen dapat menempel pada alveoli paru-paru sehingga menyebabkan penurunan fungsi paru-paru. Asap rokok dapat menyebabkan penurunan jumlah oksigen yang masuk ke darah melalui paru-paru. Selain itu, CO yang dihasilkan dalam proses merokok akan masuk ke dalam darah dan dapat diikat dengan mudah oleh hemoglobin karena hemoglobin mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap pengikatan CO dibandingkan oksigen. Ikatan hemoglobin dan CO akan membentuk karbon monoksihemoglobin dan jika dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kekentalan darah sehingga gambaran darah dapat menurun. Paparan asap rokok terus menerus juga dapat menyebabkan darah membawa senyawa-senyawa tar mengalir melalui pembuluh darah ke seluruh bagian tubuh termasuk organ reproduksi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas testis sehingga menurunkan produksi hormon testosteron dan menyebabkan gangguan proses spermatogenesis, akibatnya jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa juga menurun. Untuk mengatasi masalah penurunan fungsi reproduksi saat ini, maka banyak dilakukan penelitian-penelitian menggunakan obat-obatan baik kimiawi maupun tradisional. Rumput kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) merupakan obat tradisional yang dipercaya mampu meningkatkan fungsi reproduksi jantan yang menurun akibat terpapar asap rokok. Hal ini dikarenakan rumput kebar mengandung protein, karbohidrat, tanin, flavonoid, antioksidan, fosfor, zat besi, kalsium, vitamin E dan vitamin A yang semua ini berperan dalam fungsi reproduksi jantan. Hal ini menjadi dasar pemikiran penggunaan ekstrak rumput kebar sebagai bahan alami yang dapat memperbaiki fungsi reproduksi yaitu kualitas tesis, hormon testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa (Gambar 1) Endogen Eksogen Asap rokok / Zat kimia
Tar, CO, Nikotin
Gangguan Reproduksi
Fungsi reproduksi
Spermatogenesis Testosteron
Fungsi paru-paru
Struktur dan Fungsi
Testis Gambaran darah
Rumput Kebar Gambar 1. Kerangka Pemikiran
5
Berdasarkan kerangka penelitian di atas, dalam rangka pelaksanaannya, penelitian ini dibagi dalam tiga tahap seperti tercantum pada Gambar 2. Masingmasing penelitian dilakukan menggunakan metode yang sesuai dimana hasilnya dibahas pada bagian-bagian dalam disertasi ini. 1. Pembuatan hewan model penurunan fungsi reproduksi tikus jantan dengan pemaparan asap rokok.
2. Kajian pemberian ekstrak rumput kebar terhadap gambaran darah tikus jantan yang terpapar asap rokok.
3. Kajian pemberian ekstrak rumput kebar terhadap fungsi reproduksi tikus jantan yang terpapar asap rokok.
Gambar 2. Tahapan penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi, Ekologi dan Komposisi Rumput Kebar Tumbuhan rumput kebar yang disebut “banondit” dalam istilah lokal bahasa setempat merupakan tumbuhan perdu yang termasuk dalam kelas Dycotiledoneae, family Oxalidaceae, genus Biophytum, species Biophytum petersianum Klotzsch (Veldkamp 1976) dengan ciri-ciri yaitu gagang bunga (penduncle) berukuran sangat pendek, daun majemuk membulat (obovate) (Gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Rumput Kebar http://www.zimbabweflora.co.zw/speciesdata/index.php
Gambar 4. Rumput Kebar dari Papua Barat Sumber: Dokumentasi Syukur Karamang Rumput kebar tumbuh pada ketinggian 500 – 600 m diatas permukaan laut di padang rumput distrik Kebar yang memiliki luasan hamparan sebesar 743,75 ha
7
yang terdiri dari beberapa kampung yaitu Kebaar Timur, Tengah dan Barat. Rumput kebar biasanya tumbuh berasosiasi dan ternaungi oleh Paspalum konyugatum dan Imperata cylindrical (tumbuhan alang-alang) sehingga terlihat adanya perbedaan ukuran tinggi dan rendah akibat terhalangnya cahaya matahari. Imbiri et al. (2003) menyatakan bahwa tanah habitat alami tumbuhan rumput kebar memiliki tekstur tanah pasir dengan permeabilitas sedang sampai tinggi. Adapun komposisi kimia rumput kebar menurut Sadsoeitoeboen (2005), mengandung senyawa-senyawa antioksidan diantaranya vitamin A dan vitamin E (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi kimia rumput kebar (Sadsoeitoeboen 2005) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bahan Penyusun Bahan kering Abu Protein kasar Serat kasar Lemak kasar Beta-N Calsium (Ca) Fosfor (P) NaCl Vitamin A (IU) Vitamin E (IU)
Jumlah (%) 89.06 12.76 7.35 35.85 0.72 32.38 1.52 0.60 0.09 199.30 13.27
Selain itu pada protein rumput kebar juga mengandung asam-asam amino (Tabel 2) yang sangat dibutuhkan untuk aktivitas reproduksi dan produksi. Tabel 2. Komposisi asam amino rumput kebar (Sadsoeitoeboen 2005). No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Jenis Asam Amino Asam Aspartat Asam Glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Metionin Sistin Isoleusin Leusin Fenilalanin Lysin
Jumlah (%) 0.255 0.230 0.198 0.123 0.345 0.310 0.220 0.115 0.345 0.316 0.252 0.287 0.254 0.237 0.298 0.360 0.259
Menurut Azlina (2009), hasil uji fitokimia rumput kebar memperlihatkan adanya kandungan Flavonoid yang tinggi (Tabel 3).
8
Tabel 3. Hasil uji kualitatif fitokimia rumput kebar (Azlina 2009). No Kandungan Bahan Kualitas Keberadaan Bahan 1. Alkaloid ++++ 2. Saponin ++ sampai dengan +++ 3. Tanin ++++ 4. Fenolik ++ 5. Flavonoid ++++ 6. Triterfenoid ++++ 7. Steroid 8. Glikosida +++ Keterangan : : Negatif + : Positif lemah ++ : Positif +++ : Positif kuat ++++ : Positif kuat sekali
Pengaturan Hormon Reproduksi Jantan Reproduksi meliputi proses perkembangan sistem reproduksi yang dimulai dari perkembangan sel sampai dengan terbentuknya individu baru. Sistem reproduksi melibatkan suatu substansi yang penting yaitu hormon. Selain pengaturan oleh syaraf, keberadaan hormon sangat diperlukan dalam segala aspek pengaturan tubuh. Oleh karena itu pengaturan sistem reproduksi merupakan kerjasama antara sistem syaraf dan hormon (Gambar 5).
Gambar 5. Pengaturan hormon pada sistem reproduksi hewan jantan. (http://klinikandrologi.blogspot.com/2010_12_01_archive.html)
9
Pada hewan jantan, gonadotrophin releasing hormone (GnRH) disekresikan dari hipothalamus untuk menstimulasi pelepasan lutenising hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) dari hipofisis anterior. LH merangsang sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron. FSH akan menstimulasi sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis. FSH dan testosteron merangsang sel-sel spermatogenik untuk melakukan meiosis dan berdiferensiasi menjadi spermatozoa (Ganong 2003). FSH merangsang sel Sertoli untuk mensekresikan ABP (androgen binding protein) dan inhibin. ABP berfungsi mengangkut testosteron ke dalam lumen tubulus seminiferus. Testosteron tidak dapat memasuki lumen tubulus tanpa ABP. Selain menghasilkan inhibin dan ABP, sel Sertoli juga berfungsi sebagai penyedia makanan bagi sel-sel spermatogenik yang sedang tumbuh, memakan (fagositosis) sel-sel germinal yang abnormal dan sebagai pelindung sel-sel germinal yang sedang berkembang. Inhibidin dan testosteron berfungsi sebagai Feed back negatif terhadap GnRH. Testosteron dalam kadar tertentu dapat menghambat pengeluaran FSH dan LH oleh pituitari anterior (Ganong 2003). Spermatogenesis Spermatogenesis adalah proses pertumbuhan dan perubahan dari spermatogonia sampai spermatozoa yang terjadi pada tubulus seminiferus di dalam testis. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel germinal melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel, yang bertujuan untuk membentuk spermatozoa fungsional. Pematangan sel terjadi di tubulus seminiferus yang kemudian disimpan dalam epididimis. Dinding tubulus seminiferus tersusun dari jaringan ikat dan jaringan epitelium germinal (jaringan epitelium benih) yang berfungsi pada saat spermatogenesis. Pintalan-pintalan tubulus seminiferus terdapat di dalam ruang-ruang testis (lobulus testis). Tubulus seminiferus terdiri dari sejumlah besar sel epitel germinal (sel epitel benih) yang disebut spermatogonia (spermatogonium = tunggal). Spermatogonia terletak di dua sampai tiga lapisan luar sel-sel epitel tubulus seminiferus. Spermatogonia terusmenerus membelah untuk memperbanyak diri, sebagian dari spermatogonia berdiferensiasi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu untuk membentuk spermatozoa. Pada tubulus seminiferus terdapat sel-sel spermatogonium dan sel Sertoli. Sel Sertoli berfungsi sebagai sumber nutrisi spermatozoa sedangkan sel Leydig yang terdapat di dalam jaringan parenkim di antara tubulus seminiferus berfungsi menghasilkan testosteron. Proses pembentukan spermatozoa dipengaruhi oleh kerja beberapa hormon yang dihasilkan kelenjar hipofisis yaitu: LH merangsang sel Leydig untuk menghasilkan hormon testosteron. Pada masa pubertas, androgen/testosteron memacu tumbuhnya sifat seks sekunder. FSH merangsang sel Sertoli untuk menghasilkan ABP (Androgen Binding Protein) yang akan memacu spermatogonium untuk memulai proses spermatogenesis. Proses pematangan (maturasi) spermatosit menjadi spermatozoa disebut spermiogenesis. Spermiogenesis terjadi di dalam epididimis dan pada manusia membutuhkan waktu selama 2 hari (Hafez dan Hafez 2000). Proses spermatogenesis dimulai dari tahapan spermatositogenesis yaitu perkembangan sel primordial menjadi spermatogonia diploid kemudian
10
spermatogonia mengalami mitosis menjadi spermatosit primer yang mengandung kromososm diploid (2n) selanjutnya spermatosit primer mengalami meiosis dan menghasilkan spermatosit sekunder yang memiliki kromosom haploid (n). Spermatosit sekunder kemudian mengalami miosis menjadi spermatid yang haploid. Tahapan Spermiogenesis merupakan pembentukan spermatid menjadi spermatozoa matang. Ketika spermatid dibentuk pertama kali, spermatid memiliki bentuk seperti sel-sel epitel. Selanjutnya spermatid mulai memanjang dan akan terlihat bentuk yang terdiri dari kepala dan ekor (Gambar 6).
Gambar 6. Proses spermatogenesis (http://intanriani.wordpress.com/pembentukan-gamet-jantan-spermatogenesis/)
Apabila proses spermatogenesis telah selesai, maka ABP testosteron (Androgen Binding Protein Testosteron) tidak diperlukan lagi, sel Sertoli akan menghasilkan hormon inhibin untuk memberi umpan balik kepada hipofisis agar menghentikan sekresi FSH dan LH. Spermatozoa akan keluar melalui uretra bersama-sama dengan cairan yang dihasilkan oleh kelenjar vesikula seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar cowper yang dikenal sebagai semen. Pada waktu ejakulasi, seorang laki-laki dapat mengeluarkan 300 – 400 juta sel spermatozoa. Gangguan Reproduksi Jantan Gangguan reproduksi adalah gangguan yang terjadi akibat menurunnya fungsi reproduksi. Penurunan fungsi reproduksi dapat terjadi secara endogen dan
11
eksogen. Gangguan fungsi reproduksi secara eksogen merupakan gangguan yang terjadi akibat masuknya senyawa-senyawa kimia yang berasal dari obat-obatan, asap kendaraan dan asap rokok. Asap rokok mengandung senyawa-senyawa kimia yang masuk secara inhalasi menyebabkan terjadinya metabolit sekunder yang bertindak sebagai radikal bebas sehingga dapat menurunkan fungsi testis (Ahmadnia et al. 2007). Senyawa kimia asap rokok yang bersifat toksik dapat merusak jaringan testis, menyebabkan gangguan spermatogenesis sehingga terjadi abnormal spermatozoa (Rajpurkar et al. 2000). Gangguan-gangguan spermatozoa yang terjadi yaitu Oligoteratozoospermia merupakan bentuk spermatozoa tidak normal (abnormal) dengan jumlah sel spermatozoa yang dihasilkan hanya sedikit, dysspermia adalah kemampuan gerak (motilitas) spermatozoa yang rendah dan Azoospermia obstruktif merupakan keadaan tidak adanya spermatozoa pada cairan ejakulat karena ada penyumbatan (Tjong dan Rodjani 2012). Pengaruh Asap Rokok pada Tubuh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) tahun 2012 menyatakan bahwa jumlah perokok Indonesia terbanyak ketiga di seluruh dunia setelah Cina dan India, di atas Rusia dan Amerika yaitu sebesar 65 juta perokok atau 28 % per penduduk. Asap rokok mengeluarkan racun karsinogenik yang dapat menyebabkan beraneka macam gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh asap rokok berupa penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis, tukak lambung dan usus, kanker, chronic obstructive pulmonary disease (COPD) dan lain-lain (Susanna et al 2003). Asap rokok mengandung tar. Tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menempel pada dinding alveolus paru-paru dan dapat mengganggu masuknya oksigen ke seluruh tubuh. Tar juga berpengaruh pada metabolisme di saluran pernafasan dan paru-paru yang pada akhirnya dapat menimbulkan kanker (Droge 2002). Rokok yang mengandung tar, CO, dan nikotin merupakan kumpulan dari ribuan macam bahan kimia, di antaranya nitrogen oksida, sianida, hidrogen, amonia, asetilen, benzaldehida, benzena, metanol, dan lain-lain yang bisa mengganggu kesehatan tubuh. Karbon monoksida menimbulkan desaturasi hemoglobin, menurunkan persediaan oksigen untuk jaringan seluruh tubuh. CO diikat oleh hemoglobin sehingga mengganggu pelepasan oksigen, dan menyebabkan aterosklerosis (pengapuran/penebalan dinding pembuluh darah). Fenomena ini menyebabkan peningkatan viskositas darah, sehingga mempermudah penggumpalan darah. Nikotin, CO, dan bahan-bahan lain dalam asap rokok terbukti merusak endotel (dinding dalam pembuluh darah), dan mempermudah timbulnya penggumpalan darah. Asap rokok dapat menimbulkan aterosklerosis atau terjadi pengerasan pada pembuluh darah (Droge 2002). Masuknya senyawa-senyawa kimia asap rokok yang mengandung toksik ini dapat menyebabkan gangguan darah. Darah sebagai agen tranportasi akan membawa senyawa toksik tersebut sampai ke seluruh sel dan jaringan termasuk jaringan reproduksi sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan reproduksi. Gangguan kesehatan reproduksi yang disebabkan oleh asap rokok pada wanita dapat menyebabkan kanker leher rahim dan bagi wanita hamil dapat mengganggu perkembangan janin. Pada pria yang mengkonsumsi rokok atau terkena asap rokok terus-menerus akan menyebabkan toksik yang berasal dari
12
asap rokok terbawa melalui darah ke seluruh jaringan tubuh sampai ke testis dan dapat berpengaruh menurunkan proses spermatogenesis. Asap rokok yang mengandung CO dapat menyebabkan rusaknya membran sel testis. Turunnya fungsi testis dapat menyebabkan penurunan hormon testosteron sehingga terjadi penurunan kualitas spermatozoa (Handayaningsih 2009).
13
PEMBUATAN HEWAN MODEL PENURUNAN FUNGSI REPRODUKSI TIKUS JANTAN DENGAN PEMAPARAN ASAP ROKOK Adrien Jems Akiles Unitly1, Nastiti Kusumorini2, Srihadi Agungpriyono2, Aryani Sismin Satyaningtijas2, Arief Boediono2 1 Mahasiswa Program Doktor, Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk membuat hewan model penurunan fungsi reproduksi tikus jantan dengan pemaparan asap rokok. Penelitian ini menggunakan RAL faktorial dengan faktor lama perlakuan dan waktu pengambilan. Pemaparan asap rokok dilakukan dengan menggunakan 10 batang rokok/ekor/hari selama 2,5 jam dalam smoking chamber. Dua puluh empat (24) ekor tikus jantan dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan. Kelompok N adalah kelompok yang tidak diberi perlakuan, kelompok 20h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama 20 hari dan diberhentikan pemaparan selama 20 hari, kelompok 40h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama 40 hari dan diberhentikan pemaparan selama 40 hari dan kelompok 60h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama 60 hari dan diberhentikan pemaparan selama 60 hari. Pengambilan data dilakukan sebanyak 2 kali, pertama setelah pemaparan dan kedua setelah pemberhentian pemaparan asap rokok. Parameter yang diamati adalah analisis mikroskopis paru-paru, gambaran darah, analisis mikroskopis testis, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan partikel hitam pada sitoplasma alveoli paru-paru yang diduga adalah tar pada perlakuan 40h dan 60h, peningkatan sel-sel radang pada perlakuan 60h, peningkatan nilai PCV, penurunan kualitas testis, penurunan jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa pada tikus jantan setelah pemaparan yang perubahan tersebut tidak kembali ke kondisi normal setelah pemberhentian pemaparan. Kata kunci : Asap rokok, spermatogenik, spermatozoa, testis.
ANIMAL MODEL IN DECREASING REPRODUCTIVE FUNCTION OF MALE RAT EXPOSED WITH CIGARETTE SMOKE ABSTRACT The purpose of this study is develop an animal model to reduce the reproductive function of male rats exposed to cigarette smoke. A factorial CRD with periode of treatment and sample collection was applied in this study. An exposure of cigarette smoke was carried out at 10 cigarettes/rat/day for 2.5 hours
14
in an smoking chamber. Group N is untreated animals. Group 20d is exposed animals with cigarette smoke for 20 days consectitively and released from the cigarette smoke exposure for 20 days. Group 40d is exposed animals for 40 days and released from the cigarette smoke for 40 days. Group 60d is exposed animals for 60 days similar as above. Data collection was carried out twice : after exposure and after redeasing the cigarette smoke exposure. The parameters of observation included microscopic changes of lungs and testicle, blood profiles, spermatogenic cells count and quality of spermatozoa. The results show an increased number of blackish particulate deposits in the cytoplasm of alveoli at 40d and 60d considered as tar deposit, an increased activity of inflammatory cells, an increased value of PCV, decreasing testical weight, spermatogenic cells count and spermatozoa quality of male rats after exposing which were unable to recover after releasing of cigarette smoke exposure. Keywords: cigarette smoke, spermatogenic, spermatozoa, testes.
PENDAHULUAN Asap rokok merupakan aerosol heterogen dari pembakaran tembakau. Setiap batang rokok mengandung berbagai bahan kimia diantaranya adalah akreolin, karbonmonoksida, nikotin, amoniak, asam formiat, hidrogen sianida, nitrogen oksida, sianogen, phenol, aseton, methanol dan tar (Riveles et al. 2005). Kandungan kimia tembakau yang sudah teridentifikasi jumlahnya mencapai 2.500 komponen, sedangkan dalam asap rokok telah teridentifikasi sebanyak 4.800 macam komponen kimia yang dapat membahayakan kesehatan diantaranya tar, nikotin, gas CO, dan NO. Asap rokok mengandung radikal bebas dalam jumlah yang sangat tinggi, diperkirakan dalam satu kali hisapan rokok terdapat 1.014 molekul radikal bebas (Baker 2006). Radikal bebas yang terdapat dalam asap rokok yang paling berbahaya adalah CO yang dapat menyebabkan rusaknya membran sel testis karena fosfolipid dan glikolipid sebagai komponen membran sel testis mengandung asam lemak tidak jenuh yang rentan terhadap pengaruh radikal bebas terutama membran spermatozoa (Handayaningsih 2009). Asap rokok dapat menyebabkan perubahan struktural dalam saluran pernapasan dan penurunan respon imun (Arcavi dan Benewitz 2004). Penelitian mengenai dampak buruk dari asap rokok terhadap sistem reproduksi dilaporkan oleh Rajpurkar et al. (2000) bahwa pemaparan asap rokok selama 15, 30 dan 45 hari menyebabkan kerusakan jaringan testis pada tikus yang mengakibatkan spermatozoa menjadi abnormal. Selain itu, pemaparan asap rokok sebanyak 600 batang/15 ekor/10 minggu dapat menurunkan jumlah sel-sel spermatogenik pada tikus (Ahmadnia et al. 2007). Sejalan dengan hal tersebut di atas pemaparan asap rokok selama 30 hari menyebabkan kerusakan pada tubulus seminiferus (Dewi 2011). Radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok dapat menyebabkan kerusakan jaringan testis sehingga menyebabkan gangguan spermatogenesis (Koskinen et al. 2000). Spermatogenesis adalah proses dinamis perkembangan sel-sel spermatogenik dari tahap spermatogonia sampai terbentuk spermatozoa. Spermatogenesis dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen
15
meliputi anatomi, fungsi faal dan genetik. Faktor eksogen dapat berupa bahan kimia dan obat-obatan. Asap rokok merupakan faktor eksogen gangguan spermatogenesis. Pemaparan yang terus menerus dapat menyebabkan masuknya senyawa-senyawa toksik dalam asap rokok ke dalam darah dan akan beredar ke seluruh bagian tubuh termasuk organ reproduksi. Hal ini mengakibatkan terjadi penurunan kualitas testis termasuk penurunan produksi hormon testosteron sehingga menyebabkan gangguan proses spermatogenesis. Pada akhirnya gangguan proses spermatogenesis ini menyebabkan jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa menurun. Semuanya ini dapat disebut sebagai penurunan fungsi reproduksi. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menetapkan hewan model penurunan fungsi reproduksi tikus jantan menggunakan pemaparan asap rokok dengan parameter analisis mikroskopis paru-paru, gambaran darah, analisis mikroskopis testis, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa. Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam penetapan tikus sebagai hewan model penurunan fungsi reproduksi.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley dewasa sebanyak 24 ekor, berumur 12 minggu dengan bobot badan 150 gram yang diperoleh dari Animal Facility, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah rokok kretek. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah smoking chamber, mikrotom, seperangkat alat untuk analisis darah seperti: pipet eritrosit, pipet leukosit, kamar hitung Neubauer dan mikroskop. Metode Penelitian Persiapan dan Perlakuan Persiapan. Tikus ditempatkan pada kandang kotak plastik yang ditutupi kawat ram dengan sekam sebagai alas. Pakan berupa pelet (PT. Japfa Comfeed Indonesia) dan air minum diberi ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembab, ventilasi yang cukup dengan penerangan selama 14 jam dan gelap selama 10 jam. Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang per kelompok perlakuan. Sebelum perlakuan hewan diadaptasikan pada suasana kandang selama 1 minggu. Perlakuan. Dua puluh empat ekor tikus jantan dibagi dalam 4 kelompok, masing-masing 6 ekor yaitu N adalah kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama 20 hari dan diberhentikan pemaparan selama 20 hari, 40h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama
16
40 hari dan diberhentikan pemaparan selama 40 hari, dan 60h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama 60 hari dan diberhentikan pemaparan selama 60 hari. Pemaparan asap rokok dilaksanakan pada pagi hari dengan tata cara pemaparan seperti yang dituliskan pada Lampiran 1. Selama penelitian data diambil 2 kali yaitu saat setelah pemaparan asap rokok (T1) dan setelah pemberhentian perlakuan pemaparan asap rokok (T2). Pada waktu pengambilan data, 3 ekor tikus jantan pada masing-masing perlakuan dinekropsi untuk diamati analisis mikroskopis paru-paru, gambaran darah, analisis mikroskopis testis, analisis hormon testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa (Gambar 6). Parameter yang Diamati Analisis Mikroskopis Paru-paru. Setelah tikus dinekropsi, organ paruparu (pada bagian lobus diaphragmaticus dextra) diambil dan ditimbang untuk mengetahui bobot basah paru-paru, kemudian dibuat preparat histologi dengan pewarnaan histokimia hematoksilin eosin (HE) mengikuti cara Kiernan (1990) (Lampiran 2). Pengukuran Gambaran Darah. Darah diambil secara intra cardial pada tikus yang sudah dianastesi. Parameter gambaran darah yang diukur adalah jumlah butir darah merah/BDM (eritrosit) dengan metode Counting chamberburker dan Neubauer, kadar hemoglobin (Hb) dengan metode Cyanmethemoglobin, nilai hematokrit (PCV) dengan metode Microhematokrit, indeks eritrosit dan jumlah butir darah putih/BDP (leukosit) dengan metode Counting chamber-burker dan Neubauer (Lampiran 3). Analisis Mikroskopis Testis dan Jumlah Sel-sel Spermatogenik. Setelah tikus dinekropsi, organ testis diambil dan ditimbang untuk mengetahui bobot testis, kemudian dibuat preparat histologi dengan pewarnaan histokimia hematoksilin eosin (HE) mengikuti cara Kiernan (1990). Pengamatan histopatologis pada jaringan testis mencakup jumlah spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir (Lampiran 4). Kualitas Spermatozoa. Kualitas spermatozoa yang diamati meliputi konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa, dan abnormalitas spermatozoa berdasarkan modifikasi dari First (1991) dan Soehadi dan Arsyat (1983) (Lampiran 5). Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan faktor lama perlakuan dan waktu pengambilan. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) kemudian dilanjutkan Uji Duncan pada taraf nyata α = 0.05 menggunakan perangkat lunak SAS.
17
24 ekor tikus jantan dibagi dalam 4 kelompok
Aklimasi kandang selama 1 minggu
Kelompok N = 6 ekor
Dipapar asap rokok 10 batang /ekor/hari 20h = lama pemaparan 20 hari (6 ekor)
3 ekor dinekropsi pada hari ke 20 = T1
40h = lama pemaparan 40 hari (6 ekor)
60h = lama pemaparan 60 hari (6 ekor)
3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemaparan asap rokok sesuai kelompok = T1
Pemberhentian pemaparan asap rokok 20h = lama pemberhentian pemaparan 20 hari (3 ekor) 3 ekor dinekropsi pada hari ke 40 = T2
40h = lama pemberhentian pemaparan 40 hari (3 ekor)
60h = lama pemberhentian pemaparan 60 hari (3 ekor)
3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemberhentian pemaparan asap rokok sesuai kelompok = T2
Parameter yang diukur adalah analisis mikroskopis paru-paru, gambaran darah, analisis mikroskopis testis, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa.
Gambar 7. Bagan alur penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Mikroskopis Paru-paru Rataan bobot basah paru-paru tikus setelah pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan (P<0.05) terhadap bobot basah paru-paru. Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan bobot basah paru-paru. Semua kelompok yang dipapar asap rokok memberikan bobot paru-paru yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok N. Penurunan bobot basah paruparu dalam penelitian ini diduga karena terjadinya atropi paru-paru akibat kematian sel yang diakibatkan oleh senyawa toksik asap rokok.
18
Tabel 4. Rataan bobot basah paru-paru tikus jantan setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan. Waktu Pengambilan Rataan T1 T2 b a N 2.35±0.01 2.58±0.02 2.46a c c 20h 2.09±0.01 2.09±0.01 2.10b d cd 1.99c 40h 1.96±0.02 2.02±0.01 e e 60h 1.63±0.06 1.66±0.10 1.65d b a 2.01 2.09 P<0.05 Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p<0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Perlakuan
Keadaan ini diduga karena senyawa toksik yang terkandung dalam asap rokok dapat menurunkan fungsi-fungsi sel pada tubuh termasuk sel-sel pada jaringan paru-paru. Pengaruh asap rokok pada saluran pernapasan dapat menimbulkan: a) perubahan histopatologi dan ultrastruktur saluran napas, b) penyempitan saluran napas, c) turunnya tegangan permukaan alveolus, dan d) perubahan pada ultrastruktur pneumosit tipe I, tipe II dan sel clara yang mengarah pada kematian sel (Widodo 2006). Kematian sel inilah yang diduga dapat menyebabkan penurunan bobot basah paru-paru. Lama waktu pemberhentian pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan bobot basah paru-paru. Namun demikian, lamanya waktu pemberhentian pemaparan terhadap semua kelompok yang dipapar tidak dapat mengembalikan bobot basah paru-paru. Hal ini menunjukkan bahwa pemberhentian pemaparan sesuai dengan waktu pemaparan belum dapat mengembalikan kondisi paru-paru ke keadaan semula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok menyebabkan terjadinya perubahan struktur paru-paru yaitu peningkatan partikel hitam yang menempel pada dinding alveolus paru-paru tikus setelah dipapar asap rokok selama 40 hari dan 60 hari (Gambar 8). Partikel hitam ini diduga merupakan zatzat toksik yang ikut bersama asap rokok. Droge (2002) melaporkan bahwa tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang dapat menempel pada paru-paru. Hal inilah yang diduga terjadi pada organ paru-paru setelah pemaparan asap rokok. Droge (2002) menambahkan bahwa tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada saluran pernapasan dan paru-paru yang terdiri dari dua fase yaitu fase tar dan fase gas. Pada fase tar merupakan pembentuk radikal bebas seperti quinon, semiquinon dan hydroquinon dalam bentuk matriks polimer. Pada fase gas mengandung nitrit oxida dan nitrit peroksida yang dapat mengubah oksigen menjadi radikal bebas superoksida dan selanjutnya menjadi radikal bebas hidroksil yang sangat merusak.
19
A
B
C
D
Gambar 8. Fotomikrograf paru-paru setelah pemaparan asap rokok menunjukkan peningkatan partikel berwarna coklat tua atau hitam ( ) pada 40h dan 60h. A (N=kelompok yang tidak diberi perlakuan), B (20h=Pemaparan asap rokok selama 20 hari ), C (40h=Pemaparan asap rokok selama 40 hari) dan D (60h=Pemaparan asap rokok selama 60 hari). Bar = 10 µm. Pewarnaan HE.
Hasil pengamatan juga memperlihatkan peningkatan sel radang dan terjadi pembesaran pada alveoli pada perlakuan 60h (Gambar 9). Pneumonia adalah peradangan pada jaringan alveoli paru-paru. Alveoli bertanggung jawab terhadap pertukaran O2 dan CO2 pada proses pernafasan. Ahmad et al. (2001) menemukan bahwa paparan radikal bebas menyebabkan terjadinya gangguan pada mitokondria paru, jantung, dan otak. Gangguan pernapasan atau perubahan pada epitel saluran napas akibat asap rokok dapat berupa: a) hilangnya silia, b) hipertrofi kelenjar lendir dan peningkatan jumlah sel goblet, c) penurunan lapisan epitel bronkiolus, dan d) penurunan kandungan glutation peroksidase (GSH) jaringan paru. Asap rokok juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah sel makrofag dan perubahan ketebalan jaringan kolagen pada alveolus, proliferasi sel fibroblast dan peningkatan kandungan malondialdehid pada paru (Guyton 1997). 1 A
B
2
Gambar 9. Fotomikrograf paru-paru setelah pemaparan asap rokok menunjukan peningkatan selsel radang pada alveoli paru-paru (1) dan terjadi pembesaran alveoli (2) pada perlakuan 60h. A (N= kelompok yang tidak diberi perlakuan), B (60h=Pemaparan asap rokok selama 60 hari). Bar = 5 µm. Pewarnaan HE.
20
Gambaran Darah Rataan jumlah butir darah merah/BDM (eritrosit), kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit/PCV setelah perlakuan pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah BDM dan kadar Hb tidak dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok. Hasil berbeda ditunjukkan oleh nilai PCV, terdapat interaksi antara lama pemaparan dan waktu pengambilan (P<0.05). Tabel 5. Rataan Jumlah BDM (Juta/mm3), Kadar Hb (gr %) dan Nilai PCV (%) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan. Waktu Pengambilan Rataan T1 T2 Jumlah BDM N 7.59±0.68 7.58±1.36 7.59 (Juta/mm3) 20h 7.50±1.62 7.99±0.43 7.75 40h 7.65±0.62 7.41±0.50 7.53 60h 7.57±0.17 6.96±0.11 7.27 7.58 7.48 tn Rataan Kadar Hb (gr%) N 13.79±0.32 13.94±0.54 13.87 20h 14.12±0.82 14.69±0.31 14.41 40h 14.01±0.23 13.92±0.32 13.96 60h 14.60±0.44 13.75±0.53 14.18 14.13 14.07 tn Rataan Nilai PCV (%) N 41.83±0.35a 41.56±0.44a 41.69b 20h 43.25±0.25a 43.01±0.63a 43.13a a b 40h 41.50±1.72 38.35±0.59 39.92c b b 60h 38.92±1.37 39.48±1.04 39.20c 41.37 40.59 P<0.05 Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Parameter
Perlakuan
Perbedaan hanya terjadi pada pemaparan 60 hari bila dibandingkan dengan kelompok N. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asap rokok diduga dapat menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat. Berkurangnya cairan akan membuat persentasi zat padat darah terhadap cairannya naik sehingga nilai PCV juga meningkat. Viskositas dalam darah akan meningkat ketika PCV meningkat yang mengakibatkan aliran darah melalui pembuluh sangat lambat (Guyton 1997). Secara umum, lama pemberhentian tidak mempengaruhi nilai PCV. Namun demikian bila dilihat lebih jauh pemberhentian 40 hari dan 60 hari akan mempengaruhi nilai PCV dibandingkan dengan sesaat setelah pemaparan. Hal ini menunjukkan bahwa setelah pemberhentian pemaparan, tubuh berusaha untuk mempertahankan keadaan homeostatisnya agar semua proses berjalan sempurna. Indeks eritrosit adalah gambaran rata-rata ukuran eritrosit dan banyaknya hemoglobin pereritrosit (Guyton 1997). Indeks eritrosit terdiri atas : MCV (mean corpuscular volume atau volume eritrosit rata-rata), MCH (mean corpuscular hemoglobin atau hemoglobin eritrosit rata-rata), dan konsentrasi MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration atau kadar hemoglobin eritrosit rata-rata).
21
Indeks eritrosit dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang dalam membedakan berbagai macam anemia (Riswanto 2009). Rataan indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC) setelah pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa indeks eritrosit MCV dan MCH tidak dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok. Hasil berbeda ditunjukkan oleh indeks eritrosit MCHC menunjukkan interaksi antara lama pemaparan dan waktu pengambilan (P<0.05). Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan indeks eritrosit MCHC. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kelompok yang dipapar asap rokok selama 60 hari memiliki nilai MCHC yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang dipapar asap rokok selama 20 hari, 40 hari dan kelompok N. Hal ini menjelaskan bahwa pemaparan asap rokok 60 hari memiliki sifat toksik yang lebih tinggi dan menetap sehingga dapat menurunkan fungsi jaringan. Penurunan fungsi jaringan ini dapat meningkatkan kadar Hb dalam sel-sel darah merah sehingga indeks eritrosit MCHC meningkat. Namun demikian, peningkatan indeks eritrosit MCHC dari nilai normal 32.9 – 33.5 gr% pada tikus menjadi 34.8– 37.8 gr% mengindikasikan bahwa pemaparan asap rokok tidak menyebabkan terjadinya anemia, karena jumlah eritrosit masih dalam batas normal. Menurunnya jumlah eritrosit berakibat pada menurunnya suplai oksigen ke jaringan dan terhambatnya penyaluran bahan organik ke sel yang secara tidak langsung mengganggu metabolisme tubuh (Guyton 1997). Tabel 6. Rataan indeks eritrosit setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan. Waktu Pengambilan Rataan T1 T2 MCV (µm3) N 55.43±5.29 55.95±9.71 55.69 20h 59.60±13.60 53.95±3.46 56.77 40h 54.48±5.15 52.04±2.70 53.26 60h 51.54±1.46 56.68±1.98 54.11 55.26 54.65 tn Rataan MCH (pg) N 18.24±1.22 18.75±3.22 18.49 20h 19.65±5.80 18.44±1.42 19.04 40h 18.39±1.54 18.82±1.39 18.60 60h 19.44±0.18 19.74±0.77 19.59 18.93 18.94 tn Rataan MCHC (gr %) N 32.98±1.07c 33.53±0.96c 33.25b 20h 32.66±2.07c 34.16±0.67bc 33.41b c ab 40h 33.77±0.82 36.15±1.48 34.96a a bc 60h 37.87±1.62 34.83±0.66 36.35a 34.32 34.67 P<0.05 Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Parameter
Perlakuan
Lama waktu pemberhentian pemaparan tidak mempengaruhi rataan indeks eritrosit MCHC. Kelompok pemberhentian pemaparan asap rokok selama 20 hari, 40 hari dan 60 hari lebih rendah dibandingkan kelompok N, walaupun tidak
22
berbeda nyata. Hal ini menjelaskan bahwa lamanya pemberhentian pemaparan tidak dapat mengembalikan nilai indeks eritrosit dikarenakan sifat toksik asap rokok yang menetap. Rataan jumlah butir darah putih/BDP (Leukosit) setelah pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan terhadap jumlah BDP. Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah BDP. Semua kelompok yang dipapar asap rokok menunjukkan jumlah BDP yang lebih tinggi dibandingkan kelompok N. Tabel 7. Rataan Jumlah BDP (Juta/mm3) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan. Waktu Pengambilan Rataan T1 T2 N 13.40±0.79c 13.36±0.50c 13.38c a a 20h 18.45±0.84 18.47±0.77 18.46a b b 40h 15.54±1.25 15.55±1.32 15.55b a a 60h 19.08±0.65 19.17±0.62 19.12a 16.62 16.64 tn Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Perlakuan
Asap rokok yang terhirup akan masuk ke saluran pernafasan sehingga senyawa-senyawa kimia yang bersifat toksik dapat mengganggu metabolisme darah dan dapat menyebabkan peradangan. Banyaknya asap rokok yang masuk ke tubuh tikus pada perlakuan 60h, mengakibatkan peradangan pada paru-paru tikus menyebabkan jumlah BDP meningkat. BDP berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Masuknya partikel-partikel asing yang bersifat toksik pada asap rokok dapat menyebabkan peningkatan BDP untuk menangkap partikel-partikel tersebut. Tubuh mempunyai sistem pertahanan melawan infeksi yaitu BDP. BDP tidak berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara amoeboid, dan dapat menembus dinding kapiler. Di dalam tubuh, BDP tidak berasosiasi dengan organ atau jaringan tertentu, bekerja sendiri seperti organisme sel tunggal. Leukosit mampu bergerak secara bebas, berinteraksi dan menangkap serpihan seluler, partikel asing, atau mikroorganisme asing (Guyton 1997). BDP yang terdapat dalam darah meliputi neutrofil, limfosit, eosinofil, basofil dan monosit. Proses pertahanan dilakukan dengan cara menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis (neutrofil) dan membentuk antibodi (limfosit). Dalam kondisi terpapar asap rokok, jumlah BDP mengalami peningkatan karena harus bertugas menangkap benda asing. Lama pemberhentian pemaparan asap rokok berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan jumlah BDP. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa toksik asap rokok bersifat menetap sehingga walaupun diberhentikan sesuai waktu pemaparan, tidak dapat menurunkan jumlah BDP.
23
Analisis Mikroskopis Testis Rataan bobot testis setelah pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 8. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan terhadap bobot testis. Tabel 8. Rataan bobot testis tikus setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan. Waktu Pengambilan Rataan T1 T2 a a N 2.91±0.01 2.91±0.03 2.91a ab ab 20h 2.57±0.03 2.59±0.01 2.58b b b 40h 2.42±0.01 2.39±0.01 2.41b b c 60h 2.29±0.55 1.92±0.01 2.11c 2.55 2.46 tn Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Perlakuan
Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan bobot testis. Semua kelompok yang dipapar asap rokok memberikan bobot testis yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok N. Hal ini menjelaskan bahwa terjadi penurunan bobot testis pada perlakuan pemaparan asap rokok. Penurunan bobot testis diduga karena adanya karbon monoksida (CO) yang berasal dari asap rokok di dalam darah sehingga tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi kematian sel serta lesio pada testis. Pemaparan asap rokok yang mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik diduga dapat menghambat spermiogenesis yang diikuti oleh atropi testis. Atropi testis adalah pengecilan testis dari ukuran normal, diduga akibat senyawa-senyawa toksik yang masuk melalui darah ke testis sehingga dapat menyebabkan penurunan bobot testis. Ukuran testis merupakan indikator yang digunakan untuk memperkirakan kapasitas produksi spermatozoa hewan jantan (Axner & Forsberg 2002). Lama pemberhentian pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan bobot testis. Semua kelompok pemberhentian pemaparan asap rokok tidak kembali pada kondisi normal bahkan pemberhentian pemaparan asap rokok selama 60 hari menunjukkan adanya penurunan yang lebih rendah dibandingkan setelah dipapar asap rokok. Fenomena ini menjelaskan pemaparan asap rokok selama 60 hari dapat menurunkan bobot testis dan setelah diberhentikan pemaparan selama 60 hari akan terus terjadi penurunan. Pada penelitian ini tidak terlihat adanya kerusakan yang nyata pada tubulus seminiferus testis (Gambar 10). Sel-sel penyusun tubulus seminiferus yaitu sel-sel spermatogenik dan sel mioid dapat diamati dengan baik pada penelitian ini, namun terlihat berkurangnya susunan sel spermatogenik pada tubulus seminiferus testis dalam penelitian ini diduga adanya kerusakan sel-sel spermatogenik. Untuk mengetahui gangguan organ testis secara lebih lanjut, maka dilakukan penghitungan sel-sel spermatogenik.
25
menunjukkan bahwa setelah dilakukan pemberhentian perlakuan, jumlah sel-sel spermatogenik tidak mengalami perubahan yang lebih baik. Tabel 9. Rataan jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan. Waktu Pengambilan Rataan T1 T2 Spermatogonium N 37.00±1.00a 38.33±0.58a 37.67a b b 20h 31.66±0.58 32.33±0.58 32.00b c d 40h 22.33±1.53 20.33±0.58 21.33c de e 60h 19.00±1.00 18.33±0.58 18.67d 27.50 27.33 P<0.05 Rataan Spermatosit Primer N 48.00±1.00a 47.33±1.53a 47.67a a a 20h 48.67±1.15 47.67±1.15 48.17b b b 40h 32.00±1.00 30.67±1.15 31.33b c d 60h 27.67±1.15 25.00±1.00 26.33c a b 39.08 37.67 tn Rataan Spermatid Akhir N 61.33±1.15a 60.33±0.58a 60.83a 20h 37.33±1.15b 37.00±1.00b 37.17b c c 40h 27.67±1.53 27.33±0.58 27.50c d d 60h 20.33±0.58 20.67±0.58 20.50d 36.67 36.33 tn Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan (kontrol), 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Parameter
Perlakuan
Jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) menurun seiring dengan lamanya pemaparan asap rokok dan kondisi ini bersifat menetap meskipun pemaparan telah diberhentikan. Hal ini menjelaskan bahwa pemberhentian pemaparan asap rokok tidak mengembalikan jumlah sel-sel spermatogenik pada tahapan spermatogenesis tikus yang pernah terpapar asap rokok. Turunnya jumlah sel-sel spermatogenik pada tahapan spermatogenesis diduga akibat adanya senyawa-senyawa yang bersifat toksik pada asap rokok yang dapat menghambat spermatogenesis. Berkaitan dengan temuan ini, maka dapat dijelaskan bahwa asap rokok yang mengandung toksik dapat masuk melalui paru-paru ke sistem peredaran darah menuju jaringan tubuh termasuk organ reproduksi yaitu testis, melewati membran basalis (menembus blood testis barrrier) dan akhirnya sampai di tubulus seminiferus yang merupakan tempat produksi spermatozoa (Bearden et al. 2004). Pada testis, senyawa-senyawa toksik asap rokok menghambat pembentukan spermatid akhir di dalam tubulus seminiferus dikarenakan penghambatan pengaktifan sel-sel yang memproduksi FSH dan LH pada hipofisis anterior. FSH akan terhambat dalam menstimulasi sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis. LH terhambat dalam merangsang sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron. Gangguan yang terjadi pada mekanisme kerja FSH dan LH dapat menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis. Asap rokok bersifat toksik karena mengandung bahan
26
karsinogen, tar, nikotin, nitrosamin, karbonmonoksida, senyawa PAH (Polynuclear Aromatic Hydrogen), fenol, karbonil, klorin dioksin, dan furan (Fowles dan Bates 2000). Revel et al. (2001) melaporkan bahwa PAH menyebabkan atropi testis, menghambat spermatogenesis, dan merusak morfologi spermatozoa. Radikal bebas dapat menyebabkan gangguan kronik pada tahapan spermatogenesis (Rajpurkar et al. 2000; Rajpurkar et al. 2002; Fitriani et al. 2010). Kualitas Spermatozoa Hasil pengamatan terhadap konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa disajikan pada Tabel 10. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan (P<0.05) terhadap viabilitas spermatozoa, namun tidak terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan terhadap konsentrasi spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa. Tabel 10. Rataan kualitas spermatozoa (konsentrasi spermatozoa, viabilitas Spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan. Waktu Pengambilan Rataan T1 T2 a a Konsentrasi N 243.53±1.95 246.29±5,82 244.74a b b Spermatozoa 20h 171.11±13.17 178.10±0,96 174.60b c c (Juta/ml) 40h 67.35±1.34 67,68±3,53 67.42c d d 60h 46.86±0,18 49.18±0,02 47.99d 132.06 135.31 tn Rataan Viabilitas N 75,91±0,14b 77,61±0,29a 76.76a Spermatozoa (%) 20h 39,86±0,01c 39,63±0,09c 39.75b e d 40h 27,14±0,01 27,55±0,22 27.34c f g 60h 8,46±0,02 8,07±0,01 8.27d b a 37.84 38.21 P<0.05 Rataan Abnormalitas N 24,74±0,01e 24,79±0,42e 24.76d d d Spermatozoa (%) 20h 49,53±0,46 49,75±0,23 49.64c c c 40h 70,03±0,02 70,77±0,01 70.40b a b 60h 84,96±0,21 84,61±1,99 85.29a 57.56 57.48 tn Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan (kontrol), 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Parameter
Perlakuan
Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa. Pemaparan asap rokok akan menurunkan jumlah konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan meningkatkan abnormalitas spermatozoa. Lama pemberhentian pemaparan selama 60 hari berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa. Hal ini menunjukkan bawah terjadi
27
penurunan kualitas spermatozoa setelah pemaparan asap rokok. Penurunan kualitas spermatozoa sejalan dengan lamanya pemaparan asap rokok. Pemaparan asap rokok diduga dapat menyebabkan penurunan konsentrasi spermatozoa sebagai akibat dari penurunan sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosid primer dan spermatid akhir) di dalam tubulus seminiferus akibat radikal bebas asap rokok dapat menghambat pembentukan ATP mitokondria. Mitokondria merupakan tempat proses perombakan atau katabolisme untuk menghasilkan energi bagi spermatozoa (Anbasari et al. 2005; Fitriani et al. 2010). Menurut Dewi (2011), radikal bebas asap rokok yang terpapar pada tikus dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa. Kualitas spermatozoa setelah pemaparan asap rokok yang tidak berbeda dengan kualitas spermatozoa setelah pemberhentian pemaparan menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok 20 hari, 40 hari dan 60 hari menyebabkan penurunan fungsi reproduksi.
SIMPULAN 1. Pemaparan asap rokok pada tikus jantan menunjukkan peningkatan partikel hitam yang menempel pada dinding alveolus paru-paru 40h dan 60h, dan peningkatan radang pada alveoli paru-paru pada 60h serta peningkatan nilai PCV. 2. Pemaparan asap rokok selama 20 hari, 40 hari dan 60 hari pada tikus jantan dapat menyebabkan penurunan bobot basah paru-paru, bobot testis dan jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) dan kualitas spermatozoa. 3. Pemberhentian pemaparan asap rokok selama 20 hari, 40 hari dan 60 hari pada tikus jantan tetap berada pada kondisi yang sama seperti pada parameter bobot basah paru-paru, gambaran darah PCV, bobot testis, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa setelah dipapar asap rokok. 4. Tikus yang dipapar asap rokok dapat dijadikan sebagai hewan model penurunan fungsi reproduksi jantan.
28
KAJIAN PEMBERIAN EKSTRAK RUMPUT KEBAR TERHADAP GAMBARAN DARAH TIKUS JANTAN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK Adrien Jems Akiles Unitly1, Nastiti Kusumorini2, Srihadi Agungpriyono2, Aryani Sismin Satyaningtijas2, Arief Boediono2 1 Mahasiswa Program Doktor, Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK Rumput kebar berasal dari Kecamatan Kebar, Manokwari, Papua Barat adalah obat tradisional. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi ekstrak rumput kebar pada gambaran darah tikus jantan yang telah terpapar asap rokok. Penelitian ini menggunakan RAL faktorial dengan faktor lama perlakuan dan waktu pengambilan. Perlakuan adalah pemberian ekstrak rumput kebar dengan dosis 0.0945 mg/g bobot badan/hari yang digunakan untuk mengamati gambaran darah tikus jantan yang terpapar asap rokok. Delapan belas ekor tikus jantan dibagi ke dalam 2 kelompok perlakuan (20 hari dan 60 hari). Pengambilan darah dilakukan secara intra cardial. Pengambilan data dilakukan sebanyak 3 kali yaitu setelah tikus dipapar asap rokok, setelah pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar 0,0945 mg/g bobot badan/hari dapat menurunkan jumlah butir darah merah/BDM (eritrosit) tikus jantan yang terpapar asap rokok. Kata kunci : Asap Rokok, Hematologi, Rumput Kebar.
THE STUDY OF ADMINISTRATION EXTRACT KEBAR’S GRASS ON HEMATOLOGY PROFIL IN MALE RAT EXPOSED WITH CIGARETTES SMOKE ABSTRACT Kebar’s grass from Kebar Sub District, Manokwari, West Papua is a traditional medicinal herb. This research aimed to study the potential extract kebar’s grass on hematological profile in male rat that exposured to cigarette smoke. This research used factorial CRD with longer treatment and the time taking.The use of extract kebar’s grass 0.0945 mg/gr body weight/day to observe the hematology profile in male rat that exposed to cigarettes smoke. Eighteen male rats were divided into 2 treatment groups (20 days and 60 days. Blood sampling performed intra cardial before dinekropsi. The data collection were done in three times. The first after exposure, the second after administration extract kebar’s grass and the th after stopping administration extract kebar’s grass. The
29
results showed that extract kebar’s grass 0.0945 mg/gr body weight/day can decreased eritrosit in male rat exposed with cigarettes smoke. Keywords : Cigarettes smoke, hematology, petersianum Klotzsch)
kebar’s
grass
(Biophytum
PENDAHULUAN Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup yang berfungsi sebagai alat transportasi untuk membawa zat-zat nutrisi, zat-zat metabolisme dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh dan juga sebagai pertahanan tubuh. Darah terdiri dari cairan berupa plasma dan padatan berupa selsel yaitu sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Dalam sel darah merah terdapat hemoglobin. Hemoglobin bertugas mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, yang kemudian beredar dalam tubuh untuk mencukupi keperluan oksigen tubuh. Pengikatan hemoglobin terhadap oksigen dapat dipengaruhi oleh pH, suhu, konsentrasi fosfogliserat dalam sel darah merah dan H+. Dalam hal ini H+ akan berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin (hemoglobin terdeoksi) sehingga menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen (Guyton dan Hall 2006). Senyawa-senyawa toksik yang berasal dari lingkungan seperti makanan, asap kendaraan bermotor dan asap rokok dapat mengganggu fungsi darah. Masuknya senyawa-senyawa kimia asap rokok seperti CO melalui paru-paru ke dalam darah dapat menyebabkan penurunan fungsi darah. CO yang masuk ke darah akan diikat oleh hemoglobin. Hemoglobin memiliki afinitas lebih tinggi untuk berikatan dengan CO daripada mengikat oksigen. Hemoglobin mengikat CO membentuk karbon monoksihemoglobin dan jika dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kekentalan darah sehingga gambaran darah dapat menurun. Pengikatan Hb dengan CO menyebabkan transport oksigen ke jaringan menjadi berkurang (deoksigenasi jaringan) (Guyton 1997). Rumput kebar telah digunakan dalam proses penyembuhan beberapa penyakit seperti malaria, dermatitis, meningkatkan stamina, demam, nyeri pada tulang, diare, luka gigitan ular dan sakit perut (Inngjerdingen et al. 2004; 2006; 2008). Rumput kebar mengandung vitamin A dan vitamin E yang merupakan senyawa-senyawa antioksidan, diduga dapat meningkatkan gambaran darah tikus yang terganggu akibat terkena radikal bebas dari asap rokok. Radikal bebas merupakan produk normal dari proses metabolisme dalam tubuh. Selama makanan dioksidasi untuk menghasilkan energi, sejumlah radikal bebas juga terbentuk dan efeknya dapat dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh (endogen) dalam jumlah yang berimbang (Hariyatmi 2004). Masuknya radikal bebas yang berasal dari asap rokok menyebabkan keadaan tidak seimbang, sehingga penggunaan ekstrak rumput kebar diduga dapat menetralisir dan menyeimbangkan jumlah radikal bebas dalam darah.
30
Tujuan Tujuan penelitian adalah mempelajari potensi ekstrak rumput kebar pada gambaran darah tikus jantan yang telah terpapar asap rokok.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley dewasa sebanyak 18 ekor, berumur 12 minggu dengan bobot badan 150 gram yang diperoleh dari Animal Facility, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah 4.800 rokok kretek dan 5 kg rumput kebar kering yang diambil dari Kecamatan Kebar, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jarum sonde, smoking chamber, mikrotom, seperangkat alat untuk analisis darah seperti: pipet eritrosit, pipet leukosit, kamar hitung Neobauer dan mikroskop. Metode Penelitian Persiapan dan Perlakuan Pembuatan Ekstrak Rumput Kebar dan Penentuan Dosis Ekstrak Rumput Kebar. Semua bagian rumput kebar yaitu akar, batang dan daun yang telah dikeringkan dengan penjemuran sinar matahari sebanyak 5 kg dibuat menjadi ekstrak rumput kebar (Lampiran 6) pada laboratorium BALITRO. Penentuan dosis ekstrak rumput kebar pada tikus adalah 0.0945 mg/gram bobot badan/hari yang didapat dari konversi dosis yang diberikan pada mencit yaitu 0.135 mg/gram/bobot badan/hari (Sadsoeitoeboen 2005) berdasarkan konversi dosis menurut Laurence dan Bacharach (1964) (Lampiran 7). Perlakuan. Delapan belas ekor tikus jantan dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 9 ekor yaitu kelompok 20h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama 20 hari selanjutnya diberi ekstrak rumput kebar selama 20 hari dan diberhentikan 20 hari dan kelompok 60h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama 60 hari selanjutnya diberi ekstrak rumput kebar selama 60 hari dan diberhentikan 60 hari. Pemaparan asap rokok dilaksanakan pada pagi hari dengan tata cara pemaparan seperti yang dituliskan pada lampiran 1. Pemberian ekstrak rumput kebar dilaksanakan pada pagi hari dengan cara pencekokan. Selama penelitian data diambil 3 kali yaitu saat setelah pemaparan asap rokok (T0), setelah pencekokan ekstrak rumput kebar (T1) dan setelah pemberhentian perlakuan (T2). Pada waktu pengambilan data, 3 ekor tikus jantan pada masingmasing perlakuan dianastesi untuk diambil darah secara intra cardial dan kemudian dilakukan pengamatan gambaran darah (Gambar 10).
31
Parameter Gambaran Darah Parameter gambaran darah yang diukur adalah jumlah butir darah merah/BDM (eritrosit) dengan metode Counting chamber-burker dan Neubauer, kadar hemoglobin (Hb) dengan metode Cyan-methemoglobin, nilai hematokrit (PCV) dengan metode Microhematokrit, indeks eritrosit dan jumlah butir darah putih/BDP (leukosit) dengan metode Counting chamber-burker dan Neubauer (Lampiran 3). Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan faktor lama pemaparan dan waktu pengambilan. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) kemudian dilanjutkan Uji Duncan pada taraf nyata α = 0.05 menggunakan perangkat lunak SAS. 18 ekor tikus jantan Pemaparan asap rokok 20h (20 hari)
60h (60 hari)
3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemaparan asap rokok sesuai kelompok (T0) untuk analisa gambaran darah Diberi ekstrak rumput kebar 20h (20 hari)
60h (60 hari)
3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemberian ekstrak rumput kebar sesuai kelompok (T1) untuk analisa gambaran darah Pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar 20h (20 hari)
60h (60 hari)
3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar sesuai kelompok (T2) untuk analisa gambaran darah
Gambar 11. Bagan alur penelitian
32
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap jumlah BDM, kadar hemoglobin dan nilai PCV setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian esktrak rumput kebar pada kelompok 20 hari dan 60 hari disajikan pada Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi pada jumlah BDM (P<0.05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar Hb dan nilai PCV. Tabel 11. Rataan Jumlah BDM, Kadar Hb, Nilai PCV setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Waktu Waktu Pengambilan Rataan Pemaparan T0 T1 T2 a bc c 20h 8.12±0.01 6.92±0.01 6.58±0.44 7.20 Jumlah BDM ab ab ab 60h 7.58±0.01 7.61±0.85 7.44±0.46 7.54 (juta/mm3) 7.85a 7.26b 7.01b P<0.05 Rataan 20h 14.16±0.81ab 13.35±0.75b 13.38±0.61b 13.62b ab a ab Kadar Hb (gr%) 60h 14.73±0.44 15.70±1.84 14.01±0.24 14.81a 14.44 14.52 13.69 tn Rataan 20h 42.00±0.43ab 36.25±3.13c 38.34±2.08bc 38.86b Nilai PCV (%) 60h 43.58±0.38a 39.50±0.50bc 40.83±3.51ab 41.31a 42.79a 37.87b 39.58b tn Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T0 = waktu setelah pemaparan, T1 = waktu setelah pemberian ekstrak rumput kebar, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Parameter
Jumlah Butir Darah Merah/BDM (Eritrosit) Pemberian ekstrak rumput kebar terlihat menurunkan jumlah BDM tikus bila dibandingkan dengan setelah pemaparan asap rokok berpengaruh nyata (P<0.05) pada kelompok 20h. Pemberian ekstrak rumput kebar tidak berpengaruh pada jumlah BDM kelompok 60 hari karena masih berada pada jumlah yang normal. Menurut Purwanti (2005), jumlah BDM pada tikus normal adalah 7.2 – 9.6 juta/mm3. Lamanya pemberian ekstrak rumput kebar dapat menurunkan jumlah BDM selama 20 hari dikarenakan waktu pemaparan asap rokok yang sedikit menyebabkan peran antioksidan endogen sanggup menetralisir toksin sedangkan tidak adanya penurunan jumlah BDM selama 60 hari diduga karena peran antioksidan eksogen rumput kebar yang mampu menjaga jumlah BDM pada kondisi normal. Pemaparan asap rokok yang berlebihan dapat menyebabkan tikus mengalami keracunan sehingga hemoglobin tidak mampu mengikat oksigen untuk dibawa ke jaringan. Selain itu, pemaparan asap rokok dapat menyebabkan tikus kesulitan untuk bernafas sehingga mengurangi pengambilan oksigen. Kedua hal ini dapat menyebabkan transpor oksigen ke jaringan menjadi berkurang, sehingga kondisi ini dapat menyebabkan terpicunya peningkatan BDM. Lama pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh (P<0.05) menurunkan rataan jumlah BDM tikus yang telah terpapar asap rokok dan tetap berada dalam kondisi yang sama setelah diberhentikan pemberian ekstrak rumput kebar. Hal ini
33
menjelaskan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar yang mengandung antioksidan diduga mampu menetralisir racun dalam darah sehingga terjadi mekanisme kontrol terhadap oksigen menyebabkan penurunan BDM dan terjaganya BDM dalam kondisi normal. Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan fungsi BDM untuk membawa hemoglobin yang mengikat oksigen dari paru-paru ke jaringan. Pemberian ekstrak rumput kebar diduga dapat mengontrol mekanisme umpan balik terhadap jumlah oksigen dalam darah. Produksi sel darah merah dikontrol oleh mekanisme umpan balik negatif yang sensitif terhadap jumlah oksigen yang mencapai jaringan melalui darah. Faktor utama yang dapat merangsang produksi sel darah merah adalah hormon dalam sirkulasi disebut eritropoietin yang memicu produksi BDM (Guyton dan Hall 2006). Kadar Hemoglobin (Hb) Lama pemberian ekstrak rumput kebar tidak berpengaruh nyata terhadap rataan kadar Hb. Namun demikian, lama pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kelompok 20 hari dan 60 hari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Hb pada kelompok 60 hari lebih tinggi dibandingkan kelompok 20 hari. Lama pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar tidak berpengaruh nyata terhadap rataan kadar Hb tikus yang telah diberi ekstrak rumput kebar. Hal ini menjelaskan bahwa semakin lama pemberian ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan kadar Hb mendekati kondisi normal dan tetap menjaganya dalam kondisi yang sama. Hemoglobin (Hb) berfungsi mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, yang kemudian beredar dalam tubuh untuk mencukupi keperluan oksigen jaringan. Pengikatan hemoglobin terhadap oksigen dapat dipengaruhi oleh pH, suhu, konsentrasi fosfogliserat dalam sel darah merah. Afinitas ikatan hemoglobin terhadap O2 akan menurun dalam keadaan asam (pH rendah), suhu tinggi dan fosfogliserat (2,3 DPG) meningkat. Salah satu komponen hemoglobin adalah zat besi (Fe). Hemoglobin dengan Fe bentuk Fe2+ (tereduksi) dapat mengikat O2 dan CO sedangkan Hemoglobin dengan Fe dalam bentuk Fe3+ (teroksidasi) tidak dapat mengikat O2. Afinitas pengikatan hemoglobin untuk O2 jauh lebih rendah dari pada afinitasnya dengan CO sehingga dapat menurunkan kapasitas darah sebagai pengangkut O2 (Ganong 2003). Apabila darah terpajan aneka macam obat dan agen-agen pengoksidasi lain, baik in vitro atau in vivo maka besi ferro (Fe2+) dalam molekul tersebut dikonversi menjadi besi ferri (Fe3+) membentuk methemoglobin. Tang et al. (2001) melaporkan bahwa CO yang berasal dari asap rokok akan tinggi dalam darah sehingga akan berikatan dengan Hb dalam darah membentuk karbon monoksihemoglobin. Semakin banyak CO dalam darah, maka jumlah Hb juga akan meningkat untuk mengikat CO (Tang et al. 2001). Fenomena ini menyebabkan sedikitnya O2 yang masuk ke jaringan dan sel sehingga mengganggu metabolisme tubuh. Pemberian ekstrak rumput kebar yang mengandung vitamin E dapat berperan sebagai antioksidan diduga dapat menetralisir CO dalam darah sehingga Hb dapat berikatan dengan O2 menyebabkan peredaran darah membaik. Antioksidan dapat menetralisir senyawasenyawa toksik asap rokok dan menghancurkan radikal bebas dengan cara berinteraksi langsung dengan oksidan atau radikal bebas, mencegah pembentukan
34
jenis oksigen reaktif, mengubah oksigen reaktif menjadi kurang toksik dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Nilai Hematokrit/PCV (Packed Corpuscular Volume) Lama pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan nilai PCV. Pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata terhadap kelompok pemaparan asap rokok (P<0.05), namun tidak berpengaruh setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Hal ini menjelaskan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar menurunkan nilai PCV tikus yang telah terpapar asap rokok dan mempertahankannya dalam kondisi yang sama setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. PCV merupakan persen volume sel darah merah. Makin besar persentase sel darah merah, maka makin besar hematokritnya sehingga makin banyak pergeseran diantara lapisan-lapisan darah dan pergesaran inilah yang menentukan viskositas. Viskositas dalam darah akan meningkat ketika hematokrit meningkat yang mengakibatkan aliran darah melalui pembuluh sangat lambat (Guyton dan Hall 2006). Penurunan nilai PCV setelah pemberian ekstrak rumput kebar selama 20 hari dan 60 hari menunjukkan nilai PCV kembali mendekati keadaan normal. Ekstrak rumput kebar diduga membantu menjaga komponen sel darah tetap dalam keadaan normal akibat pemaparan asap rokok. Index Eritrosit Indeks eritrosit adalah rata-rata ukuran eritrosit dan banyaknya hemoglobin pereritrosit (Guyton 1997). Indeks eritrosit terdiri atas : MCV (mean corpuscular volume atau volume eritrosit rata-rata), MCH (mean corpuscular hemoglobin atau hemoglobin eritrosit rata-rata), dan MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration atau kadar hemoglobin eritrosit rata-rata). Indeks eritrosit dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang dalam membedakan berbagai macam anemia (Riswanto 2009). Pengamatan dan penghitungan indeks eritrosit ini dilakukan untuk mempelajari potensi ekstrak rumput kebar terhadap pendugaan anemia yang terjadi akibat pemaparan asap rokok. Rataan indeks eritrosit setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian esktrak rumput kebar pada kelompok 20 hari dan 60 hari disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis statistik indeks eritrosit menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara lama pemberian ekstrak rumput kebar pada MCV, MCH dan MCHC. Lama pemberian ekstrak rumput kebar terhadap tikus yang telah terpapar asap rokok menunjukkan tidak adanya pengaruh pada jumlah MCHC kelompok 20 hari, namun berpengaruh (P<0.05) meningkatkan jumlah MCHC kelompok 60 hari dan tetap berada pada kondisi yang sama setelah diberhentikan pemberian ekstrak rumput kebar. Hal ini menjelaskan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar setelah 20 hari pemberian dapat meningkatkan indeks eritrosit MCHC. Peningkatan indeks eritrosit MCHC pada kelompok 60 hari setelah pemberian ekstrak rumput kebar diduga akibat senyawa-senyawa yang terkandung dalam rumput kebar seperti flavonoid dan senyawa antioksidan lainnya seperti vitamin A dan vitamin E, dan tanin dapat
35
mempertahankan ketahanan sel. Perubahan nilai indeks eritrosit MCHC dari 33.7 – 38.5 gr% pada tikus menjadi 32.1 – 34.4 gr% dibandingkan nilai normal MCHC 32.9 – 33.5 gr% pada penelitian tahap 1 menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok selama 20 hari dan 60 hari tidak menyebabkan terjadinya anemia karena jumlah eritrosit masih dalam batas normal. Tabel 12. Rataan indeks eritrosit setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Waktu Pengambilan Waktu Rataan Pemaparan T0 T1 T2 3 MCV (µm ) 20h 51.74±0.50 52.41±4.59 53.23±6.00 52.46 60h 61.08±6.69 52.31±5.44 55.16±7.45 56.18 56.41 52.36 54.19 tn Rataan MCH (pg) 20h 17.44±1.01 19.29±1.11 20.40±1.46 19.05 60h 19.44±0.57 20.88±3.84 18.88±1.19 19.73 18.44 20.09 19.64 tn Rataan MCHC (gr %) 20h 33.71±1.76ab 36.90±1.73ab 38.51±3.23a 36.37 60h 32.13±4.15b 39.73±4.31a 34.49±3.46ab 35.45 b a 39.92 38.31 36.50ab tn Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T0 = waktu setelah pemaparan, T1 = waktu setelah pemberian ekstrak rumput kebar, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Parameter
Menurut Verstraeten et al. (2004) senyawa flavonoid dapat melindungi membran sel dari stres oksidatif yang ditimbulkan oleh radikal bebas dengan cara meningkatkan fluiditas membran dan mencegah masuknya molekul yang dapat mempengaruhi integritas membran. Selain itu flavonoid diduga dapat bereaksi dengan senyawa reaktif dan menghambat aktivitas senyawa reaktif tersebut sehingga tidak bereaksi dan tidak merusak membran sel dan mencegah peroksidasi lipid. Antioksidan dapat menetralisir atau menghancurkan radikal bebas dengan cara berinteraksi langsung dengan oksidan atau radikal bebas, mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif, mengubah oksigen reaktif menjadi kurang toksik dan memperbaiki kerusakan sel dan jaringan yang timbul (Sizer dan Whitney 2000). Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat menurunkan stress oksidatif lemak (Velayutham et al. 2012), mampu mengikat dan mengendapkan protein sehingga berfungsi sebagai antibodi. Sarawar et al. (2012) melaporkan bahwa tanin dapat menyebabkan penurunan yang signifikan (hingga 23%) protein dan kecernaan asam amino pada tikus. Jumlah Butir Darah Putih/BDP (Leukosit) Rataan jumlah BDP setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian esktrak rumput kebar pada kelompok 20 hari dan 60 hari disajikan pada Tabel 13. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara lama pemberian ekstrak rumput kebar pada jumlah BDP. Lama pemberian ekstrak rumput kebar tidak mempengaruhi jumlah BDP tikus yang telah terpapar asap rokok. Lama pemberhentian pemberian
36
ekstrak rumput kebar mempengaruhi (P<0.05) jumlah BDP tikus yang telah diberi ekstrak rumput kebar. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh terhadap jumlah BDP setelah 60 hari. Asap rokok yang terhirup akan masuk ke saluran pernafasan sehingga senyawa-senyawa kimia dari asap rokok seperti tar, nikotin dan karbon monoksida (CO) akan terbawa masuk ke paru-paru. Di dalam paru-paru, tar akan melapisi dinding alveoli dan bila dalam konsentrasi yang banyak akan mengganggu saluran pernapasan dan menyebabkan terjadi keracunan, nikotin akan menghambat aktivitas silia pada paru-paru dan CO diikat oleh hemoglogin yang terdapat dalam sel darah merah yang lebih kuat dibandingkan oksigen sehingga CO dapat masuk dalam darah menyebabkan terjadinya keracunan darah. Tabel 13. Rataan jumlah BDP (juta/mm3) setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Waktu Pengambilan Waktu Rataaan Pemaparan T0 T1 T2 20h 17.61±1.63a 15.70±3.47a 8.58±4.73b 13.97 a a 60h 19.12±2.17 16.23±1.81 9.70±4.33b 15.02 18.37a 15.97a 9.14b tn Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T0 = waktu setelah pemaparan, T1 = waktu setelah pemberian ekstrak rumput kebar, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari.
Masuknya senyawa-senyawa toksik asap rokok dalam waktu yang lama dapat mengganggu metabolisme sehingga menyebabkan stres kronis pada sel dan jaringan. Stres kronis dapat meningkatkan kortisol menjadi konstan. Kortisol dapat menyebabkan terjadinya peningkatan netrofil, penurunan limfosit, penurunan eosinofil, penurunan basofil (Guyton dan Hall 2006). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah BDP. Kemungkinan kerja rumput kebar yang mengandung antioksidan mampu memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak akibat toksik dari asap rokok. Mekanisme kerja antioksidan adalah menginaktivasi reaksi rantai dari peroksidasi lipid dengan mencegah terbentuknya radikal peroksida yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Fenomena ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan jumlah BDP.
SIMPULAN Pemberian ekstrak rumput kebar selama 20 hari dan 60 hari dapat menyebabkan penurunan jumlah BDM pada tikus jantan yang telah terpapar asap rokok.
37
KAJIAN PEMBERIAN EKSTRAK RUMPUT KEBAR PADA FUNGSI REPRODUKSI TIKUS JANTAN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK Adrien Jems Akiles Unitly1, Nastiti Kusumorini2, Srihadi Agungpriyono2, Aryani Sismin Satyaningtijas2, Arief Boediono2 1 Mahasiswa Program Doktor, Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi ekstrak rumput kebar terhadap testis, kadar hormon testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa tikus jantan yang terpapar asap rokok. Penelitian ini menggunakan RAL faktorial dengan faktor lama perlakuan dan waktu pengambilan. Ekstrak rumput kebar yang diberikan adalah 0,0945 mg/g bobot badan/hari. Perlakuan adalah pemberian ekstrak rumput kebar dengan dosis 0.0945 mg/g bobot badan/hari digunakan untuk mengamati fungsi reproduksi tikus jantan yang terpapar asap rokok. Delapan belas ekor tikus jantan dibagi ke dalam 2 kelompok perlakuan (20 hari dan 60 hari). Pengambilan data dilakukan sebanyak 3 kali yaitu setelah tikus dipapar asap rokok, setelah pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar 0,0945 mg/g bobot badan/hari dapat meningkatkan bobot testis, menurunkan kadar hormon testosteron, meningkatkan jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa tikus jantan yang terpapar asap rokok. Kata kunci : Asap rokok, ekstrak rumput kebar, spermatogenik, spermatozoa.
THE STUDY OF ADMINISTRATION EXTRACT KEBAR’S GRASS ON REPRODUCTIVE FUNCTION IN MALE RAT THAT EXPOSURE WITH CIGARETTE SMOKE ABSTRACT This research aimed to study the potential extract kebar’s grass on testes, testosterone levels, spermatogenic cells count and spermatozoa quality in male rat that exposed to cigarettes smoke. This research used factorial CRD with longer treatment and the time taking. The extract kebar’s grass that given was 0.0945 mg/gr body weight/day. The use of extract kebar’s grass 0.0945 mg/gr body weight/day to observe the reproduction function in male rat that exposed to cigarettes smoke. Eighteen male rats were divided into 2 treatment groups (20 days and 60 days). The data collection were done in three times. The first after exposure, the second after administration extract kebar’s grass and the th after stopping administration extract kebar’s grass. The results showed that extract kebar’s grass 0.0945 mg/gr body weight/day increased testes weigh, decrease
38
testosterone levels, increased spermatogenic cells count and spermatozoa quality of male rat exposed with cigarettes smoke. Keywords : Cigarettes smoke, kebar’s Klotzsch), spermatozoa.
grass
(Biophytum
petersianum
PENDAHULUAN Rumput kebar mengandung senyawa-senyawa yang diduga dapat meningkatkan fungsi reproduksi seperti protein, karbohidrat, tanin, flavonoid, antioksidan, phosfor, besi, kalsium, vitamin E dan vitamin A [BBPPPP 2010] (Lampiran 8). Masuknya senyawa-senyawa yang terkandung dalam rumput kebar melalui darah akan sampai ke semua sel dan jaringan tubuh termasuk organ reproduksi yaitu testis yang merupakan tempat terjadinya spermatogenesis. Spermatogenesis adalah proses dinamis perkembangan sel-sel spermatogenik dari tahap spermatogonia sampai terbentuk spermatozoa. Berlangsungnya spermatogenesis pada tubulus seminiferus melibatkan poros hipotalamus, hipofisis dan testis. Pemberian ekstrak rumput kebar diduga berfungsi seperti GnRH hipotalamus merangsang hipofisis anterior untuk mensekresikan LH dan FSH. LH bekerja pada sel Leydig yang akan mempengaruhi spermatogenesis melalui testosteron yang dihasilkannya. FSH berpengaruh langsung terhadap sel Sertoli dalam tubulus seminiferus dengan meningkatkan sintesis protein pengikat hormon androgen (ABP). ABP merupakan glikoprotein yang mengikat testosteron (Hafez et al. 2000), berperan dalam produksi spermatozoa (Bearden et al. 2004). Pemberian ekstrak rumput kebar diduga mampu meningkatkan fungsi reproduksi tikus jantan yang telah terpapar asap rokok. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi ekstrak rumput kebar 0,0945 mg/g bobot badan/hari pada fungsi reproduksi tikus jantan yang telah terpapar asap rokok selama 20 hari dan 60 hari. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley dewasa sebanyak 18 ekor, berumur 12 minggu dengan bobot badan 150 gram yang diperoleh dari Animal Facility, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah 4800 rokok kretek dan 5 kg rumput kebar yang diambil dari Kecamatan Kebar, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sonde, smoking chamber dan mikrotom.
39
Metode Penelitian Persiapan dan Perlakuan Pembuatan Ekstrak Rumput Kebar dan Penentuan Dosis Ekstrak Rumput Kebar. Semua bagian rumput kebar yaitu akar, batang dan daun yang telah dikeringkan dengan penjemuran sinar matahari sebanyak 5 kg dibuat menjadi ekstrak rumput kebar (Lampiran 6) pada laboratorium BALITRO. Penentuan dosis ekstrak rumput kebar pada tikus adalah 0.0945 mg/gram bobot badan/hari yang didapat dari konversi pada dosis yang diberikan pada mencit yaitu 0.135 mg/gram/bobot badan/hari (Sadsoeitoeboen 2005) berdasarkan konversi dosis menurut Laurence dan Bacharach (1964) (Lampiran 7). Perlakuan. Delapan belas ekor tikus jantan dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 9 ekor yaitu kelompok 20h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama 20 hari selanjutnya diberi ekstrak rumput kebar selama 20 hari dan diberhentikan 20 hari dan kelompok 60h adalah kelompok yang dipapar asap rokok selama 60 hari selanjutnya diberi ekstrak rumput kebar selama 60 hari dan diberhentikan 60 hari. Pemaparan asap rokok dilaksanakan pada pagi hari dengan tata cara pemaparan seperti yang dituliskan pada lampiran 1. Pemberian ekstrak rumput kebar dilaksanakan pada pagi hari dengan cara pencekokan. Selama penelitian data diambil 3 kali yaitu saat setelah pemaparan asap rokok (T0), setelah pencekokan ekstrak rumput kebar (T1) dan setelah pemberhentian perlakuan (T2). Pada waktu pengambilan data, 3 ekor tikus jantan pada masingmasing perlakuan dinekropsi untuk diamati testis, analisis hormon testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa (Gambar 11). Parameter yang Diamati Analisis Testis dan Jumlah Sel-sel Spermatogenik. Testis ditimbang untuk mengetahui bobot testis kemudian dikeringkan, dihaluskan dan diekstraksi untuk mengamati konsentrasi DNA dan RNA testis mengikuti cara Manalu dan Sumaryadi (1998) (Lampiran 9). Sebagian testis dibuat preparat histologi dengan pewarnaan histokimia hematoksilin eosin (HE) mengikuti cara Kiernan (1990) untuk mengamati tubulus seminiferus dan menghitung jumlah sel-sel spermatogenik mencakup Spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir (Lampiran 4). Analisis Hormon Testosteron. untuk menganalisis hormon testosteron dalam serum darah dilakukan pengambilan darah secara intra cardial pada tikus yang telah dianastesi. Analisis kadar hormon testosteron dengan metode radioimmunoassay (RIA) (Lampiran 10). Kualitas Spermatozoa. Kualitas spermatozoa yang diamati meliputi konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa, dan abnormalitas spermatozoa berdasarkan modifikasi dari First (1991) dan Soehadi dan Arsyat (1983) (Lampiran 5). Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan faktor lama pemaparan dan waktu pengambilan. Hasil yang diperoleh
40
dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) kemudian dilanjutkan Uji Duncan pada taraf nyata α = 0.05 menggunakan perangkat lunak SAS. 18 ekor tikus jantan Pemaparan asap rokok 20h (20 hari)
60h (60 hari)
3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemaparan asap rokok sesuai kelompok (T0) untuk analisa parameter penelitian Diberi ekstrak rumput kebar 20h (20 hari)
60h (60 hari)
3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemberian ekstrak rumput kebar sesuai kelompok (T1) untuk analisa parameter penelitian Pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar 20h (20 hari)
60h (60 hari)
3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar sesuai kelompok (T2) untuk analisa parameter penelitian Parameter yang diamati adalah analisis testis, analisis hormon testosteron, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa.
Gambar 12. Bagan alur penelitian
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Testis Rataan bobot testis, konsentrasi DNA testis dan konsentrasi RNA testis setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian esktrak rumput kebar pada kelompok 20 hari dan 60 hari disajikan pada Tabel 14. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lama pemberian ekstrak rumput kebar pada bobot testis (P<0.05), namun tidak terdapat interaksi antara lama pemberian ekstrak rumput kebar terhadap konsentrasi DNA dan RNA. Lama pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot testis tikus yang telah terpapar asap rokok. Setelah pemberian ekstrak rumput kebar menunjukkan peningkatan bobot testis pada semua kelompok tikus yang telah dipapar asap rokok. Kelompok yang diberi ekstrak rumput kebar selama 60 hari memiliki bobot testis lebih tinggi dibandingkan yang 20 hari. Lama pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar menunjukkan bobot testis tetap berada pada kondisi yang sama. Fenomena ini menjelaskan bahwa ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan bobot testis dan mempertahankannya. Tabel 14. Rataan bobot testis, konsentrasi DNA dan RNA testis tikus setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Waktu Pengambilan Waktu Rataan Pemaparan T0 T1 T2 c b b Bobot Testis 20h 2.38±0.10 2,64±0.29 2.64±0.12 2.55 (gr) 60h 2.05±0.01d 2,96±0.02a 2.93±0.05a 2.65 2.21b 2.80a 2.79a P<0.05 Rataan Konsentrasi 20h 32.22±19.70bc 208,47±156.10a 201.07±61.56a 147.25 c a DNA Testis 60h 10.17±8.57 220,04±60.19 182.10±108.51ab 137.44 (mg/gr) 21.20b 214.25a 191.59a tn Rataan b a Konsentrasi 20h 75.29±2.78 104,40±10.87 90.98±17.39ab 90.23 RNA Testis 60h 78.88±5.93b 105,27±12.29a 106.19±8.63a 96.78 b a (mg/gr) 77.09 104.84 98.59a tn Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T0 = waktu setelah pemaparan, T1 = waktu setelah pemberian ekstrak rumput kebar, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Parameter
Penurunan bobot testis pada perlakuan pemaparan asap rokok diduga sebagai akibat dari gangguan fungsi testis yang disebabkan oleh zat-zat toksik dari asap rokok yang masuk melalui kelenjar-kelenjar endokrin di testis. Hal ini dapat menyebabkan terjadi gangguan pada tubulus seminiferus yang merupakan tempat sintesis spermatozoa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar selama 20 hari dan 60 hari dapat meningkatkan aktivitas testis. Testis adalah organ reproduksi yang mempunyai fungsi memproduksi spermatozoa melalui spermatogenesis dan menghasilkan hormon androgenik (Mayes 2003; Cox dan John 2005). Rumput kebar mengandung protein yang terbangun dari asam-asam amino yang sangat dibutuhkan untuk aktivitas produksi
42
dan reproduksi. Selain itu, rumput kebar mengandung vitamin E. Linder (2006) menyatakan bahwa vitamin E berperan dalam menormalkan epitel pada tubulus seminiferus, dan perbaikan sel epitel memberi kontribusi terhadap peningkatan massa atau peningkatan bobot testis. Lama pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap konsentrasi DNA testis tikus yang telah terpapar asap rokok. Setelah pemberian ekstrak rumput kebar menunjukkan peningkatan konsentrasi DNA testis pada semua kelompok tikus yang telah terpapar asap rokok. Kelompok yang diberi ekstrak rumput kebar selama 60 hari memiliki konsentrasi DNA testis lebih tinggi dibandingkan yang 20 hari. Lama pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar menunjukkan konsentrasi DNA testis tetap berada pada kondisi yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak rumput kebar dapat memperbaiki sel-sel sehingga konsentrasi DNA testis meningkat dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar tetap berada pada kondisi yang sama. Menurut Rastogi (2007) jumlah DNA per sel pada setiap spesies adalah konstan. Kehilangan DNA per organ menggambarkan penurunan efisiensi fungsional. Peningkatan kandungan DNA menggambarkan peningkatan jumlah sel yang terdapat pada jaringan testis. Tingginya konsentrasi DNA testis pada semua perlakuan pemberian ekstrak rumput kebar disebabkan tingginya konsentrasi DNA per unit berat kering jaringan testis. Peningkatan konsentrasi DNA testis pada kelompok perlakuan pemberian ekstrak rumput kebar menunjukkan bahwa aktivitas mitosis meningkat pada perlakuan tersebut. Lama pemberian ekstrak rumput kebar tidak berpengaruh terhadap rataan konsentrasi RNA testis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh (P<0.05) pada peningkatan konsentrasi RNA testis tikus yang telah terpapar asap rokok. Lama pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar tidak mempengaruhi rataan konsentrasi RNA testis tikus yang telah diberi ekstrak rumput kebar. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak rumput kebar dapat memperbaiki sel-sel sehingga konsentrasi RNA testis tikus meningkat dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar, konsentrasi RNA testis tikus tetap berada pada kondisi yang sama. Kandungan RNA menggambarkan aktivitas sintesis sel testis dan pada penelitian ini memperlihatkan hubungan yang signifikan dengan bobot testis yaitu peningkatan kadar RNA testis pada kelompok pemberian ekstrak rumput kebar seiring dengan peningkatan bobot testis. Aktivitas sintesis terlihat rendah pada perlakuan pemberian asap rokok kemudian meningkat pada pemberian ekstrak rumput kebar. Rumput kebar yang mengandung flavonoid dan vitamin E berperan sebagai antioksidan yang dapat mengikat radikal bebas dari asap rokok dan memperbaiki sel pada jaringan-jaringan testis sehingga dapat menghasilkan spermatozoa. Aktivitas sel yang meningkat digambarkan dengan meningkatnya konsentrasi RNA (Rastogi 2007). Analisis Hormon Testosteron Rataan kadar hormon testosteron tikus setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian esktrak rumput kebar pada kelompok 20 hari dan 60 hari disajikan pada Tabel 15. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat interaksi lama pemberian ekstrak rumput kebar terhadap kadar hormon testosteron. Hasil pengukuran kadar hormon
43
testosteron menunjukkan bahwa lama pemberian ekstrak rumput kebar tidak mempengaruhi kadar hormon testosteron tikus yang telah terpapar asap rokok. Pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) pada penurunan rataan kadar hormon testosteron tikus yang telah diberi ekstrak rumput kebar. Setelah pemberian ekstrak rumput kebar menunjukkan penurunan yang signifikan (P<0.05) selama 20 hari pada tikus yang telah diberi ekstrak rumput kebar. Penurunan kadar hormon testosteron ke kondisi normal. Kadar hormon testosteron total pada tikus putih jantan dewasa bervariasi dari rerata 0,5 ng/ml sampai dengan 5,4 ng/ml pada keadaan normal (Tantawi et al. 2007; Favig dan Foad 2009). Pemaparan asap rokok menyebabkan suhu ruang kandang meningkat sehingga tikus mengalami stress menyebabkan kadar hormon testosteron meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian Favig dan Foad (2009) yang melaporkan bahwa tikus yang ditempatkan pada lokasi yang lebih tinggi temperaturnya daripada lokasi awal (dari 230C ke 250C) menunjukkan peningkatan kadar hormon testosteron total rata-rata dari 5.4 ng/ml menjadi 11.4 ng/ml. Tabel 15. Rataan kadar hormon testosteron setelah pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian. Waktu Pengambilan Waktu Rataan Pemaparan T0 T1 T2 20h 9.52±4.83ab 16,64±4.79a 5,29±3.17b 10.48 ab ab 60h 8.51±5.88 11,62±5.25 8,23±5.99ab 9.45 9.01ab 14.13a 6.76b tn Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T0 = waktu setelah pemaparan, T1 = waktu setelah pemberian ekstrak rumput kebar, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari.
Pemberian rumput kebar yang mengandung vitamin A dan vitamin E merupakan antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas asap rokok pada sel-sel dan jaringan reproduksi, sehingga diperkirakan dapat meningkatkan fungsi testis untuk mengontrol biosintesis androgen oleh sel Leydig dan menghasilkan testosteron untuk proses spermatogenesis di epitel tubulus seminiferus. Sintesis testosteron dan spermatogenesis melibatkan kontrol beberapa hormon. GH mempengaruhi secara langsung diferensiasi sel Leydig sebagai tempat sintesis testosteron dan LH mengontrol sintesis testosteron. FSH meningkatkan ABP (androgen binding protein) untuk mengikat testosteron yang kemudian dihantarkan ke tubulus seminiferus sebagai tempat pembentukan spermatozoa, sedangkan sel sertoli berperan dalam pembentukan membran tubulus seminiferus menyediakan lingkungan bagi diferensiasi dan maturasi sel benih (Mayes 2003). Mehta et al. (2008) melaporkan bahwa testosteron mengaktifkan gen-gen di dalam sel-sel sertoli yang memicu diferensiasi sel-sel spermatozoa dalam perkembangan spermatogenesis misalnya diferensiasi spermatozoa. Sejumah besar testosteron ± 95% diproduksi oleh sel-sel Leydig pada testis (Morgentaler dan Schulman 2009). Squires (2003) dan Bearden et al. (2004) menjelaskan bahwa testosteron disintesis di dalam testis, yaitu oleh sel-sel Leydig di bawah kontrol LH dari kelenjar hipofisis. Setelah masuk ke dalam sel-sel target pada hipotalamus, kelenjar hipofisis dan testis, testosteron melakukan aksi genomik
44
dengan berikatan pada reseptor androgen (RA). Reseptor androgen memiliki famili reseptor inti yang bertindak sebagai ligand-responsive transcription factor. Pada testis RA ada pada sel Leydig, sel peritubular, dan sel Sertoli. Selanjutnya kompleks testosteron dan AR mengikat gen pada rantai urutan DNA tertentu dan mengatur kejadian transkripsi gen. Proses tersebut dapat memicu dan mengatur proses spermatogenesis pada tubulus seminiferus. Analisis Mikroskopis Sel-sel Spermatogenik Rataan jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian esktrak rumput kebar pada kelompok 20 hari dan 60 hari disajikan pada Tabel 16. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lama pemberian ekstrak rumput kebar pada jumlah sel spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir (P<0.05). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lamanya pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) pada peningkatan jumlah spermatoginium tikus yang telah terpapar asap rokok dan tetap berada pada kondisi yang sama setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lamanya pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) pada peningkatan jumlah spermatosit primer tikus yang telah terpapar asap rokok dan terjadi penurunan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lamanya pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) pada rataan spermatid akhir. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lamanya pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh (P<0.05) pada peningkatan jumlah spermatid akhir pada tikus yang telah terpapar asap rokok, dan tetap berada pada kondisi yang sama setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Tabel 16. Rataan jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan setelah pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar Waktu Pengambilan Waktu Rataan Pemaparan T0 T1 T2 Spermatogonium 20h 31.33±0.58c 40 ± 1ab 38.67±1.53b 36.67 d ab 60h 25.33±2.08 40.33±0.58 41.33±0.58a 35.67 28.33b 40.17a 40a P<0.05 Rataan Spermatosit Primer 20h 44.67±1.53d 46.33±0.58d 48.67±0.58c 46.55 e a 60h 32.33±0.58 57.33±1.53 51.33±0.58b 47 38.50c 51.83a 50b P<0.05 Rataan Spermatid Akhir 56.22a 20h 52.67±0.58b 57.33±1.53a 58.67±1.53a c a a 60h 35.67±1.53 58.67±0.58 57.67±0.58 50.67b b a a 44.17 58 58.17 P<0.05 Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T0 = waktu setelah pemaparan, T1 = waktu setelah pemberian ekstrak rumput kebar, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Parameter
45
Berdasarkan pengamatan, pemberian ekstrak rumput kebar mampu meningkatkan spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir setelah sebelumnya dipapar asap rokok. Setelah diberhentikan pemberian ekstrak rumput kebar menunjukkan penurunan spermatosit primer dikarenakan peran rumput kebar yang mampu menurunkan hormon testosteron kembali ke kondisi normal sehingga merangsang aktivitas spermatognesis menyebabkan sebagian besar spermatosit primer membentuk spermatosit sekunder, membentuk spermatid akhir yang kemudian akan membentuk spermatozoa. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa fenomena peningkatan sel-sel spermatogenik dikarenakan mekanisme kerja rumput kebar di dalam tubulus seminiferus dalam meningkatkan aktivitas sel-sel yang memproduksi FSH dan LH pada hipofisis. FSH akan menstimulasi sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis. LH merangsang sel-sel Leydig memproduksi testosteron, dimana FSH dan testosteron dapat merangsang sel-sel spermatogenik untuk melakukan meiosis dan berdiferensiasi menjadi spermatozoa. Cox dan John (2005) menyatakan bahwa hormon testosteron secara langsung mempengaruhi proses spermatogenesis. Hal ini sejalan dengan penelitian Matthiesson et al. (2006) yang melaporkan bahwa FSH dan LH mengontrol spermatogenesis secara terpisah. FSH menunjukkan pengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah spermatosit sekunder. Sementara peningkatan nyata perubahan menjadi spermatid akhir dipengaruhi oleh LH. Matthiesson et al. (2006) juga menemukan bahwa pembentukan spermatogonia dipengaruhi oleh FSH, sedangkan proses spermatogenesis nampak jelas dipengaruhi oleh LH dan testosteron testis (Tantawi et al. 2007; Favig dan Foad 2009; Morgentaler dan Schulman 2009). Kualitas Spermatozoa Rataan kualitas spermatozoa (konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa) setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian esktrak rumput kebar pada kelompok 20 hari dan 60 hari disajikan pada Tabel 17. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lama pemberian ekstrak rumput kebar pada konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa (P<0.05). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lama pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) pada rataan konsentrasi spermatozoa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lama pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap peningkatan konsentrasi spermatozoa tikus yang telah terpapar asap rokok dan tetap berada pada kondisi yang sama setelah diberhentikan pemberian ekstrak rumput kebar. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penurunan jumlah spermatozoa diduga akibat pemaparan asap rokok yang bersifat toksik menyebabkan gangguan spermiogenesis sehingga spermatid terhambat untuk berdiferensiasi menjadi spermatozoa. Kemungkinan kerja rumput kebar seperti LH yang dapat memicu menurunkan produksi hormon testosteron ke kondisi normal sesuai penelitian sebelumnya sehingga testosteron dapat berperan dalam proses spermatogenesis. Hormon testosteron mempengaruhi proses spermiogenesis sehingga meningkatkan konsentrasi spermatozoa. Hal ini
46
sesuai temuan Matthiesson et al. (2006) bahwa proses spermiogenesis secara nyata dipengaruhi oleh LH dan testosteron testis. Tabel 17. Rataan kualitas spermatozoa (konsentrasi spermatozoa, viabilitas Spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa) setelah pemaparan asap rokok, pemberian ekstrak rumput kebar dan pemberhentian pemberian ekstrak rumput kebar. Waktu Pengambilan Waktu Rataaan Pemaparan T0 T1 T2 c b b Konsentrasi 20h 174.79±2.80 187.77±0.36 191.21±2.01 184.59a d a a Spermatozoa 60h 78.57±2.27 213.96±4.52 219.32±5.29 170.61b c b a (Juta/ml) 126.68 200.86 205.26 P<0.05) Rataan Viabilitas 20h 38.96±0.83b 39.79±0.10b 40.22±0.50b 39.65b c a a Spermatozoa (%) 60h 8.90±0.61 58.41±1.15 59.38±0.66 42.23a b a a 23.93 49.10 49.80 P<0.05) Rataan Abnormalitas 20h 46.16±3.62b 36.51±1.32c 39.76±0.59c 40.81b a d d Spermatozoa (%) 60h 89.65±3.68 24.66±0.67 25.86±0.32 46.72a a b b 67.91 30.58 32.81 P<0.05) Rataan Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T0 = waktu setelah pemaparan, T1 = waktu setelah pemberian ekstrak rumput kebar, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari. Parameter
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian esktrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap peningkatan persentasi viabilitas spermatozoa tikus yang telah terpapar asap rokok dan tetap berada pada kondisi yang sama setelah diberhentikan pemberian ekstrak rumput kebar. Rumput kebar mengandung protein, NaCl, dan kalsium merupakan nutrisi dan energi yang dibutuhkan spermatozoa. Pemberian ekstrak rumput kebar dapat membantu kerja sel Sertoli sebagai penyedia nutrisi bagi sel-sel spermatogenik. Nurcholidah et al. (2008) dan Safarinejad et al. (2010) menyatakan bahwa kemampuan daya hidup spermatozoa berhubungan dengan kecukupan nutrisi serta energi di dalam semen. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lama pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan persentasi abnormalitas spermatozoa. Lama pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penurunan persentasi abnormalitas tikus jantan yang telah terpapar asap rokok dan tetap berada pada kondisi yang sama setelah diberhentikan pemberian ekstrak rumput kebar. Mekanisme kerja rumput kebar terhadap penurunan persentasi abnormalitas spermatozoa dimungkinkan dengan masuknya senyawasenyawa rumput kebar seperti vitamin E dan flavonoid melalui jalur rangkaian fisiologi. Vitamin E mampu mengikat radikal bebas sehingga terjadi peningkatan aktivitas sel hipofisis untuk memproduksi LH yang merangsang sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron sehingga terjadi peningkatan proses pembentukan spermatid akhir. Pavlovic et al. (2005) menyatakan bahwa vitamin E dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat vitamin E radikal yang terbentuk pada proses pemutusan reaksi radikal bebas oleh vitamin E menjadi vitamin E bebas yang berfungsi kembali sebagai antioksidan. Kinerja flavonoid dalam tubuh juga mampu berikatan dengan reseptor estrogen alfa (REα) pada testis dan epididimis yang dapat menggantikan fungsi estrogen dan bekerja sama dengan
47
testosteron untuk pematangan spermatozoa. Verstraeten et al. (2004) melaporkan bahwa flavonoid dapat melindungi membran sel dari stress oksidatif yang ditimbulkan oleh radikal bebas dan mencegah masuknya molekul yang dapat mempengaruhi integritas membran.
SIMPULAN Pemberian ekstrak rumput kebar selama 20 hari dan 60 hari dapat memperbaiki fungsi reproduksi yaitu peningkatan bobot testis, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa pada tikus jantan yang telah terpapar asap rokok.
48
PEMBAHASAN UMUM Penelitian dilakukan dengan perlakuan pemaparan asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40 hari dan 60 hari berpengaruh menurunkan fungsi reproduksi tikus jantan. Masuknya senyawa-senyawa toksik asap rokok seperti tar ke dalam jaringan dapat menempel langsung pada paru-paru, nikotin dapat menghambat aktivitas silia pada paru-paru dan selain itu, karbon monoksida yang merupakan produk asap rokok dapat masuk ke aliran darah dan dapat diikat oleh hemoglobin. Pengikatan hemoglobin dengan CO lebih kuat dibandingkan oksigen sehingga menyebabkan sel tubuh akan kekurangan oksigen. Jika hal ini terjadi terus menerus maka oksigen yang masuk ke jaringan menjadi sangat sedikit sehingga menurunkan aktivitas sel-sel tubuh termasuk sel-sel pada organ reproduksi jantan. Hasil pengamatan menunjukkan peningkatan substansi warna kecoklatan tua pada dinding alveolus paru-paru pada perlakuan pemaparan asap rokok selama 40 hari dan 60 hari yang diduga adalah tar. Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru (Droge 2002). Selain itu, terlihat peningkatan sel radang atau pneumonia pada 60h. Pneumonia adalah peradangan pada jaringan alveoli paru-paru. Alveoli bertanggung jawab terhadap pertukaran O2 dan CO2 pada proses pernafasan. Efek toksik akibat pemaparan asap rokok yang melewati paru-paru ke sel darah dapat menyebabkan gangguan darah dan akan terbawa melalui darah sampai ke jaringan-jaringan tubuh termasuk organ reproduksi jantan yaitu testis. Gangguan pada testis dapat menyebabkan menurunnya produksi hormon testosteron, akibatnya proses spermatogenesis menjadi terganggu sehingga menurunkan jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas testis (penurunan konsentrasi spermatozoa dan viabilitas spermatozoa serta meningkatkan abnormalitas spermatozoa). Penurunan fungsi reproduksi jantan tersebut sejalan dengan lamanya pemaparan asap rokok. Penurunan fungsi reproduksi jantan diduga akibat sifat toksik asap rokok yang dapat menghambat pembentukan ATP mitokondria. Mitokondria merupakan tempat proses perombakan atau katabolisme untuk menghasilkan energi bagi spermatozoa (Anbasari et al. 2005; Fitriani et al. 2010). Pemberhentian pemaparan asap rokok selama 20 hari, 40 hari dan 60 hari tidak mengembalikan kualitas spermatozoa ke keadaan normal. Hal ini diduga karena sifat toksik asap rokok yang dapat menyebabkan kerusakan organ penghasil spermatozoa bersifat menetap. Fitriani et al. (2010) melaporkan semakin lama pemaparan asap rokok maka semakin menurun kualitas spermatozoa. Berdasarkan temuan ini maka pemaparan asap rokok 10 batang/hari/tikus dapat digunakan sebagai perlakuan untuk menciptakan hewan model penurunan fungsi reproduksi jantan. Perbaikan kondisi penurunan fungsi reproduksi tikus jantan dapat dilakukan dengan pemberian ekstrak rumput kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) yang berpotensi memiliki efek farmakologi karena mengandung senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, tanin, flavonoid, antioksidan, phosfor, besi, kalsium, vitamin E dan vitamin A yang biasa digunakan dalam terapi peningkatan fungsi reproduksi. Untuk mengetahui pengaruhnya terhadap reproduksi jantan, maka terlebih dahulu harus mengamati gambaran darah sebagai agen trasportasi pembawa senyawa-senyawa tersebut ke berbagai sel dan jaringan
49
tubuh. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah BDM pada kelompok pemberian ekstrak rumput kebar selama 20 hari dan 60 hari yang diduga akibat senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak rumput kebar seperti flavonoid dan senyawa antioksidan lainnya seperti vitamin A, vitamin E dan tanin dapat mempertahankan ketahanan sel. Menurut Verstraeten et al. (2004) senyawa flavonoid dapat melindungi membran sel dari stress oksidatif yang ditimbulkan oleh radikal bebas dengan cara meningkatkan fluiditas membran dan mencegah masuknya molekul yang dapat mempengaruhi integritas membran. Selain itu flavonoid diduga dapat bereaksi dengan senyawa reaktif dan menghambat aktivitas senyawa reaktif tersebut sehingga tidak bereaksi dan tidak merusak membran sel. Flavonoid mempunyai kemampuan untuk mencegah peroksidasi lipid. Antioksidan dapat menetralisir atau menghancurkan radikal bebas dengan cara berinteraksi langsung dengan oksidan atau radikal bebas, mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif, mengubah oksigen reaktif menjadi kurang toksik dan memperbaiki kerusakan sel dan jaringan yang timbul (Sizer dan Whitney 2000). Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat menurunkan stress oksidatif lemak (Velayutham 2012), mampu mengikat dan mengendapkan protein sehingga berfungsi sebagai antibodi. Sarawar (2012) melaporkan bahwa tanin dapat menyebabkan penurunan yang signifikan (hingga 23%) protein dan kecernaan asam amino pada tikus. Seiring dengan penurunan jumlah BDM, maka pemberian ekstrak rumput kebar yang mengandung vitamin A dan vitamin E merupakan antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas asap rokok pada sel-sel dan jaringan reproduksi sehingga diduga dapat meningkatkan fungsi testis untuk mengontrol biosintesis androgen oleh sel Leydig dan menghasilkan testosteron untuk proses spermatogenesis di epitel tubulus seminiferus. Sintesis testosteron dan spermatogenesis melibatkan kontrol beberapa hormon. GH mempengaruhi secara langsung diferensiasi sel Leydig sebagai tempat sintesis testosteron dan LH mengontrol sintesis testosteron. FSH meningkatkan ABP (androgen binding protein) untuk mengikat testosteron yang kemudian dihantarkan ke tubulus seminiferus sebagai tempat pembentukan spermatozoa, sedangkan sel sertoli berperan dalam pembentukan membran tubulus seminiferus menyediakan lingkungan bagi diferensiasi dan maturasi sel benih (Mayes 2003). Testosteron secara langsung mempengaruhi proses spermatogenesis sehingga terjadi perkembangan normal pada spermatozoa (Cox dan John 2005). Mehta et al. (2008) melaporkan bahwa testosteron mengaktifkan gen-gen di dalam sel-sel sertoli yang memicu diferensiasi sel-sel spermatozoa dalam perkembangan spermatogenesis misalnya diferensiasi spermatozoa. Sejumah besar testosteron ± 95% diproduksi oleh sel-sel Leydig pada testis (Morgentaler dan Schulman 2009). Kadar testosteron total pada tikus putih jantan dewasa bervariasi dari rerata 0.5 ng/ml sampai dengan 5,4 ng/ml pada keadaan normal (Tantawi et al. 2007; Favig & Foad 2009). Squires (2003) dan Bearden et al. (2004) menjelaskan bahwa testosteron disintesis di dalam testis, yaitu oleh sel-sel Leydig di bawah kontrol LH dari kelenjar hipofisis. Setelah masuk ke dalam sel-sel target pada hipotalamus, kelenjar hipofisis dan testis, testosteron langsung diikat oleh reseptor androgen (AR). Selanjutnya kompleks testosteron dan AR mengikat gen pada rantai urutan DNA tertentu dan mengatur kejadian transkripsi gen. Proses tersebut dapat memicu dan mengatur proses spermatogenesis pada tubulus seminiferus.
50
Peningkatan kandungan DNA testis akibat pemberian ekstrak rumput kebar menggambarkan terjadinya perbaikan fungsi sel menyebabkan terjadinya peningkatan bobot testis sedangkan peningkatan kandungan total RNA testis pada kelompok pemberian ekstrak rumput kebar selama 20 hari dan 60 hari menunjukkan adanya aktivitas sintesis. Perubahan yang lebih baik pada tubulus seminiferus setelah diberikan ekstrak rumput kebar menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah sel-sel spermatogenesis (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir). Peningkatan jumlah sel-sel spermatogenesis menyebabkan perbaikan dan peningkatan sel spermatozoa yaitu peningkatan konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan penurunan abnormalitas spermatozoa. Pemberian ekstrak rumput kebar dapat memperbaiki perkembangan sel spermatozoa tikus yang telah terpapar asap rokok, diduga karena rumput kebar yang mengandung protein, Flavonoid, lemak, fosfor, calsium, vitamin A dan vitamin E. Flavonoid dilaporkan mempunyai kemampuan untuk mencegah feroksidasi lipid dan berfungsi sebagai antioksidan primer karena berperan sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat menghambat reaksi rantai radikal bebas oksidasi lipid. Selain flavonoid, vitamin E juga berperan sebagai antioksidan dilaporkan mampu melindungi spermatozoa terhadap kerusakan peroksidatif. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan aktivitas testis. Testis adalah organ reproduksi yang mempunyai fungsi memproduksi spermatozoa melalui spermatogenesis dan menghasilkan hormon androgenik (Mayes 2003; Cox dan John 2005). Peran ekstrak rumput kebar diduga meningkatkan aktivitas sel-sel FSH dan LH dalam mengontrol proses spermatogenesis sehingga terjadi pembentukan spermatozoa. Hal ini sejalan dengan penelitian Matthiesson et al. (2006) yang melaporkan bahwa FSH dan LH mengontrol spermatogenesis secara terpisah. FSH menunjukkan pengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah spermatosit sekunder. Sementara peningkatan nyata perubahan menjadi spermatid akhir dipengaruhi oleh LH. Matthiesson et al. (2006) juga menemukan bahwa pembentukan spermatogonia dipengaruhi oleh FSH, sedangkan proses spermatogenesis nampak jelas dipengaruhi oleh LH dan testosteron testis (Tantawi et al. 2007; Favig dan Foad 2009; Morgentaler dan Schulman 2009).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Pemaparan asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari dan 60 hari dapat menyebabkan penurunan fungsi reproduksi tikus jantan sehingga dapat dijadikan hewan model. Pemberian ekstrak rumput kebar 0.0945 mg/gram bobot badan/hari selama 20 hari dan 60 hari berpotensi menurunkan jumlah BDM tikus jantan yang telah terpapar asap rokok. Pemberian ekstrak rumput kebar 0.0945 mg/gram bobot badan/hari selama 20 hari dan 60 hari berpotensi meningkatkan fungsi reproduksi tikus jantan yang telah terpapar asap rokok selama 20 hari dan 60 hari. Saran
1.
2.
Berdasarkan kesimpulan maka dapat disarankan : Perlu adanya penelitian lanjutan tentang pemberian ekstrak rumput kebar 0.0945 mg/gram bobot badan/hari pada tikus jantan yang telah terpapar asap rokok dengan lama pemberian lebih dari 60 hari. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang pemberian ekstrak rumput kebar dengan dosis bertingkat untuk mengetahui pengaruhnya terhadap fungsi reproduksi jantan.
52
DAFTAR PUSTAKA Ahmad S, White CW, Chang LY, Schneider BK, Allen CB. 2001. Glutamine protects mitochondrial structure and function in oxygen toxicity. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol. 280:779-91. Ahmadnia H, Ghanbari M, Moradi MR, Khaje-Dalouee M. 2007. Effect of Cigarette Smoke on Spermatogenesis in Rats. Urology Journal. 4(3): 154-63. Anbasari K, Vani G, and Devi CS. 2005. Protective effect of bacoside A on cigarette smoking-induced brain mitochondrial dysfunction in rats. J Environ Pathol Toxicol Oncol. 24: 225-34 Arcavi L and Benewitz NL. 2004. Cigarette smoking and infection. Arch Intern Med. 164:2206-2216. Axner E, Forsberg CL. 2002. Semen Collection and Assessment, and Artificial Insemination in The cat. Ithaca: Recent Advances in Small Animal Production. P.W Conncanon International Veterinary Information Service. Azlina. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) Terhadap Fertilitas Tikus Jantan (Rattus norvegicus L) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Baker RR. 2006. Smoke generation inside a burning cigarette : Modifying combustion to develop cigarettes that may be less hazardous to health. Progress in Energy and Combustion Science. 32: 373–385 [BBPPPP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2010. Laporan Pengujian Laboratorium Rumput Kebar. Bogor: Laboratorium Pengujian. Bearden HJ, Fukuay JW, Scott TW. 2004. Applied animal reproduction 6Th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Bindar Y. 2000. Ekonomi, Rokok dan Konsekuensinya. ITB : Jurusan Teknik Kimia. http:/www. Angelfire/.com/il/nalapralaya/rokok/html [8 November 2010]. Cox RM, John AHB. 2005. Testosterone has opposite effects on male growth in lizards (Sceloporus spp.) with opposite patterns of sexual size dimorphism. J Exp Biol 208 (24): 4679-87. Dewi ERS. 2011. Pengaruh pemberian ekstrak buah mengkudu terhadap histopatologi testis tikus putih setelah menghirup asap rokok. Bioma, 1(2): 113-122 DeCherney AH, Polan ML, Lee RD, Boyers SP. 1997. Seri Skema Diagnositis dan Penatalaksanaan Infertilitas. Binapura Aksara. Droge W. 2002. Free radical in the physiological control of cell function. Physiol Rev. 82: 47-95. Favig EM, Foad O. 2009. Serum and Plasma Levels of Total and Free Testosterone and of Sex Hormone Binding Globulins in Rats Growing in The Below Sea Level Enviroment of The Jordan Valley. J Endocr. 5(2): 1-6.
53
First NI. 1991. Collection and Preservation of Spermatozoa. In : Methods in Mamalian Embryology (Edited by : I.C. Daniel). Japan: Jr. Toppan Campany Limited. p 15 – 36. Fitriani, Kartini E, and Widya E. 2010. The effect of cigarettes smoke exposured causes fertility of male mice (Mus musculus). J Natural. 10(2) : 12 – 17. Fowles J and Bates M. 2000. The Chemical Constituents in Cigarettes and Cigarette Smoke : Priorities For Harm Reduction. New Zealand: Epidemiology and Toxicology Group. ESR ; Kenepuru Science Centre. Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Guyton AC. 1997. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Alih Bahasa: Dr. Petrus Adrianto. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th Edition. Philadelphia Pennylvania: WB Saunders Company. Hafez ESE and Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Edition. Philadelphia: Lea and Febiger Hafez ESE, Jainudeen MR, Rosnina Y. 2000. Hormones, Growth Factors and Reproduction. Di dalam: Reproduction in Farm Animal. 3th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p 31-54 Handayaningsih W. 2009. Pengaruh Antioksidan Vitamin E Terhadap Jumlah Kerusakan Sel Testis Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang Dipapar Dengan Asap Rokok. student-research. Hariyatmi. 2004. Kemampuan vitamin E sebagai antioksidan terhadap radikal bebas pada lanjut usia. J MIPA 14:52-60. HKRI [Humas Kementrian Pertanian RI]. 2012. Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Humas Kementan RI. Imbiri ANN, Wanggai F, Maturbongs RA. 2003. An ecologycal aspect of Biophytum petersianum Klotzsch in Kebar Distric, Manokwari, Irian Jaya. Jurnal Beccariana 2(2):44-47. Inngjerdingen KT, Nergard CS, Diallo D, Mounkoro PP, Paulsen BS. 2004. An ethnopharmacological survey of plants used for wound healing in Dogonland, Mali. West Africa. Journal of ethnopharmacology. 92:233244. Inngjerdingen KT, Coulibaly A, Diallo D, Michaelsen TE, Paulsen BS. 2006. A complement fixing polysaccharide from Biophytum petersianum Klotzsch, a medicinal plant from Mali, West Africa. Biomacromolecules 7:48-53. Inngjerdingen M, Inngjerdingen KT, Patel TR, Allen S, Chen X, Rolstad B, Morris GA, Harding SE, Michaelsen ET, Diallo D, Paulsen BS. 2008. Pectic polysaccharides from Biophytum petersianum Klotzsch, and their activation of macrophages and dendritic cells. Glycobiology 18(12):1074-1084. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Method: Theory and Practice. 2nd edition. Pergamon Press. p 170 – 197. Koskinen LO, Collin O, and Bergh A. 2000. Cigarette smoke and hypoxia induce acute changes in the testicular and cerebral microcirculation. Ups J Med Sci. 105:215-26.
54
Laurence DR, Bacharach AL. 1986. Evaluation of Drug Activites. Pharmacometrics. New York: Academic Press. Linder MC. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Diterjemahkan oleh A. Parakkasi. Jakarta: UI Press Manalu W, Sumaryadi MY. 1998. Maternal serum progesterone concentration during gestation and mammary gland growth and development at parturition in Javanese thin-tail ewes carring a single or multiple fetuses. J Small Ruminant Research. 27(2):131-136. Matthiesson KL, Robert IM, Lisa OD, Mark F, David MR, Peter GS, and Sarah JM. 2006. The relative roles of FSH and LH in maintaining spermatogonial maturation and spermiation in normal men. The J of Clin Endocrinol and Metab. 91(10):3962-3969. Mayes PA.2003. Biokimia Harper. Edisi 25. EGC Jakarta. Mehta PH, Jones AC, Josephs RA. 2008. The Social Endocrinology of Dominance: Basal Testosterone Predicts Cortisol Changes and Behavior Following Victory and Defeat. J Pers Soc Psychol 94(6): 1078-93. Morgentaler A, Schulman C. 2009. Testosterone and prostate safety. Front Horm Res 37:197-203. Nurcholidah S, Idi R, Darodjah S, Rizal M, Fitriati M. 2008. Kualitas spermatozoa kauda epididimis sapi peranakan ongol (PO) dalam pengencer susu, tris, sitrat kuning telur pada penyimpanan 4-50C. Anim Prod 10(1):22-29. Pavlovic V, Cekic S, Rankovic G & Stoiljkovic N. 2005. Antioxidant and Prooxidant Effect of Ascocbic Acid. Acta Medica Medianae. 44 (1): 65-69. Purwanti E. 2005. Pengaruh pemberian boraks secara oral terhadap darah dan struktur mikroanatomi ginjal pada Rattus sp. J Kes. Kep. 1:10-12. Rastogi, SC. 2007. Essential of Animal Physiology, Fourth Edition. New Age International (P) Ltd., Publishers. Published by New Age International (P) Ltd., Publishers. ISBN : 978-81-224-2429-4. Rajpurkar A, Dhabuwala CB, Jiang Y, Li H. 2000. Chronic Cigaratte Smoking Induces an Oxidantantioxidant Imbalance in The Testis. J Environ Pathol Toxicol Oncol. 19(4): 369-73. Rajpurkar A, Jiang Y, Dhabuwala CB, Dunbar JC, and Li H. 2002. Cigarette smoking induces apoptosis in rat testis. J Environ Pathol Toxicol Oncol. 21(3):243-8. Revel A, Raanani N, Younglai E, Xu J, and Han R. 2001. Resveratrol, a natural aryl hydrocarbon receptor antagonist, protect sperm from DNA damage and apoptosis caused by benzo(a)pyrene. Reproductive Toxicology 15 : 479 – 486. Riswanto. 2009. Tes Hematologi: Laboratorium Kesehatan. Artikel. http://labkesehatan.blogspot.com/2009/11/hitung-darah-lengkap.html. [2 Desember 2009]. Riveles K, Roza R, Talbot P. 2005. Phenol, quinolines, indoles, benzene, and 2cyclopenten-I-ones are oviductal toxicants in cigarette smoke. Toxicol Sci. 17:267-272. Sadsoeitoeboen PD. 2005. Manfaat Ekstrak Rumput Kebar ( Biophytum petersianum) terhadap Penampilan Reproduksi Mencit Putih Betina. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
55
Safarinejad MR, Seyyed YH, Farid D, Majid AA. 2010. Relationship of omega 3 and omega 6 fatty acids with semen characteristics and antioxidant status of seminal plasma: comparison between fertile and infertile men. Clin Nutri. 29: 100-105. Sarawar GG, Wu Xiao C, Cockell KA. 2012. Impact of antinutritional factors in food proteins on the digestibility of protein and the bioavailability of amino acids and on protein quality. Br J Nut. 108(2):315-32. doi: 10.1017/S0007114512002371. Sizer F, Whitney E. 2000. Nutrition Concept and Controversies. Thomson Learning Library of Congres Cataloging. Soehadi K, Arsyat KM. 1983. Analisis Sperma. Surabaya: Airlangga University Press. Squires EJ. 2003. Applied animal endocrinology. Wallingford UK: Cabi Publishing. Susanna D, Hartono B dan Fauzan H. 2003. Penentuan kadar nikotin dalam asap rokok. Makara of Health Series. 2:272-274. Tang CS, Fan SZ, Chan CC. 2001. Smoking status and body size increase carbonmonoxide concentrations in the breathing circuit during low-flow anesthesia. The Intern Anesthesia Research Society.72:542-547. Tantawi WHE, Abeer T, Omayma DE. 2007. Free Serum Testosterone in Male Rats Treated With Tribulus alatus Extract. Int Braz J Urol. 33:554-9. Tjong C, Rodjani A. 2012. Gangguan Reproduksi Pada Pria dan Wanita. Artikel Kesehatan. Jakarta: Pondok Indah Healthcare Group. p 8-10. Velayutham R, Sankaradoss N, Ahamed KF. 2012. Protective effect of tannins from Ficus racemosa in hypercholesterolemia and diabetes induced vascular tissue damage in rats. Asian Pac J Trop Med. 5(5):367-73. doi: 10.1016/S1995-7645(12)60061-3. Veldkamp JF. 1976. Flora Malesiana. Noordhoff International Publishing Leyden. The Netherlands. 7(1):151-78. Verstraeten SV, Oteiza PI, Fraga CG. 2004. Membrane effects of cocoa procyanidins in liposomes and Jurkat T cells. Biol Res. 37: 293 – 300. Widodo E. 2006. Pajanan Asap Rokok Pada Tikus Sebagai Model Untuk Manusia [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
56
Lampiran 1. Tata cara pemaparan asap rokok Tikus dimasukkan ke dalam smoking chamber secara individu (Gambar 13). Ke dalam smoking chamber dialirkan oksigen dengan tekanan 0.5 atmosfer. Bersamaan dengan itu, rokok dibakar, asap rokok yang dihasilkan dipompakan ke dalam smoking chamber. Asap rokok yang dimasukkan berasal dari 10 batang rokok dengan total waktu pemberian adalah 2.5 jam/hari.
Gambar 13. Smoking chamber
Lampiran 2. Analisis Mikroskopis Paru-paru Setelah tikus dinekropsi, organ paru-paru (pada bagian lobus diaphragmaticus dextra) diambil dan ditimbang untuk mengetahui bobot basah paru-paru, kemudian dipotong setebal 1 – 2 mm kemudian difiksasi dalam larutan alkohol 70% selama 1 minggu, dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari 80% sampai 100% selama 4 hari, diclearing dengan xylol dan dibloking dengan parafin, setelah itu disimpan dalam lemari pendingin beberapa hari. Blok parafin selanjutnya diiris dengan alat mikrotom pada ketebalan 2 - 3 µm, diletakan pada gelas obyek yang telah dilapisi dengan alkohol 70% dalam toluene, kemudian disimpan dalam inkubator 40 0C selama 24 jam. Sediaan kemudian diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin (HE) mengikuti cara Kiernan (1990). Tahap-tahap pewarnaan hematoksilin eosin adalah sebagai berikut: sediaan yang telah diperoleh dari hasil sayatan dengan mikrotom dihilangkan parafinnya (deparafinasi) dengan cara merendam sediaan dalam larutan silol sebanyak tiga kali (silol III, II, I), selanjutnya pengembalian kandungan air ke dalam sediaan (rehidrasi) dengan cara merendam sediaan pada seri alkohol bertingkat mulai dari alkohol absolut (100%) III, II dan I, alkohol 95%, 90%, 80% dan 70%. Kemudian diletakkan di air mengalir untuk pencucian sisa-sisa alkohol dalam sediaan, lalu pencucian dengan aquades (proses deparafinasi, rehidrasi sampai tahap pencucian dengan aquades berlaku sama untuk semua pewarnaan sediaan yang diproses dengan metode parafin). Sediaan kemudian dimasukkan ke dalam larutan pewarna hematoksilin. Sediaan diletakkan di air mengalir untuk
57
mencuci zat warna hematoksilin yang tidak terikat pada sediaan. Setelah pencucian dengan aquades kemudian diwarnai dengan eosin. Setelah proses pewarnaan selesai kandungan air di dalam sediaan ditarik kembali (dehidrasi) dengan cara melewatkan jaringan pada alkohol konsentrasi bertingkat mulai dari 70% sampai alkohol absolut I, II dan III. Kemudian dilanjutkan dengan proses penjernihan menggunakan silol (I, II dan III). Terakhir dilakukan proses penutupan sediaan dengan gelas penutup (mounting) dengan bantuan medium perekat Entellan. Sediaan kemudian diamati dengan mikroskop untuk melihat bagian-bagian sel. Selanjutnya dilakukan evaluasi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang dapat diamati pada struktur jaringan dan seluler paru-paru tikus jantan akibat pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian Dilakukan analisis secara kwalitatif terhadap mikromorfologi paru-paru dengan pengamatan dibawah mikroskop menggunakan perbesaran 40 x 10. Lampiran 3. Pengukuran Gambaran Darah Pengambilan darah dilakukan secara intra cardial dalam kondisi anastesi. Parameter gambaran darah yang diukur adalah jumlah butir darah merah/BDM (eritrosit), kadar hemoglobin (Hb), nilai hematokrit (PCV), indeks eritrosit dan jumlah butir darah putih/BDP (Leukosit). Teknik menghitung jumlah BDM dimulai dengan memasang aspirator pada ujung pipet eritrosit kemudian darah diambil sampai batas angka 0,5 atau 1,0 pada pipet eritrosit. Bersihkan ujung pipet dengan kertas tissue. Setelah itu, larutan pengencer Hayem diambil dari angka 0,5 sampai tanda 101 sehingga pengenceran yang terjadi adalah 200 kali. Lepaskan aspirator dengan hati-hati dari pipetnya kemudian dengan menutup kedua ujung pipet dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan, kocoklah isi pipet dengan cara membuat gerakan angka delapan agar tercampur hanyalah yang terdapat di bagian pipet yang membesar saja (1,0 – 101). Buang cairan pada ujung pipet yang tidak ikut terkocok kemudian masukan dengan hati-hati setetes cairan ke dalam kamar hitung dengan cara menempelkan ujung pipet pada tempat pertemuan antara dasar kamar hitung dan kaca penutup. Biarkan butir-butir darah yang ada di dalam kamar hitung mengendap dan hitunglah BDM dengan menggunakan 5 kotak kecil (R) yang terletak di bagian tengah kamar hitung, ialah 4 buah yang terletak di sudut, dan sebuah terletak ditengah-tengah. Masing-masing kotak kecil ini terdiri atas 16 kotak dengan ukuran terkecil yang berukuran 1/20 mm x 1/20 mm = 1/400 mm2 luasnya, dan kedalamannya 1/10 mm. Ukuran ini yang biasanya tercantum pada alat hemositometer. Satu kotak kecil mempunyai luas (16 x 1/400) mm2 dan dalamnya 1/10 mm, sehingga jumlah isi ruangan yang dihitung eritrositnya = 5 x (16 x 1/400 x 1/10) mm3 = 80/4000 mm3. Semua butir darah yang terletak di dalam kotak yang telah ditentukan dihitung jumlahnya. Untuk menghitung jumlah BDP, darah diambil dengan menggunakan pipet leukosit sampai tanda 0,5 atau sampai 1,0 kemudian larutan pengencer Turk diambil dari angka 0,5 sampai tanda 11 pada ujung lain pipet sehingga pengenceran yang terjadi adalah 50 kali. Selanjutnya caranya sama dengan untuk BDM. Untuk menghitung BDP digunakan 4 kotak yang terletak di keempat sudutu kamar hitung (yang masing-masing terdiri atas 16 bujur sangkar). Satu kotak mempunyai luas 1 mm2 dan dalamnya 1/10 mm; jadi ruangan untuk
58
menghitung jumlah BDP seluruhnya mempunyai ukuran isi = (4 x 1 x 1/10) mm3 = 4/10 mm3. Menentukan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah menggunakan metoda sianmethemoglobin (spektrofotometer). Pipet dengan tepat 2,5 ml reagen untuk Hb dan masukan ke dalam tabung reaksi ke 1 dan 2. Tambahkan 10 µl darah ke dalam tabung reaksi ke 2, dengan menggunakan mikropipet. Bilas pipet agar tidak ada darah yang tertinggal di dalam pipet dengan cara menghisap dan meniupkan cairan yang ada dalam tabung reaksi kedua tersebut. Campur dengan baik larutan di dalam tabung, kemudian biarkan selama paling sedikit 10 menit pada suhu kamar agar terbentuk sianmethemoglobin dengan baik. Lakukan pembacaan “transmittance” (atau O.D) larutan dengan mengunakan kalorimeter atau spertrofotometer pada panjang gelombang 540 nm (atau menggunakan filter hijau kekuningan). Mula-mula larutan drabkins di dalam tabung 1 (tanpa darah : blanko) dituangkan ke dalam kuvet yang tersedia, dan kuvet dimasukkan ke dalam alat spektrofotometer. Dengan menggunakan tombol yang terdapat pada alat tersebut, dilakukan pengaturan/penyetelan agar jarum pada alat tersebut menunjukkan transmittance 100% (terbaca pada skala) dan pembacaan transmittance larutan yang mengandung darah (sampel) dalam tabung reaksi ke 2 dan seterusnya dapat dimulai. Tuangkan larutan dari tabung reaksi ke 2 (sampel) ke dalam tabung kuvet, masukkan dalam alat dan langsung dibaca transmittancenya pada skala transmittance, dan catat hasilnya (tombol jangan diputar-putar). Kadar hemoglobin dalam gram per 100 ml darah ditentukan dengan menggunakan kurva standar hemoglobin yang dibuat dari larutan baku sianmethemoglobin. Baca transmittance dari keempat larutan tersebut dengan spektrofotometer dan catatlah hasilnya. Menentukan nilai hematokrit menggunakan metoda mikrohematokrit. Ambilah darah dan tempelkan ujung mikrokapiler yang bertanda (merah atau biru) pada tetesan darah tadi. Biarkan darah mengalir sendiri mengisi 4/5 bagian pipa kapiler. Sumbat ujung pipa kapiler yang bertanda dengan crestaseal atau bakar ujung pipa tersebut dengan hati-hati. Tempatkan pipa-pipa kapiler dalam alat pemusing; bagian yang tersumbat diletakkan menjauhi pusat alat pemusing. Pusing dengan alat pemusing mikro-kapiler (microcentrifuge) selama 5 menit dengan kecepatan 11.500-15.000 RPM atau 15 menit dengan kecepatan 2.5004000 RPM. Setelah dipusing, terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri dari lapisan plasma yang jernih dibagian atas, kemudian lapisan putih abu-abu (buffy coat) ialah trombosit dan leukosit dan lapisan merah yaitu eritrosit. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur % volume eritrosit (lapisan merah) dari darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit (microcapillary hematokrit reader). Lampiran 4. Analisis Mikroskopis Testis dan Jumlah Sel-sel Spermatogenik. Tikus jantan dari semua perlakuan dinekropsi dengan cara dibius, kemudian diambil testis dan ditimbang untuk mengetahui bobot basah testis. Setelah itu testis dipotong setebal 1 – 2 mm kemudian difiksasi dalam larutan alkohol 70% selama 1 minggu, dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari 80% sampai 100% selama 4 hari, diclearing dengan xylol dan dibloking dengan parafin, setelah itu disimpan dalam lemari pendingin beberapa hari. Blok parafin selanjutnya diiris dengan alat mikrotom pada ketebalan 2 - 3
59
µm, diletakan pada gelas obyek yang telah dilapisi dengan alkohol 70% dalam toluene, kemudian disimpan dalam inkubator 40 0C selama 24 jam. Sediaan kemudian diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin (HE) mengikuti cara Kiernan (1990). Tahap-tahap pewarnaan hematoksilin eosin adalah sebagai berikut: sediaan yang telah diperoleh dari hasil sayatan dengan mikrotom dihilangkan parafinnya (deparafinasi) dengan cara merendam sediaan dalam larutan silol sebanyak tiga kali (silol III, II, I), selanjutnya pengembalian kandungan air ke dalam sediaan (rehidrasi) dengan cara merendam sediaan pada seri alkohol bertingkat mulai dari alkohol absolut (100%) III, II dan I, alkohol 95%, 90%, 80% dan 70%. Kemudian diletakkan di air mengalir untuk pencucian sisa-sisa alkohol dalam sediaan, lalu pencucian dengan aquades (proses deparafinasi, rehidrasi sampai tahap pencucian dengan aquades berlaku sama untuk semua pewarnaan sediaan yang diproses dengan metode parafin). Sediaan kemudian dimasukkan ke dalam larutan pewarna hematoksilin. Sediaan diletakkan di air mengalir untuk mencuci zat warna hematoksilin yang tidak terikat pada sediaan. Setelah pencucian dengan aquades kemudian diwarnai dengan eosin. Setelah proses pewarnaan selesai kandungan air di dalam sediaan ditarik kembali (dehidrasi) dengan cara melewatkan jaringan pada alkohol konsentrasi bertingkat mulai dari 70% sampai alkohol absolut I, II dan III. Kemudian dilanjutkan dengan proses penjernihan menggunakan silol (I, II dan III). Terakhir dilakukan proses penutupan sediaan dengan gelas penutup (mounting) dengan bantuan medium perekat Entellan. Sediaan kemudian diamati dengan mikroskop untuk melihat bagian-bagian sel. Pengamatan preparat jaringan testis mencakup jumlah spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir. Pengamatan mikroskopis testis dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 x 10. Perhitungan jumlah sel-sel tahapan spermatogenik dilakukan terhadap 10 lapang pandang yang prosedurnya sebagai berikut: 1. Sejumlah preparat terpilih pada setiap perlakuan diletakan pada mikroskop perbesaran 40 x 10.. 2. Preparat diamati dibawah miroskop dengan sekali pandang pada satu titik untuk layang pandang pertama, kemudian preparat digeser untuk melihat titik untuk layang pandang yang kedua dan seterusnya hingga 10 titik pengamatan sehingga n = 10 untuk setiap kelompok perlakuan.
Lampiran 5. Kualitas Spermatozoa Kualitas spermatozoa yang diamati meliputi konsentrasi, viabilitas, dan abnormalitas spermatozoa. Spermatozoa diperoleh dengan cara pemotongan cauda epididymis 0,5 cm (Gambar 14) dimasukkan ke dalam gelas arloji yang berisi 1 ml NaCl fisiologis 0.9 % hangat (370C), kemudian dipotong-potong dengan gunting kecil hingga halus dan diaduk dengan gelas pengaduk. Larutan ini disebut suspensi spermatozoa (Modifikasi dari First 1991). Suspensi spermatozoa ini digunakan untuk pengamatan kualitas spermatozoa seperti yang dilakukan Soehadi dan Arsyat (1983). Suspensi spermatozoa dihisap dengan pipet leukosit sampai tanda 0.5. Pipet yang telah berisi suspensi spermatozoa kemudian diencerkan dengan larutan
61
Lampiran 7. Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis (Laurence dan Bacharah 1964)* 20 g mencit 200 g tikus 400 g marmut 1,5 kg kelinci 2,0 kg kucing 4,0 kg kera 12,0 g anjing 70,0 kg manusia
20 g mencit 1,0 0,14 0,08 0,04 0,03 0,016 0,008 0,0026
200 g tikus 7,0 1,0 0,57 0,25 0,23 0,11 0,06 0,018
400 g marmut 12,25 1,74 1,0 0,44 0,41 0,19 0,10 0,031
1,5 kg kelinci 27,8 3,9 2,25 1,0 0,92 0,42 0,22 0,07
2,0 kg kucing 29,7 4,2 2,4 1,08 1,0 0,45 0,24 0,076
4,0 kg kera 64,1 9,2 5,2 2,4 2,2 1,0 0,52 0,16
12,0 g anjing 124,2 17,8 10,2 4,5 4,4 1,9 1,0 0,32
70,0 kg manusia 387,9 56,0 31,5 14,2 13,0 6,1 3,1 1,0
*
)Laurence DR, Bacharah AL. 1964. Evaluation of Drug Activities Pharmacometrics. Volume 1. Academic Press. London and New York. Hlm 61.
Perhitungan: - Dosis Rumput Kebar pada mencit 0.135 mg/gram BB (Sadsoeitoeboen 2005) = 13.5 mg/100 gram BB = 13.5 mg/100 gram BB (x2) = 27 mg/200 gram - Nilai konversi dari mencit ke tikus adalah 7.0 (Laurence dan Bacharah 1964) = 27 x 7.0 = 189 mg/2 kg BB = 94.5 mg/kg BB atau 0.0945 mg/gram BB
Konversi ke manusia: - Nilai konversi dari tikus ke manusia adalah 56,0 (Laurence dan Bacharah 1964) = 9.45 mg/100 gram BB = 9.45 mg/100 gram BB (x2) = 18.9 mg/200 gram = 18.9 x 56.0 = 1058.4 mg / 2 kg BB = 529.2 mg/kg BB
63
yang diperoleh diekstraksi ulang. Supernatan yang dihasilkan kemudian dicampurkan dan diencerkan sampai volume 15 ml dengan TCA 5% dan disimpan dalam refrigerator selama semalam. Setelah itu disiapkan tabung reaksi kemudian dilabel untuk blank, standar, dan sampel. Standar DNA dibuat dan menutup semua tabung dengan aluminium foil kemudian diletakkan pada penangas air mendidih selama 20 menit. Tabung didinginkan dalam penangas air dingin selama 5 menit dan ditambahkan 5 ml n-butilasetat kemudian dikocok (vorteks) selama 7 kali kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Sebanyak 3 ml aliquots dipindahkan dan ditambahkan 1 ml NaOH 2 N pada setiap tabung. Jika perlu diencerkan sampai 5 ml dengan H2O. Absorbans larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 560 nm (Manalu dan Sumaryadi 1998). Pengukuran kadar RNA testis dilakukan setelah testis dikeringkan, dihaluskan dan diekstraksi dengan cara menimbang seberat 25 mg dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 3 mL KOH 1 N ditambahkan pada setiap tabung reaksi dan diletakkan pada penangas air 37oC selama 5 jam. Kemudian ditempatkan dalam wadah berisi es dan ditambahkan 300 mikroliter HCL 6 N. Pada wadah yang sama, ke dalam tabung reaksi ditambahkan TCA 5% atau PCA 10% sehingga terbentuk larutan putih keruh dan disentrifuge dengan kecepatan 1800 rpm selama 10 menit. Supernatan dituangkan dan disimpan dalam tabung 15 ml. Endapan yang diperoleh diesktraksi ulang dengan 5 ml TCA% (TCA 5 %) kemudian disentrifuge dengan kecepatan 1800 rpm selama 15 menit. Hasil supernatan diekstrasi ulang kemudian diencerkan sampai volume 15 ml dengan TCA 5%. Ekstraksi dan reaksi pewarnaan harus dilakukan pada hari yang sama. Kemudian tabung reaksi dilabel disiapkan untuk blank dan standar. Masingmasing tabung diisi dengan reagen sehingga akan berwarna kuning. Semua tabungn ditutup dengan aluminium foil dan diletakkan pada penangas air mendidih selama 30 menit dan diusahakan pemanasan merata untuk setiap tabung sehingga larutan akan berwarna hijau. Absorbans larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 670 nm (Manalu dan Sumaryadi 1998).
Lampiran 10. Analisis hormon testosteron. Pengambilan darah dilakukan secara intra cardial sebelum tikus dianastesi untuk melihat konsentrasi testosteron dalam serum yang diukur dengan metode radioimmunoassay (RIA) dengan teknik fase padat menggunakan kit testosteron coat-a-count yang berisi estradiol berlabel 125I. Seri larutan standar A, B, C, D, E, F, dan G berturut-turut berisi testosteron dengan konsentrasi 0, 20, 50, 150, 500, 1800, dan 3600 pg/ml yang diperoleh dai diagnostic product corporation (Los Angeles, CA). Volume sampel yang direkomendasikan adalah 100 µl. Tabung untuk Non Spesifik Binding (NSB) dan Total Count (T) diberi label. Sebanyak 14 tabung diberi label masing-masing A (MB), B, C, D, E, F dan G (duplo). Dengan menggunakan mikropipet 100µl larutan standar konsentrasi 0, 20, 50, 150, 500, 1800, dan 3600 pg/ml dipipet hingga ke dasar tabung. Pada tabung NSB dimasukkan juga 100 µl larutan standar A. Tabung-tabung lainnya diisi sampel masing-masing sebanyak 100 µl. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 1 ml estrogen berlabel kemudian divorteks. Keseluruhan campuran itu
64
diinkubasikan selama 3 jam dalam keadaan temperatur kamar. Sisa cairan yang ada dalam tiap tabung dituang dan tabung dibiarkan kering selama 3 menit. Radioaktivitas yang terikat pada tabung dicacah dengan menggunakan Automatic Gamma Counter selama 1 menit. Pencacahan dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Persen radioaktivitas yang terikat dihitung dengan membagi CPM sampel maupun standar dengan CPM standar A (MB). Persamaan kurva standar dihitung dengan persamaan regresi linier persen radioaktivitas yang terikat sebagai Y dan log konsentrasi standar sebagai X. Konsentrasi testosteron sampel dihitung dengan memasukkan nilai persen radioakvitas terikat sampel ke persamaan kurva standar.
65
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Ouw, Kabupaten Maluku Tengah pada tanggal 30 Maret 1981 dari ayah Drs. Marthinus Unitly dan ibu Eklefina Silahooy, S.Pd. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Kristen YPKPM Ambon. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 2005. Pendidikan Magister ditempuh di Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2008. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Doktor (S-3) pada Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 dengan bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura. Selama mengikuti Program S-3, penulis berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan ilmiah dan seminar diantaranya menjadi penyaji makalah dalam seminar nasional “Pengembangan Pulau-pulau Kecil dari Aspek Perikanan Kelautan dan Pertanian pada tahun 2011, dan menjadi moderator dalam seminar internasional “Food Sovereignty and Natural Resources in Archipelago Regional” pada tahun 2012. Artikel berjudul “Perubahan Kualitas Spermatozoa dan Jumlah Sel-sel Spermatogenik Tikus yang Terpapar Asap Rokok” akan diterbitkan pada Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 8. No. 2 September 2014 (Terakreditasi Dirjen Dikti S.K. No.81/Dikti/Kep/2011). Artikel berjudul “Kebar’s Grass Improves Spermatogenic Quantity and Spermatozoa Quality in Rats Exposed with Cigarette Smoke” telah mendapatkan Submitted (IJPCS-0017-2013) dan dalam tahap reviewer’s pada International Journal of Pharmacology and Clinical Sciences. Kedua Karya Ilmiah tersebut adalah bagian dari program S-3 penulis.